9.8.15

[ROUND 2 - LEVEL 1] LO DMUN FAYLIM - TITISAN AKASH: KENANGAN


Sebelumnya….



"Apa sebenarnya yang terjadi, Reviss?"

"Menurutmu apa yang terjadi jika eksistensimu dihapus?"
 
---

"Lo Dmun,

"Namaku Raditya Damian, penyandang kekuatan dewata dan pemegang nama Satria Dalang, VAJRA! Perkenalkan!"

Bzzzzt!

Vajra menghilang.

---

"Whirrr, BIP! Teman kalian adalah korban alterasi, BIP!"

---

"Clara dan Adhy, ke mana mereka?"

"Nama Adhy dan Clara bahkan tidak ada dalam daftar peserta yang tidak lolos. Maksudmu apa? Rekan kita kan cuma Ying Go dan Kazuki."

---

"…titisan Akash tidak butuh teman!"






BAGIAN I – KAZUKI TSUKISHIRO



NGIIIING!!!!

"AAAAAAAAAAAGH!"

Lodun memegangi kepalanya, kesakitan. Belum habis rasa terkejutnya mendapati pemilik topeng itu ternyata perempuan, sekarang ia dikejutkan lagi oleh suara berdenging dalam kepalanya.

Dirinya masih di sana, di padang salju berangin. Wanita itu – kalau bukan Zhaahir – juga masih terbujur lemah, beralas putih. Mereka yang seharusnya menghilang dari Los Soleil, belum juga beranjak dari titik itu.

"Ada apa, Faylim?" tanya Opi, suaranya muncul dari sebuah pipa yang melayang.

Lodun menoleh, matanya sayu. Tampak peluh di dahinya, menandakan sakit yang ditahan. Lodun tampak berkeringat meski jelas dingin menusuk.

"Sesuatu terjadi, tapi aku tidak…,

"AAAAAAAAGGH!!!"

Lodun jatuh berlutut, kesakitan. Ia terbungkuk dan terus memegangi kepalanya selagi berteriak keras meraung-raung, bertarung dengan suara angin yang kencang bertiup. Denging di kepalanya terlihat begitu menyiksa, seolah Lodun tak lagi bisa merasakan apapun selain pusing yang amat sangat.

Lodun terengah, nafasnya memburu cepat. Rasa sakit itu perlahan menghilang, lenyap seiring waktu. Rasa dingin perlahan terasa kembali, bersamaan dengan butiran salju yang menimpa-nimpa wajah dan rambut Lodun.

"Ini sama seperti sebelum kami dikirim kemari," bisiknya pelan, "tapi ini jauh lebih menyakitkan."

Ia lalu melihat ke depan, ke arah 'Zhaahir' perempuan. Terkejutlah Lodun, wanita itu hanya tersisa separuh. Bagian pinggang ke bawah telah tiada, digantikan kotak-kotak kecil transparan. Perlahan, tubuh 'Zhaahir' seolah tergerogoti. Semakin banyak kubus-kubus kecil muncul dari dalam tubuh wanita itu, semakin dirinya menghilang. Sedikit demi sedikit tubuh wanita bertopeng itu kian berkurang, lalu lenyap.

"Apa yang terjadi dengan Khavaro!?" teriak Opi, terdengar panik dan bingung. Namun sedetik kemudian, ganti pipa Opi yang menghilang dengan cara yang sama.

Lodun terdiam. Kini tinggal ia sendirian di tengah padang salju. Lodun segera memeriksa tubuhnya, memastikan apakah berikutnya dia yang akan pindah. Utuh, tidak ada kotak-kotak kecil mengelilinginya. Namun, Lodun segera menyadari sesuatu yang aneh.

Tubuhnya menjadi kecil!

Sedetik berikutnya, kegelapan menyelimuti. Semua yang ada di sekitar Lodun mendadak gelap, seolah matahari di langit terpadamkan. Namun mengherankan, tak hanya cahaya yang menghilang, tapi juga suara angin. Sunyi, pekat. Seluruh panca indera seolah kehilangan fungsi.

Pats!

Mendadak sesorot cahaya menyinari Lodun dari bawah kaki bersama dengan butir-butir berkilau yang muncul di sekitarnya. Tubuhnya berubah segar, bekas-bekas lebam luka menghilang. Dirinya kembali prima, siap bertempur kembali.

Tak berapa lama, sesosok pria dengan jambul keriting tampak muncul dari kegelapan bersama dengan sepercik sinar dari pijakannya. Pria itu seperti Lodun, berfisik mirip anak kecil umur tujuh tahun. Sesaat setelahnya menyusul dua, empat, lalu enam orang lagi yang muncul dengan cara yang sama. Semuanya tampak seperti dirinya, mengecil.

Mereka yang di sana menampakkan wajah bingung. Beberapa dari mereka panik, mulut mereka bergerak-gerak seolah berbicara namun tiada suara yang terdengar. Sebagian bahkan mencoba berkomunikasi satu sama lain meski tak ada yang bisa saling mengerti. Kepanikan dan kebingungan mewarnai kekosongan.

Lalu tiba-tiba pijakan mereka menghilang.

Semua terjatuh.

===

"Ayo, kita kembali. Tuan menunggu kita."

Jauh di pinggiran kota, tampak seorang pria dengan jubah hitam sedang berdiri menatap ke arah kota. Jubah tersebut menutupi seluruh tubuhnya, hingga ujung kaki. Dia ditemani seorang anak muda yang duduk bersila memangku laptop. Anak itu memakai topi rajut di kepalanya, dengan sweater warna hijau motif garis-garis. Ia beberapa kali membetulkan letak kacamatanya dengan sisi sweater miliknya. Anehnya anak itu tak berkeringat, meski hawanya hangat.

Penerangan di sana saat itu cukup minim, hanya ada sinar layar di depan anak muda tersebut. Cahaya rembulan dan bintang-bintang di langit malam hanya redup, sama sekali tak membantu penglihatan. Lelampuan kota terlalu jauh, tak bisa bergantung pada mereka. Lagipula meski dekat pun, tak berguna. Kota itu seperti akan habis energi, tampak dari lampu berkelap-kelip, bahkan sesekali padam.

Pria berjubah hitam itu lalu mulai bergerak, hendak menjauh dari titik mereka berada. Anak muda dengan topi rajut yang diajaknya bergeming, tak menurut. Tampaknya si topi rajut masih ingin berlama-lama. Menyadari itu, pria itu tak melanjutkan langkah.

"Ayo, tunggu apa lagi?"

"Sebentar, sebentar," jawabnya, "aku masih ingin mencoba sesuatu."

Pria muda itu lalu menggesek hidungnya dengan tepian sweater yang dikenakannya. Jari-jarinya segera menari, mengetikkan sesuatu di papan laptop.

"Kita telah menyelesaikan tugas kita, meretas keamanan dan mengacaukan sistem. Kita hanya perlu menunggu mereka saling bunuh dan menghancurkan database, bukan?" kata si jubah hitam tak sabar.

"Jika berlama-lama di sini, Nurma bisa menyadari ulah kita!"

"Tak apa, aku tak perlu waktu lama. Aku hanya penasaran, hihi. Akan menarik melihat Kak Lo bertemu orang ini."

"What are you trying to pull, you little?"

===


---==DOLL PARADE==---


Di atas sana, tepatnya di langit-langit tampak sebuah tulisan besar melayang dan berputar-putar ibarat papan nama lokasi. Parade boneka. Entah kenapa Lodun bisa mengerti arti tulisan di atas sana meski berbeda dengan bahasa ibunya. Lodun ingat sesaat tadi ia terjatuh dari kegelapan, dan dalam sekejap ia mendarat di sini.

Lodun mengamati sekelilingnya. Lodun sedang berada di sebuah kamar dengan dinding dilapisi kertas merah jambu berpola garis-garis. Di tengahnya tampak sebuah kasur besar dengan sprei berwarna sama, dengan karpet bulat besar warna coklat sebagai alasnya. Dua lemari dan sebuah kursi di sisi kiri sementara meja bulat di sisi kanan. Satu lemari besar, satu lemari kecil. Kursinya berada di pojok, membelakangi dinding. Di atas kursi tersebut terdapat bermacam boneka, seperti zebra, panda, dan jerapah. Tidak hanya di atas kursi, tapi juga di atas lemari dan kasur. Kamar itu sungguh gambaran sempurna dari frase 'anak gadis'.

Namun, jika hanya itu saja Lodun tidak akan takjub.

Kamar itu sesungguhnya sama seperti kamar-kamar pada umumnya, jika kamar itu tidak begitu besar hingga Lodun tampak seperti mainan di sana. Dirinya begitu kecil dibanding kamar itu, sampai-sampai jika ada seekor kucing di sana mungkin sudah menelannya bulat-bulat. Namun bukan hanya kamar itu yang membuatnya terlihat raksasa, tubuh Lodun juga mengecil seperti kembali menjadi bocah.

Kemudian Lodun bergerak. Ia melangkah mendekati sebuah boneka yang berada di kaki ranjang, menatapnya dengan heran. Boneka beruang warna krem itu tampak lucu, dengan bulu bonekanya yang lembut. Boneka itu begitu besar, bahkan Lodun hanya sebesar telapak kakinya. Lodun lalu menyentuh bagian telapak kaki dan mengelusnya sedikit. Ia tersenyum.

"Hm, Atsuna dan Seth pasti senang berada di sini."

Shiiiing

Dari saku kiri Lodun tiba-tiba muncul sesuatu yang bercahaya. Lodun yang menyadarinya lalu merogoh sakunya untuk memastikan. Sebuah kertas. Dibukanya kertas yang dilipat empat itu, dan dibacanya tulisan di dalamnya.



---==Doll Parade==---

<<ROUND 2>>
DUEL START
Lo Dmun Faylim versus Kazuki Tsukishiro

<<RULE>>
Masing-masing peserta memiliki HEALTH BAR di atas kepala.
Health Point (HP) yang ada di HEALTH BAR akan berkurang tiap terkena serangan.
Peserta yang kehabisan HP akan dinyatakan gugur dan dikirim kembali ke Alforea.

<<WARNING>>
Beware of the dolls, they don't like to be touched

---====---



"Kazuki?" bisik Lodun, "Di mana ya aku pernah mendengar nama itu?"

