3.10.15

[ROUND 4] SANELIA NUR FIANI - BEAUTY AND THE BEAST



Author's Note : Kalian bisa membaca canon cerita Nely di notes terpisah -> Jurnal Hewanurma




Prologue


Ruangan itu gelap, cahaya penerangan begitu minim, hanya berasal dari monitor berisikan citra kamera pengawas. Di salah satu sudutnya, terdapat sebuah peti mati terbuat dari kayu mengkilat. Kotak persegi panjang itu berisikan sosok gadis kecil, terbujur kaku memandangi layar di sampingnya.


Wajahnya menoleh, kala tersadar akan kedatangan sesosok pria berambut pirang.

"Dimas," ucap gadis itu. Suaranya terdengar serak, amat lemah tak bertenaga. Tubuhnya juga minim gerakan, ia hanya sanggup menoleh saja.

Wajah Dimas terlihat begitu teduh, lekat memandangi gadis berambut biru tergolek lemah di hadapannya, "Kurasa aku sudah tahu apa yang harus kulakukan."

Gadis kecil itu mengangkat sedikit alisnya, meminta kelanjutan dari ucapan lawan bicaranya.

"Fia..." Dimas memanggil gadis itu, "Waktu kita tinggal sedikit, aku harus menemukan emulator terakhir, atau menggunakan cara terakhir untuk menyelamatkanmu.

"Cara terakhir …" ucapnya membeo. Ekspresi gadis itu begitu kosong, persis seperti sebuah boneka, "Aku tak menginginkannya…" Wajahnya menggeleng pelan,  "Biarlah Tamon Ruu hidup bebas di sini. Jika dia memang terbelenggu dalam diriku selama ini, maka jadikanlah kematianku sebagai penebus dosa akan takdirnya yang keji."

"Tapi dia adalah bagian dari jiwamu, milikmu. Dia adalah dirimu sendiri." Dimas terlihat frustasi, "Sepuluh tahun ini aku sudah berjuang mencari keberadaan emulator terakhir, tapi usahaku sama sekali tak membuahkan hasil. Dalam satu dekade ini pula hawa kehidupanmu semakin menyusut di tiap detiknya. Jadi memang tak ada jalan lain, kecuali aku menyeret Alter Egomu itu, kembali ke dalam tubuh aslinya."

"Dimas…" Fia kecil tersentuh hatinya. Gadis itu menjulurkan lengannya dengan sisa tenaganya. Ia membelai pipi Dimas dengan lembut, "Kau tahu aku tak menginginkan itu. Kau sudah melakukan apa yang kau bisa… terima kasih."

Seolah menolak resolusi terakhir itu, Dimas menggenggam erat lengan Fia, "Tidak, masih ada jalan lain. [kotak] itu—box yang dipercaya dapat mengabulkan seluruh keinginan—bisa dijadikan sebagai jalan keluar."

"[Kotak] buatan Tamon Ruu?"

Dimas termenung sejenak. "Sayangnya, Tamon Ruu saat ini terjebak dalam tubuh Sanelia. Aku tidak tahu bagaimana cara untuk mengeluarkannya. Begitu pun Hewanurma, dia juga kebingungan karenanya."

Mata Fia kecil terbelalak seketika itu juga, "Sanelia Nur Fiani?" ucapnya menuntut kejelasan.

Agak bingung Dimas dengan respon Fia, "Iya, salah satu entrant Battle of Realms memang memiliki nama belakang persis seperti dirimu."

Fia sangat berharap ia telah salah mendengar, tapi nama Sanelia Nur Fiani bukanlah sebuah nama pasaran. Rasa bahagia sontak datang menyelimuti seisi sanubari. Air mata mengucur tak terbendung sebagai hasil. Suaranya berubah lirih memanggil nama panggilan sosok yang dibicarakan, "Nely…"

Sebuah prasangka buruk tersirat dalam benak Dimas seketika itu juga, "Kau… kenal dia?"

Fia  memberikan sedikit jeda, memejamkan mata erat demi menyeka air mata. Gadis itu kemudian memberikan jawaban, "Dia anakku."

Tenggorokan Dimas serasa tercekat detik itu juga.


****





Chapter 1


[Nely's PoV]


"Papa!"

Tubuhku tersentak bangun, bangkit dari tidur yang nyenyak. Pandanganku menyapu ke sekeliling, berharap akan keberadaan papa di sana.

Namun wajahku berubah kecewa. Ruangan itu kosong, hanya ada meja kosong beserta vas bunga di atasnya. Mendadak aku jadi tak bersemangat. Dengan gerakan lesu aku turun dari ranjang tempatku terlelap.

Sebuah sensasi menyerang diriku secara tiba-tiba. Mataku terbelalak lebar, rasa mual menyerang seketika. Sontak saja aku pergi menuju toilet, hanya untuk memuntahkan sedikit cairan bening berupa asam lambung.

Tubuhku terasa lemas. Sensasi mual menyerang kembali, lambungku serasa tertohok, sakit sekali. Tak peduli sekeras apa aku berusaha untuk muntah, tak ada apapun yang keluar dari kerongkonganku.

Kenapa ini?

Nyaris satu jam aku menghabiskan waktu di toilet. Pada akhirnya aku memaksakan diri untuk mengambil sedikit aktivitas dengan berjalan, demi mengenyahkan rasa mual yang tak mengenakkan.

Tiba di sebuah pelataran, kudapati banyak sekali peserta saling bercengkerama. Tempat ini begitu ramai.

Ekspresiku kemudian berubah jengah, kala menyadari mereka terhenti dari aktivitas masing-masing. Tiap pasang mata memandangiku dengan tatapan merendahkan. Mereka menghinaku dengan memasang ekspresi menjijikan.

Tak bisa kupungkiri, kelakuanku ketika dalam pengaruh Dimas amat sangat memalukan. Samar kudengar bisik-bisik kecil dari tiap mulut yang ada. Mereka menjulukiku dengan peserta cabul, lacur, dan mesum.

Pandanganku tertunduk jatuh, seraya kakiku melangkah tak tentu arah. Segalanya terlihat buram, itu karena air mata terkumpul membasahi retina mata.

Langkahku terhenti kala tubuhku terantuk dengan bahu seseorang. Pandangan mata kami saling bertemu. Dia merupakan pemuda lesu dengan headset di telinga.

"Kazu…" ucapku memanggil namanya.

Akan tetapi, tak ada jawaban dari mulutnya. Dia hanya menatapku lekat dengan wajah jengah, "Kalo jalan lihat-lihat, dasar lacur," ucapnya seraya berlalu meninggalkanku.

Lenganku terkepal, emosiku serasa memuncak. Ingin rasanya aku lari dari tempat ini, aku tak ingin melihat siapapun. Jadi tubuhku berbalik cepat, hendak melakukan akselarasi.

Wajahku terbenam dalam sebuah dada yang bidang. Otot kekar mengisi seluruh tubuhnya, aku gagal mengantisipasi keberadaan sesosok pria bertubuh besar.  Langkahku terhenti sedetik setelah menabraknya.

"Hati-hati neng." Sosok itu memegangi pundakku, demi menstabilkan keseimbanganku yang berubah goyah. Ucapannya terdengar menggema, persis seperti om-om tua.

Aku sontak menengadahkan kepala, menatap raut wajahnya yang berusaha mengukir senyum ramah. Aku sempat terkesiap kala melihat bekas luka menyilang di wajahnya. Dagu pria itu begitu lebar, sekilas mengingatkanku pada kepala ular bandotan (viper).

"I-iya…" balasku kikuk. Tanpa sadar aku mengambil langkah mundur seakan menjauhi dirinya.

"Gak usah takut gitu neng, akang gak bakalan gigit kok."

Aku menjawabnya dengan anggukan kecil, "Maaf," ucapku merasa tak enak. Aku lantas berganti haluan demi berjalan melewatinya.

Akan tetapi kakiku terpeleset ketika menapaki tangga di sana, alhasil aku jatuh dengan indah tepat di bagian wajah.

Pria tadi berubah panik seraya berlari menghampiri, "Neng gak apa-apa?" Telapak tangannya yang besar mencengkeram bahuku, lalu mengangkatku selayaknya anak kecil.

Sejenak aku menyeka air mata, lalu memalingkan wajah menahan malu, "Maaf," ucapku lesu.

Sensasi mual kembali menyerang di saat yang tak tepat. Aku sontak menutup mulut dengan telapak tangan demi menahan muntahan.

"Neng lagi gak enak badan?" ucapnya sok peduli.

"Namaku Nely," ucapku jengah. Dari tadi dia kerap memanggilku dengan sebutan neng. Julukan 'Nona' dalam bahasa sunda.

"Iya neng Nely. Kalo saya Asep, mau saya anter aja ke posko kesehatan?"

Posko kesehatan? Apa ada yang seperti itu? Aku kira di dunia digital ini segalanya serba instan. Seperti penyembuhan ajaib paska pertarungan misalnya. Aku tak tahu apa yang terjadi pada tubuhku, jadi kuanggukan saja wajahku sebagai jawaban.

Tiba di sana, kulihat ada sesosok suster aneh dengan perban melilit tiap lengan dan kakinya. Tadinya kupikir dia yang akan mengobatiku. Nyatanya, suster itu malah menyibukan diri merawat seorang pria jabrik bertelanjang dada. Seraya aku berjalan, kupergoki ekspresi teduh di wajah sang suster. Rasanya seperti melihat sesosok ibu yang sedang membelai anaknya.




***************



Di sebuah ruangan luas nan gelap.

"Fia, akan kutemukan [kotak] itu." Dimas berusaha menguatkan tekadnya. Pria itu berdiri menghadap pada kapsul raksasa, tingginya sekitar empat meter, "Blackz, lakukan tugasmu, temukan [kotak]—alat untuk mengambulkan seluruh permintaan—lalu persembahkan padaku."

Pintu kapsul vertikal itu terbuka perlahan, menyibak keberadaan sosok besar berbalutkan aura hitam. Pancaran energi kegelapan di tubuhnya begitu pekat, hingga cahaya yang menyinari seakan terserap seutuhnya. Tak ada pantulan apapun di sana, seakan tak memberikan informasi bagian sosok wajah aslinya. Makhluk bernama Blackz, sesungguhnya terlihat mirip dengan stick man yang biasa digambar anak SD.

Mereka berdua berdiri saling berhadapan. Lalu tanpa memberikan respon apapun, Blackz melentingkan tubuhnya tinggi, menabrak langit-langit ruangan hingga hancur untuk keluar dari sana.

"Tolonglah…" ucap Dimas seraya menengadahkan kepala, "Jangan hancurkan lab yang susah payah kubangun," lanjutnya seraya menghela napas.




*********





Chapter 2


[Nely's POV]

Aku bingung, dokter di hadapanku mengatakan hal yang sama sekali tak kumengerti.

"Ba-bayi?" ucapku terkesiap.

"Selamat, Anda akan menjadi ayah." Dokter di hadapanku tersenyum, lengannya menjabat lengan Asep yang mengantarku tadi.

Wajah pria itu sontak merekah kemerahan, "Eh, eh, eh, Sangeunah na wae! Gue bukan suaminya," sanggahnya seraya tergelagap.

"Aku… hamil?" ucapku tak percaya. Kutundukan wajah seraya mengusap perut ini. Ada segumpal janin di sana, cikal bakal sebuah kehidupan. Meski aku tak menginginkannya, namun calon manusia itu merupakan entitas berharga, buah hatiku.

Apakah aku siap untuk itu? Menjadi sesosok orang tua, mengasuh anaknya. Sulit sekali untuk dipercaya, terlebih akan fakta bahwa aku bisa hamil di dunia digital ini. Kubayangkan perutku akan membesar nanti. Lalu pada akhirnya aku akan berjuang dalam proses kelahiran, demi mengantarkan kedatangan seorang anak tak berdosa.

Usiaku  menginjak angka 25 tahun. Usia yang tepat untuk menikah dan memiliki anak. Namun bukan begini caranya. Batinku begitu sakit kala teringat ayah dari janin yang kukandung saat ini. Seorang pria bejat yang tega memerkosaku tiada henti.

Sementara aku melamun, kudapati wajah sang dokter berubah curiga, "Kalian belum menikah?"

"WEI..!" Asep berubah gelagapan. Antara malu, kikuk, serta kesal bercampur menjadi satu. Dia tak ingin dituduh menjadi pasangan dari sosok pelacur hina sepertiku. Aku paham, di mata orang lain aku memang terlihat menjijikan. Keberadaanku tak lebih seperti halnya kotoran. Kejadian di Ronde tiga kemarin merupakan sebuah pukulan besar, coretan hebat akan nama baikku.

"Aku tak pantas disandingkan dengan neng Nely. Gadis secantik dia pastilah sudah memiliki suami, jauh lebih ganteng dari pada preman kampung ini. Derajat dia terlalu tinggi."

Aku terkesiap mendengarnya. Di matanya, aku masih dianggap sebagai sosok yang mulia. Batinku terenyuh mendapati respon seperti itu, "Tapi aku tidak punya suami. Ayah dari calon anak ini adalah pria brengsek tak tahu diri. Dan dia sudah pergi."

Dua orang itu mendadak hening. Kepalan tangan Asep yang hendak meninju sang dokter terhenti dari lajunya.

"Ka-kalo gitu boleh dong akang jadi suami neng Nely?" ucap pria itu setengah bercanda.

Dilamar mendadak seperti itu, aku tentu saja berubah gelagapan. Wajahku sontak tertunduk malu.

Bagaimana ya? Kang Asep ini sepertinya bukan orang jahat, (meski wajahnya memang menyeramkan.) Tapi aku tak siap jika harus menikah secepat ini.

Namun di sisi lain, aku tak ingin anak ini lahir tanpa kehadiran sosok ayah untuk menemani. Aku juga tak tahu bagaimana caranya untuk menghadap papa, andai dia tahu aku hamil di luar nikah.

Batinku berkecamuk saling menimbang, tanpa sadar aku menggumam mengucap keputusan, "Uhmm… Boleh…"

Tubuh Asep seolah membatu. Pria itu mendadak diam membeku.

Dokter tadi bahkan bebas menepuk pundaknya tanpa harus takut ditinju. Ia menghela napas sejenak seraya berucap pelan memberi selamat, "Lamaranmu diterima tuh. Kalau Anda membutuhkan jasa untuk prosesi pernikahan, saya bisa membantu kebutuhan Anda."

Dokter itu kemudian menyerahkan sebuah kartu bisnis, 'Rias pengantin Black Alley' kalau tak salah.

Namun tak ada respon, Asep masih saja menganga dengan pandangan mata mendelik kosong, persis seperti ikan yang sudah mati.

"Neng Nely serius…?" ucapnya tak percaya.

Aku sih sebenarnya tak yakin. Perawakannya terlihat amat menyeramkan. Suaranya juga bisa menggetarkan sanubari siapapun yang mendengarnya. Tapi keberadaan seorang lelaki itu tak serta merta dinilai hanya lewat penampilan saja. Meski hanya beberapa jam sejak pertama kali aku bertemu dengannya, perlakuan pria itu amat berbeda dengan orang lain yang senantiasa menatapku meremehkan.

