7.8.15

[ROUND 2 - LEVEL 3] WILDAN HARIZ - NOT EVEN IF DEATH WERE GOOD

Wildan HarizNot Even If Death Were Good
Penulis: Wildan Hariz

Distorsi I
=Menghindari Kematian=


Sudah bukan rahasia lagi bagi para Florian warrior bahwa masing-masing dari mereka mengemban unsur-unsur tertentu sebagai kekuatan utama. Semuanya adalah anugerah mesterius yang diberikan kedua semesta Reverse dan Earth.

Tidak banyak yang para warrior ketahui tentang kekuatan mereka sendiri. Adalah Lord Valefor, makhluk magis yang terkenal dengan kebijaksanaan dan ilmu pengetahuannya di jagat Reverse, yang justru tahu lebih banyak tentang kekuatan para warrior. Atas pilihan Lord Valefor pula-lah sembilan Florian warrior dapat terkumpul.


Dan secara tipikal—sebagai 'makhluk bijak', Lord Valefor selalu sibuk dengan berbagai macam urusan. Sehingga, tidak banyak waktu bagi Lord Valefor untuk berbagi informasi lebih banyak dengan para Florian warrior mengenai kemampuan mereka.

Terakhir mereka berkomunikasi hanyalah melalui surat yang dikirim Lord Valefor, dengan bukti insignia resminya yang berbentuk cakar bercahaya. Ini pun hanya komunikasi satu arah.

Beragam pendapat muncul mengenai asal-muasal kekuatan yang dimiliki para Florian warrior. Beberapa penduduk Reverse memercayai bahwa kekuatan mereka adalah kekuatan khusus yang diberikan oleh dewa. Sementara kebanyakan penduduk Earth lebih tak acuh— atau malah tidak sadar akan keberadaan kekuatan itu.

Jangankan para penduduk, Lord Valefor pun tak tahu pasti.

Mengesampingkan kemisteriusan kekuatan para warrior, Lord Valefor percaya bahwa darimanapun kekuatan itu berasal, kekuatan itu idealnya digunakan untuk melindungi Reverse maupun Earth.

Di antara para Florian warrior, kekuatan yang ada beraneka ragam. Ada yang dapat menggunakannya sejak masih bayi, kanak-kanak, remaja, sampai dewasa. Semuanya dengan tingkatan dan fungsi berbeda.

Sekuat apapun mereka, toh para Florian warrior masihlah makhluk fana. Mereka tak terhindar dari kematian.

Melawan milyaran dark fiend yang sudah menguasai sebagian besar Reverse pastinya bukan hal mudah bagi mereka. Bahkan, telah terdengar bahwa para dark fiend dari Reverse mulai berusaha menembus pertahanan dimensi Earth.

Bisa dibayangkan seberapa tak seimbangnya sembilan Florian warrior yang dipilih Lord Valefor menghadapi para dark fiend yang jumlahnya semakin hari semakin membludak.

Dengan tanggungjawab itu, tak banyak pilihan bagi Florian warrior saat bahaya mengancam kedamaian tempat tinggal mereka.

Menyelamatkan Reverse.

Menyelamatkan Earth.

Dan pada saat yang sama ….

Menyelamatkan diri dari kematian.


[Loading data ….]


Distorsi II
=Reverse Utara=


Airship ini mengarah ke bagian utara Reverse. Sesuai namanya, bentuk airship menyerupai kapal. Namun alih-alih di laut, kapal ini dapat 'berlayar' di udara. Bagian utara Reverse adalah tempat para dark fiend mengacau dan memporakporandakan pemukiman damai.

Menggunakan airship inilah para Florian warrior menjelajah Reverse. Di salah satu kabinnya terdapat ruang bersantai. Dua orang warrior duduk-duduk di tengah ruangan. Tatapan keduanya serius. Sesama pemuda, mereka mencoba membunuh kebosanan dengan membuat semacam permainan.

"Aw!"

Bagian atas kepala seorang pemuda gondrong dipukul oleh sebuah tangan mesin.

"Ayo. Sekarang mau suit atau panco?"

Pemuda yang dipukul tadi menjawab, "Panco!"

"Yang kalah kena jitak lagi, ya?"

"Siapa takut!"

Kedua pemuda itu duduk berhadapan, dipisahkan sebuah meja bundar. Pemuda sebelah kiri berambut cokelat tua dan bertelanjang dada. Pemuda sebelah kanan terlihat lebih modern dengan tangan mesin. Penampilannya lebih seperti robot dibanding manusia.

Sudah 20 menit mereka duduk di situ. Sudah berkali-kali pula keduanya bertukar giliran menjitak kepala masing-masing, meskipun yang lebih sering memenangkan giliran adalah pria bertangan mesin.

Bunyi langkah kaki cepat terdengar memasuki ruangan.

"Nyahahahah~ sepertinya menarik sekali! Boleh aku ikutan?"

Seorang gadis berambut pirang panjang dengan tawa yang khas masuk begitu saja ke ruangan. Perangainya sangat santai dan ceria.

"Kau mau ikut main begituan? Yang benar saja, Orchid. Aku sih mana mau main permainan konyol seperti itu," kata seorang pemuda lain. Ia tahu-tahu sudah menyandarkan lengannya pada kusen pintu kabin.

"Ja-Jangan! Gue nggak mau mukul Kak Orchid," larang pemuda bertangan mesin.

"Dan ini bukan permainan konyol, Gee! Ini permainan jantan!" protes pemuda berambut cokelat.

Pemuda yang dipanggil Gee mendengus, "Huh. Tidak ada yang bermarwah dari permainan macam itu, tahu."
"Nyahaha! Pokoknya aku mau ikutan! Sekarang giliran siapa? Kyle? Atau Wildan?"

"Ada apa ribut-ribut begini?" tanya seorang gadis berambut perak. Ia datang bersama beberapa orang lagi yang menyambangi kabin. Mereka langsung masuk ke sana dengan santai, seolah itu adalah rumah mereka.

"… jadi kalau kita bisa menghalau dark fiend di utara, pergerakan mereka akan …." Seorang pria berambut hitam dengan mata emas sedang asyik berbicara dengan Jessica Legrand, sang alchemist pendamping para warrior. Jessica hanya bisa manggut-manggut tanda setuju dengan pria itu.

Di belakangnya ada seorang laki-laki berkacamata hitam. Sebuah katana menggantung di pinggangnya. Ia tak banyak bicara. Gelagatnya tak terlalu peduli dengan segala yang terjadi di sekitarnya.

