23.11.15

[ ROUND 5 ] EOPHI RASAYA - PETUALANGAN KEENAM


​ 
 
Prolog


"... aku nggak idiot, Minerva."
- Eophi Rasaya -


Alforea
Pesan dari Rumah
 

Begitu keluar dari portal dimensi, kasur terbang berwarna putih itu langsung membumi. Agak miring posisinya, karena ia mendarat di permukaan yang tidak rata; di antara lantai batu yang tercungkil dan timbunan puing-puing. Eophi Rasaya ada di atas kasur putih itu. Tentu saja, sedang tidur.

"Tempat ini jadi kacau sekali, ya?" gumam si kasur, sambil matanya memperhatikan sekitar dengan tatapan prihatin. "Rasanya seperti baru kemarin, seratus lebih peserta Battle of Realms berkumpul di sini, di lapangan ini. Mencari rekan-rekan pertama, untuk kemudian saling bahu-membahu di babak penyisihan."

"Yah, beginilah keadaan Alforea sekarang. Tidak ada kejayaan yang berlangsung selamanya," kata Minerva si gadis berambut merah yang kemudian turun dari kasur. "Berputarlah."

"Maaf?"

"Berputar. Kita bangunin mereka." Minerva menunjuk satu-satu makhluk yang masih mendengkur di atas kasur. "Ayo. Sampai gajah bertelur pun mereka tidak bakal bisa bangun sendiri."

Perkataan Minerva banyak benarnya. Berputarlah si kasur. Seketika menjatuhkan Eophi, bantal, guling, selimut, dan seekor naga merah kecil ke timbunan puing. Semuanya, kecuali Eophi, langsung bangun dan marah-marah. Tapi akhirnya Eophi bangun juga, setelah Minerva memukulinya dengan bongkahan batu.

"... oh, ini Alforea, ya?" komentar Eophi sambil mencoba merapikan rambut hijaunya yang memang berantakan permanen. Lalu sama seperti kasurnya tadi, ia segera memperhatikan sekitar. Memperhatikan permukaan lapangan yang membentuk gelombang kasar. Memperhatikan sisa-sisa rumah dan bangunan yang mengelilinginya. Memperhatikan lima titik cahaya keunguan yang tersebar di sudut lain. Memperhatikan reruntuhan kastel Despera ...

Gelapnya malam mempertegas dramatisasi semua jenis kehancuran di tempat ini.

"Eophi, ada pesan untukmu," kata Minerva tiba-tiba. "Aku menerimanya ketika kau tertidur." Minerva meletakkan sepucuk surat usang di telapak tangan Eophi. "Baiklah, aku harus pergi sekarang."

"Mau ke mana?" tanya Eophi buru-buru, mengingat Minerva adalah keberadaan ajaib yang bisa menghilang dan muncul sesuka hatinya.

"Ke markas besar."

"... boleh aku ikut?"

"Ngapain coba? Ini urusan Organisasi Tifareth. Jangan ikut-ikutan."

"Loh, aku kan salah satu anggota? Pelit banget."

"Aduh idiotnya jangan keterlaluan dong Eophi." Minerva meniup poni lurusnya.

"... aku nggak idiot, Minerva."

"Ah, iya, maaf. Untukmu, idiot kayaknya masih terdengar terlalu pintar." Minerva mundur satu langkah, tubuhnya pelan-pelan memudar. "Kau memang sudah menjadi anggota organisasi, tapi kau juga kan masih berstatus sebagai peserta turnamen. Tunggu di sini, babak selanjutnya mungkin—"

"Iyaaa aku tahu," Eophi memotong, lidahnya menjulur keluar. Niatnya mungkin mengejek. Tapi mengejek dengan ekspresi mengantuk? Kurang ampuh. "Cuma iseng. Lihat cewek bawel itu menyenangkan banget soalnya."

Minerva menggeram gemas, bergerak cepat ke depan Eophi, tapi bukannya memukul Myrd muda itu, ia malah memeluknya. "Hey," bisiknya. "Jangan terlalu memusingkan isi suratnya, oke? Semuanya akan baik-baik saja. Aku janji."

Belum sempat Eophi merespons, Minerva sudah lebih dulu menghilang. Bersamaan dengan itu, terdengar suara ledakan dari tengah lapangan. Eophi menoleh cepat.

Puluhan hantu—semacam energi merah yang melayang-layang—saling bertabrakan. Berkumpul di sana, seperti api unggun raksasa. Cahaya-cahaya itu berputar cepat satu kali, lalu ... boom! Muncullah makhluk itu. Makhluk serupa manusia, tapi bertanduk, dan kulitnya merah membara.

Apaan itu, Phi? Selem! Naga merah Eophi, Hel namanya, sampai kabur ke bawah bantal. Hawa kebeladaannya jahat banget! Kayak tumpukkan libuan mayat! Dan dia seolah manggil kita!

Hm, aku juga merasakannya, respons Eophi. Hel ... tetap siaga, oke? Kita samperin dia.

Ya, Phi.

Eophi berjalan duluan ke tengah lapangan. Peralatan tidur dan Hel mengekor di interval yang pas. Ketika akhirnya sudah cukup dekat dengan si makhluk bertanduk, berkulit merah, Eophi melihat mereka—kelima peserta lainnya. Masing-masing berjalan selurus dari titik keunguan di sudut yang berbeda.

"Aha, selamat datang, mongrels!" Makhluk bertanduk, berkulit merah, memutar pandangan bosannya sambil menunjuk keenam peserta. Seperti sedang menghitung jumlah stok budak. "Ada enam," gumamnya sambil menggaruk rambut peraknya. "Apa benar ada enam? Mana catatanku?" Salah satu bola api di atas kepalanya langsung berubah menjadi selembar kertas kulit. "Itu catatan belanjaanku, tolol. Yang lain." Bola api itu minta maaf, berubah lagi jadi kertas yang lain. "Nah, ini. Oke ... ternyata benar sisa enam. Kalau begitu langsung saja, perkenalkan, aku adalah panitia di ronde ini! Ayo semangat dong. Kalian masih hidup, kan?"

Makhluk bertanduk dan berkulit merah itu menjentik-jentikkan jarinya. Seketika api-api hitam membungkus keenam peserta. Ajaibnya, api jelek itu tidak membakar, api itu menyembuhkan. Dan setelah merasa bugar, para peserta mulai mempertanyakan banyak hal.

Eophi sempat mendengar beberapa keterangan: tentang turnamen yang masih berjalan, tentang harta terakhir McGuffin (kotak Laplace), dan tentang kepalsuan semesta ini. Tapi setelah keadaan memanas—ada debat dan tanya jawab rasis, curhatan, lalu seseorang menampar seseorang—Eophi meringis. Akhirnya ia malah menyibukkan dirinya sendiri dengan membaca surat yang diberikan Minerva.

Tak disangka-sangka, ternyata itu surat dari rumah! Dari Myrdial. Eophi bisa menyalahkan dinginnya angin malam karena tiba-tiba saja ia menggigil. Karena senang, tentu saja. Eophi lantas menemukan nama Aelind Kairal, jenderal bangsa Myrd sekaligus kekasih pahlawannya, di bagian pengirim. Untuk isi suratnya, singkat saja. Tertulis rapi dan tegas di sana, lima kata ... MYRDIAL DIINVASI, JANGAN PULANG SEKARANG.

Mungkin, dinginnya angin malam berhasil menemukan jalan masuk ke perut Eophi, kemudian mendekam di sana. Eophi terduduk lemas di tepi kasur. Myrdial benar-benar diserang, bagaimana keadaan mereka sekarang, rumah pohonku, si Jelek ... padang rumput Eveninggraile? Di saat yang bersamaan, makhluk bertanduk dan berkulit merah menciptakan dua portal yang langsung mengisap keenam peserta secara paksa. Tidak ada yang sempat melawan, semuanya tersedot.

Sangkakala sudah berbunyi.

"Ho-ho! Pergilah, mongrels! Ingat! Tiga peserta untuk satu portal, dan satu pemenang setelahnya!" Makhluk bertanduk dan berkulit merah itu merentangkan kedua tangannya. Bola api yang meledak-ledak di atas kepalanya, bergerak-gerak seperti komidi putar, seolah menerangi puing-puing dan kerusakan di seantero Alforea. "Adios, au revoir, salaam, sayonara, FUCK OFF!"

Ronde kelima Battle Of Realms, dimulai.



1


"Karena anak-anak memang harus berimajinasi atau dia bakalan jadi tua dan membosankan."
- Kusumawardani, S.Pd. -


Proto Merkavah
Perspektif Bu Mawar

Padahal aku cukup yakin—setelah semua yang terjadi, sejauh ini—kalau aku pasti sudah enggak akan kaget lagi jika dihadapkan dengan hal-hal ajaib lainnya. Yang, semua itu, sebenarnya sangat kurang masuk akal!

Kuda api raksasa? Hutan yang mengamuk? Sekolahan jadi medan tempur? Arena penuh monster? Pabrik kloning? Hhh, gila! Sebagai lulusan seni, aku memang tahu imajinasi itu enggak punya ujung, tapi realita kan punya. Harusnya hal-hal yang kusebut tadi ya cuma jadi imajinasi, bentuk ekspresi, eskapisme, cermin metafora dunia nyata, atau motivasi saja. Harusnya ... hal-hal yang kusebut tadi ... enggak bisa pisahin aku sama murid-muridku. Ya ... HAL-HAL GILA ITU ENGGAK PUNYA HAK UNTUK MELAKUKANNYA! ENGGAK!

Astaghfirullah ... maaf. Harusnya aku enggak bentak-bentak. Aku harus percaya kalau aku masih punya harapan, dan marah-marah karena kehilangan mereka cuma bikin bahagia sisi gelapku saja.

Aku punya harapan. Aku bisa selamatin mereka. Ya. Itulah, dan tetap bermunajat, yang harusnya jadi peganganku. Bantu aku terus bertahan di dunia gila ini.

"Bu Mawar—Ibu napa sih komat-kamit aja dari tadi?" Sunoto, salah satu muridku, mengembalikanku ke permukaan. "Ibu gapapa kan?"

"Oh, Ibu enggak apa-apa kok, Sun. Tadi Ibu cuma lagi kasih sedikit keterangan buat pembaca." Aku tersenyum untuk Sunoto. Anak bandel itu balas menyeringai sebentar, kemudian kembali serius. Matanya kembali melotot ke depan—kepada dua laki-laki yang sedang bertarung! Masya Allah, aku sampai lupa situasiku saat ini!

Jadi singkatnya, aku, Sunoto, bersama dua peserta lain dipindahkan oleh makhluk bertato, berkulit merah, dan pengangguran itu ke sini. Ke atas punggung ular besi raksasa! Coba kalian lihat paragraf pertama, tentang aku yang katanya enggak akan kebingungan lagi sama hal-hal aneh di dunia ini. Iya, ternyata aku salah. Aku tetap pusing dan kaget setibanya di sini tadi. Proto Merkavah, atau apalah nama makhluk super gede bin keras ini. Tangan besiku sekarang lagi sibuk memindai peta keseluruhannya. Loading-nya agak lama. Dan selama menunggu, aku sama Sunoto sembunyi di balik peti berisi senjata canggih—benda-benda yang biasanya kulihat di film Sci-fi kecintaan almarhum suamiku.

Dari tempat sembunyi ini juga, aku sama Sunoto menyimak perkelahian dua laki-laki itu. Laki-laki yang pertama, rambutnya dicat hijau daun, mukanya kayak anak-anak tapi badannya tinggi kurus, dia punya naga lucu dan pakai peralatan tidur buat berantem. Mamanya kok kasih izin, ya? Terus laki-laki satunya, warna kulitnya bagus, setelannya rapi, rambutnya keriting (tunggu, itu apaan, ya? Jambul kribo? Ngakak! Habis bentuknya kayak bola kawat buat cuci piring sih~). Laki-laki keriting itu berantemnya pakai senjata api yang kelihatan rumit.

Soal jalannya pertarungan, kayaknya si laki-laki berambut hijau bakalan kalah sebentar lagi. Soalnya laki-laki berambut keriting itu kuat banget. Senjatanya itu loh, persis kolegaku (sebut saja Ibu XXX, beliau guru PPKN) yang cerdas tapi sombong. Senjata si laki-laki keriting bisa belok-belok sendiri peluru apinya. Peralatan tidur si laki-laki berambut hijau dibuat gosong sebagian.

"Kita harus ikut bertarung, Bu!"

"Enggak. Kita harus sembunyi dulu."

"Tapi Bu—"

"Sunoto." Aku mendelik sambil memiringkan kepala. Sunoto menyerah. Kembali menonton tanpa banyak keluarin komentar atau usulan-usulan ekstrem. Aku juga fokus nonton lagi. Ya ampun, si laki-laki berambut hijau dibikin mental sama si keriting.

"Ayo dong, sikat! Gigit! Pukul lubang kencingnya! Ayo, naga kecil, jangan mau kalah sama si Kribo berengsek!" Kuharap telingaku salah mendengar, tapi tidak, tadi itu Sunoto memang mengumpat.

"Sunoto Mardika Lie!" kubisikkan kata-kata itu menggunakan suara perut. "Jaga bahasa kamu!"

Sunoto langsung merapatkan tangannya ke badan, sedikit menunduk. Persis anak kucing yang ketakutan. Tapi sedetik kemudian, dia sudah mulai mendukung naga kecil itu lagi, bisik-bisik, geregetan. Aku tahu, ini pasti ada hubungannya sama cara dia dibesarkan. Sunoto tumbuh besar bersama cerita tentang macan siluman. Jadi rasa simpatinya buat binatang-binatang ajaib enggak main-main.

Aku enggak keberatan kok soal itu. Karena anak-anak memang harus berimajinasi atau dia bakalan jadi tua dan membosankan. Sebagai gurunya, bagian dari masa kecilnya, aku punya tanggung jawab yang besar untuk membimbing dia melewati proses itu.

Aku memang bukan guru yang sempurna (aku bukan Kusuma, baca R4-ku), jadi aku pasti gagal satu atau empat kali (tapi aku juga bukan Wardani. Mending mati deh daripada jadi guru kayak gitu). Misiku sebagai detektif gadungan, yang akhirnya membawaku ke sini, juga banyak menyadarkanku soal itu. Ketidaksempurnaanku. Mungkin karena aku ya memang cuma manusia biasa saja, atau mungkin seorang guru memang enggak selamanya jadi guru—guru yang baik tahu di mana dia harus jadi guru, atau kembali jadi murid. Dunia gila ini bikin aku salah, juga bikin aku jadi terus belajar, dan tentunya bikin aku semakin menyayangi murid-muridku. Lebih dari apa pun.

"Ehm, Ibu juga berharap naga itu bisa bertahan," kataku sambil mengusap puncak kepala Sunoto. Tanpa menoleh ke arahku, Sunoto merespons dengan mengangguk mantap. "Tapi di babak ini, katanya kita memang harus bertarung. Cuma satu peserta yang bisa lolos."

"Terus Ibu mau nurut gitu aja? Bertarung, bunuh-bunuhan, cuma buat menang?"

Aku tersenyum. "Masa kamu masih harus nanya soal itu sih, Sun? Kamu kan kenal Ibu kayak gimana!" Aku acak-acak rambutnya. "Kita cari cara lain, lah. Dari awal Ibu sudah kurang suka sama sistem aneh dan petinggi-petinggi tengil di dunia ini. Dan Ibu juga enggak ada niat sama sekali buat menangin apa pun. Ibu cuma mau kita semua pulang sama-sama. Selamat sampai rumah."

Lagi-lagi Sunoto merespons tanpa menoleh ke arahku, dia mengacungkan dua jempolnya tanda setuju. Sok cool betul anak in—

"OH, TIDAK! NAGA KECIL! TIDAK!" tiba-tiba Sunoto memekik tertahan, kemudian dia berlari ke depan! Alasannya cukup jelas, aku juga melihatnya. Naga kecil jagoannya itu kena tembakan api si laki-laki berambut keriting, terus jatuh kayak layangan putus.

"H-HEY! SUNOTO! JANGAN, NAK!"

Aku berhasil menangkap pundak Sunoto, mencegahnya keluar dari tempat persembunyian ini. Tapi ... tadi aku pasti keceplosan berteriak keras-keras. Soalnya dua laki-laki itu serempak menoleh ke arah kami.

Ini gawat. Posisi kami ketahuan.

Kudorong Sunoto ke samping, segera setelah kulihat beberapa peluru api melesat ke arahnya, zig-zag, cepat! Peluru itu pasti membentur tangan besiku, kurasakan beberapa tekanan yang membuatnya terdorong ke atas, menciptakan bunyian nyaring yang menggema selama beberapa saat sampai akhirnya berhenti, dan suasana menjadi hening total.

Sunoto menatapku dalam jatuhnya, kelihatan menyesal dan ketakutan setengah mati. Sekarang pasti dia tahu kenapa aku bersikeras untuk tetap sembunyi. Dia harus tahu. Tempat ini berbahaya. Dan aku enggak mau ambil risiko buat kehilangan muridku lagi. Enggak.

"Kamu enggak kenapa-kenapa, kan, Sun?" aku berbisik. Entahlah, rasanya sulit sekali berbicara lebih keras. Pandanganku mengabur, menyusul kakiku yang tiba-tiba lemas banget. Apa ini yang mereka sebut gejala penuaan dini? Atau ... sudahlah. Aku pengin rebahan dulu. Kubiarkan tubuhku tumbang ke belakang.

Kudengar Sunoto menangis, lalu samar kulihat dia bersimpuh di sampingku. Kurasakan tangannya bergetar ketika menyentuh bagian perutku yang kerasa basah, hangat, dan ngilu. Anak itu terus meracau sambil melakukannya, menekan lukaku. Ya, Allah ... ternyata aku kena tembak tadi. Dasar payah.

"Ibu ... a-aku harus apa? Ibu ... maaf. Bu, Ibu, bangun Ibu. Maafin Sunoto ... bangun, Bu ... bangun—" Suara Sunoto pecah. Kuseka air matanya.

Syukurlah, cuma aku yang kena tembak. Sunoto baik-baik saja.

"Lari, Nak," kuusahakan bibirku tetap bergerak dengan jelas karena sudah tidak ada lagi suara yang keluar. "Lari. Hidup."



2


"Masa kecil gue emang berantakan, woy! Tapi dibawa enjoy aja keleuuus!"
- Fatanir -


Proto Merkavah
Perspektif Fatanir
​ 

"Halo, Fatanir. Apa kabar?"

Pemuda kribo yang ditanya malah memegangi dada. Atau spesifiknya, memegang sesuatu yang kini menjadi jantung barunya. Ashura.

Itu, karena Ashura tiba-tiba saja memanas. Dan Fata langsung tahu kenapa Ashura begitu. Ashura merasakan kegelisahan, tekanan yang teramat kuat.

"W-woe ... anget gila nih!" desis Fata.

[Berbaliklah!] respons Ashura.

Sambil megap-megap menahan pedih, Fata yang masih berjongkok di samping jasad Arahalia, memutar tubuh tiga ratus enam puluh derajat. Bibir si Kribo kontan mengerucut, matanya menyipit, ketika ia melihat seorang wanita berjubah putih menyala-nyala berdiri tidak jauh di depannya.

"Kabarmu baik, kurasa." Wanita itu tersenyum manis sekali.

"Situ siapa, sih?"

"Oh. Panggil aku ... Kana."

Nama itu seolah menggedor kesadaran Fata. Menjungkirbalikkan dunianya. Mati-matian si Kribo menahan cairan asam yang sontak memaksa untuk dimuntahkan. Mati-matian pula ia menjaga fokus matanya yang mulai berkabut. Saat ini, kepalanya tengah diserang gelombang nausea yang mungkin mampu membunuh manusia biasa. Kepingan memori berkelebatan seperti ribuan kupu-kupu, terlalu cepat untuk langsung dicerna dan ditangkap detik ini juga. Akhirnya, pertahanan si kribo jebol. Cairan kekuningan mengalir deras dari mulutnya, hidungnya mimisan parah, pupil matanya menghilang selama sepersekian detik.

"Bagaimana sekarang?" tanya Kana kalem. "Kau sudah mengingat semuanya? Aku sudah mengirim semuanya."

Berangsur-angsur semua penderitaan dan rasa panas di dada Fata menghilang. Ia langsung berdiri meski masih oleng. Dan, tampak tato baru, berbentuk satu mata, tercetak di tengah dahinya—Fata belum menyadarinya. "Cewek psikopat!" sembur Fata. "Emang hobi bikin orang jadi mabok apa gimana seh?!"

"Apa? Tunggu. Orang? Fatanir, kau bukan orang. Kau ini ... Tuhan!" cetus Kana begitu saja, sejelas dan senatural seseorang yang mengatakan kalau manusia dan kera itu berbeda derajatnya. "Kau, Fatanir, adalah Tuhan-ku dan Tuhan dari semesta data yang terasing. Semesta kita. Jadi, membuatmu mabuk? Aku? Tidak. Aku ada di sini untuk memberitahukan kalau ... waktu kebangkitan sudah tiba. Sudah tiba, waktunya, kaupulang ke rumah, Fatanir." Suara Kana melembut, mendikte pelan. Sementara pandangannya memanjakan serta penuh kerinduan.

Si Kribo jelas langsung ketawa. "Tiba-tiba nongol, bikin gue muntah-muntah jelek, terus tiba-tiba bilang ... Fatanir adalah Tuhan?" Fata mengimitasikan suara manis Kana. "Lelucon terbaik minggu ini buat Mbak, deh! Selamet, yak? Sekalian diambil bonusnya, tuh, nginep di RSJ selama-lamanya!"

Kana tersenyum sabar. Pandangannya juga justru jadi lebih mengasihi. "Jika ternyata aku bisa membuatnya menjadi masuk akal ... Fatanir, maukah kau memberiku kesempatan untuk menjelaskannya?"

"Kaga usah deh, yaw!" Fata balik badan acuh tak acuh. Berjalan menuju elevator. "Penyihir kawakan kek kamu selalu punya ratusan cara buat hipnotis orang!"

"Seandainya kau memang orang."

"Serah, Mbak, lah." Kaki kanan Fata berada di bagian dalam Elevator.

"Menyedihkan ya? Lingkungan masa kecilmu," tiba-tiba Kana memulai dengan sendu. Sementara Fata memutar tubuhnya di dalam elevator, telunjuk siap menekan tombol Exit. "Lingkungan berisi mereka-mereka yang hanya memiliki mata untuk melihat kelemahan, mulut untuk menjatuhkan. Parasit-parasit yang hidup dalam stigma repetitif. Kepribadian yang membusuk dari akar. Mereka ketakutan, sebenarnya. Mereka tahu kau berbeda. Spesial. Sangat spesial. Kau sama sekali tidak memiliki tempat di antara mereka. Itu karena mereka memang tidak pantas mendapatkannya. Dan tentunya ada alasan besar, Fatanir, kenapa aku meninggalkanmu di tempat seperti itu."

Fata menurunkan telunjuknya, memberi instruksi pada Ashura, kemudian berjalan menghampiri Kana.

"Karena aku ingin membuka segala-mu. Salah satunya, dengan meninggalkanmu di tempat terbaik untuk mempelajari wajah sebenarnya dari kehidupan-kehidupan beremosi." Kana membelai lembut pipi Fata. Fata bergidik. "Mereka adalah kegagalan yang menyedihkan, dan jauh di dalam hatimu kau tahu itu benar, Fatanir," sekarang Kana berbisik, ekspresinya memelas. "Izinkan aku sekali lagi membuka segala-mu. Berdua, kita sempurnakan semesta data ini. Lalu kita selamatkan semua semesta lain dan dimensi paralel dengan menjadikannya satu kesatuan. Kita hapus masa lalu, meniadakan probabilitas masa depan, kita ciptakan kehidupan dari awal! Kita berdua, Fatanir, akan menyelamatkan semua yang tersesat."

"O-oi, oi, oi ... jadi, kamu ... beneran orang yang titipin aku di panti asuhan? Kasih aku bakat ajaib ini, kasih aku kehidupan ini? Jadi kamu ...." Fata menunduk, badannya bergetar. Kana maju untuk memeluknya. "Ibu?"

"Ya. Aku ibumu. Kau adalah harapan terbesarku. Ciptaanku yang paling sempurna."

"Ugh ... i-ini semua serius, ya? Kamu ibuku? Dan a-aku bakalan jadi ... Tuhan?" Fata tercekat, wajahnya memerah. Sekuat tenaga ia menahan luapan emosi.

Kana mengangguk senang. "Cobalah untuk mengingat kenangan kita, aku sudah memberikan semuanya tadi." Tato mata di dahi Fata berpendar.

"Iya, nanti," bisik Fata. "Sekarang aku harus ngapain?"

"Menjadi Tuhan. Akan kubuka lagi semua potensi Teknopath di dalam dirimu. Lalu, kau harus membantuku menyelesaikan rencana besar kita, dengan mengumpulkan materi terakhir."

"Apaan?"

"Kotak Laplace, dan, menangkap satu-satunya bangsa Myrd yang tersisa." Kana melepas pelukannya. "Nama Myrd itu, Eophi Rasaya. Salah satu peserta turnamen yang akan kautemui di ronde berikutnya. Pastikan dia berada di dalam jangkauanmu selalu, Fatanir."

"Bentar ... maksudnya dari, satu-satunya yang tersisa?"

"Sebagian pasukan kita mungkin sudah selesai meledakkan planetnya sekarang," ujar kana dengan sangat normal. "Bangsa Myrd memiliki sesuatu yang penting, yang bisa kita gunakan untuk memperkuat semesta ini. Dan itu saja tugasmu untuk saat ini ... Anakku."

Fata tidak tahan lagi. Ia keluarkan semua luapan emosi yang sedari tadi ditahan mati-matian—

—yaitu keinginan kuat untuk tertawa terbahak-bahak. Fata cekikikan parah. Air mata sampai menitik di sudut matanya, tubuhnya berguncang. Kana menanggapi kehebohan itu tanpa ekspresi sama sekali.

"Masa kecil gue emang berantakan, woy! Tapi dibawa enjoy aja keleuuus!" Fata melompat mundur. Gerakan itu langsung diikuti oleh suara berderak keras. Lantai di sekitar kana meretak kemudian memuntahkan kabel-kabel tebal yang bergerak, berkoordinasi satu sama lain membentuk semacam penjara kubus tanpa celah.

"Selama kamu ngocehin omong kosong barusan, aku nyiapin kandang khusus ini nih. Hati-hati loh, kandang ini sensor motoriknya tajem beneran. Gerak barang sesenti aja, kamu bakal gosong kesetrum," jelas Fata pada Kana yang sudah tidak terlihat lagi. "Aku tau kamu itu pasti orang penting. Jadi kepaksa deh tadi korban kuping buat coba dengerin apa aja yang mau diomongin sama orang penting! Ternyata selain penting, situ juga gila, sadis, ga masuk akal. Mana ada Tuhan rambutnya kek begini? Semuanya bulsit! Dah ah, ngomong molo, aus."

Fata kembali ke dalam elevator, langsung menekan tombol Exit. Begitu terkejutnya ia ketika balik badan, mendapati Kana sudah berada di luar penjara kabel. Sehat walafiat.

"Itu tadi demonstrasi pemanfaatan kekuatan Ashura yang bagus sekali, Fatanir." Kana tersenyum. "Aku akan memberimu waktu, dan aku akan kembali mengunjungimu. Dan ingat, jangan lupakan tugasmu. Kotak Laplace, dan Eophi Rasaya. Ya, awasi Myrd itu."

Elevator bergerak cepat ke atas, meninggalkan Bio Lab. Fata menjulurkan lidahnya, sementara Kana melambaikan tangan sampai menghilang dari jarak pandang.

Semuanya menggelap ketika elevator berteleportasi. Menuju destinasi selanjutnya, puing-puing Alforea.

Lalu ... meski enggan mengakuinya, sudah sewajarnya kalau pertemuan tadi benar-benar menyita perhatian Fata. Pemuda kribo itu merosot duduk di lantai elevator, membenamkan wajahnya di antara lutut. Merasa lelah luar biasa. "Tuhan?" gumamnya. "Yang bener aja."

. . . ~

. . ~

Set, dah! Itu flesbek tulisan miring di Bio Lab ngabisin banyak banget porsi ogut di masa kini!

Tapi, itu keterangan ada pentingnya juga sih. Soalnya gegara ocehan cewek itu juga, aku langsung nyerang Eophi Rasaya setibanya di Proto Merkavah ini. Kita berdua muncul di tempat yang sama juga soalnya, di aula emas yang penuh banget sama senjata perang (nah, dari hasil ngobrol sama senjata-senjata perang di sokin, aku jadi tahu nama tempat ini, dan apa fungsinya di masa lalu. Proto Merkavah adalah benteng yang bergerak. Seekor ular segede gunung yang setengah eksistensinya udah direkonstruksi jadi android).

Dan kembali ke soal aku yang langsung nyerang Eophi, jujur, itu dilakukan bukan karena aku nurut sama omongan Kana si cewek gila. Aku cuma mau tes, apaan sih spesialnya bangsa Myrd itu? Kan monyong, pas tahu ternyata bangsa Myrd kaga aneh-aneh amat. Emang sih, pertahanannya kuat. Tapi senjatanya konyol, peralatan tidur masa? Terus si Eophi eni juga mukanya kek pemuda-pemudi madesu di depan gang yang abis nyabu. Beler parah matanya, ngantuk permanen, cuman enggak merah aja.

Ya, jadi dari awal aku udah tembakin peralatan tidurnya, aku ledakin juga kadang-kadang. Dia mental beberapa kali. Langsung bangun lagi. Semua penyerangan sepihak itu terus terulang sampai ... aku mendengar sebuah keributan. Suara-suara yang berseru, dan itu bukan suara manusia. Itu suara mesin. Suara dari sepasukan robot.

Aku tahu dari seruan robot-robot itu, kalo mereka lagi marah berat karena suatu hal. Mereka ada di ruangan di sebelah aula ini, mereka siap nyerang! Jadi aku tembak deh naga merah si Eophi Rasaya, bikin perhatiannya teralih, terus siap-siap kabur dulu, lihat situasi. Tapi ....

"H-HEY! SUNOTO! JANGAN, NAK!"

Wanita berjilbab itu kek muncul dari antah-berantah, tiba-tiba aja udah berdiri di antara peti yang ada di ujung ruangan. Dia lagi nahan anak kecil. Aku tahu, wanita berjilbab itu juga salah satu peserta turnamen. Sebelumnya, aku udah lihat dia sama anak kecilnya waktu di puing-puing Alforea.

Terus ... di detik yang sama, pasukan robot berdatangan. Menghambur lewat satu pintu kek karung beras bocor. Aku mendengar jelas banget jeritan senjata mereka sebelum masing-masing muntahin peluru api. Aku juga tahu ke arah mana aja peluru itu bakal menghantam. Jadi aku selamat. Si Eophi juga selamat, dia langsung dilindungin kasurnya.

Yang ketembak cuma wanita berjilbab itu. Momentum menghindarnya ilang, karena dia lebih milih buat selamatin si anak kecil.

"Woy, oon! Jangan diem aja!" aku berseru untuk Eophi. "Jagain anak kecil di ujung ruangan sonoh!"

Yah ... ini emang turnamen, dan si wanita berjilbab itu adalah lawan yang harus disingkirin di babak ini. Tapi anak kecilnya kan enggak salah apa-apa. Ya, kan? Dia enggak harus ikutan mati.

Jadi sementara Eophi meluncur ke ujung ruangan, nahan gelombang kedua dari hujan peluru pasukan robot, aku ciptain deh cepet-cepet satu alat khusus yang mestinya bisa bikin pasukan robot gila itu berhenti.

"Yaak~ komando terkini dari Jenderal Fata: joging keliling Proto Merkavah! Ayo, sinih ikutin papah!" aku menjerit menggunakan radio bersinyal khusus yang masih gres, terus lari-lari kecil keluar aula.

Daaa~n ... robot-robot itu ngikut semuanya! Mangstaph khan radio Alfa-mekanika buatan gwe?



3


"Kita bertarung hanya karena kita harus bertarung."
- Eophi Rasaya -


Proto Merkavah
Perspektif Eophi
 

Oke. Sudah giliranku, ya? Baiklah ... dari mana aku bisa mulai?

Saat ini? Ya, aku bisa mulai dari saat ini. Saat ini aku masih berada di dalam aula besar keemasan, berisi peti-peti senjata, bersama seorang anak kecil yang sedang menangis di atas badan seorang ibu yang terbaring sekarat.

Hel, cepat sembuhkan ibu itu! kukirim lewat pikiran, perintah untuk Hel. Naga kecilku.

Hel menjawab, Ga bisa lah, Phi. Kekuatan penyembuhku kan khusus buat kamu.

Oh, oke. Jangan panik, cari cara yang lain. Hel, apa ada seseorang dalam radius seratus meter yang bisa dimintai bantuan? Seseorang yang kuat?

Laki-laki klibo beltato mata tadi dihitung ga?

Laki-laki kribo bertato mata? Ah, iya. Ada dia. Dia memang kuat ... dan tengil. Dia langsung menyerangku tadi, padahal kita baru saja sampai di sini. Tapi kayaknya laki-laki kribo itu bukan orang jahat. Karena dia yang menyuruhku melindungi anak ini, dan dia juga yang mengalihkan semua pasukan robot gila itu ke luar. Mungkin ... karena turnamen ini saja, kita jadi harus bertarung. Di luar itu, semuanya ya normal-normal saja di antara kita. Kita bertarung hanya karena kita harus bertarung. Jadi intinya, laki-laki kribo itu belum jauh dari aula, ya?

Jangan dihitung. Coba deteksi hal-hal lainnya yang nggak kribo. Lagian dia pasti lagi sibuk sendiri.

Okey, Phi.

Hel terbang nggak tentu arah, mulai mendeteksi. Kulihat sayap kanannya menghitam akibat serangan si Kribo. Semoga Hel baik-baik saja. Nah sementara itu, bagaimana kalau aku melihat kondisi si ibu dan si anak kecil.

Ibu-ibu berkerudung dan bertangan besi ini hebat sekali tadi. Dia tertembak karena mengutamakan keselamatan anaknya. Sekarang dia masih pingsan, dan itu juga termasuk hebat. Karena luka di perutnya seharusnya sudah cukup untuk membunuh manusia biasa. Sementara anaknya, ya ... anaknya masih menangis. Mungkin aku harus menghiburnya?

"... hey, jangan berlebihan. Jangan nangis. Ibumu masih hidup, kok," kataku pelan.

Anak kecil itu mendongak. Mukanya merah dan basah dan beringus. "D-dia guruku! Namanya Bu Mawar!" bentaknya. "Dia enggak bangun-bangun ... dia—ini, ini semua salah aku! Kenapa memangnya kalau aku nangis?! Daripada kamu enggak ngapa-ngapain! Karena ... karena kamu enggak ngerti rasanya kayak gimana!"

"Uh ... iya. Tentu. Maaf, deh."

Nggak ada lagi yang bisa kukatakan untuk menghiburnya. Lagi pula ... apa yang bisa kukatakan? Bahwa beberapa menit yang lalu, di puing-puing Alforea, surat dari Minerva memberiku informasi tentang ... diserangnya Myrdial, planetku? Bahwa aku mengerti perasaannya ketika berada di posisi yang ditinggalkan, sendirian tanpa bisa melakukan apa-apa? Nggak. Aku nggak bisa bilang itu ke anak kecil. Itu nggak cukup.

Karena aku sendiri nggak mau berhenti berharap. Planet Myrdial mungkin berada di galaksi yang berbeda, terlalu jauh untuk kudatangi sekarang. Tapi aku bakalan tetap membantunya sebisaku. Dari sini. Aku akan memanfaatkan apa yang dijanjikan Battle of Realms, yaitu kotak Laplace, untuk menyelamatkan planetku. Jika fungsi benda itu memang sama hebat seperti penjelasannya, aku pasti bisa memperbaiki semuanya. Aku akan berjuang sampai mati demi memenangkan benda itu.

