4.9.15

[ROUND 3] MIMA SHIKI REID - EYE OF THE SKY

Eye of the Sky
::
Air liur, bercampur darah, dan juga sentuhan bibir ke bibir yang bukan hanya menyelamatkan, tapi juga mengkomunikasikan berbagai gejolak. Rasa sakit dan kecewa, muak yang memuncak, telah bercampur menjadi satu.
"Wildan," Mima berbisik.
Aku bukan dokter. Aku tidak semulia mereka…
Wajah si anak malaikat itu hanya berjarak sesenti dengan wajahnya. 
Aku benci situasi ini. Ingin rasanya kubunuh…
"Wildan!" panggilnya sekali lagi. Dan dipukulnya sekali lagi dada Wildan yang telanjang.
Bangun, sialan…
Wildan terbatuk. Satu tarikan nafas panjang berbunyi dari mulutnya, seperti berusaha meraih kembali setengah nyawanya yang mungkin sempat terlepas. Tubuhnya sempat mati sejenak.
Seandainya saja suplai kehidupan itu, udara itu tidak mencapai otaknya… 
Nafas Wildan masih terengah-engah, seolah mengais-ngais udara. Padangan matanya masih nyalang, mengambang. Wildan berlumuran darah.
Mima menghembuskan nafas lega yang samar. Kepalan tangannya di dada Wildan mulai mengendur. Lalu perlahan, ia menjauh, sambil menyeka bibirnya yang basah.
Orang bilang, menolong itu baik. Tapi tidak selalu. Menolong bisa diikuti berbagai macam situasi jiwa. Menolong karena terpaksa, menolong karena terdesak, menolong dengan perasaan jijik… 
Bekas bibir anak itu masih terasa jelas disana.
Kedaruratan itu mengembalikan kewarasaannya sebagai seorang wanita yang sudah menikah.
Apakah suaminya tahu? Apakah suaminya melihat?
Apa… yang akan dipikirkannya ketika melihat dirinya melakukan perbuatan itu?
Lintas satu dimensi dari tempat itu, Jade membeku di depan kursinya. Kacamatanya memantulkan cahaya dua layar laptop di depannya. Satu laptop berfungsi sebagai alat komunikasi dan pengendali, kmudian laptop lainnya yang lebih besar memperlihatkan kondisi lapangan koloseum Amatsu. Citra di layar laptop kedua memang sedikit buram, karena debris dan polusi, suaranya gemerisik, tapi memperlihatkan cukup jelas apa yang dilakukan Mima kepada Wildan. 
 "Weasel, kau melihat situasinya, bukan?" Jade berkata tanpa menoleh.
Weasel Reid, berdiri di belakangnya, berdiri kaku dengan sinar mata terluka.
Mima. Mima dan lelaki itu.Mereka…
Darahnya terasa mendidih hingga ubun-ubun.
"Aku harus kesana, Jade." Suara Weasel terdengar penuh dendam. "Kirim aku."

;
;
;
;

