11.10.15

[ROUND 4] BU MAWAR - SECERCAH HARAPAN

[ROUND 4] BU MAWAR – SECERCAH HARAPAN

Penulis : Hewan



Prolog Digital


Semesta data.

Mungkin itulah yang paling dekat menggambarkan tentang dunia ini.

Yang membedakannya dengan semesta lain tentu saja dari komponen utama penyusunnya. Sebutlah saja semesta fisik. Itu adalah jenis semesta yang merupakan asal dari hampir seluruh peserta turnamen ini. Ada juga semesta mimpi, tapi kita akan menyimpan penjelasan tentang itu untuk turnamen berikutnya. Hadir pula semesta kata, semesta bunyi, semesta jiwa, dan segala semesta lain yang melampaui batas nalar semesta pada umumnya.


Namun kali ini fokus kita adalah semesta yang satu ini, yakni semesta data.

Server Alforea dan server Amatsu, serta planet Sol Shefra yang menaungi server-server itu, semua berada di dalam semesta data. Maka dengan demikian, segalanya tersusun dalam bentuk data. Seluruh pertarungan ini, kematian, kehidupan, dan orang-orang yang bertikai di dalamnya, serta segenap harapan, doa, dan keputusasaan … semua itu tak lebih dari kumpulan data. Dan data itu, sayangnya, teramat rapuh. Seperti apapun sistem perlindungan yang diberikan oleh para administrator, pada akhirnya pertahanan itu tertembus juga.

Penyusup datang.

Lalu data Alforea hancur.

Seluruh peserta turnamen yang masih bertahan hidup lantas ditransfer ke server Amatsu untuk menjalankan pertarungan selanjutnya. Dan setelah semua laga babak ketiga itu usai, giliran Amatsu yang dihadapkan dengan ancaman serupa.

Sosok itu datang tanpa diundang.



Bab 1 Petaka Amatsu


Bu Mawar berjalan tertatih sambil punggungnya menahan berat Sunoto.

Bocah itu masih tak sadarkan diri setelah pertempuran tadi. Mereka berdua sama-sama terluka lumayan parah, namun semangat seorang gurulah yang mampu membuat Bu Mawar bertahan membopong muridnya itu. Badan remuk dan wajah yang lebam tidak menjadi soal, kulit gosong dan kucuran darah pun tiada masalah. Dia harus membawa Sunoto ke sana.

Ke Istana Amatsu.

Sekali lagi Bu Mawar melirik kondisi muridnya, lalu sang guru terenyuh.

"Ibu akan menyuruh mereka mengobatimu, Sunoto. Dan Ibu juga perlu bicara sedikit dengan mereka—"

Tiba-tiba tanah Amatsu bergetar hebat. Bu Mawar oleng sedikit. Dengan kakinya yang lemas seperti sekarang, itu sudah cukup untuk membuatnya kembali terjatuh. Namun dirinya tetap menahan si murid erat-erat agar tidak terlepas dari gendongannya.

Getaran di permukaan tanah Amatsu semakin kencang, sudah menyerupai gempa. Penduduk Amatsu yang ada di sekitar hutan pun berseru histeris serta bergumam-gumam penuh rasa takut. Mereka gemetar dan menangis seperti kehilangan kewarasan. Kini mereka tak ubahnya monster lemah, hanya bisa pasrah. Semua berlutut dan terpuruk. Bahkan sudah tidak ada yang peduli lagi soal melarikan diri.

Amatsu diserang.



Bu Mawar bangkit dengan bertopang pada lengan besinya, sedangkan tangan satunya lagi mengangkat sedikit posisi si kecil Sunoto agar lebih nyaman di punggung sang guru. Wanita berjilbab itu menatap ke depan, maka seketika matanya terbelalak.

Tampak Istana Amatsu sedang runtuh setengahnya!

Jeritan maupun teriakan, semua tertelan oleh gemuruh ambruk batu serta riuh robohnya potongan kayu yang tadinya menyusun istana megah itu. Debu mengepul dan membubung tinggi, namun hanya sesaat. Sebab detik selanjutnya, langit sudah dipenuhi awan gelap yang menumpahkan hujan deras. Tak ada yang merasa nyaman dengan hujan ini.

Bahkan Bu Mawar pun bisa menebak kalau ini bukanlah hujan alami. Tubuhnya merinding terguyur hujan. Terasa dingin. Dan mencekam. Debu menghilang, berganti oleh kabut lembab. Pandangan Bu Mawar agak terhalang, tapi dia tahu kalau di istana pastilah sedang terjadi sesuatu.

Sang guru berpikir.

Apakah dia harus ke sana? Sepertinya sedang ada situasi gawat di dalam istana. Dirinya memang punya urusan dengan Yang Mulia Netori atau siapapun pihak berwenang yang menjalankan turnamen ini sekarang. Ada banyak yang ingin dia tanyakan kepada mereka. Di sisi lain, Bu Mawar juga khawatir akan kondisi muridnya.

Sunoto menggeram dalam tidurnya, mungkin dia sebentar lagi akan bangun. Bu Mawar tersenyum, dia memutuskan untuk terus berjalan.

"Aku mesti cari tahu lebih banyak," gumam sang guru. "T-tapi kayaknya nggak perlu sampai dekat-dekat juga."

Dan langkahnya langsung terhenti setelah mendapatkan posisi memandang dengan lebih jelas.

(* * *)

Hitam kelam, lebih gelap dari apapun, itulah yang bisa dideskripsikan dari penampilan sosok itu. Sosok yang sangat pemarah. Atau setidaknya, saat ini dia tampak begitu murka. Kemudian hujan aneh itu turun semakin deras seiring dengan kemarahannya.

Semua yang terkena tetesan hujan itu, walaupun sedikit saja, akan merasa tubuh mereka menjadi lemas. Tiada tenaga, hanya bisa tertunduk dan jatuh. Kumpulan hujan itu akhirnya menciptakan genangan air yang tinggi—banjir berwarna kehitaman.

Maka sosok hitam itu semakin digjaya.

Dua monster terkuat yang dipanggil oleh Yang Mulia Ratu Netori pun tiada berkutik. Fujin dan Raijin, monster yang dikatakan setara kekuatannya dengan dewa, sungguh tak berdaya di hadapan sosok yang mungkin adalah dewa yang sesungguhnya. Keduanya bertekuk lutut, lemas, setengah badan mereka sudah terkurung dalam genangan air kegelapan itu.

Ratu Netori menggertak, "Hentikan semua ini, Blackz! Benda yang kau inginkan tidak ada di si—" Dan berhentilah kalimat sang Ratu sampai di sana. Sosok Blackz sudah menikamkan tongkat berkaitnya ke kepala penguasa Amatsu. Darah mengucur, sedikit mewarnai genangan hitam di lantai kastil. Riwayat sang Ratu berakhirlah sudah.

Melihat itu, Fujin dan Raijin murka. Mereka hendak melancarkan sihir gabungan petir-angin terkuat yang mereka miliki … tapi tidak pernah sempat. Giliran kepala mereka yang terpenggal dalam satu sabetan si Hitam. Dan dengan demikian, tertumpas habislah seluruh kekuatan militer Amatsu. Blackz lantas duduk di tumpukan mayat para prajurit istana, tatapannya beralih pada sekelompok orang.

"Nah, kalian yang tersisa. Katakan padaku di mana Kotak Laplace itu berada!" bentak si Hitam. "Kalian yang sebelumnya berada di Alforea, tentu lebih tahu tentang kotak itu. Cepat jawab!"

Mereka yang ditanya oleh Blackz adalah segerombolan peserta yang masih tersisa di turnamen ini. Dibentak begitu, sejumlah peserta terdiam lesu. Sejumlah lainnya masih bisa balas menghardik.

"Ngapa lu nanya soal getoan juga, coy?" jawab seorang peserta berambut kribo, lantang meskipun dengan nada bergetar. "Kotak Laplace apaan? Elu k-kira ini serial Gundam, ye?"

"Jujur, baru kali ini aku mendengar ada kotak seperti itu," sahut seorang ibu-ibu dengan tubuh yang tampak atletis.

"Laplas teh naraonan? Nama jajanan nu enak pisan, teu?" tanya seorang lelaki bertubuh paling kekar di antara para peserta.

Tak mendapatkan jawaban yang diinginkannya, Blackz semakin murka. Dia menghentakkan tongkatnya ke permukaan air seraya berseru, "Kubilang di mana Hewanurma menyembunyikan kotak pengabul permintaan itu?!"

Seketika, terciptalah percikan besar seperti ombak. Gelombang air itu lantas menyapu seluruh peserta keluar istana hingga ke reruntuhan arena Amatsu. Blackz langsung menyusul menaiki ombak lain. Kali ini, para peserta pemberani pun takluk juga setelah tergulung oleh gelombang ombak berwarna gelap itu. Sedangkan hujan aneh itu tak juga reda.

"… rrrgghh …," seorang samurai berperawakan sangar hanya bisa menggeram ketika bahkan dirinya tak lagi punya tenaga untuk sekadar menghunus pedang.

"Air aneh ini?" giliran pemuda berkacamata yang merasakan efek misterius itu.

"Uoowaaaahh!! A-aku tak akan menyerah …," tapi semangat lelaki berambut hijau itu tak mampu membantunya melepaskan diri dari belenggu Blackz.

Seorang wanita berambut biru kehilangan kesadarannya saat dirinya tengah berusaha menggapai senapan bidiknya. Begitu pula dengan bocah berambut kehijauan yang tenggelam bersama bantal, guling, dan selimut putih yang selalu dibawanya.

"Maaf … servis Panalove tutup hari ini …," pria bertubuh gempal ikut terseret arus dan tenggelam.

Lalu Blackz bertanya sekali lagi. Dan untuk kesekian kalinya, dia tak menerima jawaban apa-apa.

"Kalau begitu kalian tak berguna lagi," tukas sosok hitam itu, "maka matilah!"

Sekali lagi dia mengayunkan tongkatnya ke permukaan air. Kali ini efeknya jauh berbeda. Meledaklah seluruh air hitam yang menggenang di arena, hutan, maupun istana Amatsu. Bersama dengan ledakan itu, permukaan tanah yang tadinya tergenangi air menjadi runtuh seluruhnya. Terciptalah lubang raksasa. Semua yang ada dalam jangkauan lubang itu pun terjatuh ke dalamnya, ke dalam lubang hitam itu.

Istana Amatsu tersedot. Hutan dan koloseum turut terseret. Sebagian penduduk yang berada di sana juga ikut terjatuh bersama para peserta turnamen.


Bu Mawar yang tadinya mengawasi dari kejauhan pun terkena imbas dari retaknya permukaan tanah. Sang guru kehilangan tempat berpijaknya. Dia juga terperosok ke dalam lubang besar itu, bersama dengan si kecil Sunoto yang sedang digendongnya.



Hujan reda tatkala awan misterius itu menghilang. Tak ada lagi genangan air. Dan tak tampak pula sosok Blackz di manapun. Yang terlihat hanyalah kehancuran. Istana Amatsu lenyap. Penguasa Amatsu sudah tewas beserta seluruh prajuritnya. Hanya segelintir penduduk yang selamat dari petaka itu. Namun mereka tak tahu lagi harus berbuat apa. Inikah akhir dari server Amatsu?

Seluruh benda yang tertelan oleh lubang yang diciptakan oleh Blackz pun musnah ke dalam ketiadaan. Dengan satu pengecualian.

Dua belas peserta masih hidup.



Bab 2 Laboratorium Lantai Satu


<Situasi darurat terdeteksi...
Mode Proteksi Nurma : AKTIF>

Tiba-tiba tubuh para peserta dibungkus oleh semacam tabir digital berbentuk jaringan poligon hijau yang berpendar redup.

<Mengaktifkan perlindungan terhadap inti data
...
...selesai>

<Merevitalisasi stamina dan cedera fisik
...
...
...selesai>

Lalu tabir itu mulai bersinar terang.

<Transfer data secara paksa...
Tujuan : LABORATORIUM HAYATI>

Kemudian dalam satu kilatan cahaya, seluruh peserta pun menghilang. Mereka lolos dari maut untuk sementara. Namun—
                                               
<Program
...Battle of Realms V
Status : BERLANJUT
...
...
...ronde keempat
...   
DIMULAI>

—tantangan baru sudah menanti. Dan itu mungkin bukan hal yang teramat menyenangkan bagi mereka.

(* * *)

Bu Mawar terbangun karena bising alarm. Terdengar di telinganya bunyi nyaring berulang-ulang seperti suara sirine. Lalu kepala sang guru segera menoleh kanan-kiri, melihat sekeliling.

"Ha? Ini di pabrik atau apa?"

Guru itu bangkit dan mulai berjalan.

Pencahayaan begitu remang namun Bu Mawar masih bisa melihat lumayan jelas. Diperhatikannya, lempeng-lempeng baja menyusun lantai, sedangkan temboknya merupakan perpaduan antara beton bercat dan kaca-kaca yang sudah pecah di sejumlah tempat. Bagian langit-langit dipenuhi oleh rangkaian kabel dan pipa-pipa sejajar. Sebagian pipa sudah rusak, tampak meneteskan air. Belum ada begitu banyak lumut. Lalu Bu Mawar melihat satu detail yang akan menjawab pertanyaannya barusan.

Pada pintu logam tertera tulisan. Tangan kanan besi Bu Mawar menyingkirkan semak belukar yang menutupi tulisan itu. Kemudian dibacanya kalimat terbawah.

Laboratorium Rekayasa Hayati, Lantai 1—Balai Riset dan Uji Coba.

"Walah, ternyata ini di lab, toh? Kirain di pabrik …."

Setelah itu dibacanya huruf besar yang tertulis di atas kalimat tadi.

Project A.L.M.A

"Ini singkatan dari apa? Alma … kayak nama cowok kemayu~"

Lampu merah terus berkelap-kelip, seirama dengan bunyi bising yang masih menggema. Sekarang Bu Mawar tersadar. Sekiranya ini adalah laboratorium, maka alarm ini adalah tanda Intruder Alert (seperti yang sering dia lihat di film-film aksi). Barangkali, dirinyalah si intruder itu?

Bunyi alarm masih saja nyaring, membuat telinga dan hati Bu Mawar sakit.

"Ah, berisik! Diam dong, alarm! Bukan mauku juga kesasar di sini, tahu!" Bu Mawar seolah mengomeli bunyi bising itu.

Dan ajaib.

Bising alarm itu tiba-tiba berhenti setelah protes dari Bu Mawar. Apakah itu merupakan pertanda bangkitnya kembali kekuatan [Kemuliaan Guru]? Semoga begitu.

Bu Mawar tersenyum lebar, senang karena berhasil membuat suasana kelas (?) menjadi hening dan kondusif. Dan saat itulah, dia menyadari hal-hal selanjutnya.

Pertama, tubuhnya terasa begitu segar. Staminanya pulih, lukanya mengering. Wajahnya tidak lagi lebam dan berdarah-darah, justru tampak kembali cantik saat dia melihat pantulan dirinya di kaca. Namun jilbab dan jaket oranyenya tidak ikut sembuh. Malah semakin compang-camping.

Adapun yang kedua …

"Wait, bukannya tadi aku …," Bu Mawar celingak-celinguk. Punggungnya terasa terlalu ringan. "Tunggu dulu! Di mana SUNOTO??"

Paniklah Bu Mawar.

Sunoto tak ada di mana-mana!

Si murid ternyata tidak ditransfer ke tempat yang sama dengan dirinya. Padahal sejak selesai pertarungan melawan Renggo Sina, Bu Mawar tak pernah melepaskan Sunoto dari gendongan di punggung. Kenapa gerangan bisa terpisah seperti ini, wahai takdir?

Namun Bu Mawar tidak terlalu lama panik. Dia masih punya nalurinya sebagai guru.

"Sunoto … dia juga ada di lab ini, aku yakin itu."

Maka bergegaslah Bu Mawar pergi. Ditonjoknya pintu logam itu hingga terbuka paksa, lantas sang guru mulai berlari. Dia belum tahu bahaya laboratorium ini. Yang dia tahu, Sunoto mungkin dalam bahaya. Mungkin bocah lelaki itu adalah satu-satunya murid Bu Mawar yang masih bernyawa setelah terdampar di dunia aneh ini. Dan tentu sang guru ingin Sunoto tetap bernyawa.

Terlalu bersemangat Bu Mawar berlari menyelusuri koridor laboratorium yang berkelok-kelok bagai labirin itu, dia malah tersandung belitan kabel yang mencuat di lantai. Maka terjatuhlah Bu Mawar dengan wajah menghantam besi di lantai. Mukanya berdarah lagi. Padahal baru saja disembuhkan.

"Adududuh, dasar kamu kabel bandel! Beraninya menyengkat Bu Guru!" Lalu Bu Mawar memukul kabel tadi. Kabel itu langsung merasa bersalah.

Bu Mawar kembali berdiri.

Kali ini dia berjalan dengan lebih perlahan, lebih berhati-hati. Sembari diperhatikannya, ternyata di setiap area ada setidaknya beberapa ruangan berukuran sama. Ada yang pintunya masih utuh. Ada juga yang terlihat sudah dijebol dari dalam, seperti menunjukkan ada sesuatu yang keluar dari ruangan-ruangan itu. Bu Mawar tak sempat melongok ke dalam ruangan karena telinganya sudah menangkap sesuatu.

Bu Mawar menajamkan pendengaran, lalu sang guru tersentak, "Sunoto?"

Terdengar gema jeritan si murid dari kejauhan. Maka Bu Mawar kembali berlari.

(* * *)

Di area lain, masih di lantai yang sama, tampaklah sesosok samurai beringas sedang kesal setengah mati. Dia berada di depan lift yang semestinya merupakan pintu keluar dari laboratorium aneh ini. Namun pintu lift tak kunjung terbuka. Berkali-kali ditebas olehnya, bahkan tak tampak ada goresan sedikitpun. Seolah pintu itu terbuat dari logam khayal ilahiah yang tiada bisa dihancurkan.

Samurai itu hanya bisa menatap jengkel ke arah layar kecil di samping pintu lift. Layar itu masih saja menampilkan petunjuk yang diulang-ulang. Mungkin satu-satunya cara keluar adalah dengan mengikuti prosedur, pikirnya.

> Harap ketikkan
password
yang benar

Dia pun mengetikkan PASSWORD YANG BENAR sebagai kata kunci untuk membuka pintu keluar. Terdengar bunyi tetot.

> Akses keluar ditolak!
Password salah!

Kemudian dia mengetikkan PASSWORD SALAH! sebagai kata kunci. Kembali terdengar bunyi tetot.

> Harap ketikkan
password
yang benar

"FUZAKENNA!!" maki si samurai. "Jadi kata kuncinya apa?! Jangan main-main denganku, dasar pintu aneh!"

> Anda bisa
mendapatkan password
setelah lawan Anda
mati

> Peserta no. 028,
Nobuhisa Oga,
lawan Anda di Ronde 4 ini
adalah
peserta no. 003,
Kusumawardani

> Harap ketikkan
password
yang benar

> Anda bisa
mendapatkan...

Dan seterusnya.

Dia menghela nafas panjang. Bahkan kecanggihannya dalam berbahasa tidak menjadikan dirinya bisa mengarang-ngarang password sendiri.

Sepertinya dia memang ditakdirkan untuk terus bertarung. Dan kali ini, melawan wanita? Mungkin dirinya harus terlebih dahulu membunuh nuraninya sendiri sebelum bisa membunuh seorang wanita. Ah, tapi di dunia aneh seperti ini, apa pentingnya sebuah nurani?

"Kalau lawanku harus mati, maka matilah dia!" begitulah si samurai menguatkan tekad. Apakah dia benar-benar bisa melawan seorang wanita atau tidak, itu urusan nanti. Yang penting sekarang bergerak dulu.

Maka dengan langkah kesal, pergilah dia meninggalkan tempat itu.

Nobuhisa Oga namanya.

Dia dikenal sebagai si Anjing Gila dari Sekigahara. Dia bukan anjing, dan dia juga belum terlalu gila. Itu sekadar julukan, fungsinya untuk menakut-nakuti lawan saja. Tapi untuk saat seperti ini, Oga benar-benar berharap dia punya kemampuan seekor anjing dalam melacak mangsa.

Ada wanita yang harus diburunya.

(* * *)

Sementara itu, Sunoto tengah berlari kesetanan.

Wajahnya pucat pasi. Dia tadi terjebak dalam perkelahian warga. Entahlah mereka itu benar-benar warga atau tidak, kosakata Sunoto terbatas. Penerangan yang suram membuat mata bocah lelaki itu tak bisa melihat detail yang menunjukkan kalau warga-warga itu bukanlah manusia. Dan kini, sebagian dari mereka mengejar dan mengincar dirinya.

Sunoto memaki.

"Brengsek! Ini kenapa aku sekarang kagak bisa berubah jadi macan??"

Sunoto tidak tahu kalau si Gembong—siluman macan yang tadinya merasuk dirinya—kini sudah tiada. Dengan demikian, Sunoto tak akan bisa mengubah wujudnya lagi. Kecuali kalau dia bisa menangkap siluman baru, yang sepertinya mustahil didapat di tempat seperti ini.

Maka dia hanya bisa berteriak.

"Tolooooong!!"

Seraya dia berharap bahwa teriakannya akan sampai pada sesiapapun yang mampu menolongnya.



Bab 3 Preman Belum Pensiun


Peserta yang terdampar di lantai ini bukan hanya Bu Mawar ataupun Oga. Ada dua peserta lain. Dan salah satunya ditakdirkan untuk bertemu dengan Bu Mawar meskipun hanya untuk sekian menit.

Saat itu Bu Mawar sudah tersesat.

Lika-liku laboratorium ini begitu membingungkannya. Tahu-tahu dia sudah ngos-ngosan sendiri gegara berlarian tak tentu arah dan tujuan. Sehingga kini, suara teriakan Sunoto bahkan sudah tak terdengar lagi. Padahal sebelum tikungan tadi jeritan si murid masih menggema jelas.

"Lab ini luas, dan bikin bingung. Capek kalau lari-larian terus. Andai aku bisa naik skuterku," keluh Bu Mawar, lalu dia menoleh ke samping. "Yap, skuter kayak itu." Sang guru terkaget sendiri. "HAH?! I-itu …!" Sebab di sana benar-benar tampak satu unit motor skuter terparkir manis!

Barulah Bu Mawar menyadari kalau tempatnya berada sekarang ini merupakan semacam halaman parkir (yang berarti dia tersasar sampai keluar gedung). Bukan hanya motor skuter itu, tampak juga sejumlah kendaraan lain seperti mobil dan truk. Sayangnya, semua kendaraan itu sudah dalam bentuk rongsokan. Hanya motor skuter ini saja, anehnya, yang masih dalam kondisi bagus.

Bu guru itu mendekat lalu menekan tombol starter. Bunyi mesin pun berderu.

"Walah, masih hidup ternyata!"

Tak mau ambil pusing, Bu Mawar segera menaiki motor skuter tersebut. Tanpa buang-buang waktu, sang guru segera menancap gas. Bukan untuk melarikan diri. Toh, seluruh jalan keluar dari tempat parkir itu sudah terkubur tanah dan batu.

Motor skuter itu melaju masuk, kembali ke dalam gedung laboratorium. Di sinilah permasalahan timbul. Motor skuter itu tidak terlalu terurus sehingga deru mesinnya sangat ribut. Melewati koridor demi koridor laboratorium, Bu Mawar malah menarik perhatian mereka.

Ya, mereka.

Manusia-manusia mengerikan, sejenis dengan yang sedang mengejar-ngejar Sunoto. Pada menit kedua sejak menaiki motor skuter itu, Bu Mawar sudah langsung bertemu dengan salah satu dari mereka. Dan menabraknya!

Sosok itu terhempas menghantam tembok beton, lalu lehernya terpelintir ke belakang.

"Astaghfirullah!!" seru Bu Mawar seraya mengerem mendadak. "A-aku baru saja membunu—"

Tapi sosok itu langsung bangun dan berdiri tegak. Kedua tangannya memegang kepala, lantas memutar balik kepala itu ke posisi semula. Lalu sosok itu menyengir sambil terkekeh. Dan Bu Mawar akhirnya bisa melihat wajahnya yang sungguh tidak asing.

"K-Kang Ahran?"

Ahran adalah lelaki yang berperan vital pada babak penyisihan. Calon suami Bu Mawar, tadinya. Dia satu grup bersama Bu Mawar waktu itu. Namun yang tampak kali ini …

"GUAAGGGAAAAAHH!!!"

Bu Mawar tak jadi turun dari motor skuternya. Tangannya sudah bersiap memacu gas. Yang dilihatnya itu sama sekali bukan Ahran yang dia kenal. Amit-amit deh, batin sang guru.

Bukan hanya teknik putar-putar sendi leher tadi yang mencengangkan, sosok Ahran satu ini bahkan sudah tak berbatok kepala utuh lagi. Jidatnya sudah terpotong sebagian. Otaknya pun tak lengkap lagi. Jadi wajar kalau dia hanya bisa berkata "gugugaga".

Dan bukan hanya Ahran seorang. Dari berbagai arah, muncul makhluk-makhluk sejenis. Mereka mengambil wujud para peserta turnamen yang telah gugur. Akan tetapi, wujud itu jauh dari sempurna. Mereka jadi lebih mirip—

"Zombieeee!!!" jerit Bu Mawar.

Ahran sempat mencoba mencaplok Bu Mawar. Untung saja guru itu masih sempat merintangkan lengan kanannya yang besi. Itulah yang akhirnya digigit si zombie. Beruntung lagi, gigi zombie itu ternyata rapuh sehingga tak mampu menggores lengan besi Bu Mawar.

Lalu sang guru menghentakkan lengannya, setengah panik separuh jijik. Ahran terdorong jatuh dengan gigi-gigi tercerabut dari mulutnya.

Selanjutnya Bu Mawar segera memacu motor skuternya secepat-cepatnya. Tabrak sana tabrak sini dia tak peduli. Yang penting segera loloskan diri dari kerumunan zombie ini. Bahkan Bu Mawar sampai lupa pada tujuan awalnya, yakni mencari Sunoto. Sekarang sang guru terlalu panik. Terutama ketika sejumlah zombie berusaha menggigit ataupun mencakarnya.

Pada satu tarikan gas, motor skuter itu menaiki runtuhan tembok lantas melaju di udara, seperti terbang. Beberapa detik kendaraan itu melayang di udara melewati kerumunan zombie. Mereka berusaha menggapai motor skuter itu tapi gagal. Kemudian detik berikutnya, Bu Mawar mendaratkan kendaraannya menimpa sepasang zombie berpakaian ala mafia.

Guru itu sempat mengenali salah satunya sebagai Ronnie, dengan muka yang jauh lebih jelek daripada aslinya tentu saja.

Berhasil melewati semua itu, Bu Mawar merasa di atas angin. Para zombie tertinggal jauh di belakang. Bu Mawar bisa melaju tanpa hambatan.

Namun sang guru menoleh ke belakang, sebentar. Mungkin masih sedikit penasaran dengan para zombie itu. Dan didapatinya kejadian aneh. Para zombie itu malah saling bergelut, gigit-menggigit, cakar-mencakar, satu dengan lainnya. Sangat brutal.

"He? Kok malah berantem sendiri mereka?"

Bu Mawar mulai menduga kalau mereka itu bukanlah zombie. Entah apalah mereka. Yang jelas, sekarang dirinya harus terus menyusuri lab aneh ini. Dia kini memacu lagi motor skuternya melintasi koridor yang sepi.

Sepi yang terdengar, tapi tidak sepi yang terlihat.

Berkali-kali motor skuter yang dinaiki Bu Mawar terguncang karena melindas sesuatu. Itu adalah potongan tubuh manusia. Berceceran di mana-mana. Ajaib sang guru tidak sampai muntah melihat itu semua. Padahal anggota SWAT di lantai lain pun belum tentu bisa tahan menyaksikan onggokan mayat dengan organ dalam beruraian.

"A-aku nggak punya waktu untuk mual," lagak Bu Mawar dengan wajah yang sudah pucat pasi.

Motor skuter itu lantas mendobrak barikade kayu yang merintangi suatu pintu.

"Sunoto ada di sana!" begitulah Bu Mawar memamerkan nalurinya sebagai seorang guru. Guru yang baik akan bisa melacak setiap muridnya yang membolos dari kelas.

(* * *)

Saat itu, Sunoto sedang meringkuk di dalam tong sampah yang cukup besar untuk jadi tempatnya bersembunyi. Matanya mengintip melalui lubang kecil sambil mencoba mengatur nafas.

Edan! Siapa Om-Om tadi?!

Sunoto masih terheran. Tahu-tahu saja ada Om-Om besar yang keluar dari suatu ruangan. Lalu dia menghajar semuanya, mereka sampai lari ketakutan. Om-Om itu bicara pakai bahasa Sunda yang agak kasar. Seperti seorang—

"Preman maksud maneh, hah? Naha emangnya mun aing preman weh?"

Sunoto terkaget setengah mati. Tong sampahnya tiba-tiba terangkat dan terlempar. Bocah itu terguling keluar dari persembunyiannya. Dan tampaklah sosok yang ditakuti si bocah.

"Lalarian wae sia maneh teh. Kan aing arek nanya jadi hese!" bentak si Om. "Bocah barokokok!"

Sunoto bergidik dan merinding ngeri. Muka si Om ada luka dibacok, lalu tampak tato tribal di sekujur lengan, serta badan tinggi besar yang diwarnai bercak-bercak darah … semua itu membuat Sunoto gemetar ketakutan. Dia seperti ayam di hadapan tyranosaurus. Om preman itu mencengkeram belakang kerah Sunoto lantas mengangkat tubuh kecil bocah itu dengan mudahnya, seperti memungut anak kucing saja. Kini si bocah tak lagi menapak tanah. Coba berontak dia, tapi sia-sia.

"Om-Om saha?!" seru si preman. "Aing masih muda, keles."

"A-aku kagak pernah bilang Om-Om!" balas Sunoto panik.

"Tong bohong sia! Dari muka situ teh udah jelas banget, dipikir aing teh Om-Om?"

"Ampuuun …."

"Nama aing Alex Alduin, lamun barudak Bandung manggil aing Boss Asep Codet, abah para preman. Hormat siah!"

Mendengar perintah dari Asep, Sunoto mulai berhormat. Preman itu tertawa puas karena sukses menjahili si bocah malang. Kemudian dengan kerendahan hati, preman itu menurunkan Sunoto hingga si bocah kembali menapak tanah.

Setelah itu, barulah Asep menuturkan maksud dia sebenarnya.

"Maneh bukan klon, aya urusan naon maneh di dieu—"

Atau seharusnya begitu.

Tanpa diduga, Asep disambar oleh sesuatu dari arah samping. Ditabrak dengan kecepatan yang begitu tinggi, bahkan preman kekar itu bisa terpental juga. Dia tersungkur di lantai logam, berdentum nyaring. Sementara itu, bunyi rem pakem layaknya tikus mencicit juga melengking terdengar.

Maka tampaklah sosok itu.

"Sunoto! Kamu nggak apa-apah, Nak?"

Wanita berjilbab dan berjaket oranye itu melompat turun dari motor skuternya. Tampak bagian depan kendaraan itu penyok parah dan mengepulkan asap. Itu harga yang mesti dibayar demi bisa menabrak si preman Bandung.

"Bu Mawar?!" seru Sunoto riang. "I-ibu masih hidup?"

Pertanyaan itu berakhir dengan jitakan dari sang guru. Dan nyaring! Bu Mawar lupa kalau tangan kanannya sekarang sudah jadi tangan besi. Sunoto hanya bisa mengeluh pasrah sembari mengaduh-aduh dan mengelus benjol di kepalanya.

"Ibu akan terus hidup dong~," Bu Mawar pura-pura tak bersalah. "Kamu jangan mengharap ibu mati gitu. Dasar murid bandel!"

Sunoto tersenyum lebar, meskipun nyeri masih menguasai kepalanya. Setelah dalam episode lalu dirinya mendapati Bu Mawar yang begitu suram dan mencekam, sekarang Sunoto seperti kembali menyaksikan gurunya dalam versi sediakala. Tentu saja para murid lebih suka Bu Mawar yang seperti itu.

Kemudian sang guru melangkah pasti ke hadapan Asep yang sedang bangkit perlahan-lahan. Dengan mantap, Bu Mawar berseru, "Jangan gangguin muridku, Masbro! Kalau berani sinih sama gurunya!"

Asep tersenyum kecut. "Heh? Aya awewe nantang aing gelut? Saha maneh teh? Maneh pikir aing sieun sama awewe?"

Si preman lantas mengamati penampilan lawan bicaranya. Seorang wanita berjilbab yang tampak biasa, kecuali pada bagian lengan kanannya yang terbuat dari metal berwarna perak. Sekilas tampak sholihah, seperti teteh-teteh yang sering mampir di terminal sambil membagikan brosur panti asuhan. Lalu tadi dia bilang "jangan gangguin muridku", berarti wanita ini adalah guru?

Sedang apa seorang guru di turnamen pertarungan seperti ini? Asep tak habis pikir. Ah, tapi berpikir memang bukan keahliannya. Si preman lebih ahli bergelut. Maka itulah yang segera dilakukannya.

Satu pukulan akan mengatakan segalanya.

Tanpa peringatan apa-apa, Asep sudah melaju ke depan seraya melancarkan satu bogem mentah. Bu Mawar terpaku menyaksikan itu. Sang guru masih belum terbiasa bertarung, refleksnya masih payah. Mestinya pukulan dari Asep si jago berantem seantero Jawa Barat akan langsung mendarat telak di wajah Bu Mawar. Mestinya begitu.

Tetapi—

<ReSin roseARM : aktivasi memori>

Dentang nyaring menggema. Asep merasakan kepalan tinjunya begitu nyeri. Rupanya pukulan yang dia luncurkan hanya menghantam lengan besi sang lawan. Tak menduga hal ini, Asep segera melompat mundur beberapa langkah untuk mencerna apa yang sedang terjadi. Tangannya masih terasa nyut-nyutan.

Di sisi lain, Bu Mawar juga sama-sama terkejutnya.

"Ta-tanganku bergerak sendiri?"



Bab 3 Misi Untuk Robot yang Tiada


Saat ini, Bu Mawar belum tahu makna dari lengan bionik yang diberikan oleh OPI—operator Renggo Sina—kepadanya. OPI tak pernah memberikan hadiah itu secara cuma-cuma. OPI mengatakan kepada sang guru kalau lengan besi itu adalah pengganti peran Renggo sebagai pengirim data. Tidak sepenuhnya salah. Lengan itu memanglah menjalankan fungsi Renggo, tetapi fungsinya bukan sekadar untuk merekam data.

Dan satu lagi yang akan disadari Bu Mawar, lengan bionik miliknya bisa bertempur!

Karena dibentuk dari komponen Renggo Sina, maka lengan besi Bu Mawar mewarisi sedikit kemampuan dari si robot peniru. Lengan ini memiliki memori peniruan. Dan memori itu tersambung dengan sistem saraf di dalam tubuh sang guru, langsung memberikan impuls ke otak. Saat lengan itu aktif, dia bergerak refleks berdasarkan data memori peniruan yang ada. Yaitu memori tentang teknik berkelahi dasar.

Dengan demikian, lengan besi Bu Mawar mampu bergerak spontan menangkis pukulan dari Asep Codet.

Setelah itu—

<ReSin roseARM, penginstalan
Tindakan : pemindahan data [RALAN]
Sasaran : memori utama KUSUMAWARDANI
memproses...
...
...

—segenap pengetahuan tentang teknik dasar perkelahian yang tersimpan di memori lengan besi itu langsung berpindah tempat menuju pusat penyimpanan ingatan sang guru, yakni di dalam otak.

...
...berhasil>

Impuls yang terlalu banyak itu membuat kepala Bu Mawar sakit. Darah pun menetes dari hidung sang guru. Kemudian jatuhlah dia berlutut dengan nafas terengah-engah.

"Bu Mawar!" teriak Sunoto. "B-Bu Guru nggak kenapa-napa?!"

Bocah itu berusaha mendekat tapi Bu Mawar langsung menghentikannya.

"Tenang, Sun," kata sang guru. "Ibu nggak apa-apa kok."

Lalu sesuai perkataannya, Bu Mawar kembali berdiri. Disekanya tetesan darah yang keluar dari lubang hidung. Setelah itu, dengan kepercayaan diri yang baru, Bu Mawar segera memasang kuda-kuda bertempur layaknya seorang petinju (sepertinya itu data yang sama dengan data teknik bertempur Ralan yang disalin oleh Renggo pada babak yang lalu).

Asep merasa tertantang. Lelaki gagah itu mulai menggemeretakkan kedua tangannya demi melemaskan persendian jemari. Lalu dia juga mengokohkan kuda-kuda.

Kedua kaki Bu Mawar mulai bergerak dalam lompatan kecil, bergantian ke kiri dan ke kanan, sementara kedua tangannya terpasang di depan dalam posisi double cover.

Ini kenapa aku tiba-tiba bisa jadi kayak Mike Tyson begini? Bahkan Bu Mawar pun masih terheran dan tak percaya pada pengetahuan yang baru saja didapatnya secara instan. Tapi tak ada waktu untuk ragu. Dia pun bersiap untuk bertempur.

Asep juga demikian.

Mereka berdua hampir saja memulai pertarungan—

—ketika tiba-tiba pelipis kanan preman itu dihantam oleh sesuatu yang tak terlihat. Lelaki besar itu terjungkal begitu keras. Kepala menghantam lantai logam. Darah pun mengucur. Sementara itu, bunyi denting kecil bergema dalam kesunyian.

Ternyata sebutir peluru bergulir di dekat jatuhnya si Asep. Dan peluru itu penyok, ada darah menempel di ujungnya. Rupanya itulah benda yang menerjang samping kepala si preman.

Yang mengejutkan adalah … lelaki kekar itu langsung berdiri bangkit!

Bu Mawar dan Sunoto sampai melongo berjamaah.

"Bukannya Om itu baru aja ditembak kepalanya, Bu? Itu peluru, kan?!" tanya si murid.

"Ya jangan tanya Ibu dong, Sun," jawab Bu Mawar sekenanya. "Kan kamu yang duluan ketemu dia, mestinya kamu lebih tahu soal dia."

"N-nggak tahu," balas Sunoto. "Om itu pasti keturunan dedemit Gunung Salak!"

Sementara itu, yang sedang diperbincangkan oleh duet guru-murid barusan malah menoleh ke arah kanan. Tatapan matanya jadi semakin beringas. Asep menggeram.
                                     
"Main jedor wae ti jarauh, pengecut siah anying!" maki si preman. Kemudian dia berpaling menghadap Bu Mawar. Darah yang mengucur di kepalanya malah membuat preman itu tampak semakin seram. "Eh, awewe jilbab, maneh teh saha tadi ngarana euy? Maneh guru?"

Bu Mawar mengangguk kecil dan menjawab, "Iya. Aku guru anak ini, dari SDN Sukatarung 05. Namaku Kusumawardani, panggil aja Mawar."

"Eh beneran guru, cenah? Nami simkuring Asep, Neng Mawar," tutur preman itu, tiba-tiba bahasanya jadi halus. "Neng Mawar teh sanes lawan abdi di babak ieu. Lawan abdi mah nami na Nurul, err … Neli, atau naon kitu, hilap euy. Bodo pisan." Dari nada bicaranya, tampak Asep tak lagi berniat meneruskan pertarungannya dengan Bu Mawar.

"Lawan?" sahut Bu Mawar. Dia baru ingat kalau dirinya masih terjebak dalam turnamen ini. "He? Aku baru tahu. Jadi si-siapa lawanku?"

"Teuing atuh," jawab Asep. "Nu jelas, si blekok tukang nembak tadi nu jadi lawan abdi."

Kemudian tanpa pamit, Asep pun melenggang pergi ke arah penembak jitu itu berada menurutnya. Dia berlari begitu cepat, setiap langkah kakinya menjejak begitu kuat bagaikan derap langkah kuda perang.

Satu peluru lagi melesat ke arahnya. Namun kali ini Asep langsung meninju peluru itu hingga terpantul ke langit-langit.

Di kejauhan, sosok penembak misterius itu berdecak kesal. "Anjrit! Manusia macam apa itu yang bisa menahan peluru kaliber .50?!" Lalu dia membereskan peralatannya dengan cepat sebelum lokasinya didatangi si preman edan.

Keduanya adalah peserta yang ditakdirkan saling bertempur di babak ini, di laboratorium ini. Dan sistem akan memaksa hanya satu di antara keduanya yang nantinya bertahan hidup.

Bu Mawar dan Sunoto masih terpaku tak percaya. Ah, tapi yang penting, lelaki aneh itu sudah pergi. Sekarang apa rencana selanjutnya?

"Kita mesti cari jalan keluar nih, Sun," ujar Bu Mawar.

Sunoto mengangguk, "Setuju banget, Bu. Tapi ke mana?"

Lengan bionik Bu Mawar tiba-tiba bergetar kecil. Barulah sang guru menyadari kalau sedari tadi ada tulisan yang muncul di layar kecil pada pergelangan tangan besinya itu.

<Pemindaian lokasi : ...selesai
Menampilkan peta
Laboratorium Hayati, Lantai 1,
Balai Riset dan Uji Coba,
Area Sentral>

Kemudian layar itu memproyeksikan citra hologram di udara. Terpampanglah denah laboratorium dengan lika-likunya yang memang seperti labirin.

"Hei, lihat deh, Sun. Ini ada tanda X di sini. Bukan harta karun kan, yak?" tanya Bu Mawar sambil menunjuk satu ruangan pada denah.

"Kayaknya sih enggak, Bu," balas Sunoto. "Malah, ini bisa aja jebakan buat kita." Bocah itu kemudian menelan ludah.

Ketika keduanya masih bertanya-tanya, muncul tulisan selanjutnya pada layar kecil.

<RENGGO SINA, misi R4,
Objektif : mengumpulkan data [Project A.L.M.A]>

Bu Mawar mengelus dagu. Rupanya ini adalah misi yang seharusnya dijalankan oleh Renggo Sina andai robot itu yang melaju ke babak ini?

"Cuman ini petunjuk kita sekarang kayaknya, Sun," tutur Bu Mawar. "Gimana? Mau ikut Ibu? Kalau kamu takut tapinya, kamu tunggu di sini sa—"

"Aku ikut!" sela Sunoto tegas.

Tersenyumlah sang guru. Dia mengelus-elus kepala muridnya, memberikan penghargaan kepada keberanian yang dilantangkan si bocah lelaki. Setelah itu, keduanya beranjak pergi. Bu Mawar menaiki motor skuternya kembali. Agak penyok di bagian depan, tetapi masih bunyi dan bisa berjalan. Sunoto membonceng saja di belakang.

Mereka pun bergegas menuju lokasi.

Bu Mawar tak akan pernah menduga bahwa di ruangan yang sedang mereka tuju itu, dia akan bertemu kembali dengan orang itu.

Orang yang menjadi pemicu dari segala situasi rumit di semesta ini.



Bab 4 Pak Tua Pengadministrasi Data


Saat itu, Oga sedang mengamuk.

Dia menebaskan katananya secara membabi-buta. Kali ini empat tubuh yang tercecer dan terpotong-potong akibat serangannya itu. Oga melihat ke depan. Masih ada puluhan lainnya. Dan Oga melihat lagi lebih jauh, tampaklah seseorang yang bertindak seperti pemimpin dari gerombolan yang menyerangnya. Dan seseorang itu benar-benar membuat si samurai kesal.

"Hei, kalau kau memang samurai seperti diriku, hadapi aku secara jantan!" seru Oga.

Sosok yang ditantang itu hanya terkekeh. "Seperti dirimu? Jangan bercanda Oga-san. Aku bukan kamu, aku lebih hebat. Kehehehe. Samurai, kau bilang? Kenapa aku harus merendahkan diri dengan menjadi samurai?"

"A-apa kau bilang?!" Oga tersulut, satu lagi tebasannya membelah dua tubuh sekaligus.

"Kenapa aku harus jadi samurai kalau aku bisa menjadi shogun? Atau bahkan kaisar? Kehehehe! Dan seorang kaisar tidak perlu mengotori tangannya sendiri. Cukuplah klon-klon hina ini yang jadi lawanmu, Oga-san~"

Sosok itu mengayunkan tangannya ke depan. Maka serentak pasukannya menyerbu sang samurai.

Oga semakin muak dan tak sabar lagi. Dia mengangkat katananya tinggi-tinggi, kemudian petir kemerahan menyambar entah dari mana, menyelubungi bilah pedang pemuda itu—

"CUKUP SUDAH!"

—untuk kemudian dilancarkannya satu serangan mematikan!

Satu sabetan menciptakan menggelegar membinasakan seluruh pasukan klon itu. Mereka terbakar dan lumat sampai ke tulang-tulangnya. Hingga akhirnya hanya tersisa onggokan daging gosong, berserakan dan berceceran. Tak lagi bisa dikenali wujudnya.

Tepuk tangan ringan terdengar.

Sosok tadi menyeringai kecil seolah meremehkan jurus mematikan yang baru saja diperagakan oleh Oga. "Lumayan juga, Oga-san."

Oga lantas mengacungkan pedangnya ke depan. "Diam kau, dasar Oga palsu! Selanjutnya kau yang akan kupanggang!"

"Kehehehe, aku bukan Oga palsu. Aku adalah Kuroga," jawab sosok itu. "Aku bukan sekadar klon dirimu, Oga-san. Dan tentu saja … dia juga."

Ketika Kuroga menunjuk ke arah Oga, maka merindinglah si samurai. Akhirnya Oga menyadari kalau yang dia hadapi bukan hanya satu klon. Ketika dirinya menoleh, satu ayunan pedang sudah menyambutnya.

Oga tak bisa mengelak dengan sempurna.

Dia sudah merasakan punggungnya menjadi hangat akibat darahnya yang memuncrat. Oga jatuh tengkurap. Tetesan darah mengalir dari ujung katana yang dipegang sosok lain itu.

"Panggil aku Shiroga," dia memperkenalkan diri. "Jalan sebagai samurai sudah lama kutinggalkan. Sekarang aku sedang menempuh jalan pertapaan. Namun dosaku harus kulenyapkan terlebih dulu. Dosaku itu adalah engkau, wahai Nobuhisa Oga, sumber kehidupanku."

"Kehehehe! Lihat dia!" ujar Kuroga. "Klon lain dari dirimu itu bahkan lebih ngawur daripada aku."

Menggeramlah Oga sejadi-jadinya. "Shimatta!! Siapa sebenarnya kalian? Mengapa kalian mengambil wujudku?!"

Seolah menambah penderitaan Oga, muncul sosok ketiga dari balik kegelapan.

"Kau kebanyakan bicara, hai Tuan Samurai," terdengar sapaan lembut namun tajam dari sosok itu. "Gimana kalau kau mati saja?"

Oga melihat wujud sosok tersebut. Seorang wanita berkerudung. Tubuhnya diselimuti aura kegelapan yang membuat bahkan Anjing Gila dari Sekigahara merasa begitu tertekan. Keringat dingin pun mengucur deras. Satu melawan tiga? Ini seperti jalan singkat menuju alam baka.

Bagaimanapun, Oga malah tersenyum kecil. Situasi seperti ini membuatnya senang. Bertarung melawan keputusasaan, itu sudah jadi hiburan tersendiri baginya. Sang samurai lantas bangkit dengan cepat. Dia kembali memasang kuda-kuda berpedang seraya berseru.

"HAHAHAHA!! Majulah kalian semua!!"

Lalu petir merah kembali menggelegar.

(* * *)

"Pak Nurma??"

Bu Mawar terheran menyaksikan sosok pria tua yang dilihatnya di Kastel Despera ternyata sekarang tengah berada di laboratorium ini.

"Hah? Kau, rupanya," balas Hewanurma sekenanya.

Pria tua itu masih tampak seperti sediakala. Jas laboratoriumnya begitu lusuh. Ubannya terlihat semakin putih, sedangkan rambut panjang dan jenggotnya semakin kusut. Jelas sekali pria tua ini butuh seseorang untuk mengurus dirinya—mungkin istri? Tapi sepertinya saat ini Hewanurma tidak mempedulikan itu. Dia sedang asik mengubek-ubek ruangan itu, membongkar segala dokumen yang tersimpan pada sejumlah rak besar.

"Bu Mawar kenal kakek itu?" tanya Sunoto yang berdiri menempel di belakang sang guru.

"Nggak bisa dibilang kenal juga sih. Tapi Pak Nurma ini adalah administrator Alforea, seingat Ibu dulu." Bu Mawar menarik nafas dalam-dalam. "Dan Ibu … perlu bicara dengan beliau ini."

Hewanurma meletakkan tangannya pada tumpukan dokumen. Dokumen itu meluruh menjadi kepingan piksel kemudian lenyap begitu saja. Pria itu hendak menaruh tangannya pada tumpukan dokumen lain, namun Bu Mawar menegurnya.

"Permisi, Pak Nurma. Ada yang ingin kami tanyakan. Bapak ada waktu?"

Pak tua itu menoleh dan menjawab ketus, "Tanya apa? Bukannya kau mestinya bertarung melawan Peserta No. 028, Nobuhisa Oga? Pergi sana! Aku sedang sibuk."

Yang tersulut malah Sunoto, "Hoi, Kakek bulukan! Guruku bertanya padamu tuh, jawab yang bener!" Bocah lelaki itu pun mendapat hadiah jitakan dari sang guru, ditambah dengan tatapan mata yang seolah berkata "Jaga sikapmu!". Sunoto pun pundung sendiri.

Hewanurma menghela nafas. Namun ketika dia melihat lengan bionik Bu Mawar, mata pak tua itu sedikit membesar. "Heh, pantas kalian bisa sampai ke ruangan ini. Si OPI masih terus saja merongrongku, sepertinya. Sekarang dia mau apa? Mau data penelitian Project A.L.M.A yang kulakukan di sini, ya?"

Kini Bu Mawar yang terheran sendiri, "Pak Nurma kenal OPI? Dan Project A.L.M.A itu adalah?"

"OPI itu peneliti sepertiku. Dan Project A.L.M.A ini akan segera rampung, satu percobaan lagi." Hewanurma merentangkan kedua tangannya, maka segala dokumen yang ada di ruangan itu pun melayang secara ajaib. "Tapi karena situasi yang tidak lagi kondusif, dengan penyusup yang berdatangan satu persatu ke Sol Shefra, maka terpaksa aku harus melakukan ini." Hewanurma menjentikkan jari, maka semua dokumen tadi memecah menjadi jutaan keping piksel, hancur dan lenyap dalam sekejap.

Kini ruangan dokumen itu terasa begitu lengang, hanya menyisakan rak-rak besar yang kosong.

"Hoi, a-apa yang Kakek lakukan itu?!" kembali Sunoto yang menyahut. "Kakek yang bikin semua monster di lab ini, yak? Ayo ngaku!"

Pak tua itu menyeringai, "Bukan hanya di sini, Bocah. Seluruh Sol Shefra adalah laboratoriumku! Pertarungan kalian, turnamen menyedihkan ini, lalu klon-klon A.L.M.A di tempat kita berada sekarang, semuanya adalah simulasi untuk mendapatkan data mutakhir yang kuinginkan. Kalian semua adalah objek penelitianku!"

Bu Mawar melotot mendengar itu. Entah mengapa, walaupun dia tak sepenuhnya mengerti tentang apa yang disampaikan Hewanurma, sang guru merasa sangat tidak suka dengan penuturan pak tua tersebut.

Pelan-pelan aura kegelapan Bu Mawar menyeruak seiring dengan kemarahannya. Sunoto spontan melangkah mundur dari sang guru. Bocah itu takut kalau gurunya kembali seperti saat babak yang lalu.

"Kotak Laplace itu," sambung Hewanurma, "aku tak akan memberikannya pada siapapun. Kalau kalian sanggup, cari dan rebutlah itu dariku. Hewahahhaha!!"

Dengan satu langkah cepat, Bu Mawar segera melayangkan tinju besinya ke arah Hewanurma.



Bab 5 Perang Klon


Pukulan straight besi menghantam tepat di muka si peneliti tua. Hewanurma terpelanting satu putaran di udara, lalu terjungkal menerjang rak kayu. Rak itu hancur, darah menyembur dari mulut pak tua itu, hidungnya pun penyok.

Tapi dia segera bangkit. Dan sungguh aneh. Darah yang tadinya menetes malah mengalir balik ke dalam mulut. Hidung yang bengkok pun bergerak memperbaiki dirinya sendiri. Lantas Hewanurma kembali tertawa.

"Hewahhahaha! Kau tidak bisa membunuh orang yang sudah mati sepertiku, Bu Guru," ledeknya.

"Sudah mati?" Langkah Bu Mawar terhenti. "Apa maksud Anda, Pak Nurma?!"

"Maksudku, sekarang aku sudah sama seperti kalian semua. Aku adalah DATA! Dan aku mengatur dataku sendiri. Aku bisa mati dan hidup sesuai kehendakku sendiri. Bukankah itu luar biasa?"

"Kakek ini otaknya udah kagak waras," komentar Sunoto kecil.

"Tentu saja, Bocah! Kau pikir orang waras bisa melakukan semua penelitian gila ini?" jawab si tua.

Kini Sunoto benar-benar tak bisa membalas.

"Turnamen Battle of Realms ini menyajikan padaku begitu banyak data," lanjut si jenggot tua seraya mengalihkan tatapannya ke Bu Mawar. "Bahkan ketika seseorang menyusupkan banyak anak kecil dari duniamu, Bu Guru, itu malah jadi data pelengkap yang bagus. Sayang sekali mereka mati secepat itu."

"Kembalikan!" seru sang guru. "KEMBALIKAN kehidupan semua muridku yang terdampar di dunia bodohmu ini!!" Aura kegelapannya semakin pekat memancar, seolah bersiap untuk meledak kapanpun.

Hewanurma mengangkat bahu, "Kau hidupkan saja mereka dengan usahamu sendiri, Bu Guru. Itu pun kalau kau cukup pintar untuk menemukan dan memanfaatkan Kotak Laplace itu."

Bu Mawar melancarkan lagi tinju besinya ke muka jelek Hewanurma. Namun kali ini, pukulan itu menembus tubuh pak tua itu begitu saja. Tubuh Hewanurma telah berubah menjadi citra holografis.

"Aku pamit dulu, Bu Guru. Aku akan kembali mati," ujar citra holografis Hewanurma, suaranya pun telah berubah menjadi statis. "Project A.L.M.A sudah sampai pada tahap terakhir, tahap yang paling seru. Makanya aku sengaja membawa kalian, para peserta turnamen yang tersisa, untuk menjadi komponen pelengkap data. Siapakah yang akan bertahan, kalian atau para klon?"

Citra holografis itu semakin memudar.

"Oh iya, sampaikan salamku kepada OPI. Bilang kalau dia dan Project CopyCat miliknya tak akan mampu menyaingi emulator sejati milikku."

"Jangan kabur!" bentak Bu Mawar.

"Selamat menikmati Fase Final dari Project A.L.M.A. Semoga kau bisa bertahan hidup, Bu Guru~"

Tubuh holografis Hewanurma pun diselimuti oleh cahaya menyilaukan, sekejap saja. Setelah itu, sosoknya sudah tak terlihat lagi di manapun.

Bu Mawar kesal setengah mati. Dia memukul lantai logam dengan tangan besinya yang sudah diselimuti kegelapan. Lantai itu remuk ke segala arah, ruangan itu bergetar hebat. Sunoto semakin ngeri dengan perubahan gurunya.

Saat itulah muncul sosok yang tidak pernah mereka duga.

"Engkau tak akan bisa menjadi seorang guru jikalau hatimu kalah oleh kegelapan, wahai diriku."

Wanita berjilbab itu tahu-tahu sudah berdiri di samping Sunoto. Paras ayunya tampak begitu teduh. Betapa terkejutnya begitu si bocah melihat wajah wanita itu. Dia adalah klon dari—

"Bu Mawar??"

"Aku sekadar tiruan. Panggil saja aku Kusuma, wahai Sunoto murid manisku," jawab klon Bu Mawar itu. "Perang para klon sudah dimulai. Kamu akan lebih aman bersamaku daripada bersama diriku yang asli."

Dari kejauhan, terdengarlah raungan yang bersahut-sahutan. Itu teriakan penuh amarah. Teramat riuh.

Saat Bu Mawar dan Sunoto masih mencerna apa yang sedang terjadi, Kusuma sudah bertindak. Dengan gerak cepat dia merenggut Sunoto. Lalu bocah itu digotong dan dibawanya lari. Sedetik kemudian, mereka sudah keluar dari ruang dokumen ini.

"He? T-tunggu! Jangan bawa kabur muridku!"

Bu Mawar yang asli langsung mengejar.

Segera setelah keluar ruangan, dia menghidupkan motor skuter untuk menyusul Kusuma yang sudah terlebih dulu berlari kencang menyusuri koridor lab. Kendaraan pun melaju, dikebut sekencang-kencangnya. Tinggal beberapa meter lagi mencapai Kusuma. Namun—

"HENTIKAN ITU!" bentak Kusuma. "Dengan kondisi engkau yang sekarang, bukankah engkau bisa melukai muridmu sendiri?"

Kekuatan perkataan Kusuma setara dengan yang asli. Hardikan itu menghujam hingga ke relung hati Bu Mawar, membuat dirinya terdiam. Motor skuter yang dikendarainya oleng, lalu terjatuh.

"Bu Mawar!" Sunoto berteriak dengan wajah cemas, tapi bocah itu hanya bisa pasrah membiarkan dirinya diculik.

Motor skuter itu semakin ringsek. Darah bercampur dengan debu tebal. Bu Mawar terkapar. Badannya terasa kram. Bukan karena baru saja mengalami kecelakaan ringan, tapi karena pengaruh dari perkataan Kusuma yang membuat sekujur tubuh sang guru menjadi lumpuh. Ketika seorang guru mengatakan "Hentikan!", maka semua akan berhenti. Itulah kekuatan kemuliaan guru. Bu Mawar tak menyangka bahwa dia akan terkena tekniknya sendiri.

Untungnya, teknik itu hanya berefek sebentar saja. Semenit kemudian, Bu Mawar bisa kembali menggerakkan tubuhnya.

Namun sosok Kusuma sudah tak terlihat lagi.

Malahan, dari arah depan, tampak segerombolan zombie yang bergerak mendekat ke arahnya. Ah, bukan zombie. Bu Mawar sadar sekarang. Itu adalah para klon. Seperti Kusuma, mereka adalah tiruan dari yang lain.

"Perang klon, kata Pak Nurma, ya?"

Bu Mawar menyaksikan kalau gerombolan klon kali ini membawa segala macam benda yang bisa mereka jadikan senjata. Mulai dari pipa besi, kursi, potongan kayu, kabel, atau apapun. Lalu di belakang mereka semua ada sosok klon yang bertindak seperti pemimpin. Sosok itu sangat mirip dengan Asep Codet yang tadi ditemuinya, dengan perbedaan bekas luka yang menyilang ke arah lain (bisa menangkap detail itu, penglihatan seorang guru tentu saja sangat tajam!).

Klon Asep Codet menyeru, lalu pasukannya pun menyerbu.

Paniklah Bu Mawar.

Dia segera mendirikan kembali motor skuternya, bersiap pergi ke arah berlawanan. Namun sial sekali. Ternyata di arah itu pun sudah ada pasukan klon yang lain. Kali ini dipimpin oleh sosok gadis seksi berambut biru panjang. Entahlah siapa dia, sepertinya Bu Mawar belum pernah bertemu.

Yang jelas ini sangat gawat!

Pasukan klon yang dipimpin si gadis rambut biru juga menerjang maju.

Tak ada cara lain. Bu Mawar harus membuka jalannya sendiri. Dikepalkannya tangan besi seraya hatinya memanggil. "Kekuatan kegelapan, atau apalah itu namamu. Aku beneran nggak suka padamu, tapi tolong aku sekali lagi. Pinjami sedikit kekuatan agar aku bisa menolong muridku!"

Maka segenap aura kegelapan memancar kuat menyelimuti lengan bionik sang guru. Lalu Bu Mawar menghantamkan itu ke tembok. Seketika, tembok itu jebol! Terciptalah lubang menganga sebesar manusia.

"S-saatnya kabur."

Motor skuter itu pun melaju melintasi celah baru, ke koridor seberang. Bu Mawar berhasil melarikan diri, tepat sebelum dua pasukan klon di sana berjibaku.

Sekarang melesatlah motor skuter sang guru. Masih banyak pertanyaan yang harus dia cari jawabannya. Diputuskannya untuk kembali mengejar Kusuma. Dalam hatinya, Bu Mawar sedikit protes.

Apaan itu, kenapa klonku lebih cakep dan lebih manis dariku? Dan itu-nya kok juga bisa lebih besar gitu, ya Robb!



Baru sekian menit melaju, motor skuter Bu Mawar akhirnya mati. Bahan bakarnya habis. Terpaksalah motor skuter itu ditinggalkan saja, tergeletak di sana. Sang guru kini berada di suatu ruangan yang luas. Dan panas. Keringat langsung membasahi jidat wanita berjilbab itu, berpadu dengan noda darah yang mulai mengering.

Dilihatnya di tengah ruangan, terdapat suatu mesin generator besar yang terhubung dalam rangkaian kabel dan pipa-pipa yang rumit. Lubang-lubang di permukaan generator itu mengepulkan asap dalam jeda tertentu. Asap itulah yang memenuhi ruangan dengan hawa panas.

"Haduh, puanas sumpek banget inih, ya ampun …."

Bu Mawar langsung melepaskan jaket oranyenya yang sudah compang-camping tak karuan. Kini lengan bioniknya terpampang jelas. Karena terbuat dari metal, panas yang merambat di permukaan lengan bionik malah itu membuat Bu Mawar semakin tersiksa. Langsung saja guru itu jatuh terduduk, lemas, tak bertenaga.

Seolah menambah nasib sial, dari salah satu pintu muncul sejumlah klon tak bertuan. Tak ada yang memerintah mereka, selain insting untuk bertempur. Mereka langsung menerkam Bu Mawar.

Guru yang sudah kelelahan itu tak sanggup untuk bangkit dan melawan. Namun mulutnya masih bisa berseru.

"Ah, tolonglah! Kenapa kalian tidak istirahat juga? Daripada gangguin Bu Guru."

Pesona sang guru belum sirna. Ternyata para klon mengikuti perintah itu. Mereka terdiam untuk sesaat. Bu Mawar tersenyum kecil seraya menepuk dahinya dengan telapak besi. Dia kesakitan sendiri.

Klon-klon itu terus diam selama beberapa menit, sampai akhirnya dua klon yang intelegensinya agak lumayan pun berbicara.

"Ka-mi tak pu-nya … al-fa."
"A-pa yang … mes-ti ka-mi … la-ku-kan? Bu Gu-ru ma-u … ja-di al-fa ka-mi?"

Kini Bu Mawar yang terdiam.

(* * *)

Project A.L.M.A.

Entah apa kepanjangan dari singkatan A.L.M.A itu, mungkin hanya Hewanurma yang tahu. Yang jelas, semua ini terkait dengan klon. Berapa lama laboratorium ini berdiri, mungkin sudah lebih dari satu dekade silam. Dengan kemampuan administratifnya, Hewanurma mengumpulkan segala macam data dari setiap penjuru Sol Shefra. Karena ini adalah semesta data, maka proses pengumpulan data itu jauh lebih mudah dan jauh lebih cepat. Yang jadi masalah adalah bagaimana memanipulasi data itu.

Untungnya, Hewanurma sudah berhasil menciptakan suatu emulator berdasarkan kode Nurmatik yang dirancangnya. Tapi belum sempurna. Laboratorium inilah yang dia jadikan sarana untuk menyempurnakan itu.

Peneliti tua ini mengemulasi data menjadi suatu kehidupan digital. Dan di semesta ini, segala yang digital akan terasa nyata. Terciptalah para klon. Sayangnya, tak semua klon itu terbentuk dengan baik. Data yang digunakan untuk menyusun mereka sangat berpengaruh.

Data yang diambil dari para peserta yang gugur lebih awal, tidak mampu terkumpul secara lengkap. Hasilnya, klon mereka agak bodoh. Tubuhnya gampang rusak pula. Jadi lebih mirip zombie.

Hanya data para peserta yang bertahan hingga ronde ini yang terkumpul lengkap. Klon mereka bahkan tercipta dengan sangat baik, entah itu fisik maupun emosi dan kepribadiannya. Bahkan kemampuan istimewa para peserta juga bisa diemulasi. Mereka menjadi klon-klon Alfa.

Dari kondisi ini, yaitu adanya kelas-kelas klon, Hewanurma mendapatkan ide selanjutnya. Mengapa dia tidak melakukan simulasi kecil di sini?

Maka ilmuwan gila ini memberikan instruksi terakhir untuk para klon Alfa.

> Hanya boleh ada satu
klon Alfa,
klon pemimpin

> Izin akses keluar
akan kuberikan jika
kalian bisa menghabisi
seluruh klon Alfa yang lain
di lantai ini

> Berperanglah,
dan rebut satu posisi itu!

- Hewanurma -

Maka perang klon pun pecah. Sejumlah klon alfa segera membentuk pasukan mereka sendiri. Mereka menyerukan perang kepada yang lain.

> PS:
untuk memeriahkan suasana,
kuberikan kalian kesempatan
untuk bertemu
diri asal kalian...

> PSS:
Mana yang lebih baik?
Kalian?
Atau diri asli kalian?

Lalu babak keempat pun dimulai. Para peserta terjebak di antara pertempuran para klon.

(* * *)

Satu demi satu klon bermunculan. Dalam waktu singkat, mereka sudah memenuhi ruang generator. Bu Mawar merasa semakin sumpek dan gerah. Klon-klon itu hanya berdiri diam mengelilinginya, sambil beberapa di antara mereka terus berkata "Jadilah alfa kami. Beri kami tujuan hidup!".

Bu Mawar menghela nafas panjang. Sepertinya dia tak bisa beristirahat, walau hanya sejenak. Guru itu akhirnya bangkit juga.

"Oke, aku akan jadi guru kalian! Atau alfa kalian, atau apalah! Yang penting kalian semua bakal nurut, kan?"

Klon-klon itu mengangguk.

"Bagus," puji Bu Mawar.

Salah satu klon berkata, "Bu gu-ru ma-u ke ma-na? A-kan ka-mi tun-juk-kan ja … lan."

"Err … sebenarnya aku sedang mencari klonku, si Kusuma. Dia menculik muridku," Bu Mawar menggaruk-garuk hidungnya. "Kalian tahu dia di mana?"

Sekarang klon-klon itu menggeleng.

"Ku-su-ma pu-nya … mar-kas ra-ha-sia, ka-mi ti-dak ta-hu. Ta-pi War-da-ni … di-a ber-sa-ma pa-ra O-ga."

"Wardani? Ogah?" Bu Mawar mengerutkan dahi, tapi dia langsung sadar. "Oh, Nobuhisa Ogah maksudmu? Aku ingat Pak Nurma bilang dia itu lawanku di ronde ini."

Menangguklah klon-klon itu.

Sedangkan Bu Mawar, dia merenung sejenak.

Wardani? Hmm … jangan bilang itu klonku juga! Beneran deh, Kusuma, lalu Wardani. Kalau emang nggak bisa ketemu si Kusuma, mungkin aku bisa tanya ke Wardani. Ah … semoga Sunoto baik-baik saja.

Tunggulah Bu Guru, Nak!

"Oke," sang guru akhirnya memutuskan. "Bawa aku ke tempat mereka!"

"SI-AP!" jawab klon-klon itu serentak.

Maka berangkatlah Bu Mawar. Kini dengan puluhan klon sebagai pasukannya.



Bab 6 Medan Pertempuran


Sunoto tiba di sebuah aula yang terdapat banyak meja panjang berderet rapih dan tersusun bertingkat seperti tribun stadion di Amatsu.

"Ini adalah ruang konferensi, dulunya," ujar Kusuma. Dia pun menutup rapat pintu masuk satu-satunya ruangan ini dengan melintangkan balok. Setelah itu, Kusuma menepuk tangan, tiga kali, sebelum berseru, "Hayo, anak-anak. Bu Guru sudah datang~"

Maka kagetlah bocah lelaki itu sewaktu dia menyaksikan satu demi satu sosok mungil keluar dari tempat persembunyian mereka. Dari bawah meja, dari balik pilar, dari belakang podium, mereka pun muncul.

"Bu Guru! Ibu kembali! Kami khawatir sekali!"

Berlarian mereka mendatangi Kusuma, lalu bu guru itu dihadiahi pelukan hangat oleh anak-anak itu. Sebagai balasan, Kusuma mengelus kepala mereka satu demi satu, hingga semuanya tersenyum lebar.

Sunoto takjub menyaksikan semua itu.

Anak-anak yang dilihatnya bukanlah anak-anak yang sempurna, secara fisik. Kulit mereka pucat, kepala mereka nyaris botak dengan menyisakan hanya sekian helai rambut. Borok dan nanah menghiasi sekujur badan mereka yang tak terlindungi oleh pakaian. Dan bau badan mereka … tak perlu dijelaskan lagi.

Namun …

Namun Kusuma tak mempedulikan segala kekurangan itu. Dia tak merasa jijik kepada anak-anak yang cacat itu.

"Bu Mawar …," mata Sunoto berbinar. Dia benar-benar melihat sosok Bu Mawar dalam diri Kusuma, si klon.

Lalu Kusuma balas menatapnya. Dia berkata, "Anak-anak ini adalah klon gagal. Tubuh mereka lemah, tadinya mereka bahkan sulit berbicara. Mereka tersisihkan. Tapi mereka bukan anak jahat. Kalau diajari berbicara, diajari sopan-santun, diberikan kehangatan, maka mereka pun bisa menjadi anak-anak yang sama indahnya seperti anak manusia normal."

Sunoto terdiam. Sekarang dia mengerti. Ruang konferensi ini adalah tempat perlindungan untuk anak-anak ini. Semua dilakukan oleh Kusuma. Bahkan dia mendidik anak-anak itu hingga kini tampak begitu manusiawi.

Kusuma tersenyum sekali lagi, "Tak pernah ada murid yang buruk. Yang ada hanyalah—"

"—guru yang tak lagi peduli," sahut Sunoto.

Ini benar-benar tak dia sangka. Mengapa sosok klon di hadapannya ini bisa begitu mirip dengan Bu Mawar yang asli. Seolah Kusuma mewarisi segala sifat baik Bu Mawar. Bahkan dia sampai tahu kuot legendaris yang jadi trademark sang guru.

Sedangkan Bu Mawar yang asli, saat ini dia …

"Maafkan aku, Bu Kusuma," ujar Sunoto sendu. "Ibu adalah guru yang baik. Aku percaya itu. Tapi aku … adalah muridnya Bu Mawar. Beliau yang didik aku sejak lama, walau aku masih aja bandel kayak begini."

"Sunoto?"

"Tapi Bu Mawar lagi susah. Dia jadi kelam. Se-semua teman-temanku, murid-murid Bu Mawar yang lain, udah mati kebunuh. Cuman tinggal aku," ekspresi Sunoto berubah geram. "Dan aku ingin menolongnya! Maafkan aku!"

Setelah menyampaikan perasaannya, Sunoto lari secepat yang dia bisa. Ditendangnya balok yang merintangi pintu masuk hingga terlepas, lalu dia melesat keluar ruangan tanpa tercegah. Bahkan Kusuma pun tak sempat berteriak untuk menghentikan laju Sunoto—atau tepatnya, dia tak bisa berteriak membentak di depan anak-anak ini.

Kusuma yang masih dipeluk oleh anak-anak tak bisa segera mengejar. Dia menggeser dengan lembut anak-anak yang mengelilinginya hingga dirinya bisa lewat.

"Bu Kusuma mau mengejar anak itu?" tanya salah satu anak.

"Iya," jawab Kusuma. "Maafkan Ibu, kalian harus Ibu tinggal lagi."

Anak-anak itu tertunduk lesu. Tapi mereka menyingkir ke samping dengan sukarela, membukakan jalan kepada guru mereka.

"Bu Kusuma hati-hatilah," ujar salah satu anak.
"Iya, di luar kan bahaya, Bu!" timpal anak lainnya.

Tersenyumlah Kusuma dengan senyuman tulus, "Tenang. Bu guru kalian ini kuat, lho. Percayakan saja pada Ibu."

Maka bergegaslah Kusuma.

Wajah-wajah cemas mengantarkan kepergiannya. Anak-anak itu hanya bisa berdoa agar guru mereka dapat kembali dengan selamat.

(* * *)

Nobuhisa Oga bersandar di tembok beton, terduduk. Darah menggenang di lantai, berasal dari tubuhnya penuh luka. Tenaganya sudah hampir habis. Dia memaki kondisi yang tidak adil ini, di mana dia harus bertempur melawan dua klon dirinya yang juga dibantu oleh satu klon wanita berjilbab.

Hilang sudah lagak perkasanya. Bahkan katananya sudah tak lagi tergenggam di tangan. Pedang itu kini tergeletak sekian meter, jauh dari jangkauannya.

Kini klon Oga yang bernama Shiroga berdiri di hadapan Oga. Dia bersiap untuk melancarkan tebasan penghabisan. Tak lupa dibacakannya suatu syair.

"Wahai dosaku (yaitu Oga), kini engkau terbaring tak berdaya. Maka izinkan aku memberikan akhir yang indah kepadamu. Demi jalanku sebagai pertapa. Yang suci. Dari segala dosa."

Sementara itu klon Oga lainnya alias Kuroga sedang duduk santai di puing pilar, mengamati saja dari jauh. Klon wanita berjilbab duduk di pangkuannya, menggelayut manja.

"Gimana, Wardani?" kata Kuroga. "Mau jadi permaisuriku? Aku akan jadi kaisar segala semesta, lho. Gahahaha!"

"Aku tak suka dimadu, tapinya," jawab klon yang bernama Wardani. "Bukankah seorang kaisar biasanya punya segudang selir?"

"Ah, biar kututup mulutmu."

Kuroga menarik dagu Wardani, untuk kemudian dikecupnya bibir wanita itu dengan buas. Wardani balas mencium dengan memainkan lidah. Dia ikut larut dalam buaian asmara. Yang bisa mengganggu mereka percumbuan mereka hanyalah—

"ASTAGHFIRULLAH! APA YANG KALIAN LAKUKAN ITUH?! DAN PAKAI WUJUDKU SEGALA, NGGAK SOPAN BANGET!! HENTIKAN SEKARANG JUGA!!"

—omelan dari Bu Mawar yang asli.

Tampaklah sosok wanita jilbab bertangan besi itu di sana.

Bentakan sepenuh hati yang dia teriakkan itu menggema di koridor, begitu keras, langsung mengguncang telak ke dalam benak dan sanubari Kuroga, maupun Wardani. Bahkan syair Shiroga pun terhenti. Mereka semua lumpuh untuk sesaat.

"Pasukan Mawar! Serbu!"

Kemudian dengan satu seruan itu, klon-klon yang menyertai Bu Mawar pun menerjang maju ke arah Kuroga dan Wardani.


Di sisi lain, Oga seperti mendapatkan angin surga. Lawan yang hendak menebasnya malah berdiri kaku seperti patung batu. Tak mau melewatkan kesempatan itu, Oga bangkit dan merebut katana Shiroga, si klon aneh.

"Kalau mau puas bertapa, di Tengoku (surga) saja sana!"

Maka menggelindinglah kepala Shiroga, terputus dari lehernya. Badan klon itu pun ambruk ke depan. Oga meludah ke samping. Memancung sosok yang begitu mirip dengannya, itu membuat si samurai begitu muak. Dan masih ada satu lagi. Tapi—

"Biar aku tarik nafas dulu, tiga menit."

Oga duduk pada onggokan mayat klonnya. Dia mengumpulkan kembali tenaganya.


Sementara itu, Kuroga dan Wardani sedang kelabakan diserbu oleh pasukan klon yang diperintah oleh Bu Mawar. Mereka dihajar layaknya maling ayam yang dihakimi massa. Namun sungguh disayangkan, pengaruh bentakan Bu Mawar akhirnya sirna. Mereka berdua mampu bergerak lagi.

Dan keduanya cukup murka.

"Menyingkirlah kalian!"

Untuk pertama kalinya dalam cerita ini, Kuroga menghunus pedangnya. Satu sabetan saja, maka sepuluh klon yang mengerubunginya sudah terpotong masing-masing jadi dua bagian. Lalu Kuroga melompat mundur, menjauhi kerumunan klon.

Sedangkan Wardani, aura kegelapannya kini bergelora. Para klon yang tadinya menghajarnya, kini semua tertunduk tanpa daya. Semua takluk oleh tekanan aura kegelapan Wardani. Ketika klon-klon itu lumpuh, mudah bagi Kuroga melancarkan tebasan kedua.

Hanya dalam sekejap, pasukan klon Bu yang dipimpin Mawar sudah terbantai sepertiganya.

"Chikuso!" maki Kuroga sambil menyarungkan kembali pedangnya. "Seharusnya orang yang menjadi kaisar sepertiku tidak perlu mengotori sendiri."

"Salahmu sendiri pasukanmu sudah habis terbantai," cibir Wardani. "Sedangkan pasukanku, masih utuh." Wardani kemudian mengangkat tangan, memberi aba-aba. "Muncul kalian semua, wahai murid-muridku!!"

Dari remang langit-langit, puluhan pasang mata menyala. Mereka yang tadinya bertengger di pipa-pipa, bersembunyi dari cahaya, kini turun demi memenuhi panggilan guru mereka. Sosok-sosok kecil nan mengerikan itu tanpa takut menyerbu pasukan klon yang lebih besar daripada mereka. Bahkan, sosok-sosok kecil itu jauh lebih unggul. Mereka buas, gesit, tak bernurani, hanya patuh pada guru kegelapan mereka, yaitu Wardani.

"Mundur! Mundur!" perintah Bu Mawar, menyadari kalau pasukannya hampir kalah.

Klon-klon itu pun berlarian panik, gagal mengikuti kemauan Bu Mawar. Sulit bagi mereka menyingkirkan klon kecil yang menempel di tubuh mereka sambil menggigit, mencakar, mencolok mata. Salah satu klon kecil bahkan sudah berada di hadapan Bu Mawar. Dia melompat, bersiap menusukkan kuku tajamnya.

Tangan kanan Bu Mawar sebenarnya sudah terkepal, siap meninju klon kecil itu. Tetapi dia ragu. Ukuran tubuh klon itu mengingatkan dirinya pada murid-muridnya. Bu Mawar tak mampu melepaskan pukulan. Akhirnya dia menahan tusukan cakar klon mungil tadi dengan tangan kiri—yang masih terbuat dari daging.

"Argh!"

Cakar tajam menembus tangan kiri Bu Mawar. Guru itu menjerit menahan nyeri. Tapi semua belum usai. Muncul satu klon mungil lainnya. Kali ini dengan cakar yang siap mencabik leher sang guru.

Apakah ini akhir dari riwayat Bu Mawar?

Tentu saja tidak.

Karena klon mungil itu tiba-tiba dihajar ayunan pipa besi oleh sosok lain yang sama mungilnya. Tapi dia bukan klon.

"Bu Mawar nggak apa-apa?"

Dia adalah Sunoto.

"Heyaaart!!"

Satu lagi ayunan pipa besi menghantam klon lain yang cakarnya menusuk tangan Bu Mawar. Kini kedua klon mungil itu terkapar ke lantai. Mereka bangkit dan langsung melangkah mundur.

"S-Sunoto?" Bu Mawar terheran. Ternyata murid yang dicarinya malah muncul sendiri. Sungguh plot yang memudahkan dirinya.

"Hehehehe," tawa Sunoto. "Teriakan 'astaghfirullah' Bu Mawar tadi kenceng banget, bikin aku langsung tahu lokasi Ibu di sini."

Sunoto tersenyum. Bocah itu menyaksikannya tadi. Ternyata Bu Mawar yang satu ini pun belum kehilangan kebaikan hatinya. Kemudian Sunoto merasa ini kesempatan bagus untuk menyindir, "Huh, kalau aku aja, Ibu pasti bisa ngejitak kagak pakai ragu."

Bu Mawar tak membalas. Pandangannya sudah kembali terfokus ke depan. Sindiran Sunoto gagal. Maka bocah lelaki itu juga ikut melihat ke arah yang sama. Di sana, ada sosok Bu Mawar ketiga.

"Ya ampun, ada berapa banyak Bu Mawar sih? Padahal satu aja juga udah ngeri!"

Kemudian satu lagi pemandangan yang membuat Sunoto ngeri. Seperti langit dan bumi, perbedaan antara Kusuma dan Wardani begitu kentara. Mereka sama-sama memiliki murid, namun murid-murid Kusuma terdidik hingga mencapai taraf begitu manusiawi. Sedangkan murid-murid Wardani …

"Maafkan Bu Guru," Bu Mawar menepuk pundak Sunoto. "Mestinya Ibu nggak ragu tadi. Bukan dengan tinju. Tapi dengan—," sang guru menarik nafas dalam-dalam, lalu sekali lagi suaranya menggema, "—SAMPAI KAPAN KALIAN MAU NAKAL BEGITU?!"

Ya, dengan bentakan.

Satu bentakan dari membuat klon-klon nakal itu ketakutan. Mereka berhenti menyerang klon-klon pimpinan Bu Mawar. Akan tetapi, guru kegelapan mereka juga bertindak.

Wardani berseru, "JANGAN DENGERIN DIA, BLO'ON! KALIAN MURID-MURIDKU!! SERANG LAGI!"

Klon-klon mungil itu tersentak. Mereka kembali bersiap untuk bertempur.

"PLISLAH!!" Bu Mawar tak mau kalah. "KALIAN PILIH GURU YANG BAIK KAYAK IBU, ATAU GURU JAHAT KAYAK DIA?!"

Mereka bingung.

"OH, DASAR LACUR JANDA YANG NGAKU-NGAKU JADI GURU!"

"APA?! A-AKU MEMANG JANDA, TAPI SETIDAKNYA AKU BISA MENJAGA KEHORMATANKU! NGGAK KAYAK KAU TADI YANG MAIN CIUM-CIUM DI DEPAN UMUM!"

Mereka semakin bingung.

"PROTES AJA LUH, JANDA!!"

"AHH … BIARIN! SINI MAJU KALAU BERANI! BIAR KUBOGEM PAKAI TINJU BESI!"

"SIAPA TAKUT?!"

Bahkan Sunoto ikut bingung. Baru kali ini dia menyaksikan Bu Mawar adu mulut … dengan Bu Mawar lainnya. Bagaimanapun, ajang bentak-bentakan itu akhirnya selesai. Wardani yang maju duluan sedangkan Bu Mawar juga bersiap dengan pose bertinju.

Pasukan mereka berdua malah terdiam di tengah-tengah, tak tahu mesti berbuat apa.

"Sunoto, menjauhlah dikit," ujar Bu Mawar. "Ibu mau nonjok klon kurang ajar itu."

Sementara itu, Wardani sudah diselimuti aura kegelapan yang pekat. Dia bersiap meninju. Bu Mawar pun demikian.

Tinju dua guru beradu.



Bab 7 Kemelut


Kuroga yang pemalas pun ternyata terusik juga melihat calon permaisurinya bertempur melawan Bu Mawar asli. Klon hitam Oga ini hendak ikut menyerang, tapi—

"Mau ke mana, hah? Kuro-chan?"

—Oga sudah berdiri merintang di hadapannya sambil mengacungkan dua pedang sekaligus.

"Wah iya, aku lupa kalau kau masih hidup, Oga-san," sapa Kuroga. "Jadi kau mau apa di depanku?"

"Jangan banyak omong! Cepat hunus pedangmu seperti seorang samurai sejati!" tantang Oga.

"Huuh," Kuroga menghela nafas, "jika itu maumu."

Secepat kilat, Kuroga mencabut pedang dari sarungnya, kemudian menebas ke arah leher Oga. Namun samurai itu sudah sigap. Dia menyilangkan pedang kanannya untuk menangkis sabetan Kuroga. Pedang beradu pedang, berbunyi nyaring. Setelah itu, gantian Oga mengayunkan pedang kirinya.

Kuroga menunduk untuk menghindar. Tapi Oga telah menanti gerakan itu. Telaklah wajah klon hitam itu diterjang bakiak kayu yang menjadi alas kaki Oga. Tersungkur Kuroga dengan darah mengucur.

"Ayo bangkit, Kuro-chan!"

Bersikap ksatria, Oga menanti lawannya berdiri kembali.

"Heh, baru satu serangan masuk sudah begitu sombong, ya?" Kuroga geram. "Aku lelah, Oga-san. Akan kuakhiri ini dengan satu jurus saja."

Dan yang tidak disangka-sangka Oga pun terjadi. Tubuh lawannya tiba-tiba berkecamuk oleh aliran listrik hitam. Kedua kaki Kuroga menjejak kuat, satu katana miliknya digenggam secara vertikal di sisi kepala.

"Masaka!" Oga tercengang. "Ini tidak mungkin!"

Klon dirinya ternyata sudah menguasai jurus pamungkas yang baru dipelajari Oga pada babak sebelumnya.

"Kusokurae! Matilah kau, Oga!"

Lorong pun menggelegar oleh sambaran petir hitam!

(* * *)

Saat itu, Bu Mawar sedang berkelahi sengit melawan klon dirinya yang kelam, yakni Wardani. Satu tamparan tangan besi telak menghantam pipi kiri Wardani. Namun klon itu membalas dengan mencubit kedua ujung dada Bu Mawar dengan cubitan yang teramat pedih. Bu Mawar menitikkan air mata kesal.

"Jangan mainan puting, dong!!"

Bu Mawar mendorong Wardani hingga terjatuh. Namun guru hitam itu segera melompat bangkit.

Dari sini, pertempuran berjalan dengan lebih sadis.

Selangkangan Bu Mawar ditendang oleh Wardani begitu kuat, seolah-olah klon itu berniat menghancurkan kesempatan Bu Mawar untuk melahirkan anak. Bu Mawar jatuh tengkurap menahan nyeri. Namun Wardani tak memberikan ampun. Dia menginjak-injak belakang kepala Bu Mawar dengan penuh emosi.

Sunoto yang menyaksikan itu berniat menolong, tapi pelototan tajam dari Wardani membuyarkan segala keberanian bocah itu.

Selanjutnya, Wardani mengangkat sebongkah batu besar—puing tembok—dengan kedua tangannya. Dia lantas menghantamkan batu besar itu, berniat meremukkan kepala lawannya.

"Bu Mawar, awas!!" hanya itu yang bisa diteriakkan Sunoto.

Tapi itu pun sudah cukup untuk menyadarkan sang guru. Bu Mawar refleks berguling ke samping. Bongkahan batu itu hanya meremukkan lantai logam. Kemudian tangan besi Bu Mawar menarik satu kaki Wardani dengan kuat, gantian klon itu yang terjungkal jatuh.

Mereka berdua bangkit berdiri secara bersamaan.

"Brengsek kau, janda!" cerca Wardani.

"Jaga mulutmu!" sahut Bu Mawar.

Aura kegelapan Wardani menyeruak semakin pekat dan mencekam. Namun bukan hanya klon itu, Bu Mawar juga memancarkan hawa kelam serupa. Sang guru sudah begitu marah, hingga dia mulai terjerumus kembali menjadi Mawar Hitam—sesuatu yang Sunoto khawatirkan.

"Oh tidak. Bu Mawar …."

Namun Sunoto tak bisa berbuat apa-apa. Dari samping, klon-klon mungil murid Wardani sudah menyerbunya. Sunoto mengayunkan pipa besinya satu-dua kali. Namun jumlah lawannya terlalu banyak. Pada ayunan ketiga, pipa besi itu malah terlepas dari gengaman tangannya.

Yang bisa dilakukan bocah lelaki itu selanjutnya hanyalah lari.

Dan pasukan klon mungil Wardani terus mengejar Sunoto.

Kembali pada guru mereka, Bu Mawar dan Wardani sudah saling pandang. Mereka sama-sama berpose dengan dua kepalan teracung layaknya petinju. Pelan-pelan keduanya mendekat. Dan tibalah momen baku hantam itu!

Serangan pertama, keduanya saling meninju wajah masing-masing. Mereka terdorong mundur selangkah. Namun mereka berdua langsung melancarkan serangan kedua.

Kali ini, Wardani yang lebih cepat. Pukulan upper kanan dari Bu Mawar hanya menyapa angin. Dibalas dengan tinju keras Wardani ke perut Bu Mawar. Badan sang guru tertekuk, darah menetes dari mulutnya. Namun lengan besinya mulai bergetar seperti sedang mengumpulkan kekuatan.

Wardani meneruskan dengan kombinasi satu-dua ke wajah Bu Mawar. Dua-duanya masuk telak. Kini badan Bu Mawar condong ke belakang, hampir terjatuh. Dan lengan besinya masih bergetar, semakin kuat.

Merasa sudah di atas angin, Wardani menyiapkan tinju penghabisan.

Satu pukulan hook sekuat tenaga dilancarkannya! Namun itulah yang ditunggu oleh Bu Mawar. Tinju dengan ayunan lebar itu bisa dihindarinya sepersekian detik sebelum mengenai pelipis. Dan serangan balik dari Bu Mawar akan menyudahi segalanya.

<ReSin roseARM,
teknik lv.1,
power>

Lengan bionik Bu Mawar melaju dengan kecepatan luar biasa, bagaikan roket, melipatgandakan tenaga pukulannya. Lalu gemuruh pukulan itu seperti guntur.

Badan Wardani terpental begitu jauh. Meluncur, dan terus meluncur ke belakang.

(* * *)

Kembali pada pertarungan Oga melawan Kuroga.

Oga lengah saat lawannya ternyata mampu melancarkan teknik pamungkas yang persis seperti dirinya. Harusnya Oga mati tersambar sabetan petir hitam.

Namun yang gosong bukanlah tubuh samurai itu.

"Argh! ARGH! INI TIDAK MUNGKIN!!"

Kuroga menjerit keras. Disaksikannya tubuh seorang wanita telah hangus oleh jurusnya. Dan itu adalah Wardani, klon yang seharusnya menemani dirinya sebagai permaisuri. Pedang yang dipegang Kuroga terlepas dari genggamannya. Jasad tak bernyawa Wardani dipeluknya erat-erat.

Kemudian tusukan pedang kembar mengakhiri perlawanan Kuroga.

Sekali lagi Oga memanfaatkan momen untuk membereskan lawan. Dia menikam Kuroga sekaligus dengan wanita yang dipeluk si klon. Dua pedangnya menembus tubuh mereka berdua dalam satu tusukan. Namun Oga tahu kalau tubuh si klon lebih kuat daripada manusia biasa. Maka kedua pedangnya itu diseretnya ke samping, memotong dalam arah yang berlawanan.

Tubuh Kuroga dan Wardani terbelah dua secara bersamaan. Darah merah kehitaman membanjir seketika. Sebagian muncrat mewarnai wajah Oga. Kini yang tersisa di hadapan Oga adalah potongan mayat yang menyedihkan.

"Hahahahaha!!" Oga tertawa gila. "Menyedihkan apa? Bukannya yang menyedihkan itu adalah diriku sendiri?"

Mental Oga tiba-tiba hancur. Dua kali dia diselamatkan oleh nasib baik. Apa gunanya dia mati-matian melatih kemampuan berpedangnya jika kemenangannya harus bergantung kepada takdir? Dan kini, untuk pertama kalinya dia memotong tubuh seorang wanita.

"HAHAHAHAHHAHA!! Kalau sudah begini, kenapa tidak sekalian saja?"

Oga menatap sosok di ujung koridor.

Wanita berjilbab itu.

Dia yang dua kali mengganggu pertempurannya.

Diganggu.

Dan diselamatkan.

Oleh seorang wanita?

Hilang sudah harga dirinya sebagai seorang samurai.

"HAHAHAHAHAHA!!"

Oga hanya bisa tertawa.

Namun setidaknya Kami-sama masih cukup adil. Bukankah wanita itu lawan yang mesti dia bunuh di babak ini?

Oga berjalan sambil menyeretkan ujung kedua pedangnya di lantai, menciptakan bunyi gesek yang mengerikan. Namun yang lebih mengerikan adalah seringai iblis di wajahnya. Dia kini benar-benar menjelma menjadi Anjing Gila dari Sekigahara!



Bab 8 Duel yang Tak Seharusnya Terjadi


Sunoto terengah-engah, tapi juga lega. Klon-klon mungil yang tadinya mengeroyoknya tiba-tiba berhenti dan terdiam. Mereka tertunduk. Dan bocah itu barulah menyadari alasannya.

"Kalian bukan anak-anak yang buruk," kata sosok itu. "Kalian hanya salah memilih guru."

Bangkitlah Sunoto setelah menyadari suara itu. "B-Bu Kusuma?!"

Kusuma balas menyapa, "Hai, Sunoto. Syukurlah engkau selamat, Nak." Kemudian bocah itu mendapatkan pelukan hangat yang biasa didapatnya dari Bu Mawar. Sunoto tersipu. Dada Kusuma agak lebih besar daripada gurunya yang asli.

Kusuma menoleh kepada murid-murid Wardani. "Kalian pergilah ke ruang konferensi. Teman-teman kalian sudah di sana. Mereka pasti mau menerima kalian. Kalian bisa belajar dari awal." Klon putih Bu Mawar itu menutup perkataannya dengan satu senyuman tulus.

Bahkan, klon-klon yang sudah tercuci otaknya oleh Wardani pun bisa tersentuh hatinya oleh perkataan Kusuma. Mereka pun pergi ke tempat yang dimaksud oleh Kusuma.

"Kalian hati-hatilah!" ujar Kusuma. "Masih terjadi pertempuran di sejumlah tempat di laboratorium ini."

Mereka mengangguk. Mengikuti saran guru baru mereka, klon-klon mungil itu memanjat ke langit-langit dan berjalan menyusuri pipa-pipa besar di sana. Aman dari bahaya.

Kusuma kini berdiri setelah puas memeluk Sunoto.

"Nah, sekarang di mana gurumu, Nak?" ujar Kusuma. "Aku akan membantu kalian berdua untuk keluar dari laboratorium terkutuk ini."

(* * *)

Bu Mawar yang kelelahan hanya bisa duduk bersimpuh. Aura kegelapan miliknya telah sirna bersamaan dengan letih tubuhnya. Klon-klon yang dibawanya dari ruang generator hanya bersisa belasan saja sekarang. Mereka pun datang mendekat ke arah Bu Mawar.

"Haha," sang guru tertawa kecil. "Kalian kurang latihan, ih. Sepanjang pertempuran tadi lebih banyak kalahnya. Bahkan sama klon anak-anak aja tak berkutik."

"Ma-af-kan ka-mi, Bu Gu-ru …."

Bu Mawar tersenyum. "Nggak apa-apa. Yang penting kalian semua selamat—"

Harapan tinggal harapan.

Hanya dua detik waktu yang dia butuhkan untuk menghabisi semua klon itu. Mereka semua ambruk menjadi potongan-potongan tubuh yang mengenaskan. Satu potongan kepala menggelinding ke arah Bu Mawar yang masih bersimpuh. Kepala itu masih menunjukkan senyuman.

"Ti-tidak! TIDAAK! Me-mengapa?"

Sosok bengis itu berdiri dengan darah yang melumuri hampir sekujur tubuhnya, juga wajahnya. Yang tampak jelas hanyalah seringai iblis di mukanya.

"Anda? Pak Ogah?!" Bu Mawar melotot.

Oga membalas, "Ayo bangun, wanita jalang! Lawan aku!"

Bu Mawar semakin mendelik. Tidak hanya lelaki itu sudah membunuh seluruh pasukan klonnya, kini dia juga mengatai dirinya yang sholihah ini sebagai wanita jalang? Aura kegelapan Bu Mawar yang tadinya redup kini kembali pekat.

"Dia sedang tidak dalam kondisi untuk bertarung. Izinkan diriku yang menjadi lawan Anda, wahai Tuan Samurai."

Sosok itu muncul menginterupsi.

Sosok Bu Mawar yang lain, yaitu klonnya yang bernama Kusuma.

"Ha?! Satu lagi wanita jalang, jangan bercanda!" Oga semakin kesal. "Tidak masalah. Biar kubunuh kalian semua!"

Kusuma memungut sepotong pipa besi di lantai—yang tadi dijatuhkan oleh Sunoto. Oga sudah berlari menyabetkan kedua pedangnya. Namun Kusuma juga bersiap. Aura cahaya memancar hangat dari tubuh wanita klon itu.

Pedang kembar Oga tertahan oleh pipa besi Kusuma.

"Ho? Boleh juga kau!"

Namun tenaga Oga masih lebih besar. Dia mendorong kedua pedangnya hingga Kusuma kehilangan keseimbangan. Kemudian satu tendangan ke arah perut membuat Kusuma tersungkur.

"Bu Kusuma!"
"Kusuma!!"

Sunoto dan Bu Mawar berseru bersamaan. Namun pedang kembar Oga sudah terayun untuk menghabisi klon tersebut.

Kusuma tersenyum.

"Apakah Anda rela membiarkan hati Anda ternodai oleh rasa amarah, wahai Tuan Samurai?"

Oga menghentikan ayunan pedangnya, sepuluh sentimeter sebelum memenggal leher lawannya. Perkataan dari Kusuma, walaupun pelan dan lembut, mampu membuat samurai gila itu berhenti sejenak.

"Amarah?" sahut Oga. "Memangnya kenapa kalau hatiku dinodai amarah, dasar wanita jalang!"

Samurai gila itu melanjutkan sabetannya. Namun jeda yang sebentar tadi sudah dimanfaatkan Kusuma untuk berguling ke depan. Oga hanya memotong udara kosong.

Kini posisi Kusuma berada di belakang Oga. Kemudian wanita itu terus melangkah mundur, menjauh dan terus menjauh. Oga merasa dirinya dipermainkan.

"Jangan lari kau, sundal!!"

Oga berlari mengejar Kusuma. Satu dua sabetan dilancarkan samurai itu tetapi masih mampu dielakkan oleh Kusuma yang staminanya masih prima. Sedangkan Oga, luka-luka di tubuhnya sudah cukup parah akibat pertarungannya tadi. Darah terus mengucur, nafasnya semakin berat. Namun tekadnya masih membara.

"Apakah ini yang Anda inginkan, wahai Tuan Samurai?"

"Berisik!"

Dua tebasan horizontal dengan memanfaatkan putaran tubuh masih bisa dihindari oleh Kusuma dengan menundukkan badan.

"Apakah Anda lupa dengan mimpi-mimpi Anda?"

"DIAM!"

Kali ini tebasan menyilang dari Oga hanya mampu membentur tembok koridor. Kusuma terus berlari menjauh.

"Apa yang Anda dapat dari pertarungan ini?"

"AHH! Kenapa kau bicara terus?! Lawanlah aku, dasar wanita rendahan!"

Nafas Oga semakin memburu. Perlahan namun pasti, setiap perkataan dari Kusuma merasuk ke dalam benaknya. Segala pertanyaan itu terus terngiang di kepala, berulang-ulang. Benarkah dia menginginkan pertarungan ini? Sebenarnya apa impiannya sebagai seorang samurai? Apa yang dia harapkan dengan mengikuti turnamen ini? Kenapa dia bisa lupa semua itu?

Saat itu, Sunoto dan Bu Mawar hanya bisa terkesima. Terutama sang guru. Dia seperti diajari kembali bagaimana seorang Kusumawardani harus bertarung, bagaimana seorang guru mesti bertempur. Bukan dengan kekerasan. Melainkan dengan kata-kata yang menyentuh perasaan.

"Bu Kusuma nungguin Om pedang itu kecapekan sendiri," komentar Sunoto, menyadari maksud dari pertarungan ini.

Bagaimanapun, kemurkaan Oga tak terbendung lagi.

"SAMPAI KAPAN KAU MAU MENGHINAKU?!" teriaknya. "Sudah kau campuri pertarunganku dua kali! Sekarang kau meremehkanku dengan tidak membalas seranganku?! Kalian para wanita jalang akan merasakan akibatnya!"

Tiba-tiba, Oga memalingkan muka ke belakang.

"Ya! Akan kucabut topeng busuk kalian itu. Akan kupaksa kalian melawanku!"

Mata Kusuma membesar, "Oh, tidak." Dia menyadari apa yang hendak Oga lakukan. "Kumohon, jangan lakukan itu, Tuan Samurai!"

Oga tak mendengar sama sekali. Dia sudah melesat balik ke arah lain. Samurai gila itu bergerak sangat cepat. Luka parahnya seperti sudah terasa akibat hilangnya akal sehatnya.

Kusuma mengejar.

Bu Mawar yang juga sadar pun mulai bangkit.

Pedang Oga sudah siap menebas, dan dia semakin dekat.

"Mati mau, bocah!!"

Sasarannya adalah Sunoto.

Bocah itu berdiri terpaku oleh rasa ngeri. Dia menutup mata, pasrah akan nasibnya.

Momen itu pun tiba.

"SUNOTO!"
"SUNOTO…!!"

Pedang berayun sekuat tenaga, kedua guru mencoba mencegahnya.

Tak ada kepala yang menggelinding.

Yang terdengar hanyalah bunyi nyaring pedang, beradu dengan lengan besi yang merintang di depan Sunoto. Bu Mawar sudah berdiri menghadang. Kemudian Oga merasa aneh karena hanya satu pedangnya saja yang bisa dia tebaskan ke depan. Ketika dia melirik ke belakang, rupanya Kusuma sudah menahan lengan Oga yang satunya lagi.

Kedua guru itu benar-benar gigih.

Sunoto yang sudah membuka mata lantas terjatuh ke belakang. Wajahnya pucat pasi.

"Bu Mawar? B-Bu Kusuma??"

Oga tersenyum kecut, "Bahkan sekarang, aku tidak bisa membunuh seorang anak kecil. Hahahaha. HAHAHAHAHAHA!!"

Namun satu yang tidak diprediksi oleh kedua guru itu, Oga masih memiliki satu teknik pamungkas. Kusuma mulai merasakan sengatan aneh dari tangan si samurai. Dan benar saja, tubuh Oga sudah memercikkan listrik berwarna kemerahan. Dan dalam sekejap saja, energi listrik itu meluap tak tertahankan.

Kusuma melepaskan bekapannya pada tangan Oga, tapi terlambat.

Ledakan kemerahan itu menghempaskan semuanya. Bu Mawar terseret ke belakang sembari melindungi Sunoto. Lengan besinya berdenyut kuat, kejang, permukaannya gosong akibat tersambar petir kemerahan Oga. Bu Mawar kembali jatuh berlutut menahan nyeri. Akan tetapi, bisa dibilang kalau dirinya jauh lebih beruntung daripada nasib klonnya.

Badan Kusuma hangus separuhnya akibat serangan tadi. Dia masih bisa berdiri dengan satu kaki setelah terdorong mundur cukup jauh. Seluruh tubuhnya lumpuh, tak bisa bergerak lagi. Namun dirinya tetap tersenyum tatkala Oga menyabetkan kedua pedangnya.

"BU KUSUMA! T-TIDAK!!"

Sunoto menyaksikan tragedi itu.

Sosok klon yang begitu baik, yang merupakan perwujudan nilai positif dari guru yang dihormatinya, mengapa ini harus terjadi padanya? Sunoto memalingkan muka, air matanya mengalir deras.

Tebasan horizontal Oga membelah Kusuma menjadi bagian atas dan bawah. Disusul oleh sabetan vertikal yang menambah potongan itu menjadi empat bagian.

Tak ada lagi Kusuma.

Oga tertawa puas. "HAHAHAHA! Satu jalan sudah mati! Selanjutnya—"

"Selanjutnya aku, hah?!"

Bu Mawar berdiri tegak sambil tangan kanannya menggenggam pipa besi yang tadi sempat menjadi senjata klon putihnya. Di sisinya, Sunoto tak kuasa menahan tangisan. Pelan-pelan, Bu Mawar mendorong muridnya menjauh.

Lalu tatapan sang guru kembali pada musuhnya, si samurai gila.

"Kalau berani, ayo maju saja sini!"

Maka Oga pun maju.



Bab 9 Akhir Terhormat


<ReSin roseARM,
memindai...
...
...[Kenjutsu OGA]
proses
15%
...>

Bu Mawar kembali merasakan memori otaknya diserbu oleh pengetahuan baru. Lengan bioniknya kini mengirimkan impuls tentang teknik berpedang. Sedikit demi sedikit, Bu Mawar mengerti bagaimana cara memegang pedang—atau dalam kasusnya, pipa besi—dengan baik.

Darah mengucur dari hidung sang guru, pertanda otak yang dipaksa menerima memori baru dalam jumlah besar.

<memindai...
...
...[Kenjutsu OGA]
proses 20%
...>

Kini Bu Mawar menggenggam pipa besinya dengan dua tangan, dirintangkannya senjata itu mendatar di atas kepala. Lalu dia melebarkan kedua kakinya seperti kuda-kuda seorang samurai. Itu adalah pose serangan balik.

Oga menyabetkan kedua pedangnya secara bertubi-tubi. Bu Mawar hanya mampu menghindar dengan melangkah serong kiri-kanan ke belakang. Kuda-kudanya masih belum berubah.

<memindai...
...
...[Kenjutsu OGA]
proses 30%
...>

Selanjutnya Oga melompat dan mencoba menebaskan kedua pedangnya tegak lurus menghunjam bumi. Tapi Bu Mawar tak mau mengambil resiko untuk menahan serangan itu. Guru itu kini bergeser ke samping beberapa langkah. Sabetan Oga hanya menggores lantai logam.

<memindai...
...
...[Kenjutsu OGA]
proses 50%
...>

Amarah kembali merasuki hati Oga. Dia mengayunkan satu pedangnya secara serampangan. Itu yang ditunggu oleh Bu Mawar. Mudah dia tangkis sabetan itu dengan pipa besi. Lalu genggaman Oga yang goyah dimanfaatkan Bu Mawar. Pipa besi menghantam punggung tangan Oga, membuat satu pedangnya terjatuh.

Oga terkejut. Refleks dia mundur dua langkah.

"Wanita j-jalang! Kau …!"

<memindai...
...
...[Kenjutsu OGA]
proses 70%
...>

Kini dengan satu pedang tersisa Oga melancarkan serangan beruntun. Dan betapa terkejutnya dia begitu mendapati bahwa lawannya mulai aktif menangkis semua serangan beruntun itu. Sejak kapan wanita itu menguasai teknik berpedang?

<memindai...
...
...[Kenjutsu OGA]
proses 90%
...>

Bu Mawar kini aktif menyerang. Pipa besinya disabetkan dengan teknik yang terukur. Oga kelimpungan sendiri menangkis semua jurus lawannya. Dan yang paling membuatnya kesal adalah—

"Wanita jalang! Kau meniru jurus pedangku?!"

Tersenyumlah Bu Mawar. Dijawabnya ringan, "Bukan aku. Lengan besiku yang menyalin datamu, kayaknya sih …."

Oga sudah hampir kehabisan nafas. Untuk berdiri pun dia harus bersusah payah. Tapi dia tak mau kalah. Dia sudah membuang harga dirinya dengan melawan seorang wanita. Dia harus menang. Terutama ketika kondisi lawannya juga sama parahnya dengan dirinya.

Badan Bu Mawar gemetar. Lututnya telah sampai pada batas. Segala luka yang mendera tubuhnya kini kembali menghadirkan rasa nyeri.

Maka serangan selanjutnya akan menjadi yang terakhir bagi keduanya.

<memindai...
...
...[Kenjutsu OGA]
proses 100%
...>

Tubuh Oga kembali memancar kemerahan, percikan listrik menyambar kuat ke segala arah. Bilah pedangnya kini bersinar terang oleh aliran energi berwarna merah.

Satu jurus terakhir!

Oga menghantamkan katananya ke lantai, mengalirkan gelombang listrik bertegangan tinggi. Lantai logam itu meledak dan hancur. Namun sosok Bu Mawar sudah terlebih dulu melompat mundur. Sayangnya, pijakan kakinya tak kokoh. Guru itu oleng.

"Kau salah langkah!" seru Oga puas. Pertahanan sang lawan sudah terbuka lebar. Dia tinggal mengejar dan—

Pipa besi itu terlontar begitu saja. Luput dari pengamatan si samurai gila. Tahu-tahu kepalanya sudah terbentur kuat. Dalam hati Oga memaki. Kapan wanita jalang itu melempar pipa besinya? Itu tak ada dalam teknik berpedangku! Tubuh Oga sudah tak bisa bertahan lagi.

Penglihatannya gelap seketika.

Samurai perkasa itu akhirnya tumbang.




Oga membuka mata.

Betapa terkejutnya dia begitu mengetahui kalau dirinya masih berada di laboratorium. Terbaring bersimbah darah, tapi belum mati. Lalu dilihatnya sosok Bu Mawar yang terduduk lesu, bersandar pada tembok.

"Cepat juga kau sudah tersadar, Pak Ogah," sapa sang guru.

"N-namaku bukan itu!" bentak Oga, masih punya sedikit sisa tenaga untuk berteriak.

"Pak Ogah, Pak Ogah, Pak Ogah. Wek~" Bu Mawar malah menjulurkan lidah, meledek.

Oga terdiam. Cukup lama sebelum akhirnya kembali bersuara, "Kenapa kau tidak membunuhku?"

"Untuk apa?"

"Kalau lawanmu tidak mati, kau tidak akan mendapatkan password untuk keluar dari tempat ini, wanita lacur!"

"Ya Allah, mulutmu kayaknya beneran perlu dicabein." Bu Mawar bangun dengan menempel pada dinding. "Soal password atau apalah itu, aku akan mencari jalan keluar lain."

Bu Mawar lantas melambaikan tangannya, memanggil muridnya yang matanya sudah sembab karena terlalu banyak menangis. "Ayo, Sunoto. Kita pergi dari sini."

Oga kembali terdiam. Dia memalingkan muka. Dan didapatinya sebuah nisan aneh tak jauh dari posisinya. Tertulis nama Kusuma. "Oh, dia." Dan ternyata bukan hanya itu. Ketika Oga memperhatikan lebih cermat, ternyata tampak pula nisan-nisan lainnya. Pak Ogah Hitam. Pak Ogah Putih. Wardani. Pak Klon 1. Pak Klon 2. Mbak Klon 1. Dan seterusnya. Oga merasa dirinya seperti berada di tengah komplek kuburan.

"Kalau begitu, kami pamit dulu."

Bu Mawar menggandeng lengan Sunoto, lantas berjalan menjauh.

Baru sekian langkah, Sunoto sudah berseru. "Bu Mawar! Om itu ngambil pedangnya lagi! Awas!"

Dan benar saja. Oga sudah bangkit dengan satu pedang terhunus.

"Dia masih mau berantem, Bu! Gi-gimana ini?!" Sunoto panik.

Menggelenglah Bu Mawar, "Bukan."

Oga menatap tajam ke arah guru dan murid itu. "Setidaknya," katanya, "berikan aku hak untuk mati terhormat! Ha..haha..ha!"

"He-hentikan itu!"

Bu Mawar berlari ke arah Oga, mencoba mencegah perbuatan bodoh si samurai. Namun terlambat. Samurai itu akhirnya bisa mendapatkan kembali harga dirinya. Dia mati dengan merobek perut menggunakan pedangnya sendiri. Seppuku.

Tak lagi bernyawa, tubuh si samurai ambruk dalam genangan merah.

Kesal, Bu Mawar menggeram. "Pria zaman sekarang gampang banget putus asa! Haft!"

Dari mayat Nobuhisa Oga, mencuatlah rangkaian huruf dan angka holografis. Itu adalah password untuk keluar dari laboratorium ini. Bu Mawar menepuk jidat dengan lengan besi setelah mengetahui apa bunyi password itu.

"Ayo kita pergi, Sunoto."

"Err … baiklah."

"Setelah membuatkan satu kuburan lagi untuk Pak Ogah yang asli."

"Tidaaak! A-aku capek menggali—"

Sunoto mendapat jitakan tangan besi.



Bab 10 Keluar


Bu Mawar mengikuti peta digital yang diproyeksikan oleh lengan bioniknya. Mereka berjalan menyusuri koridor laboratorium lantai 1 yang seperti labirin. Seringkali keduanya melintasi tempat yang tampak seperti bekas medan perang. Mayat-mayat klon bergelimpangan di sana-sini.

Setengah jam berjalan, sekarang Bu Mawar dan Sunoto sudah sampai di tempat yang mereka tuju. Di hadapan keduanya, ada satu lift aneh yang terus merengek meminta password.

> Harap ketikkan
password
yang benar

Maka Bu Mawar mengetikkan password yang dia dapat tadi.

4QoEh_M@u_k3L03AR_MZ

"Alay kau, Pak Tua Nurma," ledek Bu Mawar.

> Akses keluar diterima!

Pintu lift pun terbuka.

Bu Mawar menggandeng tangan muridnya. Kemudian mereka bersama-sama masuk ke dalam lift yang sempit itu.

Tiba-tiba terdengar bunyi tetot dan lampu lift menyala merah. Layar monitor di dalam lift menampilkan tulisan digital.

> Akses keluar ditolak!
Hanya satu orang yang boleh--

Bu Mawar menendang tembok lift sambil berseru kesal, "Jangan main-main! Aku sudah capek, tahu!!"

Layar monitor menampilkan tulisan lain.

> Ma-maafkan kami
Kami cuma p-program

> Harap tunggu sebentar...

> Akses khusus diberikan!
Peserta no.03, Kusumawardani,
diizinkan keluar
bersama satu rekannya

"Nah gitu dong, dari tadi kek!" omel sang guru.

Sunoto hanya bisa mendelik takjub menyaksikan pemaksaan yang dilakukan gurunya itu. Pintu lift pun menutup. Cahaya terang mulai menyelimuti keduanya. Mereka hendak ditransfer ke tempat lain.

Saat itu, Bu Mawar bertanya sedikit.

"Sunoto."

"Ya, Bu?"

"Kamu percaya kalau yang mati bisa hidup lagi?"

Sunoto tertunduk lesu, "Aku nggak percaya. Ta-tapi, lab aneh ini, klon-klon, dan segalanya. Aku beneran bingung."

Bu Mawar tersenyum, "Ibu juga sama bingungnya, kok."

"Bu Mawar mau mencari itu?" gantian Sunoto yang bertanya.

Mengangguklah sang guru, "Iya."

Kemudian cahaya terang menelan mereka berdua. Cahaya itu pun melesat cepat dan menghilang.

Ronde ini berakhirlah sudah.

Informasi yang diterima Bu Mawar hanya sedikit. Tapi itu sudah cukup untuk memberikannya harapan baru. Apapun yang akan dihadapinya nanti, selama masih ada harapan, dia akan terus berjuang.

Dan Sunoto berjanji akan membantunya.



Prolog Emulator Kehidupan


Beberapa dekade silam, Hewanurma memulai penelitian tentang dunia simulasi.

Dia dibantu oleh peneliti lain—yang kini dikenal sebagai OPI—beserta tim khususnya. Namun penelitian tak berjalan mulus. Sekian lama berlalu, hampir tak ada hasil berarti. Hewanurma pun meninggalkan tim OPI secara sepihak. Dia membawa basis datanya untuk melanjutkan penelitian itu di tempat lain.

Dengan koneksi dari Klan Nurma, dia berhasil menghubungi sejumlah penguasa semesta. Hewanurma meminta bantuan dari keempat penguasa itu demi menyelesaikan penelitiannya, dengan satu janji kalau dirinya akan menyerahkan hasil penelitian itu kepada mereka berempat.

Data dan dana yang diberikan oleh keempat penguasa itu begitu melimpah. Hewanurma mampu menyelesaikan tahap awal penelitiannya dengan jauh lebih cepat daripada perkiraannya semula.

Akses menuju semesta data pun terbuka.

Mereka memberinya nama Sol Shefra.

Semesta berjenis langka ini sangat cocok untuk dijadikan tempat penelitian Hewanurma. Maka tahap selanjutnya pun dimulai. Segala macam simulasi data pun dilakukannya. Namun ternyata, itu semua tidaklah cukup untuk menghasilkan yang dia mau. Untuk mengemulasi kumpulan data menjadi kehidupan nyata, tidaklah cukup hanya mengandalkan simulasi data belaka.

Maka dari itu, Hewanurma mengembangkan program baru. Diberinya nama Gerbang Nurma. Gerbang ini bukan hanya mampu menghubungkan semesta fisik dengan Sol Shefra, namun juga bisa mengubah struktur kehidupan di semesta fisik menjadi struktur kehidupan berbasis data di Sol Shefra saat melewati gerbang tersebut.

Proyek emulator segera berkembang pesat. Terutama setelah dia meminta bantuan sosok misterius bernama Tamon Ruu untuk mengadakan turnamen di Sol Shefra. Mereka menggunakan server Alforea sebagai basis penelitian.

Datanglah begitu banyak petarung ke semesta data ini. Mereka tak menyadari jika struktur kehidupan mereka sudah teruai dan tersusun ulang menjadi kumpulan data untuk diujicobakan. Mereka masih merasa begitu hidup. Lalu dengan diadukan dalam berbagai skenario pertarungan, semakin banyaklah data terkumpul yang bisa digunakan untuk menyempurnakan emulator yang dirancangnya.

Turnamen sudah berlangsung setengah jalan.

Hewanurma lantas menamai emulator miliknya dengan sebutan Kotak Laplace—katanya sih terinspirasi dari film kartun tentang robot-robot angkasa.

Namun berlangsungnya turnamen ternyata diganggu oleh sejumlah penyusup.

Server Alforea hancur.

Hewanurma menghilang.

Keempat penguasa menjadi tidak sabaran. Mereka datang ke Sol Shefra untuk menagih janji si peneliti. Tapi sampai sekarang, tak ada tanda-tanda keberadaan Kotak Laplace itu.

Apakah emulator kehidupan itu benar-benar ada?



 [ROUND 4]
Secercah Harapan—SELESAI

22 comments:

  1. Ooo, jadi begitu toh triknya. Set dari awal kalau krisis di R4 ini adalah salah satu babak turnamen BoR, dan pastikan semua peserta yg terlibat itu tahu persis syaratnya. Dengan begitu peserta bisa saling bunuh lagi tanpa banyak tekanan nurani, toh ini bagian dari turnamen - walaupun panitianya di canon Mawar ini mulai menunjukkan belangnya. OC:Vajra

    ReplyDelete
    Replies
    1. Entahlah. Saya merasa settingan dari panitia terlalu mengawang-awang. Dan saya belum punya kanon kuat juga. Sedangkan mekanisme battle segala macam juga ndak gitu penting lagi buat saya sih. Jadinya ya spontan saja ._.

      Delete
    2. This comment has been removed by the author.

      Delete
  2. Bu Mawar
    Karakterisasi: 3.5/5
    +3 Bu Mawar saya rasa believability-nya kurang sbg guru biasa dari universe yang gak istimewa pula. Bukankah wanita yang baik itu, hatinya lembut. Dan hati yg lembut akan sulit buat nerima sesuatu yang, mengerikan. Sekalipun dia berani? Dan, apa yang sebenernya mau ditampilkan dari seorang Bu Mawar (yang asli)? Dia itu orang yang gimana? Makin jauh, sifatnya makin sulit diterka—buat saya. Beda jauh, lah, dari charsheet maupun prelimnya. Dia juga, mudah banget berubah. Dari yg sangat suram jadi ... masa bodoan + happy-go-lucky (gimana yah menyebutnya? Pokoknya beda, deh)? Ini perubahannya terlalu cepat. Mending sedikit demi sedikit. Setahap demi setahap. Tapi emang lebih baik berubah daripada Bu Mawar yang terus menggalau suram.
    + 0.5 Nah, ada Kusuma. Dia ini Bu Mawar yang saya bayangin sejak dulu—dan saya lebih suka Bu Mawar asli kayak Kusuma.
    Entah saya yang gimana, tapi ... aura kegelapan Bu Mawar harusnya sesuatu yang istimewa. Yang bila muncul, jadi ngasih ‘sesuatu’ ke pembaca. Sayang penggunaannya yang keseringan dan berasa kayak mainan belaka malah bikin jadi biasa saja.
    Terus, Nobu terasa OOC—mungkin saya seorang yg merasa demikian, sih.
    Kok Bu Mawar gak merasa gimana gitu ngeliat orang mati di DEPAN MATA-nya? Iya, Nobu pas lagi ngelakuin seppuku.

    Penulisan: 4.5/5
    + 5 Overall, penulisannya oke. Seperti biasa. Bahasanya enak diikuti, dialognya juga bisa dibayangkan kalau terucap di dunia nyata.
    - 0,5 Sayang beberapa kata yang nggak baku agak menganggu aja buat saya. Terus kata-kata asing yang gak dimiringin.
    Ada typo, ditulisnya malah “menyengkat” dan “kastil”.
    Ini berasa kurang: "Seharusnya orang yang menjadi kaisar sepertiku tidak perlu mengotori sendiri." Mengotori apa, Kuroga?
    Dan kalimat/dialog lain ada yg kurang kata-katanya, seinget saya.
    Ohh, saya gak ngerti bahasa Sunda T_T

    Plot: 3.5/5
    + 3 Di sini lengkap. Kadang ada nuansa serius, humor, drama, breaking 4th wall, dsb. Tapi berhubung saya lebih suka nuansa yang konstan, campur aduk begitu berasa agak aneh aja. Lebih suka kalau serius, ya serius terus sampai akhir. Yah, preferensi pribadi sih.
    Masya Allah, itu Nobu ngetik password kek orang lugu bgt xD
    + 0.5 Wha ... Ahran-kun muncul, tapi dia mayat idup. Tapi rapopo, lah. Seenggaknya saya liat kemunculannya sedikit dan tetiba kangen sama dia (jadi baper deh) :v
    Oiya, itu. Ada narasi yang ngeganjel. Sesuatu yang terasa vulgar. Gapapa sih, gak begitu masalah. Cuman itu Bang Her gak biasanya aja nulis begitu, jadi sedikit shock.
    Endingnya cukup memberi kesan penuh tanda tanya.

    Vote menyusul, ya. Maaf random (lagi) komennya.

    Salam dari Ahran~~

    ReplyDelete
    Replies
    1. Waduh komennya panjang. Ini kayak saya dulu waktu BoR4L ini babak kedua. Ternyata seru juga bisa dikasih komentar kayak begini xD Makasih banyak.

      KARAKTERISASI
      Iya, soal karakterisasi memang saya akui saya banyak salah strategi. Lagi kepengen bikin cerita suram, tapi saya malah pakai karakter asli yang ceria. Dan perubahan sifat Bu Mawar yang naik-turun gitu mungkin juga karena pengaruh mood saya yang lagi berantakan, jadinya nulis seenak udelnya aja.

      Nah iya, soal Kusuma. Saya senang saat pembaca menyadari kalau itulah sosok Bu Mawar seharusnya. Saya udah berhasil menyampaikan yang saya mau, berarti. Tinggal masalah selanjutnya adalah bagaimana membuat Bu Mawar sadar untuk kembali ke karakter asli dia, sebagaimana yang ditunjukkan oleh Kusuma.

      Nobuhisa Oga juga saya buat seenaknya. Karena pas saya baca prelim sampai R3 dia, saya nggak nangkap sesuatu yang enak buat dimainkan.

      Pas dia seppuku. Itu Bu Mawar sudah bangkit dan berjalan membelakangi Oga. Jadinya dia awalnya emang nggak lihat. Tapi memang kurang dramatis saya membuat adegannya. Maafkan ._.

      PENULISAN
      Saya juga rada bingung soal kata asing/tidak baku. Mesti dimiringin atau tidak? Tapi kalau dimiringin, ntar jadi kebanyakan yang miring. Makanya banyak yang saya biarkan saja. Dan nggak sempat proofreading juga akhirnya. Jadinya banyak kesalahan seperti itu. "Mengotori tangan sendiri" maksudnya sih ._.

      Sundanya itu mah si Asep aja yang emang begitu. Dia pengen tampil full Sunda di sini xD

      PLOT
      Lagi-lagi, campur-aduknya plot dan nuansa narasi itu pengaruh dari labilnya jiwa saya saat ini. Dan Ahran ... olalala, ada yang baper xD

      Dan lupakan soal narasi vulgar itu. Saya lagi stress aja kayaknya ._.

      Delete
  3. Hmm...

    Makin lama sisa aura guru dari Bu Mawar makin hilang, hanya sekedar yang disebut dalam narasi atau dialog saja yang menunjukkan kalau Bu Mawar itu guru.

    Tapi meski demikian saya cukup suka dengan perkembangan karakternya sejauh ini.

    Dari segi penulisan ini udah cukup baik, narasinya juga enak diikuti. Yea, walau saya kurang suka dengan ending gratisannya (Oga killed himself).

    Vote nanti setelah saya baca lawannya~

    Zoelkarnaen
    (OC: Caitlin Alsace, deceased, K.I.A.)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Memang itulah tujuan saya di R4 ini. Bikin Bu Mawar teringat kalau dia sudah semakin jauh dari kepribadian gurunya. Saya ingin tunjukkan awalnya dengan ketemuan sama Kusuma—klon yang mewakili sisi baik Bu Mawar. Tapi sejumlah scene kayaknya terpaksa saya skip karena udah mentok deadline ._. Jadi nanti saya taruh ke ronde selanjutnya [R5—Menjadi Seorang Guru?] andai dia lolos.

      Pas bagian ending juga udah jam 2 pagi, saya udah kehabisan ide untuk membuat "mati" yang baik oTL ...

      Nasib deadliner *hiks*

      Delete
    2. My vote goes to Bu Mawar!

      Zoelkarnaen
      (OC: Caitlin Alsace, deceased, K.I.A.)

      Delete
  4. mampir dulu di lapak janda kembang :v

    seperti yang dikatakan Kang Ahran aka Noni dan Mas Zoel, pesona guru Bu Mawar semakin hari semakin pudar. di beberapa ronde sebelumnya, bu mawar selalu dilanda nestapa. tp kali ini kami dikejutkan dengan nuansa shounen ceria dari kang heru. mawar mendadak jago berantem + skill Copy Paste milik mendiang Renggo Sina. dan kebetulan konsep memakai jurus orang juga ke pake di sini selain di entri saya, bedanya Bu Mawar cuma meniru sedangkan Nobuhisa menghisap jurus dan potongan kesadaran lawan dengan LR miliknya. bisa dimaklumi klo beberapa peserta mulai upgrade gila-gilaan seperti Bumi Bergoncang dari Vajra, Fatashuranya Fata dan, Longinus Requiemnya Nobuhisa, bahkan Fapi juga sudah memiliki Frozen Flame dan Mighty gentle pizza :v

    sekian dari Nobuhisa Oga

    ReplyDelete
    Replies
    1. Di R5 Bu Mawar bakal ada kejutan lagi ._.

      Ah, dan upgrade Bu Mawar nggak segila yang lain kok. Dan lengan besi itu hanya 'pinjaman'. Jadi ... well, bisa dikira-kira bakal gimana selanjutnya

      Delete
  5. Wueh, dunia mimpi di-hint di sini :O

    Banyak ya cameo yang ditongolin ketika Blackz mengacau, termasuk layanan Panalove, wkwkwkwk

    Saya kaget waktu baca di bagian "Project A.L.M.A"

    Apaan pula si kabel merasa bersalah gara-gara dibentak, wkwkwkwk

    Adegan si Oga ngetikin password itu epic, FUZAKENNA! Nyahahahaha


    Bu Mawar nemu sekuter itu kayak Deus Ex Machina di sinetron :v


    skip skip skip~

    Bu Mawar iri sama Oppai kembarannya yang lebih gede :v

    Eh, klon di sini lebih dari satu ya?

    Oga punya dua klon, bunda juga... jadi ribet pisan ceritanya~ :O

    Dan salah satu klon bunda bersikap bichy :v
    wkwkwkwkwk!

    btw, perang Mawar vs Mawar bikin saya agak lost, karena dua kubu disebut dengan nama yang sama "Mawar."

    Dan adegan gebuk-gebuk keduanya epic, sampe narik-narik "tities" segala, wkwkwkwk

    battlenya intense banget, sayang itu bu Kusuma harus mati kepotong jadi empat bagian.
    Q_Q

    dan passwordnya, wkwkwkwkwk
    saya kok keinget sama F4rend ya? (bOR 3)
    Alay pisan mz~



    Bu Mawar sekarang makin dark yaaaaaaaaa.....


    Salam : Sanelia Nur Fiani



    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya dong, ada hint dunia mimpi~

      Itu saya iseng karena udah lama juga nggak mainan cameo OC lain selama di BoRV ini. Saya kebanyakan fokus ke OC sendiri

      Project A.L.M.A itu ... awalnya saya udah nemu singkatan yang enak. Tapi saya lupa. Dan karena udah mentok deadline, saya nggak sempet untuk mengingat kembali apa kepanjangan A.L.M.A di sana. Dan soal kabel, itu saya teringat "pendidikan salah" di keluarga. Misal ada anak kecil kejedot meja, lalu dia nangis, eh si ibu malah marahin mejanya "Dasar meja nakal!"

      Motor skuter itu kayaknya nggak sampai level Deus Ex Machina, IMO. Karena DEM itu kan mestinya konflik yang tahu-tahu dibereskan dengan menurunkan "dewa" ke dalam cerita, ujug-ujug udah ending aja, tanpa si tokoh perlu bersusah-payah. Trope yang saya gunakan lebih dekat pada "Blatant Item Placement" seperti misal di RPG itu ada kotak harta yang isinya weapon mutakhir di dalam dungeon. Lebih kayak gitu.

      Iyap. Klonnya untuk Bu Mawar dan Oga saya kasih masing-masing sepaket, hitam-putih. Jadinya ada Kusuma dan Wardani, lalu Shiroga dan Kuroga. Waktu battle Bu Mawar vs klon hitam, mestinya sih nggak akan ketuker karena saya menyebut yang asli sebagai Bu Mawar dan yang klon hitam sebagai Wardani.

      Bye-bye, Kusuma~~ (kan nama kusuma juga identiknya dengan gugur bunga #eh)

      Jadi F4rend dan KII itu alay, ya? :v

      Well, semestinya R5 akan jadi penentuan nasib Bu Mawar selanjutnya. Kalau lolos ke R5, ini akan jadi plot terakhir di karakterisasi Bu Mawar.

      Delete
    2. Kan calon panitia~

      Dulu kan bawa pasukan Beary~ sekarang malah bawa pasukan murid dengan nama authornya, wkwkwk

      Project A.L.M.A itu dari game F.E.A.R 2 : Project Origins, di mana Alma adalah dedemit yang selalu stalking ke MC sepanjang permainan.

      Iya, saya juga berulangkali suka ngajarin ibunya Nely biar gak melakukan itu, soalnya orang tua jaman dulu suka gitu "Aduh, nakal ya pintunya"

      I see, jadi Deus ex Machina mah kalo sampe "Problem Solved" dengan bantuan dewa itu sendiri ya...

      Mungkin karena battlenya fast paced kali ya, saya agak lost di sana.

      Kusuma~ Q_Q

      F4rend mah alay akut, sampe dialognya juga alay.

      Delete
    3. Vote for Bunda!

      Semoga melaju ke Ronde 5~
      :D

      Delete
  6. Siapa bocah berambut kehijauan yang tenggelem bareng peralatan tidur? :va

    Saya pengen punya guru kaya Wardani, istri kaya Kusuma, dan temen baik kaya bu Mawar! #plak. Bahas soal karakter si ibu, ya menurut saya, sikap dia di entri ini lebih enak kalo dijadiin temen. Semacem squad leader, et cetera. Dia spontan, isi pikiran yang ditulis juga kadang lucuable (kaya perbandingan boobs, ga mau disalahin pas jitak murid pake tangan baru) dan enggak sempurnanya dia dalam atasin masalah bikin enak ngikutinnya. Kalo soal dua kloningnya, mereka itu kaya sisi jahat dan sisi baik si ibu? Kusuma bae banget. Dan thanks tho buat adegan Wardani sama Kuroga ‘3‘) Saya tunggu perkembangannya dari karakter bu Mawar ini. Saran saya, bikin bu Mawar semanusiawi mungkin. Guru juga manusia. Titel saya kalo lulus juga S.Pd soalnya hahahaganyambungkanbelumtentujadiguru XD

    Nobuhisa di sini nasibnya langsung full battle setelah adegan salah password, entahlah, mungkin ini saya aja tapi bagus banget kalo ada adegan Nobu bonceng bu Mawar naek skupi.

    Soal plot, kayanya di entri ini emang difokusin ke gimana nanti bu Mawar ke depannya. Soalnya ada dua klon buat tolak ukur. Dan kekuatan baru itu. Tangan besi. Well, saya ketinggalan banyak banget canon bu Mawar. Tapi keseluruhan isi cerita bagus. Naik skuter keliling laboratorium~ *Now playing Naif, Piknik 72* Battlenya ga ada masalah, tapi ada narasi yang bikin macet juga (saya lupa di bagian yang mana). Ada typo juga. Terus “napas” bukan “nafas”. Yaah, kesalahan minor yang kenotis terus sayang kalo ga dikasi tau ke penulis (yagn mana lagi ya :v) Oke, semoga saya bisa ikutin canon bu Mawar sampe selesai ke depannya.

    Salam, Eophi~

    [Vote bu Mawar]

    ReplyDelete
    Replies
    1. Waduh, naik skuter keliling kota sampai Binaria bareng Oga? ._.

      Itu bocah berambut kehijauan yang tenggelem bareng peralatan tidur adalah Vajra #bukan

      Wait, dirimu kepengen punya guru mesum? .-. Wah, ternyata Daka bakal jadi guruw juga? Semangat, ya \(o_o)/

      Saran tentang bikin Bu Mawar lebih manusiawi sedang dalam proses untuk saya lakukan, sejak babak ini. Tapi itu ternyata tantangan yang teramat sulit. Saya beneran harus muter otak buat bikin Bu Mawar tampak manusiawi sesuai kodratnya sebagai guru.

      Saya nggak sempet proofread sama sekali *hiks*, pasti bakal ada segelintir kesalahan.

      Salam juga dari Bu Mawar~ Makasih banyak

      Delete
  7. AYE NGEVOTING BU GURU MAWAR

    ini entah aye lupa ato pegimane,,,tapi kok kayanye tulisan bang zainurme jadi lebi ceria begini ye?? padahal kemaren mah suram banget pokok nye,,, tapi tetep asik sih,,ntah nyang kayak gini ato nyang ronde lalu jugak,,,

    aye suka bagian guru kusume tuh,,,tapi sial banget die nasibnye di sini mah,,,padahal paling baik die,,,terus si guru nyang aselinye malah keliatan ngawur di mari,,,ngawur tapi aye lebi suka daripada keliwat surem kaayk nyang dulu ntuh

    aye pilih ini di bandingin entri Oda disebelah ntuh soalnye di sini lebi kerasa duelnye bu guru ngealawn samurai,,,kalo di sono kayak si oda mainan sndiri,,,bu guru kagak dikasi kesemptana ngeluarin ilmunye gitu

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wah iya. Di entri ini memang saya lagi galau, jadi keluar deh asli saya di narasi. Sehingga muncul banyak humor di sana-sini. Tapi selingan humor itu yang bikin saya tetap semangat ngerjain entri ini, ketimbang saya jadi suram sendiri karena termakan nuansa cerita yang suram.

      Iya, Bu Kusuma bernasib malang :'(

      Si Oga "mainan sendiri" terdengar agak mesum #eh

      Makasih sudah berkunjung xD

      Delete
  8. VOTE BU MAWAR

    OLEH PITTA N. JUNIOR

    ini 11 bab inijumlahnya wkwkwwk
    bab 3 nya ketulis dua kali tuh untuk sub judul wkwkwk

    konfliknya asik, aye ga kepikiran buat banyak klon begini.
    apalagi sikapyasampe terebalah gitu..
    belum lagi penggunaan klon-klon dengan pembagian kelas.

    aye mau liat bu mawar lanjut.
    balik jadi polos-polos imut gitu.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Akhirnya ada yang sadar dengan pengulangan 3 itu .-.

      Klonnya banyak. Tapi agak bikin pusing. Tadinya saya pengen buat porsi Oga lebih banyak dan lebih mantap malah nggak kesampaian.

      Sarannya akan saya sampaikan kepada Bu Mawar. Nanti saya suruh dia akting lebih imut polos lagi~

      Delete
  9. Serius, satu hal yang selalu bikin aku kagum sama Mas Heru adalah cara dia menyampaikan humor di dalam ceritanya. Gak terlihat berusaha terlalu keras. Nggak maksa. It's just there and it works. Smooth as fuck.

    Ini satu-satunya entry dari yang udah kubaca yang menanggapi kemunculan klon bukan dengan sok tegang, siapa-kamu-oh-tuhan, melainkan dengan langsung teriak, "Zombiiiieee!!" SAMBIL NAIK SKUTER.

    Aku nggak tau apa orang lain menyadarinya. Tapi jujur, buatku, bikin humor sesmooth ini hal yang mustahil banget. Punya selera humor yang tinggi bukan berarti kita bisa langsung nulis cerita humor. Ini kelemahan terbesarku keknya.

    Oh, aku suka konsep klon kembar baik-buruk itu. Kusuma yang baik dan Wardani yang, erm, mesum. Konflik yang tercipta dari klon-klon ini juga bagus dan jadi plot point utama cerita.

    Klimaksnya rada repetitif ya, kek ronde yang lalu Bu. M. bangkit pas Sunotot terdesak. Tapi masih bisa diterima sih soalnya eksekusi ceritanya dari situ sampai ke kekalahan Oga masih bisa dinikmati.

    Vote : Bu Mawar
    Alshain Kairos

    ReplyDelete
    Replies
    1. Itu humornya sengaja saya selipkan karena saya sendiri stress, jadinya keluar deh narasi komedinya secara natural. Daripada saya tahan-tahan biar kerasa suram (kayak entri ronde terdahulu) kan nggak baik untuk kesehatan jiwa saya #eh

      Klon yang nggak sempurna emang kayak zombie sih. Setidaknya begitu di mata Bu Mawar :>

      Mungkin Lord Fu bisa baca-baca tropes tentang komedi, misalnya "the rule of funny", untuk mencoba menempuh jalan komedi.

      Iyap, dari awal saya agak bingung mau bikin klon yang kebalikan dari Bu Mawar. Jadinya saya bikin dua versi saja daripada pusing sendiri.

      Nah itu. Tekanan deadline dan rutinitas membuat saya terjebak ke sesuatu yang repetitif, kayaknya. Butuh waktu lebih untuk memikirkan hal lain. Saya catat ini~

      Makasih banyak :D

      Delete