Intro
Tersebutlah sebuah kota di mana
bermain takdir bukanlah sesuatu yang luar biasa.
Kadang-kadang orang menggunakan kata
‘takdir’ untuk membuat seolah kisah mereka adalah sesuatu yang hebat dan
dramatis. Padahal bila dipikirkan kembali, segala sesuatu yang terjadi pastilah
sudah digariskan oleh takdir. Berarti, apapun yang dapat terjadi di dunia ini,
sehebat apapun kelihatannya, adalah sesuatu yang lumrah di hadapan sang takdir.
Dan orang-orang yang bermain dengan
takdir mereka adalah orang-orang yang biasa pula. Tidak ada yang istimewa
tentang mereka.
Misalnya, mempertaruhkan nyawa demi
merebut hati kekasih tercinta.
Atau mempertaruhkan harta demi
keuntungan yang tiada bisa terkira.
Ya. Cara termudah untuk bermain
dengan takdir adalah dengan pertaruhan.
Manusia bertaruh, takdir yang
menentukan. Seolah takdir lebih berkuasa daripada Tuhan yang menciptakan.
Menelusuri kota ini, di sebuah
jalanan besar tempat orang berlalu-lalang, berdirilah sebuah bangunan di mana
ribuan manusia setiap harinya bermain-main dengan garis Tuhan. Bangunan itu
adalah sebuah kasino tersohor bernama State of Smile, yang jam operasionalnya
dimulai ketika matahari terbenam dan tutup ketika matahari terbit.
Sebagai sebuah bangunan penting di
kota tersebut, tempat ini tentulah memiliki penjaga.
Hanya saja penjaga itu saat ini
tidak ada. Menghilang entah ke mana.
Sepasang pria dan wanita rupawan,
masing-masing bernama Reinhard Snowfall dan Annie Versarie, adalah host ternama
yang merupakan pekerja utama di cabang host
club dari kasino ini. Kebetulan, mereka berdua adalah teman baik dari sang
penjaga pintu bernama Dyna Might yang hilang tak tentu rimbanya.
Penjaga pintu tapi malah
meninggalkan pintu depan tanpa penjagaan. Dyna ini pasti minta dipecat atau
potong gaji.
Sebagai penjaga pintu, jam kerja
Dyna Might terkadang tak tentu. Tapi yang jelas, membiarkan pintu depan kasino
lowong sama saja seperti mempersilakan pengemis dan perampok masuk. Padahal
keduanya adalah kategori orang yang tidak punya uang, dan kebijakan kasino
adalah tidak pernah menerima mereka yang tidak punya uang.
Kalau orang seperti itu sampai
datang dan tidak mau pulang, tinggal gebuk saja sampai kapok. Selesai perkara.
Masalahnya, tukang pukulnya saja sekarang
tidak ada.
“Jadi ke mana anak itu pergi?”
Menanggapi pertanyaan Annie yang
tengah memungut surat-surat yang berserakan di depan pintu, Reinhard mengangkat
bahu tanda tak tahu.
“Entahlah. Kalau sudah begini, cuma
satu yang bisa kita andalkan.”
Sang wanita perayu dan pria penggoda
bertukar tatap, memikirkan satu hal yang sama seumpama sebuah harmoni satu
nada.
Kemudian mereka berkata,
“Ayo kita tanya pada Google.”
*****
1st
Verse – Rock Paper Scissor, Vaccine Data Virus
-1-
==WARNING! WARNING! WARNING! ==
Kepada para peserta Battle of
Realms yang terhormat.
Sehubungan dengan ini kami menyampaikan berita mengenai terjadinya gangguan
dalam sistem kami. Namun tidak perlu panik. Anda sekalian mungkin tidak sempat
beristirahat, tapi kami telah memulihkan kondisi tubuh Anda sekalian ke keadaan
prima. Kami memohon kesediaan Anda untuk menjalani ronde dua tanpa jeda.
Pertandingan kali ini memakai virtual health bar yang menjadi
indikator di atas kepala Anda sekalian. Khusus untuk peserta Baldwin Ulrich
Ragnavald Nikolai Ol’Dweller the IV, Dyna Might, serta Raditya Damian, Anda
bertiga telah mencapai [Core Level] dari database Alforea lebih dulu daripada
peserta lain, sehingga di sinilah Anda akan bertarung.
==...LOADING...==
...|
..|
.|
|
Terima kasih telah menunggu.
Kami menambahkan sesuatu untuk memperkaya pengalaman bermain Anda. Setiap
dari Anda bertiga kini akan memainkan peran berdasarkan tiga <atribut
digital>, dan Anda hanya bisa meraih kemenangan dengan memenuhi syarat
atribut masing-masing.
Berikut adalah tiga atribut tersebut :
<Vaccine>
The good-natured and righteous one.
Strong against <Virus>-class.
Winning condition : To eradicate all
the viruses.
<Data>
The resourceful and neutral one.
Strong against
<Vaccine>-class.
Winning condition : To survive and
protect oneself (the data).
<Virus>
The power-thirsty and aggressive
one.
Strong against <Data>-class.
Winning condition : To invade and
corrupt the core data.
Berdasarkan hasil RNG, atribut yang Anda sandang dalam pertandingan kali
ini adalah...
*BZZZZT*
-2-
Raditya Damian tiba masih dalam balutan
kostum dalang sakti Vajra, ketika mendapati dirinya kini berada di
tengah-tengah sebuah ruangan yang tak terkira luasnya.
Baru beberapa menit lalu dirinya
ditempa oleh kawah candradimuka berupa gunung salju abadi tanpa matahari – Los
Soleil, berlaga menghadapi lima orang pendekar lainnya dalam adu ketangkasan,
hingga tentu saja ia keluar sebagai pemenang. Tiba-tiba sekarang dia sudah
berpindah tempat lagi tanpa sempat beristirahat barang sejenak saja.
Tempatnya berada kali ini sungguh
ajaib. Sepintas setiap orang bisa melihat bahwa tempat ini akrab di dunia
manusia, namun di sisi lain ada unsur kemegahan yang tak mungkin ditemui di
dunia nyata.
Tempat ini adalah sebuah
perpustakaan.
Sebagaimana sebuah perpustakaan,
buku-buku tersusun di setiap rak yang mengelilingi tempat ini bagai barisan
tentara yang rapi. Dilihat dari dalam, perpustakaan ini tampaknya dibangun
dengan bentuk gedung serupa sebuah menara yang tinggi menjulang – terlihat
banyaknya anak tangga dan sejumlah lantai yang tidak terkira berapa pastinya.
Namun yang paling menyita perhatian
adalah bagian tengah perpustakaan ini.
Bagai salah tempat, sebuah pohon
raksasa kokoh berdiri, menjadi pilar raksasa yang dibungkus baju bernama menara
di luar. Batangnya seluas tanah yang cukup untuk membangun sebuah rumah,
membuat siapapun terpana akan kebesarannya.
Meski ujung atasnya berada nun jauh
di sana, pohon ini tampak memiliki daun. Daun-daun bercahaya yang berguguran
seperti hujan rintik-rintik, setiap dari daun yang jatuh entah bagaimana melayang-layang
di udara, sebelum kemudian melebur bersama buku-buku yang tersimpan di
ujung-ujung dinding perpustakaan seperti salju yang mencair.
“Di mana ini?”
Radith – atau karena sudah alih rupa
kita sebut saja sebagai Vajra – tertegun, takjub menyaksikan pemandangan di
hadapannya. Ia memang sudah melanglang buana ke berbagai macam tempat, tapi
baru yang ini yang berhasil membuatnya sampai lupa berkedip.
Vajra pun melirik ke arah sekitar.
Kalau seperti pertandingan sebelumnya, kemungkinan besar setiap peserta
dimunculkan di titik yang berbeda-beda, dan itu berarti dia harus cepat mencari
peserta lainnya untuk menyelesaikan ronde kali ini.
Pikirannya tertuju pada satu nama.
Bun. Salah satu rekan satu timnya
dalam menghadapi Tamon Rah di babak penyisihan.
Ia tahu cepat atau lambat semua
peserta pada gilirannya akan menjadi lawan, namun jelas ia tidak menyangka akan
secepat ini bertemu dengan gnome
pendek periang itu. Takdir memang terkadang tidak bisa ditebak.
Seperti sekarang.
Ia kira akan makan waktu sampai ia
menemukan peserta lain, namun seolah takdir sedang bermain-main dengannya, di
depan Vajra kini telah berdiri sesosok lelaki dengan tubuh ideal dan mata
tertutup rambut bagai anak emo, yang entah mengapa mengenakan baju kekecilan
seperti pria dewasa memakai baju anak TK. Belum lagi ransel yang ia kenakan di
punggung, benar-benar kelihatan seperti bocah ingusan yang disulap menjadi
versi dewasa.
Vajra mengenali sosok itu. Tidak,
lebih tepatnya, ia merasa kenal, tapi tidak yakin.
“Kau...Bun?” tanya Vajra meragukan
identitas lelaki di hadapannya. “Kenapa badanmu jadi bak atlet begini?
Tampangmu juga seperti supermodel!”
Sosok dengan indikator nama [Bun] di
atas meteran hijau yang melayang di atas kepalanya itu menghampiri Vajra sambil
menggerutu.
“Apa maksud Radith, bun? Bun memang
sudah tampan dari dulu, ini bawaan lahir, bun~!”
Vajra memegangi kepalanya yang
pusing. Antara ingatannya yang tidak bisa diandalkan atau matanya yang rusak,
atau dua-duanya.
“Tapi seingatku kau lebih pendek dan
tembam... Dan bukannya umurmu baru 8 tahun? Kenapa sekarang kamu seperti
laki-laki umur duapuluhan?”
“Mana Bun tahu, bun~. Ah, tapi
Radith sekarang kenapa kelihatan jadi tambah pendek, bun? Walau armor Radith juga kelihatannya dapat upgrade ya, bun?”
Ketika Bun bilang begitu, Vajra baru
menyadari kalau penampilannya sendiri juga berubah. Beskap yang harusnya
seperti jaket tanpa lengan kini berubah menjadi mantel yang berkibar di
punggung. Semua pusakanya juga mengkilap seperti emas 24 karat, dan tak lupa otot-ototnya
menjadi kekar ala binaragawan, seperti baru saja kena suntik steroid.
Benar-benar tak ubahnya tokoh komik
superhero Amerika.
“Yah, tapi kau benar Bun, kan? Bun
yang berjuang bersamaku menghadapi Tamon Rah di babak penyisihan?”
“Iyup, selain Radith, juga ada Liona
dan Wildan, bun~. Mana mungkin Bun lupa, bun?”
Vajra menghela napas lega. Entah
ilusi mata macam apa yang bermain di tempat ini, tapi setidaknya ia bisa
mengkonfirmasi kalau Bun ini adalah orang yang sama dengan bocah anggota tim Lightbringers yang ia pimpin.
Sekarang, yang ia perlukan adalah—
“Wah, wah, jadi semua sudah
berkumpul di satu tempat, ya.”
“!?”
Tidak memberi kesempatan dua sekawan
itu untuk bercengkerama sedikit lebih lama, suara ketiga tiba-tiba saja hadir
di antara mereka.
Bun dan Vajra menoleh, kemudian
melihat sesosok pria cantik (atau wanita tampan?) berdiri sekian lantai di atas
tempat mereka berada, seraya menyandarkan dagu di tangan dengan wajah jenaka.
Dibalut setelan putih bersih berkancing ganda, rambutnya yang cerah menawan dan
matanya yang bagai emas berkilauan mampu membuat siapapun yang melihatnya
terpesona.
“Selamat siang. Maaf mengganggu
reuni kalian.”
Spontan Vajra berseru,
"Dyna Might! Penjaga pintu
kasino State of Smile, merangkap tukang pukul kasino tersebut, memiliki
kemampuan pengendalian suara, perayu handal yang tidak diketahui jenis
kelaminnya pria atau wanita dan tidak membedakan targetnya selama berparas
indah dipandang!"
"Ya, ya, aku tahu nama dan
biodataku sendiri, terima kasih. Maaf tidak bawa spidol permanen untuk
memberimu tandatangan."
“Siapa yang butuh tandatanganmu?”
“Oh, kukira kau penggemarku? Sampai
hafal profilku segala.”
“Mimpi!”
Dyna tertawa ringan di atas sana,
sementara Vajra dan Bun mulai mengambil posisi siaga.
“Kalian teman setim di babak
penyisihan ya?” tanya Dyna tiba-tiba.
“Bukan sekedar ‘teman’,” sahut Vajra
menimpali. “Lebih dari itu, kamu sudah menjadi ‘saudara’ seperjuangan!”
“Saudara seperjuangan, eh.. Manis
sekali.”
Sambil berkata demikian, Dyna menjentikkan
jari dan menunjuk ke arah mereka berdua yang berada di bawah sana.
“Kalau begitu biar kuumumkan sesuatu
untuk kalian. Dalam permainan ini, atributku adalah <Virus>. Kalau aku tidak salah ingat, <Vaccine> hanya perlu menghabisi
virus dan <Data> hanya perlu
bertahan hidup. Dengan begini, kalian
dua sekawan bisa saling bekerjasama mengeroyokku untuk memenangkan
pertandingan, bukan?”