Dan ... hal-hal seperti itulah, yang sebenarnya ingin kusampaikan juga padanya. Anak kecil itu. Jangan sampai menghilangkan harapan. Tapi ... sialnya aku benar-benar nggak berbakat untuk menyampaikan sesuatu dengan benar.

Phi, aku belhasil mendeteksi kebeladaan yang kuat! Hel melapor. Dia belada di lual luangan ini. Dan kayaknya ... dia memang manggil-manggil kita ... nunggu kita, Phi.

Memanggil, menunggu? Duh, ini bakalan aneh lagi kayaknya. Tapi sudahlah. Semoga dia bisa bantu kita.

Kalau dia malah nyelang kita, Phi?

Kita lawan. Kalau nggak kuat ... ya kabur.

"Hey, anak kecil ...? Naga kecilku berhasil mendeteksi keberadaan kuat yang mungkin bisa bantu selamatin gurumu," kataku sambil menggaruk hidung. "Ayo, bantu aku pindahin gurumu ke atas kasur."

Anak kecil itu malah memasang posisi berjaga sambil melotot ke arahku. Itu memang respons yang masuk akal sih. Tapi ... terus aku harus gimana?

"IDIOT! Kita ini mau ikut bantu! Kenapa jadi digalakin?!" Oh, gawat. Gulingku sudah ikutan ngomong. "Karena kita enggak nangis, bukan berarti kita enggak peduli! Bocah cengeng!" lanjutnya.

Anak kecil itu kelihatan kaget sekarang. "K-kamu bisa ngomong? Kamu kan guling!" serunya. "Lagian, kenapa kalian tiba-tiba baik? Guruku mau diapain?!"

"... ng, kami cuma mau nolong—"

"Nak, percayalah. Kita ingin membantu. Itu saja, tidak ada alasan lainnya," kasur terbangku memotong kalimatku. Bagus, sekarang mereka semua bakal ikut bicara.

"Eophi memang mesum, shushu. Tapi tenang aja lagi," kata bantalku. "Aku bisa kok tahan dia kalo dia mulai gerayangin guru kamu, shushu."

Oi. Kenapa jadi aku yang—

"I-iya, tenang aja. Kalau ka-kamu mau lebih aman, ki-kita bisa kok ikat Eophi," selimutku menimpali. Oke ... sempurna. Aku resmi jadi si kambing hitam.

Sekarang semua menunggu respons anak itu, dan, "Baiklah ... tolong selamatin Bu Mawar, ya? Terus tolong jauhin Eophi darinya! Eophi itu yang rambutnya warna ijo, kan? Jauhin dia! Oh iya, ngomong-ngomong namaku Sunoto."

Akhirnya ... jadilah aku berjalan kaki sendirian, sementara mereka asyik mengobrol di atas kasur yang bergerak keluar aula. Kesal sih, tapi nggak ada waktu buat mikirin pengkhianatan peralatan tidurku sekarang, karena sekarang aku harus fokus sama ... sesuatu yang kuat, yang anehnya menunggu kami di ujung jalan ini.

Aku keluar duluan dari koridor yang menghubungkan aula keemasan dengan ruangan baru—ruangan yang ... hancur. Lantainya tertutup oleh rongsokan besi, bagian tubuh robot, dan senjata. Dinding peraknya hangus, sebagian melesak hancur. Dan ....

Itu dia olangnya, Phi! Hel memekik.

Ya ... itu dia. Berdiri di atas timbunan rongsokan, membelakangi kami. Auranya begitu tenang, sangat tenang sampai-sampai membuatku takut. Dan kurasa, dia bukan orang. Dia punya ekor.

Sebelum aku bisa mengatakan apa pun, dia sudah memulai.

"Selamat datang di Proto Merkavah, Eophi Rasaya," dia berbisik dengan suaranya yang dalam dan dingin, langsung di depan lubang telingaku! Dan dia tahu namaku. Gila. Aku bahkan nggak lihat sedikit pun bayangan ketika dia bergerak. Dia ... sangat cepat. Sedetik yang lalu dia ada di atas tumpukan rongsokan, sekarang, dia sudah merangkulku. "Maaf, atas keributan yang ditimbulkan sisa-sisa robot tolol itu tadi," sambungnya. "Aku terlalu malas untuk mengejar pengecut."

"... oh," kataku setelah tiga detik jeda. "Temanku terluka akibat serangan tadi."

"Tenang. Aku bisa menyembuhkannya. Aku ... juga sudah lama menunggunya. Terima kasih sudah merespons panggilanku dan membawanya ke sini." Dia tersenyum, kemudian menghampiri kasur. Berlutut di samping kepala wanita berjilbab itu. Memandanginya dengan tatapan ... sedih, kangen? "Mawar ... akhirnya," dia berbisik, suaranya bergetar. Sebelah tangannya ditempelkan ke perut si wanita dan—luka-lukanya langsung menutup, beberapa butir peluru tertarik keluar.

Syukurlah. Kita berhasil.

Iya, Phi. Untung olang ini ga jahat, ya? Untung kita ketemunya sama olang baik.

Ng, soal itu ... kita belum tahu pastinya. Makhluk ini sebenarnya apa dan siapa?

"Maaf, tadi aku tidak bisa langsung menemuimu, karena robot-robot tolol itu kembali menyerangku," kata makhluk itu, pada Bu Mawar yang mulai mengerjap. "Mawar-ku yang tangguh. Aku nyaris membunuh diriku sendiri ketika merasakan dampak serangan tadi. Ketika kau tertembak. Kukira kau ... sudah pergi lagi. Tangan kanan barumu pantas mendapatkan ucapan terima kasih spesial dari kita. Tangan kanan itu menciptakan mekanisme ajaib yang mempertahankan kinerja jantungmu."

Jadi ... tangan besi itu yang membuat Bu Mawar ini tetap hidup? Yah, baiklah, itu menjelaskan satu hal.

"Aduduh, perutku ...." Bu Mawar tampak kesulitan ketika mencoba untuk bangun, makhluk berekor itu mencoba untuk membantu, tapi bantuannya ditolak. Kata Bu Mawar, "Kita bukan muhrim, Mas. Mas ini siapa, ya? Apa kita pernah ketemu sebelumnya? Terus ini di mana? Ini kasur siapa? Oh ... ramai ternyata. Kalian ini siapa?" Wow, ya ampun, ternyata Bu Mawar ini cerewet banget. Keren. Tipeku. "Masya Allah! SUNOTO, Nak!" Dan akhirnya ... sang guru melihat muridnya.

"BU MAWAR!" respons Sunoto, langsung melompat ke atas kasur, memeluk gurunya. Pasti rasanya senang sekali. "Aku janji, Bu," Sunoto berbisik mantap, "enggak akan jadi beban lagi. Aku enggak akan biarin Ibu bertarung sendirian. Aku bakalan jagain Ibu. Ibu jangan pingsan lagi, ya?"

"Iyaa, bandel!"

Makhluk berekor itulah yang mengakhiri kesenangan ini. Dia bilang, dengan banyak sekali ekspresi keraguan di wajahnya yang bersisik dan mirip reptil, "Namaku—Dracul. Aku adalah inkarnasi dari wujudku yang lama, sebelum mereka mengubahku menjadi Proto Merkavah." Penjelasan yang membingungkan ... tapi berhasil menarik perhatianku dan perhatian Bu Mawar. Apalagi setelah dia, Dracul, menambahkan, "Banyak hal yang harus kita bicarakan, Mawar ... tapi pertama, aku akan memberitahukan padamu tentang peristiwa berbahaya yang sebentar lagi menimpa tempat ini." Begitulah, aku dan Bu Mawar langsung pasang telinga. "Ini tentang Battle of Realms, dan tentang seseorang yang merupakan kandidat terkuat untuk menjadi Tuhan di semesta data."

"Sebentar, Mas Dracul." Bu Mawar dan Sunoto turun dari kasurku. "Sun, kamu sana main dulu sendiri. Ibu mau ngobrol." Sunoto mengangguk, langsung lari ke timbunan rongsokan, pilih-pilih senjata. Dasar ... anak-anak. "SUNOTO! JANGAN MAININ BEGITUAN! DAN JANGAN JAUH-JAUH MAINNYA!" Deg. Kulihat Sunoto segera menjauhi senjata setelah dibentak. Tiba-tiba jadi anak manis. Wew.

Kusuruh saja semua peralatan tidurku untuk sekalian menjaga Sunoto. Bu Mawar berterima kasih, lalu kami berkenalan secara resmi. Lumayan. Oh iya. Hel ... mau ikut main? Sana ikut main. Tapi kalau ada apa-apa langsung kasih kabar, oke?

Whoa, okey, Phi! Main-main-main! Hel terbang cepat, bergabung bersama Sunoto dan peralatan tidurku. Iri juga melihatnya. Mereka bisa main, sementara aku di sini siap-siap mendengarkan penjelasan ajaib ....

Dracul memulai penjelasan ajaibnya dengan bercerita tentang sejarah Proto Merkavah—atau tentang dirinya. Yah ... aku nggak terlalu nyimak detailnya sih. Yang jelas ... Dracul ini sebenarnya monster ular raksasa yang kemudian dijadikan semacam robot induk. Benteng perang Proto Merkavah, yang digunakan pada perang-perang besar di Alforea, di masa lalu. Sekarang, setelah perang berakhir, Proto Merkavah dinon-aktifkan. Dan setelah itulah, setelah kepasifan itu, kesadaran lama milik ular raksasa ini lahir kembali. Menjadi Dracul.

Tapi Dracul nggak bangkit sendirian. Karena bersamaan dengan kebangkitannya, pasukan robot Alforea di benteng perang ini, yang seharusnya sudah nggak beroperasi, kembali beroperasi. Di sinilah penjelasan menjadi semakin rumit. Ugh, sebenarnya aku benci memikirkan hal-hal rumit ... tapi mau bagaimana lagi? Jadi, berlanjut pada kebangkitan Dracul dan pasukan robot di Proto Merkavah ini. Ya, intinya mereka agak berbeda. Maksudku, Dracul dan para robot itu berbeda. Bedanya, Dracul bangkit tanpa memiliki tujuan absolut. Karena dia memang bukan mesin. Dia cuma bagian lain dari Proto Merkavah yang ikut dibangkitkan. Sedangkan pasukan robot itu, mesin-mesin pembunuh yang memiliki pengalaman berperang selama ratusan tahun itu, dibangkitkan untuk satu tujuan khusus.

Yaitu ... melayani Tuhan mereka, Tuhan dari segala teknologi di semesta ini, Tuhan yang sebentar lagi akan menyusul untuk dibangkitkan.

Ada kabar baik dan kabar buruk untuk pernyataan barusan. Kabar baiknya, kandidat Tuhan itu ada di antara kami, keenam peserta Battle of Realms yang tersisa. Hey ... jangan melihat ke arahku. Tentu saja bukan aku kandidatnya. Lalu soal kabar buruknya ... nggak ada yang bisa memastikan siapa kandidat Tuhan itu, dan, nggak ada yang tahu dia bakalan jadi Tuhan yang kayak gimana nantinya.

Selesai mendengar penjelasan itu ... aku langsung bisa merasakan amarah pada tatapan Bu Mawar. Wajar saja, Bu Mawar ini pasti manusia bumi yang beragama kuat. Masalah pemilihan Tuhan di tempat ini benar-benar suatu dosa besar di matanya. Dan jujur ... sebenarnya aku juga sedikit terganggu. Tuhan macam apa yang bisa dipilih-pilih seperti itu?

Dracul melanjutkan penjelasannya tanpa menghiraukan tatapan kami. Sekarang dia menjelaskan tentang sistem program inti yang melingkupi keseluruhan planet Sol Shefra. Yaitu ... lapisan langit tunggal bernama Astron.

Astron adalah pusat dari semua jenis pertahanan, pengendalian, dan pusatnya kumpulan-kumpulan database cadangan dari semua server yang berada di planet ini. Melalui Astron, para administrator mampu mengendalikan berbagai hal. Seperti memberikan syarat dan ketentuan tertentu pada tiap babak turnamen Battle of Realms, dan banyak lagi (Maaf saja ... tapi aku nggak mau sebutin satu-satu hak para administrator yang dijelasin sama Dracul. Kebanyakan). Intinya, Astron merupakan program yang menjadikan para administrator layaknya dewa di planet ini. Karena hanya mereka yang memiliki kunci akses ke program itu.

Tapi, yang sebenarnya ingin diberitahukan Dracul pada Bu Mawar dan aku soal program Astron tadi, adalah ... kehancurannya. Yah. Sebentar lagi lapisan langit tunggal itu akan dihancurkan oleh kubu tertentu. Kubu yang sama, yang berniat untuk membangkitkan sosok Tuhan di semesta data ini. Dan kehancuran Astron, artinya sama dengan ... hancurnya hak khusus para administrator, lengkap dengan batasan-batasan tertentu di planet ini.

Semua kendali akan dipindahkan. Sol Shefra hanya akan memiliki satu keberadaan yang bebas memerintah pada akhirnya. Keberadaan yang juga menjadi hukum dan mengatur batasan-batasan. Coba tebak siapa keberadaan itu? Yap ... Tuhan buatan.

Semuanya akan dikendalikan oleh Tuhan buatan.

Tapi itu jelas bukan bagian terburuknya. Karena bagian terburuknya justru baru dimulai ketika kubu tertentu itu berhasil menyempurnakan rencana awal mereka—menciptakan Tuhan, dan menguasai semesta data. Ya ... semua itu hanyalah batu loncatan yang akan mereka manfaatkan untuk sampai ke tujuan final. Yaitu ... menjadikan semesta dan dimensi lainnya sebagai satu kesatuan: mengurainya menjadi data-data familier yang bisa diperintah Tuhan mereka. Kemudian, mengulang semua kehidupan itu dari titik nol.

Aku tahu, penjelasan Dracul yang kujelaskan lagi tadi agak sulit dimengerti. Maaf, aku memang agak lemah ketika harus menyampaikan sesuatu.

Sekarang, soal kesimpulanku sendiri tentang seluruh penjelasan Dracul, dan kesimpulanku adalah ... kubu tertentu itu ingin menjadi penguasa di dunia baru. Dunia yang benar-benar hanya satu. Dunia mereka.

Itu jelas nggak bisa dibiarin. Karena itu sama saja kayak mereka mengambil semua kebebasan dari setiap kehidupan.

Ada kemungkinan besar juga kalau kubu tertentu ini merupakan kubu yang sama, yang menyerang planetku beserta planet-planet lain untuk kemudian menjadikan bangsa pribuminya sebagai bahan eksperimen. Hm, seandainya memang benar begitu ... mulai sekarang aku akan benar-benar melakukan perlawanan pada mereka, mencari tahu siapa sebenarnya mereka. Karena ini sudah bukan petualangan untuk menjadi dewasa dan menjadi kuat lagi namanya. Ini adalah petualangan untuk menyelamatkan semesta.

Ya ... aku tahu, hal-hal yang kusebutkan tadi terlalu muluk untuk menjadi kenyataan. Aku? Menyelamatkan semesta? Aku pasti kurang tidur. Lupakan saja.

Dan penjelasan Dracul pun berlanjut. Gila, ternyata tadi itu belum semua, ya? Tapi wajar sih, ingatan Dracul ketika masih menjadi benteng perang pasti banyak dan akurat. Sayangnya, kali ini aku memang nggak mendengarkan apa pun selain ... "Mawar, aku suamimu." Lalu, "Keluargamu adalah salah satu investor permainan gila ini." Ya ... aku benar-benar nggak bisa mendengar lebih banyak perkataan Dracul karena saat ini kepalaku dipenuhi oleh suara Hel yang menjerit!

PHI! SUNOTO KABUL! DIA NYELANG LAKI-LAKI KLIBO BELTATO MATA ITU SENDILIAN!

Apa? Sialan! Buru-buru kutatap Bu Mawar, bersiap melaporkan kelakuan muridnya, tapi ... nggak jadi kulakukan. Karena Bu Mawar sedang menangis, tatapannya kosong. Kenapa dia menangis? Kenapa di saat seperti ini? Sudahlah.

Hel? Di mana kalian sekarang?

Ada pintu kecil di sebelah kanan, Phi. Masuk lewat situ, ikutin tangganya.

Tanpa pamit, aku berlari secepatnya. Melewati timbunan rongsokan, mengabaikan isak tangis Bu Mawar. Tujuanku sederhana saja ... aku harus menghentikan Sunoto. Karena jika hal buruk terjadi padanya, Bu Mawar pasti hancur. Apalagi, jika penyebab terjadinya hal buruk itu adalah si Kribo bertato mata. Nggak. Itu nggak boleh terjadi.

Sesuatu yang lebih besar dari kita semua sedang berlangsung di semesta data ini. Dan kuncinya ada di salah satu peserta Battle of Realms yang tersisa. Ini jelas bukan waktu yang tepat untuk bertarung. Ini waktunya untuk bekerja sama!

Ah, itu dia tangganya. Kunaiki cepat-cepat ... dan—aduh! Berengsek. Kepalaku panas banget! Terlalu banyak hal sulit yang kuterima di menit-menit terakhir! Proto Merkavah ... Tuhan buatan ... Astron ... kubu tertentu ... planet Myrdial ....

Tapi nggak apa-apa. Nggak apa-apa. Karena aku nggak akan pernah menyerah!



4


"Ng, aku pernah melihatnya, kalau manusia bumi muntah-muntah harus dipijat begini."
- Eophi Rasaya -


"Dari tadi kamu maunya penjelasan mulu."
- Fatanir -


"Apa tujuan Anda?"
- Kusumawardani, S.Pd. -


Proto Merkavah
Petualangan x Janda x Mantap
 

Eophi Rasaya

Kaki kanannya baru memijak anak tangga terakhir, ketika dua misil meledakkan pijakan lorong di samping kaki kirinya dan langit-langit tepat di atas kepalanya. Pecahan batu, potongan besi, dan embusan debu seketika mengubur akses tangga menuju ruangan ini—semacam garasi canggih maha luas yang dipenuhi berbagai jenis transportasi perang. Eophi terpental beberapa meter ke depan akibat ledakan itu, tapi ia langsung bangun. Memperhatikan sekeliling. Mencari keberadaan familier: peralatan tidur, naga merah kecil, dan Sunoto.

Hasilnya nihil. Eophi hanya melihat pertempuran di ruangan ini. Udara dipenuhi suara peluru yang berdesing, yang menghantam dinding-dinding berlapis panel baja, sebagian lagi menghancurkan pondasi langit-langit rumit yang saling melengkung seperti gabungan rusuk makhluk-makhluk gigantisme. Lima tank di sebelah kiri Eophi menembakkan arus cahaya ke sekumpulan robot yang pecah berhambur sedetik kemudian. Robot raksasa berbentuk katak di kanan Eophi membalas serangan itu, mereka meluncurkan empat misil, lima tank tadi terlempar sampai membentur dinding. Eophi tiarap, melindungi kepalanya dari puing-puing yang menghujan.

Benarkah mereka ada di ruangan kacau ini? Eophi mulai ragu dan ketakutan. Bila mereka semua berada di tengah kegilaan ini—

Hel, kalian ada di mana?!

Phiii! Jeritan Hel tiba bersamaan dengan suara berdentum dan gempa kecil. Eophi mendongak, mendapati dua kaki robot raksasa terparkir beberapa meter di depan hidungnya. Kaca cembung dan tebal di bagian dada robot itu, tempat kokpit, terbuka ke atas. Langsung memperlihatkan peralatan tidurnya yang berloncatan, Hel yang terbang memutar, Sunoto yang gemetar, dan ... si laki-laki kribo bertato mata.

Mekanisme tangga cahaya diturunkan, Eophi cepat-cepat memanjat naik, bergabung bersama yang lainnya di dalam. Kaca tebal kokpit kembali menutup. Robot gagah setinggi dua puluh meter itu kembali bergerak, melompat tinggi menghindari rentetan tembakan yang melesat dari segala arah.

"... apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Eophi. "Bukankah kalian tadinya hanya ingin bermain?"

Hel dan semua peralatan tidur saling berebut untuk menjelaskan. "Awalnya kami melihat tangga, lalu kami naik untuk melakukan ekspedisi, shushu," kata si bantal. "Maaf, Phi, aku sudah berusaha untuk melarang mereka bermain terlalu jauh tapi—" Kalimat si kasur dipotong oleh si guling, "IDIOT! Kita ini bukan pengecut! Lagi pula ruangan ini kosong ketika kita datang!" Dan si selimut menambahkan, "Pa-pasukan robot itu berdatangan se-seperti gelombang tidak lama kemudian. Dari dua gerbang, di sisi ya-yang berseberangan. Terus me-mereka langsung saling tembak!"

Di tengah kekacauan itu Sunoto lihat si laki-laki klibo beltato mata, Phi. Sunoto langsung maju sendilian, katanya sih buat balasin dendam Bu Mawal, eh taunya dia malah jadi teljebak di antala pelulu, Hel mengambil jeda. Yang nolongin Sunoto tadi bahkan bukan kita, Phi. Tapi laki-laki klibo itu.

Yah, meski agak random, Eophi mengerti inti penjelasan tadi. Intinya mereka main terlalu jauh ... tiba di ruangan ini ... terjebak di tengah pertempuran ... Sunoto melihat si Kribo ... menyerang tanpa pikir panjang ... terjebak ... dan si Kribo menyelamatkannya.

Sunoto menunduk ketika Eophi melirik ke arahnya. Anak kecil itu sedang bersandar di punggung kursi pilot, ia juga menggenggam salah satu senjata canggih dari ruangan Dracul. "Maafin aku," bisik Sunoto. "Jangan bilangin ke Bu Mawar, ya?" Eophi mengangguk pelan.

"WADOOOH! OI, IBU-IBU GOSIP! Siap-siap benjoool!" si Kribo tiba-tiba menjerit panik dari kursi pilot. Dan jeritan itu langsung dibalas oleh suara ledakan yang teredam. Kemudian menyusul guncangan besar yang tak berkesudahan. Saat ini, bagian dalam kokpit seolah berubah menjadi bagian dalam mesin cuci. Jungkir balik. Itu semua karena robot raksasa yang mereka naiki terhantam puluhan misil lawan, lalu jatuh bergulingan.

Sensasi berada di dalam mesin cuci baru berhenti ketika sang robot menghantam sebuah pesawat tempur. Eophi melihat si Kribo langsung menendang kaca kokpit yang sudah remuk sana-sini sampai terbuka, kemudian ia membungkuk di tepinya dan muntah. "Anjeeer ... paiiit! Ohok, huek!"

Eophi menghampirinya, berjongkok di sampingnya sambil memijat tengkuknya. "Ng, aku pernah melihatnya, kalau manusia bumi muntah-muntah harus dipijat begini."

"Ho, iya, emang gitu—huuuek!" si Kribo megap-megap. "Buset ... haduh ... keluar semua dah yang pait-pait. Huft. Thanks lah, Eophi."

"... oke, sama-sama. Sudah?" Eophi tersenyum, sambil dalam hati ia berpikir, bukan, yang jelas pasti bukan laki-laki kribo ini kandidat Tuhan yang dimaksud Dracul. Bu Mawar juga kayaknya bukan. Jadi artinya ... kandidat Tuhan itu nggak ada di kelompok ini. Tapi, tunggu, si Kribo ini tadi menyebut namaku, ya?

"Yoi, udah. Segitu aja lah," kata si Kribo, langsung berdiri.

Eophi ikut berdiri, dan bertanya, "Hey ... ngomong-ngomong kau tahu namaku dari mana?"

"Dari mana-mana," jawab si Kribo asal. "Oheya, kita blom kenalan, yak? Panggil aja gue Fata. Kependekan dari—" Misil nyasar meledakkan bagian sayap pesawat tempur di dekat mereka. "Fatanir!" sambung Fata buru-buru. "Ngobrolnya ntar ae lah kalo ada kopi! Sekarang kabor dolo!"

"... yap. Ide bagus." Eophi menoleh ke belakang. Peralatan tidurnya segera memosisikan diri. Guling di tangan kanan, bantal di tangan kiri, selimut di punggung, kasur di bawah kaki, Hel terbang di atas kepala. "Sunoto nggak apa-apa, kan?" tanya Eophi sambil menggerakkan kasurnya keluar kokpit mengikuti Fata.

"Dia cuma pingsan gara-gara guncangan tadi, shushu." Semuanya melirik ke arah Sunoto yang terbaring di tepi kasur. Dahinya tergores.

"Bu Mawar ... aku ... bakal jagain Ibu," igau anak itu. "Tolong ... kasih ... aku ... nilai sepuluh, Bu—kagak mau ... remedial. Zzz ...."


***


Fatanir

Kau adalah Tuhan-ku, Fatanir ....

Suara manis Kana menyusup di antara riuh suara ledakan. Fata meludah ke samping, merasa muak. Pertemuannya dengan Kana di Bio Lab benar-benar meninggalkan banyak sekali kesan, beban pikiran, dan hadiah.

Salah satu dari hadiah itu adalah ... tato mata di dahi. Fata baru menyadari keberadaan gambar itu di dahinya ketika memancing keluar sepasukan robot dari aula keemasan. Saat itu, Fata melihat pantulan dirinya sendiri pada wajah logam salah satu robot. Apa makna dari tato itu? Fata sendiri masih bertanya-tanya. Dan hadiah lainnya ... adalah ingatan. Ingatan yang terlupakan, yang bisa kembali teringat apabila Fata mencoba untuk mengingatnya. Tapi Fata tidak mau. Atau lebih tepatnya, masih belum mau mengetahui hal-hal terlupakan itu.

Fata meludah lagi, merasa muak lagi. Ia mencoba untuk fokus saja pada situasi saat ini. "Buangkai maksimal dah ini robot-robot," ia mendesis kesal, kemudian celingak-celinguk dari bawah patahan sayap pesawat tempur. Mencoba mencari lokasi yang lebih aman untuk berlindung. Tapi sepertinya mustahil. Tidak ada tempat yang benar-benar memenuhi kriteria aman di ruangan serupa garasi canggih ini. Ratusan robot menembaki ratusan robot lainnya di satu sudut. Sementara di sudut lain, ada robot-robot yang lebih besar, yang beterbangan sambil menjatuhkan bom. Puluhan tank, pedati-pedati peluncur roket, dan transportasi perang lainnya juga ikut seliweran meramaikan pertarungan. "Bah, kagak ada tempat buat selonjoran. Terus kenapa mesin-mesin eni berisik banget seeeh?!" gerutuan si Kribo berlanjut. "Kalo begini kasusnya aku bakalan tuli muda!"

"Hey, ayo kita curi robot besar lagi kayak tadi, shushu," usul sebuah bantal. "Mereka ada banyak, shushu. Gampang carinya tinggal pilih."

"Gampang gundulmu," gumam Fata. "Lagian kalo pake robot segede gaban kek tadi kita bakalan jadi sasaran empuk lagi."

"... ng, apa ada yang mau jelasin kenapa para robot bisa jadi saling serang kayak gini?" tanya si pemilik bantal. Eophi Rasaya.

Fata melirik pemuda berambut hijau itu sekilas. "Dari tadi kamu maunya penjelasan mulu," cibirnya. Tapi kemudian ia menjelaskan juga, "Masih inget kan sama pasukan robot gila di aula emas? Yang kualihkan keluar? Nah, mereka itu kualihkan pakai alat khusus. Semacem radio yang bisa bikin mereka jadi nurut kek pembantu baru. Tapi ternyata—" Fata berhenti mendadak lalu menunduk dan mengumpat kaget. Sebuah ledakan besar baru saja mematahkan bagian pondasi langit-langit, dan patahan itu jatuh beberapa meter di depan rombongan. "Tapi ternyata," lanjut Fata ngeri, "sinyal radio itu kagak mempan sama robot yang pangkatnya rada tinggian."

"Para robot punya atasan?"

"Iya, pinter." Fata menunjuk robot besar bercat dominan biru yang lagi cabik-cabik robot kecil di kejauhan. "Itu contohnya. Salah satu jenderal robot. Terus intinya, tempat ini jadi kacau gegara jenderal robot enggak suka sama robot-robot jelata yang berkhianat, yang ngikutin perintahku. Ngamuklah doi. Perang sodara hasilnya."

"Yuhu! Aku jadi punya ide nih!" seseorang memekik tiba-tiba. Rombongan langsung menoleh ke si pembicara. Yaitu Sunoto. Anak kecil yang baru sadar dari pingsannya. "Bikin lagi aja radio ajaib buat kontrol jenderal robot!"

Fata ketawa sinis. "Lo kira gampang, Cil?!"

"Ya. Itu bakalan susah. Karena ... para jenderal pasti punya mekanisme yang lebih canggih, lebih rumit," kata Eophi sok tahu. "Fata pasti butuh seenggaknya bagian tubuh dari robot tipe jenderal buat cocokin algoritma dasarnya ke gelombang radio."

"Noh, kurang lebih begono, noh! Ngerti, Cil? Jangan samain sistem robotik alien kek satu tambah satu lagi." Fata memelototi Sunoto. Sunoto balas melotot.

"Ngomong-ngomong tahu soal robot dari mana, Phi?" tanya kasur Eophi.

"Dari film robot," jawab Eophi. Dan bersamaan dengan itu, sebagian langit-langit kembali meledak. Kembali runtuh.

"Wuedan, nyaris! Okelah, okelah kalau gitu. Kayaknya emang enggak ada cara lain." Fata mengisyaratkan pada rombongan untuk merapat. Mereka langsung berkerumun, sedikit membungkuk. "Denger. Karena kita bakalan kejebak dan mati konyol kalo lama-lama idup enggak jelas kek gini, dan karena kita enggak punya jaminan tempat aman ... gimana kalo ruangan ini diledakin aja?"

"... hah?"

Rencana Fata memang terdengar gila pada awalnya. Tapi ketika si Kribo melakukan hal itu. Rombongan langsung percaya bahwa apa saja bisa menjadi mungkin.

Dan hal itu adalah ... perubahan Fata.

Ashura—sebuah teknologi luhur yang diciptakan melalui prosesi sakral dari ledakan imajinasi seorang Fatanir, yang di mana pada saat ini teknologi itu juga sudah menyatu dengan tubuh sang pencipta, menjadi jantungnya—berpendar keemasan di balik kemeja putih. Garis-garis terang membentuk sirkuit dan pola rumit di ruas-ruas jari, terus menjalar ke sepanjang lengan, batang leher, sampai ke bawah mata. Dalam kondisi ini, kulit Fata menyerpih bersama desisan. Serpihan-serpihan itu lalu mengambang di sekitar bahu, berekspansi ke segala arah. Kemudian bertransformasi menjadi sesuatu yang nyata dan solid. Sebuah meriam besar bermoncong tiga.

"Wokey," Fata bersiul, bersimpuh, tangan kanannya mencengkeram pelatuk tunggal yang akan memicu tembakan tiga meriam sekaligus. Sebelah matanya mengintip lewat mekanisme pengeker yang mencuat dari sisi badan senjata. Targetnya terkunci. Lurus dan jelas. Yaitu akses tangga yang tertutup puing-puing. "Kita keluar lewat situ," jelas Fata. "Aku bakal bikin dua jalur aman berinterval rata menggunakan peluru sinar ini. Sementara tugas kalian, presisikan posisi robot-robot kecil di antara robot-robot besar dan transportasi perang lainnya. Setelah itu, bikin mereka meledak pakai alat ini." Sebagian kulit Fata kembali menyerpih, membentuk dua radio kubus yang langsung jatuh ke pegangan Eophi dan Sunoto. "Nah, hayo! Kemon bray!"

Sunoto kelihatan jelas sekali kurang mengerti penjelasan Fata, Eophi pun tidak lebih baik. Tapi mereka berdua tetap bergerak ke kanan dan kiri si Kribo, menunggu momentum yang pas. Mereka memperhatikan jalannya pertarungan dengan napas tertahan. Baru satu detik, salah satu robot besar langsung menyadari keberadaan mereka yang terekspos. Robot besar itu berlari ke arah mereka sambil menodongkan senapan listrik, beruntung langkahnya terhenti oleh kepungan robot kecil. Kemudian tanpa jeda, salah satu tank menembakkan peluru radiasi ke arah Sunoto. Eophi melempar bantal, guling, dan selimut untuk melindunginya. Tank penembak itu langsung dikerubungi robot kecil sepersekian detik kemudian.

Fata yang akhirnya menyadari kalau rencana pengintaian ini memberikan risiko besar untuk Sunoto, kembali mengaktifkan Ashura. Kali ini ia menciptakan sebuah prototipe robot kecil. "Psst! Cil, pake nih!" Prototipe robot itu melayang ke belakang Sunoto, kemudian terpecah sesaat menjadi beberapa komponen kecil, sebelum akhirnya saling menyatu kembali setelah tubuh Sunoto terbungkus sepenuhnya.

"Gilaaa! Aku jadi robot! Keren bangetz!" pekik Sunoto dari balik helm robotnya.

Fata mendengus sambil tersenyum. "Pada dasarnya robot-robot di tempat ini emang cuma cangkang doang. Sama kek robot gede yang kita naekin tadi. Yah, intinya loe aman di dalem kaleng itu, Cil. Programnya udah kutulis ulang, lebih fleksibel tanpa resiko."

Pengintaian pun berlanjut. Detik-detik krusial penuh penantian kembali dirasakan, dan kali ini, tanpa gangguan sama sekali! Itu karena pertarungan para robot begitu terfokus, sampai-sampai keberadaan Fata dan yang lainnya diabaikan.

Eophi langsung melapor, sebagian besar pasukan robot kecil di wilayah kiri sedang berpijak di posisi yang bagus—tersebar di antara robot besar dan transportasi perang. Sedetik lewat, giliran Sunoto mengonfirmasikan hal serupa untuk pasukan robot di wilayah kanan. Mendengar itu, Fata hanya mengangguk khidmat ... kemudian berteriak sekuat perut dan tenggorokannya.

"SEKARAAANG, NJIIIR!"

Bersama-sama, Sunoto dan Eophi menekan satu-satunya tombol di radio kubus pemberian Fata. Tombol yang akan mengaktifkan penyebaran gelombang radio berisi perintah khusus untuk para robot kecil. Dan perintah itu adalah ...

Self-destructionactivated!

Ruangan ini bergemuruh oleh ledakan-ledakan dari para robot kecil yang kemudian saling merantai sampai menjadi satu kesatuan. Menjadi dinding api yang menekan, mendorong, dan melempar robot-robot besar beserta transportasi perang dari pijakan mereka semula.

"Giliran gue!" Fata merenggut dan menarik pelatuk meriamnya dengan penuh semangat. Kaki-kaki meriam langsung mengebor otomatis untuk memantapkan pijakan. Semuanya siap. "MAKAN, NEH! KABOOOM MAKSIMAL!"

Tiga arus cahaya besar dimuntahkan dari masing-masing moncong. Ketiganya berdesis, melesat lurus membentur satu-dua robot yang tersisa di jalur tembak, lalu terus melesat ke arah puing-puing yang menutupi akses tangga menuju ruangan Dracul.

Diiringi suara berdentum yang menggema di antara riuh suara ledakan, puing-puing yang menghalangi jalan keluar mereka berhasil dihancurkan.

"Lari sekarang, gaes!" Fata berseru sambil tertawa-tawa. Ia berlari di sisi yang sama dengan Eophi, sementara Sunoto berlari di sisi satunya—di dalam spasi yang diciptakan arus tembakan dari moncong tengah meriam dan moncong kanan.

Mereka bertiga bergerak di antara cahaya, di sekeliling ledakan. Dan mereka tertawa. Rencana gila ini sukses total. Fata terus tersenyum tanpa menyadarinya. Ia lirik Eophi yang juga sedang tersenyum aneh—karena bagaimana pun mukanya tetap terlihat mengantuk.

"... kita benar-benar kompak," kata Eophi. "Padahal kan harusnya kita saling serang di babak ini."