"Nah, Hart! Kau datang juga! Ayo kita latih tanding! Pedangmu atau sabitku yang lebih kuat," pemuda berambut gondrong bangkit dari tempat duduk. "Kau bisa pakai dua pedang kalau takut kalah," tambahnya.

"…."

"Hei! Ayo!"

"Buang-buang waktu saja." Si kacamata hitam yang awalnya enggan menjawab itu berujar dingin. Lagipula, ini katana, bukan sekedar pedang, gerutunya dalam hati.

"Apa kau bilang!?" Ajakannya ditolak, pemuda gondrong naik pitam.

Si tangan mesin protes, "Heh, kita belum selesai, Wil! Mau lari, ya?" Ia pun sama-sama bangkit dari tempat duduk.

Gadis pirang bernama Orchid menimpali, "Haa~ Kyle, kau kan masih punya aku~ Mending kita main tembak-tembakan, kita kan sama-sama pakai mesin. Aku baru datang dan bosan dan ingin main, ayoayoayoayo~ Nyahahahahah~" Orchid menggamit tangan mesin Kyle.

"E … euh …. Nggak mau! Gaby, tolong lakukan sesuatu sama Kak Orchid ini, dong …."

"Hah …" Gabyola Crescent, si gadis rambut perak hanya bisa mendengus. Ia berjalan ke arah lemari berlaci di ruangan itu.

"Dark, biasanya semuanya nurut sama Dark, kan— ah, dia sedang asyik ngobrol sama si Jess." Bola mata Gaby beralih pada pemuda yang bersender di gawang pintu. "Gee Gee, kau saja."

"Aku? Merepotkaaan …," keluh Gee Gee.

"Nyahahah~" Orchid malah tertawa.

Pemuda gondrong menyilangkan lengan ke belakang kepalanya. "Hah, aku lebih baik main di luar saja kalau begini."

"Yah, main sesekali tidak apa-apa sih. T-Tapi setidaknya pakailah pakaian yang layak, Wil!" Gaby melempar kaus ke wajah pemuda telanjang data itu. Wajahnya sedikit berona merah.

"Haha, jangan-jangan telanjang dada adalah fetish-mu ya, Gab?" goda Gee Gee.

"Fe-Fetish!?" Gaby terbelalak.

"Fetish itu apa?" tanya pemuda gondrong sembari garuk-garuk kepala.

"Nyahahahahah~ ada yang Gaby sukai ya? Siapaa? Siapaa? Pasti si pelat—"

Sebelum bicara lebih jauh, Gaby sudah membungkam mulut Orchid. Tapi Orchid tak tinggal diam, ia berontak dan berhasil membuka mulut lagi, "Yang—sama-sama warna rambutny— wewak …"

Gaby sukses menyumpal mulut Orchid … dengan kaus yang ia ambil dari laci.

Gee Gee hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala berambut pirangnya. Ia lantas menyadari hilangnya satu orang, "Loh? Mana Wildan, Kyle?"

"Mana gue tau. Gue bukan bapaknya," ujar Kyle bermengkal sambil menyilangkan tangan mesinnya.

"Paling kabur ke luar. Si Wildan emang nggak bisa diem, sih," komentar Gaby sambil menahan Orchid yang ingin kabur juga.


[Loading data ….]


Distorsi III
=Pemanasan=


Di luar, tepatnya di geladak atas airship, Jessica dan Dark si mata emas tengah menghalau para dark fiend yang beterbangan. Mereka mencegat airship. Jessica dan Dark menoleh saat langkah kaki pemuda berambut gondrong memijak lantai geladak.

"Wil! Bisa tolong bantu urus ini?" tanya Dark sambil mengeluarkan bola energi dari telapak tangannya. "Fayth Prominence!"

Bola energi tersebut memanjang ke hadapan Dark. Arahnya dapat digeser sehingga mengenai sayap-sayap besi dark fiend berjenis penerbang itu. Jejak berupa kabut terlihat setelah pancaran energi selesai.

Satu persatu dark fiend kehilangan kemampuan terbangnya. Baik itu karena luka di sayap, maupun luka besar menganga pada anggota tubuh mereka yang lain.

Si pemuda gondrong berseringai, "Wah wah. Kukira sedang apa, ternyata kalian berpesta tanpaku. Dengan senang hati akan kubantu."

Wildan Hariz—si pemuda berambut gondrong itu, lantas meraba-raba udara dekat punggungnya sendiri. Ia lupa kalau sabit peraknya tertinggal di kabin. Satu-satunya senjata yang ada sekarang hanya sarung tangan cakar yang menggantung di ikat pinggangnya.

Sarung tangan itu ia pakai kemudian kencangkan, "Hm? Pakai ini juga tidak apa-apa, deh."

"Hati-hati, Wil. Ini bukan main-main. Dark fiend di utara berbeda dengan yang pernah kita lawan." Jessica meningatkan. Ia tetap menjaga jarak dengan dark fiend sampai siap melakukan serangan.

Sebuah staff dengan ujung gelas berisi alkimia diangkat Jessica tinggi-tinggi. "Matchbook Morrowlight!" Cahaya spiral biru menyentuh lima dark fiend sekaligus. Dengan sekejap tubuh mereka meledak, kemudian dimakan cahaya spiral.

"Dan satu lagi, Wil. Pastikan kali ini listrikmu menjatuhkan lebih dari satu." Dark menimpali. Ia pun sibuk menendang moncong dark fiend yang mendekati kepalanya.

"Ahahaha. Kau bisa saja, Dark. Itu kenangan buruk."

Usai mengatakan itu Wildan langsung melompat, menerjang sekawanan dark fiend. Gerakannya cepat seperti biasa. Dengan listrik yang mengaliri cakarnya, Wildan hinggap dan menembus tengkorak tiga dark fiend secara berurutan. Jejak aliran listrik dapat terlihat di udara.

Dua dark fiend lainnya berniat menabrakan sayap besinya ke tubuh Wildan. Namun Wildan sudah siap. Ia menyilangkan tangan ke depan tubuh. Sayap besi dark fiend pertama tertangkis, lalu saat tubuh Wildan hampir jatuh, ia memanfaatkan permukaan sayap dark fiend pertama untuk memelantingkan tubuhnya.

Sebuah tendangan sukses menghantam rahang dark fiend kedua yang bahkan belum sempat melancarkan serangan. Tubuh Wildan melesat jatuh karena gravitasi, tepat sasarannya adalah dark fiend pertama. Cakar berlistrik Wildan mencengkeram bagian atas kepalanya, kemudian ia hantamkan itu pada lantai geladak.

"Lumayan …" ujar Dark.

"Ya, ini peningkatan." Jessica ikut mengomentari di samping Dark.

