9.8.15

[ROUND 2 - LEVEL 1] AVIUS SOLITARUS - ALEA IACTA EST

"Kemana orang itu," Fatanir menggerutu. Matanya menelusuri seluruh sisi ruangan bar dengan pencahayaan minim itu. Hanya ada dua orang pria duduk di sudut ruangan dan berdiskusi serius dan sang bartender yang tengah mengelap gelas-gelasnya.

Denting kecil bel pada pintu bar mengalihkan perhatian Fatanir. Sesosok pemuda dengan jubah dan kepala yang tertutup oleh tudung  masuk dan berjalan perlahan ke arahnya.

Fatanir mendengus, namun senyum kecil tersungging di bibirnya.


***

Putih, kosong, hampa. Hanya satu kata yang cocok mendeskripsikan ruangan di mana Avius berada saat ini.

Ketiadaan

Sudah kali ketiga pemuda itu berada di tempat ini. Pertama adalah saat sebelum ia menjalani misi mengalahkan kuda raksasa di tengah gurun, kedua ketika ia mendapat pengarahan sebelum menjalani pertarungan di tengah badai plasmik berbahaya, dan ketiga adalah saat ini.

Avius meringis, seluruh tubuhnya masih terasa nyeri akibat pertarungan terakhirnya. Segera setelah pemuda itu melihat sosok Nobuhisa menghilang, ia sudah berada di tempat ini.

"A-i-us"

Perhatian pemuda itu segera teralih pada sosok hologram kabur seorang wanita dengan pakaian pelayan yang muncul secara tiba-tiba di hadapannya.

"Dia? Kenapa wujudmu seperti ini?"

 Avius mengenali wanita itu. Sosok yang memperkenalkan dirinya sebagai kepala pelayan istana dan memberikan petunjuk mengenai misi pertamanya.

"T-ak waa-tu me-la-kan. V-us be-a-ya."

"He-hei, apa yang kau katakan? Aku tidak tidak mengerti."

Dia menggelengkan kepalanya, "Ma-f sem-ga berhas-" sosok wanita itu menjadi semakin kabur sebelum akhirnya menghilang.

"He-hei tunggu dulu. Dia!" seru Avius. Namun ia sudah kembali sendirian di ruangan itu. "Apa yang sebenarnya terjadi..." gumamnya.

"Avius?"

Dengan cepat pemuda itu menoleh. Sosok pria dengan balutan jubah hitam dan tudung yang menutupi kepalanya muncul menggantikan sosok si wanita pelayan. Pria itu melepas tudung kepalanya dan tersenyum singkat pada Avius sebelum kembali menununjukkan ekspresi serius.

"Dengar, aku tidak memiliki waktu banyak. Sebelumnya aku minta maaf karena telah melibatkanmu kali ini. Aku tidak menyangka akan menjadi seperti ini. Tapi, aku percaya kau dapat melaluinya."

"Ha-ha? Apa yang anda maksud tuan?" Avius kebingungan.

"Tch." Dengan tergesa-gesa pria berjubah hitam itu merogoh bagian dalam jubahnya dan melempar kaleng minuman dengan label 'dry ginger' tertera di atasnya. "Minumlah, kau akan kembali pulih."

"Tunggu tuan, bisa tolong jelaskan padaku apa yang sebenarnya terjadi?"

Pria itu terlihat gelisah, "Maafkan aku Avius, aku tidak memiliki banyak waktu. Ada seseorang yang harus kutemui saat ini. Tapi, percayalah bila kau berhasil melalui ini semua, kau akan semakin dekat dengan apa yang kau cari." Ia mengenakan kembali tudung kepalanya  dan berujar pelan, "Aku benar-benar harus pergi sekarang. Sekali lagi, mohon maaf dan semoga berhasil."

Sosok pria itu lenyap begitu saja. Membuat Avius sekali lagi sendirian di ruangan tersebut. Walau tidak mendapat penjelasan apa-apa, pemuda itu sempat menggunakan Aeternal Litera, sihir telepati yang memungkinkannya mengetahui hasrat terbesar yang dimiliki seseorang.

Walau pada pertemuan sebelumnya dengan pria tersebut sihirnya tampak tidak bekerja, kali ini ia mendapatkan sesuatu. Pikiran pria itu terus menerus mengiangkan hal yang sama. Dua kata yang tiada henti terus berputar dalam pikirannya.

Revisi, wisuda, revisi, wisuda, revisi, wisuda.

Entah apa maksudnya Avius tidak tahu.

***

"Apa ini? apa yang sebenarnya terjadi?" Fatanir terbelalak menatap sosoknya yang terpantul di kaca besar sebuah gedung.

Bagaimana tidak, tubuhnya menciut dengan proporsi aneh sampai lebih kecil dari anak-anak di panti asuhannya terdahulu. Pemuda itu kembali memperhatikan dirinya dengan seksama. "Dan apa pula ini."

Sebuah garis merah panjang melayang di atas kepala Fatanir. Pemuda itu berusaha meraih garis tersebut dengan tangannya, hanya saja saat ini tangannya menjadi lebih kecil. Atau mungkin kepalanya yang menjadi lebih besar merupakan alasan yang paling tepat atas kegagalannya.

"Duh, aku kenapa ini..."

Fatanir berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi sebelumnya. Hal yang dapat ia ingat hanyalah ia berada di ruangan putih kosong dengan hologram gadis pelayan yang kabur. Kemudian ia sudah berada di tempat ini.

Tempat di mana pemuda kribo itu berada sama seperti kota-kota metropolitan pada umumnya di tempat ia berasal. Gedung-gedung besar terlihat menjulang dan ratusan orang berseliweran.

Entah bagaimana, seluruh orang yang berada di tempat itu memiliki wujud yang serupa. Baik pria ataupun wanita mengenakan setelan putih di bawah jas hitam mereka. Ditambah celana panjang atau rok dan dasi hitam.

Kulit putih mereka mengingatkan Fatanir pada penduduk negara di bagian utara. Hanya saja, kulit orang-orang ini tampak jauh lebih pucat dan tak satupun dari mereka yang mengacuhkan kehadiran Fatanir dengan wujud anehnya.

Pemuda kribo itu mulai berjalan menyusuri tempat tersebut. Toko-toko, kafe, restoran dipenuhi oleh orang-orang tersebut. Tampak saling mengobrol satu sama lain.

"Di mana ini sebenarnya," gerutunya.

Fatanir mencoba bertanya pada seorang pria yang berdiri bersender di dinding salah satu restoran. Namun, tidak peduli bagaimanapun cara pemuda kribo itu menarik perhatiannya, mulai dari colekan sampai pukulan, pria itu tetap tidak mengacuhkan Fatanir dan terus sibuk dengan telepon genggamnya.

