5.10.15

[ROUND 4] KAZUKI TSUKISHIRO – THE MEANING OF EXISTENCE

[ROUND 4] KAZUKI TSUKISHIRO – THE MEANING OF EXISTENCE
- Dee -


-01-
Goodbye – Fall into The Abyss


Kazuki menghela napas memandang sosok di hadapannya. Android itu kini tak lebih dari bongkahan metal raksasa saat Kazuki memutus koneksinya. Sesekali ia menghela napas saat menatap mata Kawasugi yang berwarna hitam.

"Kakek, aku tahu ini tidak lama, tapi terima kasih kau sudah mau membantuku menyelesaikan turnamen ini."

Diam adalah jawaban yang masuk akal. Sesekali Kazuki memeluk lutut android itu sembari mengenang masa lalu yang ia lewati bersama sang kakek. Masih terlena dalam kenangannya, suara yang cukup keras membuat Kazuki sadar bahwa ini bukan masanya untuk bernostalgia.


Si makhluk merah berwajah ikan mengumumkan nama-nama peserta yang akan lolos ke babak berikutnya. Namun, belum selesai ia mengumumkan siapa saja nama peserta yang lolos, sebuah gemuruh disusul dengan hiruk pikuk membahana di arena. Kazuki berbalik dan matanya terbeliak melihat sosok hitam yang tiba-tiba muncul untuk menanyakan keberadaan sebuah kotak.

Sinting.

Kazuki mengedarkan pandangan ke sekitar. Tidak banyak yang bisa dikatakan bernyawa di atas arena. Selain dirinya dan beberapa peserta, tidak ada lagi yang berdiri dan menghadapi si hitam, termasuk Netori yang mereka elu-elukan.

"Aku tidak punya banyak waktu untuk meladeni kalian semua, kalau kalian tidak tahu apa-apa berarti tidak ada gunanya kalian hidup!"

Kazuki menggenggam nodachi-nya dengan kedua tangan sebelum mengayunkannya untuk menyerang si hitam, akan tetapi makhluk itu lebih cepat mengayunkan tangannya untuk membuat bumi terbelah.

Dan menjatuhkan mereka semua.


xxx


"Hihihi…"

Kazuki menapaki dunia hitam sembari waspada untuk hal-hal yang mungkin saja berada di sampingnya dan ia tidak bisa melihatnya.

"Hihihihi…"

Suara itu ada lagi. Sebuah kikik dari wujud masih belum Kazuki lihat. Ia bahkan tidak mengenali warna suara yang sudah dua kali menembus membran timpaninya. Jelas, suara ini berbeda dengan suara ilusi yang selalu menghantuinya. Namun ia bisa merasakan bahwa getaran suara yang barusan ia dengar sama.

Apapun itu, Kazuki berharap tidak menemui pemilik suara. Ia tidak bisa merasakan perasaan lain selain nasib sial, atau sensasi saat perutnya diremas-remas seperti ini. Keringat dinginnya bercucuran, dan bahkan ia menolak untuk bernapas, seolah seseorang—atau sesuatu—mengunci semua gerakannya.

"Hihihi… Mit…su…ke…tta*)."

Kazuki ingin berteriak saat sensasi dingin menjamah punggung dan perlahan menggerayanginya. Rasanya sesuatu yang basah mulai menariknya jauh ke dalam kegelapan yang tak berdasar.

Tungu. Basah?


xxx


Kazuki membuka mata dan melihat kegelapan di sekitarnya. Tunggu, apakah ia masih belum keluar dari dunia yang membuat kuduknya meremang? Setengah panik, ia buru-buru berdiri dan mendapati dirinya baru saja berbaring di genangan air. Tak heran ia merasakan basah di punggungnya. Merutuk, Kazuki membuka jaket dan memerasnya hingga agak nyaman untuk dikenakan, meskipun dingin.

Kazuki mengedarkan pandang sekali lagi. Tempat itu gelap, ya. Namun bukan kegelapan total seperti tempatnya mendengar suara kikik pemuda yang mengerutkan nyali. Tempatnya berada saat ini jelas merupakan sebuah ruangan besar yang seolah luluh lantak setelah diterjang tsunami. Lama ia berdiri pada satu titik agar matanya terbiasa melihat apa yang mungkin ada di sekitarnya.

Sayup-sayup Kazuki mendengar suara gelembung udara yang pecah di dalam air, disertai suara pukulan sesuatu terhadap benda kaca secara berulang-ulang, bahkan suara erangan kemarahan bersamaan dengan gesekan besi pada dinding. Kalau ini film horor, mungkin sudah saatnya Kazuki ketakutan.

"Halo? Apa ada orang disini?"

Tidak ada jawaban selain gema suaranya yang memantul pada dinding dan permukaan air.

Perlahan Kazuki mengikuti asal suara yang kini bertambah dengan bunyi kardiogram yang terdengar lemah.

Apa ini rumah sakit?

Sesekali Kazuki tersandung bongkahan reruntuhan, namun ia masih terus melangkahkan kakinya ke asal suara yang ia yakini berada di ruangan berpendar biru di hadapannya. Berharap ada seseorang yang mengeluarkannya dari kegelapan yang menyesakkan dadanya.

"…Ini kan…?"

Tidak ada seorangpun di ruangan yang dituju oleh Kazuki. Hanya ada tabung-tabung berisi air yang berukuran hampir tiga kali tinggi badannya. Masing-masing di dalam tabung yang berjejer rapi tersebut terdapat sesosok tubuh manusia. Kazuki pernah melihat suasana seperti ini di film-film yang ia tonton waktu kecil.

Apa mereka masih hidup?

Ia mendengar bunyi gelembung udara di ruangan tempatnya sadarkan diri, namun sepertinya ia tidak melihat ada yang hidup di dalam tabung tersebut. Lebih dekat Kazuki mengamati, suaranya tertahan di tenggorokan. Buru-buru ia memundurkan badan hingga menabrak sebuah meja panjang yang ia yakini sebagai ranjang operasi.

"A…a…"

Apa-apaan tempat ini?! Bukankah itu wanita yang dulu menjatuhkan ponselku di gua? Kenapa bisa disini?

"Hu…hu…hu…"

Suara erangan yang berasal dari sudut ruangan membuat Kazuki menoleh dan waspada. "Siap—Vi?"

Sosok yang sedari tadi mengerang berubah menjadi tidak responsif. Sesekali ia memukul-mukul tembok tanpa menghiraukan Kazuki yang perlahan mendekatinya.

Bukankah ia sudah kubunuh di arena? Kenapa masih ada di sini? Tidak, mungkin aku salah. Tapi sosok suster berambut pendek dengan perban melilit di seluruh tubunya benar-benar mirip Vi.

"Hei, jangan abaikan aku!!" Kazuki mendaratkan tangannya dengan kasar di bahu 'Vi' hingga ia berbalik dan mengikik marah.

Mata 'Vi' tidak ada. Ia seperti boneka yang belum selesai pengerjaannya namun sudah dipaksa untuk menjalankan perintah si pembuat. Dengan sigap Kazuki memukul wajah makhluk tersebut dengan ujung gagang nodachi miliknya.

Ia mengerang dan berguling, namun sebelum makhluk itu kembali berdiri dan mengejarnya, Kazuki sudah berlari mundur tak tentu arah hingga menabrak sebuah tabung dan mengakibatkan isinya keluar.

Dingin.

"Hrrrhh…" Sesosok makhluk berwujud pria di usia senja mencoba berdiri dengan kepayahan. Berbeda dengan 'Vi' yang ia lihat, pria tua ini jauh dari kata sempurna. Beberapa susunan otot dan syarafnya masih terlihat, kulitnya belum tumbuh sepenuhnya, dan tentu saja wajahnya belum teratur sebagaimana seharusnya. Kazuki ingat ia pernah melawan pria tua ini di gua, jika ia lihat dari bentuk badannya, namun seharusnya pria itu juga sudah mati kan?

Kazuki tidak ingin berada di tempat ini lebih lama. Tempat ini terlalu menakutkan baginya. Dengan semua kegelapan ini, sosok-sosok orang—yang seharusnya—mati justru hidup kembali, membuat dirinya tidak bisa berpikir jernih. Secepat kilat ia bangkit dan lari menjauhi pria tua tersebut. Sesering ia jatuh, sebanyak itu pula ia bangkit. Tak ada hal lain di kepalanya…

…sampai ia melihat sebuah tabung yang membuatnya menghentikan larinya.

"Mustahil."


xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx




-02-
Another



Kazuki melihat dirinya sendiri di dalam tabung kaca yang berada di hadapannya. Mengenakan pakaian yang sama meski tidak ada pedang miliknya tercangklong di sana. Dari balik bajunya banyak kabel yang mengarah ke mesin kardiogram di samping tabung, yang juga menunjukkan angka sembilan puluh delapan.

