31.12.15

[FINAL ROUND] FATA - NIR



Prolog
Nir


Mereka berdiri menghadap langit berbintang. Matahari segera naik dengan kecepatan yang tak wajar, membuat malam tiba-tiba menjadi siang yang biru redup karena secara unik, bintang-bintang tetaplah berkelip indah seakan ingin membuat kontras pada langit.

Jauh di atas garis batas atmosfir, sebuah lautan dengan berbagai satwa akuatik aneka warna serta bentuk berenang di dalamnya, memperlihatkan lautan yang sama sekali lain dari lautan di bumi atau di planet manapun.

[FINAL] - MIMA SHIKI REID - THE BEGINNING IS THE END IS THE BEGINNING


 

THE BEGINNING IS THE END IS THE BEGINNING
;
;
;
;
Prologue:
Hidden History of Exiled Realm
;
;
--- Sol Shefra, Benua Alorea. Sepuluh tahun sebelum Battle of Realms diadakan.
Tamon Ruu dalam tubuh dewasanya, menatap bulan Alkima, yang tampak seperti menggantung di langit. Ia duduk terpekur di tepian jendela, di sebuah ruangan dalam kastil Despera megah miliknya. Raungan makhluk gaib sebentuk kuda api buruk rupa terdengar di kejauhan, menciptakan suasana yang sedikit mencekam, yang anehnya terasa biasa bagi Tamon Ruu. Penduduk Alforea menamakan makhluk itu Rahamut, yang konon hanya beranak selama limapuluh tahun sekali. Apabila makhluk itu mengamuk, Alforea akan mengerahkan pasukan, kadangkala dibantu pasukan bantuan dari negara lain, Amatsu, untuk menyegelnya kembali di bulan. Sebenarnya bukan menyegel, tepatnya, tapi hanya membuat satu ruang dimensi terisolasi di bulan Alkima, menjadi penjara sementara Rahamut sampai ia kembali tenang. 

6.12.15

[FINAL ROUND] TWO WORLDS, TWO TOMORROWS


FINAL ROUND - TWO WORLDS, TWO TOMORROWS

Penulis: Rizqi Rachman






Malam yang panjang telah berakhir, dan kini mentari pagi kembali menyambut datangnya hari yang baru di Alforea.

Planet yang tadinya makmur, dengan berbagai benua dan negeri yang menghiasinya, kini tak lebih dari sebuah planet kosong tak berpenghuni. Karena pada dasarnya, semua itu tidak lebih dari rekayasa digital yang dibuat demi jalannya sebuah turnamen paling besar di jagad raya.

Battle of Realms.

24.11.15

[ROUND 5] FATANIR - TERIMA KASIH MANTAP



1
Ingatan yang Tak Utuh

---

Si Kribo menepuk-nepuk dan mengancingkan ujung pergelangan kemeja putihnya. Dia telah meninggalkan laboratorium, di mana dia baru saja selesai bertarung dengan lawan sebelumnya. Kemudian, sebuah portal dimensi milik teknologi Sol Shefra muncul dari udara.

Pemuda itu memusatkan kemampuan unik miliknya pada portal. Sebelumnya Fata pernah mencoba memahami struktur fisika portal dimensi di Sol Shefra menggunakan pemahaman ajaibnya akan mesin, tapi dia seperti tertelan oleh gelombang data akibat kecanggihan teknologi di Sol Shefra.

Tapi kini, arus simbol itu bermain dengan jinak saat memasuki otaknya. Ternyata konsepnya sederhana sekali, pikir Fata. Sepertinya dengan komponen yang tepat, tak terlalu sulit lagi baginya untuk memproduksi alat teleportasi seperti ini.

[ROUND 5] BU MAWAR – MENJADI SEORANG GURU

[ROUND 5] BU MAWAR – MENJADI SEORANG GURU
Penulis : Hewan



Epilog Peretas Alforea

Sosok itu hadir dengan ciri kenamaannya, sekaleng minuman jahe. Ditenggaknya kaleng itu sampai habis, lalu dilemparlah ke tong sampah—atau tepatnya, celah dimensi—hingga kaleng itu menghilang. Kemudian dia berjalan santai ke depan dengan raut wajah agak serius. Dia dihadang oleh sosok lain berjubah hitam namun dia abaikan itu. Matanya sudah tertuju pada sosok gadis layu yang terbaring di peti mati yang didirikan tegak (dan juga terhubung dengan sejumlah kabel dan selang penopang kehidupan).

Semua orang mengenal pria itu sebagai Dimas Pamungkas, si pria Wedang Jahe Kalengan. Namun dia bukan satu-satunya Dimas Pamungkas.

18.11.15

[ROUND 5] MIMA SHIKI REID - THE QUONDAM OF MIMA REID




THE QUONDAM OF MIMA REID

;
;
Warning:
This story contains some gender, marriage, philosophical and psychological issues and mature content of swearing, violence /gore, nudity and sexual implicit. These aforementioned are not representing any harrasmentor so to the OC or person referenced/owned the OC, because this is merely a fiction.
Equilibrium, Mima, Jade Shiki, Weasel Reid, belong to Rakai Asaju / Beng Kay

9.11.15

[ROUND 5] SANELIA NUR FIANI - SALVATION

Salvation



Nely's Canonical : Part 1 of 3
=Tamon Ruu's history=-

Aku lelah..

Hidupku sama sekali tak berarti, jiwaku di dunia ini merupakan entitas abadi. Akan tetapi, pikiranku letih dengan semua ini.

Aku hanyalah salinan, potongan jiwa palsu, tercipta dari seorang gadis berambut biru. Dulu aku terjebak dalam sebuah turnamen hidup mati bernama Heroes x Heretics. Walau seiring dengan berjalannya waktu, aku sama sekali tidak berpihak pada kedua kubu.

Herotics, ke sanalah aku bergabung.

Bukan Hero, maupun Heretics. Kami tidak mengenakan mahkota dalam tingginya harga diri. Kami hidup sebagai diri sendiri, mempercayai keyakinan berdikari. Aku dan kumpulan ini memberontak pada panitia, menolak kegiatan sambung ayam. Hingga akhirnya kami berhasil menghentikan rencana dalam penciptaan sebuah Realitas emas—Golden Realms.

Akhir dari pertempuran melelahkan itu merupakan sebuah perpisahan. Hancurnya Golden Realm telah me-reset segala hal kembali menjadi sebuah ketiadaan. Seolah segalanya tak pernah terjadi sejak awal. Hidupku yang palsu kini bertambah semu.

Kesadaranku tertarik kembali pada entitas asli, sebagai pelengkap potongan jiwa yang telah hilang. Aku hanya menjadi saksi, dari kehidupan seorang manusia bernama Fiani. Hidupku hanyalah bayangan kosong, terjebak dalam tubuh yang bukan milikku sendiri.

Hingga akhirnya aku bertemu dengan sepasang kekasih bernama Herumi. Dia membawaku ke dunia Fermion, membebaskanku dari kekangan jasad yang sudah tak bernyawa. Di dunia ini aku akhirnya benar-benar terbebas.

Tamon Ruu, begitulah aku memanggil diriku sendiri. Aku telah menjadi sosok sekelas Dewa, sanggup menciptakan apapun, juga merusak sesuka hati. Seharusnya aku senang, karena aku bisa mendapatkan apa yang aku mau.

Tapi aku salah. Di dunia ini, tak ada yang namanya kebahagiaan. Sunyi tanpa seorangpun menemani, butuh waktu lama hingga akhirnya aku tersadar kembali, bahwa sejatinya aku masih sendiri. Mirror Manor sebagai rumahku hilang entah ke mana. Para penghuninya terhapus keberadaannya. Usahaku untuk menduplikat tiap kenangan gagal terlaksana. Salah satu anggota yang kuciptakan hanyalah entitas kosong tanpa emosi maupun jiwa.

Jadi, keinginanku saat ini hanyalah satu, yakni berubah sirna tanpa sedikitpun penyesalan. Aku tak menginginkan semua ini.

Setidaknya kematianku haruslah berguna untuk orang lain. Oleh karenanya kuciptakan sebuah [kotak] yang bisa mengabulkan berbagai macam keinginan. Benda itu akan mewakili kekuatan administrator di dunia ini, mampu menciptakan apapun, memperbaiki segala sesuatu, (namun tidak untuk membangkitkan mereka yang sudah mati.)

Aku akan hilang seiring dengan penggunaan [kotak] itu.

Namun Dimas mengacaukan seluruh niatku. Dia datang untuk menerorku, berulang kali mengancam hendak meleburkan jiwaku pada Fia yang sedang sekarat. Aku tentu saja tak menginginkan itu, berada dekat dengan Fia pun aku tak sudi. Cukup sudah aku dikekang dalam tubuhnya selama ini. Jikapun aku hendak mati, aku tak ingin mati sebagai entitas yang berdikari,  memilih akhir untuk diriku sendiri.

Lalu suatu hari, kusadari di turnamen ini ada sesosok gadis berambut biru, keturunan dari Fia sendiri. Sanelia namanya, penelitian singkatku akan biografinya mengantarku pada sebuah kesimpulan mencengangkan. Jiwa gadis itu juga dulunya sama sepertiku, terperangkap dalam tubuh Fia. Bedanya, dia bisa terbebas ketika Fia melahirkan anak tunggal, jiwanya di-transfer masuk ke dalam janin yang dikandungnya. Amat berbeda dengan nasibku. Aku tetap terkurung seumur hidup hingga ajal menjemput.

Entitas malang itu bernama Yulia. Butuh lebih dari sekadar penyiksaan pada Nely, agar aku bisa membangkitkan ingatannya ketika hidup di masa sebelumnya.

Dan aku berhasil. Bangkitnya kenangan tentang Yulia, telah mengubah Sanelia menjadi sosok penyihir hebat seperti ibunya. Dia bahkan sanggup menghapus data di dunia ini secara permanen. Sebuah kemampuan yang aku sendiri tidak sanggup untuk melakukannya.

Hasratku untuk mati, telah kalah oleh rasa penasaran akan Sanelia itu sendiri. Hewanurma telah membuktikan hipotesa, bahwa sebuah kesadaran individu di dunia ini, sebenarnya bisa merasuk ke dalam entitas lainnya. Terbukti dari jiwa Umii istrinya. Selama ini Umii telah bersemayam dalam seorang entrant bernama Maria.

Jadi aku tergoda untuk mengambil alih tubuhnya. Mungkin dengan itu dimas akan berhenti mengejarku. Identitas Tamon Ruu akan menghilang secara sempurna. Lagi pula, sejak awal aku memang tak lebih dari parasit, jadi tak sulit bagiku untuk bisa merasuk ke dalam jiwanya.

Tadinya aku memang berhasil, namun lagi-lagi Dimas mengacaukan segalanya. Dia muncul di saat yang tak tepat, ketika aku berusaha untuk merebut kesadaran Sanelia. Tujuanku pada akhirnya kembali gagal terlaksana. Kini malah aku yang terjebak dalam tubuh dia.


Ronde tiga pun berlangsung…

Tanpa kehadiranku, Hewanurma kembali melanjutkan turnamen Battle of Realms. Kupikir itu tindakan yang nekat, karena [kotak] sebagai hadiah utama sedang tidak ada dalam jangkauannya.

Tapi apa yang bisa kulakukan? Selain pasrah, menyaksikan bagaimana Sanelia berjuang melawan klonnya sendiri di ruang labirin bawah tanah. Juga ketika ia berubah histeris karena diserang oleh pria yang hendak menikahinya.

Hidupnya benar-benar menyedihkan. Kurasa kami memiliki banyak sekali persamaan.

Sepak terjang Sanelia selalu dipenuhi kemalangan, termasuk dengan kemunculan Blackz di labirin bawah tanah. Rasa terkejutnya tak seberapa dibanding dengan shock yang kualami. Batinku serasa kosong kala menatap tubuh gelap itu. Tak ingin aku mempercayai pandanganku sendiri.

Entitas bayangan gelap itu seharusnya sudah lama mati. Tim Herotics sudah melenyapkannya di pertarungan terakhir di Mirror Manor. Aku menggunakan sihir terlarang, bersama Limbo kekasihku, kami mengorbankan diri demi menghentikan penciptaan Golden Realms.

Jadi kenapa dia sekarang ada di sini? Kenapa dia terlihat sehat tanpa luka?

Pertanyaanku tak bisa terjawab. Karena detik selanjutnya aku ditarik dari tubuh Sanelia. Tubuhku yang sudah termaterialisasi selanjutnya dibawa ke tempat aneh ini, ruangan gelap minim penerangan. Aku disalib tinggi selayaknya daging pengorbanan.

Pandanganku lesu, wajahku jatuh menunduk agak ke bawah, menatap sebongkah peti mati berwarna cokelat. Di sana ada sesosok gadis kecil yang sedang tertidur lelap. Batinku terenyuh, lantas berucap lirih memanggil namanya, 

"Fia…"



************************




Sementara itu di sudut lainnya dari dunia Fermion…

Hewanurma terlihat sibuk menyeka air mata yang mengalir. Wajah pria itu terlihat sumringah, seraya pandangannya terarah pada sebuah kapsul besar, tercipta dari ketiadaan. Dari dalamnya, tampak seorang perempuan berkerudung tengah terlelap dengan lengan saling menyilang.

"Umii…" ucapnya lirih. Ia berusaha menahan diri, seraya mengetikkan perintah pada papan kontrol untuk membuka pintu kapsul.

Gadis di dalam kapsul itu sejenak mengendutkan alis. Jemari kurusnya terentak kecil seraya kelopak mata itu terbuka perlahan. Berulang kali ia kerjapkan mata seraya berusaha mengumpulkan kesadaran. Pada akhirnya, ia tak bisa menyembunyikan rasa terkejut kala memandangi suaminya telah berubah tua.

"K—kak Heru?"

Sebuah pelukan diberikan Hewanurma sebagai bagian dari prosesi penyambutan. Gadis itu terkesiap, butuh waktu baginya agar bisa mencerna segala sesuatu yang sudah ia lewatkan. Namun untuk saat ini, cukuplah ia merasakan hangatnya dekapan dari suami tercinta.

Di belakang mereka berdua, terlihat keberadaan sesosok pria dengan topeng kucing di samping wajah. Senyumnya mengembang dalam tarikan mulut yang tak simetris.




****************   






Nely's Canonical : Part 2 of 3


Seorang pangeran, atau begitulah pria itu menyebut dirinya sendiri. Ia merasa terhormat karena telah menyelamatkan sosok gadis dari labirin bawah tanah, berisikan klon jahat mengancam jiwa. Dia juga berhasil membunuh seorang preman berbahaya. Wajahnya menyeringai tajam, seraya pikiran mesum di benaknya mengharap sebuah imbalan. Tak bisa ia abaikan kemolekan tubuh sang putri di hadapannya.

Akan tetapi, sosok yang ia tolong malah memberontak, menjerit keras memohon agar dilepaskan. Gadis bernama Sanelia itu berulang kali memukul lemah dada pria yang menolongnya. Bagaimanapun juga, lelaki itulah yang telah menodai dirinya berulang kali hingga membuatnya hina.

"Lepaskan..! Dimas!"

"Kenapa? Aku hendak membawamu pada ibumu," ucap pria itu.

Mendengar kata 'ibu' lantas membuat perempuan itu terkesiap, barulah ia tersadar akan niat sebenarnya, "Kau kenal dengan mama?"

Senyum kecil tercipta detik itu juga, "Tentu saja, karena aku adalah kekasihnya."

Bingung.

Raut wajah Sanelia membeku seketika. Bukan karena dia terkejut karena klaim sepihak itu, akan tetapi karena Dimas seharusnya bertanggung jawab atas janin yang sedang dikandungnya, "Kenapa?" ucapnya lirih. Dia sudah tega memerkosa dirinya, setidaknya dia harus sedikit perhatian padanya. Tak sepantasnya pria itu menambatkan hati pada perempuan lain. Terlebih setelah pria itu tega membunuh kang Asep yang sudah bersedia menikahinya.

Dimas seakan paham. Pria itu menatap sejenak wajah kemerahan berbalut kesal dari gadis yang sedang dibopongnya, "Oi oi…" Pria itu sedikit terkekeh, "Jangan bilang kalau kau menuntut tanggung jawab dariku."

Sanelia hanya membalasnya dengan tatapan berang, "Sudah sepantasnya kan?"

Dimas lantas menurunkan Sanelia, membiarkan gadis itu berdiri dengan dua kakinya, "Dengar, aku melewatkan beberapa detail oke? Aku tak tahu kalau kau itu anak dari Fia."