Terdengar suara sang bocah gnome menelan ludah.
“Uuh... Apa itu benar, bun? Kau
tidak berbohong kan, bun? Kenapa membocorkannya pada kami, bun?””
“Entahlah. Aku tidak punya kewajiban
untuk berkata jujur pada kalian, tapi apa untungnya bagiku bila berbohong? Ini
adalah permainan – kita diberi peran, silakan kalian tentukan pilihannya.”
Berbeda dengan Bun yang ragu, Vajra
melangkah ke depan dan lantas berseru,
“Apa kau hendak mengejek kami, wahai
Dyna Might? Dua lawan satu? Cara pengecut seperti itu bukan jalan wayangku!
Kalau kau memang jantan, ayo bertarung dengan adil! Kita lihat saja siapa yang
lebih hebat di antara kita bertiga! Di sini, kita semua adalah lawan tanpa
kecuali!”
Mendengar tantangan terbuka seperti
itu, Dyna malah menggelengkan kepala.
“Pass.
Maaf, aku bukan ksatria, jadi tidak perlu ikut aturan mainmu. Tadinya aku ingin
selesai cepat-cepat, tapi kupikir lagi, mungkin tidak seru kalau begitu. Biar
kuberi kalian waktu. Lagipula, ada yang lebih menarik perhatianku daripada
peserta pesta kostum seperti kalian. Bye~!”
“Ah, tunggu!”
Dyna tidak menunggu. Dalam satu
kedipan mata, sosok berbaju putih itu sudah tidak terlihat lagi dari ketinggian
yang lebih rendah di mana Vajra dan Bun berada.
“Cih, dia kabur! Apa yang sebenarnya
dia rencanakan?”
Kemudian Vajra merasakan
beskap-mantel yang ia kenakan ditarik.
“Radith...”
Panggilan Bun membuat Vajra menoleh.
Bun tengah menunjuk ke bawah, dengan sekujur tubuh gemetaran.
“...i, itu apa, bun?”
Vajra melihat ke bawah dan segera
menahan napas.
Di lantai dasar menara ini,
sekelompok warna hitam tengah bergumul hebat seperti satu koloni semut berebut
keluar dari sarang.
“Apa-apaan ini...?”
Hanya saja, bukan semut yang ada di bawah sana.
Melainkan.....
-3-
Dyna Might melompat.
Melompat, melompat, melompat.
Melewati dahan dan ranting pohon
raksasa, terus melompat menuju puncak bagai seorang ninja.
Tak peduli ada berapa lantai di
menara perpustakaan ini, Dyna hanya perlu melompat.
Sejak tiba di tempat ini, Dyna sudah
mendengar adanya tiga suara selain suaranya sendiri. Dua suara milik
lawannya sesama peserta, dan satu lagi adalah suara yang tidak ia ketahui milik
siapa.
Tapi ia akan tahu sesaat lagi.
Kalau suara itu tertangkap olehnya,
artinya siapapun ini adalah entitas bernyawa. Padahal katanya peserta di tempat
ini cuma tiga. Apa ini kesalahan dari pihak panitia?
Dan kalau ia bisa mendengarnya,
artinya orang ini tidak begitu jauh.
Tak perlu waktu lama bagi Dyna untuk
mencapai puncak dari batang utama pohon ini.
Di atas pohon di mana dedaunan
rimbun seperti membentuk sebuah atap, Dyna berdiri.
Dan ia tidak sendiri.
Seperti telah menunggu kedatangannya,
seseorang telah berada di sana.
Tidak.
Bukan seseorang.
Daun-daun berguguran di luar kubah
atap pohon ini. Untuk setiap daun yang gugur, setitik cahaya bercampur dengan
daun, lalu turun seperti salju.
Cahaya yang terpancar dari sosok di
hadapan Dyna saat ini.
Ia tidak memiliki rupa. Ia hanya
memiliki bentuk layaknya manusia.
Seperti sebuah bayangan yang hidup.
Apakah sesosok siluet yang hanya
terdiri dari kumpulan cahaya pantas disebut sebagai seseorang?
-4-
Ini adalah mimpi buruk.
Mimpi buruk, mimpi buruk, mimpi
buruk.
Benar, ini pasti cuma mimpi.
Lagipula sejak kapan Bun jadi tumbuh ke atas dan bukan ke samping? Mungkin Bun
lupa makan malam sebelum tidur.
Kalau ini mimpi buruk, harusnya Bun
bisa bangun. Lebih tepatnya, Bun ingin segera bangun!
Bagaimana caranya bangun dari mimpi?
Bun menampar kedua pipinya sendiri.
Karena pipinya tidak lagi tembam seperti sedia kala, tamparan itu entah kenapa
terasa sakit. Padahal cuma mimpi, tapi kok bisa terasa sakit?
“Bun, sadarlah!”
Panggilan Vajra membangunkan Bun
dari lamunannya.
Tapi Bun masih di dalam mimpi yang
sama. Jangan-jangan semua ini nyata?
“Bun, bantu aku!”
Baru ketika bayangan hitam tampak
jelas memenuhi pandangannya, Bun refleks melarikan diri tunggang-langgang.
“Waaaaaaaaaaaaaaaaahh!! Monster
kegelapan, bun—!!”
“Bukan, mereka ini perwujudan
virus!” Vajra berseru, masih menembaki puluhan sosok hitam yang merangsek naik
menjalari pohon dengan Panah Petir [Pasopati] seperti menembakkan peluru tanpa
henti. “Sudah kuduga ada yang aneh sejak peringatan kesalahan sistem...
Kelihatannya pertarungan kali ini bukan pertandingan resmi! Jadi ini yang
diperingatkan oleh Hewanurma sebelum ronde pertama?”
“Ja, jadi kita tidak usah berkelahi
satu sama lain, bun?”
Bun belum begitu mengerti, tapi melihat
Vajra yang kewalahan, ia akhirnya memutuskan untuk membantu sang pendekar
bertopeng setengah wajah itu.
“[SPARK]!”
Dengan satu teriakan Bun, gelombang
kejut menjalar dari tempatnya berpijak.
“!?”
Tapi tidak seperti biasanya, jurus
[Spark] dari Bun kali ini tampak sungguh dahsyat. Seluruh lantai bercahaya
seperti barisan sinar yang berusaha menembus retakan langit, membuat semua
sosok kegelapan yang menyeramkan tak kuasa untuk bergerak barang sedikitpun.
“Wah, sejak kapan [Spark] milik Bun
jadi sekuat ini, bun?”
Sementara itu, Vajra yang justru
mendapat tambahan kecepatan karena efek [Spark] meluncur dengan indah bagai
sedang di atas ring ice-skating,
namun dia bukan sekedar pamer gerakan akrobatik saja, karena di ujung
jari-jarinya terdapat jaring-jaring yang terus terpintal semakin jauh ia
bergerak, seperti laba-laba tengah memerangkap mangsanya.
“JARING PETIR [DALANGKUSUMA]!”
Vajra menyilangkan kedua tangannya,
dan seketika itu pula jaring-jaring yang tersebar dari berbagai sudut menutup
celah antara batang pohon raksasa dan lantai tempat Bun dan Vajra berada,
mencegah para monster naik lebih jauh. Setiap dari mereka yang mencoba menembus
jaring Vajra akan tersengat listrik dan jatuh kembali hingga ke dasar, seperti
nyamuk kena tepuk.
“Bun, kita tidak boleh membuang
waktu,” ucap Vajra pada rekannya yang masih melongo heran. “Aku sudah
memikirkannya, dan keadaan ini tidak bisa dibiarkan lama-lama. Kita harus
membagi tugas. Aku akan menahan para monster virus ini, sementara kau susul
lawan kita yang bernama Dyna Might itu. Sampaikan padanya kalau kita harus
bahu-membahu menghentikan kekacauan ini, atau Alforea akan jatuh seluruhnya!”
“Eh... Bun bisa panggil Monica buat
terbang ke atas sana, tapi Vajra bagaimana, bun?”
Sambil mengacungkan jempol dan
memperlihatkan gigi putihnya yang tak pernah lupa digosok setiap hari hingga berkilau,
Vajra meyakinkan Bun.
“Aku akan baik-baik saja. Sudah
peranku memberantas bibit-bibit kegelapan sebelum mereka membawa kekacauan pada
dunia. Tak perlu ragu, tak perlu takut. Karena kita adalah...pembawa cahaya – Lightbringers!!”
Bun balas tersenyum mendengar
kata-kata motivasi dari Vajra. Iapun menyetujui rencana itu dan bersiap
menyusul Dyna.
“[NEXUS]!”
Sosok gemulai dalam balutan jubah
serba ungu gelap muncul memenuhi panggilan Bun. Dialah Monica, sepupu sekaligus
tunangan Bun yang ahli dalam pengendalian ruh.
“Hai, sepupu Bun... Lho, ditinggal
sebentar saja sepupu Bun kok sekarang jadi seperti manusia, mon? Pakai sihir
macam apa ini, mon?”
“Ngobrolnya nanti saja, bun~!
Sekarang, sepupu Monica bantu Bun pergi ke atas pohon ini, bun!”
“Ada bayarannya kan, mon? Eh,
ngomong-ngomong kenapa Monica rasanya jadi lebih tinggi ya, mon?”
“Sepupu Monica lama nih, bun~!
Kasihan Vajra sudah menunggu kita pergi dari tadi, bun!”
Vajra hanya bisa tersenyum melihat tingkah
dua gnome dalam wujud baru mereka
beradu mulut. Seperti pasangan kekasih saja.
“Ngomong-ngomong, ada baiknya kalian
cepat-cepat. Jaring ini tidak permanen, dan [Nexus]-mu punya durasi pendek,
jadi tolong bergegaslah.”
Menuruti arahan Vajra, akhirnya
Monica mulai meninggalkan tanah sambil merangkul Bun mesra. Sementara Bun
berontak dalam rangkulan Monica. Bukan karena malu, tapi karena takut
ketinggian.
*****
1st
Chorus – A Tree Called History
-1-
Bagi seorang Vajra, tiba di Alforea
adalah sebuah kesempatan kedua.
Semenjak kekalahannya dari Ki
Rogohjiwo, sang guru yang membesarkannya – juga kini menjadi musuh utamanya di
dunia nyata, Vajra yang lolos dari angkara murka merasa Battle of Realms adalah
tempat yang cocok untuk menempa ilmu lebih dalam sebelum berhadapan kembali
dengan gurunya untuk yang kedua kali.
Vajra tentu berterimakasih atas
gurunya selama ini, dan dia bukan murid yang durhaka. Hanya saja, gurunya telah
menempuh jalan yang salah menjadi seorang penjahat. Semua manusia bisa salah.
Dan murid yang baik haruslah menuntun kembali gurunya ke jalan yang benar.
Untuk itu, Vajra membutuhkan
kekuatan dan pengalaman.
Melalui ronde penyisihan, Vajra
merasakan sendiri bagaimana kerja sama tim mampu mengatasi sosok monster yang
luar biasa besarnya, hingga ia kira menaklukannya hanya mimpi belaka.
Tapi nyatanya, ia berhasil.
Melalui ronde pertama, Vajra
dihadapkan dengan lima orang peserta lain dengan kemampuan yang tidak
main-main, bertahan hidup dalam pertarungan saling bunuh di mana tempat
bertarungnya saja sudah mampu membunuhnya bila ia lengah.
Tapi nyatanya, ia berhasil.
Dan kali inipun, ia pasti akan
berhasil.
Jaring Petir [Dalangkusuma] miliknya
memang cukup kuat untuk menahan pergerakan monster-monster bayangan. Hanya saja
jumlah monster-monster itu luar biasa, tak henti-hentinya berusaha menembus ke
atas dengan tanpa mengenal kata henti.
Inipun sebuah bentuk ujian lain bagi
sang Vajra.
Pada akhirnya jaring petir miliknya
tak kuasa lagi menahan tekanan dari bawah, dan para monster bayangan pun
satu-persatu melaju ke atas merambati pohon dan lantai-lantai menara
perpustakaan.
Vajra sudah siap. Berbekal
pengalamannya memainkan game Everna
Online, dia tahu bagaimana mengatasi monster dalam jumlah banyak dan
manajemen prana. Ditambah lagi ilmu silat pemberian seorang veteran sesama
peserta bernama Kumirun, kali ini Vajra pasti bisa menghemat tenaga dalamnya
dengan mengandalkan teknik fisik.
Ia akan menjadi umpan dan membuat
mereka sibuk melawan dirinya sementara Bun memanggil Dyna! Bersama, mereka
pasti bisa!
“Majulah, kalian semua!”
Para monster bayangan maju.
Melewati Vajra begitu saja.
“...........................................................eh?”
Monster bayangan yang tidak
terhitung jumlahnya terus naik ke atas, tak mempedulikan keberadaan Vajra
seolah sang dalang sakti tak punya eksistensi sama sekali.
“Tunggu, kalian!”
Kehilangan momentum, Vajra
menembakkan Panah Petir [Pasopati] miliknya dengan segera. Rentetan panah mengenai
para monster bayangan, membuat mereka yang lolos dari Vajra kini terkena
gelombang kejut dan berjatuhan dari angkasa.
