7.9.15

[ROUND 3] MARIA FELLAS - AKU AKAN KEMBALI

"Hanya ada dua cara untuk merubah seseorang, kematian yang sudah di depan mata, atau kematian orang yang dicinta."
- anonymous -
***

Ada yang bilang, lima perkara di dunia ini yang tidak dihargai oleh manusia adalah hidup, sehat, muda, kekayaan, dan kelapangan. Ketika kau memilikinya, kau menghambur-hamburkannya dengan sangat baik.

Bagiku ada satu hal lagi yang juga tak luput dari kurangnya penghargaan manusia. Keberadaan orang yang kita cintai. Keberadaan orang-orang yang menganggap kita ada. Keberadaan yang membuat kita hidup. Keberadaan orang yang mencintai kita.

Kehidupan memberimu pilihan, berubah atau mati. Sayang, kematiannya sendiri, jarang menjadi pemicu akan perubahan yang harus dipilih. Kematian berkali hampir menjemput dan mengambil hidupnya, namun itu tak cukup untuk mendorong perubahan malah semakin parah.

Karena itu, alam menggunakan cara lain untuk memicu perubahan. Yaitu dengan mengambil kehidupan orang yang paling ia cintai. Masalahnya terletak pada pilihan, mana yang kau pilih, menjadi baik atau menjadi buruk?
 
***

"Tapi … nilai saya tidak seburuk itu, Pak!" gadis kecil itu menghapus air matanya. Ia tidak mengerti. Ia tidak mengerti mengapa nilai 98 yang sudah diperolehnya dengan usaha yang keras, masih tidak dapat menyenangkan hati gurunya. Bagaimana mungkin nilai sebagus itu masih dianggap buruk?

"Dua point, Fellas. Dua point lagi. Dua point lagi dan kau akan mendapatkan nilai sempurna. Dan kau memilih untuk melepasnya!" Pria setengah baya itu menatap Felly dengan mata yanng sungguh garang.

"Tapi pak … saya masih memenangkan olimpiade itu!"

"Sudahlah, Fellas. Sebaiknya kau pulang sekarang! Sudah larut. Mungkin beristirahat akan memberikan sedikit pencerahan kepadamu. Pergilah!"

Dengan langkah gontai dan air mata yang masih mengalir deras, Felly berjalan ke arah pintu keluar. Ia tidak mengerti. Bagaimana bisa nilai 98 menjadi begitu sangat jelek di mata gurunya itu. Pak Brewy. Sosok guru yang sangat ia kagumi. Seorang pria yang mampu melangkah dan menyabet medali emas internasional pada olimpiade biologi sepuluh tahun berturut-turut.

Sejak umurnya masih lima tahun, ia selalu bermimpi untuk dapat bertemu dengan pria itu. Bermimpi untuk mengikuti jejaknya melangkah ke kejuaran internasional. Ia mengetahui segala hal mengenai gurunya tersebut. Segalanya kecuali, kenyataan dua poin yang menyebabkan beliau terkalahkan pada turnamen kesebelasnya.

Felly melangkah tak beraturan keluar dari gerbang sekolahnya. Menatap jalan raya di hadapannya dengan pandangan kosong. Melangkah tanpa menyadari ada seseorang yang mengikutinya. Bersembunyi di balik kegelapan bayang pepohonan.

Berkali riang angin berusaha mengembalikan Felly pada kesadarannya. Sedetik. Lalu Felly kembali dengan rasa bersalahnya. Berkali dedaunan sengaja melepaskan dirinya, membelai halus sisi wajah Felly. Sedetik. Lalu dedaunan itu jatuh tersiakan.

Sementara bahaya semakin mendekat, semakin ia tenggelam dalam kesedihannya.

10 langkah.

Ia masih menatap jalan raya dengan tatapan kosongnya. Menggenggam kedua tali ranselnya dengan kuat. Linangan air matanya masih mengalir deras. Manik kecewa di wajah gurunya masih tertanam kuat di benaknya.

8 langkah.

Ia teringat akan kalimat ayahnya yang selalu memintanya untuk bersemangat. Sedang hari ini, pada kejuaraan nasional saja, ia terkalahkan oleh dua poin. Ya, Felly dikalahkan oleh kesempurnaan nilai milik seorang bocah. Ia bukan penyandang gelar juara satu.

6 langkah.

Teringat kembali ia pada rasa gembiranya dua tahun lalu, ketika ia akhirnya diterima oleh Pak Brewy sebagai murid. Setelah dua tahun memendam keinginan untuk menjadi murid beliau. Akhirnya mimpi itu menampakkan wujudnya. Kini sembilan tahun umurnya dan ia sudah bertahan selama dua tahun dalam didikan keras Pak Brewy. Tak pernah ia mengecewakan beliau. Hingga hari ini.

4 langkah.

Kembali ia menghapus air matanya. Berjalan lurus ke depan, menuju rumah orang yang telah merawatnya sejak kecil. Rumah yang memberikannya kasih sayang dan cinta. Tak terbayangkan olehnya bagaimana reaksi kedua orang yang telah merawatnya dengan baik itu mendengar kekalahannya. Padahal kedua orang itu telah berbaik hati tidak menelantarkannya di jalan begitu saja.

2 langkah.

Ya, ia hanyalah seorang anak angkat di keluarga Fellas. Seorang bayi yang diangkat ketika umur dua tahun. Diberikan nama keluarga. Diangkat dari jalan raya. Diperlakukan layaknya anak sendiri. Dan kini, lihatlah yang ia berikan pada keluarga itu. Kekecewaan. Kekalahan. Hanya nomor dua. Apalagi yang lebih mengecewakan?

0 lang …

"Diam! Atau bukan hanya tubuh manismu yang kurusak!"