"Aneh. Apa yang sebenarnya terjadi?"

Ketika si pemuda kribo berencana untuk meledakkan tempat tersebut dan melihat reaksi yang terjadi, matanya menangkap sosok tubuh mungil persis seperti dirinya keluar dari restoran tersebut.

Sosok itu menoleh dan terbelalak ketika ia melihat sosok Fatanir. Ia segera berlari mendekati si pemuda kribo. Kelegaan terpancar di wajah sosok mungil itu.

"Kau peserta juga kan?" tanyanya.

Fatanir memandang pemuda itu dengan curiga. Ia sedikit tertarik dengan kedua bola mata si pemuda yang berbeda warna.

"Ya, dan kau?"

"Avius, Avius solitarus. Peserta juga. Aku tiba-tiba berada di tempat ini tanpa pemberitahuan yang jelas. Apa kau mengetahui sesuatu?"

"Fatanir, panggil saja Fata. Dan tidak, aku juga tidak mendapat penjelasan apa-apa. Suara gadis pemandu sialan itu benar-benar rusak dan tidak dapat dimengerti."

Baru saja Fatanir memikirkan kemungkinan bahwa pemuda di hadapannya ini musuh, terdengar lengkingan nyaring. Seekor lipan hitam raksasa muncul dari sudut jalan. Lipan itu merayap memangsa setiap orang yang berada di dekat jalannya. Alih-alih cipratan darah, setiap orang yang diserang lipan itu tampak menjadi seperti hologram kabur sebelum akhirnya menghilang.

"A-apa itu? Ah-" Avius menarik tangan Fatanir dan membawanya berlari.

"Ayo lari, kujelaskan nanti," ujar Avius

Keduanya berlari beriringan di antara puluhan orang-orang berkulit pucat yang tidak acuh bagai tidak menyadari kehadiran mereka. Setelah beberapa saat dan memastikan keadaan aman, keduanya berhenti berlari dan mengatur nafas.

"Lipan itu muncul begitu saja di dekatku ketika aku baru tiba di tempat ini. Ia sempat mengejarku sebelum akhirnya aku bisa meloloskan diri. Aku melihat keaadan sekitar untuk mengetahui tempat apa ini sebenarnya sebelum bertemu denganmu," terang Avius.

"Bertarung melawan monster lagi seperti tugas pertama ya," ujar Fatanir.

Avius mengangkat bahu, "Mungkin..." balasnya. Ia kemudian menciptakan sebuah bola cahaya di tangannya yang perlahan-lahan berubah bentuk menjadi seekor elan. Elang itu terbang dari tangan Avius dan menghilang di kejauhan.

"Apa yang kau lakukan tadi?" tanya Fatanir Heran.

"Hewan sihir ciptaanku. Aku dapat melihat melalui mata mereka. Sudah kuperintahkan untuk mengikuti pergerakan lipan itu. Setidaknya dengan demikian kita bisa memantau dan menjauhi bahaya."

Fatanir mengangguk-angguk. "Sihir ya..." gumamnya. Ia kemudian teringat kembali dengan orang-orang yang ditemuinya sebelum ini, "Well... memang ini turnamen seperti itu sih..."

Keduanya kemudian bersama-sama menyusuri tempat tersebut dan melihat sekitar. Sampai, sebuah rumah kecil yang berdiri di tengah gedung-gedung besar menyita perhatian mereka.

"Mencurigakan..." gumam Avius.

"Yup, ini jelas mencurigakan," timpal Fatanir. Keduanya berjalan mendekati pintu depan rumah tersebut.

"Dikunci." Avius mencoba membuka pintu tersebut sementara Fatanir lebih tertarik pada tulisan yang tertera di atasnya.

"Database Control Room kah..." pemuda kribo itu kemudian memperhatikan gagang pintu yang dilengkapi dengan tombol-tombol angka dan sebuah monitor. "Permisi sebentar,"ujarnya pada Avius.

Penyihir muda itu melangkah mundur dan memperhatikan Fatanir yang mengutak-atik gagang pintu. Tidak yakin dengan apa yang pemuda kribo itu lakukan, Avius hendak bertanya namun mengurungkan niat ketika pintu itu terbuka beberapa saat kemudian.

"Sistem pertahanan macam apa ini. lemah sekali," umpat Fatanir. Ia memasuki rumah itu diikuti Avius di belakangnya.

Bagian dalam rumah itu hanya berisi sebuah sofa, dan tiga pintu dengan label yang berbeda.

"Toilet, Ruang peralatan, Control Room... AH! RUANG KONTROL!" Dengan semangat si pemuda kribo memasuki ruangan tersebut.

Ruangan itu berisi tiga buah rak besar yang penuh oleh map dan buku-buku, serta sebuah benda yang tidak dikenali Avius.

"Ini... komputer utama kah?" Fatanir mengaktifkan benda itu dan menoleh pada Avius.

"Sepertinya kita berada di database Alforea. Dan bila memang benar tempat ini pusat kontrolnya, kita dapat menemukan sesuatu yang dapat membantu kita. Bantu aku, kau cari di rak itu, aku cari di komputer."

Avius tidak terlalu mengerti apa yang pemuda kribo itu bicarakan, namun ia tetap menuju rak tersebut dan membuka satu persatu map dan buku yang ada di sana.

***

"Kau mendapatkan sesuatu?" tanya Avius.

Fatanir menggeleng. Namun jari jemarinya terus bergerak lincah di atas keyboard. "Sejauh ini belum. Hanya data pegawai istana dan denah kota serta istana. Bagaimana denganmu?"

"Entahlah, tidak ada yang benar-benar berarti menurutku. Hanya rekap laporan pengeluaran, pergantian dan perbaikan barang."

"Sial..." gerutu Fatanir, "Kalau ini benar-benar pusat kontrol dunia brengsek ini, harusnya ada sesuatu yang bisa menjelaskan semua ini."

"OI FATA!"

Konsentrasi Fatanir teralih, Avius tampak tengah membolak-balik halaman kumpulan file dalam sebuah map dengan cepat. "Ada apa?" serunya.

"Cepat kemari dan lihat ini," balas Avius tanpa mengalihkan pandangannya.

"Apaan sih."

Avius menyodorkan kumpulan file yang ia pegang, "Merasa tidak asing?"

"I-ini..." Fatanir terbelalak. Nama, identitas, kekuatan, bahkan masa lalunya tertulis lengkap di sana. Ia membuka lembar demi lembar file tersebut dan menemukan data-data orang yang tidak asing lagi baginya. "Data para peserta turnamen."