"Lumayan merusak …. Lihat lantainya," jelas Dark.

Tersisa belasan dark fiend di geladak. Empat di dekat Wildan, sisanya di dekat pintu masuk ke dalam airship jauh dan agak jauh di depan.

Wildan menengadah. Kakinya sudah siap menolak lantai, lengkap dihiasi listriknya. Tetapi, munculnya banyak ledakan di tubuh keempat dark fiend menghentikan tindakan Wildan.

Jessica tahu siapa yang pelaku ledakan itu, "Ng? Itu … Sin dan Sakura!"

"Bidikan bagus, Sin!" seru Wildan.

"Maaf mengganggu. Kau tak keberatan, kan?" respon sebuah suara.

Proteclo dan Savior adalah nama dua senjata yang baru saja memuntahkan pelurunya. Keduanya dipegang secara mantap oleh pemuda bernama Sin. Matanya sayu, menunjukkan kebosanan. Di sampingnya berdiri seorang gadis bertubuh mungil yang memegang kartu-kartu sebagai senjata.

"Hm, Dark, kenapa sih kita harus bertarung dengan makhluk-makhluk ini? Bukannya ini harusnya hari pertama latihan dengan pelatih kita masing-masing, ya?" tanya Sin.

"Yah, membasmi dark fiend juga sudah kewajiban kita. Jangan banyak protes, lah."

"Iya iya. Haah … merepotkan saja. Aku ingin pulang."

Sakura pun angkat bicara, "Tapi ini juga sekaligus hari terakhir kita bersembilan bisa kumpul sama-sama, kan? Pasti akan sepi kalau semuanya sudah mulai latihan masing-masing."

Seekor dark fiend berukuran besar menghampiri Sin dan Sakura. Sakura menyiapkan sebuah kartu emas dengan judul "Time Bomb" di atasnya. Setiap kartu Sakura terlihat ringan namun tajam, seolah-olah jika salah memegangnya mungkin sang pemegang akan terluka di tangannya.

Dilemparnya kartu itu. Melayang dan sampai tepat salah satu bagian tubuh dark fiend besar. Bersamaan dengan itu, keluar cahaya menyilaukan dari kartunya. Hampir seluruh geladak diselimuti cahaya putih selama tiga detik.

Waktu sesingkat itu cukup bagi Sakura untuk melancarkan serangan selanjutnya. Ia berseru, "Detonate!"

Sehelai kartu perak melayang secara vertikal ke atas, diiringi sebuah gelombang kejut berwarna senada. Gerakan dark fiend besar bersama dengan kawanannya yang lebih kecil melambat. Saat itulah teriakan keras menggema di geladak.

"MIGHTY—ROCKET— SWING—PUNCH!"

"Berisik, Kyle. Berisik," komentar Wildan saat mendengarnya. Tahu-tahu pemuda gondrong itu melancarkan sikut ke salah satu fiend di sana. Dilanjutkan dengan tendangan berputar menyamping pada fiend lain. Terakhir, cakarnya ia gunakan untuk mencengkeram leher dark fiend itu dan melemparkannya pada dark fiend besar.

Pemilik suara tadi adalah Kyle. Tangan mesinya menimbulkan dentingan-dentingan keras saat menabrak badan para dark fiend kecil. Tenaga pendorong pada tangannya membuat Kyle melesat cepat.

Mungkin sudah nalurinya untuk menyerang ketika melihat dark fiend. Padahal tadinya ia masih berdiri dekat pintu penghubung geladak. Sekarang ia sudah lincah meloncat-loncat, memukuli para fiend.

Dentuman bunyi tembakan terdengar berkali-kali. Sin juga tak mau ketinggalan. "Cih, kalian berdua berisik," ujarnya.

Memang tidak semua bidikannya tepat mengenai dark fiend kecil. Mungkin karena hati-hati, agar tidak mengenai dua temannya. Namun dark fiend besar menjadi sasaran empuk baginya. Raungan keras keluar dari makhluk besar itu.

"Dan mengganggu," lanjut Sin. Ia berhenti menembak.

Semua dark fiend yang gerakannya melambat lantas ambruk. Bunyi bedebam lebih keras malah diakibatkan oleh pendaratan fantastis Kyle yang menghantamkan tinju mesinnya pada dark fiend besar, mengakhiri segala kekacauan. Retakan parah timbul di lantai geladak sebagai akibatnya.

"Gue nggak akan kalah," ujar Kyle bangkit. Kepalan tangan mesinnya beradu.

"Kau juga merusak, Kyle …," omel Dark. Pria yang hanya menonton itu kini berkacak pinggang, "Bisakah kalian berdua bertarung dengan lebih tenang tanpa merusak yang tidak perlu?"

"Betul itu. Kalau tidak, kalian pasti akan dimarahi seseorang," ujar Jessica sambil menunjuk ke retakan yang mereka buat.

Pandangan Jessica beralih. Ia memicingkan mata saat melihat dataran di hadapannya dari geladak airship itu. Ia tahu ini adalah tempat tujuan mereka. Kecepatan airship pun melambat

"Nah, sudah sampai. Para pelatih menunggu kalian. Sebaiknya kita segera turun," ujarnya.

Dark membuka pintu untuk turun ke geladak bawah, diikuti oleh Jessica yang masuk ke dalamnya. Wildan yang bermaksud ke sana berpapasan dengan Sin.

"Hei Sin, Proteclo dan Savior-mu itu kotor sekali," komentar Wildan sambil menunjuk pada dua senjata Sin. "Kau juga terlalu banyak menghabiskan peluru tadi. Tidak biasanya."

"Huh. Jadi kau lebih mengkhawatirkan peralatanku daripada nyawa teman-temanku?"

"Justru sebaliknya, kalau ada apa-apa dengan peralatanmu, kau tak akan bisa menyelamatkan temanmu di pertarungan-pertarungan berikutnya."

"Ah sudahlah, jangan cerewet. Kau mulai kedengaran seperti pelatihku, si nenek tua  berambut merah muda itu," jawab Sin yang melengos.

Wildan mengangkat bahunya. Sin, Sakura dan Kyle sudah berjalan duluan di depan untuk turun ke geladak bawah. Ia pun menyusul mereka.


[Loading data ….]


Distorsi IV
=Kilas Reuni=


Tarikan selimut dapat dirasakan Wildan di pagi hari ini. Pelakunya seperti biasa, Alva. Mao lagi-lagi sudah berada di sampingnya, meminta elusan manja.

"Selamat pagi, Mao, Alva," ujarnya menyapa kedua hewan itu.

"Selamat siang, Tuan Wildan."