Setitik air mata kembali menetes dari matanya. Setitik airmata kepasrahan. Pasrah pada nasib yang membawanya naik dan turun. Apakah ia dibenci Tuhan segitunya? Ia tak tahu, yang ia tahu hanyalah, benci.

***

Gelap.

Dingin.

Ini apa?

Aku tidak dapat melihat.

Tempat apa ini?

"Tenang Nona Fellas! Nikmati saja perjalananmu."

Kita akan ke mana?

"Kita akan ke tempat di mana ingatan akan sungguh membuat hati dan logika bertengkar sampai titik didihnya."

Tapi hati dan logika tidak memiliki titik didih.

"Kau ini anak kecil yang ceriwis sekali! Tentu saja itu hanya analogi. Kita akan ke tempat baru. Tempat lama telah dihancurkan."

Bagaimana dengan teman-temanku?

"Kau ini bagaimana? Lupa, eh? Tidak di sini, tidak di sana. Kau tidak punya teman!"

Ya … aku tidak punya teman.

Teman …

Marcy …

***

- Boneka Itu … -


Amatsu. Begitulah nama tempat ini. Setidaknya itu yang tadi, pelayan berbaju aneh itu katakan padaku. Tempat ini bagus. Indah tentu saja. Sangat berbeda dengan dunia yang kutinggali di bumi.

Lupakan para vampir penghisap yang menjijikkan itu.

Lupakan para mutan hidup tapi tak hidup itu.

Lupakan pula Walker Virus.

Lupakan semua hal yang ada di duniaku. Karena di sini, sungguh, segalanya terlihat berbeda. Pelayan itu tadi menyebutkan bahwa ini masih di dalam server. Salah satu dari empat server utama di Sol Shefra. Entah tempat apa Sol Shefra itu, aku tak tahu.

Yang jelas, kini, kami semua (yang tersisa, maksudku) dipindahkan ke tempat ini.

Oh, apa tadi yang kukatakan? Lupakan mutan? Sepertinya harus kutarik kembali kalimat itu.

Aku lupa menyebutkan bahwa di sekelilingku, tersebar beratus, bahkan beribu makhluk yang sepertinya merupakan hasil mutasi genetik antara manusia dengan berbagai hewan atau tumbuhan. Entahlah, aku tidak begitu yakin.

Ada yang tubuhnya manusia, kepalanya ikan. Ada yang matanya kuning dengan lengan yang berbentuk sayap membentang lebar. Ada yang kepalanya tak ada dan tangannya berbentuk kaki. Oh … ada yang menjijikkan juga. Sepertinya aku salah duga.

Kini, aku serta ke-dua puluh tujuh peserta lainnya, digiring ke dalam sebuah tempat yang tadi disebut sebagai Monster Colloseum. Tempat pertarungan selanjutnya akan dimulai. Pertarungan apa yang akan terjadi di sana. Well, aku sendiri tidak terlalu peduli.

"Hei! Nely, kamu sudah lihat papan pengumuman?"

Aku menatap pada papan pengumuman yang ditunjukkan oleh ibu-ibu, yang aku lupa siapa namanya tadi. Di kaos yang ia kenakan terdapat tulisan "Working Mom" yang terlihat sudah sedikit kumal. Mungkin akibat dari pertarungan sebelumnya.

"Kita akan bertarung satu sama lain kali ini. Antar peserta. Apa kau percaya itu?"

Aku tetap diam. Ia menarikku mendekati papan  pengumuman itu. Sebenarnya tanpa ditarikpun aku akan melihat papan pengumuman itu.

"Cuma bedanya, kali ini, kita dua lawan dua. Tim lawan tim. Kita akan punya partner. Partner kita adalah monster dari dunia ini. Bukankah itu amazing?" Ibu satu ini tidak bisa berhenti bicara. Menyebalkan sekali.

"Oke. Mari kita lihat. Siapa lawanmu, dan siapa partnermu."

Aku sudah melihatnya. Itu namaku. Sanelia Nur Fiani. Lawanku adalah Maria Fellas. Aku mencari bocah kecil itu. Terlihat ia berasa tepat di hadapan papan pengumuman. Lucu sekali. Persis seperti anak kecil yang harap-harap cemas melihat peringkatnya di dalam papan nilai. Sesuatu yang sudah tidak ada lagi di duniaku.

"Hei! Kau tahu Nely, sepertinya ada yang aneh dengan partnermu. Masa partnertmu itu … boneka."

A-APA? Aku menatap ke arah wanita yang tadi menyeretku. Tidak mungkin. Tidak mungkin boneka itu yang akan menjadi partnerku.

"Kau bercanda! Mana mungkin ia ada di …" --

--dan aku hanya bisa terdiam menatap sebuah nama yang tertera dengan jelas di papan itu. Aku membeku. Air mata perlahan mengalir dari sudut mataku seiring dengan hatiku yang mengeja nama itu.

Leon Beary.

Leon …

Papa …

***

- Delusi Menyata -


"Maria … "

Nama itu. Tidak mungkin. Ia tidak mungkin ada di sini.

Aku tiba di sini beberapa saat lalu. Disambut oleh seorang pelayan manis yang kali ini lebih fashionable dibandingkan dengan pelayan-pelayan Alforea. Setidaknya bos di tempat ini memiliki fashion sense yang lebih bagus dibanding Tamon dan Hewanurma.

Amatsu. Nama tempat ini. Tempat yang menyenangkan. Suasananya mengingatkanku pada sebuah tempat bernama Jepang di Bumi beberapa tahun lalu. Semuanya terasa menyenangkan …

"Maria … "

--kecuali suara panggilan yang berulang kali muncul di pendengaranku itu.