"Lihat bagian setelah data peserta," ujar Avius.

"Setelah data... setelah... ah, Setting dan lokasi pertempuran..." Fatanir menghela nafas, ia menutup file itu dan menyerahkannya kembali pada Avius. "Begitu rupanya. Tidak kusangka turnamen sehebat ini dapat disabotase juga."

"Kau yakin ini intervensi dan bukan kesalahan sistem?"

"Kalau sekedar kesalahan harusnya sudah diperbaiki dan tidak akan dilanjutkan. Kau lihat sendiri kan ronde kedua ditulis pertarungan satu lawan satu di arena?"

Avius mengangguk setuju. Sementara Fatanir kembali membuka-buka halaman kumpulan file berisi data turnamen tersebut. "Pasti ada cara untuk mengakhiri semua ini," gumamnya.

Plop

Fatanir tersentak. Secara reflek ia menoleh ke arah sumber suara dan menemukan Avius berdiri terpatung di depan komputer.

"Oi, apa yang kau lakukan?"

Penyihir itu menoleh pada Fatanir dengan jari menunjuk monitor, "Ta-tamon," ujarnya terbata-bata. "Yang mulia Tamon Ruu..."

Dengan sigap Fatanir berlari ke depan monitor. Sebuah kotak hitam muncul pada bagian kanan bawah monitor. Di atasnya terpampang gambar kecil seorang wanita yang pemuda itu kenal sebagai sang ratu dan tulisan

Tamon Ruu has invited you to play DOTO

Fatanir memandang Avius meminta pendapat yang dibalas pemuda itu dengan mengangkat bahu tanda tidak tahu apa-apa.

Plop

Sebuah tulisan muncul menggantikan tulisan sebelumnya.

Lu OL? Gw kira ikut ngurusin serper bareng si Nurma. Doto aja yuk.

Fatanir mengambil inisiatif meng-click kotak tersebut dan kolom percakapan muncul. Pemuda kribo itu mulai mengetik.

Mohon maaf yang mulia. Tetapi kami sedang sedikit sibuk di sini. Ada sedikit masalah teknis.

"Dan kirim," gumam Fatanir. "Kurasa DOTO ini semacam permainan komputer. Akan kucoba menggali informasi dari Ratu bodoh ini," tambahnya lagi.

Plop

Balasan Tamon Ruu muncul dengan segera.

Zzzzz

Sok sibuk lu.

Udah maen aja sini.

Begituan mah kan ada yunkhar beres.

"Yunkhar? Kau tahu itu apa Avius?"

Avius menggeleng. "Akan kucari di kumpulan file," ujarnya.

Sementara itu, Fatanir kembali mengetik balasan untuk sang Ratu.

Sekali lagi mohon maaf yang mulia. Tetapi ada monster yang mengamuk dan membantai para penduduk saat ini.

Pemuda itu membaca lagi isi pesan tersebut. "Kurasa tidak masalah memberitahukan apa yang sebenarnya terjadi. Dengan begitu ada kemungkinan dia mengambil tindakan dan ini semua akan segera berakhir," gumamnya.

Plop

Pesan balasan Tamon Ruu kembali muncul dengan cepat.

Hee? Yunkhar dibantai? Mereka enggak ngelawan gitu? Apa rusak?

"Yunkhar? Jadi Yunkhar adalah para penduduk itu? Apa maksudnya dengan melawan?"

Baru saja Fatanir meletakkan jarinya di atas keyboard, pesan Tamon Ruu kembali muncul sebelum pemuda itu sempat mengetik.

Yasudah deh, aku solo MMR aja. ROAD TO 1K! Doain ya!

Ciao, semangat! Semangat!

Tamon Ruu is now playing DOTO

"Dapat! Fata, kau harus lihat ini!" Seruan Avius mengalihkan perhatian Fatanir. Penyihir itu membawa sebuah map hijau dan meletakkan di meja sebelah komputer. "Arsip Yunkhar, ternyata ada."

Pemuda kribo itu memperhatikan dan membaca satu persatu kertas dalam map itu dengan seksama. Seakan menyadari sesuatu, ia kembali beralih pada komputer utama.

"Benar juga... Benar juga..."

Jari-jari Fatanir kembali menari lincah di atas keyboard. "Pantas aku tidak menyadarinya. Selama ini... padahal sesimpel ini..."

Avius menatap pemuda itu dengan sebelah alis terangkat. "Bisa tolong berbagi informasi?" pintanya.

"Yunkhar, para penduduk, mereka semua hanyalah program. Antivirus. Aku tidak sadar selama ini karena kukira mereka penduduk biasa dengan sikap yang aneh. Tidak terpikirkan olehku kalau mereka itu sebuah program. Karena itu aku tidak mengakses mekanisme kerja mereka."

"Err... ya. Oke."

"Dan lipan raksasa abnormal itu merupakan virus! Ya... ya...  kenapa ini tidak terpikir olehku!" Fatanir berjalan mondar-mandir seraya terus berbicara dengan berapi-api.

"Uh... huh ya..."

" Siapapun yang melakukan sabotase pada sistem Alforea, pasti bertujuan untuk menghancurkan data dunia ini. Karena akan lebih mudah melakukannya dengan menyerang database secara langsung!"

"O-oh... hebat..." balas Avius. Walau dalam hati ia bertanya-tanya apa yang pemuda itu bicarakan. "Ah ngomong-ngomong, kalau benar Yunkhar itu antivirus dan lipan itu virus, kenapa para Yunkhar membiarkan diri mereka dibantai oleh lipan itu?"

"Yang terpikirkan olehku sejauh ini, mereka mensabotase sistem para Yunkhar. Sehingga menganggap lipan itu bukan suatu ancaman. Demikian juga dengan kita. Seharusnya kita dianggap benda asing karena berada di tempat ini, tetapi para Yunkhar bersikap tak acuh."

Avius menghela nafas, "Itu berarti kita harus mengalahkan monster itu bukan? Punya rencana?"

"Andai saja aku mengetahui di makhluk sialan itu berada..."

"Tenang saja," ujar Avius. "Aku terus memantau mereka melalui mata Hawkes. Aku tahu dimana mereka," lanjutnya lagi

Kali ini, senyum lebar tersungging di bibir pemuda kribo itu. "Kalau begitu, aku punya satu, tapi gila. Dan kau harus jadi tumbal."

***

Seekor lipan raksasa melilit sebuah gedung besar di hadapan Avius. Ukurannya sudah jauh lebih besar dari ketika monster itu menyerang Avius dan Fatanir beberapa jam yang lalu.

