10.7.15

[ROUND 2 - LEVEL 1] SANELIA NUR FIANI – EXILED ENTITY





Exiled Entity

[WARNING! : This entry contain scenes of explicit violence and gore]
[18+ MATURE CONTENT— by any mean, it's NSFW]



Aku hanyalah kenangan, sebuah entitas semu yang telah lama hilang. Menderita di balik layar, tak sanggup untuk berbicara walau sekedar melayangkan sapa.




*********

  

Despera, kota indah dengan dua buah bulan di angkasa menerangi malam. Gemerlap lampu penerangan di tiap sudut bangunan, terlihat begitu berkilauan layaknya untaian berlian.

Desir angin malam menerpa keras wajahku seraya aku jatuh dari ketinggian.

Roket yang mengantarku pecah begitu saja menjadi jutaan serpihan, larut dalam empasan keras di atmosfir planet Alforea. Tiap sudutnya terbakar dalam pendaran cahaya temaram. Namun anehnya, tubuhku terlihat masih baik-baik saja.

Alih-alih ikut meledak, aku hanya terempas keluar hingga terjun bebas hendak menerjang daratan. Rambut dan pakaianku berkibar, ditarik angin hingga berkibar tak karuan.

Mataku terpejam erat, jantungku berdebar keras. Aku tak mampu menggapai apapun, tak berdaya, hanya menunggu akhir dari segalanya. Apa aku akan mati begitu saja?

Kulihat tanah semakin dekat, sementara laju tubuhku sama sekali tak melambat, yang ada malah semakin cepat. Mataku terbuka lebar menatap bayang sang kematian. Secara reflex kuposisikan kakiku agar bisa mendarat, walau kecil harapan untuk bisa selamat.

Dan memang benar, hantaman itu terlampau keras untuk bisa ditahan. Gedebuk suara terdengar begitu keras kala aku terempas di jalanan berbatu. Tungkai kaki remuk seketika, tertekuk menjadi beberapa bagian. Tulang punggungku patah hingga seisi tubuhku terhimpit menuju tanah. Kulihat bercak merah berceceran di sekelilingku. Serpihan tulang rusuk menyembul keluar, menyibak segala sesuatu yang tadinya bersembunyi dalam perutku. Untaian usus beserta organ dalam berceceran dengan darah menciprat. Kedua lenganku juga putus entah ke mana.

Air mataku becucuran, wajahku tergeletak ke samping. Sebuah pertanda bahwa leherku juga ikut putus ketika menahan tumbukan. Mungkin kepalaku juga tak lagi utuh. Mata kiriku buta, pertanda sebagian kepalaku pecah begitu saja. Aku bahkan tak merasakan apapun, desiran jantung pun tak lagi memompa adrenalin untuk berpikir. Namun aku tahu, tubuhku saat ini terlihat amat berantakan.

Kesadaranku menghilang begitu saja, segalanya menjadi gelap gulita.



**************



Hidupku hanyalah sebuah bayangan.

Tak lebih dari sekedar angan-angan.

Aku memiliki kesadaran, namun tak memiliki kuasa atas kendali tubuhku sendiri. Tiap hari hanyalah drama tak berkelanjutan, menatap orang-orang yang kukenal, memanggilku dengan nama asing, alih-alih mengingatku sebagai seorang perempuan bernama Yulia.

Semua orang sama sekali tak mengingatku. Teman-teman dekatku bahkan tak lagi menyadari keberadaanku. Yang mereka tahu, sosok gadis berambut biru di hadapan mereka, hanyalah sosok penyihir ceria bernama Fia.





***********************





Aku menjerit keras seraya bangkit seketika.

Napasku terasa berat, dengup jantungku serasa berlarian. Tubuhku amat basah oleh keringat bercucuran, pandanganku terbelalak seraya menyapu seisi ruangan. Kudapati tubuhku tengah bertelanjang bulat dengan bertutupkan selimut tebal.

Ada di mana ini?

Kutatap dua lenganku, seraya memeriksa seisi tubuhku. Segalanya terlihat utuh, termasuk kaki kananku yang sebelumnya hilang teramputasi. Kini segalanya begitu lengkap seperti sediakala.

Apa yang sebenarnya terjadi?

Pikiranku mulai tersiksa oleh sejuta pertanyaan. Segalanya terasa seperti anomali. Tak wajar, keberadaanku di sini terasa hanyalah sebatas ilusi.

Siapa aku?
Sanelia Nur Fiani?

Benarkah begitu?
Kenapa aku ada di sini?

Mendadak aku jadi tak paham akan siapa diriku sendiri. Mataku tertutup rapat. Kurasakan kesadaranku seolah tertarik jatuh menjauhi tubuhku. Rasanya seperti melihat tubuh ini dari jarak yang jauh. Kupegang erat kepalaku seraya menarik napas berusaha menenangkan pikiran. Aku tahu aku mungkin mulai berubah tak waras.

Fokus Nely.. kau harus fokus pada apa yang ada di hadapanmu.

Kudapati senapanku tersandar di tak jauh dariku. Kusambar saja benda itu setelah mengenakan pakaian yang sedari tadi terlipat di meja dekat kasur.

Siapa yang sudah merawatku?

Sepertinya aku harus mengabaikan semua kejanggalan ini. Toh aku yang hidup kembali setelah jatuh dari ketinggian juga merupakan keanehan luar biasa. Segala hal bisa saja terjadi di dunia virtual ini.

Kudapati ruangan ini terletak di lantai dua sebuah penginapan. Honey Bee Inn— begitulah tulisan yang tertera pada plang depan gedung. Dari sana, pandanganku menatap jauh menuju bangunan terbesar di kota itu, sebuah kastil besar tempat Tamon Ruu tinggal. Target yang harus kulenyapkan.

Lewat jendela aku menyelinap keluar, turun dari lantai setinggi lima meter bukanlah sebuah halangan. Orang-orang di sana juga tampaknya tak terlalu memedulikan.

Tempatnya begitu ramai, mungkin sedang ada semacam festival di sana, sulit untuk tidak melakukan kontak fisik dengan para warga. Bahuku juga tanpa sengaja menabrak seseorang.

"Aah, maaf," ucapnya panik. Langkahnya mundur mengambil jarak, seraya menunduk sopan.

Kulihat sosok gadis berambut pendek, dengan topi imut menutupi rambutnya. Bagian puncak topi itu membentuk lipatan layaknya telinga kucing. Sementara itu aku hanya mengangguk pelan, lalu melengos pergi meninggalkannya.

"Aaaah, tunggu mbak," ucapnya seraya menarik kerah lenganku.

Langkahku terhenti, seraya mengalihkan pandangan padanya.

"Mbak ini salah satu peserta ya?"

Battle of Realms? Tahu dari mana dia? Aku pun memberikan anggukan kecil sebagai jawaban.

"Sudah kuduga," ucapnya seraya melipat kedua lengan, "Senapan besar di punggung mbak itu lumayan mencolok soalnya, gak ada penduduk lokal yang menenteng benda seperti itu."

Padahal sudah setahun lebih sejak Ronde satu dulu, tapi sepertinya turnamen bodoh ini masih saja tetap berjalan.

"Berarti mbak lolos ya? Ikut sama saya yuk ke kedai. Saya juga baru selesai dari ronde satu."

Aku terperangah, padahal sudah setahun lebih kulalui di kastil tua itu. Tapi ada orang lain yang juga baru menyelesaikannya, "Kamu… terkurung setahun juga di ronde satu?"

Gadis itu memiringkan kepalanya seraya berusaha mencerna pertanyaanku, "Setahun? Rasanya gak nyampe sehari aku nyelem, nembakin gelembung, nyari ubur-ubur, terus balik lagi ke sini."

Aku termenung. Begitu ya, sepertinya telah terjadi dilantasi waktu. Meski satu abad kulewati di kastil itu, mungkin tetap hanya berlaku selama satu hari di tempat ini.

"Namaku Khanza, mbak siapa?" ucapnya ramah.

"… Nely," ucapku singkat. Pandanganku kembali berpaling, "Aku bukan mbak," lanjutku ketus.

"Iya deh, Nely-ne." Gadis itu melompat kecil tepat ke hadapanku, menghalangi langkahku. Senyumnya terukir lebar, mengesankan ekspresi gadis imut di film hentai.

Aku tak mengacuhkannya, jadi langkahku tetap melengos pergi seraya berbelok menghindarinya.

Kususuri jalanan ramai itu, hingga tiba di sebuah danau kecil tempat warga berekreasi. Kulihat ada sebuah menara jam yang menjulang tinggi melebihi bangunan sekitarnya. Ke sanalah aku beranjak, menyelinap masuk menaiki tangga berputar, hingga akhirnya tiba di bagian puncaknya.

Tempat ini kotor, namun cukup gelap untuk menyembunyikan keberadaanku. Tak jauh dari konstruksi ratusan roda bergerigi, dengan susunan gear yang saling bertautan, berputar dalam harmoni. Segalanya kerumitan itu hanyalah demi memutar jarum detik dari jam berukuran besar di bagian luar.

Kurebahkan tubuhku, seraya mendekap erat popor senapanku. Bagian moncongnya mengarah tepat menuju kastil. Teropong pembidik kusetel dalam jangkauan pembesaran sebanyak 32 kali. Kuatur pisir dan pijera seraya memperhitungkan arah angin yang berhembus menuju barat.

Hal selanjutnya yang harus kulakukan hanyalah menunggu.

Dan memang begitu. Setengah jam berlalu, tak ada sedikitpun terlihat tanda-tanda penampakan Tamon Ruu.

"Hee.. Ne-chan mau nembak siapa?" ucap seseorang di sampingku. Sontak saja membuat bulu kuduk berdiri seketika. Tubuhku tersentak kaget.

"Kok bisa?" ucapku seraya menoleh pelan. Kusadari sosok ini adalah gadis berambut pendek tadi yang sempat bertemu di jalan.

Ia menempelkan telunjuknya pada mulut, pikirannya menerawang mencari alasan, "Mmmmh… entahlah. Nely-ne punya aura khusus soalnya. Aku bisa mencium baumu dari jarak empat blok jauhnya."

Entah kenapa aku bergidik mendengarnya.

"Nely-ne itu penyihir ya?" lanjutnya melontarkan pertanyaan, "Aura Manna dalam tubuhmu mengalir keluar terus soalnya."

Aku tak menjawab, akan lebih baik jika aku tak mengacuhkan keberadaannya. Jadi kubalikan lagi posisiku, kembali rebahan seraya memeluk popor senapan.

"Nely-ne makan yuk,"

Tak kujawab.

"Ne.. ne… udah sore nih, pulang yuk."

Hening, tak ada respon dariku. Anak ini benar-benar sok akrab denganku.

Sosok itu menggaruk kepala yang tak terasa gatal, lalu pergi meninggalkanku, "Aku pergi duluan ya."

Aku menghela napas sejenak, akhirnya gangguan itu pergi juga dari hadapanku.

Kulihat matahari mulai terbenam menggantikan siang, jendela di kastil kejauhan terlihat berpendar terang oleh lampu dari dalam ruangan. Kususuri tiap detail bangunan itu, hingga pada akhirnya menangkap keberadaan sosok berambut pirang. Ia tengah berjalan menyusuri koridor bertutupkan jendela serta tirai menghias.

Kutahan napas ini, semata agar popor senapan tidak tergeser. Tulang rusukku senantiasa bergerak di tiap tarikan napas. Setidaknya dua payudaraku ini memiliki fungsi lain, yakni sebagai shockbreaker untuk meredam goncangan.

Dua garis dalam teropong bidikan, terlihat tepat mengarah pada kepala sang pimpinan di kejauhan. Kugeser sedikit ke arah kanan, mengantisipasi lajur peluru ke arah ia berjalan.

Kutekan pelatuk seketika itu juga, demi melepaskan lecutan projektil kecil, mengirimkan ribuan joule energi kinetik bersamanya. Gemuruh ledakan sonic boom terdengar keras di saat peluru itu melesat melebihi kecepatan suara.

Selang sedetik kemudian, kudapati kepala perempuan itu terentak keras, disertai percikan darah membasahi dinding di sampingnya.

Target berhasil dieliminasi. Semoga saja dengan ini jalannya turnamen akan berhenti.

Alarm keras terdengar melengking dari kejauhan. Suatu respon yang normal akan tumbangnya sang pimpinan. Aku harus segera pergi dari sini. Maksudku.. tentu saja mereka akan segera mencari keberadaanku.

Kujinjing senapan kesayanganku ini, lalu beranjak turun menyusuri tangga, hingga akhirnya keluar dari bangunan.

Jantungku berdesir seketika, sadar bahwa ada banyak sekali pasukan keamanan di luar sana. Masing-masing menodongkan senjata, dengan apron serta pakaian penuh renda. Para maid itu memiliki wajah yang cantik jelita.

Tanggapan mereka luar biasa cepat, begitu responsif hingga janggal dirasa. Seolah mereka sudah mengetahuinya sejak awal, bahwa aku pelakunya.

Terpojok tak bisa melarikan diri, tubuhku tersentak keras kala rentetan peluru tajam datang menggerogoti. Puluhan projektil tajam merobek badanku dari segala sisi, aku terperangah, lalu ambruk tak sadarkan diri. Segalanya terjadi begitu cepat, kukira aku masih punya harapan untuk melarikan diri. Nyatanya kejadian seperti ini jauh berbeda dengan apa yang ada di dalam film beserta kisah fiksi.




