7.9.15

[ROUND 3] WILDAN HARIZ – FINALLY, INSANITY TAKES OVER


​Wildan Hariz
Finally, Insanity Takes Over
Penulis: Wildan Hariz




Arena I
<Bola Terkutuk>

Sorak sorai riuh menyelimuti suasana sebuah arena pertandingan. Para penonton—bapak-bapak, ibu-ibu – semua yang ada di sini – terlihat begitu menikmati pertarungan yang disajikan dalam arena. Beberapa dari mereka bahkan mempunyai jagoan sendiri. Yang tidak mempunyai jagoan pun begitu antusias meneriakan dukungan untuk peserta yang sedang bertarung sekarang.

Dua petarung dengan gender berlawanan tengah bertarung dalam arena. Mereka tak sendiri, melainkan sama-sama didukung oleh satu 'monster pendamping'. Ini adalah suatu sistem baru yang diperkenalkan dalam arena yang sedang mereka tempati.

"Hah … hah … a-ayo … sekali lagi!"


Salah satu petarung itu adalah Wildan Hariz. Bagaimana ia bisa berada di sini? Padahal, di ronde sebelumnya ia terlihat baru tersadar di sebuah kamar rumah sakit dengan seorang perawat cantik. Bagaimana? Tahan dulu. Mari fokus dengan yang ada di arena untuk sekarang.

"Hah …  hah …. Sesuai harapanmu, bocah."

Seorang wanita berambut lurus sebahu menanggapi tantangan Wildan. Kulitnya putih, khas orang-orang barat dari Earth. Dan itu pun adalah fakta, sang wanita memang berasal dari sana. Lebih tepatnya, sang wanita berasal dari kota Ithacca, tipikal kota metropolitan yang sibuk dengan hiruk-pikuk di sana-sini. Wanita berpostur cukup tinggi dan proporsional itu memperbesar jarak di antara dua kakinya, bersiap melesat.

Keringat mengucur baik dari tubuh sang wanita maupun Wildan. Hanya saja, sang wanita lebih bisa 'menghemat' keringat ketimbang Wildan yang sekarang basah kuyup layaknya orang sehabis mandi. Biar begitu, Wildan pun bersiap bertolak, mengelukkan kakinya.

Tanpa aba-aba dari siapa-siapa, Wildan dan wanita itu melesat seakan bermaksud menabrakan tubuh satu-sama lain. Terdengarlah bunyi benturan logam dari senjata masing-masing yang mereka bawa.

"Oooh~ Mereka mulai beradu lagi! Dan lagi-lagi dengan kecepatan luar biasa!" teriak seorang komentator di sebuah balkon dengan mic-nya. Komentator itu bernama Tarou. Namanya sepeti nama merk makanan ringan, tapi bentuk makhluk ini malah menyerupai ikan berbadan manusia.

Wildan tidak habis pikir mengapa pertarungan seperti ini membutuhkan komentator. Maksudnya, mereka kan tinggal lihat saja apa yang terjadi di arena. Toh yang dikatakan komentator pun berdasarkan kejadian di arena. Sementara, sang wanita lebih bisa memakluminya. Bagaimanapun, hal itu hanyalah pikiran mereka berdua yang telah lalu. Sekarang waktunya bagi mereka memikirkan cara mengalahkan lawan.

Cepat. Lawan Wildan kali ini cepat sekali. Kalau bukan seorang atlet, pastilah wanita ini rajin berlatih foot work. Tidak kalah dengan Vi Talitha yang Wildan hadapi di ronde sebelumnya, wanita ini memiliki kelihaian-kelihaian tersendiri.

Dan kebanyakan, kelihaiannya lebih dari cukup merepotkan bagi Wildan.

Sang wanita melompat, bermanuver di udara. Senjata yang dipegangnya adalah sebuah tongkat pendek berjenis A.S.P. telescoping baton. Wildan tak begitu mengetahui tentang senjata jenis ini. Yang ia lihat hanya sebuah tongkat pendek.

Langkah kaki Wildan mengambil sejumlah jarak ke belakang untuk menghindari 'tusukan' baton yang diarahkan secara horizontal pada kepalanya. Tetapi, ternyata serangan sang wanita tak berhenti sampai di situ. Baton yang ia pegang memanjang beberapa senti, membuat Wildan terheran.

Baton itu telak mengenai dahi Wildan. Pemuda itu terpental.

Terkapar di lantai, Wildan berusaha mempertahankan kelopak matanya agar tidak tertutup. Namun sayang, serangan pada dahi tadi membuat kesadarannya lambat laun makin menurun. Tentu saja. Bahan yang membentuk baton itu adalah baja. Dilihatnya dengan pasrah sang wanita melangkah menghampirinya.

"Cara berpikirmu sama gilanya dengan kecepatanmu ya. Padahal partner-mu sudah tidak berdaya," komentar sang wanita. "Aku paham betul, dengan listrik itu kecepatanmu tidak bisa dibilang manusiawi. Tapi kau seharusnya tidak meremehkan wanita yang sudah menganggap lari sebagai cemilan saat menonton TV."

Sebuah bola mesin aneh melayang di sekitar wanita itu. Bentuknya tidak jauh lebih besar dari bola tenis. Bola terkutuk inilah yang berperan besar dalam menyudutkan kondisi Wildan sampai saat ini. Setiap 'mata' bola itu bersinar, Wildan tak boleh tinggal diam. Sesuatu yang buruk akan terjadi padanya.

Kini, untuk kesekian kalinya mata bola itu bersinar. Yang Wildan rasa hanyalah sesuatu yang jatuh dari langit dan membuatnya merasakan kesakitan.

[Loading data ….]

Sementara itu di ketinggian 2.000 km, sebuah satelit dengan panjang 10 meter mengorbit dengan tenang, tanpa dosa.

Satelit yang menjadi biang keladi dari laser yang baru saja ditembakan ke arah planet Sol Shefra, planet tempat Wildan dan sang wanita bertarung dalam arena.

Hal inilah yang tak diketahui Wildan.

Kehendak dan kecerdasan buatan membuat kinerja satelit itu sangat baik. Serangan barusan adalah buktinya. Tanda yang satelit itu terima dari 'bola terkutuk' direspon secara tanggap dengan tembakan laser. Alogaritma default pada kecerdasan buatannya membuat satelit tersebut dapat memperkirakan kapan laser sampai pada target, dengan akurasi yang mengerikan pula.

Penembakan laser usai, suhu panas di meriam satelit kembali dingin. Sudah waktunya bagi satelit itu untuk melanjutkan mengorbit seperti sedia kala.


Arena II
<Pengungsi Server>

[Transfering data ….]

Ini bukan musim gugur, tak ada bunga sakura yang berjatuhan.

Ini bahkan bukan Alforea, melainkan Amatsu.

Amatsu?

Kembali pada saat setelah Wildan Hariz terbangun pada sebuah kamar dengan Vi Talitha di dalamnya. Vi menjelaskan semuanya yang ia ketahui. Bahwa Alforea sudah musnah. Bahwa saat ini Wildan sudah tak berada lagi di Alforea.

Namun saat Wildan bertanya tentang dimana ia berada, dan apa saat ini ia sudah berhasil pulang ke Reverse, Vi menggeleng.

"Planet ini bernama Sol Shefra. Alforea itu hanya satu dari banyak server yang ada di planet ini. Sekarang kita berada di server yang bernama Amatsu." Hewanurma, sang ilmuwan Battle of Realms mulai menjelaskan pada Wildan di ruangannya. Penampilan Hewanurma kali ini sedikit berbeda. Dengan baju dalam tradisional longgar, tetapi masih mempertahankan jas laboratorium putihnya.

"Huh, bukan salahku juga kan kalau pertahanan server itu lemah?"

Hewanurma melayangkan bogem mentah ke atas kepala Wildan.

"Hei, Kek! Yang benar saja! Mana bisa aku sembuh cepat kalau dipukul seperti ini terus," gerutu Wildan. Sudah kesekian kalinya ia mendapat bogem mentah, baik karena hal yang ia tidak mengerti dari penjelasan Hewanurma maupun karena kesalahan ucapan yang Wildan tak tahu dimana letaknya.

 "Enak saja kau bilang lemah. Ini semua karena tipu muslihat licik si Dimdim—Dimas Pamungkas yang memang sudah bawaannya licik itu. Dan memang benar ini bukan sepenuhnya salahmu. Tapi aku tak bisa melepaskanmu begitu saja setelah apa yang terjadi dengan Alforea."