Monster terakhir yang pemuda itu lihat memiliki tubuh sebesar ini adalah seekor kuda terselimuti api yang mengamuk di gurun pasir pada tugas pertamanya. Di bagian bawah gedung itu tampak lusinan lipan berukuran besar dan puluhan, atau mungkin ratusan telur-telur besar.

Beberapa orang Yunkhar berjalan begitu saja melewati tempat itu seakan tidak melihat apa-apa dan berakhir menjadi santapan makhluk-makhluk buas itu. Tubuh para Yunkhar yang diserang oleh lipan-lipan tersebut hilang begitu saja bagai hologram yang dinonaktifkan.

Sementara itu, Avius hanya bisa mengamati dari kejauhan. "Benar-benar mengerikan..." gumamnya.

Ya aku tahu. Tunggulah sebentar lagi dan kita bisa mulai rencana kita.

"Aku mengerti. Lakukanlah secepat mungkin," balas Avius. Ia mengelus pelan alat komunikasi yang terpasang di telinganya. "Aku tidak menyangka kau bisa menciptakan alat sihir semacam ini Fata," ujarnya.

Enak saja sihir. Ini sains! Teknologi! Tapi ya, kau tidak salah juga sih. Toh teknologi adalah sihir yang cara kerjanya dapat dijelaskan secara ilmiah.

Avius tertawa kecil. Ia mengarahkan senjata yang juga diberikan oleh Fatanir ke arah bangunan tersebut. Pemuda kribo itu mengatakan bahwa ia telah memasang alat bernama kamera pada senjata yang ia sebut pistol itu dan memungkinkannya melihat melalui alat tersebut. Sama seperti Avius dapat melihat melalui hewan sihirnya.

Penyihir muda itu menghela nafas dan memejamkan mata. Hawkes terbang di sekitar gedung itu, dan Avius menyaksikan dengan jelas melalui mata elang tersebut kengerian luar biasa dan bahaya besar yang akan segera terjadi.

***

Jari-jemari kecil Fatanir bergerak lincah di atas keyboard. "Hapus settingan lama, buat perintah baru, abaikan, ini tidak perlu... Ah mungkin untuk antisipasi kumasukkan saja." Pemuda itu bergumam-gumam sendiri. Ia kemudian menghubungkan komputer pusat tersebut pada laptop di sebelahnya dengan sebuah kabel.

Fatanir memperhatikan sesaat layar laptop yang menampilkan video seekor monster lipan tengah melilit sebuah gedung besar di kejauhan. Video itu agak sedikit bergoyang, yang mana pemuda kribo itu dapat maklumi karena sang cameraman adalah orang yang bahkan tidak tahu apa-apa mengenai benda yang ia pegang.

"Oi, Avius. Jangan terlalu banyak goyang," Tetapi pada akhirnya ia tetap protes.

Ah maaf.

Suara si penyihir muda terdengar dari alat komunikasi yang terpasang di telinga Fatanir. Alat yang pemuda kribo itu buat dari walkie-talkie dan earphone yang ia temukan di ruang peralatan. Fatanir juga memperkuat transmisi sinyal alat tersebut sehingga memungkinkan untuk melakukan komunikasi jarak jauh dengan lancar.

Selain alat komunikasi, Fatanir membuat beberapa peralatan lain menggunakan alat dan bahan yang dapat ia temukan dan memberikannya pada Avius.

Fatanir kembali beralih pada komputer dan melanjutkan pekerjaan atau apapun yang ia lakukan sebelumnya.

Oi Fata.

Suara Avius kembali masuk. "Ada apa?" tanya si pemuda kribo tanpa menghentikan pekerjaannya.

Kau tahu apa yang lebih mengerikan dari seekor lipan kolosal dan ratusan lipan besar  seukuran manusia?

"Apa maksudmu? Aku sedang sedikit sibuk di sini," balas Fatanir jengkel.

Walau demikian, Avius lanjut berbicara.

Seekor lipan kolosal dan ratusan lipan besar seukuran manusia.

Suara Avius terhenti. Fatanir mengangkat sebelah alis.

Dengan sayap.

Sontak Fatanir bangkit dan kembali fokus pada video di laptopnya. Ia melakukan zoom in pada kamera tersebut dan terbelalak melihat bagaimana sayap-sayap serangga tumbuh di bagian belakang lipan-lipan tersebut. Sebagian dari lipan besar seukuran manusia tampak melayang dengan sayap bergetar cepat.

"Sialan... ini benar-benar mimpi buruk," umpat Fatanir.

Fata, sebagian dari mereka mulai bergerak. Haruskah aku mengirim Hawkes mengikuti mereka? Atau tetap fokus pada target utama?

"Brengsek, aku masih belum selesai memprogram ulang para Yunkhar. Tetap amati-"

Lengkingan terdengar dari alat komunikasi yang terpasang di telinga pemuda kribo itu. Pada layar laptopnya ia menyaksikan bagaimana Lipan raksasa itu mempererat lilitannya pada gedung besar tersebut dan menghancurkannya.

Hei Fata, sekarang bagaimana?

"Halah, persetan lah. Daripada monster brengsek itu mulai berkeliaran. Operasi, dimulai."

***

"Oke!" Avius keluar dari tempat persembunyiannya dan berjalan menuju monster-monster itu  dengan senjata teracung.

Berhenti! Tunggu perintah dariku sebelum menarik pelatuknya. Akan kukunci dulu targetnya.

Sebagian monster itu menyadari kehadiran Avius. Tapi mereka tidak bergerak dari tempat mereka berada dan hanya tampak menghadap ke arah pemuda itu.

SEKARANG! TEMBAK!

Avius menarik nafas dalam, lalu menarik pelatuk pistol yang ia pegang. Sebulir peluru terlontar keluar dari pistol itu dan dengan kecepatan luar biasa tinggi meluncur ke arah si monster lipan.

Peluru khusus ciptaan Fatanir itu mampu mengunci target yang pemuda kribo itu kehendaki dan dikontrol melalui laptopnya. Bukan hanya itu, reaksi fusi nuklir mini dalam peluru itu terpacu ketika ditembakkan. Peluru itu meledak ketika mengenai si monster. Suara lengkingan kembali terdengar memenuhi kota itu.

Avius yang berada pada jarak aman yang sudah diperhitungkan oleh Fatanir memasang raut wajah serius, "Berhasilkah?" gumamnya.

Sebagian besar lipan seukuran manusia telah menghilang. Namun, sebagian lainnya kini tampak terbang ke arah pemuda itu.

Suara dengungan hebat tercipa dari getaran yang dilakukan oleh sayap-sayap serangga para lipan. Termasuk si lipan raksasa yang jelas memberikan kontribusi terbesar dalam hal ini.