Kenapa ada diriku di sini? Apakah aku telah mati?

Apakah benar-benar tidak ada yang selamat saat makhluk hitam itu menyerang?

Kazuki menghela napas dan melihat ke arah kardiogram itu sekali lagi. Makhluk yang di dalam tabung ini hidup, sedangkan dirinya mungkin sudah tidak ada. Kazuki mulai berasumsi bahwa Alforea—atau Amatsu membuat program untuk membangkitkan orang mati. Terbukti dari dua makhluk yang ia temui sebelumnya merupakan orang yang pernah ia bunuh. Meski mereka belum sempurna, tapi mereka sudah 'dibangkitkan'.

Jika benar aku sudah mati, maka aku sudah tidak punya kesempatan apapun untuk menyelamatkan Jepun. Maafkan aku, kakek.

"Boo!!"

Sebuah gebrakan keras dari dalam tabung cukup mengagetkan Kazuki. Sosok yang mirip seperti dirinya membuka mata dan menampakkan seringai yang cukup membuat Kazuki menahan napasnya.

Seringai yang sama seperti yang diberikan oleh wanita yang masih merantainya.

Gelembung di dalam tabung semakin banyak, bersamaan dengan tindakan makhluk tersebut melepas kabel-kabel yang terhubung pada kardiogram di tubuhnya. Seolah air bukan jadi halangan, makhluk itu menghantamkan badan ke arah kaca tabung hingga membuatnya jatuh dan pecah.

Kazuki yang sempat menghindar hanya memperhatikan sosok itu berjalan ke arahnya.

"Akhirnya bertemu juga. Aku sudah menunggumu, Kazuki-kun."

Suara ini.

Suara yang didengar Kazuki saat ia terjebak tadi.

"Kau…siapa?"

Ia menyeringai. "Apa kau melupakan wajahmu sendiri?"

"Apa maksudmu?"

"Aku adalah kau."

Kazuki tidak mengucap apapun selain menghunuskan kodachi-nya ke tubuh lawan bicaranya. Di luar dugaan, lawannya mampu menghindari serangannya yang tak berpola dengan reflek yang sempurna.

"Hanya segitu?" tanyanya sengak saat melihat Kazuki kepayahan mengatur napasnya. "Padahal kupikir kita bisa bermain lebih lama lagi. Sayang sekali ya, Kazuki-kun…"

"Sekali lagi kutanya…" Kazuki menumpu tangannya pada lutut sebelum kembali menghunuskan kodachi ke arah pemuda yang berjalan pelan ke arahnya. "…Kamu siapa?!!!"

Pemuda itu memutar badannya dan melayangkan tendangan ke sebelah perut Kazuki dan sukses membuat sang petarung terhempas hingga membentur sebuah lemari yang tidak jauh dari tempatnya sebelum jatuh ke lantai.

"Kau bisa memanggilku Shinji. Aku salah satu peserta turnamen Battle of Realms. Asalku dari Jepun, dan aku mengikuti turnamen ini untuk mentertawakan anjing budak zona hijau, Kawasugi Kagetora." Seringai di wajah pemuda bernama Shinji telihat lebih lebar dari sebelumnya.

"Bajingan! Jangan menghina kakekku!!" Kazuki mengeluarkan jurus yang sama untuk melawan Shinji. Ia sudah tidak peduli dengan rasa dingin yang menjalar di dalam tubuhnya.

"Jangan membuatku tertawa." Shinji mengambil sebuah gunting bedah dan menarik hoodie Kazuki sebelum menghantamkan wajah penuh amarah itu di atas meja operasi. "Bergerak, atau kau mati. Kau tidak pantas berada di turnamen ini."

Kazuki membiarkan Shinji mengambil alih atas keinginannya beberapa saat—setidaknya sampai ia mengerti mengapa Shinji ada disini.

"Ah, akhirnya kau tenang juga." Shinji mengambil nodachi milik Kazuki dan membuangnya di lantai, menyusul kodachi yang terlebih dahulu tenggelam dalam genangan air.

Perlahan, pertahanan Shinji mengendur sehingga Kazuki bisa mengambil jarak yang agak jauh dari  makhluk yang menyerupai dirinya.

"Aw, jangan menjauh begitu. Aku tersinggung nih," sahutnya bercanda.

"Apa tujuan berada di sini?! Jawab!!"

"Sudah kukatakan berkali-kali. Aku adalah kau. Kau sedang apa di sini? Sama seperti dirimu. Aku juga peserta."

"Pembohong."

"Tidak ada gunanya aku membohongimu. Kalau aku memang mau membunuhmu, sudah dari tadi aku lakukan."

"Lalu, siapa lawan yang baru saja kuhadapi?"

Shinji mengangkat sebelah alisnya tanpa berkata apa-apa. "Apa itu penting?"

"Ha! Sudah kuduga." Kazuki mengambil ancang-ancang. Mungkin dengan begini dirinya bisa keluar dari tempat yang tak pernah ia kehendaki.

"Mau apa kamu? Thrust Dance? Relax Reflect? Percuma. Lagipula kau tidak bisa keluar dari sini."

Ucapan Shinji perlahan melemahkan semangat Kazuki yang sempat ada.

"Apa maksudmu tak bisa keluar?"

"Apa kau melihat jalan lain di luar ruangan ini?"

Kazuki terdiam sejenak. "Sebenarnya…Kau ini apa?"

"Aku tubuh yang dibuat secara khusus oleh badan pertahanan Alforea untuk menggantikan tubuh asli peserta yang sudah meninggal." Shinji memalingkan wajahnya, sedikit menghela napas.

Aku…sudah mati? Ini bohong, kan?

"Aku tahu tujuanmu kesini, mereka menyalin ingatanmu padaku. Bukan hanya ingatan, bahkan semua datamu telah tersalin, makanya aku bisa tahu semua gerakanmu." Shinji menarik tangan Kazuki dan meletakannya di dada. "Lihatlah sendiri apa yang ada di dalam kepalaku."

Agak ragu Kazuki memejamkan mata dan menelaah lebih dalam apa yang ada di benak Shinji.


xxx


"Tampaknya cucu kakek sedang bahagia hari ini. Semua berjalan baik dengan Tachibana?" Kawasugi terkekeh sembari menyeruput teh hijau yang disediakan pelayan beberapa menit lalu.

Kakek…

"Iya, berkat kemampuanku membaca hati orang lain, semakin banyak gadis-gadis di sekolah yang dekat denganku,kek."

Kawasugi terdiam sejenak. "Oh, kemampuan?"

Kazuki dengan bangganya menceritakan kemampuannya mengingat materi yang sekali pernah ia baca, membaca pikiran orang lain atau bahkan memanipulasi fokus orang lain. "Kakek mau aku baca?"

"Tidak." Kawasugi berdehem tegas. "Kau ganti baju dulu ya. Setelah itu kita latihan lagi."

"Okei!!" Kazuki berlari dengan semangat meninggalkan kakeknya yang duduk di teras.

Perlahan, air muka mantan prajurit nomor satu zona hijau itu berubah. Entah apa yang dipikirkannya hingga dahi keriput miliknya semakin berkerut.

Kakek…Ada…apa…?

xxx


"Bagaimana?" tanya Shinji yang menarik Kazuki kembali ke dunia sadarnya.

"… Apa aku benar telah mati?"

"Ya. Saat kau jatuh dari menara kembar itu, kau mati. Makanya Alforea menciptakan kami semua. Tapi sayang kami semua belum selesai diciptakan dan tempat ini diserang."

"Tapi…" Kazuki bingung bagaimana menanggapi ucapan Shinji. Kalau ternyata dirinya sudah mati sejak awal, lalu apa gunanya ia sampai kehilangan sesuatu yang berharga di gua? Jadi selama ini semua pemikirannya tentang Alforea ataupun Amatsu…. salah?

"Sebaiknya kau pulang ke Jepun, kembali pada ibumu alih-alih tetap berada di sini dan membuktikan pada kakek yang justru mengkhianatimu."


"Apa kau bilang?! Kakekku tidak pernah berkhianat!"

"Kakekmu yang mengadukanmu pada zona hijau. Ia ingin kau dieksekusi." Shinji mengakhiri ucapannya dengan tawa. "Kau manusia menyedihkan, Kazuki. Hidupmu palsu."

Diam!

"Kepercayaanmu diinjak-injak oleh anjing tua itu. Dan bahkan ia berhasil membuatmu benci pada wanita yang justru mengasingkanmu. Orang baik mana yang menginginkan keluarganya mati? Kau dimanipulasi, Kazuki."

Diam! Kakek bukan orang jahat seperti itu.