"Dimas Pamungkas, ya? Kalau dari ciri-ciri yang kau berikan sih, mungkin benar dia yang aku dan Vi lihat sebelum bertarung itu. Dia bilang, dia mendukungku. Kacamata hitam sialan, lihat saja kalau bertemu nanti—aw!" ujar Wildan sambil mengepalkan tinju ke telapak tangannya sendiri yang ternyata masih sakit.

Mendengar itu, bergumamlah Hewanurma sambil mengelus janggut, "Hm, begitu. Mungkin dia sudah memperkirakan tentang Vakina juga."

"Oh ya …." Wildan teringat sesuatu. "Kenapa dia tak mengingat pertarunganku dengannya?" tanyanya dengan mata sayu. Ya, yang ia maksud adalah Vi. Yang bersangkutan saat ini sedang menyiapkan buah-buahan untuk para pasien.

"Kompensasi." Hewanurma membetulkan letak jas laboratoriumnya. "Aku benci mengakuinya, ada hal yang memang tidak bisa kupulihkan dari datanya. Yaitu ingatannya. Tapi bukankah fakta bahwa dia hidup cukup membuat kau senang?"

"Berisik. Aku tidak senang sama sekali."

"Ah, dasar anak muda. Gerak-gerikmu mengatakan sebaliknya, tahu."

"A-Apa kau bilang!?"

Bunyi ketukan pintu terdengar. Ada suara seorang perempuan di baliknya. Suara itulah yang membimbing Wildan di ronde sebelumnya.

"Tuan Hewanurma, Tuan Wildan." Pintu dibuka. Perempuan itu memberi salam sambil menunduk. "Saya ke sini untuk menghaturkan informasi tentang ronde berikutnya."

"Kathrine?" tanya Wildan. Kathrine yang biasanya mengenakan pakaian pelayan, kini salin menjadi perawat.

"Apa, Wildan? Kau kecewa yang datang ternyata bukan Vi, ya?" goda Hewanurma lagi.

"Berhenti menggangguku, Kakek Sialan!" Godaan itu ia balas dengan menarik rambut putih panjang Hewanurma.

[Loading data ….]

"Selamat datang. Aku sudah menunggu kedatangan kalian ke tempat ini." Sesosok perempuan berpakaian adat putih dengan celana longgar merah menyambut para peserta Battle of Realms. Wildan termasuk di antaranya, duduk di kursi roda yang dengan baik hati didorong oleh Vi. Tubuhnya belum cukup pulih.

Dari penampilannya, Wildan menduga perempuan yang menyambut para peserta ini adalah penjaga kuil, yang atapnya terlihat di antara gerbang yang menghalanginya itu.

Hal yang selanjutnya terjadi adalah beberapa peserta yang menanyai sang perempuan, mengenai dimana mereka, dan siapa sejatinya perempuan itu. Ia pun mengaku bahwa dirinya adalah seorang miko, dan memberitahu para peserta mengenai Amatsu. Hal yang sudah Wildan ketahui secara lebih rinci dari Hewanurma sebelumnya.

"Hei, itu Wildan! Heeeiii Wildan, bun~" suara bocah yang begitu familier di telinga Wildan.

"Bun!"

Wildan senang bukan main melihat bocah gembul berpakaian oranye-biru yang berlari menghampirinya. Di belakang Bun, Wildan juga dapat melihat satu orang lagi, yang sempat ia lihat bertarung dengan Bun di sebuah perpustakaan. Ya, siapa lagi kalau bukan— "Vajra!"

"Hei, hei. Panggil aku Radith. Aku kan sedang tidak sedang dalam mode Vajra. Masa' baru dua ronde berlalu kau sudah lupa?" canda Radith. Sambil menyikut Wildan, senyumnya mengembang.

"Oh ya. Dimana Liona!? Ada yang lihat?" ujar Wildan.

"Itu … kami juga belum tahu." Radith dan Bun saling bertukar pandang sejenak. "Jangan-jangan …."

Berusaha bangkit, Wildan secara kasar mencengkeram kerah beskap Radith. "J-Jangan bercanda! Kau mau bilang dia tidak selamat!?"

Benar adanya bahwa jumlah peserta sudah banyak berkurang saat ini. Siapa yang bisa menjamin bahwa habisnya health bar tidak berarti kematian nyata bagi semua peserta? Padahal tidak ada health bar di ronde satu atau babak penyisihan. Kemungkinan, itu pun adalah sistem yang diciptakan virus untuk mengacaukan keselamatan para peserta.

"Aku tahu kau khawatir, tapi tenanglah, Wil. Kita akan sama-sama cari tahu." Radith melepaskan tangan Wildan dari kerahnya. "Oh ya, Wil. Siapa nona cantik ini?"

"Ha. Akhirnya ada orang yang berkelas. Tidak seperti seseorang yang sedang duduk di kursi roda ini."

"Jangan mulai lagi, Vi …. Kau mau kugigit lagi ya?" protes Wildan yang memutar mata.

"Gi-Gigit!?" Radith menampilkan wajah merah padam. Ia mulai berpikir yang tidak-tidak.

Meski terlihat akur saat ini, tingkah alami Wildan yang tidak bisa diam cukup membuat Vi repot saat merawatnya. Pernah suatu saat Wildan menolak untuk dirawat karena bentuk obat dan alat pengobatan yang ia anggap aneh.

Alhasil, Wildan refleks menggigit lengan Vi. Tentu saja Vi balas dengan balutan perbannya yang sukses membuat Wildan tampak seperti mumi. Tanpa sayap, kali ini.

"Yah memang merepotkan mengurus nagh liar seperti ini, tapi bagi divine nurse sepertiku, itu hanya masalah sepele." Vi membuat gestur yang menyimbolkan kemudahan dengan tangannya pada Bun. "Kalau kau kurang ajar lagi sekarang, akan kujatuhkan dari kursi roda ini."

"Coba saja kalau berani," geram Wildan. "Dan berhenti memanggilku nagh liar. Itu terdengar konyol."

"Wahaha, kalian akrab sekali ya, bun~"

"Ka-Kami tidak akrab!"

"Ehm … Perkenalkan, namaku Vi Talitha. Yang gemuk ini Bun, dan yang setengah tampan ini Radith, benar?"

"Iya, bun~ tapi aku tidak gemuk, bun~!" sanggah Bun. Sementara Radith hanya diam, masih dengan wajah merah. Ia tak tahu harus senang atau sedih disebut setengah tampan oleh gadis cantik seperti Vi, meski ia tahu Vi berkata begitu karena topengnya.

"Montok deh kalau begitu," seringai Vi seraya jemarinya mencubit gemas pipi Bun.

"…. Ngomong-ngomong, kalian berdua sempat bertarung kan di perpustakaan itu? Apa kalian tidak apa-apa?" Wildan mengganti topik.

"Hah? Bagaimana kau tahu?" tanya Radith

"Aku ada di sana …."

"Aneh, aku dan Bun tidak merasakan apa-apa …."

Mungkin … karena kekuatan listrik-ku yang melemah, batin Wildan. "Jadi apakah kalian berdua menang melawan pria bertopi fedora itu?"

"Hm … aku, Bun, dan si Topi Fedora sebenarnya dinyatakan lolos. Tapi … ada yang lebih mencengangkan daripada itu."

"Maksudmu?"

Telunjuk Radith mengarah pada seseorang berpakaian cerah dengan Sunday hat  di antara kerumunan peserta. Ia memiliki rambut ungu sebahu yang sama dengan si Topi Fedora. Wajahnya baru sempat Wildan lihat setelah yang bersangkutan sedikit memandang balik seraya berkedip dengan genitnya.

"Itu dia," ucap Radith pendek.

"Ha-Haaaah!? Dia perempuan!?"

"Ya. Kau tak salah lihat. Aku dan Bun juga baru mengetahuinya."

"Dia orang yang penuh tipu muslihat, bun~"

"Mengelabui semua orang, ya? Cerdik juga. Tapi sejak awal aku tidak peduli." puji Vi.

"Cerdik? Atau licik? Seperti seseorang di sini."

Sesegera setelah Wildan berkomentar tentang Vi, rombongan peserta mulai bergerak mengikuti langkah kaki sang gadis miko ke suatu tempat. Gadis itu bilang, ada sebuah festival yang akan segera dimulai di pusat kota.

Festival? Apa ini saat yang tepat untuk mengikuti festival?

Mengapa tidak.

[Loading data ….]

Gadis miko membimbing para peserta berjalan menembus festival di sebuah kota, meninggalkan halaman kuil tua tempat mereka tadi berkumpul. Sepanjang jalan, para peserta dihadapkan dengan fakta mengejutkan bahwa penduduk kota semuanya berupa monster. Sebagian bertubuh setengah binatang, sebagian lagi berbentuk monster sempurna yang memakai pakaian.

Anehnya, mereka tak berperangai buruk yang membahayakan. Harmoni sepertinya telah tercipta di antara penduduk ini. Sudah menjadi hal lumrah tampaknya melihat pemandangan manusia setengah jeli membeli kembang gula dari seekor monster gurita kuning yang berjualan di booth.

Selain booth yang berjejer, ada pula sebuah panggung megah di ujung lapang. Booth dan panggung masing-masing telah dihiasi ornament-ornamen kebudayaan. Meski begitu, para peserta dilarang membeli apapun dari booth, mereka juga diimbau supaya tetap berada dalam barisan.

Ketat. Sepertinya ini bukan festival yang ditujukan untuk menyambut mereka.

Menari dengan lincah nan elok, diiringi lagu bersemangat. Berdiri di atas panggung sana adalah Ariana Maharani. Apa yang manusia seperti Aria lakukan di tengah populasi monster begini? Terakhir Wildan melihat gadis yang biasa dipanggil Aria itu adalah di depan Kastel Despera. Ia bilang tidak terlalu tertarik dengan pertarungan; lebih suka menyanyi dan menari. Karena itu ia tidak ikut babak penyisihan.

Niat Wildan untuk berteriak ke arah Aria sudah di ujung rongga mulutnya. Tapi niat itu ia telan kembali. Akan merepotkan jika ia harus berurusan dengan Aria di tengah perjalanan menuju ronde tiga seperti ini. Wildan ingat betul Aria masih menganggapnya memiliki hutang. Pilihan buruk adalah memberitahu Aria bahwa Wildan sekarang hanya berjarak 20 meter darinya.

Sementara itu, peserta lain pun terlihat menurut saja dengan imbauan sang gadis miko. Wildan mengamati punggung-punggung familier. Rambut mereka pun entah kenapa menjadi perhatian Wildan. Ada yang berambut dreadlock, keriting bola, tertutup kerudung, dan sebagainya. Sayangnya tak banyak waktu yang ia punya untuk menanyai mereka satu-persatu dalam 'rombongan parade' ini.

Barisan terdepan dari rombongan tak kalah menarik. Pemuda berkacamata dan pria gondrong berpedang sepertinya tidak asing dengan suasana festival. Mereka berdua memimpin di depan. Menyusul di belakangnya adalah si gadis rambut ungu dan pemuda tambun bernama Pitta N. Junior.

Wildan sebelumnya pernah melihat Pitta membawa pizza besar yang melayang! Namun, orang yang menjadi lawan bertarung Pitta di ronde sebelumnya tak terlihat di sini sekarang. Kalah? Apakah orang ini benar-benar bisa mengalahkan seseorang dengan sebuah pizza raksasa? Kalau Wildan bertarung dengannya nanti, ia ingin mencoba memakan pizzanya. Pikiran yang sungguh tidak bijak kala ia sudah berhadapan dengan makanan.

Langkah kaki si gadis miko terhenti di sebuah bangunan besar berbentuk melingkar, "Monster Colosseum. Di sinilah kalian akan bertarung."

"Ruangan tertutup? Semacam arena?" duga si pemuda berkacamata.

"Masuklah. Kalian akan mengetahuinya."

Arena III
<Arena Katastrofe>

"Hormat pada Yang Mulia Netori!"

"Waaah! Yang Mulia Netori muncul!"

"Puja Yang Mulia Netoriii! Riririririri~!"

Gadis bernama Netori duduk di semacam singasana, tempat ia bisa melihat seluruh arena dengan sangat jelas. Tuan rumah server Amatsu ini tak memberikan ekspresi berarti saat orang-orang meneriakan namanya. Ia hanya memberi anggukan kecil, seolah hanya itulah yang pantas mereka dapatkan.

Adalah Tarou, sang komentator yang memimpin penghormatan pada Netori. Makhluk berbadan ikan itu berada di balkon tertutup kaca. Persis seperti ruang komentator pertandingan baseball. Melihat tanda dari Netori. Tarou langsung membuka acara, "Dengan ini mari kita mulai pertarungan arena terbesar abad ini! Amatsu Festival Arena! AFA!"

Netori berdecak, lalu merespon perkataan Tarou dengan gumaman, "Merepotkan saja, pantatku bisa sakit nanti kalau kelamaan duduk. Awas saja kalau tidak seru. Kubunuh kalian semua."

"Hei, itu dialog pertamamu dalam cerita ini, loh. Kau yakin?"

Dari belakangnya muncul seorang gadis jangkung berdada besar yang sudah lama tak terlihat sejak ronde-ronde sebelumnya. Sang penyelenggara turnamen Battle of Realms, Tamon Ruu.

Satu sosok lain muncul di samping kiri Netori. Pria berambut putih panjang yang sudah berumur melenggak dengan santai. Bersedekap, namun tangannya ia lipatkan di depan sampai tersembunyi oleh lengan bajunya. Dialah Hewanurma.

"Ah, Nurma~ Ayo kita lihat petarung pilihanku atau pilihanmu yang menang~" Tamon Ruu menengguk sebuah botol sake yang dihidangkan oleh pelayan.

"Jangan panggil aku Nurma, Ruu! Harus lengkap!" sentak Hewanurma. "Mau 'kuhajar' lagi, ya?"

"Kau sendiri panggil aku, Ruu!"

"Kalau kalian mau berisik, sebaiknya jangan di sini. Kubunuh nanti." Netori yang dari tadi diam menatap dua orang berisik itu dengan tatapan mendelik. Ia lantas menunjuk kacamata hitam yang 'bertengger' di wajah Tamon Ruu. "Lalu, apa-apaan dengan penampilan bergaya Hollywood itu!?"

"Bunuh, bunuh, bunuh. Yah, perangaimu sama-sekali tak berubah. Terserah aku dong mau pakai apa," tanggap Tamon Ruu santai. "Hmh, pokoknya jagoanku pasti yang menang. Ayo maju Mima Shiki Reid!"

Kesal, Hewanurma juga ikut-ikutan, "Jangan kalah, Wildan Hariz! Kalau kalah nanti bertubi-tubi, kujitak kepalamu, bocah!"

[Loading data ….]

Sebelumnya telah dijelaskan oleh sang komentator, Tarou, bahwa pertarungan ini melibatkan duel antar peserta Battle of Realms yang masing-masing didampingi satu monster. Dengan kata lain, Wildan harus memilih antara Mao atau Alva yang akan menemaninya.

Kalau Wildan, memang tidak masalah. Tapi bagaimana dengan para peserta lain yang tidak memiliki pet container? Apa mereka mendapatkan monster secara acak? Tarou sebaiknya mempunyai penjelasan lebih lanjut tentang ini.

Suara bising para penonton mendadak sirna tatkala sebuah layar hologram raksasa terpampang di tengah arena. Layar itu sangat jelas terlihat dari tribun khusus yang disiapkan bagi para peserta Battle of Realms. Dari layar tersebutlah Wildan dapat mengetahui nama-nama peserta lain sekaligus lawan mereka, lengkap dengan foto diri yang entah kapan diambilnya.

"Seperti yang terlihat di layar," ujar Tarou, "pertarungan pertama hari ini adalah antara Mima Shiki Reid, the Running Mama; dan Wildan Hariz, the Florian Warrior of Lightning!"

Penonton kembali bersorak. Dari fotonya, Mima Shiki Reid adalah seorang wanita berambut pendek. Pakaiannya saat ini adalah pakaian tradisional Amatsu, mirip seperti pakaian yang dipakai para penonton dan penduduk lokal. Entah apa yang terjadi dengan pakaiannya yang lama.
Mima dan Wildan dipersilakan maju ke sebuah lingkaran oleh seorang pelayan pemandu. Nampaknya dua lingkaran itu adalah tempat teleport menuju arena. Sebelum mereka dikirim ke sana, pelayan memberikan semacam serum agar bisa berjalan dengan leluasa. Segel Hewanurma berefek buruk pada mobilitasnya, maka dari itu ia hanya duduk di kursi roda sejak tadi.

Layar berpindah ke pinggir arena dekat tribun. Kedua peserta dipindahkan melalui lingkaran ke arena.

"Kau tidak menyemangatinya, Vi?" tanya Radith. Ia duduk berjejer dengan Vi, Bun, dan peserta lainnya di tribun.

Vi dengan enteng menjawab, "Hm? Itu bukan kewajibanku."

"…."

"Ya! Bisa kita lihat kedua peserta telah memasuki arena. Yang Mulia Netori, berkenankah Anda memulai pertarungan pertama ini?"

Lagi-lagi Netori hanya mengangguk pelan. Ia langsung mengangkat tangannya, seakan ia sudah melakukan ini ribuan kali. Dan ia ingin pertarungan ini berjalan dengan cepat jika tidak menarik.

"Oke," respon Tarou, "Tiga …"

"dua …"

"satu …"

Netori menurunkan tangannya.

"Mima Shiki Reid Vs. Wildan Hariz, dimulai!"

Suara bising kembali terdengar dari para penonton. Entah siapa yang mereka dukung. Atau mungkin mereka hanya senang karena akhirnya hiburannya dimulai? Festival macam apa ini?

Yang jelas, dengan berdirinya Wildan di arena ini, sudah tentu ia mempunyai satu lawan yang perlu diwaspadai.

Nampaknya Mima bukan tipe orang yang suka berbasa-basi. Sesegera setelah Netori meresmikan mulainya pertandingan, kedua kaki Mima  melakukan tendangan melayang kepada dagu Wildan. Si pemuda terhuyung, tapi masih bisa mempertahankan keseimbangannya.

Dilanjut dengan serangan lutut, Mima belum selesai. Diarahkan ke perut, tetapi Wildan dapat menangkisnya dengan gagang salah satu sabitnya. Ia mulai terbiasa memanggil senjata keluar dari inventory-nya secara cepat.

Kalau soal senjata, Mima pun punya. Ada semacam kantong kecil di belakangnya yang berisi berbagai macam benda. Biar kecil, tapi kapasitasnya sama seperti inventory Wildan. Inventory peserta lain pun demikian.

"Satu tongkat baton dan satu pisau dapur dikeluarkan Mima! Pilihan senjata yang unik!" komentar Tarou. "Serangan pembuka yang baik sekali dari Mima. Tapi, apakah ia meremehkan Wildan dengan senjata seperti itu!?"

Tatapan Mima mendelik. Dimainkannya senjata-senjatanya di hadapan Wildan. Tindakannya seolah berkata, 'Majulah, bocah.'

Itu membuat Wildan kesal.

Dengan senang hati Wildan menerimanya. Namun hasil keputusan itu tak membuat Wildan senang nantinya.

Melesatlah Wildan dengan dorongan listrik di kaki dan tangan. Berbagai sabetan sabit kembar bertabrakan dengan senjata Mima. Tak lupa ia manfaatkan rantai peraknya untuk menambah jangkauan serangan. Dan itu berhasil.

Pelipis Mima tersayat secara horizontal. Ya, itu memang tidak Mima sangka. Sekilas Mima tampak tersudut, namun air mukanya tetap tenang. Diambilnya dua lompatan ke belakang untuk menjaga jarak ke tepi arena.

Bibir wanita itu menyunggingkan senyum puas, "Kau memilih lawan yang salah."

"Tapi aku tidak memilih lawanku sendiri. Mereka yang pilih, kan."

"Tentu, tentu saja. Itu hanya kiasan," jawab Mima sambil menaikan bahunya.

"Tak bisakah kau bicara dengan bahasa yang lebih bisa dimengerti?"

Tanpa menunggu jawaban Mima, Wildan sudah merangsek dengan lemparan sabitnya. Ia mengincar mata Mima lagi.

Tanpa diduga pula, Mima melakukan pivot seperti pemain basket profesional dan melesatkan diri ke belakang Wildan.

"Blind spot, boy."

"Oooh! Apa yang terjadi, hadirin sekalian!? Cipratan darah segar tercipta dari punggung Wildan. Garpu-garpu lemparan Mima berhasil bersarang di sana!" Tarou kembali berkomentar.

Wildan mencoba mengayunkan sabit sebagai serangan balasan, namun berhasil ditangkis pisau dapur dan baton Mima secara menyilang. Lutut mereka berdua saling beradu. Lagi-lagi serangan lanjutan Wildan gagal. Mima seakan dapat membaca pikirannya, mengingatkan Wildan pada kemampuan mind-reader Dark, sang Warrior of Mist.

Bukan karena kaki Mima lebih kuat dari Wildan, tapi karena Mima memanfaatkan momentum dan kelenturan kulit, kakinya berhasil mendorong kaki Wildan sampai jatuh. Selanjutnya malah ia yang melancarkan serangan balasan dengan cara menindih tubuh Wildan dan menghujamkan pisau dan batonnya. Keadaan cepat sekali berbalik.

Beruntung, Wildan masih dapat menangkis keduanya dengan lempengan pisau salah satu sabitnya.

Tolakan tendangan mengempas tubuh Mima dari Wildan. Mima pun melakukan tolakan yang sama, namun targetnya adalah lantai arena. Hasilnya? Mima kembali merangsek ke arah lawannya.

Wildan melepas tangannya dari gagang sabit, berguling ke belakang. Ia yakin betul akan dapat menghindari serangan Mima sampai saat ia berdiri, hantaman baton dari sebelah kanan seakan menampar pipinya.

Rahangnya kaku. Memar di pipinya terlihat sangat parah. Kalau begini lebih baik ia ditampar tangan kosong daripada baton yang kerasnya minta ampun itu.

Untuk kesekian kalinya senjata-senjata mereka berdua beradu. Mima yang memperhatikan wajah Wildan terheran saat mendapati mata Wildan tertutup. Takut? Bukan. Itu adalah sebuah syarat.

Syarat agar ia dapat melepaskan kemampuan Gelombang Kejut Menyilaukan saat membuka matanya!

Dalam tiga detik, dalam pemandangan serba putih yang diakibatkan cahaya kejut miliknya, Wildan mampu mendaratkan sayatan yang berhasil merobek celana bagian paha kiri Mima. Sang korban kembali menjaga jarak setelah mendapat potongan pakaian gratis, meski bukan dari tukang jahit dan rasanya sakit.

Suasana tegang secara instan rusak oleh bunyi aneh nan lemah yang terdengar. Padahal sedari tadi para penonton bungkam, menahan napas untuk melihat hal yang terjadi selanjutnya.

Bunyi itu berasal dari perut Mima.

"Gawat … aku lapar." Mima menundukkan kepala, mengelus perutnya.

Wildan pun mendengus, "Heh, bisa-bisanya kau lapar di saat begini."

Bunyi yang sama terdengar dari perut Wildan. Ternyata ia merasakan hal yang sama.

"Mau tunda ini untuk makan dulu?"

"Setuju."

Wildan dan Mima berjalan berlawanan arah, bermaksud turun dari arena. Sontak saja Tarou sang komentator meneriaki mereka berdua. Para penonton sendiri masih terlalu tersentak oleh pemandangan yang kini mereka lihat. Beberapa menganga, mereka tak bisa berkata apa-apa.

"He-hei! Tidak bisa begitu! Pertarungan ini tidak bisa ditunda!"

"Ha? Kenapa tidak bisa?" kata Wildan.

"I-Itu karena pertarungan ini sedang disaksikan oleh Yang Mulia Netori! Selain itu, ada para penonton juga!"

Mima melipat tangan, melirik ke suatu tempat, "Netori yang duduk di singgasana itu ya. Ditunda sebentar bukannya tidak apa-apa? Lagipula kami berdua sama-sama lapar."

Dari jauh, Netori terlihat mengangkat alis dan membuka matanya lebar-lebar. Mungkin tak akan begitu terlihat dari arena. Mungkin tak terlihat sama sekali oleh Mima dan Wildan yang seolah terlalu bebal dengan ekslusivisme di tempat ini.

"Po-Pokoknya, kalian tidak bisa seenaknya!" Tarou berteriak semakin panik.

"Ah, kau juga seenaknya berkomentar ini dan itu sejak tadi. Berisik, tahu! Torao!" dongkol Wildan.

"I-Itu … aku kan hanya menjalankan t-tugasku …." Makhluk merah mirip ikan itu mundur selangkah tanda gugup. "Dan namaku Tarou! Bukan Torao!"

"Lanjutkan. Atau kubunuh." Suara Netori kemudian terdengar ke seluruh arena karena ia dibawakan sebuah mic oleh pelayan.

"Seram sekali," komentar Wildan ngeri.

"Bagaimana nih?"

"Terserah. Mau lanjut saja?"

"Hm, tak terlalu lapar, sih. Ayo lanjut kalau begitu."

"Ng … anu … kalian masing-masing belum mengeluarkan monster, loh," kata Tarou. "Ini kan pertarungan kooperatif dengan partner monster."

"Be-benar juga …"
"Keasyikan bertarung, huh? Jadi mana monsterku? Aku kan tidak punya monster," sahut Mima.

"Cek di inventory, Ms. Reid. Ada monster container di situ bagi peserta yang tak punya monster dari awal," jawab Tarou.

"Hoo! I see. Kenapa tidak bilang dari tadi!?"

"So-Soalnya kalian tidak tanya … Lagipula kalian bertarung cepat sekali. Tak ada celah bagiku menyampaikan informasi ini."

"Baiklah. Kalau begitu aku memilih Alva untuk menemaniku!" Sesosok bersayap muncul dari pet container Wildan. Oh ya, mungkin di Amatsu ini disebut dengan monster container karena orang-orang di sini tidak menganggap mereka sebagi peliharaan.

Memang, yang muncul dari sana adalah sosok bersayap. Tapi sosok itu tak berukuran burung elang semestinya, melainkan berupa humanoid berjubah! Ini bentuk mutasi Alva di ronde sebelumnya. Dan sesekali bentuknya berubah menjadi Mao yang sedang dalam bentuk mutasi pula.


"Loh? Wujud ini kan … yang waktu itu! Alva … Mao … apa yang terjadi!?"

"Oooh! Lihatlah, hadirin sekalian. Wildan telah mengeluarkan monsternya, Alvamao!"

"Hei, namanya bukan—"

"Dan Mima langsung menghajar Alvamao!"

"A-Apaa!?"

"Oh ternyata Alvamao bisa menghindari tendangan melayang dari Mima karena dia mempunyai sayap. Hm, menarik sekali."

"Hei, Mima! Kami belum siap bertarung!" protes Wildan.

"Itu urusanmu." Mima sekarang berusaha menerjang Wildan. Ada yang aneh dengannya. Di sekitarnya sekarang melayang-layang benda bulat aneh dengan 'dua mata sipit'.

"A-Ahahaha … Apa-apaan itu!? Apa monstermu semacam buah-buahan!?" tanya Wildan polos.

"Berisik!" Tendangan Mima meleset. Wildan menangkap benda bulat yang melayang itu.

"Ini apa sih? Kalau buah, kulitnya keras sekali." Diketuk-ketuknya permukaan benda bulat itu.

"Kembalikan!"

Benda itu direbut oleh Mima. Ia sendiri tak tahu apa itu sebenarnya. Ah, dia hanya bisa berprasangka baik. Mungkin ia sudah terlalu kuat sehingga monsternya hanyalah sebuah bola melayang yang tidak jelas apa gunanya.

"Haha. Pasti begitu," gumam Mima.

"Apanya yang begitu?"

"Dengar, mulai sekarang akan kunamai kau Orb, oke!?" Mima mengajak bicara Orb-nya. Ya. Mengajak bicara. Jika ia melakukan itu di Ithacca, kota asalnya, pasti suaminya, Weasel, sudah mengajaknya ke psikiater. Penasaran dengan kemampuan lain Orb ini, Mima lantas menyuruh Orb menyerang Wildan, "Sekarang, tunjukan kemampuanmu!"

Mima berpose menunjuk Wildan. Namun tak ada yang terjadi.

"Mu-Mungkin monstermu rusak …," duga Wildan.

"Hah, ya sudah … kalau begitu aku saja yang menunjukkan kemampuanku."

Bunyi benturan senjata terdengar lagi.

Wildan yang lengah berhasil dipisahkan dari dua sabit kembarnya. Ia masih tak percaya melihat kedua tangannya kini tak lagi memegang sabit. Dua sabit kembar itu terlempar karena benturan dengan pisau dapur dan tongkat baton.

Baton kembali terayun dan menghantam kedua lengan Wildan puluhan kali. Kelakar Mima tak ubahnya seperti hansip yang menghakimi pencuri yang baru saja tertangkap. Dengan gaya yang lebih berkelas.

Alva tak tinggal diam. Bentuknya saat ini memiliki sayap besar dan cakar kaki besar. Ia menyambar Mima yang sengaja tertangkap.

"Heh, jangan meremehkan bela diri equilibrium-ku." Mima naik ke punggung Alva, lantas mengunci lehernya. "Sepertinya aku harus banyak berucap terima kasih pada Jade untuk ini nanti."

Gaya terbang Alva pun tak beraturan sampai akhirnya ia menabrakkan diri ke lantai. Alva tidak bodoh. Setidaknya itu berhasil mematri luka lecet pada Mima.

Tapi Mima bukan wanita yang mudah menyerah. Ibu dua anak itu masih saja mengunci leher, bahkan berusaha mengunci gerak sayap Alva yang berusaha bangkit.

Tanpa diketahui Mima, bentuk Alva berubah. Warna jubahnya pun demikian. Hantaman sikut ia layangkan mengarah pada dada Mima, bukan sebagai Alva, tapi sebagai Mao! Mima yang menyadari datangnya sikut hanya bisa berguling ke samping.

Bentuk Mao memiliki cakar dan kemampuan bela diri lebih baik. Dengan gesit ia melentingkan tubuhnya untuk berdiri. Mima yang terbelalak merasakan nafsu membunuh di belakang punggungnya. Sontak ia menunduk dan membiarkan pukulan halilintar Wildan meleset.

Tidak ada Wildan, ada Mao. Binatang humanoid itu mengejar Mima yang lari tunggang langgang. Pukulan-pukulan Mao terasa mantap. Bela dirinya boleh juga walaupun pergerakannya kacau.

Mima menghalau pukulan-pukulan dengan menghindar dan sesekali menangkis. Ia tak yakin konsentrasinya akan bertahan sampai mana. Ia sadar tenaga Mao masih banyak, sementara tenaganya sudah cukup terkuras.

Hilang fokus sedikit saja—

Cakar Mao berhasil melukai mata kanan Mima.

Bisa berakibat fatal.

Tiba-tiba kedua 'mata' Orb bereaksi. Memancarkan sinar aneh.

"Bagus, Mao! Sekarang giliranku …." Wildan sudah siap dengan dua sabitnya. Hampir ia melompat melewati Mao, sebuah tembakan dari langit mengempaskan tubuh Wildan dan Mao. Untungnya hanya menyerempet keduanya. Namun Mao kelihatannya menderita luka cukup parah.

Tarou terbelalak, "A-Apa yang terjadi!? Itukah kemampuan Orb!?"

Dua menit kemudian tembakan dari langit itu kembali menghujam daratan!
Menghindar lagi Wildan. Ini membuatnya semakin frustasi. Itulah celah bagi Mima untuk membalikkan keadaan.

"Kau … lengah!"

Hantaman lutut sangat memperburuk keadaan Wildan yang lapar. Tapi ia tak bisa berhenti untuk sekedar mengeluh. Ia harus terus bergerak.

Orb bersinar.

Dua menit terasa begitu cepat baginya. Wildan melihat hujaman tembakan kembali datang dari langit, seakan berniat menghukumnya.

Napasnya terengah. Begitu juga Mima.

Wildan harus memikirkan cara mengalahkan wanita ini sebelum dirinya mati terpanggang seperti nasib ayam di restoran fast food atau di api unggun penjelajah hutan yang lapar.

[Loading data ….]

Selanjutnya yang terjadi adalah seperti yang dipaparkan di bagian awal kisah pertarungan arena ini. Wildan terkena tembakan laser dari langit. Tubuhnya ambruk ke lantai arena.

"Terima kasih, Orb. Aku menang!"

Mima mendekati Wildan, mencoba melihat apa yang terjadi.

Sebuah zirah melekat pada tubuh Wildan. Zirah Sammeriil. Wildan ingat bahwa zirah dapat ini meningkatkan pertahanannya. Namun tentu tidak dengan kesadarannya.

"Aku menaaaaang!"

Penonton bersiul, memuji, bahkan bertepuk tangan secara meriah.

Membuat sebuah euphoria.

Justru teriakan Mima dan orang-orang-lah yang membuat kesadaran Wildan kembali.

Tarou mengumumkan, " Luaaar biasaaaa! Menaaang! MIMA MENAAANG! Pertandingan ini dimenangkan oleh  MIMA SHIKI—"

Tangan Netori terangkat. Tarou yang melihatnya terheran, tak jadi melanjutkan kalimatnya.

"Aku tak tahu tradisi macam apa yang sedang diadakan di sini. Tapi aku sudah mempersembahkan kemenangan untukmu, Netori. Sekarang biarkan aku beristirahat," ujar Mima.

Netori bergeming mendengar seruan Mima. Ia lantas mengucapkan kata-kata dengan malasnya, "Baiklah, Ms. Reid. Tradisi ini milikmu. Kuterima itu, asal kau persembahkan padaku nyawa pemuda itu."

"Nyawa?"

Dilihat oleh Mima, tubuh Wildan bergerak. Tangannya mengepal ke arah langit. Seolah menantang siapapun yang mengirim hujaman laser dari atas langit itu. Zirah Sammeriil ia tanggalkan karena terlalu berat bagi tenaganya saat ini, semata-mata agar ia bisa bangkit dan bergerak lebih leluasa.

Mima lagi-lagi melakukan hal tak teduga. Ia menghantamkan kepalanya pada dada pemuda itu, mengakibatkan Wildan terbatuk.

"Menanggalkan zirahmu sepertinya bukan keputusan yang tepat, eh?" ujar Mima.

Tendangan listrik memutar digunakan Wildan untuk menjauhkan Mima dari dirinya. Tapi Mima merupakan wanita yang cukup pemberani untuk menangkis sebuah tendangan beraliran listrik dengan tangan berbaton.

Listrik yang menyambar lengan kiri wanita itu tak dihiraukan. Mengapa bisa begini? Karena sebagai praktisi seni bela diri equilibrium, Mima memiliki kemampuan R.U.N., yaitu kemampuan untuk menahan rasa sakit.

Pantas saja sejak awal ia tak ragu menyerang dari jarak dekat walau tahu Wildan memegang dua sabit mematikan. Jadi itu sebabnya ia tak pernah mengerang atau meringis.

Di sisi lain, Mao bangkit. Sepertinya ia masih mau bertarung walau lukanya parah.

Wildan pun mengumpulkan sisa tenaganya untuk bisa setidaknya menangkis dengan sabit kembarnya, dan menghindari serangan apapun dari Mima. Halilintar Pendorong-nya kembali diaktifkan.

Mata penonton kembali dibuat kelimpungan saat mencoba merekam gerakan dua kontestan dalam arena saat ini. Belum lagi Mao mendukung Wildan dengan baik walau dengan gerakan lebih lambat.

Lagi-lagi Orb bersinar. Laser turun dari langit. Arahnya tepat mengenai Wildan kalau saja Mao tidak berubah menjadi Alva dan membawanya terbang.

Tapi itu bukan tanpa kompensasi. Alva kehilangan satu sayap karena laser tadi. Meski begitu, binatang humanoid seperti mereka tetap tak bisa bicara. Jika mereka bisa, mungkin Alva akan langsung meringis kesakitan.

Partner memang seharusnya saling melindungi satu sama lain. Dan Partner Wildan sudah melakukan itu dengan berdiri di depan Wildan.

Alva terhuyung lalu tumbang. Binatang humanoid berjubah itu kembali ke dalam pet container.

"Terima kasih, Alva, Mao …"

Ini saatnya Wildan membalas budi. Serangan berikutnya sudah Wildan persiapkan dengan menghindari segala serangan fisik selama sepuluh menit terakhir.

Mima sudah bersiap menolak lantai dengan kakinya, juga dengan baton di tangan. Tapi ia sadar akan nuansa arena yang telah berubah. Ia akhirnya menghentikan niatnya saat menengadahkan kepalanya ke atas. Dirinya tertutup bayang dari atas.

"Cuaca sepertinya tak berpihak padaku hari ini," ucap Mima lirih. "Fenomena apa ini?"

Tarou, Netori, Hewanurma, Tamon Ruu dan para penonton menengadah pula.

Dan fenomena alam yang akan terjadi saat ini adalah …

Supercell.


Arena IV
<Bisikan Ketidakwarasan>

Kumpulan awan kian larut menggumpal di langit.

Supercell, atau dikenal pula sebagai Rotasi Badai Halilintar, adalah fenomena alam yang melibatkan halilintar berkilat dengan jumlah besar membentuk sebuah badai dalam gumpalan awan raksasa di udara. Awan supercell sebenarnya bisa mendominasi cuaca sampai puluhan kilometer. Untungnya yang dihasilkan Wildan ini masih terbilang kecil.

"GGRRAAAAAHHH!"

Wildan meraung sejadinya. Ia melesat ke atas dengan listriknya yang berwarna hijau. Tubuhnya sekarang tersamar oleh awan yang menyala-nyala. Di atas situ pun, Wildan masih bisa membayangkan sosok Mima di bawah. Ia siap untuk memburunya jika Mima mencoba menghindar. Bunyi halilintar seakan menyalak.

Kaki Mima sedikit bergetar. Bagaimana caranya lari dari benda sebesar itu? batinnya.

Bisa.

Pasti ada cara.

Pasti.

Bola mata Mima bergerak ke kiri dan kanan sudut matanya. Sialnya ia tak benar-benar percaya ada cara lari dari supercell. Seluruh arena diliputi bayangan. Ia bisa saja memanjat tribun penonton, tapi ia paham bahwa waktu yang ia miliki tak memungkinkannya sempat melakukan itu.

Arena terkutuk, gerutu Mima.

Sial.

Sial.

Holy shit!

Seseorang, tolong …

Panitia, Hewanurma … siapa saja …

Weasel? Jade?

Apa aku akan mat—

"UUGGGHHAAAAAH!"

Sekali lagi raungan terdengar dari Wildan, namun kali ini ia terdengar kesakitan. Rupanya ia sedang menahan serangan laser dari angkasa dengan listrik dalam awan! Kumpulan awan pun mendadak memudar di sekitar.

"Orb?"

Apakah berhasil?

….

Laser berangsur reda. Awan masih menyamarkan Wildan … yang ternyata masih bertahan melayang dengan tenaga listriknya yang tersisa.

"GGGHHH …"

"Sial. Kau kuat sekali." Mima tersenyum getir. Pudarnya awan membuat matahari terllihat sangat bersinar.

Tidak seperti Amukan Badai Halilintar yang pernah Wildan lepaskan pada saat melawan Vi, badai ini memiliki rotasi teratur yang lebih stabil. Sehingga, memudahkan Wildan menyerang targetnya.

Dengan kata lain, akurasi kemampuan ini lebih baik. Itu Wildan buktikan dengan tabrakan yang ia lakukan mampu menghantam telak Mima dan 'bola peliharaan'-nya.

Setidaknya dengan begini mereka berdua kalah dengan terhormat. Tanpa health bar penyebab kematian membuat Wildan tak segan melakukan serangan berskala besar ini.

Ia percaya, sistem pemulihan Battle of Realms akan menjaga Mima tetap hidup. Walau memang, pasti terasa sakit sekali terkena serangan seperti ini.

Tapi … ini satu-satunya cara yang ia ambil dengan penuh resiko untuk menghadapi wanita tangguh seperti Mima Shiki Reid.

Cahaya menyilaukan hadir di tengah arena. Sinarnya menyebar ke seluruh Monster Colosseum. Seakan-akan, tempat adu kekuatan berukuran jumbo ini tertelan oleh cahaya tersebut.

Bunyi-bunyi kasar terdengar samar diselimuti cahaya. Guncangan dahsyat meruntuhkan beberapa tiang lorong Monster Colosseum. Penonton

Arena pun hancur.

Saat asap dan cahaya pudar, pemandangan kehancuran ini membuat para penonton menanggapinya dengan amarah.

"Hei! apa-apaan bocah sialan ini!"

"Itu berbahaya sekali! Kekuatan macam apa itu!"

"Dasar perusak!"

"W-Wildan menghancurkan arena!? Tak ada peraturan yang bilang tak boleh menghancurkan arena, tapi ini keterlaluan namanya!" Kali ini Tarou memekik.

Tradisi dengan tujuan apapun bukanlah merupakan tanggungjawab Wildan untuk memperhatikannya.

Penonton terlalu terkejut untuk lebih banyak bersorak. Wildan terhuyung meninggalkan arena. Barulah beberapa detik setelahnya, riuh kembali membahana dari arah kursi penonton saat mereka menyadari bahwa Mima telah kalah.

Jika memang maksud terselubung pertarungan arena ini adalah untuk persembahan, maka itulah persembahan terbaik yang bisa Wildan dan Alvamao lakukan.

"Uh … kenyataan yang mengejutkan!" Tamon Ruu merunduk, meletakkan kedua telapak tangannya ke lantai. Di sisi lain, sisa hologram menghiasi bekas tempat duduk Hewanurma. Pria berambut putih itu sudah tak ada di sana.

Netori? Ia masih duduk di singgasana, malah berseringai dengan batin yang puas.

Terima kasih atas makanannya, Wildan Hariz.

[Loading data ….]

"Biarpun kubiarkan kau bertarung, kau masih berada dalam segel. Kita tidak tahu kapan kau bisa mengacau dengan virus yang tersisa di tubuhmu."

"Heh, dengan atau tanpa virus, akan kukacaukan tempat ini bila perlu."

Pertarungan telah usai. Wildan saat ini berada dalam sebuah ruangan dengan loker-loker terbuka di hadapannya. Di bangkunya terdapat tumpukan pakaian. Tak jauh dari pakaian, terdapat sebuah benda mirip tongkat yang panjang, dengan bilah pisau bergelombang menyerupai potongan halilintar yang meliuk. Wildan tahu betul benda apa itu - sabit besar berwarna hijau andalannya di masa lalu.

"Kau … dari mana kau menemukan sabit ini?"

"Silakan bernostalgia. Anggap saja itu hadiah atas kemenanganmu."

"Berhenti main-main dengan ingatanku, Hewanurma."

Seringai tampak pada mulut pria berambut putih itu. Baru saja Wildan berniat menanyainya lebih jauh, hologram sudah membawanya pergi ke tempat lain. Tak mempedulikan luka-lukanya, Wildan harus puas dengan mengacak-acak tempat itu sebagai pelampiasan.

[Loading data ….]

Sementara itu di Earth, planet yang terpisah dimensi dengan Sol Shefra. Terdapat dua bangunan berdesain minimalis di pinggir jalan. Senja menerangi tempat itu.

Anticline dan Syncline. Dua kafe yang bersebelahan ini terlalu akur untuk ukuran rival bisnis. Belakangan ini kafe yang pertama sering dijadikan ajang berkumpul muda-mudi sekitar. Jadi tak mengherankan jika suasananya ramai.

"Yuni! Yuni! Kau pasti tidak akan percaya!"

Tergesa-gesa Rima menanggalkan sandalnya sebelum masuk ke ruang staff kafe Anticline. Gadis bermodel rambut setengah bob sebahu itu langsung memegang bahu Yuni, berniat menunjukkan apa yang ada di layar netbooknya.

"Aku sudah tahu, kok. Entah bagaimana dia bisa ada di sana."

"Yah, kalau dipikir sih, sejak awal asal-usulnya nggak begitu kita ketahui juga, kan? Dan apa kau sadar, dia tidak terdeteksi sebagai player di game Battle of Realms ini, tapi sebagai CPU?"

Mata biru Yuni menatap gambar pemuda itu lekat-lekat. Masih tak percaya bahwa itu adalah Wildan Hariz, orang yang ia pernah temukan tak sadarkan diri di sebuah taman setahun lalu.

Yuni bangkit dari tempat duduknya, "Rim, sepertinya kita harus memanggil Kariyana dan yang lainnya juga. Mereka harus tahu ini."

Rima mengangguk. Kedua gadis itu pun menyambar telepon genggam masing-masing untuk menghubungi teman-temannya.

[Loading data ….]

Lorong Monster Colosseum tidak pernah sesepi ini sejak dimulainya pertarungan selanjutnya. Wildan yang sudah berganti pakaian keluar dari ruangan peserta. Sabit hijau besar ia bawa di tangan kanan. Sarung tangan cakar di tangan kiri. Luka-lukanya telah disembuhkan oleh Hewanurma sesegera setelah ia memenangkan pertandingan.

Wildan berencana melarikan diri dari tempat ini. Dan suasana sepi ini kesempatan bagus.

Pintu ruangan ia tutup rapat-rapat. Semua peserta lain tampaknya tengah menyaksikan pertarungan selanjutnya di arena.

"Siapa kau? Kalau tidak ada urusan penting sebaiknya kau menyingkir."

Sesosok bayangan hitam dengan mata dan mulut menyala menghadang jalan Wildan. Siapa? Tak pernah ia lihat bayangan itu sebelumnya. Siapapun dia, Wildan tak ingin meladeninya.

"Aku adalah … ketidakwarasan."

Jawaban yang aneh.

Saat itu Wildan masih belum menyadari.

Bahwa setelah pertemuannya dengan makhluk itu, ia akan berharap lebih mensyukuri kewarasan yang ia miliki saat ini.

Langkah kaki makhluk itu tanpa suara. Kian mendekat. Dan terus mendekat. Alangkah terkejutnya Wildan saat mendapati makhluk itu berubah bentuk, berangsur menyerupai dirinya.

Dengan pakaian dan senjata yang persis, makhluk hitam itu melambaikan sarung tangan cakarnya secara janggal.

"Mau main?"

Akhirnya, ketidakwarasan pun mengambil alih.


20 comments:

  1. Yesh! Sepertinya kalo Wildan tetep maju, fix ini bakalan OTP sama Vii~

    Vii di sini terlihat kayak young midwife yang begitu perhatian sama pasiennya.

    Pairing mereka berdua please~


    Whaaat!? ada Maharani?!


    Btw, bagian ini sampe ke battle buat saya kerasa dragging, jadi mode fast read saya kembali aktif tanpa disadari (??)

    Amatsu Festival Arena disingkat jadi AFA

    WAT DE HELL!?
    Nyahahahahaha~!
    XD


    Loh, Tamon Ruu dimunculin di sini?
    ._.


    =======
    "Kau tidak menyemangatinya, Vi?" tanya Radith. Ia duduk berjejer dengan Vi, Bun, dan peserta lainnya di tribun.

    Vi dengan enteng menjawab, "Hm? Itu bukan kewajibanku."
    =======

    Saya malah ngebayangin si Vii ngomong gitu sambil blushing,
    XD

    Ya ampun, adegan legendaris FFI (buka bekal makanan di tengah pertarungan) malah gagal terlaksana.
    Q_Q

    ===
    Terima kasih atas makanannya, Wildan Hariz.
    ===

    Weh, Mima dimakan Netori?
    ._.


    dan endingnya...

    Wildan berubah jadi Bleki? (Black Angels)

    OC : Sanelia Nur Fiani

    ReplyDelete
    Replies
    1. Maharani muncul karena ketemu dia di alkima dulu sih, hahaha. Jadi pengen seenggaknya ngasih ending buat dia ;]

      Hm, dragging ya. saya juga maunya cpt battle, tp kesulitan mengaitkan bagian itu ke battlenya DX

      Ide nyeleneh emang, AFA! :^] yah sesungguhnya saya juga bingung mengenai motif festival ini, jadi gitu deh. huehuehue.

      Endingnya itu bkn wildan yang berubah, tapi si makhluk hitam, alias Blackz! ;] itung2 jembatan buat ronde selanjutnya kalau lolos lah.

      Delete
  2. Yup, kelihatannya entri versi Wildan ini masih setema dengan versi Mima, yaitu membahas "ketidakberesan" dalam penyelenggaraan pertandingan di Amatsu ini. Kuncinya adalah di "penyerahan jiwa untuk makanan Netori", kalau versi Wil.

    Soal battlenya, saya jadi gatal ingin unlock skill pamungkas Vajra "Bumi Berguncang Langit Gempar" lebih awal, ingin membuat lawan merasakan kiamat. Tapi mungkin saya tahan dulu, buat ke depannya bila nanti perlkembangannya.

    Soal penilaian, saya jadi agak kewalahan mau vote yang mana. Tapi karena ceritanya sama bagusnya dengan punya Mima, jadi keputusan akhirnya di sini saja yah.

    VOTE DRAW (VOTE UNTUK MIMA DAN WILDAN)
    OC: Vajra/Radith

    NB: Yup, kyknya Wildan kecantol abis sama Vi <3

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, intinya masih ketidakberesan itu sih, meski cluenya cuma satu kalimat itu dan suasana festival di awal ;] Oh iya, Radith juga skillnya tipe nuke, kan. Nanti saya berkunbal ke entrinya. Masih baca di tengah jalan.

      Delete
    2. btw sayang banget draw huhu, gapapa deh yang penting udah dibaca. thanks ya bang andry~

      Delete
  3. Fatanir - Po

    Dari tampilan fisik dan jurus sebenernya Wildan ini kyk tarzan yang serba natural dan punya konsep yang jarang dimilikin karakter lain. Agak sayang aja kayaknya sisi emosional dan respon batin Wildan kyknya kurang digali setiap battle atau ketemu kejadian2 yang mestinya penting. Seolah2 respon Wildan cuma "apa!? Jangan gitu!" terus kyaknya kejadian itu nggak terlalu punya dampak ke cara pertarungan dia.

    Jurus supercellnya keren dan kayaknya bakal susah dilawan. Insanitynya juga kayaknya punya potensi jadi perkembangan karakter yang bagus. Tapi skali lagi, baik Mima maupun Wildan penggalian karakternya agak kurang nyaman penuturannya mnurutku. Poin plus lain dari Wildan adalah bahwa sepanjang battle Wildan bisa dibuat terdesak meski mestinya secara skill lebih kuat.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hm, sisi emosional ya. iya sih, kerasa ;] mungkin karena di ronde kedua ada kemungkinan peserta mati di dunia nyata, dan di sini ga ada, jadi kesannya pertarungan ini nggak terlalu berbahaya. jadi gini deh emosinya. pengennya sih emosi mima dan backgroundnya juga lebih digali lagi, gak sekedar nyempil-nyempil kek gini.

      Thanks udah mampir, pak po~

      Delete
  4. Saya seneng karena Wildan tetap masuk di detik terakhir deadline, sempat cemas terpikir jangan2 WO... padahal kita sudah bertukar pikiran dan membuat konsep monster masing-masing... syukurlah Wildan tetap masuk, jadi gerbang penutup deadline, hore!

    Entry Wildan selalu dilengkapi ilustrasi, saya hanya sempat perhatikan mulai dari R2, tapi R3 ini juga dilengkapi ilustrasi sesuai tema. Dan ternyata, alurnya sama-sama diawali dari tengah cerita ya, bukan dari awal (Ini kebetulan atau apa?Kok nyambung, huehehehe). Ada pembuka yang juga polanya sama dengan R3, yaitu tentang masa lalu Wildan, dan juga penutup akan hadirnya sosok transedental "Ketidakwarasan", kalau dulu kan ada "kematian", rasanya itu menjadi sebuah ciri khas dari entry Wildan. Dan pola Wildan terdesak oleh Mima, juga ada di entry ini... ah, saya justru berpikir inilah satu kelemahan karakterisasi Mima, ketidak berdayaannya dia sebagai ibu rumah tangga tanpa kesaktian justru malah membuat sebagian penulis menonjolkan sisi beladirinya. What a trap.

    Jujur, pertarungan dengan Wildan ini cukup membuat saya berpikir keras, dan akhirnya bisa membuat saya menemukan feel menulis angst yang dulu.

    baiklah, semoga yang terbaik yang lolos. Terimakasih karena memakai Mima dengan cukup solid, terimakasih, terimakasih...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya ini kenapa nyambung ya mba kay, www. kalo saya sih waktu itu sempet ngobrolin alur maju mundur maju di R1, jadi saya pengen ini start dari tengah battle. kalo mima sih lebih ke setelah battle ya.

      Kalo ilustrasi sih baru start pas R2, haha.

      Yep, ada ketidakwarasan sekarang. saya gatau sih karakter Blackz itu gimana sebenernya sifatnya. tapi karena pernah liat gambar dia yang item2 punya senyum ngembang, jadi ketidakwarasan deh.

      RUN emang bikin lawan mima lumayan sulit sih, mestinya wildan juga lebih bisa bereaksi secara alami kalo liat orang yang ga ngerasa sakit kalo luka, tapi ini lupa saya gambarin, ahahaha. Selebihnya, harapan saya kayak komentar saya buat pak po di atas.

      Thanks udah mampir, mba kay~

      Delete
  5. Bruh, selain lancar bacanya, narasi lo kadang suka bikin senyum-senyum sendiri karena diselipin kata-kata lucu, dan itu menghibur banget. Poin plus. Terus, Supercell the Bravery. Wildan paling keren di bagian itu, narasinya bikin merinding. Dan, salut karena penggambaran keadaan arena yang kacau sukses tergambar.

    Sebenernya ini sama-sama seru... tapi maaf ya, saya belum bisa kasih vote. Good luck, Wildan.

    Salam, Eophi

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hai, Dak. Hehe, nggak apa-apa. Thanks udah mampir~ Hm, gw juga sempet liat2 entri Eophi. Ada badutnya, dan adegan diciumnya manis, ah gw simpen aja buat komen nanti kalau udah selesai baca ;] Good luck juga untuk Eophi di ronde berikutnya.

      Delete
  6. well done, Wildan..

    Ini entri terakhir, di luar dugaan rapi banget. Gak kaya entry saya.. orz.. Interaksi karakter juga dijabarkan dengan ciamik. Cuma ya, battlenya mungkin lebih solid punya Mima ya? Menurut saya gitu sih..

    AFA.. seperti biasa joke gini langsung nyerang pinggang saya.

    duh, kalian berdua sama bagusnya.. tapi.. saya sudah vote Mima.. Sori ya Will.. ; ` ;

    OC: F̶a̶t̶h̶a̶ ̶a̶`̶ ̶L̶i̶r̶ Strata Munchilla

    ReplyDelete
    Replies
    1. Halo manya. HAHAHA AFA! Padahal ini cuma disebut sekali, tapi seenggaknya ada 2 yang sadar, ga nyangka ;]

      Yep, mama yang satu ini emang tangguh. Mungkin ini emang entri terakhir. Pun intended.

      Thanks syudah mampir, err... kenapaini jadi strata? strata kan nama band dan gelar sarjana, apa yang terjadi... kalau sempat saya baca punya tata juga tar

      Delete
  7. Saya bimbang juga

    Di satu sisi entri ini bagus. Mulai dari pairing Wildan-Vi yang tumbuh, battlenya, jurus pamungkas Supercell, sampe akhirnya muncul ketidakwarasan

    Wildan ini punya potensi, tapi karena harus pilih salah satu kayaknya saya harus milih entri lawan kali ini, ngeliat penggarapannya yang lebih ngena buat saya pribadi

    ReplyDelete
  8. Hehehe saya telat ni baru baca sekarang. Hmm, overall menurutku entry ini cukup umum. Ngga jelek, tapi juga kurang greget. Bagian pembukaannya kadang kerasa lama, untung ada diselipin joke-joke yang nyerempet ke 4th wall breaking jadi mencerahkan suasana. Untuk adegan pertarungannya walau bagus namun kerasa belum ada yang di luar kebiasaan, karena polanya cukup bisa terbaca. Tapi jurus terakhirnya keren juga ngeluarin Supercell. Hmm, saya kurang ngikutin canon Wildan, namun kelihatannya di sini muncul foreshadow misteri-misteri baru ya.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Oya btw entry ini pakai font tulisannya apa sih?

      Delete
  9. Halo Candle, hm, saya suka agak aneh karena kalau liat thumbnail candle di blog ini avatarnya ga ada kepalanya (dies)

    Wah iya, caranya masih konvensional banget ya, haha. Syukurlah jokenya mencerahkan swasana. Fontnya namanya Calligraph421 BT.

    Iya, fontnya BT. :[

    ReplyDelete
  10. AAAAAAA
    ADA FAPIII
    HAHAHAHAHAHA
    AYOK MAKAN PIZZA KITA!


    Narasinya asik banget.
    aye suka gaya ceritanya.
    tapiiiiiii

    ini, terlalu, biasa, sekali.
    ceritanya ga bikin aye greget untuk ngerasa wah.
    ringan banget.

    Juga karena perbandingan konflik dan emosi yang dibawain, maka...

    aye VOTE MIMA

    =PITTA N. JUNIOR=

    ReplyDelete
  11. Pertama, saya kagum dengan perkembangan narasi Wildan ini. Tampak lebih dinamis dan hidup, serta fun, jika dibandingkan dengan pada entri BoR si Enzeru. Mungkin pengaruh karakter si OC sendiri? Atau mungkin authornya yang memang jadi lebih jago merangkai kata dan nada :D Saya paling suka narasi saat menjelaskan dari sudut pandang Wildan yang nggak ngerti nama-nama benda, udah beneran kayak Tarzan bertemu Jane inih.

    Mungkin yang kurang dari entri Wildan adalah kedalaman ceritanya sendiri. Masih banyak yang bisa digali dari Wildan ini selain dia sebagai tarzan petir. Supercell-nya dahsyat, bisa jadi senjata ampuh kalau duel melawan para admin.

    Hubungan hangat Wildan dengan Hewanurma ini kerasa seperti perlakuan spesial. Mungkin perlu diperdalam lagi.

    Saya agak kesulitan menentukan mana yang mesti divote, hingga akhirnya saya baca-baca ulang lagi dari awal dengan cepat. Kalian berdua telah membuat entri yang bagus, tapi karena saya harus memilih, dan saya nggak hobi voting draw (karena itu mah bukan voting sama sekali), maka saya pilih yang lebih unik, yang potensi konflik ke depannya lebih terlihat.

    Vote saya mampir ke lapak sebelah.

    Goodluck Wildan >.<

    ReplyDelete