Jadi kuberikan sebuah anggukan kecil sebagai sebuah penegasan. Rambutku tergerai jatuh menutupi seisi wajah. Entah kenapa aku merasa sangat malu, pipiku saat ini mungkin sudah semerah kepiting rebus.

Pria itu menggaruk kepala yang tak terasa gatal, "Aduh, gimana nih. Saya gak tahu harus berbuat apa di situasi seperti ini. Baru pertama kali ini soalnya, ada cewek merespon baik ke usaha saya."

"Yaelah masbro…" sang dokter berkomentar seraya mendecakkan lidah. "Segitu Jones-nya kah dirimu?"

Sebuah tinju mendarat di pipi dokter itu.

Aku hanya tertawa kecil melihat tingkah polanya. Seseram apapun wajahnya, toh saat ini dia bertingkah seperti anak kecil yang begitu kegirangan.

Namun sayangnya, saat-saat membahagiakan itu harus dipaksa berhenti. Sebuah goncangan mengubah situasi sedetik itu juga. Gedebum ledakan terdengar mengikuti. Suaranya berasal dari dalam lapangan Colloseum.

"Sepertinya ada pertarungan hebat lainnya." Sang dokter berkomentar pelan. Ia membetulkan letak kacamata dengan pose  yang keren, seakan mengabaikan kucuran darah mengalir dari keningnya.

"Seperti pertarungan 'Kereta mantap'? Atau lebih dahsyat dari adu jotos perempuan berkerudung melawan Robot?"

Dokter itu menggeleng, "Tidak, ledakan ini bahkan melebihi kedahsyatan pertarungan Lady Estelle melawan Dyna Might. Ledakan yang bahkan sanggup melenyapkan kedua entrant itu masih bisa ditahan oleh lapisan pelindung. Tidak sampai menimbulkan gempa seperti ini."

"Jadi ada sesuatu yang lebih mengerikan dari pada itu." Asep menggumam pelan.

Aku sama sekali tak mengerti apa yang sedang mereka bicarakan.

"Bagaimanapun juga, tempat ini sepertinya tidak aman." Asep lantas menjulurkan lengannya padaku, seolah mengharapkan respon baik dariku.

Aku tentu saja menyambut genggaman tangan itu. Kami berdua berlari keluar ruangan dengan lengan saling bertautan. Rasanya seperti sedang melakukan adegan di film india.




*********





Chapter 3


Mulut kami dibuat terperangah seraya menatap kejadian di luar sana.

Sesosok makhluk misterius berwarna hitam terlihat melayang di atas arena pertarungan. Kudapati sebagian tribun kursi penonton sudah lenyap disapu sebuah ledakan. Andai hantaman tadi diarahkan pada bagian tempatku diperiksa, tentu saat ini aku sudah meninggal dalam wujud tak tentu rupa.

"Hewanurma, di mana kau menyembunyikan [kotak] Laplance?" Suara sosok itu menggema hebat, hingga menggaung ke seluruh penjuru kota.

Kudapati Hewanurma tergeletak lemah di sebuah tangga di tengah tribun penonton. Aku sontak saja berlari menghampirinya.

"Umii.." Pria itu memanggil nama istrinya. Kulihat kelopak matanya jatuh dengan lambat.

"Bertahanlah." Aku berubah panik, terlebih ketika mendapati seberapa parah luka yang ia derita. Setengah bagian tubuhnya terkoyak musnah, menyisakan kucuran darah segar berwarna kemerahan.

Matanya terbuka perlahan, berusaha memaksakan kesadaran yang sudah berada di tepian. Pandangannya menatapku begitu dalam, "Jangan sampai Blackz tahu di mana kotak Laplace berada."

Aku tentu saja bingung, "Aku tidak tahu apa yang kau bicarakan."

"Aku tidak berbicara denganmu," sanggah Hewanurma, "Tujuanku adalah Tamon Ruu yang ada di dalam dirimu."

Di dalam diriku?

Hewanurma kemudian melanjutkan ucapannya, "Aku pasti bisa mengeluarkanmu dari sana."

Aku sama sekali tak paham. Apa sosok Tamon Ruu sedang terperangkap di dalam tubuhku?

Ingin rasanya untuk bertanya lebih lanjut. Namun situasi ini amat tidak memungkinkan untuk berbuat demikian. Dalam kekacauan itu, kulihat tim penanggulangan bencana bergerak dengan cepat. Mereka menandu tubuh Hewanurma yang tergolek lemah untuk pergi dari sana.

 Sementara itu, Blackz masih saja mengintrogasi tiap peserta. Walau tentu saja mereka tak mengerti akan [kotak] yang dimaksud. Sosok hitam itu hanya mendengus pelan, "Kalian tak tahu apa-apa. Tak ada gunanya kalian hidup."

Sosok itu mengayunkan lengannya, hendak melakukan sesuatu. Akan tetapi, kudapati seorang pemuda bertelanjang dada melesat cepat menuju dirinya. Memaksa makhluk hitam itu harus menggagalkankan niatnya.

"Heh Hitamz, kalo sombong jangan kebangetan ya. Kamu itu siapa? Seenaknya saja menghancurkan seisi arena." Tubuh pemuda itu terlihat berpendar, lengan dan kakinya diselubungi lapisan petir berwarna kebiruan. Dua buah arit raksasa ditancapkan erat ke dalam pergelangan tangan Blackz.

"Dasar serangga," sosok itu menepis lengannya. Dalam satu gerakan itu saja, sepasang senjta pemuda tadi pecah berserakan. Tubuhnya terlontar jatuh kala sebuah pukulan mendarat tepat di bagian perut. Nyala petir sebagai daya pendorong menghilang detik itu juga. Ia tersungkur jatuh menabrak puing bebatuan.

Sang bayangan hitam kemudian mengubah bentuk lengannya menjadi sebuah jarum panjang. Lalu dalam satu gerakan, ia lontarkan ujung tajam jemarinya, hendak menusuk pemuda tadi di bawah sana.

"Nagh Hutan!" sesosok perempuan mengenakan baju suster meloncat tepat di saat yang bersamaan. Ia memposisikan tubuhnya demi menghalangi lajur tusukan. Alhasil, lengan panjang tadi gagal mengenai target utama.

Sebagai gantinya, perempuan tadi terbatuk darah dengan kondisi paru-paru yang berlubang. Ia merangkak, bertumpu pada lengan dan lutut, tepat di atas tubuh pemuda bernama Wildan. Gadis itu melindungi sang pemuda, dengan menjadikan tubuhnya sebagai tameng bagi serangan.

"Vii…" pemuda itu terlihat shock. Matanya terbelalak lebar, suaranya bergetar, ekspresinya begitu kosong seolah menyangkal sebuah kenyataan. Suster berbalut perban itu tersenyum kecut  menatap dirinya, lalu ambruk merenggang nyawa, tepat di hadapan mata. Ia tewas dalam posisi lemas memeluknya.

Pembunuhan tadi sontak saja menyulut amarah bagi tiap insan yang ada di sana. Mereka menyerbu dari berbagai sudut, menyerang secara bersamaan.

Makhluk hitam itu mengangkat lengannya tinggi ke angkasa. Lalu dalam satu gerakan cepat ia menghujamkan lengannya dengan keras. Tepat menuju bumi, hingga lapisan tanah meledak berhamburan.

Rerumputan hijau terlihat merekah, terbelah lebar dan semakin membesar. Bumi seolah dikoyak dalam satu serangan. Gedung Colloseum bahkan musnah tertelan.

Orang-orang sama sekali tak memiliki pijakan. Mereka berusaha bertahan dengan  melompati puing-puing yang tertarik gravitasi berjatuhan. Namun selincah apapun mereka bergerak, pada akhirnya tak ada yang selamat dari sebuah keruntuhan.

Badanku terlihat kecil jika dibandingkan dengan gumpalan otot di tubuh Asep. Pria itu membopongku selayaknya pangeran membawa putri tidur. Sebisa mungkin pria itu berlari menjauh, berusaha menghindar dari gelombang kehancuran.

Akan tetapi, usaha kami berubah sia-sia, tatkala Blacks muncul tepat di hadapan kami berdua.

"Aku bisa merasakan keberadaan [kotak] di dekat sini. Apa kau yang bernama Sanelia?"

Aku sontak saja bergidik melihatnya. Berada dekat dengan aura hitam itu membuatku nyaris kehilangan kesadaran. Auranya terasa begitu menyesakkan. Rasa mual mengikuti kemudian.

Asep berubah berang, ia melayangkan sebuah tendangan.

Walau tentu saja ayunan kaki itu dengan mudah dapat ditangkap. Bagi sosok sekelas dewa, tak ada hal apapun di dunia yang dapat menghentikannya.

Tak ada apapun—, kecuali sosok penyihir hebat dengan suplai manna tak terbatas di tubuhnya.

Selama ini aku tak bisa mengeluarkan sihir dikarenakan keberadaan gelang pemberian Hewanurma. Namun di tangan Asep, gelang ini tak ubahnya seperti sebuah permen karet. Lengan kekarnya dengan mudah dapat menghancurkan benda itu.

Kurapal sebuah mantra singkat, demi menciptakan pendaran lingkaran sihir melayang di udara. Dari sana, Asep bisa melompat bebas menjadikannya sebagai lantai pijakan. Pria itu begitu luwes, dia sanggup memprediksi di mana aku hendak menciptakan tumpuan. Pikiran kami seolah berhasil tersinkronsiasi. Alhasil, kami berdua sanggup melewati kehancuran serpihan beton dari runtuhnya bangunan.

Aku masih berada di dalam pangkuan Asep. Lenganku melingkar tepat di lehernya, berpegangan erat agar tak terjatuh dari sana. Kututup dua mata ini, seraya berkonsentrasi merapal sebuah inkantasi panjang.

"Et tantae naturae conditor cum quae ipsi manent in umbra, ego præcipio vobis dimittere potestatem in convertendo inimicum meum."

Sihir Thundakaja, mantra terlarang untuk mengendalikan cuaca. Sihir ini bekerja sempurna di planet bumi. Semoga saja hal yang sama bisa terjadi di sini.

Langit di atas sana mulai berubah gelap. Birunya langit sontak tergantikan oleh awan gelap bergemuruh. Kilatan petir menerangi seisi kota walau hanya sekejap. Kandungan listrik di dalamnya meloncat-loncat siap meledak.

"Thundakaja," ucapku seraya mengarahkan telunjuk pada Blackz. Sosok itu tampaknya tak mengejarku. Ia hanya melayang memandangiku, seolah mencari tahu seberapa jauh aku sanggup berbuat dengan sihirku.

Ledakan besar tercipta sedetik kemudian. Semburan cahaya datang menerpa membutakan mata. Suara hantamannya begitu keras seakan berniat memekakkan telinga.

Debu serpihan beton menutupi segala sesuatu di bawah sana.  Samar kudapati siluet hitam berdiri kokoh dari dalamnya. Napasku tertahan saat itu juga, sadar bahwa pertarungan ini akan sulit untuk dimenangkan.

Lontaran beton terbang datang menghampiri dalam gerakan yang teramat cepat. Rentetan kedatangan benda itu begitu deras layaknya terpaan hujan. Aku sontak saja mengayunkan kedua lenganku dalam gerakan memutar, mengusap dinding imajiner tepat sebatas dada.

Lapisan pelindung tak kasat mata tercipta nyaris seketika. Bangun ruang transparan itu mementahkan segala sesuatu yang berniat mencelakai kami berdua.

Asep begitu terperangah kala melihat kemampuanku. Aku lantas memberikan senyum kecil sebagai obat keterkejutannya.

"Omnem industriam meam grassentur nervi, nunc militis mei pones super brachium eius et fascinare ingenium adferre oportere."

Ribuan Kristal mikro terbentuk di sekeliling Asep. Tiap butirnya berpendar halus memantulkan cahaya. Efeknya, kemampuan tubuh pria itu kini meningkat nyaris tiga kali lipat.

Kudapati kedatangan Blackz secara tiba-tiba. Dia berakselarasi begitu cepat nyaris lepas dari gaya sentrifungal.

Asep merespon dengan memutar tubuhnya. Kulihat kaki kanannya terayun agak tinggi, berusaha mencari tumpuan. Dengan sigap aku menciptakan lingkaran sihir sebagai tempat pijakan.

Lalu dalam satu ayunan bertenaga, Asep meneriakan nama gerakannya, seraya menjejak keras melontarkan kaki kanan hendak diayunkan, "Papatong…"

Sabetan kakinya begitu cepat, nyaris tak terlihat dalam satu kedipan mata. Ujung sepatnya menghantam hebat tepat di bagian kepala Blackz.

"Suruduk!"

Tubuh Blackz terkirim balik, jatuh membentur daratan. Dari sana, aku berinisiatif untuk melanjutkan serangan. Kali ini aku berniat membakarnya dengan summon Phoenix dari zaman kegelapan.

"Qui intus animam devoraverunt aeterni calore mandavero tibi quasi unus est. Et eradamus inimicum tuum perenni cremer igne."

Bara api tercipta seketika, seakan membakar udara kosong yang dingin dalam lubang menganga. Sesosok burung raksasa tercipta dari dinding bebatuan, melesat tinggi menuju angkasa. Kemunculannya menjadi awal dari kerusakan luar biasa. Sayapnya merentang lebar hingga sanggup menghanguskan sisa-sisa bangunan yang ada.

Burung itu melahap habis sosok Blackz yang baru saja tersungkur. Posisinya berada di tanah pinggiran Colloseum.

Gedebum ledakan tercipta hebat. Nyala apinya begitu panas hingga melelehkan lapisan tanah, mengumbahnya menjadi cairan pijar bewarna merah bernama magma.

Jemari Asep menumpu punggung dan pahaku. Kedua lenganku juga masih melingkar di lehernya. Rambut lembutku menempel erat pada dagu miliknya. Aku begitu nyaman bersandar pada gumpalan otot dada berbentuk bidang.

Sayangnya rasa aman itu tak berlangsung lama. Jantung kami berdesir hebat kala menyadari kehadiran Blackz tepat di belakang kami berdua. Makhluk itu menghilang begitu saja, lalu menapakan diri dalam gerakan membokong. Lengannya tertekuk rapi siap dilentingkan.

Dan tentu saja, sebuah hantaman hebat tercipta lewat sebuah pukulan sekuat tenaga. Aku terbentur cukup keras hingga peganganku terlepas. Kesadaranku seakan tertarik, rasa kantuk menyerang seketika. Pun begitu, Asep tak melepaskan lenganku begitu saja. Aku gagal menciptakan lingkaran sihir lainnya. Kami berdua terjatuh ke dalam lubang di bawah sana.



***************





Chapter 4


Susah payah aku berusaha menahan kantuk yang menyerang. Pandangan terasa begitu buram dalam gelapnya suasana. Telingaku menangkap suara serpihan beton yang berjatuhan. Perlahan aku bangkit dari posisiku yang terbaring.

"Tempat apa ini?"

Aku ada di dalam ruangan luas, dengan rekahan besar di bagian tepiannya. Sebuah lubang tercipta secara vertikal dari ujung tinggi hingga jauh menuju bawah. Pandanganku gagal menangkap bagian ujungnya. Pikiranku gagal menjelaskan logika; kenapa aku bisa selamat setelah jatuh dari ketinggian seperti ini?

