6.7.15

[ROUND 2 - LEVEL 3] VI TALITHA - AWAL DARI PEKATNYA JIWA

1

Ini adalah sebuah pulau kecil.

Pepohonan hijau nan rindang memenuhi pemandangan siapapun yang menghuni pulau ini. Jenis-jenisnya pun bermacam-macam, dari yang bisa berbuah, sampai yang bisa melahirkan. Dari yang akan mati ketika terik menyinari, sampai yang akan tumbuh ke atas ketika malam tiba. Sesungguhnya tak ada batas maupun keseragaman di antara pepohonan ini.

Tak hanya itu, berbagai macam hewan liar juga mendiami hutan tersebut dengan damainya. Benar, ekosistem yang ada di pulau ini sangatlah tentram. Buah dimakan monyet, monyet dimakan singa, singa dimakan komodo, komodo di makan naga, naga akan pergi ke pulau lain melakukan hal yang sama, dan terus seperti itu hingga kedamaian selalu menyinari pulau ini.

Hamparan pasir putih yang elok nan indah menghiasi pantai bak permata surga. Ombak lembut yang menyisirnya selalu membawakan keajaiban alam. Berbagai macam makhluk laut dari yang bertentakel seratus, hingga yang bertentakel gadis-gadis muda selalu datang dan pergi layaknya turis langganan. Membuat ekosistem yang ada di pulau ini semakin kaya.

Sungguhlah sebuah pulau yang nyaman.
 
—Atau itulah yang selama ini diharapkan, sebelum kemudian sebuah portal tercipta dari udara kosong memulai kehancurannya.

Cahaya yang terang terpancar dari portal tersebut seperti matahari baru yang ada di pulau ini.

Sesaat setelahnya termaterialisasi sesuatu yang berkaki dan bertangan layaknya manusia yang sering dibawa oleh hewan bertentakel itu.

Bedanya, corak dan bentuk tubuhnya seperti harimau. Mengenakan sesuatu di antara pinggangnya dan di punggungnya terdapat benda tajam nan panjang bagaikan bulan sabit. Sosoknya sangat tegap dan cerah, layaknya pria perkasa yang kebetulan wajahnya mirip harimau.

Di atas kepalanya, terdapat balok aneh berwarna hijau dengan sebuah tulisan yang terbaca sebagai [Wildan Hariz]—yang berarti namanya.

"Ini… pantai sungguhan?" gumamnya tampak setengah kebingungan. "Dan aku… benar-benar harimau?"

Berulang kali dia buka tutup telapak tangannya seolah berusaha memastikan kalau jari berkuku panjang itu adalah miliknya. Sesaat kemudian dia melompat-lompat, meninju udara kosong, lalu berlari kencang dan diakhiri dengan lompatan berputar.

Mendarat dengan mulusnya, dia kembali tegap.

"Tak ada perubahan," ujarnya sendiri. "Berarti memang hanya bentuk tubuhku saja yang beda."

Kemudian Wildan melihat ke sekitar, seperti sedang mencari sesuatu atau sekedar menganalisa lingkungannya. Ditatapnya hutan rindang yang sayangnya sedang ditinggalkan para naga saat ini. Dan dari sana—dari udara kosong—terbentuk lagi sebuah portal bercahaya terang.

"Ka-Kau…!!"

Termaterialisasi dengan indahnya sosok seperti malaikat bersayap ular yang saling mengait. Cukup berbeda dengan Wildan, tubuhnya tampak normal—seperti manusia biasa.

Mengenakan pakaian serba putih dengan lilitan ular di sekujur tubuhnya, sosok itu menapakkan kaki ke tanah pantai ini dengan elegannya. Seolah dia baru saja hendak mengikuti kontes Miss Universe.

Perlahan membuka mata merahnya, dia langsung melihat Wildan yang tampak sedikit terkejut. Diliriknya tulisan [Wildan Hariz] yang di bawahnya terdapat balok berwarna hijau, sama seperti miliknya. Bedanya, tulisan [Vi Talitha] lah yang ada di atas kepalanya sendiri.

"Wah, kali ini beneran kayak game," komentarnya sembari tersenyum. "Perbanku juga menjadi ular sesuai dengan notifikasi pengaturan avatar tadi. Hee, jadi ini yang disebut 'sesuai dengan jati diri peserta'? Ular berbisa, yah, mungkin memang cocok buatku."

"Maksudmu?" Wildan yang sedari tadi terdiam mulai menanggapi. "Aku tidak mendapat notifikasi semacam itu."

"Saat pengaturan ingin menjadi mutan apa, kamu pilih yang mana?"

"Hmm," Wildan menyilangkan tangannya seraya berpikir. "Sepertinya aku memilih [harimau]."

"Nah, itu dia, kamu pilih langsung sedangkan aku [random] karena rasanya tidak terlalu penting. Yah, tidak ada bedanya juga kan dibandingkan denganmu yang kepribadiannya sangat mudah ditebak?"

Wildan mengernyitkan dahi. "Maksudmu, sekalipun aku memilih [random] hasilnya akan tetap sama?"

"Yah, kurang lebih seperti itu," balas Vi yang kemudian tersenyum. "Atau bisa jadi tidak."

"Yang mana?!" seru Wildan tidak puas.

"Yang manapun tak ada bedanya, kan? Mau bagaimana juga pada akhirnya kita akan bertarung. Bentuk fisik tidak mendiskriminasi."

Wildan seperti ingin mengeluhkan sesuatu, namun ditelannya kembali dan mulai menenangkan diri. "Ya, benar, kita harus bertarung hingga balok di atas kepala salah seorang dari kita kosong. Tapi aku penasaran, sebenarnya apa yang akan kosong dari balok ini?"

"Mau aku bantu kosongkan balokmu?"

"Coba saja kalau bisa!"

Wildan langsung merendahkan badan dengan tangan yang mengepal. Kakinya berpijak kokoh di pasir pantai indah ini. Seakan dia siap untuk langsung menerjang dengan cepatnya kalau Vi mengambil bahkan satu langkah saja. Senyum terukir di wajahnya yang penuh dengan kepercayaan diri.

Sedangkan Vi…

"Huaaam~"

… hanya bergeming, menguap saja di tempat dengan santainya.

Yang membuat Wildan melongo.

"Kenapa kau diam saja?!" serunya tak sabar.

Vi yang air matanya tampak sedikit keluar itu malah terlihat bingung, memiringkan kepala dengan satu mata tertutup. Tanda tanya seolah muncul di atas kepalanya untuk menghiasi raut herannya tersebut. Sebelum kemudian dia mulai menjawab Wildan.

"Jangan-jangan kamu… tidak menyadarinya?"

"Kamu bicara apa?" tanya Wildan.

"Kamu tidak tahu kenapa kita bisa berada di tempat ini?"

"Untuk bertarung, kan?"

"Ah, aku salah menilaimu…"

Kali ini Wildan yang menautkan alis, kebingungan. Dia tidak bisa mencerna kalimat Vi, begitu juga tidak paham dengan apa yang salah dari penilaian Vi. Dari awal, Wildan bahkan tak mengerti apa yang Vi nilai.

"Kalau begitu, kita mulai bertarung saja. Aku ingin mengetes sesuatu."

Namun Vi yang menggemeretakkan jemarinya sama sekali tidak tampak ingin menghapus rasa penasaran Wildan. Digesernya kaki ramping milik Vi itu membentuk huruf 'C' terbalik di pasir pantai, merendahkan tubuhnya seolah ingin meniru kuda-kuda Wildan.

"Kau bisa bela diri?" tanya Wildan.

Vi menggeleng. "Sama sekali tidak. Cuma, keren saja kalau aku berpose seperti ini sebelum bertarung."

"Kurasa sedikit keren."

"Terima kasih."

Dengan itu, Vi melompat ke depan dan mulai berlari ke arah Wildan yang melakukan hal yang sama. Tentu saja dari segi fisik dan pengalaman bertarung Wildan lebih unggul. Karena itulah dia lebih sigap dan cekatan dengan langsung mengambil dua sabit dari balik punggungnya, lalu mengayunkannya secara menyilang.

Di sisi lain, Vi memanglah lambat. Namun bukan berarti dia mudah untuk diserang. Sedetik sebelum Wildan menyentuh sabitnya, ular yang melilit tubuh Vi sudah menjulur cepat ke salah satu pohon yang ada di dekatnya dan mengait di sana. Seketika itu juga Vi langsung tertarik ke samping, membiarkan Wildan menyayat udara kosong.

Tentu Wildan tidak akan berhenti begitu saja hanya karena satu kali kecohan. Dengan cepat, dia langsung melempar—sekaligus mengayunkan—salah satu sabitnya ke arah Vi yang tengah melesat ke salah satu pohon itu. Namun lagi, juluran ular putih Vi mengait ke pohon lain yang ada di sebelahnya dan membawa tubuh Vi berpindah arah.

"Siapa kau? Manusia laba-laba?!" seru Wildan yang sudah tak bisa menahan diri untuk tidak berkomentar.

Tersenyum, Vi menjawab, "Kali ini aku manusia ular."

