12.7.15

[ROUND 2 - LEVEL 2] ZHAAHIR KHAVARO III - PERMAINAN BARU DIMULAI

Part 1

Jika kuperhatikan lebih seksama, langit malam Alforea tak seperti di bumi. Tidak ada bintang gemerlap, melainkan jalur-jalur maya yang bersilangan – seorang maid di ruang makan menyebutnya sebagai garis data yang mengikat erat kedigitalan dunia ini. Aku sama sekali tidak mengerti penjelasan di baliknya, yang kumengerti hanyalah garis-garis maya itu menghasilkan keunikan eksotis.

Sementara bulan yang putih cerah kebiruan terlihat sangat bulat dan besar. Mungkin letaknya tidak jauh dari sini. Mungkin seekor burung jabul akan bisa mencapainya setelah terbang selama tiga hari tiga malam.

Untuk daratan Alforea itu sendiri, kami belum menjelajah banyak. Sebagian besar waktuku sebelum pertarungan dimulai lebih banyak dihabiskan dengan megelilingi kompleks kastil yang luar biasa luas. Satu hal yang kutahu, di balik dinding kastil terdapat kota besar yang bahkan jika dilihat dari bastion atap kastil seperti ini pun, masih tak nampak ujungnya.

"Emmh..."

Tiba-tiba aku merasakan gerakan dari gadis yang semenjak tadi bersandar di sisiku, dengan berselimut kain tebal. Ia baru saja terjaga dari tidurnya. Mata birunya masih sayu. Rambut keemasannya sedikit lepek menempek di pipi. Lalu ia menguap, dan aku bisa menangkap sekilas air liur yang mengering di tepi bibirnya.

"Maaf, aku tertidur," ucap Eri sambil mengucek sebelah matanya.

"Tidaklah mengapa oh idola pujaanku, justru aku bersyukur dapat melihat kecantikan alamimu selepas bangun tidur."

"A..." Mendadak wajahnya memerah. "Jangan lihat!!!" Ia berseru sambil memalingkan muka, lalu mendorong topengku menjauh menggunakan satu tangannya yang lain.

Ah, betapa indah. Penampilannya saat baru terjaga, sikapnya ketika sedang menutupi rasa malu, aku menyukai segala hal tentangnya.

"Eh-Em," Eri berdeham tegas untuk menghilangkan salah tingkah. "Apa kau tidak lelah? Sebaiknya kau istirahat di kamar."

"Aku memang lelah," jawabku, "Tapi aku merasa akan kehilangan banyak jika tak menghabiskan waktu yang berharga ini bersamamu."

Eri tampak menundukkan kepalanya, hingga aku tak bisa menerjemahkan mimik apa yang sedang dibuatnya saat ini. Tapi entah mengapa firasatku berkata bahwa ia tengah menyembunyikan senyum.

"Meski begitu," ujarnya terhenti sembari menatapku. Dari jarak sedekat ini, aku bisa melihat kejernihan pupilnya, kelentikan bulu matanya, juga tatapannya yang penuh perhatian. "Meski begitu, kau telah melalui banyak pertarungan yang menyakitkan."

"Justru itu yang membuatku lebih ingin bersamamu, karena hanya denganmu segala kepedihan yang kualami bisa terlupa."

Eri pun mendesah, kehabisan kata-kata. Tatapannya menjadi sendu. Dengan agak membuang pandangan ia berbisik, "Maaf telah membuatmu harus melalui neraka ini."

Maka aku tersenyum. "Ada satu hal yang perlu kau tahu," kataku. "Meskipun aku di surga, mungkin aku tak bahagia... Bahagiaku tak sempurna, bila itu tanpamu."

Mungkin ia masih meragu. Karena itu aku merengkuh bahunya, mendekapnya erat hingga bersandar pada tubuhku. Melalui celah jendela bastion, kami menyaksikan hamparan kota yang diwarnai kerlap-kerlip cahaya obor. "Lihat, di kota yang damai inilah kita akan menghabiskan waktu sampai hari tua kelak. Tapi itu jelas tak bisa didapat secara gratis tanpa perjuangan. Namun asalkan kau ada di sisiku, walau rintangan apapun yang menghadang, aku takkan takluk."

Lalu secara perlahan bulan meredup. Kegelapan sirna, kala mentari bangkit ke peraduannya. Siraman jingga dari timur itu amat cerah, menimpa kami dalam kehangatannya.

Kemudian sebuah sirine panjang dibunyikan untuk beberapa saat. Bunyinya berulang-ulang, menjangkau setiap pelosok sudut kastil, membangunkan petarung-petarung dari tidurnya yang lelap.

"Perhatian kepada seluruh peserta Battle of Realms," ujar suara serak-serak basah yang tak lain berasal dari Hewanurma. "Kini penantian kalian usai sudah. Nama lawan yang akan kalian hadapi sudah dipasang pada layar pengumuman ruang tunggu kastil. Pergilah ke ruang portal menuju arena bersama lawan kalian sebelum tengah hari ini. Terima kasih!"

Setelah pengumuman berakhir, sebuah alunan musik diputar. Turkish March gubahan Wolfgang Amadeus Mozart. Suntikan semangat di pagi hari.

"Sudah saatnya aku pergi," ucapku sembari membantu Eri bangkit. Kugenggam kedua telapak tangannya yang agak dingin. "Namun tenanglah, aku pasti kan kembali pada dirimu."

Ia mengangguk, membuat hatiku tenang. Tapi di sisi lain hal itu juga membuatku rindu, bahkan sebelum aku meninggalkannya.

Part 2

Aku dan Eri jalan bergandengan tangan memasuki ruang tunggu kastil. Tampak baki-baki yang berisi sarapan pagi disediakan di atas meja besar. Beberapa peserta tengah menyantap makanan dari sana.

"Apa kau mau sarapan dulu?" tanyaku pada Eri.

"Nanti saja, ayo kita lihat siapa lawanmu di ronde berikutnya."

Maka aku melakukan apa yang tuan putri katakan. Kami segera mendekati layar digital yang tengah dikelilingi beberapa orang peseta. Dengan agak susah payah aku membuka jalan hingga bisa melihat apa yang tertulis di sana. Aku lekas menyisir dari atas ke bawah, hingga menemukan namaku sendiri.

[Zhaahir Khavaro III VS Stellene Esperance Fortrand]

Stellene, nama yang baru pertama kali ini kudengar. Namun siapapun dia, pastilah bukan orang sembarangan jika berhasil bertahan sampai sejauh ini. Entah ada cerita apa lagi yang akan kutemui bila berhadapan dengannya.

"Apa kau adalah Zhaahir yang akan menjadi lawanku?!"

Terdengar suara bersahabat dari arah belakang. Saat aku berbalik, aku bertemu pandang dengan seorang pemuda yang mengenakan kacamata. Kulitnya putih begitu cerah hingga aku sempat mengiranya sebagai seorang gadis. Setelan bajunya serba biru tua, kontras dengan tongkat marmer putih yang ia genggam.

"Salam kenal, aku Stella," ujarnya seolah memecah kebisuanku. Senyumnya begitu ramah, seraya mengulurkan jabatan tangan. "Senang menjadi lawanmu."

Aku bingung. Kenapa ia menyebut panggilannya sebagai Stella padahal namanya adalah Stellene? Tapi biarlah, setiap orang bebas menentukan panggilannya sendiri. Aku pun menjawab uluran tangannya. "Aku Zhaahir... Senang menjadi lawanmu."

Rasanya absurd sekali, berkenalan sebagai musuh yang sebentar lagi akan berbaku hantam...

"Hei... Apa kalian tidak keberatan jika kita sarapan terlebih dahulu?" ajaknya.

"Sarapan ya... Kurasa tidak ma – " Namun tiba-tiba Eri menarik tanganku hingga aku gagal menuntaskan kalimat.