Kuperiksa lingkungan sekeliling, berusaha mencari keberadaan Asep. Pria itu menghilang entah ke mana. Kami berdua terpisah ketika jatuh menyelami lubang raksasa.

Sesaat tadi aku nyaris saja berteriak kencang memanggil namanya. Namun instingku sebagai penyintas menahan niat itu. Itu bukan sebuah tindakan yang bijaksana. Orang lain—yang mungkin saja berniat jahat—akan bisa mengetahui posisiku.

Jadi, seolah mengulang kembali pengalamanku di Ronde dua dulu. Aku lagi-lagi berjalan mengendap menyusuri sebuah lorong yang ada di sana. Tempat itu sepertinya menjanjikan.

Aku tak bisa menyembunyikan keterkejutanku kala dihadapkan pada sebuah percabangan. Kuperiksa satu persatu koridor itu, hanya untuk disambut dengan persimpangan lainnya. Tempat ini rupanya sebuah labirin menyesatkan.

Sayangnya kali ini situasi sudah berbeda. Bangkitnya ingatanku ketika hidup sebagai Yulia, telah memberikanku akses terhadap ratusan mantra. Aku bisa dengan mudah keluar dari sini lewat rangkaian kecil sihir teleportasi. Tak perlu lagi kususuri isi labirin ini selayaknya di ronde dua.

Maka kuciptakan saja serangkaian lingkaran sihir, seraya merapal inkantasi untuk sihir tersebut. Cahaya temaram menyinari sekujur tubuhku, aku lantas menutup kedua mataku, menyiapkan diri dalam proses perpindahan tempat.

Tubuhku terentak sesaat. Alangkah terkejutnya hati ini, karena pemandangan yang kulihat sama persis seperti sebelum melakukan inkantasi. Kucoba kembali sihir teleportasi, hanya untuk disadarkan akan kegagalan proses curang ini.

Aku benar-benar terjabak di ruang bawah tanah. Kulihat lampu Neon berpendar di bagian atas, menjadi sumber penerangan akan logam bercatkan abu-abu. Lantai yang kupijak terbuat dari keramik mengkilat berwarna putih. Tempat ini sungguh bernuansa cerah, jauh berbeda dengan labirin gelap yang pernah kususuri di waktu sebelumnya.

Tapi labirin tetaplah labirin. Tujuannya tak lain untuk menyesatkan siapapun yang ada di dalamnya. Aku tak punya pilihan apapun selain berjalan menyusuri tiap cabangnya.

Lalu dengup jantungku berdesir seketika, terkejut akan kemunculan Asep di sebuah persimpangan. Wajahku tentu saja berubah sumringah, berada di tempat asing dengan seseorang yang kukenal merupakan sebuah kelegaan.

Namun ada yang aneh. Aku gagal mendapati wajah tenang Asep yang biasa terukir di sana. Pria itu tampak melotot seraya menatap lekat pada sekujur tubuhku. Seringai jahat terukir di sana, disertai tetesan air liur menjijikan pertanda siap memangsa.

"Asep?" ucapku meyakinkan.

Pria berjalan menghampiri, lalu mencengkeram dua bahuku yang terlihat kecil (jika dibandingkan dengannya). Batinku terkesiap, kala menyadari jemari kuat itu merobek kasar kain kemeja yang kukenakan. Alhasil bagian atas tubuhku kini hanya bertutupkan bra saja.

Aku sontak mundur seraya menyilangkan lengan, berusaha  menutupi payudaraku, "Apa-apaan?!" Kupasang wajah permusuhan pada pria itu.

"Kau kan calon istriku, jadi bolehlah aku menyicipi tubuh ranummu," ucapnya seraya menjilat bibir.

Memang ucapan itu ada benarnya. Toh jika aku sudah menjadi istrinya kelak, aku tentu harus melayani nafsu lelakinya.

Namun aku tak sudi dilecehkan seperti ini. Aku bahkan belum memiliki ikatan resmi dengannya. Ingatanku akan perlakuan kasar Dimas seakan muncul dari kedalaman. Keringat dingin mengucur pelan di saat pikiranku termanggu kosong diteror pengalaman menyakitkan.

Pria itu tanpa tahu malu menyergap tubuhku, lalu menempatkan jemarinya di bagian sela kedua pahaku. Pikiranku bahkan tak sanggup menyusul kejadian yang sedang berlangsung pada tubuhku.

Berulangkali dilecehkan seperti ini, aku sudah muak. Cukup sampai di sini, ternyata semua laki-laki sama saja. Nafsunya begitu menggebu, persis seperti seekor lembu. Napas pria itu amat jelas mendesir di telingaku.

Aku harus melakukan sesuatu, sebelum impuls sensitif seorang wanita menyerang pikiran. Kuciptakan sengatan listrik di penghujung lenganku, lalu tanpa ragu kuremas saja batang kejantanannya dalam kejutan keras sekuat dua ratus volt.

Pria itu mengerang hebat, tubuhnya kejang lalu ambruk seraya memegangi benda berharga miliknya.

"Kalian semua sama saja," ucapku jijik.

Kukira sengatan tadi cukup untuk melumpuhkannya. Namun aku salah, pria tadi pulih begitu cepat. Tak butuh waktu lebih dari sepuluh detik baginya untuk bisa menggeram kesal, lalu bangkit dengan kedua kaki, berdiri menghadapku.

Aku sadar aku ada dalam sebuah bahaya, jadi kujejakkan saja kedua kakiku untuk berlari dari sana. Bak adegan mimpi buruk di sebuah film horror, pria itu mengejarku dengan derap langkah yang menggema.

Napasku begitu memburu. Dalam hal adu kekuatan fisik, aku jelas bukanlah tandingannya. Kurasakan punggungku dientak hebat hingga aku jatuh tersungkur. Lantai ini terasa licin, butuh beberapa senti seretan kecil hingga tubuhku terhenti seutuhnya.

Lengan kiriku ia cengkeram dengan kasar, lalu tubuhku dibalikkan hingga terlentang tak berdaya.

"Huehehehehehe…" ia menghirup napas dalam seraya mencium pangkal leherku, "Kejutan listrikmu itu tak berefek lama, tak ada apa-apanya."

"Kumohon… jangan…" Aku tak ingin mengalami mimpi buruk ini lagi. Tubuh besarnya menindihku hingga aku tak sanggup untuk melarikan diri.

Dua pergelanganku ditarik ke atas, lalu dijepit dengan lima jari berukuran besar miliknya. Sementara itu, lengannya yang lain sibuk menelisik masuk ke dalam bra yang kukenakan.

Air mataku mengalir, aku terisak hebat. Rintihanku menggema jauh, memohon pertolongan pada siapapun yang ada di sana.

Dalam gerak lambat, kurasakan tubuh Asep tersentak hebat. Pipinya terdorong keras oleh sebuah jejakan sepatu berwarna hitam. Leher bebal itu tertarik, hingga tubuhnya terpelanting menjauhi posisiku, membuatku lepas dari tindihannya.

Seseorang datang menyelamatku, tapi siapa? Maka kutengadahkan wajahku untuk mencari tahu siapa pelakunya.

"Neng Nely baik-baik saja?"

Aku merasa bingung detik itu juga. Sosok yang menendang Asep tadi, adalah pria bernama Asep juga. Perawakan serta wajah mereka begitu identik satu sama lain. Sontak saja aku berubah panik. Kakiku menjejak lantai beberapa kali, seraya tubuhku terseret mundur untuk menjauhi.

"Siapa kau?"

"Ini aku Neng, Asep Codet…" ucapnya kikuk, agak malu ia untuk melanjutkan kalimat selanjutnya, "Aku calon suamimu."

Kenapa ada dua Asep di sini?

"Aink bingung…" Pria itu merenung sejenak, "Neng Nely, mungkin ini terdengar gila, tapi orang itu juga sama-sama Asep," ucapnya seraya menerawang, memandangi pria di sisi lain yang sedang memegangi sakitnya pipi, "Kurasa dia kembaranku, walau entah datang dari mana."

"Saudara?"

Pria itu menggeleng, "Aku tak punya saudara." Lengannya terjulur padaku, menawarkan bantuan untuk segera berdiri. Tak lupa ia lepas jaket kulit yang menutupi tubuhnya. Lalu bak seorang gentlemen, pria itu menutupi bagian dadaku yang terbuka dengan pakaian miliknya.

Orang ini tentulah Asep yang aku tahu. Perilakunya lembut terhadap wanita, lalu senyum ramah itu juga tak bisa ditiru oleh siapapun juga. (Walau harus kuakui, senyum macam apapun tak membantu mengubah perangai menyeramkan miliknya.)

Mendapat sosok penyelamat yang bisa diandalkan, aku tentu saja langsung berlari menyongsongnya. Kudekap dada berukuran besar itu seraya mengharapkan perlindungan.

"Tenang Neng, akang ada di sini. Tak akan kubiarkan si peniru brengsek itu menodai neng lebih jauh." Jemarinya membelai lembut rambutku. Seumur hidup, baru kali ini aku merasa nyaman di dalam pelukan seorang lelaki selain ayahku.

Sesuai instruksi Asep, aku mundur berlindung pada dinding sebuah perempatan. Pria itu bersiap untuk memulai baku hantam melawan kembarannya sendiri.

"A-awas loe ya!" kembaran Asep mengumpat melontarkan ancaman. Namun ucapannya berbanding terbalik dengan tindakannya. Meski telunjuk itu terarah disertai tatapan menyeramkan, tapi langkah kakinya bergerak mundur berusaha menjauh. Menit berikutnya, kembaran itu lari tunggang langgang seraya mengeluarkan kata-kata mutiara.

"Naha ari sia?" Asep sendiri bingung dibuatnya. Tantangan terbukanya malah ditanggapi dengan jurus langkah seribu. Pria itu terlihat begitu tenang, alih-alih berlari mengejar si pecundang, dia malah berbalik menuju arahku.

"Neng Nely terluka?"

Aku menggeleng pelan. Tak ada rasa sakit yang kuderita, hanya ada trauma yang menyiksa. Tak semua pria itu mesum luar biasa, ada juga pria sopan seperti Asep ini yang bersedia menerimaku apa adanya. Dia bisa memberikan perlindungan dari orang-orang jahat di sekelilingku.

Pria itu lantas memeriksa keadaan di sekeliling. Pandanganya begitu siaga mengawasi sekitar, "Kita ada di mana?"

Lagi-lagi aku menjawabnya dengan sebuah gelengan.

"Tak ada gunanya diam di tempat seperti ini. Ayo kita mulai bergerak mencari jalan keluar."

Aku mengangguk. Langkahku lantas berjalan tepat di sampingnya. Agak ragu aku untuk memulai, tapi perlahan jemariku mengaitkan diri pada kulit lengannya. Aku begitu manja seakan tak ingin ditinggalkan olehnya. Kulihat ia hanya menoleh sejenak seraya mengukir sebuah senyum menyejukkan.

Sungguh, perangainya itu memang terlihat menyeramkan.



***************





Chapter 4.5


Kami sepakat untuk menjelajahi labirin yang ada. Kali ini kami berpapasan dengan seorang wanita berkerudung. Perhatianku sejenak teralihkan pada lengan kanannya yang terbuat dari serat komposit baja, mirip seperti salah satu tokoh dalam game Mortal Kombat.

"Bunda Mawar?" ucapku tak percaya. Setelah sekian lama, baru kali ini aku kembali bertemu dengannya, "Bunda baik-baik saja?" aku tak menyangka dia bisa bertahan sejauh ini dalam turnamen Battle of Realms.

Bunda Mawar menatapku sejenak, "Kalau tak salah dik Nely ya?"

"Iya, ini aku Nely."

"Nely yang terkenal karena ***** itu ya?"

Aku terkesiap, kenapa bunda tega mengingatkanku akan pengalaman buruk itu? "Saat itu aku sedang dikenalikan orang lain Bunda…"

"Oh, maaf…"

Asep di sampingku lantas berubah jengah, "Eceu, sopan dikit bisa gak? Situ guru kan?"

Eceu dalam bahasa sunda berarti Bibi, panggilan kepada ibu-ibu di usia kepala tiga.

Mendapat julukan demikian, Bunda lantas berubah kesal, "Akang ge meuni teu sopan manggil Eceu ka abdi."

"Lah, si eceu orang sunda oge geuning, seeur oge nya peserta anu datang di sunda?" Ekspresi Asep berubah sumringah, ada peserta lain yang rupanya satu daerah dengannya.

Aku tak suka ini, aku lantas melakukan interupsi, "Punten sadayana, ngomong na ulah pake bahasa sunda, ngkin teu aya anu ngartos kana isi carita."

Dua orang itu terhenti dari pembicaraan mereka, "Neng Nely bisa bahasa sunda juga?"

"Aku pernah tinggal di Purwakarta."

"Oh, caket atuh sareng abdi neng, abdi ti Bandung. Kita teh emang jodoh, nya."

Ekspresiku berubah jengah, "Bahasa Indonesia please… Tidak semua orang bisa mengerti apa yang kalian bicarakan." Perhatianku kemudian tertuju pada Bunda Mawar, "Ibu sendirian di sini?"

"Nggak, saya lagi berantem sama seorang pria samurai."

Seuatu menggelitik pikiran Asep, pandanan kata Samurai itu mengingatkannya pada seseorang, "Si Nobunaga Oda?"

"Nobuhisa Oga! Jangan ubah nama orang seenaknya." Seseorang memprotes ucapan Asep.

"Nah, panjang umur. Baru juga diomongin," ucap Bunda Mawar.

Kulihat sesosok pria bertubuh tegap datang menghampiri dari salah satu percabangan. Sebilah pedang terhunus di lengan kanannya. Ia mengenakan Hakama—pakaian seorang samurai abad pertengahan—berwarna hitam.

Asep memasang sebuah seringai tampan, "Butuh bantuan?"

Bu Mawar menolak halus seraya menggelengkan kepala, "Tidak usah, aku bisa mengatasinya. Dia sudah melukai Sunoto muridku, jadi aku harus membuat perhitungan dengannya. Ibaratnya, Mano a Mano."

"Tapi situ kan perempuan," Asep memprotes nyaris tanpa suara.

Sadar bahwa Asep hendak memulai baku hantam dengan pria berpedang, aku lantas mencubit kulit lengannya memberikan larangan. Tak lupa kugelengkan wajah ini seraya ia menatapku meminta penjelasan.

Di lain pihak, aku tertegun kala menyaksikan Bunda Mawar bergerak luwes bak seorang manusia super. Tubuhnya diselimuti semacam aura hitam, mungkin berfungsi sebagai katalis untuk memperkuat gerakan. Guru berkerudung itu secara ajaib bisa mengimbangi hantaman pedang dengan bilah yang tajam. Lengan kanan itu terbuat dari logam, bisa dijadikan sebagai tameng, maupun alat untuk melakukan perlawanan.

Keduanya bertarung dalam jarak yang semakin menjauh. Perhatianku kemudian teralihkan pada pergerakan dinding labirin yang menutup di beberapa bagian.