Wildan langsung menarik sabitnya yang tertancap pada salah satu pohon sebagai tumpuannya melemparkan diri ke arah Vi. Karena pepohonan di pulau ini sangat besar dan tinggi, Wildan bisa dengan leluasa memainkan sabitnya secara bergantian. Mengayunkan tubuhnya bagaikan monyet yang menggunakan sulur tumbuhan untuk berpindah dari satu pohon ke pohon lain.

"Jangan plagiat woy!" Kali ini Vi yang berteriak, kesal.

"Kau sendiri juga plagiat!" balas Wildan. "Jangan lari kau!"

"Cih! Ini takkan ada habisnya," gumam Vi yang langsung merubah arah ayunannya dan melompat jauh, keluar dari hutan.

Wildan juga melakukan hal yang sama, sekuat tenaga melempar tubuhnya ke atas dan menerjang ranting-ranting serta dedaunan. Hingga saat dia melayang di udara, matanya tersilaukan oleh terik matahari yang menyengat.

Refleks, tangan kiri Wildan langsung melindungi matanya yang terbuka setengah. Meski begitu, Wildan masih bisa melihat sesuatu yang gelap meluncur ke arahnya.

Sosok tersebut lama kelamaan menjadi putih dan tentu saja Wildan sudah tahu identitasnya bahkan sebelum mereka saling mendekat. Karenanya, Wildan langsung mengayunkan sabitnya ke arah lawannya itu—Vi. Namun belum sempat merasakan sesuatu terbelah oleh sabitnya, senjata tajam milik Wildan itu dipantulkan oleh perisai ular Vi dan terlepas dari genggamannya.

"Alva!"

Dengan cepat Wildan menyerukan nama tersebut. Pada saat itu juga muncul seekor elang yang langsung melesat, mencengkeram senjata Wildan dengan kedua kakinya yang kuat.

Wildan yang mulai bisa melihat dengan jelas sosok Vi itu langsung mengepalkan tangan. Di atasnya—karena sejenak terpental mundur akibat tumbukan antar senjata tadi—Vi juga melakukan hal yang sama. Mata keduanya tampak dipenuhi oleh kepercayaan diri.

"Ugh!"

"Uakh!"

Yang lalu saling meninju wajah satu sama lain dengan kerasnya.

"Mao!"

Tubuh Wildan yang jatuh bebas dari udara disambut oleh seekor harimau putih yang melompat indah dari bawah sana. Sedangkan Vi hanya perlu memainkan ularnya saja untuk kemudian bisa mendarat semulus hewan peliharaanya tersebut.

Wildan menghentikan langkah harimau putihnya dan menerima sabit yang dibawakan oleh elangnya, menatap Vi yang juga bergeming beberapa jarak di hadapannya. Dari sudut mulut keduanya, mengalir darah segar yang tidak begitu banyak.

"Kuat juga pukulanmu," puji Vi.

"Kau juga. Kukira kau tidak sekuat ini," sahut Wildan.

Lalu keduanya tersenyum, seolah hal tersebut sudah menjadi kebiasaan mereka.

"Jadi begitu ya caranya mengurangi balok hijau ini." Vi melirik ke atas kepalanya dan berusaha menyentuh baloknya. "Mulai berkurang dari ujung kanan akibat kerusakan fisik. Tidak bisa dipegang juga, kurasa ini memang game."

Di hadapan Vi, Wildan menambahi. "Hanya berkurang sedikit, padahal tinju tadi cukup keras. Itu artinya…"

"… kita harus membunuh satu sama lain untuk bisa menghabiskannya," sambung Vi mengakhiri.

Di pertarungan yang entah dimulai dari mana, keduanya tampak sedikit enggan setelah Vi mengatakan kalimat itu…

"Bukan masalah yang besar kurasa."

… Atau tidak.

Wildan mengatakannya seolah saling membunuh hanyalah sesuatu yang sepele. Sangat berbeda dengan Vi yang sekalipun terlihat santai, gemetar di tangannya tak bisa dia sembunyikan. Entah dia takut, atau merasakan hal lain. Yang jelas, perbedaan ini cukup aneh jika keduanya berasal dari tempat yang sama.

Dari awal Vi melihat sosok Wildan seperti sudah sepantasnya berada di pulau ini, begitu juga sebaliknya. Namun atmosfer keduanya tampak timpang sebelah. Aura yang dipancarkan Vi cukup berat sekalipun Wildan tidak menyadarinya.

Yang kemudian Vi realisasikan dengan satu kata.

"Yakin?"

Membuat Wildan terdiam sejenak, menahan napas.

"Apanya?"

"Maksudku, apa kamu yakin kalau kematian bukanlah masalah yang besar?"

"Loh, ini game, kan? Tidak akan ada yang namanya kematian berat di game manapun. Yang di novel-novel itu hanya fiksi saja, kan? Ketika mati, kita akan hidup kembali. Sama seperti ronde-ronde sebelumnya. Meskipun aku terluka parah, setelah kembali ke Alforea semua lukaku akan pulih seketika. Sekarang juga tak ada bedanya, kan?"

"Heh, justru karena itulah aku bertanya—apa kamu yakin?" balas Vi yang membingungkan Wildan.

"Apa kamu cuma ingin bermain kata-kata saja?"

"Aku bermain logika di sini."

Kalimat dan ekspresi Vi sangat meyakinkan hingga Wildan tampak ragu dengan kalimatnya sendiri. Aura Vi mulai memengaruhi Wildan yang masih belum mengerti pasti, namun bisa sedikit menangkap kalau mati bukanlah ide yang bagus untuk ronde kali ini.

"Kalau begitu jelaskan maksudmu," pinta Wildan yang mengembalikan sabitnya di punggungnya.

Vi menyilangkan tangannya, sebelum kemudian mengabulkan permintaan Wildan.

"Apa kamu ingat dua ronde sebelumnya?"

"Ingat," jawab Wildan singkat. "Kenapa?"

"Ronde pertama kita diperintahkan untuk menghancurkan dua menara oleh seorang maid dari Alforea. Ronde kedua aku beserta lima peserta lain dikirim ke dasar laut untuk bertarung setelah seorang maid menjelaskan aturannya. Lalu untuk ronde ini… kamu pasti sudah bisa menyadari perbedaannya, kan?"

"Ah… tidak ada maid yang menjelaskan," ujar Wildan meneruskan.

"Benar, tidak ada maid. Bahkan tak ada satupun pesuruh wanita bernama Tamon Ruu seperti yang pernah kita temui di ronde pertama, maupun ronde kedua. Kita langsung dikirim begitu saja ke tempat ini dengan beberapa notifikasi dan pengaturan. Tidakkah kamu berpikir kalau ini aneh?"

Wildan mengangguk. "Kalau kupikir kembali, aneh juga, ya? Selalu ada yang menjelaskan segala sesuatunya sementara sekarang tidak. Bahkan tidak ada waktu istirahat atau semacamnya. Rasanya seperti…"

"… bukanlah Battle of Realms," sambung Vi. "Kita dipaksa untuk saling membunuh—oleh sesuatu yang tidak kita kenali, bahkan tidak kita ketahui. Aku menduga seseorang, atau suatu eksistensi sedang melakukan sesuatu yang sudah berada di luar peraturan resmi turnamen ini."

"Jadi itu kenapa kau bertanya kalau membunuh itu adalah hal yang sepele atau bukan?"

Vi mengangguk.

"Ada kemungkinan besar kita akan mati kalau dibunuh."

Mata Wildan terbuka lebar mendengar Vi. Buah adamnya bergerak seperti sedang menelan ludah. Bulir keringat meluncur dari keningnya, jatuh, dan membasahi Mao—harimau putihnya.

"Ja-jadi…" ujar Wildan terbata-bata, "apa yang harus kita lakukan sekarang?"

"Entah. Aku tidak memiliki kapasitas untuk terbebas dari tempat ini selain mengikuti peraturan yang ada."

"Maksudmu…"

"Aku tak ada pilihan selain membunuhmu."

Vi menjawab seperti itu.

Dengan dinginnya.

Membuat wajah Wildan pucat.

Kemudian dia menatap tangannya sendiri—yang mulai bergetar. Siapapun yang melihat Wildan pasti tahu kalau dia enggan untuk membunuh. Segala keraguan merasuk ke dalam dirinya ketika harus mencabut nyawa suatu sosok yang baru saja memberi tahu satu kemungkinan terburuk padanya.

"Sekalipun aku sudah diajarkan untuk tidak ragu… Sekalipun aku sudah berkali-kali mengalahkan dark fiends… Tapi aku… aku…"

Mendengar gumaman Wildan yang cukup keras, Vi masih berdiri tanpa terlihat seperti ingin segera menyerang Wildan yang lengah. Tidak, bahkan saat ini Vi bahkan tidak bisa melakukannya.

Ya, tidak ada nafsu membunuh yang terpancar dari mata merahnya. Vi hanya berdiam diri saja dengan sebuah senyuman masam—walau sangat samar terukir di wajahnya—yang sangat berbeda dengan dia yang sebelumnya.

Vi yang tadi lebih buas dari ini.

Seperti ada sebuah konflik tersendiri bagi Vi yang tatapannya sejenak melembut. Seakan dia tengah melihat sesuatu yang sudah lama dia tinggalkan. Suatu ekspresi penuh dengan nostalgia—

"… Eh?"

—dan air mata.