Dan ... kata-kata spontan itulah yang mengembalikan Fata ke permukaan. Fakta yang membuat senyumnya memudar. Kenyataan yang membuatnya berpikir.

Eophi benar. Turnamen Battle of Realms masih berjalan, dan ketentuan untuk lolos dari babak ini sudah dijelaskan. Yaitu mengalahkan dua peserta lainnya. Tapi apa yang dilakukan Fata sekarang?

Fata menunduk—

"Jangan kepedean deh," kata si Kribo setelah kembali memperlihatkan wajahnya. Ekspresinya tengil. "Aku cuman enggak mau itu bocah mati gegara aku. Walaupun salah dia juga tiba-tiba nongol di mari, tetep aja kurang sreg rasanya. Jadi jangan salah paham, Kuping Lancip! Kita kompak cuman di sini doang. Cuman sampai bocah itu balik ke si cewek jilbab. Habis itu, yah, status kita balik lagi jadi lawan. Beres perkara."

—penjelasan Kana kembali terngiang di kepalanya. Tentang tugas yang diberikan untuknya. Tugas untuk mengawasi Myrd terakhir, Eophi Rasaya. Apa karena itu Fata membiarkan Eophi sedekat ini dengannya? Fata langsung membenci pemikiran itu. Tapi, lalu apa? Apa alasan sebenarnya dari semua ini? Bertarung bersama, tertawa bersama? Dan lebih jauh dari itu. Apa ... yang sebenarnya Fata inginkan dari turnamen ini?

Anak tangga teratas yang akan membawa Fata ke ruangan Dracul tinggal beberapa meter lagi. Mereka terus berlari (kecuali Eophi yang berdiri di kasur terbang), semakin cepat.

"Um, nggak," kata Eophi, nada suaranya memaksa. "Pokoknya kita harus tetap kompak. Karena ada sesuatu yang lebih penting dari kegiatan saling serang kita. Dengar, Fata ... ada kubu tertentu yang ingin menciptakan Tuha—" Eophi berhenti mendadak setelah melihat sosok itu. Semua indranya langsung menjerit, mengubah fokus perhatiannya. Isi perutnya meluruh ketika ia membuat kasur terbangnya bermanuver cepat melewati tembakan cahaya dari moncong tengah meriam. "Berhenti!" Eophi berseru. Berusaha menghentikan kecelakaan tragis yang pasti mampu mengubah semuanya.

Di sebelahnya, Fata melakukan hal serupa, nyaris di detik yang sama. Ia melompati sinar yang masih ditembakkan moncong tengah meriamnya. Melompat menuju sisi satunya. Juga untuk mencoba meraih sesuatu ... Sunoto ... yang tak lagi bisa diselamatkan. Karena—

—sosok wanita berjilbab yang baru tiba di anak tangga teratas sudah lebih dulu menghantamkan tangan besinya kuat-kuat, menembus dada robot kecil yang sedang berlari ke arahnya.

Tanpa mengetahui siapa yang berada di dalam zirah robot kecil itu, si wanita berjilbab pasti mengira pergerakannya tadi hanyalah pergerakan normal. Gerakan untuk melakukan perlawanan, pertahanan diri.

Tapi bagi Fata dan Eophi yang mengetahui siapa yang berada di dalam zirah robot kecil itu ... keduanya hanya bisa terbelalak. Sunoto tewas di tangan gurunya.

Sambil menggeram kesal—pada wanita berjilbab itu, juga pada dirinya sendiri—Fata mengaktifkan Ashura. Kemudian ia kendalikan dari jauh helm prototipe ciptaannya. Helm si robot kecil itu langsung membuka ....


***


Bu Mawar

Mayoritas anggota keluarga besar Kusumawardani yang tinggal di Jawa selalu membanggakan gaya hidup mereka yang keningrat-ningratan. Meski sesungguhnya, keluarga ini memang memiliki kekayaan materi yang berlimpah dan keturunan yang cemerlang.

Tapi tak lupa—sama seperti keluarga lainnya—keluarga besar ini juga memiliki rahasia dan kategori masalahnya sendiri.

Kusumawardani menikahi seorang laki-laki yang bukan ningrat? Itu masalah. Investasi gelap pada sebuah permainan misterius? Merupakan salah satu rahasia terpenting keluarga.

Uniknya atau tragisnya, di masa depan, masalah dan rahasia itu justru hidup pada alur takdir yang sama.

Dan takdir itu bermula, tepat di malam ulang tahun pernikahan pertama Kusumawardani. Ketika beberapa orang suruhan dari pihak keluarganya berhasil menciptakan "kecelakaan khusus" untuk sang suami yang tak diinginkan. Hingga hasilnya, malam itu, Kusumawardani menangis di mana seharusnya ia berbahagia. Tangisan untuk sang suami yang dilaporkan tewas karena suatu musibah.

Semua itu merupakan kebenaran. Sang suami tewas akibat kecelakaan. Tapi ada sesuatu di atas kebenaran itu. Fakta penting, yang ikut melibatkan investasi gelap keluarga besar Kusumawardani pada sebuah permainan misterius. Fakta penting yang pada akhirnya tersamar, dan tergantikan oleh rumor dangkal di kalangan penggosip.

Fakta, bahwa sang suami yang tak diinginkan itu sebenarnya tidak pernah benar-benar mati.

Karena keluarga besar Kusumawardani "memindahkan" Kesadaran sang suami yang tak diinginkan itu ke dalam permainan misterius—sebagai salah satu bentuk investasi aneh.

Memang, pada awalnya, beberapa anggota keluarga yang terlibat dalam kasus ini merasa kalau metode yang diterapkan instansi permainan misterius tersebut benar-benar tidak masuk akal. Ditambah, satu-satunya media penghubung bisnis mereka hanyalah internet. Tidak ada alamat spesifik. Tapi setelah berbagai tahap dilewati, dan keuntungan yang dijanjikan memang benar-benar terealisasi, berlanjutlah hubungan kerja sama mereka. Sampai akhirnya, mereka tiba di poin puncak, di mana instansi permainan misterius itu mengharuskan investor untuk menginvestasikan sebuah Kesadaran.

Seminggu sebelum ulang tahun pernikahan Kusumawardani, benda khusus yang mampu mentransfer Kesadaran dikirimkan oleh instansi permainan misterius itu langsung ke Jawa. Ke kediaman utama keluarga besar.

Lalu, yang terjadi selanjutnya adalah hal-hal yang sudah dijelaskan di awal. Kusumawardani kehilangan suaminya, karena keluarga besarnya sendiri menjadikan laki-laki malang itu sebagai pelengkap investasi.

Hingga hari ini ... akhirnya masalah dan rahasia itu bertemu di persimpangan takdir yang sama. Karena pada hari inilah ... di semesta data, Kusumawardani dipertemukan kembali dengan sang suami yang dirindukannya.

. . . ~

. . ~

Beberapa menit sebelum kematian Sunoto. Di ruangan Dracul.

Bu Mawar masih menangis. Dari semua penjelasan yang dituturkan oleh Dracul, penjelasan terakhirlah yang benar-benar memukul batinnya telak. Bu Mawar memang sangat marah ketika Dracul menjelaskan tentang keberadaan kubu tertentu yang ingin menciptakan Tuhan. Bu Mawar juga turut prihatin ketika mendengar penjelasan tentang Astron—lapisan langit tunggal yang berfungsi sebagai program inti planet Sol Shefra—yang akan dihancurkan. Tapi hanya sebatas itu saja efek dua penjelasan itu: marah dan prihatin. Berbeda dengan efek yang diberikan penjelasan terakhir, tentang identitas sebenarnya dari Dracul, yang benar-benar membekas, serta menghancurkan emosinya.

"Enggak," Bu Mawar berujar lirih, tubuhnya tegap berdiri, tapi pandangannya mengabur karena air mata. "Keluargaku enggak akan berbuat seperti itu. Dan kamu, kamu, Mas Dracul ... kamu bukan suamiku."

Dracul tercekat. "Lalu kenapa kau menangis, Mawar?"

"Karena saya—" Bu Mawar tidak bisa melanjutkan kalimatnya. Kenapa Bu Mawar menangis? Tentu saja karena dari awal, wanita berjilbab itu memang sudah merasakan hal yang tidak biasa di dalam diri Dracul. Intuisi. Seperti ketika ia mampu merasakan apa yang dirasakan murid-muridnya. Kemampuan untuk mengenali makhluk-makhluk tersayang.

"Mawar," bisik Dracul, ekspresi di wajah reptilnya tampak memohon. "Maafkan aku. Tapi sungguh aku tidak akan pernah memintamu untuk memercayai penjelasanku, aku ... hanya ingin kautahu itulah yang sebenarnya terjadi."

"Ya ... terima kasih buat penjelasannya." Bu Mawar berniat mengusap wajah menggunakan punggung tangan kanan, kemudian teringat kalau bagian itu sudah tidak lagi berlapis kain. Bagian itu sudah menjadi besi. Lengan bionik.

Layar kecil di tangan besi itu berkedip meminta perhatian, menampilkan tulisan dan peta hologram.

Beep! [ Pemindaian lokasi Proto Merkavah ... selesai. ] Beep! [ Misi R5 Renggo Sina ... mengumpulkan informasi historis Proto Merkavah. ]

"Mas Dracul, maaf," kata Bu Mawar, sambil menoleh mencari Sunoto. "Saya harus pergi. Mas Dracul enggak apa-apa ditinggal sendiri?"

"Izinkan aku ikut dan membantumu, Mawar," sahut Dracul cepat.

Bu Mawar menggigit bibir bawahnya, resah dan ragu pada usul itu.

Dracul melanjutkan dengan lebih lembut, "Proto Merkavah akan menjadi titik awal peperangan besar di Sol Shefra. Itu artinya, tempat ini akan menjadi sangat berbahaya." Dracul bersimpuh kemudian bersujud. "Ini mungkin kesempatan terakhirku untuk bisa bersamamu," lanjutnya, pelan dan tegas. "Jadi kumohon izinkan aku menghabiskannya dengan berdiri di dekatmu sebagai pelindung. Kumohon."

"Sa-saya enggak suka sama alasan itu, Mas Dracul!" Suara Bu Mawar bergetar. "Kalau Anda mau ikut, ikutlah dengan tujuan yang lain. Saya bisa menjaga diri saya dan murid saya sendiri."

Masalahnya ... kaulah satu-satunya alasan dan tujuanku, Dracul membatin, kemudian berdiri dan mengatakan, "Terima kasih, Mawar. Kau benar, dengan kekuatanmu yang sekarang, kau akan baik-baik saja. Aku akan mengikutimu karena tujuan lain."

"Apa tujuan Anda?"

Wajah reptil Dracul tersenyum sementara ekor di pinggulnya bergerak senang. "Aku akan menghentikan rencana kubu tertentu itu," katanya. "Aku akan menghancurkan Tuhan mereka."

"Menjadi pahlawan?" canda Bu Mawar.

"Ya. Menjadi pahlawan." Dracul mengangguk mantap.

"Baiklah."

Maka dengan begitu, ikutlah Dracul bersama Bu Mawar. Wanita berjilbab itu kembali memperhatikan sekeliling, mencari Sunoto. Nihil, muridnya tidak terlihat di mana-mana. Bahkan peralatan tidur ajaib, naga kecil, dan pemuda berambut hijau bernama Eophi juga tidak ada.

"Dasar anak-anak bandel!" Bu Mawar mulai cemas, berjalan-jalan ke tumpukan rongsokan, mengangkat salah satu sampah besi, mencari di bawah selongsong misil. "Enggak ada ... mereka pada ke mana, sih?"

"Eophi Rasaya pergi meninggalkan ruangan ini di tengah penjelasan tadi. Mungkin untuk menemui muridmu," kata Dracul. "Sebentar, akan kulacak keberadaan mereka." Dracul berdiri setenang patung, kedua matanya menutup.

Bu Mawar sedang mencari-cari di bawah pecahan tubuh robot ketika Dracul berseru, mengagetkannya. "Gawat! Mereka semua dalam bahaya, Mawar! Ikuti aku!"

Jantung Bu Mawar seakan ditarik keluar. Sunoto dalam bahaya! "Di mana mereka, Mas Dracul?!"

"Lewat sini!" Dracul berlari di depan, melewati beberapa timbunan rongsokan. Bu Mawar mengekor, wajahnya rusuh.

Mereka memasuki pintu kecil di pojok kanan ruangan, langsung dihadapkan dengan barisan tangga spiral, puing-puing, dan hujan debu. Mereka menaiki tangga tanpa mengurangi kecepatan. Jantung Bu Mawar kembali merasakan tarikan dingin ketika mendengar keributan yang teredam di atas sana. Ledakan, dan desisan.

"Ya, Allah ... lindungi Sunoto," bisik sang guru. "Sebenarnya ada apa di atas sana?"

"Pertempuran," gumam Dracul. "Awas—"

Sebongkah batu besar jatuh di depan mereka, menghambat jalan. Dracul menoleh ke belakang. "Mawar, kau tidak apa-apa? Bagus. Ayo hancurkan batu ini. Aku akan membantumu." Tubuh Dracul meledak menjadi kabut yang kemudian menyelubungi tubuh Bu Mawar. "Pukul."

Bu Mawar menurut. Wanita itu maju dua langkah, kemudian meninju. "Subhanallah!" pekik Bu Mawar di antara suara berderak dari bongkahan batu yang hancur terpecah. "Sekali pukul!"

"Ya. Aku akan menjadi kekuatan, pertahanan, dan kecepatanmu yang baru, Mawar," kata Dracul dalam wujud kabutnya. "Ayo. Terus ke atas."

Sang guru kembali berlari. Kabut putih berdenyar-denyar di sekelilingnya. Membuat gerakannya dua kali lebih cepat, lebih cekatan. Beberapa puing yang menghalangi dihantam langsung oleh tangan besi berkekuatan mutan, atau dilompati dengan mudah. Sudah dekat, satu putaran lagi untuk tiba di anak tangga teratas.

Suara ledakan dan guncangan semakin memperkuat efeknya di jarak ini. Tampak pula tiga baris cahaya, berdesis di ujung lorong, menghantam dindingnya. Bu Mawar berlari menunduk di antara cahaya-cahaya itu, menyelinap keluar.

Satu langkah lagi, ia tiba. "Sunoto!" pekiknya panik. Melihat hanya ada api ledakan dan puing-puing beterbangan di ruangan luas ini. Kaki kanannya memijak anak tangga terakhir, "SUNOTO!" Pemandangan semakin jelas. Ruangan ini benar-benar seperti neraka. Lalu ...

Beberapa meter di depannya, tampak robot kecil berlari begitu saja, menghampirinya dengan tangan terulur. Fokus Bu Mawar benar-benar kacau sampai keberadaan robot kecil itu baru disadari. Bu Mawar juga sebenarnya tidak siap untuk bertahan, tapi dibantu dengan refleks barunya, satu pukulan berhasil disiapkan.

"Berhenti!" Bu Mawar mendengar seseorang berteriak. Tapi terlambat. Pukulan sudah terayun, tepat ke bagian dada si robot kecil.

Bu Mawar! kali  ini pekikan Sunoto menggema di kepalanya. Sang guru tercekat. Nalurinya menjerit, memerintahkan tinjunya untuk berhenti. Tapi tidak ada yang bisa dilakukan. Tinju besi itu sudah menembus dada si robot kecil.

Darah merembes keluar. Membasahi tepian metal di sekitar perut, membasahi pula tangan besi yang masih tersangkut.

Kedua mata sang guru terbelalak ngeri, jeritan tanpa suara keluar dari mulutnya yang bergetar, ketika helm robot kecil itu membuka ... memperlihatkan di baliknya, ekspresi sekarat dan ketakutan dari wajah familier.


***


Saat ini.

"Dasar cewek bego!" seru laki-laki berambut kribo. Meski buram oleh air mata, Bu Mawar bisa melihat laki-laki itu, berdiri tidak jauh di depannya sambil menunjuk-nunjuk kesal. Dari jarak sedekat ini, Bu Mawar juga menyadari perubahan pada penampilan laki-laki itu. Ada garis dan pola yang menyala di sekitar leher sampai bawah mata, lalu di dahinya ... tampak tato satu mata yang berpendar.

"... hey, Fata!" sahut Eophi. Bu Mawar juga bisa melihat laki-laki berambut hijau itu, berdiri di atas kasur, di samping si Kribo yang bernama Fata. Mereka sedang meributkan sesuatu. Tapi entah apa yang mereka ributkan, yang jelas Bu Mawar tidak memedulikannya.

Nyatanya, pada saat ini memang tidak ada yang dipedulikan oleh sang guru. Bahkan rentetan api ledakan yang masih berdentum-dentum di ruangan ini pun hanya terdengar seperti suara latar di kejauhan. Semuanya benar-benar tidak nyata. Sampai ... pandangannya kembali kepada wajah itu.

Wajah di balik helm robot kecil. Wajah Sunoto. Kenyataan kembali menghantamnya seperti gemuruh.

Sambil terisak, Bu Mawar bersimpuh, menarik pelan tangan besinya dari dada si robot. Ia tegakkan lalu tubuh robot itu. Sunoto pun tersenyum untuk gurunya, berusaha mengatakan sesuatu ... tersenyum lagi, kemudian diam. Ekspresinya membeku dalam senyum. Bu Mawar menggeleng, berusaha ikut tersenyum, berusaha membangunkan muridnya dengan kata-kata. Tapi tidak ada yang bisa dilakukan. Sunoto sudah pergi.

Tidak ada yang pernah mengetahui kata-kata terakhir anak kecil itu tadi. Kata-kata yang seharusnya berbunyi ... si Kribo itu ternyata bukan manusia berengsek, Bu. Dia nyelamatin aku. Jangan marah sama dia, ya?

"Cewek toloool!" Bu Mawar kembali mendengar jeritan marah Fata. Dan mendengar setelahnya, upaya Eophi yang dengan bodohnya kembali mencoba menghentikan racauan itu. Eophi gagal. Fata melanjutkan, "Zirah robot itu gue ciptain, buat lindungin dia! Bukan buat dibolongin dadanya! Lu—aduh, lu itu lagian kenapa sih?! Dateng-dateng maen tonjok! Cewek somplak!"

Bu Mawar mendongak menatap Fata. Ekspresinya hancur. "Kamu ... yang masukin Sunoto ke benda ini?" tanyanya, nyaris berbisik. Setitik kebencian menyala, terpancar kemudian di sorot matanya yang kosong. "Kamu yang bikin saya ... saya—jadi gini? Kamu?"

"Wogh! Jadi sekarang ane nih yang salah?! Ente gila, Mbak! Gila!"

"Fata ... Bu Mawar ... sudah, tahan dulu," interupsi Eophi—yang sudah pasti diabaikan.

Bu Mawar membaringkan Sunoto pelan-pelan, mengusap matanya, membisikkan doa singkat, kemudian berdiri. Berdiri tegak, dan berjalan ke depan Fata. "Kamu?" Bu Mawar berbisik, tanpa emosi. "Ya ... kamu. Ini salah kamu." Bibir wanita berjilbab itu melengkung tiba-tiba, membentuk senyum sinting. Kebencian meledak-ledak di sorot matanya yang membulat hampa. Kabut putih di sekelilingnya bergerak gelisah.

"Ma-mawar ... apa kau yakin?" tanya Dracul lembut dan bersimpati.

Bu Mawar hanya mengangguk, dan malah membisikkan, "Aku sendirian sekarang."

Tidak! Dracul seolah menangis, kemudian meledakkan kekuatan penuhnya. Kau masih memilikiku, Mawar!

Kabut putih berubah menjadi gelombang. Naik dan terus naik. Diikuti lalu oleh jeritan Bu Mawar yang seolah mampu mengiris langit-langit. Gelombang putih pun berubah menjadi hitam, tumpah ke segala arah, melontarkan apa saja yang berada di dalam jangkauannya—Fata, Eophi, lapisan lantai, tiga sinar hasil tembakan meriam Fata, api ledakan, robot-robot besar, transportasi perang. Setengah ruangan ini porak-poranda.

Dan itu hanya permulaannya saja. Karena sambil menjerit, menyuarakan mimpi buruk, Bu Mawar melesat seperti peluru hitam. Langsung menuju Fata yang bahkan masih terkapar di antara serpihan besi. Tinju besi sang guru terangkat, bayangannya tepat berada di wajah Fata. Satu kilatan hitam kemudian, tinju itu turun bersama kekuatan yang mampu meremukkan berlapis-lapis lantai sekaligus. Tapi tinju itu meleset.

Fata berguling ke samping di detik yang tepat. Laki-laki itu mengumpat kasar, berusaha bangkit, berusaha menjauh. Dan gagal. Bu Mawar lebih dulu mencengkeram sebelah kakinya, melemparnya ke arah yang lain. Fata kembali terseret, Bu Mawar kembali mengejarnya.

Tersulut suasana pertempuran, robot-robot besar yang tersisa dan masih bisa bergerak, langsung bergerak ke arah Bu Mawar dan Fata. Langkah-langkah mereka berdentum menginjak serpihan besi, senjata mereka mendengung sebelum memuntahkan arus-arus api. Bu Mawar menghindari semuanya. Sementara Fata menciptakan semacam panel besi tebal untuk bertahan.

Ketika tiba waktunya untuk menyerang balik, gerakan Bu Mawar sudah semakin mengabur, semakin cepat. Satu per satu, kaki robot-robot itu dicabik tangan besi. Menyusul bagian kepala yang dihantam begitu saja sampai lepas dari badannya. Bu Mawar kembali menjerit dan melesat ke target semula. Fata—yang pada saat ini sudah selesai menciptakan semacam bazoka dan melumpuhkan beberapa robot—mengubah bidikannya cepat-cepat. Mengarahkannya pada objek hitam yang bergerak lurus di depan.

Moncong senjata besar itu meletupkan peluru khusus. Bu Mawar mengepalkan tinjunya, bersiap untuk menghalau peluru itu tanpa mengurangi kecepatan. Tapi sebelum dua kekuatan itu bertemu, sesuatu mendarat di titik tengah. Sebuah kasur terbang, dan beberapa makhluk bodoh yang menungganginya.

"Pillow Fight!" Rambut hijau Eophi Rasaya sampai tertarik ke segala arah karena angin ledakan. Bantalnya berubah menjadi benteng di saat yang tepat. Menahan tinju besi Bu Mawar, dan peluru khusus Fata. "Tolong hentikan ini!" seru pemuda itu setelah bunyi benturan mereda.

Baik Bu Mawar dan Fata hanya merespons dengan geraman. Dan satu lagi ... "MINGGIR!" Jeritan. Kemudian keduanya mengambil jalan memutar, kembali saling serang.

"... sialan!" Kasur terbang mati-matian mengikuti mereka. Sambil menggunakan benteng cahayanya, Eophi menahan apa yang bisa ditahan. Hantaman peluru-peluru. Pukulan demi pukulan.

Pertempuran terus berlangsung.

"KENAPA MEMBIARKAN ANAK KECIL BERADA DI DALAM BENDA TERKUTUK ITU?!" jerit Bu Mawar sambil meninju tameng besi ciptaan Fata. Meninggalkan suara berdentang yang menggema.

"BODO AMAT! Percuma ngasih penjelasan ke orang sarap!" Fata balas menjerit. Tangan kanannya yang memegang senapan listrik menyelinap lewat sisi tameng, menembak, dan meleset karena Bu Mawar melompat.

"Tidak salah lagi, Mawar," bisik Dracul dalam bentuk kabut hitam. "Laki-laki itu adalah kandidat Tuhan!"

Tinju besi Bu Mawar semakin mengepal mendengar informasi itu. Aura hitam di sekitarnya, yang membesar dibantu gelombang kabut, ikut meletup-letup. "TUHAN APANYA? DIA ITU CUMA OMONG KOSONG! PEMBUNUH ANAK-ANAK!"

Bu Mawar meluncur turun, menumpahkan gelombang hitam, mencoba melontarkan lagi semuanya.

Tepat di bawahnya, Fata kembali merekonstruksi bazoka, siap menyambut serangan bergelombang dengan menembakkan beberapa peluru khusus sekaligus.

Dan di tengah semuanya, kasur terbang terparkir. Eophi berusaha menahan kedua serangan gila itu dengan kekuatan benteng cahaya yang tersisa.

Lalu semuanya berbenturan. Semuanya menghilang dalam satu kejut cahaya, dan lautan ledakan yang tercipta setelahnya. Ruangan ini lebur pada kehancuran. Sisa puing, bagian-bagian robot, transportasi perang, dinding baja, lapisan lantai, rangka langit-langit, semua rata oleh api yang meraung. Semuanya hangus.

Sementara kondisi ketiga peserta, ketiganya jatuh berdekatan di suatu cekungan pada lantai baja. Bagian bawah jilbab Bu Mawar terbakar ... tangan kiri Fata patah ... Eophi telungkup di atas kasur.

Bu Mawar lah sosok yang pertama kembali bergerak. Tinjunya masih terkepal. Ia menunduk, menyeret langkahnya mendekati Fata yang terengah-engah. "Sunoto itu muridku," bisik sang guru. Setetes air mata jatuh dari dagunya. "Seharusnya aku melindunginya."

Fata mendengus jengkel. "Iya, jenius. Harusnya!"

Tanpa mengatakan apa-apa lagi, pukulan final pun dilayangkan Bu Mawar. Dan masih meleset.

Bukan karena Fata yang menunduk menghindar. Tapi karena sebuah selaput cahaya, yang entah muncul dari mana, menahan tinju besi itu. Selaput cahaya itu kemudian bergerak membungkus tubuh Fata. "Wooey! Apaan neh?!" Dan menghilang bersamanya seperti sulap intermeso.

Di saat yang bersamaan, gadis berambut merah muncul di samping kasur Eophi. Gadis itu membuka portal berpola matriks dengan cepat, kemudian menghilang ke dalamnya, sambil menyeret kasur bersama semua yang menungganginya.

Bu Mawar mematung menyaksikan lawan-lawannya hilang satu per satu, lalu ia jatuh bertekuk lutut. Dan karena terlalu lelah untuk berpikir, wanita itu akhirnya hanya menangis. Menjerit di antara api. Darah Sunoto masih basah di tangan kanannya.

"Mawar ...." Dracul si kabut kembali bertransformasi menjadi wujudnya semula—manusia reptil. Kemudian ia bersimpuh di depan Bu Mawar, mencoba menghiburnya meski sia-sia.

Dan sementara itu di luar Proto Merkavah sendiri ... langit malam bergolak. Lingkaran cahaya terbentuk dan terus berekspansi. Ribuan kapal angkasa dan sebuah kapal induk berbendera satu mata keluar dari sana. Melayang-layang—dengan intensi yang masih menjadi misteri—mengikuti lintasan monoton dari benteng perang yang bergerak. Seperti hantu, mengelilingi teritorial Alforea.



5


"Yeah, itulah intinya."
- Minerva -


Markas Besar Organisasi Tifareth
Perspektif Minerva
 

Dear, Eophi si idiot narkolepsi akut.

Pertama, aku akan menceritakan padamu tentang sesuatu yang hebat. Tentang Organisasi Tifareth. Dan perkenalkan—meski kau pasti sudah mengetahuinya—namaku Minerva. Aku menjabat sebagai kapten divisi dua di organisasi ajaib ini. Keren, kan?

Nah. Bagaimana kalau kumulai cerita ini dari ... markas besar kami? Yah, mumpung sekarang aku lagi ada di sini juga, sih.

Markas besar Organisasi Tifareth terletak di dalam gugus bintang Tifareth. Gugus bintang yang paling indah, dan paling dekat dengan planet Sol Shefra. Posisi ini sangat strategis, loh. Karena dari sini kami bisa memantau hampir seluruh kehidupan yang ada di semesta data. Lalu tentang arsitekturnya, yah, karena rata-rata anggota dari organisasi ini pemalas dan jorok, bisa dibilang kalau bentuk dari markas besar kami ini seperti kastel tua yang dialihfungsikan menjadi tempat pembuangan sampah. Ini serius. Kastel ini berdebu dan bau banget.

Mungkin cukup dengan masalah geografisnya. Sekarang akan kuceritakan tentang kehidupan di dalamnya. Apa saja yang dilakukan Organisasi Tifareth dan anggota-anggotanya. Ayo, mulai investigasinya dari kamarku. Whoops, ini bercanda, loh. Jangan pernah masuk ke kamarku kalau masih sayang nyawa.

Oke, jadi apa yang dilakukan oleh Organisasi Tifareth? Sebenarnya simpel dan klise saja. Yaitu, menjaga keseimbangan semesta data. Dan kami sebagai anggota-anggotanya merupakan pion-pion manis yang bekerja untuk merealisasikan misi itu.

Bicara soal misi, akhir-akhir ini tugas kami beratnya minta ampun. Kami harus menghancurkan suatu ordo bernama Horus. Mereka adalah perkumpulan yang diisi oleh kriminal-kriminal antar semesta dan dimensi. Dipimpin oleh sosok misterius bernama Kana. Ancaman Ordo Horus di semesta data bukan main gilanya, karena mereka ingin menguasai keseluruhan semesta ini, untuk kemudian memanfaatkannya sebagai langkah awal menguasai semesta dan dimensi lainnya.

Perang besar pertama antara Organisasi Tifareth dan Ordo Horus mungkin akan pecah malam ini. Di Alforea. Tapi itu masalah kami. Jangan terlalu dipikirkan. Kau pasti sudah cukup sibuk dengan turnamen Battle of Realms.

Baiklah, itu saja penjelasan tentang siapa kami dan apa yang kami lakukan. Sekarang, akan kujelaskan tentang kekuatan kami. Pertama, kau pasti penasaran setengah mati kenapa aku bisa datang dan pergi seenak udelku? Entah itu di Alforea, di dalam database, atau di Amatsu? Yah, itu karena aku—kami—terlahir memiliki kunci akses untuk menjadi administrator.

Tapi jangan salah. Proses pemindahan itu sangat sulit. Buktinya, organisasi sampai menugasi seribu anggota hanya untuk bekerja di bagian teleportasi. Seribu anggota itulah yang nantinya meretas akses atau gerbang-gerbang tertentu, menciptakan lubang, menonaktifkan sistem penjagaan, sampai akhirnya mengirim agen-agen lewat celah aman. Kebetulan, sembilan ratus sembilan puluh tujuh dari seribu anggota di bagian teleportasi itu adalah temanku. Jadi, yah, gampang saja aku sogok mereka untuk mengirimku ke mana pun kau berada.

Selain teleportasi, masih banyak lagi yang bisa kami lakukan. Intinya sih kami memiliki hak pengaturan yang sama seperti administrator-administrator resmi Sol Shefra. Bedanya, kami ini adalah para penyendiri yang kompak dan ... baik hati? Em, begitulah. Kami memiliki kekuatan, tapi kami hanya menggunakannya untuk kepentingan yang benar-benar baik. Aku tahu, kebaikan itu relatif. Tapi percaya deh, apa yang kami lakukan hampir selalu untuk akhir yang lebih baik untuk semua pihak.

Jadi itulah kekuatan kami. Dan akhir ceritaku tentang penjelasan seputar Organisasi Tifareth.

Sekarang, akan kuceritakan padamu tentang ... kenapa aku sampai menulis surat ini. Dan kuharap kupingmu yang lancip tidak berubah merah, atau wajahmu yang tolol dan beler tidak menjadi semakin beler dan tolol.

Singkatnya, aku menulis surat ini karena aku menyukaimu. Jangan nyengir, jelek!

Aku juga tidak mengerti kenapa ... tapi begitulah. Aku menyukaimu, Eophi. Mungkin ini karena penyakitku waktu kecil. Waktu itu inti dataku hampir dihapus karena tercemar parah oleh semacam fenomena. Sampai, keajaiban datang menyembuhkanku. Iya, keajaiban. Keajaiban itu sangat jarang terjadi di kalangan kami para makhluk-makhluk biner. Karena kami ini makhluk yang lurus dan pasti. Tapi itulah yang terjadi. Aku menerima keajaiban setelah melihat bintang asing yang melesat, mungkin tersesat, ke sistem galaksi ini. Aku disembuhkan oleh pemandangan cantik itu. Inti dataku pulih. Dan tahukah kau, di sini, bintang jatuh adalah metafora bagi bangsa Myrd yang telah lulus? Yeah, itulah intinya. Aku selalu mengira telah disembuhkan oleh keajaiban bangsa Myrd. Oleh bangsamu. Jadi jangan ge'er. Mungkin aku menyukaimu hanya karena itu saja.

Atau, karena kau adalah bajingan yang pertama kali menciumku.

Atau, karena kau ini relatif lemah dan selalu menjadi sasaran menarik untuk kukerjai.

Atau ... apa pun itu alasan lain yang bisa kutuliskan, tapi tidak akan kutuliskan karena pasti menghabiskan banyak sekali kertas (aku ingin mengirim mikromemoar padamu tapi kau pasti tidak bisa mengoperasikannya). Jadi, ya, terpaksa kertas. Kutulis di kertas ini, semua hal yang perlu kau ketahui.

Ps. Malam ini mungkin aku mati, kau tahu, karena perang besar dengan Ordo Horus. Jadi, surat ini bisa menjadi semacam surat perpisahan juga. Disimpan, ya, idiot?


***


Beberapa menit sebelum kematian Sunoto. Di markas besar Organisasi Tifareth.

Minerva melipat kertas surat yang telah selesai ditulisi, ia kecup satu kali surat itu, kemudian berjalan keluar dari kamarnya. Suasana hatinya sedang baik, jadi ia bersiul di sepanjang koridor menuju ruang rapat para petinggi.

Dinding koridor di markas besar selalu menarik untuk dipandangi, atau dimaki. Begitu banyak terpajang lukisan-lukisan berharga yang menceritakan sejarah semesta data, tapi kelihatan sekali kalau semua itu tidak dirawat. "Ternak laba-laba," cibir Minerva.

Sesampainya di ruang rapat berdinding kusam, Minerva melihat sudah ada beberapa petinggi yang sibuk berdebat. Gadis berambut merah itu mengabaikannya dan malah berjalan ke depan dua monitor besar di sudut ruangan.

"Sinyal Sol Shefra lagi bagus," kata salah satu anggota yang sedang menonton. "Yang mana jagoanmu, Minerva?"

Minerva jelas langsung melihat ke monitor berlabel Proto Merkavah. Ke satu kolom yang memperlihatkan gambar renyek dari pemuda berambut hijau, Eophi. Di kolom lain, dengan kualitas gambar sama renyeknya, terlihat pula si Kribo, Fatanir, dan sang guru, Bu Mawar. Keadaan di Proto Merkavah sedang gawat-gawatnya. Tapi tidak banyak anggota organisasi yang menonton monitor ini. Semuanya sibuk teriak-teriak menonton monitor satunya, yang berlabel Proto Rahamut.

"Si rambut putih itu bisa acak-acak dimensi! Leh uga—"

"Jagoanku, sih, tetep ibu-ibu hot itu! Shoot me like you mean it, Mommy—"

"Tapi menurutku cewek penyihir ini yang paling kuat—"

"Mungkin karena dia sudah tidak lagi perawan—"

"Apa hubungannya, Mas—"

Minerva memutar bola mata mendengar komentar teman-temannya. Kemudian ia mendengar salah satu petinggi memanggilnya.

"Minerva, kapal induk dan beberapa faksi pengebom Ordo Horus sudah memasuki wilayah Astron di langit Alforea. Kemungkinan Kana ada di salah satu kapal itu. Persiapkan beberapa agen dari divisimu untuk membantu pengintaian," cerocos petinggi berzirah emas.

"Oki doki, Sir." Minerva menghormat. Pada meja rapat di sebelahnya, ia bisa melihat beberapa poster digital dari tokoh-tokoh penting seperti: Tamon Ruu si wanita misterius, Hewanurma si orang hilang, Dimas Pamungkas, dan beberapa dewa dari semesta lain yang masing-masing berpose sangat konyol.