Persis seperti labirin yang kujelajahi di Ronde dua. Rangkaian lorong bercabang ini akan berubah bentuk dalam rentang waktu tertentu. Dindingnya begitu tebal, mustahil untuk dihancurkan. Aku bahkan tak bisa mendengar gedebum pertarungan Bunda Mawar melawan samurai tadi. Kami terpisah oleh kemunculan dinding, bergerak menutupi persimpangan tempat mereka berada.

Hening…

Aku sudah bersikap egois. Aku yakin betul, di saat tadi Asep sebenarnya ingin sekali membantu Bunda. Namun dia rela mengalah demi mengabulkan keinginanku untuk tetap bersamanya. Aku hanya memikirkan diriku sendiri.

"Semoga Bunda Mawar baik-baik saja," ucapku dipenuhi penyesalan.

"Amiiin…" Asep menambahkan.



*******

Chapter 5


Perjalanan kami dilanjutkan. Kali ini kami dihadapkan pada sebuah area dengan penerangan minim. Aku sebenarnya tak ingin masuk ke sana. Firasatku memperingatkan akan sesuatu yang tak mengenakkan. Akan tetapi, tempat ini hanya tinggal satu-satunya ruang yang belum terjamah kaki. Karena sebelumnya aku senantiasa menemui jalan buntu.

Lampu penerangan di atas pecah dirusak sesuatu. Serpihan kacanya terlihat berserakan di lantai. Seseorang pastilah ingin mengambil keuntungan dari dalam kegelapan.

Asep mungkin agak kesulitan untuk berjalan. Tapi aku berbeda, struktur retina mataku mirip dengan kucing. Iris mata ini memiliki lensa ganda berfungsi memantulkan cahaya sebanyak dua kali. Aku bisa melihat lebih baik dalam gelapnya suasana.

Sebagai gantinya. Jika dilihat dari luar, mataku ini seolah tampak mengeluarkan seberkas cahaya.

"Wow, mata Neng Nely ada efek Fluorescense-nya. Bisa menyala dalam kegelapan." Asep mengomentari keanehan yang kumiliki dengan wajah takjub. Alih-alih merasa heran atas sebuah perbedaan, dia bisa menerima keganjilan itu dengan cara yang menyenangkan. "Neng Nely terlihat semakin cantik saja."

Aku tak menyangka dia bisa melontarkan sebuah rayuan gombal. Aku sadar bahwa itu hanyalah sebuah kebohongan, tapi perasaan ini tak bisa dikelabuhi. Aku merasa senang ketika mendengarnya.

Senyum di wajah Asep menghilang secara mendadak. Tubuhnya tersentak sejenak ketika sesuatu melecut cepat menembus bagian perutnya. Suara itu amat familiar di telingaku. Asalnya dari sebuah tembakan jarak jauh, senapan laras panjang bertenagakan teknologi elektromagnetik, Gauss Rifle.

Kupergoki sepasang mata berwarna hijau, berpendar dari gelapnya suasana. Di penghujung lorong lurus sepanjang dua puluh meter, dia berlari menghindar ke sebuah persimpangan. Sosoknya menghilang begitu saja dalam rumitnya konstruksi labirin.

"Anyiiing…" Asep mengumpat menahan pedih. Namun pria itu masih terlihat baik-baik saja, meski sebuah peluru baru saja menembus pinggangnya. Kulihat baju di bagian perut kirinya sobek dalam ukiran lurus. Cairan merah merembes dari sela kainnya.

"Kau baik-baik saja?" ucapku memastikan.

"Bohong kalau aku bilang aku tidak apa-apa. Sakit banget ini neng…" ucapnya dengan wajah memelas, "Tapi kayaknya peluru tadi cuma nyerempet aja."

Aku mengerjapkan mata beberapa kali. Apa dia berusaha untuk bersikap manja padaku?

Pandangan kami berdua lantas terarah pada penghujung lorong. Sosok misterius tadi terakhir kali terlihat keberadaannya di sana.

Kuciptakan lapisan pelindung lewat rapalan sihir yang singkat. Bangun ruang tak kasat mata ini akan melindungi kami berdua dari segala arah.

Suara hantaman logam terdengar nyaring, tiga puluh senti dari wajah Asep. Perisai itu berhasil melakukan tugasnya. Aku tentu saja tersentak kaget. Namun tidak dengan Asep. Pria itu begitu sigap melakukan akselarasi menyongsong keberadaan sang penembak.

Lecutan suara tembakan lainnya terdengar berulang kali. Sosok penembak itu pastilah panik ketika dihampiri pria bertubuh kekar. Seringai kemenangan di wajah membuat Asep terlihat seperti setan.

Dalam satu entakan keras, Asep berhasil mencengkeram leher sang penembak. Dentring suara logam terdengar kala senapan itu terjatuh. Pemiliknya tengah tercekat berusaha melepaskan cekikan.

Kulemparkan sebuah bola kecil dari sihir bernama Flare. Gumpalan api itu melayang dalam gerakan lurus, menyinari seisi lorong, menghampiri posisi Asep.

Pria itu terkejut bukan main, pikirannya dibuat kosong kala menyadari siapa yang sedang ia lukai, "Neng Nely?!"

Aku berlari menghampiri, hanya untuk dibuat histeris akan penampakan sesosok gadis berambut biru lebat. Dia jatuh terduduk seraya batuk berusaha mengumpulkan napas.

Asep tentu saja dibuat kebingungan, berulang kali pria itu membandingkan wajahku dengan paras cantik gadis itu. "Neng Nely ada dua?"

"Aku Nely yang asli," ucap gadis itu dengan suara yang lemah.

"Apa?" tenggorokanku serasa kelu, tak sanggup mengumpat kesal menanggapi ucapannya barusan. Dia seenaknya saja mengaku sebagai entitas bernama Nely. "Aku Nely yang asli," ucapku tak mau kalah.

"Bohong… Dia cuma penipu, dia berusaha mengelabuimu kang Asep." Lengannya tertunjuk padaku, melontarkan tuduhan serius tanpa bukti yang jelas.

Aku seakan kehabisan kata-kata. Aku sama sekali tak pernah menduga akan dihadapkan pada situasi seperti ini, "Kau tak punya bukti atas tuduhan tak berdasar itu."

"Aku Nely, calon istri dari kang Asep," gadis itu tersenyum lembut. Ekspresinya berubah total, seakan mengharap belas kasih dari siapapun yang melihatnya.

"A—aku juga calon istri dari Asep," ucapku tak mau kalah. Identitas diriku amat terancam oleh keberadaannya. Baru kali ini aku merasa kesal pada seseorang hingga ingin menjambaknya detik itu juga.

"Aku calon istri yang sah!" lanjutnya dengan nada tinggi.

Aku berubah jengah, "Tapi aku sudah berkata iya pada ajakan pernikahnya."

"Aku juga, kang Asep bersedia bertanggung jawab atas janin yang sedang aku kandung."

Pikiranku seakan terhenti. Kami bahkan berbagi ingatan yang sama. Aku harus mencari sebuah sanggahan.

Sebuah pemikiran mendadak terlintas di kepala, "Jika kau memang Nely yang asli, lantas kenapa kau menembak kang Asep barusan?"

"Aku tidak menembak kang Asep. Aku ingin membunuhmu, kau yang membelokan lajur peluru hingga terarah padanya. Kau berusaha membunuhnya."

Luar biasa. Gadis itu tega memutarbalikan fakta, meski sebenarnya tuduhan itu terasa amat mengada-ngada. "Untuk apa aku melakukan itu?" ucapku geram. Imajinasinya terlalu melayang jauh.

"Itu karena kau bukan Nely yang asli. Kau hanyalah imitasi, bajakan dari entitas sesungguhnya, yaitu aku."

Orang ini harus dibunuh sekarang juga.

Asep lantas berusaha untuk menengahi, "Oi, oi, sudah-sudah… aku gak peduli yang mana Nely asli atau bajakan. Kalian berdua sama-sama cantik. Jadi gimana kalau dua-duanya jadi istri akang aja?" Pria itu terlihat menyilangkan lengan sebatas dada. Kurasa otaknya saat ini sedang berpikiran mesum tentang kami bertiga, terlihat dari sikapnya yang cengengesan.

Nely palsu sontak tertegun malu. Wajahnya agak tertunduk. Lalu setelah menimbang baik buruknya, ia pun mengangguk tanda setuju.

Haruskah aku menyetujui usul itu? Jika aku menolaknya, aku takut itu akan menjadi poin tambahan dalam usaha gadis itu mengambil alih identitasku. Jadi aku menatap pria itu seraya memberikan jawaban, "Poligami? Sepertinya bukan hal yang buruk."

Sesaat tadi aku bersumpah, aku menyaksikan tubuh Asep selayaknya bongkahan batu yang berubah retak. Dia tersentak kaget, karena usul ngawurnya langsung disetujui oleh kedua belah pihak, "Eh… seriusan ini?"

Aku dan Nely lainnya saling bertukar pandang. Kami berdua lantas mengangguk di saat yang bersamaan.

Wajah pria itu berubah drastis. Aura ketenangan dari dirinya seakan musnah, tergantikan dengan tingkah salting dan pipi semerah kepiting rebus, "Se-semoga keluarga kita akan menjadi keluarga yang sakinah, mawadah, warohmah…" ucapnya kikuk. Pria itu sebisa mungkin berusaha menjaga imej keren yang sudah tercipta. Ia sesekali membuat batuk buatan demi menjaga suaranya yang menggema.

Setidaknya tak ada lagi konflik yang tersisa. Jadi masalah terakhir adalah, mencari jalan, atau semacam cara untuk keluar dari tempat ini. Tak ada panitia yang memberikan instruksi. Jadi tak akan ada pertarungan konyol untuk saling membunuh kali ini.



**Nely (fake) has joined in the party**





***************


Chapter 6

Langkahku berubah gontai, aku amat kelelahan. Berulang kali aku tertinggal di belakang, berjalan terseok lalu jongkok menahan mual. Ulu hatiku entah kenapa merasa amat tertohok. Aku merasa kurang enak badan. Awal-awal  kehamilan terasa amat menyakitkan.

"Makanaaaan..!!" Seseorang berteriak kencang entah dari mana. Suaranya terdengar menggema terpantulkan dinding terbuat dari baja.

Asep yang sedang memijat leherku sontak berubah siaga. Seakan paham atas tugasnya sebagai kepala keluarga, ia memerintahkan aku dan Nely lain untuk bersiaga di belakang punggungnya. Dua lengan berisikan otot kekar terangkat melebar untuk memberikan isyarat perlindungan.

"Akuu lapaarrrrr, buuuUUUUNNNN…!!!"

Sebuah bola—lebih tepatnya bocah bertubuh gempal bulat—tengah menggelinding cepat menuju kami bertiga. Aku tak bisa melihat wajahnya, karena sama-sama bulat dipenuhi lemak yang kenyal.

Nely di sampingku dengan sigap  membidik lewat teropong Gauss Rifle-nya. Ia setengah berlutut seraya menajamkan konsentrasi pada target di kejauhan.

Jdaar!

Suara lontaran projektil terdengar begitu keras tepat di hadapanku. Lecutan logam kecil itu menubruk sang penyerang hingga menembus jauh ke dalam tubuhnya. Projektil hollow tampaknya ia gunakan, karena energi kinetik dari tembakan sukses ditransfer seutuhnya pada sang korban. Kulihat makhluk berwujud gelundungan bulat itu terpental hebat ke arah berlawanan.

Tubuhnya tergolek kaku dengan darah berciprat ke segala arah. Tadinya kukira serangan itu akan berakhir di sana. Namun aku keliru, karena telingaku menangkap jelas suara teriakan lapar lainnya dari segala penjuru.

"Jumlah mereka ada banyak," ucap Nely kembaranku.

"Saya merinding mendengarnya," komentar Asep pelan.

"Lari?" Aku melontarkan sebuah pertanyaan.

"Perlukah aku menjawabnya? Wahai Nely bajakan." Gadis berwujud identik denganku itu melontarkan tatapan sinis disertai senyum tak simetris.

Sebuah pertanyaan bodoh, mungkin begitu yang Asep pikirkan. Dia hanya tersenyum kecil seakan memaklumi ucapanku barusan. Karena jawabannya sudah jelas tertera di kejauhan.

Makhluk-makhluk cebol berpakaian biru terlihat datang menghampiri dari segala percabangan. Mereka membentuk semacam pasukan clone mirip dengan jurus Kagebushin No Jutsu.

Hanya ada satu arah percabangan yang belum diisi oleh pasukan itu. Maka ke sana lah kami berlari.

Nely dengan Gauss Rifle sesekali menembak buta tanpa bidikan. Sementara tubuhku terasa semakin lemas di tiap langkah yang kulakukan. Aku jelas tertinggal jauh.

Menyadari aku ada di belakang, kang Asep lantas melakukan pengereman darurat, "Aaaargh, si neng Nely mah." Lengan besarnya dengan mudah meraih pinggangku, lalu membawa tubuhku di samping perutnya. Tiap langkahnya terayun lebih lebar dari panjang kaki seorang perempuan. Sementara ia berlari dengan kecepatan bak seekor cheetah. Seraya ia hendak menyalip Nely lainnya, lengan kirinya juga ikut menyambar gadis itu untuk dibopong secara bersamaan.

Ia berlari tunggang langgang. Sekali itu aku terentak, kala tungkai betisnya diayunkan keras, demi menghalau makhluk cebol muncul dari balik sebuah tikungan.

Aku serasa menjadi boneka kosong, dibawa kabur oleh bocah dengan cara diapit dekat ketiaknya. Tubuhku gonjang ganjing tergolek lemah. Rasa mualku semakin memuncak.

Nely di sisi tubuh berlawanan mengacungkan telunjuknya, "Di sana!"

Perhatianku lantas teralihkan pada keberadaan sebuah pintu baja. Sebuah fitur yang mencolok karena lorong ini hanyalah berisikan logam dan lampu penerangan saja.

Pelarian ini begitu dramatis. Sedikit saja kami terlambat memasuki ruangan itu—lalu menutupnya erat seraya memutar kenop pengunci berukuran besar—maka para kurcaci kelaparan itu akan segera menggerumuti kami.

Entah mereka itu kanibal atau bukan, yang jelas Nely lainnya terlihat meringis kesakitan. Kulihat jejak darah di dekat tubuhnya, cipratan itu bermula dari jemari kelingking yang terputus akibat terkena sebuah gigitan.

"Apa mereka itu zombie? Terinfeksi? Menularkan semacam virus?" ucapnya panik.

Kuambil Gauss Rifle miliknya, lalu kutodongkan moncong senapan ini tepat di keningnya, "Ada permintaan terakhir?" ucapku dingin. Ini kesempatan yang bagus untuk mengenyahkannya. Aku bisa menghapus keberadaannya atas justifikasi wabah zombie yang menjangkiti tubuhnya.

"Tu-tunggu dulu," ucapnya panik.

Nyaris saja kutekan pelatuk ini, kalau saja kang Asep tidak menepis ujung senjata, serta menahan niatku untuk membunuhnya, "Jangan gitu neng."

"Kita harus membunuhnya, sebelum dia berubah menjadi zombie lalu memakan kita semua." Aku bersikeras menuntut sebuah pengertian.