"Bukankah kau lihat sendiri barusan? Air muka kakekmu berubah saat kau mengatakan bahwa kau memiliki kemampuan. Hari itu, ia memutuskan untuk memisahkanmu dan ibumu. Ia ingin kau menggunakan namanya alih-alih menggunakan nama keluarga ibumu seandainya kau menerima tawaran dari zona hijau. Dan ia tidak segan menyingkirkanmu kalau kau menolak—"

Ucapan Shinji terputus tatkala Kazuki maju dan mendorongnya hingga menimbulkan suara percikan air yang cukup keras di lantai.

"Darimana kau tahu apa yang kulihat barusan?! Kau memanipulasiku!! Kau memanipulasi ingatanku hingga aku percaya padamu. Apa kau berada di pihak wanita laknat itu?!"

Shinji menatap Kazuki dalam-dalam. "HAHAHAHAHAHA.. Why so serious? Tertawalah lebih banyak, Kazuki. Aku hanya menggodamu sedikit saja kok."

"Brengsek. Lawakanmu sama sekali nggak lucu!!"

Satu pukulan mendarat di pipi Shinji hingga pemuda dengan tato empat bintang di wajahnya tersebut menghentikan tawanya.

"Katakan padaku sekali lagi. Apa aku benar-benar sudah mati?!" seru Kazuki sembari menarik baju pemuda yang tergeletak di bawahnya.

Shinji melirik Kazuki dengan tatapan tajam, mulutnya membuka seolah ingin mengeluarkan kata namun tertahan. Sementara Kazuki menunggu jawaban dengan tatapan marah. Ia merasa benci jika harus ditipu seperti ini.

"…"

"Jawab!!!"

"…" Shinji masih belum mengucapkan apapun meski mulutnya tidak terkatup, sedangkan Kazuki menarik pakaiannya lebih kencang. "Hahahahahaha.. Aku tidak tahan. Kau seharusnya lihat ekspresimu barusan. Wajahmu terlalu tegang, Kazuki. Hahahahaha. Aku tidak tahu kau bodoh atau pura-pura pandai. Memangnya orang mati bisa merasakan sakit? Bisa merasakan emosi? Atau kau memang sudah tidak bisa berpikir? Hahahaha.. Menyenangkan melihatmu kalut. Ah, seharusnya kau tetap di tempat ini, dan aku yang akan meneruskan hidupmu. Keberadaanku lebih baik daripada kepalsuan hidupmu."

"Dalam mimpimu, pembohong!" Kazuki menghantam kening Shinji dengan keningnya sendiri hingga pemuda itu kembali tergeletak di lantai. "Nama shinji**) tidak pantas untukmu. Seharusnya kau dipanggil usotsuki.***)"

Shinji tertawa saat Kazuki memilih meninggalkannya. Namun belum ada selangkah pemuda itu berpaling, Shinji menjegal kaki Kazuki hingga membuatnya terjerembab.

"Ohok!" Kazuki mencoba mengeluarkan air yang masuk ke hidung dan tenggorokannya, ditambah Shinji yang sekarang duduk di punggungnya.

"Kau yakin, kau bisa mengalahkan lawanmu di sini?" tanya Shinji.

"Bagaimana kalau sekarang kita buktikan?" Kazuki mengangkat tubuhnya dan mencari kodachi yang tadi dibuang oleh Shinji.

"Pfft—Kau pikir aku lawanmu? Apa kau bodoh? Kau tidak punya kesempatan menang melawanku. Lihatlah keadaanmu. Kau kira aku tidak menyadari sedari tadi kau gemetar, menahan dingin yang menjalar di tulangmu?" Shinji melemparkan nodachi beserta kodachi yang dicari oleh Kazuki.

"Jangan sombong, kau!" seru Kazuki.

"Kalau kau memang lawanku, sudah dari tadi aku membunuhmu. Kamu itu mangsa mudah. Kemalasanmu selama pengasingan juga membantu. Makanya, kusarankan kau pulang saja ke Jepun, lupakan turnamen dan berbaikan dengan ibumu." Shinji berjalan pelan menuju sudut yang gelap.

"Jangan tentukan hidupku, penipu! Aku tidak sudi berbaikan dengan wanita laknat itu. Lagipula, aku dengar kalau menang turnamen ini aku bisa dapat apa yang kumau."

"Memang kau ingin apa?"

Aku ingin mengubah Jepun.

Sebuah keinginan yang tidak pernah Kazuki ucapkan hingga Shinji menyentuh tangan pemuda yang masih memikirkan keinginan di benaknya tersebut.

"HAHAHAHAHAHAHA… Terdengar bodoh." Shinji sukses membuat wajah Kazuki merah padam. "Sesungguhnya aku nggak peduli soal Jepun, turnamen, atau bahkan dunia."

"Lalu apa yang kau pedulikan?"

Shinji melirik Kazuki. "Kau akan kuberitahu, jika bisa keluar dari sini. Hanya ada satu cara untuk keluar."

"Bagaimana?"

Shinji bersiul. Ia tidak peduli Kazuki berteriak meminta petunjuk untuk keluar dari tempatnya berada sekarang. Entah berapa menit terlewati sampai akhirnya telinga Shinji mendengar sesuatu yang lain.

"Ah, dia datang."

"Apa? Siapa yang datang?" Kazuki menarik kerah kaus yang dikenakan Shinji, namun segera melepaskannya ketika mendengar suara teriakan dari ruang sebelah.

"Kukatakan padamu, bukan? Aku dan yang lainnya adalah makhluk ciptaan pihak Alforea yang berisikan salinan data peserta. Banyak dari kami yang sudah sampai tahap percobaan, tapi selalu dikembalikan ke ruangan ini, dan nggak sedikit pula yang gagal sampai perlu direkonstruksi ulang."

"Termasuk gadis berbaju suster yang memukul-mukul tembok?"

"Oh, kau sudah bertemu dengannya?" Shinji memejamkan matanya, telinga fokus pada suara teriakan—yang berubah menjadi jeritan—sementara bibirnya masih terus menyeringai.

"Ya. Tadi aku bertemu dengannya."

"Aku sempat melihat dia saat kami melakukan percobaan, tapi ia memberontak. Entahlah, ada kesalahan pada sistem. Makanya jadi seperti itu. Setiap selesai dilakukan percobaan, kami selalu diberi tanda. Kalau kau mau, kau bisa menghitung berapa jumlah tanda di wajahku ini kok. Hehehe…"

Kazuki menggenggam gagang nodachi erat-erat. "Apa aku bisa mempercayai ucapanmu?"

"Hehehehe… Terserah. Hehehehe.."

Suara jeritan wanita tadi perlahan melemah sebelum akhirnya menghilang.

"Well, good luck. Kalau kau bisa selamat." Shinji bersembunyi  di balik gelapnya sudut, membelakangi kazuki dan meringkuk berpura mati.


xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx




-03-
Hunt



"Berikan.... Berikan aku pelepas dahaga.. Berikan aku pemuas gairah.. Hahahah…" Seorang pria menapak masuk ke ruangan tempat Kazuki dan Shinji berada. Kazuki menguatkan pegangan pada gagang pedang nodachi-nya yang terhunus.

Apakah benar ia salah satu klon yang gagal seperti anak tadi katakan?

"Ah?" Pria itu berhenti di depan pintu sembari mengangkat kedua tangannya. "Bukankah itu kurang sopan, anak muda? Menghunuskan pedang pada orang yang baru datang?"

Siapa?

Seorang pemuda berusia di pertengahan dua puluh atau awal tiga puluh berdiri di depan Kazuki. Tubuhnya tegap, dan seragam yang ia kenakan cukup meyakinkan Kazuki bahwa pria tersebut adalah salah satu unit khusus kepolisian. Tapi siapa?

"Hei, halo?" Pria tersebut melambaikan tangannya. Membuat Kazuki agak refleks meregangkan pegangan pada pedangnya.

"Siapa kamu?" tanya Kazuki yang disambut dengan kekeh dari pria yang berwajah oval tersebut.

Tak lama berselang, suara kecipak air yang diinjak oleh sepatu militer dengan kecepatan tinggi terdengar. Sosok pria itu sudah semakin mempertipis jarak dengan dirinya sendiri, jika ia tidak sadar ada sesuatu yang berkilauan di tangan pria itu. Sigap, Kazuki memalingkan lehernya menghindari apapun yang melintasi sebelah wajahnya tersebut.

Perih.

"Wah, aku kagum ada yang bisa menghindari serangan tadi."

Kazuki memandang sinis pria yang berdiri terkekeh tidak jauh dari hadapannya tersebut. Menyebalkan, kedua orang yang bertemu dengannya hari ini hampir mirip satu sama lain.

Gila.

Menyebalkan.

"Apa maksudmu menyerangku seperti tadi?" tanya Kazuki. Jika ia tidak menghindar, mungkin senjata yang pria itu tadi gunakan tidak menggores pipinya, tapi membutakan matanya. Namun sama seperti tadi, hanya kekeh yang menjadi jawaban.