Hanya tiga orang di dunia ini yang boleh memanggilku dengan nama itu. Ayah, mama dan … dia.

Itu jelas sekali suara dia. Tapi dia bukanlah salah satu dari dua puluh delapan peserta yang ikut ke Alforea. Sepertinya aku berkhayal. Mana mungkin ia berada di sini.

"Maria … "

Tidak. Tidak mungkin dia di sini. Lagipula untuk apa ia ada di dalam sebuah turnamen seperti ini? Dia berbeda denganku yang senang sekali mengikuti tantangan. Baginya, tantangan hanya satu dari seribu alasan untuk ditolak. Mana mungkin dia ke sini.

"Baik, nona-nona, tuan-tuan, tante dan om sekalian. Di sini sudah tertera, nama kalian, nama lawan serta partnernya untuk pertandingan kali ini. Silahkan diperhatikan baik-baik! Jika kalian ingin bertanya, aku ada di sini untuk menjawab pertanyaan kalian."

Pelayan itu menyingkir mundur dari hadapan kami.

Akupun berdesak-desakan untuk dapat melihat lebih dekat. Pertandingan kali ini, tidak dilakukan dengan berpindah-pindah realms seperti biasanya. Pertandingan kami kali ini dilakukan di salah satu gedung besar di Amatsu. Monster Colloseum. Stadion besar di Amatsu yang digunakan untuk menonton pertandingan hidup-mati antar monster.

Kali ini, aku menyadari, kamilah yang akan menjadi monster pada pertandingan di tengah stadion itu. Aku meniti satu persatu nama yang ada di sana. Satu persatu, hingga namaku terlihat terapit di antara nama Bun dan Vi. Entahlah siapa mereka berdua itu.

Aku hanya harus tahu siapa partnerku.

"Maria …"

Suara itu sungguh mengganggu. Oke. Aku harus fokus.

Lawan : Sanelia Nur Fiani

"Maria …"

Partner lawan : Leon Beary

Aku tertawa. Yang benar saja, partnernya boneka.

"Maria …"

Partner Fellas : Mar …

Tidak kulanjutkan ejaanku. Seseorang menyentuh bahuku.

"… Cy." Terpaku aku menatap dia.

"Found you, Maria." Ia menatapku dengan nafas yang tersengal. Seperti habis berlari jauh. Menarikku ke dalam pelukannya.

"Kau … Marcy?"

Dan ia berbisik, "found You, Maria. I, finally, found you."

***

- Pertarungan dan Reuni -


"Kemana saja, kau Lintah?"

Aku menghapus air mataku. Entah kenapa, bertemu dengannya memberikan perasaan melankolis yang membuatku benar-benar terlepas dari bendungan diriku. Aku kehilangan diriku untuk beberapa detik. Saking senangnya.

Marcy Golas. Aku menatapnya. Ia masih seperti Marcy yang kukenal. Si bocah cowok yang manis, dengan jubah macan sebagai penanda ia memiliki genetik macan di dalam tubuhnya. Salah satu keturunan bangsawan.

"Aku kembali ke lab, dan kau menghilang begitu saja. Aku khawatir tahu!"

"Maafkan Aku! Ada undangan, pria bertudung, gurun, naga, api, kebun, kotak-kotak, banyak, orang, Aushakii, tante-tante payudara gede, kakek ubanan panjang, terus … terus… terus…

"Kau ini, ngomong apa sih, Maria? Pelan-pelan, dong!" Ia tersenyum. Ia tersenyum. Kalian tahu! Dia tersenyum. Aku, sungguh merindukannya.

"Aku bingung harus menceritakannya dari mana." Aku kembali memeluknya.

Dia, Marcy. Satu-satunya temanku di Bumi. Satu-satunya yang menerimaku dengan segala keadaanku. Satu-satunya yang mau bermain denganku. Yang mau berbagi ilmu tentang biologi. Satu-satunya. Ya, dia merupakan satu-satunya.

"Kamu, ngapain ke sini, Marcy?"

"Pertanyaan bodoh! Tentu saja aku kesini untuk mencarimu. Kemana saja kau? Satu sekolah heboh. Kehilangan finalis olimpiade secara tiba-tiba itu bukan hal yang bagus, kau tahu?" Senyumku memudar. Aku melepaskan pelukanku padanya.

"Aku …"

Suara melengking dari loudspeaker meminta kami untuk ke tengah pertarungan.

"Kau tahu, Maria? Aku sudah bertarung di tempat ini sepuluh kali. Aku selalu menang. Aku berharap dapat bertemu denganmu dan membawamu pulang. Kini aku sudah menemukanmu, aku harap ini akan menjadi pertarungan terakhirku. Setelah ini, aku ingin kembali."

Ada yang aneh dari kalimatnya. Tapi aku tak mampu mengatakan apapun selain tersenyum dan menganggukkan kepala.

"Setelah pertandingan ini selesai, aku harap kau tidak lagi mewarnai rambutmu dengan warna sok barat ini. Aku lebih suka dengan rambut merahmu dari pada si Kuning norak ini!"

Kembali aku menganggukkan kepalaku padanya. Mengiyakan.

Dengan itu, kami melangkahkan kaki kiri kami, memasuki arena pertarungan.


***

- Tarung Hingga Akhir -



"Di sayap kanan, telah ada sepasang tim, Sanelia Nur Fiani atau Fia dan Bonekanya, Leon Beary. Kabarnya, boneka Teddy Bear itu adalah ayahnya looh." Terdengar teriakan sorak sorai dari setiap tribun. Ada yang bersuit, ada yang bertepuk tangan, ada yang memukul genderang.

"Hancurkan mereka dengan snipermu, Sweety!" Teriak penonton di bangku sebelah kanan.