Wildan terperanjat. Ia mendapati Kathrine sudah berada dekat tempat tidurnya.

Aneh … aku merasa pernah mengalami ini sebelumnya ….

"K-Kau … sejak kapan kau ada di situ!?"

"Sejak pagi … maksud saya, sejak tadi."

"…. Ada perlu apa? Eh? Ini sudah siang, ya? Ahahaha."

Apanya yang 'Ahahaha'? Kenapa aku bicara begini?

"Saya ke sini untuk memberitahu Anda bahwa keberangkatan menuju Sammeriil's Fortress akan dilakukan nanti malam. Anastasia yang akan memandu Anda," jelas Kathrine.

"Itu saja?" Wildan menguap. "Bagiku tidak masalah."

Loh? Bukannya aku sudah bertemu dengan Sammeriil di benteng itu? Ke-Kenapa ….

"… kalau begitu saya permisi dulu."

"Eh, Kat, ini berarti aku bebas sampai malam, kan?"

"Tentu, Tuan."

"Hm, bagus."

A-Apanya yang bagus?

Kathrine meninggalkan ruangan. Agak lama sebelum Wildan memutuskan untuk beranjak dari tempat tidur. Padahal ia biasanya langsung bangun dan berolahraga. Namun kali ini ia merasa malas meski efek lelah dari pertarungan sebelumnya sudah hilang, terima kasih pada beras listrik yang ia makan kemarin.

Menjelang siang, ia keluar penginapan. Tentu setelah meminta izin dahulu pada Anastasia yang duduk di balik counter resepsi. Pelayan itu bilang ada semacam kebun di belakang penginapan dengan kolam yang indah. Wildan pun tergugah untuk mengunjunginya.

"Hmm, penginapan memang menyenangkan. Tapi lama-lama bosan juga," gumam Wildan. Posisinya saat ini dengan badan terbalik. Kakinya disangkutkan pada dahan pohon. Segenggam apel segar ia santap, baru beberapa gigitan.

Alva tak terlihat. Elang itu sedang terbang berkeliling. Mao sedang meminum air jernih kolam yang sudah lebih dulu ia pakai merendamkan bulu-bulunya. Mungkin agak menjijikan jika dibayangkan. Meminum air bekas mandi sendiri? Ew. Namanya juga hewan.

Kepala Mao terangkat saat mendengar bunyi kecil dari suatu tempat di balik semak belukar. Wildan pun mendengarnya.

"Mao? Siapa di sana? Keluar!"

Seorang pemuda berjanggut menampakan diri dengan dua senjata menyerupai pistol bermata pisau terhunus. Ia berjalan santai dari balik pohon bersemak.

"Florian warrior of lightning. Ingat aku?" tanya pemuda bercelana khaki itu. Tatapannya mendelik tajam, seolah ia takkan segan menarik pelatuk senjatanya jika Wildan menawarkan jawaban yang salah.

"Kau kan—"

Sin.

Wildan kenal betul dengan orang ini. Sesama Florian warrior. Sin adalah Florian warrior of fire. Bagaimana bisa Sin ada di sini?

"Kau benar Sin, kan? Apa yang terjadi, Sin? Penampilanmu sedikit berubah."

Sin memejamkan mata sejenak, "Syukurlah. Sepertinya ingatanmu pun kembali." Pemuda itu menurunkan senjatanya, tak lagi mengancam.

"De-Dengar, Wil. Aku tidak punya waktu banyak untuk menjelaskan padamu. Tapi …" lanjut Sin, "butuh waktu bagiku untuk memahami semuanya—sebenarnya kita saat ini tidak ada di Earth maupun Reverse …. Kita harus cepat mencari yang lainnya dan pulang ke Reverse."

"Ya. Aku sudah tahu kok, dengan hal seperti itu," jawab Wildan tenang. "Aku juga tidak terlalu mengerti. Mereka bilang tempat ini bernama Alforea."

"Eh? Kau sudah tahu?"

"Bahkan, saat ini aku sedang menjalani turnamen Battle of Realms. Ada orang bernama Tamon Ruu yang jadi penyelenggaranya. Untuk bisa pulang, sepertinya dia tahu caranya," jawab Wildan polos.

"Tunggu! Battle of Realms kau bilang? Aku ada sedikit informasi tentang ini. Kabarnya—" Kepala Sin menoleh ke sana ke mari, memperhatikan sekitar.

"Kenapa?"

"Kau tidak sedang diikuti oleh siapa-siapa kan?"

"Tidak," Wildan pun menoleh ke belakang sejenak. "Kurasa tidak. Hanya aku, kau dan Mao di sini."

"Kau sedang mengikuti turnamen ini kan? Kau tidak lihat ada yang aneh?" tanya Sin setengah berbisik.

"Kalau hal aneh sih sudah kulihat banyak di sini … hahaha. Bagaimana denganmu? Apa kau melihat hal-hal aneh juga?"

"Yah, aku melihat—eh, maksudku, bukan waktunya untuk itu …. Sudah kubilang aku tidak punya banyak waktu. Kudengar, ada yang sedang mencoba meretas sistem turnamen dengan semacam virus." Ekspresi Sin berubah lebih serius.

"Virus? Yang menyebabkan orang sakit itu ya? Turnamen Battle of Realms bisa sakit?"

"Tidak tepat seperti itu … eh … yah tapi semacam itulah, pokoknya ada yang salah pada turnamen yang kau ikuti itu."

Wildan bergeming sejenak sebelum mengingat sesuatu, "Oh ya, aku sempat melihat orang yang mirip Gee Gee! Tapi dia tak mengenaliku. Aku juga tidak sempat bicara lagi dengannya karena kami sedang ada di tengah pertarungan telur kuda, waktu itu."

"Telur kuda? Kau ini bicara apa, sih …."

"Itu benar kok! Dan sebelum aku sempat bicara dengan Gee Gee, aku dan teman setimku sudah dipindahkan lagi ke tempat lain, ke penginapan yang ada di sekitar sini."

"Hm, Gee Gee, ya. Ini semakin membuktikan bahwa besar kemungkinan beberapa dari kita terlempar ke dimensi ini sejak pertarungan dengan Dragola warrior. Entah bagaimana caranya." Sin melihat ke arah jam tangannya. "Gawat. Sudah waktunya. Aku harus segera pergi."

"Mau ke mana, Sin?"

Ada beberapa barang yang Sin siapkan. Pemuda berjanggut dan berjambang itu sudah membeli alat-alat yang sekiranya ia butuhkan dari toko-toko di kota.