Kazuki tidak tahan. Ia maju dan mengunuskan nodachi-nya pada pria yang berdiri menyeringai seolah menanti dirinya emosi dan menyerang.

Satu letusan tembakan terdengar.

"Akh." Kazuki terduduk sembari memegang bahu kanannya. Jika saja ia tidak segera memutar arah kakinya, peluru yang dimuntahkan oleh pistol yang dipegang pria tersebut mungkin akan bersarang di bahu alih-alih hanya menyerempetnya.

Sial.

"Tamat riwayatmu, bocah." Kazuki merasakan ujung senapan yang dingin menyentuh ubun-ubunnya. Dirinya menghela napas dan memejamkan mata.

"Oh, sudah menyerah? Kupikir kau mangsa yang hebat. Yang membuat darahku mendidih, adrenalinku meninggi, dan nafsuku menghabisimu semakin besar. Tapi kurasa kau sama saja dengan mangsa lain. Menyerahkan hidupmu pada pemangsamu, eh? Mood-ku masih baik nih, selamat tinggal, boc—"

Kazuki menusukkan gunting yang tadi sempat dipegang Shinji ke paha pria gila yang menodongnya. Gunting yang ia dapat di bawah genangan air yang sekarang menjadi alasnya bersimpuh. Tidak menunggu lebih lama, Kazuki bangkit dan berlari meninggalkan pria yang masih memegangi pahanya.

xxx


Bajingan. Sialan. Bangsat. Brengsek.

Entah berapa jenis umpatan lagi yang keluar dari mulut Kazuki seiring dengan kembang kempisnya dada mengatur napas. Rasa perih di bawah matanya, serta denyut pedih di bahunya cukup membuat pandangannya berputar sedikit, ditambah dengan dingin yang membuat lambungnya sedikit berbunyi.

Aku harus keluar dari sini. Tapi siapa orang tadi? Aku seperti pernah melihatnya di arena, tapi juga seperti tidak pernah melihatnya. Apa ia hanya mirip dengan salah satu peserta? Apa ia seperti Shinji?

Kazuki mengingat-ingat wajah pria yang menyerangnya tadi. Sekilas, saat pria itu berlari ke arahnya, ia dapat melihat tanda bintang seperti yang dimiliki Shinji, hanya saja letaknya berbeda.

"Oi, bocah, dimana kamu?!!" Suara teriakan disusul dengan bunyi tembakan dan beberapa barang yang dijatuhkan ke air mulai terdengar. Kazuki ingin keluar, tapi ia belum punya apapun untuk melawan makhluk yang belum memperkenalkan diri—well, sudah nggak penting buat perkenalan kan?

Agak lama Kazuki mempertajam pendengarannya, kalau-kalau orang gila tadi masuk ke tempat persembunyiannya sekarang, hingga ia memusatkan perhatian pada sudut ruangan yang gelap. Ada suara napas terengah berasal dari sana.

Siapa?

Kazuki mengedarkan pandangan ke sekitar. Waspada. Ia dapat melihat sesosok manusia sedang menekuk lutut di sudut ruangan. Napasnya yang memburu perlahan terdengar meski terlindung oleh teriakan pria yang masih mencari di tempat lain.

Orang ini sama dengannya.

Bersembunyi.

Perlahan Kazuki mendekati sosok yang menekuk lutut tersebut, hingga si empunya menengadahkan kepala dan membuat  pupil Kazuki membesar. Sigap, Kazuki menghunuskan kodachi ke arah leher makhluk yang berada di depannya.

Si gila tadi.

"Hei, apa yang kau lakukan?"

Kazuki mengernyitkan alis. Suaranya tinggi untuk ukuran laki-laki berbadan tegap yang menyerangnya tadi. Tapi wajahnya sangat mirip. Sejenak Kazuki ragu, namun sosok yang belum dikenalnya itu hanya diam. Jika itu benar lelaki tadi, pasti kepalanya sudah berlubang saat ini.

Kazuki meletakkan kodachinya di lantai dan mendekatkan wajahnya ke milik sosok yang menatapnya bingung.

"Mau ngapain kamu?!"

Oke. Dia wanita.  Terbukti dengan tamparan keras di pipi kiri Kazuki, melengkapi perih di bagian kanan.

"Kamu…. Mirip."

"Hah? Mirip dengan?"

"Pria gila itu.. Yang menembakku dan mengayunkan benda tajam di wajahku.." Tatapan Kazuki masih tak lepas dari wajah wanita di hadapannya.

Tidak ada tanda bintang. Dia yang asli.

"Kau bertemu dengannya?" Wanita itu membeliakkan matanya.

"Kalau aku tidak bertemu dengannya, bagaimana aku bisa ditembak, duh?"  Kazuki mengernyitkan alis dan duduk di seberang wanita yang kini sudah tidak menekuk lututnya.  "Siapa namamu?"

"Mima. Mima Shiki Reid." Mima menghela napas sembari menatap lurus pada pemuda berkacamata di depannya. "Kau?"

"Kuasumsikan kau sudah bertemu pria tadi. Apa kau juga lari darinya?" Kazuki bertanya dengan tampang datar.

"Hey, dimana sopan santunmu?"

"Kuanggap itu ya. Ngomong-ngomong, kau tidak bisa mengalahkannya? Dia klon-mu kan?" Kazuki berkata dengan nada tidak suka.

Ia membenci orang-orang seperti Mima, karena mirip dengan wanita yang ia tinggalkan di Jepun. Aura mereka sama, seolah melindungi namun justru membuat susah anak-anaknya. Sosok yang selama beberapa tahun ini dilaknat oleh Kazuki sendiri.

Wanita itu hanya menjawab dengan tatapan malas. Pemuda di hadapannya tergolong tidak sopan terhadap orang yang lebih tua seperti dirinya.

"Apa lihat-lihat?" tanya Kazuki.

"Dasar nggak sopan." Mima menggerutu pelan.

Kazuki menggaruk kepalanya yang tidak gatal sebelum akhirnya mendecak. "Kaz. Cukup panggil aku Kaz."

Mima tersenyum simpul. "Nah, gitu dong. Ngomong-ngomong soal klon ini.. Apa kita harus melawannya?"

"Terserah."

Mima mengernyitkan alis. "Terserah bagaimana?"

"Aduh, masa nggak ngerti sih. Terserah kamu mau lawan dia atau nggak. Kalau kamu mau terus diburu olehnya silakan." Kazuki membuang perhatiannya ke arah lain.

"Kenapa harus aku?"

"Duh, masih nggak ngerti juga. Sial memang nasibku hari ini.." Kazuki merutuk kesal. Ia sangat tidak ingin terlibat lebih lama dengan manusia beraura seperti ibunya. "Orang itu klon-mu, bukan? Seharusnya kau tahu bagaimana cara mengalahkannya. Toh, dia memiliki salinan data dari dirimu, jadi kau yang paling tahu soal dirinya."

"Klon? Tunggu, bisa kau jelaskan soal klon dan semacamnya ini?"

Ucapan Mima membuat kesabaran Kazuki sampai ke puncaknya. Apa Mima tidak mengerti bahwa dirinya sangat tidak ingin terjebak lebih lama. Ingin rasanya Kazuki membungkam mulut wanita berambut hitam tersebut jika ia tidak melihat keuntungan apabila wanita itu masih ia biarkan hidup. Tidak banyak kau bisa menemui wanita militer yang berjuang untukmu, bukan? Akhirnya, dengan nada kesal dan intonasi super cepat, Kazuki menjelaskan semuanya. Ia tidak peduli apakah Mima dapat mencerna maksudnya atau tidak.

"Apa kau mendapatkan semua informasi tadi dari klon juga?"

"Ya."

"Klonmu?"

"Hm… ya."

"Apa kau mengalahkannya?"

"…ya. Aku membunuhnya."

Mima menggigit bibir bawahnya. Bagaimanapun, lelaki yang mengejarnya tadi adalah salinan dirinya, dan jika ucapan pemuda berkacamata yang berada di hadapannya ini adalah benar, maka bukan tidak mungkin lelaki tadi memiliki senjata atau kemampuan yang sama dengannya.

"Oi, kok diam aja?!" Kazuki melempar sebuah botol obat kosong pada Mima yang menatap genangan air di bawah kakinya.

"Aku tidak ingin membunuh….eksistensi. Baik klon maupun manusia, mereka memiliki kehidu—"

"Kalau kau tidak mau membunuhnya, aku bisa melakukannya. Tapi dengan catatan, kau jadi umpan. Bagaimana?" potong Kazuki malas.

"Tidak." Mima menjawab tegas. Mana ada orang yang sukarela jadi umpan untuk orang yang baru saja ditemui?