"Tendang mereka hingga luluh lantak, seksi!"

Semua orang berteriak demi melihat tubuh cantik Sanelia Nur Fiani, lawanku.

"Sementara di sebelah kiri, telah ada sepasang tim lainnya, Maria Fellas atau Felly dan sahabatnya, Marcy Golas. Bukankah pertemuan kalian mengharukan?"

Krik. krik. Krik.

Terdengar sorakan huuu dari setiap penjuru. Mereka meremehkan kami. Aku tak heran. Marcypun begitu. Kami memang tak pandai bekelahi. Jalan kekerasan juga memang bukan jalan kami.

"Maria, aku ingin segera kembali ke laboratorium. Aku sudah menemukan cara untuk mengubah bakteri di tubuh kecoa agar menjadi racun bagi kalangan mereka sendiri." Bisiknya padaku. Aku tersenyum.

"Kita akan kembali Marcy, setelah pertandingan ini selesai!" balasku padanya.

"Baiklah, mari kita mulai pertandingan ini … sekarang!"

Bunyi terompet memekakkan telinga. Sementara boneka teddy bear itu bergerak ke arahku bersama dengan Fia, aku dan Marcy duduk diam tak bergerak. Kami menunggu lawan yang bergerak duluan.

Detik ketika mereka mendekat, saat itulah, aku menggerakkan tubuhku berdiri, Marcy memegang tanganku, dengan satu lompatan kami mundur. Marcy menendang Kak Fia ke belakang, Aku menendang boneka Teddy ke samping.

"Waaahhh… Felly! Celana dalammu bagus sekali." Marcy langsung menendang tiga kali boneka yang masih melayang itu.

"Heh! Aku saja belum pernah lihat!"

Dengan segera, Marcy menjadi korban dari tanganku. "Tidak lucu!"

Marcy tersenyum memberikan simbol peace menggunakan telunjuk dan jari tengahnya.

"Bukan saatnya bercanda adik kecil! "

"Argh… " Satu tendangan di perut kuterima. Aku terlempar ke belakang. Entah sejak kapan kakak ini ada di hadapanku. "Kau … sejak kapan?"

"Sudah keahlianku menyamar dan mengendap, kau tahu?"

Aku mencoba bangkit dan berlari menerjangnya, sebelum ia berhasil mengisi senjata rifflenya. Kulirik ke kanan, Marcy terlihat sedang bergumul dengan boneka Teddy itu. Entah kenapa untuk kali ini, aku tidak tertarik dengan boneka Teddy bear alay itu.

Aku berhasil menggigit sedikit daging di tubuh kak Nely. Carian tubuhku telah berhasil aku masukkan ke dalam tubuhnya. Ia meronta-ronta dengan rasa sakit yang kini dirasakannya. Bergerak ke kanan dan ke kiri. Gigitanku terlepas, aku kembali terlempar. Sakit. Rasanya sakit sekali. Tapi aku tersenyum. Rencanaku berhasil.

Imajiku bergerak liar. Aku membayangkan Kak Fia tidak bisa bergerak. Dalam sekejap, ada perasaan aneh di diriku, seolah darahku dan darah kak Nely terhubung. Aku … bisa merasakan pergerakan darah dari tubuh Kak Nely.

Lihat! Nely mulai bergerak sesuai kemauanku. Marcy menatapku. Marcy pernah melihatku menggunakannya. Saat itu, kemampuan ini belum stabil.

"Nely, kau kenapa nak?" Boneka itu mundur. Nely bergerak ke arah boneka kecil itu. Perlahan tapi pasti.

"Aku, tidak tahu. Ada yang aneh. Aku tidak dapat menggerakkan tubuhku sendiri, Pa!"

Aku tahu apa ini. Nitric Oxide. Zat yang mengendalikan peredaran darah di dalam tubuh manusia. Zat yang ikut keluar ketika lintah sedang menggigit mangsanya. Zat yang digunakan untuk menjaga kestabilan darah yang mengalir ke mulut para lintah.

"Kau tahu, kak Nely?" ucapku, "apa yang paling menyakitkan di dunia ini?" berjalan mendekati mereka.

"Apa yang kau lakukan, Maria?" Marcy terkejut dengan hasil pekerjaanku. "Maria, kau membunuhnya!"

"Selama di tempat ini, aku sudah membunuh beberapa orang, Marcy!"

Kurasakan emosi di dalam tubuhku semakin naik. Seiring dengan itu tubuh Nely menggelepar aneh. Kejang-kejang. Marcy terdiam di salah satu sudut di dekat Boneka Beary.

"Hei Nak, kau kenapa?" busa mulai keluar dari dalam bibirnya. Pertanda bahwa peredaran darahnya terlalu deras, di dalam tubuhnya sendiri. Boneka itu mendekati anaknya.

"Hei, Bocah ingusan! Kau apakan anakku?" Boneka cecurut yang mengaku sebagai ayah Kak Nely memandang cemas pada anaknya.

"Kak Nely, ingin tahu apa yang paling menyakitkan di dunia ini?" Kutarik nafasku dalam, meredakan pergerakan kencang darah di dalam tubuh Kak Nely. Stamina Kak Nely tinggal 30%. Terlihat di mataku, kini, chart-chart itu berwarna kuning. Ia ternyata sudah lemah.

"Yang paling menyakitkan di dunia ini adalah melihat orang yang kau sayangi … mati oleh tanganmu sendiri." Sekejap aku mendelikkan mataku. Kak Nely langsung berdiri dari posisinya. Bergerak mengarahkan senapan ke Boneka Tedy Bear tidak berguna itu.