Namun di bawah sana, mereka semua
terus bergerak.
“Sialan!”
Akhirnya Vajra sendiri yang berbalik
mengejar para monster.
Ia menghajar semua yang tengah
menggerogoti buku-buku di dinding.
Ia menghajar semua yang merayapi
pohon raksasa yang menjulang di tengah ruangan.
Ia menghajar semua yang berani
melangkahi dirinya tanpa ampun.
Vajra bergerak ke sana kemari, sudah
tak menghitung lagi berapa banyak monster yang ia habisi.
Hingga akhirnya, ia sendiri
kehabisan tenaga.
Vajra sungguh tak mengerti. Kenapa
monster-monster ini seperti binatang ternak yang pasrah dibunuh olehnya?
Mengapa mereka tidak melawan? Ke mana sebenarnya tujuan mereka?
Ketika memikirkan hal tersebut,
barulah ia ingat petuah Hewanurma.
Sosok asli para monster ini bukanlah
bagian dari program Alforea. Melainkan perwujudan virus.
Yang artinya—
“....mereka hanya mengincar <Data>?!”
-2-
Cahaya itu tidak memiliki nama.
Ia tidak bisa berbicara, namun entah
mengapa Dyna dapat mendengarnya bersuara.
Tak perlu kata-kata ataupun teks.
Yang perlu Dyna lakukan hanyalah memasang telinga, dan Dyna otomatis menangkap
apa yang cahaya itu sampaikan. Seperti sebuah pesan batin, hanya saja langsung
berupa informasi konkrit alih-alih tutur kata.
Cahaya itu menyebut dirinya sendiri
sebagai [ ].
[
] tidak mengerti bagaimana ia mendapat kesadaran atas dirinya sendiri.
Yang ia tahu adalah dunia bernama Alforea, di mana segalanya adalah data, dan
data itu adalah bagian dari dirinya.
Ia tidak tahu kenapa ia tercipta,
dan apa perannya di dunia ini.
“Kecerdasan buatan, eh?”
Mungkin perkataan Dyna ada benarnya.
Bagaimanapun juga, untuk ukuran dunia digital, Alforea sangatlah luas, dan
tidak mungkin manusia biasa dapat mengurus semuanya. Meski tidak sepenuhnya
sadar apa yang [ ] lakukan dalam
aktivitas normal, [ ] juga tahu kalau
setiap waktu ia mendapatkan aliran informasi baru dan lama, menjaga apa yang
perlu disimpan, memilah apa yang aman dibuang, serta menahan apabila ada
gangguan dari luar.
Semua itu ia lakukan tanpa perlu
diperintah, seperti telah terprogram begitu saja untuk dilakukan.
Seperti saat ini.
“Sudah kuduga ada yang aneh. Aku
bisa mengira-ngira kalau pertandingan ini rekayasa pihak selain panitia, tapi
aturan tambahan tentang tiga atribut itu ternyata memang darimu, ya?”
[
] mengiyakan pernyataan Dyna.
“Tapi kalau memang begitu, kenapa
tidak kau buat saja kami semua menjadi <Vaccine>?
Lebih mudah daripada memberi peran tertentu, kan?”
[
] menjelaskan, bahwa bila itu yang terjadi, sang peretas sistem mungkin
menyadari aksinya ketahuan bila peserta bukan saling bertarung dan malah saling
bahu-membahu melawan virusnya. Dengan membuat skenario layaknya pertarungan
biasa, peretas tersebut berniat menyingkirkan beberapa peserta sekaligus
membuat peserta melakukan kerusakan pada database, secara tidak langsung
membantu virus yang ia kirim. Satu batu untuk menjatuhkan dua burung.
Namun sebaliknya juga berlaku bagi
[ ].
Dengan memberi atribut pada peserta,
ia bisa mengelabui sang peretas dan mengira gangguan yang ia berikan berjalan
lancar, padahal [ ] justru memberikan
perlawanan dan membuat simpanan data secara diam-diam.
Selain itu, ada satu alasan lain.
Ia hanyalah <Variable>.
Ia bisa memberi atribut, tapi tidak
bisa memilih.
Ia bisa berkehendak, tapi tidak
punya daya.
Ia hanya bisa ada. Tidak
kurang, tidak lebih.
Semua ini adalah pertaruhan dari
[ ].
“Dengan kata lain, kau ingin aku –
atau kami – melindungi tempat ini?”
Sekali lagi [ ] mengiyakan.
“Maaf. Aku tidak tertarik.”
Jawaban Dyna membuat sang sosok
cahaya tampak tak stabil seperti air beriak untuk sesaat.
“Cari orang lain saja. Aku ke sini
cuma untuk liburan, bukan mengurusi cerita pahlawan picisan atau taruhan
takdir. Dunia ini mau hancur? Bukan urusanku.”
Sang sosok cahaya tampak mengangkat
‘tangan’nya, kemudian mematerialisasikan sesuatu.
Sebuah cermin.
Melihat wajah yang ada di
hadapannya, Dyna mengernyitkan dahi.
“....kenapa mukaku seperti baru saja
dioperasi plastik? Aku tidak butuh mata sebesar ini, bentuk wajahku sebelumnya
juga lebih enak dipandang. Dan apa pula kilauan yang muncul setiap aku berkedip
ini? Memangnya mataku senter untuk sinyal morse?”
Hal yang sama terjadi pada Raditya
Damian dan Bun, dan alterasi penampilan itu terjadi karena virus. [ ] mengira tampilan high-definition ini akan membuat Dyna tertarik pada keduanya,
seperti ketertarikan Dyna pada Ariana Maharani atau Mang Ujang.
“Oi, oi. Begini-begini aku masih
punya selera. Yang satu seperti bocah idiot, dan aku tidak suka bocah idiot.
Yang satu lagi pakai topeng setengah wajah. Orang yang menyembunyikan wajah
biasanya dalamannya buruk rupa.”
Begitulah.
Dan ini baru peserta yang ada di
tempat ini. Sejumlah peserta lain yang tidak beruntung sampai di sini malah
mengalami deformitas tubuh dengan kepala besar badan kecil, berubah bentuk
menjadi kotak-kotak miskin warna, dan ada juga yang menjadi sosok monster yang
jauh dari paras mereka semula.
“Jadi... Tidak ada lagi pria tampan
dan wanita cantik? Dan mukaku tidak akan tampak natural lagi?”
Akhirnya ada titik terang antara
[ ] dan Dyna.
“Geh. Baiklah kalau begitu. Biar
kuturuti keinginanmu. Malas juga kalau sisa pertandingan nanti tidak ada
rekreasi cuci mata lagi,” ujar Dyna menyanggupi permintaan sang sosok cahaya,
yang kini berkelap-kelip untuk sesaat.
Mungkin dia senang karena Dyna
begitu pengertian.
-3-
“Sepupu Monica, tolong lebih pelan,
bun~!”
“Kita dikejar dari bawah, tidak
boleh lebih pelan dari ini, mon!”
“Waaah! Benar juga! Kalau begitu
lebih cepat lagi, bun!”
“Ah sepupu Bun plin-plan sekali sih,
mon!”
Bun yang saat ini tengah dibopong
oleh sepupunya Monica melayang di udara kini dikejar oleh sekumpulan monster
bayangan dari bawah. Mereka memanjat pohon seperti kadal, melompat tinggi
seperti jangkrik, hingga akhirnya sedikit lagi hampir mencapai posisi Bun dan
Monica.
Apa itu berarti Radith gagal
menghalau mereka di bawah sana?
Bun jadi gugup.
“Gawat... Bun...Bun mulai lapar,
bun...”
“Di saat begini malah lapar, mon?
Sepupu Bun ini bagaimana sih, mon?”
Kemudian Bun merasakan tubuhnya
oleng kehilangan pegangan.
Tak lama setelahnya, Bun mendadak
jatuh begitu saja dari ketinggian.
“!?”
Tak disangka-sangka, durasi
kemampuan [Nexus] sudah habis rupanya. Sosok Monica yang dipanggil oleh Bun
kembali ditelan dimensi lain, sementara Bun ditarik oleh gravitasi.
Bun jatuh.
Bun bahkan tidak sempat berteriak.
Bun mengira para monster itu akan
segera menyantapnya begitu ia jatuh ke dalam cengkeraman mereka. Padahal Bun
yang lapar, tapi kenapa Bun yang jadi makanannya?
Satu rasa bergejolak dalam dada
perut Bun.
Dan tak dinyana, rasa lapar
mengalahkan rasa takut.
Bun yang masih terjun bebas di
udara, kini melihat para monster seperti daging asap yang gosong.
“Selamat makaaaan, buuuun~!”
Mata Bun berkilat-kilat dengan mulut
menganga lebar. Terjadilah pembantaian seperti singa menerkam mangsa. Hanya
saja singa yang satu ini begitu rakus, serampangan, serta berantakan.
Seluruh tubuh monster digigit,
terkoyak, dilahap, terpotong, satu demi satu, tidak ada yang tersisa.
Dengan lincah Bun melompat seperti
bola yang memantul-mantul ke seisi ruangan. Setiap kali giginya bertemu dengan
satu monster, monster itu seketika tumbang menjadi debu.
“Bun belum kenyaaang, buuun!”
Bun semakin menggila. Dia tinggal
membuka mulut saja, dan seperti penyedot debu semua monster yang berani maju
dijamin hilang tanpa sisa abu.
Hingga gelombang serbuan monster
yang mengejar Bun barusan berhenti.
Bun yang masih kelaparan, mencoba
melompat ke lantai atas.
Tidak perlu lewat ujung lantai yang
membatasi dengan pohon raksasa – Bun melompat menembus lantai. Dari satu lantai ke lantai atasnya, seperti peluru
meriam ditembakkan dari bawah.
Alhasil banyak lantai jadi berlubang
akibat serudukan kepala Bun.
Namun itu tidak berlangsung lama,
karena setelah sekian kali melompat, tampaknya kepala Bun yang menjadi
penggedor lantai menghantam benda keras berkali-kali, membuatnya perlahan
kembali sadar.
“....lho, kenapa Bun sudah sampai
sini, bun?”
Bun yang polos tidak mengingat apa
yang terjadi selama ia dalam mode lapar dan hilang kendali. Yang ia tahu,
perutnya masih terasa lapar, karena sebanyak apapun ia melahap para monster tak
ubahnya seperti makan angin.
Bun baru ingat kalau di bawah sana
ada Radith, sementara di atas sana ada peserta bernama Dyna. Dan dia sendirian
di sini. Ia ragu apa harus kembali lagi ke bawah, atau ke atas seperti tujuan
semula?
Tapi yang paling penting, perut Bun
meraung tidak karuan.
Di mana-mana cuma ada buku. Buku,
buku, dan buku. Coba kalau semua buku ini berubah jadi makanan, pasti rasanya
seperti di surga.
Nyaris kalap lagi, Bun mengambil
sebuah buku dan hampir saja memakannya.
Sebelum kemampuan artifice miliknya bertindak lebih dulu –
membuat Bun secara tidak sadar menyerap informasi dari apa yang ia sentuh.
Sontak Bun terkejut saat menerima
aliran informasi yang membanjiri isi kepala, membuatnya lebih penuh daripada
isi perut.
“I, ini—!?”
Sekarang rasa lapar tergantikan oleh
rasa penasaran.
Bun mengobrak-abrik seluruh rak
buku, mencoba menyerap informasi dari setiap buku yang bisa ia raih. Ketika
satu rak habis, ia berpindah ke rak yang lain. Ketika seluruh buku dalam satu
lantai telah ia habiskan, barulah ia berhenti.
Bun menemukan sesuatu.
Sesuatu yang tidak pernah ia sangka
akan ia dapatkan dari turnamen Battle of Realms ini.
-4-
Setelah menemui kesepakatan dengan
sang cahaya entitas penjaga perpustakaan ini di puncak pohon dalam menara, Dyna
Might bersiap turun kembali ke bawah, hendak menemui dua peserta lain yang
menjadi lawannya kali ini.
“Kalau begitu, sekarang aku tinggal
‘memenangkan’ permainan kali ini sesuai dengan peranku, kan? Saatnya menemui
dua orang badut di bawah sana~.”
Sebelum ia berbalik, cahaya yang
menyebut dirinya sebagai [ ] itu
menghentikan Dyna.
“...? Ada apa lagi?”
Sang cahaya mengangkat kedua
tangannya, seperti sedang menghimpun bola semangat.
Dan tiba-tiba saja, seluruh cahaya
yang terpancar darinya kini berbalik arah. Alih-alih memancarkan cahaya yang
bercampur dengan dedaunan gugur, kini seluruh daun serentak lepas dari
rantingnya, melayang di angkasa seperti taburan bintang yang tak terhitung
jumlahnya.
Pemandangan yang indah. Namun Dyna
tidak mengerti tujuan pertunjukan ini selain membuat mata merasa silau.
Seluruh daun berubah menjadi cahaya
dengan jutaan warna, yang kemudian melesat menuju ke arah [ ].
“—!?”
Dyna tidak bisa tidak menutup mata.
Rasanya bukan lagi seperti bangun di ruangan gelap gulita yang tiba-tiba
dinyalakan lampunya, tapi lebih seperti ditendang untuk berhadapan langsung
dengan sang surya.
