11.10.15

[RONDE 4] FATHA A'LIR - FEHLSCHLUSS


                           STRATA MUNCHILLA - FEHLSCHLUSS





"Sepi ya? Ingin berbincang?"

"Boleh, telinga yang mulai tuli ini sudah lama tak dilalui oleh informasi-informasi,"

"Kalau begitu, ingin berbicara soal Vintage?"

"Ah, baru saja beberapa minggu yang lalu aku membicarakannya dengan nomor 3. Sekarang apa yang akan kita dengar dari keluarga semitik itu, mekarnya puluhan revolusi di berbagai negara? Hilangnya Armamagia? Genosida di Zevaloth? Perdagangan opium masif? Runtuhnya Soviar? atau soal perjalanan suci? Aku tak bisa bosan mendengar topik semacam ini."

"Heh, andai saja kita, para 'logger' bisa mati bosan akibat terlalu sering menghadapi setiap catatan sejarah yang harus kita rekap. Sayangnya tidak, rasa penasaran yang menyenangkan ini malah membuat kita susah mati."

"Haha, tak perlu kau mengingatkan mati. Informasi yang tak ingin kudengar adalah bagaimana caraku mati nanti."

"Hmm, mengenai mati, ini akan sangat berkaitan dengan rahasia Vintage. Si Vintage ketiga."

"Huh, a-aku tidak pernah mendengar yang satu ini."

"Memang tidak ada catatan manapun yang menceritakannya. Ini hanya hipotesaku semata."

"Ceritakan! Mungkin saja aku bisa berbagi pemikiranku soal ini,"

"Bagaimana ya? Kau tahu kan, bahwa Universor memiliki 3 hak prerogatif, yaitu 'Mencipta', 'Mengelola', dan 'Menghancurkan'."

"Lalu, kaitannya dengan Vintage yang notabene hanyalah sepersekian dewa?"

"Hmm.. benar juga. Namun ingat saja. Vintage abad ini istimewa. Bagaimana kedua dari mereka bisa berpikir seradikal itu? Apakah itu bukan karena hasrat mereka yang melebihi para Vintage dari waktu sebelumnya? Kau tahukan? dari tiga keluarga Magi, hanya Vintage yang aktifitasnya paling dibatasi. Sialnya lagi, mereka memiliki kehendak absolut yang harus dipatuhi kita para manusia. Terkadang, aku ingin mentertawakan kontradiksi konyol ini."

"Ya, lalu bagaimana soal Vintage ketiga tadi? Apa hanya berkaitan dengan tiga hak istimewa Universor? Lalu kau hendak merelasikannya dengan kehadiran dua Vintage yang memiliki kemampuan 'mencipta', dan 'mengelola'?"

"Err.. Iya,"

"Bah! Omong kosong, kukira ini akan jadi hal yang menarik. Sudahlah, mari kita rekap kejadian paling baru saat ini, aku ingin mendengar soal lahirnya Bierarki Yudasha yang melibatkan si Slumlord tiga hari yang lalu. Atau, bisa ambilkan segelas cokelat panas atau minuman yang menghangatkan?"


"Tunggu, aku ingat satu topik lagi!"

"Kali ini harus menarik!"

"Aku jamin, apa kau tahu soal space-holder yang diciptakan oleh para peneliti CC berdasarkan dengan ilmu curian dari Sentria?"

"Soal makhluk mesin yang mampu menciptakan ruang itu?"

"Benar, konon katanya. Kekuatan menciptakan ruang itu, dibuat berdasarkan salah satu kekuatan sang Vintage sulung."

"Sebenarnya aku ingin tahu lebih banyak soal mesin itu. Sayangnya, mesin itu tiba-tiba lenyap."

"Sayang sekali."




***



Strata Munchilla, tengah menikmati sesaat masa jayanya sehabis mengalahkan Avius, sang penyihir hutan. Namun, momen-momen itu lenyap ketika hawa dingin menyeruak dari balik pintu masuk batu koloseum. Di sudutnya sudah bersandar santai sesosok tubuh hitam dan tebal. Sosoknya legam, saking legamnya sampai tak ada muka yang bisa diterka dari kegelapan bersendi itu.


Sosok hitam itu, tak dinyana bergerak dengan kecepatan yang tak bisa diprediksi dan tahu saja dia sudah berdiri di podium, sambil membekuk Netori, sang pengawas kali ini, dengan pegangan tak senonoh. Lalu sosok itu mengambil alih pengeras suara.


"Wahai peserta, waktu kalian tinggal sedikit. Sementara kalian dipermainkan oleh turnamen semu tanpa penyelenggara. " begitu ucapnya. Sambil membekap Netori yang tak berkutik, sosok itu melanjutkan pengumumannya lagi. "Kalian hanya diiming-imingi kesia-siaan mutlak jika terus mengikuti turnamen ini. Maka dari itu, pilihlah dari beberapa opsi ini, A. Melawan, B. Bekerja sama dengan kami. "


Beberapa dari peserta terlihat gundah, namun tidak dengan Strata Munchilla yang malah berbincang dengan dua bawahannya."


"Trolda, Cannot, aku kangen!" ucapnya sambil berkaca-kaca. Muka sembab akan haru miliknya sukar stabil akibat lehernya yang tidak tegak. Setelah kebangkitannya dia bahkan lebih letih ketimbang bayi yang lebih lahir.


Cannot juga menyembunyikan wajahnya. Trolda hanya mengangguk, entah sedih atau bagaimana si Trolda ini. Kepala yang dimilikinya adalah mekanisme perangkat rumit yang bisa menembakkan panah. Ditambah dengan 'dipinjamnya' kemampuan bertuturnya oleh Strata, membuatnya terlihat seperti makhluk aneh tak berakal.


"Nona Homu, kami berdua tentu saja amat merindukan kehadiran anda. Sayangnya keadaan anda kali ini membuat kami sedih. Pasti sulit beraktifitas dengan tubuh ini, mari silakan duduk di kursi roda yang baru saja saya ambil dari unit kesehatan koloseum ini," ucap Cannot pada Strata, sambil menyandarkan tubuh letoy Strata pada kursi roda kayu itu.


"Ah, nyaman sekali. Terima kasih, Cannot.. Bagaimana keadaan Firschilla?" ucap Strata.


"Sepeninggal anda, keadaan menjadi stabil. Para antek kencana juga sudah tak berani menampakkan diri lagi. Apa anda akan kembali lagi memberikan sentuhan anarki?" tanya Cannot pada Strata.


"Hmm, belum saatnya. Aku ada permohonan padamu, Cannot. Apa ada seseorang yang berlaku juru adil?"


"Kebetulan sekali, nona. Beberapa saat yang lalu muncul sebuah negara baru yang memiliki pemimpin kuat yang dijuluki Slumlord."


"Hm, baiklah.. Untuk rencana ke depan, bisakah kau memberi dukungan pada negara milik 'Slumlord' ini? Biar aku dan Trolda saja yang menyelesaikan urusan di sini."


"Kalau itu dari anda, maka tak ada kewajiban dari saya untuk menolak. Saya permisi undur diri kalau begitu," ucap Cannot dengan nada sedikit kecewa, Strata tersenyum sambil menyibak sedikit air mata yang menghimpun di kelopak matanya. Bersamaan dengan itu, sosok Cannot Betrays hilang dari mata.


Strata lalu mengintruksikan Trolda untuk berbalik menengok pria hitam tadi, "Sepertinya teman-teman kita sudah memutuskan. Lihatlah seberapa murkanya sosok hitam itu. Mungkin saja sebentar lagi tanah akan terbelah." ucap Strata.



***



Strata Munchilla, terjerembab di dasar lantai. Keadaannya begitu gelap, lebih gelap daripada mata yang tertutup. Tiba-tiba saja muncul suara hentakan. Strata tidak menunjukkan kepanikan. Hanya saja, dia tidak mampu merangkak maupun menggeliat. Mencakar lantai pun ia tak sanggup. Yang dia lakukan hanya menggerak-gerakkan sendi-sendi tangan kanannya.


Dari arah hentakan tadi, muncul sesosok tubuh besar tanpa suara yang berkepalakan panah silang.


"Trolda, kukira siapa." ungkap Strata. Dengan bahasa tubuhnya, Trolda menunjuk-unjuk ke sebuah titik. Sebuah puing. Puing tersebut nampaknya menindihi seseorang. Strata dan Trolda lekas menengoknya.


Korban puing tersebut adalah seorang wanita cantik berambut panjang dan mengenakan pakaian putih yang kini rusuh akan tanah dan darah. Matanya sembab hingga maskaranya meleleh dan air liur yang tercampur merah darah kian menetes.


"K-kau, s-siapa itu?" ucap wanita itu parau. Strata dan Trolda menghampirinya. "Oh, k-kamu peserta ya?"


Sosok itu berusaha menengok Strata yang samar-samar berkata iya. Lalu memperkenalkan dirinya. Vi Thalita, begitulah nama lengkapnya.


"A-ah, kamu Fatha a` Lir ya? Ah, andai kamu bisa –uhk, menyembuhkanku.. Sial, sial! Aku masih ingin hidup! T-tapi, --uhk. Kepalaku pening, pandanganku... buram," erang Vi. Strata hanya memandangnya dengan sorot mata khawatir. "Fatha, k-kalau kau lihat tadi. K-kau pasti tahu jika, --uhk.. si hit-- --ahk."


"Si Hitam yang memberi pidato tadi?"


"I-iya, d-dia.. setelah aku berhasil melukainya. Dia ikut terjatuh ke dalam sini.. H-hentikan dia.. D-dia bisa berubah menjadi sosok yang dilihatnya."


"Ah, Vi. Kau masih ingin berjuang?" tanya Strata.


"T-tidak, aku lebih memilih beristirahat. T-tapi, k-kalau harus mati.. A-aku.. Takut." ucapnya parau diikuti isak tangisnya yang sesak.


"Kalian para manusia diberi hak untuk tidur nyenyak yaitu kematian. Kematian adalah upaya Tuhan untuk menyelamatkan ciptaannya yang menderita. Seharusnya kau bersyukur," ucap Strata.


"Apa tahumu soal kematianku? A-aku tidak ingin mati seperti ini!" erang Vi sekali lagi.


Strata, yang sebelumnya nampak khawatir, membuyarkan persona ibanya. "Kalau begitu, mau bergabung denganku?" ucapnya sambil mengusap kening Vi.


Beberapa saat kemudian, Vi mati. Mati dengan wajah penuh penyesalan dan kekecewaan pada dirinya.


"Kasihan, sepertinya dia sangat membenci kematian. Jika ia mengenal anda lebih jauh lagi, pasti dia akan membenci anda. Bagaimanapun juga keabadian merupakan cita-cita yang mustahil bagi setiap makhluk yang hidup. Sebuah cita-cita yang melibatkan absoliditas tak akan pernah bisa tercapai."


"Ah Trolda, banyak bicara seperti biasanya. Yah, itu juga bukan sesuatu yang kubenci sih." ucap Strata dengan nada suara yang berbeda.


Di sekitar mereka berdua yang terasa sunyi, tiba-tiba menjadi riuh akan hentakan kaki. Suara hentakan kaki beberapa orang yang begitu keras menyakiti lantai, seperti hentakan para pasukan marah yang bertemu dengan musuh-musuh alaminya."


"Trolda! Mode Chokonu!" ucap Strata pada Trolda.



***



Lampu di langit-langit kembali menyala ketika aliran listrik mengalirinya. Generator yang belum lama tidak aktif sudah diaktifkan oleh Fatanir. Seorang pemuda berambut keriting lebat  yang juga seorang mekanik jenius yang konon katanya bisa berkomunikasi dengan benda mati.


"Capek dah, kita disuruh ngapain seh ene?" tanyanya pada pemuda gemuk yang sedang memintal sebuah adonan tepung.


"Paling kita diberi rehat buat makan pizza lezat, hahaha." ucap pemuda itu dengan senyumnya yang manis memancar. "Ngomong-ngomong ovennya sudah jadi belum, Fata?"


"Uda lah, Pi. Ene tinggal masang disini dan, tadaa.." benar saja. Dengan skill manufaktur dari serangkaian kemampuan teknopathia milik Fata, tidak butuh waktu lama untuk membuat sebuah oven sederhana.


Dari arah lain. Tepatnya dari sebuah pintu kembar yang kemudian terbuka lebar, muncul seseorang berpenampilan abstrak yang muncul sambil mendorong sebuah kursi roda dengan sesosok gadis yang nampak terlelap.


"Teman-teman, lihat apa yang kutemukan ini." ucap sosok nyentrik itu. "Wah ada pizza!"


"Belum di apa-apain kok. Ngomong-ngomong, darimana kamu dapat gadis secantik itu, Kai?" ucap Fapi menggoda.


"Berisik kamu, aku nemu dia lagi pingsan tauk. Didekatnya ada mayat monster seram. Badan gahar tapi kepalanya crossbow. " ucap Kai merajuk.


Gadis di kursi roda itu lalu terjaga.


"A-aku di mana?" ucapnya kalap.


"Tulisannya sih ruang perawat. Tapi ga ada perawatnya, gimana ya? Udahlah gausah dipikir lagi. Ene mau ada jamuan pizza. Mau kagak?" kata Fata pada gadis itu.


Gadis itu mengangguk.


Tak usah menunggu waktu lama. Akhirnya mulailah santap bersama. Ketiga dari mereka menikmati potongan masing-masing, kecuali si gadis.


"Kamu enggak makan?" tanya Fapi pada gadis itu, respon yang ia peroleh hanya gelengan lemah. "B-badanku lumpuh. " ucapnya lirih. Fapi yang acap kali memasang muka ceria kini ikut murung.


"Apa kamu masih bisa mengunyah?" tanya Kai padanya.


Gadis itu menganggukkan kepalanya.


"Err.. Kalo gitu, sini biar kusuapin," ucap si kribo malu-malu. Fapi yang sebelumnya ikut murung sekarang malah berdesis menggoda-goda. Si Kai ikut-ikut saja.


Sekeliling ruang perawat yang kosong dan sepi pun kini terasa hangat akibat panas yang dipancarkan oven buatan tangan Fatanir, juga karena kebersamaan mereka berempat.


Tepat ketika Fata tengah menghabiskan potongan terakhirnya, ia bertanya.


"Kamu Fatha a` Lir kan? Peserta BoR juga?" Si Gadis mengangguk. "Nama kita persis!  Hahaha." ujarnya riang, si gadis ikut tersenyum.


"Kalian bisa memanggilku Tata, senang bisa berkenalan."


"Ah iya, kami belum mengenalkan diri. Namaku Pitta Navolee Junior, panggil saja aku Fapi. Si jangkung ini Alshain Kairos, panggilannya Kai. Dan yang bicara denganmu tadi Fatanir, mau panggil dia Fata atau kribo juga boleh." seling Fapi sambil terbahak.  Fata mendengus sebal.


"Ah, bagaimana kalian bertiga bisa berkumpul di sini? Bukankah kita seharusnya saling bermusuhan?" tanya si gadis pada ketiganya.


Kai yang sebelumnya masih menggigit potongan pizzanya angkat bicara.


"Ah, kami lupa memberitahumu juga. Kau tahu, si Hitam yang berpidato tadi juga ikut terjatuh ke sini. Semua yang ada di koloseum, termasuk kami. Merasa bahwa dia harus segera dihentikan. Yah, mana mungkin ronde terbaru dijalankan jika ada gangguan. Maka dari itulah, kami bertiga bergabung untuk memburunya."


"Kebetulan kita sedang ada di kapal yang sama. Tentu saja aku boleh bergabung kan?" pinta gadis itu pada ketiganya.


Fapi seketika merespon, "Maaf Tata. Dengan keadaanmu yang seperti ini. Kami tak bisa mengajakmu untuk mencari si Hitam. Kau tahu sendiri seberapa kuat daya hancur tinjunya."


"Tapi, aku tadi sempat melihatnya bersama dengan sekumpulan peserta. Ngomong-ngomong, apa kalian mendengar suara?"


Benar kata Tata. Dari luar, terdengar suara yang didengarnya sebelumnya. Suara hentakan kaki riuh yang terdengar marah.


"I-itu, pasti para klon!" seru Fata. "Semuanya! Ambil senjata yang sebelumnya dibagikan Kai. Fapi, pastikan adonan pizza yang kamu pakai untuk bertahan tadi nempel erat di pintu. Lalu Tata, jangan panik! Kai, sembunyikan Tata di belakang. Lalu cepat kembali ke sini. Biar aku sama Fapi yang bikin barikade duluan!"


Kai bergegas mendorong kursi roda Tata ke belakang, menuju celah di antara sebuah lemari besar dan tembok.


"Jangan berisik. Kamu bisa dengar apa yang terjadi dari sini. Asal jangan sampai terlibat." ucap Kai memperingatkan. Seketika itu pula dia lenyap dari sudut pandang Tata.


***


Tumpukan meja telah tertata dengan urutan yang rangkum dan ketat. Dorongan sekuat apapu butuh waktu lama untuk meruntuhkannya. Tidak lupa menyisakan beberapa lubang kecil yang cukup untuk ditembus laras peluru, ketiga pemuda ini siap menghadapi serbuan sekompi pasukan bersenjata.


Awalnya satu pukulan, kemudian diikuti beberapa pukulan keras bertubi-tubi pada pintu yang ditandemi adonan pizza yang padat itu.


"Fapi, kamu panik? Apa kamu sanggup membunuh orang? tanya Kai.


"A-aku pasti bisa! Aku harus bisa melakukannya bila masih ingin bertahan di sini."


"Jangan paksakan dirimu, Pi. Biar tangan kami berdua saja yang kotor." ucap Fata.


"Tidak apa-apa, Fata. Ini sudah resiko yang kuterima sejak aku setuju mengikuti turnamen ini. Lagipula, aku banyak berhutang padamu sebelumnya--"


Belum selesai Fapi meneruskan kalimatnya, pintu ruang perawat sudah terkapar di lantai. Kai sudah mulai menembaki para klon yang bermunculan. Beberapa dari mereka sempat mereka kenali wajahnya. Koar dan jerit para klon yang tak bisa menghindari peluru mengalir di setiap penjuru lantai yang mereka pijak.  


Sayangnya, jumlah peluru tak selaras dengan jumlah klon yang merongrong, tahu-tahu saja para klon dengan brutal merubuhkan barikade yang sudah kokoh berdiri.


"Fata! Kau mau ngapain pake oven itu!" seru Fapi pada Fata yang menyalakan oven portabelnya.


"Tiarap!" pekiknya sambil melompat.


Oven yang sudah menyala-nyala itu jatuh menimpa klon robot yang membawa banyak senjata. Lalu jatuh ke tanah dan memekikkan jeritan diikuti ledakan setara bom kecil yang pada akhirnya menghancurkan pintu masuk ke ruang perawat.


Usaha melindungi diri ketiga pemuda tadi rupanya sia-sia. Mereka ikut terhempas, baik badan dan kesadaran mereka.


***


Malam itu, di atas bangku kayu warung kopi yang mulus tanpa kerut, hanya ada seorang pemuda berambut keriting lebat, dan di posisi yang tengah dipandang pemuda itu, berdiri seorang gadis yang mengenakan kemeja putih dan celana jins. Pemuda itu menyesap air kopi panas yang sebelumnya dituangkannya di sebuah piring kaca. Kemudian, gadis berambut panjang sepinggang itu mengarah padanya, dan menyuguhkan sepiring nasi merah panas padanya.


"Hei, Kribo, jangan ngutang lagi ya?" gadis itu memasang muka cemberut setelah meletakkan piring nasi di depannya. Si Kribo meneguk air kopinya dengan segera.


"Eh, emang kapan aku ngutang!?" sergah si Kribo.


"Sering, apalagi pas kita masih di panti asuhan!" balas si gadis.


Si Kribo agaknya mulai memasang muka heran, "Ah, lupa. Ikhlasin ya? Kita sodara kan berarti?"


"Huh, yang lama sih aku udah ikhlas, tapi kali ini kagak. Bosen ah pake alesan itu mulu." ucap si gadis ketus. "Ah, gak jadi deh, gak apa buat kali ini." tambahnya sambil tersenyum simpul.


"Emang aku mau ngutang!? Gak kok, kali ini kubayar langsung!"


"Berarti yang sebelum-belumnya udah ngutang kan?"


"Ganti topik! Ganti topik!"


"Jangan ngalihin topik!"


Keduanya saling beradu makian setelahnya. Puas memaki, keduanya kembali ke posisi masing-masing. Si Kribo duduk manis sambil memalingkan pandangannya dari si gadis. Begitu pula dengan si gadis yang kembali masuk ke bilik.


Si Kribo yang tak tahan dengan keheningan ini angkat bicara, "Na, kamu marah?"


"Gak sih, cuman ya.."


"Gak apa kok kalau marah, maafin aku yang banyak utang."


"Gak apa kok."


"Gak, pasti akan aku lunasin semua utangku. Utang materi maupun segalanya yang kamu beri ke aku. Toh seorang pria sukses gak boleh mati ninggalin utang."


"Aku ikhlas kok, toh aku juga banyak utang ke kamu. Anggap aja kita impas."


"Ngomong-ngomong, bisnis warkop apa enggak lesu? Setiap aku mampir selalu aja sepi. Padahal ini penopang hidup kamu yang pergi keluar dari panti kan?"


"Ah, uda biasa se. Yang sering lewat sini malam-malam jarang. Perumahan deket sini yang tinggal sok elit semua. Yang ada juga bengkel purwarupa yang juga gak gitu rame orderannya." ucapnya lesu, "kalau tempat kamu juga sepi, gimana bayar utangnya hayo?" ucapnya menggoda.


"Pasti suatu saat bengkelku bakal dikenal seantero negeri. Soalnya yang punya bisa bikin robot!"


"Hahaha, kamu kalau gitu kayak bocah, hahaha.."


"Kamu ngeremehin aku ya!? Liat aja, bentar lagi kopi paling nikmat di seluruh penjuru nusantara bakal keluar dari mesin bikinanku! Dan mesin itu bakal jadi uang pelunas utang-utangku ke kamu!"


"Aku nggak terima rongsokan, Wek!"


"Aaah, dasar! Eh, kamu denger gak?" tanya si Kribo pada si gadis. "Ada yang tereak minta tolong,"


"Yang bener kamu, gak kedengeran ah! Jangan-jangan ini karangan ngawurmu lagi!? Aku kapok kamu tipu kalau ceretku nangis menjerit-jerit gara-gara kelamaan kutaruh di kompor!"


"Itu beneran! Dan kali ini juga beneran! Bentar, suaranya dari belakang kamu!"


"Jangan bercanda ah! Serem tau!"


"Anterin aku ke belakang coba, suaranya makin lemah."


Meninggalkan jajanan, segelas kopi, dan sepiring nasi goreng. Keduanya menengok ke belakang warung. Sempat bergidik keduanya menatap pemandangan yang tak selalu bisa disaksikan setiap orang. Seonggok manusia berpakaian aneh tertimbun tumpukan batu dan bata. Yang nampak dari dirinya hanya kepala, dada, dan tangan kirinya saja.


"Na, bantu aku buat nolongin dia! Keliatannya lemes banget ini orang. Cepat sebelum dia mati!"


Si gadis, mengabaikan dering kuduknya, mengangguk-angguk sigap. Keduanya lalu membongkar apa yang menimbun orang itu. Yang mereka lihat lebih mengagetkan lagi. Ternyata bagian bawah dari orang itu bukanlah kaki maupun atau penopang lain. Melainkan rentetan kabel yang memercikkan petir-petir mini.


Si gadis terkejut, "Astaga! Ini beneran orang?"


"Bantu aku angkat dia ke bengkel! Seenggaknya aku tahu cara nyelamatin dia!"


Kemudian di bengkel, si gadis melihat bermacam-macam piranti-piranti yang dia tidak tahu namanya. Ada yang hijau, ada yang merah, ada yang berpendar-pendar. Namun, ada satu yang seketika meninggalkan kesan di kepalanya.


Ada seonggok kaleng yang memiliki dua tangan dan kaki. Si Kribo meletakkan jasad pria tadi ke dekat kaleng itu.


"Mungkin ini bakal ngabisin waktu lama. Jadi, kamu balik dulu aja ke warungmu. Nanti ada maling lho." ujar si Kribo pada si gadis. Si gadis mengangguk patuh.


"Maaf ya, kalau utangku nambah lagi," tambah si kribo, si gadis sudah melenggang jauh.


Esoknya, pintu geser bengkel si Kribo diketuk-ketuk oleh sosok yang tak lain dan tak bukan adalah si gadis. Sambil mengenakan baju yang dipakainya semalam dan sekantung plastik, si gadis terus mengetuk.


Penantian si gadis terbalaskan. Pintu itu dibuka seseorang dari dalam. Namun, yang membuka bukanlah sosok yang diharapkan si gadis, melainkan si kaleng kosong yang semalam dilihat si gadis.


"Pak Fata sedang terlelap, ada yang ingin disampaikan?" ucapnya pada si gadis. Si gadis masih terperanjat akan dirinya yang tengah diajak berinteraksi oleh kaleng besi berkarat merah.


"A-aku nunggu dia bangun deh, boleh kan?"


"Silakan, pak Fata tidak melarang.."


Sesaat kemudian, si Kribo terjaga dari mimpinya. Menghadapi sosok muka manis yang akrab di matanya sejak usianya masih kecil.


"K-kana, kupikir siapa.. Sila duduk. Bagaimana? Aku membuat robot lho!" ucapnya walau sedikit loyo.


"Orang yang kemarin?"


"Err... ya.. dia. eh, Ah, lupakan soal robot ciptaanku tadi. Yang kulakukan hanya memperbaiki AI nya dan memindahkannya ke tubuh bikinanku."


"Wah, kamu luar biasa, Fata... Bagaimana nasib orang yang kemarin?"


"Sehabis kucopot AI-nya, dia lenyap tak berbekas. Tapi, orang itu bersama dengan kita sekarang di sini. Sehat dan kokoh!" ucapnya semangat. "Kamu bawa apa tuh di kresek?"


"Nasi gorengmu yang kemarin, sudah kuhangatkan tadi pagi. Nih buat sarapan. Gak masuk bon kok."


"Ah, aku lapar banget.. Pasti kulunasin."


"Dibilang gak usah kok. Terus, dia kamu kasih nama siapa?"


"Oh, namanya.."


***


"Fata.. ah syukurlah kamu sudah bangun," ujar sesosok wanita yang menunggangi kursi beroda.


Fata yang belum sadar betul menengok ke seluruh penjuru ruang, dia masih di ruang perawat. Terlentang di lantai yang dingin, "Ah, Tata.. kamu gak bisa gerak kan?"


"A-aku juga tak tahu, entah kenapa tadi seakan ada energi baru yang merasuk ke dalam tubuhku. Oh, jangan banyak bergerak, aku sudah membalut perutmu dengan perban tadi. Nanti lukamu bisa terbuka."


"Ah, makasih.. Lalu, Kai dan Fapi gimana?"


"M-maaf.. Aku tak cukup cepat untuk menyelamatkan Fapi, hanya Kai selamat." ucap Tata sendu.


"Cih, kenapa harus Fapi."


"Sudahlah, di keadaan seperti ini bukannya kita harus mengutamakan nyawa kita sendiri? Lalu, Tata.. Kau yakin bisa berjalan sendiri? Yang harus kita lakukan setelah ini akan terasa lebih berat lho."


"Setelah ini apa?" tanya Fata pada Tata dan Kai. "Menurut seorang klon tadi, mereka bergerak kemari atas perintah seseorang yang tengah bersembunyi di suatu tempat. Jika kita tidak segera menemukannya, maka dalam waktu sejam lagi serangan seperti sebelumnya akan menghampiri kita." ucap Tata dan Kai bersamaan, dengan gaya tutur masing-masing.


Setelah mempersiapkan berbagai hal, akhirnya mereka meninggalkan ruang perawat. Meninggalkan tumpukan mayat-mayat klon yang diantaranya tertimbun pula mayat seseorang yang mereka anggap sangat baik dan tidak cocok berada di lingkungan jahat ini. Namun apa yang sudah terjadi mau bagaimanapun sudah tak bisa terulang.


Beberapa langkah sudah mereka jalani. Kini mereka bertiga berdiri di suatu ruangan dimana tabung-tabung raksasa berdiri dengan tegap. Tabung-tabung itu berisi cairan yang terus mengeluarkan busa tebal yang membuat siapapun dari luar sukar melihat apa yang ada di dalam tabung itu.