"Oh tidak.. tidak… senapan pasti tidak bisa membunuh boneka Teddy itu. Sebentar!" Aku membongkar tasku. Mencari benda kecil tajam yang sering kugunakan sebagai alat perlindungan.

"Nah, ini dia! Pisau kecil. Hei, Kak Nely, tangkap ini!" Kulemparkan pisau kecil itu ke arah tangannya. Ia mencoba menghalangi pisau itu dengan tangannya.

"Argh… " Ia tidak sempat protes ketika dengan deras darah segar mengalir dari telapak tangannya yang kini tertancap pisau.

"Ups! Kan sudah kubilang, ditangkap kak. Bukan di high-five. Itu pisau, bukan tangan!" Aku tersenyum.

Leon, si Boneka Teddy Beary itu menatap miris pada anaknya yang kini meringis menahan sakit di tangan kirinya. "Kau tidak apa-apa, Sweety?"

"Papa itu bodoh atau bagaimana sih, ya kenapa-napalah! Ini luka, Pa!"

Lalu, aku kembali berkonsentrasi pada darah yang ada di dalam tubuh Kak Nely, dengan satu gerakan, aku menggerakkan tangan kanannya untuk menarik pisau di tangan kirinya.

"AARGHHH…."

Pasti rasanya sakit sekali kan, kak?

Ini belum seberapa dibandingkan dengan yang akan kulakukan selanjutnya.

"Nely, kau tidak apa-apa?" Boneka Teddy Bear itu mendekati anaknya. Mencoba mengobati barang sedikit rasa sakit dari luka besar di telapak tangan anaknya itu.

"Pa, pergilah! Pergi!"

"Kenapa kau mengusir papa, Nak? Sini papa obatin tangannya!"

"PA, PER… Argh…"

Sekali robek atas keinginanku, Kak Nely merobek boneka Teddy Beary itu hingga hancur. Air mata mengalir deras dari ujung mata Nely. Dari tatapannya yang semakin menajam. Aku tahu ia sedang marah. Semakin ia marah, semakin tangannya kupaksa mencabik boneka sialan itu.

"TIDAK! PAPA!"

Satu cabikan lagi.

"Ikhlaslah, Nak! Ikhlas!"

"Papa, maafkan Nelly!"

Dua cabikan.

"PAPA!!"

Tiga cabikan. Dan boneka itu kehilangan arwahnya. Terlihat kabut kecil mirip asap keluar dari boneka itu. Kini, yang tertinggal di hadapan kak Fia hanyalah boneka Teddy rusak tanpa nyawa.

Kubiarkan kak Nely mengambil alaih kembali peredaran darahnya. Ia melempar pisau kecilku ke belakang tubuhnya. Memeluk boneka kecil di depannya.

"Maafkan Nely, Pa! Maafkan Nely!"

Aku terdiam di tempat. Dua kali. Ia membunuh papanya dua kali? Ia benar-benar tidak sanggup mengendalikan dirinya sendiri.

"Kak Fia, mana yang lebih sakit? Terluka di tubuhmu sendiri, atau melihat orang yang kau sayangi … terluka karena dirimu?"

"Bocah, sepertimu tahu apa tentang luka, huh?" balasnya dengan tangis dalam diamnya.

"Setidaknya aku tahu bagaimana rasanya dilecehkan. Tapi aku juga tahu, aku tidak ingin menjadi gadis sepertimu! DRA-MA-QUEEN!"

"Kau tidak tahu apa-apa adik kecil. Apa kau pernah dilecehkan secara seksual?"

Ia meletakkan boneka teddy lusuh itu di tanah dengan lembut.

"Apa kau pernah disakiti?"

Ia berdiri bertumpu pada lututnya kemudian berdiri tegak.

Tertatih aku mengambil pisau kecil yang tadi ia lemparkan.

"Apa kau pernah membenci manusia sepertiku?"

Ia berbalik menghadap ke arahku, "Kau tidak tahu apa-apa, adik kecil! KAU TIDAK TAHU APA-APA!"

Ia menembakkan riffle-nya ke atas.

"Maria, bahaya!!" Marcy berlari mengejar ke arahku. Nely yang marah mengarahkan senjata laras panjangnya tepat ke tubuhku.

Bunyi ledakan itu terdengar. Satu tembakan. Aku terdorong ke belakang. Terduduk di atas lututku. Darah mengalir dari lengan kiriku.

"MARIA! LARI!"

Laras senapan itu tepat mengarah ke kepalaku. Aku sudah pasrah, atas apa yang akan terjadi padaku. Kulihat dari ujung mata, Marcy berlari menyongsong kak Nely. Mungkin ia ingin menendang senapan itu jauh-jauh dari genggaman kak Fia. Sudahlah Marcy, tidak ada gunanya. Mungkin memang sudah seharusnya aku mati sejak dulu, Marcy.

Sudahlah, sudah saatnya aku pergi. Memang aku seharusnya aku tidak ada di Bumi.

"MARIA, TIDAK!"

Menyerahlah Marcy, menyerahlah!

"Tidak! Aku tidak akan menyerah! Mulai, sekarang, walaupun aku harus menyerahkan nyawaku, aku akan melindungimu, Maria."

Dengan ingatan manis itu, kupejamkan mataku. Kusambut suara tembakan itu dengan … senyum.

***

- Harapan Yang Mewujud Nyata, Kembalilah Marcy -



Suara tembakan memekakkan telingaku.

Aku terpaku di tempat. Terdiam. Luka tembakan di tangan kananku kembali mengalirkan darah. Tidak. Tembakan tadi tidak mengenaiku. Meskipun jelas, larasnya tadi mengarah kepadaku. Tidak. Tak ada rasa sakit sedikitpun dari ujung tubuhku hingga ujung kakiku. Kecuali satu luka tembakan di lengan kiriku, dan itu bukan dari tembakan barusan.

