6.9.15

[ROUND 3] RENGGO SINA - ROGUE AND HIS LIGHT

Rogue and His Light

 ==Interlude==


Iris Mata pria itu memantulkan bayangan layar monitor di depannya tanpa berkedip sedikitpun seakan ia sudah terbiasa melihat cahaya monitor lebih sering dari pada cahaya matahari. Jutaan kata terpampang pada layar monitor itu dan terus bertambah setiap kali ia mengetik pada kunci-kunci keyboardnya.

Pria itu menghela nafas berat, lalu mendorong kursi kantornya menjauh dari layar monitor supaya ada cukup ruang baginya untuk berdiri. Segera ia merentangkan tubuhnya untuk melepas lelah dari duduk di kursi itu dan mungkin mengganti kaos putihnya yang sudah tiga hari dikenakan, tapi istirahatnya langsung terganggu karena deringan telefon genggamnya.


"Apa kau sudah menambah belenggu Rogue?" suara seorang wanita langsung terdengar begitu tombol angkat panggilan ditekan.

"Ya ampun Eli... bahkan tidak ada salam penyambut?" sindir sang pria berkaos putih.

"Mil, aku yakin kamu paham gentingnya situasi ini!" seru sang wanita yang dipanggil 'Eli' itu.

"Kalau aku belum selesai tidak mungkin aku sesantai ini,kan?" jawab pria yang di panggil 'Mil' itu, "Belenggunya sudah kutambah, tidak banyak,sih... tapi kalau kebanyakan, tujuan kita malah semakin jauh,kan?"

"Bagus. Teruslah berhati-hati" ujar Eli.

"Ngomong-ngomong, dimana Lia dan Gorden? Dimana juga orang dalam yang kita bicarakan waktu briefing seminggu lalu?" gerutu Mil.

"Lia dan Gordon sudah masuk ke dalam server, tapi belum selesai dengan persiapan. Kalau soal orang dalam itu, aku juga kurang tahu" ujar Eli, "dan kalau bisa jangan panggil Burk Gordon dengan panggilan itu"

Tiba-tiba nada Mil berubah menjadi dingin,"Kurasa mereka tidak akan muncul, sesuatu telah merusak server Aloefera"

"Aloefera? maksudmu Alforea? Ada apa dengan server itu?"

"Entahlah, aku kehilangan hampir semua feedback video ataupun audio dari Aloefera. Sesuatu telah mengacaukan tempat itu!"

"Akan kucari tahu lebih lanjut. Untuk sekarang, fokuslah pada Rogue"

"Oke..."


==1==
Hewanurma's(?) Message


Dunia transisi masih seperti biasa, gelap bagaikan luar angkasa. Hanya satu objek yang tampak pada dunia itu, yaitu sebuah rumah kayu tua yang beratapkan salju, dari kota Los Soleil, pegunungan tak bernama.

Pada dinding dalam rumah itu bersandarlah sebuah manusia besi dengan tas punggung berbentuk persegi. Robot itu diam, tidak bergerak, bahkan matanya tidak memancarkan cahaya. Renggo telah berada dalam kondisi itu semenjak ia kembali dari database Alforea.

Tak jauh dari sang Robot, seorang gadis berambut hitam lurus hingga ke pinggang dan berpakaian maid sedang duduk di sampingnya. Jutiga, maid pemandu Renggo, telah menunggu peserta itu bangun semenjak Opi meninggalkan Renggo untuk urusan di dunia nyata. Namun beberapa jam telah berlalu dan belum ada tanda keberadaan Renggo ataupun operatornya.

Sebuah pedang menebas di tengah ruangan itu, membuat sebuah portal dimensi yang mengantarkan seorang pria jakung berjubah hitam yang menutupi seluruh tubuhnya. Jutiga segera berdiri dan menyambut kedatangan, "Selamat datang, tuan jubah hitam. Apa anda mendapat informasi berguna?"

"Seperti kata bola mata itu, daerah Database yang dia sebutkan mengalami kerusakan parah" ujar pria berjubah itu, "Dan juga... gadis bernama MC itu... serius, bagaimana dia bisa membawa benda sebesar itu?"

"Ah, iya. Saya belum mengatakannya. Terimakasih, tuan" ucap Jutiga dengan membungkukan badan, "Saya sebagai maid pemandu tidak bisa mengungkapkan betapa syukurnya karena anda telah menyelamatkan peserta Renggo Sina dari serangan mematikan penyerang Alforea"

"Itu bukan masalah" jawab pria itu, "Tapi kenapa kau masih ada di sini? Aku melihat satu persatu maid di kota Despera menghilang satu persatu karena kerusakan para penyerang"

"Dunia transisi adalah server khusus untuk menampung data berjumlah besar untuk transisi dari satu server ke server lain atau dari satu server ke bagian lain dari server itu sendiri. Biasanya dunia ini hanya dilalui dalam sekejap untuk perpindahan, tapi karena terjadi sebuah kegagalan sistem, semua data saya tertransfer ke dalam server ini" jelas Jutiga panjang lebar.

"Penjelasanmu terlalu rumit untuk kumengerti, apa maksudmu kamu terjebak di sini?" tanya sang pria berjubah.

"Tidak, saya bisa pergi kapanpun saya mau, hanya saja karena kondisi Alforea saat ini genting, saya rasa akan lebih aman untuk tinggal di sini sementara waktu" jawab Jutiga.

"Belum ada berita dari panitia atau peserta lain?"

"Saya mendapat sebuah pesan aneh, tapi karena ditujukan pada peserta Renggo Sina, saya akan menunggu keputusannya sebelum bertindak lebih lanjut"

"Pesan aneh apa itu?"

Jutiga memekik mendengar sebuah suara dari bawah kakinya. Suara itu berasal dari sebuah pipa abu-abu selebar tangan manusia. Maid pemandu itu segera menengok ke Renggo, menyadari mata mekanik di dadanya telah bersinar hijau.

"Maaf, tuan Opi... Saya agak terkejut dengan kehadiran anda" ujar Jutiga, "Untuk pesan itu, akan segera saya cetak"

Sama seperti sebelumnya, sebuah kertas cetakan keluar dari mulut maid pemandu itu, lalu ditunjukan pada Opi yang meraih kertas itu dengan mengambil alih kendali tubuh Renggo.

"Ini palsu" ujar Opi.

"T-Tapi alamat pengirimnya dari alamat administrator Alforea sendiri!" seru Jutiga agak panik.

"Kalau begitu bisa kau bacakan?" pinta Opi.

"S-Saya kira itu tidak perlu" jawab Jutiga, kini mulai mengambil langkah mundur.

"BACAKAN" tegas Opi.

Tak ada pilihan lain, Jutiga mengambil kertas yang ia cetak sendiri, lalu mulai membacakan isi surat itu.

"...pada... erta... of Real...." gumam Jutiga pelan.

"Yang keras!" seru Opi.

"Kepada para peserta Turnamen Battle of Realms.
Karena telah terjadi insiden besar pada server Aloefera, diharapkan untuk segera mengungsi ke alamat server yang dilampirkan pada surat. Apabila kalian tidak mendapatkan pesan ini atau tidak mendatangi server dalam waktu 74 jam, maka akan di diskualifikasi.
Tertanda Hewanurma, Administrator server Aloefera."

 "Sampai selesai," perintah Opi.

"H-Haruskah?" tanya balik Jutiga, tapi melihat mata mekanik Opi yang melotot tajam, akhirnya niatnya melawanpun ciut.

"PS : Ini surat asli, bukan surat bohongan!
PSS : Jangan percaya dengan komentar di PS.
PSSS : Psstt... mau foto panas dari peserta BoR? Hubungi 064XXXXXXX
PSSSS : Beli lima kardus, bang.
PSSSSS : wah, mau yang..."

"SUDAH CUKUP!" seru Opi, "dari itu saja sudah pasti palsu,kan?"

"Saya sudah tahu! Meski atasannya terlihat formal, tapi pesan tambahan di bawahnya sama sekali tidak relevan! Itulah kenapa saya perlu diskusi dengan anda dan tuan Renggo!" seru Jutiga.

Opi menaikan dua jari tangannya ke daerah sekitar mata mekaniknya, seolah-olah memperbaiki posisi kacamata yang tidak pernah ada di sana, "Bukan itu, masalahnya di sini tidak ada sampelnya!"

Tiba-tiba sebuah potongan kertas foto jatuh dari kertas itu. Dengan memakai badan Renggo, Opi segera menunduk untuk mengambil potongan kertas itu dan memeriksanya dengan teliti. Setelah sepuluh detik diam di tempat, Opi kembali berdiri.

"Ya, surat ini asli. Aku menjaminnya" ujar Opi, mengajungkan jari jempolnya ke atas.

"Oh, benarkah?" tanya Jutiga dengan senyum manis.

Suara dentingan besi terdengar, lalu diikuti suara pekikan keras dari pipa komunikasi Opi. Bola mata Opi tercongkel dari tempatnya, lalu tercebur ke dalam sebuah teko berisi teh panas. Sebuah sendok teh termaterialisasi di tangan Jutiga, lalu mulai mengaduk isinya dengan cara menusuk-nusukan sendok itu ke dalam teko.

Setelah puas 'mengaduk' tekonya, Jutiga berbalik pada si pria berjubah hitam, "Tuan berjubah hitam, tolong maafkan saya yang baru menyadari kalau anda hanya mendengar dari beberapa saat lalu. Bolehkah saya memberi secangkir teh sebagai permintaan maaf?"

"J-Jangan! Jangan!" pekik Opi dari pipa komunikasi.


==Intermission - 1==
Renggo's Memory


Kesadaranku belum kembali, tapi aku mulai mengingat kembali ingatanku. Satu pecahan ingatan dalam sekali waktu, lalu menyusunnya sesuai urutan tanggal pembuatannya.

Di antara semua ingatan baru itu, aku ingat bahwa ada satu konsep yang tak pernah kumengerti, yaitu kehidupan.

Manusia selalu takut dengan hal yang mereka sebut "kematian" karena satu hal itu mampu memisahkan segala.

Pemisah pemimpin dan rakyat...
Pemisah ibu dan anak....
Pemisah jiwa dan raga...

Karena tidak dapat lari dari pemisah maha kuasa, manusia memiliki motivasi untuk memanfaatkan waktu sebelum kematian demi meninggalkan keberadaan mereka supaya terkenang, supaya tidak terlupakan oleh anak cucu mereka.

Namun tidak bagi diriku, siklus hidupku adalah rotasi antara kematian dan kehidupan.
Jutaan kali aku telah mati, hanya untuk dihidupkan kembali.
 Tujuan yang dibuat oleh penciptaku adalah untuk 'bertahan hidup', tapi kalau pemisah maha kuasa, kematian tidak dapat menghancurkan hidupku, lekas apa makna dari 'kehidupan'ku ini?

Sudah lama aku mencari jawaban itu...
Sudah lama aku berkelana dari satu tempat ke tempat lain, tapi karena aku terus hidup kembali, aku mulai merasa tujuan 'bertahan hidup' itu hanya omong kosong belaka.
Setiap kali aku mati, setiap kali aku hidup kembali, semakin aku merasa tujuan itu memudar.

Jadi, apakah arti hidup bagiku?


==2==
Old Friend


Sebuah suara dari tamparan terdengar dengan nyaring lalu diikuti oleh sebuah jeritan kesakitan yang membuat para peserta mencari sumber suara itu. Tidak lain lagi, pemilik suara itu adalah Renggo Sina. Visor berbentuk V di kepalanya kembali menyala, tanda kalau dia telah kembali sadar dari 'tidur' panjangnya.

"Oh? Sudah bangun?" tanya Opi, sedikit terkejut.

"Tentu saja aku bangun kalau kau menamparku sekeras itu!" seru Renggo.

"Sial, padahal aku sudah menyewa pemukul" gerutu Opi, "Kau boleh pergi, tidak ada bayaran!"

Seorang gadis kulit merah yang memakai kulit macan untuk pakaiannya menggerutu dan memprotes pada Opi, tapi pada akhirnya ia pergi menggeret gada raksasanya ketika tanduk di kepalanya ditarik oleh salah satu peserta berbaju Hakama1).

Renggo melihat sekelilingnya, menyadari bahwa dirinya tengah berada pada sebuah koridor berdinding batu. Beberapa peserta dan mahluk-mahluk tidak dikenal tampak berjalan melintasi koridor itu.

Opi segera memberikan briefing pendek segala hal yang terjadi ketika Renggo tidak aktif, mulai dari apa yang terjadi pada Alforea, perpindahan server ke Amatsu dan juga pria berjubah hitam yang menyelamatkan dirinya sebelum tembakan MC mendarat. Ia juga memberi informasi bahwa mereka datang dengan bantuan portal Jutiga, tapi maid itu berinisiatif untuk menetap di dunia transisi sampai berhasil mengkontak Hewanurma atau Tamon Ruu.

"Sebanyak itukah hal yang terlewat selama itu aku tidak aktif?" tanya Renggo.

"Yah... ada banyak ingatan yang kumasukan setelah ronde kedua, jadi prosesnya agak lama" jawab Opi, "Lalu, bagaimana rasanya sekarang? Ada perubahan?"

"Entahlah... aku merasa seperti ada yang hilang... aku merasa... hampa?" jawab Renggo, ragu dengan jawabannya sendiri.

Renggo memutuskan untuk berhenti memikirkan kehampaan dirinya karena melihat suatu benda panjang berwarna krim melintas di depan matanya. Benda itu bergerak, meliuk-liuk seperti tentakel cumi-cumi yang tersambung ke gumpalan bola raksasa terdiri atas tentakel-tentakel krim juga.

"A-APA ITU?!" pekik Renggo.

"Oh, cuma monster spageti punya salah satu peserta" jawab Opi.

Tiba-tiba seseorang menyenggol bahu Renggo dan melewatinya. Tidak, yang menyenggolnya bukanlah orang, melainkan sesosok naga tak bersayap yang merangkak, tapi tingginya sendiri mencapai 2 meter meski merangkak sampai-sampai mampu menyenggol pundak Renggo.

"I-Itu N-Naga,kan?" tanya Renggo panik.

"Kalau tidak salah itu partner dari peserta... siapa namanya? Caitlin kalau tidak salah" jawab Opi.

"P-Partner? Ada peserta yang berpartner dengan naga?!" seru Renggo, semakin panik.

"Oh, iya. Aku lupa bilang, di ronde ketiga kita akan bertarung bersama partner monster, jadi jangan heran kalau melihat banyak mahluk asing" ujar Opi.

"T-Tidak mungkin aku bisa menang melawan Naga atau monster cumi-cumi seperti tadi!" seru Renggo.

"Ah, jangan takut. Kebanyakan dari mereka hanya tampang saja! Aku ragu setengah dari mereka bisa menghajarmu sampai mati!" ujar Opi.

Di tengah percakapan itu tiba-tiba terdengar sebuah teriakan berseru dari kejauhan, "NAIK KERETA API..."

"KRUKRUKRU!"

Sebuah kereta uap raksasa tiba-tiba melintas di koridor batu, saking besarnya, kereta itu sampai menggali masuk ke atap koridor. Namun yang membuat Renggo merinding adalah kenyataan bahwa kereta itu terus berjalan tanpa rel, melindas apapun di depannya, bahkan dinding, atap dan lantai koridor terkupas karena kekuatan kereta itu.

"Oh, yang itu mungkin bisa menggilasmu sampai mati"

"J-Jangan bercanda!" pekik Renggo.

"Kau ini... apa kau lupa kalau kau punya partner juga?" tanya Opi.

"B-Benar juga... Jadi siapa partnerku? Apa dia sekuat monster-monster lain di sini?"

"Jangankan monster lain! Kereta monster tadipun bisa kukalahkan!" seru sebuah suara di belakang Renggo.

Suara-suara pukulan di udara terdengar dari belakang Renggo. Ketika sang robot peniru berbalik, ia langsung disambut dengan sebuah pukulan Uppercut di dagunya hingga melayang ke udara.

Ketika Renggo jatuh ke lantai, sang penyerang berseru, "Hah! Begitu saja? Kalau kau memang partnerku, jangan diam saja!"

Penyerang itu adalah sebuah robot pendek bertubuh ramping berwarna abu-abu yang lebih cerah dari pada warna besi Renggo, warna dari alumunium. Tangan robot itu terbungkus oleh sebuah sarung tinju berwarna kuning gelap, terbuat dari tembaga. Robot itu berada dalam kuda-kuda bertarungnya sambil melompat-lompat ringan di tempatnya berdiri. Wajahnya datar selain dua buah soket matanya yang memancarkan cahaya kuning.

"Kenapa sambutanmu malah mukul aku!" seru Renggo.