Section 1.
Chaos
::
--Tiga jam sebelumnya --
Life, sometimes go beyond expectations. Hidup, kadang berjalan di luar dugaan. Kejutan muncul tanpa permisi, memaksa mengubah jalur atau rencana hidup manusia.
Kabar baiknya, manusia adalah makhluk paling adaptif, ia dianugerahi akal untuk menyesuaikan diri terhadap perubahan. Kalaupun akal tidak bekerja, masih ada insting dan naluri yang memperingatkan akan datangnya bahaya.
Kabar buruknya, adalah manusia tak bisa memprediksi kapan, bagimana, atau dimana kejutan itu datang. Semakin tidak siap, akan semakin sulit manusia menyesuaikan diri dan move-on. Tertama bila manusia berpikir mereka berada di masa paling baik, di tempat paling aman, dan di situasi paling kondusif dimana semuanya tampak terkendai.
Lalu bum… terjadilah kejutan. Sesuatu yang membelokkan semuanya dengan tiba-tiba.
Untuk kejutan-kejutan besar yang datang tanpa diduga, dan berefek massif, menghancurkan hamper semua seni kehidupan, menyudutkanmu hingga kau arus berjuang hanya untuk sekedar bernapas, kita menyebutnya bencana. Kekacauan. Chaos.
Itulah yang dihadapi Hewanurma dan kawan-kawan saat ini. Setelah masalah virus di tiap lokasi ronde kedua selesai diatasi, Tamon Ruu kembali menghilang tanpa pesan; meninggalkan ia dan para programmer untuk beristirahat sejenak setelah kerja yang panjang. Hewanurma, untuk pertamakalinya setelah begadang berhari-hari, memutuskan untuk tidur.
Namun, baru saja Hewanurma menutup mata, sebuah ledakan terjadi.
Ledakan yang menghancurkan benua Alforea.
-o0o-
Waktu ledakan terjdi, Mima masih menelepon, sementara Frost telah berangsur-angsur dipulihkan lukanya oleh maid medis.
Bicara dengan kedua anaknya membuat Mima kembali bersemangat. Philla curhat karena sering dimarahi Weasel akibat terlalu banyak makan cokelat dan malas sikat gigi di malam hari. Tapi ia senang sekali Jade tinggal bersama mereka, karena om mereka itu baik hati dan pemurah. Sepertinya Jade akan jadi pangeran tampan versi Phila kecil, Mima mencium tanda-tanda elder complex.
Perasaan Mima terasa berat ketika ditanyai gadis kecilnya, "Kapan Mama pulang?".
Mima hanya menjawab: "Segera, kalau pertadingan sudah selesai,"
Lalu berganti ke Orlick, yang seperti biasa sama cueknya dengan sang ayah. Di luar dugaan, ia mengatakan kalau mamanya keren, bertarung di negeri antah berantah, dan seandainya bisa ia ingin menceritakan pada semua temannya tentang Alforea dan Battle of Realms. Kalimat-kalimat Orlick menyuntikkan semangat tersendiri untuk Mima. Tapi Ayahnya melarang, dan Mima juga bilang lebih baik Orlick menahan keinginannya itu. .
"Bagaimana dengan olimpiade matematikanya?" Tanya Mima. "Apa kau bisa ikut tahun ini?"
"Menunggu pengumuman tingkat nasional," Jawab Orlick. "Mereka harusnya menerimaku. Aku 'kan jenius."
"Jangan terlalu yakin, jagoan," Mima memperingatkan, "Tetap berjuang."
"No problemo, mom."
Untuk Mima kejutan dmi kejutan dalam bentuk tantangan tiap babak di Battle of Reams, tak seperti kejutan yang datang kepadanya sekitar setahun lalu, yang menuntunnya pada kputusan untuk mengikuti Battle of Realms.
Kejutan itu datang tidak dengan tiba-tiba, namun seperti musuh licik yang menyelinap diam-diam lalu mengintai di kegelapan. Ia mengetahuinya ketika mengantar Orlick untuk mengikuti ujian bakat matematika yang direncakan digunakan sebagai seleksi awalpeserta Olimpade tingkat Internasional. Orlick dijadwalkan mengikutinya, karena ia termasuk salah satu siswa yang pintar. Skor Orlick cukup memuaskan, meskipun gagal untuk masuk seleksi nasional sebagai peserta Olimpiade sains junior Internasional.
Tapi Mima menangkap sesuatu yang aneh.Dari cerita Orlick, ujian itu bukanlah ujian biasa. Namun kecurigaannya membutuhkan pembuktian terlebih dahulu.
Setahun berselang, Orlick kembali mengikuti ujian yang mirip di kelas empat. Kali ini Kepala sekolah memuji Orlick sebagai siswa berpotensi, yang diperkirakan akan lulus tingkat nasional dan melaju mengikuti Olimpiade sains junior tahun ini.
Mima menemukan satu kecurigaannya terbukti. Pola ujian yang sama. Kode yang sama. Sesuatu yang hanya ia dan beberapa Eqilibrium survivor lainnya yang masih tersisa.
Keluarganya berada dalam sebuah penjara tanpa terali. "Mereka" masih menginginkan Ekuilibrium. "Mereka" masih mengejar generasi terakhir Ekuilibrium yang tersisa.
Atau, berusaha membentuk generasi baru.
Jade pasti mencium hal ini.
Tapi Weasel, entahlah…
Adabeberapa hal yang Weasel tak tahu, dan lebih baik, ia tak perlu tahu.
Yang pasti, Mima mencintai lelaki itu, sepenuh hatinya.
Begitu mencintainya sehingga tak ingin kehilangan….
"Setelah ini, kau akan masuk ronde tiga." Suara Weasel terdengar menyejukkan. Berat, dalam, dan nadanya datar. Seperti suara Batman the Dark Knight yang pendiam. Weasel adalah sosok laki-laki yang terlihat jahat, namun hatinya teramat lembut.
"Ya, sayang."
"Jaga dirimu baik-baik, dan jangan macam-macam…"
Dan telepon terputus tiba-tiba. Suara gemerisik seperti TV memotongnya tiba-tiba.
Mima mengamati telepon. Tak ada sinyal yang terlihat.
"Mima, Frost, segera naik ke portal!" Zarid tiba-tiba berteriak panik.
Masih tak mengerti apa yang terjadi, keduanya melompat naik ke dalam portal pintu dimensi, kali ini, tak seperti biasanya, tanpa diikutimaid pemandu. Bakan Zarid pun tidak ikut naik. Pintu portal langsung menutup begitu mereka di dalam.
Lalu terdengar gemuruh keras.
Lorong antar dimensi berguncang keras. Membolak-balikkan mereka di dalam terowongan portal. Keduanya bagai dua makshluk tak berdaya yang terkocok-kock dalam botol membal berdinding hitam keunguan. Seperti berada di tengah-tengah gempa.
"A-apa yang terjadi?!" Teriak Mima pada Frost.
"Aku tidak tahu!" Frost menjawab sama paniknya, sambil memegangi kepalanya yang masih terbalut.
Setelah hampir semenit, guncangan berhenti dan suasana menjadi sunyi. 
Lalu ujung portal membuka, meluncurkan mereka ke sebuah tempat baru.
Tubuh keduanya berdebam di atas rumput yang empuk, dan dengan segera portal menutup kembali tanpa penjelasan.
"Dimana kita?" Frost menoleh, mengamati sekeliling.
Hawa udara yang murni dan penuh kedamaian, mereka berada di hamparan padang rumput luas yang masih berembun, dengan latar pemandangan indah dan perbukitan penuh pepohonan lebat nan hijau. Suara burung bercuit-cuitan, Mima merasakan dinginnya tetesan mebun di tangan dan semilir angin dari udara yang murni.
Ini bukan Alforea. 
-o0o-
"…Mima?" Di dunia manusia, Weasel memanggil. Hanya suara gemerisik halus yang terdengar.
"Kenapa?" Jade yang juga berada di tengh-tengah mereka, bertanya penasaran.
"Tiba-tiba putus." Jawab Weasel.
Jade berdiri, langsung melangkah cepat menuju kamar pribadinya.
"Semua baik-baik saja, bukan?" Weasel berdiri mengejarnya.
Sebagai sesama tentara bayaran, keduanya tahu, telepon yang tiba-tiba terputus bisa berarti sesuatu yang buruk telah terjadi.
Orlick dan Philla, melihat ayahnya berdri dengan gestur panik, langsung kehilangan minat untuk tidur lagi. Orlick yang cerdas dan tahu situasi, menyuruh adiknya untuk tetap diam di tempat tidur.
"Urusan orang dewasa, Philla. Mama sudah pesan, jangan ikut campur kalau Daddy dan paman sudah bicara seriusatau saling teriak."
Di dalam kamar pribadinya yang remang, Jade langsung membuka laptop.
"Semoga semua baik-baik saja. Aku akan menghubungi Tamon." 
"Kaubilang itu hanya permainan di sebuah Realm, takkan ada yang mati dalam arti sesungguhnya." Weasel berkata dengan ekspresi cemas, yang jarang sekali diperlihatkannya. 
"Tamon Ruu bilang begitu." Jade mulai mengetikkan beberapa perintah. "Tetapi, ia juga mengatakan kemungkinan adanya penyusup. Dari tahun ke tahun kompetisi itu selalu mengundang perhatian banyak pihak. Sepertinya, kali ini juga."
-o0o-
Para peserta semuanya berkumpul tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi.Namun, diantara mereka semua, ada satu kesamaan peristiwa; guncangan besar, yang membuat mereka berjumpalitan terkocok-kocok dalam portal antar dimensi. Bahkan ada yang masih dalam keadaan bertarung, yang tiba-tiba ditarik oleh maid untuk masuk portal, dan portalnya langsung menutup sementara lawannya belum sempat masuk.
Akhirnya, mereka sepakat untuk ramai-ramai menyusuri jalan setapak yang tak jauh berada di sana. Mima kembali bertemu Vajra dan bu Mawar, dan Frost kembali bertemu Tan Ying Go. Ada juga Dyna Might dan Ananda.Tapi Mang Ujang dan Aragon tak terlihat. 
Di ujung jalan setapak, mereka bertemu gadis cantik yang sedang menyapu halaman bangunan seperti kuil.
Apa yang terjadiselanjutnya pada para peserta bagai bola yang bergulir dengan cepat. Mereka ternyata berada dalam Amatsu, sebuah lokasi di planet Sol Shefra yang juga digunakan sebagai lokasi ronde ketiga. Dan tidak seperti ketentuan ronde sebelumnya, semua peserta yang berada di Amatsu otomatis lolos sebagai peserta ronde tiga. Jadi, ada kemungkinan Mima berhadapan lagi dengan Frost dan kelompoknya di ronde satu.
Aturan langsung diumumkan dengan cepat, seolah tak memberikan waktu bagi para peserta untuk berpikir atau beristirahat. Mereka akan bertanding satu lawan satu di sebuah koloseum kuno, berikut dibantu sebuah monster milik masing-masing. Kalau peserta tidak membawa monster atau ridak bisa memanggil, pihak panitia akan menghubungi sponsor atau orang terdekat peserta untuk mengirimkan sebuah monster dari dunia asal peserta.
Atmosfer diantara para peseta yang berkumpul langsung berubah. Tadinya mereka semua diliputi pertanyaan mengapa di-teleport tiba-tiba ke Amatsu, namun kini, semua menjadi saling melirik dan mengukur kekuatan. Keharusan bertanding di sebuah koloseum bersama monster, pun menambah ketegangan tersendiri.
Ronde tiga teah siap dihelat, satu-lawan satu, dan undian juga langsung dilakukan dengan cepat.
-o0o-
Akhirnya, setelah beberapa menit, laptop Jade berkedip. Ada pesan via chat messengeryang masuk, dari seseorang dengan nama akun "TMN".
Pesan pendek hanya dua kalimat, yang membuat seluruh indera kedua lelaki itu waspada dalam sekejap, sekaligus membuat perasaannya mereka menghampa tiba-tiba.
TMN: Alforea hancur. Dimas Pamungkas berhasil.
Weasel terpaku di tempat. Matanya membelalak tak percaya.
Jade langsung membalas dengan ketikan cepat, menggunakan akunnya, MRC, kependekan dari Mercenary, nama kelompok tentara bayaran yang dipimpinnya.
MRC: Mima?
TMN: semua peserta aman di server Amatsu, meskipun tempat itu belum stabil.
Pertandingan juga tetap dilanjutkan.R3 akan segera dimulai.
Weasel dan Jade menghembuskan napas lega. "Yang penting dia selamat."
MRC: bagaimana kemungkinan Mima lolos R3?
TMN: sulit.
"Kalau nyawanya terancam, tarik dia." Weasel berkata pada Jade. "Suruh dia pulang."
Jade menggeleng. "Tidak semudah itu, Weasel. Sol Shefra berada di dimensi lain. Dan tidak semudah itu untuk mengundurkan diri dari BoR.Dan, Mima telah menadatangani kontrak dengan panitia." lalu ia kembali mengetik.
MRC: mengapa sulit?
TMN: di R3 ini semua peserta diundi satu lawan satu. Mima tidak punya kekuatan. Tidak god-like. Lawan2nya cukup tangguh. Ditambah lagi, di Ronde 3 ini ia harus bertarung dengan partner monster dari dunia masing-masing.
Sulit, karena tidak ada monster di duniamu.Monster apa yang akan kau kirim?
Jade menoleh, menatap Weasel. Weasel mengangguk spontan "Kirim aku ke sana."
MRC: apa aku bisa mengirim seseorang ke sana?
TMN: tak bisa sekarang. Server benua Amatsu punya kode tersendiri yang berbeda dengan Alforea. Membuka portal antar dimensi dengan koordinat Amatsu tak mudah, perlu waktu untuk itu. Kau hanya bisa mengirimkan monster sebagai partner, sesuai instruksi.
Jade dan Weasel mendesah kecewa.
"Kita harus membantu Mima. Kita harus kirimkan sesuatu yang mematikan… dan sekaligus tak merepotkan. Tidak boleh tanggung-tanggung." Jade berkata, ada senyuman licik menyungging di ujung bibirnya.
"Kirim Orb."
Suara datar Weasel mengejutkan Jade. Jade tak menduga Weasel akan menyebutkan nama itu.
"Jangan tanggung-tanggung, kau bilang."
Jade tersenyum. Weasel adalah seorang family man, tapi Weasel juga ternyata bisa berubah mengerikan ketika bicara tentang keselamatan istrinya. Mengirim Orb, senjata rahasia militer termutakhir yang baru-baru ini berhasil di-hack oleh Mercenary adalah ide brilian.
MRC: monster itu bisa apa saja, bukan?
TMN: Apa saja. Organik, mutan, android. Besar dan kerumitannya akan mempengaruhi lamanya waktu transfer ke Amatsu.
Jade menyeringai.
MRC: kita punya monster besar. Sangat besar.
::
::
::
Section 2.
Humiliated Mother
::
Pertandingan dimulai sebentar lagi. Colloseum berupa sebuah cekungan datar dengan lapangan besar berumput, dengan bangunan-bangunan dari kayu dan beratap jerami di sekitarnya, berfungsi sebagai tribun.  Para penonton menonton di sekeliling lapangan, ada yang duduk di tribun, menggunakan kursi berkaki tinggi, tangga-tangga, bahkan menonton dari atas atap tribun.Semuanya tampak antusias menyaksikan pertarungan. Satu tribun tampak lebih tinggi dan lebih mewah dari yang lain, dan bagian bawahnya berfungsi sebagai tempat berkumpul peserta.
Seorang pembawa acara--atau manusia ikan, tepatnya, memandu acara di ronde berikutnya. Namanya Tarou,pemukaan kulitnya bersisik merah jambu, megenakan pakain tradisional Amatsu warna hitam, dan matanya kuning membeliak menyeramkan. uaranya keras menggelegar, ketika menyuruh para hadirin dan peserta menghormat pada tamu kehormatan yang juga menonton laga.
Tamu kehormatan itu adalah seorang puteriyang dikelilingi pengawal. Ia berdiri di tribun kehormatan, anggun dalam pakaian ningrat mirip kimono Jepang zaman Heian, lalu duduk dengan khidmat di tahtanya. Wajah sang putri itu cantik dengan bentuk wajah dan dagu sempurna, alis melengkung dan bibir bergincu merah, sayang dengan pupuran setebal cat tembok. Ialah putri bangsawan penguasa Amatsu, Netori, yang menguasai Amatsu dan pertandingan ini.  
Yang Mulia Netori, mengangkat tangan kanan seolah memberkati, menandakan dimulainya pertandingan. Tarou bersiap untuk memulai partai yang pertama.
"Kita akan memulai pertadingan pertama, antara dua individual dengan beda kemampuan bagai bumi dan langit," Tarou mengambil jeda sebentar, lalu mengintip catatan kecil yang dibawanya.
"Seorang anak lelaki dari alam liar, desa Valtessa asalnya, hutan dan gunung tempat bermainnya;berbekal sabit besar kembar, ia mencoba menaklukkan pertandingan terbesar abad ini; dia akan ditemani monster peliharaannya yang buas bercakar elang, yang bisa berganti-ganti wujud menjadi manusia singa yang mengaum ganas; The Florian Lightning Warrior, penguasa halilintar sejati…WILDAN HARIZZZZZ…!"  
Dari satu bangunan kayu di sisi lapangan, Wildan melangkah mantap dengan kegairahan siap bertarung. Di belakangnya, sang monster, Alvamao, mengikutinya dalam wujud harimau putih.
"Namun kemudian, dengan menyesal harus kusebutkan, seseorang yang tidak beruntung melawan the Sanctuary Boy ini adalah seorang wanita;" suara Tarou merendah, memelan seolah-olah bersimpati.
"Lawannya adalah seorang manusia biasa, mantan anggota korps kepolisian yang terkenal arogan, ibu rumah tangga beranak dua yang kurang piknik; eh, sebentar… mengapa ia ada di sini? Karena dia ingin berlibur! Karena dia jenuh terkurung di dapur melayani suami dan kedua anaknya! Bayangkan!!"
Hadirin tertawa riuh bahkan termasuk Yang Mulia Netori.
Mima tahu, ia sedang dijadikan bahan lelucon.
"… saya telah mengecek beberapa kali, dan benar, ia hanya membawa pisau dapur, garpu, juga tongkat tumpul yang bisa memanjang dan memendek. Astaga, senjata terakhir ini mengingatkanku pada sesuatu…. Ah-ah-ah-ah…..!" Tarou melakukan gerakan seperti mengocok di bawah pinggangnya, disertai desahan birahi. Penonton tertawa-tawa, Netori pun terpingkal-pingkal di kursinya. 
Di tempat peserta menunggu, beberapa orang menunjukkan raut muak, termasuk Vajra dan bu Mawar. Tapi beberapa yang lain ikut tertawa, ada yang ditahan da nada yang sengaja diperlihatkan.
"Jangan pedulikan kata-katanya, mbak." Sahut Vajra.
"Sabar ya, Ms." Bu Mawar meraba bahu Mima.
Mima tak mengatakan apapun; raut wajahnya mengeras dengan rahang terkatup rapat.
Tangannya mengepal. Belum pernah ia merasa segeram ini.
Pistol. Seandainya ada pistol… akan kuperlihatkan pada kalian, peluruku yang melesat cepat.
Tapi, ia menatap kedua tangannya.
Kosong.
"Tapi jangan salah; nyonya ini akan ditemani sebuah monster yang luar biasaaaaaa…." Tarou mengayunkan tangan, seolah menunjukkan besarnya monster Mima, lalu mengakhrinya dengan tangan dan telunjuk yang bertemu,
"… kecil."
Tawa riuh kembali terdengar.
Node, benda sebesar bola tenis yang melayang pelan di sebelah kanan Mima hanya berdengung pelan. Bola itu berpendar seperti snitch dalam film Harry Potter kesukaan Orlick. Hanya saja, ia tak bersayap.
Ya, Mima sendiri tak begitu tahu apa fungsi node bernama "Orb" itu. Tahu-tahu panitia Amatsu memberikannya benda itu sebelum pertandingan, sebagai "monster kiriman" untuk membantunya bertarung. 
"Benda itu dikatakan sebagai sesuatu yang dikirimkan oleh sponsornya, seorang pria yang bernama Jade dari Mercenary… semoga saja ini tidak menambah cicilan kredit rumah tangga (penonton kembali tertawa) yang sampai saat ini kemamuan dan fungsinya masih dipertanyakan..." Taro melanjutkan leluconnya. "… semoga saja 'senjata' itu tak mandul.." penonton kembali tertawa keras-keras.
Fata geleng-geleng kepala, mendengar Tarou berbicara. "Si Kampret itu omong besar; ditembak laser baru nyaho dia." Lalu dia menengadah ke atas, menatap langit. "Kayaknya proses teleportnya masih lama, deh. Barang segede gaban, gitu."
Meredy, tak jauh dari Fata, juga menatap langit. "Orb, Orb, siapa gerangan Mercenary yang bisa membajak sistem militer secanggih ini? I'm feeling lucky today, to see such a fight…"
Di sebelah Fata, Frost dan Ying Go berdampingan. Ying Go, sebagai seorang tentara yang paham dunia militer, juga mengetahui apa itu Orb. Tapi ia tak mengatakan sepatah katapun tentang Orb.
"Keliru sekali mereka meremehkan Mima. Aku saja dikalahkan olehnya," Frost mendesah, antara minder dan berkelakar."…aku yang menguasai elemen es, dikalahkan ibu-ibu yang sedang berlibur."
Ying Go tak bisa menahan diri untuk tersenyum spontan.   
"Kau percaya dia benar-benar datang untuk berlibur?"
Di arena, Tarou telah berteriak lantang. "MIMA SHIKI REID!" 
Mima melangkah ke tengah arena dengan langkah mantap. Baju tradisional khas Amatsu warna biru muda dikenakannya sebagai pengganti kaosnya yang sudah robek-robek. Panitia Amatsu memaksanya untuk ganti baju karena pakaiannya dianggap tak layak.   
Baju longgar lengan panjang itu berkibar di tiup angin, memperlihatkan pinggangnya yang ramping, dimana dua senjatanya, pisau dapur dan tongkat baton diselipkan di pinggul. Garpu-garpu ada di saku, sedang semprotan mericanya hilang entah dimana waktu bertarung dengan Frost.
"Apakah monster kalian berdua sudah siap?" Tanya Tarou.
"Ya!" Widan memanggil monsternya, yang maju selangkah mendekat.
"Aku punya dua, Alva dan Mao. Tapi karena hanya boleh menggunakan satu monster, maka mereka akan kuatur untuk muncul bergantian." Wildan menerangkan. "Panggil saja mereka Alvamao. Saat ini, ia adalah Mao."
"Bagaimana dengan kau, Mrs Reid?"
"Aku punya Orb." Mima menunjuk node yang terbang pelan.
"Kemampuannya?" Wildan bertanya.
"Aku tak tahu," Mima menjawab kecut.
"Sebentar, lalu bagaimana caramu bertarung denganku?" Wildan mengerutkan kening,nampak ragu.
"Dengan senjataku, tentu saja." Mima mengacungkan pisau Ace-nya.
"Peralatan rumah tangga?" Tarou berkata tak percaya. Penonton kembali tertawa.
Mima memprotes. "Memangnya kenapa? Ini pisau tajam yang bisa memotong tulang dan baja."
"Kalau itu, aku juga punya." Wildan mengeluarkan sabitnya yang besar. "Sepasang."
Penonton sekali lagi menertawakan Mima yang dengan gagal membanggakan pisau Ace-nya dibanding panjangnya sabit Wildan. Sepasang, pula.
"Kau sengaja,ya? Supaya kelihatan lain sendiri diantara kontestan lain?" Wildan menuduh dengan wajah polos. Atau supaya… dikasihani? Wildan melanjutkan dalam hati, menahan diri untuk tidak kceplosan mengeluarkan kalimat yang menyinggung Mima.
"Buat apa? Aku tidak gaya-gayaan untuk bertanding disini, tahu." Jawab Mima ketus.
Aku punya misi, Mima membatin alam hati.
"Kau tak mugkin bertahan di kompetisi ini tanpa punya kekuatan, tahu? Pistol saja kau tak punya." Tambah Wildan, yang membuat wajah Mima semakin masam.
"Yang kalah adalah yang mati atau tidak mampu berdiri lagi." Mengacuhkan perdebatan Wildan, Taro menjelaskan peraturan singkat. "Cara apapun boleh."
"Maaf, nyonya." Wildan menundukkan kepala sejenak, seolah meminta ijin. "Kalau begitu, aku akan membiarkan Alvamao menonton pertarungan ini saja, sebelum kemampuan Orb-mu diketahui."
Tapi Mima sudah terlalu kesal untuk menerima permohonan ijin Wildan, ia hanya berbalik membelakangi untuk berjalan mengambil posisi, sambil mengambil tongkat baton ASP-nya dan mengibaskannya. Tongkat itu langsung memanjang dalam sekejap. Lalu ia berbalikmenghadap Wildan dengan waspada, tongkat di kanan, pisau di kiri.
"MULAIIII!" Teriak Tarou.
::
::
Section 3:
Ursa MajorDance of Death
::
::