"Bukankah sarapan bersama dengan lawanmu itu tidak baik?" tanya gadis itu. Aku bisa merasakan nada tajam di antara kata-katanya. "Bagaimana kalau kami jadi bisa mempelajari kelemahanmu?"

Stellene mengangkat kedua alisnya, terlihat kaget. "Benar juga, itu tidak baik. Okelah kalau begitu, kita sarapan masing-masing. Kutunggu di ruangan portal!"

Dan pemuda itu pergi, senyum ramah masih menempel di wajahnya. Aku merasa sedikit tidak enak karena Eri telah menolak itikad baiknya secara tak langsung.

"Zhaahir!" Panggil tuan putriku. Dahinya agak berkerut. "Kadang kau terlalu naif! Bagaimana kalau tadi ia merencanakan sesuatu?!"

Aku menanggapinya agak bingung. Kuendikkan kedua bahu. "Tapi pertarunngannya belum dimulai, jadi – "

"Bagaimana kalau ia mempersiapkan sesuatu bahkan sebelum pertarungan dimulai?!" ujarnya lagi memarahiku dengan suara seperti peluru sambil bertolak pinggang.

"I-iya... maaf..." Akhirnya aku hanya bisa tertunduk pasrah.

"Benar juga," Aku menggaruk-garuk permukaan topeng, merasa bersalah. "Maafkan aku."

Eri menggembungkan setengah pipinya hingga aku semakin merasa tidak layak. Tapi kemudian ia mendesah diiringi senyuman manis hingga deretan gigi putihnya terlihat jelas. "Sayangnya itulah yang kusuka darimu. Ayo sekarang kita sarapan!"

Ia menarik lenganku menuju meja yang menyimpan baki-baki makanan. Haha. Aku hanya bisa tertawa lega dalam hati. Tidak pernah sebelumnya aku justru menyukai ekspresi marah seseorang terhadapku. Namun mungkin kalau bukan Eri, aku tak akan merasa begitu. Karena sejak awal aku memang menyukai segala hal tentangnya.

Huh, jika memenangkan turnamen ini bisa membuatku tetap bersama dengannya untuk seumur hidup... Maka aku bersumpah... Itulah yang akan kulakukan.

Part 3

Begitu aku melangkahkan kaki di ruang portal, Stellene yang sedang duduk-duduk langsung bangkit. Pemuda itu melambaikan tangan. Aku pun membalasnya. Tanpa aba-aba kami menuju ke arah Anastasia, maid yang menjaga pintu portal.

"Osh!" sapa Stellene dengan tatapan menyelidik, seolah ia sedang mencari sesuatu yang harusnya melekat padaku. "Kau sendirian saja?"

"Ya, celakalah aku bila membawa Eri ke tempat berbahaya."

"Kau benar, kau memang pria sejati," Stellene mengangguk-angguk sementara jemarinya mengelus dagu. Seringai tampak di bibirnya, sedang matanya tak terlihat karena pantulan cahaya pada kacamatanya.

Kemudian kami berdua berdiri menghadap sepasang pintu besi yang disegel menggunakan rantai. Asap ungu tua bertiup-tiup dari celah di antaranya, menguarkan aroma buah yang pekat.

"Silahkan masuk," ujar Anastasia sopan. "Selanjutnya akan ada NPC lain yang menjadi pemandu kalian. Bukannya aku melepas tanggung jawab, tapi memang itu ketentuannya, uwu."

"Baik," jawabku dan Stellene bersamaan.

Kemudian rantai-rantai yang menyegel kedua pintu terlepas secara magis, seperti ada makhluk tak terlihat yang memotongnya menggunakan kapak raksasa tak terlihat. Pintu pun terbuka, menghenbuskan asap yang lebih intens. Aku menelan ludah, lalu berjalan memasukinya.

Setelah berada di dalam, pintu di belakangku menutup disertai dentuman keras. Asap yang membutakan ini perlahan menghilang, hingga aku bisa melihat jelas seperti apa sekellingku. Sebuah ruang kecil yang sedang bergerak turun menuju ke bawah. Dindingnya terbuat dari kaca, sehingga aku bisa melihat Stellene di ruangan sebelahku.

"Hmm, ini seperti elevator," celetuk pemuda itu. Lalu ia menatapku balik. "Kau tidak tahu elevator ya? Kasihan sekali. Elevator adalah produk teknologi yang memungkinkanmu menaiki atau menuruni gedung tinggi tanpa membuang keringat."

Kalau tidak ada kaca yang memisahkan kami, aku pasti sudah menjitak kepalanya. Apa aku harus dikasihani hanya karena tidak mengetahui elevator?

Aku menghela nafas, kemudian memfokuskan diri pada pemandangan di luar sana. Begitu gelap, dipenuhi makhluk aneh yang berenang-renang. Jika elevator ini tengah bergerak turun, mungkin ia sedang menuju dasar lautan.

"Hei, apa kau mempercayai keberuntungan?" Stellene kembali bersuara.

"Maksudmu?" Aku tak mengerti makna di balik pertanyaannya.

"Sejak di akademi, mereka selalu menyebutku sebagai jimat pembawa keberutungan," ujarnya memulai. "Bahkan tulisan yang tertera pada undangan turnamen ini adalah untuk menguji keberuntunganku." Ia memberi jeda sejenak, lalu mengalihkan pandangan dari area di luar sana ke arahku. Ia mengembangkan senyum. "Tapi nyatanya, tidak ada keberuntungan di dunia ini. Semua tak lebih dari perencanaan yang matang – terlalu matang malah – hingga orang biasa mengiranya sebagai suatu keberhasilan yang mustahil terjadi."

"Jadi ada yang ingin kau buktikan padaku?" jawabku merespon yang langsung diangguki olehnya. "Kalau aku... aku juga tidak mempercayai keberuntungan. Semua yang terjadi di dunia ini sudah ada yang mengatur, dan tugasku adalah menapaki jalur yang telah ditentukan-Nya."

Dahinya tampak mengernyit. Tapi hanya sesaat, sebelum ia tertawa lepas. "Tak kusangka, kita tidak jauh berbeda. Sebenarnya kita adalah dua orang yang memaksakan masa depan masing-masing. Dari mana kau tahu kalau jalur yang kau tapaki sudah ditentukan takdir, jika bukan kau sendiri yang memaksakannya?"

Kuelus-elus bagian dagu dari topengku, seraya menerka apa yang tersembunyi dari tiap kalimatnya. Awalnya membingungkan, hingga aku mungkin menemukan butir-butir kebenaran di antaranya.

Tapi tiba-tiba seluruh ruangan berguncang, memaksa pembicaraan ini untuk menemui ujungnya. Pencahayaan berubah menjadi merah yang berputar-putar. Suara sirine menggaung nyaring memekakkan telinga.

"Ada apa ini?!" seruku sembari bersandar ke dinding.

"Kikikikikiki! Jangan panik petarung, aku hanya sedang memberi sedikit modifikasi pada arena pertumpahan darah kalian nanti!" Tiba-tiba muncul sosok holografis yang tergambar pada kaca di antara ruanganku dan Stellene. Ia adalah pria yang mengenakan jubah putih yang tampak suci. "Namaku Akinaten, sang penjaga makam."

"Modifikasi apa?"

Baru saja Stellene bertanya, aku sudah merasakan keanehan dalam tubuhku. Seperti hal yang lucu sedang terjadi, namun aku tak tahu apa itu. Yang aku tahu, aku bisa melihat postur tubuh Stellene yang entah mengapa terdistorsi, menjadi seperti tersusun dari potongan-potongan kubus aneh. Wajahnya menjadi sangat sederhana, hanya diisi oleh sepasang persegi sebagai kaca mata dan  satu garis mulut.

"Zhaahir, kau kenapa?" Anehnya malah ia yang tampak terheran-heran melihatku.

Saat aku menatap kedua tanganku, ternyata tangan ini juga menjadi tak kalah absurdnya dari kondisi Stellene. Bentuknya kotak-kotak, sampai-sampai aku nyaris tak bisa membedakan yang mana jariku.