Di hadapanku, tersenyum dengan manis sebelum jatuh tersungkur dari posisi berdirinya, "MARCY!"

"Nanti, kalau kamu sudah sembuh aku beliin kamu lolipop deh, Mar. Tapi kamu sembuh dulu! Lihat ini kaki masih dibebat gini!"

Tidak! Tidak! Marcy! Aku berlari mengabaikan rasa sakit menyengat di lengan kiriku. Terseok aku mengangkat kepalanya yang masih setengah bernafas. Kubalikkan tubuhnya yang menelungkup ke arahku.

"Marcy, bangun Marcy, bangun!"

"Ap – pa-an sih ka-mu, Mar-ia? A-khu kan eng-gakh thi-dur!"

Aku tersenyum. Air mata di sudut mataku mulai menggenang. Ia menghapus sudut mataku dengan jemarinya yang berdebu. Ia mengacungkan jari kelingking kanannya ke arahku. Aku menatapnya dengan air mataku yang kembali menumpuk.

"Ber-jhan-jilah … uhuk …" darah berhambur dari bibirnya yang terbatuk. Aku tahu, tembakan tadi pasti mengenai organ dalamnya. "Berjhan-jilah pa-dha-ku, Maa-ria.."

Kembali ia mengacungkan kelingking kanannya padaku. Air mataku mengalir deras. Aku tidak terisak. Tapi rasa sesak ini sungguh tak dapat kubendung. Aku menggelengkan kepalaku padanya sebagai penolakanku atas kepergiannya.

"Berjhan-jilah pa-dha-ku, Maa-ria. Bah-wa kau … A-khan pu-lang!"

Sekali lagi, aku menggeleng, "Tidak! Kita akan pulang bersama! Kita akan pulang bersama, Marcy! Kita akan pulang bersama!"

"Khau ga-dis yang ba-ikh, Be-jan-jhi-lah pad-da-ku, Ma-ria Fel-las. Ber-jhan-ji-lah!" Kembali darah mengalir dari bibirnya. Aku mengangguk. Ia tersenyum melihat anggukanku. Kukaitkan jari kelingkingku pada jari kelingkingnya.

"Ak-khu, me-nep- phati jan-ji-ku, bu-khan? Wa-lau, de – ngan nya-wa, akh-khu, akan, me-lin-dung-ngi mu." Aku tersenyum mengiyakan kata-katanya.

"Akh-khu, te-lah me-nephathi, jan … ji …ku, Ma…ria." Dengan tersenyum, ia meninggalkanku. Marcy meninggalkanku.

Sekali lagi, ia menolongku.

***


Tangan itu menjamah kemejaku. Perlahan kancingnya ia buka.

"Anak kecil memang memiliki pesona yang lebih luar biasa."

Air mataku mengalir, tak bisa aku bersuara. Bibirku telah dibebatnya menggunakan sapu tangan. Aku tak mampu berteriak. Hanya bisa menangis. Dengan ukuran tubuhku, dan umurku yang jauhh lebih kecil dari bapak ini, apa yang bisa kulakukan?

Ia membuka rokku. Apa sebenarnya yang diinginkan bapak tua ini dariku? Aku masih kecil. Aku masih belum dewasa. Mengapa ia mengincarku? Bahkan aku belum menstruasi. Mengapa aku? Mengapa harus aku?

"Kau sungguh sangat cantik gadis kecil. Rambut merahmu. Kulit mulusmu. Sungguh aku sungguh memberikan keindahan tersendiri bagi orang-orang sepertiku."

Tuhan! Kau kejam! Dimanakah kau sekarang? Kau membiarkan aku mengecewakan guru yang kujunjung. Kau membiarkan aku dijamah oleh pria buruk rupa. Kau bahkan tidak mengirimkan siapapun untuk menolongku! Kau kejam! Kau kejam! Tuhan tidak berperasaan!

"Hei! Jangan ganggu, Maria! Dasar tua bangka! Cari istri sana!"

Ucap seorang bocah, sebelum akhirnya kulihat bapak tua itu berteriak mengerang. Darah mengalir dari bahu kirinya. Bocah itu terus menyerang si Bapak Tua hingga akhirnya si Bapak Tua itu pergi meninggalkan kami. Dari taringnya, aku tahu ia juga setengah Hewan.

"Hei, Maria? Kau Maria kan? Kau tidak apa-apa?"

Aku hanya bisa menangis. Ia menutupi tubuhku dengan kemejanya yang lebih besar. Ia membukakan ikatan bebat di mulutku. Ia juga membuka ikatan di kaki dan tanganku.

"Dengar, aku adalah teman satu sekolahmu. Namaku adalah Marcy Golas. Tadi saat pulang, aku mengikutimu dari ruangan pak Brewy. Aku ingin memberikanmu kado dan selamat atas kemenanganmu di olimpiade itu. Aku tidak tahu, yang mengikutimu ternyata bukan hanya aku."

Belum berhenti ia bicara, aku langsung memeluknya.

"Terima kasih! Terima kasih! Terima kasih!"

***
"Tolong! Tolong …"

Ia berteriak-teriak terus. Sudah satu jam sejak kami terpisah dari rombongan. Dan kami belum juga menemukan jalan. Malah berputar-putar saja di tempat.

"Sudahlah, Marcy! Menyerah saja! Tidak akan yang ada menolong kita di tengah hutan begini."

"Tidak! Aku tidak akan menyerah! Mulai, sekarang, walaupun aku harus menyerahkan nyawaku, aku akan melindungimu, Maria."