AVIUS! GELANG! BOOSTER! BOOSTER! NYALAKAN BOOSTERNYA DAN BAWA MEREKA KEMARI!

Avius menekan tombol pada gelang yang ia kenakan. Suara denging mesin terdengar dari alat ciptaan Fatanir yang tertempel di punggung pemuda itu. Tubuh si penyihir terangkat beberapa senti dari tanah, ia kemudian mencondongkan tubuhnya ke depan dan meluncur maju dengan cepat.

"FATAAA!!! INI LUAR BIASA!!!" pekiknya.

***

Jari-jari kecil Fatanir bergerak menekan tombol-tombol keyboard jauh lebih cepat dari sebelumnya.

"Ayolah ayolah ayolah..." gumam pemuda kribo itu geram.

TENG

Tulisan Error besar muncul di layar komputer. Fatanir menggebrak meja, "BRENGSEK!" umpatnya.

"SIALAN..." Fatanir kembali mengumpat keras sebelum kembali fokus pada komputer di hadapannya.

Hei Fata,tenanglah. Apa yang terjadi?

"Mana bisa aku tenang bodoh! Kalau aku tidak segera menyelesaikan pemrograman para Yunkhar, kau juga akan mati!"

Tenang saja, kecepatan gerak mereka tidak ada bandingannya delat alat ciptaanmu ini.

"Kau kira berapa lama booster pendorong itu bisa bekerja hah? Dengan bahan-bahan yang ada daya pendorongnya hanya bisa bekerja maksimal lima menit. Karena itu menyuruhmu mengamati terlebih dahulu. Tidak kukira mereka bergerak secepat ini."

Sebersit pikiran muncul dalam kepala pemuda kribo itu. Mengapa ia mencemaskan nasib lawannya itu? Dirinya yang biasa harusnya tidak akan peduli, dan menganggap ini adalah suatu kesempatan untuk mengalahkan lawan. Tapi kenapa?

"Aaahhh persetan lah. Aku tidak peduli lagi!" Fatanir mengacak rambut kribonya.

Tenang saja, aku tidak akan mati.

Fatanir terkesiap. Suara Avius terdengar tenang dan mantap.

"Apa maksudmu? Kau punya kekuatan spesial yang belum kau tunjukkan begitu?"

Tidak, tapi aku percaya kau akan menyelesaikan apapun itu aku tidak mengerti dan tidak akan membiarkanku mati. Bukan begitu?

Sebuah perasaan aneh bergejolak dalam diri Fatanir. Avius bahkan tidak mengerti sama sekali apa yang pemuda kribo itu lakukan. Tapi ia mempercayai Fatanir sepenuhnya dan berani mengancam nyawanya sendiri untuk rencana yang ia buat.

"Aku tidak tahu kau itu sebenarnya benar-benar tolol atau sekedar naif."

Hei!

"Tapi..." Fatanir kembali menyunggingkan senyum. "Aku menyukai sisi itu darimu. Tenanglah, aku tidak akan membiarkanmu mati sobat."

***

Avius terbelalak. Di hadapan pemuda itu terbentang lapangan kosong luas dengan sebuah rumah kecil tampak di kejauhan. Bangungan-bangunan besar yang sebelumnya mengelilingi rumah itu hilang begitu saja. "Apa yang sebenarnya kau rencanakan Fata..." gumamnya.

Pada saat itu, denging mesin di punggung Avius berhenti dan ia kembali menapak di tanah.

"Sudah batasnya kah..." Avius menoleh dan menatap gerombolan lipan raksasa terbang ke arahnya seperti kumpulan awan hitam.

Penyihir itu berlari, namun tubuhnya yang mengecil membuat jangkauan langkah kakinya memendek dan mengakibatkan kecepatan larinya rendah walau ia berusaha sekuat tenaga.

Gerombolan lipan itu semakin mendekat, dan Avius menghela nafas. "Aku tidak dapat menahan mereka terlalu lama tapi, setelah ini kuserahkan semuanya padamu."

Tidak terdengar jawaban dari Fatanir. Penyihir muda itu menatap lurus dengan mantap pada gerombolan lipan yang kini tinggal berjarak beberapa ratus meter darinya.

"Tidak akan kubiarkan kalian mengganggu dan mengacaukan rencana kami. Sudah cukup masalah yang kalian timbulkan."

Avius memejamkan mata, ia kemudian mengangkat kedua tangannya ke arah gerombolan lipan yang mulai mendekat, "Consilio et animis... Constantia et virtute... Vis.. PRAE-"

Kata-kata pemuda itu terhenti. Tiga buah rudal melintas di atas kepalanya, menghantam gerombolan lipan itu dan menciptakan ledakan besar.

"A-apa yang..."

Di tengah kebingungannya, sebuah helikopter mendarat di dekat pemuda itu dan Fatanir melompat keluar dari dalam, "Yo, kurasa aku tepat waktu." Tubuh pemuda kribo itu telah kembali ke wujud asalnya.

"Fata? Apa yang sebenarnya terjadi? Apa yang kau lakukan? Wujudmu sudah kembali normal?"

Fatanir menarik tangan Avius, "Tidak ada waktu menjelaskan. Ayo cepat naik, kita harus segera menyingkir agar tidak menghalangi para Yunkhar menghabisi makhluk itu."

Helikopter itu kembali terbang dan Avius berteriak-teriak kegirangan, "Ki-kita terbang? Sihir apa ini? kau benar-benar hebat Fata!"

"Sudah kubilang ini teknologi, bukan sihir. Tapi ya sudahlah."

"Kau harus menjelaskan semua benda-benda hebat ini padaku," seru Avius. Ia melihat keluar melalui jendela helikopter itu dengan bersemangat.

"Akan kuajari kau cara menerbangkan benda ini nanti," balas Fatanir. Ia mendaratkan helikopter itu di atap sebuah gedung terdekat.  Kedua pemuda itu melompat keluar.

"Kurasa kau akan memerlukan ini." Fatanir membuka laptopnya dan tampak mengetikkan sesuatu menggunakan satu tangan sementara tangan lainnya memegang laptop itu.

Cahaya menyelimuti tubuh Avius. Hal yang berikutnya terjadi, tubuh pemuda itu sudah kembali normal.

"Wo-wow," gumam Avius kagum. "Terima kasih," lanjutnya lagi.

"Begitu aku berhasil mengetahui bagaimana sistem virus ini bekerja, aku mampu memprogram ulang para Yunkhar agar mengenali dan melawan virus brengsek ini. Sekaligus melepas infeksi yang terjadi pada tubuh kita dan mengembalikannya ke bentuk normal," terang Fatanir.