"Selamat datang di dunia tiga puluh dua piksel, kikikiki," tawa Akinaten amat menyebalkan. "Sekarang aku akan menjelaskan peraturan sederhana. Setelah ini kemampuan kalian akan dikristalisasi, lalu aku akan menyebarkannya di sepanjang arena pertarungan. Kalian bisa mengambilnya untuk digunakan, atau menghancurkannya agar tak bisa digunakan lawan. Tapi ingat dua hal ini. Kalian bisa menggunakan kemampuan lawan secara bebas, dan kalian hanya bisa saling mengurangi Hit Point menggunakan efek kemampuan. Kikikiki."

Selepas ia mengatakannya, mendadak dadaku terasa panas. Kemudian lima buah bola kristal melesat keluar dari sana. Masing-masing memiliki keterangan yang tertulis di depannya.

<Wajah di balik topeng>
<Kavaleri pejuang>
<Surat izin dari kaisar>
<Makan malam romantis di Hisaria>
<Sandhora Eri>

Tak salah lagi, itu adalah daftar Fantasma Mulia yang kumiliki. Hanya saja... mengapa aku memiliki lima? Dan yang kelima adalah... Eri? Bagaimana mungkin?

"Aaargh, kenapa batu-batu muliaku menghilang dari dalam tas?!" pekik Stellene. Lima buah kristal juga sudah melayang di hadapannya.

"Sudah kubilang kau hanya bisa menggunakannya setelah mendapatkan kembali kristal kemampuanmu," jawab Akinaten. Untunglah ia tak harus selalu mengakhiri kalimatnya dengan tawa 'kikikiki' karena jika iya maka aku bisa menggila.

Lalu sesuatu terbersit di benakku. Jika Stellene kehilangan batunya, maka topengku pun... Aku segera meraba wajahku. Tidak ada topeng di sana.

"Stella!" seruku. "Lihat aku!"

"Kenapa?" Ia melihatku. Satu detik, dua detik, tiga detik. Tidak ada reaksi apa-apa. "Kenapa?" tanyanya lagi.

"Tidak apa-apa," jawabku. Namun dari reaksi barusan aku tahu, bahkan keagungan wajahku pun menghilang jadi kotak-kotak tiga puluh dua piksel apabila aku tak mendapatkan kembali kristalisasi <Wajah di balik topeng>.

Kemudian ruangan elevator berhenti turun disertai hantaman keras, seolah-olah menabrak permukaan tanah.

"Sekarang keluar dan mulailah pertarungan kalian, kikikiki!"

Tiba-tiba sosok holografis Akinaten menghilang dari pandangan. Suara sirine sudah berhenti, dan seluruh ruangan menjadi gelap. Hanya beberapa saat, karena kemudian pintu terbuka.

Refleks aku mengangkat tangan untuk menghalangi silaunya cahaya yang datang. Pelan-pelan aku melangkah keluar. Ketika mataku mulai beradaptasi, aku menurunkan tangan... hanya untuk terbelalak menyaksikan kemegahan yang tiada tara...

Part 4

Sebuah ruangan raksasa terhampar luas, seolah diciptakan oleh tangan-tangan Titan. Karena rasanya mustahil manusia bisa membuat yang seperti ini. Keramik-keramik putih disusun sedemikian rupa, hingga permukaan lantai tampak seperti aliran sungai susu yang diterpa cahaya jingga. Cahaya itu berasal dari berjuta kobaran lilin yang menempel pada sepanjang dinding suci yang berukir nirwana. Belasan pilar gigantis menyembul dari lantai laksana Atlas sang Titan, yang menahan atap langit berlukiskan dewa-dewi. Sedang jauh di puncak-puncak dinding, bertengger jendela-jendela berkaca mozaik, yang membiaskan cahaya dari luar sebagai siraman pelangi.

Namun itu semua tidak ada apa-apanya dibanding sepasang patung yang berdiri gagah di ujung ruangan. Tingginya pasti tak kurang dari dua puluh meter. Sebuah manifestasi – atau personifikasi – dari keagungan tempat ini. Jika bukan dewa dan dewi, maka tak berlebihan menyebut mereka sebagai raja dan ratu, yang kuasanya melampaui jagat kehidupan.

"Dan ini semua yang kulihat telah terdistorsi oleh kotak-kotak tiga puluh dua piksel," ucapku penuh puja-puji. "Bagaimana seandainya pemandangan ini nyata? Atau justru sang tiga puluh dua piksel yang telah melahirkan keindahan ini?"

"Lihat, ada sesuatu yang terbang masuk ke dalam!" ucap Stellene tiba-tiba memecah kekagumanku.

Dari jendela-jendela yang terbuka, tampak puluhan benda pipih yang melesat ke dalam ruangan, lalu meletakkan dirinya di berbagai tempat dalam ketinggian. Seperti karpet, tapi lebih kaku dan agaknya bisa dipijak. Benda-benda itu mengapung di udara, bergerak perlahan bagai layang-layang.

Belum sempat memaknai kejadian barusan, tiba-tiba kristal-kristal kemampuanku melesat ke atas, saling bercampur dengan kristal milik Stellene. Bola-bola itu berputar, saling mengacak, hingga aku tak tahu mana yang punyaku dan mana yang bukan. Lalu kesepuluhnya tersebar di sekeliling ruangan, menanti untuk diklaim oleh kedua petarung.

"Jadi," aku menatap pemuda di sampingku. Sebuah bar hijau holografis terlihat di atas kepalanya. "Apa kita tak bisa saling melukai tanpa kristal kemampuan?"

"Ayo kita cari tahu."

Tiba-tiba Stellene melesat ke arahku. Tongkatnya diangkat tinggi-tinggi, lalu diayunkan kuat. Refleks aku menyilangkan dua tangan untuk bertahan.

!!!

Aku tidak merasakan apa-apa. Tongkatnya marmernya menghantam tanganku, tapi aku tidak merasakan apa-apa.

"Bar Hit Point mu tidak berkurang," kata Stellen masih dalam posisi menyerang. "Akinaten tidak bercanda."

Usai mengatakannya, pemuda itu langsung berlari meninggalkanku. Astaga, dia pasti ingin mencuri awalan untuk mendapatkan kristal kemampuan!

Seperti harimau aku menerkamnya dari belakang, lalu menarik kerah bajunya sampai ia jatuh terguling ke belakang. Otomatis kini aku yang memimpin. Tapi baru selangkah aku berlari, sesuatu mencengkram pergelangan kakiku. Tak terhindarkan, aku jatuh terjerembab mencium lantai.

"Aku duluan!" Stellene bangkit dan bermaksud untuk mendahuluiku.

Tak bisa dibiarkan. Aku lekas berguling, lalu melancarkan tackle ke arah kakinya sehingga ia jatuh untuk kedua kalinya. Jeritannya seperti tikus yang terjepit saat aku melakukan itu.

Dengan susah payah aku mencoba berdiri. Tapi sebelum aku bangkit sepenuhnya, Stellene menubruk pinggangku. Lagi-lagi kami tersungkur, dan kali ini ia memegangiku erat. Aku meronta, tapi kunciannya sangat kuat seperti ular besar.

"Lepaskan aku!"

"Tidak akan."

Terpaksa aku menyikut batok kepalanya keras-keras. Namun ia tidak merasa sakit, tidak juga bar Hit Point nya berkurang.

"Hahaha, sekarang kau tidak bisa ke mana-mana!" Entah mengapa ia mengucapkan itu dengan penuh kemenangan.

"Jangan bodoh, kau juga tidak bisa ke mana-mana!"

"Justru itu poinnya." Sebuah seringai tiga puluh dua piksel ia arahkan padaku. "Bagaimana kalau kita buat kesepakatan? Aku akan melepasmu, dan kita berlari bersamaan untuk mendapatkan kristal kemampuan masing-masing. Tidak boleh ada yang saling serang sebelum ada yang mendapatkan bola kristal. Dengan begitu pemenangnya bisa ditentukan."