"Aku akan mencari petunjuk tentang yang lainnya," jawab Sin sambil mengangkat ransel. "Yah, tidak ada jaminan kita semua lengkap bersembilan, sih. Maaf aku tidak bisa bercerita lebih lanjut untuk saat ini. Kita juga mungkin tidak akan bisa berkabar karena aku tidak punya alat komunikasi. Kau punya?"

Wildan menggeleng, "P-Padahal kita baru saja bisa bertemu kembali, kan …."

"Hei sudahlah. Jangan murung begitu. Kemana senyum dewa-mu itu?"

Mendengar itu, Wildan tersenyum simpul. Adalah hal yang patut disyukuri ia dapat bertemu dengan sesama Florian warrior. Ia kemudian bertanya, "Tapi kapan kita bisa bertemu lagi?"

"Entahlah. Pokoknya, pasti ada sesuatu di Alforea ini," tukas Sin. "Jangan lengah."

Badan Sin berbalik. Ia melanjutkan langkahnya, tanpa basa basi lebih lanjut.
Namun pada suatu titik ia berhenti, mengatakan sesuatu sambil melambaikan tangan tanpa menoleh, "Aku mengandalkanmu di turnamen ini. Semoga beruntung. Sampai jumpa!"

"Heh, ya! Aku juga mengandalkamu untuk menemukan yang lain."

Senyum yang awalnya simpul lama-kelamaan melebar. Wildan melambaikan tangan, sebelum akhirnya membalikan badan, kembali ke tempat penginapan.


[Loading data ….]


Distorsi V
=Kenaifan=


Sin?

Sepintas, tak ada yang asing dengan Kathrine, pelayan yang sedang memandu Wildan menuju ronde kedua ini dengan tenang menyusuri lorong dimensi penghubung tempat-tempat di Alforea. Wildan pun hanya bisa mengikutinya dari belakang setelah sebelumnya melamun tentang para Florian warrior. Kedua sabitnya ia masukkan ke dalam inventory.

Aneka warna menghiasi dinding lorong. Warna-warna tersebut bergerak dengan cepat, tanda terjadinya distorsi ruang perpindahan jarak jauh.

Wildan pikir kemampuan para pelayan ini praktis sekali. Mungkin jika ia punya kemapuan seperti ini, ia dan para Florian warrior tidak harus repot-repot menggunakan airship untuk menjelajahi Reverse.

Sekian menit berlalu, baik Wildan maupun Kathrine sama sekali tak bertukar kata. Wildan sendiri memang sedang berpikir macam-macam. Bukan—bukan macam-macam dalam arti mesum. Mengenai Florian warrior, juga mengenai nasib para pemain di benteng tanpa nama, di ronde sebelumnya.

Sementara, Kathrine? Gadis berambut ikal sebahu seolah tak peduli apa-apa sejak kemenangan Wildan atas Nely di benteng tadi.

Bagaimanapun, ini sama sekali tak membuat Wildan nyaman. Ia bisa mulai mengantuk jika tidak ada obrolan. Tak tahan dengan nuansa kikuk di lorong itu, Wildan mencoba memecah keheningan.

"RNG, Tamon Ruu, Kakek Hewanurma. Yang mana yang akan kita temui sekarang?" tanya Wildan. Nadanya serius namun santai. Ia bahkan menyilangkan kedua tangannya di belakang kepala.

"Anda akan segera mengetahuinya," jawab Kathrine tanpa memalingkan wajah.

"Tidak sopan sekali jawabanmu. Tidak seperti biasanya. Jangan biarkan rasa penasaranku menggantung," omel Wildan. Ia sadar ada yang tidak beres dengan gadis berpakaian gothic lolita merah itu. "Seingatku bukan begini cara Kathrine memperlakukan peserta sebelum ronde satu."

Wildan melengos, namun tatapannya mendelik ke arah punggung Kathrine. Mulutnya mengucapkan kalimat penutup, "Kathrine yang dulu lebih sopan."

"…."

Di hadapannya, Kathrine hanya bergeming. Empat-lima langkah kemudian kakinya berhenti bergerak.

"Atau, sekarang Anda akan mengetahuinya," jawab Kathrine.

Kali ini ia berbalik cepat saat mengatakannya. Dua buah party popper ditodongkannya ke arah Wildan. Dari kedua benda itu muncul gelombang laser yang meluncur lurus ke arah Wildan.

Langkah kaki Wildan pun refleks berhenti. Namun berhenti saja tidak cukup untuk menghindari laser yang meluncur. Wildan merasa seperti terasuki sesuatu. Sejenak ada sengatan dahsyat yang melanda tubuhnya.

"Kau … RNG! Apa yang kau lakukan padaku!?"

Wajah Kathrine dilapisi retakan-retakan, yang kemudian jatuh seperti puing tembok. Itu sama sekali bukan Kathrine. Yang muncul di balik retakan itu adalah wajah makhluk yang disebut dengan RNG-sama. Sang pengatur kelompok di ronde sebelumnya.

"Coba tebak," seringai lebar muncul di wajah RNG. Wajahnya berbentuk lebih dewasa daripada sebelumnya. Tak ada lagi mulut sempit maupun mata pipih vertikal.

"Bukannya seharusnya tujuan kali ini adalah ke kota?" tanya Wildan. "Jangan main-main denganku, RNG!"

Wildan memunculkan layar inventory dari tangannya. Dengan cekatan ia memakai langsung sebuah sarung tangan cakar dengan cara menembuskan tangannya ke permukaan hologram. Seolah-olah itu bukan yang pertama kali baginya.

"Pertanyaanmu tak perlu kujawab. Kau terlalu polos untuk menyadari apa yang sedang terjadi pada Battle of Realms ini, Wildan Hariz. Kau sudah terjebak," ujar RNG.

"Heh, kau tidak bisa semudah itu menjebakku, RNG!" Wildan merangsek ke arah pelayan gadungan itu. Lehernya menjadi sasaran empuk tangan Wildan yang memakai sarung cakar. RNG tersudut ke dinding dimensi.

Dengan tangan kiri mengepal, Wildan siap melancarkan bogem mentah ke wajah RNG jika ia tak mendapat jawaban memuaskan mengenai apa yang terjadi saat ini.

Fakta bahwa RNG berwujud seorang perempuan tak membuatnya segan. Lawan bertarung yang ditemuinya akhir-akhir ini kebanyakan perempuan, lagipula.

"Kh … katakan itu pada dirimu sendiri," respon RNG tenang meski tercekik.

Dua buah ledakan hologram muncul dari tubuh Wildan. Pemuda gondrong yang kesakitan itu melepaskan cengkeramannya dari RNG.