Sebelum Minerva meninggalkan ruang rapat, ia tengok sekali lagi monitor berlabel Proto Merkavah. Sesuatu yang dingin langsung menghantam organ dalam tubuhnya. Karena pada salah satu kolom, ia melihat seorang anak kecil baru saja terbunuh. Tidak lama setelahnya, ketiga peserta bertarung. Wanita berjilbab mengamuk ... si Kribo menciptakan benda-benda aneh ... Eophi terjebak di tengah-tengah kekuatan gila itu, jelas tidak berdaya, tapi malah bertindak bodoh.

Minerva meremas-remas tangannya sendiri. Apa yang kaulakukan, idiot?

"Eophi Rasaya pasti mati," celetuk satu-satunya anggota, selain Minerva, yang menonton monitor Proto Merkavah. "Bu Mawar mendapat bantuan kekuatan dari inkarnasi Dracul the Leviathan—ingat sama monster ular raksasa itu, kan? Mvp pertama di Rupture Underwater City yang kemudian dimodifikasi menjadi setengah cyborg, menjadi benteng perang Proto Merkavah di era peperangan Alforea? Lalu yang satu lagi, Fatanir namanya, bukankah dia kandidat Tuhan terkuat yang dimiliki Kana? Begitulah. Pemuda berambut hijau itu tidak mungkin selamat melawan Mvp terkuat Alforea dan kandidat Tuhan sekaligus. Aku tidak akan bertaruh untuknya. Bagaimana menurutmu, Minerva? Siapa jagoanmu?"

Minerva langsung berlari keluar ruang rapat, melewati beberapa koridor, kemudian menendang pintu ruang teleportasi. Seribu anggota pada divisi itu, yang sedetik sebelumnya masih sibuk menatap monitor masing-masing, sontak mendongak kaget berbarengan. Minerva merenggut kerah seorang anggota yang duduk di barisan depan.

"A-ada apa, Minerva? Aku enggak lagi lihat porno, kok! I-itu cuma e-mail iseng dari temanku di Uranus. A-aku—"

"Tolong kirim aku ke Proto Merkavah," Minerva memotong. "Sekarang."



6


"Bangsa Myrd adalah bangsa para pelindung, Minerva."
- Eophi Rasaya -


"Tapi kalo begini eike jadi kaga bisa bergerak, lha, perdomseh!"
- Fatanir -


"Terima kasih, Mas Dracul."
- Kusumawardani, S.Pd. -


Proto Merkavah
Karena Kami Memiliki Tujuan
 

Eophi Rasaya

Proto Merkavah, ruang pemulihan. Saat ini.

"Bangun, idiot!" bentak Minerva.

Eophi mengucek matanya, berguling di kasur, tapi tidak bangun. "... ng? Ini di mana?" gumamnya.

"Surga," jawab Minerva.

"Oh ... waw. Terus kamu siapa?"

"Malaikat."

"Malaikat?" kata Eophi heran. Matanya masih tertutup. "Kukira suara mereka bakalan lebih merdu dari in—aw!"

Minerva menjambak rambut Eophi kuat-kuat hingga terbangunlah Myrd muda itu secara benar. "... yah, bukan malaikat ya. Minerva doang ternyata—ah! Minerva! Gawat, dengar. Bu Mawar jadi gila, dia nyerang Fata. Dan—dan Sunoto terbunuh! Ng, tunggu ... kau pasti nggak ngerti semua ini, ya?"

"Aku mengerti, kok. Aku menonton semuanya dari markas besar. Tapi nanti saja mengobrolnya. Lihat, peralatan tidurmu dan Hel benar-benar dalam kondisi yang tidak baik."

Minerva benar. Akibat pertarungan tadi, peralatan tidur Eophi rusak, setengah hangus, dan Hel terluka cukup parah di bagian perut. Naga kecil itu mengerang lemah.

Hel? Perut kamu? tanya Eophi sambil menyentuh satu per satu peralatan tidurnya. Memang untuk menyembuhkan, atau memperbaiki peralatan tidurnya, Eophi hanya perlu menyentuh mereka. Menyentuh dengan kesungguhan. Membiarkan energi kehidupan mereka yang terikat dalam satu kesatuan mengalir, mengisi, dengan sendirinya.

Ga apa-apa, Phi, Hel menjawab. Cuma butuh istilahat sebental.

Eophi tersenyum, menyelimuti naga kecil itu, kemudian berdiri. Memperhatikan sekeliling. Ia masih di Proto Merkavah, tapi di ruangan yang berbeda. Ruangan besar, memiliki sembilan parabola unik yang berdiri tegak pada sisi meja-meja panjang operator, empat menara sinyal yang tampak mengapung di tengah ruangan, serta jutaan komponen robot, senjata-senjata cacat, dan transportasi perang rusak yang terpasang sembarangan pada kabel di langit-langit—seperti lampu gantung aneh.

"Kita berada di ruang pemulihan," kata Minerva sebelum Eophi bertanya.

"Hm ... sejauh ini ruangan-ruangan di Proto Merkavah selalu membuatku merasa kecil. Karena mereka terlalu besar." Eophi berjalan ke depan meja panjang, mengutak-atik ratusan tombol-tombolnya. Masing-masing tombol itu memiliki fungsi yang berbeda. Ada yang untuk memainkan lampu, menurunkan beberapa komponen robot, mengoperasikan aliran listrik pada empat menara, sampai menyalakan musik instrumental. "Minerva ... kalau kau memang menonton semua yang terjadi di tempat ini tadi, berarti kau tahu, bencana besar akan segera datang," lanjut Eophi, masih sambil mengutak-atik tombol. "Dan bencana itu akan dimulai dari Alforea."

"Ya. Aku tahu."

"... aku harus menghentikan itu, Minerva."

Minerva tertawa sarkastis. "Memangnya kau itu siapa, hah?"

"Aku? Ng, Eophi Rasaya?"

"Bukan itu tolol. Kau itu siapa memangnya sampai mau menghentikan bencana yang akan datang? Dan apa definisi dari 'menghentikan' yang kau maksud? Mati konyol? Hhh." Minerva berjalan ke samping Eophi, ikut mengutak-atik tombol. "Kau, Eophi Rasaya, sangat lemah sampai-sampai membuatku kasihan."

"... dan kau, Minerva, adalah betina yang kejam."

"Tidak. Aku betina yang jujur." Minerva menekan tombol yang menurunkan satu tank emas dari langit-langit. Tank itu hancur berantakan ketika membentur lantai. "Kau ini lemah. Lemah. Lemah. Lemah. Tapi memiliki mimpi yang mustahil."

"Oke ... mungkin aku memang lemah kalau sendirian, tapi aku kan nggak sendirian." Eophi menekan tombol yang menurunkan kabel-kabel. Kabel-kabel itu memungut pecahan tank emas tadi, merekonstruksinya, kemudian mengembalikannya ke langit-langit. "Aku akan meminta bantuan pada lima peserta Battle of Realms yang tersisa. Kita bakalan kerja sama."

"Terus ... ibu peri datang, dan semuanya berakhir dengan bahagia?" Minerva menambahkan. "Begitu?"

Alis Eophi terangkat. "... ya begitu. Tapi nggak perlu pakai ibu peri segala sebenarnya."

"Maksudku, idiot," Minerva mendesis kesal, "INI BUKAN CERITA SEMACAM ITU. Oke? Tidak akan ada omong kosong tentang kerja sama seenak udel! Karena pertama, tidak akan ada yang mau mendengarkanmu. Kedua, karena mereka semua memiliki prioritas yang lebih masuk akal." Kali ini tombol musik ditekan. Nada-nada dari biola dan piano mengalun pelan. "Dan karena intinya," imbuh Minerva, "semua memiliki pertarungannya sendiri."

"Iya ... aku tahu—"

"Tidak," Minerva memotong. "Kau tidak tahu. Karena kau terlalu sibuk bertarung di pertarungan yang lain."

Untuk pernyataan Minerva barusan, Eophi tidak langsung merespons. Myrd muda itu sedikit menunduk, mengubur mata birunya di antara poni-poni hijau. Menekan tombol-tombol dalam diam. Beberapa lampu berkedip, beberapa komponen robot naik-turun.

"... ekspresi dan emosi," kata Eophi akhirnya. "Aku benar-benar payah dalam dua hal itu. Jadinya jarang sekali ada yang bisa mengatakan dengan tepat apa yang sedang benar-benar kurasakan. Karena aku, kata mereka, selalu kelihatan mengantuk. Tapi Minerva, bahkan makhluk datar sepertiku pun merasa hilang dan jatuh ketika tahu rumahnya terancam bahaya. Aku hanya nggak tahu cara yang tepat buat jadi sosok yang menghilang dan terjatuh. Tapi bukan itu intinya. Intinya ... aku nggak mau siapa pun merasakan apa yang kurasakan. Bencana ini bakalan bikin semuanya hancur. Jadi bakalan banyak juga yang hilang dan tersesat. Aku harus menghentikan bencana itu, dan itulah pertarunganku."

Pertama, Minerva menutup mulutnya yang menganga. Kedua, gadis berambut merah itu bertepuk tangan pelan. "Wow. Itu tadi rekor percakapanmu yang terpanjang. Kau ini bawel juga, ya?" ejeknya. "Tapi kau tahu, Eophi, kata-katamu tadi justru semakin membuatku yakin kalau kau ini idiot dan tidak masuk akal. Buat apa memikirkan planet, rumah, atau semesta lain di situasi seperti ini?"

Eophi menekan tombol yang menjatuhkan hampir sepertiga komponen robot dari langit-langit. Komponen itu lalu bergerak, saling terhubung menjadi satu robot utuh. Robot raksasa. Proses pun berlanjut, empat menara menembakkan listrik ke badan robot itu dan ... zap! Kedua mata sang robot menyala. Robot itu hidup! "Karena," kata Eophi buru-buru, "bangsaku memang tercipta untuk melakukan itu. Bangsa Myrd adalah bangsa para pelindung, Minerva. Kenaifan itu sudah ada di dalam darahku. Aku harus bilang apa lagi? Apa yang mau dijaga kalau semuanya hancur—oh, hey, lihat ... robot itu bisa jalan."

"Bego, jangan bawa-bawa bangsa—apaaa, kenapa robot ini aktif? Tombol apa yang kautekan tadi, idiot?!" sembur Minerva sambil menendang ke samping dua misil yang ditembakkan dari pundak sang robot. Misil itu menghancurkan dinding dalam satu ledakan besar.

"Entahlah. Mungkin tombol yang hijau, atau yang merah." Eophi nyengir, mengangkat bahu.

"Grrr! Minggir!" Minerva menendang meja operator, menghancurkan ratusan tombol sekaligus. Robot raksasa itu berhenti bergerak seketika, kembali tersebar acak menjadi ratusan komponen. Tapi bukan itu saja. Kerusakan yang diciptakan Minerva pada meja operator ternyata menimbulkan beberapa efek sekaligus. Lampu ruangan berkedip-kedip, suara musik menghabur kacau dalam nada abstrak, empat menara mengalirkan listrik ke parabola, semua benda di langit-langit bergerak liar naik, turun, berputar. "Oh, ya ampun, apa yang kulakukan?"

Masih sambil nyengir, Eophi menjawab, "Kau baru saja menyalakan taman bermainnya, Minerva."

"Taman bermain apanya?! Tolong serius sedikit, Tuan Lemah!" Minerva mendelik kesal. Di bawah pendaran lampu yang berkelip, wajah gadis ini menjadi manis sekali. Apa pun ekspresinya.

"... aku serius, Minerv—"

"Omong kosong!" Minerva memotong, menarik kerah baju Eophi. "Ini bukan situasi yang tepat untuk bercanda, Eophi! Sama sekali bukan! Sebentar lagi akan pecah perang besar, dan aku memiliki tanggung jawab untuk memimpin divisiku ke medan perang, tapi ... aku malah ke sini. Mengerti, idiot? Aku lebih memilih pergi ke sini karena aku mengkhawatirkanmu! Dan kau—kau malah mengatakan hal-hal tolol sambil bermain-main dengan tombol! Bagian mananya yang serius dari itu, HAH?!"

"Hhe."

"GRRR! APANYA YANG LUC—" Minerva tercekat.

Karena Eophi menciumnya. Ciuman kedua mereka. Ciuman yang singkat. Tapi cukup untuk menutup mulut gadis berambut merah itu.

Eophi menarik tubuhnya menjauh. "Aku serius, dan aku mengerti semuanya ... Minerva," ucapnya. "Bu Mawar kehilangan Sunoto, rasanya pasti sakit sekali. Dan Bu Mawar menyalahkan Fata karena itu. Jadi ... pertempuran mereka mungkin nggak akan bisa dicegah lagi, apalagi olehku. Karena ya ampun, Bu Mawar itu kuat banget, dan Fata, Fata juga kuat. Dia memiliki kemampuan yang aneh. Kau benar, suaraku nggak akan pernah didengar oleh mereka. Tapi aku nggak akan nyerah. Aku bakalan paksa mereka buat mendengarnya. Mendengar suaraku."

"Caranya?" tanya Minerva pelan dan kesal, sambil menunduk.

"Caranya? Ya ... ikut bertarung. Kemudian mengalahkan mereka."

Minerva mendongak. "Serius? Ikut bertarung? Bakbikbuk? Tidak hanya meneriakkan omong kosong ke arah mereka sambil mencoba menahan semuanya? Seperti tadi?"

"... ya. Cara itu jelas nggak ampuh. Jadi nggak akan kuulang. Di pertempuran selanjutnya, aku akan ikut bertarung. Benar-benar, ikut bertarung."

"Bagus deh," Minerva mendengus, ekspresinya lelah, tapi juga senang dan lega. "Jadi setidaknya kalau kau mati, kau mati berjuang. Bukan mati sebagai pecundang yang hanya lari-lari tidak jelas sambil meneriakkan ideologi yang mustahil. Hhh, lain kali ya, dari pertama saja kau mengatakan hal-hal seperti ini, idiot!"

Eophi tertawa. "Yah ... kalau aku bilang itu dari awal," gumamnya, "kita nggak bakalan debat kayak tadi, Minerva. Sudah kubilang kan, lihat cewek bawel itu menyenangkan banget."

"Hah? Oh, jadi tadi itu ... grrr! EOOOPHIIII!"

Habislah rambut Eophi diacak-acak.

"Jadi ... apa ada saran yang lain?" tanya Eophi setelah Minerva puas. "Atau kau ke sini karena cuma ingin memarahiku saja?"

"Apa rencanamu dalam waktu dekat ini, Tuan Lemah?" Minerva balik tanya.

"Menunggu Hel pulih. Terus ... teriak-teriak di sepanjang Proto Merkavah buat cari Bu Mawar dan Fata?"

Minerva menggeleng putus asa mendengar rencana Eophi. Ia perhatikan lalu langit-langit, berpikir. "Ada satu saran," katanya. "Temukanlah sebuah kristal khusus. Aku sempat membaca info dari markas besar seputar sistem turnamen untuk para peserta yang dikirim ke Proto Merkavah. Di sini, katanya, ada kristal khusus yang mampu mengendalikan Boss area."

"... kristal ajaib, dan Boss area," Eophi menggumam. "Boss area itu siapa ya ngomong-ngomong?"

"Emmm, dugaan terkuatku sih, Boss area Proto Merkavah adalah ikarnasi dari Dracul the Leviathan. Cuma, ada satu hal yang masih mengganjal kalau memang dia Boss area-nya."

"Ng, Dracul the apa?" kata Eophi. "Kalau Dracul saja aku tahu. Si manusia reptil itu. Oke ... terus apa yang masih mengganjal?"

"Dracul the Leviathan membantu Bu Mawar." Minerva menopang dagunya. "Apa karena Bu Mawar sudah menemukan kristal pengendali? Atau ada hubungan khusus di antara mereka? Oh, tunggu, itu pemikiran konyol."

Eophi ikut menopang dagu. "... memang ada hubungan khusus, kok. Sempat kudengar sedikit, kalau Dracul itu mengaku sebagai suaminya Bu Mawar."

Minerva melongo. "Mana bisa begitu, idiot?"

"Entahlah."

"Ya sudah. Kalau memang benar begitu, artinya kristal pengendali masih belum ditemukan. Cari kristal itu. Akan kuminta markas besar supaya membantu mendeteksi keberadaannya."

"Wow, Minerva ... kau ini baik ya ternyata." Eophi tersenyum. "Ada bantuan yang lain nggak?"

"Dasar tidak tahu diri!" Minerva tertawa, kemudian menunduk pelan-pelan dan terdiam cukup lama. Cukup, untuk membuat Eophi khawatir.

"... ketiduran, ya?"

"Um, tidak," kata Minerva pelan, masih menunduk. "Eophi?"

"Ya?"

"Aku punya satu jenis bantuan lagi untukmu. Bantuan terakhir." Minerva mendongak sekarang, menatap langsung ke mata biru Eophi.

Ada sesuatu yang manis sekaligus menyakitkan pada tatapan itu. Eophi menyadarinya, berusaha mencari makna tepatnya. Ia pandangi mata itu lama-lama tanpa mengaktifkan kekuatan barunya untuk membaca ingatan. Ia pikirkan semua tentang Minerva dengan usahanya sendiri.

Mereka duduk di antara cahaya yang berkedip di ruang pemulihan ini. Di antara bising komponen yang naik-turun, musik abstrak, dan aliran listrik menara. "Bantuan apa?" kata Eophi akhirnya. Myrd muda itu sudah mendapatkan maknanya. Tatapan Minerva saat ini, adalah tatapan yang menggambarkan suatu akhir. Sebuah perpisahan. Maka Eophi menambahkan, "... kali ini, kau akan tetap bersamaku, kan? Nggak menghilang lagi secara tiba-tiba? Kemudian datang lagi kapan-kapan, juga secara tiba-tiba?"

Minerva tersenyum geli. "Tentu saja, Tuan Lemah," katanya. "Kali ini aku tidak akan ke mana-mana. Jangan manja deh."

"... aku nggak manja, Minerva." Eophi memajukan bibir bawahnya.


***


Fatanir

Proto Merkavah, ruang kendali pusat.

Sama seperti Eophi, Fata juga dievakuasi oleh pihak luar, dari garasi yang porak-poranda akibat pertarungannya dengan Bu Mawar tadi, ke sebuah ruangan luas lainnya. Ruangan yang dipenuhi ratusan mesin berbentuk balok—tersusun seperti piramida, serta memiliki dua dinding kaca raksasa yang langsung memperlihatkan panorama langit malam.

"Apa," ucap selaput cahaya yang sedang berputar, mencoba mengubah wujud abstraknya menjadi entitas trimatra—seorang wanita bernama Kana, "yang sebenarnya sedang kaulakukan, Fatanir?" Kana berdiri beberapa langkah dari Fata yang bersila di depan dinding kaca, membelakanginya, sibuk merapikan tulang dan daging rusak dengan kepiawaian melebihi ahli bedah mana pun. "Kukira kau akan menyelesaikan ronde ini dengan lebih cepat, Fatanir, tapi apa yang kaulakukan? Sibuk menyelamatkan anak kecil? Menjadi lengah?" Kana melanjutkan, lembut dan manis. "Jika aku tidak datang menyelamatkanmu tadi, kau mungkin sudah mati sekarang. Oh, Fatanir tolong katakan sesuatu pada Ibumu ini. Aku mencemaskanmu, kau tahu itu."

Dan Fata tetap bungkam. Entah itu karena suara manis Kana tertutup oleh dengungan yang diciptakan mekanisme bedah di tangan kirinya, atau Fata memang sengaja mengabaikannya.

Ketika Kana berjalan ke samping laki-laki berambut kribo itu, barulah ia tahu kenapa dari tadi tidak ada respons yang diberikan. Fata sedang menangis. Kedua matanya menyipit memperhatikan awan-awan kelabu menyelimuti hamparan reruntuhan Alforea, bibirnya yang gemetar dikulum, dan ingus dibiarkan meleleh dari salah satu lubang hidung. Fata menjadi sangat jelek dan polos. Juga, sangat dekil akibat pertarungan tadi. Kana mengernyit kesal, entah karena penampilan Fata yang berantakan, atau karena Fata terlihat sangat lemah.

"Tidak ada masalah yang cukup layak untuk ditangisi olehmu, Anakku," bisik Kana, nadanya lebih tegas dari biasa. "Jangan lemah."

Suara berdengung berhenti. Ashura selesai memperbaiki tangan kiri Fata yang rusak. "Aku nggak butuh bantuan kamu, cewek edan," kata si Kribo akhirnya, mendelik ke arah Kana. "Dan maaf yah, sekalipun Ibuku masih ada, dia pasti manusia normal yang udah tua, tinggal di bumi. Bukan penyihir berkedok artis bokep kek situ! Yang idupnya kagak jelas! Jadi kagak usah lah ngaku-ngaku!" Fata buang muka, membenturkan dahinya ke kaca tebal.

Meski hanya sepersekian detik, Kana memperlihatkannya. Ekspresi kebencian. Tapi setelah itu, "Aku akan tetap mencintaimu, Fatanir," ujarnya sendu. "Aku mengagumimu. Sendirian, kau mampu membuka potensi Ashura sampai sejauh ini—"

"Tau apa ente soal Ashura, heh?" Fata memotong.

"Semuanya." Kana tersenyum. "Aku membantumu dan saudara-saudaramu menciptakan teknologi luhur itu."

"Saudara?" gumam Fata.

"Ah ... ternyata kau belum membukanya, ya? Ingatan yang kuberikan?" Kana mengusap rambut Fata, dan sentuhan dari wanita bercahaya ini selalu membuat Fata bergidik. "Ketahuilah, kau tidak sendirian, Fatanir. Malam ini kau akan mengetahui bahwa semua perkataanku merupakan kebenaran. Malam ini, keluarga besar kita akan merayakan kemenangan bersama-sama."

"Bentaran dah ... jadi maksudnya, ada kandidat Tuhan yang lain? Terus mereka juga punya Ashura?"

"Ya. Dari tiga belas kandidat Tuhan," Kana memulai, "kaulah yang terkuat. Anak emasku. Ashura milikmu memiliki kapasitas yang telah lama kunanti. Kapasitas yang mampu menampung seluruh syarat untuk menjadi Tuhan." Kedua mata Kana berbinar. "Ashura milikmu juga memiliki perjalanannya sendiri. Karena setelah kau menciptakannya, aku mengirimnya ke pelbagai dimensi waktu dan semesta yang berbeda. Membiarkannya mempelajari setiap peradaban, setiap teknologi, setiap jalur paralel ... sampai akhirnya, kalian kembali dipertemukan. Dan Relima, adalah sosok terakhir yang mengasuh, kemudian mengembalikan jantung Tuhan itu—jantungmu, Anakku."

Karena suatu alasan, Fata menelan ludah dan mengepalkan tinjunya kuat-kuat. "Ada dua belas Tuhan di atas sono? Gila aja," bisik si Kribo. Sangat pelan, hingga Kana mungkin tidak bisa mendengarnya. "Ashura bilang," ia melanjutkan dengan suara normal, "aku harus lepasin dia karena disuruh kamu. Lepasin apaan, yak, maksudnya?"

Kana menyunggingkan satu senyum yang sangat lebar dan misterius, kemudian berujar lembut, "Itu tahap terakhir dalam menciptakan Tuhan yang sempurna. Tahap pelepasan. Sekarang, Fatanir, apa boleh kuartikan percakapan ini sebagai caramu menyetujui semua nasehatku? Menjadi Tuhan semesta data ...? Katakanlah, dan biarkan aku kembali masuk ke dalam kepalamu untuk membuka segala-mu. Katakanlah bahwa kau sudah siap, Anakku, untuk memimpin semesta data."

Darah Fata mendidih. Tapi sekujur tubuhnya menggigil karena Kana tidak berhenti mengusap rambutnya. Sungguh, sampai mati pun Fata tidak akan pernah mau menuruti apa yang dikatakan Kana. Karena sesuatu di dalam dirinya mengatakan kalau wanita bercahaya itu benar-benar tidak bisa dipercaya. Jadi, apa yang akan dikatakan Fata sebentar lagi semata karena si Kribo memiliki rencana sendiri. "Boleh aja. Silakan deh bikin gue jadi Tuhan," semprot Fata semena-mena.

Senyum Kana melebar. "Aku sungguh bangga padamu, Anakku."

"Iye, iye! Buruan lha!"

Masih sambil tersenyum, Kana meminta Fata berdiri. Wanita bercahaya itu lalu meletakkan tangannya di sisi wajah si Kribo, dan memulai. "Izinkan ... aku ... memasuki ... kepalamu, O, Fatanir ...." Tato satu mata di dahi Fata berpendar.

Fata malah tertawa. Tawa yang singkat. Karena sedetik kemudian, kesenangan dari keinginan untuk mengejek itu berubah drastis menjadi jeritan kematian ... "AAARRRGHHH!"

Fata menjerit dan menjerit dan yakin sekali kalau tenggorokannya sudah sobek sampai berdarah-darah sekarang. Karena sesuatu yang sangat cepat, tajam, dan panas seolah menusuk tempurung kepalanya, berulang-ulang. Memberikan rasa sakit luar biasa yang secara konstan meremukkan eksistensinya. Si Kribo mencoba menendang, memukul, berlari, memberontak—semuanya gagal. Kendali akan tubuhnya sendiri sudah mati. Ia tidak bisa ke mana-mana. Ia tersesat. Hanya ada kegelapan, rasa sakit, suara jeritannya sendiri, dan ... setitik cahaya. "Tolongin! W-woey!" Fata menelan sebagian jeritannya hanya untuk memuntahkan kalimat tadi. Dan, "Tentu saja, aku akan menolongmu. Tapi pertama kau harus mengizinkanku untuk masuk, Fatanir," respons setitik cahaya itu, manis, penuh dengan harapan. "Masuk aja!" Fata langsung mendengking serak, kemudian menjerit lagi.

Setitik cahaya itu pun masuk. Entah ke mana, karena Fata tidak pernah melihatnya lagi. Kegelapan menjadi total sekarang. Rasa sakit, jika memungkinkan, menjadi semakin menyiksa. Ingin sekali Fata pingsan dan mati saja, tapi ia tetap sadar. Ia menjerit dan terus menjerit sambil sesekali memohon pada setitik cahaya itu untuk kembali. Lalu, secepat datangnya semua penderitaan ini, kegelapan dan rasa sakit itu meledak menjadi jutaan warna. Bidang-bidang asing bertumpukkan menjadi ruang terang yang kemudian membentuk zona kuantumnya sendiri. Fata terempas di dalamnya, terombang-ambing, menembus ruang dan warna-warni yang beberapa darinya membutakan atau memabukkan. Dan dingin, sangat dingin, kali ini Fata menggigil. Bahkan jeritannya membeku—kata-kata dari mulutnya mewujud, berasap, retak, dan menyerpih. Kemudian terempas lagi, terdistorsi warna-warna lagi. Semakin banyak ruang bersusun, semakin teredam ledakan warna di kejauhan. Terus teredam, sampai tibalah Fata di kesunyian.

Fata mengambang pelan. Mengira, sedikit lega, mungkin inilah kematian yang ditunggu. Tapi ia salah. Sekali lagi dunianya meledak. Seluruh ruang yang ada, semua warna yang menodainya, mengerut sampai menjadi titik-titik atom yang bermuncratan membentuk langit abu-abu, garis cakrawala semerah darah, dan pijakan keras. Tubuh telanjang Fata terpelanting ke atas rerumputan kering. Tulang punggungnya berdenyut seketika dan memaksa semua ototnya untuk segera bangun. Fata berdiri sendiri. Kedua matanya juga membuka sendiri, lebar, pedih, menatap lurus ke siluet raksasa yang duduk di garis batas dunia dan langit abu-abunya. Kedua kakinya mengentak-entak, kemudian berlarilah ia tanpa kendali. Ke depan, cepat, semakin cepat. Rerumputan kering terbakar karena kecepatan itu—Fata berubah menjadi segaris peluru yang siap menghantamkan dirinya ke satu siluet kolosal. Seratus meter, lima puluh meter, sepuluh meter ... setitik cahaya itu kembali. Setitik cahaya itu melebar menjadi pintu kecil di antara hitam. Fata melesat mulus ke dalamnya ... dan menghilang. "Selamat datang, Fatanir—Tuhan-ku." Siluet kolosal di garis cakrawala membuka matanya. Hidup. Terbangun, dan bergerak. Meraung ....

"Sekarang ... pelan-pelan, buka matamu, Anakku. Tinggalkan dunia simulakrum itu, dan kembalilah ... kembalilah." Kana melepas kedua tangannya dari sisi wajah Fata—yang kini berpendar keemasan. "Tersenyumlah untukku," sambung si wanita bercahaya ketika melihat Fata perlahan membuka matanya, "O, Tuhan semesta data."

Fata memancarkan aura keemasan dari setiap pori-pori tubuhnya. Ia pandangi kedua telapak tangannya, dan merasa asing. Ia juga merasakan, meski samar-samar ... bahwa dirinya ada di mana-mana ... ia bisa melihat arus kode program yang membayang pada tiap keberadaan—pada ruangan ini, pada cermin tebal, pada tanah gelap Alforea di bawah sana, pada awan, pada malam, pada lapisan langit tunggal Astron. Dan ia bisa mendengar, bahkan merasakan, segalanya sampai pada poin bahwa jika ia mencoba untuk mengatur ulang semua program kasatmata tadi, maka semuanya memang akan benar-benar berubah. Semua kuasa ini seolah menjadikan Fata sebagai semesta data itu sendiri.

Hanya saja, semua kerumitan yang ia rasakan pada saat ini memiliki efek samping yang juga luar biasa. Fata jatuh bertekuk lutut, meringis. Ia pejamkan matanya, ia tutup telinganya dengan kedua tangan. "Gila, semua beban eni ... mantep betul," rintih Fata. "Terus tadi kamu ngapain sih? Buka gerbang neraka?"

Sambil terus menyunggingkan senyum, Kana menjelaskan bahwa perjalanan transendental tadi merupakan proses penting untuk melebur potensi maksimal Ashura, Teknopath, dan fungsi otak Fata yang baru. Kana juga menjelaskan bahwa nausea yang dirasakan Fata sekarang sifatnya hanya sementara. "Ada beberapa fase untuk menyempurnakan kekuatan Tuhan, Anakku. Saat ini, kau baru diberkati oleh Pengetahuan. Kau mulai bisa merasakan segalanya di semesta data ini, tapi belum bisa mengubah apa pun. Karena data penyusun di dalam tubuh manusiamu membutuhkan beberapa saat untuk bermetamorfosis, menyesuaikan dengan Kesadaran yang baru," tutur Kana pelan.

"Tapi kalo begini eike jadi kaga bisa bergerak, lha, perdomseh!" sembur Fata.

"Kau memang tidak perlu bergerak, Anakku." Kana memperhatikan Fata seolah si Kribo adalah makhluk paling imut dan tidak masuk akal sekaligus. "Bertahanlah di sini sampai tahap pelepasan. Setelah itu, kau bisa bebas bermain, membantu pasukan kita membombardir Astron, menulis ulang hukum-hukum Sol Shefra, dan melakukan hal-hal menyenangkan lainnya."

"Hooo, terus siapa yang bakal lanjutin ronde ini? Kamu sendiri yang bilang kan aku harus urusin si Eophi-Eophi itu? Dan kamu bilang juga kan kita butuh kotak Laplace? Kalo mau kotak ajaib itu ya saya harus menang dulu dong di ronde ini. Yang artinya saya harus kalahin si cewek jilbab juga," Fata berujar cepat, kepalanya masih berdenyut. "Terus itu Astor, eh, Astron-Astron itu apaan lagi dah?"

Kana meminta Fata untuk tenang, kemudian menjelaskan padanya, "Astron adalah lapisan langit tunggal, benteng terakhir para administrator Sol Shefra. Kita akan menghancurkan itu, menghapus semua hak yang mereka miliki, dan merombaknya sampai ke akar. Hingga hanya kau, Anakku, Tuhan-ku, yang nantinya memegang kendali atas semua kebesaran ini. Sekarang beristirahatlah dulu."

Di antara sensasi pening, Fata semakin yakin kalau Kana ini memang sosok yang berbahaya. Beberapa saat yang lalu, si Kribo masih mengira bahwa rencana tentang penciptaan Tuhan hanyalah lelucon berselera rendah, tapi sekarang, meski muak mengakuinya, ia merasakan sendiri kebenaran itu. Ia benar-benar menjadi Tuhan, atau jika tidak, makhluk yang benar-benar memiliki kekuatan tak terkira. Jadi, rencana Kana soal menguasai semesta data ini pastinya juga bukan hanya omong kosong.

Ini gawat ... rencanaku harus beneran sukses, nih. Kalo kaga ... keknya gue bakalan jadi Tuhan yang zalim? Halah! Paan seh! Pokoknya rencana harus sukses. Semua ini harus berhenti. "Okelah kalau begitu," kata Fata. "Tapi btw kamu belum jawab soal siapa yang bakal ngurus si Eophi, sama si cewek jilbab itu. Gimana tuh?"

"Masih ingat dengan Renggo Sina, Fatanir?" bisik Kana. "Aku mengirim satu, dalam wujudmu. Renggo Sina yang sudah dimodifikasi sampai ke tahap sempurna itulah yang akan mengurus Eophi dan Bu Mawar. Jadi sekarang ... beristirahatlah yang tenang. Semua sudah dalam kendali kita."

Sangat pelan, Fata mengangguk, setuju untuk bersabar. Meski dalam hatinya, ingin sekali ia cepat-cepat menyelesaikan rencananya sendiri. Dan ... tentu saja ia tahu siapa Renggo Sina. Robot itu adalah hasil ciptaanya. Mungkin, si cewek edan ini juga yang dulu ambil Renggo dari lapangan, batin Fata. Mungkin, dia juga yang terus ternak itu robot di Bio Lab.

Jika pemikiran Fata tentang hubungan Kana dan Renggo Sina benar, artinya satu lagi pertanyaan besar terjawab sudah. Kana adalah Operator Renggo Sina yang baru.


***


Bu Mawar

Proto Merkavah, ruangan Dracul.

"Semua ini salahku ... salahku ... salahku," kata Dracul dengan suara serak yang bergetar. Sudah sejak lima menit terakhir manusia reptil ini mengucapkan lima kata itu sambil membenamkan kepalanya ke tumpukan rongsokan.

Sementara Bu Mawar—setelah menggendong jasad Sunoto yang aman terlindung oleh kabut di garasi penuh api, membawanya dan membaringkannya di ruangan penuh rongsokan ini, kemudian melepas zirah robot di tubuh murid kecilnya itu serta membersihkan lukanya, menutupinya dengan jaket oranye—hanya bisa duduk sambil melamun, melirihkan doa-doa.

Aku janji, Bu, enggak akan jadi beban lagi. Aku enggak akan biarin Ibu bertarung sendirian. Aku bakalan jagain Ibu. Ibu jangan pingsan lagi, ya?

Bu Mawar mengerjap mengingat kata-kata Sunoto, langsung merasa perih di kedua matanya yang sembap, memerah, lelah dipakai menangis sedari tadi. Sekarang, ia sudah tidak menangis, mungkin karena air matanya memang sudah tidak bisa mengalir lagi. Habis.

"Semua ini salahku ... salahku ... salah—"

"Cukup, Mas Dracul," potong Bu Mawar sopan, seraya berjalan menghampiri si manusia reptil. "Cukup. Ini bukan salah Mas Dracul."

Dracul menarik kepalanya dari tumpukan puing besi dan senjata. Bu Mawar lantas perhatikan wajah sendu reptil itu. Wajah itu sangat baik, terlalu baik sampai si wanita berjilbab harus mengerjap lagi. Menyedihkan, karena tadi, sebagian dari diri Bu Mawar ingin sekali menyalahkan kematian Sunoto dan pertempuran besar di garasi, padanya. Pada Dracul. Karena, jika saja refleks Bu Mawar waktu itu masih setara manusia biasa, Sunoto tidak akan terbunuh. Lalu, jika saja Bu Mawar tidak memiliki kekuatan penghancur yang diberikan Dracul, pertempuran besar bisa dihindari dan Bu Mawar tidak akan pernah benar-benar mencoba untuk membunuh laki-laki berambut kribo bernama Fata.