Sanelia kembali dibuat keheranan, ia kira hidupnya selama ini dikenal oleh banyak orang. Ternyata tidak, karena Dimas sama sekali tak mengetahui akan dirinya. Padahal keberadaan dia berfungsi sebagai penghubung dari Bumi dan Exiastgardsun.

"Ini perintah," ucap Dimas menegaskan. Raut wajah pria itu berubah. Mata mendelik kembali ia tunjukan. Pria itu lantas menjambak rambut Sanelia dengan kasar, "Rahasiakan hubunganku denganmu di hadapan Fia."

Sanelia lantas menelan ludahnya sendiri, ia tak tahu harus mengambil sikap seperti apa. Haruskah ia membeberkan fakta, bahwa dirinya hamil oleh kekasih ibunya sendiri? Tapi itu akan menambah rumit keadaan.

Rasa kesal tentu saja memuncak di hatinya. Gadis itu mengepalkan tangan sedari tadi, bersiap merapal inkantasi untuk mencelakai pria di hadapan. Tapi itu melakukan itu malah akan menambah rumit suasana, terlebih bahwa dia memegang kunci bagi keselamatan sang bunda.

"Ba.. baik.." jawab Sanelia. Ia harus menurut, hanya untuk sementara. Ia tak sudi lagi diperlakukan selayaknya budak tak berharga.

Mereka berdua lantas memasuki sebuah ruangan luas, dengan langit-langit setinggi dua puluh meter. Tempat itu terlihat gelap, hanya ada beberapa lampu LED di bawah sebuah peti mati, juga rangkaian lainnya mengelilingi altar berisikan salib.

"Mama!" Hal pertama yang Nely lakukan adalah bergegas menghampiri ibunya. Lengan gadis itu memegang erat kaca yang memisahkan mereka berdua. Peti mati itu sesungguhnya merupakan sebuah kasul cryogenic. Siapapun yang ada di dalamnya tentulah sedang tertidur pulas.

Tak jauh dari peti mati itu, Sanelia mendapati keberadaan Tamon Ruu. Gadis berambut biru itu tengah tergantung tinggi pada sebuah altar pengorbanan.

Nely tak boleh membiarkan batinnya kebingungan. Meski perempuan yang disalib itu memiliki paras menyerupai ibunya, namun sosok itu hanyalah entitas salinan, duplikat, sebuah kepalsuan.

"Ada dua cara untuk menyelamatkan ibumu," ucap Dimas. Ia lantas mengangkat jemari telunjuknya, "Satu, yakni mendapatkan emulator terakhir, atau biasa disebut dengan [kotak] laplace."

"Lalu?"

Dimas menambakan jemari tengahnya, "Dan yang kedua, mengembalikan potongan jiwa ibumu yang sudah lama hilang. Yakni Tamon Ruu itu sendiri," lanjutnya seraya terkekeh, "Yah, walau dua opsi itu sebenarnya sama saja. Karena pada akhirnya, dia akan dilenyapkan keberadaannya."

Sanelia menyilangkan lengan seraya bertopang dagu, seakan menimbang keputusan yang ada. Gadis itu lantas menatap tajam Tamon Ruu di kejauhan, "Aku setuju. Korbankan saja perempuan itu," jawabnya dingin. Ia sama sekali tak peduli dengan Tamon Ruu. Dia malah menyimpan dendam tersendiri pada panitia Battle of Realms itu.

Namun baru saja mereka mencapai sebuah kesepakatan, masa damai itu harus diganggu dengan melengkingnya suara sirine tanda bahaya. Sistem keamanan memberitahu akan munculnya penyusup di luar lab.

Buru-buru keduanya keluar dari ruangan, tanpa menyadari bahwa Fia tengah mengedutkan kelopak mata, berusaha mengumpulkan kesadaran.

Ruangan luas lainnya menyambut kedatangan mereka berdua. Sanelia agak terperangah akan ukuran gigatis dari lorong tersebut. Tempat ini bisa disebut sebagai pabrik pembuatan Jaeger, karena sosok Godzilla pun mungkin saja muat berdiri di dalamnya. Gadis itu gagal menelusuri bagian langit-langitnya.

"Blackz!" Dimas terperangah, menatap pemandangan yang tersaji di hadapan. Ia tak pernah menduga, bahwa sosok bayangan andalannya kini tengah meregang nyawa. Tubuhnya secara sadis terbelah menjadi dua bagian. Tak ada darah yang terciprat di antara keduanya, tapi jelas terlihat bahwa sosok itu kini telah menemui ajalnya.

Sisa-sisa aura kegelapan dari Blackz perlahan sirna, menyibak keberadaan seseorang dengan baju zirah di belakang sana. Pria itu memiliki rambut jabrik hingga menyentuh bahu, berwarna hitam mengkilat memantulkan cahaya, "Mongrels…" ucapnya merendahkan.

Batin Sanelia dipenuhi beragam tanda tanya. Beberapa ada yang langsung terjawab, ketika menyadari keberadaan sepasang kekasih di belakang pria tadi. Ia kenal betul dengan pria berjanggut putih itu, "Hewanurma?" Pandangannya kemudian terarahkan pada gadis berkerudung. Mungkin dia adalah Umii yang selama ini selalu dibicarakan.

"Mau apa kalian ke sini?" ucap Dimas dingin. Pria itu masih saja bertingkah tenang. Padahal Nely tahu, dia teramat shock ketika mendapati familiar terkuatnya dikalahkan begitu saja.

"Kudengar di sini ada kutu, kami hanya berniat membasminya." Pria dengan baju zirah berucap merendahkan. Ia memeriksa ujung kukunya dengan wajah bosan.

Nely tak bisa mengabaikan keberadaan pedang di genggaman tangan pria itu. Seakan terbuat dari gumpalan aura berwarna keemasan, senjata itu tak memiliki wujud yang solid. Nely tahu, pedang itu sanggup mematerialisasi dalam jeda seketika, memanjang sesuka hati, membelah apapun yang ada di jalannya.

Sementara itu Dimas terlihat mengukir senyum berbalut kesal, alisnya mengerut keras memperlihatkan urat kecil tanda jengah, "Hantam mereka…"

Pandangan Nely lantas terarah lurus ke depan, "Yes, your highness."

Dimas dan Nely terdiam sejenak. Tercipta sebuah jeda sebelum Nely akhirnya membekap mulutnya sendiri. Ia terkejut bukan main, alam bawah sadar gadis itu sepertinya masih menganggap Dimas sebagai majikan. Tak bisa ia sembunyikan rona kemerahan di pipinya.

Dimas hanya tersenyum bangga, seraya lengannya bergerak kecil, mengusap semacam batas imajiner setinggi dada. Lewat komando barusan, terciptalah sebuah dinding megah berisikan berbagai macam riak bercahaya. Dari tiap gelombang cahaya itu, muncul berbagai macam sosok berbentuk manusia. Mereka mengenakan pakaian sekolah lengkap dengan rok mini sebatas paha. Masing-masing melayang lekat pada posisinya. Beberapa dari mereka hanya muncul sebatas dada, selebihnya terbenam dalam lindungan dinding megah tak kasat mata.

"Kanmussu…" ucap Dimas  merapal inkantasi miliknya.

Pasukan perempuan itu mengarahkan tiap meriam yang tersemat di lengan maupun pinggang. Senjata itu terlihat memiliki moncong dari kapal tempur perang dunia ke dua.

Lalu tanpa ragu, hujan tembakan pun diturunkan tepat menuju kubu Hewanurma.

Sosok perempuan berkerudung di kejauhan, tanpa diduga sudah mempersiapkan langkah antisipasi, "Trace, on!" ucapnya lantang.

Sebidang dinding raksasa tercipta seketika, terbuat dari cahaya tipis berpendar dalam sinar yang temaram. Dinding itu seakan meniru apa yang dimas perbuat. Berbagai macam benda tercipta dari sana, sekilas terlihat seperti pedang dan tombak tajam dari abad pertengahan.

Gempuran tembakan tadi disambut dengan hantaman berbagai macam projektil di saat bersamaan. Hujan tembakan terdengar riuh dalam irama suara dentringan.

Pria berbaju Zirah berada di tengah lajur tembakan. Dia seakan tak peduli akan adu projektil dari dua arah berlawanan. Sampai detik ini tak ada satupun tembakan, maupun lecutan pedang bersarang padanya. Pria itu hanya menyilangkan kedua lengannya seraya mengukir senyum merendahkan.

Detik berikutnya, Sanelia terentak keras. Jantungnya berdentang hebat, menyadari semburan angin dari udara di sekitarnya. Pusaran itu tidak berasal dari hujan tembakan, melainkan dari perbuatan pria berbaju zirah. Dia melesat cepat melanggar hukum fisika, melakukan akselarasi instan memecah gaya sentrifungal.

Dimas terhenyak, dalam jeda singkat itu alarm peringatan di otaknya meraung keras. Pria itu sekuat tenaga menjejak ke samping demi menghindari sebuah ayunan pedang.

Namun terlambat, ujung tajamnya berhasil menyerempet bagian bahu. Jubah hitam yang Dimas kenakan robek dalam sabetan horizontal, termasuk dengan tercipratnya cairan merah sebagai hasil dari sayatan. Pria itu dipaksa bertekuk lutut, seraya meringis kesakitan memegangi luka.

"Dimas!" Sanelia berubah histeris. Gadis itu lantas berlari mendekap Dimas dalam lindungan dada. Jemarinya direntangkan lebar-lebar, seraya menatap garang, mempersiapkan rapalan cepat dengan suara nyaris tak terdengar, "Lic lac la lac lilac; gelida invio duratus hostem in manu tua. Benedicite glacies, spiritus volans, et tenebrae Videte vocationem et verberat inimicum. Gelida infernum !"

Sebuah gelombang kejut tercipta seketika, dengan Sanelia sebagai pusatnya. Tiap jengkal udara yang dilewati, telah diturunkan suhunya hingga minus dua ratus derajat Celsius. Perubahan itu teramat ekstrim, hingga sebongkah kunci inggris yang membeku, jatuh dari ketinggian bisa pecah berserakan seringkih es serut.

Umii di kejauhan bersikap defensif. Gadis berkerudung itu juga sepertinya memiliki kemampuan sihir abnormal, terbukti dengan munculnya sebuah lapisan pelindung terbuat dari logam berserakan. Dia seakan bisa mengontrol segala sesuatu dengan tarian khusus. Gerakan tubuhnya berputar anggun, seraya merentangkan tangan khas seorang pengguna telekinesis. Dua orang itu pada akhirnya berlindung dalam sebuah kubah dengan bagian luar yang membeku.

Lalu bagaimana dengan pria berjubah besi itu?

Dia terdiam kaku, tubuhnya membeku sesuai dengan prediksi. Lega rasanya bisa mengalahkan musuh hebat dalam sekali serang. Walau sebenarnya pemikiran itu naïf sekali.

Dan memang begitu, terlalu cepat bagi Sanelia untuk bisa bersantai. Sebab baju zirahnya telah pecah berserakan, tubuhnya merenggang menghancurkan lapisan es yang mengekang. Detik berikutnya, ia mengempas segala sesuatu dalam ledakan energi menyesakkan.

Aura berwarna emas menyembur dari lantai tempat ia berpijak. Tiupan angin itu menggoyang rambut jabriknya hingga terombang ambing di udara. Sebuah topeng berbentuk wajah kucing menempel di samping wajahnya. Ia masih saja menatap merendahkan, "Itu saja?" ucapnya dingin.

Sanelia seakan membeku, wajahnya begitu pucat pasi, mentalnya dihancurkan oleh pemandangan itu. Tadi itu merupakan sihir elemen es terkuat yang sanggup ia kerahkan. Namun pria itu seakan tak merasakan. Dia malah berjalan santai memperpendek jarak.

Dimas mendorong Sanelia yang masih saja mendekap, "Aku bisa menghadapinya sendiri," ucapnya keras kepala. Ia menarik sebuah pedang berwarna gelap dari dinding instan di belakang tubuhnya. Lalu tanpa memikirkan strategi apapun, pria itu menerjang maju menantang pertarungan jarak dekat.

Pria dengan topeng kucing hanya memutar tubuhnya dengan cepat, lalu  mengirim sebuah tendangan dengan jejakan sekuat tenaga.

Dimas yang baru saja hendak mengayunkan senjatanya, kini  malah terpental balik hingga menerpa pintu besi. Momentum lemparan itu teramat kuat, bahkan sanggup menjebol dinding hingga hancur.

Sanelia lagi-lagi dibuat histeris. Belum sempat ia melakukan sesuatu untuk menolongnya, ia harus dikagetkan dengan kemunculan Umii tepat di samping tubuhnya. Gadis itu mampu berpindah tempat tanpa melakukan rapalan. Dia tak perlu menggunakan lingkaran sihir yang mencolok. Jemarinya ditempatkan pada kepala Nely, "Maaf ya kak…"

Sanelia mendadak lunglai. Ia hilang tenaga, tergeletak lemas tak bertenaga. Anehnya ia masih memiliki kendali atas kesadarannya sendiri.

Sebuah aura kemerahan terlihat menyembul pelan dari pergelangan tangan Umii. Gadis itu jauh lebih kuat dalam hal sihir dibandingkan dengan Nely sendiri.

"Tenang kak, itu cuma bius lokal aja."












Nely's Canonical : Part 3 of 3

Di dalam ruangan…

Dimas terlempar hebat, bersamaan dengan serpihan besi yang ia hantam. Pintu masuk ruangan itu terlihat menganga. Dari sana, muncul pria dengan topeng kucing di samping wajahnya.

Fia yang baru saja mengumpulkan kesadaran, lantas dipaksa bersiaga seketika itu juga. Lewat kendali pikiran, dia mengaktifkan berbagai macam sistem pertahanan. Puluhan senapan muncul dari dinding beserta langit-langit ruangan.

Namun segala pertahanan itu tak berarti apapun di hadapan pria tadi. Lewat semacam pengendalian waktu, ia melesat cepat memotong tiap senapan yang mengacung padanya. Tak perlu dijelaskan bagaimana lihainya ia berlari menapaki dinding demi melakukan hal demikian.

"Kau tetap lincah seperti biasanya, Alduin…" ucap Fia dengan senyum getir.

Pria yang dipanggil Alduin menghela napas sejenak, "Untuk saat ini, cukup panggil aku dengan sebutan Nekoman."

"Manusia kucing? Terdengar imut untuk ukuran pria yang hidup selama ratusan millennia. Bukankah kau itu dari bangsa naga—Dovahkiin?"

Merasa tersinggung, Nekoman lantas berjalan menghampiri. Pria itu mencengkeram pinggiran peti mati tempat Fia terbaring, "Aku tak suka dihina… tolong jaga ucapanmu."

Agak gentar Fia dibuatnya. Logam baja tempat lengannya mencengkeram terlihat menekuk, meninggalkan bekas cetakan dari jemari yang berdempetan. Pria itu luar biasa kuat, Fia sadar nasibnya ada di ujung tanduk. Berulang kali ia memandangi sekeliling, berusaha mencari alternatif untuk keluar dari situasi ini.

Pandangannya berubah terkejut. Mulut gadis itu terbuka pelan, menatap sosok Tamon Ruu yang tengah di salib di tengah altar tak jauh darinya. Terakhir kali ia bangun, tak pernah sekalipun ia lihat keberadaan benda itu di sana. Sepertinya Dimas berhasil menculik panitia Battle of Realms itu ketika ia sedang berhibernasi. Tak heran kenapa Nekoman bisa datang ke sini.

Semuanya tentu saja terasa mengejutkan. Namun perempuan itu masih bisa mengendalikan diri, menahan kalut yang melanda, "Bagaimana keluargamu? Kudengar Asep saat ini sedang bertarung di Ronde ke empat turnamen Battle of Realms." Fia berusaha untuk mencairkan suasana. Dia sepertinya tahu banyak tentang hidup Nekoman.

"Persetan dengan dia. Auramandie—ibunya sendiri bahkan tak lagi peduli dengan bocah tengik itu."

"Lantas, apa tujuanmu ke sini?"

"Tujuanku? Tentu saja untuk mendapatkan apa yang kuinginkan sejak lama," Jawab Nekoman singkat.

"Memangnya apa keinginanmu?"

"Itulah masalahnya," ucap Nekoman seraya terkekeh. Ia menepuk keningnya sendiri seraya tertawa kecil menatap langit, "Aku tak tahu apa yang kuinginkan."