Wildan tahu, kalau lawannya adalah ibu-ibu. Namun, wanita itu masih dalam kondisi prima, dan juga dikatakan cukup berbahaya. Ia diberi advis untuk berhati-hati, karena Mima sangat bagus di pertarungan jarak dekat. Ia tak mau meremehkan, tapi juga agak kasihan, karena pada pertarungan ini, baik monster maupun kemampuan Mima jelas di bawah standar. Ia punya petir dan sepasang sabit besar, dan punya Alva-Mao. Mima, hanya bela diri dan pisau dapur yang pendek, juga bola kecil seperti node terbang yang entah apa kemampuannya.
Maka, setidaknya agar pertarungan lebih seru, Wildan memutuskan untuk membiarkan Mrs. Reidmenyerang duluan.
Tapi ternyata, Mima juga hanya berdiri menunggu.
Wildan juga.
Beberapa puluh detik, hingga mencapai dua menit yang terasa lama, yang diisi komentar-komentar Tarou yang seperti narator acara wrestling bohongan. 
Masuk menit ketiga, Wildan mulai tak sabar.
"Kenapa kau tidak menyerang?" Wildan bertanya.
Mima tak menjawab. Ekspresinya tak berubah dengan kuda-kuda siaga, tangan kanannya menggenggam rileks tongkat baton ASP miliknya.
"Seranglah duluan, aku tidak biasa menyerang seorang ibu." Bujuk Wildan.
Mima hanya tersenyum tipis. Tapi tetap tak bergerak.
Taro mulai berteriak untuk memancing salah satu kontestan agar menyerang. "Ayo, Mama! Ajari anak itu bagaimana caranya bertarung tangan kosong! Ayo, Wildan! Sayangi Mama dengan menghentikannya di babak ini! Para monster, ayo menyerang!"
"Berisik." Keluh Wildan. Tapi lawan di depannya tetap tak bergerak. Baiklah, aku akan menyerang duluan.Wildan mulai memasang kuda-kuda untuk menyerang.
Lalu ia maju, menyabetkan sabit dari dua arah, dari atas dan samping. Untuk mengepung lawan.
Mima menangkis serangan pertama dengan baton, Suara baja yang berbenturan terdengar seperti dentingan pedang.
Wildan menyusul dengan serangan kedua dari samping.
Mima melompati ringan sabit itu, seolah-olah punya kemampuan meringankan tubuh, Mima menginjaknya dengan satu kaki hingga sabit terhentak ke tanah. Lalu ia menundukkan tubuh, satu kakinya yang memutarcepat ke atas dengan kelentukan yang mengagumkan,menendang pegangan sabit dengan tumit kakinya, setelah memutar tubuh, ia langsung melancarkan satu tusukan ke arah leher Wildan.
Gerakannya aneh. Dan lentur.
Wildan, tak menduga serangan yang aneh itu, mengelakkan tubuhnya ke samping. Ia melangkah mundur, menarik satu sabitnya.
Mima mengayunkan tongkatnya ke bawah, menghambat jalur pergerakan rantai, dan pisaunya juga ikut terayun cepat. Suara dentingan terdengar lagi, kali ini suara rantai yang patah.
Wildan kehilangan satu sabitnya.
"OOOH! Cepat sekali!" Taro berkomentar.
Wildan mundur dengan waspada, kemampuan Mima membuatnya terkejut.
"Wah, ternyata kau lebih cepat dari yang dikatakan orang-orang," Wildan memuji."...dan jurusmu tadi… menangkis dengan kedua kaki dan tangan, sambil menyerang sekaligus dengan tangan lainnya…hebat…"Wildan harus mengakui kalau pertarungan ini sedikit membuatnya bergairah.
Mima tersenyum. Dipungutnya sabit milik Wildan,mematahkan pegangannya dengan pisau dapur, melempar jauh sabit milik Wildan.
Memorinya mengirim kilasan sejenak, masa lalu ketika sang Profesor mengajarinya gerakan itu, di malam hari saat langit malam di perbukitan Bezkal begitu cerah.
[Ketika kau berhadapan dengan orang lain yang senjatanya lebih panjang, jangan gentar. Kau selalu bisa memperpendek jarak dengan ini; The Modified Big Dipper. Tarian pedang dengan tujuh tusukan mematikan. Seperti rasi bintang yang paling terang, Ursa Major yang terdiri dari tujuh bintang….]
Lelaki itu menunjuk ke langit malam dimana rasi bintang Ursa Mayor, terlihat sebagai gabungan tujuh bintang terang di langit
"Ini bisa mematikan." Mima menyahut polos.
Sang professor tersenyum. Lalu membelai rambutnya dengan lembut.
Suaranya yang terdengar bagai robot karena alat bantu bicara, terdengar kembali.
[Ketika kau mengangkat senjata, bahkan menggunakan kuda-kuda tangan kosong… kau harus selalu siap menghadapi kemungkinan membunuh…
… atau dibunuh.] 
Mima memasang kuda-kuda, kini ia memiliki dua tongkat. Baton di tangan kanan patahan gagang sabit di kiri. Node berbentuk bola melayang di sampingnya dengan pasif.
"Maaf, aku pinjam sabitmu."
Menghadapi Wildan yang berdarah muda, mempermainkan kesabarannya adalah satu opsi strategi. Mima sudah memikirkannya sejak awal. Maka, karena ia juga tak paham bagaimana kemampuan 'monster' node yang dikirimkan Jade, Mima memilih untuk bermain defensif. Ternyata hanya memerlukan waktu tiga menit untuk Wildan menyerang duluan.
Tetapi Wildan tak memilih menunggu kembali. Ia mulai mengerahkan kekuatan, tubuhnya mulai mengatur ancang-ancang, ia memejamkan mata, dan keretakan kilat mulai bermunculan dari sekujur tubuhnya.
Kelemahan dari serangan sihir adalah… kau akan selalu menghabiskan sekian detik hanya untuk mempersiapkannya.
Mima melangkah panjang, lalu menyerang dengan menusuk, menjulurkan tangan dan tubuh, dengan satu kaki terangkat ke belakang bagai penari balet, gerakan yang ditunjukkan sedikit lain dengan yang pernah ia lakukan sebelumnya.Dua detik itu cukup.
Untuk Wildan yang sakti dan bersabit, Equilibrium yang digunakan bukan yang level dasar lagi.
Meskipun Mima, tahu, resiko menyerang langsung adalah terkena serangan petir.
"Dazzling Shockwave!"Gelombang kejut berwarna putih terlepas dari tubuh, bberapa membentuk ujung halilintar yang mencari-cari sasaran.
Mima mengganti langkahnya dari lurus menjadi memutar, sekaligu menangkis serangan Wildan. Arahpetir pun berbelok.
"OOOOH! Rupanya tongkatnya bisa digunakan untuk menangkis serangan sihir!" Tarou berteriak terkejut.
Serangan berganti, ganti patahan sabit Wildan yang menyerang menusuk.
Wildan berteriak, sebuah petir berkelindan kembali keluar dari tubuhnya, menyala-nyala dengan suara desis diselingi lolongan Wildan yang menatap ganas kearah lawannya.
Mima menghindar dengan meggeliatkan tubuh bagai pemain voli yang akan melakukan smash, mengelakkan dirinya dari serangan kedua. Tangan kanannya tetap mengarah mengayun ke sasaran. Satu tangannnya yang lain mampir ke saku, secepat kilat melempar sesuatu yang berkilauke arah Wildan, hanya dengan jepitan jari tengah dan manis. Jari lainnya? Masih memegang baton.
Satu garpu menancap di bahu kiri Wildan.
Wildan terkesiap.
Mengacuhkan lukanya, Wildan mengayunkan sabit di tangan kanannya yang masih tersisa.
Mima menjejak tanah, melompat menghindar, dan strategi yang sama di awal pertarungan, ia terapkan. Diinjaknya sabit Wildan yang terakhir, dan dengan kaki yang lain, ia menendang dari arah samping.
Wildan memblokir tendangan itu dengan tangan satunya yang terluka di bahu, sekaligus menarik rantai penyambung sabitnya. Sabit bergerak cepat memotong ke arah dalam.
Tiba-tiba terdengar suara gebukan keras. Wildan tiba-tiba merasakan kebas di perutnya.
Tendangan itu hanya pengalih perhatian. Mima mengincar perutnya, dengan tongkah patahan sabit, ia telah menggebuk perut Wildan. Satu tangannya yang lain, menangkis sabit tajam Wildan.
"A-apa?" Wildan terhuyung mundur.
Mima melakukan gerakan memotong kembali dari atas ke bawah. Kali ini ke arah pergelangan tangan Wildan yang memegang sabit.
Wildan menghindar mundur ke belakang, memilih melepaskan sabitnya."Ugh!" Ia meringis sejenak, perutnya terasa sakit saat bergerak… apakah rusuknya ada yang retak?
Mima menarik rantai sabit yang tersisa dan benda itu terlempar jauh di belakangnya.
Alvamao di belakang Wildan mendekat, menatap dingin dan kejam. Mengetahui tuannya terancam, ia langsung menerjang. 
Mima terperangah. Tetapi serangan Alvamao terlalu mendadak.Tubuhnya terlalu kecil untuk menahan serangan.
"OOOOHHH!" Seluruh penonton berteriak tertahan.
"Ugh!" Mima mengeraskan rahang, ia berada dalam posisi terjengkang ke belakang, tongkat batonnya ditahan melintang, menghindari terkaman, tapi cakaran kuku-kuku tajam Alva mencakar, siap mengoyak tubuhnya.
Pemandangan mengerikan selanjutnya akan terjadi. Mima bagaikan makhluk kecil yang dimangsa binatang buas. Siap dicabik-cabik menjadi bagian-bagian kecil…
"Mao, jangan!" Teriak Wildan.
Bagaimanapun,mana tega ia membuat Mima jadi santapan Mao, meskipun sang mama cukup merepotkannya.
Alvamao menoleh, mengaum keras, seolah memprotes perintah tuannya. Tapi gerakannya terhenti, masih mengurung Mima dengan dua cakar tangannya yang tajam.
"BUNUH!" suara kecil itu berteriak, tinggi dan arogan, berikut acunan telunjuknya kearah Mima dan Alfamao. Yang Mulia Netori, berdiri anggun dengan ekspresi keji, menitahkan pembunuhan.
"BUNUH DIA!" Teriaknya lagi. Menatap dengan tatapan menghujam kearah Wildan. Ada senyum setani yang tersungging di wajahnya.
Tarou, yang terkesima sejenak akan perintah Netori, ikut memanaskan suasana.
"Ya! Tumpahkan! Biarkan darah mengalir!"
Beberapa peserta begidik ngeri, ketika mendengar hadirin yang lain menyuruh Alvamao membunuh Mima yang terpojok.
Di tempat peserta berkumpul, Eri langsung menutup mata sambil dipeluk oleh Zhahiir.
"Kompetisi setan macam apa ini?" Ying Go dan Frost berteriak geram.
"Di-dia akan mati dicabik…" bu Mawar berteriak ngeri. "Hentikan! Hentikan!"
"Mbak!" Radith maju ke depan, tapi ditahan oleh salah satu wayangnya.
"Jangan maju, Radith! Mata Langit akan menyerang, berbahaya!" Teriak Arjuna.
"Mata Langit?" Radith menghentikan langkahnya.
"Orb…"
"Kayaknya materialisasinya sudah selesai,"  Fata menatap ke langit. Meredy juga.
Ada cahaya cemerlang bagai bintang berkedip, yang tiba-tiba nampak tengah langit biru.
Wildan, yang seumur hidup bermain di hutan dan akrab dengan alam, merasakan firasat buruk yang datang tiba-tiba dari atas. Sesuatu. Sesuatu yang asing, menyerang…
"MAO! AWAS!" Ia berteriak.
Seberkas sinar berwarna biru terang turun dari udara. Membelah langit, mengiris tanah yangdilewatinya, bagai pisau tipis berwarna biru. Dalam dua detik, sinar itu mengiris permukaan tanah,membuat Alfamao melompat cepat untuk menghindar menjauhi Mima. Sinar itu terus melaju, membelah tanah, membentuk satu garis besar, menuju tribun yang Mulia Netori.
Sinai itu terpental, terhenti laju gerakannnya tepat sebelum menyentuh tribun Netori, karena Ying Go sudah berada di depan dengan Rahula saktinya yang terhunus.
"MIMA!" Teriak Ying Go. "Katakan pada Mercenary, jangan ikut campur dalam BoR, apalagi membuat orang sipil atau peserta lain menjadi korban dalam pertarunganmu!" Ying Go, ternyata bukan bermaksud melindungi Netori, tetapi karena di bawah tribun kehormatan juga berkumpul para peserta lain.
Mima menoleh kearah Ying Go. Ia sendiri tak paham apa yang terjadi.
"A-apa?" Mima berteriak.
"Orb, sang mata langit! Satelit militer yang menembakkan sinar laser, itulah monstermu!" Teriak Ying Go. Rahula dalam batinnya telah memberitahu sejak tadi. Siapa lagi yang mengirim satelit militer secanggih itu kalau bukan Jade dan Merecenary-nya yang hobi menyabot fasilitas militer! Ying Go sudah dipesani atasannya untuk berhati-hati dengan Mercenary, juga dengan orang-orang yang berkeliling di sekitarnya. Data rahasia bahwa Merecenary berhasil membajak satelit militer itu juga telah diketahui badan intelijen negaranya.
Wildan, Tarou dan Mima, semua menengadah ke atas.
Juga para penonton dan Yang Mulia Netori. .
Ribuan kilometer di atas atmosfer, perpindahanOrb, monster Mima yang dikirim Jade telah lengkap. Sebuah satelit militer yang behasil di-hack sistemnya oleh Jade.