"Kau pikir aku selemah itu, bisa dikalahkan oleh seorang perempuan?" Suara Asep berubah dingin. Ekspresi ramah tak lagi terukir di wajahnya, malah menyiratkan sebuah aura permusuhan.

Ditanggapi seperti itu, batinku berubah goyah. Lenganku lantas bergetar ketakutan. Senapan yang kupegang tanpa kusadari lepas dari genggaman, "Ma-maafkan aku," ucapku penuh penyesalan.

Asep hanya meresponnya dengan sebuah kebisuan. Lengannya sibuk membebat jemari Nely lain yang sedang terluka parah. Ia harus menghentikan pendarahan.

"Uhm… Mereka bukan zombie kok."

Seseorang berucap di belakang kami bertiga, sontak saja Asep terperanjat berusaha mengidentifikasi entitas di sana.

Sesosok gadis berambut keriting pendek terlihat bersembunyi di samping kokohnya lemari. Pakaiannya seksi dengan rok mini dan baju mengetat berwarna pink. Lambang plus di topi kepala, serta kedua bahunya menyiratkanku akan identitas dirinya.

"Kalo gak salah, neng Vitalitha?" ucap Asep seraya menunjuk gadis itu.

Seorang Suster? Bukannya dia sudah mati ketika Blackz menyerang?

Gadis itu mengangguk kecil. Raut wajahnya jelas menyiratkan sejuta keraguan, "Aku tak ingat apa yang terjadi, tau-tau saja aku ada di sini." Wajahnya kemudian menoleh ke salah satu sudut ruangan. Di sana terdapat sebuah layar berisikan pantauan kamera cctv. Citranya menunjukan lorong sekitar pintu masuk ruangan. "Namanya Bun, salah satu entrant dalam turnamen BoR."

"Kenapa jumlah mereka ada banyak?" ucapku menggumam.

Vii menoleh ke arahku, "Itu karena, fasilitas bawah tanah ini sebenarnya tempat uji coba untuk penetitian di bidang kloning."

"Jadi selain Nely bajakan ini, masih ada Nely bajakan lainnya dalam jumlah besar?" Nely dengan Gauss Rifle menunjuk diriku. Seperti biasa ia bertingkah suci seolah dia adalah Nely yang asli.

"Kau yang bajakan," umpatku kesal.

"Elu yang bajakan!" balasnya jengkel.

"Kamu yang…"

"Udah-udah!" potong Asep jengah, "Kan akang udah bilang apa, akang teh gak peduli mana Nely asli atau yang klon. Kalian berdua sama-sama cantik, pinter, bahenol deuih." Perhatiannya kemudian tertuju pada Vii, "Terus ada satu tambahan cewek di sini." Lengannya menyilang, menciptakan ruang untuk berpikir sejenak, "Sejak kapan cerita ini berubah jadi genre Hareem?"

"Oh please deh," Nely dengan senapan Rifle menampar Asep sambil menahan tawa kecil. Dia sepertinya tersipu malu.

"Jadi gini." Asep memposisikan lengannya seolah menciptakan sebuah dinding tak kasat mata, "Dari pada kalian berantem terus, mending identifikasi masing-masing aja." Wajahnya menoleh menatapku, "Kamu Nely A," ucapnya tegas. Telunjuknya kemudian terarah pada Nely satu lagi, "Kalau neng yang ini Nely B,"

"Aku gak mau jadi yang kedua!" umpat Nely B tak terima.

Pertengkaran ini akan berlangsung untuk selamanya. Jadi aku mengambil inisiatif untuk mengalah saja, "Yasudah, mulai sekarang, panggil aku Ani saja."

"Dari Sanelia Nur Fiani yah…"

Aku mengangguk pelan. Pandanganku kemudian menyapu detail di seisi ruangan. Di sini terdapat empat ranjang lengkap dengan sekat kain masing-masing. Kulkas dengan suplai makanan dan air minum, serta kamar kecil juga siap digunakan. Apa ruangan ini semacam checkpoint? Yang jelas, berbagai kebutuhan untuk penunjang hidup tersedia gratis di sana.

Tak kuat menahan lelah, aku lantas merebahkan diri di salah satu ranjang berukuran kecil.


**Viitalitha (clone) has joined in the party**



***********************

Chapter 7


Mata ini terasa berat, rasa kantuk begitu menyengat. Ranjang tempatku terbaring begitu empuk, seakan menambatkan tubuhku erat agar tak terbangun.

Namun suara rintihan di sampingku perlahan memaksaku untuk segera terjaga. Suara deritan logam terdengar nyaring dari kerangka ranjang. Lima buah ranjang di ruangan ini dipisah oleh gorden penyekat, terbuat dari kain tebal.

"Ahhhnnn…"

Aku mendengar lenguhan manja mirip dengan suaraku sendiri. Tiap desahannya datang dari siluet seorang perempuan. Lekukan dadanya yang membusung, terukir begitu jelas pada bayangan kain gorden. Dia terlihat mengentak-entak pinggulnya, menunggangi seorang pria yang terbaring di bagian bawah.

Aku kehabisan kata-kata. Kloninganku rela berbuat sejauh itu demi mengambil hati kang Asep. Dia bahkan menunduk agak bawah, lalu menggerakkan kepalanya naik turun. Mulutnya rakus mengemut tongkat kecil di bagian pinggul pria itu.

Aku lantas membalikkan tubuhku, seraya menarik selimut untuk menutupi kepalaku. Aku berbeda dengan wanita jalang itu. Aku tak akan mengorbankan harga diriku seperti itu. Kami memang akan menikah, namun sebelum ikatan suci itu resmi membelenggu kami, aku tak ingin merendahkan martabatku selayaknya wanita penghibur. Kututup mata dan telinga ini dalam gerakan meringkuk, demi membentengi diri.


Pikiranku tergelitik, lantas kuulas kembali pemikiran barusan.

Naif sekali, resolusiku itu benar-benar mencerminkan seorang sosok munafik. Aku berlagak suci, seakan diri ini masih bersih tak tersentuh pria manapun. Padahal sesungguhnya, tiap senti dari tubuh ini sudah kotor dijamah oleh pria berambut pirang… Dimas Pamungkas.

Sebenarnya aku ingin bergabung dengan mereka, dalam aktivitas binal memuaskan dahaga seksual. Wajahku saat ini mungkin sedang merona kemerahan.

Tapi tidak! Aku harus menahan diri. Setidaknya aku punya alat untuk melakukan pelarian atas nafsu duniawi. Kutekan saja remot kecil yang tersemat di kantong dekat rok mini. Getaran kecil dari sebuah vibrator, pada akhirnya menjadi jalan keluar dari siksaan ini. Benda itu memang senantiasa bersemayam di sana, sebagai obat untuk menenangkan racun yang menggerogoti pikiranku di saat seperti ini.

Kuakui, aku memang terjerumus begitu dalam dalam candu kenikmatan seksualitas. Namun begitu, itu bukanlah alasan untuk menjadi perempuan nakal tak punya harga diri. Normal sekali bagi seorang perempuan jika merasa terangsang di masa kesuburannya.

Mataku terpejam erat, napasku memburu cepat. Pada akhirnya otot di punggungku tertarik hebat, seraya aku menggelinjang merasakan sensasi di puncak.

Rasa kantuk menyerangku setelahnya, aku akhirnya bisa melewatkan waktu dalam nikmatnya sebuah mimpi.



*******



Aku tak tahu ini sudah pagi, atau masih ada di malam hari. Keadaan di labirin bawah tanah ini sama sekali tak memberikan akan informasi waktu. Meski terdapat teknologi CCTV di sini, namun aku gagal menemukan angka berisikan jam di sana.

Kesadaranku muncul ke permukaan, kala rasa mual kembali menyerang. Orang-orang menamakan gejala ini dengan sebutan Morning Sickness. Jadi sekarang ini mungkin waktu menunjukan pagi hari.

Kulihat Vii sedang terjongkok sendirian di pojok ruangan. Kusapa saja gadis itu, "Halo…" ucapku pelan.

Gadis bernama Vii menoleh pelan, wajahnya terlihat amat ketakutan. Namun entah kenapa kudapati rona kemerahan di sana, "Ka… ka-ka-ka…"

Dia sepertinya kesulitan untuk berucap sesuatu, "ka..?"

"Ka-kalian ngapain semalam? Dasar mesum, cabul, baka, ecchi, hentai!" Gadis itu berubah gelagapan, telunjuknya mengacung keras sedikit bergetar. Mungkin ia mencurahkan segenap keberanian untuk berucap demikian.

Aku menghela napas sejenak. Lenganku lantas terjulur menengadah, meminta sepotong perban yang melilit pergelangan tangan dia. "Aku bukan Nely yang itu," ucapku malas.

Vii merobek sedikit perban di pergelangan tangannya. Potongan kain itu kugunakan sebagai ikat rambut. Jadi model rambutku mulai sekarang adalah bentuk Ponytail. Di meja berisikan monitor cctv, aku mendapati sebuah kacamata tergeletak di sana.

Mulai sekarang penampilanku adalah; perempuan berambut ponytail mengenakan kacamata.

"Panggil aku Ani, dan aku tidak akan mesum seperti Nely satunya lagi."

Kulihat ekspresi Vii sedikit terperangah. Wajahnya lantas tersenyum kecil, lalu mengangguk tanda paham.

"Di mana dua orang cabul itu?" ucapku dengan nada sarkas.

Vii menunjuk ke arah toilet, "Mereka lagi mandi bareng."

Samar kudengar suara 'ah uh ah uh' dari balik pintu toilet itu. Perhatianku kemudian kembali pada Vii, "Kita tinggalkan saja mereka."

"Ke mana?"

"Mencari jalan keluar dari sini."

Vii setuju, kami berdua lantas pergi keluar setelah keadaan dirasa aman. Suster itu memberitahuku kalau Bun akan menyerang jika mendengar suara kegaduhan. Jadi langkah paling aman yang bisa dilakukan adalah bergerak pelan nyaris tanpa mengeluarkan suara.

Baru saja kami berjalan, keringatku sudah menetes tak karuan. Entah kenapa, suhu di tempat ini terasa amat tak mengenakan, "Mungkin sistem penyejuk udaranya sudah rusak."

Kudapati sebuah portal utama di tengah ruangan berukuran besar. Portal itu mirip seperti alat untuk melakukan teleportasi.

Jelas sudah, ini merupakan jalan keluar yang kami cari.



*******************



Chapter 8



"Biohazard alert." Vii membaca sebuah tulisan di samping portal, "Containment in progress, purge will be initiated in T minus 34 Hour…"

Jantungku berdesir, tempat ini akan dimusnahkan dalam 34 jam. Susah payah kuutak atik tombol panel di sana, hanya untuk mendapati peraturan nyata bahwa 'containment' itu tidak akan dicabut jika masih ada biohazard yang berkeliaran di dalam labirin.

Lagi pula, alat teleportasi ini hanya bisa digunakan sekali saja. Tulisan di sana menerangkan bahwa hanya ada satu orang saja yang bisa keluar dari sana.

Apa itu berarti, kami harus saling membunuh satu sama lain lagi? Persis seperti sebelumnya. Apa ini masih ada di dalam turnamen Battle of Realms? Apa ini Ronde empat?

Sejuta pertanyaan muncul menyiksa batin ini.

"Hanya ada satu orang yang bisa selamat?" ucap Vii. Dia lantas menoleh padaku, "Kak Ani, kenapa di sini hanya tertulis, 'salah satu dari Asep dan Sanelia'? Kenapa aku dan Nely mesum itu tidak termasuk di sini?"

Aku tak menjawabnya. Mungkin memang benar, ini adalah babak ke empat dari turnamen Battle of Realms. Pertarungan kali ini adalah aku melawan Asep. Sementara Nely mesum dan Viitalitha di sini tak dihitung, itu karena keberadaan mereka hanyalah sebatas figuran saja. Vii di hadapanku ini tak lebih dari produk kloning saja.

Tapi adegan pembuka—dengan kemunculan Blackz menghancurkan colloseum—itu terlalu kebetulan jika dianggap sebagai settingan panitia. Toh aku sendiri mendapati Hewanurma selaku pimpinan utama, terkapar tak berdaya dengan kondisi tubuh penuh luka. Mungkin saja situasi ini tak ada hubungannya dengan turnamen, murni sebuah situasi hidup mati, di mana tiap orang harus mempertahankan diri sebagai penyintas utama.

Jadi mana yang benar? Pikiranku tak sanggup untuk mencernanya. Aku tak memiliki kecerdasan di luar rata-rata. Batinku dibuat bingung karenanya.

Yang manapun itu. Sepertinya aku harus membunuh Asep agar bisa keluar dari sini. Sebuah keputusan yang berat, dan aku ragu jika aku bisa melakukannya. Dia merupakan pria baik-baik. Sopan terhadap wanita, serta senantiasa memperlakukanku penuh hormat. Agak malu aku untuk mengakuinya, tapi aku amat kagum padanya.

Lamunanku terhenti, kala telingaku samar menangkap suara 'Lapaar' dari kejauhan. Ratusan derap langkah kini jelas terdengar menghampiri.

"Kak, aku takut…" Suster itu berlindung.

Baru kali ini aku mendapat peran sebagai sosok pelindung. Posisi tubuhku bersiaga di depan, seraya mulutku berkomat-kamit merapal inkantasi.

Di ruangan besar ini, terdapat lima pintu yang menghubungkan dengan lorong labirin. Dari tiap cabangnya muncul ratusan makhluk bundar setinggi lutut.

"Lapar, lapar, lapar, lapar, lapar, lapaaar~..!!!"

"Kyaaa!" Vii di belakangku menggenggam erat kemeja punggungku. Dia meringkuk ketakutan seraya memejamkan mata.

"Aput niuem et ferarum gelida stabula deus vim nature . Veni mecum ad anihilate aspiciet inimica mea," ucapku merapal mantra lainnya. Kutajamkan pandangan ini seraya mempersiapkan kedatangan ratusan kurcaci itu, "Unlimited Ice Works!"

Sebuah sapuan dahsyat muncul dari belakang tubuhku. Gelombang angin datang meratakan segala sesuatu, tiap embusannya membawa suhu dingin membeku.

Suara-suara teriakan lapar itu berubah bisu. Tubuh mereka membatu, diam di tempat. Ekspresi kegirangan bocah-bocah itu terhenti begitu saja.

Udara di tempat ini berubah dingin. Gumpalan embun kecil bahkan tercipta di tiap embusan napasku. Setelah meyakinkan Vii baik-baik saja, kami berdua lantas berusaha untuk kembali. Kulangkahkan kaki ini dalam gerakan hati-hati, melewati tubuh para Bun yang mematung berselimutkan es membeku.

Sempat kukira keadaan sudah aman. Namun nahas, rupanya berbagai keretakan tercipta di tiap tubuh Bun yang membeku. Belum sempat kami berlari menyelamatkan diri, mimpi buruk itu pun terjadi. Ratusan makhluk dwarf seukuran lutut itu berteriak kesal seraya bergerak mengerumuni.