"Kau gila."

"Mungkin," potong Nekoman, "Hidup terlalu lama bisa membuat seseorang hilang kewarasannya. Aku yang terbelenggu oleh pusaran waktu, dengan segala hal yang ada… semuanya membosankan. Tak ada lagi yang bisa mengusir kejenuhanku. Aku bahkan membunuh istriku sendiri." Pria itu memegangi kepalanya sendiri, seakan tersiksa oleh amukan emosi yang bersirkulasi dalam batinnya, "Aku tidak tahu untuk apa aku hidup selama ini..."

Fia tak bisa memahami niat sesungguhnya, "Jadi kau ingin mati?"

Mendengar itu, Nekoman mendadak diam membisu. Ia kembali tenang tanpa alasan spesifik. Raut wajahnya terlihat serius, menatap Fia yang masih kebingungan, "Kudengar di sini ada [kotak] yang bisa mengabulkan segala macam permintaan."

"Kalau kau memang ingin mati, kenapa tidak kau coba bunuh saja dirimu sendiri? Aku mungkin bisa menolongmu."

"Mati dengan dieksekusi? Dor… klepek begitu saja?" ucapnya merendahkan, "Aku tak mau berakhir dengan cara konyol seperti itu. Gak ada Greget-nya."

"Lantas apa maumu?" Fia berubah jengah. Pembicaraan ini dari tadi terus saja berbelit-belit, "Kamu kayak cewek labil, pengen dimengerti dengan cara yang sulit untuk dipahami."

"Gunakan [kotak] itu untuk memanggil seseorang yang bisa mengalahkanku."

Fia akhirnya sadar. Pria di hadapannya ini hanyalah maniak perang yang tidak ingin mati sia-sia. Dia ingin berakhir dengan harga diri. Menurutnya, kalah dalam pertarungan merupakan akhir yang dihormati.

"Sayangnya aku tidak bisa..."

"Kenapa? Aku tidak memintamu untuk berduel denganku. Apa yang bisa dilakukan seorang MILF sepertimu?" Pikiran Nekoman lantas menyimpulkan hal lain, "Jangan-jangan kau berniat untuk menyimpannya sendiri?" Ketenangan yang ia miliki kembali hilang.

"Karena aku bukanlah pemilik dari [kotak]." Fia menatap lekat Tamon Ruu. Wajahnya berubah sendu, "Dia lah pencipta dari benda itu."

"Itu benar," ucap seseorang di belakang Nekoman. Pria beruban dengan janggut putih tampak memasuki ruangan seraya membawa seorang gadis dalam pangkuannya.

"Nely!" Raut wajah Fia berubah drastis. Naluri keibuannya aktif seketika itu juga, ia tak mempedulikan apapun selain keselamatan anaknya. Sanelia terlihat lunglai dengan mata setengah terkatup.

"Ma..ma…"

"Tak usah khawatir, dia baik-baik saja, hanya kelelahan," ucap Umii.

"Apa yang sudah kalian lakukan?" ucap Fia geram.

"Mengembalikan seorang peserta yang keluar dari arena-nya," balas Umii.

Nekoman berbalik seraya berkacak pinggang. Ia merasa diabaikan, "Oi… apa ada hal yang belum kalian ceritakan?"

Hewanurma mengangguk pelan, "Mohon maaf, karena kupikir penjelasan ini akan menjadi monolog wall of text yang membosankan."

"Aku tak peduli." Nekoman menunggu penjelasan.

Hewanurma lantas menghela napas sejenak, "Kotak Laplace itu adalah Tamon Ruu itu sendiri. [Kotak] itu belum bisa digunakan karena belum cukup energi untuk disalurkan ke dalamnya."

"Energi apa yang kalian butuhkan?" Nekoman tergelitik  mendengarnya. Dia sebagai penguasa galaksi, tentu memiliki gudang pengetahuan yang bisa menjawab segala macam pertanyaan.

"Energi ruh, atau jiwa dari orang-orang dengan kemampuan spiritual tinggi," jawab Hewanurma singkat.

Nekoman paham detik itu juga, "Sebuah upacara pengorbanan," ucapnya pelan, "Jadi turnamen Battle of Realms yang kau adakan itu ternyata tak lebih dari sebuah penipuan. Siapapun yang kalah atau mati dalam pertarungan, maka jiwanya akan dijadikan bahan bakar demi mengisi Kotak Laplace." Mulutnya lantas menyeringai tajam, "Kau jahat… tapi aku suka itu."

"Kak Hewan…" Umii berucap ragu, seakan tak setuju dengan metode yang diumbar suaminya barusan. Terlihat dari gesturnya yang goyah mengepalkan jemarinya. Gadis itu berusaha menenangkan pertentangan batin.

"Jadi… Asep, Alayne, Maria… semua yang meninggal itu tidak kau kembalikan ke dunia masing-masing?" Nely berubah pilu, dia meratap dengan air mata mengalir pelan, "Kau sudah membohongiku." Ingin rasanya Nely menggerakan lengan untuk menampar pria itu. Namun apa daya, efek sihir pembiusan dari Umii sama sekali tak memberinya kesempatan untuk melakukan apapun.

"Itulah kenapa aku tak pernah setuju denganmu. Sejak awal kita masuk ke dunia Fermion, aku sudah bisa mencium gelagatmu." Dimas berhasil mengumpulkan kesadaran. Pria itu terduduk lemas menyandar pada dinding ruangan, "Kau menginginkan semuanya untuk dirimu sendiri. Kau bahkan tak segan memperalat Tamon Ruu."

Pria itu hendak bangkit untuk kembali memberikan perlawanan. Namun niatnya dihalangi dengan kemunculan beragam pedang, melayang rapi siap menghujam di hadapan.

Umii dengan sigap melakukan pengamanan.

"Jadi, singkatnya kunci untuk Kotak Laplace adalah Tamon Ruu yang ada di sana?" Nekoman menunjuk pada gadis yang tengah disalib.

Hewanurma mengangguk pelan.

Tak butuh sedetik bagi Nekoman untuk melesat cepat, membebaskan Tamon Ruu, lalu kembali ke tempat dia berasal. Gadis itu dibawa selayaknya anak kecil membawa boneka. Tubuh Tamon Ruu dibiarkan terkulai lemas, sementara pria itu hanya membopong pinggulnya dengan satu tangan saja.

Raut wajah Fia berubah tegang, terlebih ketika Nekoman secara dingin menatap matanya,

"Jadi, kenapa kau masih di sini?"

Retina biru di pandangan Fia terlihat memantulkan ayunan pedang. Ia tak bisa melakukan apapun untuk menghindari serangan. Senjata itu berubah solid, lalu menancap tepat di bagian jantung. Tulang rusuk gadis itu hancur, organ dalamnya robek seiring dengan lebar senjata yang merasuk dalam.

Mulutnya terbatuk, banjir oleh darah. Pandangan gadis itu terbelalak hebat, tak percaya dengan apa yang terjadi padanya.

Dimas berubah kalap, "FIIIAAA..!!"

Reaksi yang sama tak jauh berbeda dengan Sanelia. Gadis itu berubah histeris, seraya pikirannya meronta berusaha mengambil kendali atas tubuhnya sendiri. Lengannya perlahan terangkat, berusaha menggapai ibunya yang tengah merenggang nyawa.

"MAMA!" sebuah teriakan berhasil ia lontarkan. Berikutnya, semburan energi Manna meledak hebat dari sekujur tubuh. Amarahnya memuncak seketika itu juga, ia tak bisa menerima apa yang ada di hadapan.

Hewanurma sontak menjatuhkan gadis itu, ia mengambil beberapa langkah untuk menjauh.

Sihir pembiusan berhasil Nely tangkal. Gadis itu kini berdiri tegap dengan lengan terkepal.

Mendapati hal itu, Nekoman berubah sumringah, "Luar biasa, baru kali ini kulihat ada orang sanggup mengeluarkan kekuatan seperti itu." Ia lantas mencabut pedang yang menancap di tubuh Fia. Perhatiannya tertuju pada Sembilan lingkaran sihir yang berputar cepat di belakang tubuh Sanelia. Langkah Nekoman terayun cepat, mengambil momentum untuk melakukan pre-emptive strike.

"Thundaga," ucap Sanelia pelan. Pandangannya begitu tajam menyayat. Lewat jemari yang menunjuk, ia memerintahkan beragam lingkaran sihir, untuk segera memuntahkan serangan berelemen listrik.

Tak ayal, dentuman suara petir terdengar nyaring sesaat kemudian. Hewanurma dan Umii bahkan harus menutup telinga, karena suara memekakkan itu tak berhenti sampai di sana.

Jika dilihat dalam gerak lambat, sesungguhnya terdapat ratusan percikan listrik dalam rentetan teratur di tiap putaran. Mirip seperti teknik lontaran senapan gatling. Bedanya, projektil ini terbuat dari plasma panas, sanggup melelehkan logam.

Menyerang dengan serangkaian tembakan petir, lantas tak bisa menghentikan amarah Sanelia begitu saja. Ia tak memberikan jeda bagi Nekoman untuk mengantisipasi langkah selanjutnya. Lengan pria itu tampak menghitam dipanggang oleh sengatan listrik.

"Flare" ucap Nely pelan. Sedari tadi dia sudah mengucap sebagian besar enchantment dalam gumaman kecil.

Beragam bola api tercipta mengelilingi tubuh Nekoman, masing-masing bergerak cepat menempelkan diri pada pria itu. Hasilnya tentu bisa ditebak, bara api itu melumat habis tiap senti permukaan tubuh hingga matang. Pria itu ambruk dengan wajah kosong serta mulut menganga.

Tak sedikitpun rasa puas tersirat di wajah Sanelia. Gadis itu lantas bergegas menghampiri ibunya.

Namun terlambat, perempuan itu sudah terbaring damai dengan kelopak mata tertutup rapat.

"Mama..?" Sanelia berusaha menepuk pipi ibunya. Butuh waktu beberapa saat, hingga akhirnya gadis itu sadar, bahwa sosok itu telah pergi untuk yang kedua kalinya.

Pandangannya melebar tak percaya. Tiap napas terasa sesak sekali, lebih menyakitkan dari pada seorang terpidana mati yang dilindas truk hidup-hidup. Seluruh tubuhnya bergetar, tak ada yang bisa memahami duka yang ia rasakan. Detik berikutnya, lengkingan tinggi lantas terdengar mengikuti. Sanelia menjerit pilu menumpahkan seluruh luapan emosi. Ia tak kuasa menerima kenyataan.

Dimas di lain pihak, sama tak terimanya dengan kejadian barusan. "Bangsat," umpatnya dengan pandangan berapi-api. Setetes air mata bahkan tersirat di penghujung pandangannya. Amarahnya kali ini ia tunjukkan pada Heru dan Umii. Ratusan gelombang cahaya temaram tercipta di belakangnya. Masing-masing mengeluarkan sepucuk senjata dengan daya peledak tinggi. Ada RPG, MANPADS, hingga Bazooka.

"Sudah kubilang, jangan bergerak, kak…" Umii berucap lirih. Ia menggerakan jemarinya, mengkomando rangkaian pedang yang mengelilingi Dimas.

Belum sempat Dimas menembakkan seluruh arsenalnya, pria itu dipaksa meraung keras menahan nyeri di tangan dan kaki. Lecutan pedang dari Umii menghujam tubuhnya, menembus hingga ke dinding. Pria itu dipaku kokoh hingga lemas tak berdaya.

Baru kali ini Dimas merasa begitu lemah. Harga dirinya lebur diinjak hingga tak bersisa.

Sementara Nely masih berduka. Gadis itu tak sadar, bahwa di belakangnya tengah terbentuk sebuah gumpalan asap berwarna keemasan. Aura itu hanyalah selubung, bagi proses regenerasi Nekoman. Pria itu pada akhirnya kembali bangkit tanpa luka.

"Tadi itu sakit sekali, sudah lama rasanya aku tak pernah merasakan dihajar seperti itu."

Nely hanya bisa terkesiap, ia masih shock hingga tak sanggup untuk melakukan antisipasi. Nekoman tampak sudah mengayunkan pedang, hendak  mencelakai.

"Kau memiliki Manna dalam jumlah luar biasa, kematianmu akan menjadi katalis hebat bagi kotak Laplace."

Berakhir sudah, begitu pikir Sanelia. Ia hanya bisa memejamkan mata, bersiap menerima kematiannya.

Namun sebuah cahaya berpendar terik hingga menciptakan dentuman dahsyat. Ayunan pedang Nekoman dipaksa terpental ke arah berlawanan. Pria itu bingung.

Sama halnya dengan Nely, karena ia tak merasa menciptakan lapisan apapun untuk melindungi diri.

"Tunggu dulu tuan," ucap Heru menengahi, "Sanelia masih terikat kontrak dengan Battle of Realms. Kehendak [kotak] telah menghalanginya untuk disakiti oleh siapapun di luar ketentuan pertarungan."

"Jadi aku tak bisa bertarung dengannya?"

Hewanurma menjawab dengan sebuah anggukan. "Hanya sesama peserta yang bisa membunuhnya, atau ketentuan lain dalam sebuah arena pertarungan."

Nekoman mendengus kecil, sementara itu Hewanurma berjalan menghampiri jasad Fia.

"Tunggu, mau apa kau!?" Nely sontak bergerak untuk mencegah. Namun niatnya ditahan oleh gedebum besar di seliling dirinya. Gadis itu terperangah, menatap kurungan besi tercipta dari potongan baja pada dinding ruangan.

Pelakunya pastilah Umii. Gadis itu memang memiliki kemampuan telekinesis yang mengagumkan. Terlihat dari pandangannya yang tajam, tengah berkonsentrasi dengan dua tangan terangkat sebatas dada.

"Bicara tentang katalis…" ucap Hewanurma. Pria itu melanjutkan niatnya yang terhenti. Lengannya menyentuh jasad Fia, "Perempuan ini bisa menjadi katalis paling hebat bagi [kotak] itu sendiri."

Sanelia terperanjat, sekuat tenaga ia cengkeram jeruji besi yang mengurung dirinya. Ia tak bisa mengeluarkan manna entah kenapa, Umii pasti melakukan sesuatu padanya. "Mama!" Wajah histerisnya menatap panik tubuh Fia yang tengah diubah menjadi segumpal data.

Hewanurma memasang wajah dingin, menatap ragam bilangan biner di telapak tangannya. Mulutnya berbisik pelan, nyaris tak bisa didengar oleh siapapun, "Maafkan aku… hanya ini yang bisa kuperbuat untuk menolongmu."

Nekoman tersenyum puas. Pria itu meyaksikan Hewanurma menempelkan data tadi pada tubuh Tamon Ruu yang tergeletak di sampingnya.

Cahaya temaram tercipta di sana, menyelubungi tubuh Tamon Ruu dengan fisik menyerupai Fia sendiri. Perlahan ia membuka matanya, lalu berdiri seraya memandangi pergelangan tangannya sendiri.

"Bagaimana perasaanmu?" ucap Hewanurma.

Tamon Ruu menjawab dengan sebuah gelengan kecil, "Aku tak tahu… Banyak sekali ingatan yang bercampur di dalam pikiranku. Aku bukanlah Fia, maupun Tamon Ruu…"

"Kau adalah [kotak]." Hewanurma menegaskan fungsi dan tujuan hidup Tamon Ruu.

Perempuan itu secara mengejutkan menjawab dengan sebuah anggukan, "Aku… adalah [kotak]," ucapnya membeo.

Hewanurma lantas menoleh ke arah Nekoman, "Sekarang, Hadiah utama sudah jatuh kembali ke tangan kita. Panitia akhirnya bisa melanjutkan turnamen ini."

"Lakukan sesukamu," ucap Nekoman. Dia berubah jengah, karena menurutnya kegiatan datang ke tempat ini terasa amat membosankan.

Mereka pun beranjak dari sana. Sanelia sendiri dibawa lewat kurungan melayang di bawah kendali Umii.

"Tunggu, mama! Itu kau? Kau masih hidup?" ucap Sanelia meyakinkan.

Namun perempuan yang dituju hanya menatapnya dengan pandangan kosong, "Nel…" Seakan tak memiliki kendali atas tubuhnya sendiri, ia hanya berjalan mengikuti ke mana mereka pergi.

Ruangan itu kosong, sunyi mengikuti. Dimas hanya mengumpat kecil seraya tubuhnya dipancang pada tembok.