Dalam fenomena yang tak masuk akal
itu, Dyna mendapat sebuah pesan terakhir dari [ ].
Bahwa ia akan meninggalkan sesuatu
untuk Dyna, yang ia harap dapat Dyna simpan hingga pertandingan kali ini
berakhir.
[
] menyebutnya sebagai <Recovery
Backup>.
Sesuatu yang akan berguna kelak
apabila tempat ini hancur dan dia menjadi tiada. Atau begitulah menurutnya.
Begitu serbuan cahaya itu berangsur-angsur
berhenti, Dyna membuka mata pelan-pelan.
Dedaunan rimbun yang menjadi atap di
bagian atas pohon ini telah habis. Mempelihatkan langit-langit berupa kubah
menara yang polos tanpa ornamen, hanya dihiasi hitam kelam layaknya langit
malam.
Dyna menoleh ke depan, mendapati
[ ] menghilang entah ke mana.
Sebagai gantinya, Dyna menemukan
sesuatu yang bercahaya redup – namun benda ini memiliki sebuah bentuk yang
mudah dikenali.
Lagi, Dyna mengernyitkan dahi ketika
membungkuk untuk memungut benda itu.
Sebuah benih?
Dan apa maksudnya dengan <Recovery Backup>?
Dyna kurang paham. Meski begitu,
tidak ada salahnya menerima sesuatu yang tidak membawa petaka. Toh hidup
mengajarkan untuk tidak menolak rezeki pemberian orang lain. Karena Dyna
berpikir benih ini adalah sesuatu yang mungkin akan berharga di masa depan,
akhirnya ia memutuskan untuk menyimpannya di saku dada.
Siapa tahu bisa ditukar dengan uang.
*****
Bridge
Sebuah cahaya menyilaukan tampak
bersinar dengan terang dari puncak pohon raksasa.
Vajra tidak tahu apa yang terjadi,
namun para monster bayangan perwujudan virus berhenti bergerak untuk sesaat
ketika melihat cahaya tersebut.
Ini kesempatan!
Tanpa membuang waktu Vajra segera
mengambil posisi tapa brata. Mengatasi sejumlah besar monster telah menguras
habis prananya, dan meski para monster tidak menghiraukannya, ia tetap tidak
bisa membiarkan mereka lewat begitu saja.
Vajra mulai berkonsentrasi dan
menghimpun prana dari alam di sekitarnya.
Namun yang terjadi kemudian justru
sama sekali di luar perkiraan sang dalang sakti.
Richella Eleanor.
Itulah satu dari ratusan nama yang
muncul ketika banjir informasi menyeruak ke dalam kepala Bun.
Nama salah satu sepupunya yang
sama-sama berasal dari Gnomeria, dan menghilang entah sejak kapan. Bun
mengikuti turnamen Battle of Realms sebenarnya tanpa tujuan pasti, namun kini
ia tergerak untuk menemukan sesuatu yang dicari oleh orang-orang sekitarnya dan
belum ditemukan hingga saat ini.
Yaitu keberadaan sepupu Elle.
Sudah jelas baginya sekarang. Bun
tidak tahu pasti apa yang terjadi, tapi Bun tahu pasti akan satu hal – bahwa
sepupu Elle terlibat dalam turnamen bertajuk Battle of Realms ini!
Ketika Dyna melompat turun ke bawah,
ia melihat sosok lain tengah melompat ke atas.
Sosok itu menyadari Dyna, dan sebelum
mereka berpapasan, keduanya berhenti di satu lantai yang sama. Dyna di tengah
lantai menara yang dekat dengan batang utama pohon, sementara lawannya berada
di area yang penuh dengan rak buku di ujung sana.
Mulai dari sini, permainan
sebenarnya baru akan dimulai!
*****
2nd
Verse – DATABASE DATABASE JUST LIVING IN THE DATABASE WOW WOW
-1-
DI hadapan Dyna kini berdiri sesosok
pria dengan mata tertutup oleh poni rambut dan baju yang serba kekecilan,
lengkap dengan ransel kekanakan di punggungnya. Tampan sih, tapi konyol. Lebih
seperti aktor stand-up comedy
ketimbang bintang film kalau penampilannya seperti ini.
“Ah! Kau kemari karena mengincar
Bun, ya, bun?”
Dyna belum berkata apa-apa, dan pria
– ralat, bocah itu sudah merasa ge-er
duluan.
Sambil berjalan santai ke arah si
bocah tudung biru, Dyna pun menjawab,
“Maaf, aku tahu wujud aslimu yang
cebol gendut, dan aku tidak tertarik pada buntalan lemak. Kecuali kau bisa
dijadikan makanan.”
“Ah! Jangan bicara tentang makanan,
bun!”
Bocah itu mendadak berteriak sambil
menunjuk ke arah Dyna.
“Memangnya kenapa?”
Jari telunjuknya gemetaran. Trauma
apa anak ini?
“Bun...Bun...Bun jadi ingat...”
“Ingat?”
“INGAT KALAU BUN SEDANG LAAPAAAARR
BUUUUUUN!!”
Dan sang bocah langsung menerjang ke
depan dengan mulut menganga lebar. Di depan matanya saat ini tidak lagi tampak
sosok Dyna Might, melainkan nasi dengan abon sapi dan saus beri.
“Whoa, ganteng-ganteng serigala (kelaparan)
ya, kau ini.”
Cepat atau lambat mereka memang
harus bertarung, jadi Dyna segera mengambil posisi.
Sang bocah tudung biru melesat ke
depan Dyna, namun dengan lincah melakukan gerak tipu dan mengelak ke samping.
Sebelum Dyna sempat mengikuti, dia melompat ke rak buku, lalu menuju langit-langit,
kemudian menyerbu Dyna dari atas.
Dyna tidak sempat menghindar.
Dan memang tidak perlu menghindar.
Dengan satu tangan terangkat, Dyna
menangkap tudung si bocah yang melesat dari udara, lalu dengan sekuat tenaga
melemparkannya bagai pitcher baseball
menuju ke ujung dinding menara.
“—guakh!”
Tubuh besar sang bocah menjatuhkan
rak-rak buku satu demi satu sebelum punggungnya bertemu dengan dinding,
menimbulkan bunyi bedebum keras serta retakan yang nyaris membentuk sebuah lubang,
sebelum kemudian tersungkur ke lantai.
Kelihatannya satu counter dari Dyna ini sudah cukup untuk
membuat bocah itu sadar kembali.
“Uh, uuuh... Sakit, bun...”
“Sudah sadar? Baguslah. Aku tahu
kamu cuma anak kecil, tapi tidak seru rasanya kalau kamu langsung kalah cuma
karena lemparan barusan.”
Sang bocah bertudung biru melihat ke
arah penyerangnya, yang kini entah bagaimana tengah mengangkat rak buku berukuran besar dengan kedua tangannya.
“Hiiiii!?”
“Nih, hidangan penutup.”
Dyna melemparkan rak buku dengan
ukuran dua kali badannya sendiri itu seperti melempar sebuah mainan rusak.
“Wa, waaah! [NEXUS], bun!”
Bersamaan dengan teriakan terakhir
sang bocah bertudung biru, seberkas cahaya muncul secara ajaib, yang kemudian
mewujud seperti seekor burung dan menahan rak buku lemparan Dyna.
Tidak, bukan sekedar menahan.
Rak buku yang Dyna lempat dipantulkan oleh sebuah pelindung
cahaya, berbalik ke arah Dyna.
“—!?”
Lagi-lagi Dyna tidak menghindar.
Dengan satu tangan terkepal, ia meninju rak buku tersebut, hingga terbelah
menjadi dua dan jatuh di belakang sana.
Tampaklah olehnya siapa tamu yang
baru datang di tengah acara ini.
“Hai, cepupu Bunny Bun~,” sesosok
wanita dengan pakaian serba putih (dan kekanakan, sungguh selera kostum yang
payah – menurut Dyna) muncul dari ketiadaan, melindungi bocah yang satu lagi
dengan sebentuk boneka bercahaya. “Butuh bantuanku, mom~?”
“Sepupu Meredith!”
Tambah lagi satu lawan baru. Dyna
melihat keduanya segera bercengkerama dengan akrab, seakan sesaat lupa kalau
dia ada di sana.
“Hmm... Wanita putih itu juga
aslinya pasti masih bocah, ya?”
Kelihatannya si bocah tudung biru
memang punya kemampuan memanggil teman untuk membantunya kalau kesulitan. Cocok
sekali seperti anak kecil, senangnya berkelahi ramai-ramai.
“Benar-benar, deh. Berada di antara
kalian membuatku merasa seperti dikelilingi bayi.”
-2-
Tapa brata.
Adalah satu bentuk cara bagi Vajra
untuk menghimpun prana – dengan kata lain, mengisi tenaga agar bisa digunakan
kembali dalam pertarungan. Vajra hanya perlu mengambil posisi layaknya semedi,
dan dengan sedikit konsentrasi, ia dapat menyerap prana yang tersebar di alam
bebas untuk dimanfaatkan dalam penggunaan jurus dari pusaka-pusaka miliknya.
Tapi ada sesuatu yang aneh kali ini.
Bukan prana yang terkumpul oleh
Vajra, melainkan para monster.
Ya. Para monster yang dengan susah
payah Vajra halau sejak kemunculan mereka kini tersedot begitu saja ke dalam
tubuh Vajra.
Para monster ini adalah perwujudan
virus. Apakah mungkin karena ini adalah dunia digital, eksistensi dengan
atribut seperti ini diperlakukan sama seperti sumber prana di dunia nyata?
Bagaimanapun juga, prana adalah bentuk dari kekuatan alam, dan ketika alam itu
berbentuk digital, kejadian ini mungkin bisa dibilang masuk akal.
Vajra dapat membersihkan ancaman
para virus lebih cepat dengan cara ini daripada menghajar mereka satu-persatu!
Vajra merasakan sendiri bagaimana
para monster bayangan melebur ke dalam tubuhnya, terurai menjadi
partikel-partikel prana yang menyelimuti dirinya, tak terhitung jumlahnya,
hingga Vajra sampai mengira ia telah melebihi batas kekuatannya. Bila ini game Everna Online, ia merasa seperti baru
saja naik level dari LV1 langsung menuju LV99!
Dia tidak bercanda. Perasaan ini
memang sungguh luar biasa!
“Ha.. Haha... HAHAHAHAHAHAHA!!”
Vajra tertawa.
Perjalanannya ke tempat ini ternyata
tidak sia-sia.
Kekuatan telah memilihnya. Dengan
kekuatan sebesar ini, mengalahkan Ki Rogohjiwo bukan mimpi lagi! Jangankan Ki
Rogohjiwo, kalau ada monster-monster Gangren lebih dari satu ekor sekalipun ia
pasti bisa mengatasinya seorang diri, karena kekuatan ini—
“Radith, sadarlah!”
Sebuah suara menggema dalam alam
bawah sadar sang dalang sakti.
Suara ini... Sesepuh Bima?
“Benar, Radith. Jangan kau lupa, kami ada di sini juga!”
“Tadi itu bahaya sekali ya, Ayahanda. Kalau kita bertiga tidak memaksa
muncul di dalam sini, mungkin Radith akan tenggelam dalam kegelapan yang sama
dengan gurunya.”
Sesepuh Arjuna dan Sesepuh Gatotkaca?
“Kami bertiga adalah pelindungmu. Kekuatan dapat berasal dari mana saja,
dan tidak ada yang namanya kekuatan baik dan jahat. Hanya ada pribadi orang
yang baik atau jahat, tergantung penggunanya.”
“Bima benar. Kamu yang sekarang, sudah banyak berkembang sejak pertama tiba
di tempat ini. Tapi kamu tidak boleh lupa diri. Ingat tujuan awalmu, dan
ingatlah kalau kami selalu ada di sisimu.”
“Begitulah, Radith. Ayahanda Bima dan Pamanda Arjuna sudah bersabda. Di
sini kami hanya bisa sebatas membantumu sedikit saja. Selanjutnya, kami
serahkan padamu.”
Vajra tersadar kembali.
Tapa bratanya telah selesai, dan
kini semua monster bayangan telah lenyap. Sebagai gantinya, kini tubuh Vajra
diselimuti zirah berwarna hitam penuh dengan aura kegelapan.
Penampilan ini sungguh tidak cocok. Alih-alih
pahlawan, sosok barunya malah kelihatannya seperti demon lord yang menjadi boss
terakhir RPG klasik. Padahal sejatinya ia adalah pembela kebenaran, dan hatinya
telah tenang laksana air tanpa arus setelah menerima petuah para dewata.
Jadi Vajra mengalirkan prana petir
miliknya, dan dalam sekejap, seluruh kegelapan sirna, digantikan oleh cahaya
keemasan yang menghiasi sekujur tubuh. Bukan hanya itu, sekarang rambutnya yang
panjang juga berdiri menantang ke atas – benar-benar seperti orang yang baru
saja kena setrum atau tersambar petir.
Kalau ini sebuah komik, dia pasti
sudah bisa disebut ‘Manusia Vajra Super’.