Yang bahkan disadari oleh Wildan, hingga sejenak dia melupakan keraguannya sendiri.

"Kau… kenapa menangis?"

Kalaupun memang harus menangis, Wildan lah yang paling cocok melakukannya saat ini. Tapi di luar dugaan, justru Vi yang tak bisa membendung air matanya. Apa yang sebenarnya membuat Vi menjadi serentan itu?

"Tidak." Namun Vi menyangkalnya. "Hanya debu saja, kok!" tambahnya seolah memaksakan diri untuk meyakinkan Wildan.

Buru-buru Vi menghapus air matanya. Wajah Vi bahkan keheranan seakan dia sendiri tak mengerti mengapa dia menangis. Namun sejenak kemudian, rautnya kembali seperti sedia kala.

Kokoh dan licik.

"Jadi apa yang akan kamu lakukan?" tanya Vi seperti berusaha mengalihkan perhatian. "Apakah kita ikuti saja peraturannya? Aku tidak akan dendam sekalipun aku yang kalah, kok."

Wildan masih tampak ragu, dan berkata. "Bisa aku pikirkan ini dulu?"

Benar, kalau memang dikondisikan untuk saling membunuh—mencabut nyawa satu sama lain—siapapun pasti akan merasa ragu. Begitulah normalnya. Itu adalah salah satu ciri menjadi seorang manusia. Hal yang wajar.

"Tidak."

Namun Vi menolak, yang kemudian mengeluarkan jari telunjuknya. "Kamu lihat di sana? Dari awal kuperhatikan, sesuatu mendekati pulau ini."

Wildan mengikuti arah jari Vi menunjuk. Di sana—di ujung laut sana—tampak serpihan-serpihan air yang sirna di udara. Bukan, itu bukanlah air saja, melainkan lautan dan seisinya.

Benar, kumpulan data yang sedikit demi sedikit terkikis itu menyerpih, lalu hilang—menyisakan ketiadaan. Langit biru yang ada jauh dari pandangan mereka ikut pecah berkeping-keping, menampakkan pekat hitamnya kekosongan ketika data yang ada di tempat ini mulai dihancurkan.

Perlahan tapi pasti pulau ini juga akan hancur.

Termasuk mereka yang ada di dalamnya.

Pertarungan mereka punya batas waktu.

"Kita tidak bisa berlama-lama di tempat ini," simpul Vi.

Wildan tersenyum kecut.

"Jadi kita akan benar-benar mati ya kalau dibunuh," timpalnya.

"Bagaimana? Sudah ada motivasi untuk membunuh?"

"Kau tak perlu mengatakannya seperti itu."

Mengatakan kalimat tersebut, Wildan mulai mengambil kembali sabit berantainya. Mao, sang harimau putih juga tampak siap untuk menerkam tubuh ramping Vi.

Di sisi lain Vi menyatukan jemari dan mengangkat kedua tangannya sembari berjinjit. Tak lupa dia juga memasang kuda-kuda yang sama seperti sebelumnya. Lalu dengan ringannya membalas kalimat Wildan.

"Aku hanya menyebutkan fakta saja."

Dan saat itulah, pertarungan kedua mereka dimulai.


2

Bertarung di tempat yang dipenuhi pohon tentu cukup menyulitkan Wildan.

Pasalnya, Wildan tidak bisa memainkan kedua sabitnya dengan leluasa. Sedikit-sedikit tertancap pohon, sedikit-sedikit tersangkut pohon. Kalau dia ingin menebang pepohonan tersebut, tentu saja dia harus mengerahkan kekuatan penuhnya. Tapi tentu saja Wildan tahu kalau itu tidaklah bijaksana.

Berbeda dengan Vi. Justru medan seperti ini adalah rumah baginya. Berulang kali dia mengaitkan ularnya di antara dua pohon untuk mengecoh atau sekedar mengganggu laju Mao dan Wildan.

Ularnya sih tidak mencipratkan darah atau sekeras besi. Tapi jika jumlahnya banyak, siapa saja bisa kesulitan untuk melihat apa yang ada di baliknya. Sehingga harus berhati-hati dalam bertindak untuk menghindari serangan kejutan.

Beruntung bagi Wildan karena dia bisa menjaga jarak berkat sabitnya yang cukup panjang. Namun tetap saja cukup sulit menyentuh Vi walau hanya sehelai rambut saja.

Sementara, Vi juga memiliki kesulitan sendiri. Dia hanya bisa bertahan dan lari ketika Wildan mengejarnya. Belum sekalipun Vi menemukan celah untuk menyerang Wildan. Ini artinya, mereka hanya terus mengulur waktu saja hingga keduanya terkikis oleh waktu.

"Sampai kapan kamu akan terus mengejarku?" ujar Vi yang mulai jenuh.

"Justru aku yang ingin bertanya! Sampai kapan kau akan terus lari?!" sahut Wildan kesal.

"Aku lari karena kamu mengejarku, tahu!"

"Kalau begitu aku akan berhenti mengejar, tapi kau juga berhenti lari, ya?" saran Wildan.

"Ya."

Wildan menghentikan laju Mao dan menunggu Vi muncul dari balik ular penghalangnya. Tapi tentu saja yang dinanti tak kunjung datang—karena dia adalah Vi.

Tak ada kata 'adil' bagi Vi yang sudah semangat bertarung.

Melewati pepohonan dengan memanfaatkan titik buta Wildan, Vi berdiri di atas cabang pohon dan mulai merapalkan sebuah mantra.

"…"

Perlahan terbentuk sebuah busur dari simpulan ular putih Vi yang saling melilit. Sedetik setelahnya, ular-ular tersebut mulai merajut tombak besar nan panjang yang tampak mudah sekali Vi angkat. Hanya dengan satu tangan menopang di ujung tombak bercabang tiga itu, Vi menarik anak panah—atau bisa dibilang juga anak tombak—dan menciptakan lingkaran sihir yang cukup terang.

"Akh!"

Namun sebelum sempat melepas anak tombaknya ke arah Wildan, Alva—elang Wildan—sudah mencengkeram telinga Vi dari belakang, lalu memakannya bulat-bulat. Darah mulai mengotori putih suci pakaian Vi dan membuatnya kehilangan konsentrasi.

Ular yang membentuk busur dan anak tombak Vi langsung buyar tak beraturan seiring dengan jatuhnya Vi dari dahan pohon. Peliharaan miliknya yang tercerai-berai itu langsung melilit tubuh Vi dan membungkusnya bagaikan mumi. Sedetik kemudian, terdengar erangan buas sang pemilik ular.

"Hrrrrr…"

Vi yang sekarang mulai terlihat seperti monster ular yang buas. Saat mendarat keras di tanah, semua yang ada di bawahnya terhempas begitu saja ke sekitar. Napas putih keluar dari mulutnya yang perlahan terbuka, menampakkan gigi-gigi ganas yang entah bagaimana terbentuk dari perubahannya tersebut.

"Woi woi, yang benar saja…"

Di sisi lain, Wildan yang baru saja menyambut Alva bertengger di tangannya mulai pucat. Dia bisa merasakan dengan jelas hawa membunuh yang dipancarkan oleh Vi. Bahkan Mao refleks mengambil satu langkah mundur, mengikuti insting tajamnya.

"Sebaiknya kita berpencar Mao," perintah Wildan yang juga berusaha tetap waspada.

Sedetik setelah keduanya berpisah, dengan langkah yang berat namun lincah Vi mulai menerjang ke arah Wildan. Pijakannya menggetarkan tanah dan pepohonan tanpa pandang bulu. Menghantam keras apa saja yang menghalanginya.

Seolah, Vi tidak menggunakan nalarnya untuk berpikir lebih strategis.

Meski begitu, kecerdikan masih tersisa dari Vi. Menangkap ayunan sabit Wildan yang cukup cepat, dia menariknya begitu saja seolah Wildan seringan kapas. Kali ini Vi yang mengayunkan sabit Wildan—yang kemudian disambar oleh Mao dari samping.

"Terima kasih, Mao!"

Vi yang hanya menyayat pepohonan dan udara kosong melempar sabit Wildan ke arah Mao yang memanfaatkan pepohonan untuk menghindar. Keadaan berubah 180 derajat setelah Vi berubah menjadi monster. Kini Wildan lah yang kewalahan sampai harus lari.

Melirik ke arah lautan, penghapusan data semakin menggerogoti arena pertarungan mereka. Perlahan namun pasti, seperti peribahasa yang ada di berbagai tempat. Yang membuat Wildan tak punya pilihan selain harus segera mengakhiri pertarungan ini.

Bagaimana tidak? Pancaran dan kilatan listrik mulai menjalari tubuh Wildan. Mengarah ke kepalan tangan dan kakinya. Membuat Wildan melompat dari Mao dan mendarat tegap menghadapi amukan Vi.

"Alva!" seru Wildan pada elangnya yang membawakan kembali kedua sabitnya itu.

Sepersekiandetik setelah Wildan memegang sabitnya, pancaran listrik mulai menyelimuti senjata tajamnya tersebut. Memainkan dan memutar-mutar sabitnya, Wildan mengokohkan pijakannya. Matanya yang tajam terlihat sudah siap menyambut datangnya monster Vi.

"Kemarilah!" serunya seakan juga sedang menyemangati dirinya sendiri.