"Bangsat…"









===============================================================



Round 5

Chapter 1 : Nely – Mima – Kai


Aku tak habis pikir, "Apa sebenarnya tujuan utamamu?" Pandanganku tertuju pada Hewanurma.

Pria itu tak sedikitpun menoleh. Dia malah sibuk mengotak atik panel kontrol di hadapannya, "Kau sebaiknya fokus pada pertarunganmu."

Emosiku kembali memuncak, "Aku tak sudi harus membunuh lagi demi turnamen konyol ini."

"Kalau begitu, kau bisa mengucapkan salam perpisahan pada kesempatan untuk menyelamatkan ibumu," jawabnya dingin.

Aku hanya bisa terperangah, "Maksudnya?"

"Membunuh atau dibunuh, itulah peraturan dasar turnamen ini. Jika kau tak bersedia menaatinya, kau boleh membiarkan dirimu dilenyapkan peserta lain. Tapi itu berarti kau tak akan pernah bisa melihat ibumu kembali. Karena bagaimanapun," ucapannya sedikit terpotong. Pria itu sesekali menoleh ke arah lain, seakan berusaha memastikan keamanan, "…Ibumu adalah hadiah utama untuk turnamen ini. Lebih tepatnya, [kotak] dalam dirinya lah alat utama untuk mengabulkan berbagai macam keinginan."

"Dan mengorbankan peserta lainnya sebagai bahan bakar bagi kotak itu?" ucapku berang, "Aku menolak."

"Lakukan sesukamu," ucapnya tak acuh. Ia menekan tombol terakhir, diikuti dengan kemunculan seberkas cahaya temaram di lantai tempatku berpijak. Sepertinya aku akan dikirim ke suatu tempat.

"Kau akan menyesal," ucapku dengan nada mengancam.

Pria itu tak membalas tatapanku. Dia malah memasang wajah mendung seraya mengalihkan pandangan ke arah lain.


Kali ini aku berada di sebuah cekungan besar. Rembulan di langit telah menyinari sebagian besar dataran kosong terdiri dari bebatuan. Aku merasa familiar dengan lanskap ini.

"Ini… Alforea?" ucapku menebak. Kutajamkan pandangan ini, seraya berusaha untuk mengenali garis pantai yang terlihat di batas cakrawala. Suara deburan ombak terdengar dari kejauhan.

Benar, ini Alforea. Daratan yang kuhancurkan beberapa waktu lalu. Lenganku terkepal ketika memikirkan hal itu. Rasa bersalahku tak akan pernah sirna tak peduli berapa waktu telah berlalu.

Lima orang lainnya muncul lewat portal di belakangku. Masing-masing memasang wajah kebingungan, begitu kompak satu sama lain

"Mongrels…" Sesosok pria dengan kulit merah mencolok berucap lantang memecah kebingungan. Dia berdiri angkuh seraya melipat kedua tangan. Kudapati sepasang tanduk tersemat di dahinya.

Apa dia itu setan?

"Kemarin makhluk hitam sekarang merah, besok apa lagi, biru?" Seorang perempuan di sampingku berkomentar dengan nada lesu. Pandangan kami berdua lantas bertemu, dan dia berlanjut dengan berucap, "Oh… ada rambut biru."

Sementara itu pria merah-merah tadi lanjut berucap, "Aku malas menjelaskan panjang lebar, jadi akan kukatakan langsung to the point. Aku baru saja mendapat perintah untuk mengatur jalannya turnamen di ronde ini,"

"Wait, what? Jadi nyungsep ke bawah tanah itu juga bagian dari turnamen?" Pria berambut kribo melayangkan sebuah protes. Logikanya berjalan lebih peka dari peserta lain.

"Jadi sebenarnya kalian ini siapa? Dan apa sebenarnya tujuan kami bertarung di turnamen ini?" Perempuan yang mengomentariku 'biru' tadi bertanya dengan nada  jengah.

Tak ada jawaban dari makhluk merah itu.

Hanya aku yang tahu kebenaran dari turnamen ini. Dan sudah menjadi kewajibanku untuk menyadarkan peserta lainnya, "Aku tahu rencana kalian yang sesungguhnya. Dan aku menolak," ucapku tegas.

Perhatian semua orang lantas tertuju padaku. Aku bisa melakukan ini. Aku harus meyakinkan semuanya agar memboikot turnamen konyol ini, "Kita semua diiming-imingi [kotak] yang dapat mengabulkan segala macam keinginan. Sementara banyak dari peserta yang meninggal dalam perjalanan. Bagaimana nasib mereka  menurut kalian?"

"Uhmmm… dikembalikan ke dunia masing-masing?" Seorang pemuda dengan bantal dan guling berucap demikian seraya mengacungkan tangannya.

Aku membalasnya dengan gelengan di kepala, "Tidak, mereka semua dijadikan bahan bakar sebagai energi bagi [kotak] itu sendiri. Kalian yang kalah akan menemui akhir mengerikan, dijadikan pengorbanan."

Sosok merah di kejauhan lantas tersenyum angkuh, "Lantas kenapa? Kalian mau melawanku? Aku tidak berminat untuk itu." Ia sama sekali tak bersiaga, walau enam peserta di hadapannya melayangkan tatapan curiga, "Yang jelas, kalian harus terus bertarung hingga hanya tersisa satu orang." Ia angkat tangannya ke udara. Lalu dalam sekejap mata, dua portal berwarna kemerahan muncul di hadapan para peserta.

"Bagaimana kalau kami menolak?" Bunda mawar berusaha menyela.

"Kalau begitu kupaksa kalian masuk." Sosok merah menjentikan jarinya. Seketika itu pula tubuhku tertarik hebat, hingga menghisap masuk tanpa memberikan sedikitpun perlawanan.








Chapter 2 : Nely <– Mima <–> Kai

Panas…

Tempat ini terasa panas sekali. Bulir keringat bahkan terbentuk di keningku.

Ringkikan kuda terdengar menggema di tengah suara gemuruh. Pandanganku menengadah menatap langit kemerahan. Tak ada awan di sana, hanya sebuah latar menyala memantulkan bara.

Getaran kecil terasa jelas di kakiku. Bebatuan jatuh dari posisinya, susunan bangunan ini mengingatkanku pada semacam candi abad pertengahan. Hanya saja, bentuk sesungguhnya tak lebih dari sebuah stadium purba. Aku berdiri di tempat yang biasa disebut dengan tribun penonton. Di bawah sana, terdapat sumber suara dari ringkikan tadi.

"Kuda?" ucapku meyakinkan diri. Bentuknya memang mirip kuda. Hanya saja ukurannya begitu gigatis, nyaris setinggi gedung tiga lantai. Ia tertahan di sana, dikurung oleh semacam rantai terbuat dari aura, mencengkeram seluruh pergerakannya. Tak peduli bagaimana dia meronta, suara gedebum dari pijakan hanyalah satu-satunya hasil yang tercipta.

Aku lantas dihadapkan pada kemunculan dua orang entah dari mana. Pendaran sinar temaram menjadi pertanda akan proses teleportasi. Batinku sudah bisa menebak, merekalah musuh di ronde kali ini.

"Hoo… panitia iseng sekali, mempertemukan ketiga peserta yang hendak saling bacok di tempat berdekatan seperti ini," tukas seorang pria. Rambutnya berwarna putih, dengan ukiran senyum tak simetris di wajah.

Sosok lainnya, perempuan berambut pendek berwarna hitam mengkilat memandangiku sejenak. Dia perempuan yang sebelumnya memanggilku dengan 'rambut biru'. Pandangannya melekat padaku seakan berusaha memahamiku, "Ada yang ingin kau sampaikan?" ucapnya datar.

"Ah…" seakan tersadar dari lamunan. Aku lantas berusaha untuk menguasai diri, menyusun kata-kata untuk memulai penjelasan, "Kita tak perlu saling  membunuh." Aku mengawali sesi negosiasi.

"Kau masih ingin meneruskan omong kosong soal pengorbanan itu?" ucap pria berambut putih.

Agak tersinggung aku mendengarnya, "Itu bukan omong kosong, aku mendengar langsung dari Hewanurma sendiri. Kita semua sudah dijebak oleh turnamen konyol ini."

"Terus?" pria itu menyilangkan lengan, seakan tak bergairah dengan pembicaraan ini.

Aku tentu saja kehabisan kata-kata, "A-apa kalian tidak keberatan diperlakukan demikian? Dijadikan objek dalam kegiatan selayaknya sambung ayam?"

Dua orang di hadapanku saling bertukar pandang. Wanita berambut pendek lantas berucap pelan, "Terkadang, butuh sebuah pengorbanan untuk mendapatkan apa yang kita inginkan. Aku tak keberatan dengan acara saling bunuh ini, selama aku bisa mencapai tujuanku."

Kesadaranku seakan tertarik ke belakang. Aku terkesiap, dua orang ini tak bisa disadarkan sama sekali. Wajahku saat ini mungkin terlihat pucat pasi, "Kalian… tidak keberatan andai kalian kalah, lantas dijadikan semacam energi, bahan bakar untuk [kotak] itu sendiri?"

"Selalu ada resiko untuk setiap keputusan." Wanita itu memotong ucapanku.

Tanpa sadar aku mengambil langkah untuk mundur. Sepertinya tak ada pilihan lain bagiku untuk melawan mereka. Haruskah aku membunuh lagi?

"Oh iya, namaku Mima." Wanita itu mengalihkan pandangan pada pria di sampingnya, "Meski kita musuh, setidaknya kita harus saling mengetahui nama satu sama lain."

Sosok itu mendecakkan lidah, seakan tak sudi untuk mengenalkan diri, "Kai…" ucapnya malas.

Dua orang itu lantas mengalihkan pandangan tepat menuju diriku.

"Ne—Nely…" ucapku terbata, "Panggil aku Nely…"

"Jadi? Bisa kita mulai sekarang?" ucap Kai jengah.

Aku menggelengkan wajah. Aku tak menginginkan ini. Dua orang ini tak kukenal sama sekali, tapi mereka sudah sampai sejauh ini. Jadi kemampuan mereka pasti jauh melebihi manusia normal. Tubuhku berbalik, lantas berlari secepatnya untuk menyelamatkan diri. Telingaku sekilas tadi mendengar ucapan mereka berdua.

"Kau tertarik membunuhnya?"

"Tidak, silakan berburu terlebih dahulu. Aku ingin melihat dua cewek berantem satu sama lain."

Selebihnya aku tak tahu, karena langkahku sibuk menuruni tangga.

Di sini minim penerangan. Segala sesuatu mungkin terlihat gelap di mata mereka. Tapi tidak denganku, aku bisa melihat lebih baik. Tubuhku bisa menyelinap, mengambil tempat untuk bersembunyi, lalu berhenti untuk mengambil napas. Kusandarkan punggungku pada tumpukan batu membentuk tiang. Kotoran dari tanah yang berlapuk lantas menempel di baju.

"I found you…" ucap Mima pelan. Jelas saja membuat bulu kuduk ini berdiri seketika.

Bagaimana tidak, dia begitu saja muncul di sampingku, tanpa menimbulkan suara langkah, maupun hawa apapun yang bisa dideteksi.

Aku sontak saja menjerit ketakutan. Tubuh ini merespon dengan berlari terbirit-birit. Dia bahkan tak merepotkan diri untuk mengejar, seakan merendahkan— begitu meremehkan kemampuanku.

Jarak kami kini lumayan jauh, aku lantas bebalik demi mempersiapkan rapalan sihir, "Lic lac la lac lilac; Hasta glaciali et interfice me inimice mee formant." Pendaran lingkaran sihir tercipta di lantai tempatku berpijak, menerangi lingkup sekelilingku yang gelap gulita. Lenganku terangkat sebatas bahu, seakan memberi komando pada puluhan tombak es membeku. Masing-masing tercipta dari ketiadaan, melayang dengan ujung tajam mengunci target.

Tanpa memberikan jeda, kukirim saja puluhan benda runcing itu. Jumlah yang banyak menjadikan serangan itu layaknya hujan vertikal. Wanita itu akan mati tertusuk tanpa sempat menghindar.

Namun aku salah. Pergerakan mima begitu lincah. Dia menjejak lantai demi berpindah lajur, begitu mantap berkelit dari tiap hantaman. Gerakannya gesit, meliuk seraya melakukan handspring melontarkan diri melepas pijakan.

Dalam jeda waktu itu, aku melakukan sesuatu demi mencegah dia semakin memperpendek jarak. Mulutku bergerak cepat merapal enchantment lain, "Globos ignis aemulatio… Flare!"

Sebidang api berbentuk bundar tercipta di sebelah kanan Mima, diikuti dengan kemunculan belasan lainnya di sekeliling wanita itu. Masing-masing melayang mengikuti pergerakan, menguntit tak bisa dilepaskan. Sihir ini yang membakar habis Nekoman. Sudah kupastikan dia tak akan selamat.

Lengan Mima bergerak cepat menarik sebuah  benda dari samping pahanya. Sebuah baton, atau tongkat besi memanjang seketika. Lewat benda itu, ia menangkis tiap bola dalam gerakan presisi. Ayunan senjatanya memupus habis tiap api, seakan sanggup menyerap energi.

Batinku berubah panik, dia memiliki senjata untuk  menangkal sihir. Lantas dengan apa lagi aku harus melawan?

Petir!

Dia tak akan bisa menghindari kecepatan gerak dari listrik. Sementara dia sudah berada dua meter dari hadapanku, aku hanya bisa merapal mantra pendek dalam waktu yang sempit, "Formidabiles Fulmen!"

Aliran listrik tercipta seketika, dalam wujud bangun ruang berbentuk bundar. Diameternya cukup melindungi walau lenganku direntangkan lebar.

Baton logam darinya tentu menyerap tirai listrik yang melindungi. Tapi apa tubuhnya sanggup menahan daya kejut dari sengatan sebesar tiga ratus volt? Kulihat pergerakannya terhenti, terentak berulangkali sebagai respon dari serangan elektrik.

Sempat kukira ini cara yang efektif, kalau saja Mima tidak bisa cepat menguasai diri, lantas melayangkan sebuah pukulan tepat menuju pipi.

Tirai listrik itu terhenti seketika. Aku kehilangan fokus, pandanganku berubah gelap. Keseimbanganku hilang hingga jatuh menubruk lantai. Aku nyaris tak sadarkan diri.

Detik berikutnya, kudapati ujung dari sebuah pistol sudah teracung tepat di hadapan wajah. Niat untuk kembali bangkit terhenti hingga di sana.

"Ada perkataan terakhir?" ucapnya sinis. Kulihat jemarinya sudah gatal untuk menekan pelatuk, siap untuk mengeksekusi.

Tubuhku bergidik seketika, dihadapkan pada algojo seperti ini tentu tak pernah sekalipun terlintas dalam benak. Pandanganku berubah buram, air mata mengalir begitu saja. Lidahku berubah kelu, aku tak tahu harus berbicara apa. Aku tak mau mati begitu saja, "Tu-tunggu dulu," ucapku panik.

Dalam langkah frustasi, kutepis ujung pistol itu sekuat tenaga dengan lengan kiri. Sementara itu kupusatkan manna pada lengan kanan, demi melayangkan pukulan.

Suara gedebuk terdengar kecil, kala bogemku menubruk vest anti peluru yang ia kenakan. Aku tak sadar apa yang kulakukan barusan, tapi nampaknya hal itu berhasil mengirim Mima terguling hingga hilang keseimbangan. Dia mungkin tak menyangka aku bisa melayangkan serangan.

Rasa mual menyerang seketika. Lambung ini seperti diremas erat. Aku sontak melindungi mulut seraya berusaha mengeluarkan isi perut.

Kenapa morning sickness ini datang di saat yang tidak tepat?

Mima perlahan bangkit, tapi ia tak menunjukkan niat bertarung. Entah kenapa wanita itu malah memperhatikanku.

Aku bertekuk lutut, menopang beban tubuh dengan kedua tangan menapaki lantai. Ulu hatiku seperti tertohok, membuatku muntah walau tak ada yang keluar dari kerongkongan.

Kusadari raut wajah Mima berubah iba. Dia menurunkan senjatanya, seraya  berusaha menyelidik, "Kau… sedang hamil?"

Aku tak menjawabnya. Rasa mual ini sudah cukup membuatku menderita, hingga setetes air terkumpul di penghujung mata.

Mima lantas terduduk jatuh, seraya menyandarkan punggung tak jauh dariku. Dia menyodorkan secarik sapu tangan ke arahku.