Namun tentu saja, semua kekuatan
baru ini tidak semenyenangkan perasaan bayi yang baru belajar berjalan dengan
dua kaki.
Vajra tahu, dengan kekuatan besar
datang tanggungjawab yang besar. Ia tidak boleh menyelewengkan kekuatan ini –
kekuatan adalah titipan. Harus dipergunakan untuk kebaikan!
Maka Vajra bangkit dari duduknya,
kemudian memastikan keadaan sekitar.
Para virus memang telah menghilang.
Tetapi permainan ini belum selesai.
Meski enggan, kelihatannya Vajra tak
punya pilihan lain selain menuntaskan peran yang telah diberikan kepadanya
sejak awal mula.
Vajra pun mulai melompat ke atas
dengan kekuatan yang luar biasa, seolah dilontarkan oleh perut bumi menuju pelukan
angkasa raya.
Melompat tinggi, lebih tinggi dari
manusia biasa manapun, hingga siapapun yang melihatnya pasti mengira Vajra
terbang untuk sesaat.
Tak mau membuang-buang waktu, Vajra
harus bergegas!
“Tunggu aku, Bun! Aku akan segera
menyusulmu!”
-3-
Sejak kedatangan Meredith, Bun kini merasa
berada di atas angin.
Bangsa gnome emmang diberkahi
kelincahan, sehingga mereka handal dalam menghindari serangan. Lawan yang
bernama Dyna itu kelihatannya cukup kewalahan sampai harus menggunakan
kemampuan pengendalian suaranya dalam menghadapi Bun dan Meredith. Beruntung,
Meredith memiliki kemampuan meredam suara serta menahan atau membalikkan
serangan apapun, jadi meski sedang kesakitan, Bun aman selama bersamanya.
Tapi bukannya Bun diminta Radith
untuk memanggil Dyna? Kenapa sekarang mereka malah bertarung?
Bun tidak tahu alasannya. Lebih
tepatnya, ia tidak ingat. Tapi seperti Radith pernah bilang, dalam satu
kompetisi, semua kawan akan berubah jadi lawan seiring dengan berjalannya
waktu. Jadi ya sudahlah, Bun tidak ambil pusing lagi.
“Menyerahlah, bun~! Kalau tidak bisa
menembus boneka Meredith, kamu mau serang seperti apa juga percuma, bun!”
“Waaaii, Meledith dipuji cepupu
Bunny Bun, mom~! Meledith hebat ya, mom?”
Sementara itu, Dyna tampak
menjentik-jentikkan jarinya, entah sedang apa. Mungkin sedang mencari akal?
“Jangan meremehkanku, bocah. Tanpa
kemampuanku sekalipun aku sudah biasa bertarung. Tidak sepertimu yang meloncat
ke sana kemari seperti monyet tanpa pengalaman nyata.”
Dyna kemudian mengambil sebuah meja
panjang, seraya melemparkannya ke arah Meredith dan Bun. Meredith bersenandung
riang, dan sebuah boneka cahaya membentuk seekor gajah muncul, sigap menahan
lemparan Dyna.
“Enteng, mom~!”
Kemudian dua buah kursi melayang
dari belakang, meluncur ke arah Meredith dan Bun.
“Lho, sejak kapan, bun?”
Meredith dengan sigap mengarahkan
Gyado – sang boneka gajah – berputar ke arah datangnya kursi, kembali menahan
lemparan tersebut sambil terus bersenandung, layaknya tengah bermain-main.
Namun kemudian datang serangan
ketiga.
Kali ini sebuah rak buku.
“Enteng, mom~!”
Meredith tidak menyadarinya karena hanya
terfokus menahan apapun yang datang, tapi insting Bun merasakan kejanggalan.
Ke mana perginya sosok Dyna Might?
Sejak lemparan meja pertama, manusia
berambut ungu cerah itu seketika hilang dari pandangan mereka. Mereka memang
berada di tempat di mana rak-rak buku tersebar di mana-mana, jadi bisa saja
Dyna ini bersembunyi. Mungkin memang lemparan meja itu cuma distraksi. Tapi
lalu ada keganjilan berikutnya.
Bagaimana Dyna Might melempar dua benda berbeda dari dua arah?
Lemparan pertama adalah meja dari
depan. Setelah itu ia hilang dari pandangan. Kemudian sebuah kursi melayang
dari belakang. Dan sekarang sebuah rak buku hendak menimpa mereka dari depan.
Bagaimana caranya—
Ketika Bun sedang berpikir dan
Meredith melakukan tugasnya untuk melindungi Bun, mendadak seluruh buku yang ada di dalam rak tersebut bergerak sendiri,
melontarkan diri seperti rentetan peluru yang dilepaskan dari mulut senjata
api.
“Sepupu Meredith! Menghindar, bun!”
“Eh? Ah!”
Senandung Meredith berubah lirik,
dan boneka Gyado sang gajah berubah menjadi Kianun sang rusa. Dengan kecepatan
cahaya, Meredith dan Bun berpindah tempat dalam sekejap menuju lokasi yang
lebih aman.
“A, apa yang balu caja teljadi, mom?”
“Tidak tahu, bun. Tapi kelihatannya
dia punya bentuk kemampuan lain, bun!”
“Bingo.”
Meredith dan Bun menoleh.
Di belakang mereka, Dyna Might
berdiri dengan seringai lebar.
Mereka telah masuk perangkap Dyna.
Ternyata sejak awal ia memang mengarahkan mereka ke satu tempat kosong di mana
Dyna telah menunggu untuk melancarkan serangan kejutan!
“Waktu bermainnya habis, anak-anak~.
Dimulai dari kau dulu.”
“Kyaaaaaaaah?!”
Tangan Dyna segera mencengkeram
leher Meredith bagai ular melilit mangsa, mengangkat tubuhnya yang ringan dan
meronta-ronta tanpa daya.
“Sepupu Meredith!”
Bun bergerak hendak menghalau Dyna
dan menyelamatkan Meredith, tapi tendangan Dyna yang bersarang di wajah Bun
membuatnya langsung jatuh tersungkur.
“Guh... Kau... Lepaskan sepupu
Meredith, bun!”
“Nih.”
Dyna melempar tubuh berbalut pakaian
putih ke arah Bun, yang menimpa badannya yang belum sempat bangkit. Buru-buru
Bun membalikkan badan Meredith dengan panik.
“Meredith? Meredith tidak apa-apa,
bun? Meredith? Bertahanlah, bertahanlah, bun!”
Tidak ada napas. Tidak ada detak
jantung. Tidak ada nyawa.
Meredith mati. Begitu saja.
“MEEEEEEEREEEEDIIIIITHH!!!!”
Raungan Bun menggema ke seantero
menara perpustakaan. Bahkan Dyna sampai menutup sebelah telinga karenanya.
“Huh? Kenapa harus sok dramatis
begitu, sih? Kita ini kan di dunia digital, bukannya selama ada data tersimpan
kita bisa dihidupkan kembali kapan saja? Jangan-jangan kau belum tahu soal
ini?”
“KAU... BUN... BUN TIDAK AKAN
MEMAAFKANMU, BUN! BERANI-BERANINYA KAU MEMBUNUH SEPUPU MEREDITH, BUN! BUN
BENAR-BENAR MARAH SEKARANG, BUUUUUUUUUUUUN!!!!!”
Kenapa... Di saat ia merasa akan
menemukan sepupu Elle, bayarannya adalah nyawa sepupu Meredith?! Dunia ini
benar-benar tidak adil!
“Ah, benar juga. Sepupumu itu
asalnya dari luar tempat ini, ya. Entah mereka yang datanya tidak tersimpan di
sini masih bisa hidup lagi atau tidak, tapi yah, namanya mahluk hidup cepat
atau lambat pasti semua bakal mati juga, jadi—“
Sebuah tinju penuh luapan emosi dari
Bun bersarang di wajah cantik Dyna.
“—!?”
Atau tidak.
Ternyata tinju itu tertahan oleh
telapak tangan Dyna sebelum sampai mengenai wajahnya.
“Kau sebut ini tinju?”
Dyna menarik kepalan Bun, membuat
Bun tertarik maju ke arahnya, dan seketika sebuah tinju melesak ke wajah Bun.
Benar-benar terasa seperti wajah Bun dibuat melesak masuk ke dalam oleh tinju
tersebut.
Pukulan. Pukulan. Pukulan.
Satu-persatu tinju Dyna menghabisi
wajah Bun. Menghabisi dalam arti sebenarnya, karena tidak ada lagi sedikitpun bagian
dari wajah Bun yang selamat dari luka.
Pukulanpukulanpukulanpukulanpukulanpukulanpukulanpukulanpukulanpukulanpukulanpukulan.
Bun tidak punya tenaga untuk
melawan. Lapar bukan lagi satu-satunya alasan. Dari awal Dyna ini memang sama
sekali bukan tandingan yang sepadan bagi Bun.
Ketika Dyna akhirnya berhenti, wajah
Bun sudah tidak dapat dikenali lagi karena pukulan Dyna.
Bun telah berhenti merasa sakit. Yang
ada hanya kelelahan luar biasa, yang memaksanya untuk menutup mata.
Kenapa....kenapa orang sejahat ini
begitu kuat? Apakah orang ini benar-benar manusia?
Dalam satu hembusan napas, kesadaran
Bun berangsur-angsur menghilang.
Sebelum segalanya menjadi gelap
gulita, Bun masih sempat memikirkan bagaimana rasanya mati. Apa sepupu Elle
juga merasakan ini?
Dan terdengarlah sebuah suara
mengantar kepergiannya.
“Jangan dendam padaku, bocah. Lagipula,
ini semua cuma permainan. Harus siap kehilangan sesuatu kalau ingin mendapatkan
sesuatu. Kalau tidak bisa memaafkanku, salahkan saja takdir yang membawamu ke
sini. Sampai jumpa.”
-4-
“BUUUUUUUUUUUUUUUUNNNNNNNNNN!!”
Dyna menoleh. Lagi-lagi datang tamu
baru. Sama-sama bercahaya, pula.
Tapi tamu yang satu ini memang sudah
Dyna tunggu-tungu. Karena kehadirannya adalah pertanda babak akhir dari
pertandingan kali ini.
“Tangkap~!”
Dyna melempar tubuh Bun ke arah
sosok berzirah emas seperti abdi Athena itu – Vajra, yang mau tak mau menerima
tubuh Bun dengan susah payah sebelum menghantam tanah. Seperti halnya Bun pada
Meredith, Vajra pun segera menggoyang-goyang tubuh Bun yang tak sadarkan diri.
“Bun? Apa yang terjadi padamu? Bun?
Bicaralah padaku, saudaraku!”
Namun semua sudah terlambat.
Bun telah meregang nyawa. Indikator
HP yang hitam kosong di atas kepala Bun adalah buktinya.
Di dalam pelukan Vajra, tubuh Bun
perlahan terurai menjadi partikel-partikel cahaya.
Vajra tak bisa lagi menahan
airmatanya. Ia bangkit dengan kekokohan sebongkah karang, berdiri memasang pose
menantang, menatap Dyna garang, seraya berseru dengan lantang.
“Aku di sini untuk membalaskan
dendam Bun! Beraninya...beraninya kau menghabisi saudara seperjuanganku dengan
keji! Apapun yang terjadi, kau tidak akan pernah kumaafkan!”
‘Tidak akan memaafkan’, eh...
Dyna merasa deja vu. Teman satu tim ternyata tabiatnya pun jadi sama persis
juga, ya. Memang apa salah Dyna sampai perlu minta maaf pada mereka?
“Kau tidak lihat kerusakan yang kau
sendiri timbulkan di bawah sana? Belum lagi, biar kutebak, bocah itu datang ke
atas sini pasti arahan darimu. Kalau ini yang kau sebut menyelamatkan, kau
lebih cocok jadi penjahat daripada pahlawan, Tuan Topeng Tanggung.”
Sekarang Dyna malah menyiram minyak
pada api yang menyala.
“Diam! Aku tahu aku salah. Sejak
awal seharusnya aku tidak mengirimnya sendirian untuk menemui bajingan
sepertimu!”
“Oh? Kalau menurutmu aku adalah <Virus> dan bocah itu adalah <Data>, kenapa aku belum
dinyatakan menang? Dan kalau kau tahu soal itu, kenapa malah mengirimkannya
padaku? Sudah jelas disebutkan kalau atribut tertentu menjadi lebih kuat
bila melawan atribut lainnya.”
“Itu tidak lagi penting! Yang jelas,
aku akan menghabisimu di sini, sekarang juga!”
Dyna mengangkat sedikit topi fedoranya,
melemparkan sebuah senyuman mengejek pada Vajra.
“Hmph. Sudah kuduga, pria dengan rasa
kasar sepertimu sama sekali bukan tipeku.”
*****
2nd Chorus – Shouting All Your Attack Names Like An Idiot
-1-
“Panah Petir [PASOPATI]!”
Tanpa ba-bi-bu Vajra menembakkan
panah-panah petir ke arah Dyna. Penuh amarah, panah-panah petir itu melesat
seperti amukan ombak yang hendak melahap kapal yang malang.
Dyna menghindar dengan cantik, namun
serangan Vajra tidak kalah apik.
“Jaring Petir [DALANGKUSUMA]!”