Hmm, kesepakatan yang menarik. Jika kami bisa mendapatkan kristal masing-masing maka kami bisa mengurangi Hit Point masing-masing. Dengan begitu... Tunggu dulu!

Sekilas kesepakatan ini sepertinya adil, tapi bisa saja pemenang pertarungan ditentukan begitu kami berlari mencari kristal masing-masing. Misalnya saja...

Aku mengalihkan pandangan ke seisi ruangan. Sepuluh bola kristal tersebar luas, sulit bagiku menentukan mana yang paling mudah diraih. Selain itu kecepatan lari dan kelincahan memanjati karpet-karpet terbang akan menjadi faktor yang menentukan. Belum lagi, aku tak tahu kristal kemampuan apa yang nantinya pertama kuraih. Bagus jika krital itu memiliki daya serang, tapi... Empat dari lima Fantasma Muliaku tidak memiliki daya serang!

Tapi jika memikirkan bahwa Stellene memiliki peluang yang sama rendahnya denganku, maka kesepakatan ini adil. Kecuali, jika sejak awal ia memikirkan sesuatu. Maka ini bukan kesepakatan, melainkan permainan. Siapa yang dapat merencanakan lebih jauh ke depan, ialah pemenangnya.

"Bagaimana?" tanyanya masih mencengkram erat pinggangku.

"Baik, aku setuju, dengan satu syarat."

"Apa itu?"

"Kita berdiri sambil saling berjabat tangan lalu menghitung satu sampai enam puluh. Pada hitungan keenam puluh baru kita lari bersamaan."

"Tidak masalah."

Syukurlah ia setuju. Aku butuh waktu untuk berpikir. Pelan-pelan kami bangkit sambil saling memegangi. Setelah berada dalam posisi berdiri, tangan kami saling berjabatan. Sekarang –

Mendadak aku melihat seringai tiga puluh dua pikselnya!

"Apa kau membutuhkan waktu untuk berpikir?"

Dadaku langsung berdebar keras. Orang ini, ia mampu melihat ke dalam apa yang aku pikirkan. Tapi aku tidak boleh tampak kalah. Aku harus menjawab dengan sepercaya diri mungkin. "Kupikir kita semua membutuhkannya... Waktu untuk berpikir."

"Tidak, aku bisa lari sekarang juga, dan mendapatkan kristal yang kumau. Aku hanya kasihan padamu makanya berbaik hati memberikan waktu."

Mustahal. Mustahil. Ia pasti hanya menggertak.

"Kalau begitu aku mulai menghitung," ujarnya. "Satu... Dua... Tiga..."

Stellene, pemuda yang penuh percaya diri. Aku tak boleh menyia-nyiakan kesempatan ini. Jadi, ke mana aku harus berlari?

Haruskah aku mengincar kristal yang paling dekat? Namun bagaimana jika kristal itu adalah kemampuan tanpa daya serang? Tampaknya Stellene sudah mengetahui kristal mana yang ingin ia dapatkan. Jika mempertimbangkan peraturan dari kesepakatan ini, maka kristal yang ia maksud pasti memiliki daya serang, sehingga ia bisa langsung menyerangku begitu mendapatkannya.

"Dua belas... tiga belas... empat belas..."

Hmm, apa aku perlu mengubah kesepakatan, dari 'tidak boleh ada yang saling serang sebelum ada yang mendapatkan bola kristal' menjadi 'tidak boleh ada yang saling serang sebelum kedua peserta mendapatkan bola kristal'? Uh, tapi itu percuma. Tanpa adanya sesuatu yang memaksakan hukum, maka tidak ada jaminan ia akan menungguku mendapat kristal sebelum ia mulai menyerangku.

"Dua puluh tujuh... Dua puluh delapan... Dua puluh sembilan..."

Bagaimana jika aku meninjunya tepat pada hitungan enam puluh? Itu pun percuma, ia tidak akan merasakan sakit. Sebaiknya aku fokus pada kristal yang ingin kuraih. Masalahnya di antara sepuluh yang tersebar aku tak tahu harus mengambil yang mana. Apa boleh buat, aku akan mengejar yang paling dekat. Lagipula kalau dipikir-pikir, mungkin Stellene memang cuma menggertak.

Baiklah, sudah kuputuskan.

Aku pun ikut menghitung bersama Stellene. Kami saling menatap melalui mata tiga puluh dua piksel ini. Seolah sedang berusaha membaca pikiran satu sama lain.

"Lima puluh sembilan... Enam puluh!"

Aku langsung melaju secepatnya seperti angin. Di sisi lain, Stellene melesat bagaikan rusa. Pemuda itu bergerak menjauhiku ke sisi kanan gedung. Celaka, sepertinya ia tahu apa yang sedang ia lakukan. Tapi sekarang bukan saatnya untuk terdistraksi oleh yang lain, karena aku memiliki target sendiri untuk dicapai.

Aku segera melompat lalu menaiki sebuah karpet yang melayang satu meter dari lantai. Kemudian aku terus melompat dari satu karpet ke karpet lain, sampai akhirya aku bisa meraihnya, sebuah bola kristal yang berpendar cerah.

<Makan malam romantis di Hisaria>

Sial, Fantasma Mulia ini tidak memiliki daya serang.

Aku pun menyempatkan diri untuk mengintip keadaan Stellene. Pemuda itu masih berusaha keras meniti karpet terbang satu demi satu. Baguslah, mungkin masih ada waktu untuk mendapatkan kristal lainnya. Tanpa membuang waktu aku mulai melompat di antara karpet menuju kristal berikutnya.

Aku tak tahu kristal milik siapa yang ada di depan sana. Tapi berdasarkan Akinaten, aku bisa menggunakan kemampuan lawan apabila berhasil meraih kristalnya. Maka milik siapa pun kristalnya, asalkan berdaya serang, itu sudah merupakan kemenanganku.

Dengan gerak kilat aku meraih benda bulat tersebut.

<Ruby – Grade B artistry : [Firebolt]>
<Attack : 20>

Berhasil! Aku menang! Jika aku menyerang Stellene dengan ini, maka –

"Ahahahahahahaha! Zhaahir! Waktumu telah habis! Aku akan menghancurkanmu Zhaahir! Demi Bintang Kejora di angkasa raya!!!"

Jantungku serasa behenti berdetak kala mendengat tawa membahana barusan. Tubuhku pun menjadi kaku. Tengkukku terasa dingin. Pelan-pelan aku melempar pandangan pada pemuda yang yang tengah berdiri di salah satu petak karpet terbang sebelah sana. Ia sudah menggenggam sebuah kristal di tangan kanannya.

"Ya-yakin waktuku telah habis? Kata siapa?!"

Ya, mustahil ia bisa seyakin itu. Memangnya kristal kemampuan apa yang ia pegang saat ini? Apa lebih hebat dari dua yang kumiliki?

Namun seringainya kerap membolak-balik hatiku, menenggelamkannya dalam kegundahan. Firasat buruk mulai datang silih berganti, terlebih ketika ia mengangkat tinggi kristal di tangannya.

"Tadinya aku ingin bilang 'kata ibuku', tapi harusnya kau tahu jawabannya jika melihat ini," ujarnya panjang lebar. "Kau mungkin akan mengira kalau aku beruntung. Tapi nyatanya sejak awal, permainan ini sudah kumenangkan."

"Apa?!!"

Kristal yang ia pegang berpendar keemasan. Cahayanya amat menyilaukan pun begitu juga indah. Sensasi nostalgia yang kukenal datang dari sana, menjamu seluruh tubuhku dalam dekapannya yang fana. Ketika sinarnya meredup, kedua mata tiga puluh dua piksel ku terbelalak lebar.

Stellene... Ia... mendekap Eri dengan tangan kirinya!

Mustahil!

"Eri!" Aku tak bisa menahan diri untuk tak menyerukan namanya.