Kedua pemuda itu kemudian memperhatikan bagaimana para Yunkhar menghujani gerombolan lipan tersebut dengan ledakan. Belasan Tank bermunculan, diikuti pesawat-pesawat jet yang menyerang tanpa henti.

"Tidak kusangka sistem keamanan para Yunkhar itu sehebat ini," gumam Fatanir. Ia menoleh ke arah Avius yang tengah memejamkan mata. Dari apa yang penyihir itu telah lakukan sebelumnya, Fatanir menyimpulkan ia tengah melihat apa yang terjadi melalui hewan sihir ciptaannya.

"Li-lipan lipan itu, mereka tampak tidak terlukan walau diserang dengan sihir sehebat itu."

"Teknologi," koreksi Fatanir. "Yah wajar sih, lipan itu diprogram bukan hanya untuk menghancurkan database ini, tapi juga para sistem keamanannya, Yunkhar. Makanya sistem perlindungan mereka tidak berefek optimal. Lipan itu memiliki kekebalan khusus terhadap para Yunkhar."

"Lalu? Bagaimana? Apa kita gagal?" Avius memandang cemas pada Fatanir sementara pemuda kribo itu tersenyum.

"Tidak, ini cuma bentuk pertahanan otomatis yang dilakukan Yunkhar tanpa aku intervensi sama sekali. Aku sudah tahu ini akan terjadi. Memprogram ulang para Yunkhar untuk mengenali virus itu tidak akan menyelesaikan masalah. Karena itu..." Fatanir melemparkan sebuah kotak hitam dengan tombol merah di atasnya pada Avius. "Aku menciptakan program khusus yang akan melenyapkan makhluk brengsek itu selamanya."

Fatanir menepuk pundak Avius, "Terima kasih, berkatmu aku berhasil memprogram ini sekaligus menciptakan sebuah tempat kosong seluas ini agar tidak ada kerusakan tambahan yang tidak diperlukan. Sebagai rasa terima kasih, aku akan membiarkanmu melakukan eksekusi akhir. Nah, tekanlah tombol itu, dan ledakkan makhluk brengsek itu sampai tak bersisa."

"Eh tunggu. Para Yunkhar itu masih berada di sana. Mereka akan terkena juga."

"Bukan masalah," Fatanir menggeleng. "Efeknya hanya akan terjadi pada lipan-lipan itu. Ini sebagai tanda terima kasih pada siapapun yang berani menginfeksiku dengan virus brengsek ini tanpa sepengetahuanku. Mereka kira mereka hebat, lihat saja bagaimana aku menghancurkan rongsokan ciptaan mereka sampai tak bersisa. Nah, lakukan! Avius!"

Avius menekan tombol merah pada kotak hitam tersebut. Sebuah rudal berukuran besar terbang melintas di atas mereka beberapa saat kemudian, tepat menuju gerombolan lipan tersebut.

"Nah, kurasa sebaiknya kita menghadap ke arah sana," Fatanir menunjuk ke arah yang berlawanan dengan gerombolan lipan tersebut berada.

"Eh? Apa berbahaya bagi kita melihat apa yang terjadi?" Avius dengan cepat berbalik dan menghadap ke arah yang ditunjuk si pemuda kribo.

"Tidak juga..." Fatanir memasukkan tangannya pada saku celana dan mendengus, "Di film yang kulihat, para jagoan yang melawan monster-monster raksasa selalu membelakangi musuhnya ketika mereka meldak. Dan itu sangat keren."

***

Sekali lagi, Avius berada di ruangan putih kosong itu lagi. Fatanir berdiri di sebelahnya menggaruk-garuk dagu.

Dua sosok perempuan berpakaian pelayan muncul begitu saja dan membungkuk pada mereka berdua. Salah seorang dari mereka Avius kenali sebagai Dia, kepala pelayan istana.

"Saya Dia, kepala pelayan istana. Dan ini Medea. Terima kasih karena telah membantu kekacauan program yang terjadi. Kami mohon maaf atas ketidaknyamanannya. Tuan Nurma mengatakan ingin menemui kalian dan menyampaikan rasa terima kasihnya secara langsung."

"Oh Medea kita ketemu lagi. Duh gimana sih, sama virus macam ini aja server kacau balau. Idiot banget," ejek Fatanir yang kemudian menerima pukulan di kepalanya.

"Kau mengenalnya?" tanya Avius pada Fatanir yang memegangi tempat di mana ia menerima pukulan.

"Saya adalah pelayan yang bertanggung jawab atas tugas pertama tuan-kribo-brengsek ini tuan Avius. Mohon maaf atas ketidak sopanan sebelumnya," ujar Medea yang kemudian membungkuk pada Avius.

"Hei! Kenapa kau cuma sopan pada Avius?" protes Fatanir. Tapi gadis pelayan itu tidak mengacuhkannya.

"Mohon maaf mengganggu, tapi ada hal penting yang harus saya sampaikan." Dia angkat bicara. Ia menatap Avius dan Fatanir bergantian dengan serius. "Walau terjadi gangguan sistem, ronde kedua turnamen tetap berjalan. Dan dari apa yang saya lihat, health bar kalian sama-sama penuh tanpa berkurang sedikit pun."

Dia menunjuk garis merah di atas kepala Avius dan Fatanir bergantian. "Kami ditugaskan untuk langsung menjemput para peserta segera setelah server kembali normal. Lalu memutuskan pemenang ronde kedua berdasarkan siapa yang memiliki health bar terbanyak."

"Jadi kita berdua sama-sama dianggap menang nih?" tanya Fatanir.

Gadis pelayan itu menggeleng, "Mohon maaf, tapi kami harus mendapatkan satu pemenang saja. Dan mau tidak mau kalian harus memperebutkannya. Sebagai bentuk pertanggung jawaban, kami mempersilahkan kalian menentukan tempat pertarungan kalian. Tinggal sebut saja, dan kami akan berusaha memenuhinya sebaik mungkin."

Avius menoleh ke arah Fatanir yang tampak berpikir. Pemuda kribo itu kemudian menjentikkan jarinya.

"Bolehkan aku yang menentukan tempat pertarungan? Tenang saja, tempat ini tidak akan menguntungkan atau merugikan salah satu pihak," ujar Fatanir.

Penyihir itu mengiyakan dengan anggukan, "Tetapi, apa kita benar-benar harus bertarung?"

"Aku merasa ada hal penting yang akan kudapat bila bertarung denganmu. Apa kau keberatan?"