Mereka makhluk kanibal, jantungku berdesir keras kala teringat tentang fakta itu. Otakku serasa tersendat kala menyadari Vii tertinggal di belakang. Gadis itu menjerit ketakutan, seraya kakinya diseret ke belakang.

Krauk kraus groak

Suara daging dikunyah, serta gemeletruk tulang patah terdengar jelas di sela-sela jeritan putus asa. Tak ada harapan bagi gadis itu untuk bisa selamat dari sana. Batinku begitu tersiksa kala menyaksikan lengannya menggapai meminta pertolongan. Sudah terlambat bagiku untuk bisa menolongnya. Kulihat kedua kakinya ditarik ke arah berlawanan, hingga putus selayaknya boneka. Tubuhnya terbelah secara vertikal, menyibak berbagai organ di dalam perut yang terburai keluar. Pandangannya begitu kosong. Aku tahu, saat ini dia sudah tak bernyawa.

Maka kulanjutkan pelarian ini seraya menahan isak air mata. Kulempar beberapa bola api untuk mengenyahkan mereka yang menghalangi jalan. Pandanganku menatap lurus pintu keluar di hadapan.

Namun harapan itu dipaksa untuk sirna. Langkahku terhenti ketika sesosok makhluk setinggi tiga meter berdiri menghalangi. Tanpa kesulitan, ia membunuh tiap sosok Bun yang ada di sana. Lengannya menghujam ke lantai, lalu secara misterius muncul berbagai jarum tajam menusuk dari bawah pijakan. Para kurcaci itu mengeliat merenggang nyawa.

Tubuh sang pelaku terlihat berwarna hitam, hanya berupa bayangan tertutupi aura kegelapan.

"Blackz…" ucapku tak bertenaga. Seakan hilang semangat hidupku sedetik setelah menatapnya. Kuasanya begitu hebat, jauh melebihi kekuatan seorang panitia.

"Kau memiliki [kotak] yang kuinginkan."

Aku tak mengerti apa maksudnya.

"Serahkan sekarang juga."

Aku tak ingin mati di sini. Aku harus melakukan sebuah perlawanan.

Makhluk itu menjulurkan lengannya yang panjang. Tanpa kesulitan ia mencengkram leherku. Tubuhku berubah kaku, seakan gagal untuk menaati perintahku. Satu-satunya yang bisa kulakukan hanyalah meringis ketakutan, seraya dua lengan ini berusaha melepaskan cekikan. Kakiku terayun-ayun di udara, berusaha untuk mencari pijakan. Napasku tercekat, rasanya sesak sekali.

Lengan satunya lagi bersiap seakan hendak meninjuku. Lalu dalam satu entakan keras, ia tancapkan tiap jemari runcing ke dalam dadaku.

Pandanganku terbelalak hebat. Kurasakan sensasi menyakitkan di dalam tubuhku. Sesuatu ditarik dengan keras, lalu tubuhku dijatuhkan begitu saja.

Kuraba diriku sendiri, demi memeriksa seberapa parah luka yang ada. Tadi itu rasanya amat tak mengenakkan. Aku bersumpah, jantungku seakan dicabut dengan keras.

Tapi alih-alih mendapati organ di genggaman tangannya, kulihat sesosok perempuan malah tergolek kaku di pangkuan Blackz. Sementara itu tubuhku ternyata masih baik-baik saja.

"Fia?" Aku tak percaya, seakan mata ini berusaha untuk menipuku. Gadis itu memiliki rambut berwarna biru.

Tidak, dia adalah Tamon Ruu. Entitas salinan dari keberadaan ibuku. Jadi benar, selama ini dia terjebak di dalam tubuhku. Sama halnya ketika aku hidup sebagai Yulia—dan seumur hidup terperangkap di tubuh Sanelia—aku tak sanggup berbuat apapun selain menyaksikan segala kegiatan dari sudut pandang pemilik tubuh asli.

"Mau dibawa ke mana dia?" ucapku memberanikan diri.

Blackz yang hendak pergi perlahan berbalik, "Membawa alter ego ini ke dalam pemilik tubuh aslinya."

Pemilik tubuh asli? Pikiranku mendadak berputar liar, memikirkan sejuta kemungkinan, "Jangan-jangan…"

"Fiani Memoria Faykreus…" Blackz menyebut nama lengkap ibu kandungku, "Aku mendapat tugas untuk menyelamatkan entitas itu."

"Ibuku… ada di sini?" Perasaanku begitu bercampur aduk. Kurasa Blackz ini tak memiliki niat jahat selain melaksanakan misinya. Siapapun yang menyuruhnya, aku harus bertemu dengan dia. Aku lantas memberanikan diri untuk mengajukan sebuah permintaan, "Tolong bawa aku kepadanya."

"Permintaan ditolak," jawabnya cepat.

"Eh..?  Kenapa?"

"Kau memiliki misi tersendiri yang harus diselesaikan." Lengannya tertunjuk pada mesin teleportasi di pertengahan ruangan, "Keberadaan dirimu terikat erat dengan syarat dan ketentuan dari Battle of Realms. Aku tak bisa berbuat apapun untuk itu."

"Aku tak peduli pada turnamen bodoh ini. Tolong bawa aku sekarang juga." Aku berubah panik. Sosok itu malah pergi meninggalkanku. Tubuhnya bergerak cepat menelusuri labirin, lalu menghilang setelah menabrak sebuah dinding. Dia bisa melakukan sihir teleportasi sendiri.

Kulihat ruangan ini begitu sepi. Tak ada tanda-tanda kehidupan di sini. Aku lantas berjalan menghampiri Vii. Gadis itu sudah tergeletak tak bernyawa.

Dengan lembut kututup dua matanya yang masih terbelalak kosong tanpa jiwa.

********


Chapter 9


Kuhampiri panel control yang ada. Tulisan "Biohazard Alert masih saja bercokol di sana."

Langkahku berubah gontai, benakku tiada henti memikirkan tugas untuk membunuh Asep. Tanpa sadar aku berjalan menuju kamar peristirahatan.

Tidak, pasti ada cara lain. AKu pasti bisa keluar dari sini bersama dengan Asep, tanpa harus melewati proses pertikaian.

Kubuka pintu kamar ini. Di sana terdapat kloninganku menatap tajam menyiratkan permusuhan.

"Di mana Kang Asep?" ucapku datar, seakan mengabaikan ekspresi di wajahnya.

"Dia pergi mencarimu, kau seenaknya saja meninggalkan tempat ini tanpa meminta izin padanya."

Aku mendengus napas pelan, "Aku tak perlu meminta persetujuannya. Dia belum menjadi suamiku."

"Dangkal sekali perasaanmu padanya. Bukti lainnya kalau kau itu memang Nely palsu."

Lagi-lagi dia mempermasalahkan 'siapa Nely yang asli'. Kupijat pelan kening ini seraya memejamkan mata, "Aku sedang tak bergairah untuk berdebat isu itu denganmu."

Kurasakan tatapan permusuhan itu semakin menajam. Merasa tak nyaman, aku lantas membalas pandangan itu dengan wajah datar. Apa dia hendak memulai konfrontasi?

Tapi dugaanku salah. Wajahnya malah teralihkan seraya sedikit menunduk dipenuhi sesal, "Aku.." ucapnya pelan, "Aku sebenarnya iri padamu."

Kenapa harus iri? "Kau sudah mendapatkan apa yang kau mau. Kau sudah bercinta dengan pria itu. Aku yakin dia lebih menyayangimu dbanding diriku."

"Tapi itu tak cukup."

Aku gagal memahami keinginan makhluk satu ini. Padahal dia semestinya duplikat dari diriku sendiri. Tapi rasanya, aku tak pernah kekanakan seperti ini.

"Kang Asep terlihat begitu panik ketika menyadari kau tidak ada di sini. Ekspresinya begitu pucat pasi, seakan dirundung sejuta kengerian di dalam sanubari."

"Terus?" Aku masih belum mengerti.

"Aku tidak ingin perhatiannya terbagi! Aku hanya ingin menjadi satu-satunya Nely di sini. Kau itu palsu, kau harus enyah dari sini!"

Emosinya tak stabil, lebih gelap dariku sendiri. Napasnya terisak, seraya lengannya menodongkan sebuah pisau dapur ke arahku. Aku hanya menanggapinya dengan dingin, "Kau ingin membunuhku?"

"Hanya ada satu Nely di sini."

Dengan kedua tangannya, ia mendorong ujung tajam pisau itu tepat menuju dadaku. Kakinya menjejak melakukan akselarasi, seraya ia berteriak mengumpulkan tenaga.

Aku sudah bersiaga sedari tadi. Konsentrasi yang terpusat berhasil membantuku untuk menepis pergelangan lengannya. Kugeser badanku ke samping untuk menghindari tubrukan.

Akan tetapi, tepisanku amatlah tak sempurna. Aku tak memiliki dasar pelatihan seorang ahli bela diri. Kibasan tanganku sebenarnya gagal menepis di bagian pergelangannya. Jemariku malah menyentuh logam tajam di ujung pisau.

Meski aku berhasil menghindari serangan utama, namun tanganku malah dibuat terluka.

Keseimbangan gadis itu oleng, langkahnya terantuk pada betisku yang belum menghindar sepenuhnya. Ia jatuh seraya menggengam pisau tepat di bagian depan tubuhnya.

"Ah…" napasnya tersenggal. Posisinya jatuh tersungkur.

Aku terkejut menatapnya. Ia berusaha bangkit untuk duduk seraya membalikan tubuhnya. Noda kemerahan terlihat merembes dari pakaian. Pisau tadi malah menancap di perut atas sebelah kiri. Ujung tajam pisau itu tanpa sengaja mengarah terbalik ketika jatuh hilang keseimbangan diri.

"Aneh sekali… Luka ini tidak menutup dengan sendirinya," ucap gadis itu pelan,"Sama halnya ketika jariku terkena gigitan makhluk cebol itu."

Itu karena kau bukan Nely yang asli. Sebab kau tidak memiliki kemampuan regenerasi.

Sementara itu, kuperiksa sejenak luka yang baru saja kudapat. Sayatan memanjang itu terlihat mulai menutup dengan sendirinya. Walau tentu saja prosesnya terjadi secara lambat.

Air matanya mulai mengalir, seraya ia menahan isak tangis, "Aku juga tidak bisa mengerahkan sihir apapun, meski berbagai mantra sihir sudah kuucapkan penuh konsentrasi."

Dia mulai sadar bahwa dirinya hanyalah sebuah kepalsuan.

"Selama ini aku membohongi diri. Sejak awal, hati kecilku memang memiliki firasat bahwa kaulah entitas sesungguhnya," ucapnya lirih. Ia terlihat amat tak berdaya, tubuhnya duduk tersandar pada tembok. Sementara itu, darah yang mengucur tiada henti mengalir keluar. Ia mengalami trauma pendarahan hebat.

"Nely…" ucapku lirih. Merasa iba, aku lantas berjongkok tepat di hadapan wajahnya.

Gadis itu menggelengkan kepalanya, "Aku hanyalah klon, setumpuk protein yang dibentuk sedemikian rupa agar mirip denganmu. Tapi entah kenapa aku juga menerima tiap kenangan milikmu."

Aku tak tahu harus bersikap bagaimana. Detik ini, mendadak aku merasa tak ingin kehilangannya, "Bertahanlah…"

"Hidupku…" ucapnya lesu, "Tidak, hidupmu sebagai Yulia dulu terasa amat menyedihkan. Bertahun-tahun kau menghabiskan waktu sendirian, berkelana menjelajahi hamparan bumi yang sudah lama mati. Aku ingat semuanya."

Kucabut pelan pisau yang masih tertancap di ulu hatinya. Lalu dengan hati-hati kuberikan tekanan kecil demi mencegah parahnya pendarahan. "Hidup kita memang teramat menyedihkan," ucapku lirih. Aku berusaha mengukir sebuah senyum lembut. Pandanganku berubah buram, kala air mata ini mengalir membasahi. Batinku merasa senang karena seseorang bisa memahami segala penderitaanku. Tak sekedar paham saja, dia juga merasakan betul apa yang kualami.

Nely yang sedang sekarat mengangguk perlahan. Kulihat bibirnya tertarik kecil mengukir senyum damai, "Aku kangen papa…"

Aku semakin tak tahan. Bibirku tertutup rapat berusaha menahan isak tangis, "Aku juga… Aku rindu masa-masa liburan bertiga dengan mama."

Napasnya semakin tersengal, luka di tubuhnya menembus langsung menuju bagian paru-paru. Ruang napasnya banjir terkena pendarahan. Mulutnya terbatuk keras, seraya mencipratkan cairan kemerahan. Aku benar-benar tak tega melihatnya.

"Banyak sekali yang ingin kubicarakan." Pandangan mata itu semakin meredup, matanya sudah setengah terkatup.

"Aku juga… Kumohon bertahanlah…" Kini aku berubah panik. Kuraih tubuh gadis itu, menopang lehernya yang tak lagi bertenaga. Lengannya bergerak pelan meraih tanganku. Jemari kami saling bertautan dalam detik-detik terakhir di hidupnya. "Banyak sekali yang ingin kudiskusikan. Bagaimana pandanganmu tentang si brengsek Dimas itu, juga perasaanmu ketika bertemu papa dalam wujud boneka. Diskusi mengenai pengalaman yang sama akan pasti akan sangat menyenangkan."

"Aku…" Nely di pangkuanku semakin lesu, "Aku juga membenci Dimas, aku ingat perlakuannya yang begitu kejam terhadapku… maksudku kita…" Matanya semakin sayu.

"Bertahanlah… kumohon…" Kudekap jemarinya pada pipiku, seraya menciuminya. Kini aku benar-benar tak ingin kehilangan dia. Sesak sekali rasanya, menemani kembaranku sendiri ketika sedang menghadapi maut.

 "Tetaplah hidup… Nely," ucapnya lemas.

Jantungku berdesir, bulu kudukku berdiri seketika. Embusan napas barusan meupakan yang terakhir darinya. Kini matanya terpejam pelan, tutup untuk selamanya. Tak ada lagi tenaga yang menopang jemari kami yang bertautan. Cahaya kehidupan di sana telah padam seutuhnya.

Aku meringis, hatiku serasa teriris. Mulutku bergetar, menangis tanpa suara. Seraya lengan ini mendekap erat tubuhnya, berulangkali kuciumi pipinya. Lenganku membelai lembut rambutnya. Andai kami mencapai resolusi ini lebih awal, tentu kami tak harus saling bermusuhan. Aku bisa menganggapnya sebagai saudara kembar, dan kami bisa hidup berdampingan.

Entah berapa lama aku terdiam mendekap jasad kosong itu. Pada akhirnya, dengan berat hati aku harus melepaskan pelukan ini. Pandanganku menatap lekat wajahnya yang cantik. Dia seakan sedang tidur dengan nyenyak, beristirahat dalam damai.

"Selamat tinggal… diriku yang lain."

Telingaku kemudian menangkap suara pintu terbuka. Di sana ada Asep yang baru saja tiba.


********


Chapter 10


Pandangan Asep berubah pucat pasi. Matanya terbelalak kosong menatap pemandangan yang tersaji.