Wujud Wildan berubah. Ia sekarang menjadi anak-anak dengan bentuk kepala, tangan, dan kaki yang besarnya tidak normal. Sarung tangan cakarnya ditarik kembali oleh sistem inventory.

"A-Apa … tangan dan kaki macam apa ini!?" Bahkan suaranya pun berubah seperti anak sembilan tahun.

"Ha, lihat dirimu. Kau seperti detektif cilik yang terkena toksin bodoh," ejek RNG. "Ah, aku harus berhenti menggunakan lelucon macam ini kalau tidak mau kena pelanggaran hak cipta."

RNG lantas bergeming sejenak. Sial, dia lucu juga dalam bentuk chibi, batin RNG. "Ah, hak cipta? Apa yang kubicarakan? YOLO! Aku cabut dulu, ya~"

"Hei! Tunggu! RNG brengsek!" Mata Wildan menguning. Aliran listrik tersendat. Karena perubahan itu ia tak bisa mengendalikan listriknya dengan bebas. "Kau mau meninggalkanku di sini!?"

Sial, suara marahnya membuatnya makin lucu! Lagi-lagi RNG membatin. Ia kemudian berujar, "Ehm, tentu tidak. Aku akan mengirimmu ke database level I." RNG menjentik jari. Sebuah lubang lonjong berbentuk angka nol muncul di permukaan tempat Wildan berpijak. "Bersenang-senanglah di sana, ya~"

"Aaaaaaaaahhh!"


[Loading data ….]


Distorsi VI
=Wild Ride=

[Level I]


Aliran listrik dalam tubuhnya masih membuat mata Wildan berwarna kuning. Anak matanya berubah lancip. Giginya menjadi lebih tajam seperti gigi hiu. Tubuhnya mendarat di atas gundukan pasir yang empuk. Matahari senja menyinarinya. Kotak pasir itu adalah mainan umum di sebuah taman. Pemandangan yang dilihatnya sekarang tak ubahnya seperti dunia anak-anak.

Banyak anak-anak berkelahi, bermain jungkat-jungkit, seluncuran, sepak bola. Sebagian kecil lainnya hanya duduk-duduk pada tikar seakan sedang bertamasya.

"Uhuk … uhuk …. Sekarang apa?" tanya Wildan seraya melihat sekitar. "Apa ini tempat ronde selanjutnya? Tapi tubuh ini …."

Seorang anak menatap Wildan dari kejauhan. Tubuhnya gemuk. Pakaiannya yang berwarna oranye sangat mencolok. Ia kemudian menghampiri Wildan dari belakang.

"Hei." Jari anak itu menggamit pundak Wildan.

Bahu Wildan naik sedikit karena terkaget sebelum menoleh.

"Kau tak seharusnya berada di sini," ujar anak itu.

"Ha? Kenapa?"

Pipi sang anak laki-laki bergerak seiring mulutnya. Tatapan matanya kosong. Wildan hampir tidak merasakan tanda-tanda kehidupan dari bocah itu. Namun bocah itu terlihat yakin dengan kata-katanya.

Dan yang paling mengherankan - Wildan baru menyadarinya - semua anak di sana memiliki ukuran kepala, tangan dan kaki besar tidak normal. Sama seperti Wildan.

"Cepat pergi dari sini! Aku tidak lihat daftar namamu di tempat ini. Salah-salah kau bisa terluka, loh." Sebuah pizza berukuran dua kali tubuh anak gemuk itu muncul di udara. Anak itu mengangkat kedua tangannya untuk menyangga, namun tak mengenai pizzanya.

"Wow."

"Bukan saatnya kagum, Wildan Hariz …." Anak gemuk itu mengingatkan.

"Di situh rupanya kau, Pitta Junior! Sinih hadepin Ujang!" ujar seorang anak dengan kaus oblong putih tak jauh dari situ.

"Eh, kau tahu namaku? Apa dari daftar nama? Dan kenapa dengan anak itu!?" tanya Wildan berangsur panik.

Bocah gemuk menunjuk ke atas kepala Wildan, "Itu. Tak ada Wildan Hariz dalam daftar nama untuk tempat ini." Jarinya kali ini menunjuk ke sebuah benteng-bentengan. "Berlindunglah ke arah sana. Dia lawanku, berdasarkan daftar, sih."

Ada sebuah batang horizontal aneh berwarna biru melayang di atas kepala Wildan, lengkap dengan namanya sendiri. Hal yang sama juga dapat ditemukan Wildan saat melihat ke atas bocah gemuk itu. Sebelumnya ia tak dapat melihatnya karena tertutup pizza.

[Tuan Wildan Hariz, pergilah ke arah benteng-bentengan. Cepat!]

Suara aneh menggema di kepala Wildan. Sepertinya itu suara Kathrine. Tapi ia tak dapat menemukannya di mana pun.

"Te-Terima kasih, Pitta. Aku pergi dulu."

"Pittttaaaaaaaa!" Si bocah kaus putih menghunuskan sebuah golok. Ini jelas-jelas tidak aman untuk dimainkan anak-anak. Janggalnya, tak ada satu pun orangtua di taman itu.

"Maaf, tapi aku lebih suka dipanggil Fapi."

Wildan berlari tanpa menoleh ke belakang. Arah larinya tepat lurus menuju sebuah portal yang muncul sebelum benteng-bentengan. Wildan tak tahu portal itu menuju ke mana. Tapi ia pikir perkataan si bocah gemuk ada benarnya. Ia tak seharusnya berada di sini.

Di sudut mata, ia dapat melihat ada dua anak lagi yang bertarung, tapi anak-anak lain seakan tak menghiraukan kejadian tersebut.

[Tenanglah Tuan Wildan, kami akan memandu Anda ke alamat level database yang tepat.]

Suara itu terdengar lagi.

Cairan merah mengacapi kaki Wildan. Di dalam portal itu mendadak banjir. Wildan mencoba berontak, tapi sama sekali kakinya tak dapat ia gerakan. Seolah ada lem yang merekat pada kakinya. Lama kelamaan  volume air semakin meninggi. Atas, ke atas, terus sampai akhirnya meneggelamkan Wildan seluruhnya.

[Level II]


"Aaaaahh! Waaaaaahhh!"

Lagi-lagi Wildan berteriak sekenanya. Kakinya masih menempel pada sebuah permukaan. Namun yang membuatnya berteriak adalah kecepatan tinggi permukaan yang melesat. Sehingga, yang bisa dilihat di kiri-kanan Wildan hanyalah kedua dinding dimensi yang bergerak cepat.

Kecepatan berangsur melambat. Wildan dapat melepas telapak kakinya dari permukaan. Tapi ia terkejut bukan main saat mencoba melangkah dan melihat kakinya.