Kali ini Avius menggeleng, "Aku harap aku mendapatkan sesuatu juga dari pertarungan kita. Jadi, ayo lakukan!" serunya mantap.

Fatanir tersenyum, ia berjalan mendekati Dia dan berbicara pada gadis itu dengan suara pelan.

***

Latar putih kosong berganti menjadi langit kemerahan. Avius mendapati dirinya di tepi sebuah sungai jernih, Fatanir berdiri di hadapannya. Sementara di kejauhan, kedua gadis pelayan itu tampak mengamati.

"Tempat apa yang kribo brengs- maksudku tuan Fatanir minta?" tanya Medea.

"Hmmm..." Dia meletakkan tangannya di depan mulut dan tampak berpikir sebelum menjawab, "Tepi sungai di kala senja. Seperti tempat di mana dua sahabat saling bertarung satu sama lain untuk mempererat persahabatan mereka."

"He?" Medea menganggak sebelah alis.

"Aku juga tidak begitu mengerti. Tapi ia tidak protes. Kurasa sudah tepat. Ya... sekarang kita tinggal saksikan saja."

Sementara itu, Avius masih memperhatikan sekelilingnya, "Ini di mana?" tanya pemuda itu.

Fatanir mengangkat bahunya, "Entahlah, tapi tempat ini sempurna. Dan sekarang, ayo kita selesaikan ini semua secara jantan."

"Maksudnya?"

Pemuda kribo itu menunjuk Avius, lalu dirinya sendiri. "Kau, aku. Tanpa kekuatan super, senjata, sihir, teknologi, sains, atau apapun itu."

Biasanya Fatanir membenci hal-hal seperti ini, apalagi bila ia bertarung tanpa menggunakan keuntungan yang ia miliki. Terlebih keadaan konyol layaknya film yang ia lihat. Tapi, untuk kali ini entah mengapa ia merasa sangat ingin melakukan hal-hal semacam ini dengan pemuda di hadapannya.

"Mungkin setelah ini aku akan mendapatkan jawabannya," gumam Fatanir.

Avius melepas jubah yang ia kenakan. Penyihir muda itu mengepalkan tangannya dan berseru mantap, "Ayo. Kita lakukan!"

Fatanir tersenyum, tanpa menunggu lama ia berlari menerjang Avius dan melayangkan tinjunya yang pemuda itu hindari dengan mudah. Pukulan balasan yang langsung dilayangkan Avius terlambat disadari oleh si pemuda kribo dan dengan telak mengenai wajahnya.

Tapi Fatanir tidak tinggal diam. Ia menyarangkan tendangan di perut lawannya itu. Membuat keduanya mundur beberapa meter dan saling menjaga jarak. Garis merah di atas kepala mereka sedikit memendek.

"Cuma begitu?" ejek Fatanir.

Avius mendengus, kali ini ia yang maju dan langsung menendang Fatanir. Pemuda kribo itu menahan tendangan Avius dengan menyilangkan kedua lengannya. Belum sempat memberikan serangan balasan, pukulan Avius kembali bersang di wajah Fatanir yang lengah.

Fatanir dengan cepat mencengkran bahu Avius dan mengadukan dahinya dengan dahi si penyihir. Membuat lawannya itu terhuyung selama beberapa saat. Ia tidak menyia-nyiakan kesempatan ini dan kembali menyerang perut Avius menggunakan lututnya.

Secara paksa, Avius bangkit seraya melayangkan pukulan ke atas di bawah dagu Fatanir. Pemuda itu kemudian melompat mundur sambil memegangi perutnya.

"Sialan," Fatanir jatuh terduduk dan mengumpat.

"Jadi cuma segitu?" ujar Avius.

"Brengsek, sengaja ngebales ya."

Avius nyengir. Sementara Fatanir kembali berdiri dan menghela nafas. "Hei Avius. Sebenarnya aku penasaran, apa yang kau inginkan dari hadiah turnamen ini? kau tahu kan? 'apapun'."

"Hmm...." Penyihir muda itu menggaruk dagunya. "Entahlah, aku belum memikirkannya."

"Lalu? Kenapa kau terus berjuang di turnamen?" Fatanir kembali berlari maju dan melayangkan pukulan yang ditahan Avius menggunakan telapak tangannya.

"Seseorang berkata padaku. Eits-" Avius mencengkram pergelangan tangan Fatanir yang satunya  dan menahan serangan lanjutan pemuda kribo itu. Selama beberapa saat, keduanya saling beradu tenaga satu sama lain. Kedua tangan Avius masing-masing berusaha terus mencengkram kedua tangan Fatanir sementara si pemuda kribo berusaha melepaskan diri.

"Kalau aku mengikuti turnamen ini, aku dapat menemukan apa yang kucari," lanjut Avius

"Alasan tolol macam apa itu," Fatanir berusaha menendang Avius dan memaksa ia melepaskan cengkraman tangannya. Keduanya kembali saling menjaga jarak satu sama lain. "Jadi? Apa yang sebenarnya kau cari?"

"Entahlah... aku juga tidak tahu," balas Avius sambil mengangkat bahunya.

"Ha?" Fatanir mengangkat sebelah alis. Namun, sebelum ia sempat menyuarakan protes dan umpatannya lagi, ia sendiri teringat akan sesuatu. Apa alasanku mengikuti turnamen ini?

Berkat e-mail aneh yang ia terima, ia berakhir di tempat ini dan terlibat pertarungan-pertarungan tak wajar dalam suatu turnamen aneh. Ia tidak suka kenyataan kalau ia kalah, karena itu ia terus bertarung dan memenangkan pertempuran demi pertempuran yang menghadang.

"Tapi aku yakin. Apabila aku terus berjuang, aku akan menemukan apa yang kucari. Apapun itu." Kata-kata Avius menyadarkan Fatanir dari lamunannya. "Kau sendiri, apa yang kau inginkan?"

"Benar juga..." gumam Fatanir. "Tujuan atau apapun itu adalah masalah nanti. Yang terpenting sekarang ini, aku tidak akan kalah. Terus menang! Itu yang terpenting."

Keduanya saling menerjang dan baku hantam satu sama lain. Tidak ada satupun dari mereka yang memiliki kemampuan bela diri. Keduanya bertarung berdasarkan insting dan mengerahkan seluruh tenaga yang mereka miliki.

Health bar di atas kepala Avius dan Fatanir terus memendek seiring dengan tendangan dan pukulan yang terus bersarang di tubuh mereka. Walau demikian, keduanya menyunggingkan senyum. Sebuah perasaan aneh menggantikan rasa sakit yang bersarang di tubuh mereka.

Ini menyenangkan!