Aku berdiri di sana. Sementara Nely satunya lagi terbaring kaku tak bernyawa. Baju dan lenganku bersimbah darah ketika tadi aku memeluknya. Siapapun yang melihat ini, tentu akan menyangka akulah pelakunya.

"Nely… kau…" Pria itu jatuh bertekuk lutut. Wajahnya terlihat begitu shock, seakan baru saja kehilangan hal terbesar dalam hidupnya.

"Tu-tunggu… in tidak seperti yang kau pikirkan," ucapku panik. Dia pasti mengira akulah pembunuhnya.

"Telingaku terbuka untuk berbagai macam penjelasan," ucapnya lesu. Ia berusaha bersikap tenang, meski kudapati lengannya terkepal erat, gatal untuk menghantam. Aku bergidik menyaksikan amarah itu.

"Nely  yang itu berusaha menusukku. Aku hanya menghindar, tapi dia jatuh terkena pisaunya sendiri."

"Oh…" ucapnya pelan, merespon dengan sebuah kata singkat.

Apa dia bisa mempercayainya?

Matanya berubah tajam, "Kau tak berbakat dalam mengarang sebuah cerita," tegas Asep.

Aku terkesiap, dia ternyata tak mempercayainya.

"Jatuh setelah menyerangmu tanpa alasan? Lalu meninggal tertusuk senjatanya sendiri?" Ia mengumpulkan napas sejenak, bersiap untuk meledak, "KAU PIKIR DIA SEBODOH ITU!?"

Batinku berubah gentar, "Tapi.."

"Kau harus membayarnya." Jemari kokoh Asep mencengkeram erat leherku.

"Kumohon…" ucapku  lirih. Air mata kembali menggenang di tepian mata. Tubuhku terangkat tinggi. Tak peduli bagaimana caranya aku melepaskan diri, semua usaha itu sama sekali tak berarti.

Pandangan Asep mulai berubah. Retina cokelatnya menghilang entah kemana. Mata itu kini hanya berisi warna putih seutuhnya. Kebencian begitu dalam merasuk di sanubari. Ia bahkan tak lagi memandangku sebagai Nely sang calon istri. Pria itu begitu keji membantingku keras ke luar ruangan.

Susah payah aku berusaha bangkit. Nyaliku semakin ciut kala telingaku mendengar derap telapak kakinya, "Lawan aku, Nely…"

"Tidak…" Aku berubah cengeng. Kugelengkan wajah ini, menolak realita yang tersaji. Aku memang ditakdirkan untuk melawannya, tapi bukan begini caranya.

Pria itu mengayunkan lengannya dari samping, menubruk keras wajahku hingga terlempar beberapa meter ke udara. Rasa ngilu sontak menyerang di bagian rahangku. Terbukti dengan jatuhnya beberapa buah gusi berisikan darah. Dia benar-benar berniat untuk membunuhku.

Maka dari itu aku harus memberikan perlawanan. Aku tidak akan mati dibunuh begitu saja.

Dengan segenap tenaga aku menguatkan diri untuk bangkit. Mulut ini merapal sebuah inkantasi, "Meam armatus magicae trans strenght alicujus exercitus , singularis in defensione , peto ultimum clypeum."

Sebuah gelembung mengkilat tercipta sebagai lapisan pelindung.  Jaraknya sekitar tiga puluh senti dari permukaan tubuhku.

Namun perisai itu seakan tak berarti apapun. Permukaannya berubah retak, lalu pecah sedetik setelah menerima hantaman keras dari lengan Asep. Suara gedebuk keras kemudian terdengar mengikuti, bersamaan dengan terdorongnya tubuhku kala menerima sebuah hantaman hebat.

Mulutku memuntahkan semacam cairan bening. Napasku begitu tertohok, sesak dibuatnya. Tubuhku bahkan terangkat sejenak, hingga kakiku lepas dari pijakan. Begitu kuatnya pukulan itu mengenai bagian ulu hati.

Tak hanya sampai di sana, Asep juga menjambak kasar kemeja yang kukenakan. Ia mengangkat tubuhku dengan mudah, lalu membanting keras ke arah berlawanan. Kini aku kembali berada di depan pintu masuk.

Tubuhku serasa remuk. Pandanganku berkunang-kunang. Aku bahkan merasa kesulitan walau sekedar untuk merangkak. Pandanganku menoleh ke arah kanan, menatap kloningku yang terbaring damai. Di dekatnya, kudapati Gauss Rifle miliknya tergeletak.

Derap langkah itu terdengar semakin dekat. Aku akan mati jika tak sempat melakukan sesuatu. Jadi sekuat tenaga aku berusaha untuk bangkit, merangkak cepat demi meraih Gauss Rifle di sana.

Berbeda dengan senapan asli milikku. Teknologi elektromagnetik di sini murni mengandalkan baterai saja. Aku tak bisa melakukan induksi sebagaimana biasanya.

Dalam posisi duduk, kulepaskan sebuah tembakan tepat mengenai bahunya.

Pria itu bahkan tak merepotkan diri untuk berusaha menghindar. Ia menerima hantaman projektil dengan sepenuh hati, sementara jejak langkahnya menderap mantap tanpa sedikitpun melakukan akselarasi.

Kulepaskan tembakan lainnya. Kali ini kuincar kepalanya dalam teropong bidikan.

JDAAR!

Kening pria itu terdorong sedikit ke belakang. Napasku serasa terhenti kala menyaksikan hasil akhirnya.

Bagian atas alis pria itu hanya mengeluarkan sedikit asap. Tak ada tanda-tanda lubang maupun luka. Detik itu juga kesadaranku seakan ditampar, aku tak akan pernah bisa mengalahkannya.

Didorong rasa takut, aku akhirnya mendapatkan sedikit kekuatan untuk bangkit. Langkahku tertatih-tatih, berusaha melebarkan jarak di antara kami berdua.

Namun kali ini hilang sudah ketenangan dari dirinya. Ia ikut menjejakkan kaki melakukan akselarasi. Kecepatannya jauh melebihi manusia normal. Aku tak akan selamat dari ini.

Kulihat ada sebuah persimpangan. Jadi aku melakukan pengereman, seraya menukik tajam beralih haluan.

Kecepatan serta bobot berat di tubuhnya, membuat Asep gagal melakukan pengereman sepertiku. Sesaat tadi aku merasaan embusan kecil dari jemarinya yang nyaris saja menggapai punggungku.

Namun nahas, rupanya percabangan itu berakhir buntu. Sepuluh meter dari tikungan tadi, hanya terdapat sebuah tembok sepi. Aku tak bisa lari ke manapun. Jadi lewat jeda waktu yang singkat itu, kuciptakan serangkaian mantra sihir untuk melakukan perlawanan lainnya, "Sagittam et glaciei formam mihi providendum repellere hostem auxilium mihi."

Puluhan tombak es tercipta di sekelilingku, sementara itu aku melakukan rangkaian inkantasi lainnya, "S terrae gravitational caveam!"

Seraya aku melangkah mundur, kudapati Asep kembali ke posisi semula di mulut percabangan. Mata berwarna putih mendelik itu sungguh amat menakutkan.

Kuperintahkan puluhan tombak es untuk menghujam dirinya. Dan seperti sebelumnya, serangan fisik macam ini tak berefek banyak pada tubuhnya. Dengan mudah ia menangkis tiap projektil lewat rangkaian tinju dan tendangan.

Jarak kami semakin pendek. Di saat itu aku lantas mengaktifkan sihir berikutnya, "eu captionem!"

Sebuah lingkaran sihir berpendar terang, tepat di bawah kakinya berpijak. Detik itu juga, susunan jeruji besi tercipta dari kehampaan, datang menyelubungi dirinya. Tak hanya kurungan saja, tiang-tiang itu kemudian saling menyilang membentuk anyaman, lalu menghimpit Asep lewat ukurannya yang mengecil.

Teriakan kesal terdengar begitu menggema. Aku memberanikan diri untuk mendekati posisinya, lalu memasuki celah sempit melewati dirinya. Jalan buntu tadi tak memberikanku pilihan lain untuk itu.

Jantungku terasa sakit dalam sebuah desiran hebat. Mataku terbelalak ketika mendapati lengan Asep begitu mudahnya menembus dari dalam kurungan. Jemarinya meraih lengan kiriku, lalu dalam satu genggaman kuat ia mematahkan pergelangan tanganku.

Aku menjerit sejadi-jadinya. Rasa ngilu terasa begitu menyiksa. Posisiku tertahan di sana. Susah payah kulepaskan genggaman itu, namun lengan itu tetap diam bergeming.

Maka kuciptakan daya sengat sekuat 500 volt di pergelangan tanganku. Kulihat lengannya bergetar hebat terpengaruh induksi listrik dariku. Cara ini mungkin bisa berhasil.

Aku berpacu dengan waktu, karena kulihat lengan satunya lagi berhasil menghancurkan bagian atas dari kurungan besi yang menghimpit.

1200 volt, kira-kira sekuat itulah sengatan yang kuberikan. Barulah ia dengan sukarela melepaskan genggaman. Seraya aku meringis kesakitan, aku memaksakan kaki ini untuk tetap bergerak berlari dari sana.

Aku kembali ke pertengahan perempatan tadi. Mentalku benar-benar hancur, kala kudapati pancangan besi itu kini lenyap seutuhnya. Aku tak akan pernah bisa menang melawannya. Haruskah aku menyerah saja.

Menyerah berarti mati, dan aku tak ingin berakhir seperti itu. Maka kujulurkan lengan kanan sebatas dada, demi merapal inkantasi lainnya.

Mulut Asep mengukir sedikit senyum tak simetris. Entah kenapa, aku merasa pria itu amat menikmati pertarungan ini. Kini posisinya ada sekitar dua meter dariku. Aku tak bisa melakukan apapun selain melangkah mundur dalam gerakan mengitar, demi menjauh darinya. Adrenalin ini serasa makin memuncak.

Kami berdiri berhadapan. Di saat itu, tubuhku mendadak terentak sesaat. Samar kudengar suara tembakan sedetik sebelumnya. Kuperiksa dada sebelah kanan, hanya untuk tersadar akan banyaknya darah yang bercucuran. Pandangan kami berdua kemudian bertemu. Perhatianku lalu teralihkan pada seseorang jauh di belakang Asep.



********


Final Chapter



Mendadak saja aku kehilangan seluruh tenagaku, lalu ambruk jatuh ke tanah. Seseorang telah menggunakan Gauss Rifle untuk menembakku.

Seraya aku terbaring, kupaksakan wajah ini untuk menoleh, melihat siapa pelakunya.

"Anjing! Malah kena cewek na," umpat sosok itu.

Penampilannya persis dengan Asep yang sedang kulawan. Dia mungkin klon darinya. Bidikannya amat buruk, mungkin tadi itu dia berniat menembak asep, walau pelurunya malah mengenaiku.

Asep yang ada di percabangan, mendadak berubah berang. Ia tak terima pertarungannya diganggu begitu saja. Alih-alih datang menghabisiku, dia malah berubah haluan, mengejar Asep yang ada di sana.

Kulihat mereka berdua memulai baku hantam. Suara gedebum terdengar begitu nyaring kala dua kepalan tinju beradu dengan keras. Tendangan menyilang diayunkan asep asli begitu tinggi, walau hanya berfungsi untuk dihindari.

Asep satunya berpenampilan urakan. Setelah menunduk menghindari, dia lantas mengepalkan tangan melayangkan sebuah pukulan upper cut.

Hantaman itu begitu keras, hingga sang korban melayang beberapa meter ke udara, lalu jatuh terjerembab. Tubuh Asep terlihat tersentak kaku karena kejang. Serangan tadi sukses mengenai syaraf motorik di bawah dagunya, menyebabkan kerusakan di pangkal lehernya.

Kugerakkan lenan kiri ini, walau bentuknya terlihat janggal dikarenakan patahnya tulang di sana. Setelah berhasil menjulur keluar, aku lantas merapal inkantasi singkat dengan sisa Manna yang ada, "Unlimited Ice Works…"

Sebuah embusan kecil datang menyapa, suhu angin itu begitu dingin menusuk. Asep urakan dibuat mengigil seketika.

"Asep, bangunlah…" ucapku Lirih. Tak ada harapan bagi diriku, jadi setidaknya aku berharap Asep bisa selamat dari sini setelah kematianku. Tak ada gunanya kemenangan bagi Asep palsu, toh dia tidak akan diterima masuk oleh sistem teleportasi untuk keluar dari sini.

Asep asli membalikan badannya, ia bertelungkup seraya menengadahkan kepala. Pandangannya terarah padaku, seraya terkejut menatap kondisiku, "Nely?"

Pupil matanya kini berubah normal. Sifat lembut Asep kembali ia tunjukan. Alih-alih menghadapi lawannya, ia malah bergegas menghampiriku yang sedang terkapar, "Nely… maafkan akang. Tadi akang khilaf… Saya kalau sudah gelap mata bakalan lupa akan segalanya."

Apa tadi dia kerasukan? Kondisi mengamuk itu sepertinya berhasil menutupi akal dan pikirannya.

Paru-paru sebelah kiri banjir oleh cairan tubuhku sendiri. Napasku tersengal, sesekali aku terbatuk mengeluarkan darah. Tubuhku terasa amat lemas. Proses regenerasi milikku tak cukup cepat untuk melakukan perbaikan. Aku mengalami pendarahan hebat. Aku mungkin tak akan selamat.

Lenganku lantas terjulur pelan, seraya berucap lirih, "Tetaplah hidup… Asep."

Jadi ini rasanya berharap orang lain untuk hidup, demi menghargai kematianku.

"Tidak, ini salah kang Asep. Saya yang akan bertanggung jawab." Pria itu lantas berdiri seraya berbalik, bersiap melanjutkan pertarungan melawan dirinya yang lain.

Asep urakan masih saja menggigil kedinginan. Suhu yang kuberikan tadi seharusnya bisa membekukan air secara instan. Raganya memang jauh melebihi kekuatan tubuh manusia biasa.

Kesempatan itu dimanfaatkan dengan baik oleh lawannya. Kulihat lengan Asep dilentingkan ke belakang, mengumpulkan tenaga untuk sebuah pukulan terkuat.

Asep urakan tak ingin dihajar begitu saja. Pria itu juga mempersiapkan ayunan bogem mentah, mengantisipasi serangan dari hadapannya.

Dua kepalan tinju itu beradu dengan keras. Bunyi benturannya terdengar begitu menggema, diselingi dengan suara keretakan tulang yang patah.

Salah satu dari mereka menjerit keras, meratapi lengan yang nyaris tak berbentuk lagi. Aku dibuat tertegun kala menyaksikan Asep di dekatku masih saja bersikap tenang. Kepalannya juga sama-sama hancur. Namun seakan mengabaikan rasa sakit yang dirasa, ia malah mengayunkan kembali tangannya, melancarkan tinju lainnya.

Kepala lawannya terentak keras. Hal itu terjadi berulang kali, seraya hujan pukulan terus dilayangkan tiada henti. Cipratan darah terurai di lantai tempat mereka berpijak. Namun darah itu bukan berasal dari wajah sang korban, melainkan dari kepalan tangan Asep yang remuk tak berbentuk. Goresan luka di sana, bahkan menyibak keberadaan tulang berwarna putih mencuat dari sela-sela daging.