***

- Kau (Masih) Pahlawanku -



Perlahan, kulepaskan mayat Marcy dari dekapanku. Teriakan penonton mulai menggelegar, mengetahui salah satu lawan telah mati. Aku menatap tajam pada Kak Nely yang kini sedang me-recharge senjatanya. Mati. Mati. Mati.

Satu kata itu berulang kali kutuliskan masing di atas kepalanya.

"Aku berharap dapat bertemu denganmu dan membawamu pulang. Kini aku sudah menemukanmu, aku harap ini akan menjadi pertarungan terakhirku. Setelah ini, aku ingin kembali."

Bunuh mereka! Bunuh mereka! Bunuh mereka!

Otakku mulai memerintahkan kalimat itu berulang kali. Membawaku pada titik amarah yang paling tinggi. Terbayang jelas di pikiranku tawa renyah Marcy ketika kami sama-sama berhasil melakukan percobaan. Kebahagiaan ketika kami berhasil menciptakan sesuatu. Tawanya, amarahnya, sedihnya, senyumnya, kesungguhannya. Sakit.

"WAAAAArrrghhhh …" Tangisanku meledak. Semetara kak Nely masih fokus mengisi tenaga senjatanya.

Ada sesuatu di dalam diriku yang menggelegak. Sesuatu yang membuatku merasa dapat mengendalikan segalanya. Sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang membuatku mampu menghabiskan mereka dalam sekalinya.

Aku berlari menyerangnya. Di tanganku tergenggam pisau yang tadi ia lempar menjauh. Dengan berlari sekencang mungkin, kutatap wajahnya lurus, tepat di matanya. Belum sempat ia bereaksi, kuhantamkan pisau itu menusuk Kak Fia tepat di jantung.

Ia membeku sejenak, sebelum meluruh ke tanah.

Pisau kecilku masih tertancap di jantungnya. Jari jemariku juga masih dengan indah menggenggam erat pisau. Ia berlutut memandangku. Wajah kami sejajar. Senyumku terkembang melihat tatapan kosongnya.

"Kau tahu kak, di mana letak perbedaan kita?" Kak Fia menatapku dengan mata yang membeliak ketika mulai kugerakkan pisauku ke atas. Suara tercekat terdengar jelas dari dalam kerongkongannya. Bibirnya membuka dengan sudutnya yang mengalirkan darah. Pertanda bahwa luka dalam telah tercipta.

"Kita sama-sama terlecehkan!" Aku menarik pisaunya ke bawah dengan kuat. Menciptakan segaris luka lagi di tubuhnya.

"Kita sama-sama tersakiti!" kutarik lagi pisaunya ke atas, menciptakan sebuah garis miring.

"Kita sama-sama membenci manusia!" ketika kurasa sudah cukup, ku buang pisauku ke belakang. Kuhujamkan tanganku masuk ke dalam garis-garis yang kuciptakan di tubuh kak Fia. Menggenggam segepok daging dengan kuat.

"Tapi kau punya hati!" Kutarik keluar daging berdetak dari tubuh kak Fia yang sudah tak bernyawa itu. "Sedangkan aku, TIDAK!" Kujilat jantung yang ada di tanganku. Darah segar mengalir kekerongkonganku.

"Pemenangnya adalah MARIA FELLAS!!"

Aku mengangkat jantung itu ke atas. Menunjukkan dominansiku pada tubuh kak Fia. Menunjukkan bahwa akulah pemenangnya. Berharap Marcy melihatnya. Berharap Marcy tersenyum dan memberikan senyumannya … seperti biasa.

Air mataku kembali mengalir. Bersamaan dengan teriakan antusias seisi stadion. Tak ada yang memperhatikan, tapi mataku mengarah pada Marcy. It's for you, Marcy. Sayonara. Kau (masih) pahlawanku!

***


Dalam sekejap, suara menggelegarpun bergema dari seluruh stadion. Tak ada yang pernah menyangka seorang gadis kecil berumur 12 tahun, mampu memenangkan pertarungan ini.

Namun, tak ada pula yang menyangka, ada hati kecil yang menangis sepi dibalik tubuh kecilnya. Menatap jenazah, satu-satunya sahabat yang ia punya. Satu-satunya orang yang memberinya tempat di dunia selain orang tuanya.

Tak seorangpun.

***

14 comments:

  1. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  2. ["Aku sudah menemukan cara untuk mengubah bakteri di tubuh kecoa agar menjadi racun bagi kalangan mereka sendiri."]

    Ini discovery of the year! Wwkwkwkwkwk


    Weh? Nely dipanggil Fia?
    ._.

    Saya ketawa ngebayangin si Nely kejang-kejang, tapi masih sempet bertengkar sama babehnya, epic pisan, wkwkwkwkwk


    Lanjut~


    Maria ternyata jauh lebih sadis dari yang saya bayangkan. Dan dia juga (Nyaris) kena raep ya?
    ._.

    Gilee, itu nyabut jantung kayak ngambil rambutan aja, wkwkwk

    Btw, Mercy-nya mati...
    ._.
    **tabur bunga**

    OC : Sanelia Nur Fiani

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sial, amsih ada yang kelewat ternyata tulisan Fia-nya ._.

      Tadi malam pas nulis, Umi autowrite. ._. terus nulisnya Fia, abis selesai, baru sadar kalau harusnya Nely, terus edit Nely-nya satu-satu. Ternyata masih banyak banget yang kelewat ._.

      Maafkan Umi ._.

      Delete
    2. Akwakwakwakwakak~
      efek nulis ngebut sampe keyboard kebakaran yak? :D

      Fia mah mamanya Nely, istrinya LeonBeary~
      ._.