Tapi Bu Mawar adalah wanita yang jauh lebih baik dari itu. Semua pemikiran negatif tadi sudah lepas terbuang bersama sisa air matanya. Karena sungguh sebenarnya tidak ada yang perlu disalahkan pada situasi krusial di garasi, selain dirinya sendiri. Bu Mawar mengakui kesalahan serta kelemahannya dengan lapang dada, dan itulah yang membuatnya merasa jauh lebih tenang sekarang. Kemampuan untuk memaafkan diri sendiri. Kemampuan untuk melanjutkan perjalanan. "Itu semua bukan salah Mas Dracul," ucap Bu Mawar lagi. Kali ini, sambil tersenyum. Dan kali ini, Dracul yang menangis. Bu Mawar gantian menghiburnya, mencoba membuatnya tertawa dengan lelucon-lelucon yang biasa ia berikan pada Dilham, Winda, Arai, Eriza, Sunoto, dan murid-murid lainnya.

Dracul tersenyum. Kagum memperhatikan wanita cantik dan kuat yang bersimpuh di hadapannya. Wanita yang dulu ia kenal, dan beruntungnya masih, ia kenal dan ia cintai sampai detik ini. Mawar, aku tidak perlu lagi membuktikan apa-apa padamu, pikir Dracul. Karena aku tidak peduli lagi apakah kau memercayai ceritaku, bahwa aku suamimu, atau tidak. Biarlah suatu hari nanti kau mengetahui kebenarannya sendiri. Dan biarlah saat ini, sampai aku mati, aku berjuang di sampingmu. Sebagai teman baik.

"Sekarang, Mas Dracul, apa Sunoto aman kalau ditinggal di sini?" tanya Bu Mawar. Meski tetap tersenyum, ada kesedihan mendalam yang mengilat di sorot matanya ketika menyebut dan menunjuk jasad Sunoto.

Dracul menanggapinya dengan penuh pengertian. "Anak itu aman di sini, Mawar. Akan kupastikan begitu," jawabnya pelan dan meyakinkan.

"Syukurlah." Bu Mawar tersenyum lega, kemudian berdiri tegak. Garis bibirnya menegas. "Saya enggak boleh buang-buang waktu lagi," ujarnya. Kedua matanya terfokus pada pintu keluar. "Murid-murid saya menunggu untuk diantar pulang ke rumah."

Dracul ikut berdiri. "Aku akan selalu mengikutimu, Mawar. Apa rencanamu sekarang?"

"Eh? Oh, rencana, ya? Mmm. Tunggu." Dengan sangat canggung Bu Mawar berpikir sambil memperhatikan peta pada panel kaca kecil yang terpasang di lengan bioniknya. Proto Merkavah adalah seekor ular robot raksasa, dan di dalam peta hologram itu, Bu Mawar—yang kini ada di ruangan Dracul—berada di bagian vertebrata tengah. "Oke. Rencana saya yang utama adalah memenangkan ronde ini," Bu Mawar kemudian buru-buru menambahkan, "tapi tanpa membunuh dua peserta lainnya."

"Aku bisa membantumu mewujudkan itu, Mawar!" respons Dracul cepat. Ia langsung mendeham, malu, dan melanjutkan dengan lebih santai, "Salah satu kemampuan terbaikku sebagai Mvp monster di masa lalu adalah <Limbo>. Dengan menggunakan <Limbo>, pihak lawan akan terjebak di dalam dimensi kosong. Tidak mati, tapi mungkin langsung dinyatakan kalah. Karena tidak banyak opsi yang tersisa jika sudah terjebak di dalamnya."

"Alhamdulillah, ada kemampuan seperti itu. Boleh saya pinjam lagi kekuatannya kan, Mas Dracul?"

"Gunakan sesukamu, Mawar. Akan kuberikan sebanyak yang kaubutuhkan."

"Terima kasih banyak. Mas Dracul terlalu baik."

"Hanya padamu, Mawar."

Bu Mawar terkesiap, pipinya memanas. Aduh, Gusti, fokus dong fokus kenapa jadi deg-degan gini? "Iya, Mas Dracul. Ah, kalau begitu ayo kita mulai siap-siap cari dua peserta lainnya?"

Dracul mengangguk siap.

"Permisi sebentar," kata Bu Mawar, lalu buru-buru menghampiri jasad Sunoto. Sengatan familier membuat batin sang guru terenyuh lagi ketika melihat muridnya yang terkapar, tertutup jaketnya. Tapi kali ini Bu Mawar bertahan. Bu Mawar bersimpuh, berdoa. Resolusinya penuh. Setelah sejauh ini merasakan bahagia, kehilangan, menang ... hanya satu hal yang tersisa untuk dilakukan di dunia gila ini. Yaitu terus berjuang. Hatinya sudah yakin. Bu Mawar akan bertarung sampai akhir. "Titip jaket Ibu ya, Sun? Ibu pergi dulu."

Berjalanlah Bu Mawar dan Dracul ke depan pintu keluar. Lalu tiba-tiba ... "Mawar, kutitipkan ini untukmu," kata Dracul sambil berhenti, bertekuk lutut dalam posisi kesatria yang siap dibaptis. Dua tangannya yang memegang segenggam kristal berbentuk unik terulur ke arah si wanita berjilbab. "Tolong, terimalah dan jagalah."

Eeeh?! Mas Dracul la-lamar aku? Kenapa? Bukannya tadi dia bilang kalau dia itu suam—Bu Mawar menelan ludah. "Perhiasan a-apa ini, Mas Dracul? Kok gede banget?"

"Ini adalah kristal yang mampu mengendalikan diriku," jelas Dracul, masih mempertahankan posisinya. "Alasan utama, mungkin, kenapa aku sampai bisa ikut dibangkitkan. Aku adalah Boss area di Proto Merkavah ini, Mawar."

"Loh, bukannya Mas Dracul dibangkitkan lagi karena ikut-ikutan saja? Tadi kan Mas Dracul jelasin itu?" tanya Bu Mawar, heran dan lega mengetahui ternyata kristal itu bukan diberikan padanya sebagai mahar lamaran. "Mas Dracul adalah bagian dari organisme utama Proto Merkavah, kemudian ikut bangkit karena robot-robot dan benteng perang ini diaktifkan lagi untuk keperluan jahat dari kubu tertentu yang mau ciptain Tuhan. Gitu, kan?"

"Benar sekali, Mawar."

"Terus? Kenapa sampai bisa nyambung ke Boss area segala, Mas?"

"Karena kubu tertentu itu sudah merencanakan, meramalkan, kejadian hari ini sejak ratusan tahun silam," tutur Dracul. "Jadi ini bukan hanya suatu kebetulan. Mereka memang tahu bahwa kelak para administrator resmi Sol Shefra akan kembali mengaktifkan Proto Merkavah. Yang jelas, rencana mereka berhasil. Segera setelah administrator resmi mengaktifkan lagi Proto Merkavah demi kelangsungan sistem Battle of Realms, mereka, kubu tertentu itu, langsung memanfaatkannya untuk mengambil alih kendali satu juta pasukan robot dan seluruh persenjataan di tempat ini."

Bu Mawar spontan menutup mulutnya dengan tangan kiri. "Sa-satu juta pasukan robot?! O-oke. Ja-jadi intinya, kubu tertentu itu sudah menunggu para administrator resmi mengaktifkan tempat ini, untuk kemudian merebut tentara-tentara berikut seluruh artilerinya?"

Dracul mengangguk lemah. "Ya, Mawar. Merebut sesuatu jauh lebih mudah daripada menghidupkan. Dan sejauh ini mereka sudah berhasil. Yang tersisa dari sistem orisinal para administrator Sol Shefra sekarang mungkin hanya aku, Boss area tempat ini. Jika kubu tertentu itu sampai memegang kendali atas kristal ini, Proto Merkavah akan benar-benar mereka kuasai."

"Kalau begitu saya terima kristal itu, Mas Dracul," Bu Mawar berujar tegas, menarik napas dalam-dalam. "Saya akan menjaganya sampai ronde ini selesai."

Kristal itu pun berpindah tangan, dan berubah seketika menjadi gelang translusens yang cantik. Menggelung di tangan kiri Bu Mawar. Dracul tersenyum senang sekali. "Terima kasih, Mawar," katanya, seraya berdiri. "Aku merasa jauh lebih tenang sekarang, mengetahui kristal itu ada di tangan yang tepat."

"Memangnya dari tadi di simpan di mana, Mas, gelang manis—eh, kristal pengendali ini?"

"Aku kubur di tumpukan rongsokan."

Bu Mawar semakin yakin kalau ialah sosok yang tepat, yang harus menyimpan benda penting ini. Ia juga berpikir, menjengkelkan sekali kubu tertentu itu, memanfaatkan pihak lain demi kepentingan personal. Tapi mungkin karena penjelasan tadi juga, satu hal menjadi jauh lebih jelas sekarang. Bagi Bu Mawar, kubu tertentu itu ternyata tidak terlalu kuat. Karena siapa pun yang harus mencuri agar menjadi hebat, merupakan sesuatu yang sebenarnya paling lemah, dan tidak memiliki apa-apa selain hasrat untuk menciptakan kejahatan.

"Satu lagi, Mawar, titipan dariku untukmu," gumam Dracul. Kali ini tanpa menunggu respons dari Bu Mawar, Dracul meledakkan diri. Meledak menjadi kabut putih yang langsung mengitari tubuh sang guru. Menciptakan berbagai perubahan fantastis padanya.

"Mas Dracul ... i-ini?" Bu Mawar memperhatikan pantulan dirinya lewat salah satu daun pintu metal. Penampilan wanita berjilbab itu berubah. Busana perang yang sangat anggun, bersisik dan setengah translusens, melapisi pakaian normalnya. Lalu Dracul yang sudah berubah menjadi kabut putih, menempatkan dirinya sendiri di punggung sebagai empat pasang sayap. Bu Mawar benar-benar terlihat seperti malaikat putih yang siap berperang.

"Mawar-ku yang tangguh, sekarang, bukan hanya sekadar seorang guru," kata Dracul, suaranya dalam dan berwibawa. "Dia juga merupakan sang dewi yang siap memperjuangkan nasib murid-muridnya."

Bu Mawar tercekat. "Terima kasih, Mas Dracul."

"Apa pun untukmu, Mawar," sahut Dracul. "Sekarang ayo kita cari dua peserta yang menjadi lawanmu, atau ...."

"Atau?"

Dua pasang sayap Bu Mawar tampak melebar kemudian mengepak, membenturkan bulu-bulu beningnya ke lantai besi, menciptakan gelombang yang berpendar dan merambat ke seluruh ruangan, dan lebih jauh lagi. "Atau ... kau bisa mengumumkan pertarungan kalian dari sini," ucap sayap-kabut itu. "Aku akan menyalurkannya. Suaramu akan terdengar sampai jauh, Mawar. Pilihlah tempat yang tepat, dan tunggu mereka di sana."

Bu Mawar mengerti. Ini akan menjadi seperti semacam siaran radio dari kelas ke kelas. Selama beberapa detik, ia pikirkan tempat bertarung yang cocok, kemudian, "Atap," ujarnya. "Kita selesaikan ini di luar. Di punggung ular. Pasti jadi lebih leluasa."

"Pilihan yang bagus, Mawar. Sekarang umumkanlah."

Satu anggukkan dari Bu Mawar langsung diikuti oleh satu tarikan napas yang dalam. Lalu ..., "PENGUMUMAN-PENGUMUMAN! UNTUK EOPHI DAN FATA—" Sang guru pun menyampaikan pesannya. Membunyikan bel pertempuran terakhir.


***


Fatanir

Proto Merkavah, ruang kendali pusat.

[ PENGUMUMAN-PENGUMUMAN! UNTUK EOPHI DAN FATA. SAYA, BU MAWAR, MENUNGGU KALIAN DI ATAP, DI PUNGGUNG ULAR, UNTUK MELANGSUNGKAN PERTARUNGAN PENENTU RONDE INI! SAYA ULANGI YA— ]

Suara Bu Mawar menggema sampai lama di ruangan tempat Fata menantikan fase terakhir untuk menyempurnakan kekuatan Tuhan.

Fata mendengus, menyemprot dinding kaca di depannya dengan serbuk emas. "Emangnya eni sekolahan, Mbak? Kasih pengumuman mau berantem kek ngumumin bocah bergajul yang dipanggil ke ruang BP!"

"Sudah dimulai, Anakku," Kana berujar lembut.

"Iye, gue juga dengerin kok pengumuman tadi," gerutu Fata. "Bikin nambah pusing aja. Terus kenapa coba ini badan jadi suka nyemprotin serbuk emas? Saya mau diubah jadi Tuhan apa pangeran Barbie, seh?"

"Emas adalah warna yang cocok untuk Tuhan semesta data, Fatanir. Dan bukan, bukan soal pertarungannya." Kana menggeleng pelan, seulas senyum misterius kembali merekah di wajahnya yang bercahaya. "Tapi tahap pelepasan," desisnya, "tahap itu sudah dimulai. Sebentar lagi kau sempurna sebagai Tuhan."

Ekspresi Fata mengeras. Ini dia nih! pikirnya semangat. Kalo deduksi ane bener, ini dia momen yang pas banget buat si cewek sambleng itu bertindak! Hayo deh, buruan! Biar rencanaku cepet kelar juga!

"Oh, bentar lagi, yak?" tanya si Kribo sok polos.

Kana mengangguk khidmat, kemudian merapatkan tubuhnya ke tubuh Fata yang langsung bergidik. "Kita bisa mulai sekarang, Tuhan-ku," ia berbisik. Tangannya kembali diposisikan di pipi si Kribo. "Pejamkanlah lagi kedua matamu, dan percayalah setelah tahap ini selesai, kau akan menjadi Zat yang benar-benar baru."

"Waw. Ciyus? Oke, deh. Silahkan mulai."

Sebelum menutup kedua matanya, Fata menyunggingkan senyum tipis. Deduksinya benar. Dan itu artinya, rencana briliannya bisa dimulai sekarang.


***


Eophi Rasaya

Proto Merkavah, ruang pemulihan.

[ PENGUMUMAN-PENGUMUMAN! UNTUK EOPHI DAN FATA. SAYA, BU MAWAR, MENUNGGU KALIAN DI ATAP, DI PUNGGUNG ULAR, UNTUK MELANGSUNGKAN PERTARUNGAN PENENTU RONDE INI! SAYA ULANGI YA— ]

Suara Bu Mawar juga menggema sampai lama di ruang pemulihan tempat Eophi dan Minerva berada. "Yep. Tiba waktunya," gumam Minerva. "Sekarang dengarkan baik-baik, Tuan Lemah, bantuan terakhirku adalah—tutup matamu dulu. Ayo, kau pasti suka."

Sayangnya perhatian Eophi benar-benar sedang teralih. Myrd muda itu sibuk celingak-celinguk memandangi langit-langit yang dipenuhi kabel dan benda lainnya. Mungkin bingung mencari sumber suara Bu Mawar tadi. Jadi Minerva diabaikan total.

PLAK!

"Aw!" pekik Eophi. "Kenapa?"

"Kenapa?! Sekali lagi mengabaikanku, kutampar bokongmu!" Minerva juga memekik. "Dengar, idiot! Aku mau memberitahukan padamu tentang bantuan terakhirku!"

"... oh, itu." Eophi mengusap pipinya yang memerah. "Oke. Aku mendengarkan. Jangan ditunda lagi, ya?"

"Ya, ya. Tutup matamu."

Eophi menutup mata. Belum sedetik, Minerva sudah menyuruh untuk membukanya kembali. "Ng ... kukira bantuannya berupa ciuman." Eophi nyengir.

"Jangan mimpi," kata Minerva. Gadis berambut merah ini sudah memegang sesuatu di tangan kanannya. Benda kecil, persegi, dan bersinar dari dalam. Seperti lampu mini. "Ini adalah bantuan terakhirku."

Eophi menggeser pantatnya sehingga ia duduk semakin dekat dengan Minerva. Ia perhatikan benda persegi itu. "... hm, terima kasih, Minerva. Terus gunanya?"

"Simpan dulu di sini biar tidak hilang." Dalam satu gerakan cepat, Minerva menjulurkan tangannya yang memegang benda persegi itu ke dada Eophi. Ajaib, benda itu meresap masuk. "Nah. Dengan ini, kau, Tuan Lemah Eophi Rasaya, sudah memiliki hak yang sama seperti administrator lainnya."

Kepala Eophi miring ke kanan. "Maksudnya ...?"

"Maksudnya, kau bebas. Kau adalah pengatur batasan-batasan atas kemampuanmu sendiri."

"... bukankah semua kehidupan memang seperti itu?" kata Eophi dengan nada asal, lalu buru-buru ia menambahkan sebelum Minerva membentaknya, "Aku kurang mengerti apa itu hak administrator."

Dahi Minerva berkerut, memikirkan cara terbaik sekaligus tersimpel untuk menjelaskan semuanya pada pemuda idiot berambut hijau ini—yang jika dilihat dari wajahnya, bisa saja sewaktu-waktu ia tiba-tiba jatuh tertidur. "Begini," Minerva memulai, "contohnya adalah kemampuanmu untuk berubah menjadi badut konyol. Normalnya, untuk berubah jadi badut itu kau membutuhkan banyak sekali syarat dan risiko, kan? Nah, dengan hak administrator yang kaumiliki sekarang, syarat dan risiko itu bisa diabaikan."

Dua detik jeda, Eophi merespons, "Bisa jadi badut sesuka hati?"

"Ya. Kurang lebih seperti itu."

"... Minerva," kata Eophi pelan, "itu tadi benar-benar sesuatu yang ... irasional."

PLAK lagi!

"Aw! Kenapa lagi?" Eophi protes.

"Uh? Maaf-maaf tanganku kepeleset," Minerva bersiul cuek. "Jadi bagaimana, Tuan Lemah? Sudah mengerti kan apa itu hak administrator?"

"... sedikit lagi." Eophi menunjukkan jarak sempit antara jempol dan telunjuknya. "Dan ... tolong jelasinnya tanpa tamparan."

"Hhh. Intinya, ya, hak administrator yang kaumiliki sekarang bisa digunakan sebagai penghapus batas kemampuan, penyembuh status otomatis, pemberi informasi, dan teleportasi." Minerva menjentikkan jarinya. "Paham?"

"Kurang."

"Eophi Rasaya IDIOT!" bentak sebuah guling dari jauh. Disusul kemudian oleh gelak tawa peralatan tidur Eophi yang lainnya.

"Setuju!" sahut Minerva. Melongok melewati pundak Eophi, mengangguk-angguk penuh konspirasi pada semua peralatan tidur itu.

Eophi menggumam, "... dasar para pengkhianat."

Aku ga sepikilan sama meleka lho, Phi, Hel si naga kecil menimpali. Eophi ga idiot, cuma, tingkat keceldasan dalam cala belpikilnya aja yang lendah banget, ya kan Phi?

Ng, ya. Terima kasih, Hel. Tapi ... sebenarnya itu sama saja. Tapi sudahlah. Perut kamu gimana?

Sembuh, Phi!

Eophi menoleh ke arah naga merahnya—yang pada saat ini masih dibungkus selimut tapi sudah aktif lagi—kemudian mengacunginya dua jempol. Dan setelah semua selingan yang kebanyakan bikin jengkel itu selesai, Eophi akhirnya kembali menatap Minerva.

"Apa?" kata si gadis berambut merah.

"Anggap aku mengerti tentang hak administrator tadi," kata Eophi. "Tapi benarkah semuanya bakal jadi ... semudah itu?"

"Oh, tentu saja tidak, Tuan Lemah. Tidak ada yang pernah mudah dan membosankan jika kita masih bernapas. Kesulitan atau halangan terburuk dalam menggunakan hak khusus tadi ada di bagian sinyal dan jaringan, dan ... sedikit efek samping. Hm, mungkin lebih baik langsung dites praktik saja, ya? Pasti jadi jauh lebih mudah dimengerti."

Eophi mendesah. "Kalau gitu ... kenapa nggak dari awal saja saranin tes praktik?"

"Karena membuatmu kelihatan bodoh itu menyenangkan banget." Minerva berkedip-kedip mengejek. "Ya sudah. Sana, gabung sama peralatan tidur dan naga merahmu. Terus berubahlah jadi badut. Tapi kali ini tambahkan sedikit detail."

"Detail tambahan?"

"Ya. Sebelum berubah jadi badut, ucapkan ini dalam hati: Loki Rabbit." Wajah Minerva memerah sedikit. Agak canggung, ia melanjutkan, "Ehem, dua kata itu adalah sandi untuk membuka gerbang khusus yang akan memproses perintahmu. Dan ingat, proses afirmasi membutuhkan waktu. Tergantung sistem keamanan, sinyal, jaringan, cuaca, mood, dan hal-hal mengganggu lainnya, intinya. Jadi jangan pernah memerintahkan banyak hal sekaligus, seperti misalnya jadi badut dan teleportasi di detik yang sama. Jangan. Terus dijaga juga frekuensi permintaanmu, misalnya satu hari tiga kali. Begitulah, kalau itu dilanggar, jantungmu bisa meledak—yah, itu saja."

Beberapa lebah seakan mengitari kepala Eophi. Tidak disangka, ternyata Minerva jauh lebih payah dari dirinya dalam urusan menyampaikan sesuatu. Eophi masih kurang mengerti sebenarnya. Tapi karena berbagai alasan, ia lanjut saja. Ia hampiri peralatan tidur dan naga merahnya, kemudian meyakinkan mereka kalau sekarang berubah jadi badut sudah tidak lagi memiliki risiko (biasanya Eophi koma setelah menggunakan kemampuan itu).

Beberapa detik kemudian. "... baiklah, aku siap," kata Eophi yang sudah berdiri lagi di depan Minerva. Peralatan tidur dan Hel juga tampak siap di belakangnya.

"Bagus." Minerva bersedekap. "Dan jangan lupa: Loki Rabbit. Katakan dalam hati."

Berubahlah Eophi. Peralatan tidur dan Hel melebur jadi satu ke dalam tubuhnya, menciptakan ledakan kemerahan. Loki Rabbit, Myrd muda itu membatin sesuai prosedur. Sensasi dingin menjalari sekujur tubuh, dan di detik selanjutnya ... berdirilah sosok badut konyol. Peralatan tidur dan Hel menghilang, digantikan oleh bola sirkus, tombak hitam, dan dua pedang berantai.

Minerva nyengir. "Sekarang coba katakan dalam hati: Run Loki Rabbit. Untuk mengembalikan kondisimu ke sediakala."

Eophi si Badut menurut saja. Ia membatin, Run Loki Rabbit.

Tubuhnya meledakkan sinar kemerahan lagi. Warna merah yang sama, dan proses yang juga sama. Hanya saja seperti dibalik dari belakang. Di detik selanjutnya, Eophi si Badut sudah kembali menjadi Eophi yang ditemani peralatan tidur dan naga merahnya.

"Lihat, kan? Tidak ada risiko." Minerva mengangkat dagu, merasa puas. "Sinyalnya pasti lagi bagus, karena proses afirmasi tadi terhitung relatif cepat. Tapi buat jaga-jaga kalau ada gangguan, berubah saja lagi dari sekarang."

Eophi melongo tiga detik. Kagum pada kekuatan barunya sekaligus curiga apa Minerva sedang mengerjainya? Menyuruhnya berubah-ubah sesuka hati? Tapi, seperti sebelumnya, Eophi nurut saja. Ia berubah menjadi si Badut lagi. Loki Rabbit!

Tepuk tangan Minerva membahana. "Sekarang," katanya pelan-pelan, "Tuan Lemah sudah siap melawan Mvp Alforea dan kandidat Tuhan sekaligus. Yey! Eh, maksudku, melawan Bu Mawar dan Fatanir sekaligus. Yey ulang! Tugasku selesai."

"... ng, Minerva? Tunggu. Apa maksudmu? Fata? Kandidat Tuhan?" Ekspresi si Badut penuh tanda tanya. "Yang menjadi kandidat Tuhan itu ... Fata?"

"Yep. Kau baru tahu, ya? Idiot!" Minerva tertawa pelan, seiring di detik yang sama, keberadaan gadis berambut merah itu perlahan mengabur. Persis seperti ketika ia hendak pergi secara tiba-tiba.

Eophi menahan tangannya. "Bukankah kali ini kau akan tetap di sini?"

"Ada keperluan mendadak," bisik Minerva cepat, sambil memaksakan senyum dan menarik tangannya. "Aku harus pergi sekarang. Dan kau," ia menambahkan, "jangan lupakan tugasmu. Jangan berbuat bodoh. Dan jangan lupa, cari kristal pengendali—informasi keberadaannya akan dikirim langsung ke dalam memorimu. Menangkan ronde ini, oke, Tuan Lemah? Buat mereka mendengar suaramu."

"Ya ... kucoba semampuku." Eophi tersenyum. "Hm, Minerva? Kenapa kau menangis?"

Minerva memang sedang menangis. Tersenyum, tapi juga menangis. "Pasti karena musiknya," ia berdusta, menyalahkan alunan instrumental di ruang penyembuh ini. "Oh, ya, Eophi? Ada surat lagi untukmu. Sebentar."

Si Badut sabar menunggu Minerva merogoh kantung di jubah hitamnya. Keberadaan gadis itu sudah mulai tembus pandang sekarang. "Mana, Minerva?"

"Uh, ketinggalan!" Minerva mendesah putus asa. Menarik tangannya dari kantung, dan mengeluarkan, bukan surat, tapi dua bola kecil sewarna tembaga.

"... itu apa?"

"Mikromemoar," jawab Minerva cepat. "Satu untuk kukirim ke markas besar, satu lagi akan kukirim ke ... rahasia. Kejutan untukmu. Nah—" Minerva maju selangkah untuk memeluk Eophi. "Selamat tinggal."

"Sampai ketemu lagi," Eophi membenarkan.

Dan Minerva pun menghilang.

Eophi si Badut mematung sendirian selama beberapa detik di ruang pemulihan ini. Memperhatikan sekeliling, dan bergumam, "Minerva benar. Musiknya memang lumayan sedih. Baiklah—sekarang kita ke atap!"

Menggunakan bola sirkusnya, Eophi membal-membal dengan cepat, melewati pintu geser otomatis di pojok ruangan, menuju arena pertempuran.


***


Pasukan robot

Proto Merkavah, aula atas.

"Cepat, pemalas!" bentak sebuah robot merah berhelm kejam, memegang pedang sinar, dan menjulang sendirian di antara robot-robot kecil sewarna perak-indentik yang berjalan berbaris di sekitarnya. "Masuk ke aula!"

Beberapa pasang robot seukuran pria dewasa itu masuk melalui pintu koridor yang berbeda ke satu aula yang sama. Aula putih besar yang dipenuhi berbagai artileri dan transportasi perang. Di dalam sini, ada empat robot emas yang jauh lebih besar lagi dan tampak sibuk mengomandoi ratusan ribu robot dari berbagai divisi. Keempat robot emas itu membagi wilayah penyerangan, memberikan artileri, menempatkan beberapa peleton pada transportasi perang, serta melakukan injeksi informasi berupa:

[ Bu Mawar, manusia-wanita, menggunakan pakaian tertutup. Senjata: tangan besi. Misi: hancurkan langsung. Data tambahan: kemungkinan besar target dibayangi oleh Dracul the Leviathan. Lalu Eophi Rasaya, Myrd-jantan, menggunakan setelan hitam. Senjata: peralatan tidur. Misi: amankan ke kapal induk. Data tambahan: target relatif lemah, berhati-hatilah jangan sampai membunuhnya. ]

"Mereka yang sudah terkoordinasi, LANGSUNG KE ATAP!" raung salah satu robot emas. "Salah satu target, identitas: Bu Mawar, sudah berada di atas sana. Mulai penyeranga—"

"ADA PENYUSUP!" robot merah bersenjata pedang sinar menjerit dari salah satu pintu koridor yang sudah hancur ditebasnya. "PENYUSUP!" jeritnya lagi, kali ini sambil menunjuk sesosok makhluk konyol yang bergerak sangat cepat menggunakan semacam bola sirkus. "BADUT ITU! PENYUSUP! PENYUSUP!"

"Ups, ho—maaf. Permisi ... hanya lewat, hanya mencari akses menuju atap," kata si Badut sambil memanfaatkan wajah metal robot-robot kecil sebagai pijakan bola sirkusnya. "Ah, lubang dan langit! Itu dia aksesnya! Baiklah ... silakan lanjutkan rapatnya. Maaf mengganggu—"

"HABISI BADUT PENYUSUP ITU!" perintah keempat robot emas. Suaranya menggema ke seantero aula. "HANCURKAN SEKARANG JUGA!"

Aula putih ini seketika riuh oleh desingan berbagai jenis peluru. Api, cahaya, listrik, rentetan besi, semuanya berdentum-dentum meledakkan dinding timur tempat si Badut berada.

"BERHENTI! TAHAN TEMBAKAN KALIAN!" seorang laki-laki berambut kribo, berjubah putih, berteriak sambil berdiri di belakang empat robot emas. "TAHAN! BADUT ITU ADALAH SALAH SATU TARGET KITA. IDENTITAS: EOPHI RASAYA!"

Serangan beruntun dan semua jenis keributan spontan berhenti. Tersisa hanya suara desisan dari moncong-moncong senapan yang berasap, dan geraman dari ratusan mesin transportasi perang. "Berhenti," ulang si Kribo berjubah putih seraya kembali duduk di kursinya. "Biarkan Eophi Rasaya naik ke atap. Dan ikuti. Jangan sampai target menghilang dari jarak pandang. Kita serang dia di atas sana seperti yang sudah direncanakan. Mengerti?"

Sebuah kor tercipta, "MENGERTI, DAN SIAP LAKSANAKAN, TUAN FATANIR!"

Ratusan ribu robot menuruti perintahnya, bahkan keempat robot emas raksasa. Perintah Tuan Fatanir. Dan sementara untuk si Badut penyusup itu sendiri, ia memang sudah memantul pergi—melalui lubang udara tempat kapal perang diluncurkan—sejak peluru pertama menghantam panel dinding di atas kepalanya.


***


Bu Mawar

Proto Merkavah, atap.

Tidak ada bintang di tengah kegelapan. Bu Mawar mendongak, hanya bisa melihat malam yang diliputi gulungan awan abu-abu. Angin utara yang berembus pelan dan tetap. Barisan cahaya yang mengilat pada garis luar langit di kejauhan, disusul oleh gema dari gemuruh yang teredam. Sebentar lagi pasti hujan, pikir si wanita berjilbab.

Saat ini, Bu Mawar adalah satu-satunya peserta yang sudah tiba di atap—punggung ular. Di salah satu sisik metal besar yang berpendar keunguan. "Mawar, apa aku harus mendeteksi lagi keberadaan dua lawanmu? Atau, kau mau mengumumkan lagi undangan pertarungannya?" tanya Dracul si sayap-kabut, gelisah, melihat tidak ada tanda-tanda kemunculan dari Eophi dan Fata.

Bu Mawar menggeleng pelan. "Enggak perlu dicari lagi, Mas Dracul," ucapnya sopan. "Proto Merkavah ini besar. Pasti butuh waktu buat sampai ke puncak. Oh, atau jangan-jangan, mereka dicegat sama pasukan robot? Tapi—" Bu Mawar menekan bibir bawahnya. "Tadi pas kita ke sini kayaknya sepi-sepi saja, ya? Enggak ada robot satu pun?"

"Ya. Keheningan yang mereka ciptakan memang sangat mencurigakan. Aku yakin sekali, Mawar," kata Dracul, "robot-robot itu pasti sedang merencanakan sesuatu. Jadi, akan sangat bijaksana kalau kita bersiap dari sekarang. Mungkin ini bukan sekadar pertarunganmu dengan dua peserta lain. Dan masih ada serangan dari kubu tertentu juga yang harus kita waspadai."

"Oke, tapi saya mau siap-siap apa lagi coba, Mas Dracul? Sudah keren begini kok, he-he." Bu Mawar berputar pelan, membiarkan bagian bawah busana perang semi-transparannya dan empat pasang sayap-kabut di punggungnya bergerak anggun.

Dracul bahagia sekali menyaksikan pemandangan itu. "Lalu bagaimana dengan tangan besimu, Mawar?" tanyanya, hati-hati. Karena sebenarnya Dracul ingin sekali menjauhi topik ini. Memikirkan Bu Mawar yang dicintainya sampai bisa kehilangan tangan kanan merupakan suatu bayangan yang menyakitkan. Tapi, karena kemampuan tangan besi itu mungkin bisa membantu di pertempuran nanti, Dracul memutuskan untuk melanjutkannya, "Apa kekuatan dari tangan besimu?"

"Oh, ini," kata Bu Mawar sambil menyentil tangan bioniknya. "Saya juga sebenarnya masih bingung, Mas Dracul. Intinya, tangan ini dikasih ke saya sama seorang(?) peneliti, namanya OPI. Terus, hubungan kita bisa dikategorikan sebagai simbiosis mutualisme."

"Simbiosis mutualisme? Hu-hubungan apa, Mawar?" tanya Dracul, jelas-jelas cemburu.

"Em, iya." Bu Mawar mengangguk. "Gini. Tangan besi ini punya kekuatan yang aneh, terus suka bergerak sendiri, mungkin memang dari sananya kali, ya? Yah, yang jelas tangan ini cukup bantu saya. Itu keuntungan saya. Dan buat keuntungan si OPI sendiri, dengan menempelnya tangan ini ke tubuh saya saja sudah membantu dia banget. Soalnya penelitian dia jadi bisa dilanjut gitu."

Dracul semakin tidak menyukai peneliti bernama OPI ini. "Apa kau mengenalnya, Mawar? Dekat dengannya?"

"Sama OPI?" Alis Bu Mawar terangkat. "Enggak, Mas Dracul. Saya baru ketemu sama pipa itu satu kali. Tapi Pak Nurma kayaknya kenal sama dia."

Kecemburuan konyol Dracul lenyap seketika. "Siapa?"

"Pak Nurma," ulang Bu Mawar.

Keempat pasang sayap wanita berjilbab itu membesar dan mendesis seiring gejolak amarah yang dirasakan Dracul saat ini. "Hewanurma?" tanyanya, dingin.

"Iya. Mas Dracul kenal?"

Tentu saja, Mawar! Tentu saja aku mengenalnya! Bajingan tua itu! Dialah—ugh, dialah pemimpin proyek yang mengusulkan ide konyol pada para investor untuk menginvestasikan jiwa ke dalam dunia permainan ini! Maniak yang terbuai dengan penelitian-penelitian absurd! Aku membencinya, Mawar ... aku membencinya karena Hewanurma berperan penting dalam tragedi perpisahan kita! Dia mengubah wujudku, mengubah kepribadianku ... dan dia bahkan mencoba untuk menghapus memoriku! Waktu itu aku berdoa ... aku berdoa dan sangat ketakutan, Mawar. Aku takut tidak bisa lagi mengenalmu. Betapa beruntungnya aku ketika mengetahui namamu masih bisa kuucapkan, kuingat—hartaku di tanah terasing ini. Tapi meski begitu ... Hewanurma akan selamanya menjadi musuhku. Dia lebih buruk dari kematian ... dia adalah jembatan pemisah kita.

Keempat pasang sayap Bu Mawar berhenti berdesis. Karena dengan sangat bijak, Dracul memutuskan untuk meredam amarahnya, dan tidak mengutarakan apa yang diteriakkan oleh batinnya tadi. Ini bukan saat yang tepat.

"Mas Dracul—"

"Aku tidak apa-apa, Mawar," kata Dracul cepat. Tapi Bu Mawar ternyata bukan sedang menanyakan keadaannya.