Kenapa? Apa maksudnya? Agak ragu aku menerima benda itu. Tapi kurasakan hawa permusuhan darinya kini lenyap tak bersisa.

"Aku tak ingin melawan wanita sepertimu. Aku tahu betapa beratnya perjuangan seorang ibu hamil."

Dia menaruh belas kasihan padaku? Mungkin tidak apa-apa jika aku memberanikan diri memulai pembicaraan dengannya, "Mima sudah punya anak?"

Dia hanya menjawabnya dengan senyum simpul. Pandangannya begitu kosong, seakan menerawang jauh menuju kenangan terdalam.

Ulu hatiku seakan tertohok kembali, rasa mual ini semakin menjadi. Lenganku bahkan sampai bergetar karenanya.

"Kalau saja ada air hangat, kau bisa meminumnya agar bisa merasa lebih enak." Mima memijat tengkuk leherku, seraya aku berusaha memuntahkan isi perut.

"Te-terima kasih…" ucapku seraya mengelap bibir. Dia bukanlah orang jahat.

Mima kini memasang wajah teduh penuh perhatian, "Kau harus bersiap-siap, bulan ke lima dan seterusnya itu baru perjuangan yang sesungguhnya."

Agak terkejut aku mendengar itu. Menit berikutnya, aku bertanya banyak seputar kehamilan padanya. Pembicaraan pun mengalir hingga menjurus ke hal yang bersifat pribadi. Mima tak bisa menyembunyikan raut wajah sumringah kala menceritakan dua anaknya, Orlick serta Philia. Orlick itu anak jenius, dia bahkan hendak mengikuti Olimpiade. Selain itu ada kakaknya yang over posesif. Kehidupan keluarga Mima terasa unik, karena selain menjalani rumah tangga, dia juga ternyata seorang prajurit professional yang masih aktif di bidangnya. Aku seakan lupa bahwa ada pertarungan yang harus dijalankan. Tak terlintas sedikitpun dalam benak bahwa kami sejatinya harus bermusuhan.

Sayangnya, masa sharing itu harus berhenti seiring dengan kemunculan Kai. Dia terlihat menyilangkan kedua lengannya dengan wajah suntuk. "Nyaris sejam berlalu, tapi tak ada ledakan maupun tanda-tanda pertarungan. Kukira kalian berdua mati bersama, tapi rupanya malah asyik bercengkerama."

"Ada masalah?" Mima menjawab dengan wajah dingin. Wanita itu lantas beranjak dari tempatnya.

Tak boleh aku lengah, aku juga harus bersiaga. Rasa mual tadi sudah menghilang berkat Mima. Jadi, andai pertarungan ini harus dijalankan, aku sudah siap untuk segala kemungkinan.

Mima melangkah maju. Lengannya diangkat sebatas bahu, memberikan komando padaku untuk tetap berada di belakangnya. Kurasa dia berniat untuk melindungiku. Jelas sudah kami sudah berada dalam satu kubu.

"Kalian mau berkomplot untuk melawanku?" Kai tersenyum sinis, seakan ditantang oleh gestur dua wanita di hadapannya. Tanpa ada aba-aba, dia mendadak memunculkan diri, tepat di hadapan Mima. Pria itu rupanya menguasai kemampuan teleportasi.

Dikejutkan seperti itu, sontak saja memacu insting Mima sebagai seorang prajurit. Kulihat dia mencabut pistol yang tersemat di kedua paha, lalu tanpa ragu ia tembak saja sosok yang dirasa mengancam dirinya.

Sayangnya peluru itu hanya menerjang udara kosong. Kai sebagai target utama lagi-lagi berpindah tanpa bisa diduga. Lima kali mima melepaskan tembakan, semuanya mampu dihindari tanpa sedikitpun usaha. Kai sama sekali tak memerintahkan tubuhnya untuk bergerak. Ia hanya meloncat melewati ruang, melakukan perpindahan secara instan.

Suara kokangan, terdengar sebagai pengumuman skak mat. Kai terlihat menodongkan ujung pistol miliknya pada belakang kepala Mima. Pria itu mengukir senyum meremehkan, "Sudah kuduga, pertarungan ini akan berakhir cepat… amat  membosankan."

Aku tak boleh membiarkan Mima terbunuh. Dia sudah berbaik hati padaku. Kusadari masih ada beberapa tombak es yang belum hancur di pertarungan sebelumnya. Lewat kendali pikiran, kugerakkan saja sisa senjata itu untuk bergerak naik, berputar haluan, lalu melecut hendak menusuk Kai.

Tatapan tajam kudapatkan sebagai balasan. Kai menoleh sejenak sebelum akhirnya sanggup membelokkan serangan.

Lajur dari tombak es, entah kenapa terpantul tanpa mengalami penurunan kecepatan.

Mendapati sang lawan teralihkan perhatiannya, Mima lantas berbalik cepat sambil mengayunkan sikunya. Dia menepis pistol yang mengancam, seraya mengambil momentum bagi lengan satunya lagi demi melayangkan sebuah pukulan.         

Tinju itu telak menghantam di bagian dagu kai. Pria itu tak bisa menyembunyikan rasa terkejut ketika dihadapkan pada rangkaian kombo tendangan dan pukulan. Tubuh Mima seakan menari dalam gerakan berputar. Akan tetapi di tiap rotasinya, entah lengan maupun kaki pasti akan terayun melancarkan serangan.

Tapi ada yang janggal. Kai tentunya tak selemah ini. Meski matanya terbelalak tak percaya, tapi sekilas tadi aku memergoki ukiran senyum kecil di sana. Dia tak terdesak sama sekali, malah merasa bersemangat menghadapi Mima. Orang seperti itu jelaslah tak bisa diremehkan.

Maka kurapal inkantasi lainnya, bersiap untuk melakukan sihir perpindahan ruangan. Aku mungkin tak bisa berteleportasi secepat Kai, oleh karenanya kupersiapkan sihir satu ini dalam rapalan tertunda. Lingkaran sihir yang seharusnya tercipta, kini berpendar temaram di genggaman tangan dalam wujud aura. Aku harus melakukan ini di saat yang tak pernah ia duga.

Mima terlihat berang, serangannya hanya telak mengenai dua kali saja. Dalam tarian bela diri itu, sesungguhnya Kai berhasil menghindar tanpa mengeluarkan keringat. Mima hanya berusaha mengejar sebuah bayangan.

Kai kembali menggunakan dua pistol kembar. Dia seakan tak menganggapku sebagai ancaman, terlebih ketika menunjukkan punggungnya tepat di hadapanku. Mungkin saja itu keputusan yang benar, karena sejatinya Mima memang lawan yang patut untuk ditakuti. Kulihat Kai berulangkali menekan pelatuk pistol untuk menembak, tapi tak satu pun peluru berhasil bersarang di tubuh Mima. Wanita itu begitu lincah meliukan tubuh, melakukan gerakan salto, lalu menerjang balik. Dia seakan bisa membaca pergerakan tiap peluru.

Ayunan Baton Mima nyaris saja menghantam dagu Kai. Kalau saja pria itu tidak berucap, "Skak Mat," seraya menggerakan lengan, memerintahkan tiap peluru yang beterbangan untuk berubah arah seketika.

Aku terhenyak, sadar akan bahaya yang datang. Dalam jeda sempit itu entah kenapa aku bisa memahami semuanya. Waktu itu sendiri seakan diperlambat dalam rentang yang signifikan. Cukup bagiku untuk melihat pergerakan peluru melesat dari belakang Mima, hingga akhirnya aku melempar aura dalam genggaman tangan, demi menciptakan lingkaran sihir di bawah kaki Mima.

"Telepisca!" ucapku lantang.






Chapter 3 : Nely – Mima –>  Kai

Selubung terang melindungi tubuh kami berdua. Detik berikutnya, panorama gelap berganti dengan langit kemerahan disertai angin menggebu.

Butuh waktu sejenak bagi Mima untuk menyadari apa yang terjadi, "Kita berpindah tempat?" ucapnya memeriksa sekeliling.

Kakiku seakan hilang tenaga, membuat bokongku mencium lantai dengan segera. Aku menghela napas sejenak, berusaha menurunkan irama detak jantung yang berdetak liar. Tadi itu sepertinya Adrenalin Rush. Aku bisa melihat,  merasakan, serta mengambil keputusan dalam jeda singkat. Semuanya berkat banjir informasi dari setiap indra yang menguat. Terbukti dari menggilanya dengup di dada. Aliran darah terpompa berkali lipat dari sana, otakku mungkin masuk dalam mode Overclock ketika mendapat suplai berlebih.

Yang jelas, aku berhasil menyelamatkan Mima. Kupandangi panorama di sekelilingku. Kami berada pada satu dari lima menara yang mengelilingi kuil. Selebihnya, area di luar begitu menggetarkan sanubari untuk bisa dilihat.

Bagaimana tidak, sepanjang aku menatap cakrawala, tak ada apapun di sana selain lautan magma. Ledakan besar berbentuk pancaran tiang energi, terlihat membumbung tinggi di berbagai penjuru. Tempat ini seperti planet mati, siap meledak kapanpun diinginkan. Satu-satunya yang membuat kuil ini aman hanyalah sebuah lingkaran sihir rakasa, berpendar temaram dalam radius puluhan kilometer. Ukiran garis, serta berbagai huruf kuno mungkin berfungsi sebagai barrier bagi amukan kehancuran di kejauhan sana. Karena lautan magma di sepanjang garis 'pantai' terlihat tenang tanpa sedikitpun luapan.

Lebih jauh aku memeriksa, lingkaran sihir raksasa ini ternyata berpusat di bagian tengah kuil. Tempat di mana kuda sembrani raksasa tengah disegel.

Menara ini tinggi, mungkin setinggi gedung sepuluh lantai.

Mima begitu cepat menguasai diri, dia lantas berucap tentang strategi, "Kita harus melakukan sesuatu," ucapnya dengan wajah serius. Lengannya terkepal, pandangannya lantas teralihkan padaku, "Kau sadar kan, dia bisa membelokkan arah serangan, juga mampu berpindah tempat sesuka hati dalam jeda seketika."

Aku mengangguk pelan. Ini berarti, kami akan berusaha membunuh Kai. Turnamen ini berjalan seperti yang Hewanurma rencanakan. Aku sebenarnya tak menginginkan itu, lenganku lantas meraih kain di bagian pinggangnya, "Kita tak perlu saling membunuh," ucapku berusaha meyakinkan. Aku sadar, kerjasama ini mungkin hanya bersifat sementara. Karena bagaimanapun juga, hanya ada satu pemenang yang diperbolehkan hidup di ronde lima.

Mima terdiam sejenak, paham maksud dari ucapanku barusan. "Kau punya rencana untuk melawan panitia?"

"Masih ada Dimdi—, maksudku Dimas…" Aku memalingkan pandangan sejenak, "Dia pasti bisa melakukan sesuatu… aku yakin itu."

Telapak tangan Mima lantas menepuk kepalaku, mengacak-acak rambut seperti seorang kakak pada adiknya, "Tenang saja, sudah kubilang kan? Aku tidak akan melawan wanita hamil sepertimu."

Aku berusaha untuk merapihkan kembali rambut depanku, seraya kebingungan atas tingkahnya barusan.

"Weasel juga pasti tidak akan tinggal diam," ucapnya menggumam. Wanita itu lantas mengotak atik layar tak terlihat di hadapan wajahnya. Berikutnya, sebuah benda bundar tercipta dari ketiadaan tepat di telapak tangannya.

Aku terperangah, "Bagaimana caranya kau bisa menyimpan benda seperti itu?"

Mima berubah heran, "Lho? Bukannya tiap peserta memiliki inventory masing-masing? Coba saja check menu-mu. Itu lho, HUD yang cuma bisa diaktifkan ketika sedang berdiam diri."

Oh, HUD yang itu? Aku ingat akan ajaran Khanza di waktu sebelumnya. Maka kupincingkan mata ini, seraya melakukan perintah dalam hati. Berikutnya, berbagai macam pilihan menu beserta jendela holografik tercipta tepat di hadapanku. Mima mungkin tak bisa  melihat ini, hal yang sama juga berlaku sebaliknya.

"Di bawah menu 'ketentuan pertarungan' ada menu bernama Inventory," ucap Mima  menjelaskan.

Kutekan saja bagian itu, untuk kemudian dihadapkan pada ikon senjata bertuliskan Gauss Rifle. Senjata andalanku ternyata ada bersamaku selama ini. Uuugh… Bodoh sekali rasanya, karena tak menyadari itu di ronde sebelumnya.

Butiran angka biner berpendar sejenak dalam formasi acak tepat di hadapan. Detik berikutnya, senapan kesayanganku itu sudah termaterialisasi secara utuh, lalu jatuh tertarik gravitasi.

Sementara aku sibuk memeriksa, Mima di sampingku terlihat meletakkan bola berwarna emas miliknya, "Nely, aku akan meluncurkan benda ini ke orbit. Nanti kita bisa menyerang dia lewat Laser Designated Planetary Bombardment."

"Tembakan dari angkasa?" ucapku penasaran.

Mima mengangguk pelan, "Namanya, Ion Canon Strike. Proses peluncuran di awal mungkin akan memberi tahu keberadaan kita pada Kai. Jadi kita harus pergi dari sini."

Aku mengangguk. Aku lantas merapal sihir Telepisca untuk yang kedua kalinya. Posisi kami tepat berada di atas menara tinggi, terlindungi oleh pagar dari tembok bangunan. Jadi seharusnya lingkaran sihir ini tak akan bisa dilihat siapapun yang ada di bawah sana.

Aku dan Mima berpindah menuju menara lainnya. Penting sekali bagi pihak yang memiliki element of surprise, untuk tetap berada di ketinggian. Setidaknya begitulah kata Mima. Wanita itu terlihat sibuk mengotak atik konsol kecil di bagian lengan, demi meluncurkan bola tadi jauh ke angkasa.

"Three… Two… One… and lift off…" ucapnya pelan.

Asap mengepul terlihat mencolok di kejauhan, diikuti dengan meluncurnya orb tadi dalam dorongan gas menyala selayaknya roket.

Tak butuh waktu lama bagi Kai untuk tiba di sana. Sepertinya tak ada batasan jarak untuk kemampuan teleportasinya. Aku dan Mima sontak saja merunduk untuk menghindar dari pandangannya. Semoga saja dia tidak menghancurkan satelit itu.

Mima mendorong sedikit kepalaku agar lebih merunduk. Bahaya sekali jika pria itu tahu di mana lokasi kami berdua.

Tapi jika kupikirkan lebih cermat, ini sebenarnya kesempatan yang bagus. Pria itu tak tahu lawannya ada di mana. Sebagai seorang penembak runduk, aku tak bisa melewatkan ini. Perlahan kuubah posisiku, mencari sisi paling rendah dari tembok pembatas yang rusak. Dalam posisi menelungkup, kuletakkan tumpuan bagian terperat Gauss Rifle pada sebongkah batu kecil.

Mima tentu saja melayangkan protes dalam bisikan kecil.

Aku membalasnya dengan senyum meyakinkan, "Tenang saja, sama sepertimu, aku juga memiliki pengalaman bertahun-tahun di medan perang… menggunakan senapan ini."

"Recon unit?" ucap Mima menyelidik.

Aku mengangguk, "Gauss Rifle ini daya pukulnya setara dengan AMR, bisa menghentikan laju MBT dalam kecepatan penuh…" Energi kinetik tiap peluru setara dengan 60.000 Joule. Membelokkan lajur projektil ini sama saja dengan berusaha memindahkan gunung Everest sendiri.

Mima seakan tahu apa tugasnya, dia mengeluarkan teropong dengan lensa obyektif tunggal. Wanita itu  memposisikan diri di sebelah kananku, sama-sama merunduk. "Kecepatan angin, 2 knot ke arah barat daya," ucapnya pelan. Dia memposisikan diri sebagai spotter, memberikan dukungan bagiku lewat kucuran informasi berharga.

Barat daya itu sebelah kiri dariku. Aku lantas melakukan koreksi sebanyak dua titik dari bidikan pisir dan pijera. Lensa bidikan ini kuatur dalam zoom 12 kali pembesaran.

"Firing…" ucapku pelan, melaporkan kegiatan selayaknya operasi militer sungguhan.

Lecutan kecil terdengar sebagai hasil. Sekilas mungkin terasa tak bertenaga, namun sesungguhnya projektil milikku itu tak akan bisa dihentikan.

Targetku berbalik, seakan memiliki peringatan akan bahaya yang mendekat. Matanya menatap lurus menuju peluru.