Kakinya seperti orang yang telah diamputasi.

"Kakiku manaaaaaa!?"

Permukaan yang dipijak Wildan dengan 'kaki baru'-nya berwarna hitam pekat. Sewarna dengan dinding sekitarnya, entah berapa luas. Terdapat bangunan warna merah, kuning, oranye, biru, dan warna lainnya, yang didirikan baik vertikal maupun horizontal.

Lagi-lagi Wildan melihat anak kecil. Kali ini tubuhnya terdiri dari kotak-kotak kecil aneh. Rambutnya biru muda panjang—terlihat dari lebih banyaknya kotak di bagian punggungnya. Matanya juga sewarna dengan rambut. Ia mengenakan baju cokelat.

Sementara, Wildan sendiri berpenampilan tidak jauh berbeda dengan anak itu. Mereka berdua sama-sama terdiri dari kotak-kotak kecil. Namun kali ini mata Wildan sudah berubah menjadi cokelat kembali. Tak ada aliran listrik yang memancar.

Sadar sedang dilihat, anak kecil itu menoleh dan bertanya pada Wildan, "Kau tersesat?"

"Ah … i-iya, meskipun aku yang memutuskan untuk ke sini, sih …." Wildan meneliti penampilan anak itu. Ternyata keterkejutannya tadi berlebihan, anak itu pun memiliki kaki yang sama dengan Wildan. Ini pasti keanehan wujud lagi, pikirnya.

Oh ya, daftar nama! Aku harus menemukan daftar nama tempat ini.

Penasaran, Wildan bertanya, "Apa kau tahu cara melihat daftar nama di tempat ini?"

"Daftar nama? Ah tentu," jawab anak itu. "Di ujung sana setelah bangunan merah panjang, belok kiri."

"Terima kasih, emm …" Wildan berusaha membaca nama di atas kepala anak itu, "Maida York. Sampai jumpa!"

Lambaian tangan menutup pembicaraan mereka. Wildan pergi ke arah yang anak itu tunjukan.

"Eh? Rasanya aku pernah melihat dia sebelumnya?" Mata Maida York melihat ke atas, berusaha mengingat sesuatu. "Apa cuma perasaanku saja, ya?"


[Loading data ….]


Wajah Kathrine terlihat menahan tawa tatkala melihat penampilan Wildan.

"Baiklah, Kathrine yang ini juga bisa tidak sopan. Setidaknya kau punya sedikit selera humor," gerutu Wildan.

Kathrine hanya tersenyum, "Maaf, Tuan. Hanya saja Anda memang terlihat lucu dengan wujud  piksel ini." Rona di pipinya mulai sedikit memerah.

"Lucu!? Si RNG juga bilang begitu, aarrgh! Aku tidak mau jadi lucu!" Wildan berusaha mengacak-ngacak rambutnya sendiri dengan tangan pikselnya.

Daftar nama di tempat ini sudah Wildan periksa. Tak ada namanya di sana. Saat itulah tiba-tiba layar inventory-nya aktif dengan sendirinya. Ada satu pesan bertuliskan 'emergency' yang ia terima. Saat dibuka, muncullah layar komunikasi yang menampilkan Kathrine.

Akhirnya dapat berkomunikasi, Wildan menceritakan segala yang terjadi dengan RNG di lorong dimensi pada Kathrine. Ternyata memang, berdasarkan penjelasan Kathrine, terjadi gangguan pada sistem database turnamen Battle of Realms yang disebabkan oleh semacam virus.

"Pada dasarnya kau malah akan memindahkanku ke tempat berbahaya?" tanya Wildan sambil menatap Kathrine ngeri.

"Ada satu level lagi yang harus Anda lalui. Tansmiter kami semakin melemah. Yang bisa kami lakukan hanya membuka portal untuk Anda. Selebihnya perpindahan harus Anda lakukan secara manual. Kami sedang berusaha memulihkan sistem saat ini."

"Benar kata Sin, turnamen ini memang ada virusnya," gumam Wildan.
"Sin?" tanya Kathrine.

"Ah bukan apa-apa, Kat," sanggah Wildan. "Ngomong-ngomong, apa si goyang aneh RNG itu benar-benar berkhianat, Kat?"

"Kami masih belum bisa membuktikannya."

"Hm, begitu. Kalau aku bertemu dengannya nanti kusampaikan saja 'salam hangat' dari kalian. Selanjutnya ke mana?"

"Selanjutnya core level. Di sana Anda harus menunggu kami mengatur koordinat portal evakuasi. Walau turnamen masih berlangsung, saat ini yang terpenting adalah mengamankan data para peserta agar tidak corrupt oleh virus. Core level adalah tingkat yang paling aman, efek virusnya malah mempertinggi kualitas visual," jelas Kathrine.

"Yah aku tidak begitu mengerti tentang efek virus, sih. Tapi terima kasih atas informasinya," komentar Wildan.

"Nah. Portalnya sekarang telah siap,"

Sebuah portal muncul di permukaan hitam tempat Wildan berpijak. Kali ini bentuknya berupa lubang yang dalam.

"Baiklah, satu level lagi. Sampai jumpa, Kat!"

"Sampai jumpa, Tuan. Hati-hati."

Bertolak pada permukaan, Wildan melompat ke dalam lubang portal.


[Core Level]

Wildan tersadar dalam posisi berdiri. Sejauh mata memandang, tempatnya kini berada hanya diisi rak buku yang penuh dan terjajar rapi.

Nuansa merah redup menyelimuti tempat itu. Perpustakaan ini sama sekali tidak layak menjadi tempat membaca. Segala yang Wildan lihat tampak sangat jelas. Rak buku yang berjajar, buku-buku yang dipajang dan tertata rapi di dalamnya—semuanya terlihat bagus. Segalanya terkesan mewah.

Tempat ini mengingatkan Wildan pada rumah Kepala Desa Valtessa. Banyak sekali buku. Biasanya Kepala Desa akan memarahi siapapun yang berani mengacak-acak—apalagi merusak barang satu buku pun di sana. Wildan sudah membuktikannya karena pernah tak sengaja merusaknya.

Kepala Desa bilang itu semua buku mahal.

Pasti semua buku ini berharga mahal juga, pikir Wildan.

Penampilan Wildan pun berubah di tempat ini. Sekarang ia terlihat lebih normal dibandingkan tempat sebelumnya. Atau tepatnya—lebih dari normal. Saat melihat tangannya, ia merasa tangannya lebih mencolok, lebih jelas—sampai pori-pori di kulitnya pun dapat ia lihat. Bahkan, warna kulitnya lebih putih dari biasanya.