Lodun lalu melirik ke atas kepalanya, ia melihat sebuah benda berbentuk seperti pipa panjang transparan yang terisi penuh oleh cairan warna hijau. Benda itu melayang di atas kepalanya, sekitar satu setengah meter dari ujung rambut. Di sebelah pipa tersebut terlihat dua digit angka sembilan berjajar diikuti simbol persentase.

'Inikah Health Bar itu?' pikir Lodun melihat tulisan '99%' di sana.

Si Lodun lalu melipat kertas tadi dan memasukkannya kembali pada saku.

"Grrrrh...,"

Lodun terkesiap. Ia mendengar suara menggeram. Begitu menoleh ke arah suara, terkejutlah ia melihat boneka yang disentuhnya mulai bergerak dan berdiri.

Boneka. Disentuh. Bergerak.

Oh, tidak!

DRUAKKK!!

Boneka beruang itu meninju Lodun!

Beruntung, dirinya sempat menghindar sehingga hanya meretakkan ubin. Lodun mendarat dalam posisi setengah jongkok dan menghadap ke boneka itu. Mata boneka beruang itu lalu berubah warna dari hitam ke merah, tampak buas. Boneka itu berdiri di hadapan Lodun, besar menyeramkan walau ekspresi imut menggemaskan.

Boneka itu bergerak maju, mengejar. Ia murka pada Lodun yang tadi bahkan sempat mengelusnya. Lodun panik, berusaha berlari menjauhi boneka itu. Tapi ukuran yang jauh berbeda membuat Lodun kesulitan. Tinju boneka beruang itu terus diluncurkan, membuat Lodun harus terus bergerak acak agar tidak terkena.

Lodun kemudian mengenakan kembali kacamata goggle miliknya, siap untuk melawan. Dirinya merogoh balik rompi, memunculkan sebuah granat. Lodun segera melompat berbalik arah, mencabut pelatuk dan melempar granatnya.

Bum!

Tidak mempan.

Boneka beruang itu menangkis ledakan barusan dengan tangannya. Mungkin karena ukurannya yang kecil, ledakan itu hanya sedikit membakar bulu boneka tersebut. Boneka itu berhenti sejenak, lalu segera melanjutkan gerak.

Lodun tak menyerah, ia mencoba mencabut bom dan dinamit yang dimilikinya. Dilemparinya boneka itu sembari berlari mundur dan melompat-lompat, menjauhinya yang tetap terus mengejar. Nihil. Semua ledakan tadi berhasil ditangkisnya. Hasil yang tampak hanya melambatnya laju kejaran, tak lebih.

Duk!

Tiba-tiba Lodun terhenti. Tak disadari ketika berlari mundur, punggungnya membentur sesuatu besar yang terbuat dari kayu. Lemari. Lemari dengan laci empat tingkat itu bagaikan gunung di mata Lodun, tinggi menjulang. Benda berbentuk balok raksasa itu menghalangi jalur Lodun, menjebak di tengah kaburnya.

Boneka beruang itu kemudian mengurangi ritme langkahnya. Jaraknya sudah dekat, hanya lima meter dari Lodun. Ia tahu incarannya tidak akan bisa kabur ke mana-mana sehingga dirinya berjalan pelan sembari menunggu saat yang tepat untuk menyerbu.

Lodun terdesak.

"Nitoryuu, ZANGETSU!! (Aliran dua pedang, TEBASAN REMBULAN!!)"

Boneka beruang itu mendadak terbelah tiga setelah mendapatkan dua tebasan mendatar. Tubuh boneka itu kemudian terjatuh, menghamburkan kapuk putih dari dalam tubuhnya ke udara. Putih bagai salju, kapuk itu berjatuhan dari udara. Tersebar indah, mengingatkan Lodun akan padang salju Los Soleil.

Dari balik hujan kapuk dan tubuh boneka beruang yang terjatuh, terlihat sesosok pria berkacamata. Rambutnya pendek berantakan berhias headphone besar yang dikenakannya menutupi telinga. Jaket abu-abu bertudung miliknya tampak lusuh melapisi kaos garis-garis hitam putih. Di kedua tangan ia tengah menggenggam dua bilah pedang berbeda ukuran.

"Ah, ternyata Lodun. Rupanya tubuhmu juga berubah menjadi mirip nendoroid1." kata pria itu sembari membetulkan letak kacamatanya, "Berarti memang kita harus bertarung dengan tubuh Chibi2 ini."

Lodun segera ingat, ia pernah bertemu dan bahkan mengenal orang ini. Lodun tahu ekspresinya tak sama, pria yang dikenalnya selalu tersenyum sementara pria ini memasang muka datar tanpa reaksi. Pun gaya rambut dan penampilannya berbeda. Namun, wajah yang dimilikinya serupa dengan pria yang pernah ditemuinya itu. Memang agak susah menyadari kesamaan fisiknya karena ia juga mengecil seperti Lodun, namun ia tak mungkin luput melihat wajah dan kacamatanya.

Tidak salah lagi, ia adalah orang pertama yang dipercayainya begitu sampai di Alforea. Ia juga yang mengajaknya bergabung dalam tim saat pertama kali tiba. Ia, yang mengajarinya tentang nikmatnya pahit kopi di semesta ini.

"Adhy?"

Mereka berdua berpandangan, diam. Kapuk putih yang terburai ke mana-mana, kini telah jatuh semuanya ke lantai putih dan karpet coklat. Pria itu menatap Lodun. Dingin, mata itu kosong seolah telah pupus asa hidupnya.

"Siapa Adhy?" pria itu menjawab. Ia lalu memutar satu pedang miliknya di atas kepala dan mengacungkannya ke arah Lodun.

"Namaku Kazuki, Lod. Kazuki Tsukishiro. Don't you dare forget me, shorty."

'Kazuki? Kenapa orang ini terlihat tidak asing dengan diriku?'


"Nama Adhy dan Clara bahkan tidak ada dalam daftar peserta yang tidak lolos. Maksudmu apa? Rekan kita kan cuma Ying Go dan Kazuki."


'Ah!'

Lodun langsung teringat kata-kata Dyna sebelum pergi ke Los Soleil. Nama ini, nama yang pernah disebut olehnya. Ketika Adhy dan Clara hilang, Ying Go dan Kazuki lah yang menggantikan posisi mereka di ingatan Dyna, atau bahkan di semesta ini.

'Bagaimana mungkin?' pikir Lodun, 'Rupa Kazuki dan Adhy terlalu mirip untuk dibilang kebetulan.'

Di tengah rasa bingung yang melanda Lodun, Kazuki tampak memasang kuda-kuda. Dua pedangnya diayun-ayunkan, siap menebas siapapun yang melawan.

"Lod," panggil Kazuki, "aku tahu kita pernah setim, tapi aku tidak akan segan.

"Jya, (Jadi,)" lanjut Kazuki seraya mengacungkan pedang kecilnya ke arah Lodun.

"taoshite mo ii? (bolehkah aku menghabisimu?)"

===

TEEEEEETT!!!

TEEEEEETT!!!

TEEEEEETT!!!

Suara sirine di mana-mana.

Kastil Despera yang berada di Alforea terdengar ricuh. Para pelayan kerajaan berlarian, bahkan sebagian bertabrakan satu sama lain. Para pelayan itu mengeluarkan bunyi-bunyian tak jelas, mengacaukan konsentrasi seorang pria tua yang sedang menghadap sebuah monitor besar di depannya.

"Aaaargh!" amuk si pria tua sambil mengacak-acak rambutnya sendiri. Jenggot dan rambutnya yang putih tak mampu menutupi merah murka di wajahnya.

"Anastasia, tidak bisakah kau suruh temanmu itu diam!?" teriaknya.

"Maaf, Tuan Nurma. Diam sedang tidak ada di tempat, memorinya juga turut dikacaukan seperti cyber-maid yang lain. Yang masih tersisa hanya aku. Apa yang bisa aku...,"

"BUKAN DIAM YANG ITU!!" Nurma, pria tua itu memotong. "Aku juga tahu kalau Diam si pelayan tidak bisa berfungsi layaknya normal!"

Anastasia tertunduk, takut melihat amarah tuannya. Nurma tampak berusaha kembali berkonsentrasi, menggerakkan jari-jarinya di atas papan ketik. Pelipisnya mengalirkan setitik peluh, tanda kecemasan.

"Ada apa ini, Nurma!?"

Seorang wanita berpakaian anggun memasuki ruangan. Pakaiannya lembut, berbahan sutra warna biru. Seperti hanya terdiri dari beberapa lembar kain, pakaian itu menampakkan bagian punggung dan sebelah pahanya yang putih, mulus bak kulit bayi. Rambutnya tampak indah tergerai, panjang sepinggang. Sungguh memesonakan sang pemandang, wanita itu memiliki kecantikan tiada tandingan.

"Ruu, sistem kita diretas!" teriak Nurma, masih menghadap layar. "Sebuah virus memangsa sistem Alforea, mengacaukannya."

"Apa?! Bagaimana bisa?!"

Ruu, wanita berdada besar itu kemudian maju dan mendorong Nurma ke samping, menyingkirkannya dari depan pijar layar. Ruu melihati apa yang ditampilkan layar tersebut, kombinasi angka satu dan nol yang tersebar acak berwarna hijau dan merah. Ruu seketika panik.

"Ronde dua telah berjalan?!" tanya Ruu tak percaya, "Siapa yang melakukannya? Untuk apa?!"

"Aku juga tidak tahu, Ruu." jawab Nurma, berdiri di sisinya dengan nafas terengah, "Yang jelas, turnamen telah dilanjut paksa dan aku tidak sempat mencegahnya."

"Nurma, lihat!"

Ruu mendadak menunjuk pada layar monitor yang tiba-tiba memunculkan segitiga terbalik warna kuning, dengan tanda seru besar di tengahnya. Tanda bahaya. Seluruh lampu berubah merah, menyala-nyala seiring bunyi sirine yang terus berbunyi.

Sesaat setelahnya, puluhan jendela muncul dari dalam monitor tersebut. Masing-masing jendela menampilkan berbagai lokasi pertarungan, beserta para petarung yang sedang bertempur di arena itu. Sebagian berkedip merah, sebagian lagi tidak. Mata Ruu dan Nurma bergantian menatap tiap jendela, satu demi satu.