"RAAAAHH!"

Suara memekik dan kasar Vi membalas tantangan Wildan. Kakinya bergerak sangat cepat hingga membuat Wildan sejenak tampak ragu. Namun, mungkin karena apa yang dilawannya sekarang lebih berwujud seperti monster alih-alih manusia, ayunan sabit Wildan terlihat sangatlah cepat dan mantap.

"!!"

Serangan Wildan seharusnya kena.

Ya, dia terlihat sangat yakin kalau barusan adalah tebasan tercepat yang pernah dia lakukan. Tidak ada yang bisa tertipu oleh leganya ekspresi Wildan walau hanya sejenak.

Sebelum kemudian, ekspetasinya dipatahkan oleh gerakan menunduk Vi yang lebih cepat. Bagaikan petinju profesional, kesempatan emas itu dia manfaatkan untuk memukul keras perut Wildan yang tak terjaga. Hempasan yang kuat melempar Wildan bagaikan lesatan peluru meriam.

"Uakh!"

Sebelum sempat menghantam sebuah pohon, Mao berinisiatif menghalangi laju tuannya dengan tubuhnya sendiri. Keduanya bertumbukan lenting sebagian—dengan Mao yang seketika itu juga pecah begitu saja ketika membentur batang pohon yang kokoh. Muncratan darah menghujani Wildan yang masih menahan sakit di perutnya.

"Ma-Mao…!" ujarnya serba terbatas.

Wildan hanya bisa bergeming, melihat peliharannya kini sudah berubah menjadi gumpalan daging dan cairan merah kental. Dia sedih—benar, dia tampak bersedih. Namun Wildan tidak bisa begitu saja melupakan Vi yang masih membabi buta.

Ditopangnya tubuh Wildan menggunakan kedua sabit itu. Ya, salah satu sabitnya itulah  yang tadi dengan cepat melindungi perut Wildan hingga mampu mengurangi kerusakan di tubuhnya. Salah barang sedetik saja, mungkin Wildan sudah menjadi seonggok 'Mao'.

Yang membuat Wildan menggigit bibirnya, tampak menahan emosi.

'Kalau ingin membalas dendam, inilah saatnya!' adalah yang akan siapapun serukan pada Wildan. Benar, tidak ada jaminan juga untuk Mao bisa hidup kembali atau bahkan sekedar pulih setelah melewati arena ini. Karena itu, karena itulah satu-satunya kesempatan hanya ada di tempat ini juga.

Mata dibalas mata.

Taring dibalas taring.

Nyawa dibalas nyawa.

Semua itu terpendam dalam—merasuk kuat—di dalam hati siapa saja yang kehilangan sosok yang berharga untuknya, termasuk Wildan. Genggaman tangannya menguat di kedua sabitnya. Ini adalah satu dan hanya satu saja kesempatan baginya. Pertukaran serangan selanjutnya akan menentukan nasib Wildan dan Vi.

Oleh sebab itu, oleh karena itulah Wildan menggunakan segenap kekuatan yang dimilikinya.

Dilihatnya Vi yang sudah mengepalkan tangan beberapa langkah di hadapannya. Sudah beberapa kali mereka berdua beradu serangan—kali ini Wildan tidak boleh melakukan kesalahan jika ingin selamat. Mungkin karena itulah dia melakukannya.

Ya, Wildan melakukan sebuah trik yang sangat jitu.

"RAAAAAAAAAAAAHHH!"

Pertama, Wildan menunggu Vi melayangkan tinju kerasnya, menghancurkan udara dan daun yang menghalangi.

Kedua, Wildan mengayunkan sabitnya dengan cepat hingga menembus kepalan tangan Vi yang secara mengejutkan cukup lunak.

Ketiga, Wildan melompat—berputar—seraya membawa sabit keduanya seperti gasing dan menusuk Vi telak dari belakang, tepat tertembus mencuat di bahu kanannya.

Dan yang terakhir, Wildan menarik sabitnya itu ke atas dan menciptakan hujan darah kedua dari tubuh Vi, mendarat mulus—mengangkat dagu dan melirik ke arah Vi yang dia punggungi.

"Arghhh!"

Semuanya terjadi hanya dalam enam detik saja.

"Dengan ini dendam Mao terbalaskan," ujar Wildan dingin dengan tubuh yang bermandikan darah Mao dan Vi.

Vi yang terkena serangan telak, langsung tumbang tanpa bisa mengatakan apapun. Ular-ular yang menyelimuti dirinya kini telah hancur dan hilang menyerpih. Menampakkan sosok Vi yang bagaimanapun orang melihatnya, dia tampak seperti gadis biasa yang sedang terluka parah.

Sangat rentan dan di ambang kematian.

Balok yang ada di atas kepalanya juga perlahan mulai berkurang menuju kehampaan. Hanya tinggal waktu saja hingga jiwa gadis tersebut meninggalkan jasadnya. Vi akan kehabisan darah jika tidak ada yang membalut lukanya dengan perban.

Namun sepertinya, situasi Vi lebih parah dari itu.

Entah masih belum puas atau dia punya alasan lain, Wildan mengangkat tinggi-tinggi sabitnya di hadapan Vi. Tangannya mulai gemetaran melihat sosok Vi yang sudah terluka parah. Tapi justru dengan itu pula Wildan bisa mengakhiri penderitaan Vi yang terlihat kesakitan.

Benar, Wildan bisa mengakhiri Vi hanya dengan sekali tusuk.


3

"Uhhh…"

Mengerang, Vi perlahan membuka matanya yang sudah dipenuhi air mata kering dan bercampur darah. Sesaat dia tidak bisa bergerak dan hanya melihat ke sekitar saja. Menemukan Wildan yang tengah bersandar pada batang pohon seraya melempar-lempar sebuah apel.

"Kau sudah sadar, ya?" ujarnya lembut sembari tersenyum.

Wajah kaget Vi tidak bisa sembunyikan lagi di balik senyuman menyebalkannya. Mulutnya ternganga seolah baru saja menemukan keajaiban yang jarang-jarang dia temui. Seperti menemukan air di padang gurun, atau menemukan api di badai salju.

"Ke-Kenapa kamu…"

Benar, Vi sendiri tampak tidak percaya dengan apa yang dia lihat, dengan apa yang dia alami.

Vi pasti berpikir kalau barusan itu adalah akhir dari hayatnya. Ya, siapapun tak bisa membayangkan kalau akan seperti ini jadinya jika mereka tidak tahu siapa tokoh utamanya. Kalau yang namanya keajaiban itu ada, orang-orang pasti akan berkata kalau inilah keajaiban itu.

"… kenapa kamu membiarkanku hidup?"

Mungkin karena itulah Vi berkata demikian.

Dengan buliran air di sudut matanya.

"Entahlah," jawab Wildan mengangkat bahu. "Aku sendiri tak mengerti."

Vi tersenyum. "Bukankah kamu dendam padaku? Lihat, aku sudah membunuh harimau putihmu. Tak ada jaminan dia bakal hidup kembali ketika mati di arena ini."

"Benar, aku dendam. Ya, aku memang dendam…" Wildan memerosotkan tubuhnya hingga terduduk dan menatap Vi, "… lalu apa?"

Vi mengerutkan dahi. "Maksudmu?"

"Maksudku, aku memang dendam… lalu kenapa? Sesaat sebelum aku bisa mengayunkan tangan pemikiran itu terbesit di kepalaku. Aku tak bisa menggerakkan sabitku. Rasanya ada yang salah kalau aku melakukannya," jelas Wildan.

Yang membuat Vi sejenak terdiam, lalu perlahan tertawa semakin kencang.

Seisi hutan seakan memantulkan suara Vi yang terdengar lega. Sangat kontras dengan situasi mereka yang semakin memburuk. Pasalnya, kikisan data mulai menggerogoti pantai sekitar—memberikan mereka sedikit waktu untuk segera mengakhiri pertarungan ini.

Tapi anehnya, tak ada dari mereka yang memedulikan itu. Seakan-akan ini adalah momen terakhir yang harus keduanya nikmati tanpa perlu mengatakannya secara langsung.

"A-Apa yang lucu?!" keluh Wildan.

"Ahaha, tidak, tidak," balas Vi yang terlihat berusaha menahan tawa lepasnya. "Hanya saja, kamu mengingatkanku pada diriku dulu."

Kali ini Wildan yang menautkan alis. "Dirimu yang dulu?"

"Benar, seperti aku. Aku pernah membiarkan temanku kabur begitu saja sekalipun dia sudah mengkhianatiku. Kalau kupikir kembali, naif juga diriku."

"Bukankah itu berarti kalau kamu orang yang baik?"

"Baik? Ahahah! Atau bisa jadi aku hanyalah orang bodoh nan polos yang melepaskan dengan mudahnya orang yang sudah membunuh adikku sendiri."

Mendengar Vi, Wildan terdiam.

"Saat itu aku punya kapasitas untuk balas dendam. Namun mirip sekali denganmu, ketika aku mengangkat tinggi-tinggi pedang itu… rasanya aku akan berhenti menjadi manusia jika melakukannya. Dan aku takut akan hal itu," lanjut Vi yang terdengar lemah.

"Aku rasa tindakanmu tepat."