"Ck. Menyusahkan. Ya sudah, kita kerja sama." Kazuki beranjak dari duduknya tanpa menunggu jawaban Mima. "Kita cari cara untuk membunuhnya."


xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx




-04-
Dishonest - Distrust



Keadaan ruang sebelah—tempat yang banyak tabungnya—lebih parah daripada saat Kazuki belum bersembunyi. Tabung-tabung itu kini hampir setengahnya kosong karena bolong ditembaki, beberapa pecah, dan isinya jauh dari kata 'layak' untuk dilihat.

Ceh, kaca murahan.

Cukup lama Kazuki menatap tabung-tabung itu sebelum akhirnya mengalihkan pandangan ke arah Mima yang siaga di depan pintu.

Produk gagal eh? Aku masih belum paham kenapa mereka disebut produk gagal. Bukankah mereka sudah mendekati tubuh manusia sempurna? Lalu apa yang masih belum lengkap?

"Dia datang!" Mima berseru sembari berlari masuk ke bagian dalam ruangan karena pria itu segera sadar dengan keberadaannya.

Suara tawa menggelegar di dalam ruangan. Pria itu seperti orang setengah putus asa yang kehilangan akal sehatnya. Mulutnya terbuka membentuk seringai, napasnya naik turun, dan tawa terus terdengar.

"Ho.. beruntung sekali aku menemukan kalian berdua sekaligus. Apa kalian sudah memutuskan untuk menyerah? Hahahaha…" Pria itu mengarahkan pistolnya pada Kazuki dan Mima.

Kazuki menggenggam gagang kodachi-nya kuat, sementara Mima waspada bersama baton di tangannya.

"Dalam mimpimu, orang gila!" seru Kazuki. "Aku tidak akan menyerahkan hidupku untuk siapapun."

"Berani juga mulutmu bicara."

Sebuah letusan senjata terdengar dan dengan sigap Kazuki bersama Mima berlari ke kedua sisi sang pria. Berharap pria tersebut akan mengalami kesulitan membidik salah satu dari mereka. Sayang, tangan pria itu lebih gesit dari pemikiran Kazuki. Dengan mudah ia menembak bergantian, mengganti magazine, sembari tertawa.

Produk gagal apanya? Ia bahkan lebih lihai dari yang terlihat. Kalau begini, aku bisa mati. Aku harus pakai cara lain.

Kazuki dan Mima berhasil selamat meski beberapa peluru menyerempet bagian tubuh mereka. Sesekali mereka berlari ke belakang reruntuhan atau furnitur ruangan untuk mengatur napas dan bersembunyi.

"Hei Mima!!" seru Kazuki dari balik filling cabinet. "Apa kau benar-benar tidak tahu bagaimana cara mengalahkan dia? Dia kan dirimu. Ayolah, kita berdua bisa mati kalau terus begini!"

Tidak ada jawaban dari Mima yang bersembunyi di balik meja. Berpikir apakah ini salah satu taktik menyerang pria itu, atau Kazuki lupa kalau si pria masih ada di dalam ruangan dan bisa mendengar ia berteriak.

"Hahaha.. Kau memang benar-benar bocah." Pria itu menembaki filling cabinet yang menjadi perisai Kazuki. "Aku lebih baik dari wanita itu."

Kazuki melindungi kepalanya dan sedikit berguling di balik reruntuhan tembok saat pria itu masih menembaki filling cabinet. Kazuki masih menunggu saat tepat untuk keluar dari persembunyian dan menyerang pria tersebut kemudian keluar dari tempat ini.

"Kau cuma tiruannya. Bagaimana mungkin tiruan bisa menang dari yang asli? Jangan besar kepala hanya karena mereka menciptakanmu, produk gagal." Kazuki berlari merunduk saat peluru sengaja diletuskan ke arahnya.

"Produk gagal katamu?! Aku, Vulture, bahkan lebih baik dari kalian para manusia. Jangan samakan aku dengan ciptaan gagal yang bahkan tidak bisa bicara itu!!"

Suara magazine yang dilepas membuat Kazuki keluar dari persembunyian dan menghunuskan pedang tepat ke arah tubuh Vulture. Di luar dugaan, Mima juga keluar dari persembunyiannya dan lebih cepat sepersekian detik dari Kazuki hingga Vulture harus jatuh akibat pukulan keras di perut kanannya. Mima menghela napas dengan keras sembari memutar baton di tangannya.

"Kukira kamu nggak mau membunuh klonmu sendiri." Kazuki menyarungkan kembali kodachi miliknya.

"Aku tidak membunuhnya. Kurasa ia hanya pingsan. Lagipula, bagaimanapun ia adalah diriku, meski tampaknya ia berbeda."

"Kau naïf, Mima." Kazuki berdecak. "Tapi naïf dan munafik itu beda tipis sih."

"Munafik? Siapa yang munafik?"

"Tinggal tunggu waktu sampai kau menjilat muntahanmu sendiri. Menelan kata-katamu, dan membunuh eksistensi yang lain." Kazuki mengangkat bahunya sembari meraih pistol di tangan Vulture. "Sial, dia masih sadar."

"Khuhuhu… Kau cepat juga menyadarinya. Padahal aku masih ingin mendengar omong kosong itu sebelum melubangi kepala kalian."

Mima dan Kazuki melompat mundur saat sosok Vulture perlahan bangkit dan mengisi ulang pistolnya.

"Apa kau tak tahu kalau pukulan tadi… Sakit?"

Satu tembakan dilepaskan ke arah Mima.

Simpel. Ia hanya menyerang orang yang menyerangnya. Apa karena ini ia disebut gagal? Atau karena ia tidak bisa mengontrol targetnya sendiri? Kalau Shinji benar, wajar saja ia gagal.

Kazuki mengingat-ingat apa yang dilakukan Vulture pada tubuh klon yang lain.

Dia nggak lebih dari orang gila.

Pemuda berkacamata itu menghela napas dengan berat. Berkali-kali ia memandang Mima dan Vulture bergantian. Mima dengan lihai memainkan batonnya untuk menghalau—atau lebih tepatnya mengulur waktu—agar Vulture tidak menarik pelatuknya.

Auto Focus

"Sial. Kalau begini nggak ada habisnya. Kaz, bantu aku!" Mima berhasil memukul dagu Vulture meski pria itu hanya menggertakan gigi dan rahang bawahnya.

Tidak ada jawaban meski Mima sudah menjaga jarak dengan Vulture.

"Kaz?"

Mima menoleh ke belakangnya.

"Sepertinya teman kecilmu melarikan diri. Selamat datang untuk kematianmu." Vulture menyeringai dan memperbesar bola matanya.

Suara tembakan terdengar saat Mima masih mencari sosok Kazuki yang tidak ada.



xxx


Napas Mima terputus-putus menahan perih dari peluru yang bersarang di lengan kirinya. Pandangannya mulai kabur.

Mima merutuk dalam hati. Apakah Kazuki mengkhianatinya, dan sengaja meninggalkannya berdua dengan Vulture? Jika tahu begini, seharusnya ia menghabisi Kazuki dari awal, atau mengumpankan Kazuki ke Vulture—tidak, tidak. Apa yang ia pikirkan? Kazuki masih bocah, dan ia berpikir untuk mengorbankannya? Dimana nuraninya?

"Sepertinya waktumu sudah habis ya, Mima."

Mima terbeliak ketika Vulture melepaskan tembakan ke arahnya. Ia masih bisa berlari. Ia masih bisa menghindar. Ia masih punya kesempatan hidup dari sini. Kakinya beradu dengan genangan air di ruangan. Ia harus menghentikan pendarahan di lengan kirinya sembari memikirkan cara bagaimana menghentikan Vulture tanpa harus membunuhnya.

"Larilah Mima. Larilah seperti tikus kecil yang ketahuan mencuri. Kita semua tahu akhir dari kisah tikus yang suka mencuri kan? Larilah, Mima. Buanglah tenagamu dengan sia-sia." Vulture menembaki reruntuhan dan furnitur yang dilalui Mima saat wanita itu mencari tempat sembunyi.
Dada Mima naik turun sembari merobek bajunya dan menahan agar tidak banyak darah yang keluar dari lengan kirinya. Sesekali ia memikirkan Kazuki. Pemuda berkacamata itu tiba-tiba menghilang dengan misterius. Apakah ini sesuai dengan rencananya untuk menjadikan diri Mima sebagai umpan, sehingga ia bisa mencari jalan keluar sendiri?

Mima menggigit bibir bawahnya. Apakah dirinya dikhianati?

"Kurasa sudah saatnya." Mima berbisik disela napas yang dibuangnya. Hampir saja ia berdiri jika tidak mendegar suara besi bergeser di sela suara tembakan yang masih belum berhenti. "Suara ranjangkah?"

Mima menoleh ke arah Vulture—dan pria itu ternyata lebih cepat menolehkan kepala ke arahnya.

"Aha! Kau disana rupanya!! Kemari, tikus kecil…"

Satu tembakan pada objek yang menjadi perisainya membuat Mima menutup mata. Sekilas ia bisa melihat Kazuki berada di belakang Vulture, mengangkat pedangnya dari atas sebuah benda yang cukup tinggi. Bagaimana mungkin Vulture tidak menyadari keberadaan Kazuki? Mima menggenggam pisau yang ia miliki. Ia bisa saja melemparkan benda itu ke paha Vulture, tapi bagaimana kalau keseimbangan tubuhnya 'mengkhianati'nya dan justru membuatnya terbunuh?

"Keluar kau, Mima!!!"

Teriakan Vulture terputus tatkala Kazuki melompat untuk memenggal leher pria berbadan tegap tersebut. Satu tebasan nodachi dan sukses membuat Mima muntah di tempat. Kazuki menendang kepala Vulture yang sempat berguling ke kakinya sebelum mendatangi Mima.

"Maaf aku lama."

"Bisa-bisanya kamu menghilang. Aku kira kamu sengaja mengumpanku untuk Vulture dan kau kabur sendirian." Mima merutuk. "Aku tertembak."

Hampir benar. Aku hampir mengumpanmu dan kabur sendiri. Ah tapi saat aku menjadikanmu umpanpun kau tidak menyadarinya ya?

"Kan aku sudah minta maaf. Ayo, kita keluarkan pelurunya."

"Keluarkan? Bagaimana?"

"Aku sudah mencari di lemari yang di ujung sana tadi. Hanya ada alkohol, perban, pinset, tapi tidak ada pisau bedah. Kau ada pisau?" Kazuki menatap Mima dengan tatapan malas.

"Ada. Kau bisa mengeluarkannya?"

"Bisa. Tapi kalau kau mau peluru itu terus berada di dalam tubuhmu, aku tidak keberatan juga sih." Kazuki mengangkat bahu dan berbalik badan. "Lebih baik kita cari jalan keluar."

"Tunggu." Mima menahan langkah Kazuki. "Keluarkan dulu."

Kazuki menghela napas dan membawa Mima untuk duduk di atas meja sementara dirinya menyiapkan keperluan untuk membedah luka Mima. Berkali-kali Mima menjerit karena cara Kazuki sungguh kasar dan seenaknya. Mima sangsi, apakah benar Kazuki mengerti cara mengeluarkan peluru dengan benar? Yang dilakukan pemuda ini sedari tadi hanya mengorek lukanya dengan pinset dan coba mengambil pelurunya.

Entah berapa menit terlewati bersama rasa sakit yang menjalar disertai dengan jeritan, akhirnya peluru itu berhasil keluar. Helaan napas penuh kelegaan keluar dari bibir Kazuki dan Mima.

"Akhirnya.. bisa juga keluar," celetuk Kazuki sembari memasang perban pada luka bekas tembakan itu.

"Sebenarnya… Kamu bisa atau nggak sih ngeluarin peluru? Caramu asal."

"Heh? Masa iya asal? Aku lihat di internet begitu kok."

"Apa? Internet? Jadi hanya bermodal internet? Bagaimana kalau muncul luka baru? Kau mau membunuhku ya?" Mima sudah tidak bisa menahan emosinya. Bagaimana mungkin ia membiarkan bocah mengorek tubuhnya hanya dengan dasar melihat di internet?

"Sudahlah. Yang penting kan sudah keluar. Mau cari jalan keluar sama-sama, nggak?" tanya Kazuki sembari menggaruk tengkuknya dengan malas. Dirinya sudah kebas dengan udara dingin ruangan. Toh tidak ada yang bisa ia lakukan karena tubuhnya sendiri sudah basah sejak pertama sampai di tempat ini.

"Uh.. Baiklah." Mima masih kesal, namun ia setuju untuk cari jalan keluar.

xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx




-05-
Home for Existence



"Oi, Shinji, aku tahu kau disini. Mana jalan keluar yang kau janjikan?" panggil Kazuki saat ia kembali ke ruangan tempat pertama kali ia bertemu Shinji.

Ya, Kazuki dan Mima memutuskan untuk mencari jalan keluar di dua arah yang berbeda dengan alasan menghemat waktu. Toh tidak semua akses ruangan di gedung ini yang dapat mereka masuki. Reruntuhan menghalangi jalan, dan Kazuki percaya bahwa di belakang reruntuhan di ruang utama tempatnya tiba masih ada ruangan lain.

"Oi, Usotsuki!"

"Ckckckck… Namaku Shinji, bukan Usotsuki.. Hehehehe…" Sesosok pemuda menampakkan diri dari sudut ruangan yang gelap. "Apa kau sudah berhasil mengalahkan lawanmu?"

"Aku sudah memenggal kepalanya."

"Pembohong. Hahaha, kau pembohong, Kazuki." Shinji terkekeh. Ia senang melihat ekspresi bingung Kazuki.

"Aku tidak bohong. Aku sudah memenggal kepala Vulture."

"Apa? Vulture? Hahahahaha…" Tawa Shinji semakin keras terdengar. "Kau kira lawanmu Vulture?"

Kazuki semakin bingung. Shinji kembali duduk di tempat tidur yang berada di ruangan itu.

"Kuberitahu kau tiga hal."

"Apa?" tanya Kazuki

"Aku, dan beberapa klon yang ada di sini sudah ada sejak turnamen dimulai. Jadi kami tahu apa yang berubah dalam gedung ini. Pertama, kau lihat pintu di sebelah sana? Sampai kemarin, pintu itu tidak ada. Tapi hari ini, pintu itu muncul sebelum akhirnya kau ke ruangan ini." Shinji menunjuk ke sebuah pintu baja berukuran kecil yang berada di belakang Kazuki.

"Kenapa tidak terbuka?" Kazuki memukul-mukul pintu yang memiliki tanda silang merah di permukaannya.

"Karena kau belum membunuh lawanmu, mungkin? Hehehehe.."

"Lalu, dua hal lainnya apa?"

"Ow, ow, sabar jagoan… Aku memberimu informasi gratis. Jadi bersabar, oke? Atau mungkin kau mau mengeringkan tubuhmu dulu? Hehehe.."

"Tsk. Terserah." Kazuki sudah malas menanggapi lelucon tidak lucu milik Shinji. Mood-nya benar-benar hancur setelah tahu bahwa Vulture bukanlah lawan yang harus ia bunuh. Jika bukan Vulture, lantas siapa?

"Kedua, sebagian besar dari kami tahu bagaimana perkembangan dunia atas. Terima kasih kepada staf yang sudah meluangkan waktu mereka untuk lebih banyak bercerita daripada bekerja. Dan pintu itu hanya muat untuk satu orang, jadi antara kau dengan siapapun yang jadi lawanmu, hanya satu dari kalian yang bisa memasuki pintu itu." Shinji mengambil jeda pada ucapannya. "…kayaknya."

"Lalu siapa lawanku?" Kazuki mulai tidak sabar.

"Ketiga, ruangan ini bukan ruangan yang bisa dimasuki manusia sesuka hati. Jika kau bertemu manusia lain, maka ia adalah lawanmu." Shinji merenggangkan badannya.

Mata Kazuki terbeliak.

Mima!

"Sial." Buru-buru Kazuki balik badan dan akan berlari jika saja Shinji tidak bertanya padanya.

"Mau kemana? Buru-buru amat. Hehehe.."

"Aku mau keluar dari sini. Aku harus menemukannya kembali."

"Oh, dan pulang ke kampung halamanmu?"

"Dalam mimpimu!!" seru Kazuki.  Baru saja ia melangkahkan satu kakinya mendekati pintu, sesosok wanita berambut hitam menyeruak masuk.

"Gimana, Kaz? Apa kamu sudah menemukan….eh?"

Pucuk dicinta ulampun tiba. Kazuki ingin berteriak sekencangnya. Ia tidak perlu mencari Mima karena Mima telah mengantarkan nyawanya sendiri padanya.

"Klonmu masih hidup, Kaz?"

…atau tidak.


xxx


Pandangan Mima nanar tertuju pada Shinji yang menyeringai dan melambai padanya, bergantian menatap Kazuki yang mengernyitkan alis.

"Kau…menipuku?" tanya Mima. Suaranya bergetar. "Kau bilang kau membunuh klonmu. Kau menipuku?"

"Itu sudah tidak penting lagi kan?" Kazuki membunyikan buku-buku jarinya dan mengeluarkan kodachi dari sarungnya. "Aku sudah menemukan jalan keluar.."

Pemuda berkacamata itu maju dan mengarahkan pedang pendeknya ke arah dada Mima. "Tapi sayang hanya muat untuk satu orang!"

Bunyi mata pedang yang bertubrukan dengan baton yang digunakan Mima untuk menangkis menggema di dalam ruangan. Satu dorongan, Mima berhasil memundurkan langkah Kazuki. Nyeri di tangan kirinya masih terasa hebat, namun ia tidak akan membiarkan dirinya terhunus oleh pedang seorang bocah.