"Eh?" Gadis itu tampak bingung, lalu menatap ke arahku. "Zhaahir?" Ia seperti hendak beranjak ke arahku, tapi Stellene langsung menahannya dengan tongkat marmer di leher. "Kyah!"

"Mau ke mana gadisku?" Stellene – keparat itu – ia mendekatkan hidungnya ke rambut Eri, lalu menghirup dalam-dalam. "Sungguh menyegarkan. Kau tetaplah di sini bersamaku, sayang."

"Stella?" Eri tampak terkejut. "Apa yang terjadi?!"

"Hei lepaskan Eri!!!" teriakku sekuat tenaga. "Ia tidak ada hubungannya dengan ini semua!"

"Tidak ada hubungannya? Ia jelas ada hubungannya! Ia jelas ada hubungannya, semenjak namanya ada dalam daftar kristal kemampuanmu!" jawab Stellene setengah mengejek lalu merapatkan dekapannya pada tubuh Eri. "Sejak awal inilah yang kuincar!"

"Ja-jangan bilang kalau..."

Ia mengangguk bahkan sebelum aku menyelesaikan kalimatku. Astaga. Jadi sejak awal ia sudah memakukan fokus ada kristal <Sandhora Eri>. Ia terus memperhatikan posisinya bahkan ketika diacak.

"Stella, lepaskan aku!" Eri berusaha meronta, namun tenaganya tak cukup kuat, malah membuat Stellene tertawa terbahak.

"Zhaahir!" seru Stellene. Kini suaranya meledak-ledak dengan berbagai permainan intonasi, jauh berbeda dengan pemuda ramah yang berjabat tangan denganku pagi ini. "Kudengar dari Akinaten jika aku bisa menghancurkan kristal kemampuan. Apa jadinya gadismu jika aku menghancurkan kristal ini?!"

Dia mengancamku...

Pemuda ini mengancamku dengan liciknya...

Sial, apa yang bisa kuperbuat...

"Jadi sekarang, kau ikuti kata-kataku," lanjut pemuda itu. "Jadilah anak baik. Papa menyukai anak baik. Bawa kemari kristal kemampuan yang kau miliki, berikan pada papa."

Bahkan ia mulai merujuk dirinya dengan sebutan 'papa'. Astaga menjijikkan sekali. Tapi... bagaimana jika ia menghancurkan kristal Eri. Apa Eri akan –

"Cepaaaaattt!!!"

"Y-ya!" Aku terperanjat. Tanpa sadar tanganku terulur ke depan meski kutahu takkan bisa menggapainya.

Namun aku harus tenang. Aku tak boleh terlihat lemah... Kukepalkan tangan ini, untuk menahan segala rasa. "Stella... Apa kau sadar, bisa saja usahamu sia-sia... Seperti peserta yang kembali hidup di Alforea setelah terbunuh pada babak penyisihan dan ronde satu... Mungkin Eri akan kembali dihidupkan."

"Kau pikir begitu ya? Lalu bagaimana dengan mereka yang tak pernah muncul lagi di Alforea setelah babak penyisihan dan ronde satu?"

Aku tak bisa menjawabnya.

"Memang ini masih kemungkinan," ujarnya. "Tapi apa kau berani mengambi resiko itu? Zhaahir? Kau berani?" Kemudian ia melempar-lempar kristal di tangannya seperti permainan. "Kelihatannya bola ini rapuh sekali, apa yang akan terjadi jika jatuh dari ketinggian ini?"

"Jangan – "

Eri. Padahal jarak di antara kita hanya terpaut beberapa meter, tapi seperti ada jurang sedalam keabadian yang memisahkan kita. Kau begitu rapuh, dan seakan bisa meninggalkanku kapan saja. Bagai genangan air di permukaan daun yang bisa jatuh hanya oleh tiupan angin.

Aku mengeratkan gerahamku kuat-kuat. Nafasku mulai tidak beraturan, apalagi saat melihat wajah ketakutan Eri yang di ambang bahaya seperti ini. Mana mungkin... Mana mungkin aku berani mengambil resiko seperti itu...

Tiba-tiba kakiku terasa lemas, tak mampu lagi menopang beban tubuh. Aku pun terjatuh di atas kedua lutut.

"Eri, maafkan aku... Sepertinya... perjalanan kita akan berakhir di sini..." Kukatakan itu dengan wajah tertunduk. Aku sama sekali tak sanggup menatap matanya, terlebih setelah segala omong besarku tentang menghadapi segala rintangan.

Toh turnamen ini akan jadi sia-sia, jika kau tak ada lagi di sana untukku berbagi kemenangan nanti. Tanpamu, semua tak sama... semua tak pernah sama. Di dunia ini tak akan ada pun yang mampu menjadi sepertimu. Apalah arti hidup ini dalam dekap ketiadaanmu.

"Zhaahir! Jangan tundukkan kepalamu!!!"

Eri?

"Jangan teriak-teriak, kau membuat telingaku sakit!"

"Zhaahir, tatap aku!"

Eri?

Aku melihatnya. Seorang gadis yang meski pipinya memerah, dibanjiri air mata, tapi tak menyerah dalam ketakutan. Kobaran api menyala-nyala, di balik pupil matanya yang sebiru samudra.

"Aku percaya, kau akan melewati semua rintangan yang menghadang!" seru Eri. "Kau adalah Zhaahir! Kau yang berani menculikku di depan hidung kaisar dan ratusan prajuritnya! Menyerah di tempat ini, sama sekali bukan kau yang kukenal!"

"Tapi – "

"Tidak ada tapi-tapian!" sela Stellene marah sambil mencekik leher Eri dengan batang tongkat marmernya. Lalu ia menudingku. "Jangan diam saja, cepat serahkan bola kristalmu!"

Begitu... Begitu ya... Jadi begitu...

Ehe.

Ehehe.

Ehehehe.

"Ehehehehe!!!"

Tampak jelas Stellene terbelalak kala melihat seringai di wajahku. "Apa? Apa yang kau tertawakan? Apa yang kulewatkan?"

"Aku bisa memberikanmu kristal ini," aku bangkit sambil menunjukkan kedua bola, masing-masing di tangan kanan dan kiriku. "Dan kau tetap tak akan bisa mengalahkanku."

"Kau meracau."

"Aku sungguh-sungguh." Aku mulai melompati kapet terbang satu demi satu, mendekati Stellene.

"Kenapa bisa begitu?" Kuperhatikan seringai memudar dari bibirnya. Bahkan melalui dua titik dan satu garis ekspresi tiga puluh dua pikselnya, aku bisa merasakan keraguan.

"Karena aku adalah Zhaahir," kataku mantap. Sebuah lompatan terakhir, dan kini jarak kami hanya terpaut satu karpet. "Dan aku tidak akan tinggal diam jika ada yang berani menyentuh Eri. Siapapun yang melakukannya, kupastikan ia akan mengunjungi neraka."

"Kau..." Stellene mengamatiku lamat-lamat dari balik kacamatanya, lalu menghardik tajam, "Jangan mendekat! Letakkan kristalnya di karpet itu lalu menjauh! Kalau tidak, aku akan – "

"Kau tidak akan berani. Karena begitu kau hancurkan kristalnya, tidak akan ada yang bisa menghalangimu dari kemarahanku."

Usai mengatakan itu, aku melompat cepat ke atas karpet yang sama dengan Stellene. Kuangkat sebelah kakiku tinggi-tinggi, lalu kuhujamkan pada karpet sekuat tenaga. Seluruh permukaan pun bergejolak. Untuk sesaat Stellene kehilangan keseimbangannya. Dalam kesempitan itu, aku membuang kristal <Ruby – Grade B artistry : [Firebolt]>, lalu menyentuh pipi pemuda itu. Kuaktifkan Fantasma Muliaku yang tersisa.

"Makan Malam Romantis Di Hisaria!"

Kemudian cahaya jingga yang membutakan memancar menyelimuti kami. Sebuah pertanda bahwa babak akhir pertarungan telah tiba.

Part 5

"Selamat datang di Hisaria."

Aku duduk manis memperhatikan Stellene yang tengah kebingungan mengenai tempatnya berada. Tentunya ia tak mengira jika saat ini ia tak lagi berada di pemakaman megah, melainkan kastilku yang agung – bahkan dengan tampilan tiga puluh dua pikselnya. Di antara kami adalah meja kayu besar yang dipenuhi santapan eksotis Kekaisaran Khavaro. Lilin-lilin aneka warna menyala sebagai hiasan dengan aroma semerbak.

"Hisaria?"

"Sebuah realitas buatan. Kita akan menghabiskan makan malam romantis di tempat ini."

"Cih, di mana gadismu?" Ia mengangkat kristalnya hingga bersinar, tapi tak ada yang terjadi.

"Jangan repot-repot," kataku sambil terkekeh. "Tempat ini hanya bisa dimasuki oleh dua orang saja. Selama prosesi berlangsung, tidak ada orang dari luar yang bisa mengganggu."

Aku sempat melihatnya berdecak beberapa saat sebelum ia kembali menguasai keadaan. "Jangan merasa menang dulu," katanya. "Aku memang tidak tahu sihir apa yang kau gunakan, tapi kristal <Sandhora Eri> masih di tanganku." Ia menunjukkan senjata pamungkasnya.

"Kau boleh menghancurkan kristal itu, tapi selanjutnya ucapkan sampai jumpa pada dunia luar. Lalu selamat datang pada kehidupan abadi di Hisaria."

"Apa maksudmu?"

"Seperti arena pertarungan yang memiliki aturannya, kastil ini juga memiliki aturannya sendiri," jelasku. "Dua orang yang masuk di dalamnya tak akan pernah bisa keluar sebelum menyelesaikan makan malam romantis. Artinya, jika kau menghancurkan kristal itu, maka aku akan memilih mati, yang berarti kau tak akan pernah bisa keluar dari sini."

"Dalam situasi seperti itu," Stellene menjeda untuk berpikir sejenak. "Ancaman yang sama berlaku untukmu. Kau tak akan pernah bisa keluar jika aku menolak untuk melakukan makan malam romantis bersamamu."

"Sayangnya premis itu tidak berlaku untukku, karena saat ini aku adalah orang yang sudah berada di ujung tanduk," jawabku tak tergoyahkan. "Bagi orang yang berada dalam posisiku di mana sudah tidak ada hal lebih buruk yang bisa terjadi, maka ia tidak akan takut kehilangan apapun lagi. Hidupku tidak berarti tanpa Eri, jadi tidak ada bedanya aku terus di sini atau di luar sana."

Stellene tampak menggunakan waktunya untuk mencerna kata-kataku. Tidak ada ekpresi yang bisa kubaca selain 'datar'. Apa yang ia rencanakan? Entahlah. Aku tidak tahu hingga akhirnya ia menyunggingkan senyum, lalu meletakkan kedua sikunya di atas meja. Ia saling menjalin kedua jemarinya sebagai penopang dagu.

"Jadi sekarang kita memasuki permainan babak kedua?" tanya Stellene, anehnya ia tampak senang. "Aku salah. Aku meremehkanmu. Kukira kau hanyalah seorang pria yang sedang dimabuk asmara. Ternyata kau bisa mendorongku sampai sejauh ini." Dan senyumnya berkembang menjadi tawa kecil tertahan namun penuh kepuasan. "Aku lengah! Aku lengah! Tapi akan kutunjukkan sekarang. Permainan yang sebenarnya baru dimulai."

Permainan baru dimulai katanya? Kurasa ia tidak membual. Semakin aku mengenalnya, semakin aku tahu jika ia memang tipe orang yang seperti itu. "Lalu apa yang akan kau lakukan sekarang?"

"Aku akan membisikkan sedikit logika padamu," ucap Stellene. "Kau menjebakku dengan asumsi bahwa Eri akan mati bila kuhancurkan kristalnya. Tapi bagaimana jika tidak? Bagaimana jika ia kembali ke Alforea setelah pertarungan ronde ini berakhir? Maka kaulah yang akan terjebak di sini seumur hidup. Kalian berdua akan tersiksa ketika dimensi memisahkan dalam waktu tak hingga."

"Jika aku berasumsi seperti itu, sejak awal aku sudah akan langsung menyerangmu dengan kristal <Ruby – Grade B artistry : [Firebolt]>."

"Yang tentunya mustahil kau lakukan," timpal Stellene. "Sekalipun kau berasumsi Eri akan kembali ke Alforea, kau tak akan sanggup melukainya. Oleh karena itu kau tidak akan menyerangku karena itu berpotensi melukai fisiknya. Tapi sekarang keadaan sudah berubah. Gadismu tak ada di sini, dan kau bisa menyerangku sepuas hati tanpa takut melukainya." Pemuda itu melirik ke arah hiasan pedang yang menempel di dinding. "Aku penasaran, jika kau menyerangku dengan benda itu apa Hit Point ku akan tetap berkurang?"

Sekarang ia membuat pola pikirku berlawanan dengan sebelumnya. Kini justru aku yang merasa terjebak dalam perangkapku sendiri. Tentu saja aku takut bila aku tak bisa kembali ke Alforea menemui Eri.

Pemuda ini, ia bukan pemuda sembarangan. Lidahnya lebih tajam dari pedang, dan pemikirannya seperti permainan artistik seorang ahli pedang.

Sebelumnya aku ingin memintanya menyerahkan kristal <Sandhora Eri> agar aku mau bekerja sama keluar dari tempat ini. Tapi kini ia juga mungkin akan meminta sesuatu dariku agar ia mau bekerja sama keluar dari tempat ini.

"Serahkan kristal kemampuanmu, dan aku akan mengembalikan kristal <Sandhora Eri> padamu. Setelah itu kita keluar dari tempat ini."

Ia melakukannya, seperti yang kutakutkan.

Tapi apa yang ia inginkan dari kristal <Makan malam romantis di Hisaria>? Toh tidak ada lagi yang bisa dilakukan kristal ini karena sekarang kami sudah berada di dalam realitas buatannya. Kecuali...

Aku melirik ke arah pedang yang menempel di dinding.

Mungkin ia akan menggunakannya untuk mengurangi Hit Point ku hingga seminimal mungkin sebelum kami keluar dari sini. Yang jadi masalah jika itu terjadi adalah, kemungkinan besar aku akan kalah. Lalu apa gunanya semua ini jika aku kalah?

Tidak ada gunanya.

Demi Tamon Rah yang bertahta di Alkima, aku tak boleh kalah.

"Zhaahir, Zhaahir, Zhaahir, apa keputusanmu?" Stellene mengatakan itu sembari menusuk sepotong daging domba dengan garpu, lalu mengunyahnya. "Lezat sekali, aku tak keberatan menghabiskan makan malam ini bersamamu."

Tapi... tak ada jalan... Ia benar, sesungguhnya aku tak ingin menghabiskan keabadian di tempat ini. Namun untuk keluar, ada harga yang sangat mahal, yang mungkin berujung pada maut. Apa kuserang saja ia sekarang? Namun aku tak boleh benar-benar menanggalkan asumsi bahwa Eri tidak akan mati jika kristalnya dipecahkan.

Tanpa sadar aku menggebrak meja, menghantam piring dan garpu hingga pecang berkeping-keping.

"Ups, jangan marah kawan," Stellene kaget setengah meledek.

Singkirkan senyumanmu, itu membuatku gila. Kristalnya, kembalikan kristalnya. Kembalikan kembalikan kembalikan kembalikan kembalikan kembalikan kembalikan!!!

"Baiklah aku setuju!!!"

"Akhirnya," Stellene bersiul ringan. Ia memutar kristalnya dengan ujung jari, dilempar ringan, lalu ditangkap. Ia pasti ingin membuat hatiku kacau tidak karuan, hingga ketenanganku terganggu. "Perlihatkan kristalmu di atas meja, kita lakukan pertukaran di saat yang sama."