"Menurutmu begitu, ya? Tapi entah aku lupa bagaimana ceritanya, justru balas dendamlah yang menjadi tujuanku saat ini. Ironis, bukan?"

Vi tersenyum kecut, sedangkan Wildan tak bisa berkomentar.

"Aku belajar menjadi lebih berani. Aku membuang semua yang menjadikanku bodoh dan naif. Aku membuang rasa kemanusiaanku. Aku menjadi licik, brengsek, bajingan, atau terserah apalah yang orang ingin sebut. Aku menjadi semua itu karena sebuah keinginan keji."

Mengatakan itu, Vi beralih ke Wildan. "Lalu bagaimana denganmu? Apa yang kamu inginkan sekarang? Apa yang ingin kamu capai dalam turnamen ini?"

Sejenak Wildan ragu, sebelum kemudian mulai membuka mulut. "Aku… ingin menyelamatkan dunia."

"Eh?"

"Ya, aku ingin menyelamatkan Reverse dan Earth dari kehancuran. Haha, mungkin terdengar aneh. Tapi entah mengapa aku merindukan kehidupan damai bersama teman-teman dan penduduk desa lainnya. Menjalani kehidupan tentram di mana mereka semua tersenyum bersama. Benar, aku ingin sekali lagi melihat masa-masa di mana dark fiends belum menyerang…"

Lagi, Vi mengeluarkan air mata seolah tidak dia sengaja—mengenang kembali dirinya yang dulu.

"… Aku ingin menjaga senyuman-senyuman itu," lanjut Wildan mengakhiri.

Atmosfer yang tercipta di antara keduanya cukup terasa hangat—sekaligus sedih. Namun kikisan data yang sudah mencapai hutan seakan tidak menggubris suasana tersebut. Membuat Vi dan Wildan serasa diburu oleh waktu.

"Lalu, apa yang akan kamu lakukan sekarang?" Vi mencoba memastikan.

"Itulah yang sedari tadi kupikirkan. Namun aku tak bisa menemukan jawaban selain mengikuti peraturan arena ini."

"Jadi kamu akan membunuhku?"

"Aku tak bisa melakukannya."

"Tapi kamu ingin menyelamatkan teman-temanmu, bukan?"

"Aku… tidak mengerti lagi. Seharusnya sekarang bukan saatnya aku ragu. Namun setelah mendengar ceritamu, melihat tangisanmu, merasakan semua kepedihan yang pernah kau alami. Rasanya aku tidak punya alasan yang kuat untuk membunuhmu…"

Wildan ragu, itulah kenyataan yang ada saat ini. Kehancuran arena ini semakin mendekat, sedangkan pilihan masih jauh dari samar.

Mungkin itulah…

Ya, mungkin karena itulah Vi menawarkan sesuatu kepada Wildan.

"Aku bisa menggantikanmu," ujarnya.

"Eh?"

"Aku bisa menggantikanmu menyelamatkan Reverse dan Earth. Mungkin sekarang aku terlihat lemah di matamu. Tapi aku yakin kalau aku bisa. Atau setidaknya, aku bisa melakukan banyak hal yang tak bisa kamu lakukan."

"… Yang tak bisa kulakukan?"

"Ya, benar. Dunia lebih kejam dari yang kamu kira. Ada banyak pengkhianatan dan konspirasi hanya sekedar demi menyelamatkan diri sendiri. Aku tanya padamu. Apa yang akan kamu lakukan bila teman seperjuanganmu tiba-tiba menusukmu dari belakang?"

Wildan sesaat terdiam. "Aku… tak bisa membayangkan itu."

"Benar, kamu tidak bisa membayangkannya. Tapi bukan itu yang sebenarnya terjadi. Bukanlah kamu yang tidak bisa, melainkan kamu yang tidak ingin itu terjadi. Kamu tidak siap menerima kenyataan tersebut. Ekspetasimu jauh lebih baik dari itu. Kamu bukanlah orang yang bisa memikirkan hal sekeji itu. Semua karena…"

"… kamu adalah orang yang baik."

"... Aku orang yang baik?"

Vi mengangkat alis. "Tidakkah kamu sadari itu? Dengar, baru saja aku membunuh Mao dan kamu bahkan tidak membalaskan dendamnya. Terlebih, nyawamu kini juga terancam dan sekarang kamu masih berbicara santai denganku. Apa namanya kalau bukan orang baik?"

"Benar… aku tidak ingin membunuhmu sekalipun waktu kita hampir habis."

"Nah, itulah kenapa, aku menawarkan diri; bagaimana kalau aku yang menggantikan posisimu? Aku adalah orang yang jahat, tapi justru itulah aku bisa melakukan hal yang tak bisa kamu lakukan. Aku bisa selamat dari arena ini dan akhirnya menyelamatkan duniamu siapapun juga musuhnya. Sedangkan kamu…"

Vi mengubah nada bicaranya—menjadi lebih berat dan dingin.

"… Apa kamu bisa membunuhku… sekaligus orang yang ingin kubunuh?"

Yang membuat Wildan terbungkam.

Vi adalah orang yang bisa melakukan hal keji pada orang lain, sementara Wildan tidak. Satu perbedaan yang sangat besar di antara keduanya hanyalah pengalaman. Wildan masih belum melihat rusaknya dunia beserta isinya sedangkan Vi sudah mencicipinya sejak dahulu.

Perbedaan inilah yang sangat menentukan di pertarungan kali ini.

"Akankah kamu… menyelamatkan semua orang yang kukasihi?"

Dan karena perbedaan itulah, Wildan mulai mewariskan harapannya.

"Pasti," jawab Vi seraya tersenyum lembut.

Manusia adalah makhluk yang terpaut takdir. Apapun akan menjadi fakta sekalipun kesemuan membayangi. Semua jejak hidup tiap individu akan saling bersilangan dan menghentikan satu sama lain. Interaksi tidak bisa dihindari, dan logika akan mudah diputarbalikkan layaknya koin.

Yang bisa melakukan itu hanyalah takdir. Ya, takdir menentukan untuk Wildan yang merupakan masa lalu dari Vi. Takdir jugalah yang mempertemukan Vi yang merupakan salah satu masa depan dari Wildan.

Sesuatu yang sangatlah ironis.

Siapapun pasti mengerti jawaban terbaik mana yang seharusnya dipilih. Sangat mudah hingga tak perlu memikirkannya lagi. Namun tidak bagi Wildan—karena dia lah yang hidup pada masa sekarang, pada detik ini.

"Ada kata-kata terakhir?"

Dan Vi lah yang akan mengakhiri hidup Wildan, pada detik ini. Mengangkat sabit Wildan tinggi-tinggi, Vi menunggu Wildan mengatakan sesuatu. Ya, kalimat yang akan dia ucapkan untuk mewariskan tugasnya kepada Vi.

"Aku ingin kau menyampaikan salamku pad—!!"

Yang seketika itu juga—disesali oleh Wildan.

"Akh!!"

Sebelum Wildan mampu mengakhiri kalimatnya, Vi mengayunkan sabit Wildan tanpa pikir panjang. Seakan dia sengaja melakukannya di tengah-tengah ucapan Wildan. Seolah dia mencari celah terbesar akan kelengahan Wildan yang sudah pasrah akan situasi.

"… kau… a… aku belum…"

"Tapi bohong~" ujar Vi santai.

Setelah membelah tubuh Wildan dari bahu kiri hingga keperut, Vi menarik sabit Wildan tanpa ampun. Tak memedulikan erangan kesakitan makhluk yang baru saja dia tipu.

"Kamu memang benar-benar bodoh," lanjutnya seraya membelakangi Wildan. "Sudah kubilang kan kalau aku adalah orang yang licik dan jahat? Sudah sepantasnya aku suka menipu dan melakukan apapun sesukaku. Apa kamu masih belum mengerti juga?"

"Ja… Jadi kau…"

Mendengar Wildan, Vi mengangkat kepalanya seraya menoleh ke belakang, melirik Wildan dan berkata. "Ini adalah pelajaran terakhir untukmu: Tidak ada yang bisa kamu percayai di dunia ini. Walau kurasa kamu takkan bisa menerapkannya setelah ini, tehee~"

Vi menjulurkan lidahnya dengan satu mata tertutup, sedangkan Wildan tak bisa bergerak lagi. Semua organnya tentu sudah terbelah rapi dengan senjatanya sendiri. Vi juga tidak mungkin membalut luka Wildan menggunakan sesuatu—seperti yang sudah Wildan lakukan tadi.

Dipegangnya bahu Vi yang tadi terluka, lalu dia remas. Layaknya sebuah kerupuk, bahu Vi remuk berkeping-keping dan menampakkan sesuatu yang sangatlah menjijikkan.

Sebuah jeli, atau substansi yang mirip dengan itu. Berwarna hitam pekat seolah terisi oleh gelapnya hati sang pemilik. Menjalar-jalar keluar seakan sedang tertahan oleh sesuatu yang lebih kuat dari benda tersebut. Merambat dan mengotori tubuh Vi yang masih berupa manusia.

Yang membuat Vi tertawa hebat.

"Jadi ini… Jadi ini jati diriku yang sebenarnya…"

Hitam dari jeli tersebut tampak menggerogoti tubuh Vi yang sekarang lebih mirip seperti cangkang berbentuk manusia alih-alih manusia itu sendiri. Seakan hendak menetas seperti telur yang sudah matang.