"Virus telah mencapai beberapa arena, Tuan Nurma." lirih Anastasia dari belakang mereka.

"Iya, aku tahu." jawab Nurma, "Kalau begini, tidak ada cara lain.

"Panggil RNG! Panggil semuanya!"

===

Druagg!

Beruang meninju, jerapah menyeruduk, gajah menyerbu. Puluhan boneka berbagai jenis itu menyerang Lodun dan Kazuki, marah. Mereka berdua berusaha melawan dengan cara masing-masing, Lodun dengan kombinasi lubang dan bom sementara Kazuki dengan tebasan dua bilah pedangnya.

"Ichigo! (Pertama!)" teriak Kazuki sambil menancapkan pedangnya yang berukuran lebih panjang – nodachi – ke arah depan. Tusukan itu tepat mengenai bagian leher boneka panda di hadapannya, efektif melubanginya. Kazuki kemudian menginjak bagian mukanya lalu melontarkan dirinya ke arah belakang.

"Nigo! (Kedua!)" lanjutnya selagi memutar tubuhnya dan menebaskan pedang yang lebih kecil di tangan kirinya – kodachi, kali ini mengenai kepala boneka flamingo di sisi kirinya.

Kazuki kemudian dihadang oleh boneka harimau yang berdiri dengan dua kaki segera setelah mendarat. Anehnya, melihat itu Kazuki malah menurunkan kedua tangannya, lemas seolah kehilangan semangat bertarung. Ia hanya menatap ke atas, memandang kosong wajah si boneka harimau.

"Hissatsu, Zero no Suta... (Jurus Andalan, Bintang milik Si Nol...)" bisik Kazuki seraya memiringkan tubuhnya perlahan ke depan, seolah akan jatuh.

Syut!

Harimau itu tertebas!

Kazuki mendadak muncul sekitar lima meter dari punggung boneka harimau itu yang kapuknya telah terburai ke udara. Kazuki hanya berdiri diam di sana, membiarkan pemandangan putih berjatuhan di balik tubuhnya.

Bum!

Di sisi lain, Lodun berhasil mengubur beberapa boneka dalam lubang. Tapi tak cukup, boneka lainnya masih mengejar.

"Sial, ini gara-gara Adhy palsu itu menghancurkan lemari yang menjadi penyangga boneka saat memburuku." gumamnya.

Druagg!

Satu tinju boneka beruang disarangkan. Nihil. Lodun dalam sekejap membuat lubang untuk melarikan diri dan membiarkan tangan si boneka tertanam di dalamnya. Boneka warna merah jambu itu segera berusaha melepaskan diri dengan mencoba menarik tangannya.

"Solvo."

Sekali coba, tangan beruang itu terlepas atas izin Lodun, membuatnya terjatuh ke belakang. Boneka babi, kuda, dan singa tertimpa beruang itu yang dalam sekejap disambut lubang besar yang dibuat Lodun dan berhasil memendam sebagian tubuh mereka ke dalam tanah.

"Lod! Lempar bom!"

Lodun terkejut, dia menoleh ke arah suara.

"Dua, beri aku dua!" teriak Kazuki diikuti suara derap, empat buah boneka mengikutinya.

Lodun tak pikir panjang, dicabutnya dua granat ke arah Kazuki. Sementara itu, Kazuki siap dengan kedua bilah pedang tergenggam, hendak menebas.

"Nitoryuu, (Aliran dua pedang,)

"Densha giri! (Tebasan kereta!)"

Bum! Bum! Bum! Bum!

Cepat!

Ayunan kedua pedang Kazuki dalam sekejap berhasil membelah kedua granat Lodun dan membagi masing-masing granat menjadi dua bagian. Begitu cepatnya ayunan Kazuki sampai ledakan pun terbelah, dan mengenai tiap-tiap boneka yang mengejarnya.

"Ledakanmu makin kuat, Lod." kata Kazuki, "Seharusnya granatmu tidak sanggup menyimpan cukup mesiu untuk ledakan seperti itu.

"Sepertinya sarung tangan barumu berpengaruh terhadap kekuatan ledakanmu." tebak Kazuki, "Tadi kulihat bulatan di situ berpendar saat kau melempar granat."

Lodun terkejut. Hanya sekali lihat, Kazuki bisa langsung menyadari kekuatan sarung tangan Reviss yang diambilnya saat masih di Los Soleil.

"Tidak hanya fisik, tapi daya pengamatannya benar-benar seperti Adhy." lirih Lodun.

Syut!

Lodun kembali kaget. Kodachi milik Kazuki mendadak meluncur melewati sisi kiri kepala Lodun, nyaris mengenainya. Namun seperti telah disengaja, pedang pendek itu tepat menusuk mata boneka jerapah di belakang Lodun. Kazuki langsung melompat.

"Daisetsudan! (Pemotongan besar!)"

Digenggamnya gagang nodachi miliknya dengan kedua tangan. Dengan sekali ayun, ia berhasil membelah kepala jerapah itu yang kemudian menyemburkan bulir-bulir putih kapuk ke udara. Jerapah itu adalah boneka terakhir, Lodun ternganga, insting bertarung dan pengamatan Kazuki ini luar biasa.

"Lod, wajahmu masih tampak bingung." kata Kazuki seraya memungut kembali kodachi yang tadi dilemparnya.

"Aku Kazuki, Lod. Kazuki Tsukishiro." ulangnya, "Kita setim, dan seharusnya kau tidak melupakanku mengingat kau yang menentangku saat itu." lanjut Kazuki, mengacungkan nodachi miliknya ke arah Lodun.

"Hah? Apa yang kau bicarakan, Adhy? Aku tidak...,"

"NAMAKU BUKAN ADHY!!" potong Kazuki, "Aku tidak tahu siapa yang kamu maksud dengan Adhy, tapi dia bukan aku!"

Hening.

Lodun tak mampu menjawab.

Saat itu mereka sedang berdiri di atas karpet coklat yang berada di bawah kasur raksasa. Sprei warna merah jambu yang berjumbai di sisi-sisinya itu menyembunyikan sorot mata mengerikan yang memandang Lodun dan Kazuki dari atas sana.

Jdumm!

Sesuatu jatuh.

Jdumm!

Tidak hanya satu, tapi dua!

Jdumm! Jdumm! Jdumm!

Lodun dan Kazuki reflek menghindari apapun itu yang jatuh dari atas sana. Mereka segera melihat benda apa yang jatuh itu, boneka-boneka ikan dan kura-kura.

"Ook! Ook!"

Lodun dan Kazuki spontan menengok ke atas. Di sana tampak sesosok boneka gorila sedang memamerkan kekokohan dadanya dengan memukul-mukulkan kepalannya ke sana. Tapi tak lama, sesaat setelahnya ia segera kembali melempari mereka dengan berbagai boneka yang ada di atas sana.

Jdumm!

Nyaris. Satu boneka ikan itu sedikit lagi akan mengenai Lodun. Mereka berdua segera bersiap melawan. Lodun lalu merogoh ke balik rompinya, mencari sesuatu yang biasanya digunakan olehnya untuk melawan.

Nihil.

"Oh tidak, peledakku habis." keluhnya panik, "Pisauku patah saat melawan Reviss, dan sekarang aku kehilangan peledak. Bagaimana ini?"

"Kalau begini terus, tidak akan ada habisnya!" teriak Kazuki. "Lod! Buat lubang di bagian kaki ranjang!"

Lodun yang gelagapan karena kehabisan amunisi hanya menuruti saja perintah itu. Kristal oval berpendar, sarung tangan di sebelah kanannya membantu meningkatkan kekuatan pembuat lubangnya dan menambah jangkauan Lodun.

"Apertis, twin!"

Kedua kaki ranjang yang berada paling dekat dengan mereka itu segera terperosok ke dalam lubang, memiringkan kasur yang ada di atasnya. Gorila yang tadi berdiri di pinggir kasur pun kehilangan keseimbangan dan terjatuh ke bawah. Kazuki menyambut gorila itu di bawah dengan meloncat tinggi ke arahnya.

"Aka no Kabutomushi! (Kumbang badak merah!)" teriaknya seraya menusukkan pedangnya ke arah leher gorila itu, memisahkan dari tubuhnya.

TEEEEEETT!!!

TEEEEEETT!!!

Suara sirine mendadak terdengar sesaat setelah Kazuki mendarat. Seluruh lokasi itu berpendar merah darah, seolah semua lampu diganti warna. Pandangan mereka menjadi kabur, garis-garis tak jelas muncul di dinding.

Lodun dan Kazuki hanya bisa melihat sekeliling dengan bingung. Lansekap apapun yang mereka lihat, kini telah buram. Sedikit demi sedikit bahkan mulai menghilang. Garis-garis aneh yang muncul di seluruh lokasi mengacaukan apa yang ada dalam pandangan mereka.

Bzzzt.

Gelap.


BAGIAN II – LO DMUN FAYLIM



"Di mana ini?" bisik Lodun.

Mereka tiba-tiba berpindah di suatu hutan yang gelap, dengan pohon tinggi dan rerumputan hijau yang menyeramkan. Batang pohon di sana ramping dan tinggi, sampai dedaunan di ujungnya nyaris tak kelihatan. Ada bagian yang tidak ditumbuhi oleh rumput dan pohon, membentuk sebuah jalan tanah. Di sisi jalan setapak itu terdapat sebuah rumah gubuk terbuat dari kayu yang sepertinya sudah tua, berlampu remang di terasnya. Lodun dan Kazuki kini tengah berdiri berhadapan di depan gubuk itu.

"Sepertinya kita berpindah arena pertempuran," ujar Kazuki sambil mengacungkan jarinya ke atas. Lodun mendongak, melihat ke arah yang ditunjuk Kazuki.


---==SLENDER WOODS==---


Tampak sebuah tulisan besar holografik, berputar-putar di atas sana. Tulisan tersebut berpendar ungu, dengan api warna biru seolah membakar tulisan itu. Di dekatnya tampak sinar rembulan yang begitu terang, begitu besar. Suasana yang gelap di latar malam hari itu mendukung rasa horor yang ingin ditunjukkan oleh tulisan itu.

Lodun lalu melihat ke arah Kazuki. Di atas kepala Kazuki masih ada pipa besar yang berisi cairan hijau – health bar – meski tak lagi penuh. Di sampingnya tertera angka 82%, sedangkan health bar di kepala Lodun tertera angka 73%. Kazuki di atas angin.