Tanpa mengatakan apa-apa aku mengikuti kemauannya. Kuangkat kristal dengan tangan kanan, lalu kami saling menyodorkan. Dengan tangan kiri, kami akan saling mengambil secara bersamaan.

"Kutebak... Seharusnya... Kau sudah tahu apa yang akan kulakukan setelah mendapat kristalmu?" tanya pemuda itu dengan senang hati.

Aku tak menjawab. Aku hanya menatapnya tajam.

Lalu pertukaran itu terjadi. Tangan kiri kami sudah saling mengambil kristal di tangan kanan lawan.

"Permainan berakhir," ucapnya.

"Sayangnya," kataku dengan mimik muka yang mengikutinya. "Pertaruhan yang sebenarnya baru dimulai."

Aku menyenderkan tubuh ke belakang, lalu menendang meja di depanku kuat-kuat hingga menghantam Stellene. Ia begitu terkejut hingga tak bisa melakukan apa-apa selain terhempas.

"Apa-apaan kau?!" serunya marah seraya menyingkirkan meja yang menimpanya. "Percuma menyerangku, senjata di kastil ini tidak akan mengurangi – "

"Diam dan lihat bar Hit Pointmu!!!" seruku sambil mengacungkan jari telunjuk.

Stellene pun melirik ke bar hijau di atas kepalanya. Tak butuh waktu lama sebelum ia menyadari gambaran holografis itu tak lagi menunjukkan angka sempurna.

"Kenapa hantaman meja ini dapat mengurangi Hit Point ku, sedang akulah yang memegang kuasa atasnya?!" seru Stellene terkejut seraya mengangkat kristal <Makan malam romantis di Hisaria>.

"Kurasa karena sifat alami Fantasma Muliaku yang satu ini bukanlah untuk menyerang. Semua benda yang ada di dalamnya bisa digunakan untuk menyerang, tapi realitas buatan ini sendiri bukan untuk menyerang. Karena itu siapapun yang ada di dalam, tak peduli memegang kristalnya atau tidak, bisa menggunakan semua yang ada untuk mengurangi Hit Point lawan. Aku sendiri menyadarinya kala garpu yang kuhantam mengurangi Hit Point ku sedikit, padahal sebagai pemegang kristal kupikir seharusnya aku tak mungkin bisa dilukai oleh kastil ini."

Pemuda itu tampak terpukul mendengar penjelasanku. Mungkin ia tengah menyesali betapa bodoh langkah yang telah ia ambil. Dan sesuatu perkataanku, 'pertaruhan yang sebenarnya baru dimulai'.

Stellene langsung melesat ke sisi dinding di mana terdapat hiasan pedang. Refleksku secepat kilat membawaku pada sisi dinding lainnya di mana hiasan tombak berada. Pada saat bersamaan kami meraih senjata masing-masing, lalu saling terjang di tengah ruangan, di mana berpiring-piring sisa makanan tercecer tak karuan. Pedang, tongkat, dan tombak kami pun bertemu. Kilatan cahaya lidah-lidah api tiga puluh dua piksel pun terpercik di udara.

"Sekalipun begitu, keputusanmu untuk menyerangku tidaklah logis!" seru Stellene seraya memainkan pedang dan tongkatnya secara bergantian. "Jika aku mati, kau akan terjebak selamanya di sini!"

"Jadi kau bertarung tanpa siap mati?" tanyaku tajam. "Itu berarti kekalahanmu sudah dipastikan."

Aku menarik nafas dalam-dalam, lalu meneriakkan raungan perang sekuat tenaga. Kuputar dan kutusukkan tombakku tanpa ampun. Meski Stellene memiliki dua senjata, namun hanya satu yang memiliki kemampuan untuk mengurangi Hit Poin. Dengan berfokus pada hal itu, aku bisa melakukan gerakan-gerakan efisien, sementara ia makin kewalahan karena keyakinannya kian terkikis oleh tiap seranganku.

"Kau tidak akan lagi bisa menemui gadismu!" serunya makin panik. "Kalian akan terhalang batasan dimensi! Detik-detik kehidupan yang akan kalian lalui mulai sekarang hanya akan diisi oleh penderitaan!"

Tapi aku tetap tenang. Aku tetap menepis dan menusuk, hingga Hit Point nya berkurang mendekati titik nol. Lalu sebelum ia mati, kukatakan sebaris kalimat dengan penuh percaya diri, "Sejak kau menyerahkan kristal <Sandhora Eri> padaku, kekalahanmu sudah dicetuskan."

Pemuda itu terbelalak. Tubuhnya tampak kaku seperti baru saja disadarkan oleh hantaman kilat. Hingga kemudian aku menancapkan serangan penghabisan yang mematikan seluruh kesempatannya untuk hidup.

"!!!"

Stellene tak berkata-kata. Tubuhnya tetap dalam keadaan berdiri dan tombakku masih menancap di dadanya ketika sebuah kubus merah mendadak tercipta mengelilinginya.

Meski wajah pemuda itu amat sederhana akibat distorsi Akinaten, aku bisa membaca emosi yang bercampur di sana. Mungkin kaget? Kecewa? Tapi juga seperti ada kelegaan.

"Apa keberuntunganku telah berakhir?" tanyanya serak. "Aku ini keberuntunganmu?" Perlahan-lahan tubuh tiga puluh dua pikselnya terurai mulai dari permukaan.

"Tidak," aku menggeleng. "Kau tahu, semua sudah direncanakan. Tapi mungkin kebetulan itu tetap ada... Karena kebetulan rencanaku berada satu langkah di depanmu."

Kemudian Stellene tersenyum. Senyuman ramah terakhir sebelum tubuhnya pecah menjadi ribuan uraian yang kemudian menyatu dengan sekitar. Mengapa ia terenyum, setelah semua ini? Apa baginya turnamen ini memang tak lebih dari permainan untuk menguji keberuntungannya?

Tapi apapun itu, yang jelas sekarang semua sudah selesai. Setidaknya untuk bagian pertarungan. Kini tinggal satu hal lagi yang perlu kulakukan.

Kukeluarkan kristal <Sandhora Eri> lalu kuangkat tinggi ke udara. Dengan kematian Stellene, harusnya Eri bisa dipanggil ke sini. Dengan begitu kami dapat keluar berdua.

Aku pun mengaktifkan kristalnya. Cahaya terang menyilaukan langsung membasuh tubuhku. Lalu dari dalam cahaya itu, lompat bidadari yang mendekapku erat.

"Zhaahir!"

Isak tangisnya begitu pilu menyesakkan dada. Aku lekas merengkuh tubuhnya, dan mengelus rambutnya lembut.

"Eri tenanglah. Semua sudah benar-benar berakhir." Kemudian aku meraih kedua tangannya yang dingin kebas. Aku menuntunnya perlahan hingga balkon, tempat di mana kami bisa melihat horizon hitam yang terbentang luas. "Sekarang mari kita nikmati malam di kastil ini selagi bisa, sebelum fajar membawa pertarungan-pertarungan berikutnya."

12 comments:

  1. Haha, sebaliknya kalau Vajra terlalu banyak bicara pas tarung dsb, kalau terlalu banyak mainan "perang urat syaraf" justru lawan yang bakal memanfaatkan itu sebagai serangan balik padanya, malah makin banyak kelemahannya yang terungkap. Di sini lebih banyak permainan strategi, dan pergerakannya dan level tenaga antara Stellene & Zhaahir seimbang.

    Waktu R1 Vajra banyak dialog dengan Zhaahir semata-mata untuk menangkal gaya "tarung urat syaraf" Zhaahir itu. Sisanya, lebih banyak teknis dan deskripsi pergerakannya :p Yup, benar2 gaya duel dan skill set yang berbeda-beda. Makanya di R1 Vajra saya nggak pakai skill "Makan Malam Romantis di Hisaria" dan "Sandhora Eri" waktu mainkan Zhaahir.

    Skor 7/10 - OC: Vajra

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya di ronde ini emang aku ingin menekankan pertarungan psikologis dan adu taktik setelah ronde kemarin yang ditekankan adalah full battle. Hehehe. Sep, makasih mas pajra uda mampir. >,<

      Delete
  2. Zhaahir ga tau elevator tapi tau istilah kayak tackle?

    Rasanya agak jomplang ya dari feel shounen kemaren sekarang Zhaahir jadi keliatan kebanyakan mikir www

    Tapi saya bakal tegasin di sini. Akhirnya setelah nunggu sekian lama, ada juga yang berhasil bikin battle of wits kayak gini

    Saya beneran seneng ngikutinnya. Dari awal Zhaahir serba ragu, sampe bikin ketentuan" dan akhirnya berhasil ngebalikin keadaan, semua penuh intrik yang buat saya menarik. Terserah orang lain bilang apa, saya mau kasih nilai sempurna. Selamat, udah jadi orang pertama yang bikin ini selain saya dulu pas Sakaki vs Fort di N2

    Dari saya 10

    [OC : Dyna Might]

    ReplyDelete
    Replies
    1. yehehehe asik dapat 10 ~ >,< ~ #plak itu yang tackle tadinya mau pake jegal tapi entah kenapa rasanya lebih dramatis klo pake tackle, kyk tsubasa gitu, wkwkwkwk. entry ini kan ceritanya untuk netralisasi yang kemarin, dan yang kemarin itu untuk pembalasan yang prelim. huhu makasi suda mampir,,,

      Delete
  3. Fatanir - Po

    aku benci Eri. Dia serba sempurna dan serba dicintai dan mencintai. Karakternya nggak punya interaksi yang dinamis dgn Zhaahir dan Stella selain sebagai Damsel in Distress dan motivator Zhaahir yang generik. Mudah2an ke depannya dia bisa lebih matang sebagai karakter.

    Karena Stella sebagai musuh begitu memukau di sini. Suaranya meledak dengan berbagai permainan intonasi, pemikirannya tajam seperti permainan artistik seorang ahli pedang, narasi yg menerjemahkan konsep Moriarty dengan sangat mantap.

    Interaksi Zhaahir dan Stella udah masuk interaksi terbaik sepanjang Bor V ini menurutku. Dialog2nya udah gak perlu dipertanyakan lagi fluiditas dan tensinya, kecuali 1 adegan:

    Gadismu tak ada di sini, dan kau bisa menyerangku sepuas hati tanpa takut melukainya." Pemuda itu melirik ke arah hiasan pedang yang menempel di dinding. "Aku penasaran, jika kau menyerangku dengan benda itu apa Hit Point ku akan tetap berkurang?"Sekarang ia membuat pola pikirku berlawanan dengan sebelumnya. Kini justru aku yang merasa terjebak dalam perangkapku sendiri. Tentu saja aku takut bila aku tak bisa kembali ke Alforea menemui Eri

    kata2 Stella dan kesimpulan Zhaahir kurang nyambung mnurutku. kenapa pas Stella nanya "kalo kamu nyerang aku, apa hit pointku akan kurang?" bisa disusul dgn pemikiran Zhaahir bahwa dia takut terperangkap? Kenapa nggak Stella ngancam balik bahwa dia bisa bunuh diri kapan aja shingfa Zhaahir gak bisa nemuin Eri lagi?

    nilai 9/10

    ReplyDelete
    Replies
    1. hmm, berati tema ronde berikutnya adalah 'eksplorasi eri' #eh

      ukh bagian itu ya, agak sulit menjelaskannya... >A< jadi stella itu nanya cuma basa-basi kayak penjahat-penjahat itu, sebenernya niatnya pengen ngancem klo zhaahir nyerang dia, zhaahir akan kalah. kenapa dia ga bunuh diri, karena saat itu keduanya berasumsi semua senjata yang ada di Hisaria itu cuma bisa dipakai oleh orang yang membawa kristal terhadap orang yang ga bawa kristal, yang mana asumsi itu digugurkan ketika zhaahir tanpa sengaja ngurangin HP nya pas tangannya nabok garpu padahal dia masih pegang kristal.

      Delete
  4. aduh baru kali ini, tau zhahir bisa bersikap seperti di entri ini. Zhahir yang biasanya tenang dan suka gombal, bisa begitu panik dan banyak mikir. baru kali ini saya respek sama zhahir, kekuatan dan pengorbanannya tiada duanya... xD
    *penasaran juga sama mukanya zhahir, sepenasaran liat muka kak*si.

    ceritanya juga berubah jadi psikological story, penuh emosi dan intrik...
    setelah sebelumnya ceritanya full battle >_<

    Khanza kasih 9

    Khanza

    ReplyDelete
  5. AnonymousJuly 27, 2015

    -Masya Allah, sinetron turki sekali pembukaannya ini.
    -"Justru itu poinnya." Justru itu intinya, man. Justru itu intinya kedengeran lebih bagus. Atau sekalian that's the point.
    -Ini battlenya unik
    -Nice drama melibatkan Eri
    -Akhirnya kok, IMO, kerasa gitu doang lagi.

    Nilai akhir: 8/10

    OC: Lady Steele

    ReplyDelete
  6. Fak, ini drama mampus...

    Battle yang dibuka dengan adu logika dan argumen antara Zhaahir dan Stellene itu keren, battlenya sendiri simpel dan singkat.

    Sayangnya kau dapat -1 dariku karena kau tak mengindahkan canon panitia, soal peserta yang dikirim ke lokasi pertarungan secara mendadak.

    Poin 9

    Zoelkarnaen
    OC: Caitlin Alsace

    ReplyDelete
  7. Eophi : Ng, selamat malam, Zhaahir. Langsung aja ... nilai 8.

    *Eophi tidur*

    *Sebuah bantal in frame*

    Milk : Namaku Milk, shushu. Naik elevator tidak berkeringat kata siapa, shushu? Kalo elevatornya mati di tengah jalan pasti keringetan, shushu. Ada kata: Mustahal, terus: Mustahil, shushu? Itu typo yang jadi kaya mantra, shushu! Pixelnya kerasa, kereeen, shushu.

    "Bantal pergi*

    *Guling in frame*

    *Guling diseret keluar*

    *Selimut in frame*

    *Selimut keluar*

    *Kasur in frame*

    White : Perkenalkan, nama saya White. Argumen-argumen, asumsi, dan trik-trik untuk menyembunyikan tekanan yang sedang dirasa, kisah Zhaahir ini bagus. Favorit saya adalah narasinya, dan keluhan saya selain sedikit typo benar-benar tidak ada lagi. Selamat makan, Zhaahir dan Eri. Mungkin itu saja. Terima kasih atas waktunya.

    *Kasur pergi*

    *Naga merah in frame*

    Hel : Hey, namaku Hel. Kamu kok pakai topeng? Coba buka ... oh iya boleh nambahin komental ga? Okey, tambahannya, coba bagi daging dombanya!!! Bye, Zhaahil~

    *Naga merah keluar*

    *Eophi bangun*

    Eophi : K, Zhaahir ... nilainya berubah dari 8 jadi 9.

    ReplyDelete
  8. Hello Zhaahir~

    Hmm, sebelumnya maaf ya. Udah baca ini dari lama tapi baru dikomen sekarang.

    -

    Gimana, ya? Kalo saya baca cerita pasti yg pengen saya bahas pertama kesannya. Dan kesan saya baca entri ini ... agak sulit dijelaskan. Yah, emang pada dasarnya saya gak terlalu mudeng sama battle yg pakai otak.

    Tokoh Eri menurut saya minusnya entri ini. Entah kenapa dia terasa 2D dan Mary Sue gimana gitu (ini pendapat pertama, soalnya ini pertamax saya baca entri Zhaahir). Dramanya juga kurang ngena, ya. Battlenya sama.

    Ya udah deh, saya titip 8 ya~

    ReplyDelete