Jaring-jaring muncul dari ujung jari
Vajra, ia ayunkan ke arah Dyna, namun sang sosok bertopi fedora berkelit
seperti cacing. Jaring Vajra tidak ada yang kena, padahal serangannya sudah
seperti bajir bandang.
“Aku heran, apa perlunya kau
meneriakkan nama jurus ke lawanmu?” tanya Dyna sambil terus menghindari
serangan-serangan Vajra. Sementara menjadi latar pertarungan mereka adalah prana
petir yang menyambar di mana-mana, menjatuhkan rak buku dan membuat seisi
perpustakaan mulai terbakar.
“Kau tidak mengerti?! Meneriakkan
nama jurus adalah cara untuk menyalurkan semangat ke dalam serangan, yang akan
membuatnya menjadi terasa lebih kuat berkali lipat!”
Meski mereka lawan yang sedang
bertaruh nyawa dengan penuh rasa dengki, ternyata Vajra masih meladeni obrolan
di tengah pertarungan begini. Benar-benar ciri pendekar sejati.
“Kedengarannya dungu,” komentar
Dyna, orang yang tidak pernah mengenyam bangku pendidikan sekolah. “Tapi biar
kucoba. Hmm, nama, nama... Attribution [SOLID SOUND]! STABSTABSTAB!! SLASHSLASHSLASH!! SMASHSMASHSMASH!!”
Uji coba Dyna membuat Vajra segera
mengejang kesakitan, jatuh ke lantai, lalu berguling ke belakang dan bangkit
kembali dengan murka.
“DYYYYNAAAAA
MIIIIIIGHHTT!!!”
Mendengar seruan sang zirah emas
dengan rambut hijau, Dyna membalas,
“RA....VA.......VARA....VANDARIA!!”
Yang hanya membuat Vajra semakin
geram.
“YANG BENAR ‘VAJRA’!
BERANI-BERANINYA MELUPAKAN NAMA LAWANMU! APA ITU SIKAP SEORANG PENDEKAR?”
“KITA MEMANG BELUM
PERNAH KENALAN, DAN AKU TIDAK TERTARIK PADAMU! AKU JUGA BUKAN PENDEKAR!”
Dua-duanya saling bersahutan,
kelihatannya terbawa suasana.
“TIDAK USAH BANYAK
BICARA LAGI! RASAKAN SERANGANKU INI, TINJU PETIR [BRAJAMUSTI]!”
“MANA SUDI? KAU
SAJA YANG MAKAN INI, AGGRESSION [SHOCK SHOT]!”
Tinju gelombang petir dan tinju
gelombang suara beradu di udara!
Bunyi yang membuat telinga tuli,
cahaya yang membuat mata buta, tersebar di mana-mana!
Jumlahnya sungguh tak bisa
dikira-kira!
Tralala, trilili, di sana dan di
sini, ledakan energi!
Sungguh medan perang yang membahana!
Adu tenaga menusuk sukma!
“CIATCIATCIATCIATCIATCIATCIATCIAT!!!”
“HEAHEAHEAHEAHEAHEAHEAHEAHEA!!!”
Lantai bergetar ingin melompat dari
tanah, langit-langit runtuh bagai awan menumpahkan hujan, dinding melepaskan
diri dari pondasi, semuanya tak kuasa menahan kekacauan yang lahir di panggung
kehancuran ini!
Rak-rak buku penuh lubang, buku-buku
terbang, pohon raksasa ikut bergoyang!
Ini benar-benar seperti....
BUMI GONJANG
GANJING!
-2-
Fenomena gempa bumi adalah keadaan
di mana bumi berguncang dengan hebat, menimbulkan kerusakan di atas permukaannya
akibat getaran yang abnormal sehingga memiliki daya rusak.
Bila diukur dengan skala Ritcher,
mungkin magnitud dari gempa yang baru saja terjadi mencapai 8 atau 9 skala
Ritcher. Gempa bumi dengan skala sebesar itu tentu saja mampu membuat bangunan
manapun porak poranda.
Tak terkecuali menara perpustakaan
di mana Dyna dan Vajra berada saat ini.
Keduanya berdiri di atas puing-puing
menara, hancur akibat adu kekuatan antara mereka berdua. Satu-satunya penanda
bahwa mereka masih berada di tempat yang sama adalah pohon raksasa yang masih
berdiri dengan gagah, walau telah kehilangan keindahan karena tidak memiliki
satupun daun sebagai penghias kepala pohon tersebut.
Sejatinya, gempa yang luar biasa
bukan hanya merusak bangunan yang berdiri di atas permukaan bumi, namun juga
dapat menelan korban jiwa hingga ribuan orang bila terjadi di daerah padat
penduduk. Dyna dan Vajra selamat dari bencana tersebut dengan luka minimal, memantapkan
fakta bahwa mereka berdua jelas sama sekali bukan
manusia biasa.
Entah bagaimana keduanya
menyelamatkan diri. Bila bencana alam saja tidak cukup untuk membunuh mereka, maka
mungkin masing-masing dari mereka sendiri memiliki potensi untuk saling
membunuh satu sama lain.
Di satu sisi, emosi Vajra belum juga
mereda. Kelihatannya perasaan yang membuncah dalam hatinya menjadi bahan baka
yang senantiasa membuatnya terus bergerak untuk menghabisi lawan di hadapannya.
Sementara itu, Dyna tampak lebih
tenang. Senyuman yang tak lepas dari wajahnya terasa seperti sebuah penghinaan
alih-alih keramahan, dan Vajra tidak bisa menerimanya dengan kepala dingin.
Keduanya tidak menunggu aba-aba.
Dalam pertarungan hidup dan mati, yang ada hanya membunuh atau dibunuh!
Vajra melesat secepat kilat,
menghujamkan sebuah tinju ke arah Dyna. Sang penjaga pintu kasino tak kuasa
mengelak – hantaman berkecepatan tinggi dari Vajra sukses membuatnya terlempar
jauh ke belakang. Namun Dyna segera melakukan salto ke belakang dan menambah
jarak di antara mereka berdua.
Dyna membuka kedua tangannya. Belum
sempat ia melakukan sesuatu, Vajra kembali hadir di depan wajahnya – kali ini
mau tak mau Dyna memasang posisi bertahan. Sayangnya, gempuran pukulan dan
tendangan Vajra tak bisa dibendung. Seperti halnya pertarungan fisik dengan Ronnie,
pada dasarnya Dyna mudah kesulitan bila dihadapkan dengan seseorang yang
menguasai sebuah cabang ilmu bela diri – karena ia yang tak pernah punya teknik
tidak akan bisa mengimbangi.
Vajra jelas di atas angin, dan dari
pengalaman pun Dyna tahu dia akan berakhir menjadi bulan-bulanan kalau tidak
bisa melancarkan serangan balasan. Meski tak bisa melihat indikator HP di atas
kepalanya sendiri, Dyna yakin garis hijau tersebut sudah berkurang setengahnya.
Apa akal?
Vajra masih memamerkan teknik pencak
silat yang baru-baru ini ia kuasai, bercampur dengan prana petir yang menambah
daya rusak serta kecepatan dalam setiap gerakannya. Dyna tidak terbiasa
bertahan atau menghindar, jadi untuk mengurangi kerusakan yang ia terima, Dyna
hanya bisa membalas. Pukulan dengan pukulan. Tendangan dengan tendangan. Makian
dengan makian.
“Mati kau! Mati kau! Mati kau!”
“Tuan Pahlawan seram sekali. Anak
kecil pasti menangis kalau melihatmu sekarang.”
Entah sejak kapan kedua tangan Dyna
dan Vajra kini saling bertautan. Yang terjadi adalah adu tenaga, saling mendorong
dengan mencengkeram tangan satu sama lain.
Kalau melihat postur tubuh, Vajra
yang kelebihan otot jelas tampak lebih unggul.
Tapi bukan Dyna namanya kalau tidak
melihat celah dalam keadaan ini. Ia bersiul, dan mendadak Vajra merasa
telinganya seperti tertusuk. Telinga adalah organ keseimbangan, dan begitu
keseimbangan Vajra goyah, Dyna segera memutar tangannya – membuat tubuh besar
Vajra terbanting ke tanah.
“Ugh! Dyna Might!”
Sebelum Vajra bangkit, Dyna
melepaskan sebuah tendangan ke perut Vajra seperti menendang bola sepak. Tubuh
Vajra terpelanting ke belakang. Sekali lagi, jarak tercipta.
Dan kali ini, Dyna melakukan sesuatu
yang tidak pernah dikira Vajra.
Ia bernyanyi.
Di tengah reruntuhan menara ini,
Dyna Might membawakan senandung tanpa lirik yang pasti. Hanya berbekal melodi,
namun apapun ‘lagu’ yang Dyna bawakan terdengar menyayat hati.
Vajra segera menutup telinganya
untuk berjaga-jaga. Apa ini salah satu bentuk serangan psikis seperti yang
sudah-sudah?
Tak mau terjebak, Vajra mengumpulkan
prana petirnya untuk sebuah jurus pamungkas. Kali ini ia akan memastikan kalau
Dyna Might habis tak bersisa, tidak bisa lari dari yang satu ini!
“Terima ini! NAGA PETIR [PANCANAKA]!”
Serangan Vajra telah dilepaskan.
Dengan aliran prana petir yang padat
dan berjumlah besar, sesosok naga kilat penuh keagungan mewujud, manifestasi
dari kemampuan topeng Pancanaka yang menghiasi wajah Vajra. Dengan raungan
halilintar, sang naga petir segera menyambar ke arah Dyna.
Dyna tidak bergeming. Berdiri di
tempat bagai mematung, Dyna tidak berhenti melantunkan lagunya.
Mendadak sesuatu menahan laju dari
naga petir Vajra.
“—!?”
Apa itu... Perisai dari gelombang suara?
Bukan. Yang sebenarnya menahan Naga
Petir [Pancanaka] adalah tembok dari puing-puing menara, namun Vajra tidak dapat
melihatnya dari tempat ia berdiri. Terburu-buru, ia mengalihkan arah sang naga
karena tidak mau naga petir yang memakan prana dalam jumlah besar itu hancur
bila dipaksakan beradu dengan apapun yang menahannya barusan.
Sementara itu, Vajra segera
mendapati Dyna – entah bagaimana – kini melayang di udara. Terbang tinggi di
atas bongkahan lantai, menuju puncak pohon raksasa.
Dyna dapat mengaplikasikan kemampuan
pengendalian suaranya dalam berbagai bentuk, Yang kali ini ia lakukan adalah
mengontrol benda-benda mati layaknya telekinesis, namun mengandalkan vibrasi
suara.
Hanya saja, ia tidak bisa
melakukannya sambil bergerak karena membutuhkan konsentrasi dalam mengontrol
apa yang hendak ia gerakkan. Alhasil ia tetap dalam keadaan diam selama
menggunakan kemampuan yang satu ini, membuatnya terbuka untuk diserang bila
tidak menjaga jarak, dan tidak pula bisa beralih ke kemampuan lain secara
tiba-tiba.
Naga Petir [Pancanaka] masih
berkelana di udara, belum kehilangan bentuk selama belum berhasil menghancurkan
target, Seperti halnya Dyna, Vajra tidak pula bergerak dari posisinya karena
sejatinya naga petir tersebut adalah peluru kendali, sehingga Vajra pun
memerlukan presisi untuk mengendalikannya supaya mengenai sasaran.
“Bagaimana kalau begini!”
Naga petir mengejar Dyna yang melayang
di udara. Namun meleset. Naga itu tidak mengenai Dyna maupun lantai tempatnya
berdiri, dan terus melesat ke langit.
Tidak. Bukan meleset.
Memang ini yang diincar oleh Vajra.
NAGA PETIR TURUN DARI LANGIT!
Prana petir Vajra ditelan oleh awan
hitam, menyebar menjadi kumpulan muatan listrik, dan pada gilirannya, turun
sebagai hujan petir.
“Hahahaha! Kali ini, kau pasti tidak
bisa meng—“
Dyna tidak berhenti bernyanyi.
Kali ini, pohon raksasa terlepas
dari tanah, melayang menuju ke tempat Dyna berada.
Dyna mengangkat satu tangan, dan
pohon itu bergerak bagaikan sebuah pedang yang mampu menebas gunung sekalipun.
Dyna mengayunkan tangan, dan pohon
raksasa menghalau segala bentuk petir yang menyambar.
“Ini tidak mungkin... Kau gila!”
Bahkan Vajra kehilangan kata-kata.
Hujan petirnya hampir berhenti, dan
seketika Dyna melempar pohon raksasa
itu ke arah Vajra, bagain menembakkan sebuah rudal.
“NAGA PETIR [PANCANAKA]!”
Tak mau kalah, Vajra kembali
mengerahkan prananya sekuat tenaga.
Naga petir dan pohon raksasa beradu.
“OOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOHHH!!!!!!!!!!!!!!!!”
Benturan hebat terjadi. Vajra
mengeluarkan semua prana yang tersisa, memberikan satu dorongan terakhir, dan—
“MAAAJUUUU!!”
Naga Petir [Pancanaka] menembus
tubuh pohon raksasa – membelahnya menjadi dua!
Berhasil!