Zreekkk...

Sebuah suara mendekat, seperti ular yang membelah rerumputan. Lodun panik, pun Kazuki. Dari kegelapan bisa saja muncul siapapun, monster apalagi.

GREP!

"Ugh..."

Ingin berteriak, tapi suara tertahan. Sesosok misterius mencekik Lodun dan Kazuki dengan tangan yang sangat panjang hingga tubuh aslinya tak terlihat, mengangkat mereka hingga kaki tak mampu lagi berpijak. Tubuh mereka yang menjadi kecil itu membuat sosok misterius tadi semakin mudah mengangkat tubuh mereka.

Lodun menoleh, melihat ke arah Kazuki. Ia segera menyadari health bar di atas kepala Kazuki bergerak perlahan, berkurang sedikit demi sedikit. Lodun meronta-ronta, berusaha memukuli tangan yang mencekiknya dengan lipatan kekuatan dari sarung tangan Reviss. Keras sekali, tangan itu tak bergeming. Lodun melihat ke atas, health bar miliknya juga berkurang perlahan. Kazuki yang mengetahui itu langsung ikut berusaha melawan.

"Ittoryuu, Ryuuki no Kiba! (Aliran Satu Pedang, Taring Kavaleri Naga!)"

Kazuki mengayunkan pedang kecilnya beberapa kali hingga membelah angin, menciptakan energi sayatan pedang yang melaju kencang ke arah kegelapan membentuk tiga ular naga. Kena. Meskipun sosok itu tak terlihat karena minimnya penglihatan, tapi lepasnya cekikan makhluk misterius itu setelah terdengar raungan kesakitan menandakan bahwa serangan Kazuki tepat sasaran.

Lodun dan kazuki tak membuang waktu, mereka segera kabur ke arah yang berlawanan dari makhluk itu, menerobos ke dalam gelap. Melewati hutan yang tanpa penerangan, beberapa kali mereka tersandung akar dan bebatuan. Lari dan terus berlari, sampai mereka yakin sosok itu tak lagi bisa mengejar mereka berdua.

Terengah, mereka berhenti dan bersandar di balik sebuah pohon yang juga tinggi. Lodun terduduk di batang pohon itu, melepas lelah sejenak. Namun, baru saja mata Lodun beradaptasi dengan keremangan, mendadak muncul suara angin yang kencang diikuti patahan yang terdengar dari balik punggungnya.

Krieeek...
Druakk!!

Pohon di belakang Lodun mendadak jatuh!

Mujur, Lodun berhasil menahannya dengan kedua tangan. Kristal sarung tangan Reviss di tangan kanannya berpendar keunguan, melipatgandakan tenaga Lodun sehingga dirinya kuat mengangkat beban pohon di atasnya. Kazuki lalu muncul dari kegelapan, dengan ekspresinya yang tetap datar.

"Ternyata benar dugaanku," kata Kazuki, "sarung tangan milikmu itu memiliki kemampuan menambah kekuatan apapun yang disentuhnya."

Kazuki kemudian bergerak maju, berlari ke arah Lodun dengan satu pedang terhunus, nodachi. Lodun, mengetahui itu langsung mengangkat batang pohon tadi tinggi-tinggi dan membantingnya ke arah Kazuki. Kazuki kemudian memejamkan matanya, seolah berkonsentrasi. Dalam sekejap ia bisa menghindari batang pohon itu dengan cantik, berputar ke samping bak penari latar.

"Double Drive."

Kazuki berlari ke arah Lodun, lalu dilemparnya kodachi dengan tangan kanan, lurus ke arah Lodun. Lodun spontan menghindar ke samping. Namun baru saja ia bergerak, Kazuki telah menyambutnya dengan nodachi terhunus. Lodun kaget, namun refleksnya berhasil mengalahkan keterkejutannya. Ia mengangkat tangan kanannya, menangkis sabetan pedang Kazuki dengan kristal oval di sarung tangannya.

TRAAANG!!

Rencangan memecah keheningan. Benturan antara kristal oval yang mengeras karena kekuatannya sendiri dengan pedang milik Kazuki menimbulkan suara yang memekakkan telinga. Anehnya, Kazuki segera menyingkir dari tempat itu.

Duakk!

"AGH!!"

Lodun tertimpa pohon besar!

Ternyata kodachi tadi dilempar untuk mematahkan dan menjatuhkan pohon di belakang Lodun, dan serangan keduanya adalah untuk menyamarkan suara jatuh pohon sekaligus menahan Lodun agar tetap berada tepat di bawah arah jatuh pohon tersebut.

"Heh, ternyata taktikku berhasil." Kazuki bergerak mendekati Lodun, "Tak kusangka semudah ini memancingmu ke titik itu."

Lodun tak bergerak, dirinya tertahan di bawah pohon besar tersebut. Lodun yang panik mencari-cari titik sentuh untuk membuat lubang baru dengan kekuatannya. Namun sayang, Lodun tertimpa tepat di atas rerumputan yang lebat. Usahanya sia-sia.

"Aku sengaja menjatuhkanmu di lokasi itu," lanjut Kazuki, "sulit memprediksi titik mana yang membuatmu tak bisa menyentuh tanah."

Kazuki kemudian menunduk, lalu menarik rambut Lodun agar mendongak menghadap dirinya.

"Kau tahu?" kata Kazuki, "Dari awal aku sudah tidak suka padamu. Lalu semenjak kau menghalangiku membunuh seorang prajurit, aku makin membencimu."

---

"Kau, maju kemari." Kazuki menunjuk seorang prajurit, "Kau dan pasukanmu bawa rangkaian peledak ini, lalu maju ke tengah kerumunan. Ledakkan begitu sampai di sana."

"I-itu tidak mungkin!" teriak prajurit itu, "Kami akan mati sebelum sampai ke tengah."

"Itu guna lubang yang dibuat Lodun sedari tadi, gunakan itu untuk mencapai tengah dan ledakkan ketika sudah berada di tengah." lanjut Kazuki, "Setidaknya itu akan mengurangi seperempat pasukan musuh."

"Tapi kami juga akan mati karena ledakan itu!"

"Yeah, i know." kata Kazuki tenang, "Bukankah kau telah siap mati untuk kerajaan? Lagipula, siapa yang peduli dengan nyawa seorang prajurit sepertimu.

"Bukankah mati dalam perjuangan adalah kehendakmu?" kata Kazuki seraya maju dan menempelkan ujung pedang pendeknya ke leher prajurit itu.

Semua terdiam untuk beberapa saat. Dyna, sedikit ragu-ragu, bergerak maju hendak menyuarakan isi hatinya.

"T-tapi kaz...,"

Grep!

Lodun muncul tak terduga dan menahan tangan Kazuki, memutar dan mengunci lengannya, lalu mendorongnya hingga jatuh.

"Aku tidak sepakat.

"Jika kau sebegitu inginnya ada yang mati, lakukan sendiri."

---

"Aku tidak akan melupakan penghinaan itu." kata Kazuki sembari mengacungkan pedangnya ke muka Lodun.

Lodun bingung, dirinya sama sekali tak ingat pada apapun yang diceritakan Kazuki meskipun ia merasa akan melakukan hal yang sama ketika dihadapkan kondisi seperti itu. Tentu saja, dunia yang diingat Lodun telah berubah sama sekali. Bahkan Adhy, yang begitu baik padanya itu berubah menjadi sosok yang tega membunuh hanya demi tujuannya.

"Lagipula," lanjut Kazuki, "prajurit itu sesungguhnya layak mati. Bukankah dia memang dikirim untuk itu, mati berjuang di medan laga?

"Mereka tak pantas hidup jika tak membawa kemenangan. Bukankah lebih baik mati menghabisi seribu daripada hidup dan kalah membawa malu?"

Lodun terkejut. Sorot matanya berubah, tajam menatap Kazuki.

"Kau salah!" Lodun menyangkal, "Percuma pergi berperang jika akhirnya mati!"

"Hoo? You're in no position to talk back to me, you know?" kata Kazuki, menekan sedikit ujung pedangnya ke pipi Lodun, dekat bibir.

"Mereka hanya seperti serangga, tidak masalah jika satu dua ekor mati di tangan monster-monster besar itu."

"U-ugh," Lodun meringis menahan sakit, "tak peduli siapapun orangnya, mereka harus hidup! Hidup, dan membawa pulang kabar baik!

"Tak ada artinya menang jika keluargamu menangis!!"

"Heh, keluarga?" Kazuki menarik kembali pedangnya, "Aku benci keluargaku!"

Kazuki berteriak selagi bersiap mengayunkan pedang besarnya ke kepala Lodun yang masih terjebak di bawah pohon. Lodun tahu dirinya terdesak, ia lalu segera mengulurkan tangan kanannya ke arah depan. Otot tangannya menegang, seolah hendak mengeluarkan sesuatu. Pada saat yang sama, kristal oval di sarung tangannya berpijar ungu.

"NEO APERTIS!!"

"Ugh...!"

Kazuki mendadak berhenti bergerak, menjatuhkan pedangnya ke tanah. Matanya terbelalak, mulutnya terbuka lebar. Kedua tangannya memegangi pangkal lehernya seolah menderita. Lodun mempertahankan posisinya, tangan mengarah ke depan.

Lima detik. Enam detik. Tujuh, delapan, sembilan, dan Kazuki masih meronta. Hingga pada detik ketiga puluh mendadak Kazuki menarik nafas panjang, bersamaan dengan Lodun yang tiba-tiba terengah seperti kelelahan. Kazuki lalu menarik nafas berkali-kali, seperti sedang sesak.

"Hahh.. hahh.. hahh..," Kazuki memegangi dadanya yang seperti menyempit, "Lodun, kau...."

Kazuki tak meneruskan. Ia masih sibuk mengambil nafas. Sementara Lodun yang masih tertindih pohon itu terlihat berkeringat meski sedari tadi ia tak bisa bergerak.

"Bagaimana mungkin? Hahh.. hahh.., sekarang kau bahkan bisa melubangi udara?!" tanya Kazuki tak percaya, "Efek sarung tanganmu juga kah?"

"Tapi sepertinya kekuatan barumu itu memerlukan tenaga yang sangat besar." lanjut Kazuki setelah nafasnya mulai teratur, "Lihat dirimu, begitu kelelahan meski hanya setengah menit. Kau hanya memperlambat waktu matimu!"