"Semuanya, jangan coba sentuh apapun. Siapa tahu ada jebakan yang bisa muncul kapan saja." ucap Fata setengah berbisik.


Walaupun Fata sudah memberi peringatan, tetap saja ada upaya tanpa sengaja yang dilakukan oleh salah satu dari ketiganya. Sebuah tombol terpencet dan sebuah tabung kehabisan cairan berbusanya. Di dalam tabung tersebut terdapat sesosok gadis berambut ungu dengan pakaiannya yang cukup feminim.


"D-dyna?"


"Tata kenal?" tanya Kai.


"Padahal dia ganteng, ternyata cewek. Huh.." dengus Tata. Dyna, dari dalam tabung, meninju-ninju lensa dari tabung.


"Dia pasti klon dari Dyna. Hati-hati, Dyna cukup kuat." ucap Tata lagi, sambil memegang erat pistol pinjaman dari Kai. Begitu pula dengan Fata.


Mengetahui tindakannya tidak begitu berguna. Dyna berhenti memukul dinding tabung. Kini dia membuka mulutnya lebar-lebar.


Suara jeritan muncul dari mulutnya. Bukankah itu wajar? Tidak. Kekuatan Dyna adalah [Auraudio]. Yang membuatnya bisa memainkan suara sepenuh hati. Hanya berpikir untuk memberikan daya hancur pada jeritannya saja sudah membuat jeritan yang dikeluarkannya menimbulkan efek deskruktif. Benar saja, tanpa melewati proses retak berkepanjangan, kaca tabung itu pecah berkeping-keping.


"K-kalian, nampak lemah.. Lucu sekali." bisik Dyna setelah melihat ketiganya mengacungkan pistol padanya. "Eh, Fatha, Tata.. Terakhir aku lihat kamu, badanmu masih ceking. Sekarang sudah cukup berisi... Juga, kamu jadi makin lemah. Ah manisnya.." imbuhnya lagi.


"Dyna, kamu gak pengen ngebunuh kami?" tanya Fata memberanikan diri.


"Heh, buat apa? Memang begitu aturannya? Tidak ada yang memberitahuku," ucap Dyna enteng.


"Fyuh gak jadi berantem.." ucap Fata lega.


Namun, tanpa mereka sadari. Sebuah perangkat kecil muncul dari ujung ruangan. Perangkat tersebut b berekonstruksi menjadi sebuah pistol kecil yang menembakkan sebuah peluru ke arah tengkuk Dyna.


"Ahn.... Ahn..." desah Dyna, yang kemudian dipandangi oleh Tata, Fata dan Kai.


"Ahn, aku, baru.. tahu.. rasanya.. jadi.. wanita.. senikmat.. ini..." desisnya lagi, "Ahn, Tata! To—hnghh, long aku.. Aku tak bisa—kyuhn.. Mengontrol..."


"Dyn--?"


"[SHOUTSPHERE!]"


Ledakan dahsyat tiba-tiba menggilas semua yang ada di ruangan itu. Tabung-tabung yang tersisa berdiri miring. Sementara sisanya sudah tak berbentuk utuh. Retakan di lantai membentuk mozaik kacau  yang membuat siapapun yang melihatnya berimpresi seram. Tak kalah cadas pula penampilan tembok-tembok yang penuh akah retakan. Oh iya, dari tabung-tabung yang pecah. Keluar makhluk-makhluk aneh berwujud putih yang keningnya tertempel semacam tube.


Fata, Tata, dan Kai. Ketiganya berhasil selamat dengan utuh, ajaib sekali. Pasti penulis sudah kehilangan akal jernihnya.


"Kenapa Dyna tiba-tiba jadi brutal!?" pekik Tata. Pelan-pelan karena mereka bertiga tengah bersembunyi.


"Aku melihat jejak peluru dari arah ujung sana. Mungkin itu yang melepas kewarasannya." ujar Kai. Sambil menengok Dyna yang tengah dikuasai kegilaan.


"Oh iya. Kita bersembunyi saja." kata Tata.


"Pengecut sekali, tapi itu keputusan bijak." jawab Kai setuju.


Benar saja. Setelah menunggu beberapa lama. Ledakan-ledakan beruntun tak terulang lagi. Yang ada hanya sosok Dyna yang telungkup di lantai.


"Dia tidur?"


"Tidak, dia mati. Biarin saja lah, toh yang aslinya juga sedang asyik-asyiknya menggoda umat manusia di luar sana." jawab Tata tak peduli.


"Atau hangus ditelan ledakan Alforea?" imbuh Fata.


"Ah, aku kangen Alforea," ungkap Tata. Semuanya menghiraukan, toh Alforea sudah lebih tiada ketimbang puing-puing kota mati.



***



Ketiganya kini tengah mengarah ke sebuah ruangan. Ruang pusat, begitu mereka menyebutnya.


Mereka sudah sampai.


Sebelum mereka membuka pintu itu, sudah ada seseorang yang mendahului mereka. Kenop pintu itu diputar dari dalam.


Sesosok tangan hitam adalah hal pertama yang mereka lihat.


'Silahkan masuk' begitulah suara yang mereka dengar dari pemilik tangan hitam itu.


***


Ruangan pusat. Sebuah aula yang cukup luas dengan sebuah layar besar yang menghiasi dinding ruangan. Selain itu ruangan ini hanya kamar kosong yang disinggahi oleh seorang pemuda.


Pemuda berambut lebat, seperti brokoli.


"Lama tak berjumpa ya? Renggo."


Ucapnya.


"Jadi, siapa di antara kalian yang mengincar kotak laplace ini?" ungkap si Kribo itu dengan congak. Salah satu dari mereka melompat.


Melompat dari kursi roda. Lalu merampas sebuah kotak hitam yang dipegang si Kribo.


"Mana! Mana isinya?" jerit sosok itu. Sosok yang memiliki dua buah sisi di mukanya. Sisi kanan merupakan wajah gadis yang keelokannya dirusak oleh seringai dan sisi kirinya hanya bercorak hitam.


"Sudah kutelan. Sekarang, enyahlah!" pekik si Kribo, diikuti dengan munculnya sebuah tangan raksasa yang menggenggam sosok hitam tadi.


"Sialan! Sepertinya hari ini bukan keberuntunganku!" ungkap sosok itu sebelum tangan raksasa itu menghantamkannya ke lantai. Menyisakan sebuah bekas hitam. Sosok Fata yang tengah berdiri di depan pintu menunjukkan mimik muka tak percaya.


"Pak Fata, jadi.. anda yang ada dibalik semua ini. Tapi untuk apa?"


"Aku ada hutang, cara melunasinya hanya satu, yaitu adalah kekuatan absolut." jawabnya, "Terima kasih untuk bantuanmu kali ini Renggo. Rupanya perintah otomatis yang kumasukkan pada program AI mu dulu bermanfaat juga."


"P-perintah apa?"


"Banyak, pokoknya... Aku banyak berhutang padamu sebelumnya."


Tiba-tiba saja Renggo teringat saat-saat serbuan klon pertama di ruang perawat. Saat Fapi yang mengucapkan kalimat yang diucapkan oleh Fata.


"F-Fapi, jangan-jangan..."


"Oh, aku hanya melebur klon Fapi dengan operator yang kuberi mandat untuk mengawasimu. Sayang sekali dia harus mati." Fata menundukkan kepalanya. "Nah Renggo, sekarang bantu aku melawan sosok yang selama ini bersembunyi."


Valar Spica et Frela Umbra
Kgozrnyi Wet Bulsaestsk
Kabruczt


Tiba-tiba saja Renggo yang memakai wujud Fata rubuh di tempat. Rubuh dan tak bergerak lagi.


"Ah, aku lelah bersembunyi. Begitu menampilkan diri, ternyata mainan lamaku yang lama hilang diutak-atik oleh orang yang tak kukenal. Sekalian kuhancurkan saja biar kedua pihak tidak saling berebutan, Benar?"


Dari arah langit-langit tiba-tiba muncul sebuah dadu merah yang kemudian mendarat di lantai. Dari dadu itu keluar sosok wanita berambut merah yang menaiki kursi roda kayu hitam. Tatapannya tidak seramah tatapan Tata, karena dia bukan Tata.


Kai, yang sebelumnya tidak dianggap ada di ruangan ini. Mengeluarkan sesuatu dari tasnya. Sebuah crossbow yang kemudian dipasang begitu saja di kepalanya.


"Terima kasih atas kerja kerasmu mengintai musuh, Trolda. Samaran itu cocok sekali denganmu."


"Memang nona, selain tinggi kami sama, kami juga memiliki banyak kesamaan lain, terutama soal prefe—"


"Sudah cukup,"


"Maaf, nona.."


"Baiklah, sekarang. Tembak pria itu! Jangan sampai dia bawa lari kekuatan yang dibawanya!"


Trolda, menembakkan sebuah panah dari kepalanya. Namun, sebelum mengenai sasaran, panah itu malah berhenti dan balik mengarah ke arah penembaknya. Yang kemudian berhasil dihindari Trolda dengan gemilang.


"Sial, bagaimana kekuatan milik 'dia' bisa ada di dunia ini? Bukankah aku sudah melarangnya untuk keluar rumah!?" gumam Strata. "Fata, apa benar kau menginginkan kekuatanmu sekarang, kekuatan untuk memberi perintah absolut pada benda-benda unorganik? Apa kemampuan berkomunikasi dengan mereka tidak cukup?"


"Tentu saja gak cukup! Butuh lebih dari itu buat ngelunasi utang-utangku."


"Kalau hutang saja, biarkan aku yang melunasinya!"


"Mana bisa! Itu hanya akan memperbesar jumlah utang yang kupunya. Sekarang, matilah kau!"


Fata melempar sebuah bola raksasa yang terdiri atas berbagai macam materi menuju Strata. Sekali lagi Trolda mendorong kursi roda Strata dengan cepat dan berhasil menghindarinya.


"Trolda, cepat mendekat ke arahnya! Kerahkan seluruh ragamu!


Trolda dengan sepenuh kekuatannya mendorong kursi roda itu menuju tempat Fata berdiri. Sebelum tujuan mereka tercapai. Fata membisikkan sesuatu pada lantai. Lantai yang dibisikinya mendadak terangkat ke atas membentuk sebuah perisai semen.


"Tidak bisa nona, pertahanan yang dia pakai cukup ketat,"


Belum sadar mereka ditarget. Sebuah objek besar menghantam tubuh Strata, menghempaskannya.


"N-nona, anda tidak apa-apa? Jangan tertidur, nona!"


"Ugh, kau menyuruhku tidur lagi setelah 200 tahun? Tidak akan,"


"Lalu, bagaimana anda akan bergerak!? Kursi roda anda sudah hancur terkena lemparannya tadi."


"Begitu ya? Sulit juga. Andai aku bisa berlari. Ah, coba lenganku bisa bergerak dengan lancar. Trolda, sudah beberapa kali kau rusak?"


"20 kali, semoga tidak lagi."


"Ah, maaf.. Aku sudah memberimu hak untuk meledak jika menyentuh tubuh anak itu dan hak untuk berada di tempo waktu yang lebih lambat dua kali lipat dari waktu normal. Maaf ya?"


Trolda hanya mengangguk ringan. Lalu dengan singkat berlari menuju Fata. Selanjutnya sebuah ledakan yang cukup ringan memisahkan tubuh Fata dengan kedua kakinya.


"Agh, kenapa—Argh!!" jerit Fata kesakitan setelah badannya mendarat tepat di hadapan Strata.