Rak-rak buku menjulang tinggi. Butuh tangga untuk mengambil buku paling atas jika tak bisa terbang atau melompat tinggi. Sedang asyik mata Wildan melihat-lihat buku di bagian atas rak, terdengar suara bising—yang rupanya menyebabkan rak di dekatnya tumbang.

"Aaaaargh!"
Refleks kedua tangan Wildan menahan berat rak buku yang tumbang. Besarnya ukuran rak membuat Wildan kewalahan. Apalagi ia sama sekali belum istirahat sejak ronde sebelumnya.

Tentu, ratusan buku yang tadinya terpajang rapi kini berjatuhan. Terima kasih kepada gravitasi yang masih bekerja.

"Aw. Aw. Aw. Aw! Hei! AW!" tukas Wildan saat buku-buku menghujani kepalanya. Menengadah membuat segalanya lebih buruk.

Be-Berat …. Terbuat dari apa sih ini? Baja?

"Ng … nngghhh!"

Dengan tenaga yang masih tersisa, Wildan mendorong balik rak buku yang beratnya bukan main itu. Rak buku jatuh ke arah sebaliknya, menimpa rak buku lain. Satu, dua, tiga rak buku tumbang seperti susunan domino sebelum rak terakhir tertahan dinding.

Napas Wildan mulai memburu; bunyi bising terdengar lagi. Tumbangnya tiga rak buku membuat Wildan dapa melihat apa yang ada di baliknya.

Seorang bocah gemuk berpakaian oranye terseok. Tapi tak lama, ia langsung bangkit dan memanggil satu anak lain yang memunculkan dua buah perisai besar untuk menghalau teriakan seorang pria dengan topi fedora.

Aneh. Dua perisai itu berguncang hebat saat sang pria berteriak. Bahkan ledakan sempat terlihat, sedikit merusak kedua perisai. Serangan gelombang suara?

"Loh? I-Itu kan … Bun! Itu Bun! Hei Bu—"

Pandangan Wildan terhalang asap. Asalnya dari dalam buku-buku yang jatuh. Buku macam apa yang mengeluarkan asap dari kertas-kertasnya? Ini tidak beres.

Asap apa ini?

Tenggorokan Wildan terasa tercekik. Ia tak bisa melanjutkan kata-katanya. Ia hanya bisa melihat tiga sosok yang melesat ke sana kemari. Di belakang pria bertopi, terlihat seseorang dengan rambut hijau memutar tendangan. Secara tipis tendangan itu menyerempet dahi si pria bertopi. Topi fedora sang pria jatuh. Namun kakinya berhasil menolak lantai.

Pria itu menapaskan sesuatu, namun Wildan tak dapat mendengarnya. Sama sekali tidak ada suara yang dapat ia dengar.

V-Vaj—ra!

Tidak salah lagi. Mereka adalah kedua rekan seperjuangan Wildan di Tim Lightbringer, Bun dan Vajra. Entah siapa pria bertopi. Mengapa mereka bertarung, Wildan masih belum tahu.

Sosok berambut hijau yang disinyalir sebagai Vajra menahan ayunan sikut pria bertopi. meroda untuk menghindar. Kemudian, tanpa terlihat segan, mengempaskan Bun dengan tinju petirnya. Bun sepertinya berusaha menlakukan serangan kejutan, namun gagal.

Bun dan Vajra sama sekali tidak terlihat bersahabat. Awalnya Wildan pikir mereka berdua bekerjasama untuk melawan si pria bertopi fedora. Nyatanya, mereka saling melancarkan serangan cepat kepada satu sama lain tanpa pandang bulu.

Mungkin terjadi sesuatu.

Cekikan asap yang memenuhi tenggorokan Wildan membuatnya tak lagi dapat bernapas dengan benar. Ingin rasanya ia berteriak agar Vajra dan Bun menyadari keberadaannya. Namun apa daya, saat ini kesadarannya telah hilang dimakan waktu.


[Hacking data ….]


Distorsi VII
=Pulau Tepencil=


[Level III]

Segalanya merah.

Wildan merayau-rayau. Sama sekali tak ada dinding yang dapat ia sentuh. Ia melayang di ruang hampa.

Warna merah di sekitar mulai menyelimuti dirinya secara keseluruhan. Membentuk semacam cangkang telur, serpihan kerak demi kerak memadat. Pemuda bernama Wildan Hariz tak sadarkan diri di dalamnya.

Tak lama, terjadi retakan pada lapisan cangkang telur. Cairan kenral yang sama merahnya keluar dari retakan. Semakin lama semakin banyak cairan yang keluar.

Retakan menyebar.

Satu serpihan lepas dari cangkang telur, menampilkan rambut cokelat sang pemuda. Dari kepala, badan, sampai ujung kaki, semuanya perlahan mulai nampak seiring banyaknya serpihan yang lepas.

Untuk kesekian kalinya, wujud Wildan berubah.


[Hacking data ….]


Telinga Wildan mampu menangkap dersik dalam udara sekitar. Ia sekarang telungkup lesu di atas pasir pantai. Banyak pepohonan berdansa oleh angin di sebelah timur. Sepintas semuanya tampak seperti pantai normal. Tapi gerakan segala sesuatu di tempat itu terasa janggal. Seolah-olah tiap benda di sini memiliki kehendak untuk menggeliat.

Air laut yang bisa Wildan lihat pun berbeda dari biasanya. Terdapat banyak gelembung di permukaannya, seakan itu adalah didihan air yang dipanaskan. Masing-masing gelembung berdetas bergantian.

Pasir berdesir, tertumpah dari sela-sela tubuh Wildan tatkala ia bangkit dari tidur. Pasir yang menjadi alasnya terasa halus. Sebelum bangkit, saat terlentang tadi, Wildan sempat melihat sedikit keadaan sekitar.

"Ah … ini pantai?" gumam Wildan. Ia menggelengkan kepala dan mengibas rambut agar pasir tak lagi mengotorinya. "Apa level tadi sudah terlewati? Sayang sekali."

[Level … janga … lanjut … lar … haya … bukan ….]

Samar-samar Wildan mendengar suara Kathrine. Apa ini artinya ia telah sampai di tempat yang seharusnya? Lepas dari belenggu telur. Kini pemandangan sekitar tak lagi merah. Wildan sempat ragu akan pandangannya sendiri.

Segalanya tampak begitu asri kali ini. Yang terpampang dihadapannya adalah hutan lebat. Sebuah puncak gunung nampak jelas di atas daun-daun pohon hutan.

Tiba-tiba, Wildan merasakan panas di tangan kirinya. