1.10.15

[ROUND 4] MIMA SHIKI REID - HOMO HOMINI LUPUS

Homo Homini Lupus
;
;
;

---Ithacca, sekitar 1 minggu sebelum Battle of Realms 5 dimulai. Apartemen keluarga Reid.
                                                                 
"Kau juga butuh semacam liburan, bukan?"
"Liburan…."Mima tertawa renyah, seolah-olah mendengar rayuan gombal murahan Jade.  "… maksudmu 'liburan' menurut definisi Mercenary?"
"Misi individual, dengan imbalan sesuatu yang kau idamkan, apa saja yang bisa diusahakan Mercenary." Jade tersenyum simpul. "Kau hapal sekali, Mima. Seharusnya kau tak pernah pensiun."
Ekspresi Mima berubah samar. Sembari mengeringkan kedua tangannya yang basah setelah mencuci tangan, ia membelakangi Jade dan termangu sejenak.
"Kita sudah pernah membicarakan itu. Itu keputusanku. Aku takkan kembali, meskipun… badanku dan hatiku menginginkannya." Mima menatap kedua tangannya. Kedua tangan ini pernah memegang senjata dan membunuh.
Lalu ia berbalik, meraba lehernya dengan canggung.
 "Tanggungjawabku lebih besar sekarang." Ia melirik kearah ruang keluarga, dimana Weasel duduk memangku Philla sambil mengobrol dengan Orlick.
Jade meletakkan sendok dan garpu, piringnya sudah licin tandas. Ia mengambil pisau dapur dan mengupas apelnya sendiri sebagai dessert.
"Dengar. Weasel sendiri khawatir karena ia menganggap….  kau terlalu berlebihan menahan diri. Daripada kau lampiaskan kepada para hitman itu, mereka cuma kroco.Bukan tandinganmu. Kau bisa mengambil 'liburan' itu, sementara aku dan Weasel akan berada di rumah untuk membereskan masalah ini. Lagipula, polisi dan mafia mulai curiga. Raven Kay, bekas atasanmu di SWAT, amat sangat yakin kalau pelakunya adalah kau." Jade meletakkan pisau dan mengunyah seiris apel.
"Kau terlalu baik. Kalau memang berniat memberi pelajaran,jangan tanggung-tanggung."  Kali ini nadanya terdengar memarahi, sekaligus dingin.
Mima seolah pura-pura tak mendengar, diambilnya piring kotor Jade dan langsung mencucinya di bak.
"Jadi, menurutmu… apa yang harus kulakukan?" Mima meletakkan piring Jade ke rak. 
"Kau harus menghilang untuk sementara waktu. Alasan berlibur akan kedengaran masuk akal."
Mima mengeringkan tangan lagi, lalu menggeser tempat duduk di depan Jade. Kali ini suasana obrolan berubah lebih serius.
Jade mengambil sebuah kertas seukuran kartu pos dari balik jaketnya.
Undangan Battle of Realms.
"Weasel sudah setuju. Pertimbangkan."
Mimamembacanya sekilas. Semenit kemudian, ia bertanya.
"Hadiah utamanya adalah terkabulnya keinginan." Mima mengerutkan kening. "Benarkah?"
"Ya." Jade mengangguk. "Hadiah utamanya adalah sebuah emulator yang bisa mengabulkan keinginan. Tetapi, emulator itu juga diincar oleh beberapa pihak. Klienku ingin emulator itu benar-benar aman." Ia mengambil jeda sejenak.
"Kau akan disusupkan sebagai peserta. Tugasmu sederhana; memenangkan turnamen. Kau akan terlihat lemah dan diremehkan, tapi itu bisamenguntungkan. Kalau kau berhasil, emulator itu boleh menjadi milikmu."
"Apakah benda itu benar-benar bisa mengabulkan semua keinginan?" Mima seperti tak memperhatikan kata-kata jade. Ia memikirkan hal lain.
"Bisa."
"Menghidupkan orang mati?"
Jade menggeleng. "Untuk yang itu, tidak."
"Mengubah masa lalu?"
"Tidak secara langsung. Tapi, bisa diatur."
"Bisa menghapus data-data tentangku, keluargaku, … dan Equilibrium?"
Jade terdiam sejenak.
"Kenapa kau ingin menghapus data Equilibrium?"
Mima kembali mengarahkan pandangannya ke arah ruang keluarga.
"Orlick." Jawabnya. "Dia spesial. Dia bisa diincar untuk dijadikan manusia-manusia seperti kita." Mima menangkupkan kedua tangannyadi kepala, wajahnya tiba-tiba terlihat penuh beban. "Ujian seleksiolimpiade matematika minggu lalu, berisi kode rahasia untuk mengidentifikasi bakat… runner, con, hunter… sama seperti kita dulu."
Runner. Con. Hunter.
Penyerbu sergap. Ahli strategi. Pembunuh senyap.
"Dan dia bisa menjawabnya dengan baik. Kau bisa bayangkan apa yang sedang terjadi di dunia ini, Jade?" Mata hijau Mima menatap tajam kakaknya. "Ada perekrutan terselubung yang berlangsung diam-diam."
"'Mereka'," Jade menyahut dingin, dengan nada penuh kebencian.
"Ya."
Sejenak, keduanya hanya saling diam seribu bahasa.
Lalu Jade berkata. "Kalau itu yang kauinginkan, tentu saja emulator itu bisa melakukannya."
Mima melipat tangannya. Menggigit bibir. Berpikir. 
"Baiklah."
Jade tersenyum puas.
"Tapi, ada syarat lain." Mima menatap mata hijau kakaknya, dengan pandangan yang tak bisa ditebak.
"Karena ini 'liburan' yang diperintahkan Mercenary… kau juga harus membayarku, Jade."
;
;
;
Section 1.
A Duty from Netori
;
;
"Jade, aku keluar sebentar," Weasel.
"Hari ini penentuan kelolosan Mima ke ronde empat," Jade menjawab dari dalam kamar. "kau tak ingin mendengar kabarnya?"
"Aku akan langsung menjemput Philla dan Orlick. Kamiakan makan malam di luar." Weasel seperti tak memperdulikan kata-kata Jade. "Ada spaghetti di kulkas, atau kau bisa pesan delivery."
"Sudah tiga hari, Weasel." Jade keluar dan berdiri di samping pintu.
Sampai kapan kalian terus marahan?
"Ada sesuatu yang penting yang harus kubereskan hari ini." Weasel berdiri menghadap Jade. Kaka ipar sekaligus atasan langsungnya di Mercenary. Weasel membawa tas cangklong besar berwarna hitam. Jade melihatnya, dan merasa tak asing.
"Jadi… kau akan melakukannya hari ini?"
"Ya."
Jade merasa harus mengingatkan, sebagai seorang kakak ipar dan atasan yang baik. "Jangan bertindak gegabah."
"Sudah kuperhitungkan matang-matang. Semuanya. All set."
"Hubungi aku kalau kau butuh back-up."
"Beres." Weasel mengambil kunci mobil dan menutup pintu.
Jade menghela nafas. Ia memahami apa yang sebenarnya terjadi.
Weasel masih kesal, tidak bisa membawa Mima kembali, karena Mima menolak untuk kembali. Meskipun ia meninggalkan seperangkat senjata dan perlengkapan SWAT milik Mima di Amatsu, namun itu juga berarti ia membiarkan istrinya berada di negeri antah berantah itu untuk sementara waktu.
Dan kini, Weasel pergi untuk 'membereskan sesuatu'. Membereskan ulah istrinya, yang sebelum berangkat BoR, mempecundangi sekelompok hitman dari kelompok Catanaccio yang berniat memperluas wilayah. Mima mengirim mereka ke rumah sakit dengan luka parah tanpa mereka tahu, penyerangnya hanyalah seorang ibu rumah tangga.
Jade kembali ke dalam kamar, dimana dua laptop besar dan kecil menyala bersamaan, hampir selama tiga hari terakhir. Satu laptop yang besar memperlihatkan citra yang direkam oleh node Orb, sedangkan satu laptop lain digunakannya untuk bekerja.
Panitia BoR di Amatsu akan menentukan dalam tiga hari, siapa yang memenangkan pertandingan antara Mima vs Wildan. Mengapa? Karena Mima mengalahkan Wildan, tapi Orb kalah melawan Alva, ditambah lagi pertandingan itu berjalan di bawah kuasa Netori palsu. Netori akan mengadakan rapat sementara partai pertandingan lainnya berlangsung, untuk menentukan siapa yang layak maju ke babak berikutnya.
Dan keputusannya adalah hari ini.
Apa yang lebih menggelisahkan daripada menunggu seseorang yang kita sayangi untuk pulang? Pulang dari berperang, yang situasi dan kondisinya tak terprediksi. Pergi berjalan-jalan untuk mengalihkan pikiran bersama anak-anak, atau… melampiaskannya pada sesuatu, mungkin bisa membantu menjinakkan perasaan gelisah itu.
Mungkin, Mima juga melakukannya dengan lari, pada saat Weasel pergi bertugas.
Mungkin juga, ia melampiaskannya kekesalannya pada para hitman itu.
Dan sekarang, Weasel juga melampiaskan kekesalannya pada kelompok yang sama.
Mima mungkin masih menahan diri tak membunuh, tapi Weasel akan melaksanakan pekerjaannya tanpa belas kasihan.
Oh, sungguh kalian tak beruntung. Berurusan dengan seorang runner dan anjing gila. Kalian berada di ambang kehancuran, Catannacio.
Bicara tentang kematian membuat Jade teringat pada malfungsi yang dialami oleh Realm.  Seharusnya tidak boleh ada kematian di Battle of Realms, karena sistem server Alforea telah dilengkapi oleh RNG-sama, satu program yang membuat peserta seolah-olah mati, padahal tidak. Itu bisa dilakukan karena realitas keberadaan para peserta dikonversi ke dalam sebentuk data yang menyerupai keadaan kompetisi sesungguhnya. Pada peserta yang mati, mereka hanya mengalami kematian sesaat, lalu dikembalikan ke tempat asalnya dengan selamat. Tapi, dari informasi orang dalam, program itu mengalami error. Lalu peserta BoR 5 harus diamankan ke beberapa tempat, dan terakhir, mereka dilemparkan ke benua server yang lain, Amatsu. Mereka diamankan disana karena Dimas telah berhasil menghancurkan Alforea.
"Liburan…" Jade menggumam di depan laptopnya. Sungguh alasan yang sangat naïf. Senaif Mima, sang pewaris Equilibrium dengan keahlian buru-sergap yang menakutkan. Hanya bisa menyerang, polos, dan  tidak bertaktis. Seperti keahlian berlari yang sederhana.
Misi Mima Shiki Reid adalah memenangkan Battle of Realms. Ia harus menang sebagai kuda hitam, untuk memastikan hadiah utama BoR tidak jatuh ke tangan yang salah.
Jade mengatupkan kedua tangan di depan dagu, merenung sejenak, berpikir sejenak. Ia adalah satu-satunya lulusan Equilibrium kategori Con yang langka, yang sebagian besar kegiatan perangnya adalah dengan berpikir, mengatur strategi, memprediksi kemungkinan-kemungkinan dan menganalisa pikiran lawan. Mungkin itu juga yang membuat rambunya berubah menjadi kelabu, seperti beruban. Padahal usianya belum empatpuluh.
Tapi ada masalah; Data Equilibrium di dunia manusia sudah dicuri oleh seseorang dari Sol Shefra. Mungkin ada pihak yang memanfaatkan situasi ketika Dimas Pamungkasikut campur dalam BoR.
Atau, ada satu pihak yang memang juga menginginkan Equilibrium untuk kepentingannya pribadi.
Hanya para alumni, atau segelintir orang yang tahu, kalau Equilibrium bukan sekedar ilmu bela diri. Ilmu bela diri itu hanyalah sebuah kedok untuk menutupi sesuatu yang lebih menakutkan. Sesuatu yang ditemukan oleh sang Profesor, pendiri Equilibrium, yang setiap alumni harus menjaganya dengan taruhan nyawa.    
Artinya, kalaupun Mima menang, akan sulit untuk benar-benar menghapus data tersebut hingga tak tersisa. Baik di dunia ini maupun di dunia lain....
-o0o-
Mima berjalan canggung diantara koridor-koridor rumah Yang Mulia Netori. Berada di pinggir tebing, rumah putri bangsawan penguasa Amatsu itu lebih mirip benteng kayu yang tertanam di pinggir tebing, daripada sebuah istana megah seorang bagsawan.
Hari ini adalah hari penentuan keputusan hasil pertarungan Mima versus Wildan. Karena, secara teknis Mima unggul lebih dulu dari Wildan, namun Orb, 'monster' Mima, dikalahkan oleh Alva. Terlebih lagi, pertarungan itu berlangsung di bawah pengawasan Netori palsu, sehingga keabsahannya masih harus didiskusikan oleh panitia.
"Aha, Mima-san." Netori membukakan pintu ruangan sendiri, dan di belakangnya, Tarou dan Kumironu, sang samurai pengawalnya yang tampan, berlutut dengan khidmat.  
"Kau menggunakan kostum baru," komentar Netori, mengamati dengan pandangan mata dari atas ke bawah.
Mima masih terasa canggung dengan apa yang ia pakai. Seragam SWAT biru tua berlengan panjang, juga sepatu militer bersol karet yang ia tinggalkan di teras. Ia tak membawa senjata dan tidak mengenakan rompi anti pelurunya, karena Tarou telah memberitahunya untuk tidak membawa senjata saat menghadap Netori.
"Ini tidak baru; ini hanya milikku yang sudah lama tak kupakai," jelas Mima, menunjukkan punggungnya, ada huruf-huruf bertuliskan SWAT berwarna putih yang agak pudar.
"Kau tak pernah menonton pertandingan." Netori langsung menyindir.
"Aku… istirahat di kamarku." Jawab Mima berbohong.
"Selama dua hari kau mengurung diri di kamar dan hanya keluar saat makan. Kemarin pagi, kau menghilang setelah sarapan. Kau tak terlihat dimanapun, bahkan kau tak pernah ke koloseum untuk menonton pertandigan. Apa kau kehilangan minat?" Netori menginterogasinya dengan nada suara lembut.
"Bukan." Jawab Mima buru-buru.Misiku adalah memenangkan BoR ini, aku tak boleh menyerah bagaimanapun keadaannya."Kemarin pagi, aku berlari dan latihan menembak di dalam hutan." Ia berbohong.
Kemarin pagi, aku berlari, menangis, dan menyumpah-nyumpah pada node. Pada Weasel, pada Jade. Itupun kalau mereka mendengar…
Netori mengangguk-angguk.
"Kau dinyatakan menang, Mima-san." Netori berkata sambil melangkah anggun menyusuri koridor kayu. "Dewan panitia memutuskan kaulah pemenangnya. Lagipula, kemarin setelah pulih, Wildan menghadap padaku dan menyatakan secara ksatria bahwa ia yang kalah. Ia telah pulang ke dunianya; tadinya ia berniat untuk bertemu denganmu, namun kau tak ada."
"Oh…" Mima hanya menggumam. Tapi, entah mengapa hatinya tak terasa lega. Mungkin karena kegalauannya dengan Weasel masih tersisa.
"Datanglah menonton pertandingan. Kau juga harus memantau calon lawan-lawanmu di babak berikutnya." Netori memerintah dengan nada suara yang halus, yang entah mengapa, Mima merasa harus menyanggupi.
"Kau bisa berangkat bersama kami," tawar Netori, sebelum naik ke dalam tandu. Tarou telah menunggu di depan, memberikan jalan. "Mau ikut?"
Mima menggeleng.
"Aku… akan ke kamarku dulu."
"Kutunggu di tribun utama, Mima-san." Sahut Netori sebelum menutup kelambu tandu.
Sepeninggal Netori, Mima menoleh kearah node, sisa peninggalan Orb yang telah dihancurkan Wildan. Benda metalik sebesar bola tenis itu hanya melayang lembut di dekatnya. Mengikutinya ke sana kemari, seperti stalker yang tak tahu sopan santun.
"Aku lolos,Weasel, Jade." Mima tersenyum pada node. Entah mereka di dunia manusia melihatnya atau tidak, Mima hanya ingin melapor. "Misi dilanjutkan." Lalu ia kembali ke kamarnya.
Dibukanya tas hitam yang ditinggalkan Weasel. Rompi anti peluru, dan seperangkat senjata lainnya ada di dalam. Cukup banyak. Pistol-pistol, granat, magasin dan puluhan kotak-kotak peluru, obat-obatan pertolongan pertama untuk perbekalan individual, juga sekotak besar cereal bar pengganjal lapar yang entah kapan Weasel membelinya. 
Mima hanya mengambil sabuk pistolnya yang dibuat secara khusus untuknya. Sabuk itu seumur dengan usianya sejak ia pertama kali melakukan penyerbuan pertamakali di usia empat belas, hanya bertambah ukuran beberapa senti. Sarung pistolnya tidak terletak di pinggang, tapi di belakang pinggang, di atas pinggul dan bersilangan. Ia memilih dua pistol tipe Browning dan menyelipkannya, tongkat baton ASP di saku paha,dua magasin, dan obat-obatan darurat seperlunya. Ia sempat bimbang apakah harus membawa kembali garpu dan pisau ACE itu, mengingat… itu hanyalah  peralatan dapur.
Tapi, ketika kedua hal itu mengingatkannya pada Orlick dan Philla.Akhirnya dibawanya kedua benda itu, ia selipkan di saku-saku di celananya, bersama dua batang cereal bar.Terakhir, dikenakannya rompi anti peluru.
"Saatnya setor muka pada Netori," ia bicara sendiri, sedikit mengeluh. "Dan mungkin… memperkenalkan diri bukan sebagai ibu-ibu lagi."
-o0o-
Jade menatap laptop yang memantulkan citra yang direkam oleh node Orb. Memperlihatkan Mima yang berjalan diantara jalan setapak menuju koloseum Amatsu. Mengenakan seragam lengkap SWAT-nya. Ia bertemu dengan salah satu peserta yang juga sedang menuju koloseum, Mima menyapa peserta itu dengan ramah. Ia sama sekali tidak (atau belum) terlihat menyeramkan dengan serangam lamanya. Masih seperti ibu-ibu yang salah kostum.
Tanpa sadar, jemarinya menyentuh layar laptop, menyentuh sosok Mima yang berjalan
Darahku ini terkutuk. Aku tak bisa mencintaimu...
Cukup ia sendri saja yang mengetahui kalau dirinya sister complex, terobsesi pada adik kandungnya sendiri. Mungkin karena itu ia belum menikah dan menjadi playboy. Biarlah dunia menyebut ia kakak kejam yang posesif, yang memanjakan adiknya dalam cara yang sulit dipahami. Biarlah Weasel membencinya, demi perlindungnnya yang berlebihan terhadap Mima…
Tapi, kerelaan Weasel pada istrinya untuk lepas bertempur di Sol Shefra juga pertanda cinta. Dan keikhlasan semacam itu tak mampu dijangkau oleh Jade yang sejak kecil, diajarkan bahwa benar atau salah itu tak ada dalam sebuah peperangan.Ia seorang con, bukan runner.
Cinta buta yang naïf. Cinta polos yang tak mengenal intrik.
Weasel dan Mima. Mima dan Weasel.
Kadang Jade merasa tak paham. 
Kotak chat-nya berdenting. "TMN" mengirimkannya pesan.
TMN: BlackZ mendekati Amatsu.
Mata Jade melebar.
"Sial!"
-o0o-
"Oh, hai, selamat pagi." Mima yang menyapa duluan, ketika ia bertemu sesorang yang berjalan santai dengan langkah lambat-lambat, yang juga tampaknya menuju Amatsu. Ia seorang remaja laki-laki yang mungkin masih berusia belasan, mengenakan kacamata dan headphone. Hanya beberapa senti lebih tinggi dari Mima, ia mengenakan baju gari-garis dan jaket hood longgar kasual, dan sebuah pedang pendek diselipkan begitu saja di belakang ikat pinggangnya. Wajahnya pucat seperti kurang berjemur, suram dan tampak pendiam.
"Hai," Ia menjawab pendek, suaranya pelan hampir tak terdengar.
"Kau peserta BoR juga? Apa kau akan pergi ke Koloseum?"
Ia mengangguk. "Sebenarnya, aku malas."
Mima tersenyum. "Sebenarnya, aku juga enggan."
"Badanku masih terasa lelah akibat bertanding kemarin." Remaja itu menggeliat malas.
"Apakah kau menang?" tanya Mima.
"Aku menang." Namun, ia tak terlihat bersemangat dengan hal itu. 
"Oh, bagus. Siapa namamu?"
"Perkenalkan dirimu dulu." Bocah itu menyahut dingin.
Astaga,sinisnya…pikir Mima. Lalu ia memperkenalkan diri.
"Kaz. Kazuki Tsukishiro. Rupanya kauMima, yang menghancurkan koloseum."
Mima tersenyum masam, ia sempat terbiasa dipanggil dengan sebutan 'Mrs. Reid'atau 'kakak' oleh peserta lain, tapi Kaz sepertinya tak mengenal etika semacam itu.
"Tapi mereka sudah memperbaikinya."
"Seharusnya hancur total sekalian, supaya pertandingan bodoh ini tak berlanjut di sini." Kaz Nampak kesal. "Tempat ini mirip dunia asalku yang menyebalkan."
Lalu Kaz mengamati Mima dari ujung kaki ke ujung kepala.
"Kau berubah. Upgrade besar-besaran, huh?"
"Yeah. Begitulah…." Mima mulai merasa tidak enak mengobrol dengan pemuda itu.  Melihat ekspresinya yang datar, kalimatnya yang nyinyirpendek-pendek, dan gerak-geriknya yang pelan, jangankan mengobrol, sepertinya Kaz juga enggan berjabat tangan. Maka, mereka berdua hanya berjalan berdampingan menuju koloseum.
"Boleh kusentuh ini?" tiba-tiba Kaz bertanya. "Aku ingin tahu apa ini."
"Oh, node? Silahkan." Toh benda itu tak berbahaya, pikir Mima.
Kaz langsung menyentuhkan telunjuknya ke permukaan node yang masihmelayang lembut mengikuti Mima.
"Sial." Kaz langsung menarik tangannya begitu menyentuh node.
"Kenapa?"
"Ini drone mata-mata sekaligus bom; dengan daya hancur hingga sepuluhyard."
"Apa?" Mima terkejut.Mengapa aku tak tahu?Jadi selama ini Jade mengawalku dengan sebuah bom?
"Tapi, benda ini dirancang untuk melindungimu. " Sahut Kaz, masih tanpa ekspresi. "Kau tak perlu khawatir.Tapi, karena aku sudah menyentuhnya; bom itu takkan mempan padaku."
Mima mendegar ancaman implisit yang ditujukan pada dirinya; namun ia tak peduli.
"Meski sama-sama lolos, kita belum tentu bertemu di babak selanjutnya." Kilah Mima.
"Kalaupun bertemu, kau tak bisa menggunakan itu." Balas Kaz. "Pikirkan cara lain."
"Kita lihat nanti."
"Ya. Kita lihat saja nanti."
Dialog yang dingin itu berhenti ketika terdengar suara gemuruh di kejauhan. Arahnya datang dari koloseum.  Suara ledakannya bahkan cukup besar, hingga tanah dan debu ikut berhamburan menerpa keduanya.
"A-apa yang terjadi?"
Mima langsung berlari kearah koloseum, dan Kaz mengikuti di belakangnya.
Dan pemandangan yang mengerikan terhampar di depannya. Koloseum telah berubah menjadi lautan api. Asap hitam membubung ke udara. Juga para penonton berlarian. Terlihat beberapa penonton dan peserta yang berusaha menyelamatkan diri. Suasana tak ubahnya seperti tiga hari yang lalu, ketika Orb runtuh dari udara.
Sekelompok peserta menantang di tengah koloseum, kearah sebuah sosok hitam yang melayang diudara. Berdiri tegak, melayang terbang, dengan aura hitam yang gelap menguar keluar dari seluruh tubuhnya. Suaranya menggelegar menakutkan.
"DIMANA KOTAK LAPLACE ITU?"
"Kotak Laplace apaan?!" salah satu peserta berteriak.
Mima terperangah melihat tribun utama yang telah hancur. Hanya terlihat lipatan kimono Netori yang tertimbun di bawah reruntuhan, berikut jejak darah yang mengalir dari celah-celah reruntuhan.
Netori… yang mulia Netori yang baik, yang tersenyum hangat padanya beberapa menit lalu.
"Apa yang kau lakukan? Apa yang kau inginkan?!" Teriak Mima keras.
"SERAHKAN PADAKUKOTAK LAPLACE ITU!"
"Apa itu?" Satu peserta lain menimpali, berteriak heran.
"BUKANKAH ITU JUGA YANG KALIAN KEJAR? SESUATU YANG MENGABULKAN KEINGINAN?"
Beberapa peserta saling berpandangan, tak mengerti.
Emulator? Mima teringat pesan Jade tentang misinya. Apakah emulator itu adalah kotak Laplace?
"HAHAHAHA! RUPANYA KALIAN TIDAK TAHU APA-APA! KALIAN SUNGGUH TIDAK BERGUNA!" Sosok hitam itu tertawa keras. "AKAN KUTUNJUKKAN APA SEBENARNYA TERJADI DI BALIK PERTANDINGAN INI!"
Lelaki itu mengangkat tangan dan kemudian melakukan gerakan membelah.
Tanah di tengah koloseum membelah, di bawahnya menganga lubang teleport hitam, seperti lubang hitam dengan guntur dan halilintar bertalu-talu keluar dari pinggirannya.
Mima terjatuh ke dalam. Terserap deras.
Juga yang lain…
;
;
;
Section 2:
Biolab
;
;
Tubuh Mima jatuh berdebum. Ia mengaduh lagi ketika sesosok manusia juga menyusul jatuh menimpanya. Keduanya bergulat dalam kegelapan, berusaha mencari posisi terbaik untuk bangkit, namun sulit karena selain suasana gelap gulita, permukaan tempat mereka jatuh juga tak rata. Seperti tumpukan sesuatu.
"Singkirkan tanganmu!" Mima menyerapah ketika orang itu mengangkat tubuhnya dengan kedua tangan bertumpu di dada Mima. Meskipun ia mengenakan rompi anti peluru, tetap saja terasa sakit.
"Maaf," sebuah suara bernada datar menyahut dalam kegelapan. Mima mengenalinya,terdengar seperti suara teman seperjalanannya saat akan ke koloseum.
"Kaz?"
"Mima. Oh, mendokusei," Suara itu kembali menyahut. Khas Kazuki betul.
"Sepertinya kita diteleport paksa ke tempat ini… tempat apa ini?" Keduanya meraba-raba dalam kegelapan dan merangkak untuk mencari jalan. Terseok-seok, Mima merasakan kalau mereka berada dalam sebuah gundukan benda-benda kenyal berbagai tekstur. Dan bau anyir yang memuakkan, bercampur dengan bau obat disinfektan yang luar biasa keras.
"Baunya luar biasa. Sial… kita dimana? Aduh!" Mima tersandung sesuatu dan tubuhnya berguling ke bawah. Tangan dan lututnya menyentuh permukaan tanah keras, yang digenangi air, atau sesuatu yang basah.
Bauanyir yang khas… Mima menutup hidung. Meskipun ia berada dalam kegelapan, indera penciumannya merasa tak asing dengan bau semacam ini.
Sebentar. Ia jatuh di atas sebuah gundukan. Dengan permukaan yang tak rata. Tekstur kenyal…
Satu gambaran mengerikan menyeruak dalam kepalanya. Membuat seluruh permukaan kulitnya merinding, dan perutnya mual seketika.
"SIAL! Kaz, dimana kau?! Kita enyah dari sini!" Mima berdiri dan mundur dengan langkah sembarangan. Ia tersandung sesuatu dan jatuh lagi. "DAMMIT!"
Kaz menyusulnya, meski dengan beberapa kali menyumpah akibat terhambat sesuatu. Ketika terdengar suara langkah berkecipak di atas air, Mima tahu Kaz sudah berada di dekatnya.
"Sebentar… ada lampu di arlojiku…"
"Jangan!" Teriak Mima. "Jangan nyalakan, kecuali kau… "
Dan sekilas cahaya pendar kecil muncul di kegelapan, menerangi remang-remang. Mima menginggit bibirnya kuat-kuat, memicingkan mata, memalingkan muka, meskipun ia tahu, ada kemungkinan gundukan itu dimana-mana.
Kaz melihat tumpukan mayat yang menggunung.
Ditumpuk seperti sampah, seperti boneka yang rusak dan dibuang.
Beberapa sudah tak utuh. Juga berubah warna. Hijau, hitam, ada yang membengkak danada yang hancur. Dan baunya… anyir.
Kaz hanya menatap dengan mata membelalak, tak berkedip. 
Lalu cahaya itu mati lagi. Lalu terdengar suara muntah.
Mima yang muntah. Sarapan paginya keluar semua.
Mima bernafas, tersengal, menutup mulut dan hidungnya rapat-rapat.
"Sial." Terdengar Kaz menyerapah pelan."Kita keluar dari sini. ayo."
Lalu lampu arlojinya menyala lagi, kali ini untuk mencari-cari jalan keluar. "Tempat apa ini?"
"Oh, God!" Mima berteriak tertahan, ketika cahanya menerangi satu sosok manusia yang dirantai diatas semacam meja, dengan perut terbelek dan ceruk mata bolong.
Kaz, mungkin anak itu syarafnya ada yang putus, wajahnya tetap tanpa ekspresi ketika melihat pemandangan mengerikan itu.
Mereka menemukan pintu yang tertutup. Mima berusaha membukanya. Ketika ia berpikir untuk membukanya secara paksa, Kaz maju dan menyentuh pintu itu, dan pintu itu langsung bisa dibuka, Kaz menggesernya.
"Oh, bagus." Mima terkesan.
"Kalau kau mau memberikan aku waktu, aku bisa memperbaiki penerangan." Kaz berkata, nada-nadanya seolah Mima hanya sosok merepotkan yang tak bisa apa-apa. "Itu kekuatanku. Menguasai bagaimana cara kerja sebuah benda dalam sekali sentuh."
"Baiklah, master." Mima mengalah.
Keduanya keluar dan menemukan koridor. Hanya berjarak beberapa langkah, terdapat semacam kotak yang menempel di dinding. Seperti kotak jaringan listrik.
Ada tulisan bercat biru nampak di kotak itu:
BIOLAB 2nd FLOOR
ENHANCEMENT CENTER
"Laboratorium." Sahut Kaz.
"Terkutuk," Mima hanya menyahut geram, mengingat pemandangan mengerikan yang sempat mereka lihat di dalam ruangan sebelumnya. 
"Di duniaku, ada banyak lab semacam ini," Kaz melanjutkan sambil membuka kotak itu, dan di dalamnya terdapat jaingan-jaringan kabel rumit bersaling-silang. Ia berikan jamnya pada Mima untuk membantu memberi penerangan, sementara ia mencoba memperbaiki jaringan listrik.
"Sepertinya ada sabotase," Kaz melihat ujung kabel-kabel yang tampak seperti dipotong paksa. Ia menyambung beberapa kabel, lalu menekan kenop listrik. "Kerusakannnya terlalu parah. Tapi, sistem penerangan darurat pada stasiun ini masih bisa dinyalakan."
Koridor menyala remang, dengan lampu darurat berwarna kuning pudar menyala di langit-langit, ada yang menyala, ada yang tidak. Tapi, ada sedikit cahaya remang yang menerangi koridor yang penuh dengan reruntuhan, mengesankan sesuatu yang kacau telah berlangsung, meninggalkan kemuraman dan kesunyian yang horror.
Kaz diam sejenak, membaca sebuah papan denah yang berada di sebelah kotak, berupa papan plastik dengan permukaan biru dan tulisan kecil-kecil yang terciprat darah. 
"Sepertinya, ini laboratorium kloning," Kaz menimpali. "…tidak aneh, banyak mayat percobaan di dalam tadi."
"Tidak mungkin. Kloning manusia belum pernah ada yang berhasil." Mima membantah.
"Di duniamu, Mima." Sekali lagi, Kaz berkata dengan nada satir yang dingin. "Di duniaku, teknologi klon sudah digunakan untuk kepentingan militer." Terang Kaz. "Kakekku, adalah salah satu yang dimanfaatkan gennya untuk mengembangkan prajurit unggul."
Mima sedikit jengkel, menyesali keadaan mengapa ia harus terjebak bersama Kaz yang menyebalkan. Ia mendekatkan mukanya ke arah denah.
"Seharusnya ada jalan keluar." Sahut Kaz. "Ada lift dan tangga darurat di ujung koridor. Kita harus melewati 'meeting room'dan'bio-treatment hall'untuk menuju ke sana." Kaz menunjuk denah, jarinya menyusuri garis lurus yang melewati dua kotak. "Dan, kita berada di sini. di koridor dekat 'residual body mortgage'. Kamar mayat."
Mima merasa perutnya kembali mual. Ia tak ingin tahu lebih jauh, mengapa Kaz sepertinya tenang-tenang saja melihat mayat-mayat busuk di dalam tadi. Mungkin dunianya adalah Jepang yang berbeda, pikir Mima.
"Kalau begitu, kita harus menuju ke sana untuk keluar dari sini," sahutnya. Tempat ini terasa menyesakkan… 
Dan di koridor, mereka menjumpai mayat-mayat lagi, tergeletak tikungan. Mayat-mayat itu ada yang berpakaian seperti pasien rumah sakit, berwarna biru terang dan hijau muda, dan juga ada yang mengenakan seragam biru tua dan hitam, berikut sepatu lars bersol karet mirip yang dikenakan Mima. Seolah-olah mereka adalah pasien dan petugas keamanan.
"Sepertinya, baru terjadi kemarin," Mima melihat satu mayat, kepalanya berlubang. Dan sarung pistolnya kosong. Kondisi jenazah para petugas tampak  jauh lebih baik daripada berada di dalam ruangan sebelumnya, yang ditumpuk begitu saja. Sebagai mantan anggota polisi, Mima masih ingat bagaimana cara membedakan mayat baru dan lama..
"Sepertinya, baru saja terjadi pembantaian di sini." Mima mulai mengatur langkah, hingga langkahnya tak bersuara. "Kita harus waspada, sambil mencari jalan keluar."
"Ngomong-ngomong, node-mu tak terlihat." Bisik Kaz.
"Biarlah," balas Mima. Toh, tidak ada yang menyuruhku untuk menjaga benda itu.
"… tolong…."
Kaz dan Mima menghentikan langkah, lalu saling berpandangan. Ada suara sayup-sayup meminta tolong. Terdengar menggema lemah diantara koridor.
"Kau dengar itu?"
"… disini…"
Kaz mengangguk. "Ada seseorang yang masih hidup."
Keduanya berjalan ke sumber suara. Genangan meninggi beberapa senti, hingga sebetis, kadang-kadang koridor juga terhalang oleh reruntuhan. Namun air itu tidak mengalir, hanya permukaan lantai yang sepertinya menurun, bahkan kadang ada yang retak atau terbelah. Kabel-kabel bersaling silang, dan kadang-kadang lampu temaram di langit-langin meredup atau mati. Mima bersyukur ia sudah ganti kostum, karena sepatu militernya saat ini waterproof dan sesuai untuk segala medan. Kaz agak kesulitan dan kadang-kadang kakinya terjerat kabel atau sesuatu, atau ia harus menyisir koridor yang terbelah dengan ekstra hati-hati. Mima beberapa kali mengulurkan tangan untuk menolong Kaz, namun Kaz acuh dan lebih suka berjalan sendiri.
Tanpa mereka ketahui, langkah kedua orang itu menciptakan riak-riak air. Riak-riak air yang sampai ke sebuah ruangan, dimana seseorang, dengan baju persis petugas keamanan, sedang duduk mengongkang kaki di depan sebuah meja besar.
Ruangan itu hanya diterangi cahaya temaram berwarna hijau yang datang dari tabung-tabung berisi cairan hijau keruh yang berjajar di dinding. Sebuah tabung seukuran manusia bertuliskan 'TELE-EXIT', berpendar hijau di belakangnya, menancap tegak di lantai seolah-olah tabung itu ditancapkan oleh seseorang di sana. 
Pria itu menyaksikan perubahan riak air di genangan air dari tempatnya duduk.
Ia tersenyum.
"Oh, Daniel." Ia bergumam dengan suara mendesah, satu senyum sinting menghiasi wajahnya. Dambilnya sebuah pistol, dijilatnya seolah-olah benda itu terasa nikmat, seolah-olah ia sedang mencumbu leher seorang wanita. Sinar matanya seperti orang mabuk yang sedang fly.
"Somebody does come…"
;
;
;
Section 3:
Memory Intruders
;
;

Sumber suara itu semakin mendekat, arahnya dari dalam sebuah ruangan dengan tulisan 'archives room'. Kaz membuka paksa pintunya, dan barisan lemari – lemari yang runtuh dan palang-palang berada di dalamnya, berikut kertas-kertas, benda-benda seperti cakram, rol film, mengambangmemenuhi permukaan air.
Kaz mencabut  pedang pendeknya, ketika sebuah mayat mengambang di dekatnya, telungkup, dengan genangan merah darah mencemari air dalam ruangan. Mima langsung meraba pistolnya di belakang pinggang. Tangan kirinya sudah mengeluarkan baton ASP.
"Kalau ini jebakan…" Kaz menoleh ke belakang.
"Aku akan mem-back-up bagian belakang." Mima mencabut satu pistolnya.
Kaz melangkah pelan ke dalam. Suara kelontangan besi dengan besi terdengar diiringi jerit minta tolong ketakutan, yang terdengar semakin keras, mengetahui ada dua orang yang masuk.
"Tolong! Tolong!"
Mima berjalan mundur, mengikuti Kaz dengan membelakanginya, langkahnya waspada. Fokusnya penuh kearah pintu keluar.Ia tak menyukai ruangan tertutup. Musuh bisa menjebak dengan mudah. Ia berniat menembak apapun yang terlihat bergerak dan mencurigakan dari arah pintu.
Dan perasaannnya sungguh tidak enak… seolah ada bahaya yang mengintai mereka diam-diam ditengah keremangan dan kegelapan ini. 
Suara minta tolong itu berhenti. Berganti dengan suara dialog pelan, Mima, yang berdiri membelakangi Kaz menghadap ke pintu, memanggil Kaz.
"Kaz?"
"Mima," Kaz memanggil. "Aman. Dia tak berbahaya."
"Bagaimana kalau ini jebakan…?"
"Lihat kemari." Nada suara Kaz terdengar datar.
Akhirnya Mima menurunkan pistol dan batonnya, lalu berbalik pelan-pelan. Dari balik sebuah lemari yang masih tegak, siluet badan Kaz menghadap kearah satu sosok manusia yang berlutut ketakutan dengan kedua tangan terborgol di sisi jeruji pemanas ruangan.
Sosok itu diam, menatap Kaz dengan mata ketakutan. Ia masih merintih tersengal seperti habis menangis. Kaz juga hanya berdiri menatap balik, dengan pandangan mata sedih.
Keduanya saling menyerupai sama persis, hanya pakaiannya yang berbeda. Dia mengenakan pakaian warna hijau longgar seperti pakaianpasien rumah sakit, dan bertelanjang kaki. 
"Siapa kau?" Kaz bertanya.
"Shi…" anak itu menjawab dengan bibir bergetar. "Shi-Shinji."
Mima berdiri tegak, menyadari sesuatu yang menakutkan tengah terjadi.
Sosok hitam itu sempat berkata 'akan kutunjukkan apa yang sebenarnya terjadi'.
"Clone." Kaz berkata pendek. Nada suaranya penuh dendam. 
"Apa kita semua yang mengikuti pertandingan ini … di-kloning?"
-o0o-
Tiga jam terakhir, Jade tak beranjak sedikitpun dari kursinya. Laptop besarnya yang berfungsi sebagai pengendali node, memindai ruangan dengan mode night vision. Node-nya memang ikut ter-teleport ke tempat yang bernama Biolab 2nd floor itu, namun ia mengendalikannya dengan berpencar dari Mima, untuk mencari tahu lebih banyak tentang kondisi sekitar.
Laboratorium kloning yang telah rusak. Reruntuhan dimana-mana, juga tergenang air. Ada bekas-bekas pembantaian dengan senjata api. Dan node telah megirimkan citra gambaran menakutkan dari sebuah ruangan yang penuh tabung-tabung berisi manusia-manusia tidur yang penampilannya mirip peserta Battle of Realms; meskipun ia tak menemukan yang mirip Mima di manapun.
Jade menggingit bibirnya karena geram.
Bukan cuma data Equilibrium itu bocor. Tapi, mereka membuat clone dari gen seluruh peserta.
Terkutuk.
Setelah beberapa detik berusaha mengendalikan diri, ia mengirim pesan kepada "TMN", kontraktornya di Sol Shefra. 
MRC: Kau tahu tentang ini?
TMN: biolab itu baru kami ketahui setelah ledakan.
MRC: Siapa yang bertanggungjawab?
TMN: Kami belum mendapat informasi pasti siapa yang membangun biolab itu. Tapi, kehancurannya, setengahnya karena Dimas. Lab itu terletak jauh di bawah tanah ketika Dimas menghancurkan permukaan.
MRC: kenapa tidak dihancurkan sekalian?
TMN: lab itu berisi terlalu banyak clone yang bisa sulit diatasi. Dimas hanya menutup semua jalan keluar. Mereka semua akan mati seiring berjalannya waktu. Kehabisan udara dan makanan.
MRC: aku melihat ada tulisan 'tele-exit'. Ada satu mesin teleport di dalam sana.
Ada jeda yang agak panjang, sepertinya "TMN" masih memastikan dahulu apakah hal itu benar.
TMN: Kalau begitu pastikan hanya agen-mu yang keluar dari sana.
-o0o-
Mima mendekat, dan perasaannnya terasa ganjil. Shinji denan Kaz bagaikan saudara kembar identik.
Ketika Shinji melihat Mima, matanya langsung membelalak, spontan menjerit-jerit seperti orang gila, seolah Mima adalah sosok yang mengerikan. Ia meronta-ronta dengan kedua borgol di tangannya, hingga memerah pergelangan tangannya.
"JAUHI AKU!" teriaknya histeris. "JANGAN MENDEKAT!"
"Apa…"
"TIDAK! TIDAK!"
Kaz menatap Mima curiga. Dengan satu gerakan cepat, ia menyentuh tangan kiri Mima yang paling dekat dalam jangkauannya, dan berkonsentrasi untuk megeluarkan kemampuannya.
Kemampuan Kaz memungkinkan ia untuk mengetahui perasaan dan pengalaman seseorang hanya dengan melakukan kontak kulit ke kulit. Setiap jejak sel dalam tubuh manusia menyimpan ingatan, dan kemampuan ajaibnya memungkinkan ia membaca data yang tersimpan dalam ingatan sel, dalam waktu singkat.
"Kaz?" Mima heran dan spontan beringsut, ketika tiba-tiba tangannya yang memegang baton disentuh.
Terlanjur. Kilasan-kilasan ingatan emosional merasuk cepat dalam otak Kaz.
Membanjir…
Dia berlari, gadis itu, masuk ke dalam kerumunan dimana musuh berkumpul.
Kedua tangannya mencabut dengan lentur dua pistol di belakang pinggang…
Gerakannya aneh. Ia menembak, kesana kemari, dengan akurasi yang mengagumkan.
Kedua tangan, pinggang, kaki, meliuk dan melangkah gesit, ke kanan, kiri… seperti menarikan tarian kematian…
Ashura….
Ingatan itu berputar cepat. Melemparkannya ke sisi memori yang lain.
Seorang lelaki tua, berseragam biru tua SWAT. Memegang buku filsafat Cina kuno di tangannya. Wajahnya tampak bijak, dan ia tersenyum teduh ketika dua tamunya datang.Gadis belasan tahun yang tadi, diserahkan dengan diborgol kedua tangannya oleh seseorang.
"Captain Adair, namanya Mima Shiki.Mulai hari ini ia berada di bawah tanggung jawab anda,"
"Kudengar, ada tiga orangEquilibrium survivor yang tersisa dari Bezkal?"
"Navy Seal meminta kakaknya, langsung dijemput tadi pagi. Satu yang lain, berhasil kabur."
Lelaki tua itu mengangguk, lalu ia ganti melemparkan senyum ramah pada anak perempuan itu. "Mima, ya? Kau bisa menganggapku sebagai ayah mulai sekarang."
Ingatan itu terasa hangat namun asing bagi Kaz. Lalu seolah-olah direnggut paksa, Kaz terlempar lagi ke ingatan lain, yang penuh dengan banjir adrenalin.
Pistol di belakang pinggang. Tarian kematian.
Mengenakan helm, berseragam atau berpakaian bebas, selalu dengan pistol di belakang pinggang.Gerakan yang aneh seperti tarian dengan tangan melambai dan peluru berhamburan.Kepala, jantung, tangan atau tempurung kaki yang berlubang. Akurasi yang mengerikan.
Entah dimanapun dia berada.Koridor. Gang. Jalan raya. Hall pabrik narkoba. Penyergapan di pelabuhan, menerobos ke markas musuh, koridor yang dipenuhi para hitman…. orang-orang yang kepalanya berlubang dalam sekejap, atau jika beruntung, hanya teruka di bagian vital, tanpa sempat berpikir apa yang menyerang mereka.
Namanya tak pernah diketahui. Kepolisian selalu menyebut prestasi mereka sebagai "kerja tim". Tapi, nama sang pengeksekusi utama yang menyerbu markas musuh itu…
Tak pernah diketahui publik.
Ingatan-ingatan berikutnya membuat Kaz ingin muntah. Emosi yang asing, menyakitkan sekaligus membahagiakan, menyeruak masuk, silih berganti dengan cepat.
Ketika gadis itu untuk pertamakali menangisi keadaannya. Lalu bertukar peluru dengan seorang lelaki berambut panjang, berkacamata hitam, yang lalu melamarnya dan menikahinya, lalu menjalani malam pertama pernikahannya, dimana ia menyerahkan diri dan menangis disertai rintih antara kenikmatan dan kesakitan, dan berulang kemudian ketika menjalani persalinan pertama dengan cara normal…
Kaz limbung. Rasa sakit luar biasa itu berulang… dua kali. Terlalu menyakitkan…  
Lalu muncul ingatan yang lain, Mima duduk terpekur di sebuah ruangan konsultasi. Seorang perempuan berkacamata membawa kertas, menghadap ke arahnya.
"Baiklah, mari kita tarik satu benang merah, pertemuan-pertemuan kita hari ini." Perempuan berkacamata itu mengecek kertasnya, lalu menatap Mima.
"Katakan, dok." Mima meraba kepalanya, terasa lelah.
"Kau mengalami semacam krisis identitas. Masa lalumu berbenturan dengan tuntutan peranmu saat ini sebagai seorang ibu. Ditambah lagi, suamimu sering bertugas jauh dengan kondisi yang tak pasti. Itu menciptakan konflik dalam dirimu."
"Aku…" Mima menggumam sejenak, matanya mulai berair. "…aku tidak gila, 'kan?"
Ingatan itu berpindah cepat, ke ingatan lain.
Seseorang, mengenakan sepatu lari trailing running warna ungu. Celana trainingnya kebesaran dan hoodie-nya berwarna kelabu. Kepalanya mengenakan topi baseball, masker dan kacamata hitam. Ia berdiri tegak di depan seorang lelaki.
Lelaki itu berlumuran darah. Kedua lutut, siku, dan perutnya terluka, patah berbelok ke arah yang salah, berikut luka sabetan dimana-mana. Dua telapak tangannya terpaku ke tembok, garpu dan pisau makan untuk mengiris roti menancap di telapak tangan, membentangkan tubuhnya seperti disalib dalam posisi duduk.
Satu pisau yang terakhir menancap di pinggir leher. Hanya seinci mendekati pembuluh darah penting. Pria itu bergetar dengan mata ketakutan.
Sang pengeksekusi merogoh balik jasnya, melucuti senjata lelaki yang tersiksa itu.
"Bergerak sedikit saja, pembuluh darah lehermu akan terpotong." Bisiknya dingin.
"Jangan perlihatan dirimu lagi di wilayah ini, Catanaccio."
Kaz begidik, ketika satu ingatan terakhir yang masih sangat segar, akhirnya muncul.
"Misimu sederhana, memenangkan Battle of Realms." Seorang lelaki berambut perak berkacamata mengatakan kepadanya. Kakaknya. Jade Shiki. Mantan pasukan elit Navy Seal, desersi, dan sekarang menjadi komandan tentara bayaran internasional yang namanya dibicarakan di balik bayangan konspirasi.
"Kau akan terlihat lemah dan diremehkan. Tapi, itu akan menguntungkanmu."
Mima berdiri di hadapannya, mengenakan apron dan baju longgar seperti ibu rumah tangga biasa. Tapi wajahnya serius seperti menerima sebuah misi.
"Kau boleh menghalalkan segala cara, Mima." Lelaki itu menatapnya lurus. "… yang penting, kau menang, lau akan kukabulkan keinginanmu…"
Kaz menarik tangannya sekaligus mundur dengan sigap, langsung menghunuskan kodachi. Lautan ingatan itu terlalu banyak, berisi emosi yang terlalu berat, di luar batas kemampuannya menanggung.  
Yang membuatnya muak, ingatan emosi itu penuh berisi kekalutan figur seorang ibu, satu sosok yang dibencinya selama ini. Kebahagiaan, kesakitan, kekalutan dan juga ketakutan…. Tidak ada yang dominan, semuanya terlalu banyak, masif, dan di luar jangkauannnya…
Semua ibu adalah… pembohong.
"KAU! Kau menipu kita semua!" Tuduhnya pada Mima.
Shinji menyaruk ketakutan di belakangnya.
"Sebentar…"Mima mengangkat kedua tangannya.
"JANGAN MENDEKAT!" Kaz berteriak. "Seharusnya aku tahu! Tidak mungkin seorang ibu rumah tangga bisa punya kemampun sepertimu. Kau memperdaya kami semua. Kau…kau…" Kaz mencerca dengan hawa penuh kebencian.
"KAU PENIPU!"
"Tidak!" Bantah Mima, masih berusaha menenangkan Kaz. "Dengar…"
Kaz menarik sesuatu dari balik punggungnya, sebuah pedang yang lebih panjang. Ganti kodachi-nya ditarik siaga ke dekat tubuhnya. Posisinya dalam kewaspadaan penuh untuk bertarung.
"Kubilang, jangan mendekat." Kaz menatap penuh kebencian. Luapan emosi yang tertular akibat kontak itu membuatnya muak dan pusing. Ia tak ingin bersentuhan, atau bahkan, melihat Mima lebih lama lagi. Pedang panjangnya diarahkan dengan jangkauan sejauh mungkin, hanya berjarak setelapak tangan dari tempat Mima berdiri.
"Dia akan membunuh kita semua!" Shinji mencicit ketakutan di belakang kaki Kaz. "Clone-nya mengamuk dan membunuhi semua orang yang ada di sini!"
"Clone..?"
Clone dari Mima Shiki Reid?
"Kaz, dengarkan aku." Mima mengangkat kedua tangannya, mencoba menenangkan Kaz. ".. dan Shinji, aku bukan clone. Aku bukan pembunuh…"
"She is a killer, indeed…." Sebuah suara menyahut dingin.
Sebuah siluet manusia muncul di pintu. Seorang lelaki. Terlihat dari bahu dan lehernya yang maskulin.
Mima langsung mengarahkan pistolnya ke pintu.
Wajahnya tak terlihat karena gelap. Tapi seragamnya mirip dengan yang Mima kenakan.
"Tak bisa dipercaya. Selalu bimbang. Punya  gangguan jiwa. Lebih suka bermain aman, polos, menyerang langsung dengan dor-dor-dor. Bertopeng polos dan naïf padahal kemampuannya menakutkan. Palsu." Sosok misterius itu melanjutkan, suaranya datar dan rendah, penuh intimidasi dengan nada merendahkan yang menelanjangi, mengacaukan pikiran dan persepsi.
Tapi, yang mencekam urat syaraf Mima, adalah karena suara itu teramat mirip dengan suaranya sendiri.
"Siapa kau?" Kaz ikut mengarahkan pedang panjangnya ke pintu.
"Vulture." Ia menjawab pendek.
Clone… ku? Tenggorokan Mima tiba-tiba terasa tercekat.
Dia… laki-laki.
"Clone-mu? Ya."
;
;
;
Section 4:
Vulture
;
;
;
Equilibrum. Kalau dia juga menguasai Equilibrium…
"Aku tahu Equilibrium. Aku tahu semua." Suaranya mendahului lintasan pikiran Mima. Seolah ia benar-benar bisa membaca pikiran.
"Enambelas langkah mematikan, tigapuluh dua titik mematikan di tubuh, dan juga tarian kematian Ashura."
Ia melangkah pelan. Cahaya remang lampu darurat dari koridor menyinari wajahnya sedikit.
Sama berambut hitam. Hanya wajahnya lebih maskulin dengan dagu oval yang kokoh, dan torsonya menunjukkan garis-garis tubuh seorang laki-laki.Ia mengenakan seragam yang menyerupai Mima, dengan tempelan border nama 'Daniel' di dada. Hanya sedikit lebih tinggi dari Mima asli.
"Kau…" Mima mematung di tempatnya. Ada rasa takut sekaligus muak yang menyergap dirinya. Mirip denganku.
"Mima Shiki Reid…." Vulture menggaruk kepalanya, dengan gesture sebal. "Daniel bilang, aku baru menjadi Vulture sepenuhnya kalau bisa menguasai seluruh lab ini."Ia menunjukkkan pistolnya. "…termasuk membunuhmu."
'Daniel'?Siapa lagi itu…?
"Kau…"
"Kalian berdua memuakkan." Suara dingin Kaz memecah suasana mencekam itu. "Satu saja sudah menyebalkan, apalagi dua."Wajahnya terlihat muak. Dua tangannya masih menghunus pedang. 
"Versi lelaki, versi perempuan. Dari dulu aku selalu membencitsundere. Baka!" Lalu Kaz melemparkan kodachinya dengan gerakan cepat, sekaligus mengayunkan pedang panjangnya, memutus borgol yang membelenggu Shinji.
"Lari ke pintu, Shinji!"
Bukan siapapun yang disasar kodachi Kaz, namun ia menyasar lampu darurat yang terpasang di langit-langit. Ruangan menjadi gelap seketika.
Kaz melangkah cepat menaiki salah satu runtuhan lemari, menyerang Vulture dari atas.
Vulture menembak dalam kegelapan, tapi hanya mengenai ruangan kosong,
Dor-dor. Percikan cahaya api terlihat dalam kegelapan.
Lalu terdengar suara benturan tubuh, seseorang jatuh ke air.
Langkah-langkah kaki yang cepat.
"Dammmit!" terdengar Vulture menyumpah. "Bocah busuk!" 
Mima bernafas tersengal. Hanya kegelapan dimana-mana.
Ia mengarahkan pistolnya sembarang arah. Dimana musuh?
Dan lebih sulit lagi, bagaimana membedakan antara Vulture, Kaz, dan Shinji…?
Dor-dor. Lagi.
"Ugh!" Mima terpental ke dinding, hantaman keras mengenai perut dan dadanya. Ia tertembak, namun rompi anti peluru melindunginya. Ia tersungkur di lantai yang tergenang air, dinginnya air merembes ke balik seragamnya. 
"Vulture! Kutemukan kau!" Ada suara lain. Ada orang lain bergabung dalam kemelut itu.
"Corporal, kau sudah kutunggu!" Suara Vulture seperti menyambut.
Lalu, peluru berhamburan. Tembakan berkali-kali.
Terdengar suara benturan besi dengan besi. Trang,Trang, Kling. Lalu suara daging teriris cepat.Crasss! Meski gelap, Mima bisa membayangkan ada banjir darah, diikuti lolongan keras. "Aaaargh!"
"Mati kau, Corporal!" Teriak Vulture. Lalu dor-dor-dor lagi. Terdengar suara seperti seseorang sedang meregang nyawa.
Corporal? Mima merasa kepalanya mulai pusing di tengah-tengah kegelapan. Ia mengenal suara lain itu. Mirip… suara Tan Ying Go. Lelaki yang dicurigainya sebagai tentara, yang berangkat satu heli dengannya saat ke Alforea.
Suara langkah-langkah cepat terdengar berdentam-dentam.
"UOOOOOO!"
Tiga… tidak, lima orang, bahkan lebih. Semuanya berteriak seperti mengeroyok seseorang.Lalu terdengar suara benturan logam dan tembakan berkali-kali. Dan suara Vulture yang tertawa mengerikan.
A-apa yang terjadi?Mima merayap dengan posisi tubuh telungkup, sesekali ia melindungi kepalanya setiap mendengar tembakan, seolah ada peluru beterbangan di atas kepala.  
Kemudian hening.
Lalu terdengar tembakan berkali-kali.
Mima merinding.
Tembakan itu… berirama. Beririan dengan kecipakan air seolah ada seseorang yang sedang melangkah dengan pola irama langkah tertentu, di atas lantai yang tergenang air.
Pola langkah yang begitu jelas, terpatri dalam ingatannya bertahun-tahun lalu.
Ia juga memilikinya, mungkin tinggal ia satu-satunya di dunia. Iramanya, letusan-letusan pistol itu, sama persis dengan yang pernah ia lakukan. Mima juga melakukannnya ketika ia menghadapi monster-monter di padang pasir Orosh.
Tarian kematian Ashura. Dua pistol di tangan, berkombinasi dengan langkah-langkah taktis.Ke kanan, kiri, berputar, meliuk, menunduk, kembali berdiri dan berlari, dengan pistol di tangan yang menembak ke arah kepala, badan atau kaki.
Vulture sedang melakukannya.
Dia menguasainya. Equilibrium… tarian Ashura.
Signature move seorang runner.
Lalu suasana kembali hening.
-o0o-
MRC: Berapa pihak yang ikut campur, Tmn?
TMN: Kami hanya mengidentifikasi dua. Dimas, Black Z, dan sisanya masih gelap. Hewanurma hanya bilang kalau banyak eksistensi asing masuk dalam BoR, kami belum mengakses full-report dari jurnalnya. Red Cats juga pernah mengatakan hal yang sama.
MRC: Apa karena itu, emulator itu harus diamankan dari segala lini?
TMN: Ya. Terlalu banyak yang menginginkannya.
MRC: Data Equilibrium kami juga dicuri. Kalau pengetahuan itu juga diketahui para clone, bisa gawat. Tujuan lain misi ini adalah memformat ulang data Equilibrium. Bisa sia-sia kalau data itu bocor di Sol Shefra.
TMN: Apa Mima bisa mengatasinya? Para Clone itu?
MRC: Semoga.
TMN: Apa Mima 'Runner' pernah gagal?
MRC: pernah.
MRC: waktu berhadapan dengan pria yang sekarang jadi suaminya.
-o0o-
Tenang. Kau dikuasai rasa takut. Kau belum bisa berpikir jernih, Mima.
Mima mengatur nafasnya. Pertama-tama, atur nafas dahulu.
Lalu, berikutnya… makan.
Mengacuhkan rasa mual yang masih menggayut akibat pemandangan kamar mayat beberapa menit lalu, Mima meroboh-rogoh sakunya, mencari-caricereal bar yang diantarkan Weasel, dirobeknya bungkus plastiknya dengan gigi, lalu dijejalkan ke mulutnya.  Logika tak berjalan tanpa logistik… 
"Boleh aku minta satu?"
Seberkas cahaya muncul tiba-tiba, meremang. Mima menahan diri untuk tidak berteriak kaget, sambil mundur mengarahkan pistolnya kembali ke arah suara.
Sebuah suara kembali menyahut, kali ini dari sosok yang duduk terpekur di lantai. Seluruh tubuhnya bercahaya remang kehijauan, seolah-olah kulitnya dari fosfor. Rambutnya panjang berwarna hijau, berantakan dan kusut. Usianya mungkin, sekitar sepuluh tahun. Leher, kaki dan tangannya dirantai. Pakaiannya berwarna sama dengan Shinji.
"Kau masih punya coklat? Daniel bilang Radith hanya makan sesuatu yang manis..."
"Kha-khau?"
"Halo, Mima." Ia berkata pelan.
"Mangafa khau mengemaliku?" Mima berkata dengan mulut masih mengunyah.
"Kau perempuan dan mirip Vulture. Jadi, kau pasti Mima yang asli." Ia tersenyum.
Mima baru menyadari kalau anak itu mirip seseorang.
"Aku clone dari peserta bernama Raditya Damian."
"Oh. Vajra. Radith." Tak heran, tubuhmu bercahaya."Tapi… kau kelihatan lebih muda."
"Aku dikeluarkan dari 'tabung' lebih awal." Sahutnya. "Aku hanya karya gagal."
Mima ingin menanyakan banyak hal, tetapi ia mencoba menentukan prioritas seiring otaknya kembali bisa berpikir. Cereal bar itu lumayan mengganjal perut.
"Apa yang sebenarnya… terjadi di sini?"
"Ada ledakan. Lab runtuh, semua jalan tertutup. Lalu para clone yang terkarantina terlepas, kami saling membunuh untuk keluar dari sini."
"Clone yang terkarantina?"
"Clone yang dibangunkan, namun sulit dikendalikan." Lanjut anak itu. "Tidak semuanya berkembang sesuai kehendak Daniel. Dan tidak semuanya dibiakkan secara massal, ada gen yang sesuai untuk itu, ada yang tidak. Beberapa clone lahir dengan kemampuan mengagumkan… Vulture dan Corporal adalah yang dua yang terkuat."
"Mengapa kau dirantai di sini?"
"Aku lemah dan hanya mengganggu. Aku di-clone secara massal dan sudah banyak yang mati di usia muda. Aku hanya hasil eksperimen gagal. Gen asliku memiliki vitalitas yang sangat tinggi, aku kebalikannya."
Rasanya, kali ini Mima kembali pusing.Ini seperti… peternakan manusia.
"Mengapa kalian saling membunuh?"
"Karena Daniel mengirimkan pesan kalau… hanya satu prajurit terkuat yang bisa keluar dari tempat ini,"
"Ah, Daniel," Mima teringat kalau Vuture sempat menyebut nama itu. "Siapa Daniel?"
"Daniel adalah…" Suaranya berhenti, anak itu melihat ke arah pintu, matanya terlihat terkejut.
Lalu terdengar satu kali tembakan dari belakang Mima.
Suara anak berambut hijau tak terdengar lagi. Hanya tubuhnya yang masih memancarkan sinar, yang mulai meredup pelan-pelan, tergeletak dengan kepala tertembak di tengah dahi.
Anak-anak…
Mima menoleh dengan sinar mata terluka.
Vulture. Berdiri tegak. Pistol di tangan kirinya berasap.
"Bisa kita selesaikan urusan kita?"
-o0o-
"Daniel,"
"BlackZ,"
Dua sosok berkekuatan dewa itu saling berhadapan. Aura kekuatan menguar dari tubuh masing-masing. Satu gelap dan menguar-nguar ganas, melayang terbang. Yang lain hanya berdiri tegak menengadah ke lawan bicaranya, auranya lebih tenang dan hangat, namun bukan berarti bisa diremehkan.
"Mengapa kau melemparkan mereka ke dalam reruntuhan lab-ku, BlackZ?" lelaki bernama Daniel itu menatap dengan pandangan menuduh. Pakaiannya yang berwarna jingga dan merah tua seperti pakaian kebesaran kerajaan. "Aku masih melakukan eksperimenku yang terakhir di sana. Aku jadi repot menghubungi Vulture."
"Karena mereka tak berguna, Daniel."
"Aku masih punya kepentingan dengan para peserta. Kau mencampuri teritoriku."
"Kau aneh, Daniel." Sosok hitam itu tersenyum meremehkan. "Buat apa kau repot-repot mengurusi orang-orang lemah itu? Mereka tak tahu apa-apa tentang emulator itu, bahkan bertahan di dalam lab-mu saja belum tentu bisa."
Daniel menggeleng. "Mereka tidak selemah itu, BlackZ."
"Huh. Kau sama seperti Tamon. Optimis tapi bodoh."
Daniel berbalik dengan anggun, jubah merah jingganya mengibar di belakang punggungnya. Ia tak berminat untuk berkoflik dengan BlackZ saat ini.
"Lihat saja nanti, BlackZ. Kalau mereka ada yang selamat…"
Daniel tersenyum.
"… merekajadi milikku."
-o0o-
"Dia hanya anak-anak!" Mima berteriak pilu, air mata yang hangat menggenang di matanya.
"Bukan." Vulture menatap Mima, lurus, matanya juga sama hijau dan jernih dengan milik Mima, namun bersinar ganas seperti predator.
"Dia clone. Hanya senjata."
Mima menatap geram Vulture. Kebencian merasuk hingga ke tulang, membuat tubuhnya serasa ngilu, sama seperti… waktu ia melampiaskan kemarahannya kepada lelaki itu. Catanaccio, hitman yang ia aniaya hingga sekarat…
"Kau keliru."
Meskipun clone, dia juga … sebuah kehidupan.
"Jangan naïf. Dia hanya sesuatu yang direncanakan untuk menjadi senjata. Sama seperti kita. Aku, kau." Vulture tersenyum dengan ekspresi manik, "Kau juga masih sama denganku. Kita adalah senjata… "
Dengan Equilibrium.
Mima berteriak. Marah, geram, dan sejuta perasaan muak.  
Vulture tertawa gila. Merasakan semangat bergelora akan hadirnya lawan sepadan.
Mima berlari, menunduk. Satu tangannya mengarah ke depan, menembak.
Vulture melompat, bersalto di udara, sekaligus menembak dengan dua tangan.
Mima melompat keluar berguling menghindari peluru sekaligus keluar dari pintu ruang arsip, menembak lagi. Satu kakinya mendorong pintu agar bergeser menutup.
Vuture mendarat, tubuhnya meregang dengan lentur, menghindari arah peluru. Lalu menjejakkan kakinya mengejar Mima, sebelum pintu ruang arsip menutup.
Tapi terlambat. Pintunya hampir menutup.
Vulture menendangnya. Pintu itu menjeblak, jebol dari engselnya. 
Ia langsung disambut reruntuhan yang sengaja ditarik oleh Mima untuk menghalangi jalan. Tak peduli, reruntuhan itu menggencet tubuh Corporal di bawah.
Vulture tak melepaskan mangsanya. Dengan satu pijakan kaki, ia melompati reruntuhan itu.
Mima terus berlari sambil menembak ke belakang. Ia melihat satu palang melintang di bawah.
Ia menunduk dan diambilnya palang itu dengan satu tangan.
Ia ayunkan ke arah Vulture.
Vulture melompat.  Mengarahkan senjata di tangan kirinya ke kepala Mima.
Mima memutar langkah, cipratan air terbentuk di permukaan. Ia lepaskan palang besi itu.
Klik.Vulture menarik picu. Pelurunya habis.
Ia berganti mengarahkan tangan kanan, sebelum mendarat…
Vulture merasakan serangan dari arah kirinya. Palang besi yang dipemparkan tadi, memantul, menyerangnya lagi.
Tangannya melepaskan pistol kosong di tangan kiri, menangkap palang besi.Menggebuk ke depan.
Mima mengibaskan baton ASP dan menangkis. Benturan antara logam dengan logam terdengar, menggema di seluruh dinding lab.
Sepasang mata hijau itu saling menatap, dengan mata membunuh.
"Hanya ada satu, yang boleh keluar dari sini!" sahut Vulture. Ia menekan.
"Ugh!" Mima kalah kekuatan, kuda-kudanya melemah, ia merebah ke belakang dan kakinya memutar, menedang memutar ke atas, menyasar ke dagu Vulture.
Vulture mengelak ke samping, mengarahkan senjata di satu tangan, siap menembak.
Mima memukul tangan Vulture yang berpistol, kearah bawah.
Vulture memutar arah tangannya, kembali unggul di atas. Tangannya yang lain kembali mengayunkan palang besi. 
Mima mundur ke belakang, berbalik dan melangkah cepat ke arah dinding, memutar tubuh, menggebuk dengan Baton ASP. Putaran itu membuat kekuatannya berlipat ganda.
Vulture menjatuhkan palang, menangkis dengan tangan, sambil menembak.
Sasaran Mima adalah leher. Tapi ditangkis pergelangan tangan. Tapi, pergelangan kiri Vulture tentulah retak.
Sasaran Vulture adalah lutut, tapi hantaman baton ASP itu cukup kuat sehingga arah pisir pistolnya berubah. Hanya mengenai paha kanan Mima.
Terdengar suara tulang yang retak.
Juga suara peluru yang bersarang dalam daging.  
Vulture terhuyung mundur ke samping.
Mima jatuh ke bawah, berlutut, menopang pada baton ASP.
"A…aghhh…" Vulture susah payah mengangkat pergelangan tangan kirinya.
Satu tangan.
Mima mencoba berdiri, namun tertatih.
Satu kaki.
Keduanya kembali melambaikan pistol di tangan yang lain.
Dor. 
-o0o-
"Te-tembakannya berhenti…" Shinji meringkuk dengan suara gemetar, sementara Kaz duduk di sebelahnya dengan santai, mengendurkan pegangan nodachi-nya sejenak. Pedangnya berlumuran darah sejak tadi.
Beberapa clone menghadang mereka di perjalanan, dan Kaz menghabisi mereka dengan mudah. Meskipun,… ia mengenal beberapa diantara mereka memiliki wujud mirip beberapa peserta yang dikenalnya.
Tapi, bukan Kaz kalau ia peduli.
"Mungkin kehabisan peluru," Kaz membersihkan noda darah dengan menggosoknya ke lengan bajunya.
"Mereka saling bunuh…" Shinji berkata ngeri.
"Biar saja," Sahut Kaz, tanpa ekspresi. Dilepasnya kacamatanya, dan noda darah disitupun dibersihkannya dengan dilap sembarangan ke celananya."Itu urusan Mima dengan klon-nya."
"Ba-bagaimana kau bisa begitu tenang?" Shinji bekata dengan gemetar.
"Karena aku adalah aku. Jangan dibandingkan." Kaz berdiri. Ia melangkah tenang diantara geletakan tubuhn-tubuh clone yang menghadang mereka, yang langsung dibantainya dalam hitungan detik.
Bagi Kaz, menghadapi klon-klon itu jau lebih mudah daripada hanya sekedar berdiri di hadapan Mima. Luapan emosi wanita itu terlalu berat, dan jalan pikirannya terlampau rumit, Kaz menyesal telah menyentuh tangannya untuk mengetahui masa lalunya.
Ia menoleh kepada Shinji yang mengekor di belakangnya dengan begidik, melewati mayat-mayat.  
"Kau bilang tadi, ada jalan keluar, hanya untuk satu orang. Dimana itu?"
-o0o-
Mima berlindung di balik dinding salah satu ruangan, yang beberapa detik lalu, ia berguling masuk ke dalam untuk berlindung. Ia menyandarkan tubuh di dinding yang dingin.Nafasnya tersengal, yang berusaha keras diaturnya. Dilipatnya baton, perban darurat diambilnya dari saku, dan diikatkan seadanya ke pahanya yang terluka, sekedar menghentikan perdarahan. Digerakannnya lututnya, masih bisa, rasa sakitnya masih bisa ditoleransi, tapi tentu saja gerakannnya akan terhambat. Kecuali kalau ia menggunakan R.U.N.
Tapi, R.U.N harus dihemat pada waktu yang tepat, pikirnya. Ia mulai menata strategi.
Lawan kehilangan satu tangan… seharusnya ia tak bisa menembak dengan tangan yang retak itu. Tetapi, aku juga tak bisa bergerak dengan bebas. Posisiku kurang menguntungkan.
Kecuali… kalau ia bisa kujebak.
Mima berpikir keras.
"Apakah itu sakit? Mima?" Vulture berteriak di kejauhan. Terdengar suara 'klik, klik' seperti pistol dikokang.
"Kenapa kau ingin membunuhku?" Mima bertanya, sementara kedua tangannya sibuk dengan pisau dan perban. Dikeluarkannnya beberapa peluru, dicongkelnyabagian dasar peluru dengan pisau Ace, dan dikeluarkannnya bubuk mesiunya di atas perban. Ia harus mengulur waktu dengan mengajak Vulture bicara. Untungnya, multitasking adalah sesuatu yang biasa dilakukan.
Ini tak ubahnya dengan… mengiris wortel dan lobak sambil menjerang pepperonisambil berbicara dengan Weasel di telepon. Semuanya dikerjakan dalam waktu bersamaan dan harus cepat, akurat, terencana…
Aneh, dalam situasi seperti ini, ia justru mengibaratkan semua ini seperti kehidupannya di dapur apartemennya di Ithacca, yang terang dan bersih, yang sesungguhnya berisi penuh dengan senjata. Satu set pisau berbagai ukuran, garpu, pencacah daging, penggiling kayu yang bisa dijadikan pemukul, merica dan lada, minyak… juga api. Dapur adalah gudang senjata.
"Daniel bilang hanya boleh ada satu yang terkuat," sahut Vulture. Sepertinya ia juga sedang melakukan sesuatu dengan pergelangan tangannya. "Satu yang terkuat itu, boleh keluar dari sini."
"Oh, rupanya karena itu kalian, para clone, saling membunuh?"
"Tidak juga. Beberapa diantara kami memang suka melakukannnya."
"Padahal kalian sejenis, walaupun clone…"
"Senjata yang paling bagus, adalah yang teruji. Begitu, 'kan?"
Mima menarik nafas, sambil mengikatkan sisa perbam di tangannya.
"Kau cuma imitasi," Mima mulai memancing. Datanglah padaku, Vulture.
"Aku tahu."
"Tiruan tak pernah mengalahkan yang aslinya,"
"Aku tak peduli…." Nada suara Vulture berubah.
Mima merasakan perubahan suara itu. Ia meneruskan.
"Meskipun kau lelaki, mereka tetap menganggapmu gagal, bukan? Kita tidak identik."
"Aku sempurna! Aku laki-laki, dan jauh lebih kuat darimu!" Vulture terdengar marah. Terdengar suara langkah mendekat.
Belum tentu. Yang paling berbahaya belum tentu yang paling kuat….
Vulture mendekat, dan ia melihat gerakan, tubuh yang bergerak.
Vulture lagsung menembak dengan satu tangan.
Ternyata, hanya mayat… yang diberdirikan untuk memancing.
Karena Mima juga muncul dengan melemparkan sesuatu.
Vulture langsung menembaknya.
"Kena kau!"
Itu yang diharapkan Mima.
Benda yang dilempar itu langsung meledak, tepat kurang semeter di depan Vulture.
"AAARRRGGGGH!" Vulture berteriak ketika panas membakar tangan dan bagian depan tubuhnya.
Mima mengibaskan baton ASP lagi, kali ini ia justru membalik tongkatnya, memegang ujungnya yang kecil, bagian pegangan yang lebih besar yang dijadikan penyasar. Ia menunduk, Vulture cukup jauh…
Vulture masih bisa melihat serangan kedua itu, ia mundur dengan langkah serampangan… tetapi… baton ASP itu tampak seperti memanjang…
Vulture hanya bisa melotot ketika baton itu menghantam pergelangan tangannya yang memegang pistol. Pistol itu terlempar jauh.
Satu peluru tersisa…
Dan Mima menembak.
Vulture terpental dengan dada berlubang, darah muncrat seperti sesuatu melesat terlepas.
Mima tak memberikan ampun, baton ASP menyusul, ditusukkannya dengan tenaga penuh ke depan. Menghantam ujung dagu Vulture, membuatnya tersungkur dengan rahang lepas.
Kalau dalam posisi biasa, baton itu hanya melukai dan mematahkan. Tapi hanya dengan dibalik, senjata itu bisa jauh lebih mematikan karena bagian pegangannya lebih berat dan keras, jelas bisa mematikan kalau menghantam tengkorak….
Vuture tergeletak dengan wajah, tubuh depannya gosong, dan dada berubang.
Matanya menatap tak percaya. Ia berusaha bangkit, namun tubuhnya hanya tremor tak berhenti.
Mima yang berjalan tertatih, mengarahkan batonnya ke wajah Vulture.
"Ka-kau…" Vulture menatap Mima.
Mima balik menatap.
"Yang paling berbahaya… belum tentu yang paling kuat." Mima menyahut dingin. Ini untuk anak lelaki itu.
Lalu melakukan gerakan pukulan, menghancurkan kedua sendi dan tempurung lutut Vulture.
Vulture kembali menjerit.
"Bu-bunuh aku…"
"Tidak." Jawab Mima dingin.
Melawan semua kewarasannya, Mima tersenyum dengan lengkungan bibir mirip Vulture, beberapa menit yang lalu.
"Aku akan membiarkanmu tergeletak di sini… kehabisan darah, tanpa bisa bergerak kemanapun. Nikmatilah pelan-pelan, Vulture. " Rasanya ia juga sama dengan Vulture tadi. Manik, gila, kejam…. Meskipun ia tak membunuh secara langsung.
"Atau… kalau kau beruntung, para clone yang dendam padamu bisa menghabisimu dengan cepat."
"Kau… bukan lagi runner," Vulture menyeringai. Wajahnya menghitam karena gosong.
"Kau… sudah menjadi…" Lalu suaranya terhenti. Tubuhnya tak bergerak lagi.
Con.
Ahli jebakan dan strategi. 
Mima menatap Vulture untu terakhir kali. Akhir yang mengenaskan, untuk seorang clone yang katanya terkuat.
Mungkin kau benar. Aku sudah bukan penyerang murni lagi…
Mima menghela nafas.
Aku sudah ter-upgrade.
Akibat menikah dan punya anak…
-o0o-
Di dunia manusia, Jade megatupkan kedua tangan di depan wajah.
Ia menyaksikan detik-detik akhir pertarungan itu, yang terpantau lewat node.
Mima membuat semacam peledak dari mesiu dan perban, sembari mengulur waktu dengan mengajak Vulture berdialog. Telah muncul satu nama, 'Daniel'.
Lalu Mima memancing Vulture mendekat dengan memanfaatkan mayat yang ada di dekatnya. Ketika Vulture terpancing, Mima melemparkan bola perban berisi mesiu itu, dan sesuai dugaan, Vulture merespon dengan kecepatan menembak dengan akurasi mengagumkan, yang berakhir malapetaka.
Bukan hanya itu. Mima tahu kalau ia butuh dukungan senjata yang daya hancurnya lebih besar, namun dengan jangkauan yang sama panjang. Vuture juga menguasai scanning dan skimming, sehingga serangan dengan pisau dapur yang jangkauannya lebih pendek akan percuma. Mima membutuhkan senjata yang lebih berdaya hancur daripada baton ASP-nya yang kecil. Mima mengatasi masalah itu hanya dengan membalikkan baton, menjadikan pangkal pegangan senjata yang bisa menghancurkan tengkorak, yang panjang jangkauannya ditambah sedikit dengan ikatan perban.
Semacam kreativitas ala McGyver versi petarung, tipe-tipe improvisedcombatant yang sudah sangat jarang akhir-akhir ini.  Ini jelas bukan kemampuan seorang runner yang tugasnya hanya menyergap. Ini sudah memasuki wilayah kemampuan "con" yang lihai memanfaatkan kondisi lingkungan dan lawan untuk menang. 
Luar biasa. Apakah begitu lama terkurung di dapur dan rumah membuatmu begini?
You've grown up beyond anyone's standard, sister…
;
;
;
Section 5.
Homo Homini Lupus
;
;
;
Mima berjalan tertatih menyusuri koridor, perdarahannya memang sudah berhenti, dan luka itu terasa nyeri dan panas setiap ia melangkah, namun keinginan untuk keluar hidup-hidup dari tempat ini memberikan energi untuk terus berjalan. Selama melangkah, ia terus memikirkan kata-kata Vulture;  
'Jalan keluar hanya untuk satu orang'.
Aku sudah berjanji pada Oldman Adair, untuk tidak membunuh lagi semenjak menikah…
Pikirannnya sedikit gelisah, ia tak tahu ada berapa orang peserta, seperti dirinya, yang terjebak di tempat ini; dan juga berapa clone yang ada di tempat ini. Mima tega untuk membunuh monster atau bukan manusia; tapi, clone kecil sepert yang dibunuh Vulture tadi mungkin tak sanggup ia bunuh. Apakah ia harus membunuh mereka semua, hanya untuk mendapatkan jalan keluar?
Satu-satunya cara adalah memastikan betul keberadaan jalan keluar itu; benarkah jalan keluar itu hanya untuk satu orang?
Mima langsung bereaksi siaga ketika sesuatu menghadangnya di depan, mengarahkan pistolnya yang tinggal sebutir-dua butir peluru. Benda itu kecil dan terbang lambat, menghampirinya.
Mima bernafas lega ketika ternyata benda itu adalah node.
"Kemana saja kau?" Entah mengapa tiba-tiba Mima merasa lega melihat benda itu. Padahal, sebelumnya ia merasa terganggu karena selalu diikuti.
Node itu membenturkan dirinya ke dinding dengan pelan, seperti bola terbang yang mengetuk-ngetukkan dirinya ke dinding.
Mima melihatnya dan heran.
"Apa kau rusak?" Ia mendekat, mengamati node itu. Permukaannnya masih halus dan licin.
Di dunia manusia, Jade berbicara pada laptopnya: "Bukan, bodoh!". Jade kembali mengontrol node agar kembali membentur-bentur pelan ke dinding.
"Oh!" Mata Mima melebar. Ada jeda panjang dan pendek yang membuat suara ketukan benturan node terdengar seperti irama. Kode morse!
"Jade?"
Node itu menjawab dengan mengetuk-ngetukkan dengan jeda panjang dan pendek.
Ya.
"Bagaimana rumah?"
Jade di Ithacca, menepuk kepalanya di depan laptop. "Dasar ibu-ibu! Kau itu terkurung di tempat berbahaya, tahu?!"
Lalu, Jade langsung fokus untuk mengirimkan pesan penting.
Exit – meeting room – ikuti aku
Mima hanya menangkap beberapa kata, tapi ia bisa merangkai dalam pikirannya kalau node itu akan menunjukkan jalan keluar. "Oh… bagus!" Pekiknya kegirangan. Ia segera mengikuti arah kemana node itu terbang.
Setelah beberapa meter, node itu berhenti; lalu terdengar lagi jeritan-jeritan tak jauh dari sana. Lalu suara logam dan decitan pedang, juga teriakan-teriakan meregang nyawa. Suara daging teriris, dan tubuh yang jatuh ke lantai diiringi kecipak air. Mima berhenti, menyembunyikan diri, dan mengintip dari balik dinding koridor yang remang.
Ia bisa melihat Kaz sedang berlutut, di depan sebuah mayat. Tangannnya bertumpu pada pedang panjangnya yang berlumuran darah, tubuhnya membungkuk, seperti sedang mengatur nafas.
Mima memutuskan melangkah mendekat, yang langsung disambut pedang terhunus dalam posisi siap. Mata Kaz bersinar penuh kebencian.
"Jangan menyerangku," Mima berkata. "Aku tahu jalan keluar. Kita keluar dari tempat ini sama-sama."
Kaz menatap Mima ragu. 
"Mana Shinji?"
"Dia menyelamatkanku." Kaz menatap ke bawah dengan mata sendu. Sesosok mayat mirip Kaz, telungkup di bawah, pakaiannya hijau muda. Genangan air di sekitarnya berwarna merah gelap.
"Tapi, Shinji bilang jalan keluar itu hanya bisa untuk satu orang..."
"Aku tidak percaya sebelum melihatnya." Sahut Mima. "Informasi harus dicek dan dipastikan kebenarannya dahulu. Kita lihat seperti apa jalan keluar itu, … kalau bisa digunakan untuk dua orang, kita keluar bersama-sama."
"Bagaimana kalau hanya muat untuk satu?" Kaz bertanya.
"Kita tentukan nanti." Mima menjawab pendek dan pasti. "Atau, kalaupun aku atau kau yang bisa keluar lebih dahulu, yang pertama keluar harus mengusahakan jalan keluar untuk yang lain." Mima mulai melangkah mengikuti node yang terbang memberi petunjuk.
"Apa jaminannya… kau tidak membunuhku?" Kaz bertanya dengan mata curiga.
Mima menjawab dengan mengosongkan isi pistolnya. Lalu memberikansatu magasin tersisa kepada Kaz. "Sekarang kau percaya?"
Kaz menerima isi peluru itu dengan perasaan bimbang, sementara Mima pergi meninggalkannya. 
"Tu-tunggu!" Kaz mengikuti Mima, ambil menyarungkan pedangnya.
Beberaa menit kemudian, mereka masuk ke meeting room dengan langkah waspada.
Mima menutup mulut dan mengalihkan pendangan, melihat pemandangan meeting room dalam keremangan cahaya biru-kehijauan yang terpantul di air. Kaz hanya menatap sekelilingnya dengan pandangan beku.
Tabung-tabung raksasa berisi cairan, yang berisi tubuh-tubuh kloning. Beberapa mereka kenali sebagai peserta. Mima melihat sosok yang ia kenali sebagai Ronnie dan Dyna, juga Tan Ying Go yang bahkan berjumlah lima, di dalam tabung yang diletakkan berjejer. Ia melihat satu tabung kloning Frost, tiga kloning Lady Steele, satu Caitlin Alsace, Wildan Hariz,lalu beberapa yang pernah ia kenali bernama Aragon Ferden dan Asep Codet. Empat tabung berisi cloning Radith Damian yang entah mengapa, semuanya dalam bentuk seperti anak kecil. Langkah Kaz terhenti ketika ia melihat tabung kloning dirinya yang berjumlah tiga. Semuanya dalam posisi meringkuk damai seperti tidur. 
"Rupanya… mereka melakukan cloningsecara selektif," desah Mima. Semua yang bertipe petarung murni yang dibiakkan. Termasuk aku. "Lihat, itu sepertinya jalan keluarnya,"
Di tengah ruangan, di depan sebuah meja dengan kursi-kursi memutar, ada sebuah kapsul seukuran manusia dengan tulisan 'TELE-EXIT" dari fosfor hijau yang menyala redup di tengah ruangan. Benda itu tertancap di lantai, seolah-olah sebelumnya tak ada di sana. Ada sebuah panel kecil berisi running text di bagian atas kapsul, bertuliskan:
Kapasitas satu orang.
Keduanya mendekat, dan meraba-raba untuk membuka kapsul itu. Ketika Mima akhirnya bisa menemkan tombol 'open', benda itu berdesir dan bagian atasnya membuka dengan geserean halus. Bagian dalamnya dilapisi dengan spons warna hitam. Mima melongok ke dalam, dan Kaz juga.
Kaz melihat sebuah kertas kecil ditempel di bagian dalam. Ia ambil dengan cepat.
"Seperti peti mati," Mima menoleh ke arah Kaz. "Aku yakinini cukup untuk kita berdua". Mima masuk ke dalam, lalu menghadap ke samping.
"Lihat, kalau kau masuk ke sini dengan menghadap samping, pasti cukup. Meskipun berdempetan."
"Oh, seperti posisi berpelukan ya, begitu?" Kaz mencoba melangkah masuk ke dalam, tapi tubuhnya terlalu sesak untuk masuk, dan  pedang panjangnya yang dibawa di punggung itu mengganjal. 
Sedikit lagi.
"Kau harus melepaskan rompi anti pelurumu. Makan banyak tepat." Kaz berkata, dengan pandangan menuduh seperti biasanya.
"Pedangmu juga." Mima membalas.
"Hu-uh. Ya."
Keduanya keluar lagi. Mima melepaskan rompi anti pelurunya, Kaz terpaksa meninggalkan pedang panjangnya di meja. Lalu keduanya masuk ke dalam mesin tele-exit. Mima dahulu, berdiri menyamping. Lalu diikuti dengan Kaz, menarik nafas, mengecilkan diafragma. Masuk, meskipun keduanya harus berdiri saling merapat di dalam.
"Kau benar… ini cukup." Sahut Kaz, tersenyum.
Mima tersenyum canggung, posisi tubuhnya benar-benar tanpa jeda dengan Kaz. Meski lebih muda, Kaz tetap laki-laki, hal itu membuatnya canggung dan sedikit membuatnya merasa berdosa karena teringat Weasel. Ia meraba-raba mencari tombol aktivasi. Ditekannya tombol itu, dan terdengar suara berdesir, seolah-olah mesin itu menyala. Tapi terdengar suara;
"Emergency tele exit protocol has not completed. Please complete the protocol to proceed,"
"Huh?" Mima terperangah. "Ada syaratnya?"
"Syaratnya, hanya aktif bila hanya tinggal satu manusia yang bertahan dalam lab," Sahut Kaz. Pesan itu tertulis dalam kertas berisi tulisan tangan yang tadi diambilnya. Satu tangannya merengkuh paha Mima, mengambil satu-satunya senjata mematikan yang tersisa dari lawan. 
Mesin teleport hanya aktif bila hanya tertinggal satu manusia dalam lab. -- Daniel. 
Jleb.
Mima terperangah.Pinggangnya mengeluarkan darah, ditikam pisau dapur Ace, senjatanya sendiri.
Entah kapan Kaz mengambilnya dari saku celananya. Dan entah kapan ia mengetahuinya.
Pisau yang dibawakan Orlick…
Kaz mencabut pisau di tangannya, darah muncrat keluar dari pinggang Mima.Ia meronta, tapi ruang geraknya terbatas dengan Kaz berada rapat di depannya. Hanya suara deguk mengerikan, juga karena tak percaya, keluar dari mulutnya. "Kaz…!"
Jleb. Jleb.
Kaz menusuk lagi. Dua kali. Di pinggang dan dadanya, dari samping.
Pisau itu, konon sangat handal untuk memotong tulang, daging, bahkan logam…
"Memang cukup untuk dua orang. Tapi bukan kau…" lirih Kaz.
Kaz keluar, merenggut tubuh Mima dan melemparkannya ke lantai. Mima tersaruk di latai yang tergenang air, tangannya memegangi pinggang dan dadanya yang terluka. Dan seketika itu pula air berubah merah.
Satu langkah kaki terdengar memecah air. Seorang laki-laki mirip Kaz muncul di kegelapan, bajunya basah dan mengenakan pakaian hijau muda. Tapi senyumnya sadis mengerikan, diantara temaram cahaya tabung-tabung kloning.
Mima melihatnya, dalam pandangan nanar. Darah tak berhenti keluar, merembes diantara jemarinya. 
Oh, tenyata…
"Bagus sekali, Shinji. " Lelaki itu menganguk dan mengambil pedang yang tergeletak di meja.
"Ka-kalian… bertukar tempat." Serak, Mima menatap keduanya tak percaya.
"Ya. Kau akan sangat sulit membedakannya dalam kegelapan ini. Kami bertukar tempat karena aku tak yakin apakah kau akan langsung menyerangku begitu kita bertemu. Maka, aku mengumpankan Shinji." Kaz mengeluarkan pedangnya dan langsung mengarahkan ke leher Mima.
"Ternyata Shinji bisa menjebakmu. Itupun juga karena kau kelewat baik, Mima."
"Aku bersedia memberikan apapun… untuk Kaz," Shinji dalam pakaian Kaz juga tersenyum. "Apakah… setelah ini aku juga harus mati demi kau, Kaz?" Shinji mengacungkan pisau Ace di tangannya yang berlumuran darah.
"Kau ingin mati membunuh dirimu sendiri atau kubunuh?" Tanya Kaz.
"Aku ingin mati dengan indah…"
Mima menggemletakkan giginya dalam rasa sakit. Tangannya mencekal kaki Shinji.
"Kembalikan." Bisiknya geram.
"Pisau itu… milikku."
Kalian salah, kalau berpikir telah melucuti senjata seorang Mima Reid…
… R.U.N. !
"AAAAAAARRRRRGGHH….!"
Mima melolong keras, bangkit dengan tbuh terluka, dicekalnya tangan Shinji, direbutnya pisaunya, dan dengan satu gerakan pendek, ditikamnya perut Shinji. Tubuhnya langsung limbung dan roboh. Mima beralih cepat ke arah Kaz. Dicabutnya Baton ASP dan tongkat itu memanjang dalam sekejap.
Ia menggebuk.
Kaz menangkis.
"Lalu kenapa memangnya kalau aku naïf, kalau aku bodoh…?" Mima menatap Kaz dengan mata terkhianati.
"Itu tidak berguna dalam pertarungan…" Kaz balik menatapnya penuh kebencian.
"Kau lupa…Kaz." Mima mendesis. "Seluruh tubuhku itu senjata."
Mima menarik baton, melangkah mendekat sedepa dan melakukan gerakan memotong ke arah lengan. Kaz menjerit dan pangkal lengannya terjatuh bersama pedang, tenggelam dalam genangan air.
Mima tak memberi ampun. Ia melangkah memutar dan digebuknya kembali titik vital tubuh manusia di depannya; paha; pinggang, rusuk, leher… dan…
Kz jatuh berlutut.
… tengkorak.
Ini untuk… penghianatan.
Digebuknya ubun-ubun kepala Kaz dengan pegangan baton. Seperti yang dilakukannnya terhadap Vuture. Seperti algojo kejam yang tak punya belas kasihan.
Fissure….
Suara retak mengerikan, menggema di seluruh ruangan.
Manusia, atau clone… siapa yang lebih kejam?
Keduanya sama saja ternyata….
Tubuh Kaz jatuh telungkup.  
Mima melangkah mundur, meski sempat ada keinginan untuk memenggal kepala Kaz.
Ia juga harus membunuh, akhirnya. Meskipun ia berusaha menahan… sia-sia.
Menghargai kehidupan… apanya. Dammit…Mima memaki dirinya sendiri.
Ia bersandar pada mesin teleport, yang masih terus mendengungkan suara.
"Emergency tele exit protocol has not completed. Please complete the protocol to proceed, eliminate all living being."
"Sia-sia," Mima tersenyum pedih, menggeleng-gelengkan kepalanya putus asa.
"SEMUANYA SIA-SIA…!" Ia berteriak kesal, kecewa, dan marah pada diri sendiri.
Kazuki Tsukishiro jauh lebih muda darinya… mengapa ia harus membunuhnya, akhirnya?
Melanggar prinsipnya sendiri.  Memperjuangkan jalan keluar untuk Kaz. Lalu hidup Kaz berakhir di tangannya.
Shinji merayap dan memeluk mayat Kaz. Meracau tentang janji Kaz mengenai mengambil alih kekuasaan Jepangdan sebagainya. Pemandangan yang menyedihkan. Mima hanya melihat tanpa punya minat untuk berdiri atau mengatakan apapun. 
Mima merintih. Luka tikam itu semakin menyakitkan.
Node yang sempat terlupakan, mendekatinya.
Node itu menghadapnya sejenak.
Lalu meninggalkannya.
Lalu terdengar suara benturan pelan di dinding. Menggema dalam kesunyian.
Suara benturan itu berirama sama. Hanya terdengar semakin menjauh.
Namun pesan yang diulangnya jelas.
Pergi.
"Oh…" Mima teringat sesuatu.
" ini bom yang berdaya hancur hingga sepuluh yard…"
Go.
Go.
Go.
Go.
Go.
Terdengar suara ledakan dari arah lorong.
Mima melemparkan diri ke dalam mesin teleport. Menekan tombol aktivasi dengan serampangan.
"Protocols completed. Activating teleport machine…."
Pintu menutup dengan cepat. Lalu guncangan besar di dalam mesin gelap yang bagaikan peti mati itu, membolak-balikkan tubuh Mima sejenak, lalu sunyi….
-o0o-
Jade menginggalkan kursinya sejak beberapa menit lalu. Merokok di balkon dengan pikiran kalut.
Biolab sudah kuhancurkan. Terpaksa kulakukan agar Mima bisa keluar dari situ.
Seharusnya tidak ada lagi jejak cloning atau apapun yang hidup dari tempat itu…
Tapi….
Jade meraba kepalanya. Frustasi.
Mima. Dia terluka. Kemana mesin itu akan membawanya?
Ia meniupkan asap rorkok violet yang membubung ke udara, dan mematikan puntungnya dengan menyundutkannya ke telapak tangannya sendiri, seolah sedang menghukum dirinya sendiri.
"Apa yang harus kukatakan ada Weasel…"
-o0o-
Di sebuah gurun pasir yang panas, dua orang sedang bersantai dalam mobil Jeep Rover. Satu orang lagi, bertopi pet dan mengenakan jaket hitam parasit, bersandar dengan kaki menyilang di atas kap mobil sambil asyik memainkan game di smartphone-nya. Lelaki itu mendesah kesal ketika ada panggilan masuk ke dalam smartphone-nya.  
"Sam," sebuah suara menyahut dari dalam telepon.
"Ya, Daniel?"
"Palung dimensi terbuka. Namanya Mima Shiki Reid. Jemput dia."
"Baiklah. Datanya?"
"Sudah kukirim. Kau tinggal mengunduh dan melakukan sesuai petunjuk."
Lelaki itu turun dari kap dengan gesit, masuk ke dalam mobil yang mesinnya langsung dinyalakan. Seorang lelaki kribo berkacamata hitam langsung memacu mobil dengan liar, membelah gurun pasir yang panas, sambil berteriak senang.
"Waktunya bekerja, Han!"
-o0o-
Mima langsung terhuyung dan tersungkur, begitu mesin teleport membuka.
Udara panas langsung menerpa tubuhnya. Kapsul itu membawanya ke tengah gurun pasir kering yang panas. 
Dimana ini?
Darahnya masih belum berhenti. Bercampur dan berlumuran dengan pasir. Shinji telah menikamya tiga kali.
Aku… aku akan mati.
Mima meringkuk. Darah masih mengalir dari sela-sela tangannya. 
Jauh dari siapapun…
Kulitnya masih merasakan terik matahari tapi tubuhnya mulai terasa dingin. Tanda-tanda ia mulai kehabisan darah.
A-aku….
Teringat apartemennya yang hangat. Suasana dapur yang sering seperti hancur lebur, dan tembok-tembok penuh coretan anak-anak… meskipun Weasel seringtak berada di sana…
Itu sungguh sebuah rumah untuk pulang.
Ia mulai menangis.
;
;
;
;
Panas.
Kesadarannnya kembali sejenak. 
Kepalanya ditengarahkan ke atas, dipaksa menghadap panas matahari. Mata Mima memejam silau, yang lalu diikuti seseorang meletakkan kain lembab di atas kepalanya
"Bernapas, Mima."
Ia sempat terbantuk ketika seorang memasukkan jarinya yang bersarung tangan lateks ke mulutnya.  Membersihkan darah, membukakannya jalan nafas, memasukkan seuatu seperti selang ke kerongkongannnya.
Mima mencengkram memah tangan orang kedua yang sedang berusaha membuka bajunya. Tangannya yang lain dibentangkan dan ditusuki jarum dan infus oleh orang ketiga.
"Rileks, kami berusaha menolongmu." Suara itu berbisik lembut. Orang itu telah mengembalikan  nafasnya, lewat alat yang berdesir lembut berirama yang dipegangnya. Diafragmanya naik turun. Namun terasa sakit setiap mengambil nafas.
Bajunya dibuka. Pakaian dalamnya digunting. Permukaan luka-luka di dada dan pinggangnya di seka dengan kain basah yang menimbulkan perih luar biasa. Kakinya mengejang, rintihan kesakitannnya tenggelam dalam sumpalan selang di mulutnya.
"Oh, berantakan sekali."
"Tiga luka. Satu dekat jantung. Dan satu luka tembak di paha."
"Basah. Ada kemungkinan infeksi."
Mima menegang. Tangannya mencengkram permukaan pasir. Mereka melakukan sesuatu dengan lukanya. Ia berteriak tertahan.
"Tenang, Mima. Tetap bernafas."
"Kami diminta Daniel untuk menyelamatkanmu. Jangan memberontak."
Tiga suara . Tiga orang.
Ia tak tahu siapa. Tak mengenali satupun. 
Suara Vulture seperti tertawa kembali dalam benaknya.
'Daniel'…
"Nyawamu akan ditukar dengan sesuatu. Kami akan mengambil sesuatu darimu."
"Kau tidak punya pilihan."
"Jangan melawan. Biarkan kami menyelamatkanmu."
Diantara kesadarannya yang kembali mengambang, matanya yang tertutup kain, air mata kembali mengalir dari matanya. Rasa takut akan ketidakpastian, akan apa yang menghadangnya di depan.
"Anestesi,"
Apa yang akan terjadi padaku?
;
;
;
;
"May be continued"
;
;
;
Mima's unlock skill, bila tembus ke ronde berikutnya:
Ketiadaan rasa takut. Daniel mengambil rasa takutnya, sebagai bayaran atas pertolongannnya.
Siapa Daniel? It may reveal in the next round, if Mima still pass.






















11 comments:

  1. OC: Vajra
    Radith sez, Ohalo Mbak Mima, kita seruangan nih? Cuma lawannya aja beda.

    Iya nih mbak, masa' si Kaz gitu sih? Oh ya bisa aja, kalau kepepet. Terjebak situasi macam ini, homo homini socious bisa berubah jadi lupus.

    Dan kelihatannya Kaz terpaksa keluarkan sisi "serigala"-nya dan tunduk pada situasi yg dipaksakan itu. Dilema juga buat saya mbak, soalnya lawan saya baik banget. Udah tau dikerjain sama Blackz, eeh malah sama2 ngotot nggak mau saling bunuh. Ya terpaksa aku pinjam tenaga klonengan deh, walaupun sbnrnya niatnya nggak gitu :p

    ReplyDelete
    Replies
    1. tantangan dari panitia emang cukup berat di ronde ini, how to make our own OC kill? saya juga merasa itu cukup berat. akhirnya saya main di plot, dibikin sedemikian rupa saja ceritanya biar akhirnya si mima terpaksa membunuh, rada gore pulak caranya.

      . tapi, btw, ini pertamakali saya menulis dengan mima bener2 jadi tokoh utama, pas lawannya si kaz yang setelah saya pelajari dan sharing ama si pemilik, yes he capable to kill. SEbenarnya saya disini mau bikin konflik batinnya lebih menarik, dimana mima terpaksa makan kata-katanya sendiri, gara-gara terlalu naif, di"mangsa" ama lawannya yang dikasihaninya sendiri.

      makasih komennya bang

      Delete
  2. hmmm....

    Ini authornya cerdas, menggunakan Kazu sebagai story teller pengungkap flashback Mima.
    :D

    Gak nyangka juga ada Vajr---, maksudnya Radith di sana. Dan dia suram sekali, wkwkwkwk

    Btw, klon Mima cowok ya?
    ._.


    Terus, nyaris sebagian besar porsi pertarungan malah dicurahkan pada Mima vs Vulture.

    Lawan kazu yaaa... ada di akhir. Berhianat pula...



    Brutal fightnya saya suka, ditusuk tanpa ampun, gitu.. ouch.
    Seharusnya bisa dipermak lagi lebih kece, pake deskripsi dari segi medis. Misal, rongga parunya bocor, lalu banjir oleh darah sendiri, walhasil jadi sesak tidak bisa mengambil napas. Darah yang masuk naik ke tenggorokann, lalu membuat Mima tersedak, lalu terbatuk mengeluarkan darah.

    dll.



    OC : Sanelia Nur Fiani

    ReplyDelete
    Replies
    1. makasih reviewnya bang Ich, kebetulan si kaz punya kemampuan melihat masa lalu jadi saya juga manfaatkan itu, hehehe... menulis ini aja udah ganti plot sampai 4 kali, tadinya saya berencamna kalau klon kaz yang bukuh, tapi... nggak jadi deh.

      klon Mima cowok itu sebenarnya ada hubungannya dengan masa lalu Mima sih, tapi masa lalu di canon asli mima yang rencananya mau saya jadikan novel, (tapi masih rahasia). Tapi kan gendernya di balik pun juga masih sesuai kan, hehehe...

      untuk sarannya, yup, kalau Mima lolos akan diperhatikan, supaya graphic detailnya lebih ngena lagi. .

      Terimakasih sudah mampir

      Delete
    2. My vote goes for Mima~

      Go mommy go!

      Delete
  3. Halo lantai dua~
    Dari terakhir saya baca entri Mima, R3, yang saya tunggu di R4 ini langsung soal keluarga. Dan itu ada, mereka emang masih kontak. Saya suka bagian-bagian itu. Pemantau dan pelaksana. Cara Mima memosisikan diri sebagai ibu dan peserta yang berlibur (?), tanggpan dia sama looks-nya yang baru, dan ada aja bagian ngakaknya pas morse pertama-pertama. Rumah?! XD Nice call, Mom~
    Soal tarungnya, kematian lawan yang harus banget terjadi di ronde ini emang jadi poin kuat buat dieksplor. Vulture di bayangan saya punya peran kuat buat foreshadowing Mima tarung sampai mati sama Kazu di akhir. Narasinya, saya suka. Banyak plot yang masih ngumpet di balik tirai juga ini...
    Masalah typo, kalo dibanding R3, ini minim dan ga banyak ganggu. Tapi tetep ada, Mbak Kay, tetep ada. Sama penggunaan kata kaya nafas, dan napas. Well itu kesalahan-kesalahan kecil yang ke-notis sama saya.

    Good luck MIma ^^ Vote-nya nyusul~

    Salam, Eophi.

    ReplyDelete
    Replies
    1. terimakasih reviewnya daka, setelah ini saya mampir ke eophi deh...

      ya, ini salah satu kelemahan saya, di typo. Padahal juga sudah cek 3-4 kali, masih ada saja yang lolos. saya juga menulis dengan kecepatan tinggi dalam waktu luang sempit, so... semoga dimaklumi, tapi saya janji akan lebih baik lagi ke depan, kalau Mima lolos.

      banyak plot yang ngumpet? hehehe. kalau lolos bakalan terus dibuka satu-satu kok. I promise.

      terimakasih sudah mampir

      Delete
  4. Fatanir - Po

    Ini minusnya yg kuliat agak mirip versi Kazu. Mima vs Kazunya agak kurang dan banyaknya malah porsi mengagumi Ashura vulture dan battle ngelawan Vulture. Terus banyaknya cameo yg pengen dimunculin rentan bikin tulisan Mbak Kay jadi pecah fokusnya, mgkn nanti bisa dibikin benang2 merah yg lebih kuat antar Weasel Jade Tamon Daniel Sam Han dsb dgn Mima supaya mereka nggak terkesan ada di cerita hanya utk mendukung Mima biar menang aja, tp jg ada bbrp kubu yg bertikainya diperkuat tokohnya biar mantep.

    Plusnya, interaksi Mima sama Kazu pas awal bagus tuh udah kebayang nada bicaranya dsb. Perkembangan Mima jg asik evolve dari Runner ke Con shg klonnya kalah. Dan tipuan Kazu manis bgt tukeran tempat itu, kalo dipanjangin tipu2nya keren ini.

    Btw overall karakter Mima lebih punya pitensi secara plot utk dikembangin, menurutku.

    VOTE MIMA

    ReplyDelete
  5. Sudah beres baca Mima dan Kazu sejak lama, tapi baru sempet komen lengkap sekarang karena dari kemarin sibuk ngetik entri R4 saya sendiri.

    Yang saya bingung dari kedua entri Mima-Kazu ini, sepertinya sama-sama terlalu fokus melawan Vulture, yak? Ketika akhirnya kedua OC asli saling berhadapan dalam duel, jadinya malah sama-sama tidak terlalu intens, biarpun keduanya sudah berinteraksi cukup banyak. (Eh tapi masalah ini mungkin juga melanda entri lain, termasuk Bu Mawar ... oh well)

    Kadang terlalu banyak kesepakatan antara dua penulis yang saling bertempur malah membuat variasi ceritanya jadi agak monoton. Karena hal yang disepakati itu sama-sama muncul di kedua entri, jadi tak ada banyak kejutan yang bisa ditawarkan ke pembaca.

    Secara keseluruhan, kedua entri ini sama-sama belum terlalu memuaskan bagi saya. Kayak ada banyak hal yang nanggung gitu. Tapi kalau membandingkan keduanya, entri Mima lebih unggul dari sejumlah segi. Mulai dari perkembangan karakterisasinya yang nggak konstan, lalu cuplikan latar belakang si Mima, atau kanon besar yang terkait dengan konsep BoRV sendiri. Bahkan dari gaya bertempur sendiri, Mima lebih unik daripada lawannya.

    Mungkin masih banyak kesalahan teknis yang berceceran. Tapi jika harus memilih, maka saya mendukung entri ini.

    VOTE MIMA
    OC: Kusumawardani, S.Pd.

    ReplyDelete
  6. AYE NGEVOTING ENYAK MIMEH (MIMA)

    nih sebener nye dua- dua tulisan ntah itu si Enyak Mimeh sama kazuki sama - sama apik deh,,,pokoknye

    tapi aye ngerasa ini di sininih lebi lengakp gitu cerite semua nye,,,terutama pas waktu bagian nyeritain keluarga si enyak,,,aye kagak bace semua entri nyak mimeh,,,tpi ude lumayan dapet gamabarannye deh sehabis baca nyang ini nih,

    trus bagian militer nye gitu aye juga lebih suka di sini nih,,,lebi kerasa logis bisa berantem sampe segitunye daripade kazuki,,,masi bocah tapi jago berantem pake pedang gede,,

    ReplyDelete
  7. Wow. Beda sama entry Fata yang langsung menggelegar. Entry Mima ini slow burn. Tenang-tenang menghanyutkan. Dari interaksi-interaksi simple penulis bisa menciptakan jalinan cerita yang engaging. Bahasanya enak diikutin. Karakterisasinya lebih menonjol tanpa terasa berlebihan daripada entry Kazu.

    Konflik Mima yang galau antara jadi ibu dan pembunuh beneran kerasa. Terciptanya konflik dengan Kaz, alasan mereka bertarung dan syarat kemenangannya lebih masuk akal dan natural dari Kaz.

    Terus, beda sama yang lain, keknya mulai sekarang aku nggak bakal masalahin lagi porsi cerita OC vs OC yang kurang daripada porsi vs Karakter Pembantunya, asalkan hal itu bikin cerita lebih keren dan berkembang. Ini yang terjadi waktu penulis memutuskan untuk lebih fokus ke pertarungan vs Vulture. Kazu udah dapet jatah ngungkap flashback terselubung Mima (adegan favoriteku di seluruh cerita ini) plus pengkhianatannya di akhir itu cakep banget penyampaiannya.

    Aku juga suka canon Mima. Apalagi kemunculan Han, Daniel, Sam, Blackz, Dimas  jelas banget fungsinya adalah sebagai build up ke ronde berikutnya. Endingnya juga sukses bikin penasaran.

    Oh, iya. Nilai plus plus karena banyak fanservice tersembunyi dari Mima <3

    Vote : Mima
    Alshain Kairos

    ReplyDelete