Pusaran udara yang memuai telah menciptakan jejak uap sebagai lajur dari projektilku. Kulihat peluru itu membelok tepat sembilan puluh derajat di hadapan wajahnya. Tembakan itu seakan ditepis oleh energi tak terlihat, padahal ia tak melakukan gerakan apapun.

"Mustahil..." ucapku tak percaya. Mima di sampingku sama tertegunnya.

Gumpalan batu di samping Kai meledak hebat oleh peluru yang dibelokkan. Detik itu aku sadar, bahwa posisi kami telah ketahuan. Haruskah kurapal sihir telepisca untuk kembali melarikan diri? Tapi waktunya tak akan cukup sebelum akhirnya dia tiba di sini.

"Apa yang kalian rencanakan?"

Jantungku berdesir kencang, tak percaya memandang Kai berdiri tepat di belakang kami. Mudah sekali baginya untuk tiba di sini.

Aku dan Mima sontak bangkit.

"Nely, lari!" Mima menepis bahuku, sementara ia melentingkan tubuhnya, berada dalam posisi siaga dengan cepat. Tanpa membuang waktu, ia serang saja Kai lewat ayunan baton di tangan.

Pertarungan jarak pendek kembali terjadi. Aku tak bisa bengong saja seperti sebelumnya. Jadi aku mengambil bagian dengan menggunakan sihir tipe support, demi mendopping pergerakan Mima, "Melodia Bellax," ucapku dengan lengan tertunjuk.

Serbuk kecil bercahaya menyelimuti tubuh Mima. Kilatan tiap bulirnya terlalu kecil untuk bisa disadari dia yang sedang fokus menyerang. Sihir itu berfungsi untuk memperkuat kekuatan otot, meningkatkan tenaga pukulan, serta mempercepat pergerakan. Sebagai bonus tambahan, refleksnya juga semakin tajam seiring dengan intervensi energi manna pada sistem syaraf tubuhnya.

Kulihat Kai semakin kewalahan. Pria itu tak bisa melawan, hanya berpindah ruang ke arah berseberangan dari tiap ayunan lengan Mima. Jadi lewat perkiraan singkat, aku membidik tiga puluh senti dari punggung Wanita itu.

Jdar!

Kai muncul tepat di lokasi yang kuperkirakan. Sayangnya Peluru itu lagi-lagi ia belokkan. Fokusnya begitu hebat, tapi tak cukup kuat untuk menghindarkannya dari terjangan. Jaket hitam yang ia kenakan terlihat robek disertai luka sayatan. Darah mengucur dari sana.

Berhasil! Dia bukannya tak terkalahkan, aku hanya perlu menyerang dia di saat lengah.

Dilukai seperti itu, tentu saja membuat Kai berang. Seketika pula dia langsung berpindah tempat demi mengejutkanku. Posisi Gauss Rifle yang masih membidik cukup kugerakan sedikit sebagai antisipasi, untuk selanjutnya kutembak dia dari jarak buta.

Lengannya terkepal, lantas meninju moncong senjata, nyaris di saat aku menekan pelatuk. Dia hendak melawan peluru? Mulutku tentu saja dibuat menganga, apa dia senekat itu?

Tindakan berani tentu diambil karena dia sudah mengantisipasi. Nyatanya, pukulan yang ia layangkan mampu memecah Gauss Rifle hingga hancur berubah jadi serpihan debu. Musnah tak bersisa. Aku bahkan tak memiliki waktu untuk terkejut, karena tinju penghancur itu kini diarahkan tepat menuju wajahku.

Rasa nyeri mengikuti tak lama kemudian. Kudapati tubuhku melayang bebas di angkasa, jatuh dari  ketinggian menuju bagian tengah kuil.

"Dia tak mempan terhadap Wall Break?" Kai begitu terkejut melihatku masih baik-baik saja.

Tidak, aku sama sekali tak baik-baik saja. Aku harus melakukan sesuatu, atau tubuhku hancur menghantam batu. Posisi jatuhku amat buruk, kutengadahkan kepalaku, hanya untuk dihadapkan pada lantai yang hendak kutubruk.








Chapter 4 : Nely <– Kuda Sembrani

Ah… rasanya familiar sekali. Sebelumnya juga aku pernah jatuh dari ketinggian, lalu mati dengan kondisi tubuh mengenaskan.

Tapi tidak untuk kali ini! Kuarahkan pergelangan tanganku, lalu menciptakan rangkaian lingkaran sihir. Masing-masing memiliki tingkat transparasi yang berbeda. Tubuhku terentak hebat ketika menabrak lingkaran sihir pertama, namun selebihnya melambat seiring dengan lebih banyak pendaran bundar menghentikan laju tubuhku.

Tubuhku mendarat pada lapisan berbatu selayaknya orang jatuh dari kasur.

Ringkikan kuda terdengar sedetik kemudian, suaranya begitu mengema. Perasaan dingin merasuk jauh ke dalam jiwa, sensasi ini mirip seperti sedang berada di ambang kematian.

Maka kutengadahkan wajahku, menatap sebuah tapal kuda yang hendak dijejakkan pada tubuhku. Dalam jeda itu sontak saja kulemparkan tubuhku dengan cara berguling ke samping.

Gedebum raksasa tercipta beberapa senti dari tempatku berbaring. Gelombang kejut dari udara menampar wajahku begitu keras. Aku tak boleh berdiam diri di sini. Posisiku berada tepat di hadapan sang kuda sembrani.

Dikuasai rasa panik, buru-buru aku mengesot untuk pergi. Berulang kali aku harus berguling demi menyelamatkan diri, sedetik saja aku terlambat, tubuh ini mungkin berubah menjadi steak siap saji.

"Oh iya…" Kai muncul tepat berada di samping sang kuda sembrani. Ia dengan mudah menghindar dari tiap pijakan lewat kemampuan teleportasi instan. "Aku lupa, kuda ini dipersiapkan sebagai pendukung dari pertarungan loh. Jadi aku lepaskan saja sekarang ya? Selamat bersenang-senang."

Pria itu meninju sebuah batu besar—tempat seluruh rantai mistis tertambat—hingga hancur tak bersisa. Struktur batu itu seakan larut begitu saja, diubah menjadi ketiadaan, hanya bersisakan serpihan kecil memantulkan cahaya.

Tiap tarikan napas rasanya seperti penuh perjuangan. Dihadapkan pada hewan buas tentu terasa begitu menakutkan. Aku harus segera melarikan diri, karena kulihat kuda itu malah beringas mengejar. Kai tentu saja sudah menghilang entah ke mana.

Derap langkah terdengar menggema, bersamaan dengan bergetarnya lantai tempatku berpijak. Napasku begitu memburu, berlari panik memasuki struktur bawah kuil. Tempat ini memiliki langit-langit normal, tentu saja tidak bisa dimasuki oleh kuda raksasa setinggi tiga lantai.

Tadinya kukira situasi sudah aman, tapi nyatanya keselamatanku masih terancam. Kuda itu menerobos masuk, menghancurkan tiap struktur seperti tank tak terhentikan. Puing-puing bangunan berjatuhan, kepala kuda itu menunduk demi mengintip dari celah kehancuran.

Kudekap salah satu tiang penyangga sebesar tubuhku sendiri. Kusembunyikan diri ini dari mulutnya yang mengendus kencang. Hanya tersisa enam meter dari posisiku dan telapak kakinya.

Aku tak bisa merapal sihir telepisca untuk berpindah ruang. Proses rapalannya memakan waktu sekitar sepuluh detik, itu tak akan cukup. Sesaat setelah ia mengetahui posisiku, kuda itu tentu akan melumatku.

Gemuruh kehancuran terasa semakin mendekat, ia menghancurkan bangunan untuk memperpendek jarak. Langit-langit tempatku bersembunyi bisa runtuh setiap saat. Aku tak punya pilihan lain. Dia mungkin memiliki semacam cara untuk mengetahui keberadaanku.

Jadi sontak saja aku melarikan diri, seraya berkonsentrasi merapal sihir berelemenkan es, "Lic lac la lac lilac; a frigore conficiatur…"

Seperti yang sudah kuduga, hewan itu berubah beringas setelah mengetahui di mana aku berada. Langkah kakinya bahkan melempar beberapa puing dari tiang penyangga, tertendang begitu saja.

Aku terpental, seiring dengan sebongkah batu menghantam punggungku dari belakang. Mataku terbelalak menatap gemuruh batu yang berserakan.

"… fluctus ventus vade ferae…" aku berusaha melanjutkan rapalan yang tertunda, "an adligat aspiciet inimica mea!"

Semburan udara membeku datang menerpa, menerjang dari belakangku, berusaha menahan laju musuhku.

Aku berhasil, pergerakannya tertahan oleh angin dingin menusuk. Telapak kakinya tertahan ditambat oleh es membeku. Rapalanku kemudian berlanjut pada elemen petir, "Ras tel Ma Scir Magister; Pluviam lucentis.."

Sembilan lingkaran sihir mini tercipta di belakangku. Masing-masing bergerak cepat dalam garis edar selayaknya planet mengorbit. Mataku memincing tajam kala menyadari mulut sang kuda kini menerobos dari langit-langit ruangan. Rupanya angin tadi hanya mempengaruhi bagian kaki saja. Aku harus segera menyelesaikan inkantasi ini, "…traiecta per ora…"

Ia meringkih, membuka mulutnya lebar hendak melahapku.

Kuposisikan lengan ini seakan memerintah pasukan tak kasat mata, "…Thundaga!"

Dentuman besar tercipta detik itu juga. Menggelegar hebat tiada henti, bersahutan silih berganti. Putaran lingkaran sihir tadi menciptakan lonjakan listrik setara sambaran petir alami. Selayaknya tembakan senapan otomatis, aku tak memiliki niat untuk berhenti. Pelatuk itu terus kutekan hingga magasin ini tak berisi.

Tak ada lagi pergerakan. Kuda itu terdiam dengan moncongnya berisikan asap. Bau daging gosong terasa amat menyengat. Apa aku berhasil membunuhnya?

Sayangnya tidak, dia malah semakin marah. Kuda itu menjejakkan kakinya tak terkendali, mengamuk menghancurkan struktur bangunan yang mengahalangi.

Otakku serasa membeku, aku kehabisan ide. Berulang kali kuperintahkan batin ini untuk tegar. Nyatanya, rasa takut begitu menguasai seisi sanubari. Ketika pikiran telah lumpuh, begitupun dengan tubuh. Aku malah berdiam diri, seakan pasrah menghadapi akhir dari semua ini.

"Dasar bodoh, melawan kuda saja kau tak mampu…" seseorang berucap di belakangku.

Detik berikutnya, kudapati berbagai macam pedang melesat cepat dari belakangku. Masing-masing menusuk hebat hingga bagian tajam terbenam seutuhnya. Serangan itu tak hanya berhenti sampai di sana, rangkaian tikaman tadi disambung dengan ledakan besar dari tiap arsenal persenjataan mutakhir.

Sang kuda terdorong mundur diempas letupan energi.

Seseorang telah menyelamatkanku. Rasa haru tentu saja menyelimuti pikiranku. Kemampuan ini amalah familiar. Sudah kutebak siapa yang ada di sana, bahkan sebelum aku menoleh.

"Dimas…"

Dia tersenyum kecut seraya menyilangkan kedua lengan. Di belakang tubuhnya, terdapat sebuah dinding mistis berisikan gelombang aura. Puluhan gadis cantik tersemat di sana, melayang begitu saja. Masing-masing bersiaga dengan persenjataan di tangan.

"Kanmussu…" lanjut Dimas,  memerintahkan pasukannya.

Para gadis tadi terlihat meng-upgrade perlengkapan. Meriam besar kini tersemat di lengan dan pinggang. Tanpa memberikan kesempatan, komandan mereka lantas memerintahkan serangan lanjutan.

Gempuran hebat datang layaknya hujan. Lontaran salvo melukai sang kuda hingga ia terjerembab jatuh dalam ringkikan. Serpihan ledakan mengoyak tiap senti dari kulitnya.

Hewan itu mati, tak bergerak sama sekali.

Lututku terasa lemas, aku jatuh terduduk seraya menghela napas, "Terima kasih…"

Ia tak menjawab, hanya memalingkan pandangan seraya mendengus pelan, "Aku butuh bantuanmu," ucapnya pelan.

Bukannya dia lebih kuat dariku? Memangnya bantuan macam apa yang bisa kuberikan?

"Kau sanggup menciptakan sihir sekelas bencana alam kan?"

Aku mengangguk.

"Aku butuh itu, sebagai pengalih perhatian dari serangan utama."

Serangan macam apa yang ia rencanakan. Jangan-jangan, "Perang melawan panitia?"

"Demi menyelamatkan Fia," Jawabnya cepat.

Jadi ibuku masih hidup, dan bisa diselamatkan. Mendengar itu aku tentu saja senang. Tapi di sisi lain hati ini juga terasa pedih. Dimas masih saja menganggap ibuku sebagai pujaan hatinya.

"Kau…" ucapku dipenuhi keraguan, "…bisa mengeluarkanku dari sini?" Kuraih bahunya dari samping, seakan mengharap balasan.

Dimas  menggeleng pelan, "Kekuatan 'kontrak' dari Battle of Realms tak mengijinkanku untuk itu. Untuk bisa keluar dari sini, kau harus membunuh dua peserta lain yang satu setting denganmu."

Detik itu pula aku tersadar akan Mima. Wanita itu mungkin sedang berhadapan dengan Kai. Aku harus menolongnya. Maka kuciptakan saja rapalan untuk sihir Telepisca.

"Kau mau ke mana?" Dimas terkejut dengan tindakanku.

"Menyelamatkan temanku."






Chapter 5 : Nely – Dimas –> Kai

Aku tiba di atas menara, tempat terakhir aku melihat Mima. Keadaan di sana sungguh amat berantakan. Banyak sekali lubang bekas tumbukan, lengkap dengan keretakan.

"Mima!" Aku berubah histeris, menatap dia yang sudah lemas berlumuran darah. Kulihat lengan kirinya tertekuk ke arah berlawanan, juga betis kanan dia yang berbelok dalam bentuk yang tak natural.

Ibu dua anak itu duduk bersandar pada tembok. Di hadapannya, ada Kai yang sedang berdiri tanpa luka. Hanya ada goresan dariku saja yang tersemat di tubuhnya.

Kai menoleh pelan. Tak pernah kulupakan wajah menyebalkan itu. Dia tersenyum girang seakan menemukan mainan baru.

Aku datang ke sini bukan tanpa persiapan. Di tangan kananku, terdapat mantra tertunda berupa sihir berjeniskan petir, sementara di lengan kiri ada aura untuk sihir Telepisca. Bibirku juga bergerak cepat merapal enchantment, "Crystallitatio Tellustris."

Tempat ini kering, tapi bukan berarti tak ada kelembaban yang terkandung di udara. Tiap bulir air tak kasat mata itu kubekukan dengan seketika. Hasilnya, letupan es tercipta di tempat Kai berpijak. Bentuknya berupa gumpalan mirip rumput, hanya saja tiap ujungnya meruncing tajam. Jika saja pria itu tidak menghindar, tentulah dia akan tertusuk sempurna.

Dan seperti yang sudah kuperkirakan, dia melakukan perpindahan instan untuk berada tepat di depan wajahku. Detik itu aku langsung melontarkan mantra tertunda, Telepisca.

Posisiku berpindah cepat, kini aku ada sepuluh meter di atas tubuhnya. Lewat mantra singkat kuciptakan lingkaran sihir sebagai tempat berpijak di udara.

Pria itu seperti biasa langsung menengadahkan kepala, merasakan marabahaya dari angkasa.

"…Iaculatio Grandinis," ucapku cepat. Aku hanya perlu mengucap bagian terakhir dari mantra untuk mengaktifkan sihir itu. Kupanggil ratusan panah es membeku, lalu menghujani dia dalam rangkaian serangan tanpa jeda.

Kusadari Kai mampu membelokkan tiap serangan. Tapi sejauh mana dia bisa bertahan? Ribuan panah datang selayaknya butiran hujan. Untuk melakukan tiap pembelokan, dia pasti harus berkonsentrasi pada masing-masing projektil yang menyerang.

Tapi lagi-lagi aku salah, dia hanya perlu menciptakan semacam perisai. Bangun ruang tak kasat mata di hadapannya secara sempurna mampu memantulkan tiap serangan. Meski sudutnya berubah acak, tapi beberapa dari mereka berbalik tempat menuju tempatku berada.