Lodun menatap Kazuki yang berdiri di hadapannya dengan niat membunuh.

Kali ini ajalnya benar-benar telah mendekat.

Zrekkk...

Suara itu lagi!

Lodun dan Kazuki melihat ke sana kemari mencari sumber suara itu. Lalu sedetik kemudian, kaki Kazuki tertangkap. Tangan panjang makhluk misterius itu kemudian mengangkat Kazuki dalam posisi terbalik, menggantungkan tubuhnya dengan kepala di bawah. Kedua pedang Kazuki mau tak mau jatuh ke tanah. Sementara itu Lodun hanya bisa memandang Kazuki tak berdaya. Jika monster itu hendak membunuh Lodun, mungkin matilah ia.

"Makhluk sialan!" umpat Kazuki.

Tap...
Tap...
Tap...

Di tengah kegelapan malam, sang pemilik tangan mulai menampakkan tubuhnya. Kurus, ramping, tinggi. Pakaiannya setelan hitam, jas berdasi dengan kemeja dalam putih. Warna kulitnya begitu putih, bagaikan telah diberi cat dinding. Namun yang mengherankan bukan itu, wajahnya.

Dia tidak punya wajah.

Melihat itu, Lodun dan Kazuki ketakutan.

"Slenderman!" teriak Kazuki, "Tidak! Hantu busuk! Lepaskan!"

TEEEEEETT!!!

TEEEEEETT!!!

Lagi.

Seluruh tempat itu bersinar merah, serupa darah.

"Grraaaah..."

Kazuki terjatuh, dengan tangan Slenderman masih memeganginya meski lemah. Slenderman itu mengerang, seolah kesakitan. Satu tangannya memegang kepalanya, menunjukkan penderitaan yang sangat.

Saat Lodun dan Kazuki bingung akan apa yang tengah terjadi, dari belakang Slenderman muncul kumpulan angka 1 dan 0 yang berwarna merah, tampak memasuki tubuhnya. Makin lama semakin banyak, tubuh Slenderman itu perlahan membesar dan mengekar. Dari muka yang tanpa wajah, muncul mulut yang tampak menyeramkan, penuh taring dengan lidah yang panjang menjulur seperti ular.

"GRRAAAAAA!!!"

BUAKKK! Buk! BUAKKK!

Makhluk itu mengamuk. Ia memukul-mukul tanah dengan lengannya yang panjang, seperti belalai. Kazuki yang sempat lolos dari cengkeraman, malah jadi target kejaran makhluk buas itu. Berkali-kali ia berusaha menghindar agar tak terkena serangannya.

Bagaimana dengan Lodun?

Dirinya masih diam tak bergerak, terjebak di bawah pohon. Di samping dirinya yang kelelahan setelah menggunakan 'Neo Apertis', pohon itu masih terlalu berat bagi dirinya untuk melakukan sesuatu.

Kazuki menyadari itu, mengarahkan Slenderman yang berubah buas ke arah Lodun. Ia bergerak menghindar sampai dirinya berada tepat di atas pohon yang menimpa Lodun. Slenderman yang sedari awal mengincar Kazuki, bergerak menyerbu seperti gorila lapar.

"U-ugh...," erang Lodun.

Mendadak pohon itu bergerak pelan, dengan Kazuki yang masih di atasnya.

Lodun mengangkatnya!

Lodun berada dalam posisi mendorong tanah, membuat batang pohon di punggungnya terangkat ke atas. Kazuki pun terjatuh karena hilang keseimbangan. Lodun kemudian memosisikan tangannya ke samping batang pohon, mengangkatnya semakin ke atas. Ia memandangi Slenderman yang menyerbu ke arahnya, semakin dekat.

Kristal berpijar ungu.

"Rasakan ini, Strength of Arspencer!!"

Lodun lalu mengayunkan batang pohon itu sekuat tenaga. Tenaganya yang berlipat membuatnya mampu melakukan itu hingga membentuk lingkaran besar.

Duakkk!

Tepat mengenai rahang!

Slenderman itu oleng, lalu ambruk ke samping. Kazuki terbengong, tak menyangka bocah kecil itu bisa mengalahkan Slenderman yang berubah kekar itu dengan tangan kosong. Lodun kemudian menjatuhkan batang pohon tersebut ke samping, melepaskan beban di tangannya.

Tak berapa lama kemudian, dari dalam tubuh Slenderman tersebut muncul sesuatu yang bersinar hijau. Bentuknya kubus, seperti dadu tapi lebih besar. Benda itu terus melayang-layang tak jelas di udara.

Syutt!

"Biasanya di dalam game, item seperti ini akan muncul jika mengalahkan final boss di area tertentu." jelas Kazuki setelah melompat dan merebut kubus tersebut, "Thanks, Lod."

Selagi menampakkan senyum yang menyebalkan, Kazuki menaruh kubus itu ke dadanya. Kubus itu lalu terserap, masuk ke dalam tubuhnya. Tubuh Kazuki lalu mengeluarkan debu-debu berkelip hijau. Bersamaan dengan itu, angka di sisi health bar bergerak naik dari 54% menjadi 74%.

"Haha, tubuhku segar kembali!

"Sekarang, saatnya bagiku membunuhmu, Lod!"

Bzzzt.

===

 "AAAAAAA!!!"

Mendadak pemandangan berubah terang. Awan-awan putih mengawang-awang, terbawa angin. Terdengar juga suara koak elang yang beterbangan di dekat mereka. Hembusan angin pun terasa, menyejukkan. Pandangan yang tadinya gelap segelap-gelapnya, berubah menjadi terang siang yang menyilaukan.

Namun, ada satu hal yang aneh.

Tidak ada daratan.

"AAAAAAAA!!!"

Seperti tak terbatas, Lodun dan Kazuki jatuh bebas tanpa tahu akan sampai di mana. Di atas mereka melihat awan, di bawah juga melihat awan. Kanan dan kiri awan dan elang-elang, disertai hembusan angin yang tak kunjung terbuang.

Selagi jatuh Lodun bisa melihat tulisan yang nyaris transparan, seolah terbuat dari kaca. Tulisan itu tadinya berada agak di bawah, tapi kini mereka mulai berada hampir sejajar dengan tulisan itu.


---==SKY ARC==---


"Ganti lokasi lagi." pikir Lodun.

Wusssh!!

Begitu mereka berada tepat sejajar dengan tulisan itu, mendadak angin berhembus sangat kencang. Sebegitu kencangnya sampai tubuh Lodun dan Kazuki masing-masing terbawa angin. Angin itu berhembus acak, membuat tubuh Lodun dan Kazuki terbawa ke sana kemari.

"Sial, ada apa dengan lokasi ini!?" teriak Kazuki.

"Kooaaakkkk!!"

Mendadak terdengar suara jeritan burung, berkoak dari kejauhan. Kazuki dan Lodun menoleh ke arah mereka, mendapati tiga ekor elang yang terbang mendekat. Elang itu besarnya seukuran orang dewasa, dengan sayap yang lebar dan paruh yang melengkung tajam.

Satu menyerbu.

Kazuki sempat memutar tubuhnya, tapi elang raksasa tadi berhasil menyenggolnya. Seekor lainnya menyusul, kali ini menyerang Lodun yang terbang terbawa angin, tepat menuju elang yang menyerang dirinya.

"Agh!"

Tubuh Lodun yang mengecil itu tertangkap paruh elang raksasa. Ketakutan, Lodun memukul-mukulkan tangannnya ke kepala elang tersebut. Tahu itu tak berguna, Lodun mengerahkan kembali kekuatannya. Kristal bersinar, tangan kanan mengepal.

Buakk!

Satu pukulan telak mengenai bagian samping paruh. Elang tersebut mau tak mau melepaskan Lodun. Lodun yang terbebas akhirnya kembali tersapu angin, tak jelas akan dibawa ke mana.

Sementara itu, Kazuki diserbu oleh dua elang lainnya. Bergantian menerjang, Kazuki kesulitan menghindarinya. Hingga salah satu elang tersebut maju, hendak mencengkeram dengan cakarnya.

"Kesempatan." pikir Kazuki.

Jrasssh!

Dengan sekali hunus, tubuh elang itu tertusuk pedang nodachi Kazuki, mencipratkan darah ke tubuhnya yang kecil. Namun meski tak sadarkan diri, bangkai elang itu tetap beterbangan ke berbagai arah akibat angin yang begitu kencang.

Elang satunya pun ketakutan. Pun elang yang dipukul Lodun tadi, terbang mundur agak menjauh. Lodun dan Kazuki agak keheranan ketika melihat elang-elang itu. Namun tak disangka, sesosok elang yang jauh lebih besar tiba-tiba muncul dari langit.

Kedua elang tadi terbang mendekati elang yang lebih agung. Besar, begitu besar. Cakarnya saja seukuran tubuh Kazuki jika ia tak mengecil seperti sekarang ini. Sayapnya lebar, berwarna coklat kemerahan. Kepalanya berbulu putih, dengan mata yang menatap tajam ke mangsanya. Namun tidak hanya itu, bahkan elang itu juga bertanduk.

Lodun dan Kazuki yang masih tersapu hembus, memandang tak percaya.

"Arena kali ini, pasti dia bosnya." kata Kazuki.

===

Ruu sedang berdiri di salah satu ujung meja panjang, di hadapan orang-orang yang sedang duduk di sisi-sisinya menghadap meja sementara RNG dan Nurma berada di sisi kiri dan kanan Ruu. Suara sirine masih bertalu-talu, masih ribut. Teriakan panik dan kacau dari para maid juga mengganggu, tapi itu semua tak bisa menghalangi pertemuan penting kali ini.

"Kita sedang dalam masalah besar." kata Ruu, tegas.

Semua diam sejenak,

"Ya, kami bisa melihatnya."

"Kami tahu."

"Ya, kita sedang dalam masalah besar."

"Apa masalahnya?"

"Aku...," Ruu menghela  nafas, seolah sedih, "Nurma semalam menusuk *&#%^ku...."

"BUKAN!!" teriak Nurma tak sabar, tampak mukanya merah padam entah marah entah malu.

"Masih sempat-sempatnya kau bercanda di saat seperti ini, Ruu!"