Orb. Bentuknya seperti tabung dengan ujung meruncing, ia menembakkan serangannya dari atas dengan pengiriman kordinat yang tepat yang dikirimkan oleh node yang melayang di darat. Node itu juga berfungsi seperti kamera terbang, yang memonitor langsung pertarungan Mima.
Tarou masih tak memahami yang terjadi, sampai seorang pelayan Netori, berlari-lari sampai terengah-engah, memberikan kepadanya sebuah kertas entah darimana.
"OOOOOH! Rupanya itu wujud sebenarnya monster milik Mima! Sebuah satelit militer yang menembakkan sinar laser, yang melayang tinggi di atas atmosfer! Curang, senjata seperti itu tidak harus berada di sini!"
"Ia bisa menembak kapan saja!"
"Juga tak terlihat!"
"Curang!Curang! Tidak seru!" para pnonton bersorah memprotes.
Wildan meringis, lalu mencabut garpu yang menancap di bahunya. Darkfiend saja tak pernah melukainya secepat ini. Gerakan Mima rumit dan sulit dibaca, Wildan tak pernah melihat gaya bertarung seperti itu sebelumnya. Ditambah lagi, monsternya adalah sebentuk satelit militer yang menyerang dari atas.
"Astaga, Mrs Reid. Aku bingung bagaimana harus berhadapan denganmu. Kau seorang ibu, tetapi sungguh berbahaya. Kalau aku tak sungguh-sungguh, nyawaku sendiri yang terancam!"
"Pertarungan tetap pertarungan, Wildan." Jawab Mima. "Dalam pertarungan tidak boleh ada persepsi yang berlebihan, menganggap lawan terlalu kuat, menganggap lawan teralu lemah, itu sama-samamerugikan. Juga bukan tentang perempuan atau laki-laki, status atau kedudukan. Siapapun yang berniat mengikuti BoR tentu sudah paham resikonya. Kau harus membatasi pikiranmu pada area itu saja; ini pertarungan."Meskipun aku takkan tega untuk membunuhmu, Mima menelan kalimat terakhirnya dalam hati.
Tak jauh dari mereka, Alfamao masih menggeram, siaga utuk mendekat. 
"Netori menyuruh kita saling membunuh," Wildan mengusap bahunya yang mengeluarkan darah, lalu menjilat darahnya sendiri. Rasa asinnya akan membuatnya kembali waspada, untuk tidak meremehkan ibu dua anak itu. Juga mendatangkan gairah aneh akan pertarungan seru melawan rival yang belum pernah ditemuinya.
"Sementara, aku tahu betul, kau masih punya dua anak di rumah yang membutuhkan kasih sayangmu."
Mima tak tahu, apakah Wildan beraksud bersimpati atau menyerangnya secara psikologis.
"Kalau begitu, kau mengalah saja, Wildan." Mima menawar. "berikan kesmepatan untukku maju ke ronde berikutnya. Bisa, 'kan?"
"Eh, bukan begitu maksudku!" Wildan menyergah sebal, karena kalimat dan pose kerennya langsung dipatahkan. "Maksudku, biar bagaimanapun, aku takkan membunuhmu. Akutakkan mungkin tega. "
Mima menatap Alfamao sekilas. Lengan dan bahunya sobek, luka bekas cakaran makhluk itu merembeskan darah di bajunya.
"Aku tak yakin…" katanya ragu, lalu ganti menatap node yang berpendar di sebelanhya.
"Kukira aku juga takkan membunuhmu. Kau masih muda, masa depanmu masih panjang. Tapiaku tak tahu apakah Orb yang melayang di atas sana juga berpikir sama, demikian juga monstermu." Mima menyobek baju bagian lengannya, otot-otot bahu, deltoid, triceps dan biceps yang ramping namun terlatih, terekspos dengan tiga luka melintang bekas cakaran Mao.
"Sebentar, maksudmu… apakah kau tidak bisa mengontrol monstermu?" tanya Wildan.
Mima diam sejenak. Matanya menerawang.
Ada kilas kesedihan yang tampak di matanya, yang terbaca oleh Wildan.
Seolah ada seribu cerita di baliknya, yang tak mampu dibaca siapapun.
"Ya," jawab Mima lirih. "Mungkin kakakku atau suamiku yang mengendalikannya, atau siapapun… aku tak tahu." Ia menatap node berganti-ganti dengan menengadah keatas, pada kedipan bintang kecil di siang hari yang tampak diantara langit biru.
Orb.
"Jade, Weasel… kalau kau ada disana, kau dengar kata-kata Ying Go, bukan? Ada terlalu banyak orang di tenpat ini. Kalau kalian ingin bertarung bersamaku… pastikan hanya antara aku dan Wildan." Mima seperti bergumam pada node bundar itu.
Node itu hanya melayang lembut.
(Sesuatu memang mengendalikannya, namun tak bisa berkomunikasi dengannya).
"Kalau begitu… " Wildan mengangkat tangannya, menunjuk Mima. "Kita buat aturan sendiri. Kita bertarung satu sama lain, dan monster kita juga bertarung satu sama lain. Salah satu kalah, pemilik atau monsternya, maka ia dinyatakan kalah."
Mima berpikirsejenak.
"Boleh."
Wildan mengheningkan diri sejenak, seperti merapal mantra kembali, kali ini tubuhnya kembali bercahaya, dan cahaya yang keluar dari tubuh itu membentuk semacam pelindung yang melingkupi seluruh tubuhnya. Baju zirah Sammerill, berwujud seperti baju zirah transparan berwarna redup, berikut pedang kegelapan berwarna hitam.
"Alfa." Wildan memanggil monsternya. Manusia singa itu mengaum, lalu membungkuk, dan sosoknya bertransformasi dengan keriutan otot dan organ yang menata ulang, ia berubah menjadi sesosokelang. Alfamao versi elang, bernama Alfa, seolah tahu perintah tuannya. Makhluk itulangsung mendongak ke atas.
"Terbang. Kalahkan yang diatas itu." Wildan memberikan perintah.
Alfa menunduk sejenak, lalu langsung terbang membubung ke angkasa dengan kecepatan mengagumkan, meninggalkan jejak debu seperti roket yang meluncur.
"Sekarang, hanya tinggal kita berdua, Mrs. Reid. Bersiaplah. Aku takkan menahan diri saat ini." Widan mengepalkan tangannnya, dan satu kebyar elektrik menyala di tangannya, membentukkepalan bercahaya.
"Thunder Thrust!" Teriak Wildan, dan bergerak cepat maju ke depan.
Mima berdiri menyambut Wildan, lalu mengelak dari serangan pedang. Dan serangan yang berikutnya, ia berdiri mengejar.
"Aku sudah tahu pola seranganmu!" Wildan melontarkan peluru elektrik dari satu tangan yang tak memegang pedang.
Mima hanya bisa menghindar dengan menelak atau menangkis dengan baton. Tangan kirinya terus mencoba untuk menggebuk Wildan dengan tongkat patahan itu, atau bergantian dengan baton. Sekilas, gerakannya mirip ahli wushu dengan dua pedang, dengan langkah berputar yang mengelak sekaligus menyerang.
The Modified Big Dipper. Tujuh tusukan besar, tujur variasi serangan.
Tujuh sasaran dalam satu rangkaian langkah…
Bentuk aslinya menggunakan pedang, modifikasinya… bisa apa saja.
"Aku sudah tahu gerakan tipuanmu!" Wildan menangkis dengan memutarkan kakinya. Tongkat patahan pegangan sabit yang menghunus ke lehernya, tertolak ke samping, terlempar jauh. Mima ikut terpental ke samping, mengikuti arah serangan dengan gerakan meroda satu tangan, bagaikan pemain capoeira.
Prinsip pertama dalam Equilibrium, tidak ada aksesori. Semua harus berguna, semua harus berfungsi.
Mima kembali ke posisi menekuk dengan kaki, satu senjatanya hilang, satu telapak tangannya kosong, tapi, masih ada senjata yang lain…secepat kilat diambilnya dua garpu, satu dijepit jempol dan jari telunjuk, satu diselip diantara jari tengah dan manis…  dilemparnya satu.
Wildan meanangkis.
Ia lempar yang kedua, dalam jarak kurang sedetik.
"UWOOOOOOGGGH!" Wildan berteriak, garpu Mima memental, tubuh Wildan dikelilingi perisai baju zirah Sammeril yang transparan, jelas serangan garpu itu tak berguna. Dan ia kembali maju menyerang.
Mima mundur dengan waspada. Kali ini kekuatan Wildan penuh.
"Aku juga bisa berstrategi! Amukan Halilintar!" Wildan mengakat tangannya sembari berlari maju.
Serangan petir baga hujan menyerang dari atas Mima.
Pada saat bersamaan, Mima seperti jatuh terjengkang ke belakang… mungkin tersandung?
Satu tangan, ditahannya serangan Wildan dengan tongkat Baton. Tapi serangan dari atas itu terlalu kuat, ia harus menahan dengan dua tangan.
"Kedua tanganmu tak bisa menyerang sekarang!" Teriak Wildan, maju mendekat, siap membelah dengan pedang hitam
Mima mengeraskan rahang.
Petir-petir maju dari arah depan, sementara Mima masih menangkis dengan baton dari serangan di arah atas.
"Sekarang!!!"
Mima menyepakkan sesuatu dengan satu kaki.
Wildan meihat sesutau yang melayang ke arahnya, menembus kumpulan serangan petirnya.
Benda itu menimpuk wajahnya, tepat di mata.
Sepatu kets hitam contreng ungu.Women's trailing running type. Ukuran 40.
Rubber sole. Tentu saja, penghantar listrik berkualitas tinggi.
Lemparan garpu tak berguna tadi, hanya untuk mengetes apakah perisai itu menolak benda logam. Karena zirah Sammeril berasal dari kekuatan listrik dari tubuh. Jadi, mestinya bahan penghantar bisa menembus… entahlah, ini memang semacam pertaruhan tingkat tinggi. 
"Sialan!" Wildan berteriak marah.
Sorry, boy.
Mima melompat ke samping, lebih tepatnya, terjun seperti pelari dalam permainan baseball akan meraih base. Perlu dua detik bagi Wildan untuk memperjelas matanya yang mengabur akibat sepakan tadi. 
Decitan petir menghilang.
Mima terjun dengan tubuhnya berdebam ke tanah, tangannya meraih sesuatu, dan berdiri cepat sambil melakukan gerakan menarik.
Sesuatu lagi, seperti terbang menyerang Wildan. Bagaikan naga.
Wildan menangkisnya dengan pedang hitam.
Sabitnya sendiri. Wildan diserang patahan sabitnya sendiri.
"A-apa?"
"Aku memang sengaja mundur kearah ini," Mima tersenyum. "Dan juga pura-pura jatuh, agar kau mengira aku terpojok. Satu pengalihan dengan sepatu ternyata berhasil untukku meraih satu senjatamu yang menganggur,"
Lingkupan cahaya redup zirah Sammeril menghilang, juga pedangnya.
"… dan berhasil membuang sedikit waktumu memakai baju zirah itu. Aku telah diberitahu seseorang kalau… kaju zitah itu takkan bertahan lama karena kita idak berada di Alforea."
Mima kembali melakukan gerakan melempar, satu garpu menancap lagi di bahu kanan wildan.
Ia melangkah cepat mendekat kearah Wildan.
Wildan melindungi diri dengan gelombang kejut halilintar andalan, menjadikannya semacam perisai.
Kali ini tongkat baton Mima yang anti sihir menusuk ke dalam, seperti berusaha membuka celah. .
Wildan terpaksa mengelakkannya.
BUK! Satu tendangan putaran tumit Mima ganti menghajar ulu hatinya dengan telak.
Wildan terhuyung ke belakang.
"Sialan!"
Widan kembali mengerahkan kekuatan.
Tapi tibatiba ia terhenti.
Deg! Jantungnya berdenyut keras, kekuatannya tersumbat.
Mima berdiri dengan senyum kemenangan. 
"Aku yakin, kau mengeluarkan kekuatan itu tidak dengan sendirinya. Pasti melalui pengelolaan titik cakra yang ada di dalam tubuhmu. Dan cakra mana lagi kalau bukan cakra solar plexus di perutmu, yang merupakan titik pengelola sumber energi?" Mima
Ditambah lagi, kau tak mengenakan armor yang melindungi tubuh bagian atas, membuatku berasumsi, kamu membutuhkan aliran cakra yang bergerak bebas perut ke lengan, tanpa terhambat pakaian.Bahkan, zirah Sammeril-mu juga berbetuk cahaya redup yang transparan, bukan zirah yang terbuat dari logam berat. Itu, nampaknya karena kau tetap membutuhkan aliran cakra brgerak bebas diantara aliran darah di tubuh, tanpa terhambat pakaian yang menghantar.
Tetapi, Mima menyimpan analisis detail ini dalam hati. Bisa gawat kalau peserta lain tahu ia bisa membaca sampai sejauh itu.
"Aku hanya mengacaukan cakra solar plexus dengan dua serangan yang mengakibatkan luka dalam," Mima tersenyum. "Gebukan pertama di perut yang tadi, lalu tendangan tumit yang kedua di lokasi yang sama, baru saja." 
"Kau menggunakan dua sabit panjang untuk melindungi kedua tanganmu. Sehingga kusimpulkan, energi petirmu mengambil jalur dari perut ke kedua tangan, melewati titik-titik di kedua bahu. Dan dua titik itu juga telah kukacaukan, karena garpuku melukainya," Mima kembali menjelaskan.