BUAK

Secara bersamaan, pukulan Avius bersarang di wajah Fatanir dan demikian pula dengan pukulan pemuda kribo itu yang telak mengenai wajah si penyihir muda.

Fatanir roboh ke tanah sementara Avius berdiri sempoyongan. Dia muncul secara tiba-tiba di antara merka berdua.

"Pemenang ronde kedua Battle of Realms dalam pertempuran antara Fatanir dengan Avius Solitarus dimenangkan oleh Avius Solitarus."

Health bar Fatanir telah habis tak bersisa sementara setitik garis merah kecil tampak melayang di atas kepala Avius.

"Kalian akan diteleportasikan ke main hall dalam beberapa saat lagi. Terima kasih atas partisipasinya."

Dia kembali membungkuk hormat menghilang segera setelahnya. Sementara Avius langsung menghampiri Fatanir yang terbaring di tanah.

"Sialan, bisa-bisanya aku kalah denganmu," umpat Fatanir. Walau begitu, senyum masih tersungging di bibirnya. "Jangan kau kira bisa sombong. Lain kali aku yang akan mengalahkanmu."

"Lain kali kah..." Penyihir muda itu bergumam kecil. Ia mengarahkan kedua tangannya pada Fatanir.

"Hei, apa yang kau-" Kata-kata Fatanir terhenti. Sebuah perasaan aneh menyelimuti dirinya. perasaan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Walau demikian, entah mengapa ia merasa sangat nostalgik.

"Sihir pemulih, ini keahlianku. Tenanglah dulu untuk beberapa saat."

Fatanir menghela nafas, "Kurang ajar... aku benar-benar kalah." Pemuda kribo itu kemudian menutup mata dan membiarkan sensasi kehangatan yang menjalar di seluruh tubuhnya.

Di kejauhan, dua orang gadis berpakaian pelayan terus mengamati mereka.

"Mengapa kau tidak langsung bawa mereka ke main hall? Malah main-main dulu," protes Medea. Ia Mengarahkan tangan kanannya pada Avius dan Fatanir di kejauhan, "Akan kukirim mereka kembali sekarang juga."

Namun, Dia menepis tangan itu lembut dan menurunkannya perlahan. Gadis itu menggelengkan kepala, "Aku tidak bermain-main loh. Ada kalanya dimana kita harus memberikan sebuah toleransi terhadap beberapa hal bukan?" Ia tersenyum dan menatap ke arah Avius dan Fatanir. "Tidak akan ada hal buruk yang terjadi. Biarkanlah mereka menikmati waktu mereka sebentar lagi."

Medea terpana beberapa saat dan kembali mengamati kedua orang tersebut. Sampai senyuman di wajah Dia berubah menjadi seringai. "Dan lagi, aku jadi dapat banyak ide untuk dojin komiket musim dingin nanti huehuehue."

"Sudah kuduga, aku menyesal karena terpesona olehmu. Akan kukirim mereka kembali sekarang juga. Dan aku akan menulis laporan pada Hewanurma."

"O-oi... Medeaaa...."

***

Sosok pemuda itu membuka tudung yang menutupi kepalanya dan menunjukkan dua bola mata dengan warna yang berbeda.

"Kemana saja kau?"

Avius duduk di hadapan Fatanir dan mengangkat tangannya¸"Susu hangat gelas besar," ujarnya pada si bartender yang kemudian mengangguk. "Dia memintaku bertemu dengannya. Kau tahu kan, gadis pelayang yang kemarin."

"He? Apa yang kalian lakukan? Dia tertarik denganmu kah?"

"Sepertinya bukan, dia malah bertanya tentangmu. Bagaimana hubunganku dengamu, apa saja yang telah aku lakukan denganmu, apa yang akan aku lakukan apabila terkunci bersamamu di gudang, berdua di ruangan gelap, dan lain sebagainya. Untuk kepentingan penelitian katanya," terang Avius.

"Aneh sekali, berani benar meneliti tentangku. Penelitian macam apa yang dia lakukan?"

"Entahlah, aku tidak bertanya."

Seorang pelayan wanita datang dan meletakkan gelas besar berisi susu di hadapan Avius yang berbinar-binar. Penyihir muda itu menenggak isinya dengan cepat, "Ahh... susu hangat memang paling tepat setelah pekerjaan berat," ujarnya.

Fatanir memandang Avius heran, "Sebegitu enaknya kah?" tanya si pemuda kribo.

"Kau harus mencicipinya sendiri. Master, segelas lagi!" seru Avius pada si bartender.

Pesanan datang tak lama kemudian dan Fatanir menyisip gelas susunya, "Wah benar, enak!" serunya.

"Sudah kubilang kan? Oh ya, ngomong-ngomong kau sudah janji kan mau menceritakan mengenai alat-alat ciptaanmu? Ayo aku benar-benar ingin tahu."

"Haruskah? Malesin banget," balas Fatanir. Tapi, ia mulai bercerita pada si penyihir muda yang mendengarkan dengan penuh semangat.

Fatanir tidak mengerti, ia biasanya benci dengan orang-orang yang bertanya mengenai dirinya. Terlebih kemampuannya. Ia merasa mereka hanya peduli dengan kemampuan yang ia miliki dan berharap bisa menggunakannya untuk kepentingan mereka pribadi.

Sebagian orang yang mengetahui kemampuan Fatanir bahkan menganggap pemuda kribo itu memiliki kelainan mental. Karena itulah Fatanir sangat benci dengan mereka yang bertanya mengenai kemampuannya.

Namun, kali ini segalanya terasa berbeda. Berbincang-bincang dengan si penyihir muda terasa sangat menyenangkan bagi pemuda kribo itu.

Seperti inikah rasanya bertukar pikiran dengan seseorang yang memiliki ketertarikan yang sama? Pikir Fatanir dalam dirinya.

***


2 comments:

  1. Hmm, di entri ini juga akhirnya Avius sama Fata bahu-membahu ngurusin masalah Yunkhar ya. Ini ada cameo DP yang dikejar skripsi dan Tamon yang ngedoto mulu, ini nasib turnamen kok enteng bener ya

    Sebenernya dari awal saya ngeharepin ada semacem science vs magic dari dua karakter ini, tapi ternyata ga gitu diekspos ya. Adapun battle di ujung tonjok"an di tepi sungai....kedengerannya familiar sekali

    Btw, rasanya Fata agak terlalu formal dan kuran slengean di sini dibanding aslinya

    Dari saya 8

    [OC : Dyna Might]

    ReplyDelete
  2. Wogh, pada akhirnya Avious sama Fata jadi bestfriend ya~
    :D

    Btw, Tamon Ruu malah main doto, yassalam~

    ReplyDelete