Panah es itu menancap tepat di bahu kiriku. Rasa nyeri datang menyengat sedetik kemudian. Aku menjerit kesakitan, seraya kehilangan konsentrasi, lalu terjun jatuh hendak menubruk daratan.

Tadinya aku sudah bersiap untuk itu. Tapi nyatanya pendaratanku terasa begitu mulus di pangkuan seseorang.

"Dimas?"

"Dasar cewek bodoh, maju begitu saja seolah kau itu paling kuat." Ia mengerutkan alis tanda kecewa.

"Ma-maafkan aku…" ucapku tertunduk malu. Dengan lembut ia menurunkanku.

"Nah, mungkin ini sedikit curang… tapi aku akan membantumu menghabisi bajingan tengik ini."

Kai tetap bergeming meski dihina seperti itu. Dia tetap terlihat tenang seolah mengabaikan, berusaha tak terpancing provokasi.

Dimas mendengus sejenak, lalu dengan wajah percaya diri ia berseru mantap, "Kantai Collection!"

Aku terperangah, menatap betapa luasnya dinding penyimpanan milik Dimas. Ada ratusan, atau mungkin saja ribuan perempuan berparas cantik menyembul dari dalamnya. Masing-masing mensiagakan meriam siap ditembakkan.

Gempuran besar tercipta kembali. Hanya saja kali ini skalanya jauh lebih hebat dari serangan melawan kuda sembrani. Dimas berada di luar ruangan, hal itu membuatnya tak memiliki batasan, akan sejauh mana ia bisa menciptakan dinding serangan.

Menara ini tak akan tahan menghadapi gempuran. Lambat laun tiap susunan batunya  menyerah pada daya dorongan. Tak sampai semenit tempatku berpijak ini hilang bergantikan keruntuhan.

Dimas tersenyum bangga penuh kemenangan. Tapi aku merasakan sebuah kejanggalan. Dalam gempuran itu tak kudapati sedikitpun arah pembelokan. Kai juga sama sekali tak beranjak dari tempatnya berdiri, ia begitu sukarela menerima tiap hantaman.

Kupincingkan pandanganku, berusaha menelisik lebih jauh dari tiap ledakan yang terjadi. Kai terlihat dilindungi oleh semacam selubung menyala tak kasat mata. Perisai itu berpendar terang berwarna putih menyilaukan.

Perisai sama yang melindungiku ketika diserang oleh Nekoman.

"Tunggu dulu, dia dilindungi oleh kontrak Battle of Realms!" Kusadari Dimas bukanlah peserta dari turnamen ini. Dia hanyalah pihak luar, jadi apapun tindakannya tak akan berpengaruh banyak pada Kai.

Dimas sontak menghentikan serangannya. Wajahnya berubah berang ketika menyadari Kai masih baik-baik saja, "Ternyata benar, Hewanurma sudah mempererat sistem keamanan." Dia sepertinya sadar apa yang sedang terjadi, "Padahal sebelumnya aku bisa membunuh Asep dengan mudah."

Kini giliran Kai untuk melakukan serangan balasan. Pria itu lagi-lagi muncul di belakang secara mengejutkan. Lengannya terkepal erat, bersiap melancarkan tinju yang bisa menghancurkan segalanya.

Dimas mendecakkan lidah, dalam jeda sempit itu ia memegang pundakku, lalu mentransfer sejumlah manna, "Haste," ucapnya.

Kurasakan kesadaranku mengalami perubahan. Segalanya berubah lambat, seiring dengan munculnya selubung aura di sekujur tubuhku. Ini adalah sihir untuk mempercepat gerakan hingga berkali-lipat.

"Telepisca!" ucapku cepat.

Kami berdua lantas berpindah tempat secara instan. Serangan Kai pastilah gagal mengenai sasarannya.






Chapter 6 : Nely – Dimas –> Kai (part2)

"Volatio. Levitatio. Scopae Volent," ucapku merapal mantra. Selubung kecil muncul melindungi aku dan Dimas. Mantra itu hanya berfungsi sebagai penahan di udara.

Kami berdua muncul begitu jauh dari kuil yang ada. Di bawah kami, tak ada apapun kecuali lautan magma merah menyala. Ledakan besar kerap tercipta, tiap percikannya melontar tinggi hingga mencapai angkasa.

Dimas menatapku sejenak, meminta penjelasan akan lokasi baru kami berdua.

"Akan kutenggelamkan dia pada magma di bawah sana. Dia bukan penyihir..." Jadi dia tak akan memiliki kemampuan levitasi. Untuk bertarung di udara tentulah dia hanya bisa mengandalkan kemampuan teleportasi saja.

"Kurasa dia tak sebodoh itu," Dimas berkomentar pelan.

Pria itu tak selalu benar, buktinya Kai dengan sukarela melahap umpan demi mengejarku,

"Kau tak bisa lari dariku," begitu ucapnya. Dia kembali memunculkan diri dalam jarak dekat demi mengagetkanku.

Dia tak memiliki kemampuan untuk terbang sepertiku. Jadi apa yang membuatnya begitu percaya diri?

Sayangnya aku sudah mengantisipasi pola serangannya yang seperti itu. Masih dalam pengaruh sihir Haste, aku mampu melakukan perpindahan instan seperti dirinya. Tak ada harapan dalam serangan tipe jarak jauh, jadi aku harus melawannya dalam pertarungan jarak dekat.

"Heliseus sagitta salutis glacies," ucapku cepat. Gumpalan es tercipta instan tepat di genggaman tanganku. Kurapatkan lima jemari seraya mengarahkan ujungnya pada Kai. Pria itu tampak lengah, belum menyadari posisiku.

Tembakan es kulepaskan dengan segera, melontarkan empasan projektil melebihi kecepatan suara. Tubuh seseorang akan membeku secara instan jika terkena sedikit saja.

Dan seperti yang sudah-sudah, spidey instinct-nya aktif untuk memberi peringatan. Kai sontak menghindar seraya berpindah tempat tepat di hadapan.

Mudah sekali strateginya untuk bisa dibaca. Dalam jeda seketika itu pula aku sudah berpindah ke tempat lainnya, menembakkan serangan yang sama untuk mencelakai dia.

Proses itu kembali terulang. Dia kembali menghilang, seraya berusaha menyerang.

Dan aku lagi-lagi mengantisipasi dengan berpindah ke tempat yang aman.

Proses saling serang itu berlangsung cepat, hingga mungkin yang terlihat hanyalah kedipan-kedipan instan disertai lontaran tembakan ke segala arah.

Dalam sebuah kesempatan, kusadari Dimas sudah mempersiapkan armada tempurnya. Dia sepertinya paham tugasku sebagai pengalih perhatian.

Hujan tembakan kembali ia lakukan, walau tentu saja hal itu terasa sangat sia-sia. Perisai pengaman Battle of Realms berpendar terang demi melindungi dirinya.

Sebuah keuntungan, sekaligus kelemahan. Karena teriknya sinar itu pastilah membutakan matanya. Pergerakannya tertahan, aku menyadari ini di pertama kali Dimas menyerang. Waktu itu Kai hanya diam saja dalam posisi bertahan. Padahal seharusnya mudah  bagi dia untuk berpindah, serta balas menyerang.

Jadi aku sudah mempersiapkan serangkaian mantra selama dia tertahan digempur oleh Dimas.

"Fluctum maris edidit alti secreti tui mihi exhibito..."

Langit kosong berwarna kemerahan, kini mendadak mendung dipenuhi awan entah dari mana. Pusaran raksasa terbentuk di sana selayaknya pusat dari aliran energi.

"Anathema voco ratis aequore septem ..."

Di bagian tengahnya, muncul sebuah kapal bajak laut abad pertengahan, turun perlahan dari dalam kegelapan.

"Black Pearl!"

Layar besar berkibar walau tercabik oleh badai. Awak krunya terdiri dari para penjahat yang dikutuk lautan. Bagian samping kapal itu mengeluarkan puluhan moncong meriam siap ditembakkan.

Rentetean gedebum di kejauhan menjadi pertanda akan datangnya serangan. Tiap projektilnya bukanlah sembaran logam, siapapun yang terkena hantaman, pastilah akan menjalani hidup didera kutukan menyakitkan.

Serangan dari Black Pearl seakan melanjutkan marathon gempuran dari apa yang Dimas lakukan. Sihir itu berasal dariku, jadi perisai Battle of Realms tak akan merespon padanya. Semoga saja dia lengah.

Bongkahan hitam dari tembakan terlihat memantul menuju arah berlawanan. Beberapa tembakan tadi dikembalikan ke tempat asal. Tak ayal, kapal mistis itu kini hancur berserakan gara-gara senjata makan tuan.

Gagal lagi kah? Sebenarnya seberapa kuat orang bernama Kai ini? Aku serasa sedang menghadapi dewa.

Tapi aku salah, Kai terlihat jatuh menuju magma di bawah sana. Dia terlihat setengah sadar dengan tubuh penuh luka. Asap menyelubungi bajunya, meninggalkan jejak seraya terjun bebas.

Berhasil! Strategiku bekerja seperti yang diharapkan. Bagaimanapun juga, dia cuma manusia sama halnya sepertiku. Siapapun pasti memiliki batas konsentrasi.

Kutatap Dimas di kejauhan, batinku tentu saja mengharap pujian darinya.

Akan tetapi dia malah bergeming, wajahnya tampak serius memandangi lokasi tempat Kai terjatuh.

Didorong rasa penasaran, kutundukan wajah ini untuk memahami apa yang sedang terjadi.

Di sana terlihat Kai tengah mendarat pada sebuah daratan seluas dua puluh meter persegi. Tanah tempatnya berpijak terlihat apik, lengkap dengan batang tumbuhan serta rerumputan. Aku tentu saja dibuat bingung karenanya.

Apa tanah itu semacam sihir tipe projection? Material yang akan terwujud dari kehendak seseorang. Tapi kurasa bukan. Pertama, Kai itu bukan seorang penyihir. Tak pernah kurasakan sedikitpun penggunaan Manna dari tubuhnya. Jika aku bertarung dengan sesama penyihir, tentu aku bisa merasakan hawa keberadaan mereka.

Kedua, jika tanah itu memang hasil projeksi, lantas kenapa dia merepotkan diri merekonstruksi detail tiap rumputnya? Lagi pula, dedaunan itu kini terlihat mengering, dibakar oleh panasnya udara di sini.

Ada satu teori lain, berhubungan dengan kemampuannya mengontrol ruang dan waktu.

Ah betul juga, waktu… Dia senantiasa memprediksi datangnya seranganku. Seakan dia bisa membaca masa depan dirinya sendiri. Aku sama sekali tak memiliki bayangan sejauh mana dia bisa mengendalikan kemampuan itu.

Ambilah contoh lebih jauh lagi, mungkin saja dia bisa melihat masa lalu… atau mungkin saja membawa benda apapun dari masa yang berbeda.

Jangan-jangan… Potongan daratan itu, merupakan hasil pembalikan waktu dari masa sebelum tempat ini hancur? Dengan kata lain, dia mengambil tanah dari masa lalu, untuk kemudian dipindah ke masa kini, di mana segala sesuatu telah berubah menjadi magma.

Bagaimana ini? Serangan tadi berhasil, murni karena keberuntungan saja. Aku tak bisa menerapkan strategi yang sama. Siapapun tak akan pernah bisa menang, melawan musuh yang bisa memperdiksi masa depan.

Dalam kebingungan itu, kulihat Dimas hanya berpangku tangan. Dia menatapku seakan menuntut solusi dari ketidakberdayaan.

Sementara itu Kai sendiri terlihat geram sekali. Tubuhnya jelas terluka oleh serangan Black Pearl, tapi itu tak cukup untuk melumpuhkannya.

Ah masa bodoh, Kai masih bergeming bawah sana. Dia terluka, dan itu merupakan fakta. Aku tak peduli lagi, kurapal saja mantra lainnya, seraya berharap target tetap berada di posisinya.

Dimas melancarkan hujan tembakan, membuat perisai Battle of Realms dipaksa aktif demi membutakan Kai. Strategi yang sama kembali digunakan.

"Ras tel Ma Scir Magister; Pluviam lucentis traiecta per ora…"

Sihir ini pernah kugunakan dalam melawan kuda sembrani. Gempuran petir menghujam selayaknya muntahan gatling gun, "…Thundaga!"

Suara menggelegar terdengar hebat hingga memekakkan telinga. Aliran listrik tadi setara dengan sengatan lima juta volt, mengirimkan energi panas cukup untuk menggosongkan daging.

Kutajamkan pandanganku, memperhatikan bagaimana Kai berhasil berkelit dari tiap sambaran. Mentalku tentu saja hancur melihatnya. Dia bahkan bisa memprediksi di mana petir akan mendarat. Serangan pengalih perhatian dari Dimas nyatanya tak berpengaruh sedikitpun akan konsentrasinya.

Serangan ini akan kembali menjadi kesia-siaan. Kai belum mengirim dirinya menuju diriku entah karena suatu alasan. Mungkin saja dia ingin menebar terror sebelum akhirnya meledakkan amukan.

Aku harus mencari cara lain. Serangan dengan area luas sepertinya bisa berguna. Kulihat Kai tak bisa menghindar lebih jauh dari pulau kecil buatannya.

Di atas sana, masih tersisa awan badai sisa dari pemanggilan Black Pearl. Listrik statis yang terkandung tentulah bisa menjadi katalis bagi serangan berelemen petir lainnya.

"Colossus globus…"

Kuangkat kedua lengan ini, melebarkan pita aliran manna yang bisa kukeluarkan. Ku-teleport diri ini untuk mengambil jarak sejauh lima kilometer dari posisi target.

"…tonitru ingenti strepitu formans terram…"

Di atas langit kejauhan, sebuah bola tercipta perlahan dari gumpalan awan gelap. Ukurannya begitu massif, sekilas seperti melihat bulan sedang dijatuhkan dari langit. Tirai listrik meloncat secara acak di bagian permukaan, seakan berfungsi sebagai tali, mengikat kokoh bentuk bundarnya.

"Raigo!"

Bundaran awan itu lantas jatuh menimpa posisi Kai. Detik berikutnya, pancaran sinar terik menyapu segala sesuatu hingga menimbulkan suara gemuruh memekakkan. Ledakannya jutaan kali lebih terang dari sang surya. Aku bahkan harus melindungi dua mata ini agar terhindar dari kebutaan. Jurus tadi mungkin setara dengan detonasi nuklir sekuat lima megaton.

Aku dan Dimas berpandangan mata sesaat. Apa kami berhasil membunuh dia?

Sayangnya tidak. Kai kembali muncul lengkap dengan seringai di wajah.

Umpatan dalam hati tak akan cukup mewakili kekesalanku. Aku lelah dengan ini, pikiranku muak mendapati dirinya masih baik-baik saja. Luka yang didapat seakan tak berpengaruh padanya. Dia seperti kecoak, sulit sekali untuk dilenyapkan.

Dalam langkah panik, sontak saja kutarik Dimas, lalu melakukan teleportasi untuk melarikan diri dari sana. Kami harus mundur untuk kembali menyusun strategi.

Sayangnya, seolah membuktikan hipotesaku tengan kemampuannya membaca masa depan. Kai ternyata sudah menunggu di tempat tujuan. Alangkah terkejutnya ketika aku mendapati bongkahan batu besar tengah melayang jatuh hendak  menggencet aku dan Dimas.

"Cih!" Dimas secara refleks mendorongku demi untuk menghindarkanku dari kematian.

Gedebum keras tercipta, debu terempas keras disertai percikan darah terciprat di lantai. Napasku terhenti seketika, menatap jemari Dimas yang tersisa dari gencetan bongkahan batu besar.

Kutundukan badan ini, seraya memeriksa pergelangan tangan yang ada di sana.

"Dimas?" Kupegang jemari itu, rasanya masih hangat, persis seperti terakhir kali ia menyentuh diriku. Ragaku serasa bergetar, menyaksikan pria itu tergencet batu seberat puluhan ton, "Hey… kamu kan kuat. Angkat sendiri batu ini, ayo bantu aku."

Kai di belakangku seakan menikmati pertunjukan ini. Dia tak menyerang sedikitpun, malah melipat lengan dengan wajah seperti orang kesetanan.

Lantai itu dipenuhi darah. Siapapun yang ada di bawah sana, tentulah sudah berubah menjadi daging giling, hancur digencet hingga rata. Detik itu aku baru sadar, bahwa sesungguhnya Dimas telah tiada.

Tubuhku berubah lemas, hingga jatuh terduduk menatap tak percaya. Aku tak akan pernah memafkan siapapun yang melakukan ini pada dirinya. Wajahku lantas berbalik menatap penuh amarah. Kulihat Kai masih berdiri tegap walau tubuhnya terlihat mengeluarkan asap. Tembakan dari Black Pearl tentulah memiliki efek menyakitkan pada daging maupun jiwa.

"Bangsat…" Mulutku begitu lantang mengumpat. Aku tak peduli lagi, persetan dengan kemampuan teleportasi miliknya. Akan kukerahkan tiap sihir yang kupunya. Darahku serasa mendidih walau sekadar menatapnya.







Chapter 7 : Nely <–> Kai


"Gungnir…" Kuangkat lenganku, seraya mematerialisasi tombak berselimutkan listrik. Tiap kilatannya menebar cahaya memusingkan pandangan. Pusaran angin tercipta sebagai penambah daya dorongan. Lalu tanpa memberikan jeda, kubuang saja senjata itu hingga menciptakan lajur raksasa menghancurkan segalanya.

Suara ledakan hebat tercipta sebagai hasil, seisi kuil ini kini hancur diterjang tembakan lurus. Tiupan angin melontarkan berbagai debu dan serpihan puing bangunan. Tiap struktur berhasil kuratakan, tak ada lagi tempat untuk berlindung.

Kai seperti biasa melakukan tindakan pengecut dengan mengirim dirinya tepat di belakangku. Aku tentu saja sudah memprediksi kelakuan itu. Di atasku sudah tercipta puluhan lingkaran sihir siap melontarkan projektil berjeniskan homing attack.

"Apes igniferae!" Pasukan lebah api datang menggempur, masing-masing mampu melakukan manuver untuk mengejar Kai. Usaha pria itu untuk menghindar pastilah sia-sia, karena tiap bongkahannya mampu meliuk cepat demi mengejar targetnya.

Pria itu terlihat kewalahan, meski tiap sambaran berhasil dibelokkan, tapi hal itu hanyalah sia-sia. Tak satupun dari api yang akan padam sebelum membakar sasaran.

"Incendium Gehennae!" Aku merapal sihir lanjutan. Entah apa yang terjadi, tapi amarah yang memuncak ini telah membuatku sanggup merapal mantra panjang secara instan, walau selebihnya dilakukan sebatas dalam hati.

Lingkaran sihir raksasa terukir jelas di angkasa. Diameternya memanjang jauh hingga menembus batas cakrawala. Rangkaian huruf kuno disertai susunan garis simetris, menutupi merahnya atmosfir.

Kali ini, kuciptakan hujan api berupa tetesan magma. Skalanya begitu luar biasa, seisi planet mungkin terkena dampaknya. Dia mungkin bisa membelokkan jalur tiap batu yang membara, tapi apa dia sanggup melakukan itu seraya dikejar ratusan lebah api?

Kai mungkin akan menyerang dalang dari semua ini. Jadi sebagai langkah antisipasi, kuciptakan sebuah tornado berdiameter enam puluh senti. Amukan angin bercampur api berputar cepat melindungi.

Niatnya untuk melayangkan pukulan dipaksa gagal terlaksana. Pria itu sepertinya tak mau mengorbankan lengan untuk dibakar, walau demi melayangkan sebuah tonjokan. Semburan peluru dari pistolnya juga tak pernah berhasil menembus dinding apiku.

Suhu di sini semakin panas, tak ada tempat baginya untuk bisa melarikan diri. Aku begitu menikmati mimik wajahnya yang berubah frustasi. Ini hanya masalah waktu sebelum akhirnya dia tumbang karena hyperthermia—lumpuhnya fungsi tubuh karena sengatan panas.

Namun, niatku itu lagi-lagi ditumbangkan. Kai memiliki kemampuan untuk mengembalikan lingkungan sekitarnya persis seperti keadaan di masa lalu. Apapun itu, termasuk udara tempatnya bernapas. Dia bisa menetralkan udara panas dengan mengirim angin sejuk dari waktu sebelum aku merapal sihir.

Pertarungan ini lebih menuju adu konsentrasi. Siapa yang akan melemah terlebih dahulu? Aku yang sedang mengerahkan sihir berskala bencana? Atau dia yang berubah lengah di tiap teleportasi penghindarannya?

Kudapati sebuah bintik cahaya kecil di belakang kepala Kai. Berwarna merah temaram selayaknya pancangan sinar laser. Jantungku berdesir seketika, mendadak teringat akan senjata rahasia Mima yang sudah mengorbit di angkasa.

Siapa yang melakukan penunjukan koordinat di saat seperti ini?

Pandanganku lantas terarah pada salah satu reruntuhan. Di sana terlihat seseorang tengah terbaring dengan tubuh gosong digempur tetesan magma.  Lengannya menunjuk stabil, bertumpu pada batu untuk mengecat kordinat serangan.

"Tidak…"

Bulu kuduk ini berdiri. Air mataku berlinang begitu saja. Aku tahu siapa itu. Mima ternyata masih bertahan, dan dia membantuku di saat terakhir, meski tubuhnya hangus dihujani sihir hasil perbuatanku.

Kupergoki senyum kecil terukir di wajah wanita itu. Mulutnya meracau pelan, melaporkan sesuatu.

"Ion Canon Ready…"

Detik berikutnya, cahaya hebat datang menyinari dari angkasa. Kai terlalu fokus pada adu konsentrasi denganku. Dia sama sekali tak menyangka akan datangnya tembakan penghancur.

Dentuman hebat tercipta, semburan udara panas melebar ke segala arah. Dinding energi yang tercipta melempar tubuhku hingga terbentur pada sebuah batu.

Hujan magma terhenti seketika, amukan lebah api menghilang keberadaannya. Kai berhasil dibunuh oleh serangan dari langit. Tanah tempatnya berpijak tadi kini membentuk lubang menganga. Hitamnya batu yang terbakar, telah menjadi bukti akan serangan Ion Canon yang lebih panas dari sang surya.

"Aku menang?" ucapku tak percaya. Batinku kemudian teringat akan Mima yang terbaring di kejauhan. Buru-buru aku bergegas menuju sana.

Tenggorokanku tercekat, lidahku berubah kelu. Aku bahkan tak sanggup untuk menjerit, menyaksikan hasil dari perbuatanku. Di hadapanku, terdapat mima dengan tubuh meleleh bercampur batu. Tiap jengkal dari kulitnya berubah matang selayaknya daging panggang. Wajahnya bahkan tak bisa kukenali saking hancurnya jasad dia.

Lututku berubah lemas, aku hanya bisa meratap tanpa suara. Air mata ini tak akan cukup untuk menghapus dosa.

"Maafkan aku…" ucapku tak berdaya. Aku telah kehilangan Dimdim-sama, kini tanpa sengaja aku malah membunuh teman baruku. Siapapun yang berurusan denganku sepertinya akan berakhir dalam nasib yang pilu.

Tak ada sedikitpun kurasakan bangga maupun lega.







Epilogue

Siapapun yang melihatku, mungkin seperti sedang menyaksikan anak kecil yang tersesat. Tangisku tak mau berhenti walau hati ini berubah hampa. Berulangkali aku mengelap air mata.

"Sampai kapan kau mau cengeng seperti itu?" seseorang berucap pelan dengan suara khas yang menggema.

Aku sontak saja terkesiap. Suara itu amat kukenal, "Dimas?"

Dia berdiri di belakangku mengenakan baju compang camping. Tubuhnya terlihat baik-baik saja meski kukira ia sudah tiada. Senyum sombongnya kembali terukir di wajah, "Heh… kau pikir kenapa aku bisa datang ke sini setelah habis-habisan dihajar oleh Umii?"

Aku tak mengerti. Apa pria di hadapanku ini seorang immortal?

Seolah mengetahui apa yang kupikirkan, Dimas memulai sebuah penjelasan, "Aku memiliki tujuh kali kesempatan."

"Kesempatan?" ucapku membeo.

"Anggap saja jumlah koin ketika sedang bermain di konsol arcade," ucapnya sambil berkacak pinggang, "Aku masih memiliki sisa empat nyawa cadangan."

 Aku lantas berubah kesal, "Terus kenapa kau tidak membantuku ketika melawan Kai?"

"Ada jeda sepuluh menit sebelum aku bisa kembali respawn."

Kugembungkan pipi ini, demi menunjukan rasa jengkelku padanya.

Dimas menepuk kepalaku seraya mengukir senyum menyejukkan, "Sekarang, kita bisa fokus untuk menyelamatkan Fia."

Nah, dari situ barulah ekspresiku berubah sumringah, "Apa rencanamu?"

"Melakukan Servant Summoning sebagai bala bantuan."

Aku tak paham apa maksudnya.

"Kantai collection milikku, berisikan pasukan perempuan yang berhasil kutaklukan. Mereka setia hidup sebagai servant." Dimas menjelaskan, "Tapi kali ini berbeda, aku harus memanggil servant terkuat di kelas Saber."

Tak ada yang bisa kulakukan selain membeo, "Kelas Saber?"

"Untuk memanggil servant, aku memerlukan Relic—peninggalan dari entitasnya, dan itu berhubungan denganmu." Dimas mendekatkan jaraknya padaku. Dia melingkarkan kedua lengannya melewati leher seakan hendak memelukku.

Aku tentu saja berubah salting, "Eh…? Eeeeh?"

Kurasakan rambutku tertarik ke belakang, berikutnya sepuluh senti helai yang sudah memanjang itu dipotong begitu saja menggunakan pisau bayangan. Rambutku kini kembali pendek sepanjang bahu.

Apa maunya dengan rambutku?

Lewat ujung pedang tajam, pria itu mengukir lingkaran sihir secara detail. Mulutnya lantas mengucap pelan dalam dialek bahasa asing, "Rex oblitus imperii conjuro te huic mundo commutationum mea ... Venite Exiastgardsun heros!"

Aku terkejut bukan main, terlebih ketika mendengar kata Exiastgardsun tersemat di tengah rapalan. Jangan-jangan servant yang ia panggil…

Cahaya terik berpendar hebat hingga membutakan pandangan. Letupan aura tercipta di tengah lingkaran, sesosok pria berjubah cokelat berdiri tegap dengan Gunblade di tangan. Pandangannya tajam menatap Dimas, lalu dengan nada permusuhan, ia mengucap, "Apa kau yang memanggilku ke sini?"

Kututup mulut ini demi menahan jeritan. Mustahil, "Papa?" ucapku tak percaya.

Raut wajah pria berambut merah kecokelatan sontak berubah. Pandangannya terbelalak seraya menatap keberadaanku, "Nely? Kaukah itu nak?"

Apa yang terjadi? Dimas memanggil ayahku sebagai servant? Kulihat pria itu tengah meringis menahan sakit, memegangi dada seperti sedang mengalami serangan jantung.

"Hehehe… harga untuk memanggilmu ke sini mahal sekali. Aku bahkan harus mengorbankan dua dari empat nyawa yang tersisa." Dimas berusaha menguasai diri.

Leon lantas menjambak kerah baju Dimas, "Apa rencanamu bangsat?!" Dia tentu masih ingat perbuatan Dimas kepadaku ketika di Ronde tiga.

Dimas masih terlihat santai, tak sedikitpun merasa terintimidasi, "Tak ada, rencanaku hanya satu. Menyerang markas Nekoman demi menyelamatkan Fia."

Cengkeraman papa berubah lemah. Dia lantas mengalihkan pandangannya padaku, menuntut semacam penjelasan, "Mama ada di sini?"

Aku menjawab dengan sebuah anggukan.

Papa lantas melepaskan cengkeramannya, dia mungkin sudah menyadari posisinya saat ini. Dimas memegang informasi mengenai istri kesayangannya. Hanya satu hal yang dia belum ketahui, bahwa sebenarnya...

"Ya, aku harus menyelamatkan Fia, kekasihku…" ucap Dimas menegaskan.

Ah… dia melakukannya. Dimas mendeklarasikan perang pada papa yang jelas sangat mencintai mama. Kulihat papa mengukir wajah kosong, seakan belum mencerna maksud perkataan master-nya.

"Bicara apa kau tadi?" ucapnya singkat.

"Menyelamatkan FIa."

"Bukan, setelahnya."

Dimas mengangkat sebelah alisnya, "Kekasihku… tambatan hatiku."

Hening… Kami bertiga diam memaku.

Dimas lantas melanjutkan ucapannya, "Dengar, aku sudah menyelamatkan dia dari kematian. Selama sepuluh tahun ini aku yang menjaganya. Kami sudah hidup bersama. Dia sudah menjadi milikku, kakek tua. Kau harus mengingat itu."

Tak bisa kubayangkan perasaan Papa. Dihadapkan pada pria lain yang sudah lama hidup bersama dengan istrinya. Rasa jengkel mungkin tengah memuncak di pikirannya. Baru kali ini aku menyaksikan proses menikung secara langsung. Kulihat lengan papa mengepal begitu erat.

Aku sudah bersiap untuk menyaksikan sebuah amukan. Tapi reaksi papa terlihat jauh berbeda dari yang kuduga. Dia malah menepuk bahu Dimas, seraya berucap dengan wajah memelas, "Apa selama ini dia bahagia?"

Dimas menjawabnya dengan sebuah anggukan.

Papa hanya menghela napas sejenak, ekspresinya berubah teduh, "Syukurlah… dengan ini aku bisa pergi dengan tenang. Satu-satunya beban pikiranku bisa hilang. Terima kasih sudah menjaga Fia."

"Tu-tunggu dulu, kenapa reaksi papa seperti itu?"  Aku tentu saja memprotes keras.

Papa menggaruk-garuk kepalanya yang tak terasa gatal, "Aku sudah mati sejak lama. Satu-satunya alasanku menjadi servant—dibawah komando Ursario—hanyalah demi meyakinkan ibumu baik-baik saja. Lama aku berkelana di alam kematian, namun tak sedikitpun kudapati tanda-tanda Fia ada di sana." Ia bertutur seraya mengukir senyum hampa, "Dan sekarang aku sudah bertemu denganmu, melihat putriku baik-baik saja, serta mengetahui bahwa Fia bahagia… Itu sudah cukup. Aku tak akan meminta lebih. Hidupku sebagai servant akan tamat, di misi terakhir ini."

Tidak, ini tidak adil. Kenapa papa bisa sepasrah itu? Kenapa dia tidak marah? Aku tahu seberapa besar rasa cinta papa terhadap mama. Dia bahkan rela menghancurkan seisi dunia ketika meratapi kematiannya. Lantas kenapa dia tidak menghajar Dimas? Dia berhak untuk itu. Papa harus menghajar Dimas, agar pria itu sadar, serta menyerah akan impian sia-sia miliknya. Dia tak akan pernah bisa bersama ibuku. Bagaimanapun juga, dia harus bertanggung jawab terhadap janin yang kukandung.

"Aku mengandung anakmu, Dimas!" ucapku frustasi. Perkataanku barusan sontak  membuat dua orang itu diam membatu.

Ayahku melayangkan tatapan menyelidik, "Wait… what?"

Dimas juga terlihat gelagapan. Selama ini dia memang tak tahu, "Kau hamil?"

Aku mengangguk pelan. Tak bisa kusembunyikan rona wajah kemerahan ini.

Sebuah tinju lantas mendarat detik itu juga di pelipis Dimas, "ANJING! Apaan kau ini!? Udah ngegarap istri orang, terus sekarang loe ngehamilin anaknya?!"

Papa berubah beringas, persis seperti yang kuharapkan. Dimas begitu shock hingga tak memberikan perlawanan. Tubuhnya lemas digoncang-goncang, seraya papa mengumpat menjambak kerah bajunya.

"Tunggu dulu, bukannya kita melakukannya lewat belakang? Kenapa kau bisa hamil?"

Ucapan itu semakin menyulut amarah Papa. Dia tambah beringas mengirim bogem mentah, "Elu tega ngentot pantat anak gue!? Bangsat!" Hantaman lainnya kembali disarangkan.

Aku tertawa kecil menyaksikan keributan itu. Butuh beberapa waktu bagi papa untuk bisa terbiasa dengan ini. Dimas sendiri begitu terperangah mendengar kabar dariku. Aku tak tahu apa dia senang mendengar itu. Yang jelas, dia tak berkutik walau Leon sedang melakukan penganiayaan padanya.

Yah, proses penyesuaian ini akan memakan waktu lama. Kisah tentang kami bertiga mungkin akan dilanjutkan di lain kesempatan saja.