*******




Len sudah tiada. Kekasih hatiku, belahan jiwaku, serta calon ayah dari anakku. Kepergiannya seolah merenggut hak bagiku untuk tetap hidup. Tiap hari yang kulewati terasa bagaikan neraka tak berujung. Hampa, kosong, serta menderita, batinku senantiasa bergolak dalam raungan penyesalan. Satu-satunya impianku hanyalah mati demi menyusul dirinya.

Apalah arti dari julukan ternama sebagai penyihir kelas tinggi? Tak sedikitpun kurasakan nikmatnya diperlakukan sebagai kepala Negara dari Negeri Indonesia ini. Menjadi satu-satunya manusia dengan kemampuan sihir, di dalam dunia penuh dengan perkembangan teknologi.

Aku boleh berbangga karena telah menjadi presiden termuda dalam sejarah. Bersama rekan-rekanku, aku tampil sebagai pahlawan dalam perang besar menyelamatkan Negara. Serbuan negeri tetangga dalam perang dunia tiga menjadi ajang pertunjukan akan kehebatan sang penyihir di bumi Nusantara. Tak ada yang mampu menandingiku. Tank, pesawat tempur, kapal perang, hingga nuklir tak sanggup menghentikanku. Atas dasar kemenangan itu pula mereka mengangkatku, sebagai komandan tertinggi sebagai sosok pemersatu.

Namun semua itu tak ada artinya. Tidak tanpa kehadirannya.

Perang besar selalu memakan korban jiwa. Tragedi terjadi di mana-mana, termasuk meninggalnya Len sebagai korban yang sia-sia.

Aku mengeratkan gigiku, seraya menajamkan mata mengutuk takdir yang menyiksa. Persetan dengan semua ini, aku ingin segera berakhir di sini.

Kugenggam erat pistol kecil di tangan, seraya mengarahkannya pada samping kepala. Jemariku sudah bersiap pada bagian pelatuknya, cukup satu gerakan untuk mengakhiri semuanya.

Akan tetapi niatku terhentikan saat itu juga, seiring dengan munculnya berkas cahaya, serta kedatangan sosok perempuan misterius berambut biru panjang. Tergeletak tak sadarkan diri tepat di hadapanku, keberadaannya seakan menjadi paket dari surga. Parasnya begitu rupawan dengan kulit putih menawan. Hidung mancung kecil, alis tipis, serta bibir yang mungil. Dia begitu mirip denganku.

Sejuta kenangan muncul merasuki pikiran, kala kupegang tubuh dinginnya yang terbaring kaku.

Namanya Fiani M. Faykreus, sosok penyihir hebat di negeri bernama Exiastgardsun. Ia datang ke sini setelah mengorbankan diri dalam tindakan mematikan, dengan menjadikan tubuh fisiknya sebagai bahan bakar sihir terkuat di dunianya.

Sihir pengendali ruang dan waktu, demi melenyapkan ancaman terbesar berupa monster yang berusaha menghancurkan peradaban. Karena sihir itu pula ia terlempar menuju dimensi acak, dunia ini— Planet Bumi.

Tiap jiwa selalu memiliki kembaran dirinya di tiap dimensi yang tercipta. Aku yang hidup sebagai Yulia, di sana hidup sebagai gadis bernama Fia.

Pun begitu, hatiku terasa amat bahagia, kala menyadari keberadaan pria bernama Leon di sana. Hidup sebagai calon penerus takhta, dengan paras, postur, hingga model rambut yang sama. Dialah kembaran jiwa Len, di sebuah alam lintas dimensi bernama Exiastgardsun.








Rintihan kecil terdengar sayup dari mulutku kala kubuka kedua mata. Napasku terasa sesak walau sekedar untuk menarik udara. Lagi-lagi aku masih hidup walau sudah merenggang nyawa.

Samar kulihat bayangan sosok pria tengah mematung tepat di hadapanku.

Kugerakkan lenganku. Kudapati dua pergelanganku tengah tertahan dalam ikatan kerat, digantung menuju langit-langit gelap. Tubuhku terangkat tinggi hingga kedua kakiku tak mampu berpijak pada lantai.

Ruangan ini kotor, juga kurang penerangan. Satu-satunya sumber cahaya hanyalah lampu terang yang menyinari punggung pria itu. Membuatnya terlihat bias, hanya berbentuk siluet bayangan berbalut pantulan cahaya.

"Apa yang kau pikirkan? Menembak Tamon Ruu begitu saja sesuka hati," ucapnya datar. Suaranya terdengar berat.

Mataku meruncing, berusaha menelisik tiap detail dari penampilannya. Janggut putih dan jubah itu. Kalau tak salah namanya Hewanurma.

"Seharusnya kau kubuang saat ini juga, dicoret dari daftar peserta," ucapnya dengan nada sinis, "Hanya karena permintaan personal dari Tamon Ruu kau masih ada di sini, berterimakasihlah pada orang yang sudah coba kau bunuh."

Eh? Dia masih hidup?  Wajahku berubah terkejut.

Tapi aku yakin betul sudah menembaknya tepat di kepala. Daya terjang peluruku bahkan terlampau keras hingga projektil itu tembus melewati keningnya.

Pria itu terdiam seraya menatapku lekat, ekspresinya seolah sedang membaca tiap perubahan di raut wajahku, "Jangan salah, dialah administrator dari dunia ini yang sesungguhnya. Apapun yang kau perbuat tak akan pernah bisa mengalahkannya."

Lalu sekarang bagaimana? Apa dia akan melepaskanku begitu saja? Atau membunuhku saat ini juga?

"Kau harus dihukum, setidaknya ini juga atas ijin dari Ruu sendiri."

"Yo, paman. Di sini kan tempatnya?" ucap seseorang lainnya.

Aku menengadahkan kepalaku, berusaha menatap kedatangan dua orang yang muncul menuruni tangga.

Salah satunya berjalan menggapai tembok, lalu menekan saklar untuk menyalakan lampu di atas ruangan, "Udahlah pak interogasi ala detektifnya. Gak seru gelap-gelapan begini."

Hewanurma menoleh, lalu membalasnya dengan ucapan kecil, "Kan biar keren."

Kini jelas sudah perawakan dua sosok yang datang menghampiri. Pria tadi memiliki rambut ungu, mengenakan topi fedora, serta berbalut stelan jas berwarna putih rapih, "Wah, tumben-tumben panitia ngasih bonus macam begini," ucapnya.

"Iya bro, bosen lah ngerjain maid mulu, sesekali sama peserta asli yang emang beneran punya emosi," sahut pria lainnya, dia juga sama-sama mengenakan setelan jas. Hanya saja penampilannya jauh lebih rapi berkat potongan rambut klimis di kepalanya, "Dyna, turunin dikit dong gantungannya," ucapnya memerintah.

Pria yang dipanggil Dyna menekan tombol kecil dekat saklar. Kusadari benda yang mengikatku ini di bagian atasnya merupakan rantai besi. Berbagai sparepart yang tergeletak, serta bau oli meyakinkanku bahwa ruangan ini adalah bengkel. Mereka menggantungku pada semacam alat yang biasa dipakai untuk memindahkan alat berat.

Kini kedua telapak kakiku mampu berpijak.

"Ronnie, Dyna," ucap Hewanurma.

Keduanya menoleh.

"Silakan perlakukan dia sepuasnya,"

Aku terhenyak mendengarnya. Apa yang hendak mereka lakukan?

"Tentu saja abang Hewanurma," sahut Dyna.

"Nah, nona ini namanya siapa?" ucap pria bernama Ronnie. Dengan jemarinya ia mencubit daguku, berusaha mengangkatnya hingga wajahku tepat mengarah padanya.

Aku tentu saja tak menjawab. Mataku menatap tajam padanya, berusaha memberikan peringatan agar tak macam-macam denganku. Jangan-jangan mereka berniat untuk menyiksaku.

"Tipe galak dia Ron," ucap Dyna.

"Kesukaanku," balas Ronnie.

Tubuhku tersentak kaget, mulutku mendesis pelan kala menyadari lengannya bergerak liar menggerayangi. Mataku terbelalak, tak percaya ketika bibirnya terpanggut menciumi wajahku. Lidahnya menerobos masuk memasuki mulutku. Aku memberontak sejadinya. Lenganku terikat ke atas, jadi yang bisa kulakukan adalah mengempas kakiku, menginjak lantai demi memindahkan posisi tubuhku agar menjauh darinya.

Tapi usaha itu sia-sia. Kudapati pria berambut ungu muncul menyergapku dari arah belakang. Lengannya bergerak kurang ajar meraih dua payudaraku, lalu meremasnya keras hingga aku menggelinjang kaku. Jutaan impuls aneh datang menyerang kepalaku, tak pernah aku merasakan hal seperti ini seumur hidupku.

Mataku terpejam erat, seraya merintih pelan memohon ampun. Dua pria ini hendak melakukan tindakan bejat padaku.

Wajahku menoleh ke belakang dengan ekspresi jijik. Pinggang pria bernama Dyna ini begitu liar menggesek-gesek pinggul belakangku. Kudapati sembulan keras dari balik resleting celananya, sementara rok yang kukenakan telah tersingkap entah sejak kapan.

"Tolong… jangan…" ucapku memohon. Rintihan yang keluar dari mulutku seakan menjadi bahan bakar dari nafsu yang menggebu. Ronnie di hadapanku tak hentinya menjilati leherku. Sementara itu lengannya yang lain bergerak maju mundur, menggosok-gosok selangkanganku. Menelisik masuk melewati celana dalamku.

Tubuhku terasa panas sekali, air mataku bercucuran hingga pandanganku terasa buram tak menentu. Aku tengah dinistakan oleh dua laki-laki tak dikenal. Reaksi biologis dari tubuhku begitu liar tak tertahankan, menggempur tiap sensorik dalam serangkaian kenikmatan, mengambil alih kendali atas kewarasanku yang sudah terpojok hingga di tepian. Tubuhku bergetar diiringi dengan desis dan lenguhan.

Aku menangis sejadi-jadinya, tak berdaya kala jatuh tersungkur dilepas dari ikatan. Tubuhku terasa lemas, hilang tenaga. Otakku tiada henti dibombardir impuls dopamine dari indra pengecapan. Sementara itu satu persatu kain yang menutupi tubuhku dicopot keras penuh paksaan.

Pria berambut ungu menghujamku dari arah belakang, merobek selaput dara yang selama ini senantiasa kujaga. Kurasakan darah bercucuran membasahi kedua paha. Sementara pria lainnya memaki tiada henti, seraya memaksaku menelan organ kejantanannya. Kerongkonganku begitu penuh terisi, dihantam berulang kali hingga tersonggok mual.

Diperlakukan layaknya seonggok barang, aku kecewa pada diriku sendiri, seakan tak punya harga diri. Jiwaku tak punya kuasa atas tubuhku sendiri. Aku tak menginginkan ini. Ini tak pernah terjadi, ini pasti mimpi!


Tubuhku dientak entah berapa lama. Dadaku terlihat gonjang ganjing menggelayut, meneteskan kucuran keringat hingga tercipta genangan di lantai. Pandanganku begitu gamang dalam ekspresi kosong tak berdaya.



Ah… sudah berapa lama waktu berlalu? Sekujur tubuhku kini terasa ngilu.

Mereka masih saja menggelutiku, silih bergantian menggagahiku. Entah berapa kali aku kehilangan kesadaran di tengah-tengah perbuatan bejat itu. Air liurku menetes jatuh, bersamaan dengan terkulainya lidah di bibirku.




"Yakin bro," ucap Dyna seraya mengancingkan pakaiannya.

Pandanganku terasa amat buram, pendengaranku begitu samar mendengar isi percakapan. Aku belum sadar seutuhnya, tubuhku hanya tergolek kaku dipenuhi bau.

"Iya, udah segini aja. Toh gimanapun dia tetap peserta, Bang Hewan udah bilang kalo perlakuan kita cuma sekedar hukuman aja."

Dua pria itu sudah berdiri lengkap dengan pakaian masing-masing. Tubuhku terasa lemas sekali, tak ada tenaga walau sekedar untuk bangkit. Aku tak lagi diikat, hanya tergolek kaku tanpa sehelaipun busana. Sekujur tubuhku terasa lengket entah kenapa.

Mereka pergi begitu saja.

Aku terisak, air mataku kembali mengalir tak tertahankan. Kugigit bibir ini berusaha untuk menguatkan diri, dengan segenap kekuatan aku berusaha bangkit sekedar untuk berdiri.

Kenapa semua ini harus terjadi?

Langkahku tertatih, berulang kali aku nyaris kehilangan keseimbangan diri. Kutapaki satu persatu anak tangga demi keluar dari ruangan ini.

Dengan sisa tenaga kudorong pintu di penghujung tangga. Menyibak kehadiran puluhan peserta yang sedang bercengkerama. Kusadari tempat ini merupakan kedai yang sama, ketika mereka mengumumkan tentang ronde satu di awal pertarungan.

Perhatian massa sontak tertuju padaku. Aku yang masih gamang, sama sekali tak tersadar bahwa belum ada sehelaipun kain menutupi tubuhku.

"Nely-ne?" ucap Khanza. Ia berdiri tak jauh dariku.

Aku lelah, kepala ini terasa berat, rasa kantuk menyerang kemudian. Segalanya berubah menjadi gelap.








Tuhan telah menunjukan kuasanya padaku. Lewat kemampuan clairvoyance milikku, kudapati gambaran masa depan yang menunggu.

Leon akan tiba di dunia ini, suatu hal besar akan terjadi di sini.

Keberadaan Fia amat dibutuhkan demi kejadian itu. Sementara itu kudapati tubuhnya memudar, seiring dengan menghilangnya hawa kehidupan gadis itu.

Haruskah kutolong dirinya? Walau aku tak tahu bagaimana caranya.