Vajra menang dalam pertarungan ini!
Naga Petir [Pancanaka] terus melaju
lurus, mengincar lawan yang melepaskan pohon raksasa sebagai peluru.
Hanya saja, lawan yang berusaha ia
incar itu tidak lagi berada di udara.
Dyna telah berhenti bernyanyi, dan
kini membiarkan gravitasi menariknya kembali ke tanah.
Ketika Vajra sibuk mengendalikan
naga tersebut, ia tidak menyadari kalau bukan hanya hujan petir yang memenuhi
langit.
“—?!”
Beberapa bongkah bebatuan besar telah
melayang di atasnya tanpa ia sadari, dan kini berjatuhan menimpa sang Vajra
yang malang.
-3-
Vajra mengerjapkan matanya.
Kepalanya terasa berputar-putar. Ia
tidak ingat apa yang baru saja terjadi, tapi sekujur tubuhnya merasa luar biasa
nyeri.
Ketika mendapati keadaan dirinya
sendiri, Vajra bergidik ngeri.
Seluruh tangan dan kaki Vajra
terperangkap puing-puing raksasa dari reruntuhan menara, hanya menyisakan
bagian tubuh dan kepala yang masih dapat terlihat oleh matanya sendiri.
Vajra juga tidak bisa menggerakkan
badannya sama sekali. Tulangnya pasti patah, tak mampu menahan beban berlebih.
Ditambah lagi ia sudah kehabisan
tenaga.
Sementara itu Dyna Might, dengan
setelan putih yang kini lusuh karena penuh debu, datang menghampiri Vajra
sambil menepuk-nepuk topi fedoranya. Meski dia juga penuh dengan luka yang
membuat indikator HP di atasnya berubah menjadi garis pendek berwarna merah,
namun ia bisa berdiri tegak, tidak seperti Vajra yang kini terbaring tanpa
penjagaan.
“Kenapa... Kenapa kau tidak
kehabisan prana sepertiku?”
Dyna dan Vajra saling mengunci
tatapan mata masing-masing, sebelum kemudian Dyna mengerutkan alis.
“Prana? Bicara apa kau ini? ESP itu
sains, bukan sihir. Aku bertaruh dengan nyawa, bukan sekedar buang-buang
tenaga.”
“...apa maksudmu?”
“Kemampuanku adalah sesuatu yang
bersifat pretenatural, bukan supernatural. Ilmiah, bukan gaib. Kekuatan sejati
yang alami, bukan buah rekaan orang-orang penuh delusi dan fantasi. Sepertimu.”
Vajra tetap tidak mengerti.
“Tapi seharusnya atributku lebih
kuat darimu!”
Mendengar seruan itu, Dyna
menyeringai lebar.
“Hahaha. Jadi akhirnya kau mengakui
kalau kau adalah <Virus> yang
mengancam server ini? Sayang, kelihatannya atributku sudah berubah menjadi <Variable> sejak kalian sibuk
mengurusi monster virus di bawah tadi. Artinya, siapapun yang kulawan, aku lebih kuat daripada kalian.”
Terungkaplah sudah peran yang
dimainkan ketiga peserta sejak terperangkap di tempat ini.
Vajra adalah <Virus>. Keinginannya menimba ilmu membuatnya haus akan
kekuatan, dan akhirnya jatuh ke lubang yang sama dengan gurunya. Ini juga
menjelaskan mengapa virus tidak menganggapnya ancaman, dan mengapa tapa brata
Vajra malah menyerap mereka.
Bun adalah <Vaccine>. Sosok yang tidak akan dapat dilawan oleh virus dan
menjadi jangkar moral dari mereka semua. Selain itu, terbukti Bun mendapat
kekuatan lebih besar ketika menghadapi para virus yang membuat mereka tak
berkutik, seperti mode laparnya yang membabi-buta.
Dan Dyna adalah <Data>. Posisi netral namun istimewa yang membuatnya
terpanggil untuk menjaga keutuhan tempat ini sedari awal.
Pembagian peran acak yang sekilas
tidak bisa ditebak. Meski begitu, Dyna bisa menebaknya hanya dengan bertaruh
pada intuisi, karena ia yakin dewi fortuna selalu berpihak padanya.
Kebohongan Dyna soal perannya
sebagai <Virus> di awal bukan
hanya untuk mengelabui Bun yang memegang peran sebagai <Vaccine>, namun juga membuat Vajra mengira Bun adalah <Data>, membuatnya melindungi Bun
dari monster virus. Dyna juga tahu mereka berdua tidak akan tega menghabisi
satu sama lain, jadi setidaknya ia memanipulasi Vajra agar membantunya
menghabisi monster virus yang akan merepotkan bila harus ia tangani sendiri.
Meski Dyna tidak memperhitungkan soal sifat kepahlawanan Vajra, tapi toh semua
berjalan lancar sesuai rencana.
“Begitulah. Antara kau mati sebagai tokoh
pahlawan, atau hidup cukup lama untuk menjadi tokoh penjahat. Untuk kasusmu
saat ini, mungkin kau sudah jatuh ke kategori yang kedua.”
Vajra menggeram.
Dia? Jatuh ke dalam kategori manusia
busuk seperti gurunya?
Dia hanya ingin membalas dendam! Apa
salahnya menggunakan kekuatan yang dihadirkan untuknya? Justru Dyna inilah
penjahat yang sebenarnya!
“Omong kosong! Aku ini pembela
kebenaran! Kaulah...kaulah yang salah!“
Sang pesolek dengan topi fedora
berjalan dengan santai ke tempat Vajra terbaring tak berdaya.
“Aku yang salah, kau yang benar, eh?
Sayang, ‘benar-salah’ seseorang bukan warna yang kontras seperti hitam-putih. Dalam
pertarungan, tidak ada semboyan ‘kebenaran pasti menang’. Sebaliknya, yang
menang adalah kebenaran. Siapa yang menang, dialah yang benar. Kau pasti
tidak pernah dengar sejarah perang antar negara, ya. Anak zaman sekarang
belajar apa sih di sekolah? Atau mungkin di duniamu belum ada yang namanya
sekolah? Meski aku juga tidak pernah tahu bagaimana rasanya sekolah, sih.”
Setibanya Dyna di depan tubuh Vajra,
iapun membungkuk sehingga jarak wajah mereka berdua tidak lebih dari panjang
sebuah penggaris.
“Tidak mungkin! Kau ki—“
Tidak menunggu Vajra menyelesaikan
ucapannya, Dyna mengacungkan tangannya ke arah dahi Vajra seperti tengah
memegang sepucuk pistol.
“Sayonara. Silakan retry lagi lain kali kalau masih punya
nyawa.”
*BANG!*
-4-
Pertarungan telah usai.
Dyna melihat ke sekelilingnya.
Bangunan yang sebelumnya adalah menara, telah hancur lebur oleh pertarungan
dahsyat yang baru saja ia lalui. Adapun pohon raksasa yang terbelah dua
disambar naga petir Vajra, kini perlahan-lahan terurai menjadi cahaya yang naik
ke angkasa, kemudian jatuh dengan lembut ke tanah.
Di luar sana, tidak ada pemandangan
apa-apa.
Tempat Dyna berdiri saat ini – dan
di mana ia berada selama ini – adalah pusat data Alforea. Meski memiliki
visualisasi berupa struktur bangunan, bagian luarnya hanyalah kehampaan. Hanya
ada warna hitam, serta angka-angka 0 dan 1 yang berbaris seperti rantai
menghiasi kegelapan.
Dunia tanpa warna.
Sekarang Dyna mengerti kenapa sosok
bercahaya itu menitipkan ruh padanya.
Dyna mengeluarkan benih pemberian
[ ] dan menanamnya di tanah, di mana
pohon raksasa yang menjadi pusat perpustakaan ini seharusnya berdiri.
Dihujani oleh cahaya-cahaya penuh kehangatan,
benih itu tumbuh cepat menjadi sebuah tunas.
“Haha, kalau diingat lagi, dia
juga datang kepadaku tanpa nama, dan membawakanku warna dunia. Apa
karena kau menyimpan informasi semua peserta, kau sengaja memilihku yang telah
mengalami hal serupa?”
Senyum lebar Dyna menyusut.
Ia masih tersenyum.
Namun kali ini, senyuman menahan
pilu.
“Benar juga... Begitu rupanya.
Pantas aku merasa terpanggil olehmu dari awal. Kau benar-benar mirip dengan dia,”
ujar Dyna pada sang tunas cahaya tanpa nama. “Kau pasti kesepian ya selama ini,
sendirian di tempat sebesar ini, di tengah-tengah ketiadaan?”
Benar.
Sekalipun [ ] adalah inti dari dunia ini...
...dunia ini sendiri tidak pernah
melihat keberadaan dirinya.
Untuk apa kau ada, bila keberadaanmu
sama dengan ketiadaanmu?
Bagaimana orang dapat mengenalmu,
bila kau bahkan tidak punya sebuah nama untuk disebut?
Maka dari itulah, ia memerlukan
Dyna.
Sebagai saksi.
Bahwa ia ada di sini.
Dyna duduk bersila di dekat tunas
mungil yang tengah sibuk menanamkan akarnya ke dalam bumi, seraya memandangi
langit kosong bertabur cahaya-cahaya kecil seperti malam penuh bintang.
“Kalau begitu, biar kutemani kau
sedikit lebih lama lagi.”
Dan Dyna Might mulai bernyanyi.
*****
Outro
Ruangan itu gelap dan sesak.
Seharusnya ruangan itu tergolong cukup
luas, mampu menampung setidaknya puluhan orang di dalamnya. Namun ruangan itu
jelas tidak berfungsi untuk menerima tamu dan justru dipenuhi dengan berbagai
perangkat yang bisa membuat kepala pusing melihatnya.
Seluruh dinding di ruangan tersebut
adalah layar.
Terkecuali sebuah pintu yang
dilewati oleh Reinhard Snowfall dan Annie Versarie untuk memasuki ruangan ini.
Ke manapun mata memandang, layar yang menunjukkan keadaan seisi kasino State of
Smile terpampang di mana-mana. Bahkan termasuk lantai dan langit-langit, seolah
memerangkap penghuni ruangan tersebut dengan sempurna dan hanya mengizinkannya
melihat dunia luar dari dalam sini.
Penghuni ruangan itu sendiri tidak
keberatan. Toh memang ruangan ini didesain sedemikian rupa sebagai ruang
pengawas.
Sosok pendek berbadan bulat dengan
penanda nama ‘Guguru Metasearch’ tersemat di dada menggerutu kepada dua tamu
tak diundang di hadapannya.
“Sudah berkali-kali kubilang, namaku
Guguru. Gu-gu-ru Me-ta-se-arch. Bukan Google!”
ujarnya sebal, melayang-layang di dalam ruangan seperti ikan berenang dalam
akuarium.
“Yah, terserah apa katamu, Google,” timpal Reinhard acuh tak acuh.
“Pokoknya tolong carikan ke mana Dyna pergi sekarang. Kau pasti tahu segalanya,
kan?”
“Aku tidak tahu segalanya,” kata
sang pria gempal membetulkan kacamata botol yang ia kenakan. “Aku hanya tahu
apa yang aku tahu. Dan aku tidak tahu ke mana Dyna pergi.”
“Mungkin ini bisa membantu?”
Dari tumpukan surat yang ia bawa,
Annie menyerahkan sepucuk surat kepada Guguru. Pria itu membacanya sekilas,
kemudian mendelik heran.
“Battle
of Realms?”
“Nama yang aneh memang. Apa nama
kasino saingan kita di kota seberang?”
Guguru menekan sebuah tombol dari
remote di tangan, memunculkan papan berisi lebih banyak tombol, dan dia mulai
mengetik. Dalam beberapa detik, sebagian layar di hadapan mereka bertiga
berubah tampilan, namun tidak mengubah raut wajah mereka yang heran.
“Tidak ada keterangan jelas di
undangannya. Aku juga tidak bisa menemukan Alforea itu nama tempat di belahan
bumi yang mana. Pencarianku punya nol hasil relevan.”
Baik Reinhard maupun Annie kembali
bertukar pandang. Bahkan Guguru yang biasanya serba tahu saja kali ini tidak
tahu. Berarti ini benar-benar sebuah kasus yang baru.
“Di kertas ini instruksinya tinggal
bilang ‘aku bersedia’ saja kalau mau pergi ke sana, sih. Jadi...”
“Kita susul saja?”
Kedua host rupawan itu melirik ke arah Guguru, meminta pendapat sang
mahaguru.
“Sebaiknya begitu. Kalau bos tahu,
bisa runyam masalahnya. Dyna kan bocah kesayangan si bos.”
*****
Skill Unlocked
>Animation ~ [Spirit Song]
Menggerakkan
benda-benda mati yang sedang dalam keadaan diam via vibrasi suara.
Limitasi : Hanya
dapat menggerakkan satu benda besar atau banyak benda kecil. Tidak bisa digunakan simultan dengan kemampuan
lain, dan Dyna harus bernyanyi dalam keadaan diam di tempat.