"—mereka datang." Kedua mata Bu Mawar terbuka penuh. Tubuhnya sedikit bergetar. Di hadapannya kini, di langit maupun di permukaan atap yang beberapa detik lalu masih sunyi dan kosong, berhamburan titik-titik terang. Keramaian itu bergerak ke arahnya, semakin dekat, semakin mewujud.

Jantung Bu Mawar berdetak tiga kali. Langit ... atap ... kini sudah sesak oleh ratusan ribu pasukan robot ... ribuan transportasi perang. Lalu di depan itu semua, tampak sesosok badut yang memantul-mantul di atas bola sirkus, dan seorang laki-laki berjubah putih berambut kribo.

"Mawar," Dracul berbisik kalem. "Tenanglah."

Tapi di antara keramaian yang berbahaya ini, di antara bising geraman mesin dan senjata-senjata yang siap untuk ditembakkan. Menjadi tenang adalah pilihan terakhir, hampir mustahil. Bu Mawar mengepalkan tinjunya kuat-kuat, menelan ludah, kemudian berteriak. Berteriak sekeras-kerasnya. Teriakan yang diiringi oleh gemuruh dari ratusan ribu tembakan artileri-artileri pasukan robot.

"DEMI MURID-MURIDKU! KALIAN SEMUA HARUS KALAH! DEMI MURID-MURIDKU—"



7


"..."
- Eophi Rasaya -


"..."
- Fatanir -


"..."
- Kusumawardani, S.Pd. -


Proto Merkavah
Jantung Peperangan
 

Eophi Rasaya

Proto Merkavah, atap.

Ledakan demi ledakan saling membulat dan bertumpuk-tumpuk menjadi perbukitan api hitam. Gelombang radiasi yang berpendar biru kekuningan menyambar-nyambar setelahnya, ke segala arah, mendesis, meraung. Serangan serempak dari pasukan robot tadi berhasil melubangi atap. Tapi gagal menghabisi target sesungguhnya.

Eophi si Badut—yang menghindari semua kekacauan tadi dengan melompat setinggi mungkin ke langit—bisa melihat Bu Mawar yang juga melompat, terbang melayang-layang sekitar lima puluh meter di depannya. Wanita berjilbab itu bersinar putih dan bersayap seperti malaikat. Apa yang terjadi dengannya? Kenapa penampilannya berubah? Apakah ini kekuatan sebenarnya dari Bu Mawar? Pertanyaan-pertanyaan itu melintas di kepala Eophi.

"Di mana Fata? Kamu Eophi, kan?!" Bu Mawar menjerit. "Ayo kita selesaikan ronde ini secepatnya!"

"... hah? Apa?!" Eophi balas menjerit, tidak mendengar dengan jelas jeritan Bu Mawar yang tertutup gemuruh sisa ledakan.

Mereka berdua lolos dari serangan pertama. Tidak terluka—untuk saat ini.

Karena hampir tanpa jeda, gelombang serangan kedua datang. Beberapa kapal perang melesat memblokade pergerakan Bu Mawar, kemudian menembakinya dengan rentetan misil. Eophi hanya sempat melihat Bu Mawar menukik tajam di antara letupan api, karena sedetik setelahnya, ratusan robot bertas roket bersenjatakan senapan listrik sudah menutup rapat pemandangan di bagian depan dan belakangnya. Mereka membentuk lingkaran. Salah satu robot memberi komando, sisanya menembak bergantian!

Aliran listrik malang melintang seperti jaring laba-laba, semakin banyak, semakin rumit setiap detiknya, semakin menutup ruang pantul dari bola sirkus si Badut.

"Target: Eophi Rasaya! Lumpuhkan! Lumpuhkan! Lumpuhkan!" Di antara riuh ledakan misil, Eophi mendengar pekikan samar itu, dan mendapati posisi si robot pengomando—melayang diam cukup jauh di belakang formasi.

Hm, mungkin kalau kuhancurkan si tukang komando ... yang lain akan berhenti menyerang?

Satu pedang berantai dilempar Eophi, langsung menusuk kepala robot itu. Dan cukup benar, tanpa pengomando, tembakan aliran listrik seketika berhenti mencoreng langit. Sampai, robot lain bersiap menggantikan untuk memberi perintah.

Gawat, nggak akan ada habisnya! pikir Eophi yang segera memantul turun. Menjauhi langit, dan ratusan tembakan beraliran listrik yang sudah kembali ditembakkan. Ia mencoba peruntungannya untuk bertahan hidup di permukaan atap. Di mana ribuan robot lain dengan masing-masing artilerinya, dan ratusan transportasi perang darat sudah menunggu.

Eophi menjejakkan bola sirkusnya di atas howitzer perak. Langsung dipaksa menunduk cepat-cepat, melompat-lompat pendek. Menghindari tebasan pedang sinar yang menyapanya dari berbagai arah. Kembali ia memantul, kali ini mendarat di petak kosong. Baru dua tarikan napas cepat terambil, satu batalion berisi puluhan robot besar yang menunggangi kuda metal sudah bergerak menghampiri, berusaha menginjak-injak dirinya.

Dua pedang berantai dimainkan Eophi. Satu untuk melilit empat kuda metal sekaligus, menjatuhkannya beserta robot penunggangnya. Satu rantai lagi dipakai untuk melempar robot-robot kecil bersenjatakan pedang sinar yang mulai datang membanjir. Ini ... benar-benar ... gawat! pikir Eophi. Pedang berantainya dipacu dalam kecepatan maksimal, tapi lingkaran mesin hidup yang mengepungnya seolah tak pernah habis. Bahkan langit di atasnya sudah dipenuhi kapal perang dan robot bertas roket. Semua area tertutup. Tidak ada celah untuk memantul. Sialan! Minggir! MINGGIR!

"Menyerahlah, Eophi Rasaya. Dan biarkan kami melumpuhkanmu!" laki-laki berjubah putih, berambut kribo, berseru dari serambi salah satu kapal perang. Eophi melirik sekilas tanpa menghentikan pergerakan pedang berantainya. "Menyerahlah!" laki-laki itu kembali berseru. "Menyerahlah!" terus berseru. "Menyerahlah!" berseru lagi ...

"... turun ke sini, dan lakukanlah sendiri, Keriting!" bentak si Badut yang mulai muak. Ia lempar pecahan kepala robot dari ujung pedangnya ke langit. "Turun! Coba saja membuatku menyerah!"

Diikuti gumaman rendah para robot yang terdengar seperti, "Beri jalan untuk Tuan Fatanir, beri jalan." Laki-laki kribo itu melompat turun. Mendarat di depan Eophi. Robot-robot berhenti menyerang, menyingkir sampai ke luar lingkar pengepung. "Menyerahlah," kata laki-laki itu dengan nada final yang mengancam.

Pikiran Eophi teralih. Karena ia malah bilang, "... ternyata bukan Fata, ya? Kalian kembar?"

Laki-laki berambut kribo berjubah putih di depannya memang persis sekali dengan Fata. Eophi sempat melihat laki-laki ini mengikutinya tadi, sebelum serangan serempak pasukan robot yang pertama. Waktu itu, laki-laki ini belum mengatakan apa-apa. Tapi sekarang setelah mereka saling berinteraksi dari dekat, Eophi yakin sekali, laki-laki itu bukan Fata.

"Aku adalah Tuan Fatanir," kata si Jubah Putih tanpa emosi. "Tugasku adalah memimpin satu juta pasukan robot untuk menangkapmu dan menghancurkan Bu Mawar. Panjang umur Ordo Horus, Yang Mulia Kana, dan Tuhan-ku O' Fatanir." Kalimat terakhir laki-laki itu diikuti oleh para robot.

... mereka gila! "Ng, Tuan Fatanir? Pasti ada kelas kepribadian di Proto Merkavah ini, benar?" Eophi mengangkat bahu. "Karena setahuku Fata nggak pernah ngomong sesopan itu. Dan setahuku ... dia itu kandidat Tuhan terkuat, hm? Kandidat Tuhan terkuat nggak perlu anak buah dong. Soalnya tinggal, snap, semesta belah dua. Ha!"

"Diam, dan menyerahlah!" desis Tuan Fatanir.

"Oh. Berhenti berbicara, Tuan Fatanir—maju ke sini!" respons Eophi.

Laki-laki itu memang langsung maju, berlari, jubah putihnya tertarik ke belakang, pundaknya seolah menyerpih dan sedetik kemudian serpihan itu sudah membentuk semacam senapan mesin. Eophi menelan ludah, Tuan Fatanir memiliki kekuatan Fata! Atau jangan-jangan mereka memang orang yang sama? Fata dicuci otak? Pertanyaan-pertanyaan liar kembali terpikirkan—dan terdistraksi oleh sebaris cahaya putih dari langit yang mendarat tepat di depannya.

"Jangan lupakan saya!" Cahaya putih itu bertumpuk menjadi suatu wujud. Sesosok wanita berjilbab, berkacak pinggang, terengah-engah dan tampak pucat. "A-ayo selesaikan ini secepatnya!" seru Bu Mawar. "Kita saja, tidak perlu ramai-ramai! Tidak perlu kapal-kapal perang edan!"

Tuan Fatanir yang masih berlari tiba-tiba berhenti untuk memandangi Bu Mawar. "Dracul the Leviathan," katanya, "berhentilah membantu Bu Mawar, dan serahkan kristal pengendali."

Eophi cukup kaget ketika mengetahui yang merespons ucapan tadi adalah empat pasang sayap Bu Mawar. Sayap itu bilang, "Bunuh aku. Hanya itu satu-satunya cara kalian untuk memisahkanku dari Mawar." Lalu semua kembali mengabur, riuh, lingkar pengepung maju serempak, robot-robot kembali menyerang.

Tuan Fatanir yang seolah sudah melupakan pertarungan satu lawan satunya dengan Eophi, saat ini sibuk menembaki Bu Mawar. Sebagian besar pasukan robot ikut membantunya, menyisakan beberapa saja yang masih mencoba melumpuhkan Eophi.

Robot-robot payah ... beraninya sama wanita! Eophi melempar dua pedang berantai, membiarkannya memanjang, menyerang bebas. Kemudian ia menghunus tombak hitam, menginjak bola sirkusnya, melesat ke arah Tuan Fatanir. Secara naluriah, mencoba membantu Bu Mawar agar lepas dari kepungan.

"JANGAN KEROYOKAN DONG! BERHENTI!" Bu Mawar membentak semuanya. Bahkan Eophi terpaksa menginjak lagi bola sirkusnya untuk berhenti. Semua robot dalam jarak bentakan diam mematung, Tuan Fatanir menurunkan senapan mesin. Tapi tak lama setelahnya, seolah baru terbangun dari sebuah tidur singkat, semuanya kembali bergerak. Menyerang! Eophi melihat Bu Mawar menggeram kesal, "Limbo siap sebentar lagi!" Mendengar sayapnya berseru, lalu berubah. Keempat sayap itu memanjang menjadi empat ular translusens, menyemburkan sinar putih ke setiap robot yang mendekat. Sementara tangan besinya meninju, menahan, bertarung dengan gaya yang berbeda-beda.

Dia sangat kuat, wanita itu sangat kuat! Si Badut menelan ludah, menginjak bola sirkus, melesat ke tujuan semula. Tuan Fatanir masih berusaha menembaki Bu Mawar ketika Eophi menubruknya. Mereka berdua jatuh. Berguling ke tengah kerumunan. Eophi merasakan sengat panas ketika tebasan pedang sinar menyerempet pinggangnya, ia mengerang, tapi langsung berdiri. Memutar tombak hitam untuk mengamankan jarak.

Tuan Fatanir di depannya mendesis murka, wajahnya tersayat. Pundaknya kembali menyerpih, mencoba menciptakan sesuatu—dan gagal. Sebaris cahaya, yang ditembakkan oleh salah satu ular translusens di punggung Bu Mawar, telak menghantamnya. Menguburnya di dalam sinar selama beberapa saat.

Dan apa yang tersisa setelahnya adalah potongan tubuh, berasap, perlahan-lahan tumbang. Tapi itu bukan tubuh manusia. Itu adalah tubuh robot. Laki-laki itu ternyata memang bukan Fata. Hanya tiruan. Eophi menoleh ke arah Bu Mawar, mendapati ekspresi ngeri bercampur lega di wajahnya.

Pasukan robot, yang kehilangan komando pusatnya, berhenti bergerak. Kapal perang hanya mengapung, tampak hampa. Prajurit-prajurit berhenti berlari. Kesunyian kembali menguasai bagian atap Proto Merkavah. Eophi membuka telapak tangannya, menangkap tetesan air. Gerimis mulai turun. Gemuruh menggema setelah kilat menerangi jajaran awan yang menggumpal.

Eophi perhatikan lagi sisa potongan tubuh Tuan Fatanir. Oke, sekarang pertanyaannya ... di mana Fata yang asli?

Hampir seketika, satu ledakan berdentum di kejauhan. Eophi menoleh, memicingkan matanya, sesuatu yang sangat cepat, tampak seperti bola emas pada jarak ini, meluncur dari dalam api. Meluncur mendekat ... kemudian berhenti di udara—adalah peserta ketiga Proto Merkavah. Fata.

Ada beberapa perubahan signifikan pada penampilan laki-laki kribo itu—aura keemasan menguar dari tubuhnya, sorot mata yang tampak kosong, dan beberapa kancing baju yang terbuka memperlihatkan semacam mesin menempel di sekitar dadanya. Tapi sama seperti ketika melihat Bu Mawar tadi, meski berbeda, Eophi sama sekali tidak meragukannya. Fata yang melayang-layang di atasnya saat ini, adalah Fata yang asli.

"Ayo! Kita bisa selesaikan ini sekarang!" Eophi mendengar Bu Mawar berteriak.

Kemudian Fata mengangkat sebelah tangan, menunjuk langit. Dan serangkaian kejadian yang terjadi setelahnya, memang cukup menyakinkan Eophi kalau semuanya akan benar-benar selesai.

Beberapa puluh meter di atas kepala Fata, Eophi melihat ribuan benda. Pertama ia melihat bagian atapnya, kemudian jendela, pintu ... nggak mungkin. Ribuan benda di langit, yang saat ini meluncur turun, adalah suatu bangunan. Fata menciptakan ribuan bangunan dan membakarnya sebelum menyentuh permukaan. Seperti meteor. Bangunan-bangunan itu menghantam wilayah atap, robot-robot, transportasi perang, lalu terpecah, dan bagian terparahnya adalah setiap pecahan dari bangunan itu mengambang—seperti berada di ruang hampa—atau melesat seperti peluru. Sebagian lagi terus turun sampai ke reruntuhan Alforea, yang terletak ratusan meter di bawah sana. Dan apinya ikut bertahan, melayang, atau melesat. Mengabaikan efek gerimis dan angin, yang juga semakin mengencang di setiap detiknya, karena Proto Merkavah saat ini memang sedang bergerak lurus langsung ke wilayah badai.

Fata merentangkan kedua tangannya. Bahkan Eophi yang masih sibuk menghindari api, puing, dan bangunan, tidak bisa untuk tidak melihat kengerian selanjutnya yang diciptakan—sekarang, Fata menciptakan Proto Merkavah.

Ular besi raksasa, persis sama. Atau mungkin justru jauh lebih besar. Proto Merkavah yang Fata ciptakan mewujud dan menggelung di sekitar Proto Merkavah orisinal. Jantung Eophi memompa darah lebih cepat. Sekali lihat, ia tahu apa yang akan dilakukan Proto Merkavah Fata pada benteng perang ini. Ular besi itu akan melilitkan tubuhnya, meremukkan tubuh ular besi satunya.

Dan mimpi buruk dimulai dua detik setelah hujan bangunan berhenti, setelah langit tertutup seutuhnya oleh Proto Merkavah buatan Fata. Ular besi itu meledak. Meledak dan terus meledak dan baru berhenti setelah sekujur tubuhnya yang menggelung berubah menjadi lautan listrik. Eophi terkapar akibat angin ledakan, wajah rata ke permukaan atap, kupingnya berdengung dan berdarah. Ia paksakan untuk mendongak, melihat Bu Mawar beberapa meter di sampingnya juga mencoba untuk kembali bangkit. Mereka berdua penuh luka, lemah, dan berantakan.

"Kandidat Tuhan, eh?" Eophi menggumam, tersenyum pahit, mengatur napas, kemudian melompat ke bola sirkusnya dan lanjut memantul ke atas, menuju Fata. Bu Mawar melakukan hal yang sama, wanita itu mengepakkan sayapnya, terbang!

Berdua mereka menyerang, tapi tidak ada satu pun yang berhasil mendekat. Gelombang listrik yang menggelung dan semakin merapat, memuncratkan arus-arus petir. Menyambar siapa saja yang berani mendekati Fata.

Kedua kaki bergetar hebat, Eophi kembali mencobanya, melempar pedang berantai di udara, tersambar lagi—tapi kali ini ia berhasil! Ia berhasil melilit kaki Fata dan terkejut mengetahui tidak adanya perlawanan ketika rantai ditarik. Fata terjatuh di sampingnya, bungkam, hanya mencoba untuk berdiri dan melayang lagi. Eophi menahan kakinya, menariknya lagi ke permukaan.

"... h-hey ... Fata. Bangun! Bangun!" Eophi berujar pelan, memperhatikan ekspresi kosong di wajah si Kribo. "Di-dia, nggak sadar? Fata, hey, bang—"

"LIMBO!"

Satu jeritan dari Bu Mawar tadi membuat Eophi menoleh, lalu ia mendapati sebuah lingkaran hitam, lebih hitam dari apa pun, berekspansi sangat cepat sampai akhirnya menelan dirinya dan Fata sekaligus.

Jauh di dalam kegelapan, Eophi merasakan sensasi terjatuh dari ketinggian. Terus terjatuh, dengan Fata yang menunduk di sampingnya. Mereka terus terjatuh. Terus ke dalam. Menuju sebuah dasar, yang mungkin takkan pernah tersentuh.


***


Eophi Rasaya

Limbo, dunia fantasi.

"Kita harus keluar dari sini," kata Eophi, yang sudah tidak lagi berada dalam badut-mode. "Kita ... harus ... keluar. FATA!"

Pelan-pelan, Fata mengangkat kepalanya, menguap lebar. "Hoaem! Keluar ke mane sih, coy?!"

Ekspresi Fata membuat Eophi tersenyum. Ini, adalah Fata yang normal. Bukan Fata-robot, atau Fata yang tidak memiliki emosi dan jiwa. "Lihat sekeliling." Eophi menunjuk ke atas, ke depan, ke samping, ke belakang. Semuanya hitam. Cahaya hanya berasal dari tubuh mereka masing-masing, dari peralatan tidur pasif, serta dari seekor naga merah kecil yang tak sadarkan diri.

Sensasi terjatuh dari ketinggian masih terus terasa.

"Dalem sumur eni, yak?"

"... bisa jadi. Bu Mawar yang kirim kita ke sini."

"Bu Mawar? Si Krudung Dusta?"

Eophi mengangguk.

"Hoo."

Kemudian mereka terdiam cukup lama, terbuai dengan pikiran masing-masing. Fata sedang menggigiti kuku dengan tampang tengil ketika Eophi bertanya, "Jadi, kau adalah kandidat Tuhan?"

"Udah resmi, bos, jadi Tuhan," jawab Fata malas.

"... hm."

Mereka terdiam lagi. Dan kali ini, ketika Eophi sedang mengusap sayap naga merahnya, Fata berkata, "Yodah lah, bray, gue cabut doloan, yak?"

"Hah?"

Fata menjentikkan jarinya—Clack!—sensasi terjatuh dari ketinggian, berhenti seketika. Kemudian Fata berjalan beberapa langkah ke samping dan sebuah pintu besi tercipta begitu saja! Berdiri di tengah kegelapan seolah sudah ada sejak lama. Eophi menutup mulutnya yang menganga, naik ke kasur terbang, mengikuti Fata. Masuk melalui pintu itu.

Eophi tidak mendengar keluhan dari Fata karena ia mengikutinya, ia hanya mendengar Fata mengatakan, "Gausah banyak nanya." Yang merupakan hal mustahil untuk dilakukan. Karena apa yang berada di balik pintu besi ajaib itu adalah ... sebuah dunia. Sebuah dunia yang sangat mengingatkan Eophi pada koleksi seni modern di planet Bumi. Kebanyakan abstrak, lainnya lagi seolah dipaksakan ada di sana. Hanya sedikit yang masuk akal.

"... ini tempat apa?" tanya Eophi.

Fata tidak menjawab. Hanya terus berjalan di lantai batu yang membunyikan ragam nada ceria setiap dipijak, serta melewati pagar besi canggih yang mengurung domba berbulu kabel. Si Kribo lalu duduk membelakangi Eophi di bawah sebuah pohon kuning, dengan televisi berlayar cembung sebagai buah-buahnya.

Belum cukup mabuk dengan pemandangan gila di dunia ini, Eophi menggerakkan kasur terbangnya. Berkeliling sendirian. Kedua matanya menyipit ketika memperhatikan bangunan familier. "... ini bangunan yang dilempar-lempar tadi, ya?" Bangunan itu ternyata sebuah gedung panti asuhan. Eophi terus bergerak. Sesekali mendongak melihat perubahan pada langit. Kadang ada gambar kipas angin seksi di sana.

Sejauh ini, perumahan kecil tempat keluarga baterai tinggal, adalah tempat paling menarik untuk dikunjungi. Mereka tampak bahagia. Tapi kemudian Eophi meringis juga ketika melihat Tuan Baterai selingkuh dengan Nyonya Mesin Ferrari.

Di suatu lokasi yang lain, tampak sebuah layar besar dengan sistem suara yang menulikan pendengaran. Di layar itu terlihat sebuah padang rumput kering, langit abu-abu, garis cakrawala sewarna darah, dan siluet hitam besar yang berdiri sambil meraung-raung. Gesekan dramatis dari biola dan peralatan orkestra lainnya membuat pemandangan itu semakin mengerikan.

Akhirnya, Eophi berhenti di sebuah tugu kecil. Di puncak tugu itu, terlihat sebuah kotak kaca yang mengurung bola emas. Kesadaran Tuhan tertulis di bawah kaca.

"Hm, baiklah. Cukup."

Eophi kembali menghampiri Fata di bawah pohon kuning. Si Kribo lagi rebahan sambil memelintir jambulnya ketika Eophi berkata, "... ini dunia fantasimu, eh?"

Tak terduga, Fata pun menjawab, "Yoyoi."

"Boleh kutanyakan hal lainnya?"

Fata bangkit, duduk bersila. Tampangnya cuek sekali. "Okeh. Pokonya, abis gue jelasin semuanya, loe jangan berisik lagi, deal?"

"Deal."

Dan penjelasan pun mengalir. Pertama, dan terpenting, tentang bagaimana deduksi Fata tentang Kana benar. Kana merupakan penyihir, kriminal paling manipulatif, yang pernah Fata kenal. Dari awal Fata sudah curiga, kenapa Kana membutuhkan kandidat Tuhan? Kenapa tidak menjadikan dirinya sendiri sebagai Tuhan? Dan itu karena adanya persentase kegagalan yang besar dalam proses. Kana yang sangat perhitungan, tentu tidak mau gagal hanya karena satu rencananya saja. Maka ia membutuhkan kandidat. Tiga belas kandidat, totalnya, yang berhasil selamat. Kebetulan, Fata merupakan yang terkuat di antara tiga belas kelinci percobaan itu.

Sekarang, setelah Kana berhasil mematangkan kandidat Tuhan terkuat—Fata, Kana harus memastikan bahwa Fata menuruti perintahnya. Dengan cara menciptakan tahap pelepasan. Kana sama sekali tidak berencana untuk mengambil bakat Teknopath terkuat dari Fata, atau Ashura miliknya sekalipun. Kana tidak ingin menjadi Tuhan. Ia ingin menjadi lebih dari itu. Ia ingin menjadi sosok yang bisa mengendalikan-Nya. Jadi, tahap pelepasan adalah tahap yang ditujukan untuk merombak Kesadaran Fata. Memberikannya kekuatan terakhir untuk mengubah apa saja yang ada di semesta data ini, sekaligus, menjadikannya boneka kosong yang bisa diperalat sesuka hati.

Fata berhasil menebak itu. Maka, si Kribo merencanakan sesuatu. Sesuatu untuk membalik semuanya. Mencari kebenaran. Siapa sebenarnya Fata? Apakah ia hanya sebuah kelinci percobaan? Apakah sebenarnya ia memiliki keluarga? Dan Fata mencari jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tadi, langsung di dalam kepala Kana. Fata berhasil memasuki kepala penyihir itu setelah tersadar akan satu hal yang lain. Kana selalu membutuhkan izin untuk memasuki kepalanya. Itulah. Selama Fata masih memegang kendali atas Kesadarannya, Kana tidak akan bisa apa-apa, dan hasilnya justru berbalik. Fata yang menguasai isi kepala penyihir itu.

Jadilah Fata berpura-pura menyetujui rencana pelepasan, dan begitu Kana masuk ke dalam Kesadaran Fata—Fata menjebaknya. Membuatnya tersesat di dunia fantasi ini.

Kana benar-benar sudah merusak hidup Fata sampai ke titik terakhir. Datang tiba-tiba, mengatakan semua hal gila, kemudian mencoba untuk menjadikannya wadah kosong. Secara tidak langsung, Kana sudah menghancurkan hampir semuanya dari seorang Fata. Dan yang paling buruk dari itu, adalah kebenaran, bahwa Fata memang hanya sebuah kelinci percobaan.

Mental Fata kolaps menerima kenyataan itu. Tubuhnya bergerak tanpa jiwa, mengamuk dalam diam seperti tadi.

Penjelasan ditutup dengan berbagai informasi lain yang Fata peroleh ketika mengorek isi kepala penyihir itu. Tentang rencana brilian Kana yang sudah dirancang sejak ratusan tahun silam: memulai kolonialismenya dari Alforea, dari Proto Merkavah. Tentang meledaknya planet Myrdial: bagaimana bangsa pelindung itu kalah setelah Kana mencemari Nebula Aell, jantung sihir Myrd. Tentang tato satu mata di dahi Fata: yang ternyata memiliki hubungan dengan kapal induk Ordo Horus sehingga Kana—sebelum akhirnya menemukan pintu keluar dari dunia fantasi ini—mencabutnya.

Selesai, Fata kembali merebahkan diri, bersiul cuek.

Respons pertama dari Eophi adalah, "Myrdial akan terlahir kembali. Protokol keamanan terakhir dari planetku memang ... meledak. Dan Fata, kita harus keluar dari sini."

Fata cuma menjawab yang pertama. "Tapi keknya semua penduduk di planet loe berhasil dijarah sama itu cewek laknat."

"Nggak apa-apa, kok," kata Eophi pelan, tapi itu juga setelah menggigit bibir bawahnya sampai nyaris berdarah. "Mereka bakal selamat."

"Yakin betul?"

"... harus." Eophi mengangguk. "Di pertarungan tadi ... pasukan robot hanya ingin melumpuhkanku. Itu artinya ada kemungkinan besar, bangsa Myrd yang tertangkap semuanya masih pada hidup—ng, Fata, ayo keluar dari sini. kau bisa menciptakan jalan keluar dari tempat gelap tadi, artinya kau juga bisa menciptakan jalan keluar kembali ke realita. Ke Proto Merkavah. Ayo."

"Oh, no, no, no. Artinya itu gue harus tidur siang dolo sekarang." Fata menguap, menutup matanya. "Kthxbye~."

"Ayo," Eophi mengulang.

"Berisik."

"Ayo."

"...."

"Ayo."

Fata bangkit, duduk bersila lagi. "WOEY! KELUAR JUGA PERCUMA! GUE DAH TAU GUE ENI SIAPA, JADI NGAPAIN LAGI KELUAR? ENAKAN DI SINI LAH. GUE BAKAL KELUAR KALO GUE MAU KELOAR! PAHAM?!"

"Ayo."

"...!"

"Ay—" Mulut Eophi tersumpal. Fata menciptakan bola lampu yang menempel tepat di depan bibir Eophi. "Beaoyo."

"Heh! Curut, kalo masih kaga bisa diem juga, gue bakalan bikin menara satu kamar. Terus gue kurung loe di sono!" Fata memecahkan bola lampu di mulut Eophi. "Diem."

Eophi mengelap bibirnya sambil berpikir. "Hey," katanya lalu, "kau masih bisa mengungkapkan kebenaran dengan cara yang lain, Fata. Aku bisa membantumu. Ng ... coba tatap mataku."

Sementara Fata tergelak—mengatai Eophi mirip copet bermodus hipnotis—Eophi mengaktifkan kekuatan matanya. Kemampuan untuk melihat kepingan memori. Dan ... Eophi harus mengakuinya. Apa yang ia lihat dari memori Fata, tidak benar-benar menyenangkan. Dan tidak pula benar-benar menyakitkan. Memang, ada semacam penghalang yang sangat kuat, membuat sebagian ingatan terkubur di dalam kabut, sehingga Eophi tidak bisa mencari tahu lebih jauh tentang apa yang benar-benar Fata inginkan: keluarga dan jati diri. Tapi ingatan Fata tentang panti asuhan ... tentang usahanya ... tentang bakatnya. Itu sudah cukup. Fata masih memiliki alasan untuk berjuang. Eophi harus meyakinkannya.

"Kotak Laplace," kata Eophi polos. "Benda itu bisa mengungkapkan kebenaran absolut."

"Omong kosong. Kotak nasi lebih masuk akal, bray, bikin kenyang! Udahlah, kaga ada kata-kata ente yang bakalan mempan. Ini tempat gue, oke? Gue kaga bakalan ke mana-mana. Dan hey, gue ini Tuhan loh. Hati-hati~."

Aha, pikir Eophi.

"Dasar mulut memek. Tolol. Putus asa maniak. Korban bully. Yatim piatu—" Mulut Eophi tersumpal lagi. Kali ini dengan tinjuan Fata. Darah mulai merembes dari bibir yang pecah.

"Jaga bahasa loe, sampah."

Tapi Eophi malah tersenyum, kembali mengatai Fata, kembali dihajar, mengatai lagi, dihajar lagi. Sampai ..., "Kukira ... kata-kata nggak mempan untukmu, Fata," Myrd muda itu berbisik. "Maaf ... ternyata ampuh juga, eh?"

Sesuatu di dalam diri Fata bergolak, dan itu bukan amarah. Itu adalah kerinduan. Kerinduan akan sesuatu yang tak pernah ia rasakan. Perasaan hangat ketika mengetahui ada seseorang yang memperjuangkan dirinya sampai ke titik yang tidak masuk akal. Alasan terbesar kenapa ia sampai menangis di depan Kana setelah bertarung dengan Bu Mawar yang murka atas kematian Sunoto.

"Ayo," kata Eophi.

Fata memang memiliki teman-teknologi untuk diajak berdiskusi. Tapi ia tidak pernah memiliki sosok yang rela sampai berbuat jauh, berkorban, berjuang untuknya, tanpa memaksa, demi sebuah masa depan yang ia sendiri tahu akan baik untuknya tapi terlalu takut untuk dijalani sendirian.

"Wokeh!" Fata berseru, sebisa mungkin menjaga agar ekspresi santainya tetap stabil. "Kita keluar! Kita ... keluar! PUAS?!"

Eophi tersenyum. "... sangat."

Dan meskipun di luar nanti, di realita, Proto Merkavah, keduanya akan kembali saling bertarung—menyerang sekuat tenaga, keduanya sama-sama tahu. Apa yang terbaik untuk mereka, apa yang layak untuk terus diperjuangkan.

Bagi Eophi. Inilah yang akan terus ia perjuangkan. Berpetualang di mana suaranya bisa terdengar, dan menjaga, karena memang untuk itulah ia diciptakan.

"Inget," desis Fata, di depan pintu besi yang akan membawa mereka berdua keluar dari dunia fantasi ini. "Kaga ada ampun. Gue bakalan ngancurin loe di luar. Kotak Laplace bakalan jatoh ke tangan gue! Berani nantang Tuhan~ mau mati itu woles, BOS!"

"Terserah," gumam Eophi.

Keduanya berjalan melintasi batas pintu.


***


Bu Mawar

Proto Merkavah, atap.

Benteng perang ini benar-benar masuk ke dalam wilayah badai.

Pusaran angin dan tetesan air memenuhi ruang penglihatan sang guru. Tapi meski begitu, ia tetap bertahan di atap. Kepalanya mendongak, menunggu kilat menerangi langit dan memperlihatkan ... sesuatu yang mungkin akan jauh lebih mengerikan daripada amukan alam saat ini.

Dan sesuatu itu adalah kumpulan kapal perang. Masing-masing tampak mengerikan dan kokoh, dan Bu Mawar sampai harus menelan ludah ketika melihat satu kapal yang paling besar—sampai terlihat seperti sebuah pulau yang terapung—serta memiliki lambang satu mata, berpendar, seolah raksasa terbesar sedang memelototinya dari angkasa sana.

"Itu mereka, Mawar," kata Dracul pelan. "Kubu tertentu—Ordo Horus. Mereka pasti sudah mengikuti kita sejak lama, bersembunyi di balik awan."

"Apa yang harus kita lakukan, Mas Dracul?" Suara Bu Mawar bergetar karena dingin dan kekhawatiran. "Ke-kenapa sampai sekarang portalnya belum muncul juga, ya?"

Dracul diam dan berpikir.

Setelah Eophi dan Fata terisap ke dalam Limbo tadi, seharusnya pertarungan selesai, dan portal untuk pemenang muncul seperti yang dijanjikan. Seharusnya. Jika saja Fata tidak memiliki kemampuan untuk menciptakan pintu dimensi, dan sistem turnamen mengganggap kedua peserta itu terjebak di dalam ketiadaan—kalah.

"Mawar, hanya ada satu kemungkinan—" Belum selesai Dracul menjelaskan, jawaban itu datang dengan sendirinya.

Pintu besi mewujud beberapa meter di hadapan mereka, terbuka dengan satu suara yang berderak, langsung memuntahkan dua sosok yang bergerak ke sisi yang berseberangan.

Eophi dan Fata sudah kembali!

"—Fata sudah benar-benar menjadi Tuhan," Dracul melanjutkan penjelasannya. "Sekalipun belum, laki-laki itu pasti sudah memiliki kekuatan yang cukup untuk menciptakan keajaiban. Limbo tidak berfungsi lagi untuknya—Mawar? Mawar?! Kau tidak apa-apa?! Mawar?!""

Bu Mawar sedang menggigil hebat. Tapi dalam artian yang benar-benar positif. "Ayo, Mas Dracul, kita lanjutin lagi," katanya, pelan dan mantap. "Dan kali ini, kita pastikan kemenangan kita." Wanita berjilbab itu tersenyum.

Keempat sayapnya seketika membentang, melebar, mengepak. "Sampai akhir, Mawar. Sampai akhir," bisik Dracul. "Aku akan bersamamu sampai akhir!"

"Terima kasih, Mas Dracul." Bu Mawar melesat.

Meski masih ada satu hal besar yang mengganjal, tentang bagaimana sekarang ia bisa mengalahkan kedua lawannya, tanpa benar-benar membunuhnya? Tapi sekali lagi, kedatangan Eophi dan Fata benar-benar melegakan. Melebihi kekhawatiran itu sendiri. Karena mereka kembali membawakan tujuan dan harapan yang jelas kepadanya. Hal besar untuk dilakukan, selain menatap langit dan sederetan kapal perang dengan wajah cemas.


***


Eophi Rasaya

Proto Merkavah, atap.

LOKI RABBIT!

Dua kata itu kembali mengubah Eophi menjadi si Badut. Langsung, diinjaknya bola sirkus dan memantullah ia ke depan—dua pedang berantai terhunus.

Di depannya, sambil berlari, Fata menciptakan zirah robot khusus, melapisi tubuhnya dengan itu. Dan menembakkan sesuatu dari dua tangan tambahan di atas bahunya.