Robot Alumunium itu langsung melompat maju dan melemparkan pukulan kedua pada Renggo yang masih terbaring. Renggo segera bergelinding ke samping dan  bangkit dari posisi tidurnya, tapi lawannya segera melompat ke arah Renggo bergelinding, seolah membaca pergerakannya.

Satu pukulan meluncur. Tangan Renggo membuka, lalu menangkap pukulan lawannya. Pukulan kedua datang dan Renggo menangkapnya juga. Tanpa membuang waktu, Renggo menyilangkan kedua tangan lawannya, mengunci pergerakan tangan sang lawan dan memperdekat jarak kedua kepala mereka yang kemudian Renggo manfaatkan untuk menghantam kepala si lawan dengan kepalanya sendiri.

Si Robot Alumunium berjalan mundur dengan sempoyongan, lalu menahan rasa sakit pada kepalanya setelah Renggo melepas genggaman tangannya.

"Hah! Untunglah! Kukira Partnerku hanya robot lembek!" seru si robot Alumunium, "Namaku Ralan, Robot Alumunium. Seperti yang kau lihat, aku bertarung dengan tinjuku sendiri!"

"Tadi kamu memukulku, sekarang minta kenalan... maunya apa, sih?!" seru Renggo.

"Ayolah, tadi aku cuma melakukan... test ringan! Kalau aku benar-benar serius, kepalamu tidak akan utuh!" ujar Ralan, si robot Alumunium.

"Sudahlah, cepat perkenalan sana!" seru Opi.

"Baiklah... Namaku Renggo Sina, peserta BoR" ujar Renggo.

Ralan tiba-tiba melesat ke depan Renggo, menatap tajam ke dalam matanya meski tinggi mereka ada jarak sekitar 30 cm. Kemudian ia berlanjut memeriksa kondisi leher, pundak dan lengan Renggo.

Tangan Ralan menepuk ringan punggung Renggo, lalu berkata, "Tidak jangan berbohong. Aku tahu siapa dirimu, jadi perkenalkan saja seperti biasa!"

"Aku sudah bilang, itulah namaku, Renggo Sina!" seru Renggo.

Ralan kembali memukul punggung Renggo, "Tidak. Orang lain akan menghindar, tapi cuma kamu saja yang akan menyilangkan tinjuku seperti tadi, sama seperti yang kau lakukan dulu, apa kau tidak ingat, Rogue?"

"Rogue?" tanya balik Renggo.

"Ya, itu namamu,kan?"

"Jangan sebut nama itu lagi"

Tangan Renggo menyambar bagaikan kilat ke leher si robot alumunium dan mengangkat robot pendek itu hingga tidak menginjak tanah. Ralan berusaha melemparkan pukulan, tapi Renggo mendorong tubuh Ralan cukup jauh hingga keluar dari jangkauan pukulan Ralan. Kini sang robot alumunium tidak bisa melakukan apapun selain menyeringai tajam pada soket mata Renggo yang kini memancarkan cahaya hijau.

"H-Hoi! R-Rogue! Jangan main-main! Ini tidak lucu!" seru Ralan.

Cekikan pada leher Ralan semakin menguat sampai-sampai terdengar gesekan antar besi mereka, "Tidak. Aku serius"

Ralan terlempar ke lantai, lepas dari cekikan Renggo. Si robot Alumunium menatap Renggo dengan tajam, seakan tidak percaya dengan yang ia dengar.

"Rogue telah tiada," ujar Renggo.

Si robot peniru segera berbalik, lalu berjalan menuju pintu masuk kolluseum yang berada di sisi lain koridor. Namun Ralan masih berada pada tempatnya, tidak bergerak.

"Sebaiknya kau juga ikut, Ralan. Kau tahu sendiri akibatnya kalau kau tidak mengikuti turnamen ini" ancam Renggo, lalu melanjutkan langkahnya.

"Rogue, apa yang terjadi padamu?"

***

Di sudut lain kolluseum, terdapat kerumunan yang lebih padat dari pada di tempat Renggo dan Ralan. Kerumunan ini tidak hanya terdiri atas para peserta dan Partnernya, melainkan juga para penonton yang berbondong-bondong memasuki kolluseum.

Di antara kerumunan itu, tampaklah sebuah kilatan warna hitam melintas di antara kaki-kaki para pengunjung. Namun kilatan itu tidak berjalan terus menerus, sesekali kilatan itu berhenti di balik kaki atau tiang selama beberapa detik, seakan berusaha mengendap-endap.

Akhirnya sampailah kilatan hitam itu di depan sebuah konter berpapan "Pendaftaran", maka berubahlah ia kembali menjadi wujud aslinya, seorang anak berusia delapan tahun yang memakai kaos bergambar lima Ranger dan celana coklat. Kulit anak itu sebenarnya coklat cerah, tapi semenjak ia berubah, kulitnya mulai menjadi lebih gelap.

"Mbak Kasir!" panggil anak itu pada wanita berkimono di balik konter, "Ini tempat daftar pertarungan, kan?"

"Iya, dik. Tapi untuk hari ini tidak ada pertarungan karena..."

Tiba-tiba anak itu menyela, "Karena pertarungan dari Turnamen BoR akan dilakukan di sini, kan?"

"Iya, dik. Jadi maaf, adik tidak bisa mendaftar"

"Kalau mendaftar jadi partner peserta bisa,kan?"

"Saya rasa bisa. Untuk sekarang ada beberapa peserta yang tidak punya pasangan karena dunianya tidak memiliki "monster" atau bila ada, monster itu tidak terdaftar dalam database Server Amatsu"

"Boleh lihat daftarnya, mbak? Aku mau ikut! Aku mau bertarung sama kakak-kakak yang kuat!"

Wanita di belakang konter itu menekan beberapa tombol pada panel kendalinya hingga keluar sebuah layar yang penuh dengan tulisan di depan si anak. "Apabila anda ingin bergabung, tolong setujui User License Agreement  yang tertera pada..."

Tiba-tiba layar itu tertutup dengan sendirinya. Si pekerja konter panik, mengira ada bug atau prosedur yang salah, tapi ketika ia membuka daftar partner, tampaklah wajah si anak pada urutan terakhir.

"Dik, apa adik sudah membaca ketentuan sampai selesai?"tanya si wanita di belakang konter.

"Lho? Itu cuma perlu tekan 'YA' seperti di Pesbuk sama Pebeh, kan?" tanya anak itu dengan polos.

"Ya ampun... anak zaman sekarang selalu begini... tapi karena adik sudah mendaftar, adik tidak bisa keluar lagi, ya?"

"OKE!"

Si penjaga konter mengutak-atik kunci kendalinya, kali ini mengeluarkan sebuah layar yang menunjukan nama beberapa karakter beserta foto mereka, "Ini daftar peserta yang belum ada pasangannya. Peserta mana yang ingin anda pilih?"

Anak kecil itu menggeser layar di depannya naik turun sambil bergumam, "Ehm... Mas Rambut ijo ini dari kota Jogja. Di kota Jogja nggak ada monster, jadi... eh... tapi ada juga ini mas yang dari bandung..."

"MARDIKA!"

"WWAAAHH!!! B-BU MAWAR?!"

Sebuah teriakan familiar menggema di telinga si anak bernama Mardika itu, refkles si anak meneriakan nama sang pemilik suara karena rasa takut akan si pemilik suara. Anak itu langsung berbalik, hendak lari tunggang langgang ketika melihat seorang wanita berkerudung putih yang memakai jas oranye khasnya.

"MARDIKA, BERHENTI!"

Sentakan wanita itu membuat kaki Mardika kaku sehingga ia tak mampu menajuh sesentipun. Bu Mawar, guru dari sekolah Mardika, segera menghampiri anak itu dan menarik daun telinganya dengan 'Cinta'.

"M-Mardika belum ngapa-ngapain,bu! Jangan jewer Mardika!" seru Mardika.

"Belum ngapa-ngapain! Kamu sudah seminggu hilang dari desa! Orang tua sama teman-temanmu jadi khawatir, Mardika!" bentak Bu Mawar.

"M-Mardika minta maaf,bu! Mardika akan segera keluar! Mardika janji!"

Akhirnya  jeweran Bu Mawar terlepas dari telinga Mardika yang memerah. Anak itu segera menggeser tangannya ke atas, membuka menu yang menampilkan berbagai pilihan setting.

"L-Lho? K-kok tombol Logoutnya nggak ada?"

"Jangan mengada-ngada, Mardika!"

Bu Mawar segera menghampiri Mardika dan memeriksa layarnya. Benar katanya, tombol Log Out telah menghilang dari daftar menu.

"B-Bu Mawar, Ini bukan Ainchard, kan?" tanya Mardika.

"Kamu kebanyakan nonton film, Mardika!" tegur bu Mawar.

"Permisi, nona" panggil penjaga konter, "Dik Mardika tidak bisa Log Out karena ia telah menyetujui surat pernyataan mengikuti turnamen Battle Of Realms"

Si penjaga konter mulai menjelaskan peraturan-peraturan dasar Kollusium, salah satunya menyatakan bahwa pemain yang membuat kontrak dalam Kollusium tidak dapat keluar sampai kontraknya selesai.

"Mardika..." gumaman Bu Mawar memang pelan, sementara Mardika gemetar melihat aura kehitaman yang memancar dari sang guru.

"Jangan Jewer Mardika, bu! Mardika masih mau main!" pinta Mardika.

"Saya rasa anda tidak ingin dik Mardika meninggalkan turnamen, nona Mawar" ujar si penjaga konter.

"Kenapa?"

"Dik Mardika telah terpasang sebagai partner anda dalam ronde ini" ujar si penjaga konter.

"HHAAAHHH??!!! B-Bu Mawar peserta BoR?!"


==Intermission - 2==
"The White Flash"


Kota Sampah. Ya, seperti namanya, kota ini adalah sebuah kota yang penuh dengan sampah. Bangunan, jalan, bahkan robot yang ada di dalam tempat ini terbuat dari sampah. Jika tidak, maka mereka sendirilah sampahnya.

Awalnya kota ini adalah tempat pendaur ulang dan pengolahan limbah, tapi semenjak insiden "Hujan Kematian", penduduknya mati dan meninggalkan kota ini jadi tak terawat walaupun robot-robot pengumpul sampah dari luar kota terus membuang sambah ke kota ini hingga akhirnya mendapat julukan itu.

Dalam dunia "The Iron World" saat ini, kota Sampah adalah tempat berburu yang bagus bagi para penjarah. Bagaimana tidak? Ratusan sampah terus berkumpul di kota ini dari milenia lalu, sehingga terdapat berbagai sukucadang dan barang-barang antik yang laku dipasaran.

Pada hari itu, sebuah robot humanoid abu-abu berjalan pada salah satu jalan di kota sampah. Jalannya sempoyongan, tapi ia tetap melangkah seakan hidupnya sedang dipertaruhkan. Akhirnya ia berhenti ketika melihat sebuah bola besi yang memancarkan percikan listrik di samping jalan.

Dengan segera robot abu-abu itu menghampiri bola itu sambil membuka sebuah celah mekanis pada bagian bawah wajah kepalanya. Bola itu terkupas, lalu isinya diambil sedikit demi sedikit hingga akhirnya tak bersisa.

"Sudah kenyang?"

Begitu mendengar suara itu sang robot langsung melompat menjauh dan berputar menghadap arah suara ketika di udara. Secara insting dia tahu betul, apabila ada suara setelah ia menyantap makanan, berarti ia telah masuk dalam jebakan.

"Jadi kaulah robot peniru yang mereka bicarakan?"

Sebuah sosok keluar dari balik bangunan, menampakan dirinya yang berbalut perlengkapan serba putih. Sebuah jubah putih menutup seluruh tubuhnya, tapi ketika bergerak keluar, mata sang robot menangkap sebuah pelindung besi putih di bawah jubah itu. Namun di antara semuanya, yang paling mencolok adalah sebuah pedang yang ia bawa dengan menyeret ganggangnya.

Dalam ukuran pedang, ukurannya sangat besar. Panjangnya saja hampir mencapai dua meter, jika diberdirikan pasti akan lebih tinggi dari pemakainya sendiri. Lebarnyapun tidak main-main, sedikit lebih lebar dari si pemakai, tapi jika dipadukan dengan panjangnya, siapapun akan tahu itu adalah senjata untuk melawan monster raksasa.

Dilihat dari cara orang itu menyeret senjatanya, sang robot berkesimpulan bahwa orang itu tidak akan mampu mengangkat pedang itu ke kuda-kuda bertarung, apalagi bertarung melawan dirinya.

Sang robot melompat maju, mendarat di depan si jubah putih. Cakarnya melesat dengan tujuan menyerang leher lawannya. Namun cakar itu tidak pernah mendarat karena sang robot sendiri terlempar hingga menghantam sebuah bangunan.

Dari bangunan yang sama, sang robot kembali bangkit, kini dengan tiruan pedang raksasa sang lawan di tangannya. Pedang itu dicoba untuk di angkat, tapi dia sendiri tidak bisa mengangkat pedang itu hingga ke atas kepala, hanya sebatas dengkulnya saja. Ini membuatnya bingung kenapa lawannya bisa menghantamkan senjatanya pada dirinya.

"Caramu salah," ujar si jubah putih, "Tidak perlu mengangkat sebuah pedang raksasa untuk dapat memakainya"


==3==
The Warm Begining of A Sad Farewell


Bu Mawar berjalan ke pintu arena Kollusium dengan lesu. Bedasarkan penjelasan si penjaga konter, Mardika menjadi partnernya karena ia tiba-tiba menjeritkan nama Bu Mawar, sehingga si penjaga konter mengira Mardika memilih Bu Mawar.

Namun tidak untuk Mardika, ia malah semakin semangat mengikuti pertarungan Turnamen. Mardika mulai mengoceh dan menghujani Bu Mawar dengan ratusan pertanyaan tentang turnamen BoR, entuanisme yang tidak pernah ia tunjukan pada pelajaran sang guru.

"Bu Mawar ini... katanya suka kalau murid banyak tanya, tapi kok malah lesu?" sindir Mardika.

"Bu Mawar bingung, Mardika... Bu Mawar mau keluarkan Mardika dari game ini, tapi malah Mardika nggak bisa keluar gara-gara Bu Mawar" ujar Bu Mawar lesu.

"Mardika nggak mau keluar, bu! Tempat ini asik! Nggak kaya di sekolah!"

"Hei! Jangan bicara seperti itu! Game itu memang asik, tapi kalau main kelamaan nilaimu yang sudah jelek bisa merosot!"

"Bu Mawar bilang kayak nggak pernah main Game Online..." gumam Mardika.

"Ibu memang nggak pernah main Game Online" jawab Bu Mawar ketus.

Mardika terbelalak,"Masa? Ibukan dari kota besar! Masa nggak pernah..."

Kalimat Mardika tidak terselesaikan. Si murid menjadi kaku dengan mulut mengangga lebar, melihat sesuatu di kanan sang guru. Awalnya sang guru berpikir ada orang lain di sampingnya, tapi ternyata yang Mardika lihat adalah lengan kanan baju Bu Mawar yang diikat menjadi simpul mati.

"B-Bu Mawar... L-Lengan Ibu..." Ucap Mardika gemetar.

Sang guru menghela nafas, "Mardika, ini alasan kenapa ibu tidak ingin Mardika ikut turnamen bunuh-membunuh ini"

Mardika tidak lagi tersenyum seperti tadi. Mulutnya merengut, sementara pipinya terbasahi oleh air mata. Tidak salah jika Bu Mawar sering memarahi Mardika, tapi salah jika ada yang berpikir Mardika membenci Bu Mawar.

Lengan kiri sang guru memeluk Mardika. Kurang setengah, memang, tapi kehangatan pelukan yang samalah yang membuat si anak kecil merasa nyaman dikala bersedih karena ditinggal bermain teman-temannya.

"Dilham, Wilda, Arai, Eriza... Nak, teman-temanmu yang lain tidak seberuntung dirimu. Ibu ingin mengeluarkanmu dari mimpi buruk ini, tapi Ibu tidak sekuat itu" ujar Bu Mawar. "Nak, ibu lebih mengkhawatirkan nyawamu daripada nyawa ibu. Kalaupun kita kalah dalam ronde ini, Ibu ingin yang mati adalah ibu, bukan Mardika"

"Tapi Mardika tidak lagi lemah, bu! Mardika bisa jaga diri! Mardika bisa jaga Ibu!" seru Mardika.

"Mardika, kamu satu- satunya murid ibu yang tersisa. Kalau ibu kembali dengan tangan hampa, apa kamu bisa bayangkan reaksi orang tuamu? Reaksi dari orang tua teman- temanmu?"

Mardika semakin merengut. Tidak salah yang dikatakan sang guru. Guru disebut gagal apabila tidak mampu melindungi muridnya dan Bu Mawar memegang teguh prinsip itu.