"Sudah berapa lama kau rencanakan ini?" tanya Mima.

"Bukan urusanmu." Kazuki kembali maju dengan cara yang sama, namun wanita itu sukses membuatnya tersungkur dengan tendangan putar.

Kombinasi sol sepatu militer dan putaran yang dilayangkan Mima ke pipi Kazuki sukses membuatnya jatuh menabrak beberapa benda sebelum akhirnya berhenti tepat di depan sebuah meja alat-alat operasi.

Mima belum menyerah. Ia maju dan melompat sembari membalik baton miliknya untuk dihantamkan ke wajah Kazuki yang masih berada di lantai.

Jika saja Kazuki tidak berguling untuk menghindar.

Dada Mima naik turun. Napasnya menggebu. Ia merasa dipermainkan. Ia hampir percaya Kazuki seutuhnya jika saja ia tidak melihat klon milik Kazuki masih hidup dan tidak kurang satu apapun. Kazuki menjaga eksistensinya yang lain. Lalu kenapa ia justru dipaksa membunuh eksistensi lainnya?

Bunyi kecipak air di belakang Mima membuatnya kembali waspada.  Dari sudut matanya, ia bisa melihat Kazuki berdiri sembari memegangi pipinya. Kodachi-nya terjatuh entah dimana.

"Tidak ingin membunuh, eh? Sudah kukatakan, bukan? Naïf dan munafik itu beda tipis." Kazuki memutar badannya dan mengarahkan tendangan ke arah badan Mima, namun gerakannya harus terhenti oleh baton yang dijadikan Mima sebagai penghalang. Tidak hanya itu, Mima memukulkan baton tersebut ke tulang keringnya.

Kazuki mengerang. Tubuhnya tidak seimbang untuk berdiri hingga ia harus menabrak lemari dengan pungungnya. Apakah ia akan berakhir di sini?

Aku tidak boleh mati. Aku masih punya tujuan yang harus kupenuhi.

Baru saja Kazuki berpikir untuk mengambil nodachi yang masih ia sarungkan di punggungnya, sebuah hantaman keras ia rasakan di perutnya.

"Ohok!!" Kazuki memuntahkan air yang baunya menusuk hidung. Entah kapan ia terakhir makan sebelum akhirnya menjalani satu atau dua babak turnamen. Ia merasa sangat lapar, dan kini harus mengeluarkan cairan yang menjaga lambungnya. Beruntung bukan darah, berarti belum ada organ yang pecah.

"Tarik kata-katamu. Kau kubiarkan hidup, Kaz. Tapi tidak di luar ruangan ini. Hidup bahagialah bersama dengan klonmu."

Kazuki merogoh saku celananya. "Heh, siapa yang mau hidup bersama dengan makhluk menyebalkan itu. Dia sama menyebalkannya denganmu, tahu."

"Hebat mulutmu masih bisa sarkas disaat seperti ini." Mima mengangkat dagu Kazuki dengan ujung baton yang ia pegang.

Kazuki tidak mau menunggu lebih lama. Selagi Mima masih terfokus pada wajahnya, Kazuki mengeluarkan barang jarahan selama ia bersembunyi dari Vulture. Tanpa melepaskan pandangan dari sosok wanita di hadapannya, pemuda berkacamata itu menancapkan suntikan berisi cairan di punggung tangan kanan wanita tersebut.

Mima menjerit. Entah apa yang Kazuki suntikkan, Kazuki sendiri juga tidak tahu. Ia hanya mendapatkan suntikan itu di ruangan tempatnya membantai Vulture. Namun yang jelas, tindakannya tadi membuat Mima mundur dan membuang baton yang ia genggam. Mima merasakan tangannya kebas. Mati rasa. Sedangkan tangan kirinya masih terasa nyeri.

Kazuki maju dengan terseok dan menancapkan suntikan kedua di leher wanita yang masih syok dengan keadaan tangan kanannya tersebut. Kali ini ia menggelepar di lantai. Suara jeritan bercampur dengan benturan tubuhnya pada sebuah bangku dan kecipak air yang masih menggenang.

Jeritan Mima terhenti saat Kazuki memasukkan gunting yang ia pungut sejak awal bertemu Shinji ke dalam mulut sang wanita. Mima bisa merasakan bagaimana gunting itu dibuka. Satu tendangan lemah dilayangkan Mima ke perut Kazuki, namun pemuda tersebut tidak menghentikan tindakannya untuk mengatupkan kembali gunting yang ia buka di dalam mulut Mima dan memotong lidah.

Mima menangis. Darah keluar banyak dari dalam mulutnya. Setengah tubuhnya terasa mati rasa dan setengah tubuhnya terasa nyeri. Mima sudah tidak bisa merasakan bagaimana liur yang bercampur darah itu ia telan.

"Kau tidak membunuhnya?" tanya Shinji sembari menunjuk Mima yang masih bisa menggerakkan bola matanya dan mengerang pelan.

"Dibiarin juga nanti mati sendiri kan?"

Shinji melirik ke arah pintu. "Tuh belum kebuka. Kamu nggak bisa pulang kalau dia belum mati loooh.."

"Ck. Menyusahkan." Kazuki mencari-cari kodachi miliknya di sekitar tempat Mima menonjok perutnya. "Ah…"

Mima menggerakkan bola matanya, mengikuti gerakan Kazuki yang beralih membuka jaket khusus miliknya sebelum mengelus daerah diatas dada kirinya.

"Jangan dendam sama aku ya. Aku cuma mau keluar dari sini."

Mima hanya membalas ucapan Kazuki dengan membeliakkan matanya. Satu gerakan, dan Kazuki kembali 'mandi' cairan berbau anyir dan berwarna pekat tersebut.

Kazuki mencabut kodachinya dan menyarungkannya kembali di pinggang. "Sudah tuh."

"Hehehe.. Ternyata kamu bisa juga heartless kayak tadi."

Kazuki menoleh ke arah pintu. Tanda silang di permukaannya yang sebelumnya warna merah kini berubah hijau, sebelum akhirnya terbuka.

"Karena dia mirip sama wanita terkutuk itu." Kazuki menjawab malas. Ia sudah tidak mempedulikan tatapan Shinji yang agak beda dari biasanya.

Shinji mengikuti Kazuki dan berjalan ke depan pintu.

"Pikirkan lagi. Ibumu mengasingkanmu dari pemerintah Jepun agar kau tetap hidup. Seandainya saat itu kau menuruti perintah zona hijau, bukan tidak mungkin kau akan dijadikan budak mereka dan dibunuh layaknya anjing petarung. Sama seperti turnamen ini. Kesempatanmu mati lebih besar daripada hidup." Wajah Shinji berubah serius, bibirnya tidak menyeringai seperti biasa.

"Kalau mau, kau saja yang pulang ke Jepun. Segitu inginnya agar aku pulang kesana. Selama aku tidak bisa mengubahnya, tidak ada artinya aku hidup. Apalagi harus hidup berdua dengan pelacur itu." Kazuki menggerutu kesal.

"Aku? Kesana? Kau bercanda ya? Hahahaha… Produk gagal sepertiku dan yang lain hanya pantas tinggal di lab ini." Shinji kembali terkekeh.

"Ah ya, aku penasaran. Kenapa kau disebut produk gagal? Bukankah kau sudah cukup sempurna?"

"Kenapa ya~~? Hehehe… Menurutmu kenapa?"

"Jangan main-main. Aku bertanya karena aku tidak tahu."

Shinji menarik napas sebelum menjawabnya. "Karena kami masih memiliki emosi. Kami, para klon diciptakan sebagai petarung pengganti, meski masih dalam percobaan. Entah ada eror dalam penyalinan data, kami masih memiliki emosi. Beberapa dari kami menolak dijadikan petarung. Kami harus terus diuji sampai kami tidak bisa merasakan apapun selain rasa sakit akibat serangan. Atau tidak memiliki keinginan apapun selain menjalankan perintah dari atasan. Yah, seenggaknya itu sih yang aku tahu.. Hehehe… Hehehe…"

Mata Kazuki membesar. Kalau begini tak ada ubahnya dengan Jepun. DNA kakeknya diambil oleh petinggi militer dan dijadikan sebagai dasar pembuatan android besar yang memliki bentuk wajah sama dengan empunya DNA selama masih hidup.

Shinji masih terkekeh saat pintu mulai tertutup. Kazuki seperti ingin mengatakan sesuatu namun tertahan. Dengan seringainya yang meremehkan, Shinji tertawa.

"Selamat tinggal, Kazuki."

Perlahan pintu itu menghilang, kembali menjadi tembok.

Sama seperti kemarin.

Shinji melangkah menuju tabung-tabung yang ada di dalam ruangan. Entahlah, sejauh yang bisa ia ingat, tempat itu adalah tempat tidurnya selama ini, dan ruangan ini adalah rumahnya.