"Aing…" ucapnya seraya menghajar. Suara hantaman kembali terdengar, "…teu pernah…" Tinju lainnya kembali ia layangkan, "… jadi pengecut…" Ia menyiapkan kepalan terakhir, "… JIGA SIA!"

Hantaman terakhir ia berikan. Pukulan telak sebagai penyempurna kemenangan. Lawannya dibuat KO, terkapar tak berdaya.

Aku begitu senang, pria itu berhasil mengalahkan kembaran dirinya. Mulutku mengukir senyum kecil, seraya pandangan ini berubah buram. Aku dirundung rasa kantuk luar biasa.

"Neng Nely, sadarlah!"

Mataku kembali terbuka, walau kesadaran ini belum sepenuhnya kembali ke permukaan. Asep menepuk-nepuk pipiku berulang kali. Ia lantas berlari kecil seraya membopong tubuhku. Kepalan lengan kanan yang remuk, tak serta merta menghalangi niatnya.

"Bertahanlah, akang sudah menemukan jalan keluarnya. Kamu bisa pergi lewat sana…"

Tapi itu berarti, kamu yang harus tinggal di sini.

Aku bahkan tak sanggup menggerakkan mulutku untuk berucap demikian. Hanya air mata yang mengalir sebagai cara untuk mengukir perkataan.

Kami berdua tiba di sebuah ruangan luas. Tempat ini berisikan teleporter yang bisa mengirim seseorang keluar dari sana. Antara aku dan Asep, hanya salah satu yang bisa menggunakan benda ini.

Suara tepuk tangan terdengar menggema di sana. Seseorang berdiri santai seraya menyilangkan lengan. Senyum sinis senantiasa terukir di wajahnya.

"Kebetulan sekali, aku baru saja tiba di sini, hendak mencarimu… Sanelia…"

Asep lantas berubah siaga, "Kau… kan…"

Dimas… kenapa dia ada di sini?

"Dan kau, makhluk hina." Dimas mengarahkan telunjuknya ke arah kami berdua. Tatapannya menusuk tajam pada Asep, "Beraninya kau menyentuh anak dari Fia."

Batinku terhenyak detik itu juga. Dia kenal dengan ibuku. Jangan-jangan…

Sebuah dinding mistis tercipta dari kehampaan. Di belakang tubuh Dimas, kulihat ratusan pedang melayang stabil di bawah perintahnya. Cukup sebuah perintah singkat saja, bagi pria itu untuk bisa mengirimkan hujan tembakan. Tiap projektilnya terdiri dari senjata tajam berbagai rupa.

Merasakan marabahaya, Asep tak bisa berbuat banyak dalam jeda waktu sempit itu selain membalikan badannya. Dia membiarkan hujaman logam tajam datang menikam punggungnya.

"A…sep…" ucapku lemah. Aku tidak menginginkan ini. Dia begitu tegar memandangi wajahku, seraya mulutnya tertarik sedikit, berusaha mengukir senyum penenang jiwa. Baru kali ini kulihat ekspresi dia yang begitu rupawan.

Pria itu membaringkanku di lantai. Lalu dengan penuh perjuangan ia bangkit seraya berbalik.

Mulutku terbuka pelan, terhenyak menyaksikan kondisi tubuh dia yang sesungguhnya. Banyak sekali pedang menancap di bagian punggungnya. Betis serta tungkai kaki pun tak luput dari tusukan benda tajam.

"Papatong…" ucapnya pelan. Pria itu mempersiapkan serangan terakhirnya. Kemudian lewat satu pijakan keras, ia melontarkan tubuhnya seraya berputar cepat. Lengan kanan yang remuk ia gunakan sebagai pusat momentum untuk mempercepat ayunan. Sementara itu, lengan kirinya melesat cepat hendak menghajar Dimas di kejauhan.

"… Kahuripan!"

Suara tumbukan keras terdengar nyaring, bersamaan dengan berpendarnya puluhan lingkaran sihir. Asep berhasil menembus pertahanan multi lapis dari Dimas Pamungkas. Pria itu terkejut bukan main.

Serangan itu benar-benar menjadi yang terakhir. Tubuh Asep berbuah lemas, pria itu mendapati dirinya dihujam ratusan tombak dari segala arah. Tiap batangnya bersarang cukup dalam hingga tembus di sisi berlawanan dari arah tusukan. Sekilas terlihat seperti seekor landak dengan duri di punggung.

Sang preman kini telah ambruk. Hanya menyisakan aku yang sedang sekarat sendirian.

Dimas meludahkan segumpal darah dari mulutnya. Tinju Asep tadi ternyata berhasil mengenainya. Pria itu lantas berjalan ke arahku, lalu tanpa kesulitan ia membopong tubuhku. Lidahnya terjulur sesaat, menjilat bibirnya sendiri dalam tatapan mata penuh napsu.

"Mari kita lanjutkan kegiatan kita yang tertunda… Nely…"

..


To be Continue…


8 comments:

  1. Halo, saya mampir...

    bang Ich juga main di drama, dan ini almost jadi drama keluarga kalau si dimas nggak ikut campur di akhir. Sempat berharap bakal happy ending antara nely dan asep, romantisme mereka manis disini, tapi tantangan panitia saah satu harus mati, yah... dan akhirnya ternyata Asep berakhir di tangan Dimas, fhuh. Waduh, Nely ini benar-benar jadi tokoh sengsara nan menderita sampai akhir kah? Pingin juga lihat dia tersenyum dan bahagia. Untuk yang ini, hati-hati yah bang, karena batas 'kesengsaraan' pada tokoh itu sebaiknya juga punya klimaks, nanti akan ada suatu titik pembaca bosan dan selalu menebak "paling endingnya nely sengsara lagi". karena ini udah jadi 'signature' di entry nely, bang Ichi harus memikirkan plot/twist yang lebih bervariasi lagi kalau Nely lolos.

    Perkembangan Nely sebagai magi kelihatan banget di entry ini, dan pertengkaran antara nely a dan nely b juga jadi bumbu humor yang menurut saya, jauh lebih lucu daripada breaking the 4th wall dengan topik bahasa sunda itu (aing juga ngerti dikit2 krn pernah di bandung)... dan somehow, saya lebih menikmati entry ini dengan angst Nely sebagai fokus, daripada entry sebelumnya yang penuh ero.

    vote saya tahan dulu setelah Asep muncul.

    hatur nuhun...
    Rakai a.

    OC Mima shiki reid

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wah, makasih banyak udah jadi komentator pertama di entry ini
      **terheru**

      Weh, masukannya bagus. Iya, kalo Nely lulus ke Ronde Lima, saya akan coba racik plot yang lebih "cerah", dalam artian nggak ngebikin si Nely kesiksa.

      But then again.... si Nely disiksa itu bukannya trademark dari Canon ini sendiri?
      Tapi mengesampingkan nilai unik (kemesuman) di tiap entry-nya, tentu masuk akal kalau suatu saat pembaca juga jadi bisa nebak, "Ah, palingan nih orang bakalan disiksa lagi."

      Jadi masukannya berharga sekali. :D

      Wakakakak, jangan-jangan nanti Mima juga "Nyunda" kalo ketemu Asep / Bu Mawar
      :O

      Berdasarkan survey di grup, ternyata banyak yang gak suka stensilan. Jadinya saya rombak lagi entry R4 ini.

      Walau tentu saja, sulit buat saya agar bisa meninggalkan sepenuhnya "Jalan Stensilan" ini.

      Delete
  2. Halo Nely. Wilujeng wengi~
    Pertama, saya banyak ketawa pas baca entri ini. Gila aja ada formula ala Asma Nadia yang bikin Asep poligami. Reman juga gugup ya kalo soal cinta-cintaan, apalagi mendadak. Soal sengsaranya Nely, kerasa jelas. Tapi kayanya nggak semua peserta juga kok benci sama “kecelakaan” Nely. Eophi contohnya, dia siap nerima semua tipe ke atas kasur terbangnya selama itu lawan jenis XD.
    Soal kekuatan, well, bakal seru ini kalo kekuatan sihir Nely ketemu sama kekuatan Ashura Fata. Nely kuat, cara tarungnya juga jelas, terlepas dari mantra yang panjang dan mungkin jadi kelemahan dia nantinya? Mage kalo castingnya lama jadi sasaran empuk kecuali dia pake Bloody Butterfly card atau Phen? Itu juga masih beresiko sih, dan itu kalo di RO. Jadi ga nyambung.
    Yap, intinya ini seru dan narasinya unik. Adegan-adegan panas juga pas. Bingungnya cuma di bagian Tamon Ruu dan ibunya Nely. CMIIW, jadi mereka itu orang yang sama? Mungkin dijelaskan ke depannya. Saya tunggu.

    Vote nunggu kang Asep.

    Salam, Eophi.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Halo, makasih udah mampir :'D

      Bang Asep kan jomblo, jadi wajar doi gugup. :p

      Weh, Kalo dah di atas kasur mau diapain tuh?

      Nely lawan Fata, tipe penyerang jarak jauh (altileri) vs penyihir serangan wide area.

      Yang ada musnah itu arena-nya, wkwkwkwk

      Iya, kelemahan mage kan itu, kuat di serangan, tapi lemah di pertahanan.

      Itu trivia kanon sih, jadi mama-nya Nely lagi sekarat, gara-gara setengah jiwanya kabur. Nah setengah jiwa itu ternyata hidup sebagai entitas tersendiri, menamakan diri sebagia Tamon Ruu.

      Sekali lagi, makasih udah mampir di sini :D

      Delete
  3. Okeh, akhirnya saya bisa mampir dan baca sampai beres~

    Gimana nasib Hewanurma + Umii selanjutnya? Saya penasaran <_<

    Di sini imej Asepnya udah oke, preman baik hati tapi rada cupu soal asmara. Walau di tengah cerita ternyata dia gagah juga pas "bermain" dengan klon Nely. Ngelonin klon Nely ._. Yang rada aneh itu pas bagian Asep rage waktu klon Nely tewas. Lalu dengan cepat pula dia tiba-tiba tersadar dari khilafnya. Dan mungkin adegan klon Asep kalah itu kurang kerasa dramatis. Cuman disebutkan dia KO saja.

    Saya sempet heran kenapa klon Nely bisa pakai gauss rifle, padahal di tengah cerita dia disebutkan nggak bisa mejik segala macem kayak Nely asli. Ternyata di akhir cerita baru dikatakan kalau gauss rifle-nya juga KW. Olalah~

    Nely di sini masih dibuat menderita terus, ya? Kirain pas dia udah level up jadi penyihir, bakal lebih dominan bertempurnya. Kan mestinya dia penyihir oke. Semoga nggak terjebak ke dalam tipe karakter "passive victim" kayak di sinetron.

    Saya masih bingung apa motivasi Dimas di kanon Nely, kok hobi banget sama gadis biru satu itu. Kan masih banyak cewek memikat lain, biarpun udah janda kayak Bunda Mawar, ataupun bersuami seperti Mima.

    Kehadiran Bunda Mawar di sini cukup menghibur. Kesannya dia stronk pas battle. Mungkin kalau ke depannya beneran ketemu Nely dengan Bunda Mawar bisa semakin seru.

    Udah, gitu aja deh. Battlenya udah oke. Walaupun chanting si Nely beneran saya skip, kayak cuman hiasan aja soalnya .-. Saya lebih prefer bahasa chanting yang bisa saya ngerti sih, IMO. Entah itu pakai Indonesia atau Inggris, karena lebih kerasa feel-nya.

    Dan nasib Nely ke depannya, oh well, semoga lebih "beruntung" lagi~~

    OC: Kusumawardani, S.Pd.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Jurnal Hewanurma dibuat terpisah bersamaan dengan canon Nely yang ngejelimet kayaknya. R5 nanti modelnya gini-gini lagi, jadi isi entry murni berisikan interaksi Nely vs lawannya. Biar nggak dikata dragging lagi :v

      Soal Asep, justru saya hint Asep ngamuk gelap mata itu dari canon di entry aslinya. Saya baca di R2 Asep, soal flashback dia. Asep itu kalo udah lepas kendali, ya udah gelap gak bisa mikir rasional lagi. Terus kalo berhasil disadarin, ya udah sadar jadi normal lagi.
      ._.

      Gauss Rifle asli emang pake batre bang, yang dipake Nely kan hasil modif biar bisa dicharging langsung kayak belut listrik :v

      Iya, saya dapet beberapa masukan soal ini. Semoga saya bisa nyusun rute lebih baik lagi biar ni anak nggak dibikin nelangsa mulu.

      Di Canon Jurnal Hewanurma kan disebutin, kalo Dimas Fall in Love sama bini orang (Fia yg udah mokad di kapsul Cyrosleep)
      ._.
      Jadinya Dimas maksain 'trance' Jasad Fia, sampe akhirnya bisa revive cewek itu di dunia Fermion. (Cuma gak sempurna, sampe akhirnya Fia mengerucut jadi anak kecil dan semakin lemah.) Sepertinya canon-nya rumayan rumit ya..
      ._.

      Jangankan bang Hewan, saya aja yang nulis kalo proof-read pasti autoskip di bagian inkantasi-nya :v
      Modal google translate doang sih, dan emang nggak bertujuan buat dibaca, makanya pake font yang rada ngjelimet di bagian sana.

      Saya pesimis bisa sampe ke Final...
      ._.

      Btw, makasih udah mampir Bunda~

      Delete
  4. Dada Nely ini rawan banget deh, entah kenapa hampir semua serangan selalu menyasar bagian itu. Apakah ada mantra susuk pada daerah lokal dada Nely yang efeknya menjadikan gumpalan daging itu menjadi magnet semua gengaman tangan dan serangan? Atau penulisnya mesum parah? Saya jadi penasaran ingin membuktikan mana yang benar.

    Ah, tapi mengesampingkan hal itu, entry ini cukup menghibur. Dramanya, perjuangan dan derita Nely. Romancenya. Misterinya juga, walau porsinya lebih kecil. Saya penasaran sama Yulia Yulia itu soalnya nggak baca entry sebelumnya. Eh, serius, ini bukan alasan yang dibuat-buat biar bisa baca R3 yak!

    Sayang banget sih, endingnya, Nely hampir tidak berdaya dan tetep butuh diselamatkan. Diperburuk dengan, alasan raegnya Asep yang kurang natural. Tapi ya gpp sih, kan tetep lolos.

    Saya pengen liat Nely melupakan kesengsaraannya sejenak dan jadi mage badass di ronde berikutnya.

    PS: Bumbu efek susuk lokal dada Nely dipertahankan gpp sih tapi...

    Fu (soalnya Kai nggak mesum)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Mother of god... kenapa saya harus disadarkan oleh orang lain? kenapa saya sendiri nggak ngeh kalo selama ini serangan tertuju pada dada Nely?
      Satu dan lain hal, alasan yang masuk akal tak lain karena Authornya memang mesum akut stadium lima.

      Yulia dibahasnya di R2, kalo R3 isinya cerita bokep semua. (dan ya, saya emang penulis mesum.)
      ._.

      Sankyuuu~ R4 nanti saya akan berusaha buat bikin si Nely bahagia (??)

      Makasih dah mampir~
      :D

      Delete