"Ayolah, aku lelah harus bekerja seperti ini." Ruu memainkan sisi rambutnya dan memonyongkan bibirnya, "Lagipula, ini kan salahmu, Nurmi."

"Baik, baik. Lagipula kamu tidak akan bisa menjelaskannya dengan baik." Nurma lalu berdiri dan membiarkan Ruu duduk.

"Semuanya," Nurma berbicara tegas, membuat semua yang di sana diam memperhatikan, "Alforea mengalami gangguan beberapa hari terakhir ini."

"Pertama, sejarah seluruh multi-semesta ditulis ulang oleh seseorang, entitas yang belum kita kenal. Entitas itu memiliki kuasa untuk merubah garis semesta, merubah aliran waktu, dan menjadikan sejarah berubah sesuai yang diingininya. Sejauh ini, dia telah beberapa kali merubah garis dan melakukan alterasi pada beberapa peserta.

"Hanya sedikit nama yang tidak terpengaruh, namun mereka dimatikan oleh virus sugesti yang sangat kuat," Nurma menghela nafas, "dan itu adalah sugesti untuk bunuh diri."

"Sudah kuduga, efek samping menjadikan semesta ini menjadi semesta yang terintegrasi dalam sebuah program permainan adalah hal yang buruk." ujar seseorang menyela, "Sesuatu yang dibuat manusia, akan bisa dihancurkan oleh manusia juga. That's a given."

"Hmph, menyesali yang telah dilakukan hanya akan memperlambat perkembangan kita." balas seseorang lainnya, "Lagipula kita setuju menjadikan semesta ini sebagai semesta game untuk turnamen kali ini sebagai countermeasure dari rumor yang kita dengar itu."

"Ya," jawab Nurma, "semua ini akibat rumor yang beredar di dunia kita tentang entitas itu.

"Tapi mari kita fokus, masalah utamanya bukan itu untuk saat ini." lanjut Nurma, "Sekarang ini, seseorang tengah meretas sistem dasar permainan kita dan memajukan paksa ronde 2

"Dan yang lebih buruk, mereka menggabungkan markas database kita dengan sebuah arena pertempuran. Hal ini dapat membuat mereka dengan sengaja atau tidak, menghancurkan sistem dan merusak basis dunia kita.

"Dunia kita bisa hancur kapan saja."

"Itu hal buruk!"

Ruangan mendadak gaduh, semua mengeluarkan pendapat masing-masing tanpa ada yang menjembatani.

"DIAM!" teriak Ruu tiba-tiba, kesal.

"Saat ini, kami telah meminta mata-mata kita untuk memberikan informasi yang bisa kita manfaatkan. Sejauh ini, penyebab utamanya sepertinya telah jelas." lanjut Ruu, menanggapi omongan Nurma.

"Kalian ingat tentang satu orang yang entah kenapa masuk ke dalam core dan tidak bisa disingkirkan dengan cara apapun?

"Strangely enough, mereka yang mengalami alterasi sebagian besar berhubungan dengan anak ini. Selain itu, dia juga tidak terpengaruh dengan alterasi itu dan tetap memiliki ingatan yang bergerak lurus."

"Ya." sela Nurma, "Bahkan, Vajra yang kuminta menghabisinya juga mendapat alterasi meski ia tak hilang dari sejarah dunia."

"Hm," Ruu mengangguk, mengiyakan, "dan kali ini, mata-mata kami bilang anak ini juga secara tidak langsung berhubungan dengan kejadian kali ini. Sepertinya, tujuan utama sang peretas ada hubungannya dengan keberlangsungan anak ini dalam battle of realms yang kita selenggarakan.

"Memangnya siapa anak yang kalian bicarakan itu?" tanya salah seorang di sana.

"Kalian semua kurasa sudah pernah mendengar namanya, nama Sang Titisan." jawab Ruu sambil menatap sang penanya. Semua diam, menunggu.

"Nama yang sama,

"Lo Dmun Faylim."


BAGIAN III – SETH BLOVER



"Hahh...."

Lodun dan Kazuki tengah berhadapan di dalam sebuah rumah. Mereka saling menatap di dalam ruangan dengan dinding dan lantai kayu itu. Dari jendela, Kazuki tahu mereka sedang berada di lantai dua rumah tersebut. Selain itu, di pojok ruangan mereka juga bisa menemukan tangga turun ke bawah.

"Berganti lagi, ya?" kata Kazuki.

Lodun hanya diam. Ia tampak kelelahan, sementara Kazuki tampak begitu segar. Di atas kepala mereka terlihat health bar yang menampakkan angka yang berbeda. Lodun 39%, sementara Kazuki 78%.

"Heh, aku lagi yang berhasil mendapatkan boss item itu, Lod!"

Lodun terengah, ia terpojok. Perbedaan health point begitu jauh, Lodun mulai tak yakin dirinya bisa menang. Lalu Kazuki segera memasang kuda-kuda, siap menyerang. Namun ketika Kazuki mulai mengambil langkah, tiba-tiba atap rumah itu hancur diikuti suara raungan yang keras.

"GRAAAHHHH!!!"

Seekor raksasa muncul!

Raksasa itu merusak atap dengan menyapunya ke samping, memperlihatkan Lodun dan Kazuki yang berada di dalamnya. Serangan berikutnya menyusul, raksasa berbentuk fisik seperti manusia telanjang itu membanting kepalnya ke arah mereka.

Buakk!

Lodun lincah menghindar dengan melompat ke atap rumah sebelah, sementara Kazuki menjatuhkan diri ke bagian depan rumah. Di hadapan mereka tidak hanya satu raksasa, tapi dua. Keduanya tampak buas, dengan gigi penuh taring dan mata putih tanpa iris.

Lodun lalu menyadari sesuatu ketika menangkap sebuah tulisan besar di sudut matanya. Ia langsung berdiri dan memandang ke sekitar. Mereka kini berada di sebuah kota, dengan sebuah bangunan besar seperti kastil di bagian tengah. Kota itu sendiri dikelilingi oleh dinding yang tinggi besar, menutupi pandangan Lodun ke wilayah luar dinding.


---==GOLIATH KINGDOM==---


Tulisan besar di sebuah papan nama tertempel di dinding besar itu, menunjukkan nama kota – atau kerajaan – yang mereka tempati saat itu. Dinding itu tampak kokoh, seolah penjara bagi raksasa yang memenuhi kota itu.

Ya, kota itu adalah kerajaan raksasa buas – Goliath.

Buakk!

Serangan lain, mengarah ke Lodun.

Lodun beruntung, di arena penuh rumah seperti ini memudahkan dirinya untuk membuat banyak lubang. Sebelum serangan itu sampai, ia telah kabur dan menghilang dalam barisan rumah, meninggalkan Kazuki sendirian di sana. Pandangan kedua raksasa itu lalu beralih pada Kazuki.

"Oh, sial!"

Kazuki lari begitu seekor goliath bergerak mendekat. Seram, liur monster itu menetes ke mana-mana. Karena besarnya, goliath itu dapat melewati tiga rumah dalam sekali langkah. Beruntung, ukuran yang besar itu membuat pergerakannya lambat sehingga Kazuki bisa kabur dengan kecepatan sebanding.

"Auw!"

Kazuki tiba-tiba terjatuh!

Ia tersandung tali yang terikat di tiang rumah dan ujung lainnya dipegang oleh Lodun. Lodun segera menempelkan tangannya ke tanah.

"Silent Apertis."

Tepat sebelum wajah Kazuki menyentuh tanah, muncul lubang di hadapannya. Namun insting Kazuki bagus, ia berhasil menghindari terperosok ke dalamnya. Dia menggunakan pedang nodachi miliknya yang besar untuk merubah arah jatuh, mendorong sisi lubang dengan ujung pedangnya.

Namun, saat itu raksasa goliath telah mendekat menghampiri Kazuki dan siap menghantamkan tinjunya ke tanah. Kazuki berhasil mendarat, namun Lodun tak habis akal. Lodun melompat salto melewati kepala Kazuki, dengan menggenggam dua ujung tali sepanjang satu meter. Tali itu kemudian dilewatkan ke leher Kazuki ketika Lodun tepat berada di atasnya, praktis mencekiknya. Akibat posisi Lodun sedang salto, Kazuki tertarik ke belakang dan tak bisa bergerak.

DUAKKK!!

Kazuki kena!

Tepat begitu Lodun mendarat, ia langsung melepaskan tali itu dan kabur ke dalam tanah. Meski hanya sekejap, gerakan tadi cukup untuk menahan Kazuki jadi sasaran tinju raksasa tersebut. Health bar Kazuki bergerak cepat, menurunkan nilai health point sampai angka 48%.

Tak cukup dengan itu, serangan kedua mengejar. Goliath itu hendak melancarkan tinju kedua. Beruntung, Kazuki masih bisa bergerak sehingga ia sempat menghindar dengan berguling ke samping.

"^&*%!!" Kazuki mengumpat selagi kembali berdiri, "Wilayah penuh dinding begini sangat menguntungkan bocah itu."

Kazuki melihat ke atas, dua makhluk gigantik itu masih di sana. Seolah lapar, mereka melihat Kazuki dengan pandangan penuh nafsu membunuh. Salah satunya mengepal.

"Dai Shogun no Odori. (Tarian Jenderal Besar.)"

Duakkk!

Duakkk!

Duakkk!

Tinjuan dan injakan dari dua monster menghujani Kazuki. Namun bak penari latar, Kazuki menghindari tiap-tiap yang mengincarnya dengan gerakan berputar dan maju tanpa suara langkah sedikit pun. Matanya terpejam, tapi gerakannya jauh lebih indah daripada penari yang sebenarnya.

"Auto Focus."

Kazuki mendadak membuka matanya, memandang satu Goliath dengan tajam dan penuh konsentrasi. Goliath lain yang awalnya hendak meninju ke bawah, mendadak mengalihkan kepalannya ke arah lain.

Duakkk!

Entah kenapa, Goliath itu meninju temannya yang ditatap penuh konsentrasi oleh Kazuki.

"Heh, kekuatan mataku masih bagus ternyata.

"Saatnya kabur."

Kazuki lalu berlari, mencoba mencari Lodun. Namun, lagi-lagi langit berubah merah. Angka 1 dan 0 warna merah tampak beterbangan di langit, seperti kerumunan lebah mencari mangsa. Kazuki berhenti sejenak memandanginya heran. Lodun yang sedang bersembunyi di balik salah satu rumah juga melihatinya dengan bingung.

"Apa yang terjadi?"

Bzzzt

===

Zraaash...
Cip... cip...

Suara air yang jatuh dari tebing yang tinggi, deras menderu. Berada di sisi air terjun, terdengar juga kicau burung bersahut-sahutan satu sama lain. Daun-daun yang bergesekan menimbulkan bunyi-bunyian gemerisik yang merdu, dengan sesekali ikan-ikan tampak melompat-lompat seolah minta diperhatikan. Ikan dengan warna pelangi itu tampak lucu, kontras dengan air sungai yang jernih memantulkan cahaya mentari dari atas sana.

Di sisi yang berlawanan dengan air terjun tadi, terdapat hutan yang rindang. Tampak dari dalamnya beberapa ekor binatang yang berwarna senada dengan ikan-ikan tadi. Kombinasi warna merah, hijau, dan kuning berpadu dengan apik di kulit seekor kijang. Sementara di sisi lain terlihat burung unta dengan bulu merah jambu dan sayap berbalut warna merah, biru, dan jingga. Tidak hanya mereka, semua binatang di hutan itu memiliki ragam warna yang unik dan tidak ada di wilayah lain.

Hutan pelangi, mereka menyebutnya. Hutan yang kaya akan makhluk berwarna-warni, langka dan hanya ada satu di Alforea. Hutan yang terdapat di sisi air terjun ini dapat memberikan kedamaian bagi siapapun yang mengunjunginya. Itulah kenapa tempat ini memiliki nama lain. Hutan pelangi, karena keanekaragaman hewani di dalamya. Untuk kedamaian dan ketentraman yang diberikan air terjun seisinya, tempat ini diberi sebutan baru.


---==PARADISE FALLS==---


Air Terjun Surgawi.

Seharusnya tempat ini jauh dari kericuhan di jagat Alforea.

Seharusnya tempat ini merupakan cagar lindung, yang dikhususkan untuk menjaga ragam pelangi makhluk di dalamnya.

Seharusnya tempat ini tidak dijadikan tempat pertempuran antar petarung dari berbagai jagat.

Tapi di situlah berdiri Lodun dan Kazuki, berhadapan satu sama lain. Mereka saling menatap. Bingung, heran, cemas, takut, bercampur jadi satu. Bingung karena lokasi yang tak tentu, heran karena aturan turnamen yang inkonsisten, cemas akan keberlangsungan hidup masing-masing, dan takut akan kekalahan.

Tapi di situlah berdiri Lodun dan Kazuki, bersiap untuk saling melawan dan saling menjatuhkan.

"Cuma aku, atau memang pergantian lokasinya semakin lama semakin cepat?" tanya Kazuki dengan nafas terputus-putus, kelelahan. Di atas kepalanya tampak angka persentase menunjukkan 47%.

Lodun tak menanggapi. Dirinya lebih lelah daripada Kazuki dengan persentase health point miliknya hanya tersisa 37%.

Tapi mereka tetap harus bertempur.

"Hup!"

Kazuki melangkah maju, menyerbu Lodun. Lodun segera menunduk, ia menempelkan tangannya ke tanah dan membuat banyak lubang untuk mencegah Kazuki mendekat. Namun dengan kelincahannya, Kazuki menghindari setiap lubang dan bergerak semakin dekat.

Syut!

Kazuki mengayunkan nodachi miliknya, namun dihindari oleh Lodun. Setiap serangan berikutnya juga dihindari dengan sigap, seolah Lodun bisa membaca arah serangan Kazuki. Kazuki mengayunkan pedangnya horisontal, dihindari oleh Lodun dengan gerakan kayang. Ia lalu segera membuat lubang di bawahnya dan menghilang ke dalam tanah.

Kazuki terdiam.

Dia sudah hapal dengan gerakan Lodun, Lodun sangat menyukai serangan tiba-tiba. Kazuki segera bersiaga, memastikan ia siap atas serangan apapun yang dilancarkan oleh Lodun.

Sementara Kazuki bersiaga, Lodun sebenarnya sedang kabur agak jauh dari lokasi Kazuki. Ia kini beristirahat di dalam hutan, duduk sejenak karena kelelahan. Ia memanfaatkan saat di mana Kazuki terlalu sibuk bersiaga untuk dirinya beristirahat.

"Aku harus mengatur strategi."

===

Malam itu di pinggiran kota, si topi rajut tampak bertepuk tangan girang. Di belakangnya, pria berjubah hitam sedang berdiri menunggu. Ia mulai terlihat kesal karena si topi rajut tampak tak serius menjalankan tugasnya.

"Apa yang sedang kau lakukan?" tanya si jubah hitam, "Tak bisakah kau percepat kerjamu? Kita sudah terlalu lama di sini. Kau bilang tak butuh waktu lama."

"Memang," jawab si topi rajut, "aku sedang menonton ronde kedua, haha."

"Hmph." si jubah hitam makin kesal, "Ayo segera kembali! Tuan menunggu laporan dari kita!"

"Tapi tidakkah kamu ingin melihat, apa yang terjadi dengan database Alforea?" si topi rajut tertawa licik, "Lagipula, apa kamu yakin akan datang menghadap Sang Tuan sebelum memastikan keberhasilan retasanku?"

"T-tapi," si jubah hitam bingung, "memangnya peretasanmu masih mungkin gagal?"

"Tidak akan, haha." si topi rajut tertawa sendiri, "Tapi ada satu lokasi yang harus kudatangi, dan harus aku yang turun tangan sendiri."

"M-maksudmu, ke tempat Lo?"

"Ya, ke tempat Kak Lo.

"Menuju Air Terjun Surgawi, Hutan Pelangi."

===

"LOOOOOD!! DI MANA KAU!!"

Kazuki berteriak, tampak kekesalan memenuhi kepalanya. Ia berjalan hendak memasuki hutan, menebas pepohonan yang ada di hadapannya. Hendak dicarinya Lodun yang tadi sempat menghilang, dan tidak kembali membiarkan Kazuki menunggu di dekat air terjun.

"Tunggu!

"Tak akan kubiarkan kau kabur!"

Kazuki menoleh, berhenti sebelum masuk lebih jauh.

Suara Lodun.

Hening.

Kazuki mencoba melangkah mendekat.

Krek.

Kazuki tanpa sengaja menendang sebuah tali ketika melangkah.

Jebakan!

Syutt!

Sebuah batu besar yang terikat dengan sebuah tali, jatuh berayun. Kazuki berhasil menghindar dengan cepat, bergerak mundur ke belakang.

Zraat.

Kali ini jebakan tali, siap mengikat kaki Kazuki dan menaikkannya ke atas pohon. Namun Kazuki sigap, sebelum dirinya benar-benar tertarik ke atas, ia mencabut kodachi miliknya dan memotong tali tersebut.

"Sial, di mana kau, Lod?"

Kazuki kini lebih berhati-hati melangkah, lebih memperhatikan bagian kaki sebelum melangkah. Kazuki berjalan sedikit masuk ke bagian hutan, mencoba mencari Lodun. Tapi ketika ia menyentuh salah satu pohon di sana, tiba-tiba pohon itu oleng.

Pohon itu kemudian jatuh ke dalam sebuah lubang yang sangat besar, yang tadinya tertutupi oleh dedaunan dan rerumputan. Samping kiri dan kanan pohon itu terhubung tali, tampak memanjang sampai ke bagian kiri kanan Kazuki. Tadinya tali itu tak tampak, mungkin akibat tertutup daun dan rerumputan. Akibat pohon itu jatuh, tali itu kini tertarik.

Kazuki yang menyadari itu segera menoleh ke belakang, mendapati sesuatu di ujung tali yang ikut tertarik.

Itu Rompi Lodun!

"Umph!"

Rompi yang dibentangkan itu berhasil menangkap tubuh Kazuki, membuatnya tertarik ke belakang. Beruntung, Kazuki masih menghunuskan kodachi di tangan kanannya. Dengan sekali tebas, rompi Lodun terbelah dan Kazuki terselamatkan sebelum sampai masuk ke dalam lubang.

Namun ketika ia baru saja mendaratkan kaki, tiba-tiba tanahnya hancur.

Lubang jebakan lain.

Lodun membuat lubang di bawah tanah dengan menyisakan ketebalan permukaan satu senti, untuk menjebak Kazuki. Spontan, Kazuki mencabut pedangnya dengan masih tertutup sarung. Karena nodachi berukuran besar, ia langsung menggunakannya untuk menahan dirinya agar tidak jatuh dalam lubang yang lebarnya hanya satu meter itu, memalangkannya di muka lubang.

"Hup!"

Kazuki lalu melompat, keluar dari lubang tersebut.

Tapi ada yang aneh. Normalnya, ketika Lodun membuat lubang dan punya kesempatan untuk menutupnya kembali, ia akan segera menjebak lawannya ke dalam lubang. Tapi tidak dengan sekarang, ia bisa lolos dari lubang yang terakhir dengan mudah meski dirinya telah sampai masuk ke dalamnya.

"Apa yang diincar Lo...," Kazuki terhenti saat dirinya memegang pinggang.

Kodachi hilang.

Kazuki segera memeriksa ke dalam lubang yang terakhir dilaluinya, khawatir jika pedang pendeknya jatuh ke dalam tanah. Alangkah kagetnya Kazuki ketika menemukan di bawah sana seorang bocah berambut putih dan berkaus hitam, sedang tersenyum. Ia membawa pedang pendek milik Kazuki, memamerkannya seolah habis memenangkannya dari suatu perlombaan.

"Hehe," tawa si bocah, "terima kasih, Tuan Tsukishiro."

===

"Tuan Nurma, ada penyusup di sektor 109!"

"Apa?!" kaget Nurma, tak percaya, "Itu kan bagian paling riskan di level satu!"

Nurma dan yang lain saat itu tampak sibuk, mereka semua berlarian ke sana kemari dengan beberapa berada di depan layar monitor, berusaha melawan peretas dan membasmi virus yang menyerang bumi Alforea.

"Sebenarnya selain penyusup itu, di sektor tersebut sedang berlangsung sebuah pertarungan ronde dua."

"Hah?!" Nurma makin kaget, "Seharusnya tempat itu dilarang untuk pertempuran, bukan?!"

"T-tapi virus itu tidak bisa dicegah, Tuan."

"Oh, sial." Nurma menggaruk-garuk kepalanya, pusing, "Coba lakukan apa yang kamu bisa. Untuk saat ini, sepertinya itu tidak penting. Fokus terhadap pembasmian virus terlebih dahulu."

"Siap, Tuan!"

"Brengsek kamu, Fay." gerutu Nurma pada dirinya sendiri, "Apa lagi yang kau rencanakan kali ini?"

===

Trang! Trang!

Kazuki dan Lodun beradu pedang, Kazuki dengan nodachi dan Lodun dengan kodachi yang baru saja dicurinya. Kazuki mengayunkan pedangnya vertikal, hanya untuk dilewati oleh Lodun ke arah samping. Sekejap berikutnya Kazuki mengayunkannya diagonal, tapi Lodun tetap bisa menghindarinya dengan menunduk. Pun serangan-serangan berikutnya bisa dihindari begitu saja oleh Lodun, dengan sesekali ia balas menebas. Suara rencangan sedari tadi ternyata bukan adu pedang, melainkan tangkisan Kazuki terhadap serangan Lodun.

"Videre," kata Lodun, "jurus pasif yang seharusnya hanya bisa digunakan untuk membaca apa saja yang ada dalam jangkauan sentuhku untuk Apertis, kemampuan membuat lubangku, kini bisa kugunakan untuk membaca apa yang ada di udara."

"Heh, how convenient." balas Kazuki, "Lagi-lagi akibat sarung tangan bodohmu itu, 'kan?"

Lodun tak bisa menyangkal, sarung tangan milik Reviss ini benar-benar membantunya. Kalau bukan karena sarung tangan ini, mungkin bahkan ia tidak bisa lolos dari Los Soleil. Ia bisa mengalahkan Khavaro juga berkat Neo Apertis yang tidak sengaja dikuasainya.

"Terima kasih, Reviss." bisik Lodun.

"Taka! (Elang!)" Kazuki mendadak maju menerjang. Ia mengayunkan pedangnya dari bawah ke atas, mengincar leher Lodun. Lodun langsung bergerak mundur, menghindari tebasan yang menginginkan nyawanya itu.

"Tora! (Harimau!)" Kazuki makin maju, hendak membelah tubuh Lodun dengan ayunan mendatar. Lodun hanya bisa menunduk untuk menghindarinya karena serangan tiba-tiba tersebut.

"Batta! (Belalang!)"

Duakkk!

Lodun tak menyangka, serangan berikutnya adalah sebuah tendangan yang telak mengenai perutnya. Lodun terlempar, punggungnya lalu membentur sebuah pohon di sana.

"Nice combo, eh? Siapa bilang aku akan terus-terusan menggunakan pedangku?"

Lodun mengerang, kesakitan. Dirinya mulai lelah, pun Kazuki. Meski masih berdiri, Kazuki juga terlihat mulai ngos-ngosan, nafasnya cepat akibat terlalu banyak bergerak dalam sehari. Mental mereka mulai tak kuat dihadapkan pada pertarungan terus menerus. Lodun melihat ke atas kepalanya, melihat health bar miliknya menunjukkan angka 19%, sedangkan Kazuki 17%.

Sudah saatnya penghabisan.

Kazuki mengepalkan tangan kanannya yang menggenggam kodachi milik Kazuki, bersiap maju menerjang. Kristal Oval di sarung tangan kanannya sedari tadi tak berhenti memancarkan cahaya ungu, menunjukkan kesiapannya untuk membantu Lodun.

Sementara Kazuki, dengan satu pedangnya yang tersisa ia memasang kuda-kuda. Kedua tangannya menggenggam erat nodachi miliknya. Matanya dipejamkan, hendak berkonsentrasi dengan segala yang dimilikinya.

"Ayo, maju!"

Kazuki berlari menerjang seraya berteriak.

"Dai Shogun no Odori!" matanya yang tadi terpejam, kini dibuka.

Biasanya Kazuki mengistirahatkan matanya untuk ini dan memilih mengonsentrasikan kekuatannya pada indra yang lain, tapi sekarang berbeda. Ia ingin segera menghabisi Lodun, menutup bencinya pada anak itu. Pun Lodun, mengingat sisa energinya tinggal sedikit, ia ingin segera mengalahkan Kazuki dan beristirahat dengan tenang.

Syut syut syut!

Mereka berdua saling menyerang, menebas, dan menyayat. Tapi karena kekuatan mereka, keduanya tak bisa saling mengenai. Lodun dengan Videre yang mengijinkannya untuk membaca apa yang ada di udara, dan Kazuki dengan kemampuannya untuk berkonsentrasi terhadap apa yang bisa dirasakan oleh indra.

Namun, entah kenapa health point mereka berkurang perlahan, sedikit demi sedikit.

Hanya masalah waktu.

Kazuki mengetahui itu, dirinya tak akan sanggup bertahan menggunakan kekuatan yang memakan energinya terus menerus meskipun Lodun juga sama. Mereka terus saling menebas, tapi luput. Tak satu pun serangan mereka yang saling melukai.

Ini bukan lagi pertarungan fisik.

Ini pertempuran mental.

Kazuki memperhatikan health point miliknya telah mencapai angka satuan.

"AKU HARUS MENANG!"

Kazuki mulai berteriak, berusaha menutupi kepanikannya.

"AKU HARUS MENANG DAN MENUNJUKKAN PADA IBUKU!"

Trang!

Kazuki kalah. Pedang miliknya terlempar jauh, menyisakan dirinya yang terduduk lemas.

"Aku harus menang...," lirih Kazuki, "aku harus menjadi penguasa di tempat asalku, dan menunjukkan pada ibuku."

Lodun bergerak maju, menodongkan pedang kecilnya ke arah Kazuki.

"Bunuh aku, Lod." pinta Kazuki, "Biarkan aku menggapai impianku dalam tidur abadiku."

Hening.

Suara air terjun yang mendamaikan hati itu kembali terdengar, suara menderu yang diiringi suara kicau burung, gemerisik daun, dan sesekali kecipak lompatan para ikan. Di atas rerumputan hijau yang menghampar, terdapat noda-noda merah darah, merusak kesuciannya.

Lodun menghela nafas.

Lodun lalu memutar arah kodachi, mengamankannya di pinggang.

"Dengar, Tuan Tsukishiro," ujar Lodun, "tak peduli sebenci apapun dirimu pada ibu, pada keluargamu, tak ada seorang ibu pun yang tak sedih ketika anaknya terbunuh di medan perang.

"Mungkin hal yang mereka lakukan hingga membuatmu membenci mereka, sebenarnya adalah demi dirimu juga."

Mata Kazuki mendadak basah.

Di ambang kematiannya, ia sempat teringat apa tujuan dirinya menginginkan posisi teratas di tempat asalnya, Jepun.

Demi ibunya.

Health point Kazuki tinggal 3%, Lodun 7%. Serangan seperti apapun pasti bisa membunuh mereka saat ini. Namun, nafsu membunuh di sana menghilang sama sekali. Air terjun surgawi, benar-benar seperti namanya, telah berhasil menentramkan hati seorang pria yang membenci keluarganya.

Dor!

Lodun terkejut.

Kazuki tertembak, tepat di pelipis.

"Tuan Tsukishiro! Kaz! Tuan Kazuki!! KAAAAAZ!!!"

Lodun berteriak memanggil-manggil nama Kazuki yang terjatuh dalam dekapannya, tapi nihil. Darah mengucur dari lubang yang menembus kepalanya, membasahi kaos hitam Lodun.

"SIAPA!?" teriak Lodun, "SIAPA YANG BERANI MELAKUKAN INI!?"

"Kak Lo, kau masih tidak bisa membunuh orang, hah?"

Lodun menoleh ke arah suara, melihat seorang bocah yang lebih muda darinya dengan sweater warna hijau, kacamata, dan topi rajut warna kuning. Warna rambutnya yang menyebul dari balik topi rajutnya terlihat senada dengan sweaternya, hijau cerah. Bocah yang warna kulitnya kuning langsat itu tampak menodongkan sebuah pistol yang masih berasap, mengindikasikan bahwa ialah penembak Kazuki.

"Maafkan aku, kak Lo." lanjut bocah itu, "Alih-alih penyembuh, sebenarnya yang diambil kakak itu sedari tadi adalah database level satu Alforea. Jadi aku harus membunuhnya agar database itu ikut hancur bersamanya."

"K-kau...," Lodun tercekat, "bukankah kau...?"


"Siapa namamu?"

"Kata Ibu, aku tak boleh menyebutkan namaku pada orang asing."

"Agh! Tolong aku, kak!"

"Jika kamu memang pria, pimpin dirimu sendiri!"

"Kalau bukan kamu, siapa lagi yang melindungi ibumu!"

"K-kak Lo, namaku...,"


"Seth?"

"Hihi, senang kakak masih mengingatku." bocah itu lalu melepas kacamatanya dan topi rajutnya, memperlihatkan rambutnya yang berantakan, "Meski kakak berkhianat, tapi kenangan kakak akan kami tentu tidak akan bisa hilang begitu saja, haha."

"Seth, ini benar kamu, 'kan?" tanya Lodun masih tak percaya.

"Iya kak, ini aku,

"Seth Blover.

"Pembunuh terbaik di planet Arva."



Titisan Akash: END


1 comment:

  1. Karena saya baru selese baca entri Asep sebelum baca ini, rasanya jadi timpang banget. Di sini lebih banyak bertabur deskripsi mendetil, yang sayangnya buat pandangan saya pribadi (lagi" ini subjektif) sebenernya bisa dipangkas biar jadi singkat tapi tepat guna

    Kalo tadi saya bandingin sama entri Asep, itu karena di sana lebih dapet 'remarkable moments'nya. Banyak scene yang bisa saya copas sepanjang baca buat nunjukin impresi isi entri itu. Sementara kalo di sini agaknya kurang, jadi masih battle normatif aja

    Terus mungkin ganjelan lain saya si kazuki, kadang make jepang, kadang kok nginggris juga ya. Kalo sfx kayanya emang ga bisa diilangin, jadi udah ga usah dikomemtarin lagi

    Dari saya 7

    [OC : Dyna Might]

    ReplyDelete