Ketika membaca masa lalunya, kudapati gadis ini merapal sebuah inkantasi ketika mengaktifkan sihir peredam luar biasa.

"Soulbreaker.." ucapku merapal, walau tak yakin akan seperti apa hasilnya.

Mendadak tubuhku dipenuhi berkas cahaya menyilaukan. Amat terang diselingi semburan udara tak terkendalikan. Kurasakan energi sihir dalam tubuhku menyusut drastis di tiap detik yang terlewatkan. Wajahku berubah panik, aku akan segera menghilang persis seperti dirinya. Sihir tadi begitu mudah dirapal, seolah memang sudah tugasku untuk menjadi penyambung nyawa.

Aku tak yakin akan apa yang hendak kulakukan. Namun sesuatu berkata bahwa inilah tujuan hidupku, kala mencapai akhir dari penghujung kisahku. Toh sesaat tadi aku memang berniat untuk mengakhiri nyawaku.

Kutatap wajah damai gadis berambut biru itu. Perawakan hingga segala sesuatu mengenai dirinya terlihat begitu mirip denganku.

"Kembaran diriku, hidup bahagialah dengan pasanganmu. Len versi duniamu terlihat lebih gagah dari pujaan hatiku."

Kuentakkan sisa energi kehidupanku padanya, bersamaan dengan kemunculan letupan udara disertai semburan energi Manna.

Gadis itu kini berdiri tegap dikelilingi pusaran angin bercahaya. Rambut biru panjangnya tergerai bebas, menyibak wajahnya yang cantik rupawan. Kesadaranku menghilang seiring dengan menyatunya tubuh kami berdua.

Fiani Memoria Faykreus— entitas penggantiku, kembaran interdimensional-ku. Aku merupakan dirinya, dan dia adalah aku. Kami hanya tinggal di dunia yang berbeda. Dan ketika hukum itu dilanggar, kami berdua bergabung menjadi satu. Dia yang tiba di duniaku, telah menyerap hawa kehidupanku.

Aku telah dikorbankan, keberadaanku tak lebih sebagai katalis penyambung nyawa.



************



Kepalaku terasa sakit, alisku mengkerut menahan nyeri. Samar kubuka kelopak mata seraya mengumpulkan kesadaran, melawan kantuk yang melanda. Tubuhku sudah berganti pakaian mengenakan kemeja. Seseorang pasti telah merawatku ketika sedang tak sadarkan diri.

"Nely-ne…" ucap seseorang.

Perempuan berambut pendek bernama Khanza terlihat duduk di sampingku. Raut wajahnya menunjukan ekspresi cemas, tanda dia sudah menungguku di sini sejak lama.

Aku hanya menatapnya dengan wajah dipenuhi tanda tanya. Ia terlihat murung, seolah ikut berduka.

Berduka?

Ah.. iya, aku baru saja…

"…"

Lenganku terkepal erat, bergetar seraya menahan emosi yang hendak memuncak. Ingatanku timbul tenggelam memutar kembali saat-saat mengerikan itu. Rasa takut melanda sanubariku, bersamaan dengan munculnya penyesalan serta kekecewaan dalam diriku.

Aku telah dinistakan. Tubuhku tak lagi suci, mereka telah merenggut hal berharga dalam hidupku. Aku telah dinodai.

Kututupi wajahku dengan kedua telapak tanganku, tertunduk malu seraya menangis pilu. Isak tangis terdengar sayup kala kutahan pedih di hatiku. Kurasakan Khanza mengelus punggungku sekedar untuk menenangkanku.

Entah berapa menit telah berlalu. Gadis itu senantiasa berada di sana untuk menemaniku. Aku kembali terlelap tidur setelah menumpahkan segala emosi di hatiku.



"Apa ini…" ucap Khanza.

Perlahan aku membuka mata, menatap wajah serius Khanza. Lengan gadis itu bergerak-gerak seolah sedang mengatur panel tak terlihat di hadapannya.

Mungkin di pandangan Khanza, saat ini muncul selayang layar virtual berisikan informasi.

Digelitik rasa penasaran, aku mencoba untuk mengikuti gerakannya. Kuayunkan lenganku seolah sedang menyapu, kubayangkan dinding tak kasat mata di hadapanku. Akan tetapi tak sedikitpun kudapati kemunculan jendela virtual macam itu. Kuulangi ritual itu, walau tak sedikitpun membuahkan hasil.

Khanza menaikkan salah satu alisnya, "Heee…. Ini bukan SAO, kamu cukup memincingkan matamu untuk mengeluarkan menu."

Aku terdiam, agak malu mendengarnya. Selanjutkan kulakukan seperti yang ia perintahkan. Kutajamkan pandangan mataku, untuk kemudian menyingkap layar transparan di hadapanku. Di sana kudapati munculnya sebuah pesan, tentang penguman dimulainya ronde dua secara dadakan.

Belum reda gejolak emosi di dada, aku harus dikejutkan dengan rangkaian kejadian lainnya. Turnamen sambung ayam ini akan kembali dilanjutkan.

Tepat di hadapanku, muncul sebuah portal misterius berwarna hitam. Menyembul keras menyedot udara, lengkap dengan keberadaan kami berdua. Khanza sontak menarik tubuhku, sementara lengan satunya lagi bertahan pada teralis besi pada jendela.

Namun tarikan itu terlampau keras untuk bisa ditahan. Pada akhirnya kami berdua jatuh, terlempar memasuki dimensi gelap tak berujung.

Tubuhku melayang dalam lubang absurd penuh dengan cahaya. Rangkaian sinar acak melesat ke segala arah, membingungkan pandanganku. Suara deru angin terasa memekakkan telinga, namun dalam segala kericuhan itu, kudapati sumber suara lain berteriak dalam gaduh.

"Berhasil!, kita berhasil masuk ke Alforea, nom~"

Siapa dia? Suaranya tak terdengar seperti suara Khanza. Mataku terpejam erat, kala kulihat pancaran sinar putih melesat cepat menuju arahku.


Serangkaian tulisan kode angka berwarna hijau, terlihat melesat tinggi ke angkasa. Mendengung pelan di sela-sela penjuru, untuk kemudian meluas ke segala arah. Pendaran cahayanya menciptakan segala perwujudan dari tiap bangun rupa. Dunia virtual dalam bentuk matrix telah dibangun dalam seketika.


-=[ WELCOME TO DESPERA BRILIANT PARK ]=-


Banner tulisan berukuran besar, terlihat begitu terang penuh warna, berpendar dalam kegelapan malam. Di belakangnya, terdapat bianglala berbentuk roda, menjulang tinggi ke angkasa. Di langit atasnya, terlihat kembang api terlihat menyala-nyala, menghiasi taman bermain penuh dengan wahana.

Aku terperangah, walau raut wajahku tak sedikitpun berubah. Tatapanku masih gamang, belum bisa sepenuhnya bekerja akibat trauma yang melanda.

"Ne-chan?" ucap Khanza di sampingku. Sontak saja aku menoleh, hanya untuk dikejutkan oleh postur tubuhnya yang berubah drastis.

Dia terlihat seperti anak balita, tapi postur tubuhnya terasa lebih janggal dari wujud bocah kecil. Kepalanya terlihat besar, wajahnya terdistorsi ke dalam bentuk kartun, sementara lengan dan kakinya menyusut kecil, membuatnya terlihat lucu.

"Nechan berubah jadi Chibi?" ucapnya terperangah, seraya mengarahkan telunjuknya padaku.

Aku sontak menundukan kepala, memeriksa diriku sendiri. Dan memang benar saja, aku juga turut terdistorsi. Kulihat ke segala sisi, tersadar akan segala sesuatu yang memang berubah chibi. Orang-orang di sekitarku, pengunjung taman ini juga berjalan dalam bentuk badan yang lucu. Tak proporsional, tapi terlihat imut.

Chibi—singkatan dari Child Body—merupakan istilah untuk menyebut kartunisasi, dalam wujud karakter dengan kepala besar, dan badan yang menyusut kecil.

 

Apa yang terjadi?

Sebuah layar virtual muncul tepat di hadapanku. Di depan Khanza sepertinya muncul satu sepertiku. Kami berdua diberitahu akan peraturan ronde dua.

"Bunuh lawanmu yang memiliki Healthbar di atas kepalanya," ucap Khanza. Ia seolah membeku kala menatapku— lebih tepatnya menatap bagian atas dari kepalaku.

Kudapati potongan garis berwarna hijau juga tersemat samar di atas kepalanya. Mirip seperti sisa healthbar di atas karakter dalam video permainan.

"Nely-ne… Kita… musuh?" ucapnya tak percaya.

Persetan dengan ini, aku tak sudi  mengikuti peraturan di sini. "Aku tak akan membunuhmu," ucapku menegaskan.

Kulihat ekspresinya berubah ragu, "Uhm…" ia mengangguk, "Aku juga. Kita tetap berteman ya."

Aku menjawabnya dengan sebuah anggukan.

"Kita masuk ke sana?" ucap Khanza seraya menunjuk pintu taman.

Maka kulangkahkan kakiku, bergerak maju menyongsong ke dalam isi taman.


"Welcome to Despera Briliant Park!" ucap sesosok pria dalam kostum boneka. Ia berdiri menyambut tiap tamu yang datang berkunjung. Di bagian bahunya kudapati kartu pengenal bertuliskan 'Moffle'. Dia sepertinya maskot dari taman hiburan ini.

Pandanganku berubah tajam, kala menyadari keberadaan sosok boneka beruang yang sedang berjalan. Teddy bear berwarna cokelat, mengenakan topi pemburu serta kacamata hitam di wajahnya.

Ingatanku jauh menyelam menggali saat-saat sebelum tiba di Alforea. Waktu itu aku bertemu dengan mendiang ayahku yang sedang dalam kondisi terkena kutukan. Jiwanya diperangkap dalam wujud boneka beruang. Dia yang sudah meninggal dipaksa bertarung dalam turnamen hidup mati di alam kematian. Kalau tak salah, namanya Battle of Realms : Afterlife

Semuanya mulai terasa berhubungan. Agenda sambung ayam antar manusia ini sepertinya rutin dilakukan.

Apa boneka beruang itu sosok yang sama? Apa dia benar ayahku? Langkah kakiku bergerak cepat didorong oleh rasa ingin tahu.

"Nely-ne, tunggu!" ucap Khanza seraya berlari menyusul.

Butuh beberapa lama bagiku untuk bisa menyesuaikan diri dengan tubuh baruku. Tapi aku tak peduli. Kudorong siapapun yang berjalan menghalangi, menyelinap masuk jauh ke dalam kerumunan orang-orang ini. Bahkan ketika berhasil mencapai bagian dalam taman, tak serta merta menjadikanku terbebas dari kumpulan para manusia. Konsentrasi massa terpusat pada sebuah panggung hiburan, di mana sebuah konser akan segera diadakan.

"Ladies and gentlemen, mari kita sambut kehadiran band dari akhirat!"

Langkahku terhenti, terhenyak kala menatap sekumpulan boneka beruang tengah berpose di atas panggung hiburan.

"Perkenalkan! Manggale, Cheril, Zany, Nemaphila, Yvika, Salvatore, Leon, Baikai, Lucia, Rex, serta penyair kita, abang Reeh!" Pembawa acara berseru seraya mengangkat tinggi lengan. Diikuti dengan teriakan semangat para musisi jalanan. Aneh memang, karena tak sedikitpun kulihat penampakan alat musik di sana.

Para teddybear itu memiliki pakaian dan ciri khas yang berbeda.



Tunggu dulu, apa tadi dia bilang Leon?

Mataku terbelalak kala menyadarinya. Dengup jantungku melonjak dalam euphoria suka cita, wajahku berubah gegap gempita. Ayahku ada di sana? Batinku berubah tak percaya.

Di sebelah kanan kumpulan beruang itu, kudapati sosok boneka mengenakan jaket, kacamata hitam, serta bilah tajam khas dari mendiang ayahku— Gunblade.

"Papa!" teriakku histeris, berusaha menerobos kerumunan seraya menjulurkan tangan. Akan tetapi teriakanku kalah keras, tenggelam dalam sorak sorai keramaian.

"Dan aku! Sang Demonlord Ursario, selamat datang di konser akhirat!"

Beruang pimpinan dengan topi pemburu terlihat mengeluarkan sebatang shotgun. Senjata api itu ia arahkan menuju kerumunan, lalu tanpa keraguan ia tembak beberapa orang yang berdiri di hadapan.

Duaaar!

Beberapa warga menjadi korban tembakan, tubuh mereka terpelanting keras untuk kemudian tersapu keberadaannya. Kulihat pilar cahaya berwarna hijau memancar tinggi ke angkasa, diselingi dengan keberadaan rangkaian kode binari berupa angka.

"Hapus semua data!" perintah sosok itu.

Tak ayal, kumpulan warga yang tadinya sedang terhibur penuh tawa, kini berubah ngeri seraya berlarian menyelamatkan diri. Sempat terjadi pause selama beberapa saat, kala mereka tak menyadari apa yang sedang terjadi.

Kekacauan terjadi di mana-mana, terlebih dengan kelakuan jahat para beruang lainnya. Masing-masing mengeluarkan senjata, lalu menembak serampangan menghancurkan segalanya.

Rangkaian pilar bercahaya tercipta tiada henti, tiap semburan kode binari menjadi pertanda akan hilangnya data. Di dunia virtual yang segalanya terdiri dari jutaan matrix, terhapusnya data berarti kematian seketika.

Boneka beruang dengan zirah putih terlihat meloncat tinggi. Dengan sekuat tenaga ia mengayunkan bilah panjangnya, menyabet dalam ayunan horizontal sekumpulan warga yang tak berdaya.

Sembilan gugusan cahaya tercipta kemudian, bersamaan dengan pecahnya tubuh pengunjung tak berdosa.

Apa-apaan ini? Aku tak percaya, mereka begitu sadis membantai semuanya. Perhatianku teralihkan pada kemunculan beruang dengan gunblade di tangannya. Ia melesat cepat dalam gerakan zig zag, menebas siapapun yang ada di dekatnya. Aura orange menyelimuti permukaan tubuhnya, Rushtio namanya. Sihir tipe dopping favorit ayahku satu-satunya.

Boneka beruang berkacamata hitam itu melesat langsung menuju diriku, hendak menebasku tanpa ragu.

"Papa!" jeritku histeris, berusaha menarik perhatiannya. Lenganku tanpa sadar tersilang demi menghalau serangan.

Akan tetapi, bilah tajam gunblade itu terhenti tepat di hadapan wajahku. Logam tipis berwarna perak itu terlihat bergetar seolah menahan sesuatu.

"Nely?" ucapnya bingung.

Aku membuka sedikit mataku, seraya meyakinkan diri bahwa aku baik-baik saja, "Papa?"

Gunblade itu terjatuh, menciptakan bunyi denting logam kala membentur lantai terbuat dari batu. Sebuah dekapan hangat mendadak terasa menyentuhku, boneka beruang itu begitu erat memelukku.

Pandanganku berubah sendu, disusul dengan meledaknya tangis pilu. Benarkah dia ayahku?

"Kenapa kau ada di sini?" ucapnya dengan suara bergetar.

Tak ada ekspresi yang terukir di wajah bonekanya. Hanya ada raut polos dengan mata terbuat dari bintik hitam, juga bibir rapat terbuat dari jahitan. Dia terlihat sama persis seperti terakhir kali kami bertemu.

"Aku terjebak dalam turnamen…"

"Battle of Realms?" potongnya seraya melepaskan pelukan.

Aku mengangguk. Kenapa papa bisa tahu?

"Buura! Apa-apaan kau Leon, kenapa malah mesem-mesem sama cewek cantik sementara yang lain sibuk dengan tugasnya!" bentak sesosok boneka beruang. Kusadari dialah sang Alfa— pimpinan mereka.

"Dia anakku, boss," ucap ayahku, seraya membalikan tubuhnya dengan merentangkan tangan, seolah melindungiku.

Para beruang yang sedang membantai di kejauhan terlihat terhenti seketika, mereka mematung di tempatnya masing-masing seraya melemparkan tatapan penuh curiga.

Keheningan itu kemudian pecah begitu saja,

"Eeeeeeh!? Si Om mesum itu punya anak?" seru beruang imut dengan busur panah di tangan.

Beruang di hadapanku terlihat menggaruk kepala walau tak terasa gatal, "Iyalah Zany, dia itu piala terbesar, hadiah dari perbuatan bejatku sama ibunya~" balas ayahku bangga.

Entah kenapa aku jadi merasa malu.

"Kiranya engkau bersedia memberikan bukti atas klaim sepihak itu?" ucap beruang lainnya. Dia tak membawa senjata apapun, hanya bermodalkan gitar semata. Sorban beserta jubah di tubuhnya menandakan beruang itu datang dari daerah gersang.

"Ckckckck, kalian semua gak menyimak sih tiap kali abang Leon bercerita," komentar salah satu beruang. Caranya berbicara mengesankan dia datang dari suku batak.

Beruang berseragam militer menimpali, "Malas juga aku mendengarnya. Dia cuma cerita hal-hal mesum tentang proses beranak pinak." Ia menghisap sebatang rokok, lalu mengembuskan asapnya membentuk simbol kelamin pria dan wanita.

"Cerita Leon tak menarik, karena ending yang sesungguhnya itu adalah…  mereka semua mati." Boneka Beruang dengan mantel berbulu terlihat tersenyum sinis. Dia mengenakan kacamata hitam stylish.

"Dia ayahku…" ucapku menyela, sontak saja menghentikan kegaduhan yang ada. Tatapanku kemudian tertuju pada Leon di sampingku, "Papa sedang apa di sini?"

"Kami di sini buat ngacau," sela beruang dengan topi pemburu. Kalau tak salah namanya Ursario.

Pimpinan pasukan boneka beruang maju mendekatiku. Aku yang sedang dalam kondisi tubuh terdistorsi, kini sepadan dengan dirinya yang sejak awal hanya setinggi karakter chibi. Pandanganku berubah tajam menyelidik, sepertinya dia alasan kenapa ayahku terjebak dalam wujud boneka beruang.

"Burra! Berhenti menggunakan kata boneka beruang, panggil kami dengan julukan Beary. Biar lebih keren gitu," teriak Ursa memaki. Ia menjejakkan kaki seraya melayangkan protes entah kepada siapa.

Aku masih belum paham tujuan akhir dari mereka. Karena di kacamata siapapun, membunuh orang-orang tak berdosa jelas merupakan sebuah kesalahan, "Mengacau?" ucapku nyaris tanpa suara.

Beary bernama Ursula memulai penjelasan, "Semua hal di dunia ini palsu. Satu-satunya hal yang nyata hanyalah keberadaan para peserta."

Beary lainnya menimpali, "Elle sudah berhasil meretas pintu menuju ke sini, nom~  Sekarang tujuan kita adalah menghapus data-data untuk meruntuhkan sistemnya, dengan menggunakan ini Nom~" Beary itu menunjukan senjata miliknya. Sebuah pensil besar dengan penghapus di ujungnya, "Nama senjata ini Eraser Gun."

"Kalian berniat menghentikan turnamen ini?" ucapku meyakinkan.

Para Beary itu mengangguk bersamaan.

"Kami adalah yang tersisa dari turnamen sebelumnya. Cheril sendiri sekarang gabung sama bang Ursa buat misi selanjutnya, menghentikan ajang gila sambung ayam antar manusia."

Aku menanggapinya dengan sebuah senyuman. Tatapanku kemudian teralihkan pada Leon di sampingku, "Papa, tolong aku. Keluarkan aku dari sini."

"Wooogh!" seru para Beary bersamaan. Kami sepakat untuk saling membantu. Para Beary kemudian saling memperkenalkan diri.

Tanpa kusadari, Khanza di sampingku berjalan menjauhi. Kami berdua bertatap mata, seolah berbicara tanpa suara. Saling melempar pandang penuh makna. Lewat kontak sepintas itu aku sudah tahu apa kesimpulannya. Wajahnya kemudian menggeleng pelan, "Maaf ya Nely, tapi aku tak sependapat denganmu. Aku sebenarnya ingin tetap maju, walau sulit bagiku untuk melawanmu."

Ia mengeluarkan handphone di saku bajunya, lalu lewat sambungan telepon singkat, ia memanggil sosok berbahaya.

Pendaran cahaya tercipta tepat di atasnya. Diikuti dengan kemunculan sosok pria bernama Hewanurma. Sinar terang itu menciptakan bayangan hebat, lengkap dengan efek berkilauan. Mengesankan kedatangan tokoh sang penyelamat. Tubuhnya tak berubah chibi, masih proporsional layaknya manusia seutuhnya. Ia melayang terbang tanpa sedikitpun berpijak. Perlahan kakinya menapak pada atap warung terbuat dari tenda.

Kemampuan melayang itu ia nonatifkan. Maksud hati ingin berdiri di tempat yang lebih tinggi, tapi malah membuatnya jatuh terperosok. Sosok itu gagal memperkirakan kepadatan lantai. Kini ia tertimpa reruntuhan warung kopi.

Hening—, Kami semua menatap sang Administrator Alforea. Tadinya kami mengharapkan aura bijaksana darinya.

Khanza melangkah maju ke depan. Dengan pose kemenangan ia menjulurkan lengan seraya berucap berusaha menekan, "Bersiaplah Sanelia, dengan bantuan Hewan—.."

Ucapannya terhenti sampai di sana. Gadis itu hilang kesadaran kala diempas sosok pria bertubuh kekar bertelanjang dada. Tubuhnya diukir dengan puluhan tato berupa segel untuk membuka gerbang Alforea.

"Naraka, hantam mereka," ucap Hewanurma. Ia bangkit dari dalam reruntuhan tenda, seolah tak mengacuhkan keberadaan Khanza. Pria itu tiada henti mengusap jenggot putihnya.

Di sampingnya, kudapati keberadaan sosok lain sebagai pembantunya, "Shorga, lakukan apa yang sudah kutugaskan. Hapus semua pengacau."

Lenganku terkepal, wajahku mendelik tajam. Si tua bangka itu penyebab trauma seumur hidupku. Dia yang memerintah dua pria bejat untuk menodaiku.

Maka kubidik saja kepalanya secara cepat, untuk kemudian melepaskan tembakan serampangan penuh kekesalan.

Peluru dari senapanku muncul menyeruak, melecut cepat hingga menciptakan gelombang entak. Akan tetapi projektilnya gagal melumat si tua bangka tak berotak. Sebuah kepalan tangan dengan mudah menangkapnya, seperti bunglon menangkap mangsanya. Sosok besar itu kemudian datang menerjang. Dengan otot kekarnya ia menyerang, mengayunkan punggung jari hingga mementalkan beberapa Beary di hadapan.

Beberapa Beary terlempar keras, lalu mendarat pada bagian bawah panggung. Mereka meringis kesakitan.

Serangan berikutnya datang, Shorga sang perempuan dengan jubah putih mulai terlihat melayang. Dua kristal bulat di telapak tangannya berputar cepat, suara dengungan dalam kisaran subsonik terasa menggetarkan bangunan. Rasanya seperti seseorang menyalakan suara bass pada speaker berukuran besar.

Detik berikutnya, kudapati kemunculan hawa dingin darinya. Kabut putih menyeruak keluar hingga akhirnya jatuh, menyebar pada lantai tempat berpijak.

Apapun itu, jelas bukan sesuatu yang baik. Kudapati dua Beary terperangkap pada kabut asap. Tubuh mereka membeku seketika, diperangkap dalam lapisan kristal bercahaya.

Aku sontak berlari menyelamatkan diri, sementara Beary Ursario menodongkan shotgunnya. Lewat satu tekanan pelatuk ia mengirimkan ledakan projektil menyeruak. Serpihan peluruhnya berpencar lebar, hingga sulit untuk ditangkap.

Pria kekar bernama Naraka tak sanggup untuk menghalaunya, beberapa serpihan tembakan lolos dari jangkauannya, menerjang langsung menuju Shorga di belakangnya.

Perempuan berjubah putih itu tersentak, tubuhnya kemudian larut, berubah menjadi kabut, hilang seketika.

"Heh, easy," dengus beruang itu.

Sementara itu aku tetap berlari. Jarak adalah senjataku, kemampuan menembak hanyalah satu-satunya keahlianku. Jadi sekarang aku berlari mencari kesempatan untuk bersembunyi, seraya menunggu kesempatan untuk menancapkan peluru di kepala Hewanurma.

Leon Beary, ditemani Beary lainnya dengan baju zirah dan pedang panjang, berlari menyongsong dalam gerakan menerjang. Keduanya mengayunkan dua bilah tajam bersamaan, menghantam keras sosok bernama Naraka tepat di bagian bahu.

Akan tetapi, serangan itu seolah tak berarti apa-apa. Lengan kekar itu nyatanya tidak terluka. Walau bagaimanapun juga, boneka Beruang yang menyerangnya hanya seukuran anak kecil saja, jadi senjata yang diayunkan juga tak begitu dirasa. Operasi gabungan tadi terlihat seperti serangan kikuk saja.

Kupincingkan mataku, demi mengaktifkan fitur HUD—tampilan garis dan layar selayaknya di dalam video game—pandanganku kini dibumbui dengan serangkaian informasi. Dari sana, kudapati keberadaan healthbar tepat di atas para Beary, persis seperti milik Khanza. Tampilan grafik yang sama juga terpampang di atas Naraka, dan tentu saja pria di belakangnya— Hewanurma.

Sebuah anak panah menancap di kening sang Naraka, walau tak begitu dalam hingga berhasil menembus otaknya. Pria itu masih berdiri tak terpengaruh sama sekali. Sebuah angka bertuliskan -25 berwarna merah juga menyembul pelan lalu hilang seketika. Kusadari healthbar di atasnya berkurang sedikit dari porsi seharusnya.

Kulihat Cheril Beary mengembuskan napasnya sejenak, seraya menempelkan lagi anak panah di busurnya.

"Serang lagi!" perintah Ursario.

Rangkaian serangan lainnya datang menyusul. Anak panah lainnya menerjang secara beruntun. Beberapa ada yang meledak hingga menciptakan kepulan asap. Juga rentetan peluru yang menerjang dari senapan mesin modern. Kulihat para Beary lainnya begitu bersemangat menyerang dengan caranya masing-masing.

Ada Zany dengan gatling gun miliknya. Ia menciptakan benda itu lewat kemampuan sihirnya. Tak lupa Beary Yvika dengan senapan assault rifle miliknya.

Sementara itu di sampingnya terlihat Reeh Beary sibuk mengayunkan pedangnya di udara. Dari tiap tebasanya tercipta lecutan bilah tak kasat mata, wujudnya berupa pemotong tajam dari udara. Rex di sudut lain juga melakukan hal yang sama.

Gempuran peluru, serta serangan jarak jauh tak ayal membuat Naraka hanya bisa bertahan. Posisinya diam membatu. Ratusan projektil melesat menggempur tubuhnya. Rasanya persis seperti melihat pertempuran satu divisi angkatan bersenjata, lengkap dengan tank dan pesawat, berjuang menembaki para Kaijuu yang menyerang kota.

-30!
-25!
-27!
-10!
-60!
-20!
-23!
-21!
-5!
-45!
-40!
-25!
-27!
-1!
-50!

Tiap hantaman itu menciptakan efek samping berupa melayangnya angka, demi menguras Healthbar musuh. Kuperiksa angka kecil di samping garis warna hijau milik Naraka, hanya untuk mendapati sisa health sebanyak 14.571 HP di sana.

Mereka tak akan pernah bisa mengalahkannya. Aku harus melakukan sesuatu.

Kubidik saja si Naraka itu, lalu tanpa kesulitan berarti kulepaskan tembakan dari jarak 70 meter tepat menuju lehernya.

-7800

Aku tak percaya, tembakanku memiliki nilai tinggi dalam menguras angkanya. Terbukti dari healthbar miliknya yang berkurang hingga tersisa setengahnya.

Sosok itu meraung keras.
Seranganku amat bertenaga, sukses memprovokasi dirinya. Ia sepertinya berniat menyerangku.

Tapi jarak merupakan senjataku, butuh waktu baginya untuk bisa tiba di tempatku. Dalam rentang kesempatan itu kulepaskan tembakan lainnya tepat mengenai bagian kepalanya.

Critical Hit
-9800

Jumlah HP yang berkurang jauh melebihi sisa angka yang ada. Sosok itu terhenti dari gerakannya, lalu tumbang tak bernyawa. Tubuhnya pecah, disertai dengan kemunculan pilar bercahaya. Seperti biasa, angka berupa kode binari berwarna hijau muncul, seraya sisa pecahannya menghilang berubah tak kasat mata.

Kutatap Hewanurma jauh di belakang sana, untuk kemudian terkejut atas jumlah yang tertera.

"50 HP," ucapku tak percaya. Pria itu amat mudah untuk dibunuh. Tak perlu tembakan support dariku. Cukup dua lontaran anak panah dari Zany untuk bisa menumbangkannya.

Akan tetapi aku tak ingin melewatkannya. Kubidik pria itu tepat di keningnya, lalu tanpa ragu kulepaskan tembakan demi mengakhiri hidupnya. Senang rasanya bisa mengakhiri hidup si bejat yang sudah menodaiku.

Akan tetapi senyum sinisku berubah kecewa kala menyadari peluruku melenceng entah ke mana.

Di sampingnya, terdapat Khanza berdiri seraya menjulurkan lengannya. Mulutnya bergerak cepat seakan sedang mengucapkan rangkaian inkantasi. Wanita itu merupakan alasan kenapa tercipta pusaran angin di sekeliling mereka bedua. Alirannya begitu cepat walau tak kasat mata. Aku tahu itu, lewat observasi singkat mengamati terbangnya kertas, serta dedaunan di udara.

"Beary, Assembles!" perintah Ursario, memerintah bawahannya untuk berkumpul dekat dengannya. Kulihat mereka membentuk formasi lingkaran dengan senjata masing-masing.

"Buff sukses, nom~," Beary bernama Elle melemparkan semacam bom tepat ke atas mereka semua. Benda itu meledak, untuk kemudian menciptakan rangkaian kristal cahaya jatuh menutupi semua orang.

All stat increased!
Atk +90%
Defense +90%
Agility +90%
Magic+90%

Rentetan serangan jarak jauh dari pasukan Beary kembali dimulai. Ribuan peluru, bersamaan dengan anak panah, dan lecutan serangan pedang terbang, melesat cepat menuju Hewanurma di kejauhan.

Akan tetapi, serbuan projektil itu tak berarti apa-apa di hadapan pusaran angin absolut tak tertembus. Ya— benda apapun yang mereka lontarkan hanya terpental balik ke arah lain, seolah dinding angin itu adalah sebuah benda yang solid. Rangkaian serangan itu gagal seutuhnya karena keberadaan perisai udara.

Serangan para Beary kusadari tak begitu bertenaga, berbeda dengan lecutan peluruku yang bahkan melebihi angka 7.000 point. Tak ada alasan bagiku untuk tidak membantu mereka.

"Ignis et Iras," ucapku merapal mantra. Kudapati sebuah bongkahan api bercahaya tercipta seketika itu juga. Lalu dalam satu gerakan kuayunkan lengan ini seraya menunjuk pada target di kejauhan. Jika peluru saja bisa menguras tujuh ribu point, seharusnya bom plasma ini mampu menggerus lebih banyak angka.

Bola api itu melesat cepat mengujam dalam gerakan lurus. Persis seperti meteorit jatuh dari luar angkasa. Hantamannya menciptakan suara gedebum keras, disertai gumpalan api besar menguap ke angkasa. Akan tetapi, ledakannya terpentalkan oleh perisai angin musuh. Gelombang kejutnya malah berbalik, mengentak keras hingga membuyarkan formasi para Beary di sana.

Para Beary sontak saja melayangkan tatapan mata tak sedap, melancarkan protes tanpa suara, seolah berkata, "What the hell..?" Seranganku tadi malah mencelakai mereka.

Serangan tadi amat tak berguna, mungkin karena gerakannya terlampau pelan untuk menembus barikade udara. Maka kugunakan senapan andalanku, seraya menggeser bidikanku sedikit ke arah kiri. Pikiranku berkonsenterasi, berusaha memperkirakan lajur peluru yang hendak dibelokkan oleh jalur angin.

Psyu!

Lontaran projektil mengempas menembus barikade angin. Akan tetapi sapuannya terlampau kuat untuk bisa diterjang peluru. Tembakanku gagal mengenai targetnya.

Kulakukan induksi lebih lama, agar energi kinetik yang dilontarkan semakin keras dirasa. Lima detik proses charging, cukup untuk mengubah laju peluruku menjadi sekelas Anti Material Rifle, mampu menembus lapisan baja.

Jdaaar!

Letupan suara terdengar menggelegar, jauh lebih keras pada jenis tembakan ini. Termasuk efek samping berupa gelombang kejut dari dinding udara yang tercipta. Alih-alih bangga karena sukses menembak mangsa, aku malah dikejutkan dengan kedatangan projektil logam dari senjataku sendiri.

Bahuku terkena hantaman, menyerempet tipis hingga ke bagian punggung. Sebatas garis lurus, tercipta mengukir luka menganga. Rasa perih mengikuti kemudian, disusul dengan kemunculan jumlah HP yang telah hilang.

-4000

Kusadari Healthbar-ku menurun, dari yang tadinya 9.000 menjadi 5.000. Nyaris tinggal setengahnya. Senjata makan tuan, begitu tepatnya. Aku bahkan gagal paham akan kinerja dari angin yang berputar di sana. Aliran udara itu bisa mengembalikan projektil dari senapanku, padahal gerakan peluruku jauh melebihi kecepatan suara.

Di dalam benteng pusaran angin itu, kudapati kemunculan sosok perempuan bernama Shorga. Dia terlihat masih baik-baik saja, dan kini malah sedang bersiap melakukan serangan selanjutnya. Kudapati jumlah HealthPoint miliknya sebanyak 8.000 HP.

"Incomiiing!" seru Beary bernama Nema.

Detik berikutnya, kudapati hantaman bola api meledak di tengah-tengah formasi para Beary. Shorga begitu saja dengan mudah meniru sihir yang kulakukan tadi.

Tubuh mereka terpencar beterbangan. Kondisi fisik boneka yang dirasuki amat rentan terhadap api. Tak ayal, bulu halus di bagian permukaannya kini terbakar tak terkendali.

Pandanganku sontak saja mencari Leon Beary. Wajahku berubah cemas kala menatapnya berguling-guling berusaha memadamkan api. Dirundung panik, sontak saja aku berlari menghampiri. Gerakanku agak tertatih kala menahan nyeri akibat luka di punggung.

Tindakanku merupakan sebuah kesalahan. Posisiku di tengah jalan telah menjadikanku target empuk. Di saat bola api lainnya menyerang, kala itu pula aku tersadar akan bahaya yang bertandang.

"Ignis et iras!" teriakku cepat, seraya mengayunkan lengan, memerintah bola api yang tercipta agar segera melesat.

Dua buah flare—sihir berwujud bola api bercahaya—beradu sekitar sepuluh meter dari hadapanku. Hantaman dua plasma itu menciptakan gemuruh keras disertai letupan udara berisikan api menyala. Gelombang kejutnya melemparku hingga terpental jauh menabrak sebuah pohon. Aku masih sempat memposisikan kakiku untuk menahan laju tumbukan.

-2000

Healthbar di atas kepalaku berkurang dua ribu point, bersamaan dengan merembetnya rasa ngilu di kakiku. Kubuka kedua mata ini seraya menundukan pandangan, memeriksa tungkai sendiku yang tertekuk ke arah berlawanan. Sontak saja aku menjerit kesakitan.

Senapanku jatuh tergeletak di seberang jalan. Sulit bagiku untuk menggapainya. Sebisa mungkin aku merangkak demi tiba di sana.

Di kejauhan, kulihat Khanza tengah melayang di udara, tak jauh dari Hewanurma dan Shorga. Wanita itu tiada henti berkomat-kamit merapal inkantasi demi sihirnya. Semakin lama pergerakan anginnya kian bertambah kuat entah mengapa. Kudapati Shorga tengah melakukan channeling energi Manna pada dirinya. Itulah penyebabnya.

"Nely-ne, kau itu sombong ya. Padahal aku sudah berbaik hati padamu sejak pertama kita bertemu."

Khanza berucap sesuatu padaku, suaranya entah kenapa bisa langsung terdengar di telingaku. Padahal posisiku masih jauh darinya. Mungkin vitur voice chat di alam ini berfungsi selayaknya sambungan radio.

"Ini semua salahmu, berani mengacuhkanku hingga akhirnya kulaporkan perbuatanmu."

Apa maksudnya? Gaya bicaranya terlihat amat berbeda. Dia seolah ingin menunjukan jati diri sesungguhnya.

Kabut tipis tercipta dari pusaran angin miliknya. Kulihat segala sesuatu di sekitarnya berubah beku tak lama kemudian. Termasuk pergerakan para Beary yang saling terkapar tak sadarkan diri.

"Kamaitachi," ucap Khanza, memulai rangkaian serangan selanjutnya.

Sapuan angin cepat melecut dalam gerakan yang tak terlihat. Kulihat tiga Beary yang tengah terbaring terempas keras hingga tubuhnya pecah tercerai berai. Mataku terbelalak menyaksikannya.

"Jangan… tolong jangan.." ucapku pilu, kala menyadari keberadaan ayah yang masih di sana.

Rangkaian tembakan angin lainnya muncul merapat, tiada ampun membantai para Beary yang tersisa. Lenganku terjulur keluar, dengan wajah putus asa menatap tubuh beruang Ayahku. Tiap senti dari boneka itu robek hingga kapas isinya terburai keluar. Sisa-sisa pasukan itu kini hanyalah berupa kumpulan kain berserakan.

Air mataku mengucur begitu saja. Batinku menjerit. Mulutku terbuka, menangis tanpa suara.




*********




Kini aku hidup sebagai sosok gaib semata. Semua itu kulakukan tak lebih hanya karena emosi di dada.

Semuanya demi Leon, sosok pria yang kukagumi dan kucinta.

Leon— pria mesum dengan humor payah itu tak lebih dari kembaran cintaku. Aku hanya mengganggapnya sebagai pelarian, pengganti keberadaan kekasihku.

Ia yang datang dari dunia lain, merupakan kembaran antar dimensi dari tunanganku. Sama halnya dengan Fia dan aku. Dua orang itu memang tak berasal dari dunia tempatku bernaung.

Rumit memang, tapi cinta memang suatu hal absurd yang bahkan tak bisa dijelaskan oleh logika.

Ya—, dia tak lebih dari sekedar pelarian saja.

Tapi kenapa hati ini begitu sakit dan menderita? Kala menyaksikan pria itu menikah dengan kembaranku sendiri. Pengganti diriku sendiri, sementara aku hanya menyaksikan dari sudut pandang mata sendiri. Terjebak tak berdaya, dalam tubuh Fia yang begitu bahagia.

Tapi biarlah…

Setidaknya aku ikut senang ketika ia tersenyum lega, memeluk diriku, yang tak lebih dari bayangan semu.

Batinku terasa perih ketika menyaksikan kami berdua saling berpanggut dalam kenikmatan malam pertama. Walau aku tahu semua itu hanyalah milik Fia semata. Aku hanya menjalani kehidupan palsu sebagai dirinya— alter ego, dopplegangger, Qarin, jin pendamping, atau terserah kau mau menyebutnya apa.

Aku begitu menderita. Hingga akhirnya, jiwaku perlahan mulai memudar seiring dengan datangnya kabar bahagia.

Fia hamil, sesosok anak akan tiba di dunia ini dan hidup sebagai keturunannya. Pandanganku senantiasa memburam, semakin pudar di tiap harinya.

Pada akhirnya aku sadar, misteri datang dengan sebuah alasan.

Kini aku terlahir kembali, walau tanpa memiliki kendali sebagai pemilik tubuh asli. Kesadaranku hanyalah bentuk akumulasi dari sejuta kenangan yang sudah terjadi. Di entitas baruku ini, aku menjalani hidup sebagai Sanelia Nur Fiani. Anak dari kembaranku antar dimensiku bernama Fiani.

Dan aku masih jatuh cinta pada Leon. Walau kini ia merupakan ayahku sendiri.



***********



"Kurang ajar…" ucapku nyaris tanpa suara.

Aku tak tahu kenapa, tapi diriku serasa berbeda dari biasanya. Aku ingat segala sesuatu tentang Leon, jauh berbeda dalam kehidupanku sebagai Sanelia. Aku ingat masa-masa terjebak dalam diri Fia, juga ketika menghilang di hari kelahiran Sanelia. Kutatap kedua lengan yang terkepal, seraya mengempaskan jutaan kubik Manna ke udara.

Tubuhku terlihat baik-baik saja. Malah berdiri tegak menjahu dari daratan. Proporsi lengan dan kakiku juga kembali normal, lepas dari wujud Chibi. Berbeda dengan Khanza di kejauhan sana.

Ah— Khanza. Dia yang sudah membunuh Leon di sini.

Perhatianku kemudian tertuju pada serpihan kain di tengah jalan. Sisa-sisa jasad Leon dalam wujud boneka beruang. Batinku tiba-tiba berubah nyeri, membayangkan penderitaannya yang berulangkali mengecap kematian. Dalam wujud seperti itu ia tak ragu untuk memelukku. Pun begitu, dia masih terlihat gagah, senantiasa berusaha melindungiku.

Rambutku tergerai panjang. Bergerak-gerak ditarik angin yang mengempas. Aku mampu melakukan apapun yang diperbuat musuh. Kuciptakan pusaran udara jauh lebih luas dari milik Khanza di kejauhan sana. Demi menghalau puluhan bola api yang dilayangkan Shorga.

Aku ingat segalanya.

Tiap kenangan yang muncul memberiku pelajaran akan jutaan inkantasi yang siap dilancarkan. Salah satunya adalah sihir andalan diriku—  yang tak lain bernama Yulia.

"Naturalis caelum et terram, paret mihi. Tenebrosa nubes veru erat petirmu , meum et pugnantis."

Sebuah garis melingkar tercipta di bumi bawah sana. Tanah, tenda, pepohonan, pagar, tembok, semuanya tak luput dari pendaran cahaya. Rangkaian tulisan anagram bergerak acak untuk kemudian membentuk formasi sebuah lingkaran sihir. Selesai melakukan ritual itu, di atas sana muncul kelebatan awan hitam dengan petir menyala-nyala. Loncatan tirai listrik menyebar di tiap penjuru, untuk kemudian terpusat di bagian tengahnya.

"Thundakaja!"

Aku berseru keras melafalkan inkantasi terakhir, lenganku menunjuk dalam gerakan memerintah. Mataku terlihat bengis menatap sampah di bawah sana.

Duaaaar!!

Hantaman keras petir terdengar keras seiring dengan memuainya udara. Jutaan gigawatt listrik meledak seketika, menghujam dari angkasa, disusul dengan pendaran cahaya menyilaukan membutakan mata.

Asap mengepul tinggi, menandakan sisa dari pembakaran material yang gosong tercabik petir. Kudapati Khanza terbaring tak sadarkan diri. Dia masih selamat meski telak menerima serangan tadi.

Di sampingnya, kulihat Shorga tengah berdiri dengan lengan terbuka lebar. Dia sepertinya berhasil menciptakan rangkaian perisai untuk menahan hantaman petir. Namun serangan tadi terlampau kuat untuk bisa diterima oleh tubuhnya. Kulihat angka merah tengah menguap di atasnya, tanda serangan tadi menguras sisa Healthbar yang tersisa.

Critical!
 -897.200

Gadis itu terlihat lemas, lalu ambruk tak bertenaga. Pilar cahaya beserta deretan angka hijau menyinari tubuhnya, lalu pecah seketika.

Kini tersisa Hewanurma di sampingnya. Dia masih saja diam mematung dengan tatapan serius khas dirinya.

Aku melayang turun, lalu berjalan perlahan menghampiri. Ingin kuberikan rasa terror kematian padanya. Yang jelas, dia akan mengecap penderitaan sebelum kematian.

Kuangkat jemariku, tanpa kesulitan berarti kuciptakan rangkaian es beku, berwujud Kristal tajam melayang horizontal di sampingku. Tanpa ragu kutembakkan benda itu, hingga melesat cepat hendak melumat dua kaki dan lengannya.

Kristal tadi pecah begitu saja.

Null

Aku terkejut, serangan tadi tak berefek apa-apa. Mungkin dia pemilik elemen api, hingga serangan es dirasa tak berarti. Maka kuubah jenis serangan selanjutnya. Lima buah Flare tercipta berupa bongkahan api berbentuk matahari mini. Suhunya luar biasa panas, apapun yang terkena benda ini akan meleleh seketika. Dengan sesungging senyum sinis, kulempar benda itu seraya berjalan mendekati.

Null

"Apa yang…" ucapku tak percaya. Sihir tadi menghilang begitu saja, seolah diserap oleh sebuah dinding tak kasat mata.

Dari sana aku sadar, sosok di hadapanku ini bukalah peserta, Administrator namanya. Tak peduli sihir macam apa yang kulayangkan, seribu hantaman tombak, tebasan puluhan pedang udara, maupun jutaan watt sengatan listrik dari angkasa. Segalanya tak berarti, hanya tulisan Null saja yang muncul sebagai pemberitahuan, bahwa apa yang kulakukan hanyalah sebuah sia-sia.

"Sudah selesai?" ucapnya dingin.

Langkahku terhenti, kini malah aku yang berbalik menjauhinya. Kulihat ia mulai berjalan memperpendak jarak di antar kami berdua. Lengannya lalu bergerak seolah hendak meraihku dengan jemari terbuka.

"Hnnng!"

Mendadak aku tersentak kaku. Tiap otot di badanku berubah ngilu, mematung tegak seperti terkena kram di seluruh penjuru tubuhku. Kakiku terpisah dari pijakan di tanah, lalu bergerak pelan memutar arah. Dia tengah mengendalikanku.

"Kau hanyalah sebatas peserta, dalam permainan hidup mati di alam virtual. Sosok di hadapanmu ini adalah GM—Game Master—pemilik sistem di dalamnya."

"Uuuukh…" susah payah kugerakan lenganku. Namun usaha itu sia-sia, hanya jemariku saja yang bergerak kecil walau bergetar keras.

"Khanza, aku tak bisa melanggar peraturan, jadi kuberikan hal ini sebagai bonus untukmu."

Pria tua bangka itu menggeser posisiku, hingga kini mematung tepat di hadapan Khanza yang tengah terduduk lesu.

"Seriusan?" ucapnya tak percaya.

Hewanurma menjawabnya dengan sebuah anggukan.

Raut wajah Khanza amat berbeda dengan sosok gadis imut yang kukenal. Matanya terlihat mendelik tajam, melotot menatap seisi tubuhku yang tak berdaya, "Bolehkah? Aku masih belum puas mencicipi tubuhnya ketika dia tak sadarkan diri."

"Eh?" batinku terhenyak.

"Si Dyna sama Ronnie brengsek itu terlebih dahulu memerawaninya, aku hanya kebagian sisa sperma mereka. Tapi itu saja sudah cukup untuk membuatku bahagia."

"Khanza…. Apa… maksudmu?" ucapku terbata, agak sulit bagiku untuk berbicara.

"Tubuhmu harum Nely-ne… Aku tak sabar untuk mencicipinya untuk yang kedua kalinya."

Aku bergidik ngeri, dia menurunkan celananya, menunjukkan sebongkah benda keras berwujud phallus, mengacung tegak menantang tinggi.

Dia laki-laki. Si brengsek itu ternyata perempuan jadi-jadian. Dan dia juga telah menyentuhku ketika aku sedang tak sadarkan diri.

"Kurang ajar…" ucapku lirih, air mataku mengalir kembali. Laki-laki semuanya sama saja, mereka hanya memikirkan selangkangan belaka.

Mataku terpejam erat. Ia mulai menggerayangiku, juga menempelkan benda menjijikan miliknya pada celah di antara kedua pahaku.

Seseorang… tolong aku. Batinku memohon lirih.

"Heaaa!" seseorang muncul tepat di depanku. Kakinya menerjang keras tepat mengenai pipi laki-laki bejat di hadapanku. Tendangannya menjejak keras hingga mengirim si brengsek itu tersungkur jauh dariku.

Rambut jabrik dengan poni menutupi mata kanan, alis panjang membentuk sudut tajam— persis seperti milikku. Jubahnya begitu khas dengan gunblade tajam tersemat di pinggangnya.

"Papa?" ucapku tak percaya. Dia kini hadir dalam wujud asli tubuhnya. Datang sebagai pahlawan di saat genting demi menyelamatkanku. Ia kini berhadapan dengan Hewanurma yang sedang mengendalikanku.

Namun alih-alih melawannya, ia malah berbalik menuju Khanza, lalu menginjak-injak tubuh pemuda itu hingga puas. Untaian kata-kata mutiara tak lupa ia lontarkan lewat mulutnya.

"Anjing! Bangsat! Setan! Jahanam! Laknat! Beraninya kau mencoba memperkosa anakku!"

-150
-210
-110
-320
-80
-310


Rangkaian hit point melayang tinggi di tiap pijakan kekesalannya. Hantaman terakhir ia layangkan sekuat tenaga, untuk kemudian mengakhiri hidupnya.

Critical Hit
-500

"Pa… papa…" ucapku tak percaya. Kulihat tubuh Khanza berubah terang, lalu dilumat pilar bercahaya dari langit. Kumpulan kode binari berwarna hijau menjadi pertanda dari akhir keberadaannya di sini. Tubuhnya pecah seketika.

Puas menghebuki Khanza, Leon lalu berbalik seraya melayangkan ayunan Gunblade sekuat tenaga. Gerakannya sama sekali tak diduga. Hewanurma telak terkena sabetannya.

-48

Healthbar pria itu berubah merah, sisa dua point lagi untuk menjadi penyambung nyawanya. Ia bergerak mundur seraya memegangi lengannya yang putus berdarah-darah.

"Bagaimana bisa?" ucapnya tak percaya. Padahal sedari tadi seranganku tak berarti apapun padanya.

"Aku bukanlah bagian dari sistem," balas Leon bangga. Teman-temanku, para Beary mengirimku kembali ke sini setelah gagal di misi tadi.

"Oh… jadi itu sebabnya kau bisa muncul dengan wujud asli?" ucap seseorang. Nada suaranya terdengar anggun, ciri khas seorang wanita.

Kami semua sontak berbalik menatap kedatangan sosok itu. Gadis cantik dengan payudara siap melonjak keluar, Ruu sang Administrator utama.

Atau… mungkin dia bukanlah Ruu.

Karena rambut pirangnya berubah pudar, berganti warna. Bersamaan dengan raut wajahnya. Retina matanya, juga pakaiannya. Aku amat kenal dengan penampilannya. Jantungku berdesir seketika.

"Mama..?" ucapku berusaha meyakinkan.

"Hai Yulia, sepertinya kau sudah kembali."

Aku terhenyak, gadis di hadapanku ini adalah Fia. Dan dia memanggilku Yulia.

Ya— tak salah lagi. Rambut biru panjang miliknya, juga retina biru saphir di wajahnya. Dia adalah Fia, kembaran antar dimensionalku… maksudku, dia ibuku.

Aku bergidik, tubuhku mendadak lemas, kucengkram erat kepalaku, meringis pilu seraya memejamkan mata. Rasanya seperti ada dua entitas dalam pikiranku. Batinku berkecamuk, berusaha menyatukan dua perasaan di benakku.

Tubuhku kemudian berdiri tegap, "Kau bukan Fia…" Aku tahu itu, "Dia tak pernah memiliki tatapan mata begis seperti yang kau tunjukan padaku."

"Hoo…" balasnya pelan, seraya menyilangkan lengan.

Perhatianku kemudian tertuju pada Leon. Dialah sosok yang paling terpukul atas kemunculannya. Lututnya tertekuk jatuh, matanya terlihat kosong, keringat dingin membanjiri wajahnya.

"Fia… kau di sini…" ucapnya tak percaya. Matanya begitu gamang, begitu kosong menatap entitas di hadapannya, larut dalam pemikiran yang dalam.

Dalam penyesalan atas kematian istrinya, pria itu sampai tega menghancurkan seisi dunia. Dia juga rela diadu seperti ayam dalam turnamen hidup mati di akhirat sana. Semuanya demi mencari keberadaan istrinya. Pujaan hatinya, belahan jiwanya.

"Ya… aku di sini," ucapnya dengan wajah yang menggoda. Fia berjalan mendekatinya, lalu menempelkan mulutnya tepat di telinga suaminya, "Namun kau tak boleh berada di sini."

Lengan gadis itu menempel erat, lalu secara tiba-tiba ia mengeluarkan sihir berupa entakan. Tubuh pria itu berlubang terkena hantaman tak terduga. Darah mengucur membasahi bajunya, kulihat organ paru-parunya kembung kempis berusaha menarik udara. Fia adalah penyihir sepertiku, melakukan hal itu bukanlah masalah besar baginya.

"Papa!!" teriakku pilu. Sebagian dari diriku masih menganggapnya sebagai ayahku.

Tanpa ampun Fia menghabisi pria itu. Lengannya terlihat mengeluarkan cahaya, lalu menembakkan sinar plasma hingga tubuh Leon hancur berserakan. Cipratan darah berceceran di lantai, melumuri sisa-sisa daging tak tentu rupa, bagian dari jasadnya.

Sadis—, tak pernah kulihat dirinya yang seperti ini. Tubuhku kian lemas, lalu ambruk terduduk menatap sisa dari ayahku.

Gadis itu berbalik, lalu menatapku dengan senyum manisnya. Kulihat noda merah bercak darah menempel di sebagian wajahnya, "Nah Yulia, karena sekarang kau ada di sini. Aku punya segudang rencana untukmu."

"Siapa kau sebenarnya?" ucapku lirih, nyaris tanpa tenaga, "Kenapa kau begitu tega…"

"Aku Fia," potong dirinya.

"Kau bukan Fia," balasku dirundung putus asa.

"Terserah, kau boleh saja menyebutku salinan dari dirinya," ucapnya menerangkan, "Aku peserta dari turnamen hidup mati di seri ke tiga, Battle of Realms : Heroes x Heretic."

Hewanurma mendengus pelan, "Walau kau bukanlah peserta resmi."

Fia mendecakkan mulutnya sesaat, "Ya— karena kami tidak berpihak pada keduanya."

Kulihat di belakangnya muncul sekumpulan sosok dengan jas hitam. Ada yang berpenampilan seperti anak band, perempuan botak, gadis kecil berambut biru, sepasang kekasih dengan kacamata hitam, lalu om-om berambut gondrong dengan lingkaran di atas kepalanya.

Fia membuka kedua lengannya, seolah memperkenalkan diri beserta kumpulan di belakangnya. Matanya berubah sipit, seraya mengukir senyum tak simetris, "Nama grup kami adalah, Herotics…"

"Selamat atas kemenanganmu di ronde dua ini."

..


–to be continue…



*******

32 comments:

  1. pertamax diamankan .._.

    karena penasaran tetep tak baca, mengingat ada khanzanya. tapi karena lagi puasa tak skip adegan2 eksplisit yang ada kemungkinan batalin puasa.

    Astaga! Khanza matinya konyol bener, digebukin bapak/pacarnya nely/fia xD..
    saya sadar sih klo Khanza bakalan di jadiin karakter brengsek atau licik tapi gak nyangka kaya gini jadinya...
    *khanza jangan tunjukkan hal pribadimu. sembarangan. *astaga..

    kirain Khanza bakalan punya backstorynya di entri ini, mengingat kang ichsan nanyain info khanza lumayan banyak...
    dan paling saya ga ngerti kenapa khanza tau klo itu semua bakalan terjadi, bahkan udah siap tinggal telepon tuh hewanurma...

    yang bikin saya terperangah karena gak ngerti sekaligus kagum juga, itu kemunculan para karakter diluar BOR 5. saya bingung karena ga tau siapa aja mereka, saya kagum karena kang ichsan bisa sangkut pautin semua itu dalam satu cerita, bahkan sampe dibuat bersambung ceritanya.
    overall, cerita entri ini lumayan menyentuh, meskipun beberapa kali bikin saya mengernyitkan dahi, seperti apa nely tau tentang SAO? ko bisa dia senyum gelagapan pas khanza bilang, ini bukan SAO? xD..
    selamat karena anda telah berhasil membuat karakter anda menjadi pusat perhatian karena hidupnya yang ngenes. ._.

    gak nyangka ternyata dyna dan roni jadi anak buah tidak langsungnya hewanurma. xD

    titip 8 , tadinya mau kasih 9 tapi ternyata gak sesuai sama yang kita bicarain di chat, kurangin 1 point deh. Padahal saya nunggu2, nely nyuri HSCnya khanza n pake sihirnya. ._.


    Khanza

    ReplyDelete
    Replies
    1. Khanza waktu itu lagi khilaf...
      ._.

      Iya nih, jujur aja saya bigung insert backstory musuh dalam PoV 1. Saya udah bikin draft, rangka cerita, dst.
      Tadinya beneran mau shipping mereka berdua, adegan bianglala, ngobrol bersama, dll, dll.

      Tapi ujung-ujungnya balik lagi ke autowriting, dan hasil akhirnya malah jadi jauh melenceng dari yang udah direncanakan. Mohon maaf sebesar-besarnya karena jauh dari harapan. :'(

      Well, mereka semua itu char bang Hewan dari BoR sebelumnya. Ini canon saya emang resmi nabrakin ke BoR IV, sama BoR III.

      Ursario dan para Beary = OC BoR 4
      Fia = OC di BoR 3

      SAO itu legenda di Alforea mz, kalo jalan ke arah barat, tujuh puluh kilometer dari despera, ntar bakal nemuin Aincrad, masa mz gak tau sih? :'>

      Yep, saya emang seneng nyiksa char sendiri.
      ._.

      Dyna dan Roni sama bejatnya sih, jadi mereka yang paling pas buat meng'eksekusi'
      ._.

      Iyah, tadinya emang udah draft ke sana... tapi saya emang belum bisa jadi penulis pro, masih saja mengandalkan autowriting. Maaf ya, gagal deh dapet 9
      T_T

      Delete
    2. autowriting aja jadinya kaya gini, kaya udah konsepin banyak hal dan konsep yang ada di cerita ini, terpilih. ._.

      sama saya juga, autowriting selalu jadi jalan utama kalo nulis. makanya suka lupa sendiri sama plot yg udah ditulis...
      ._…

      Delete
  2. Keburu lupa, komen sekarang aja deh mumpung masih fresh

    Oke, jadi setelah saya jadi pionir bernista ria, yang kemudian dicontoh dengan eksekusi lebih baik di entri Tata, sekarang diungguli lagi di entri Nely yang satu ini. Bravo. Beneran tega amat ya bikin karakter sendiri miserable seancur"nya

    Awalnya saya sempet mikir ini korelasinya apa, tapi ternyata biar ada motivasi buat ngehabisin Khanza sebagai designated enemy ronde ini ya (di tengah saya sempet mikir dia ke-overshadow sama pasukan Beary)

    Biasanya saya bakal protes kalo bawa-bawa seabrek karakter, tapi kali ini tie-in yang dibuat di canon Nely lumayan masuk akal, jadi boleh lah. Soal flashback yang maju-mundur juga lumayan bisa ditangkep tanpa ngeganggu cerita asli yang lagi ongoing

    Tapi buat saya kelemahan besar entri ini kemungkinan super ga ramah sama orang yang ga tau BoR sebelumnya. Kecuali orangnya jadi invested sama canon besar Nely dan keluarganya, mungkin bakal susah mencerna ini garis besar ceritanya kayak gimana

    Oya, make angka" damage warna merah itu lumayan keren

    Dari saya 8

    [OC : Dyna Might]

    ReplyDelete
    Replies
    1. Tinggal nunggu si Nyasu bikin scene yang lebih yahud lagi, dia kan masternya broh~ ♫

      Saya kayaknya punya hobi jelek nyiksa char sendiri.
      ._.

      Korelasi rape-scene yah... itu murni ide spontan, cuma sepintas aja, "Eh, kayaknya keren nih kalo saya bikin adegan H," tanpa mikirin dulu korelasi ntar ke sananya kayak gimana. I'm writing in autopilot mode, remember?

      Kemunculan pasukan Beary juga kalo ditelisik cuma jadi peng'rame doang, tugas mereka cuma nembakin kaijuu doang :v

      Soal flashback, saya kan niru konsep CC di R3 tahun kemarin. :'>

      Iya sih, soalnya komen pertamax aja bilang dia kagak mudeng sama canon yg lagi jalan. Mungkin next time saya coba bikin lebih ramah lagi buat pembaca awam.
      *noted

      Angka-angka merah itu improvisasi di saat-saat terakhir sebelum submit, setelah buffer video game baru dari bang Ipan (di chat ntu)

      Makasih Sam~
      :D

      Delete
  3. Creepy Nely has done it again.

    Saya bohong kalau saya bilang nggak suka dengan adegan2 18+, gore dsb yang diterapkan di sini. Which is kelihatannya lagi ngetrend, yang sesungguhnya sedang dicari banyak pembaca di jalur2 seperti Wattpad dsb.

    Tapi ya terus-terang sepanjang baca saya terus nyari adegan utamanya, yg adalah Nely vs Khanza.

    Oke, for the sake of creativity, bumbu2 tadi bolehlah, dan ada cameo2 dari OC2 lain, OC2 panitia, dan OC2 BoR2 yang lalu. Dan sptnya si Virus Chibi juga ikutan tarung di sini - saya asumsikan begitu saja.

    Pada akhirnya tema utamanyalah yang dimajukan, yaitu "open rebellion of a tortured soul". Kalau gak salah itu yg saya tangkap. Great, saya jadi ingin tahu ujung ceritanya. Dan saya jadi lebih tertarik ke tema besar ini daripada duel itu sendiri.

    Skor: 8/10
    OC: Vajra

    ReplyDelete
    Replies
    1. Saya test pasar dulu sih, apa bakalan dapet respon baik atau nggak. Kalo banyak yang suka, kalo lolos ke depannya bakalan ngasih lagi Fanservice (bukan tukang serpis kipas angin)

      Saya gak bisa bikin battle one vs one, apalagi Nely saya sama Khanza itu sama-sama tipe support, jadinya bingung mau bikin kayak gimana.
      T_T

      Yep, tema utamanya memang gitu. Open rebellion of a tortured soul. Udah nyiapin plot sih sampe R3 (kalo lolos)

      Delete
  4. Saya tandain dulu...
    Awal baca warningnya, kmungkinan saya ga bakalan suka (tau ndiri saya penulis imut2 yang suka char riang)

    Baca ceritanya dan Nilainya menyusul. lagi beresin Entry Bun abis beres langsung ku baca dan ku komen.

    #entahkenapapengennulisini

    ReplyDelete
  5. Selesai baca ... dan reaksi saya: mematung sesaat di depan PC, mikir" tadi baca apaan. Setelah ada koneksi mumpuni, barulah saya tulis reviewnya. Kalo ada yg kurang tepat, mohon maafkan ingatan saya yg cetek ini XD

    Karena udah diwanti bakalan ada adegan khusus, saya udah antisipasi. Jadi pas ada kalimat yg menjurus ke sana, saya skip. Tapi ternyata ke sana-sananya jg masih aja terselip deskripsi yg ngeganggu buat saya. Kalo gore saya masih lumayan bisa nerima, tp yg itu tadi ... pribadi saya gk suka.

    Lanjut ...

    Saya gak ngikutin BoR IV, tp saya tau beberapa OCnya. Pas liat pasukan Beary itu, saya masih bisa nerima. Tp yg lain kaya yg menyangkut BoR sebelum Afterlife, dst dst otomatis saya bingung.

    Dan Khanza IMO kurang pendalaman OCnya. Yg berkesan pling dia yg dibikin bejat.

    Poin yg saya suka dr entri ini:
    -Nely lebih menderita keknya dibanding OC saya sendiri XD
    -Sama-sama mau berontak
    -Nely nekat
    -Plotnya gak cuma battle OC vs OC

    Poinnya 8 dulu. Mau ngasih 9 karena plotnya yg berani, tp krena ada adegan khususnya, saya jd urung dhe ._.

    OC: Ahran

    ReplyDelete
    Replies
    1. Maaf sudah membuat batinmu mem-Freeze
      XD

      Yep, saya coba ngikutin jejak beberapa author lain dengan menyisipkan Fanservice, tapi versi saya ya amat sangat teramat kebablasan :v

      Dan seperti yang Sam bilang di komentar, iya... kelemahan entry saya di R2 ini adalah super duper gak ramah sama pembaca baru yang gak kenal sama OC di BoR sebelumnya.

      Nely ke depannya bakalan lebih menderita.
      ._.

      Yah, gagal dapet sembilan
      T_T

      Delete
  6. Ini ceritanya kacau sekali. Berantakan. Terlalu banyak unsur luar dalam sebuah settingan pertempuran yang seharusnya 1 vs 1, hmm ...

    Saya bingung mau komentar apa secara keseluruhan, maka langsung masuk penilaian aja deh.

    NILAI AWAL selalu saya berikan 6

    Yang menjadi penambah nilai di entri ini:
    - Plotnya terkesan grande. Padahal untuk settingan awalnya aja, yaitu universe yang Bang Icshan rancang, sudah tampak solid dengan tokoh-tokohnya. Tapi ini masih dibikin lebih rusuh lagi. Sampai bawa-bawa rombongan Herotics segala, diramaikan dengan pasukan Beary, dan saya kayaknya nggak bakal heran kalau sebentar lagi bakal muncul Thurqk atau sejenisnya. Entah ini entri Nely ke depannya bakal mau dibawa ke mana.
    - Duelnya lumayan tergambar jelas, dan SFX damage-nya oke. Lalu penggambaran detailnya juga pas.
    - Udah mau riset buat pakai Pasukan Beary, walaupun saya sendiri nggak kebayang fungsi mereka di sini sebenarnya ngapain sih? Jadinya lemah pula. Saya tidak ingat pernah membesarkan mereka segini lemah / :v \
    (total +3)

    Pengurangan nilai karena faktor ini:
    - Duel 1 vs 1 nya terasa hambar di sini. Tokoh yang harusnya jadi lawan utama malah nggak kelihatan apa-apanya sama sekali. Dan matinya bukan karena serangan dari Nely pula.
    - Terlalu banyak unsur luar yang mengganggu, jadinya ramai, dan saya jadi sulit fokus. Jadi Beary fungsinya apa dan mereka ngapain di sini? Lho, kok Hewanurma bisa disummon Khanza dan malah ikutan berantem? Lah, lemah amat itu dua monster penjaga Alforea! Lalu rape lagi, lalu Leon datang dan mati kembali. Dan astaga, itu apaan lagi para Herotics nongol di sini. Jadi Nely-nya di mana?? (dan saya masih perlu mencerna selipan kilas balik yang dicetak miring itu)
    - Adegan mesumnya belum terlalu masuk akal. Dan kesannya Hewanurma benci banget sama Nely sampai mengizinkan dia diperkosa peserta lain. (mungkin ada detail yang saya lewatkan di R1 Nely) Jadi pada akhirnya itu cuman sebagai trigger Nely saja biar dia menderita. Dan fanservice.
    (total -3)

    PONTEN AKHIR 6
    Berjuanglah, Nely! Biarpun engkau dinistai pengarangmu sendiri, tetapi harapan itu masih ada!

    OC: Kusumawardani, S.Pd.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hueeeh, dapet punten 6 dari bu Mawar~
      Q_Q

      Thurqk dah tamat, gak bkalan nongol lagi dia bang.

      Pasukan Beary kan jadi lemah gegara sistem bang. Mereka dateng aja dengan cara meretas.
      Di dunia virtual, mau sekuat apapun, kalo sistem ngomongnya "Damage 8" ya udah, walaupun pake serangan summon meteor juga. Sepertinya saya gagal dalam menyampaikan poin ini.
      ._.

      Wakakakakak, terlalu ngacak ya bang. Begitulah kalo nulis autopilot mode gak pake kerangka. Ide yang muncul ya langsung ditulis gitu aja.
      Rape Scene itu murni fanservice (tukang betulin kipas) :3

      Makasih dah mampir bunda~

      Delete
  7. Fatanir - Po

    deskripsi sihirnya bagus banget. lingkaran sihirnya mantap. angka2 merahnya digunain dengan efisien tapi malah jadi keren. betapa badassnya fia/lia/nely di sini keliatan bgt. hewanurma juga keliatan badass bgt secara kemampuan. banyak juga cameo di sini bikin
    rame.

    tapi, karena cameo ini, ceritanya jd agak ilang arah. battle lawan khanza pun gak tlalu berkesan krn ketutup oleh kekerenan hewanurma dan nely. flesbeknya masih kurang sederhana sehingga si nely itu sebenernya siapa atau apa, aku pribadi kurang nangkap.

    Dan adegan rape itu kyknya nggak menunjang cerita atau karakter siapa2, klo didelete malah bagus. oh iya, penggambaran PoV 1 nya jg masih janggal krn "mataku menatap kosong" itu kesannya mau memasukkan efek show dari PoV 3, tapi kurang tepat krn PoV 1 mah lebih ke persepsi pribadi. misal daripada bilang mataku menatap kosong, bilang aja, segalanya tampak monoton dan hampa, di mataku , misalnya.

    Nilai 7/10

    ReplyDelete
    Replies
    1. Makasih dah mampir om PO
      :D

      Iya nih, saya terlalu bernapsu bikin entry "rame" sampe MC sendiri keovershadow sama OC lainnya.

      Adegan Rape-nya murni fanservice
      XD

      Makasih buat masukannya, saya catet ya~ :D

      Delete
  8. badass Nely, sedikit kerasa kebencian dan kegelapannya, juga untuk canon cerita yang beda, poin menarik entry ini adalah dua itu.

    tapi, saya kok masih agak bingung dengan flashback-nya, ya? Karena terlalu banyak elemen yang masuk, tentang identitas, perasaan, significant other,... saranku, lain kali kalau flashback fokus ke satu atau dua hal aja biar pembaca nggak 'tersesat'.

    Banyak cameo, kalau Ursa saya kenal dikit2, tapi Leon... nggak. Bisakah ditambah satu-dua paragraf mengenai siapa dia? Fokus saya jadi agak kacau ketika masuk ke ceritanya. Untuk adegan 18+ saya merasa mainstream banget, jadi tidak menambah poin apapun.

    adegan Khanza digebukin itu sebenarnya bagus banget, kalau diekplorasi lebih dalam, bisa membuat entry lebih gelap, karena Nely nuansanya memang dark. Kalau saya mungkin akan membuat dia tersenyum puas melihat lawannya mati. Tapi... itu kemerdekaanmu sebagai author ya... yang jelas, canonnya bagus.

    btw, bro, ketika menembak, peredamnya di bahu, bukan di dada. Setahuku sih begitu.

    nilai 7 untuk Nely.

    best regards,

    OC Mima Shiki Reid

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sepertinya saya fail dalam mengulas flashback ya...

      Leon itu babehnya si Nely :v

      Iya ya, lebih keren kalo ngegali sisi sadistiknya tuh anak :D

      Delete
  9. OMFG apa-apaan itu khanza mainan tytyd di tengah pertarungan... >///< Bikin ngakak aja aku ampe mindfuck memikirkan khanza jadi makhluk bejat seperti itu. >///< Gile cast nya rame banget di ronde ini, sampe Herotics ikutan nongol. Entah bakal jadi seperti apa kelanjutan canon Nely ke depannya. Apakah bakal semakin banyak rape dan nudity nya, ataukah semakin rame karakter-karakter lintas generasinya. Aku bingung mau komen apa lagi, yang jelas menantikan adegan-adegan yang lebi 'brutal' lagi pada ronde-ronde berikudnya. #eh

    Nilai : 8

    OC : Zhaahir

    ReplyDelete
    Replies
    1. Khanza juga cowok normal mz~

      Herotics ke depannya ikut nimbrung juga mz~

      Fanservice gak bakalan brenti sampe di sini mz~

      Delete
  10. Hmm...

    Battle scene di sini udah sangat jelas, plotnya juga oke, bagian akhirnya malah bikin saya penasaran mau di bawa ke mana canon Nely ini~

    Saya memang gak keberatan dengan large cast of players di sini, tapi sayangnya OC kamu sendiri kena overshadowed. Lalu untuk kematian lawannya, tolonglah, itu berasa banget Deus Ex Machina, tanpa perlawanan pula...

    Untuk rape scene, menurutku kau gagal untuk mengangkat emosinya. Nely masih terlalu tenang untuk ukuran cewek yang baru saja diperkosa, perasaan gamangnya numpang lewat doang, traumanya juga numpang lewat doang. Pls don't use AV/comic/manga as a reference for rape scene, and read testimonies from real victims instead (that's if you're gonna use the victim's PoV ever again). My rant about this can go on forever, but I'll just stop here...

    Poin 7

    Zoelkarnaen
    OC: Caitlin Alsace

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, OC saya jadi gak nongol di sini.
      Leon saves the day om~ The father almighty.

      I see, noted. Saya akan coba lagi menggali sisi emosi. Saya masih belum lancar bikin cerita PoV 1 dengan char perempuan..
      ._.

      Delete
  11. 10...

    -1 (9)
    For Too much Cameo

    -1 (8)
    karena akhirnya bukan By1

    -1 (7)
    karena entah kenapa saya gak bisa fix baca secara lancar cerita ini... terlalu "pengap/penuh"

    Final Verdict From Frost:
    7

    ReplyDelete
  12. Eophi: Ng, Nely, bagi pin BB boleh? Yah ... itu nanti aja. Sekarang nilai. Nilainya 8.

    *Eophi tidur* *Mimpi basah*

    *Sebuah bantal in frame*

    Milk: Namaku Milk, shushu. Ya ampun celana si pemalas sampai basah begitu, shushu. Oke, langsung dan singkat aja tentang cerita Nely, shushu. Di sini ramai, tapi mengesampingkan itu, sambil coba berasumsi dikit-dikit, pokoknya, intinya Nely jadi saksi reuni, ya, Shushu? Plot ini bakal panjang ke depannya, shushu. Dan kalo dilihat di sini, R1 Nely satu tahun, shushu? Walambo, walambo, shushu. Yang paling penting, sih, Nely harus marah ke author, shushu. Nely kerasa banget teraniyayanya, shushu.

    "Bantal pergi*

    *Guling in frame*

    *Guling diseret keluar*

    *Selimut in frame*

    Cloud: H-hai, namaku C-cloud. Cuma mau bilang coba adegan-adegan NSFW d-ditambah!

    *Selimut mimisan keluar*

    *Kasur in frame*

    White : Perkenalkan, nama saya White. Membahas sedikit tentang malangnya nasib Nely di sini, hal pertama yang akan saya katakan adalah permainan kata-kata yang bagus. Detail yang dikasih juga pas. Mungkin ke depannya lebih ditata aja penempatannya. Mungkin itu saja. Terima kasih atas waktunya.

    *Kasur pergi*

    *Naga merah in frame, keluar lagi*

    *Eophi bangun*

    Eophi : K, Nely ... nilai tetap 8. Jangan lupa di kamar melati nomer 28.

    *Naga merah in frame, gigit Eophi*

    ReplyDelete
    Replies
    1. "Eeeeeeh???"

      "Na-- nanti saya ke sana ya... saya gak keberatan disiksa loh.."
      ._.

      Delete
  13. Openingnya nendang banget, adegan raep Nely pasti susah lupain, walo menurut sy kurang realistis, di sini Nely terkesan lemah banget digagahi seperti itu, padahal ada beberapa kesempatan dia bisa nyerang balik dyna ato ronnie :3

    Ah, font merah buat nunjukkin minus, kenapa sy gk kepikiran?
    Kyknya diantara semua beary, cuma Sal aja yg gak kedengaran kontribusinya :'(
    Nely ternyata father complex?
    Banyak cameo dari BOR sebelumnya, tapi mungkin hanya veteran yg tau ^_^

    Overall entri ini punya narasi yg cukup enak dibaca, diksi/kosakatanya kaya banget, deskripsinya detil (malah mungkin terlalu detil) terutama pas bagian jatuh dari langit, pdhal ini basisnya dunia game. Sepertinya tujuan entri ini buat munculin antagonis utama buat Nely.

    Nilai: 8
    (Asep)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Nely udah mindfuck duluan mz, pikirannya udah kebalik kontrol saya bodynya sendiri~

      Sal gak nongol kayaknya
      ._.

      Iya, antagonis Nely ternyata (salinan) mamanya sendiri.
      ._.

      Delete
  14. WAAAKS

    INTO OBLIVION REUNION

    Awal baca ini sampe ke tengah, gw mikir, “Wowow. ini heavy spoiler banget untuk EoM dan cerita2 yang mengiringi(?)nya.” Basically reuni kenyataan para karakter keluarga ini in a nutshell.

    Buset, qarin dibawa2, clairvoyance... ngebangkitin sense supranatural fantasy emang kentara banget di Nely ini sejak prelim, yg hilang di R1 yg lebih psyco-survival sci-fi.

    Lalu, jati diri orang2 di sini pada berubah2 ya. “Dia ternyata adalah dia”, Ruu juga jadi Fia yang ikut bor3.

    Si Khanza brengsek juga akhirnya setelah SKSD :^] Terus, ada ciri beda waktu yang setahun itu sama “isi” canon Khanza ronde sebelumnya.

    Reaksi Nely pas tau khanza gitu khas lu banget deh, san. “Si brengsek itu adalah perempuan jadi-jadian" hahaha

    Eh, pas ada dialog si Elle bilang berhasil nyampe Alforea, ini lumayan menggelitik saya yg nge-spot kata “nom” di sana. Cameo ahead. :]

    Nyasar ke amaji brilian park woooy apaaini ahaha.

    Adegan kata2 mutiara Leon ke Khanza … masuk akal. Iyalah, anaknya lagi mau diraep. Walau battlenya lebih menarik waktu di kedai(?) dan sama para beary, alih2 sama Khanzanya sendiri. Tapi jadi battle “psikologi” ancam2an sih tetep aja.

    Makin baca ke bawah, saya nggak bisa lagi ngebayangin mereka sebagai bentuk chibi.
    Saya agak lost sama rationale Hewanurma muncul lagi di akhir sih. Sama kemunculan Ronnie dan Dyna yang jadi kaki tangan di awal. Tapi yah ga mesti terjelaskan juga sih. Yang jelas, RAEP :^] Juga, asa rada lebar nely keperawanannya di sini. Guilty pleasure tapinya gimana dong :^]

    Damage visual, ini ide sederhana tapi brilian. Definitely a plus from me.

    ((ini bukan SAO)) hahaha. Istilah bawaan yang menarik lainnya: HUD, dopamine, dll, bikin entri ini makin kaya.

    8/10

    OC: Wildan Hariz

    ReplyDelete
    Replies
    1. Saya gak tau ente komen di sini, waaaah sorry baru notice sekarang
      DX

      Well, canon Nely emang direct sequel dari EoM :D

      Campur aduk yah~

      Iya, Tamon Ruu saya jadiin Fia. Istilahnya tuh... Nely-sentris lah, seakan BoR ada cuma buat Nely.
      XD **dikeplak**

      Khanza digambarin jadi cowok brengsek ~

      Elle dan beruang lainnya kan nongol~

      Settingan na emang di Amaburi~

      Sejak awal wujud Hewanurma emang kagak chibi, Nely setelah "Avatar Mode" juga udah kagak chibi. Leon muncul pake sosok asli juga gak chibi~

      Makasih udah mampir, ngasih komen panjaaaaaaang~

      :D

      Delete
  15. sebenernya gaenaknya komen terakhir-terakhir itu... apa yang mau saya omongin udah dibilangin duluan sama komentar atas orz...
    ah well biarlah, saya suka bagian awal yang mengalir dan beneran enak buat dibaca. tapi begitu ke tengah rada-rada apa ya... bikin saya skim aja intinya.
    pas menjelang akhir baru enak lagi.
    plotnya sendiri ini bener-bener luar biasa besar. sampai munculin flashback, dan tokoh penting padahal baru R2. saya menantikan kedepannya bakal jadi kaya gimana. semoga enggak menurun. cemungudh bang!

    ya tuhan khanza :))

    -1 because i don't get a boner.
    srsly
    9/10
    okay i lied.
    still it's 9/10

    salam~

    Avius Solitarus

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, seperti yang Sam bilang. Entry saya di sini nggak bersahabat sama pembaca baru yang gak ngikutin BoR 4. Soalnya semua yang nongol di sini itu OC dari BoR 4.

      Khanza nunjukin Tytid-nya~
      :)))

      Delete