      Delete
    3. iyap :v

      dan dapetnya hanya 4k ._. kan sial ._.

      tapi ga papalag xD daripada WO XD

      Delete
    4. Kalau di word, bisa pakai fitur "find and replace" untuk mempermudah mengganti semua kata Fia menjadi Nely. Daripada diganti satu-satu ._.

      Delete
  3. Err, bukannya begitu Leon Beary (salah seorang anggota tim lawan) mati, Maria+Marcy langsung dinyatakan menang? I don't mind the gore, tapi setidaknya saya termasuk yang (agak sedikit) patuh sama aturan panitia. OC: Vajra.

    ReplyDelete
  4. Yep, kau kurang teliti soal persyaratan kemenangan di ronde ini.

    Karena seharusnya Maria sudah menang semenjak Leon tewas, maka pertarungan ini jadi terkesan terlalu mudah.

    Lalu soal kemampuan mengendalikan lawan melalui darah, Maria juga terlalu mudah mendapatkan lawannya dalam genggaman. Setidaknya buatlah agar Maria mendapatkan sedikit tantangan.

    Lagipula kalau sejak digigit Maria bisa mengendalikan tubuh lawannya, ia harusnya bisa bikin pertarungan cepat berakhir dengan cara membuat Nely bunuh diri.

    Zoelkarnaen
    (OC: Caitlin Alsace)

    ReplyDelete
  5. Saya suka awalan cerita Maria, gambaran dari kehidupan kelam si Maria dapat dan juga interaksi Maria dan Marcy sangat menampakan keeratan dua teman ini.
    Alur pertarungan terjadi terlalu cepat, tahu-tahu pertarungan sudah berakhir begitu saja. Juga kurang ada feeling jarak antar petarung, jadi seolah-olah mereka mulai bertarung sampai selesai dalam satu ruang yang cukup sempit.
    Entri ini pendek, hanya 4K saja karena pertarungan yang singat, meski ada momen emosional, tapi kalau dibandingkan dengan dua ronde Maria sebelumnya, entri ini terasa hampa...

    Sekian dari saya, terimakasih.
    OC : Renggo Sina.

    ReplyDelete
  6. AYE NGEVOTING MARIA FELAS

    kayaknye ini rada mendingan sih kalo di baca,,daripade lawannye si Nely,,,lebih padet, ringkes, berisi, langsung deh ke inti cerite,,, kagak gitu nyusahin pembace,,, terus aye rada suka ntuh ame bagian si pacar nye Maria tewas,,,ampun deh ini anak mude jaman sekarang,,masi bocah udeh main paacar- pacaraan aje

    kire- kire gitu komen aye

    Karakter aye ude kesingkir : Kumirun

    ReplyDelete
  7. Kuot di awal ceritanya berubah daripada yang di draft, yak? Hmm, untuk cerita yang dikebut menjelang deadline, sebenarnya ini tidak begitu buruk. Semua plot yang ingin dijabarkan bisa termunculkan, tetapi mungkin kurang maksimal di penggarapannya saja.

    Seperti kata Koh Andry, peraturan di opening panitia mengatakan jika satu saja antara OC atau partner-nya terbantai, maka pertarungan berhenti sudah, dengan kemenangan pihak lawan.

    Yang kurang dari entri ini sepertinya juga merupakan kelemahan Umi, yaitu meramu adegan aksi secara lebih mendetail. Kadang pembaca butuh yang seperti itu agar bayangan mereka lebih mantap dan dramatis. Tapi saya cukup suka pada bagian mengambil jantung xD serasa kayak FATALITY di game Mortal Kombat~~

    Nuansa gloomy-nya entri Felly ini juga saya suka. Tetapi di entri kali ini kurang ada sesuatu yang unik, yang bisa mengena di hati saya. Kalau di prelim misal ada hubungan imut antara Felly-Aushakii, kalau di R1 ada ceramah dari Asep. Kedua hal itu asik untuk menarik minat pembaca seperti saya.

    Good luck, Um. Teruslah menulis >.<

    Saya vote Umi untuk sesuatu yang lain, tapi untuk duel Nely-Felly ini saya vote Nelly >.<

    -

    PS: Lagi-lagi ada Hewan yang ditulis dengan awalan kapital xD

    ReplyDelete
  8. Kayaknya udah trademark penulis ya kalo bikin cerita ada semacem renungan pengantar dulu di awal

    Oke ini cepet, tapi dramanya lumayan dan ga berkesan dipaksakan. Saya juga suka teknik narasinya dan penggunaan bold buat penegasan step itu.

    Felly sama Nely ini sama" korban eksploitasi ya

    Begitu masuk battle, keliatannya emang r3 ini jadi ajang banyak oc buat ngupas tuntas baik masa lalu maupun kemungkinan kemampuan baru

    Tapi sayang banget agak fatal di sini, pertama soal aturan panitia yang harusnya cuma perlu salah satu kalah, dan kedua battlenya sendiri sebenernya bisa selesai lebih cepat, walau emang ga seru kalo kecepetan, tapi rasanya ada yang kurang aja di sana

    Pun demikian dibanding entri lawan saya masih lebih favor entri ini as a whole, jadi saya VOTE Felly

    Teriring harapan biar ke depannya bisa lebih fokus dan rapi lagi, dan ngasih sesuatu yang berkesan lebih buat pembaca

    ReplyDelete
  9. oke, saya dapat impresi umi lagi buru-buru karena mepet deadline sampai-sampai ga teliti soal aturan panitia.

    Kalau salah satu mati, maka tim lawan pasti menang. Kecuali cuma luka sabet (tapi masih bisa berdiri dsb)

    Cuma, karena di sebelah terlalu banyak ecchi dan saya ga nyaman bacanya

    Vote saya jatuh ke Maria Fellas


    OC : Kazuki Tsukishiro

    ReplyDelete