"Kamu masih mudah, nak... Kamu masih bisa jadi pahlawan seperti..."

Namun Mardika menyela,

"Tidak! Mardika tidak suka, Bu!"

Bu Mawar hendak membentak, tapi ternyata Mardika belum menyelesaikan kalimatnya, "Ayo kita pulang sama- sama, Bu Mawar!"

Wajah Bu Mawar kembali tersenyum. Dipeluknya Mardika lebih erat, begitupula sang murid.

"Ya, ayo kita pulang sama-sama" jawab Bu Mawar.

Namun Mardika tidak dapat menahan tangisannya lagi. Di balik kalimat teguhnya, Mardika masih ingat bahwa empat teman yang ia kenal baik tidak akan bisa ia temui lagi, wajar bagi anak seumurnya takut menjadi korban berikutnya.

Bu Mawar merasa bersalah karena memberi tahu berita duka yang seharusnya ia jaga sampai nanti. Sang guru berpikir bagaimana membuat anak itu kembali riang.

Game Online. Ya, itu yang ia ingin bicarakan tadi.

"Setelah ibu ingat-ingat, dulu waktu Ibu SMP pernah rutin main game Online" ucap Bu Mawar.

Tangisan Mardika terhenti, kini anak berbaju power rangger itu berfokus pada sang guru.

"Dulu waktu Bu Mawar SMP itu masa boomingnya game online, jadi anak laki atau perempuan seringnya main game online. Kalau nggak main nggak ghaol, itu katanya... ehehe..."

"Bu Mawar ketawa?"

"Ibu teringat, dulu ada game yang buat ibu senang karena bisa interaksi sama apapun di dalam game itu. Mulai dari NPC, monster, bahkan batu di pinggir jalan sekalipun. Ibu juga pernah berteman dengan monster di sana"

"Game apa itu, bu? Kok Mardika belum pernah dengar?" tanya Mardika riang, seakan melupakan berita duka dari Bu Mawar.

"Tentu saja kamu nggak pernah dengar. Produser game ini gulung tikar ketika ibu masuk SMA. Katanya pembuatan game yang bisa interaksi dengan segala isinya menghasilkan kerugian lebih besar dari keuntungannya"

"Heeeh... Sayang sekali... berarti Mardika nggak bisa main,dong!"

"Jangan main melulu. Kamu harus fokus belajar. Bu Mawar kalau main ya cuma dua jam di hari sabtu dan minggu"

"Terus, nama dari Game itu apa, Bu?"

"Ehm... kalau nggak salah namanya adalah..."

"SELAMAT DATANG WAHAI PARA PENDATANG!"

Sebuah suara lantang memotong pembicaraan keduanya. Pasangan Guru dan muridnya itu segera beranjak keluar dari lorong, menuju sebuah pintu yang berbinar dengan cahaya matahari.

***

Angin berhembus pada arena kolluseum Amatsu yang beralaskan pasir dan beratapkan langit biru sehingga cahaya matahari dapat masuk. Arena itu di kelilingi oleh dinding-dinding setinggi 5 meter yang melingkar dengan jari-jari 25 meter. Di atas dinding-dinding itu terdapat barisan-barisan penonton yang bersorak ria, menyambut kedatangan para peserta.

Beberpa layar digital melayang-layang di atas kursi penonton, menampilkan wujud Tarou, si pembawa acara yang berwujud humanoid merah berkepala ikan.

"Di sisi merah, kita kedatangan sebuah robot yang bisa menirukan siapa saja mulai dari bentuk hingga ke kemampuan mereka! Mari kita sambut, RENGGO SINA!!!" seru Tarou, lalu diikuti sorak seru para penonton.

Gerbang di sebelah utara terangkat naik. Sebuah robot abu-abu bermata merah masuk bersama dengan partnernya yang bertubuh ramping, lalu ketika mereka menginjak pasir arena, gerbang di belakang mereka langsung menutup.

"Renggo Sina, itu nama yang kau pakai saat ini?" tanya Ralan pada partnernya.

"Ya, kurasa... Aku tidak punya nama lain selain itu" jawab Renggo.

"Nama yang jelek. Terdengar seperti anagram dari Nasi Goreng" ujar Ralan.

"H-Hei! Jangan mengada-ngada!" bantah Renggo.

"Sebenarnya dia benar, Renggo. Aku menamaimu ketika makan nasi goreng" ujar Opi.

"T-Tidak mungkin! Kau hanya bercanda,kan?" pekik Renggo.

"Akan kupanggil dengan 'Boss' saja supaya kau tidak tersakiti, Nasi Goreng" ujar Ralan.

"Dia benar, Nasi Goreng. Mungkin kau perlu nama lain, Nasi Goreng" ujar Opi.

"Berhenti memanggilku Nasi Goreng!" seru Renggo.

Terdengar suara ketukan dari speaker, membuat para penonton dan peserta kembali diam untuk fokus pada pembawa acara.

"Dan untuk melawan peserta Nasi... ehem... maksudku Renggo Sina, di sisi biru adalah sang guru teladan yang membimbing murid-muridnya dengan cinta! Silahkan sambut, Bu Mawar!"

Gerbang di sebelah selatan terbuka. Sang guru berjas oranye dan partnernya yang masih kecil berjalan keluar dari gerbang itu. Namun tidak seperti ketika Renggo keluar, para penonton tidak bersorak kali ini.

"Psst... kenapa ada orang biasa dalam turnamen ini?" bisik salah seorang penonton.

"Entah, mungkin dia tipe yang tiba-tiba berubah ketika terdesak?" balik bisik penonton lainnya.

Semakin banyak bisikan terdengar dari bangku penonton, membicarakan kelayakan Bu Mawar di turnamen ini. Pembicaraan ini semakin memanas ketika ada beberapa penonton yang mengaku menyaksikan kejadian di ronde penyisihan dan hutan Dodonge dimana Bu Mawar hampir tidak bertarung sama sekali.

"Goreng... maksudku, Renggo. Berhati-hatilah melawan peserta itu" ujar Opi.

"Kemampuan apa yang dia punya?" tanya Renggo.

Opi mendesah pelan, lalu menjawab, "Justru itulah yang aku takutkan... dia tidak punya kemampuan apapun, tapi bukannya aneh kalau dia bisa sampai ke ronde ketiga?"

"Tidak usah ragu, Boss Goreng! Kalau dia menyembunyikan kekuatan, hajar sebelum kekuatannya keluar!" seru Ralan.

"Jangan panggil Boss Goreng!" pekik Renggo.

"Kalau Boss Nasi?" saran Ralan.

"Ah, sudahlah... kalian memang suka mempermainkan namaku..." gerutu Renggo.

"Perhatian untuk para peserta!" panggil Tarou, "Pertarungan akan segera dimulai, diharapkan untuk para peserta menuju lantai batu di tengah arena"

Mengikuti perintah Tarou, kedua tim berjalan ke sebuah lantai batu berbentuk lingkaran di masing-masing sisi arena. Renggo dan Ralan di atas lantai berwarna merah, sedangkan Bu Mawar dan Mardika di atas lantai biru. Keduanya berjarak delapan meter, cukup dekat untuk mengenali sosok lawannya.

"Renggo, partnermu butuh supply listrik untuk bertahan hidup, jadi ketika dimulai, langsung panggil barang terbaru di Item Drop!" perintah Opi.

"Siap!" jawab Renggo.

"Bedasarkan peraturan team battle, apabila salah satu peserta atau partnernya dikalahkan, maka dia akan diaggap kalah! Tentu saja, parameter kekalahan bisa menyerah atau dihabisi sampai tidak ada tanda kehidupan!" seru Tarou. "Tanpa menunda lagi! Pertarungan Ronde ketiga Battle of Realms, Renggo Sina melawan Bu Mawar dimulai!" seru Tarou.

"Renggo, Item Dropnya!" seru Opi.

Tangan Renggo segera bergerak membuka menu pemanggilan barang ke dalam arena. Segeralah ia memilih menu "Electric Lavell's Braclet" pada kolom barang dan menekan tombol konfirmasi. Sebuah dentuman keras langsung terdengar keras dari langit, mengawali jatuhnya sebuah kapsul besi ke dalam arena bagaikan sebuah meteor.

"Mardika, awas!" seru Bu Mawar.

Kapsul meteor itu mendarat tepat di depan kaki Mardika. Bocah malang itu memekik karena kedatangannya yang tiba-tiba, lalu terjatuh ke belakang dan membentur kepalanya karena tersandung kakinya sendiri.

"Mardika! Nak! Kamu nggak papa?"

Bu Mawar memeriksa nafas Mardika, masih bernafas. Sang guru mulai menggoyang- goyangkan tubuh Mardika untuk membangunkan si murid, tapi karena terlalu shock, si bocah hanya bisa diam dengan mata terbuka lebar.

"Hei, kamu! Ke sini!" seru Bu Mawar pada Renggo.


==4==
A New Solution


"Ehm... peserta? Saya sudah umumkan pertarungan boleh dimulai..." ucap Tarou pada para peserta.

Bagaimana tidak bingung, kedua kubu peserta belum memulai pertarungan. Keduanya berkumpul di tengah arena, tampaknya sedang berdiskusi. Bu Mawar tampak sedang memarahi Renggo, sedangkan di belakang sang guru adalah Mardika yang masih shock karena kedatangan kapsul dan Ralan sendiri tampak frustasi karena pertarungan belum dimulai sama sekali.

"Kamu ini sudah dewasa, masa nggak kasihan sama yang masih kecil ini!" tegur Bu Mawar pada Renggo.

"B-Bukan aku yang keluarkan kapsul itu, Opi yang memberikan perintah!" bela Renggo terhadap dirinya.

Sebuah pipa langsung muncul di depan Renggo, "Hei! Jangan sembarangan! Aku ini..."

"Jadi kamu dalang di balik semua ini?" tanya Bu Mawar pada pipa yang baru muncul itu.

"Iya, ada masalah, nona?" balas Opi.

"Kamu ini teledor sekali, ya! Punya kemampuan jatuhkan meteor nggak masalah, tapi kalau kena murid saya jadinya gimana!" bentak Bu Mawar.

Opi berusaha memberi penjelasan, "M-Maaf, Bu guru! Saya agak teledor, lagi pula saya nggak ngira kapsulnya bakal jatuh di sana, toh seharusnya jatuh pakai koordinat acak..."

"Jangan alasan! Kalau ini kemampuanmu, berarti ini juga tanggung jawabmu! Coba kalau mendarat di kursi penonton! Siapa yang tanggung jawab!"

"I-Iya, Bu... saya akui kesalahan saya..." akhirnya Opi tumbang.

Tarou kembali berkomentar, "Wah, sepertinya pertarungan benar- benar sudah di mulai! Bu Mawar menggunakan serangan mental terhadap... ehm... pipa yang muncul dari tanah?"

Di balik mic terdengar Tarou berbisik dengan tim arena, menanyakan apa gerangan pipa itu. Namun karena tidak ada yang tahu, dia menganggap pipa itu adalah media pengalihan perhatian milik Renggo.

"Terus, Bu Mawar! Tegur dia lebih keras!" sorak salah satu penonton.

"Tegur aku juga, Bu Mawar!" sorak penonton lainnya.

"Marahi dia sampai jera, Bu Mawar!" sorak Renggo.

Tiba- tiba tangan Renggo menampar dirinya sendiri akibat dari forced command Opi. Lalu sang operator berseru balik, "Sialan kau Renggo! Malah dukung kubu lawan!"

"Jangan alihkan perhatian!" tegur Bu Mawar.

"B-Baik, Bu mawar!" balas balik Opi.

"Tulis nama saya dengan huruf M kapital!"

"S-Siap, Bu Mawar!"

Setelah beberapa menit teguran satu sisi, akhirnya Mardika kembali siuman. Sang bocah menghampiri Renggo dan bertanya kenapa si robot dan partnernya duduk menyaksikan Bu Mawar menghakimi Opi, lalu mereka menjawab tidak ada hiburan yang lebih menarik. Mardika mengerti maksud Renggo, lalu duduk di sebelahnya, ikut menonton "pertarungan" seru itu.

Akhirnya amarah Bu Mawar meredah, memberi kesempatan Opi untuk memberi solusi, "Jadi, bagaimana solusinya?"

"B-Bagaimana kalau begini, kita gunakan sistem perebutan barang! Bu Mawar dan saya tentukan barang yang harus dijaga tim masing-masing, lalu kita memperebutkannya! Tim yang kalah harus menyerah, b-bagaimana, bu?" saran Opi.

"Apa keuntungan dari solusimu?" tanya sang guru.

"K-Kalau solusi saya kita jalankan, kita akan fokus merebutkan barang daripada melukai sesama, sehingga luka secara fisik dapat diminimalisir!" jawab Opi.

"Bagus, bagaimana dengan kalian yang duduk di sana? Apa ada yang keberatan?" tanya Bu Mawar.

"Tidak, Bu guru!" jawab Renggo, Ralan dan Mardika dengan kompak.

"Barang apa yang akan kalian pertaruhkan?" tanya Bu Mawar.

"Renggo, keluarkan kristal dari ronde penyelisihan!" seru Opi.

Renggo segera berdiri, lalu mengambil sebuah bola kristal sebesar genggaman tangannya. Bola kristal itu merupakan Drop dari Orc berbaju besi di ronde penyelisihan, tapi telah menganggur dan tidak dipakai semenjak itu.

"Bagaimana dengan Bu guru?" tanya Opi.

Bu Mawar segera merogoh ke dalam sakunya. Barulah dia panik. Ia baru ingat kalau ketika datang ke dunia ini, semua benda, bahkan lipstiknya yang sudah setengah habis tertinggal di depan komputer yang ia pakai.

"Ada apa Bu Guru? Kami sudah menunggu, lho~~~" Opi mulai merasa berkuasa, kalau kondisinya seperti ini, seharusnya ia bisa menggunakan kalimat Bu Mawar sendiri untuk membalas kekalahannya.

Sayangnya niatan Opi tidak mungkin tercapai. Ketika Bu Mawar merogoh sakunya yang lain, sang guru menemukan senjata kesayangannya yang selalu ia bawa, tongkat rotannya.


==Intermission - 3==
"The Unuseable Giant Sword"


Satu persatu bangunan di kota sampah berjatuhan. Berulang kali dinding fondasi bangunan- bangunan itu dihantam oleh sebuah robot yang terlempar karena pukulan kuat dari lawannya. Untuk kesekian kalinya, si robot berdiri lagi dan menerjang lawannya dengan pedang raksasanya, tapi hasilnya sama, ia tetap terlempar oleh serangan yang sama.

Si robot berdecak. Lawannya bertubuh ramping, seharusnya beratribut kecepatan, jadi tidak mungkin memakai atau bahkan mengangkat sebuah pedang raksasa. Namun yang disaksikan olehnya bukan ilusi, bukan juga sebuah tipuan. Pedang sang lawan bisa bergerak cukup leluasa, bahkan melayangkan si robot berkali-kali.

Tak melihat peluang menang, si peniru segera kabur memasuki bangunan yang masih utuh. Lawannya, si jubah putih segera mengejar sambil menyeret pedang raksasanya ke bangunan yang dimasuki si peniru.

Si jubah putih mengangkat gagang pedangnya hingga ke atas kepala, tapi meski dengan pose itu sekalipun, ujung pedang raksasanya masih menempel di lantai. Tangan lain si jubah putih menyentuh bilah dihadapannya, lalu di dorong perlahan masuk ke dalam bangunan.

Gelap. Tidak ada cahaya di dalam ruangan, bahkan bulan tidak bersinar ke dalam bangunan itu. Awan radioaktif selalu berkumpul di atas kota sampah, jadi ini bukanlah sebuah pemandangan asing bagi yang hidup di kota ini.

Sebuah kristal bulat dilempar dari kantong si jubah putih, lalu melayang-layang di udara sambil memancarkan percikan listrik kebiruan. Kristal itu adalah sebuah metode pencahayaan, tapi juga merupakan sebuah metode untuk memancing keluar musuh atau robot-robot yang kelaparan.

Suara retakan kayu terdengar dari belakang si jubah putih. Lantai kayu di atasnya runtuh, menjatuhkan sosok sang robot peniru tepat di belakangnya. Si jubah putih melompat mundur, memutar tempatnya ke sisi lain pedang dan memakainya sebagai perisai.

Namun yang datang tak terduga. Pedang raksasa yang seharusnya tidak bisa diangkat si jubah putih ataupun si robot peniru kini berada di atas kepala si robot peniru dalam posisi tegak. Si jubah putih berasumsi bahwa sang peniru sengaja menempatkan dirinya satu lantai di atas lawannya, lalu ketika si lawan datang, ia menjatuhkan dirinya duluan supaya pedang raksasanya bisa berada di atas kepalanya.

Kedua pedang raksasa itu saling hantam. Si jubah putih memakai sisi datar pedangnya untuk berlindung, sedangkan sang peniru memakai sisi tajamnya. Sudah bisa dipastikan sisi tajam pedang si peniru akan membelah sisi datar si jubah putih, apalagi dengan tambahan kekuatan gravitasi.

Benar saja, pedang raksasa si putih terbelah, mengakibatkan tuannya remuk karena terkena serangan yang tidak bisa di tahannya. Si putih terurai menjadi partikel-partikel biru, menandai kematian dirinya.

Tangan sang peniru tertunduk lesu setelah melepas gagang pedang raksasanya. Pedang itu kini menancap dalam pada lantai, tidak mungkin bisa dicabut lagi oleh dirinya. Sang robot menyandarkan dirinya di dinding, lalu mulai memperbaiki bagian tubuhnya yang dapat diperbaiki.

Waktu terus berlalu seiring dengan pemerbaikian tubuh si robot. Kini awan radioaktif di langit bergeser, membiarkan cahaya bulan memasuki jendela- jendela rusak bangunan itu.

"Lho? Masih di sini?"

Sebuah suara mengejutkan si peniru, segera ia berjalan ke tengah ruangan, memeriksa siapayang datang ke bangunan ini. Sialnya, pendatang ini adalah si jubah putih yang telah dia habisi tadi. Dengan segera si peniru mencoba menarik pedang raksasanya, tapi tak peduli seberapa sering ia mencoba menariknya, pedang itu tidak mau lepas.

"Tadi caramu memakai pedang seperti ini,kan?" tanya si jubah putih yang kini telah berada di lantai kedua.

Si peniru lengah. Ia terlalu fokus menarik pedangnya sampai lupa seberapa bahayanya si jubah putih itu. Dengan teknik yang ia pakai tadi, si jubah putih melompat turun, lalu melayangkan pedang raksasanya pada si peniru, meremukannya seketika. Partikel kemerahan meledak dari dalam tubuh si peniru, menandai kematiannya.


==5==
The Actual Start


Kedua kubu kembali ke lantai dimana mereka seharusnya mulai bertarung. Namun belum juga ada aba-aba mulai, Renggo sudah ditampar oleh tangannya sendiri. Sialnya tamparan ini tidak menunjukan tanda akan berhenti karena sang operator lebih kesal dari pada biasanya.

"Ro... maksudku, Boss. Kenapa kamu menampar dirimu sendiri?" tanya Ralan.

"Bukan aku! Ini ulah si operator gila ini!" seru Renggo.

"Menurutmu kenapa aku kesal, Renggo!" bentak Opi.

Selagi menunggu pertengkaran di tim Renggo selesai, Bu Mawar memutuskan untuk memeriksa kapsul yang jatuh tadi. Memang ia marah karena kapsul Item Drop hampir melukai muridnya, tapi kini ia sendiri penasaran akan isi dari kapsul itu, maka disentuhlah kapsul tersebut.

Kapsul misterius itu membelah menjadi empat bagian, menampakan wujud sebuah gelang hitam di dalamnya. Gelang itu tiba-tiba bercahaya, lalu terpecah menjadi butiran cahaya yang melesat ke tangan kiri Bu Mawar. Ketika semua butiran cahaya itu selesai tersusun, gelang tadi telah melekat pada lengan kiri Bu Mawar.

Sang guru berusaha melepas gelang itu, tapi karena ia hanya punya satu tangan, tidak mungkin dapat melepasnya sendirian. Sebuah layar hologram kecil muncul di depan wajah Bu Mawar berisi instruksi dari gelang itu.

"Ah, sial. Aku lupa dengan kapsul itu" gumam Opi, "Yah... untungnya kita sudah lewat lima belas menit, jadi kau bisa memanggil kapsul lain"

"Kali ini apa yang akan kita jatuhkan?" tanya Renggo.

"Sniper yang gagal kita dapatkan di ronde kedua"

***

Kedua kubu peserta telah bersiap di posisi mereka masing- masing. Para peserta ronde tampak tidak sabar bertarung, teurtama Ralan dan Mardika yang sudah mulai melempar- lemparkan pukulan pada udara kosong.

Sesuai peraturan yang disepakati, Renggo dan Bu Mawar tidak boleh menyimpan barang taruhan mereka, sehingga mereka menggengam barang mereka di tangan masing- masing.

"Aku hitung mundur, ya!" seru Bu Mawar, "Tiga, Dua, Satu... Mulai!"

Mardika  meletakan kedua tangannya di lantai, berdiri dengan empat kaki. Perlahan tubuh Mardika mulai menghitam,  lalu membesar hingga empat kali ukuran tubuhnya. Bulu-bulu abu-abu berloreng hitam tumbuh di tubuh sang anak, memberi kesan kalau tubuhnya berubah menjadi sebuah harimau.

"L-Lho? Mardika? Kok kamu berubah jadi Harimau? Jangan-jangan kamu kebanyakan nonton sinetron tujuh..."

"Ah, Bu Mawar! Masa apa-apa dikaitkan sama TV,sih!" seru Mardika.

Begitu perubahannya selesai, Mardika sang harimau hitam langsung menerjang maju. Begitu pula dengan Ralan, robot Alumunium itu mulai melintasi area berpasir untuk menyambut Mardika. Ketika bertemu, keduanya tidak menunggu apa-apa untuk mulai bertarung dengan gaya khas mereka sendiri.

"Renggo, kapsulnya!" seru Opi.

Jari Renggo menekan menu- menu pada layar hologramnya, mengaktifkan Item Drop yang menjatuhkan robot Sniper dari langit. Dentuman di langit kembali terdengar, mengawali jatuhnya sebuah kapsul yang cukup besar untuk menampung seorang manusia di dalamnya.

... dan kapsul itu kembali mendarat di posisi Bu Mawar.

"O-Opi! Kenpa kapsul itu juga jatuh di depan si Mawar!" seru Renggo.

"Hush! Panggil dia Bu Mawar!" seru Opi, "eh... maksudku... ARGH! Ini pasti kemampuannya! Apa kau tidak lihat nama guru itu selalu ditulis sebagai 'Bu Mawar' dari pada 'Mawar' saja? Pasti jatuhnya barang- barang kita di tempatnya juga bagian dari kekuatan Bu Mawar!"

"L-Lho? Terus kekuatan Bu Mawar yang sesungguhnya apa?" tanya Renggo.

"Mungkin Luck2) tingkat S+ atau Sugesti tingkat B+" ujar Opi, "Tapi entah kenapa kekuatannya tidak berpengaruh padamu atau Ralan, seperti barusan ketika kau menyebut nama si guru tanpa gelarnya. Karena aku mengganggu, jadi akan kutinggalkan kalian untuk bertarung sendiri!"

"Paling tidak ganti aku dengan bentuk lain, mungkin Ernesto Boreas?" tanya Renggo.

"Tidak, Ralan sudah tipe penyerang jarak dekat, jadi kau harus menjadi tipe Support" ujar Opi.

Sekumpulan pixel abu-abu tercipta disekeliling Renggo hingga akhirnya menutupi tubuhnya. Proposi tubuhnya berubah menjadi feminim, lalu diikuti keluarnya rambut abu- abu yang dikuncir dua masing-masing di kedua sisi kepalanya. Ketika pixel abu- abu Renggo hilang, ia telah meniru Alicia, robot satu tim dengan Renggo saat babak penyisihan.

"Alicia lagi?!" pekik Renggo.

"Hei! Kau sudah memakai Ernesto di ronde sebelumnya!" seru Opi.

"Tapi aku langsung berubah gara- gara dicakar kucing si Puppet!" seru Renggo.

"Ah, sudahlah. Kalau kau terdesak, aku akan kembali lagi" ujar Opi. Bola mata di sabuk Renggo tidak lagi memancarkan cahaya, tanda bahwa si operator telah menonaktifkan bola mata itu.

Namun Renggo tidak diberi jedah istirahat. Dua buah peluru melesat ke arahnya, berdesing nyaring dengan angin seiring jalannya. Mesin terbang Renggo melebar bagaikan sayap, lalu melepas dorongan hingga peniru itu terbang menghindari dua peluru tadi.

Renggo langsung terbang menuju lantai biru Bu Mawar, melewati pertarungan Ralan dan Mardika di tengah arena. Pada lantai biru tersebut, sebuah robot berpostur feminim dengan cat kuning sedang membidik dirinya, anehnya sosok itu masih dapat membidik meskipun memakai helm yang menutupi seluruh kepalanya. Kini Renggo tahu bagaimana wujud si robot Sniper.

Sebuah peluru melesat ke arah Renggo dengan desingnya, tapi Renggo segera menghindar ke samping, menghindarinya dengan mudah. Sayangnya peluru kedua ditembakan tepat ke arah hindaran Renggo, tak memberi kesempatan si peniru untuk menghindar, peluru itu langsung melepas asap hitam ke lingkungan sekitar.

Karena ada tabir asap, Renggo terpaksa mendarat untuk keluar dari kepulan asap. Tangan kanan Renggo direntangkan, lalu mengeluarkan sebuah pedang cahaya berwarna biru untuk menghadang tembakan- tembakan berikutnya.

Tiga buah peluru meluncur dengan desingan mereka. Renggo langsung memposisikan tubuh sejajar dengan arah majunya dan menebas- nebaskan pedangnya untuk membalik atau paling tidak, membelokan arah tembakannya. Sayangnya Renggo bukanlah pemain pedang, jadi satu peluru mendarat di pundak dan dua lainnya mengenai perisai tas sang robot.

"HAHAHA! Kau kira dirimu apa? Luke Pejalan Langit dari Perang Bintang!" entah kenapa, Renggo dapat mendengar ledekan Opi meskipun ia sedang tidak aktif.

Namun pengorbanan Renggo tidak sia-sia, dia sudah memperdekat jarak hingga tiga meter. Anehnya, si Sniper masih saja meskipun hanya beberapa langkah saja yang diperlukan untuk sampai di tempatnya.

"Sniper, pergi dan bantu Mardika!" seru Bu Mawar.

Tanpa membalas, robot sniper kuning mengalungkan senjatanya di punggungnya lalu pergi menuju tengah arena. Sayangnya, jalur yang ia pilih bertepatan dengan arah datang Renggo.

Renggo menggengam erat kristal taruhan di tangan kirinya yang menekuk ke dalam perut. Pedang cahaya di tangan kanan Renggo menebas robot sniper yang berjalan ke arahnya, tapi secara tak terduga robot itu mengeluarkan mesin terbang berbentuk sayap dari punggungnya dan melompat salto melewati kepala Renggo setelah diberi sedikit dorongan dari sayapnya. Si Sniper mendarat mulus, lalu segera melanjutkan perjalanan tanpa memasukan sayap barunya.

Renggo berdecak, kesal kehilangan lawan. Namun sisi baiknya, sekarang tidak ada siapapun melindungi Bu Mawar. Menurut Opi kemampuan Bu Mawar tidak akan bekerja untuk Renggo, sehingga sang robot yakin ia dapat menyelesaikan pertarungan dengan cepat.

Sayangnya Renggo luput akan satu hal. Kekuatan 'Kebaktian Guru' Bu Mawar memang tidak bekerja pada robot, tapi ada satu tipe serangan yang sangat efektif terhadap Renggo.

"ROBOT MESUM!" pekik Bu Mawar.

Seketika itu seluruh tubuh Renggo membeku. Setelah dua ronde tidak di ungkit, kini luka lama itu terbuka lagi.

"Aku bukan robot mesum!" seru Renggo.

"Kamu itu laki-laki, kan! Kenapa kamu pakai rok! Kenapa pakai model rambut anak gadis! K-Kenapa pula ada benjolan di dadamu!"

Sakit sekali, rasanya seolah ada tiga panah raksasa menghujam punggung Renggo pada saat bersamaan. Sang robot tiba-tiba terjatuh, tapi ia menahan kejatuhannya hanya dengan lengan kanan.

"Ya ampun, Renggo... Jangan- jangan kamu berniat mengarungi guru ini juga? Seperti yang kau lakukan pada Alicia dan Halia?" ujar suara Opi dalam pikiran Renggo.

Satu lagi panah yang paling besar menghujam, mendorong tiga panah lainnya hingga menembus tubuh Renggo. Punggung sang robot peniru melemas, membuat seluruh tubuhnya jatuh ke lantai pasir arena. Renggo telah mati, secara mental.

Melihat lawannya terkapar di tanah, Bu Mawar segera menghampiri dan hendak mengambil kristal si robot. Namun kristal itu tercengkram di tangan kiri Renggo yang tertindih oleh tubuh si peniru. Bu Mawar berusaha menggeser Renggo, tapi menggerakan robot seberat 200 Kg bukanlah tugas yang bisa dijalankan seorang guru.

***

Terdengar besi- besi berdenting dari tengah arena, diikuti oleh percikan-percikan api kecil yang menyala hanya dalam sekejap. Para penonton stadion bersorak, menyemangati Mardika dan Ralan yang tengah bertarung sengit di layar tonton mereka.

Pukulan – pukulan cepat dilancarkan berkali - kali oleh Ralan pada Mardika sang harimau hitam. Tubuh ringan si robot alumunium membuatnya mampu melancarkan rangkaian serangan mematikan yang tersusun atas pukulan-pukulan ringan lalu diakhiri dengan satu pukulan kuat sebelum melompat mundur untuk menjaga jarak. 

Di sisi lain, Mardika kesusahan melawan Ralan karena tubuh macan hitamnya tidak selincah Ralan. Dalam segi kekuatan, Mardika memang unggul, tapi cakar dan taringnya hanya sebatas menggores tinju Ralan karena si petinju segera melompat mundur begitu Mardika merusak rangkaian serangannya.

Setelah adu kekuatan selama lima menit, kedua partner itu melompat mundur, lalu mengambil jarak untuk bisa menangkap nafas di tengah pertarungan. Tidak ada yang berbicara, karena keduanya tahu orang seperti mereka bicara memakai tinju dan cakar mereka.

Meskipun hanya lima menit, tapi Ralan sudah mengakui ketahanan tubuh Mardika. Tidak tampak sedikitpun luka memar pada kulit macan itu, kemungkinan karena setiap pukulan Ralan tertahan oleh bulu halus tapi tebal milik si harimau hitam.

Ralan menerjang, memulai pertarungan lagi. Mardika mengangkat kaki depannya, hendak mendaratkannya pada pundak Ralan untuk mendorongnya jatuh.

Sayangnya, Ralan melihat celah pada langkah Mardika. Ketika sang macan mengangkat tubuhnya hingga ke atas Ralan, perut bawahnya tampak. Sang petinju segera mengambil peluang itu. Ia menunduk, lalu melontarkan pukulan ke atas, telak di perut si harimau.

"Lho?"

Ralan hendak menarik lengan kanannya, tapi tinjunya terbenam dalam bulu-bulu perut si macan hitam sampai ke pergelangan tangannya. Akibatnya, kaki depan Mardika dapat turun tepat waktu, mengunci pundak Ralan hingga si robot terdorong jatuh.

Ratusan voltase listrik yang mengalir di tubuh Ralan mengalir lebih cepat, berkonsentrasi pada tangan kanan Ralan. Percikan listrik terbentuk di tangan Ralan, lalu dilepaskan sebagai rambatan listrik melalui sarung tinju tembaganya.

Mardika mengaum keras. Bulu- bulu si macan menegang, tidak lagi membelit tinju Ralan. Sang macan melepas kunciannya, tidak mau terkena sengatan listrik lagi. Kedua petarung itu mengambil jarak lagi, tapi kini mereka menunggu lawan mereka untuk menyerang duluan.

Serangan pertama tidak dilakukan oleh Ralan ataupun Mardika, melainkan tiga buah peluru yang  mendesing di antara angin. Satu peluru mendarat di pijakan Ralan, menciptakan sebuah ledakan kecil. Untungnya Ralan segera melompat tinggi,  menghindari dua ledakan selanjutnya.

Inilah yang diincar sang lawan. Dua buah peluru berujung tumpul ditembakan secara berurutan dari moncong peluru sang penembak, satu Ralan hindari dengan menyampingkan kepala, tapi yang lain satu garis dengan arah hindaran kepala Ralan, seolah telah memprediksi kejadian ini.

Peluru kedua menghantam dengan keras. Tubuh ringan Ralan rentang terhadap dorongan, sehingga ketika peluru itu mengenai kepalanya, tubuhnya yang langsung berbalik 180 derajat dengan kepala di bawah.

Ralan masih tanggap, langsung menahan kejatuhannya dengan dua tangan, lalu mendorong dirinya ke samping untuk menghindari kemungkinan kerusakan bila jatuh di kepala.

Mardikapun tak mau ketinggalan, ia segera maju ke arah Ralan menghindar dengan mulut mengangga lebar. Sebuah bola cahaya hitam, atau bisa disebut 'kegelapan' tengah berkumpul di mulut sang macan, siap untuk ditembakan.

Aura hitam di seluruh tubuh Mardika semakin memekat, begitu gelapnya sampai seluruh figur macan itu berubah menjadi bayangan. Secara tiba- tiba bayangan hitam itu memencar ke segala arah, meninggalkan seorang anak berkaos power rangger yang sedang mengaung dengan posisi merangkak.

"Nak, kamu ngapain?" tanya si robot alumunium.

Tampaknya si anak baru saja menyadari perubahannya dan langsung lari terbirit- birit, meneriakkan nama Bu Mawar berkali- kali seolah mengucapkan sebuah jampi-jampi. Ralan dan Mardika berlari-lari dalam satu lingkaran kecil, kejar mengejar bagaikan kucing dan tikus.

"Macan hitam! Jangan lari! Kalau kamu memulai pertarungan harus diselesaikan!" seru Ralan

"Jangan, mas! Aku belum berubah, jadi harusnya mas nggak boleh nyerang!"

"Memangnya ini Power Rangger?"

"Bukan, mas! Ultraman!"

Tiba- tiba sebuah ledakan tercipta di antara Mardika dan Ralan, memaksa Ralan mundur dan berhenti mengejar Mardika.

"Tuan Mardika, larilah"

Sebuah robot feminin melayang turun dari dedaunan di atas tempat ledakan tadi. Cat kuning terangnya kurang membaur dengan sekelilingnya, sehingga dirinya mudah dilihat, begitu pula senapan hitam di lengannya. Di punggungnya, terdapat sebuah mesin berbentuk sayap yang menembakan dorongan gravitasi untuk membuatnya bertahan di sana.

"Robot lain, hah? Aku yakin yang ini bukan Rogue yang sedang meniru" gumam Ralan.

"Tuan Mardika tidak mampu bertarung. Memulai protokol penundaan"

"Tadinya aku ingin menunggu sampai anak itu berubah kembali menjadi macan, tapi kurasa kau tidak bisa mengkompensasi, kan?"

Si Robot kuning segera menarik senapan laras panjangnya, membidik Ralan dari jarak dekat. Langkah itu sudah jelas bunuh diri karena Ralan segera melompat dan memukul perut si robot kuning. Hentakan kuat tercipta ketika Ralan kembali mendarat dan menghantamkan si robot ke pasir duluan, mengalahkannya seketika.

"Aneh. Terlalu mudah"

Ralan melompat mundur dan menunggu reaksi dari robot sniper itu, berpikir kalau ada jebakan yang menanti. Namun tidak, robot sniper itu masih tergeletak tak berdaya di atas pasir.

"Apa mungkin karena sistem AI3) robot itu terlalu rendah, ya?" Gumam Ralan.

Si Robot Allumuniun meninggalkan besi mati yang tadinya si robot Sniper. Namun rasa curiga tidak lepas dari dirinya, seolah ada yang ia rasa dari robot itu, tapi tidak ada pada tempatnya.


==Intermission - 4==
"The Light And Her Shadow"


Kembali hidup. Ya, dia kembali hidup setelah diremukan oleh pedang raksasa. Si peniru duduk memandang lautan luas yang membentang di sisi utara kota sampah sambil menunggu terbitnya matahari. Namun ia tidak menampakan ekspresi apapun, bahkan ia terdiam seakan sedang berpikir.

Si peniru memikirkan kejadian tadi malam. Ia berjuang begitu keras untuk menang, untuk bertahan hidup dari serangan si jubah putih, bahkan sempat memperbaiki dirinya setelah pertarungan itu. Namun pada akhirnya semua usahanya sia-sia karena begitu dia hidup kembali, seluruh kerusakan pada tubuhnya telah pulih seperti saat ia pertama "dihidupkan".

Telah dirasakannya kematian berkali-kali, sehingga tujuan hidup untuk "bertahan hidup" semakin pudar dari hatinya. Dan malam kemarin adalah hari terakhir dia mencoba hidup, kini ia hanya berpikir untuk diam di tempatnya sekarang hingga ia terbunuh lagi.

"Di situ rupanya"

Ketika berbalik yang dia temui adalah si jubah putih dari kemarin malam. Namun ia kembali memalingkan wajahnya, menghadap lautan lagi. Persetan dengannya, kalau si putih itu memang mau menghajar dirinya, silahkan saja, toh si peniru memang tidak mau hidup lagi.

"Indah, bukan?" tanya si putih.

Si jubah putih itu berjalan ke sebelah sang peniru, lalu duduk satu meter di sampingnya. Pedang raksasa yang biasa diseretnya ia letakan di belakang. Kedua tangan si jubah putih merentang ke belakang, menopang setengah tubuhnya yang masih tegak.

Cahaya terang memancar dari ufuk timur. Bola gas yang disebut dengan matahari perlahan naik dari ujung lautan. Sudah sekian lama si peniru berkelana, jadi ia sudah sering melihat pemandangan matahari yang terbit, tapi tidak pernah ia menyadari betapa indahnya matahari itu terbit.

"Inilah yang aku suka dari Game ini. Developernya suka hal-hal detil sampai kitapun bisa berinteraksi dengan batu, apalagi dengan pemandangan matahari terbit seperti ini" ujar si putih, "Ah, mungkin kamu nggak paham sama perkataanku,ya?"

Si putih menoleh ke sosok di sebelahnya. Namun pandangan dari robot yang ia cari masih terpaku pada matahari di ufuk timur. Karena tak mau mengganggu momen ini, akhirnya kedua petarung itu melihat terbitnya matahari sampai lepas dari badan lautan. Namun saat pemandangan itu berakhir, sang robot kembali murung.

"Ayolah! jangan murung! Kau membuatku terlihat jahat!" seru si putih. Sang robot menoleh ke si putih, bingung dengan perkataan yang barusan dilontarkan. "Kemarin aku pakai jurusmu buat ngalahin kamu sendiri, jadi kamu depresi berat sampai mau ceburin diri ke laut,kan!"

Sang robot hanya memiringkan kepalanya, malah bertambah bingung dengan penjelasan lawan bicaranya.

"K-Kau bisa bicara,kan?" tanya si putih, tapi tetap saja sang robot masih kebingungan. "Kamu bisa bicara? You can talking? Wasabi No Watashi?"

Sama saja, tidak ada jawaban dari sang robot.

"Ehm... ya, aku tidak tahu apa yang kuucapkan terakhir..."

"Kalau dunia ini memang dibuat dengan detail, bukannya wajar kalau aku bisa berbicara?" ujar si peniru dengan tiba-tiba.

"WAH! Kamu bisa ngomong beneran!" seru si putih dengan riang, "K-Kalau nama? Apa kamu juga punya nama?"

"Nama? Kurasa aku tidak punya, tapi aku biasa dipanggil Nomer enam ra..."

Si putih menyela, "Ah! Aku mengerti! Enam...  name... nggak kedengaran bagus... Six... ehm... terlalu inuendo.... bahasa jepangnya enam... Roku... Rogue!"

"Rogue?" ulang si robot.

"Mulai sekarang namamu adalah Rogue! Aku akan menjadi cahayamu dan kau akan menjadi bayanganku!"


==6==
"Second Round"


Nafas Mardika terenggah - enggah akibat berlari, tapi ia berhasil lolos karena pengalihan perhatian oleh robot sniper. Sekarang ia telah mencapai Bu Mawar yang masih berusaha membalik Renggo.

"Bu, robot sniper tadi dikalahkan sama petinju!" ujar Mardika.

"Mardika, bisa tolong ibu balikan badan robot ini?" pinta Bu Mawar, "Kalau kita dapat kristal di tangan kirinya, kita bisa menang ronde ini" ujarnya.

"Hihihi... robot ini malah tidur di siang bolong" tawa Mardika, "Gimana kalau dicoret-coret saja wajahnya, Bu? Siapa tahu kalau marah dia langsung bangun!"

"Hush! Nggak boleh coret-coret wajah!" tegur Bu Mawar, "Eh... tunggu... marah,ya?"

Sebuah bohlam ide menyala di kepala Bu Mawar. Segera ia bangkit dari posisi duduk dan meneriakan sebuah kalimat sakral, "DASAR ROBOT MESUM!"

Decitan besi terdengar dari tubuh Renggo, diikuti dengan sebuah suara ringan yang berkata, "Aku... sudah... bilang...."

Tiba- tiba dengkul Renggo menghentak hingga tubuhnya bergelinding ke samping. Begitu mendapat jarak, ia segera bangkit berjongkok lalu mengaktifkan kembali pedang cahayanya sambil berteriak, "AKU BUKAN ROBOT MESUM!"

Renggo kembali berdiri dengan amarah melebihi bara api. Pedang cahayanya menari-nari di pegangan tangan Renggo ketika ia berlari menuju Bu Mawar, lalu tarian itu berubah menjadi satu gerakan menyamping yang menebas sang guru. Namun di luar dugaan, pedang cahaya Renggo berbelok, terpelintir membentuk spiral yang mengalir menuju gelang di tangan kiri Bu Mawar.

Renggo segera melompat mundur dan mengeluarkan senjata berbentuk capit kepiting dengan lensa penguat di tengahnya, sebuah railgun. Tembakan listrik terlepas dari railgun itu dan langsung menukik tajam, terserap ke dalam gelang Bu Mawar juga.

"Kalau tidak salah manteranya... DEMM!" seru Bu Mawar.

Listrik memancar dari lengan Bu Mawar, lalu menyambar Renggo yang berdiri di depannya.

Pixel abu-abu muncul di sekitar Renggo hingga akhirnya membungkus tubuhnya. Badan si peniru diatur sedemikian rupa hingga menyerupai Bu Mawar, begitu juga dengan ketidak adaan lengan kanannya. Pakaian yang dikenakan Renggo adalah variasi abu- abu dari baju Bu Mawar, terkecuali jas oranyenya.

Tembakan kedua ditembakan, Renggo berusaha menghindar dengan melompat ke samping, tapi tembakan listrik Bu Mawar langsung berbelok ke arah Renggo menghindar. Renggo segera menunduk, sehingga tembakan listrik itu lewat di atasnya. Namun baru satu meter lewat, tembakan itu langsung berbalik dan menukik tajam ke bawah, menyambar Renggo.

Renggo langsung mengambil langkah seribu, kabur secepat kilat. Tangan yang ia punya hanya tangan kiri yang menggengam bola kristal taruhannya, sehingga ia tidak punya metode penyerangan atau bahkan pertahanan.

"DEMM!!!"

Tembakan listrik lain melesat ke arah Renggo. Punggungnya terbuka lebar dan kalaupun ia menghindar, tembakan itu akan terus mengejarnya. Hanya menunggu waktu saja sampai tembakan iu menyambar.

"Jangan jadi pengecut, Boss!"

Ralan berlari melewati Renggo, lalu meninju tembakan listrik Bu Mawar dengan tinjunya sendiri. Sekilas tampak tinju Ralan memancarkan listrik, tapi listrik itu langsung ia hisap ke dalam dirinya sendiri.

"Boss, kenapa nyalimu jadi ciut? Mana semangatmu yang tadi!" seru Ralan.

"Apa aku terlihat bisa bertarung dengan kondisi ini?" tanya Renggo, "Lupakan... biarkan aku menirukan dirimu"

"Kau yakin bisa? Tadi ketika kau menghentikan seranganku tubuhmu tidak berubah sama sekali" ujar Ralan.

Renggo teringat lagi. Memang kejadian itu baru saja ia sadari, C&P Systemnya tidak bekerja meskipun Ralan terang-terangan menyerangnya. Kalau Renggo bisa berubah menjadi Ralan, ia tidak akan masuk ke arena dengan bentuk asalnya, melainkan bentuk si Ralan.

Ralan memukul ringan pundak Renggo untuk mengetes kebenarannya. Dan benar, Renggo tidak berubah sama sekali.

"Aneh,kan? Dulu kau bisa berubah menjadi aku, bahkan pernah sekali kau menirukan sebuah raksasa dua puluh meter. Ada yang salah dengan kepalamu, Rogue?" tanya Ralan.

"Aku sudah bilang, aku tidak tahu siapa Rogue yang kau sebut!" seru Renggo.

"Paling tidak, kau tidak akan mencekikku di sini, kan?" ujar Ralan, lalu memukul pelan pundak Renggo.

"Mencekik?"

"Yah... Tadi sebelum pertarungan kau mencekiku,kan? Pasti sewaktu kau pergi ada yang terjadi denganmu sampai..."

"Aku tidak ingat" gumam Renggo.

"Apa?"

"Aku tidak ingat pernah mencekikmu"

Ralan terdiam selama beberapa detik, lalu mengutarakan sebuah kalimat, "Command No. 0 : Forced Command"

Mengesampingkan nomer Command yang dikatakan Ralan, Renggo mengenal nama itu. Itu adalah kemampuan Opi sendiri yang membuatnya mampu mengambil kendali sebagian atau keseluruhan tubuh Renggo.

"Kau masih ingat perintah itu?" tanya Ralan.

"Aku tahu. Opi selalu menggunakannya..."

"Tunggu!" Ralan memotong tiba-tiba, "Bola mata itu punya kemampuan itu?"

"Ya... Tapi jarang sekali ia pakai waktu bertarung. Kalaupun dia pakai, tidak pernah ia mengambil alih lebih dari satu lengan atau kaki" ujar Renggo.

"Kau telah ditipu" ujar Ralan, "Apa ingatannu mengalami gangguan?"

"Eh... Tidak, lebih mirip Opi sendiri yang mengambil ingatanku. Aku bertarung di turnamen ini untuk  mendapatkannya kembali" jelas Renggo.

"Biar kuberi tahu kau, Rogue, atau Renggo jika kau masih suka nama itu. Yang kau sebut dengan Opi adalah mahluk dari bangsa kuno yang pernah menghancurkan dunia asal kita, The Iron World"

"Iron World? Bangsa Kuno?" tanya Renggo kebingungan.

"Ingatanmu diambil sebanyak itu?! Tsch... aku bukan sejarawan, tapi aku bisa memberimu sedikit info nanti" ujar Ralan. "tapi kurasa lawan kita tidak ingin menunggu lebih lama,kan?"

Raungan macan terdengar sangat dekat. Ralan segera menyamping, menghindar dari terjangan Mardika yang telah berubah menjadi macan hitam. Pukulan ia lontarkan pada sisi samping Mardika, tapi pukulannya masih saja tertahan karena bulu-bulu tebal harimau itu.

Mardika langsung melompat ke depan, tidak memberi Ralan kesempatan untuk memakai listriknya. Begitu dia sudah cukup jauh, Mardika berbalik, menghadap kembali Ralan dan Renggo.

"Demm!"

Tembakan listrik melesat ke arah Ralan, tapi Renggo segera berlari ke jalur tembakannya, menghadang listrik itu dengan tubuhnya sendiri. Baru saja ia sadari, kerusakan yang diakibatkan tembakan Bu Mawar tidak terlalu parah, jadi sebenarnya ia sendiri tidak usah takut melawan Bu Mawar.

"Hanya karena tembakan itu lemah, jangan lengah, Rogue" ujar si robot alumunium, "Apalagi karena tempat ini berpasir," tambahnya.

Tanpa dijelaskanpun Renggo dan Ralan sudah tahu tugas mereka masing-masing. Renggo segera berlari menuju Bu Mawar, sedangkan Ralan meladeni Mardika. Si Harimau mulai menerjang lagi, tapi Ralan menghadang dengan meninju samping tubuh Mardika lagi, memakasa harimau itu untuk langsung menghindar.

"Lawanmu adalah aku, harimau hitam!"

"R AWR!"
Pita suara Mardika tidak mampu membuat vokal seperti ketika ia dalam bentuk manusia, jadi sebagai gantinya ia mengaum seperti harimau biasa.

"Heh... Kurasa kita tidak perlu bahasa untuk saling berkomunikasi,ya?" tanya Ralan.

"R AWR!" jawab Mardika dengan meraung.

"Hah! Benar sekali, orang seperti kita bertarung dengan tinjunya!"

Ralan menerjang masuk, begitupula dengan Mardika. Tinju Ralan langsung disambut oleh salah satu cakar Mardika yang mengganga terbuka. Cakar Mardika langung dijatuhkan, memerangkap tinju Ralan di bawah kakinya. Ralan terpaksa berjongkok saking kuatnya tarikan cakar Mardika, sehingga ia tidak bisa kabur seperti sebelumnya.

Cakar Mardika yang lain hendak menundukan Ralan, tapi si robot alumunium tidak mau diam saja. Tinjunya yang masih bebas menghantam cakar lain Mardika ke atas dengan gerakan Uppercut, lalu mulai memukul-mukul daerah wajah Mardika.

Aura hitam terkumpul di mulut Mardika, membentuk sebuah bola hitam yang gagal ia luncurkan terakhir kali. Mulut Mardika tertutup kembali, mengubah bola hitam itu menjadi api hitam yang siap ia hembuskan kapan saja.

Namun kesalahan Mardika adalah membiarkan Ralan tidak terkunci, si robot langsung memasukan kepala, leher dan punggung bahunya ke bawah kepala Mardika, lalu mengangkat tubuh depan Mardika cukup tinggi, sehingga hembusan api hitam Mardika di arahkan untuk menyembur udara kosong.

Sayangnya karena Ralan di bawah tubuh Mardika, sang macan langsung menindihi tubuh Ralan. Kali ini benar-benar mengunci pergerakan si robot dan segera mempersiapkan hembusan api kedua. Kali inipun Mardika teledor, Ralan sudah mengumpulkan cukup listrik untuk ia lepaskan melalui tinjunya yang terinjak, membuat Mardika menelan sendiri semburan itu dan memekik kesakitan.

Ralan segera keluar dari bawah tubuh Mardika, kembali berdiri dan mengambil jarak lagi. Namun ia tak kembali tanpa tergores, pergelangan tangan kanan yang tadi terinjak Mardika agak berbelok ke tempat yang seharusnya tidak bisa dijangkau, sedangkan punggungnya tidak bisa dibengkokan lagi karena tertindih macan itu. Untungnya, ia tidak menjadi abu yang tersulut oleh api hitam di bawah kaki Mardika saat ini.

Mardika mengambil posisi duduk, lalu mengangkat kepalanya hingga melihat langit. Aura hitam kembali berkumpul di sekitar mulutnya dan kembali membuat bola hitam. Namun kali ini Aura yang ia kumpulkan lebih pekat dari biasanya, sampai-sampai pasir di sekitar Mardikapun menghitam.

Para penonton, apalagi para petarung tahu, serangan ini akan menjadi serangan yang sangat mematikan. Bola di mulut Mardika telah mengembang begitu besar sampai-sampai tidak mungkin muat di mulut harimau itu, sehingga segera ia arahkan moncongnya menghadap Ralan.


==Intermission - 5==
"Last Adventure"


Sang cahaya dan bayangannya, itulah julukan untuk duo itu. Semenjak pertemuannya dengan Rogue, si putih telah membawa robot itu kemanapun ia pergi. Si robot peniru, Roguepun tidak pernah jauh dari si putih, bahkan ketika si putih "menghilang" sekalipun, Rogue akan menunggu di tempatnya menghilang.

Hari berganti bulan, puluhan pertarungan telah mereka lalui bersama. Kabar bahwa si putih berhasil mendapatkan Rogue menarik perhatian dan minat orang-orang lain untuk mencari robot liar yang dapat dijadikan partner, sehingga dunia "The Iron World" semakin ramai dikunjungi.

Namun tidak ada yang bertahan selamanya. Satu persatu orang yang dikenal si putih tidak pernah tampak lagi di dunia itu. Partner merekapun tidak lagi menunggu dan mulai mengembara mencari tujuan hidup.

Akhirnya datanglah hari itu, hari dimana Rogue dan si putih kembali berkumpul di tepi kota sampah, tempat mereka berjanji untuk menjadi cahaya dan bayangan, untuk membicarakan hal yang sangat mendesak.

"Kau tidak akan kembali lagi!" seru Rogue dengan pekikan keras.

"Jangan teriak keras-keras!" balas seru si putih, "Tapi aku serius, Rogue. Hari ini adalah hari terakhir aku akan berada dalam dunia ini"

"A-Apa ada yang rusak di tubuhmu? Mungkin lenganmu kurang oli? Atau ada magnet dalam kepalamu! Ya! Pasti itu penyebabnya!"

"Tidak, Rogue! Aku serius!" ujar si putih.

"A-Apa ini salahku? Mungkin aku lupa mengembalikan satu atau dua pisau lipatmu?"

"Tidak! Aku tidak ada masalah denganmu"

"Apa dunia ini bermasalah? Apa kau ingin merubah dunia ini? Membangun kastil di sini?"

"Kenapa pertanyaanmu jadi aneh!"

"Kau sendiri kenapa ingin meninggalkan dunia ini?!"

Selama semenit mereka tidak berbicara sama sekali sampai akhirnya si putih menghela nafas, "Kalau kujelaskan pasti kau tidak akan mengerti... tidak, bahkan aku tidak tahu aku harus mulai dari mana..."

"Kalau ini hari terakhirmu... bagaimana kalau kita ke Jahanam?" saran Rogue.

"Jahanam? Dungeon yang dikabarkan membawa ke dasar neraka itu? Jangan mengkhayal, Rogue. Kau tahu kita sudah mencobanya lima kali dan gagal setiap kalinya. Kita tidak akan bisa menyelesaikannya berdua," jawab si putih.

"Namun ini hari terakhirmu,kan? Aku lebih memilih mengakhiri hari dengan babak belur di dungeon itu dari pada mengakhiri hari dengan ucapan perpisahan saja" ujar Rogue, "Kau juga berpikir sama,kan?"

Si putih kembali menghela nafas, "Belum ada yang bisa menyelesaikan Dungeon itu"

"Dan kau akan membiarkan Dungeon itu tak terselesaikan?" tanya Rogue.

"Sudah cukup! Aku muak!"

Si putih berdiri dari posisi duduknya, lalu berjalan menjauh dengan membelakangi Rogue. Namun baru lima langkah diambil dan ia sudah terhenti di tempatnya. Diambilnya pedang raksasa yang menjadi ciri khasnya, lalu diseret bersamanya.

"Apa yang kau tunggu, Rogue?" tanya si putih, "Aku tahu ini hari terakhirku, tapi Jahanam itu tidak akan menyelesaikan dirinya sendiri,kan?"

"Heh... bahkan kalau kita tidak akan menyelesaikannya?"

"Jangan bicara konyol. Akan kupakai semua kemampuanku hari ini!" seru si putih, "Kalau kita gagal, sisanya kuserahkan padamu, Rogue!"

Seperti julukan mereka, sang cahaya dan bayangannya. Kemanapun si putih pergi, maka Rogue akan ikut di belakangnya. Kali inipun Rogue ikut di belakang si putih menuju satu petualangan terakhir sebelum kepergian sang cahaya.


==7==
Unexpected Trap


Tanpa dijelaskanpun Renggo dan Ralan sudah tahu tugas mereka masing-masing. Renggo segera berlari menuju Bu Mawar, sedangkan Ralan meladeni Mardika. Belasan tembakan listrik ditembakan secara beruntun oleh Bu Mawar, tapi Renggo menggunakan tangan kirinya sebagai perisai meski ia tahu tembakan itu bukan apa-apa baginya.

Renggo mencapai jarak serangnya dan langsung melemparkan sebuah pukulan pada Bu Mawar. Sang guru membanting dirinya ke samping, tapi langkahnya membuat dirinya terbaring di atas pasir arena.

Renggo berjongkok, lalu melempar pukulan kedua, tapi Bu Mawar masih mampu berguling ke samping. Tangan kiri Bu Mawar melepas tongkat rotan yang ia taruhkan, sehingga Renggo segera merentangkan tangannya pada tongkat itu. Sayangnya, ia tidak menyadari apa yang ada di tangan Bu Mawar sebagai ganti tongkatnya.

"Rasakan ini!" seru Bu Mawar.

Benda di tangan Bu Mawar terlempar ke wajah Renggo, langsung diikuti oleh sebuah tembakan listrik pada wajah Renggo pula. Bu Mawar berlari sambil menunduk, lalu mendorong Renggo dengan punggungnya sementara tangan kirinya mengambil kembali tongkat rotannya dan mengambil jarak lagi.

Pandangan Renggo terhalang oleh pasir Bu Mawar, tapi masih cukup jelas untuk melihat arah lari sang guru. Bu Mawar menyadari dia dikikuti, lalu menancapkan tongkatnya ke dalam pasir lagi kemudian mengambil segengam pasir di tangannya.

"Clover!"

Kali ini adalah mantera berbeda. Listrik mengalir di seluruh tubuh Bu Mawar, membungkus seluruh tubuhnya dengan listrik bertegangan tinggi. Dengan segera ia melempar pasir di tangannya, tapi Renggo kembali menghadang dengan tangan kirinya.

Renggo tidak mengerti kenapa Bu Mawar begitu berniat melemparinya dengan pasir, tapi itu tidak menutup fakta bahwa si guru telah kembali ke jarak serang Renggo. Serangan yang sama datang juga,  sebuah bola pasir yang dilempar tepat ke wajah Renggo.

Tanpa melihatpun Renggo tahu dimana posisi Bu Mawar. Dengan segera ia mempersiapkan kuda-kudanya dan segera melempar pukulan lagi pada sang guru. Namun lengannya tidak merespon.

"EH?! Kenapa ini!"

Renggo berusaha menggerakan motor penggerak di sendi bahu dan sikunya. Kedua motor di sendi itu masih merespon, tapi terasa ada sesuatu yang membuat lengan Renggo tetap menekuk seperti pada posisi yang ia gunakan untuk menghadang bola pasir Bu Mawar.

Pasir di wajah Renggopun tidak kunjung jatuh sama sekali, seakan menempel di wajahnya. Tangan kirinya segera ia kerahkan untuk menggikis pasir, tapi alangka terkejutnya Renggo ketika tangannya sendiri mendarat di kepalanya dengan begitu keras.

"APA INI?! INI BUKAN SUGESTI! INI JUGA BUKAN FORCED COMMAND! KEGILAAN MACAM APA INI?!" seru Renggo panik.

"Karena kau bertanya aku akan menjawab" ujar Bu Mawar, "Apabila terkena tegangan listrik yang cukup tinggi, besi akan berubah menjadi magnet dan magnet akan menarik pasir hingga seluruh permukaannya tertutupi. Begitu pula siku dan bahumu, celah di antara keduanya telah terisi dengan pasir yang menghambat pergerakanmu"

"Heh! Tapi ini sama saja! Tanganku tidak akan melepas bola kristalku!"

Benar perkataan Renggo, semenjak awal pertarungan, tangan kirinya terus mencengkram bola kristalnya bahkan ketika menyerang sekalipun. Kondisi ini juga tidak berbeda jauh, malah pasir yang menghambat pergerakan jarinya membuat cengkraman itu lebih susah untuk dilepas.

"Tidak, aku tidak perlu bola kristal itu untuk menang" ujar Bu Mawar.

Renggo tidak bisa melihat apa-apa karena terhalang oleh pasir, tapi ia dengan jelas mendengar suara galian pasir dan jatuh di atas dirinya. Kakinya dicoba untuk bergerak, tapi sepertinya pasir juga telah menempel pada sendi lututya.

"A-Apa yang kau lakukan?" tanya Renggo.

"Bukannya sudah jelas? Menguburmu," jawab Bu Mawar.

"T-Tidak mungkin! Kau jelas-jelas berbohong! Lagipula kau tidak bisa menguburku hanya dengan satu tanganmu," ujar Renggo.

"Oh, jangan khawatir. Aku mengambil salah satu dinding kapsul besi yang jatuh dari langit untuk aku jadikan sekop," jawab Bu Mawar.

"H-Heh? S-Serius?! K-kau masih Bu Mawar,kan? K-Kau masih belum berevolusi menjadi Dark Mawar, kan?" tanya Renggo panik.

"Menurutmu, bagaimana perasaan seorang wanita ketika ada orang mesum yang menirukan dirinya?" tanya balik Bu Mawar.

"A-Aku sudah bilang ini bukan kehendakku!" seru Renggo.

"Jangan Khawatir, akan kusisakan kepalamu supaya bisa bernafas," ujar Bu Mawar.

"Aku tidak perlu bernafas, tapi itu sama saja jeleknya!" pekik Renggo.

"Oh, begitu... Kalau begitu maaf..." pinta maaf sang guru. Renggo sempat merasa lega mendengar permintaan maaf itu, tapi ia langsung menjadi kaku lagi ketika mendengar lanjutannya, "...akan aku kubur seluruh tubuhmu,"

"A-AMPUN BU GURU!" pekik Renggo.

Untungnya pekikan minta tolong Renggo terjawab. Sebuah besi besar melayang kepada Bu Mawar, tapi sang guru berhasil menghindar, sehingga besi itu menancap di samping Renggo. Tiba-tiba listrik di tubuh besi Renggo berkurang, mengembalikan tubuhnya kembali menjadi besi biasa dan terlepas dari pasir-pasir yang membatasi pergerakannya.

"Sudah kuperingatkan soal pasirnya, bukan?"

Ralan si robot alumunium telah berada di samping Renggo. Sarung tinju tembaganya menempel di tangan kiri Renggo, menghisap kelebihan listrik pada tubuh Renggo.

"Berhati-hatilah. Macan yang kulawan akan segera memakai teknik terkuatnya" ujar Ralan, lalu memukulkan tinjunya pada potongan besi di sebelah Renggo yang sepertinya bagian dari dinding kapsul Supply Drop, "Pakai besi ini untuk melindungi dirimu, oke?"

Setelah menyelesaikan kalimatnya, Ralan segera bangkit dan berjalan keluar dari perlindungan besi yang ia tancapkan.

"H-Hei, Ralan! Kenapa kau malah keluar! Bukannya kau sendiri yang bilang..."

"Itulah sebabnya" potong Ralan.

Ralan kembali ke kuda-kuda bertarungnya, perlahan ia berjalan maju menuju lawannya, sang macan hitam yang tengah mengumpulkan segenap kekuatannya pada satu serangan besar. Ralan berhenti, lalu berdiri tegak sambil memukul-mukulkan kedua tinju tembaganya, tampak percikan listrik mulai berkumpul di tangan si petinju.

"Aku sudah mengakui kemampuanmu, macan hitam! Aku tidak akan kabur! Aku tidak akan menghindar! Aku akan menghadapi seranganmu dengan segenap kekuatanku!" seru Ralan.

"H-Hei bodoh! Ngapain kamu di sana! Cepat pergi sana!" seru Renggo.

"Tindakanku mungkin terlihat dibuat-buat, tapi nyaliku nyata!" seru Ralan, "Kalau aku menemukan lawan yang pantas, aku tidak akan pernah lari dari kekuatan yang lebih besar dariku!"

"Jangan bertindak bodoh! Kalau kau mati di sini, nanti aku juga kena masalah!" ujar Renggo.

"Berarung Adil, hanya dengan kedua tangan. Bagi banyak pendengar, prinsipku terdengar konyol, tapi itulah prinsip yang kubuat! Prinsip yang menjadi tujuan hidupku!" seru Ralan dengan lantang, "dan ini semua karena aku bertemu denganmu, Rogue"

"Rogue lagi?" tanya Renggo, hampir kesal karena mendengar nama itu terus menerus.

"Kalau kita tidak pernah bertemu, mungkin aku hanya akan menjadi robot biasa yang berkelana tanpa arah" ujar Ralan, "Itulah kenapa aku tidak akan pernah melanggar prinsipku! Supaya aku tidak akan pernah berkelana tanpa arah!"

Akhirnya saat yang ditunggu telah tiba. Bola di mulut harimau hitam itu telah berkembang terlalu besar sampai- sampai tingginya melebihi dinding arena. Sang harimau perlahan menelan bola raksasa itu sedikit demi sedikit, mengumpulkan kekuatan yang ia kumpulkan ke dalam mulutnya.

Di sisi lain, Ralanpun semakin mempercepat pukulan lisrtiknya. Kali ini petir Ralan menyambar-nyambar daerah sekitar, menunjukan jumlah elektron tidak stabil yang mulai keluar dari kendalinya.

Pada akhirnya, kedua petarung itu melepas serangan terhebat mereka.

Mardika mengaum keras, menembakan semburan api dalam ukuran yang sangat masif sampai- sampai dinding arena terlewat tinggninya. Ralan menempatkan lengan kanannya mengekuk ke depan dengan tinju menghadap langit, sedangkan yang kiri menahan siku lengan kanannya bagai memegang pedang.

"EX!" kaki Ralan maju ke depan, lengan kanannya ditarik ke belakang sebelum akhirnya ia menyelesaikan teriakannya, "PANSION!"

Sebuah tembakan listrik melaju satu garis dengan pukulan Ralan, lalu seperti namanya, tembakan listrik itu terpencar ke segala sisi sebelum akhirnya semua pecahan listrik menuju arah yang sama lagi. Pecahan-pecahan listrik itu begitu banyak, tapi jarak antar sesama tidak pernah jauh, sehingga membuat ilusi bahwa semua listrik Ralan menyebar ke setengah arena di tengah jalan.

Namun api dan listrik merupakan elemen berbeda. Listrik tercipta dari keberadaan elektron, sedangkan api tercipta dari keberadaan kalor. Kedua elemen itu berbeda materi, sehingga ketika keduanya bertemu, maka tidak sedikitpun mereka mempengaruhi sesama. Maka pertarungan jurus ini ditentukan dengan kecepatan.

Antara listrik dan api sudah dapat dipastikan listrik merambat di udara lebih cepat dari pada api. Begitu mencapai di hadapan Mardika, semua pecahan listrik Ralan menyerbu satu titik, yakni tempat Mardika berada. Sayangnya teknik ini membidik tempat berdirinya lawan, bukan lawan itu sendiri, jadi Mardika dapat melompat ke samping untuk menghindarinya.

Kobaran api hitam Mardika tidak secepat listrik Ralan, jadi seharusnya lebih mudah untuk dihindari. Namun ia masih saja diam. Ralan tidak bergerak sedikitpun dari tempatnya seolah berniat menerima seluruh serangan itu.

Arena itu kini terhiasi oleh satu garis hitam yang berapikan api hitam. Bu Mawar dan Renggo beruntung berada di luar radius serangan mematikan itu meski perisai besi keduanya tidak jadi terpakai. Namun Ralan menerima serangan itu dengan seluruh tubuhnya.

Sang robot alumunium masih berdiri di tempatnya, tapi tubuhnya menjadi hitam legam karena api Mardika. Lengan dan kulit tubuh depannya meleleh sampai menunjukan kerangka dan mesin-mesin kompleks yang masih bergerak-gerak di dalamnya.

"Kau bodoh, ya?" tanya Renggo.

"Bodoh, ya? Sudah lama aku tidak mendengar kalimat itu" ujar Ralan.

Tubuh Ralan terjatuh seperti sebuah patung, lalu terpecah belah ketika menyentuh pasir. Semua sendi dan mesin penggerak dalam tubuhnya telah meleleh, tapi untungnya mesin yang menjalankan proses kesadaran dirinya masih bergerak lancar.

"Sisanya aku serahkan padamu, Rogue!" seru Ralan.

"Kau menumpahkan tugasmu padaku, bodoh!" balas Renggo.

Si robot peniru beranjak dari tempatnya berlindungnya, lalu mencabut dinding kapsul yang ia pakai untuk perlindungan dan membawa dengan menyeretnya. Namun ketika melewati Ralan, ia berhenti dan menancapkan bola kristalnya di pasir hitam dekat Ralan.

"Kau bisa menjaga ini, kan?" tanya Renggo.


==8==
Defeat And Betrayal


"Mardika!"

Bu Mawar segera menghampiri muridnya yang baru saja melepas tembakan besar itu. Namun yang ia temukan tidak seperti harapannya, Mardika yang kembali berubah menjadi bocah terbaring lemas di atas pasir hitam dengan nafas berat. Ketika Bu Mawar memeriksa suhu tubuhnya, tangan Bu Mawar langsung ditarik secara refleks.

"Nak, panasmu nggak normal! Ibu sudah bilang jangan sampai mencelakai dirimu sendiri!" seru Bu Mawar.

"Tapi Mardika senang, Bu. Lawan Mardika sudah kalah, Mardika berhasil melindungi Bu Mawar!" ujar Mardika.

"Sayangnya itu belum cukup untuk menghabisi Ralan"

Renggo datang menghampiri pasangan guru dan muridnya itu sambil menyeret dinding kapsul yang Ralan berikan. Bu Mawar segera siaga ketika si peniru menancapkan dinding itu di tanah. Sang guru meraba-raba sakunya, mencari kayu rotannya, tapi tidak ia temukan dimanapun.

"Anda kalah, Bu Mawar" ujar Renggo.

Si peniru melemparkan sebuah tongkat kayu ke depan Bu Mawar. Sang guru teringat, ia menancapkan kayu itu ketika melemparkan pasir ke wajah Renggo, tapi dirinya lupa untuk mengambil kembali tongkat itu karena panik melihat dinding besi yang dilemparkan Ralan.

"Bu Mawar..." Mardika hampir saja menangis. Usaha paling kerasnya tidak membuahkan hasil sedikitpun.

Melihat tangisan muridnya, Bu Mawar tidak tega mengaku kalah. Namun ia punya kewajiban untuk memenuhi perjanjian yang ia buat sendiri. Sang guru kembali berdiri, masih memandang Mardika yang berkaca-kaca.

"Mardika, tolong maafkan Bu Mawar, ya?" pinta Bu Mawar dengan nada riang, meski dia sendiri tidak bisa menutupi tangisannya meski senyumannya menghias wajah.

Bu Mawar mencabut rotannya, kembali memegangnya di satu tangan.

"Mardika, kalau kamu sudah besar, tolong jadilah orang yang selalu menepati janji, ya?" ujar sang guru, lalu bagai kalimat terakhir, ia mengucapkan, "Bukan seperti gurumu ini"

Seketika Bu Mawar menyelesaikan kalimatnya. Sebuah aura mencekam memancar dari Bu Mawar, begitu kuatnya sampai- sampai Renggo mencabut kembali dinding pelindungnya dan mengambil beberapa langkah mundur. Bahkan sang robot sekalipun ketakutan dengan reaksi sang guru.

Langit cerah di atas kolluseum menggelap karena tertutup oleh awan badai, seakan cuaca mengikuti amarah sang guru yang marah atas kekalahannya, atas kelemahannya dan ketidak mampuan melindungi muridnya.

"MATILAH!" seru Bu Mawar dengan teriakan yang sangat keras.

Secara tidak teduga, beberapa penonton di koluseum mulai berjatuhan hanya karena mendengar suara sang guru. Para penontonpun semakin panik karena mereka yang telah jatuh tidak bisa dibangunkan lagi.

"W-Wagh! H-Hadirin, dipersilahkan untuk keluar dari arena! Kita dalam kondisi genting!" seru Tarou.

Para penonton dan karyawan mulai berlarian keluar dari arena, berteriak, panik dan takut. Mereka tahu seberapa bahayanya peserta dalam arena dan dampak kalau mereka tetap berada di dalamnya.

Semua yang berada di arena telah kabur, terkecuali Netori, ratu dari arena itu. Wanita berambut panjang dan berpakaian kebangsawanan khas Amatsu itu masih duduk di singgasananya bersama dengan sebuah objek berbentuk bola mata di sampingnya.

"Sial! Cepat keluarkan aku dari bola ini! Server ini bisa hancur kalau kau menyekapku di sini!" seru suara dari pipa di dekat mata itu, Opi sang operator Renggo.

"Oh, tidak bisa~~~" jawab Netori dengan riang. "Bola ini sengaja dibuat untuk menghentikan pengintip arena yang masuk tanpa bayar sepertimu"

"Hei! Kaukan ratu di sini! Arenamu bisa hancur kalau ini dibiarkan!" seru Opi.

"Tetap tidak bisa~~~ aku belum dapat sogokanku~~~" jawab Netori dengan riang.

"Sogokan? Oh, sial!"

Kulit luar Netori tergradasi menjadi kumpulan kulit hijau yang terbentuk oleh 0 dan 1 yang semi transparan, menampakan sebuah sosok yang tidak asing di baliknya. Seorang gadis kecil berbaju pesta yang rambutnya hitam panjang dan terhubung ke aksesoris telinga kucing di kepalanya.

"Gimana, sudah merindukanku?" tanya MC, Morgen Charterflught, gadis pembawa para penyerang Alforea yang ditemui Renggo dan Opi di ronde kedua. "Mana sogokanku? Satu toples permen yang sudah kau janjikan~~~"

"Jangan bertindak ke kanak-kanakan! Aku tahu yang kau bicarakan bukan permen sungguhan!" balas Opi.

"Boo... sayang sekali... yah, mungkin arena ini harus kuhancurkan saja?" tanya MC, menjaga nada riangnya. "Berikan aku Emulatornya, maka aku akan dengan senang 'menjaga' arena ini"

"Sayangnya Emulator kami tidak untuk di jual" jawab Opi, "Gorden, bawa aku pergi dari arena ini!"

Sebuah pedang menebas dari udara kosong, lalu keluarlah sebuah tangan yang meraih ke bola mata di samping MC. Namun sebuah kekuatan tak terlihat menarik tangan itu beserta pemiliknya keluar dari udara kosong, memperbesar bekas tebasan di udara yang kemudian mengeluarkan sebuah sosok berjubah hitam.

"Siapa gerangan orang ini?" tanya MC pada dirinya.

Pria itu menghujamkan pedangnya ke lantai, membuat sebuah gerbang dimensi yang cukup besar untuk membuat dirinya jatuh ke dalamnya. Kekuatan tak terlihat MC berusaha menyerang gerbang dimensi yang dibuat pria itu, tapi ia malah menghantam lantai di bawhanya.

Opi telah kabur, itulah yang dipikirkan gadis itu. MC yang menyamar menjadi Netori itu kembali duduk di singgasananya dan menyaksikan kembali pertarungan di arena.

"Yah... paling tidak, pertarungan ini akan cukup menyenangkan" gumam MC.


==9==
A Recalled Memory


Awan – awan hitam di atas arena mulai menyambar-nyambar pasir kolluseum, terutama daerah sekitar Bu Mawar sampai-sampai pasir-pasir itu berubah menjadipasir hitam legam. Sang guru dan si peniru telah mengambil jarak agak jauh dari Mardika, uniknya ini disebabkan karena Bu Mawar bisa mendorong mundur Renggo dan perisainya.

"H-Hei! Ini jelas- jelas merusak peraturan!" seru Renggo, tapi Bu Mawar terus menerus menyerang dengan sambaran listrik yang sangat kuat, seolah mengabaikan semua hukum, bahkan hukum alam itu sendiri.

Gelang hitam di tangan Bu Mawar terus menerus menghisap petir yang menyambar sang guru, lalu dengan kekuatan petir itu, tembakan-tembakan listik sang guru menjadi lebih kuat. Di sisi lain, Renggo tidak bisa bertahan terus- menerus karena perisainya sudah mulai tertutup pasir, apabila dia terus memakainya, maka dirinya juga akan terkena dampak magnetisnya.

Renggo menancapkan dinding perisainya di tanah dan mengambil langkah seribu. Namun Bu Mawar tetap menyerang dinding itu meskipun tahu Renggo tidak ada lagi di sana.

Sang guru mengeluarkan rotannya, lalu menempelkannya pada dinding perisai Renggo. Entah apa kekuatan yang dipakai sang guru, ketika rotan itu ditarik, dinding perisai Renggo ikut tertarik, menjadi satu bagian dengan rotannya.

Belum berhenti di sana, petir-petir di sekitar Bu Mawar mengubah pasir-pasir menjadi hitam legam. Lalu ketika Bu Mawar mengangkat rotannya, pasir-pasir hitam itu melekat pada rotan itu, memberi wujud sebuah pedang raksasa yang tidak bisa ia angkat dengan satu tangan lagi dan jatuh ke tanah. Namun itu bukan halangan bagi sang guru karena ia masih bisa menyeret pedang raksasa itu.

"Pedang itu..."

Renggo berbalik menghadap Bu Mawar. Ia tidak asing dengan pedang yang dibawa sang guru, bahkan ia juga tidak asing dengan cara membawa pedang raksasa itu dengan cara menyeretnya. Namun yang ia rasa tidak pas bukanlah pembawa pedang itu, melainkan warna pedang hitam yang ia rasa seharusnya berwarna putih.

Si peniru kehilangan kekuatan kakinya, kepalanya terasa begitu panas karena suatu proses berat di dalamnya. Suara-suara terdengar dalam telinganya, sangat familiar, tapi pada saat yang sama begitu asing. Gambar-gambar buram ikut tayang dan memadu dengan suara-suara itu, menjadi sebuah cerita yang tidak Renggo mengerti.

Apa yang kau tunggu, Rogue? Aku tahu ini hari terakhirku, tapi Jahanam itu tidak akan menyelesaikan dirinya sendiri,kan?
Mulai sekarang namamu adalah Rogue! Aku akan menjadi cahayamu dan kau akan menjadi bayanganku!
Ayolah! jangan murung! Kau membuatku terlihat jahat!
Tadi caramu memakai pedang seperti ini,kan?
Caramu salah, tidak perlu mengangkat sebuah pedang raksasa untuk dapat memakainya
                                                                                                           
Di saat Renggo menggerang kesakitan, Bu Mawar telah menutup jarak di antara keduanya. Rotannya ia angkat hingga ke atas kepala dengan satu tangan, begitupula dengan besi dan pasir yang menempel padanya.

"Maaf harus kuakhiri di sini," gumam Bu Mawar dengan nada pahit.

"Caramu salah" ujar Renggo tiba-tiba.

Pedang hitam Bu Mawar turun dengan kekuatan yang begitu kuat, menghantam apapun di bawah pedang itu hingga pasir-pasir dibawahnyapun berterbangan kemana-mana, membuat tabir debu yang menghalangi pandangan.

"Tidak perlu mengangkat sebuah pedang raksasa untuk memakainya" tambah Renggo.

Pasir-pasir tidak lagi berterbangan, menampakan sebuah sosok baru di bawah pedang hitam Bu Mawar. Sebuah pedang putih, begitu panjang dan lebar sampai-sampai Bu Mawar berpikir bahwa pedang itu tidak mungkin dipakai manusia. Namun hati terdalam Bu Mawar mengatakan, pedang itu bisa dipakai.

Pedang Bu Mawar terdorong mundur oleh pedang putih itu. Sebuah sosok merayap keluar dari bawah pedang raksasa itu, menempatkan pedangnya di sisi kanannya.

"K-Kau..."

Mulut Bu Mawar mengangga lebar. Sosok di depannya adalah sebuah sosok yang tidak pernah ia kira akan muncul karena sosok itu seharusnya adalah dirinya sendiri.

Jubah putih sosok itu terkibas pelan ketika tersapu angin, menampakan baju zirah putih di dalamnya. Topeng putihnya menyeringai ke mata sang guru, seakan mengetahui siapa sosok Bu Mawar sebenarnya. Sebuah tulisan berwarna putih melayang-layang di atas kepalanya, membuat sang guru teringat akan sebuah nama yang telah lama ia lupakan.

"CWSoleha_24," gumam Bu Mawar menyebutkan nama yang tertera di sana.

Namun sosok itu tidak bertahan lama. Pedang dan pakaian sosok itu terurai bagaikan debu, menampakan sosok mirip Bu Mawar di baliknya. Tidak lain, dia adalah Renggo Sina.

Bu Mawar menebaskan rotan pedangnya secara horizontal, sehingga Renggo melompat tinggi untuk menghindar. Saat di udara itulah Renggo memasang posisi kedua tangannya di atas kepala seolah memegang sesuatu di antara kedua tangannya.

"De... ex... na..." gumam Renggo pelan.

Tubuhnya langsung berubah menjadi sosok berjubah seperti tadi, hanya saja perbedaannya adalah warnanya kali ini abu-abu, sama seperti ketika Renggo menirukan seseorang. Namun pedang raksasa si putih juga ikut muncul dengan variasi warna abu-abu, tepat di tangan Renggo yang menggenggam udara kosong beberapa saat lalu.

Bu Mawar menarik rotannya untuk berlindung. Sang guru memiringkan pedangnya dan memakai bilahnya untuk bertahan. Pedang Renggo melayang turun, menghantam bilah itu dengan dentuman yang begitu keras.

Bagaikan dejavu, pedang Bu Mawar terbelah menjadi dua, membuat sang guru menerima serangan itu dengan telak, lalu terkapar tak berdaya di atas pasir. Bu Mawar tidak punya tenaga lagi untuk bertarung, sudah dapat dipastikan siapa yang menang.

"Kau... apa benar dirimu... Rogue?" tanya Bu Mawar.

"Dan kau si putih?" tanya balik Renggo.

Bu Mawar meletakan kembali kepalanya di atas pasir. Kali ini menatap Renggo dengan senyum, bukan pandangan jijik karena dikira robot mesum.

"Haha... ternyata kamu... Sudah lama kita tidak bertemu... sudah berapa lama? Delapan tahun, kah?" gumam Bu Mawar pada dirinya sendiri, "Takdir macam apa ini? Kenapa kita harus bertemu seperti ini? Kenapa cerita ini harus berakhir seperti ini?"

"Jangan salahkan dirimu. Aku sendiri tidak tahu kalau Bu Mawar adalah dirimu"

"Bukan, urutan yang benar adalah si putih, CWSoleha_24 adalah diriku," ujar Bu Mawar, "CWSoleha_24 adalah Avatar yang kubuat untuk bisa masuk ke duniamu, Rogue. Dan maaf, aku tidak bisa lagi bertemu denganmu karena server Iron World telah ditutup"

"Server... ditutup?" tanya Renggo bingung.

"Ngomong-ngomong...  boleh aku minta tolong, Rogue?" pinta Bu Mawar, "Mardika, muridku... tolong selamatkan dia. Aku dan beberapa muridku terjebak di dunia ini, di dunia turnamen ini, tapi murid-muridku yang lain telah tiada. Hanya dia yang tersisa. Aku akan menyerah, jadi tolong selamatkan dia!"

"Jangan sakiti Bu Mawar!"

Entah sejak kapan, Mardika telah berada di dekat mereka berdua dan mulai memukul-mukul kaki Renggo.

"Mardika! Jangan!" seru Mawar, tapi karena terlalu lelah, bentakannyapun tidak bisa mempengaruhi Mardika.

"Bu Mawar sudah janji! Kita akan pulang bersama!"

Tinju Mardika mulai memar karena terus- menerus memukul kaki besi Renggo. Pasir-pasir di bawah Mardika semakin basah karena terkena tetesan air mata dan ingus bocah tersebut. Tak mau melihat muridnya menderita lebih lama, Mawar segera mengambil inisiatif.

Bu Mawar segera beranjak dari tidurnya dan berdiri kembali, "Saya, Kusuma Wardhani, peserta Battle of Realms menyatakan menyerah dari ronde ketiga!"

"Bu Mawar! Jang-"

"Permintaan menyerah diterima" sebuah suara lantang menjawab seruan Mawar.

Netori, sang penguasa arena berdiri dari tahtanya, menunjukan dirinya kepada para peserta. Tanpa menunggu ia segera munculkan layar hologram dan mengetikan data ke dalam hologram tersebut. Begitu selesai, ia langsung mengumumkan kekalahan Kusuma Wardhani.

"Kusuma Wardhani telah menyerah! Renggo Sina maju ke babak berikutnya!" seru Netori.

Bu Mawar jatuh ke lantai pasir dengan suara keras. Tubuhnya bahkan tidak punya kekuatan untuk menopang dirinya berdiri, jadi Mawar sudah tahu akibatnya. Namun, Mawar jatuh dengan senyuman. Dirinya mungkin tidak akan keluar dengan selamat, tapi muridnya, Mardika masih akan tetap hidup.

"Bu Mawar!"

Bu Mawar membuka matanya, bersiap untuk menjawab protes dari muridnya. Namun bukannya memprotes, Mardika meminta bantuan sang guru.

"Tolong Mardika, Bu!"

Mata Mawar terbuka lebar saat melihat tangan dan kaki Mardika mulai terkikis menjadi partikel-partikel biru. Pengikisan itu mulai merambat dari tangan dan kaki, maju ke lengan dan betis hingga akhirnya hanya terissa badan dan kepala Mardika.

"M-Mardika! Kenapa? Aku yang menyerah, tapi kenapa Mardika menghilang?"

"Bukannya sudah jelas?" tanya Netori, "Dalam ULA, User License Agreement  apabila peserta yang didampingi kalah, maka peserta dan pendampingnya akan dihapuskan dari server. Jangan bilang bocah itu tidak membaca perjanjian sepenting ini"

Sang guru hendak berlari menuju ke muridnya, tapi dirinya sendiri juga dalam masalah. Kaki sang guru juga telah terkikis menjadi partikel biru, bahkan ia tidak bisa menarik dirinya ke tempat Mardika karena lengannya sudah setengah terkikis.

Renggo tak mau merusak permintaan Mawar, segera menggapai badan Mardika. Namun satu hal tak terduga terjadi, tubuh Mardika pecah menjadi butiran-butiran partikel ketika tangan Renggo menyentuh si bocah. Di tempat Mardika berada, terera sebuah tulisan "DATA LOST"

"MARDIKA!" pekik sedih sang guru.

Badan Mawarpun kini mulai menghilang. Renggo mengabaikan apa yang terjadi pada Mardika dan langsung menyentuh Mawar yang tengah menghilang. Sayangnya kejadian yang sama terulang lagi, sang guru terpecah menjadi ribuan butiran-butiran biru. Sama seperti sang murid, tempat Mawar berbaring digantikan oleh sebuah tulisan "DATA LOST"

"Putih? Hei, ini bukan lelucon, kan?" rintih Renggo, "Kau akan kembali seperti biasa,kan? Walau hanya dua jam di hari sabtu dan minggu kau akan tetap kembali, kan?"

Namun tidak ada jawaban. Yang ada hanyalah dua tulisan "DATA LOST" yang bagaikan menjadi batu nisan di atas makam guru dan murid itu.

==Closing==

"Ayah! Ibu! Dilham! Wilda! Arai! Eriza! Bu Mawar! Kalian di mana!!!"

Mardika si bocah macan hitam berjalan di suatu desa yang sangat ia kenali. Semua bangunan, bahkan pepohonan dan tiang-tiang listrik berposisi sama persis seperti Desa Sukatarung, desa dimana dia dan teman-temannya tinggal.

Namun desa itu begitu kosong. Tidak ada penduduknya sama sekali, bahkan di dalam rumahnya sekalipun. Mardika takut telah terjadi sesuatu pada desa itu sehingga para penduduknya mengalami masalah, meski tidak ada tanpa kekerasan, tapi mencurigakan bila ada yang meninggalkan rumahnya ketika makanan sudah siap santap di meja makan.

"Mardika, itu kamu, nak?" sebuah suara mengejutkan Mardika.

"Bu Mawar?"

Mardika menengok ke sampingnya. Sempat ia terkejut ketika melihat cahaya putih berdiri di sampingnya, tapi ia melepas nafas lega ketika cahaya itu memberi tahu bahawa dirinya adalah sang guru.

"Ini beneran Bu Mawar?" tanya Mardika.

"Ibu nggak perlu menjewer telingamu, kan?" jawab Bu Mawar dengan nada bercanda.

"Habis... ibu kelihatan putih-putih seperti itu..." ujar Mardika.

"Lha, Mardika sendiri hitam legam" balas Bu Mawar.

Si bocah mengangkat tangannya sendiri untuk memeriksa tubuhnya. Benar kata Bu Mawar, tubuh Mardika sekarang tampak hanya seperti siluet kabut hitam.

"Oh, pendatang baru, ya?" sebuah suara kaku menyambut ke datangan mereka.

Empat buah bayangan siluet dengan warna kuning, merah, ungu dan hitam datang menghampiri Bu Mawar dan Mardika. Hanya saja, siluet hitam yang datang tidak berbentuk manusia, melainkan sebuah kucing.

"S-siapa kalian? Dan dimana kita sekarang?" tanya Bu Mawar gugup.

Keempat bayangan itu melihat sesama untuk sejenak, lalu kembali menghadap Bu Mawar dan Mardika untuk memberikan satu jawaban yang sangat kompak.

"Entahlah, kami tidak tahu"

"Meow!" ujar si kucing hitam dalam bahasa kucing.


Round 3 , End.

Catatan :
1)     Hakama : sejenis baju tradisional jepang yang biasa dipakai pria.
2)     Luck : kurang lebih memiliki arti "Keberuntungan"
3)     AI : Artificial Inteligent, sekumpulan logika yang mendasari tindakan robot.

13 comments:

  1. Fyuuh, selesai juga baca ini. Lumayan asik melihat karakter sendiri diceritakan melalui sudut pandang penulis lain. Malah kadang saya merasa, Bu Mawar di sini lebih manusiawi dan believeable daripada di entri aslinya sendiri. Saya suka bagian luck-nya, ataupun bagian Bu Mawar mengomeli OPI di pembukaan babak :D

    Bagian selingan intermission-nya cukup panjang dan selalu muncul selang-seling dengan cerita utama. Agak mengganggu alur, pada awalnya. Dan baru di momen terakhirlah saya ngeuh kalau itu adalah cerita kebersamaan Putih dan Rogue.

    Saya lumayan suka dengan selingan joke-nya, di sejumlah bagian tampak segar. Dan sebenarnya saya udah menebak-nebak asal nama Renggo Sina. Tapi nggak kepikiran kalau asalnya emang dari sana. Padahal mudah sekali itu ketebak :D

    Tapi di bagian akhir, moodnya tiba-tiba berubah menjadi gloomy. Kebalikannya entri saya, yang bagian awalnya gloomy tapi bagian akhirnya jadi sebuah resolusi.

    Battlenya cukup asik, agak terpotong alurnya karena cerita selingan itu, tapi secara umum masih belum terlalu masalah. Hanya saja, sepertinya Bu Mawar di sini hampir nggak pernah kena damage yang serius ya? Apakah karena kasihan dengan sosok guru tersebut? Padahal kalau mau dihajar mah ya hajar saja~

    -

    Kesimpulan.

    Masih banyak kesalahan tata bahasa, agak kurang teliti nampaknya ini. Plotnya ada dan asik, lalu saling menyambung di awal dan di akhir. Tapi mungkin di bagian awal terlalu banyak petunjuk yang kabur/bias sehingga pembaca seperti saya agak kurang menikmati sebelum petunjuk itu terungkap dan jadi tahu siapa yang siapa.

    Battlenya okelah. Bagian Dark Mawarnya agak drastis perubahan mood tetiba sang guru murka. Tapi tetep asik, dialog-dialog Bu Mawar di sini. Namun suasana arena koloseumnya hampir tak terasa kecuali pada bagian awal dan bagian penutup saja (saat semuanya jadi kacau).

    Oh well, goodluck dari saya. Siapapun yang melaju ke babak selanjutnya, semoga tetap semangat menulis yang terbaik.

    OC: Kusumawardani, S.Pd

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sebenarnya masalah Bu Mawar kena damage minimum gara-gara di akhir planning awal saya Bu Mawar akan diakhiri oleh Renggo yang mengamuk menjadi "Rogue" dengan cara yang keji, setelah dipaksa melihat kematian muridnya, sang guru diinjak-injak, dipotong setengah badan sebelum akhirnya "dimakan" oleh Rogue.

      Karena berusaha menjauhi "Bad End" ini terjadi, saya mencoba merubah imej Rogue dan memberi hubungan dengan masa lalu si guru, maka terbentuklah entri ini yang tidak separah versi awalnya...

      Dan... iya, anda benar. saya lupa ada Tarou dan para penonton dan baru ketika mendekati akhir cerita.

      Terimakasih telah membaca.

      Delete
  2. Fatanir - Po

    Kekurangannya, sepanjang pertarungan ini, karakter Renggo kayaknya kalah bersinar dari Bu Mawar. Kekagetannya, terenyuhnya Renggo pas ngeliat matahari terbit, kurang dieksplor dan justru lebih kentara penggalian karakter lainnya.

    Tapi semua itu ketutupi sama poin2 cerita yang bagus banget. Battlenya cukup renyah dan bertahap semakin akhir semakin intens. Karakter Bu Mawar digali dengan luar biasa bahkan lebih dari versi Bu Mawar sendiri. Renggo Sina adalah nasi goreng. Dan klimaks plotnya bener2 nendang di mana ada flesbek yg sekilas agak membingungkan kenapa mesti flesbek tentang si putih, padahal di ujung ternyata Bu Mawar dan Renggo keikat takdir yang apik banget.

    VOTE RENGGO SINA

    ReplyDelete
  3. aye ngerasa ini tulisan rada- rada panjang gitu ye?? untung kagak di masukin adegan esek- esek kayak di tulisannye nelly,,,

    ini pake trik selang- seling gitu ye? sebentar -sebentar cerita si renggosina,,,sebentar- sebentar ade selingan cerita laen,,,aye jdi rada kurang pokus gitu ngikutin ceritanye,,,tapi ini juga trik oke,,bisa aye tiru ntar,,,cuman ya kudu mesti dipoles lagi biar alus kayak batu akik,ehehehe

    aye demen banget pas bagian si renggosina dikasi tau kalo nama nye itu di ambil dari nasi goreng,,mantep deh tuh

    ReplyDelete
    Replies
    1. kelupaan, karakter aye si Kumirun,,,ude kesingkir sih

      Delete
  4. Hmm ... ini cerita berkesan buat saya. Ya betul kata pak Po, Bu Mawarnya menurut saya lebih kegambar bagus daripada aslinya. Aura keibuannya, kedekatannya sama Sunoto ... itu menyentuh buat saya.

    Tapi bukan berarti Renggonya sendiri dibawain dgn gak bagus. Renggo karakternya lebih kaya. Flashback yg ditampilkan cukup ninggalin impresi. Well, ini pertama kali saya baca entri Renggo dan ceritanya cukup membekas juga.

    Tapi masih ada banyak salah ketik sama salah grammar sih. Andai lolos ke R4 alangkah baiknya kalau berkurang.

    Vote??

    Hmm, setelah menimbang" ... akhirnya saya putuskan untuk VOTE RENGGO.

    Walau Ahran bilang buat vote Bu Mawar, tp tetap saya kan yg nulis komenan ini, hehe~~

    Alfiana N. tanpa OC-nya yang suka ngedrama~~

    ReplyDelete
  5. Renggo Sina...Nasi Goreng.... kenapa saya ga kepikiran ini ya

    Sejak r1 keliatannya entri Renggo selalu berhasil jadi jajaran entri panjang". Gaya ceritanya ga banyak berubah, tapi terutama di ronde ini di mana nyaris semua entri yang saya liat manfaatin momen ini buat flashback, karakter Renggo lumayan tergali dan keliatan appealnya buat saya. Bukan itu aja, bu Mawar juga somewhat lebih keliatan kayak 'bu Mawar' di awal turnamen, bertolak belakang sama versi lawan

    Porsi battlenya juga lebih reasonable, meski harus diakui secara alur banyak keganggu sama intermission yang selalu selang-seling

    All in all untuk pertandingan ini saya lebih invested ke Renggo, jadi VOTE Renggo

    ReplyDelete
  6. Ternyata nasi goreng,,, okay...

    Btw, di sini Mawar memang terlihat lebih seperti karakternya sendiri dari entri-entri sebelumnya. Tapi sayangnya jadi kurang manusiawi kalau menurutku, terlebih kalau dari apa yang dialami Mawar sebelumnya.

    Maafkan saya, Nasi Goreng, vote saya jatuh pada Mawar karena saya lebih suka karakterisasinya di sana.

    Seperti yang dibilang Bung Po juga, karakter Mawar jadi terlalu tersorot dibanding karakter utama cerita ini.


    Zoelkarnaen
    (OC: Caitlin Alsace)

    ReplyDelete
  7. Nasi Goreng! XD

    Entri ini menawarkan kisah balik yang cukup apik, dimana Renggo ternyata punya masa lalu dengan Bu Mawar. Dipadukan dengan adegan pertarungan yang berwarna, ada lucunya, ada kesan wahnya juga.
    Walau bumbu humor di awal cukup membuat tersenyum, tapi kurang jelas sebenarnya, belum kena komedinya kalau menurut saya.

    Lebih panjang 6000 kata dari entri Bu Mawar, tapi saya bacanya cepet, dengan kata lain saya menikmatinya ^_^

    VOTE: NASI GORENG

    ReplyDelete
  8. Fiuh, selesai juga bacanya, walau akhirnya harus skimming.

    Yang bkin minus:
    - Jokenya berasa off buat aye.
    - Flashbacknya berasa ngeganggu banget
    - plot twist soal takdir bu mawar dan renggo, walah, ini juga bikin "what the...terlalu dipaksain."
    -ada beberapa kosakata yang salah, aye ga yakin itu typo atau memang salah penggunaan kosakatanya.

    Yang aye suka:
    - Ga nyangka sumpah ada adegan monsternya wara - wiri. wkwkwkk terkejut aye ada spaghetti monsternya dimunculin.
    -battlenya mantep.
    -karakter bu mawarnya lebih hidup.

    ****

    vote saya jatuh ke...
    KUSUMAWARDANI.

    Yang ini aye kurang menikmati bacaannya...
    Mohon maaf ya...
    _/\_

    _Pitta N. Junior_

    ReplyDelete
  9. + akhirnya ada yang ngikutin skema, satu OC, satu Maid Guide

    - kenapa? kenapa terlalu banyak flasbek

    + tapi battlenya lebih rapi daripada sebelah.

    +/- daaaan... foreshadownya sepertinya jadi kayak Ursa di 4L... samhaw, berasa ngulang "ngoleksi yang kalah"

    OC: Frost
    Vote: Renggo

    ReplyDelete
  10. Bingung mau komen apa, semua udah disebut sama yang di atas.

    Karakterisasinya mantap, lebih hidup dan komedinya bertaburan disana sini. Aku suka waktu Renggo dan Ralan dimarahi Bu Mawar. Lebih lagi Reli numpang lewat disini XD

    Vote : Renggo

    ReplyDelete