"Ini luar biasa, ya, ini sungguh luar biasa!"

Kemudian Vi berjalan meninggalkan Wildan yang sudah terbujur kaku, membawa sabitnya yang juga mulai dicengkeram oleh jeli hitam tersebut. Sudut mulutnya terangkat seolah bisa sejajar dengan telinganya, menampakkan gigi-gigi tajam bak monster baru.

"Ini jauh lebih baik dari yang kukira."


—Dan itulah sosok Vi yang sebenarnya.


4

Pertarungan sudah selesai.

Wildan yang kotak hijaunya sudah tidak ada mulai hilang, ikut terkikis bersama arena ini. Vi sudah terkirim kembali ke server utama, meninggalkan database level 3 yang sudah tidak bisa terselamatkan lagi.

Dan di sinilah akhir dari peranku.

Di sini jugalah akhir dari hidupku sebagai pulau terindah yang pernah kulihat. Tidak ada hal alami selain pulau ini—diriku yang mulai digerogoti oleh retasan sesuatu yang hendak mengganggu turnamen ini.

Tugasku menjaga sudah selesai.

Selanjutnya, aku berharap Ratu Tamon Ruu melakukan sesuatu pada peretas tersebut.

36 comments:

  1. Selamat pertamaxnya ya!
    Heyheyhey, kali ini POVnya bukan orang ya, tapi database itu sendiri? Cerdas.

    Hanya saja, di akhirnya, entahlah, karena saya pernah mainkan OC Wildan, dia sifatnya agak kasar dan bertindak tanpa banyak pikir, tapi dia bukan idiot. Kalaupun dia mau sacrifice, dia mungkin bakal lakukan itu dalam situasi yg lebih kritis, and he doesn't give his life up so easily.

    Jadi, mungkin ini masalah pendapat/preferensi/selera saya aja. Vi mungkin licik, tapi butuh situasi yg lebih daripada itu utk membuat lawan terpedaya, walaupun tipe bertarung lawan lebih mengandalkan otot daripada otak.

    Skor: 7/10
    OC: Vajra

    ReplyDelete
    Replies
    1. waaai~ makasih dah jadi komen pertamax~
      yg dijadikan fokus di sini bukan idiotnya sih, melainkan kenaifannya. walau orang emang lebih suka memandangnya sebagai idiot alih2 naif. Naif di sini saya ambil dari sifat yang ada di CS, saya sih ga tau orang lain mandang Wildan seperti apa. Tapi yg saya manfaatkan di sini adalah kenyataan bahwa tidak mudah untuk seseorang membunuh orang lain. Di sisi lain, Vi sudah melewati batasan itu, sedangkan Wildan engga karena sifat polosnya (apalagi kalau yg kamu bilang tanpa banyak berpikir, malah semakin mendukung karena ini lebih menyempitkan pemikiran seseorang alih2 menjadikan pintar). Kecuali kalo orang pikir bunuh orang lain itu mudah, saya angkat tangan sih, monggo dicoba wwww, yang jelas apa yang ada di entry saya ya berdasarkan yg tertulis di OC dan sedikit dari entry WIldan sendiri.
      Yah, mungkin harus eksplisit kali yha dalam menjelaskannya dan lebih dieksplor lagi, di mana saya sendiri kurang suka karena terlalu menganggap bodoh pembaca...tp apa daya uwu
      saya coba deh di r3, semoga loloas ;_;

      Delete
    2. Cemungudh! Maju terus, Vi+Dim!

      Delete
  2. -Ini narasinya kayak abang permen gula-gula, tapi gulanya pake gula biyang, bikin batuk ._.
    -Terus percakapan antara karakter di awal-awal agak terasa ‘krik-krik-krik’
    -Di bagian awal saia agak bingung siapa ngomong apa, terus posisinya lagi gimana
    -Bagusnya, saia ketemu bagian yang saya cari tentang ‘perubahan tidak mempengaruhi apapun’
    -Rasanya kayak banjir kata ‘itu’ yha?
    -Plis bagian “yakin” nya nyebelin mz :>
    -Buah adamnya itu apa mz? APAAAAAA- orz
    -Makin ke bawah feelnya makin dapet mz ;_;
    -Dan saya mulai kebayang settingnya. Good banget dengan ‘kehampaan’ perlahan ichu.
    -Ularnya sih tidak mencipratkan darah atau sekeras besi > agak rancu ular mencipratkan darah itu bagaimana.
    -Muehehehe ini malah main kejar”an.
    -"Woi woi, yang benar saja…" > BEST, EH
    -Uuhh… ada beberapa bagian yang battlenya saia agak susah bayangin.
    -Wiw, Mao ‘pecah’ nya epic juga. Tapi itukan batang pohon :<
    -Uuuuu Wildan yang tertekan, marah, kesusahan, terasa oke banget. Medannya terasa lebih nguntungin Vi tapinya yha uwu
    -Baik dan bodoh itu beda tipis yha mz. Saya tau BANGET pemikiran Vi. Dan saya juga tawu rasanya jadi wildan u,u
    -Duh, bait feel lagi mz nya uwu
    -Wildan itu prota wannabe banget yha. Bukan tipe couo yang saia bakal suka #apa
    -Baca entri ini saya jadi malah kepikir kalo para panitia ngebacakeun satu-satu entri peserta, sebelum ‘random’ buat siapa lauan siapa, melihat dari tarikan garis yang membuat Vi dan Wildan (yang juga punya huruf depan berdekatan) ini terasa kayak ‘sepasang ceri yang dipisahkan oleh pattisier’

    Terus Vi bohong.

    Vi Bohong.

    Vi…….

    *emosi saia kayak mainan lego yang lagi disusun bikin menara Eiffel terus ditendang sama anak tetangga yang kebetulan mampir.

    Tapi selamat dengan perubahan Vi yang saia SUKA. UUUU- HITAM ITU BAGUS DAN BAIK.

    Nah di ending jadi muncul satu pertanyaan :
    Narasi di atas… narasi yang terasa agak kaku di awal namun ngalir di akhir, disengaja karena sang pencerita… ‘hanya wadah?’
    Author yang menceritakan sesuatu dari POV 3, boleh juga ini. Best lah.

    Last, mau nilai khan mz?

    Oke, karena narasi di awal dan mau disengaja atau enggak, saya cukup ‘nguap’ bacanya. Awalnya, mau kasih 8.

    TAPI

    +1 untuk darah dan hitam. Dua hal yang saia suka. ‘^’)

    Jadi nilainya : 9/10

    -Eumenides/Puppet-

    hh3

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hehehe, saya kebiasaan sih minim deskripsi kalo engga diperlukan, tp malahan mungkin perlu kali yha hehe...
      Ular mencipratkan darah itu maksudnya tiap Wildan tebas, itu engga ganggu sama sekali ga keras ga ada darah jadi sulitnya itu ya penghalang pemandangan aja hh3
      Mao pecah karena efek lebay dari overpowernya wakakkaka, sama kek kena dua benturan gaya, saking kerasnya sampe pecah, nah sekuat itulah tinju mumi tersebut wkekwkwk
      Yah, begitulah Vi, ini sebenarnya bisa dibilang hampir memuncak penggambaran diri Vi, saya kebetulan aja dapat lawan enak, jadi bisa saya manfaatin buat memuncakkan siapa si Vi. Tapi di sini susahnya kalau orang udah kebiasa Vi brengsek, kalau besok masih sama, ekspetasinya kurang karena 'ah paling dia brengsek lagi' yg bikin saya jadi dilema wwww
      Yah curcolnya udah dulu, anyway makasih buat nilainya dan komennya~
      Glad u like it~

      Delete
  3. Well, kalau memang pakai sudut pandang pulau, kayaknya lebih enak kalau nggak cuman ditempel aja di belakang kayak ekor. IMO.

    Membaca entri ini, saya nggak gitu suka permainan karakternya, seolah yang disiapkan untuk jadi fokus cheering dari pembaca itu Wildan alih-alih Vi sendiri. Dan memang semakin ke tengah memang terasa Wildan lebih likeable. Dan itu nilai minus buat saya. Kalaupun Vi diniatkan jadi karakter licik dan jahat, belum begitu terasa ke sana. Saya bakal lebih cheering Vi andai saja sang author bisa membuat dia tampak lebih seperti karakter utama, lengkap dengan segala kelicikannya.

    Obrolan di bagian awal, seperti kata Nessa, tampak meh. Tapi di pertengahan dan bagian akhir, dialognya mulai lumayan. Narasi lancar, pemggambaran latar tempat bagus, tapi deskripsi fisik Wildan (akibat pengaruh level) masih kurang.

    PONTEN 6
    Tapi jangan sedih dulu. Tergantung bagaimana entri Wildan sendiri, dia bisa dapat nilai lebih buruk dari enam. Dan tentu bisa lebih bagus juga.

    OC Kusumawardani, S.Pd.

    ReplyDelete
    Replies
    1. www ditempel, lebih tepatnya sih, saya niatnya emang nunjukin di awal itu berasa pov 3, tp ternyata pov 1, kalau dibahas dari awal, hilang dong tujuannya :)))
      Saya di setiap entry emang engga pro yang mana, sengaja nonjolin yang mana, karena fokus saya bukan oh my OC so good so look at her! atau semacamnya yang harus menjadikan OC saya karakter utama, tapi lebih ke esensi sesuatu yang ingin saya bahas di dalamnya, menggunakan OC2 yang ada, di sini kebetulan banget dapat Wildan (thanks to RNG) dan settingnya jg ngikut Wildan, jadi emang semua tersusun karena bahan yang ada. Yah, gimanapun juga emang itu kemauan saya, dan saya ga bisa muasin semua orang (kayak yang masalah pov, tadinya di prelim saya dikira terlalu fokus pov orang, r1 jg kebanyakan, sementara masuk r2 dikira tempelan)
      Oh soal deskripsi itu karena 'tidak ada bedanya' engga jadi sesuatu yang saya bahas sih, tapi mungkin saya bakal coba narasi yang lebih lengkap dari ini di r3 thanks to komen kalian.
      makasih buat nilai dan komennya~

      Delete
  4. Okay.... Beres...
    Dari stylenya beneran berbeda sama R1 yha... agak aneh dan agak membingungkan.
    dari karakterisasinya. Wildannya jauh lebih tersorot ketimbang Vi nya sendiri. entah knapa fokusku malah sama Wildan.

    Di bagian2 akhir, lifebarnya ga di bahas lagi ya, tau2 ditebas mati ajah. walopun gitu, ntah knapa saya kurang enjoy ngikutinnya. lebih Enjoy di R1 (Walaupun emang katanya ga bisa jadi pebanding sih)

    Alhasil Nilai yah. Awalnya pengen ngasi 8, tapi... beberapa hal yang jadi poin-poin yang di bahas di atas mengurungkan niatku buat ngasi nilai segitu.

    Saya Kasi 7/10
    (Bun The Bubble)

    ReplyDelete
    Replies
    1. hehehehe, sudah menjadi tujuan saya itu, dan kali ini saya fail kalo melihat komen2 yg ada jadi... maaf kii! >.<
      anyway, di sisi lain saya sukses menyajikan sesuatu yang ingin saya bahas, jadi mungkin give and take #eh
      makasih ki~

      Delete
    2. terlepas dari enjoy ataupun minat... saya suka sama pemaparannya yang out of box. sungguh... Dimdim bgt kyaknya.

      mungkin karena saya orang Baik, Oc saya juga Baik, jadi saya lebi simpati sama yang baik2 yha :v

      Semangat Vi... kutunggu tantangan Vi melawan Bun :3

      Delete
    3. This comment has been removed by the author.

      Delete
  5. Anjayy

    Aduh, komentarku kurang lebih sama dengan yang di atas-atas. Komennya mba vanessa uda mewakili lah. #plak Yang aku garis bawahi paling bagian narasinya pas bagian pertarungan masi rada sulit diikuuti, sama dialognya kurang jelas maksud dan tujuannya. Masuk ke bagian bacod baru deh asyik diikuti. Ternyata Vi menapaki jalan kegelapan. Cukup bikin ngerage juga si Vi pas di akhir. Yah resiko bikin karakter jahat si. Bisa ada yang suka kayak vanessa, bisa juga ada yang jadi ngerage. Mungkin juga hal itu membuat pembaca jadi nerasa simpati ma wildan dan akhirnya lebih mendukung wildan. Uh, aku ngerage nih kk. >,<

    Nilai : 7

    OC : Zhaahir

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ibaratnya kli vanessa kasi 8+1 karena suka darah dan hitam, aku 8-1 karena Vi nya jahaaad >,<

      Delete
    2. wawawawawawaaaaaaaaaa.... maafkan Vi yang tidak sealiran dengan Zhaahir >.<
      anyway, mungkin saya sukses kali yha bikin Vi jadi karakter dibenci wwww
      it's good, saya jadi suka orang liat Vi jadi likeable atau hateable chara, which is yes, good, karena karakternya jadi berkesan 'ada'.
      makasih~~

      Delete
    3. oh iya mau kasi masukan aja imo ada baiknya jangan terlalu ngedeclare kecenderungan alligment OC, biar pembaca yang nilai aja dari apa yang di'show'kan narasi

      Delete
    4. nope, buat yang di entry bukan buat pembaca tapi justru buat si Wildan sendiri, tapi saya juga ga masalah kalo emang dibilang ngedeclare karena emang ngedeclare, tp bukan bertujuan untuk nge'tell' pembaca...walau pasti orang nangkapnya malah yang seperti kamu maksudkan hh3
      fine with me, tp saya ngerti ko maksudmu hh3

      Delete
  6. Yooooo~ The Degenerate B**ch is back~

    Soal penulisan ini sudah rapih, lalu diluar dugaan saya, ini juga serius sangat.

    Lalu soal battle, sudah cukup sweet.

    Tapi ada sesuatu yang sedikit mengganjal di bagian Wildan tidak jadi membunuh Vi, yah saya tidak ada masalah kalau itu memang bagian dari karakterisasinya Wildan. Karena bagiku hal itu bau-baunya seperti Deus ex Machina~

    I'm still in love with this evil broad, dan saya masih suka betapa brengseknya Vi~

    Poin 9

    Zoelkarnaen
    OC: Caitlin Alsace

    ReplyDelete
    Replies
    1. ho oh bang, saya emang jomplang banget stylenya, dan untuk kali ini saya cukup berantakan menulisnya jadi kurang maksimal.
      Soal battle jujur saya agak ga suka tipe macem shonen fight bag big bug mulu, dan emang rencana saya buat bikin confusion buat Wildan(walau fail juga jadinya karena alasan awal hh3), sorry for the inconvenience!
      makasih~

      Delete
  7. Akhirnya saya putusin komen duluan juga deh

    Secara teknis saya mungkin kayak burung beo kalo ngulang" komen di atas soal Wildan, battle, atau pulau. Dari nilai standar, saya pengen ngasih +1 buat kegigihannya jadi submitter tercepat (dan biar kamu semangat ngerjain tugasmu yang lain), dan +1 lagi karena Vi ini udah established jadi multilayered character (selain Dyna sama Ronnie, saya ga kepikiran karakter macem gini di turnamen kali ini)

    Dari saya 9

    [OC : Dyna Might]

    ReplyDelete
    Replies
    1. nanti kalau diulang2 kena bash 'udah bosen woy itu2 mulu komennya!' macam joke lisensi yang diulang2 wwwww
      joke aside, thanks for the support, mean much~

      Delete
  8. Apa yg pengen saya sampein ya kira-kira udah keduluan yg lain. Tp saya jabarin lagi deh, maaf ya kalo sama ;_;

    Yeesss, narasi di awal itu ngebosenin dan saya pribadi agak berat mengikutinya. Kalimatnya kurang efektif, dan sering jg saya ngernyit. Ngulang2 terus. Adegan battlenya kurang jelas penjabarannya. Misalnya pas Wildan nancepin sabit ke kepalan tangan Vi, terus muter, dst. Itu susah dibayangin. Buat saya sih.

    Bagian bagusnya jelas di akhir. Vi dgn kejemnya matahin kepercayaan Wildan (poor him!). Di bagian itu saya mau sedih plus pengen jambak Vi. Err.

    Tapi itu ngganjal juga. Ya sekalipun Wildan dibilang polos/baik/penyayang dsb ya bukan berarti terlalu naif begitu. Terlalu ya saya bilang. Kalopun ga mau ngebunuh ya melawan lah gitu. Secara Wildan kan udah dewasa. Dan bukannya dia jga mudah terprovokasi?

    Plot twist soal POVnya udah disinggung yg lain. Tp saya ga gitu masalah. Karakterisasinya juga biasa aja kalo saya. Emang disesuaikan di CS sih. Wildan yg bersahaja sementara Vi berengsek. Jd gak mengherankan kalo akhirnya yg lebih heroik dan likeable ya Wildan.

    Ah, ya sudahlah. Saya titip 8 yaw.

    OC: Ahran

    ReplyDelete
    Replies
    1. yah, jujur aja saya bikinnya yang di awal emang kondisi cape dan ga mood tp saya paksakan biar cepet kelar, jadi mungkin pace dan alurnya kacau >.<
      yep, mungkin saya belum mampu bikin yang lebih believeable jadi masih dirasa kurang dalam karakterisasi, makasih komen dan poinnya~

      Delete
  9. well, akhirnya saya kesini juga. ._.
    karena hal itu juga, komentar saya jadi terwakili oleh beberapa komentator diatas...

    basa basinya selesai...
    ok lanjut..
    umm, saya juga termasuk seseorang yang labil kalo baca/atau nonton sesuatu yang seperti entri ini. dimana karakter heronya dikhianatin kepercayaannya gitu aja. Saya gregetan karena wildan terlalu naif di sini, padahal dia bisa melawan hanya karena sedikit provokasi tapi saya juga respect jdinya sama wildan. satu sisi, saya suka karakter villain yang punya masalah sebelumnya di kehidupan lalu kaya Vi tapi rada kesel jg vi dengan mudahnya mengayunkan senjata wildan ke tubuh wildan. gaagh!

    saya kirain di virus level 3, selain perubahan tubuh jdi monster, kemampuan dan sifatnya juga rada kaya monster. misal wildan jadi makin liar karena dia pakai avatar macan, taunya tetep sama sifat dan kemampuannya di entri ini.
    ._.

    di bebrapa hal, saya rada bingung sama battlenya, maksudnya gerakan.

    udah deh segitu dulu, komentar saya sudah terwakili. xD

    nilai : 8

    khanza

    ReplyDelete
  10. nyahaha, ternyata di rulesnya emang sifat dan kemampuannya gak berubah. pantesan dimdim buat entrinya seperti ini. hihi

    ReplyDelete
    Replies
    1. hu uh, karena itu pula saya ga terlalu masalahin/ngebahas bentuk tubuh yang ga relevan, ditambah saya menjaga kuota jumlah kata dan bum! jadilah begini.
      Makanya mungkin susah dibayangkan kali yha?
      makasih komen+nilainya~

      Delete
  11. Saya baca sampe pertengahan, lalu balik lagi ke atas buat meyakinkan judul. Saya bingung soalnya.

    "Ini entry si Wildan atau si Dimdim?"
    ._.

    Aiiieeee, soalnya yg dapet spotlight di sini lebih ke arah si WIldan. Dari awal-awal dia ngejar Vii, terus mokadnya si Mao, sampe masuk sesi curhat pun, semuanya terasa mengarah pada Wildan.


    ...


    Otak saya rada "hang" tiap kali membayangkan narasi adegannya.

    Harimau... (iya, harimau normal) berdiri dengan dua kaki, megang senjata, muter2, loncat-loncat di atas dahan pohon, terus melempar sabit.

    Smentara manusia dengan ular (??) bisa graple hook macam Graple Gun-nya Ada (resident evil 4) sesuka hati, sampe setara dengan lincahnya gerakan spiderman.

    O.o

    btw, narasi si Vi yg nangis tanpa sadar itu oke banget, dapet kebayang itu feelnya.


    ["Kalau begitu aku akan berhenti mengejar, tapi kau juga berhenti lari, ya?"]

    Ini apaan!?
    XD

    Bisa-bisanya bikin kesepakatan macam gitu di tengah pertarungan. Finggang ana hilang nih,
    XD



    Point : 8
    Narasinya enak dibaca nih, ringan tapi gak berbentuk wall of text.

    ReplyDelete
    Replies
    1. wwwww, keknya pas itu saya kehilangan sense soal spotlight, di mana sebenernya saya juga ga gitu masalahin mau spotlightnya si Vi lebih kurang lah, atau si WIldan lebih kurang lah, dan sejenisnya, karena saya emang lebih fokus ke plotnya alih2 kasih sinar ke OC sendiri...yang keknya pada ga suka/sreg yha?
      well, pemikiran yang berbeda gini cukup fatal juga yah?
      u,u

      anyway, thanks bang~

      Delete
    2. Iya nih, saya baca2 komen ke atas juga ternyata mereka sepemikiran.

      Well, menurut saya emang kurang sreg bro. Pengaturan spotlight itu penting. Soalnya ini kan entry Vii--- yang harus ditonjolin ya mss. V sendiri (??), bukan orang lain.

      Entry saya kurang garap spotlight musuh aja (ketutup sama OC Third Party) itu jadi problem tersendiri.

      Delete
  12. jadi sebenernya ini karakter utamanya siapa :v
    Kamu lebih banyak main di dialog ya? di satu sisi kamu bisa main di karakterisasi Wildan sama Vi di sisi lain saya sempet bosen di awal-awal karena ekspetasi saya malah banyak berantemnya. Kok untung ekspektasi battle bagus beneran dikasih. Saya suka battlenya, tapi saya merasa terlalu di dragging aja.

    Nilai : 7

    ReplyDelete
    Replies
    1. yah, begitulah, saya kasih porsi battle di awal dan bacot di akhir, banyak yg mana juga apa yang saya katakan jg ga ada bedanya, jadi makasih~

      Delete
  13. kayaknya banyak yang komentar sama ya
    saya diawal agak kurang begitu mengerti sama siapa yang bicara dan pendeskripsian ceritanya.

    makin ke tengah dan akhir makin kerasa untuk feel nya tapi bagian wildan yang nggak jadi bunuh terus vi yang memanfaatkan wildan.
    rasanya cukup aneh ya alurnya bisa gitu.

    satu hal yang nggak saya ngerti
    bagian si Vi ngamuk. saya benerbener nggak bisa nangkap alasan dibagian itu

    nilai, 7
    by reviss

    ReplyDelete
    Replies
    1. Vi ngamuk bukan karena ngamuk, tapi karena skill dia yang tentu saja emang engga saya sebutin secara gamblang macem shonen manga gt yang suka teriak jurus.
      Makasih~

      Delete
  14. Frost Verdict

    Aneh, biasanya tulisan Diman mduah diikuti.
    tetapi ini, baik narasi maupun dialog berasa aneh.

    baik feel copyright yang dipaksakan ataupun PoV yang jadinya aneh.

    Seharusnya Vi bisa sedikit surprising di sini. tetapi entah mengapa, endingnya jadi terlalu bland kalau saya sudah sedikit kehilangan grip ke cerita di awal.

    Saya hipster, karena banyak yang ngasih 7 saya gak mau kasih tujuh.

    karena itu saya kasih 8 termasuk Bonus first Entry di bulan puasa...

    ♥ ya

    ReplyDelete
  15. Eophi: Ng, jadi langsung aja, nilai 8.

    *Eophi tidur*

    *Sebuah bantal in frame*

    Milk: Namaku Milk, shushu. abaikan saja pemuda malas itu, shushu. Oh iya jadi aku ke sini mau bantu komentar. Sebagai sesama peserta yang terjebak di level tiga, ini cukup menarik, shushu. Setting yang dipilih cocok buat Vimon bergerak, shushu, pokoknya adegan bertarungnya jadi pas, shushu.

    "Bantal pergi*

    *Guling in frame*

    *Guling diseret keluar*

    *Selimut in frame*

    Cloud: H-hai, namaku C-cloud. Cuma mau bilang i-ni keren karena jadi entri pertama. D-dah!

    *Selimut keluar*

    *Kasur in frame*

    White : Perkenalkan, namaku White. Mohon maaf atas ketidakjelasan ini. Ini pertama kalinya kita tampil di luar panggung. Nah, kembali ke komentar, saya akan sedikit membahas entri Vi dalam segi bebas. Ya. Pertama, saya suka ide PoV di sini. Tapi jika ide ini mau digunakan lagi ke depannya, mungkin bisa ditambahkan sesuatu yang lebih menegaskan--tanpa membocorkan apabila disiapkan sebagai kejutan--bahwa pandangan si penutur lebih khas atau unik. Itu pasti jadi lebih baik. Kedua, saya suka sebagian besar joke yang tersaji Bahkan dari awal, ketika ada narasi tentang makhluk-makhluk penghuni, entah kenapa saya tertawa sendiri. Mungkin itu saja. Terima kasih atas waktunya.

    *Kasur pergi*

    *Naga merah in frame*

    Hel : Hey, namaku Hel. Ngomong-ngomong, kamu siapa? Kenapa Phi bobo di sini? Oh, ini lagi komental ya? *Teehee* Boleh nambahin? Boleh yey. Ehem, celita tentang Vi di sini punya kalaktel. Maksudnya, ya begitulah. Tinggal dipeltahankan aja gaya belcelitanya dan ditambah lagi fokus tekhnisnya. Bye Vi~

    *Naga merah keluar*

    *Eophi bangun*

    Eophi : K, Vi ... nilai tetap 8.

    ReplyDelete
  16. Waktu baca openingnya, saya kurang bisa nikmati, mungkin karena pemilihan kata atau penyusunan kalian, gak tau deh :/
    Tapi pas masuk ke bagian datangnya Will & Vi, mulai enak deh.

    Kesadaran soal ada yg gak bener di babak ini, terutama soal gak ada maid yg ngjelasin, itu bagus idenya.
    Karakter Vi yg licik & gak simpatik cukup tergambarkan & konsisten. Wildan terlalu baik disini, survival instinct-nya terlalu mudah dimanilulasi XD

    Overall cukup pendek, sy cepet bacanya. Entri ini lebih ke battle daripada dunia datanase yg kena virus.

    Nilai: 8
    (Asep)

    ReplyDelete
  17. Hai~

    Oke pertama ke bagian akhir dulu~~
    somehow dim, twist di akhir yang berusaha memberitahu kalau seluruh cerita ini adalah PoV si database enggak ngena buat saya. saya nikmatin ini sebagai PoV 3, terus tiba-tiba di akhir ada twist begitu kesannya jujur ga ngena.

    bagian awal ada beberapa paragraf yang bikin saya ngulang bacanya terus ke atas baru baca lagi buat ngerti. yah mungkin emang saya aja yang kurang tangkap sih #plak

    baru mulai ena dan ngalir pas wildan nyelametin vi dan ngobrol soal tujuan, angan-angan gila dsb dsb.
    btw, " Vi mengangkat kepalanya seraya menoleh ke belakang, melirik Wildan dan berkata."
    headtilt? #plak

    And so... here you go
    Nilai: 8

    salam hangat~

    Avius Solitarus

    ReplyDelete