Bu Mawar melesat dari tengah, keempat pasang sayapnya kembali berubah menjadi ular-ular translusens. Dua melesat ke arah Eophi, dua lagi menyerang Fata—

CLASH!

Eophi berhasil menebas peluru khusus dari Fata, dan menahan serangan dua ular Bu Mawar. Terus maju. Ia melihat Fata sudah menciptakan panel baja, melayang-layang di sisinya, terhantam-hantam cahaya putih dari serangan dua ular yang lain.

Bu Mawar berhenti di tengah, melayangkan tinju besi ke arah Eophi. Arus cahaya terbentuk seketika, tajam seperti pedang, di ujung kepalannya. Si Badut menghindar, memantul ke atas sambil menarik tombak dan menghantam tinju yang masih terulur itu hingga berbelok ke arah Fata. Zirah robot di bagian perut si Kribo tertebas cahaya tajam dari tinju Bu Mawar. Tebasan dangkal, tapi beracun, hingga di detik yang sama, goresan panjang itu berpendar kemudian meledak.

Fata terlempar ke belakang, mengumpat. Kakinya mengentak kuat, menahan beban tubuhnya dari dorongan. Dalam satu kedipan mata, ia mematerialisasikan udara menjadi howitzer-howitzer emas yang langsung memuntahkan delapan misil. Eophi yang masih melayang di udara memantul lagi ke samping untuk menghindar, empat misil yang mengincarnya berbelok tajam, mengikutinya, bola sirkus ditendang ke depan, bertabrakan dan meledak. Sementara Bu Mawar menunduk cepat, mengambil satu dari empat misil yang mengejarnya, kemudian melemparnya ke tiga misil yang lain.

Letupan api menggeram-geram hanya selama beberapa saat, karena suara badai kembali mengisi pendengaran. Tetes-tetes air menghantam permukaan atap dengan keras, pusaran angin seolah menjerit, rentetan petir menggemakan gemuruh. Kilatan cahaya menerangi wajah tiga peserta. Ketiganya melirik satu sama lain, keyakinan di mata masing-masing—mereka kembali bergerak.

Eophi kembali ke atas bola sirkusnya, melesat lebih cepat, dua pedang berantai dilempar ke wajah Fata dan Bu Mawar. Bu Mawar mengepakkan sayapnya, menghindari laju pedang, terbang setengah lingkaran dengan pergerakan yang jauh lebih cepat. Wanita berjilbab itu berhenti di udara, menarik tinjunya. Setitik cahaya membesar dan berdetak di ujung kepalan. Sementara Fata bergeser ke samping, merenggut rantai pedang Eophi kemudian menariknya sambil menembakkan misil-misil pengejar yang sama.

Arus cahaya menerobos keluar dari kepalan Bu Mawar, diarahkan ke bawah. Eophi mendorong bola sirkusnya ke permukaan, bergesek hebat hingga mengerem, dan balas menarik Fata yang masih memegang rantai, melemparnya ke atas, ke jalur arus cahaya. Dalam sepersekian detik, Fata menciptakan bola baja yang mengurung dirinya sendiri, arus cahaya menelan bola itu, terus melaju ke arah Eophi yang akhirnya terserempet sebelah kaki, terjatuh dari bola sirkus.

Bola baja Fata bertahan, masih melayang di udara. Dari permukaannya mencuat laras-laras yang kemudian menembakkan peluru kejut, tanpa jeda, ke segala arah. Eophi berlindung di balik bola sirkus, tiarap. Bu Mawar bergerak seperti bayangan putih, zig-zag melewati hujan peluru dan tiba di depan bola baja Fata dengan posisi tinju teracung.

Tinju besi pun jatuh, terang, meleburkan bola itu. Fata terlempar ke bawah, langsung merentangkan kedua tangannya—Eophi menelan ludah. Si Kribo menciptakan ratusan roket besar, segera diluncurkan setengahnya, mengejar Bu Mawar yang terbang semakin ke atas. Fata menoleh, mengarahkan setengah lagi roket-roket besar itu ke arah Eophi yang juga berusaha menghindar, memantul setinggi-tingginya ke langit.

Ratusan roket meledak di udara. Bulatan-bulatan api menerangi kegelapan. Satu detik, Bu Mawar sudah kembali memijak, tanpa luka. Menyusul Eophi sedetik kemudian, meringis, memegang erat pinggangnya yang tertusuk pecahan metal.

Ketiga peserta kembali berpandangan. Cahaya kilat pada wajah mereka. Fata menyeringai. Bu Mawar mengangkat dagu. Eophi memucat, sama sekali tidak percaya.

Ini ... serius? pikir si Badut, panik. Mereka bahkan belum kehabisan napas ... dan dari tadi itu, aku—itu kecepatan terbaikku. Oh, sialan ....


***


Eophi Rasaya

Proto Merkavah, atap.

Badai mereda, pelan dan pasti. Benteng perang sudah setengah badan keluar dari cuaca buruk menuju langit yang bersih dan tetap. Tidak ada awan sedikit pun, sehingga Alkima—bulan Alforea—terlihat jelas, nyaris penuh, di antara ribuan gugus bintang yang mengelilinginya.

Tapi Eophi si Badut sama sekali tidak terkesan dengan pemandangan ini. Apalagi, pada apa yang ia lihat setelahnya.

Ikut keluar dari wilayah badai, adalah sekumpulan kapal perang Ordo Horus. Sedikitnya ada seribu kapal, dengan satu kapal spesial yang tampak lebih besar dan memiliki lambang satu mata.

... semoga mereka nggak turun ke sini, Eophi berharap. Nggak perlu nambah monster lagi. Fata dan Bu Mawar sudah cukup.

"Ayo, Fata. Enggak apa-apa, sapa saja, jangan malu-malu," kata Bu Mawar tiba-tiba. Nadanya keras, tangan bioniknya menuding kumpulan kapal perang. "Mereka teman-teman kamu, kan?"

Fata cuma mendengus, tidak memperhatikan langit sama sekali.

"... Fata bukan teman mereka, Bu Mawar," timpal si Badut. "Fata membenci mereka."

"He, Badut Sulap." Fata mendelik. "Ga usah banyak omong lha situ."

"Hanya ada satu Tuhan, Fata! Camkan itu!" Bu Mawar buka suara lagi.

Fata langsung mendengus lagi. Kali ini dengan tambahan, "He, Jilbab Edan. Loe juga jangan buanyak omong."

"Kalian berdua banyak omong," Eophi menimpali lagi.

Ketiga peserta kembali saling menatap. Dua pasang mata hitam memicing, sementara sepasang mata biru terlihat gugup. Mereka bersiap-siap. Fata menciptakan ratusan roket lainnya, Bu Mawar membungkuk untuk menerkam, Eophi menelan ludah—masih bingung dengan cara apa ia harus mengalahkan dua entitas gila itu.

"Kalean," Fata memulai, tangan kanan terangkat ke atas—lalu jatuh, "kalah aja lah sekarang."

Ratusan roket kembali tersebar, mengunci sasaran. Membelah angin di belakang bola sirkus Eophi yang kembali mengudara, mencoba menghindar. Bu Mawar terbang di sampingnya, mengecoh dua roket hingga saling hantam. Langit kembali meledak-ledak, dan Eophi kembali jatuh ke permukaan atap setelahnya. Menderita beberapa luka baru.

... kalau terus kayak gini

Bu Mawar, masih di langit, menembakkan arus cahaya dari ujung tinjunya. Eophi memantul ke samping, lolos, baru menarik napas satu kali ... ia tercekat. Tepat di belakangnya, Fata sudah menciptakan sepasang tentakel besi yang ditempeli puluhan bom waktu. Tangan itu menangkapnya, mencengkeram keseluruhan tubuhnya. "Ahk!"

"Capek, Bos?" si Kribo berteriak di kejauhan. "Tidur dulu gih sono!"

Puluhan bom itu meledakkan gelombang kejut, dan Eophi tidak bisa apa-apa. Rasa sakit yang diciptakan benar-benar membutakan. Eophi mengejang, bertekuk lutut, bertahan agar tetap sadar. Samar ia melihat, Bu Mawar meluncur turun dari langit, keempat pasang sayapnya berubah menjadi ular translusens, masing-masing dengan rahang terbuka.

Arus cahaya ditembakkan.

Menghindar ... ayo! Eophi baru sempat berdiri ketika gelombang cahaya itu membuatnya kembali terempas, terseret. Dan belum selesai sensasi sakitnya, racun pada serangan bereaksi, menciptakan ledakan. Si Badut terlempar lebih jauh lagi.

Terkapar, terengah-engah, Eophi tetap memaksa pandangannya yang meredup untuk memperhatikan Fata dan Bu Mawar yang masih melanjutkan pertempuran. Fata mulai menciptakan berbagai materi baru, lengkap dengan berbagai elemen. Empat raksasa mesin tercipta. Empat raksasa itu menjatuhkan dirinya ke arah Bu Mawar dan Bu Mawar melilit makhluk kolosal itu dengan keempat sayapnya. Meremukkannya. Fata maju, ratusan senapan melayang-layang. Bu Mawar juga maju, tinjunya siap.

... mereka gila. Eophi berpikir keras sambil mencoba berdiri. Pelan-pelan. Mereka gila, atau aku yang kelewat lemah? Bahkan bantuan dari Minerva

Langit bercahaya. Tiba-tiba langit bercahaya. Disusul kemudian oleh bising dari lesatan peluru, benturan-benturan, alarm, dan ledakan besar. Malam menjadi semakin ramai. Bahkan Fata dan Bu Mawar berhenti saling serang, mengambil jarak, kemudian mendongak. Melihat di atas sana, sebuah peperangan.

"Organisasi Tifareth," bisik Eophi, sejenak melupakan rasa sakit di sekujur tubuhnya, melompat ke bola sirkus lalu berdiri tegak. "Perang mereka dimulai. Perang Minerva ... dimulai."

Terus menghambur keluar dari beberapa celah besar di langit, dan langsung mengepung armada kapal perang Ordo Horus, adalah ratusan kapal perang hitam Organisasi Tifareth. Perang tak terelakkan. Kapal-kapal itu berkejaran, naik-turun, bermanuver tajam, terbang memutar ke bawah Proto Merkavah ... beberapa kapal bergetar, tanpa henti meluncurkan misil-misil, garis-garis cahaya, peluru khusus ... beberapa kapal meledak, serpihannya menghujani permukaan atap—

"Kaga usah nyampah, njing!" pekik Fata.

Eophi menoleh, dan cukup terkejut ketika melihat si Kribo sedang jatuh bertekuk lutut. Ekspresinya tersiksa. Dan itu bukan karena serangan dari Bu Mawar.

"Kalau mau bantuin teman-temanmu yang jahat, sana bantuin saja!" wanita berjilbab itu membentak tiba-tiba. "Kalau enggak, cepat bangun! Kita beresin ini! Jangan berlagak khawatir!"

Fata menggeram. "Bacot kaw, jongos taliban!"

"APA?! MULUT KAMU KAYAKNYA ENGGAK PERNAH SEKOLAH YA?!"

Sementara Fata dan Bu Mawar terus saling melempar ejekan, kemudian saling serang lagi setelahnya, Eophi mulai berspekulasi—sambil semampunya juga menghindar dari kerusakan kolateral dua entitas gila itu. Fata tersiksa bukan karena khawatir ... tapi karena apa? Perang? Bukan. Lebih spesifik .... Dua kapal perang bertumbukkan di langit, pecahan puing menyebar seperti kembang api. Suara? Mungkinkah ...? Fata tersiksa oleh suara? Kalau

Eophi berhenti berpikir nyaris tiba-tiba. Atau lebih tepatnya, ada sesuatu yang memaksanya untuk berhenti. Sesuatu itu kemudian mewujud di dalam memorinya, menjadi secarik perkamen usang. Tertulis:

[ Informasi untuk Loki Rabbit—Lokasi dari kristal pengendali Boss area Proto Merkavah ada di koordinat CZ4r-0666—Atau gamblangnya, kristal itu menjadi sebuah gelang, terpasang di tangan kiri Bu Mawar—Ps. Maaf telat, jaringan memori sibuk, sisanya lancar. ]

Perkamen usang itu lenyap.

Beberapa kapal perang kembali meledak, menerangi langit malam. Eophi mendongak cemas. Mungkinkah itu kapal Minerva? Apakah ia baik-baik saja? Beruntung, pertanyaan-pertanyaan itu segera teralih oleh satu pemikiran baru. Perut Eophi mengencang dan dingin.

Ya ... ada satu cara. Ada satu cara untuk mengalahkan Bu Mawar dan Fata. RUN LOKI RABBIT!

Tiga kata terakhir mengembalikan Eophi si Badut ke wujudnya semula. Langsung, peralatan tidur, dan Hel, ketika selesai mewujud maju menubruk Eophi. Membanjirinya dengan berbagai komentar—

Aku khawatil sama kamu, Phi!

"Tuh kan dipanggil lagi, shushu, pasti kangen kan sama aku, shushu?"

"IDIOT! Apa saja yang sudah terjadi sejauh ini?!"

"Phi, lukamu? Hel, tolong. Berbaringlah dulu. Kalian semua tenanglah."

"W-w-waaa ... pe-peraaang!"

Eophi tersenyum untuk mengabaikan mereka. "Aku punya satu rencana," ia memulai. "Kalian mau dengar? Bagus. Gini intinya ... kalian kutugasi untuk mengambil gelang kristal di tangan kiri Bu Mawar sementara aku menggunakan Jibriel untuk mengalahkan Fata. Ng, ada pertanyaan?"


***


Eophi Rasaya

Proto Merkavah, atap.

Rencana Eophi selalu terdengar asal dan berkesan mendadak. Peralatan tidur dan Hel juga baru menyetujui rencana itu setelah akhirnya melihat pertempuran puncak dari dua entitas gila—Bu Mawar dan Fata. Di hadapan pertempuran itu, rencana Eophi tiba-tiba menjadi sangat masuk akal.

Meleka bukan manusia, Phi, Hel menggigil.

Iya, kita juga bukan kok.

"Oke," kata Eophi, ia pandangi satu-satu peralatan tidurnya, "kalian siap?"

Semuanya siap. Dan ini memang bukan rencana yang rumit. Eophi hanya meminta pada peralatan tidurnya untuk menjaga Hel, mendekati Bu Mawar dengan selamat tanpa terdeteksi, sementara Eophi—mungkin bisa mungkin tidak—menjadi Jibriel dan membuat kekacauan.

Jibriel ... LOKI RABBIT!

Eophi tidak pernah memikirkan, atau memimpikan, untuk menggunakan salah satu kemampuan tertinggi bangsa Myrd di usianya yang semuda ini. Faktanya, memang tidak ada yang pernah mampu. Karena kemampuan itu, adalah kemampuan terlarang, ofensif, sihir Myrd yang bisa membunuh, dan biasanya hanya bisa dikuasai oleh para jenderal Myrdial.

Tapi di Bio Lab, Eophi menyaksikan sendiri bagaimana kloningnya mampu mengeluarkan kemampuan itu. Hanya dengan bermodalkan ketahanan tubuh yang lebih kuat saja. Mungkinkah, Eophi memang berbakat pada awalnya? Karena sekarang, berkat bantuan dari Minerva, Eophi tidak lagi memiliki batasan. Semua kemampuannya bisa digunakan tanpa meninggalkan risiko. Mungkinkah, setelah semua itu, Eophi benar-benar bisa menggunakan kemampuan itu? Jibriel, dewa perang Myrdial?

PHI! Hel menjerit, sementara semua peralatan tidur mendongak, ekspresi mereka tak terkira ajaibnya—bodoh, bingung, dan kagum. Phi ....

Eophi berhasil menggunakan Jibriel.

Eophi Rasaya kini berdiri tegak menjulang seperti raksasa, dengan zirah hitam yang berpendar keemasan, dua sayap lebar yang mengepak, dan menggenggam sebilah pedang besar. Pedang legendaris Myrdial, Y'Narla.

Be-berhasil?

Belhasil, Phi!

"Oh ... oh—oh lihat IDIOT itu berhasil!"

"Kebetulan, shushu."

"Jangan paksakan tubuhmu, Phi."

"Be-besar! Jibriel besar!"

Senyum Eophi tetap sama untuk mereka. Tetap untuk mengabaikan. "Yap. Kita mulai rencananya," ia berujar tegas, dengan campuran suara baru yang terdengar dalam dan melankolis.


***


Eophi Rasaya

Proto Merkavah, atap.

Fata dan Bu Mawar yang beberapa detik lalu masih saling bertukar serangan, kembali mengambil jarak. Kali ini untuk memusatkan perhatiannya pada wujud Eophi yang baru.

"Bused, jadi gede begituh," Fata menggumam, tak terkesan. "Bolehlah jadi target bully!" Si Kribo langsung melesat, zirah robotnya kini sudah dilengkapi pendorong roket.

Sementara Bu Mawar. "Berhati-hatilah, Mawar," kata Dracul.

"Iya, Mas Dracul." Keempat pasang sayapnya mengentak dan melesatlah sang guru.

"Mereka datang!" seru Eophi.

Peralatan tidur dan Hel segera memisahkan diri.

Dua detak jantung lewat, ketiga peserta kembali bertemu dalam satu benturan. Eophi mengayun pedangnya—Y'Narla—menciptakan jejak-jejak tebasan tak kasatmata. Fata mengendalikan pendorong roket ke bawah, menghindar, kemudian menciptakan empat raksasa es yang langsung merusuh. Bu Mawar terbang melingkari semuanya sambil menembakkan arus cahaya.

Tahan, pikir Eophi. Pertama aku harus menahan Bu Mawar agar tetap di permukaan atap.

Eophi membiarkan dirinya terkepung oleh empat raksasa es, menebas salah satu kepala makhluk itu, menendang tubuhnya yang langsung pecah menjadi serpihan-serpihan tajam, dan langsung berbalik mendadak ke arah Bu Mawar. Menghalau jalur terbangnya dengan punggung pedang.

Bu Mawar meliuk luwes melewati penghalang itu—langsung dikejutkan oleh tiga raksasa es di belakang Eophi. Tinju sinarnya ditembakkan, hanya mampu meremukkan dua raksasa. Satu yang tersisa menangkap sebelah sayapnya, membekukannya. Bu Mawar menjerit, terjatuh. Tiga sayapnya yang tersisa mendesis, berubah menjadi ular-ular murka. Dibelitnya satu raksasa itu, diledakkannya menjadi kepingan-kepingan es.

Bagus! Bu Mawar sudah jatuh

Meledak. Ratusan roket yang diciptakan Fata, secepat setelah keempat raksasanya pecah tadi, berhasil menghantam punggung Eophi. Sepasang sayap Jibriel runtuh dan patah. Eophi mengerang, balik badan, langsung menumbukkan ujung pedangnya ke tempat Fata berdiri.

Dan tertahan. Fata menciptakan kubah metal, yang kemudian terpencar menjadi peluru-peluru atom. Eophi melindungi kepalanya dengan ujung pedang, sementara tubuhnya digempur habis-habisan.

... keparat! Tapi, benar. Aku juga harus menahan si Kribo untuk sementara.

Fata sedang terbang mendekati Eophi, bersiap membombardir lagi, ketika bom-bom lainnya meledak. Tapi bukan bom ciptaan Fata. Peledak-peledak itu diturunkan dari langit, dari kapal pengebom Ordo Horus! Eophi melakukan tebasan ke atas, menghancurkan satu kapal. Percuma, jumlah mereka terlalu banyak, dan mereka tidak berhenti menghujani permukaan atap, khususnya tempat ketiga peserta berada.

Kenapa mereka ikut campur ...? Eophi mendongak, mendapati kapal-kapal perang Organisasi Tifareth masih melakukan perlawanan, lebih jauh di atas sana. Perang masih berlangsung. Lalu kenapa?

Agak jauh di sampingnya, Fata menjerit dan menciptakan, kali ini, enam raksasa bersayap. Eophi terkesiap kagum. Si Kribo baru saja menciptakan prototipe Jibriel. Enam makhluk besar itu merangsek masuk ke tengah formasi kapal pengebom dan segera meledakkan diri.

Tapi bahkan itu pun belum cukup. Masih ada puluhan kapal lain. Terus mengebom sambil melayang menghindar. Fata kembali menyerang mereka dengan berbagai ciptaannya. Dan Eophi—Eophi berusaha mengabaikan mereka, mengalihkan perhatiannya pada Bu Mawar yang tampak terbang rendah di permukaan atap, menghindari beberapa ledakan. Tidak jauh di sampingnya, peralatan tidur dan Hel membuntuti. Eophi tersenyum.

Fata sudah terdistraksi! Ini kesempatan!

Eophi memutar tubuh raksasanya, mengatupkan sayap-sayap patahnya ke atas kepala untuk meminimalisir kerusakan yang diakibatkan hujan bom, kemudian melempar Y'Narla tepat ke depan wajah Bu Mawar. Pedang besar itu tertancap di permukaan, Bu Mawar menabraknya dengan cukup keras.

Hel! kata Eophi. Sekarang, ambil gelang kristal di tangan kiri Bu Mawar!

SIAP, PHI!

Dibentengi peralatan tidur, Hel melesat menembus api ledakan. Menghampiri Bu Mawar yang masih mencoba berdiri—

Supelnova! Hel memekik. Naga merah itu terbang keluar dari benteng penjagaan semua peralatan tidur, tubuhnya terbakar, berubah menjadi meteor kecil yang menghantam tangan kiri Bu Mawar.

Bagus!

Tapi tidak dengan hasilnya. Tangan kiri Bu Mawar terlapis zirah setengah transparan. Meteor kecil itu bahkan tidak menciptakan goresan di sana. Dan sekarang keberadaan Hel serta peralatan tidur Eophi sudah terekspos. Bu Mawar memandangi makhluk-makhluk itu, bingung dan kaget. Keempat sayapnya berubah menjadi ular. Kemudian—

Beberapa bom meluncur. Menciptakan ledakan tepat di atas kepala mereka. Kelengahan sepersekian detik menciptakan kerugian yang sangat besar. Bu Mawar tak sempat bertahan, dan kini tak terlihat. Hel dan peralatan tidur juga tidak terlihat. Hanya ada api yang menggeram-geram, membumbung. Eophi menahan napasnya, bergerak mendekat ...

PHIII!

Eophi berhenti.

Kembali berada di dalam perlindungan peralatan tidur, Hel melesat keluar dari api ledakan. Mereka selamat, dan lebih dari itu. Eophi bisa melihat—di mulut naga kecil yang sedang tersenyum grogi, tergigit seutas gelang kristal.


***


Eophi Rasaya

Proto Merkavah, atap.

Rencana tahap pertama, sukses.

Sekalang gelang ini mau diapain, Phi? Aku antelin ke kamu, ya?

Nggak, Hel. Itu buat kamu, Eophi merespons. Bawa gelang itu jauh-jauh, bersembunyilah!

Siap, Phi!

Mereka pun menjauh. Bersembunyi di sela-sela sisik. Sementara Eophi menarik Y'Narla dari permukaan atap, mengayunnya ke atas untuk menghancurkan dua kapal pengebom, dan terkejut ketika melihat betapa lowongnya langit—kecuali di langit yang lebih tinggi, di mana Ordo Horus masih terus dibombardir oleh Organisasi Tifareth.

Fata ternyata benar-benar murka, dari puluhan kapal pengebom yang tadi menyerang kini jumlahnya berkurang sampai bisa terhitung jari, dan sisanya pun sedang dalam pengejaran.

Suasana menjadi sedikit lebih tenang sekarang. Eophi menunggui Bu Mawar. Wanita berjilbab itu masih telungkup, mencoba untuk berdiri. Zirah semi-transparannya rusak di beberapa bagian. Keempat sayapnya berdesis dalam bentuk ular, berjaga-jaga.

"Dracul," Eophi memulai ketika Bu Mawar sudah kembali tegak, "tolong tinggalkan Bu Mawar."

Bu Mawar meringis, belum bisa mengatakan apa-apa. Keempat ular di punggungnya merespons, "Kau pandai bercanda, Eophi Rasaya. Selama aku masih bisa bernapas, aku tidak akan pernah meninggalkan Mawar!"

"... ng, kau masih bisa menjaganya kok. Tapi tolong, jaga dia dari luar saja."

"Apa maksudmu?" desis Dracul.

"Aku memegang kendali kristal sekarang." Eophi-Jibriel mengangkat bahu besarnya. "Aku bisa saja mengendalikanmu untuk menyakiti Bu Mawar. Jadi tolong ... tinggalkan dia, agar aku bisa membuatnya menyer—"

Meledak lagi! Ratusan sengat panas membakar punggung Eophi. Eophi menoleh cepat, mendapati Fata melayang-layang di antara puluhan roket ciptaannya. Pesawat pengebom sudah habis terbantai.

"Woey, Bocah Gede!" Fata berseru dari dalam zirah robot yang semakin canggih. "Maju."

Ya! Sekarang memang giliranmu, Kribo!

Eophi berlari ke depan. Langkahnya yang berat berdentum di permukaan atap. Y'Narla terhunus. "Awas, Fata!" tiba-tiba ia berteriak. "Kapal pengebom! Di belakangmu!"

Sangat cepat, Fata menoleh sembari mengumpat, roket-roketnya mengikuti, berputar. Tapi kemudian ... langit tampak kosong. Tidak apa-apa di sana. Eophi menyunggingkan senyum lebar.

"HYSTERIA CONCESSA!"

Y'Narla berpendar keemasan, menebas vertikal ke arah Fata yang baru menyadari tipuan murah Eophi. Si Kribo menembakkan roket-roketnya. Terlambat. Semuanya tersapu tebasan emas. Hanya sepersekian detik sebelum ujung pedang membelah wajahnya, Fata menciptakan bola metal berlapis-lapis sebagai pertahanan terakhir. Pertahanan itu pun gagal. Tebasan Eophi memukul dengan sangat keras, mendorong Fata yang masih berada di dalam bola, terus sampai membentur permukaan atap. Menghancurkannya ... menembus ke bawah.


***


Eophi Rasaya

Proto Merkavah, ruang pemulihan.

Dari atap, Eophi-Jibriel tiba di sebuah ruangan yang dipenuhi transportasi perang. Bukan ini, pikir Eophi cepat. Hingga kemudian, HYSTERIA CONCESSA!

Ditebasnya lagi bola metal yang masih melindungi Fata, yang tampak terus diperbarui lapisannya. Bola itu terdorong ke ujung ruangan, kembali menjebol dinding. Kali ini mereka tiba di sebuah ruangan kosong. Jelas bukan ini! Eophi melirik sekilas. Satu lagi, di bawah!

HYSTERIA CONCESSA!

Y'Narla kembali berpendar emas. Menebas vertikal, mendorong bola ke bawah ... terus menebas, berusaha menjebol lantai ... dan tembus! Potongan lantai baja berhamburan. Eophi, dan Fata yang masih bertahan di dalam bola pelindungnya, tiba di ruangan yang dituju.

Ruang pemulihan.

Eophi mendarat dengan sangat berisik. Ujung pedangnya langsung diarahkan ke bola metal Fata yang bergerak pelan di lantai.

"Hhh," Eophi menghela napas panjang, sekujur tubuhnya seakan remuk. "Di sinilah kita, Fata. Di sinilah aku akan mengalahkanmu."

"Ha, lucu!" bentak Fata dari dalam bola. Suaranya bergetar, panik.

Eophi tersenyum. Menghela napas lagi, kemudian memperhatikan sekeliling. Memperhatikan meja panjang yang tadi dihancurkan Minerva, memperhatikan parabola unik, menara, dan dekorasi langit-langit yang aneh, yang kini terasa dekat karena tubuhnya sebesar raksasa. Eophi juga mendengarkannya, suara-suara instrumental yang bercampur menjadi nada-nada abstrak. Menggema tanpa henti.

Fata akan kalah di sini. Jika spekulasi Eophi benar.

Dan jawabannya pun ... muncul hampir seketika. Fata keluar dari bola metalnya. Berjalan terseok-seok kemudian jatuh bertekuk lutut. Kedua matanya terpejam, ekspresinya tersiksa.

"Bajingan, kamu ...," geram si Kribo.

"... hhe. Jadi benar, kelemahan Tuhan itu suara?" tanya Eophi, mengejek.

Fata susah payah menelan ludah. "Kesadaran manusia biasa," ia memulai, "kaga akan bisa lah nahan semua informasi hidup segede ini. Njrit ... panas banget."

"Jadi? Mengaku kalah?" Eophi menyeringai. "Bertarung di sini sama saja kayak bunuh diri. Untukmu, loh."

"Bajingan ...."

"Hhe." Eophi mencomot si Kribo, kemudian menaruhnya di pundak. "Tadi itu lumayan seru, eh?"

Satu lompatan, Eophi keluar dari ruangan bising ini. Ruangan yang sama saja seperti neraka bagi mereka yang memiliki kemampuan setinggi Fata. Rencana Eophi resmi sukses total. Spekulasinya benar.

Fata memang berhasil membuat tubuhnya beradaptasi dengan kekuatan barunya. Tapi kesadarannya, tetaplah kesadaran manusia biasa. Eophi menyadari ini. Dari cerita Fata yang menolak menerima Kesadaran Tuhan. Dari reaksi Fata pada kekacauan di atap sana. Fata terdistraksi ketika berdekatan dengan "teknologi yang hidup". Itu juga kenapa ia hanya menciptakan segelintir benda-benda ketika bertarung.

Tapi bukan keberhasilan itu yang membuat Eophi tidak bisa berhenti tersenyum. Yang membuatnya terus tersenyum konyol adalah, mengetahui kemampuan Fata untuk memilih. Bisa saja, Fata memilih untuk kembali menghilang ke dunia fantasinya, kemudian membiarkan tubuhnya bergerak tanpa jiwa. Seperti monster yang mengamuk tadi, melempar bangunan panti asuhan, menciptakan Proto Merkavah, dan hal-hal besar lainnya. Tapi Fata tidak memilih itu. Fata memilih untuk bertarung sebagai dirinya sendiri. Manusia yang sangat kuat, yang memiliki kesadaran, yang berjuang sampai akhir.


***


Eophi Rasaya

Proto Merkavah, atap.

Bu Mawar melongo, Fata tertawa terbahak-bahak.

"Serius begitu saja?" tanya Bu Mawar, masih melongo.

Eophi, yang sudah kembali ke wujudnya semula, baru saja menjelaskan pada Bu Mawar dan Fata bagaimana ia akan mengakhiri semua ini. Yaitu, dengan cara memaksa Bu Mawar dan Fata untuk mengaku kalah.

"... kalian sudah kalah. Kalian harus mendengarku," Eophi bersikeras.

Ekspresi kesungguhan Eophi akhirnya membuat Bu Mawar bergabung dengan Fata—tertawa. Setelah semua yang terjadi, cara penyelesaian ala Eophi ini benar-benar konyol. Dan anehnya, menghangatkan.

Bu Mawar baru akan mengatakan sesuatu tentang murid-muridnya, ketika Fata tiba-tiba berteriak. Semuanya melompat kaget. Atmosfer kebersamaan mereka pecah menjadi ketegangan.

Fata kembali berteriak, memaki. "Ngapain lagi loe ke sini, sinting?!"

Untuk pertama kalinya, Eophi bisa melihat wanita itu. Wanita bercahaya yang dimaki habis-habisan oleh Fata.

Kana, kriminal antar-semesta, berdiri tidak jauh di depan mereka.

"Aku ke sini untuk menjemputmu, Anakku," ucap Kana lembut dan manis. "Kumohon pulanglah. Ini semua masih belum terlambat."

Tidak perlu lama sampai semuanya menyadari, omong kosong Kana saat ini adalah harapan terakhirnya memenangkan perang. Di atas langit sana, armada Ordo Horus nyaris disapu bersih oleh gempuran Organisasi Tifareth. Eophi juga menyadarinya, pasukan pengebom tadi pasti dikirim untuk menangkap Fata. Cara keras gagal, Kana kembali pada metode dasarnya. Memanipulasi.

Fata menciptakan sebilah pedang, melemparnya ke wajah Kana yang kemudian hanya menelengkan kepala untuk menghindar. Dan itu, adalah bentuk penolakan final dari Fata.

"Dua belas kandidat Tuhan-ku akan tetap menghancurkan Astron, Fatanir," Kana berbisik. Matanya mengilat penuh kegilaan, dan anehnya, tertuju pada Bu Mawar. "Tidak ada yang bisa kaulakukan untuk menghentikannya. Kau, produk gagal, akan hancur di sini bersama sampah yang lain." Matanya kembali mengilat ke arah Bu Mawar. "Selamat tinggal."

Dan secepat datangnya, Kana pun menghilang begitu saja. Meninggalkan teror baru, yang berbayang dengan jelas di ekspresi Fata saat ini.

"Tenang ae," kata Fata, tapi tidak menggunakan nada secuek biasanya. "Aku udah antisipasi ini." Ia tatap Eophi sekarang. "Oke deh, bro, aku ngaku kal—" Kalimatnya tidak selesai.

Sama seperti ketika melihat saat-saat terakhir Sunoto ... tiba-tiba semuanya bergerak dengan cepat. Mengabur. Detak jantung menjadi satu-satunya tolak ukur waktu. Fata meneriakkan sesuatu pada Bu Mawar yang berdiri lima meter di sampingnya ... Eophi menggerakkan kasur terbangnya ke arah Bu Mawar ... Dracul, yang sudah kembali menjadi manusia reptil, berdiri tepat di samping Bu Mawar, berubah lagi menjadi kabut ... Bu Mawar sendiri menjerit ....

Beep! [ Self-Destruction ... complete! ]

Suara samar itu berasal dari lengan bionik Bu Mawar.

Eophi bahkan belum sempat mencerna maksud semua itu ... ia hanya melihat percikan listrik hitam, tadi ... dari tangan Bu Mawar. Sekarang sebelah tangannya terulur, seolah hendak menarik Bu Mawar menjauh. Tapi seorang idiot pun tahu itu akan sia-sia ....

Tangan kanan itu meledak. Jenis api asing berkobar, seolah diperlambat ribuan kali, menyebar ke atas dan terus ke atas. Tapi tidak melebar. Akhirnya api itu hanya membakar tangan kanan Bu Mawar sampai habis ... dan menghilang.

Bu Mawar jatuh, bersimpuh. Bibirnya bergetar, matanya terbuka penuh. Impuls dari akumulasi rasa sakit membuat tubuhnya mengejang. Lubang di bahu kanannya memuncratkan darah, tak terkendali.

Fata membungkuk di samping Bu Mawar, sangat cepat, memulai operasi darurat. Menghentikan pendarahan, menutup luka. Eophi baru berani untuk kembali bernapas ketika Fata menoleh, pucat, tapi berbisik, "Selesai. Si Mawar ini ... selamet."

Tapi kenapa? Apa yang terjadi?

Seolah bisa mendengar pikiran Eophi, Fata bilang, "Lengan bionik eni dikasih sama Kana. Komponennya, semuanya, mirip kek rancangan Renggo. Tadi sebelum dia meledak, aku dengerin dia minta tolong. Kana setan itu mesti punya kendali jarak jauh ... dia kompres berton-ton daya ledak. Dan—bingung juga kenapa kita masih idup sekarang. Harusnya Proto Merkavah ini hancur."

Siapa Renggo? Eophi sama sekali tidak tahu. Eophi juga jelas tidak tahu, mengenai Kana yang menjadi operator baru Renggo Sina. Robot pertama yang Fata ciptakan di Bumi. Lalu kisah Fata yang kemudian menelantarkan robot itu, sampai akhirnya jatuh ke tangan Kana. Dan bagaimana semuanya saling berhubungan dengan kemenangan Bu Mawar atas Renggo di Monster Colloseum. Eophi tidak tahu, selama ini Kana memonitor pergerakan Bu Mawar lewat lengan bioniknya. Untuk melanjutkan penelitiannya secara paralel, menyamar. Sampai, sekarang ... itu semua dimanfaatkan untuk membunuh. Eophi tidak tahu.

Apa yang Eophi tahu, dan khawatirkan, adalah keselamatan Bu Mawar. Lalu pendapat Fata tentang daya ledak tadi—jika memang seharusnya Proto Merkavah sampai hancur karenanya ... apa yang membuatnya berhenti?

Tanda tanya mereka tidak bertahan lama. Kabut putih menguap dari tubuh Bu Mawar, pelan-pelan bertransformasi lagi menjadi sesosok manusia reptil. Dracul, kemudian bersimpuh di samping Bu Mawar. Berujar pelan, "Syukurlah, aku tepat waktu, Mawar."

Mendengar ini, Bu Mawar membuka matanya. Lirih ia berkata, "Mas Dracul mau ke mana?"

Itu memang respons yang tepat. Karena Eophi juga melihatnya, tubuh si manusia reptil yang perlahan terlepas menjadi serpihan-serpihan putih. "Aku harus pergi, Mawar," kata Dracul.

Saat ini baik Fata dan Eophi akhirnya tahu apa yang terjadi. Dracul menyerap sebagian besar ledakan ke dalam tubuhnya sendiri.

"Mas Dracul?" tanya Bu Mawar. "Apa benar? Apa benar ... Mas Dracul—"

"Tidak, Mawar, aku berbohong. Aku ... aku bukan suamimu. Bukan siapa-siapa." Dracul tersenyum. Setengah tubuhnya sudah menghilang. "Dan Mawar, ketahuilah, kau memiliki sesuatu yang besar di dalam dirimu. Sesuatu yang bisa menjadi begitu putih, dan begitu hitam, dan semuanya tergantung pada apa yang kaupercayai. Maka teruslah percaya, Mawar, semua muridmu bisa terselamatkan. Jangan menyerah. Dengan begitu, berbagai cara akan terbuka—"

"Mas Dracul mau jadi teman baik saya?" tanya Bu Mawar, memotong.

"Oh. Ya. Tentu. Tentu. Nah, Mawar, aku—"

Manusia reptil itu pun menghilang.

Serpihan-serpihan putih menyatu dengan malam cerah. Serpihan putih yang pernah memiliki julukan Dracul the Leviathan. Monster terkuat di server Alforea. Sudah banyak yang terjadi di dalam hidupnya, tapi tidak ada yang sajaib hari ini. Ketika ia dipertemukan kembali dengan sosok yang dicintainya. Kemudian berbohong di saat terakhirnya.

Dracul tidak ingin melihat Bu Mawar lebih sedih dari ini. Karena itu memang bukan tugasnya.


***


Eophi Rasaya

Proto Merkavah, atap.

"La-langitnya?" Eophi menelan ludah.

Langit malam menyerpih. Seperti sebuah kertas hitam raksasa yang dibakar dari tengah. Eophi melihat perlahan garis merah itu menyebar, menghanguskan suatu lapisan tak kasatmata.

"Bangsat! Mereka udah mulai aja!" bentak Fata.

Eophi menoleh. "Apa yang terjadi?!"

"Astron. Mereka ngancurin Astron," jelas Fata cepat. "Oke. Eophi, gue ngaku kalah."

"Saya enggak bisa bertarung lagi dalam keadaan ini," Bu Mawar menimpali, suaranya selemah kondisi tubuhnya. "Saya juga mengaku kalah."

Dua detik, Eophi hanya melongo. Kemudian dengan sangat canggung dan bingung. "... ng, terima kasih."

Eophi menang.

Dan pada detik itu juga, cahaya merah muncul begitu saja di tengah-tengah mereka. Cahaya itu berputar, menjadi pusaran kecil, dan sebelum siapa pun bisa berkedip ... sebuah portal ditemani sesosok tengkorak berjubah hitam, muncul. "Hanya Eophi Rasaya," geram tengkorak itu.

Tidak ada yang menyangka cara aneh Eophi untuk mengakhiri ronde ini disetujui oleh sistem. Ia benar-benar menang.

Tapi Eophi ragu. Bergantian, ia perhatikan lapisan Astron yang semakin rusak dan Organisasi Tifareth yang masih berperang dengan Ordo Horus. Ia perhatikan Bu Mawar yang masih bersimpuh, lemah, dan sangat pucat. Lalu ia perhatikan Fata yang sedang mendongak.

Apa ia harus pergi sekarang?

Tidak. Ia tidak bisa pergi sekarang. Ia tidak boleh pergi sekarang. Karena itu akan menjadi sangat bertentangan dengan tujuannya semula.

"Cepet masuk, woey, Kuping Tajem!" Fata berseru tanpa mengalihkan pandangannya dari langit.

"... apa rencanamu, Fata?"

Fata mendengus. "Jadi pahlawan," gumamnya sarkastis.

Ketika Eophi mencoba menanyakan hal yang sama pada Bu Mawar, Eophi terkesiap. Bu Mawar jatuh! Terbaring. Napasnya kacau, dan darah seolah disedot habis dari tubuhnya. "... B-bu Mawar?"

"Dia sekarat," Fata yang menjawab, masih sambil menatap langit. "Bentar lagi mati. Aku ngga mau bilang ini di depan si Reptil. Walaupun dia udah sedot semua daya ledaknya ... darah si Mawar ini tetep udah keracunan radiasi."

Dan sebelum Eophi bisa mengatakan apa pun, Fata melanjutkan, "Woles ae. Aku punya rencana, kok."

"Rencana ...?"

"Yoha. Dua belas Tuhan di atas sana, bakalan gue bantai! Dan buat si Mawar eni ... dia itu pengen ketemu lagi sama murid-muridnya, kan? Tebak sendiri neh lanjutannya. Kalo Astron roboh, semua sistem bakalan ilang. Termasuk data-data tentang murid-murid tadi. Nha, gemana coba jalan keluarnya?"

"Menjaga Astron—er, menambalnya?"

"Nyuaris bener. Coba lage."

Eophi baru akan mencoba jawaban keduanya, tapi kemudian memilih untuk diam karena sesuatu meledak di atas sana. Kapal perang. Terjatuh sangat dekat. Puingnya sempat menabrak sisi permukaan atap lalu merosot dan menghilang dari jarak pandang.

Dan tadi itu bukanlah bangkai kapal perang Ordo Horus. Tapi kapal perang hitam Organisasi Tifareth.

Di atas langit sana, situasi berubah drastis. Formasi Organisasi Tifareth terpecah. Lesatan-lesatan cahaya menghancurkan mereka. Fata menggeram, lalu menatap Eophi. "Hey, kalo loe mau tinggal di sini. Tolong jagain si Mawar eni, oke?"

"Ta-tapi, apa yang—"

"Woooke?!" Fata menekankan.

"... oke."

Tanpa mengatakan apa-apa lagi, Fata kembali menyelubungi tubuhnya dengan zirah robot, kemudian ia melesat ke langit. Langsung ke titik peperangan. Dan itulah, terakhir kalinya Eophi melihat Fata.


***


Eophi Rasaya

Proto Merkavah, atap.

Baru saja si Kribo menghilang dari jarak pandang, ratusan atau mungkin ribuan pasukan robot mendarat bergantian di sekeliling Eophi. Tanpa ba-bi-bu mereka langsung membidik dan menembak, sementara Eophi mengumpat, bergerak ke samping Bu Mawar dan menyelimutinya—membiarkan tubuhnya sendiri tanpa pertahanan di beberapa titik.

Kali ini, akibat rasa sakit dan akumulasi beban pertarungan sebelumnya, Eophi benar-benar pingsan selama beberapa saat. Ia merasakan peluru-peluru mencabik tubuhnya ... ia hanya bisa mendengar jeritan peralatan tidurnya yang tetap mencoba menutupi setiap sudut tembak ... ia juga mendengar Hel yang melenguh sedih sambil terus menyembuhkannya ... suara-suara berdesing.

Jika Astron hancur, semua sistem di Sol Shefra, dimulai dari Alforea, akan ikut hancur. Pemikiran itu datang tiba-tiba. Fata berencana untuk menahan dua belas Tuhan di atas sana, menghentikan mereka. Tapi apa hubungannya Astron dengan Bu Mawar yang sekarat?

Pasukan robot berhenti menembak. Eophi cepat-cepat membuka mata. Aku harus melindungi Bu Mawar, begitu kata Fata. Melindungi dari apa? Kenapa robot-robot ini menyerang ke sini? Sialan ... kenapa Fata nggak ngomong langsung saja soal rencananya tadi? Dan, aku juga harus bertahan ... kalau terus kayak gini, bisa mati—Jibriel ...

LOKI RABBIT!

Sekali lagi Eophi Rasaya berubah menjadi raksasa. Dewa perang Myrdial, Jibriel. Sekaligus melanggar parah peraturan dari Minerva bahwa hak administrator sebaiknya tidak digunakan lebih dari tiga kali.

Setengah sadar, Eophi-Jibriel mengayun pedangnya ke segala arah. Menebas sebanyak mungkin robot yang berada di dalam jangkauan. Juga, menerima sebanyak mungkin serangan balasan dari mereka. Zirah hitam Jibriel pecah di beberapa tempat, sebelah sayapnya hancur total. Eophi tetap mengayun pedangnya.

Belhenti, Phi, kamu bisa mati, Hel memohon, menangis. Belhenti.

Eophi tidak berhenti. Bahkan ketika robot-robot kecil mulai hinggap di sekujur tubuhnya. Meledakkan diri, menusuk, mencoba melumpuhkannya. Eophi tetap tidak berhenti. Eophi tidak mau berhenti.

Barulah, ketika sebaris cahaya biru terpancar dari tubuh Bu Mawar—yang masih rapat diselubungi selimut—Eophi bergerak dengan lebih cerdas. Menghindar, bertahan, tidak hanya menyerang.

Cahaya biru itu menembak lurus sampai ke langit. Sampai ke garis terluar dari kerusakan Astron. Eophi langsung menyadari berbagai hal sekaligus. Pertama, kerusakan Astron berhenti melebar, artinya Fata berhasil menahan dua belas kandidat Tuhan lainnya. Kedua, cahaya biru yang dipancarkan Bu Mawar, pelan-pelan mengisi kekosongan pada kerusakan Astron, memperbaikinya.

Semuanya menjadi jauh lebih jelas sekarang. Eophi sudah mengetahuinya, sesuatu yang kurang dari jawaban pertamanya tadi adalah ... Fata ingin menambal Astron, dengan menggunakan Bu Mawar! Dengan begitu ... dua-duanya selamat, dan mungkin lebih lagi.

Eophi tersenyum. Sekarang, tugasnya menjadi jauh lebih bertujuan. Ia harus menjaga Bu Mawar sampai lubang di langit menutup.

HYSTERIA CONCESSA!

Barisan robot terdepan tersapu tebasan emas. Datang lagi robot-robot lain. Ditebas lagi. Ledakan, dorongan, hantaman, terus berdatangan. Dari darat dan udara. Eophi menghalau mereka, menjauhkan mereka sejauh-jauhnya. Bu Mawar harus tetap aman, atau rencana Fata gagal.

Potongan-potongan tubuh robot mulai menumpuk, melingkar menjadi semacam barikade tersendiri. Semakin tinggi setiap detiknya. Zirah Jibriel Eophi juga sudah nyaris tidak berbentuk, compang-camping. Sebelah sayapnya yang tersisa sudah tercabik, menyisakan hanya anak-anak bulu.

Bu Mawal, Phi! Hel menjerit. Bu Mawal mau hilang!

Eophi menoleh ke bawah. Dari pandangannya yang berkabut dan mengabur, ia bisa melihat sebaris cahaya biru terakhir membawa sisa keberadaan Bu Mawar. Naik, naik ke atas. Terus ke atas—kepada langit hitam yang mulai memiliki garis-garis fajar. Cahaya biru itu telah menutup, secara utuh, lubang kerusakan Astron.

Eophi juga bisa melihat hasil akhir peperangan. Kapal induk Ordo Horus terbakar. Kapal berlambang satu mata itu terbang memutar seolah tanpa kendali, berbagai misil terus menembakinya ... tanpa ampun ... riuh ... sampai kemudian, diawali dengan satu kejut cahaya, kapal kolosal itu meledak. Lebur menjadi gelombang api kehitaman. Eophi membiarkan angin ledakan menekan tubuhnya. Ini adalah angin kemenangan. Dan tugasku pun selesai ...

Run ... Loki Rabbit.


***


Eophi Rasaya

Proto Merkavah, atap.

Dibentengi oleh peralatan tidurnya, Eophi yang kembali mengecil ke ukuran normal langsung bergerak ke arah portal. Pasukan robot yang tersisa terus menembakinya, mendekatinya, mencoba mendorong.

Selangkah lagi Eophi masuk ... empat robot menubruknya dengan keras, kemudian meledakkan diri. Eophi, bersama peralatan tidur dan Hel, terempas ke tumpukan bangkai mesin. Menjauh dari portal.

... ah. Aku nggak akan pernah sampai, pikir Eophi lelah. Aku bakalan mati di sini. Ya ....

Kedua mata Myrd muda itu menutup. Suara-suara di sekitarnya mengecil. Dorongan untuk tidur begitu kuat ia rasakan, sehingga usaha untuk melawannya justru membawanya semakin terlelap.

Eophi yakin ia hanya berimajinasi, ketika mendengar suara familier yang meneriakkan, "Tri Mandala Vajra!" Kemudian terdengar raungan dari binatang buas dan gemuruh. Ia juga bisa mendengar suara jenaka, seperti sedang bersenandung, "BOOOM, BOOOM, BOOOM!" Lalu terdengar beberapa ledakan lagi. Suara asing lagi, "Papatong Oncom!" Dentuman dan suara besi yang patah—

Bangun, Tuan Lemah.

"Minerva?!"

—tapi pada akhirnya, tiga kata yang diucapkan oleh sejenis suara tomboi itulah yang membangunkannya. Eophi membuka matanya. Mendapati dirinya masih bersandar di tumpukan bangkai robot. Di sampingnya tergolek Hel yang terluka parah, dan peralatan tidurnya yang hangus. Mereka semua selamat.

Dan apa yang Eophi kemudian lihat di depannya, di sekitarnya, adalah sesuatu yang benar-benar membingungkan, sekaligus menakjubkan. Dengan langit fajar, biru tua dan kuning kemerahan, sebagai latarnya, puluhan makhluk dengan pakaian bergaris-garis hitam putih menghabisi pasukan robot yang tersisa. Jubah usang mereka, dengan coretan V kasar menggunakan cat merah, berkibar. Tidak berhenti bergerak sampai robot terakhir dijatuhkan.

"Kenapa setiap aku menemukanmu, kau selalu dalam keadaan sekarat?" tanya suara familier. Radith. Laki-laki berambut hijau panjang, tergerai, berdiri di puncak tumpukan bangkai robot. Zirah Vajra-nya berkilau di awal pagi. "Perang besar, huh?" Ia tersenyum.

Eophi dipapah sampai ke atas kasur terbangnya. Diperkenalkan kemudian, pada seratus satu anggota utama Kloning Kavaleri. Mereka berdiri di sini, di atas atap Proto Merkavah, sebagian tersenyum sambil melambaikan tangan ke arahnya, sebagian lagi sibuk sendiri.

Ketika Eophi bertanya, apa yang Radith dan Kloning Kavaleri lakukan di sini? Radith hanya menjawab: pertempuran yang sebenarnya baru akan dimulai, dan kami akan sangat siap ketika momen itu datang.

Akhirnya, setelah berterima kasih dan merasa terlalu sulit untuk melanjutkan perbincangan dengan kondisinya yang sekarang, Eophi pamit.

Diiringi beberapa salam, dipandangi beberapa pasang mata, kasur terbangnya merayap pelan-pelan, masuk ke dalam portal yang setia dijaga oleh tengkorak berjubah. Sampai akhirnya langit, permukaan atap, bangkai robot, Radith, dan Kloning Kavaleri, menghilang seiring portal itu membawanya ke satu lagi tempat yang asing. Eophi Rasaya menutup matanya. Ia butuh tidur.


***


Fatanir dan Bu Mawar

Angkasa.

"—begitu dah, intinya."

Fata baru saja menyelesaikan penjelasannya. Tentang kenapa ia tidak langsung membeberkan rencananya untuk menjadikan Bu Mawar sebagai Astron kepada Eophi. Karena Kana masih memantau Bu Mawar pada saat itu. Dan sayangnya, Kana lebih pintar dari Eophi sehingga petunjuk rencana Fata disadari lebih dulu olehnya. Pasukan robot pun dikirim untuk menggagalkan rencana si Kribo. Beruntung, Eophi berhasil menahannya sampai keberadaan Bu Mawar selesai dipindahkan.

"Oh, jadi begitu," ujar sesosok wanita bertudung, sangat cantik dan bercahaya. "Terus kenapa kamu jadiin saya Astron?"

"Maseh nanya aja loe!" gerutu Fata. Kemudian dengan sedikit rona di wajahnya, ia melanjutkan, "Yha jelas lha buat selametin nyawa kamu. Terus biar kamu ketemu lagi sama murid-muridmu."

Sosok bertudung itu—Bu Mawar—tersenyum manis sekali. "Terima kasih, Fata."

Fata buang muka. Juga tersenyum.

Mereka berada di langit sekarang. Fata, sebagai kandidat Tuhan terkuat. Bu Mawar, sebagai bagian dari Astron—sistem pertahanan pusat Sol Shefra. Ditemani pula oleh beberapa sosok lain yang sangat berisik, yang tidak berhenti membuat masalah, mereka berdua merasa sudah cukup senang. Karena setelah semua yang telah terjadi, tiba di akhir yang seperti ini merupakan suatu anugerah.

Bersama-sama—Dilham, Winda, Arai, Eriza, Sunoto, dan murid-murid lain yang sempat tersesat di dalam dunia permainan ini—mereka kemudian bertanya, "Terus gimana caranya kita bisa pulang, Bu?"

Bu Mawar melirik Fata, dan bilang begini ke murid-muridnya, "Sana tanya sama Mas Fata, bisa enggak dia bikin sesuatu buat bantu kita pulang."

Fata langsung dikeroyok murid-murid Bu Mawar. Sambil kewalahan, si Kribo menjelaskan tidak mungkin mereka bisa pulang sekarang. Tidak mungkin juga untuk si Kribo menciptakan benda-benda ajaib setingkat kotak Laplace tanpa melalui proses rumit dan berbahaya.

"Terus gimana caranya kita bisa pulang, Mas Fataaa?"

Hanya ada satu cara. Fata tatap Bu Mawar dengan ekspresi apa-kau-juga-memikirkan-apa-yang-kupikirkan? Ternyata, keduanya sepikiran. Satu cara itu adalah cara teraman dan mungkin terbaik. Dan itu adalah ... dengan menulis sebuah surat.

Pesan untuk calon penyelamat mereka.

"Okeh, surat udah dikirim noh!" seru Fata, masih dikerubungi bocah-bocah.

"YEEEY!

"Sekarang bikinin mainan dong, Mas Fata!"

"Boneka beruang!"

"Jelly!"

Fata meringis, meminta bantuan pada Bu Mawar yang hanya mengangkat bahu. Mulai sekarang, sampai nanti harapan mereka tersampaikan lewat sebuah surat itu, dan mungkin tercapai, beginilah kehidupan mereka.

Di atas langit, bersama-sama.



Epilog


Markas Besar
Deklarasi
 

Eophi Rasaya

"Ta-da! Sabotase portal sukses! Selamat datang Eophi Rasaya!"

Kesatria berzirah emas itu menandak-nandak seperti orang tolol. Alis matanya bergerak-gerak seperti—seingat Eophi—kaki Elvis. Ia tarik tangan Eophi, membawanya ke atas podium kecil.

Satu hal lain yang Eophi sadari—selain ruangan tempatnya berada sekarang benar-benar sangat kotor dan jorok, serta sorot kebencian dari mata penghuni lainnya—adalah kondisi tubuhnya. Sudah pulih total.

"Ayo, Eophi, katakan sesuatu," kata si Kesatria. "Ini ritual bagi semua anggota baru Organisasi Tifareth! Katakan tentang apa saja. Buat perkenalan."

Masih bingung dan merasa sangat salah tempat, Eophi berjalan ke tengah podium. Salah satu penghuni langsung berteriak begini padanya, "Apa yang membuatmu pantas menjadi pemenang di ronde lima Battle of Realms, Culun?!" Gelak tawa pun bersahut-sahutan.

Cuek, Eophi mendeham di depan pengeras suara, dan berkata, "Salam kenal. Namaku Eophi Rasaya. Umurku sekitar empat ratus tahun. Aku adalah Myrd Atate. Ng, dan kenapa aku pantas menang ... entahlah. Fata nyaris melakukan semua hal besar, dan Bu Mawar lah yang menambal kerusakan Astron pada akhirnya. Mungkin ... aku menjadi pemenang karena aku nggak bisa melakukan hal-hal besar kayak mereka. Nggak sekarang. Uh, itu saja." Eophi turun dari podium. Mengharapkan tepuk tangan atau respons positif lain. Tapi nihil. Penghuni-penghuni tempat ini malah melongo, kemudian larut ke dalam kesibukan masing-masing.

"Er," kata si Kesatria. "Perkenalan saja sudah cukup sebenarnya. Ha-ha. Tadi itu hanya bercanda. Mereka pada kesal karena kalah taruhan. Tidak ada yang bertaruh untukmu di markas besar ini selain aku."

Eophi tahu sekarang kenapa kesatria berzirah emas ini girang sekali. Ia sedang banyak uang. Eophi juga tahu sekarang ia sedang berada di markas besar Organisasi Tifareth.

"Ayo. Ikuti aku, Eophi." Kesatria itu mulai jalan. "Ada beberapa hal yang harus kau lihat sebelum melanjutkan petualangan. Oh ya, panggil saja aku Verath."

Sambil jalan, Verath banyak sekali menyampaikan kabar-kabar. Pertama, tentang keberhasilan mereka membebaskan bangsa Myrd yang ditahan oleh Ordo Horus (Eophi tersenyum). Kedua, tentang Kana yang berhasil melarikan diri (Eophi cemberut). Ketiga, tentang kekuatan Bu Mawar yang bukan hanya berhasil menambal Astron, tapi juga menemukan data-data muridnya (Eophi tersenyum lagi). Keempat, tentang kematian Minerva.

"Ini adalah kamar Minerva." Verath tersenyum sedih, mempersilakan Eophi masuk ke dalam sebuah ruangan luas. Mungkin satu-satunya ruangan bersih di kastel tua ini. "Sejak bertemu denganmu," Verath memulai, "kamar ini selalu dikunci olehnya. Ya. Untuk menyembunyikan semua ini."

Verath menunjuk satu-satu poster bergambar tangan. Semuanya merupakan gambar Eophi. Boneka-boneka naga merah kecil, peralatan tidur berekspresi, sprei bergambar Eophi yang sedang berkedip, bungkus rokok bergambar Eophi dan tengkorak, dan banyak lagi.

Mengetahui bahwa pemiliknya sekarang sudah tiada, Eophi tidak tahu harus merasa senang atau sedih setelah mengetahui rahasia kecil ini. Minerva ternyata menyukainya. Sangat menyukainya.

"... dia tewas di dalam peperangan melawan Ordo Horus, melawan tirani, itu hal bagus," kata Eophi, tercekat. "Dia tewas berjuang."

"Ya. Dia gugur dalam perjuangan. Tapi jenis perjuangan yang lain," sahut Verath, berdiri di depan meja bergambar, membelakangi Eophi. "Minerva tidak tewas dalam perang. Dia tewas setelah memberikan inti datanya, hak administratornya, untukmu. Di Proto Merkavah."

"...."

Verath memutuskan untuk tetap membelakangi Eophi, mungkin karena tahu Eophi sedang sibuk mengucek matanya yang basah. Sekarang Eophi tahu emosi apa yang harus dirasakan.

"Sebelum menghilang, Minerva mengirimiku mikromemoar. Dia ingin agar aksesnya tetap hidup di dalam dirimu. Dia juga mengirimi mikromemoar pada pasukan kloning. Kloning Kavaleri. Untuk datang ke Proto Merkavah lebih cepat dari rencana semula. Laporan terakhir mengatakan, mereka berhasil mengoperasikannya, dan akan menggunakan benteng itu untuk maju ke peperangan final," jelas Verath. "Dan ini untukmu." Verath balik badan. "Surat dari Minerva, dan surat dari ... langit."

Eophi membaca kedua surat itu dalam hati. Minerva menulis penjelasan seputar Organisasi Tifareth, dan hal menyakitkan lainnya. Lalu surat dari langit itu ... ternyata surat dari Fata, Bu Mawar, dan para murid.

Isinya:

[ Menanglah. Kami akan membantumu dari atas sini. Menanglah. Dan selamatkan kami. Menanglah. Agar kami bisa pulang ke rumah. Menanglah. Supaya ane bebas dari setan-setan cilik eni!!! @#$% (Fata). ]

"Kapan pun kau siap, Eophi Rasaya." Verath menjentikkan jarinya—sebuah portal terbuka. Portal merah yang sama, yang dijaga oleh tengkorak berjubah. "Selamat berjuang."

Beberapa detik kemudian, Eophi sudah sendirian di kamar Minerva. Peralatan tidur dan Hel menatapnya. "... kalian semua, bilang 'Terima kasih, Minerva.' Ayo," gumam Eophi. Mereka tersenyum dan menurut. Setelah itu, setelah satu tatapan lagi ke sekeliling kamar ajaib ini, mereka masuk ke dalam portal. Menghilang. Pergi. Menuju segaris takdir yang belum pernah ditentukan oleh siapa pun.

10 comments:

  1. Karena saya baca semua entri Proto Merkavah berurutan sekali jalan, rasanya lebih enak kalo komen buat 3 entri ini saya satuin aja sekalian

    Pertama dari entri Fata. Entah kenapa penulis di ronde ini mendadak gaya bahasanya berubah jadi serba teknis, yang mana buat saya nurunin kadar enjoymentnya meski garis besar plot masih bisa diikutin, tapi ada kesan kaku dan scripted, kurang luwes kayak spirit Fata biasanya. Sosok bu Mawar di sini entah kenapa jadi super angsty, dan kesannya kayak jadi forced villain, demi adanya musuh yang punya justifikasi buat dilawan. Tapi poin yang paling off buat saya jelas hubungan bu Mawar sama Fata - saya masih bisa nerima Kana, Relima, atau Renggo, tapi mindset saya selama baca susah nerima benang yang kayaknya dipaksain nyambung ini

    Lanjut ke entri bu Mawar, saya malah dapet kesan fresh dari pembukaannya. Keliatannya penulis lebih leluasa kalau ngegarap narasi yang emang ngebanyol kayak gini, sayang kadarnya jadi berkurang begitu masuk ke pertarungan sebenernya, yang mana lebih ke tiga peserta ngurusin virus KANA ganti"an. Drawbacknya di sini ketiga peserta berasa terlalu setara, kayak interchangeable tiap karakter - atau mungkin ini kesan pribadi saya aja selama baca - dan konklusinya ga berasa begitu istimewa, kayak 'udah gitu aja, terus apa?'

    Terakhir entri Eophi, yang meski paling panjang juga harus saya akui paling enak saya ikutin di antara 3 entri ini. Di sini semuanya beneran berasa fleshed out - dari Fata yang jadi kandidat Tuhan, bu Mawar yang ga sengaja bunuh Sunoto dan momen" sama Dracul, dan Eophi - yang di entrinya ini sendiri jadi keliatan lebih berkarakter ketimbang entri lain. Saya suka remark Eophi di berbagai situasi, dan gimana dia pihak yang sebenernya bisa dibilan netral dan biasa" aja dibanding bu Mawar sama Fata di sini, tapi justru itu daya tariknya. Semakin ke sini karakter Eophi bikin saya suka, dan penutupnya berhasil ngehook karena ngasih closure bagus buat dua peserta lain sekaligus juga ngasih alesan kenapa Eophi harus terus maju ke final

    Karena sistemnya nilai, saya kasih berdasarkan favorit aja ya

    Fata 7
    Bu Mawar 8
    Eophi 10

    ReplyDelete
  2. Halo, kembali mampir ke lapak komen untuk berkomen...

    pertama-tama, saya sekali lagi merasa iri dengan entry kolosal puluh-ribuan kata ini (bah, sampek nyicil entah berapa kali buat membacanya, maklum, saya sibuk*plakk) karena tetap ditulis dengan rapi dan... minim typo (masih ada typo, tapi nggak sebanding dengan entry saya yang typo-nya bertebaran kayak ketombe). Itu keunggulanmu deh, Daka, sayapun kayaknya harus cari proofreader buat mbenahin typo senadianya nulis cerita kolosal kayak gini...

    lalu...
    "... shoot me as you mean it!"
    Fahk itu kalimat meski cuman nongol dikit, kau harus jawab pertanyaan saya..... kamu nulis itu setelah baca entryku atau nggak? Kalau ya, berarti.. sialan, itu trivia paling halus dan elegan yang pernah saya baca di BoR5. I should salute ya for that line...!!

    oke, sekarang masuk ke entry ya. Jujur, di entry sebelumnya, saya nggak paham peran Minerva, dan cenderung nggak seneng sama cewek itu karena dia mbulet di sekitar Eophi tanpa kupahami perannya, tapi di entry ini, saya dapat gambaran siapa itu dia, dan juga kemunculannya padu dengan Eophi menjelaskan betapa idiotnya dia *plakk , tapi pokoknya, saya jadi bisa lebih menerima Eophi sebagai bocah Myrd yang tukang tidur (meski sampai sekarang senjata bantal guling kasur itu masih sulit saya cerna). Lalu,,, kurang ajarnya, kemunculan OC lain Fata, Mawar dan Sun benar-benar padu juga, dibungkus dalam plot yang asyik dan pas. Fata jadi Tuhan, Mawar jadi penjaga planet, meski di awal agak sulit dimengerti tapi oke, semuanya terasa masuk akal. Ini menyuguhkan pendekata fresh bahwa si pemenang battle tidak harus berada di pihak 'orang terpilih', 'the chosen one' yang superpower. Well, kau berhasil memelintir trope 'the chosen one' dengan membuat Eophi yang 'tidak terpilih' justru menjadi pemenangnya.

    Dialog ringan dan menghibur, checked. Penjabaran karakter dua OC lain, sesuai banget dengan realm dan sifatnya masing-masing, checked. Diksi, eskripsi, oh, I have to say that I love the way u describe the "Apotheosis of Fatanir"... man, diksinya kurang ajar banget. Checked deh, itu juga.

    Kalaupun ada kekurangan, itu adalah di tato-nya Fata yang kok muncul tiba-tiba, Dracul yang sepertinya cuma hiasan di sayap Mawar--- meski kehadirannya berperan di plot, cuma posisinya sebagai bekas alm suaminya terasa teralu dipaksakan. Dan... ending si Minerva mengorbankan diri demi Eophi dan memilih meninggalkan pertempuran. Terasa nggak pas banget, berasa coward, tidak seharusnya, begitu...

    okelah, saya balik lagi kalau udah komen di lapak Merkavah lainnya.

    regards, have a nice sleep dang!

    Rakai A
    OC Mima Shiki Reid

    ReplyDelete
  3. Fatanir - Po

    Aku suka bgt entri Eophi ini. Peran Minervanya jelas, organisasi Tifareth dan Horus digambarkan sebagai dua pihak besar yg peperangannya kolosal bgt. Interaksi Mawar dan Dracul, meski agak kerasa aneh, tapi berhasil bikin Mawar punya sesuatu utk pendalaman karakter dan cerita. Dan tentu saja Fata dgn lawakannya dan Kana yg membawa kanon Fata ke arah yg besar bgt itu, merupakan penggambaran plot Fata yg luar biasa dan aku kagum bgt tentang bagian itu.Paling klo ada minusnya, cuma battlenya yg entah kenapa rasanya ngulang2 dan intensitasnya jg agak datar. Tapi kagum dan salut lah sama Mas Daka.

    ReplyDelete
  4. Plus.

    -Layoutnya nyaman. Authornya rajin sekali. Yang saya sadari sekarang ada kutipan-kutipan dialog khas karakter sebelum baca bab tentang mereka. Ini menarik minat, "kapan sih dialog ini muncul nanti?" bagus banget buat bikin penasaran. Jadi tua dan membosankan itu PWG sekali btw hahaha
    -Karakterisasi top-noch. salah satu yang paling saya suka pas udah kematian sunoto, orang-orang saling jerit kalap. Oh ya. honorable mention untuk perbincangan Fata dan Kana di awal. Gatau kenapa berkesan, mungkin karena saya baca ini duluan, terus jeda lama baru lanjut lagi.
    -Battlenya mengharukan. Sulit komentar apa lagi bagian ini. Pengorbanan Minervanya dikemas dengan sangat baik. Tega juga ini.

    Minus

    -Nyaris ga ada. Panjang aja.

    9/10

    ReplyDelete
  5. Fata sebagai kandidat Tuhan? oke itu keren!
    Itu gambarnya juga ngebantu ngasih bayangan visual ceritanya..
    elemen perangnya juga bagus sayangnya mungkin bagian battlenya kurang intens..

    terus bagian akhir yang Minerva juga rada kurang pas..

    masih menjadi cerita yang asik diikuti karena narasinya lepas :D

    DELAPAN dari SEPULUH

    ReplyDelete
  6. Punya Eophi Rasaya, uuhhh itu plotnya keren bingits. Cuma aku gak tau kenapa nggak bisa nikmatin sama sekali dari narasi sama dialognya rasanya gitu aja padahal plot sama ide ceritanya keren. Apa yah rasanya aku nggak bisa sampe full feeling yang aku rasain di semuanya, apalagi kalo udah masuk nyeritain Minerva atau ada Minerva kayak langsung ngedown aja feeling nya, langsung bosen aja padahal sebelumnya udah mulai kerasa menarik. Tapi gambarnya baguuuussss, lucu. Aku suka banget sama gambarnya.

    Nilai: 7

    ReplyDelete
  7. ampun aye kagaak bisa baca ampe abis,,,et dah PANJANG BENER ini bang!!

    ReplyDelete
  8. uwooooh, gak heran ini sampe Om Po aja menobatkan Eophi memiliki entry terbaik walau kena tiga puluh ribu kata...

    Saya sangat terkesima sama gaya penuturan cerita yang bisa berubah di tiap perspektif MC-nya. Terutama dari perspektif si kribo. Pikiran tengilnya tersampaikan dengan baik, dan saya malah merasa si Kribo lebih menjiwai di sini dari pada entrynya yang asli.

    Penggarapan tiap karakter lainnya juga begitu nancep, masing-masing punya peran yang signifikan akan perubahan plot yang senantiasa belok kanan kiri. Saya gak pernah bosan disuguhi sama berbagai tikungan plot... contohnya;

    Saya kaget... beneran loh, Bunda Mawar gak sengaja ngebunuh Sunoto...
    Kamfreeeet....
    Q_Q

    terus suami bunda Mawar...

    Hubungan twisted Fata - Kana, jadi tuhan mantaph. Ditambah Bu mawar yang blushing sama Fata... muridnya akhirniya kembali... aaaa....

    Lalu Romance Eophi sama cewek sundere-manis-songong itu bisa bikin saya kena diabetes ...

    aaaa... kapan saya bisa ngebangun plot segini kerennnya?
    Q_Q

    battle terakhirnya epic, gak nyangka juga Vajra bakalan nongol di sana, wkwkwkwk


    Lalu endingnya.... aduh, bulu kuduk saya merinding, asli, sumpah.
    Nyesek gegara Minerva itu ya ampun....



    Point : 10!






    ==========
    LT1-add04

    ReplyDelete
  9. Over all is the best. Tapi kurang rapi saja. Pengen pertarungan yang penuh ketegangan dan tanpa jeda sedikit pun? Ya mungkin itu alasan paragraf-paragraf battle terkesan kaya kaset macet macet. Lalu mungkin takut kepanjangan jadi kaya dipersingkat kalimat-kalimatnya padahal paling sederhana dan intinya.

    ReplyDelete