Tiga titik utama dari tujuh titik serangan dalam the Modified Big Dipper. Tiga bintang dalam Ursa Major. Dan titik-titik itu terlihat jelas bagaikan rasi bintang di permukaan tubuhmu, Wildan. Aku cukup mencari kesempatan untuk menyerang dan mengalihkan perhatianmu, termasuk mengulur waktumu menggunakan baju zirah itu, sehingga… aku bisa menyerang titik-titik vital itu.
"Kau tidak bisa menggunakan kekuatanmu lagi. Titik-titik aliran kekuatanmu telah tersumbat karena luka. Kalau kau menggunakannya, kau akan memaksa tubuhmu, perdarahan dari kedua bahu akan terus mengalir, dan tubuhmu akan kepanasan, sepertijaringan listrik yang overheat. Kau akan berakhir…kalau memaksa untuk bertarung lagi." Mima menjelaskan panjang lebar, berusaha mengintimidasi..
Scanning. Skimming. Membaca. Memperediksi.   
Bukan membaca atau memprediksi gerakan saja. Tetapi juga membaca tanda-tanda.
Sepasang sabit. Bertelanjang dada. Petir. Semuanya… pastilah berhubungan.
Wildan mengernyit. "Kaukira sumber kekuatanku hanya dari cakra internal semata?"
"Apa?"
Mima terskesiap ketika Wildan menengadahkan kedua tangannya di samping tubuhnya seperti pasrah. Mengacuhkan luka-lukanya di bahu, ia kembali memejamkan mata, namun keheningannya membuat bulu kuduk meremang…
 Kali ini bumi seperti bergejolak, tanah dan debu di sekitar Wildan mulai beterbangan, dan tubuh Wildan bercahaya.
"Mrs Reid, aku juga bisa mengumpulkan kekuatan alam dari sekelilingku!" Teriak Wildan, membuka matanya. Iris bola matanya telah berubah menyempit. Gigi taringnya tampak memanjang sedikit. Seiring dengan itu, awan gelap berkumpul dengan cepat, diiringi gemuruh petir-petir. 
"AMUKAN BADAI HALILINTAR!" Wildan berteriak.
Orb di langit kembali mengedipkan cahaya.
Mima maju menerjang. Tongkat batonnya hanya satu-satunya pelindung serangan saat ini,  siap bertabrakan dengan kekuatan Wildan.
"Awas!"
Sinar laser biru muncul di angkasa untuk yang kedua kalinya. Sasarannya Wildan.
Mima menerjang tubuh Wildan. Wildan tak menduga hal itu. Wildan terjengkang dengan Mima berada di atasnya. Tentu saja, gerakan itu beresiko. Mima akan tersengat listrik begitu menyentuh tubuh Wildan.
"ARRRGGGH!"
Mima melolong, aliran listrik dari tubuh Wildan menggempur seluruh tubuhnya.
Didekat kaki Mima dan Wildan, tanah kembali teriris laser, asap panas menguar dari lubang di tanah akibat laser yang ditembakkan Orb.
"A-apa? Kau menyelamatkanku?!" Wildan berteriak tak percaya.
Mima masih berada diatas Wildan, tubuhnya juga mengeluarkan asap hangat. 
"Ugh…" Mima beringsut, lemah, menjauhkan diri dari Wildan. Lututnya terasa lemas dan tubuhnya hilang tenaga. 
"Orb,…jangan… mengganggu," Mima berkata dengan pandangan mata nanar, menatap node.
 Weasel, Jade, atau siapapun yang mengendalikanmu, jangan mengganggu pertarungan kami!
"…Lawanmu adalah monsternya, bukan dia!"
Nun jauh di lintas dimensi, di dunia manusia, Jade dan Weasel menatap laptop yang menunjukkan pertarungan Mima. Node itu memiliki kamera yang mengirimkan laporan visual apa yang terjadi di koloseum Amatsu. Dan menang, pengendalian Orb ada di tangan Jade lewat sebuah piranti yang menyambung ke laptop.
Pertarungannya berjalan tak seperti kehendak dua lelaki itu, dan juga wanita yang mereka sayangi… Mima terdesak, tapi meminta mereka tak ikut campur.
Bahkan kali ini, ia menolong lawannya.
Wajah Weasel mengeras. Rahangnya terkatup rapat.
Pria yang cemburu akan berubah mengerikan.
Mima berusaha berdiri, tapi lututnya terasa gemetar. Seragan listrik dari Wildan, meskipun telah berkurang kadarnya berkat perlindungan tongkat baton, tetap terasa menyakitkan. Terutama karena Wildan mengerahkan kekuatan terakhirnya. 
"Akhiri dia!" Teriak Netori, memecah keheningan.
"Ya! Bunuh dia!" tambah Tarou.
Wildan berdiri, dengan wajah bimbang. Aliran listrik menghilang dalam sekejap, demikian juga langit kembali cerah seperti semula.Mima, telungkup dengan tubuh gemetar, masih berusaha berdiri.
"BUNUH! BUNUH!"
Mima kembali jatuh berlutut. Bahkan "RUN" andalannya belum bisa keluar saat ini. Semua tenaganya seolah terserap habis. Sementara seisi penonton koloseum menyerukan Wildan untuk mengakhiri lawannya yang kini tak berdaya.  
"DIAM!" Teriak Wildan.
Suara-suara itu berhenti.
"Aku takkan membunuh dia, dengar? Pertarungan adalah pertarungan, tapi pembunuhan adalah soal lain! Dia manusia, sama sepertiku…"
"Saah satu harus mati di altar ini!" potong Yang Mulia Netori.
"Ini adalah peraturan koloseum Amatsu!Para kesatria kami, apabila dikalahkan musuhnya, ia akan melakukan harakiri dengan merobek perutnya sendiri; dan lawannya akan mendapat kehormatan memenggal kepalanya. Upacara megah dan pesta pora selama tujuh hari akan diadakan untuk memperingati para pemberani!"
Penjelasan Netori membuat bulu kuduk para peserta berdiri.
"Aturan konyol macam apa itu?!" Teriak Wildan memprotes.
"Kau berani melawanku?" Netori menatapnya, lurus dan kejam.
Widan membalas tanpa rasa takut."Aku takkan menuruti keinginannmu!"
"Kalau begitu," yang Mulia Netori mengangkat tangan
Dalam sekejap, sepasukan bersenjata api muncul di tribun paling atas di sekeliling arena, mengarahkan senapannya kepada mereka.
"Bunuh wanita itu!"
"A-apa?!" Wildan terkesiap. Tak menduga Netori menyiapkan cara eksekusinya sendiri.
"Setelah itu, bunuh juga anak itu."
"Tidak…!" Teriak Wildan.
Netori hanya tersenyum culas, bersiap memberi aba-aba.
Wildan menggeram marah.
"TEMBAK!"
Desingan senapan bersahutan.
Wildan berdiri membelakangi Mima. Tubuhnya dilingkupi cahaya redup transparan, dan berguncang-guncang ketika terhantam peluru-peluru, melindungi mereka berdua.
Baju Zirah Sammeril, kembali dipanggilnya. Meskipun, kali ini tanpa pedang.
Dari aliran listrik dari dalam tubuh.
Mima melihatnya dan berteriak. "Wildan! Kau bisa overheat!"
Tapi Wildan tak peduli.
Peluru-peluru kembali berjatuhan, memental, ketika hujan tembakan kembali menyerbu.
Netori keji itu, entah berapa kali mencoba mengakhiri nyawa pserta dengan tindakannya yang keji…
Cahaya ditubuh Wildan meredup. Ia tumbang. Tubuhnya bergetar karena konslet.
"Cih," Netori melihatnya dengan perasaan muak."Tembak sekali lagi! Kali ini kearah anak laki-laki itu!"
Mima memejamkan mata. Ini akan… berakhir. Aku gagal.
Tembakan berikutnya terdengar, namun seberkas pendar cahaya melindungi mereka berdua.
Tak jauh dari tempat itu, Avius berdiri tegak mengarahkan kedua tangan, menciptakan perlindungan untuk melindungi Mima dan Wildan dari peluru.
"Ini sudah keterlaluan!" Ying Go dan Radith maju ke depan, Ying Go menghunuskan Rahula-nya. 
Fata melihatnya dengan wajah monyong, anehnya sambil berlari menjauhi tribun kehormatan, bersama Meredy yang mengekor di belakangnya."Enggak usah gaya, Ying Go, Radit, lebih baik kita lari daripada mampus!"
"A-apa?"
Meredy, juga berlari, melontarkan ungkapan khasnya lagi. "SKYFALL…how lucky I am… hohoho!"
Ying Go, seolah tiba-tiba menyadari sesuatu mengancam di langit, ia berteriak, berbarengan dengan Radith yang juga berteriak karena baru diberitahu salah satu wayagnya
"SEMUANYA LARI! Menjauh dari tribun utama!"
"Tuhan menghukummu, Netori!" Serapah Zhahiir sambil menggendong Eri.
"Hukuman…" Dyna melangkah anggun dalam langkah jingkat seperti berdansa. Kemampuan ekolokasinya juga mendeteksi sesuatu. "…. Dari langit.".  
Sebuah benda raksasa tiba-tiba muncul dari langit, mendekat dengan kecepatan tinggi,  bergemuruh menakutkan, berputar-putar seperti benda yang kehilangan kendali.
Benda itu masih mengeluarkan sinar laser yang beterbangan ke segala arah, menghancurkan tribun koloseum yang melingkar, dimana penonton langsung tercerai berai dalam teriakan dan jerit ketakutan. 
Seperti gerakan lambat, benda raksasa itu berakhir menimpa tribun kehormatan, dalam suara bernturan bergemuruh, dilingkupi asap dan debu.
Menimpa Yang Mulia Netori dan Tarou, juga para pengawalnya.
Suasana kacau balau. Orang-orang berlarian ke segala arah, bertabrakan dan terluka, seperti anak ayam kehilangan induk. Mereka menjerit, bertabrakan, juga menginjak-injak mereka yang jatuh. Naluri menyelamatkan diri yang paling primitive muncul, yang penting selamat, siapapun yang tertinggal tak peduli. Demikian juga para prajurit Netori dan pasukan penembak, semuanya bingung tak tahu harus melakukan apa ketika koloseum berubah seperti medan bencana yang tertimpa meteor dari langit. 
Sebelum akhirnya, perlahan-lahan suasana menghening kembali.
Sebuah satelit sebesar rumah, berasap dan tak bergerak,menimpa tribun kehormatan. Menghancurkan sebagian tribun koloseum yang kini tak berbentuk lagi. 
Mima, pakaianannya koyak, memperlihatkan sport bra hitam dan bekas luka tembak di dekat tulang rusuknya. Ia berjalan tertatih, kedua tangannya menyeret tubuh Wildan yang lebih jangkung darinya. Sisa tenaganya, RUN-nya yang terakhir, digunakan untuk menolong anak itu terhindar dari tertimpa Orb.
Ia berteriak kencang. "Seseorang! Tolong dia!"
Tubuh Wildan masih tergeletak di tanah, berlumuran debu dan mengaku akibat kepanasan. Tubuhnya overheat. Terlebih lagi, karena beberapa aliran titik cakranya telah tak stabil, karena mengeluarkan kekuatan untuk melindungi mereka berdua dari tembakan para pegawal Netori.
Radith maju, tapi ia langsung terpental karena petir. "Tidak bisa, aku dan dia sama-sama menguasai elemen petir…"
"Aku akan menteralisir aliran listriknya," Avius berlari mendekat. Ia lalu merapalkan mantra, seolah berdoa, lalu melakukan beberapagerakan rumit dengan tangan, tepat di atas kepala Wildan.
"Tapi, seseorang harus membantuku memberikan tindakan pada tubuhnya. Dia tidak bernafas!" Sahut Avius, juga terdengar panik. 
" Kalau tak salah, ada peserta yang perawat… Vi! Vi Talitha!" Mima berteriak.
Orang yang dipanggil menoleh.
"Vi! Kau perawat, bukan?" Mima berteriak dengan wajah penuh harap.
Vi tersenyum licik. "Mengapa harus menolong? Bukankah lebih baik kalau lawan kita berkuang satu?"
Mima terperangah.
"Ta-tapi… kau perawat.."
"Sementara ini aku bukan perawat, mommy. Di BoR ini aku sedang liburan, tahu. Sama sepertimu." Tukas  Vi ketus. 
Kalimatnya menohok. Bagaikan menusuk ke inti, ke jantungnya, ke hatinya, dengan pisau yang tak terlihat.
…Mima Shiki Reid mengikuti BoR ini untuk berlibur…
"Kukira itu juga berlaku untukmu, Mima." Caitlin berkata, "kekalahan adalah biasa, sesuai bagi yang lebih lemah dan tidak beruntung. Hukum alam."
Lady Steele di sebelahnya mengangguk. "Kau tidak perlu pura-pura naif. Kau sebenarnya… juga sangat ingin menang, bukan?"
Dimana Bu Mawar? Tan Ying Go? Dan orang-orang baik yang menjadi peserta?
Mereka justru tak terlihat. Menghilang di balik kekacauan dan kerusuhan akibat runtuhnya Orb.
Mima terdiam sesaat.
Kecewa, terdesak, dan merasa genting.
"Kau bisa menebus dosa itu dengan menghargai kehidupan…
Sekecil apapun itu."
Iamenoleh kearah Wildan.
Lalu tanpa pikir panjang, ia melakukan perafasan buatan.
Mulut ke mulut.
;
;
;
;
Chapter 3.
Anger Weasel
;
;
;
Weasel terpaku di monitor.
Jade juga.
Node itu telah merekam semua yangdilihatnya. Juga pertandingan itu.
"Weasel, kau melihat situasinya, bukan?" Jade berkata tanpa menoleh.
Weasel Reid, berdiri di belakangnya, berdiri tegak, matanya tak berkedip. . 
Darahnya terasa mendidih hingga ubun-ubun. 
Perasaannya campuraduk.
"Aku harus kesana, Jade." Suara Weasel terdengar penuh dendam. "Kirim aku."
"Itu bukan Alforea. Kau akan berada di sebuah negeri yang asing,"
"Aku tidak peduli. Aku harus kesana."
"Kau… tak bisa."
"KIRIM AKU KESANA SEBENTAR SAJA, JADE!" Teriak Weasel frustasi. "BERITAHU TAMON SIALAN ITU UNTUK MEMBUKA PORTAL!"
Weasel bergegas kluar dari kamar Jade, melintasi kamar Philla dimana Orlick berdiri bimbang bersama adinya yang ketakutan.  "Daddy…"
"Masuk ke kamar." Weasel berkata dingin, mengacuhkan keduanya, dan langsung masuk ke kamar tidur utama.
Terdengar suara pintu dikunci. Terdengar suara-suara khas senjata-senjata yang dirangkai dan dicek persiapannya. Weasel menyiapkan kepergiannya dalam hitungan detik.
Philla menangis.
Jade meninggalkan laptopnya, membelai Orlick, lalu memeluk Philla.
"Jangan ganggu ayah kalian. Ayah akan menyusul ibu." Lalu membimbing keduanya untuk masuk ke kamar.
Lima menit kemudian, Jade keluar dan menutup kamar Philla dengan suara sheening mungkin.
Lalu kembali ke kamarnya, ke laptopnya. "TMN" telah menjawab.
TMN: bisa, namun aku tak bisa memperkirakan lamanya dan resikonya. Sekalian menarik Orb, monstermu sudah bikin kacau.
MRC: Bagus.Thanks.
TMN: Aku akan membuka portal, kau juga harus menarik kembali Orb-mu yang telah menghancurkan Koloseum Amatsu. Benda itu tak seharusnya disana. Pasukan Netori juga sudah dekat.
MRC: Ok. Thanks. Weasel akan kesana sebentar.
"Weasel," panggil Jade. Weasel keluar mengenakan jaket hitam dan menenteng sebuah tas hitam ukuran besar.
"Portal antar dimensi akan terbuka sejenak, karena mereka menyuruhku untuk menarik Orb kembali. Kau bisa datang ke Amatsu, tapi waktumu terbatas. Tetapi, dengarkan," Jade berkacak pinggang, kali ini ia memasang tampang sebagai seorang atasan.
"Mima hanya bisa keluar dari BoR atas permintaannya sendiri. Kalau kau memaksanya pulang, semua ini takkan berhasil."
Weasel mendecih."Ya, aku mengerti."
"Jangan memaksanya. Ini perintah." Jade menatap Weasel dengan mata hijaunya yang lurus.
Weasel mengenakan kacamata hitamnya, tak menjawab.
"Portal dimensi terbuka semenit lagi."
Suara berkeretakan terdengar di udara, gerbang portal berwarna ungu muncul di depan balkon apartemen. Weasel bergegas keluar dan siap melompat ke dalam portal.
"Weasel," Jade memanggilnya lagi, memberikan pesan terakhir. "Kompetisi ini sangat berarti bagi Mima. Dia harus berdamai dengan masa lalunya!"
Weasel tak menjawab. Sosoknya menghilang bersama retakan kilat ungu di udara.
-o0o-
Alva terbang meliuk ke bawah, dan berhenti, dan memperlihatkan wajah terkejut ketika melihat Wildan tergeletak, ditolong oleh Avius dan Mima. Ia akan maju merangsek, tapi seseorang berdiri menghalanginya. Bu Mawar. Kedua tangan bu Mawar merentang, mencoba menjinakkan Alva. "Tenang tenang… mereka sedang menolong tuanmu."
Alva, tampaknya lebih sabar dan jinak daripada Mao, anenya langsung menuruti pmintaan bu Mawar. Dengan jinak ia mendekat, dan mengeluarkan suara sedih sambil mnyentuh-nyentuhkan kepalanya di tangan Wildan yang masih berada di batas kesadaran.
"Wildan," Mima berbisik lirih, memanggil namanya.Wajah si anak malaikat itu hanya berjarak sesenti dengan wajahnya. 
Dalam kepalanya melayang Weasel. Lelaki pertama, yang begitu dekat dengannya…
"Wildan!" panggilnya sekali lagi. Dan dipukulnya sekali lagi dada Wildan yang telanjang.
Tapi yang terlintas di kepala, adalah dada bidang Weasel. 
Wildan terbatuk. Nafasnya terengah-engah, padangan matanya masih mengambang. 
Mima menghembuskan nafas lega yang samar. Lalu perlahan, ia menjauh, sambil menyeka bibirnya yang basah.
Apakah… kau melihatnya juga, Weasel? Semoga kau mengerti…
Wildan kembali bernafas. Mskpun tampak sulit dan memburu.
"Baiklah, sisanya, akan kuatasi." Avius menghembuskan nafas lega ketika ia selesai menetralisir daya elektrik kacau dari tubuh Wildan.
Mima ikut bernafas lega.
Tiba-tiba terdengar suara gemuruh seperti ribuan langkah kaki dan kuda. Juga kepulan asap di kejauhan. Seolah jatuhnya Orb untuk menghancurkan koloseum juga belum cukup.
Sepasukan berkuda dan kavaleri, tiba tiba muncul mengepung Amatsu. Beberapa rakyat juga mengeluarkan senjata dan menyerang prajurit-prajurit Netori yang tersisa, yang masih bingung karena tuan putrinya menghilang (atau mati, sepertinya) karena tertimpa satelit Orb.
Hampir saja terjadi peperangan antara peserta dengan para pasukan yang merangsek maju ke arah lapangan koloseum, kalau saja sebuah suara tidak berteriak mencegah.
"BERHENTI! KAMI ADALAH TEMAN!"
Seorang samurai berzirah lengkap yang menjadi pemimpinnya, adalah sumber pemilik suara itu. Misrip sekali dengan suara Netori.Ia turun dari kuda dan menghampiri para peserta sambil membuka helm kabutonya, ia berikan ke sseorang saprai tampan di sebelahnya.
Wajahnya sama cantiknya dengan Yang Mulia Netori, hanya tanpa pulasan bedak. Rambutnya diikat di atas kepala dengan ikatan khas samurai keturunan bangsawan. 
"Maaf, kami datang terlambat."
"Siapa kau?" Dyna yang mewakili peserta, bertanya balik.
"Aku Yang Mulia Netori yang asli. Aku telah menyaksikan pertandingan kalian diam-diam. Yang terbunuh tertimpa mesin besar di sana itu, adalah Netori palsu yang mengambil alih kekuasaanku selama aku pergi. Perlu waktu cukup lama bagi kami untuk merebut Amatsu, dan maaf, kami memang berniat melakukannya ketika pertarungan sedang terjadi." Ia menjelaskan panjang lebar.
"Maaf, seharusnya kalian bisa disambut lebih bak, peserta BoR. Kalian seharusnya mendapat perlakuan yang lebih terhormat, bukannya dipermalukan sepeti ini seperti binatang aduan." Yang Mulia Netori yang asli menoleh kearah penasihatnya di belakangnya.
"Tarou, panggil tabib, tolong anak itu, dan juga wanita pemberani ini." Ia melirik ke arah Wldan dan Mima.
"… kalian semua, para pemberani dari BoR, yang Mulia Tamon telah mengirimkan berita untuk menyambut kalian. Battle of Realms tetap harus dilanjutkan, apapun yang terjadi; namun, tentu saja caraku lebih terhormat. Mari, akan kujamu dan kusambut kalian layaknya seorang tuan rumah menjamu tamu-tamu istimewa. Tarou! Bimbing orang-oang ini menuju istana rahasia kita! Kumironu, bawahanku yang rajin, pimpin pembersihan koloseum untuk memastikan koloseum ini siap untuk pertarungan berikutnya!" 
Para prajurit dengan sigap melaksanakan perintahnya, meskipun mereka yang ditugaskan membersihkan koloseum, berkumpul di dekat reruntuhan Orb sambil berdiskusi, mempertimbangkan bagaimana memindahkan benda sebesar itu.
Naun tiba-tiba petir kembali muncul di udara. Tarou asli, dengan sigap maju ke depan, melindungi tuannya.
Satu sosok manusia di tengah arena. Duduk berlutut dengan senapan di kedua tangannya. Ia menolah ke kanan danke kiri dengan waspada. Lalu berdiri.
"Namaku Weasel Reid, aku datang untuk mengabil Orb, dan menjumpai istriku Mima!" Ia langsung berteriak lantang dalam bahasa mirip bahasa Jepang, yang tak sampai sedetik kemudian, ia mengulanginya dalam bahasa Cina.
Mima terhenyak, ia langsung menyeruak ke depan.
"Weasel!" Teriaknya.
Weasel melangkah cepat, langsung memeluknya, erat.
Rasa rindu, mengalahkan semuanya.
Padahal… baru berapa hari? Seminggu?
Semua kecemburuan itu, amarah itu, meluruh entah kemana.
Juga rasa sakit Mima akibat pertarungan, cakaran Mao, dan kemarahannya akibat dicerca Vi, hilang larut menghilang dalam pelukan Weasel.
Mima membiarkan Weasel merengkuh erat seluruh dirinya, pingganya, bahunya, tubuhnya, seolah tak melepaskan dirinya lagi.
"Aku merasakan semua yang kurasakan. Perasaanmu ketika aku pergi berperang," Weasel memejamkan mata, masih berpelukan. "Beginikah caramu membalasku, menyiksaku, Mima?"
"Aku selalu percaya kau pulang," Mima membiarkan kalimatnya menggantung. "Dan aku selalu menunggu… tapi…" Ia berhenti sejenak.
Maukah kau menungguku? Ketika aku yang pergi bertarung?
Weasel melepaskan pelukannya. Memegang bahunya.
"Pulanglah Mima." Weasel berkata. "Aku…"
Aku selalu khawatir.
Mima menggeleng.
"Aku harus memperjuangkan bagianku juga. Untuk anak-anak kita. Mereka masih mengincar keluarga kita, Weasel. Masa depan Orlick dan Philla terancam, dan ini satu-satunya kesempatan…"
Untuk mengubah masa lalu.
"Kita tidak bisa lari dari masa lalu, Mima. Sejauh apapun kau berlari. Kau hanya akan menemukan kembali dirimu dan Equilibrium itu, terus menerus…"
"Biarkan aku mencobanya, Weasel! Untuk anak-anak,"
Weasel termenung. Ia melepaskan pelukannya.
"Jadi, kau akan tetap tinggal?"
Mima mengangguk.
"Alforea telah hancur. Kau takaman lagi. Kalau kau tewas, kau akan tewas dalam arti sebenarnya. Kau menyadari resiko itu?"
"A-apa..?."
"Aku tak mau kau mati."
"Aku juga tak ingin… kau mati dalam tugas…"
"Ini terlalu berbahaya,"
"Aku pernah melakukan ini sebelumnya."
"Kau tak lagi muda. Kemampuanmu sudah berkurang."
"Berikan aku kesempatan, Weasel!"
Rasanya, pertemuan rindu itu perlahan meningkat menjadi perdebatan.
"Haruskah aku menembak lutut dan tanganmu, untuk kupaksa pulang?"
Weasel mengatakan dengan nada mengancam, dan mata tajam di balik kacamata hitam.
"Kau bisa melakukan itu dan semuanya akan berjalan sesuai apa yang diinginkan oleh mereka, tidak ada yang berubah." Mima menyahut pasrah.
"Kalau kau memberikanku kesempatan untuk menyelesaikan misi ini… aku takkanmenggagalkannya. Aku… harus, aku akan berhasil." Ia berusaha meyakinkan.
Weasel diam sejenak.
"Kau yakin, Mima?"
Mima mengangguk.
"Ya."
"Kalau begitu, jangan menahan diri." Weasel merengkuh pinggang istrinya, menariknya hingga dekat tubuhnya. Lalu berdii menjauh dengan merenggut sesuatu di tangannya.
Ponsel milik Jade.
Mima terkejut. "Jangan!"
Satu-satunya penghubung antara ia dengan rumah…. kini di tangan Weasel.
Satu-satunya benda untuk menjinakkan rasa rindunya pada Orlick dan Philla, juga Weasel.
"Bakar jembatanmu, kalau begitu!" Bentak Weasel.
Mima terdiam.
"Jangan menahan diri dengan menahan-nahan kemampuanmu. Jangan membuat dirimu dipermalukan dan terlihat bodoh. Aku melihat semuanya dan aku merasa terhina. Kita sudah menikah! PENGHINAAN PADAMU JUGA HAL YANG SAMA PADAKU!" Weasel menjatuhkan tas hitam yang ditentengnya. Suaranya meninggi.
Sunyi. Tak ada siapapu yang berani mendekat.
"Mima, kalau dewa perang Ashura meminjam bentuk wanita, maka wanita itu…" Weasel mendekat kembali, membisikkan lirih di dekat telinga istrinya.
"… wanita itu adalah kau."
Lalu ia mencium istrinya di bibir, dengan sedikit kebuasan, paksaan, dan gigitan.
Memastikan miliknya kembali.
Memastikan takada satupun yang tersisa dari Wildan di bibir itu.
"Larilah, menarilah, tunjukkan hujan dan badai peluru. Perlihatkan pada mereka, kau adalah Mrs. Reid yang tak boleh dipandang remeh…" Tangannya meraba pinggang istrinya, menjamah pelan ke atas, menyentuh bekas luka tembak di dekat rusuk.
"…yang dulu, begitu sulit kutaklukkan… "
Your soulmate is… not a man who came to you peacefully.
Weasel melepaskan diri, mundur selangkah.
"Aku mengawasimu, dan aku bisa datang dan pergi setiap waktu." Weasel tersenyum.
Lalu ia dan Orb mulai mengabur.
"Weasel!" Mima memanggil sekali lagi. Air matanya menggenang di pelupuk mata.
"Aku mencintaimu!" Teriaknya sekuat tenaga.
Weasel menghilang dengan senyuman teduh. Juga Orb yang menjadi latar belakangnya.
Meninggalkan Mima, koloseum Amatsu, dan orang-orang yang melihat pemandangan itu dengan pikiran bertanya-tanya.
Tas hitam yang ditinggalkan Weasel.
Mima tahu pasti isinya.
Senjata.
;
;
;
End of R3, and for Mima Reid the Running Mama
(probably) will continued to Mima Reid,the Runner


Catatan penulis:
Big Dipper, adalah salah satu variasi stancedan langkah dalam dasar ilmu pedang tradisional Cina. Memang mengacu pada tujuh bintang besar dalam Ursa Mayor, yang mengibaratkan tujuh titik mematikan dalam tubuh manusia untuk diserang dalam satu rangkaian langkah serangan.
"Membakar jembatan", adalah satu istilah dalam strategi perang Sun Tzu, yang kira-kira berarti "tinggalkan semua harapan untuk pulang saat berperang". Yang dimaksud jembatan di sini adalah ponsel yang menjadi penghubung Mima dengan rumah.
Solar plexus, titik cakra dari enam titik cakra di bagian depat tubuh yang fungsinya mengelola kekuatan atau energi. Letaknya sedikit di atas perut, di bawah rusuk.
Unlock skill Mima, kalau lolos ronde berikutnya:
Pakaian berganti ke mode SWAT dan menggunakan senjata dua pistol yang disematkan di belakang pinggang. Ponsel dan semprotan merica, hilang. Ia masih diikuti node, tetapi tanpa Orb. Dan ada sedikit perubahan dalam cara berperilaku dan berperang.

20 comments:

  1. Hehehe, si mbakyu ini...
    Cameonya lebih banyak dari entriku, mbak. Seru juga kalau ternyata di Amatsu sudah ada glitch pas di awal yang mengacaukan pertandingan. Ya sama spt entri r2 vajra, andai gak ada glitch itu, mima sbnrnya sudah menang lawan wildan dgn cukup meyakinkan, end of story.

    Well, karena penasaran sama entri wildan, votenya saya tahan dulu yah.
    OC: Vajra

    ReplyDelete
    Replies
    1. terimakasih bang Andry... juga untuk vote Draw-nya hehehe...

      anyway, baru kali ini juga saya nemu feel pas untuk menulis di BoR, ternyata harus melewati 3 babak dulu baru ketemu. Strategi saya selama ini, meski di ronde ini 1 lawan 1, tapi tetap harus ada plot yang melingkupi kedua tokoh.

      terimakasih sekali lagi sudah sempatkan membaca... :)

      Delete
  2. Mima di-bully Tarou, wkwkwkwk

    Wildan di sini kerasa begitu gentleman yah, sampe nahan Alfamao buat gak nerkam Mima.

    Dan apa pula itu, parternya Mima Orbital Weaponry, wkwkwkwk.


    Woow, alva melesat tinggi buat nyerang satelit? Ke luar atmosfir?
    ._.

    Wanjrot, satelitnya jatoh nimpa Netori.
    Ini seisi colloseum dibikin chaos ya, interesting~

    Ini misua-nya Mima kok rese banget sih.
    ._.


    Kemunculan Netori asli itu terasa kayak Deus Ex Machina, terkesan mendadak, dan dipaksakan, karena dari awal gak ada foreshadowing soal itu.

    Dan... duh, si Jade itu posesif banget yah...
    ._.

    OC : Sanelia Nur Fiani

    ReplyDelete
    Replies
    1. I Announce!

      My vote goes for Mima~!!!

      **tepuk tangan**

      Setelah menimbang, mengingat, memahami, dan memutuskan, akhirnya vote jatuh ke Mama badass ini karena konflik yang lebih dalam, drama yang lebih kece, serta pergolakan yang lebih kuat.

      Saya kurang sreg di bagian bak bik buk yang sangat padat, tapi semuanya terobati dengan perjuangan sang Mama yang "Kekeh" dengan pendiriannya.

      Delete
    2. Wah! Mima dapat 1 vote!

      terimakasih bang Ichs, awalnya saya ragu untuk masukkan konflik keluarga di sini, mengingat sebagian besar pembaca BoR masih single, saya agak ragu untuk membahas hal-halyang mungkin terasa asing atau jauh dari kehidupan sehari-hari. Tapi ternyata... ketika mebnemukan ada yang paham... senang rasanya!

      anyway, ya, memang, dua lelaki itu amat sangat posesif. Kakak lelaki yang posesif dan suami cemburuan. Memang saya gabungkan karakter-karakter itu biar konfliknya berwarna.Semoga bisa terus menghibur.

      sekali lagi, terimakasih buat vote-nya!

      Delete
    3. Well, saya kan udah berkeluarga, jadi tentu aja paham sama urusan berantem kepala batu macam gini, wkwkwkwkwk
      :D

      Delete
  3. Waduh, sama-sama mulai dari tengah nih. Saya kaget awal2 Mima udah ngasih CPR aja ;]

    Saya harus bilang ini solid banget. Emosi dari drama keluarganya nyampe ke pembaca, dari mulai reaksi suami, anak, sampai Jade juga. Hmm, sesuai alasan liburan, jadi Mercenary sebenarnya punya hubungan baik sama panitia sehingga bisa masuk Amatsu juga ya.

    Bagian favorit saya waktu para peserta bereaksi pada keputusan Netori palsu. Semua nggak ada yang OOC. Kalo gini sih mereka bukan sekedar cameo. Ini ngingetin saya sama 'pemberontakan' peserta yang kerja sama utk mengalahkan Thurqk di final BoR 4.

    Wah, kemampuan Wildan banyak yang keluar, Zirah Sammeriil juga. Emang all-out deh ini kecuali Supercell yang baru saya unlock di R3 ini. Dua peliharaannya juga digambarin dengan baik. Alva lebih kalem karena burung, sesuai dugaan saya ;] Typo dikit ga ngeganggu. Hmm, akhirnya Orb berarti dikendaliin Mercenary kan? Bukan sekedar AI?

    Terima kasih sudah memakai Wildan di cerita ini. Semoga yang terbaik maju ke babak selanjutnya.

    OC: Wildan Hariz

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terimakasih sudah membaca juga.
      Di tengah saya menulis ini, saya juga merasakan "Wildan Hariz" ini seperti "a boy who in a process of growing up to be a man", jadi saya juga ingin menonjolkan sisi gentleman di balik perilakunya yang slengekan, tanpa harus terlalu OOC. Dan jadilah... cerita ini.

      Saya harus minta maaf untuk typo-nya. Terimaksih juga karena telah memakai Mima dalam entry-mu (saya sempat sangsi jangan2 WO, tapi entah mengapa saya teriak 'hore!' ketika entry Wildan jadi penutup deadline... mungkin karena kita sudah bertukar pikiran cukup banyak selama proses menulis ya)

      best regards!

      Delete
  4. anjay..anjay..anjay

    Ni emak-emak greget bener nglawan pengguna petir.. yah walo partnernya bisa nembak laser.. soal battle mengalir dan penuh intrik

    jangan sampai ketemu ane.. soalnya wanita itu musuh alami Nobu di medan perang :v

    mending bikin rusuh ama Tamon Rah ketimbang nglawan Mama Mima :v

    vote MiMa Shiki

    Oc Nobuhisa

    ReplyDelete
    Replies
    1. jujur mas Nobu, seandainya terjadi Nobu vs Mima, bakalan jadi episode penuh drama mengingat karakternya Nobu, lalu keras kepalanya Mima, dan kalau suami atau kakaknya ikut campur lagi... aduh, rese deh. Saya juga nggak bisa bayangkan bakal kayak apa.

      terimaksih, hatur nuhun untuk vote-nya!

      mampir ke lapak Nobu ah, habis ini.... :)

      Delete
  5. Dari segi drama dan konflik batin kayaknya ini lebi rapi dari Wildan. Jurus2nya pun lebih detil dibanding versi Wildan. Tapi sayangnya ko Mima entah kenapa selalu mendominasi Wildan sepanjang tanding, keadaan nggak pernah berbalik dan selalu satu sisi aja. Wildan serasa bocah doang sementara Mima dengan enteng ngalahin semua jurus Wildan, padahal jurus2 petir Wildan mestinya bisa mendesak Mima.

    Secara monster juga Alvamao nggak berperan sementara senjata Mima terkesan jauh lebih kuat, menambah rasa bahwa Mima nggak menemui tantangan berarti di sini.

    ReplyDelete
    Replies
    1. ya ampun pak Po... kirain siapa, "Wildan Hilmi Ansori"

      dari awal, kalau mau dilihat2 sudah imba banget sebenarnya, yang satu punya kekuatan, satunya nggak. Jadi saya coba mikir detail graphic battle satu lawan satunya bagaimana... secara, Mima selalu kalah di faktor kekuatan, karena dia cewek, so saya hanya bisa membuat dia menghindar ke samping kiri-kanan aja, gitu... kontak adu kekuatan jelas kalah. Kok pas ada faktor Wildan masih muda, pakai sihir (yang tentu saja ada lapse untuk ngeluarin jurus), jadi saya manfaatkan itu aja deh. Tapi ternyata memang agak sedikit berlebihan ya... (sempat menyadari itu saat menulis, tapi saya pakai defens mechanism 'semua kemampuan Wildan juga saya keluarin kok'). Dan memang sisi kehidupan personal dia saya pakai buat ngimbangin sisi 'ketidakberdayaan' dia sebagai karakter manusia tanpa kesaktian. Secara, semua karakter bertipe protagonis pasti bakalan pikir2 menghadapi seorang emak. Hanya saja... itu akan segera ditanggalkan kalau Mima lolos ke ronde berikutnya.

      terimakasih vote-nya, pak Po. krisarnya saya catet betul. Moga ke depan saya bisa menulis lebih baik lagi.

      Delete
  6. Keren banget suasananya pas arena kedatengan meteor. Terus meski banyak karakter lain berdialog setelahnya, porsinya pas. Pembagian cerita Mima sama keluarganya juga oke. Mungkin yang disayangkan cuma beberapa typo. Selebihnya, emosi Mima, tujuan narasinya, sukses tersampaikan.

    Saya vote Mima.

    Salam, Eophi

    ReplyDelete
  7. Duh, entry Mima ini makin lama progressnya makin serem ya. Jujur yang kali ini bagus banget. Saya suka dengan penjabaran drama keluarga dan konflik-konfliknya. Ah, saya jadi susah scoringnya, punya Wildan juga bagus sih. Duh, pusing..

    Duh, sori Wil.... Mima deh yang saya Vote ; ' ;

    OC: F̶a̶t̶h̶a̶ ̶a̶`̶ ̶L̶i̶r̶ Strata Munchilla

    ReplyDelete
  8. Err, ini banyak typonya. Itu kesan pertama saya >_<

    Dan saya gak gitu suka sama drama keluarga yg ditampilkan. Yha, itu khas novel terjemahan bgt nuansanya. Saya kn jarang baca terjemahan~~

    Battlenya oke--saya banyak belajar dr sini. Tapi kadang saya ngerasa 'ketinggalan' atau apa lah sebutannya karena narasinya yg padet. Maklumlah, saya tipe yg seneng plot slow-pace. Hehe.

    Oww, OC lain banyak yg dilibatkan di sini. Yha, dan mereka kadang mengambil peran. Bagus, sih, cma menurut saya jd nambah panjang.

    Ah, apa lagi ya? Segini dulu deh. Karena saya belum tentu baca entri lawan, dan saya mau objektif juga, saya titip komen aja deh.

    Alfiana N. dan OC-nya yg setres~~

    ReplyDelete
  9. Saya kagum Mima dibawain kayak begini. Entran yang kesannya biasa aja, bahkan diremehkan semua orang, tapi ternyata cukup capable dalam ngehadepun situasi" abnormal. Bantuan orb itu kurang ajar banget, beneran setara deh sama Supercell di entri sebelah

    Netori ternyata langsung dijadiin semacem sosok antagonis di sini. Cameo entran lain yang turut hadir juga rasanya hidup, bukan sekedar figuran lewat, dan sampai akhir urgensi canon Mima ini tersampaikan dengan baik, bikin saya pengen tau gimana kalo ini dilanjut terus

    VOTE Mima

    ReplyDelete
  10. Langsung VOTE MIMA

    overall
    konfliknya asik.
    tapi typo bertebaran.

    Soal battle, aye ga bakal komentar, soalnya aye juga bikin entri aye terlalu overpowered sampe-sampe musuh ga berkutik.


    tambahan:
    AYE MAU KOMENTARIN KARKATERNYA

    INI PASANGAN POLOS KALI YAAAK HAHAHAHAH
    aduh beneran.
    oke alasan weasel masuk akal untuk kecemburuannya.
    kekhawatiran mima juga masuk akal.
    tapi yang ditampilkan di sini, scenenya ga ada yang pantas untuk dijadikan patokan untuk benar-benar ngeluarin aspek JEALOUSY nya.

    HARUS LEBIH LEWD LAGI
    Hahahahahahahah

    sumbu pendek banget ya weasel ini.
    udah semuanya jadi begitu gara-gara dia nyuruh keluarin orb, dia juga yang marah-marah.
    Beneran deh, dibanding disebut posesif, 2-2nya kayak pasangan yang punya cinta buta tapi naif. hahahahahah

    mantap ini. semoga bisa lanjut.

    ReplyDelete
  11. Hewanurma bisa jengkel jika melihat banyaknya typo yang berserakan di entri ini. Dan juga, "mengacuhkan" itu artinya adalah "memberikan perhatian" xD

    Well, akhirnya saya bisa komen di entri Mima setelah sekian bulan BoR berjalan. Pertama yang saya perhatikan adalah OC-OC BoR lain yang jadi penonton di sini membuat nuansa berbeda jika dibandingkan entri peserta lain. Mungkin jadi terasa lebih hidup? Penulis lain jadi merasa OC mereka ternyata masih ada yang memperhatikan.

    Adegan Bu Mawar merentangkan dua tangan (wiw, Bu Mawar di kanon Mima lebih beruntung, dua tangannya utuh >.<) untuk menghadang binatang buas, langsung kebayang adegan populer di Jurassic World, yang dijadikan banyak "meme" xD

    Saya agak menyayangkan karena di akhir cerita ini Mima sudah kembali ke senjata aslinya sebagai orang militer. Padahal senjata garpu dan peralatan dapur lainnya itu sungguh waw, membuat Mima berbeda daripada peserta lain. Tapi kalau dia memang mau kembali serius, ya sudahlah. Mungkin kalau di BoR terdahulu, langsung kebayang seperti sosok Yvika Gunnhildr, Ibu-Ibu militer yang deadly, berjulung Mami Pembunuh.

    Awalnya agak bimbang menentukan mana yang mesti divoting. Tapi karena satu dan lain sebab, setelah saya baca-baca ulang, mungkin Mima lebih menarik untuk disaksikan ke depannya.

    Saya VOTE Mima.

    OC: Kusumawardani, S.Pd

    ReplyDelete