Bonus Track
>Accustomation ~ [Simple Stage]
http://wordcraft.shoutwiki.com/wiki/Our_Radio:Volume00_2
Oh well, apa juga kubilang, masing2 author kan berhak memodifikasi karakter2 lain menjadi OOC dan jadi dewa-to-dewa sesuai interpretasi masing2, kan? Dan di realita canon masing2 pula. Si Radith jadi lebih oraoraora dan sradak-sruduk tanpa banyak perhitungan dan gak hati2, gak kyk tipe biasanya yg rada taktikal, mungkin emang ngamuk krn Bun mati, which is okay tapi di canonku aku sadar itu gak bakal nguntungin jadi aku udah suppress itu dgn beri 1 misi baru -which is okay.
ReplyDeleteHanya satu hal yang saya amat sesalkan, sejak awal the fates dari tiap kontestan di sini has been sealed, dan somehow hanya Dyna saja yang diberitahukan tentang peran asli masing2 OC, jadi dia bisa menipu OC2 lain. Saya justru lihat pembagian peran spt ini lebih "adil" di entri R1 Puppet. Gpp sih Vajra jadi virus, dan gpp juga sih kalau keadaannya memang mendukung realita Dyna sejak awal. Meskipun kita memang belum tahu siapa si (tanpa nama) itu, tapi dia sepertinya mendukung teori siapa "musuh" atau "sekutu" yang sebenarnya.
Tapi, in all fairness, saya harus akui ini entri yg cukup menantang akal. So, ponten 9/10 dari Vajra.
Oya tambahan, pembagian perannya kan hasil RNG. Menurut saya bakal lebih logis kalau si Vajra serap semua virus dari yg lain krn marah, sehingga Dyna dpt vaksin dewa. Oh well, sedikit racauanku di pagi buta...
DeleteSaya minta maaf dulu sebelumnya - saya bikin Vajra gini karena terinspirasi dari entri yang udah" juga, sebenernya. Adapun soal Vajra jadi kurang taktikal, akhirnya saya juga ngikut aturan 'karena lebay jadi hiperbolik'
DeleteTerus soal bagi peran, Dyna ngga tahu peran masing". Dyna cuma nebak. Dan pembagian peran emang beneran acak, kalo mau dibilang cocok"an saya pribadi bilang lebih pas kalo dyna virus, vajra vaccine, dan bun data. Soal kenapa Dyna jadi anak emas - karena dia satu"nya yang sadar keberadaan [ ] karena ekolokasinya. Itu aja sih
Tapi syukurlah di balik kekurangannya entri ini masih bisa menghibur
Trims udah mampir~
This comment has been removed by the author.
DeleteFatanir - Po
ReplyDeletetema [ ] dan pohon database digambarkan dgn baik, bahkan [ ] menjadi karakter yang paling kusukai di entri ini. MaSam punya kemampuan mengolah supaya plot panitia punya eksekusi yg keren. Permainan identitas vaksin virus data juga bagus dan pas porsinya.
Paling minusnya serasa nggak ada tantangan buat Dyna. Terus Recovery Backupnya yg kukira bakal jadi foreshadowing plot jangka panjang, ternyata justru jadi plot pendek dimana pohon databasenya malah ancur gr2 Dyna sndiri, sehingga kesannya ko Dyna malah jadi penghancur, tapi karena dia chosen one dan udah dipilih sama [ ], jadinya ya tetep aja dia tetep dapet peran guardian.
Entry ini sangat anime-esque buatku, terutama tentang perpustakaan dan pohon yg entah kenapa ngingetin aku sama No Game No Life. Atmosfir melankolisnya keren dan berkesan fantasi tapi slice-of-life, terutama di bagian tentang menjadi saksi.
Nilai dariku 8/10
Ini kebiasaan lama dari dulu mainin Hideya ataupun CC - saya ga gitu seneng ngasih pinch buat oc sendiri kalo masih di ronde" awal. Soalnya kalo udah susah duluan, threshold buat hurdlenya jadi makin tinggi. Mungkin pertengahan atau masuk ronde turnamen baru bakal saya bikin Dyna nemuin kesulitan yang lebih berarti
DeleteKata siapa jangka pendek? Kalo boleh dibilang di BoR kita udah kebiasa buat nge-wrap up cerita dalam tiap entri kayak anime episodik, tapi bukan berarti apa yang terjadi di episode ini sesuatu yang ga bisa dipake buat episode" selanjutnya kan? Seperti halnya anime, orang yang ngerencanain satu seri ga bisa cuma buat episode - tapi bikin sekumpulan episode dalem satu season jadi sesuatu yang utuh buat 1cour >_<
Trims udah mampir~
Tes
ReplyDeleteHrm... orang-orang di dunia Dyna bertanya pada mbah Google yang ternyata bernama Guguru.
ReplyDeleteAwalnya saya mau bilang kalau Dyna yang menunjukan elemen virusnya di awal terlalu cepat dan kurang berliku, tapi ternyata dia ada penjelasannya sendiri di bawah.
Dyna ini berhasil mempertahankan sifat "Neither"-nya. Dia tidak berperasaan, tapi tidak jahat. Dia Egois, tapi berpikir Logis. dan beberapa sifat yang berada di tengah-tengah.
Cerita disertai joke yang meski tidak membuat terpingkal-pingkal, tapi cocok dalam kondisi battle & mengejutkan pada beberapa poin. Entah kenapa, saya kurang merasakan sifat si [ ] meski dia adalah karakter penting dalam cerita.
Nilai : 9
OC : Renggo Sina.
Yeey Dyna sukses jadi karakter netral
DeleteSoal [ ] saya emang ga bikin dia punya karakter karena dia emang ga punya pribadi, jadi perannya di sini lebih ke sekedar plot device aja
Trims udah mampir~
[Radith – atau karena sudah alih rupa kita sebut saja sebagai Vajra – ]
ReplyDelete["Dyna Might! Penjaga pintu kasino State of Smile, merangkap tukang pukul kasino tersebut, memiliki kemampuan pengendalian suara, perayu handal yang tidak diketahui jenis kelaminnya pria atau wanita dan tidak membedakan targetnya selama berparas indah dipandang!"]
[“Prana? Bicara apa kau ini? ESP itu sains, bukan sihir. Aku bertaruh dengan nyawa, bukan sekedar buang-buang tenaga.”]
Saya ngekeh baca tiga isi cerita ini, komplaint di entry asli Vajra 'dilancarkan' flawless di sini like a boss.
Battle-nya si Bun amaziiing~ Jadi vaccum cleaner gitu yak, wkwkwkwkwk
Dan anjrooot, itu perang urat saraf-nya... bener-bener perang urat sarap yaaaa, sampe-sampe capslock jebol.
wkwkwkwkwk
XD
Anjrot, alih-alih intense. saya sukses dibuat ngakak di bagian battle itu. Asli kocak, wkwkwkwkwkwk
XD
Dan saya merasa Dyna ini kayak superior being ya... dihadapkan sama situasi apapun, dia tetep bisa tenang dengan ukiran senyum di wajah.
Seperti biasa, saya selalu terkesima sama eksekusi plotmu yang senantiasa apik terjaga. spotlight tiap OC pas, dikasih porsi serta penjabaran yang dalam.
Last but not least....
Kelamin Dyna masih jadi misteri ya..
=_=a
Point : 9
OC : Sanelia Nur Fiani
Saya cuma contek gaya Vajra dari entri aslinya aja...dengan sedikit bumbu hiperbola
DeleteDyna manusia biasa kok. Tapi orang yang bisa tersenyum dalam keadaan apapun memang mengerikan
Jenis kelamin Dyna paling 1-2 ronde ke depan udah bakal direveal
Trims udah mampir~
Ini sebenernya bisa dapet full points dari saya, tapi sayangnya... I'll get there, but first,
ReplyDeleteIni in-depth tiap karakter bagus (no, actually it was fckn' awesome), meski gak sepenuhnya akurat (karena hanya penciptanya masing2 yang mampu). Sepertinya saya juga harus coba selingi entry sendiri dengan PoV3...
Battle-nya jelas dan seru, walau taktiknya Dyna terasa agak dipaksakan. Saya bilang dipaksakan karena menilai dari karakteristik Bun dan Vajra, taktik Dyna sebenarnya punya kemungkinan berhasil kurang dari 40%. Yea, Vajra mungkin masih bisa terbaca, but that little dude was too damn random.
Anyway, again, what the heck with those font size changes? I stopped there, jaw dropped for 15 minutes for Heaven's sake... it's somewhat disturbing.
Poin 9
Zoelkarnaen
OC: Caitlin Alsace
Hehe, ngolah karakter orang jadi kayak karakter punya sendiri emang udah kegemaran saya dari dulu
DeleteWalaupun taruhan Dyna (ya, ini tema yang udah saya singgubg dari awal entri) kemungkinannya kecil, tapi jangan lupa kalau Dyna itu punya incredible luck (refer ke hint di entri sebelumnya). Jadi meski dibilang memaksakan, buat saya masih in-character
Soal font, yah core level kan emang didesain biar lebay. Ronde depan mungkin saya ada eksperimen di teks yang bisa bikin bang Zoel bisa lebih sebel dari ini
Trims udah mampir~
Eophi : Ng, Dyna? Langsung nilai 8.
ReplyDelete*Eophi tidur*
*Sebuah bantal in frame*
Milk : Hai, namaku Milk, shushu. Ya ampun, kamu ini cowo apa cewe, shushu? Intro dan Outro-nya kece, shushu. Ada pengenalan tentang State of Smile dan peran Dyna di sana, dan yang paling penting, bukan Google, shushu! Lol, terus ya seperti biasa ceritanya kebagi dengan pas banget, pas sambil denger lagu, shushu. Favorit ada di 1st Chorus sama 2nd Chorus, shushu! Dan, ya, Dyna sudah kerasa netral dari R1 kok, shushu.
"Bantal pergi*
*Guling in frame*
*Guling diseret keluar*
*Selimut in frame*
*Selimut keluar*
*Kasur in frame*
White : Perkenalkan saya White. Jika harus menyayangkan sesuatu, mungkin itu hanya tingkat kesulitan Dyna di R2 ini dan itupun sudah dibahas. Lagipula, bagi saya, Dyna cukup jelas terlihat di sini inner konfliknya--di luar pengambilan keputusan-keputusan ketika bertempur--yaitu menjadi sosok yang mengetahui keberadaan sang Anonim dan segala hal yang terjadi setelahnya. Mungkin itu saja. Terima kasih atas waktunya.
*Kasur pergi*
*Naga merah in frame*
*Naga merah keluar*
*Eophi bangun*
Eophi : K, Dyna, nilainya berubah dari 8 jadi 9.
Hoho, ada juga yang nyorot intro-outronya
DeleteMeski udah banyak yang bilang dyna netral, mungkin sifat itu bakal sedikit berkurang begitu backstorynya dijelasin
Trims udah mampir~
-Pembukaannya nggak panjang dan terasa efektif. Noice.
ReplyDelete-Penyajian setiap karakternya oke, walau kadang serasa agak ngerusak flow. LOL, sori, saya rada terlalu linear kadang.
-Sangat suka narasi pendek-pendek begini. Nggak detil maybe, tapi di bagian action kerasa cepat jadinya.
-Holy shit that battle in 2nd Chorus. Saya bukan tipe yang suka liat orang neriakin nama jurus di tengah-tengah pertarungan, tapi ini epique =)))
-Nice story. Battlenya juga disajikan cukup. Agak kecewa sih karena lebih ngarepin konflik segitiga, tapi nggak disajikan seperti itu. Dyna ngatasin lawannya juga terasa kurang drama.
Skor: 8/10
OC: Lady Steele
Narasi pendek" ini biar tempo berantemnya kerasa, yang mana menurut saya kalo kebanyakan detil malah kurang enak flownya
DeleteYes that battle in 2nd chorus. It's great to see that even you were shocked by it
Susah juga sih ngakalin konflik segitiga sementara dua pihak udah terlanjur bertemen dari sebelumnya
Trims udah mampir~
Yahallo~~
ReplyDeleteWell... saya mengharapkan tiga arah yang benar-benar tiga arah sih.
Dyna x Bun x Vajra.
tapi ini benar-benar terasa Bun > Dyna < Vajra
walau Dyna benar-benar dapat spotlight, somehow yah... saya benar-benar pengen tiga arah sih. tapi penjelasan mengenai strategi Dyna itu sudah sangat cukup jadi poin plus sendiri.
eksistensi k̶u̶u̶h̶a̶k̶u̶ [ ] bagi saya benar-benar memberi warna di sini. baik secara isi maupun tulisan. bagaimana karakter Dyna tergali melalui interaksinya dengannnya dalam bentuk narasi yang apik.
satu bagian ketika Dyna dan Vajra teriak-teriak yang buat saya ngakak. entah saya sepemikiran dengan kak sam atau enggak ketika nulis, tapi kalau apa yang saya pikirkan ini benar, saya bakalan tambah ngakak.
here you go~
Poin: 9
salam
Avius Solitarus
Jawaban saya senada sama buat king di atas : saya terlanjur ga kepikiran gimana nyiasatin dua sekawan itu di entri ini. Andai salah satu dari mereka diganti sama peserta lain, mungkin baru bisa lain ceritanya
DeletePemikiran apa nih yang kamu maksud?
Trims udah mampir~
Saya mampir ke avius juga deh