"Hutang apa yang ingin kau lunasi?" tanya Strata pada Fata.


"Hutangku pada Tuhan, yang telah memberiku banyak kemudahan, termasuk tekhnopatia. Aku ingin menghadiahkan Tuhan sebuah dunia dimana kedamaian absolut, sebuah utopia para manusia dimana manusia mengikat diri masing-masing pada sebuah ideologi yang adil dan bebas."


"Oh, ngomong-ngomong, aku juga keturunan Tuhan. Terima kasih atas keinginanmu memberi hadiah. Sayangnya, melihat dinamika manusia sudah merupakan kesenangan sendiri bagi kami. Nah, sekarang. Boleh kuambil kekuatan yang seharusnya bukan milikmu?" ucap Strata pada Fata.


Sebelum tangan Strata berhasil menyentuh kulit Fata. Tiba-tiba sebuah portal hijau terbuka dari udara lepas. Dari portal itu timbul sesosok wanita muda yang mengenakan pakaian berenda hitam putih. Di punggungnya terdapat tas sepanjang 2 meter yang terlihat berat. Wanita itu lalu menancapkan sebuah palang bertuliskan 'STOP' tepat di hadapan Strata.


"Maaf, Strata. Kamu tidak boleh memiliki kekuatan ini. Pemilik sahnya pun bahkan sudah sengaja kami datangkan. Ah, terima kasih karena tidak langsung membunuh pemuda ini. Pekerjaan kami jadi lebih mudah. Maaf, saya tidak menjawab pertanyaan anda. Terima kasih." ucap wanita itu sambil memboyong tubuh dan kaki Fata. Lalu hilang setelah masuk ke dalam portal yang tadi dimunculkannya.


"Manya, jadi anak itu berada di pihak Levi." gumam Strata. "Ini akan jadi semakin rumit. Ah, Cannot.. Tolong bantu aku, juga perbaiki Trolda yang berserakahan di mana-mana."  

4 comments:

  1. Lots and lots of names
    Saya emang skip satu ronde Tata, tapi ga nyangka sebegini bikin pusingnya baca entri ini, terutama karena banyak nama, istilah, jargon, dan narasi yang kayanya kepala saya ga nyampe buat mencerna sekali jalan. Rasanya pas banget ketemu lawan yang sama" mirip juga gayanya

    Tapi masuk ke tengah jadi gampang dimengerti. Jadi Fata sama Tata (sekarang jadi Strata ya?) sama" make expy sepanjang entri ini sebelum akhirnya yang asli keluar? Ada cameo Dyna juga, ga nyangka pesolek yang satu ini masih aja dibawa"

    Btw, ada satu line yang bagus. Pas dibilang 'kangen Alforea', saya jadi sedikit nostalgia juga sama zaman awal" turnamen ini. Ah, masa damai yang singkat. Tau" sekarang kita udah berantakan semua

    ReplyDelete
  2. Fallacy~~

    Saya idem sama Sam. Dari setiap entri, lagi-lagi disuguhi nama baru dan asing, lalu nggak kentara jelas pentingnya mereka apa. Nama-namanya sih keren, tapi kalau ndak dingerti pembaca sih kayaknya sayang juga. Mubadzir. Kalau memang mereka nantinya bakalan bener muncul, kasih sedikit foreshadowing (atau hint) menuju ke sana.

    Kekuatannya si Strata belum kegambar dengan jelas. Dan charsheetnya dia juga mana coba? Katanya bakal dimunculin di bagian komen R3? ._. Yang saya tahu itu dia bisa meminjam/mengambil hak orang lain. Itu aja. Dan dari situ, pengaplikasiannya bisa sangat IMBA jika menilik pengakuan Pak Po.

    Plotnya oke. Tapi penuturannya kurang diperelok dengan lebih dramatis. Andai bisa digarap dengan lebih serius, barangkali saya lebih prefer ke Strata. Karena lebih banyak kejutan yang bisa dimunculkan Tata, Arahalia, Fatha a'lir, Fatale, Strata, atau siapapunlah dia, ketimbang lawannya, yakni si Fatalirshura, yang ke depannya udah ketahuan banget pasti jadi megasuperteknopath

    OC: Kusumawardani, S.Pd.

    ReplyDelete
  3. aye kehilangan arah pas baca pertengahan entri.
    udah ga tau siapa yang mana dan ngapain...

    i'm lost.

    terlalu banyak nama yang dimunculin tapi ga ada efek apa-apa ke cerita gedenya....
    belum lagi maksain karakter di lantai lain masuk ke entri lantai ini.
    campur aduk.

    awalnya seneng karena ada fapi, terakhir fapi mati....
    T__T

    ga jadi milih tata deh........

    oc: Pitta N. Junior

    ReplyDelete
  4. Sebentar, sebentar... Jadi itu kenapa Dyna tiba-tiba orgasm? Serius... Gak ada lanjutan penjelasannya kan? Kenapa dia orgasm begitu saja? I need to knoooow!

    Oke, review seriusnya, tulisan ini penuh dengan php. Prolog percakapan tentang Vintage itu engaging, tapi begitu masuk cerita kek gak nyambung aja sama prolog itu. Item dibilang berkali-kali bahwa dia ikut masuk ke bawah tanah tapi gak ada aksi atau kemunculan berarti setelahnya.

    Parahnya, banyak banget hal nggak penting yang diceritakan secara panjang lebar di sini, entah karena kurang fokus, atau plotnya tidak jadi dilanjutkan yang akhirnya balik ke php lagi. Flashback Kana contoh jelasnya.

    Endingnya juga nggak bisa dibilang memuaskan, terlalu mendadak dan muncul karakter karakter lain yang antara tidak penting, ngilangin fokus ke inti cerita atau nggak diperlukan sama sekali.

    No Vote
    Alshain Kairos

    ReplyDelete