Perlahan, ia merasakan lantai tempatnya berpijak bergetar. Disusul oleh jatuhnya langit-langit secara perlahan.

Tempat ini perlahan hancur.

Shinji menyunggingkan senyumnya sebelum akhirnya menggumam. "Sebenarnya bukan Jepun yang kupedulikan. Aku bahkan tidak mempedulikan dunia ataupun turnamen ini. Aku bukan seperti dirimu yang berpikir untuk mengubah Jepun menjadi lebih baik. Sejujurnya aku tidak peduli meskipun dunia hancur, selama kau masih hidup. Hanya itu yang kupedulikan."

Sebuah reruntuhan menimpa sosok pemuda yang masih menerawang menatap tabung.

"Tetaplah hidup, Kazuki."



= R O U N D     4     E N D =


*) Mitsuketta = Ketemu!
**) Shinji = Kebenaran
***) Usotsuki = Kebenaran




7 comments:

  1. Wogh, konsep kloning di entry ini mengingatkan saya pada film 6 days.
    Di mana sang MC dibikin mindfuck apakah dia itu klon atau bukan, wkwkwkwk

    Kazu alter keluar dari tabung itu, kesannya kayak si tabung emang dibangun untuk dipecahkan. Pake dorongan aja bisa ancur, padahal kan fungsinya untuk 'contain' subjek yang lagi ada di dalem tabung.
    Buat saya bagian itu terasa agak mengganjal.

    Dan awww....

    Kazu alter malah mati di sana... Dialog terakhir dia sweet pisan~
    **tabur bunga**

    Jadi jatohnya Selfcest ya?
    **ditabok**

    Oc : Sanelia Nur Fiani

    ReplyDelete
  2. OC: Vajra
    Welcome to the Dark -no, Grey- Side!

    Wah, rupanya memang Kaz nggak terlalu ambil pusing ya, apakah dia benar2 harus bunuh atau tidak. Nggak peduli siapa panitianya, ada aturan ya ikuti saja.

    Kepribadian Kaz abu2 seperti serigala, jadi kepribadian klonengannya juga nggak kontras2 amat. Malah kompakannya sama klonengan ketimbang the real Mima. Oke, nggak masalah, toh ini memang seharusnya battle to the death, kan? Dan Kaz tahu itu.

    Beda sama Vajra yg mencoba berontak agar gak kehilangan jati diri yg udah dibangun susah-payah, tapi malah terbantu keadaan :p
    Vote nyusul ya, saya harus merenung dulu.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Yah, kadangkala dalam situasi macam begini, kepribadian yang "abu-abu" dan "wolfish" sejak awal mungkin lebih mudah mengambil keputusan tanpa harus jadi terlalu dilematik. Saya harus belajar lebih banyak bikin OC "abu-abu" untuk ke depannya. But hell, kalau seseorang sudah jauh melangkah ke jalan terang, tiba2 berbalik jadi abu2 itu sungguh mengecewakan.

      VOTE KAZUKI.
      OC: Vajra

      Delete
  3. Another lantai dua~
    Wew itu dialog-dialog pertama Kaz sama Shinji mantep. Saya suka sama Shinji, dia karakter favorit saya di entri ini. Pertamanya emang keganggu sama "Hehehehe dkk" tapi ternyata ke sininya jadi pas banget. Dia juga di sini cuma jadi penjelas yang konsisten dan ditutup dengan--setuju sama Ichsan--manis.
    Soal adegan tarungnya, ini dilangsungin. Kaz benci Mima karena alasan kuat. Walaupun saya ga baca dari awal gimana sikap ibu asli Kaz di Jepun, udah kebayang kalo dia itu kurang baik? Mungkin kurangnya ada di Mima. Mima di sini kaya kurang ngelawan.

    Oke, good luck, Kaz.
    Selalu bingung dibagian Voting jadi tahan dulu deh haha. Semedi dulu bareng Om Andry.

    Salam, Eophi.

    ReplyDelete
  4. Fatanir - Po

    Ini pertarungan ngelawan Vulturenya seru dan berkesan bgt Vulturenya. Secara karakter Kazu udah keliatan cuek dan pasifnya. Dia nggak perlu alasan macem2 utk ngebunuh. Adegan pembunuhan Mima juga bagus.

    Paling utk minusnya, kurasa perasaan Kazu ke Mima kurang dieksplorasi kyk gmn. Aura seperti apa yg dimiliki Mima, kalau ini diperdalam, mestinya bisa bikin pengaruh kuat ke pembaca yg ngerasa bahwa kebunuhnya Mima itu manusiawi. Sama mgkn porsi Kazu vs Mimanya kerasa kurang.

    Vote nunggu dulu...

    ReplyDelete
  5. Komentar awal saya sama seperti komentar saya pada Mima.

    Pertama, agak aneh karena fokus battlenya diembat oleh Vulture. Bagian serunya diambil dia semua. Jadinya sewaktu kedua OC asli akhirnya berhadapan, intensitasnya agak berkurang. Kedua, terlalu banyak kesepakatan antara kedua penulis, sama-sama memunculkan sesuatu. Jadinya tidak hadir cukup kejutan untuk dinikmati pembaca.

    Lalu masuk ke penentuan voting. Kedua entri ini sama-sama belum terlalu memuaskan bagi saya. Entri Kazu di R3, biarpun lebih pendek daripada entri R4 ini, justru terasa lebih memukau. Secara umum, kekurangan entri Kazu ini dibandingkan Mima adalah pada karakterisasi yang tak terlalu berkembang, lalu kanon BoRV-nya yang tak terlalu digarap. Mungkin Kazu punya motivasi ingin mengubah Jepun. Tetapi itu tidak begitu ditonjolkan dalam entrinya, setidaknya sampai pembaca merasa care dengan motivasi itu. Ditambah dengan sifatnya Kazu yang begitu, jadinya semua terasa datar ._.

    Andai Kazu bisa lolos ke babak selanjutnya, mungkin saran saya adalah mulai dikembangkan karakterisasinya. Kalau bisa kasih dia pergolakan emosi yang lebih kuat. Buat dia lebih menderita, sampai-sampai ekspresi datarnya lenyap.

    [Vote untuk Mima]

    OC: Kusumawardani, S.Pd.

    ReplyDelete
  6. Harus banyak diperbaiki pemilihan katanya karena ada yang tidak konsisten. Misal, kadang menggunakan kata "tidak", kadang "nggak." Waktu pake kata nggak, kadang kata lain dari kalimat yang terucap adalah kata baku yang efeknya adalah kalimat yang keluar dari mulutnya terkesan aneh. Begitu juga sebaliknya.

    Kalau pengen pake bahasa gaul ya pake aja sih, tapi konsisten. Kalo karakter atau setting dunia asalnya gaul, tapi pake kata baku waktu ngomong malah aneh keliatannya. Contoh yang bener itu Fata, coba baca aja. Karakternya pake bahasa alay karena emang Fata rada alay, tapi narasinya tetep oke. Narasi dari entry ini sayangnya juga nggak konsisten karena masih pake bahasa tidak baku kadangkala.

    Terus, penggunaan kata atau kalimat asing yang dicampur (english sama japanese) juga bikin aku rada berhenti baca bentar karena kesannya kek dipake buat keren-kerenan aja jadinya soalnya Kazu aslinya orang jepang ("pun?") dan gak ada keterangan yang melatar-belakangi kenapa dia ngobrol sehari-hari pake campuran english? Bisa dimengerti kalo karakterisasinya emang sok keren, tapi sayangnya nggak ada narasi yang nunjukin hal ini. Eh yang ada malah di narasinya juga kadang sok english. Jadi tersangkanya seperti penulis.

    Oke, lanjut. Karakterisasi Mima disini juga agak gak konsisten. Untuk orang yang punya pendirian tak ingin membunuh eksistensi lain, terlalu aneh kalau terdesak sedikit saja Mima sudah punya pemikiran ingin mengorbankan Kazuki.

    Ada kalimat :
    Dada Mima naik turun sembari merobek bajunya dan menahan agar tidak banyak darah yang keluar dari lengan kirinya.
    Dada Mima lompat lompat + Dada Mima ngerobek baju + Nahan darah di lengan kiri?? Alpha sekali dada Mima ini...

    Syarat kemenangannya juga nggak masuk akal menurutku. Shinji bilang kalau hanya boleh ada satu orang yang tersisa hanya karena pintunya cuman muat buat satu orang saja? Kenapa gak masuk keluar gantian, satu persatu gitu Si Kazu dan Mima? Massive plothole kalo buatku.

    Selain itu udah mayan bagus kok. Konflik sama klon tercipta dan tergarap dengan baik. Karakterisasi para klon juga memuaskan. Aku nggak masalahin sama karakter OC sendiri yang kurang keeksplor kalo ceritanya udah nggak jelek.


    No Vote
    Alshain Kairos

    ReplyDelete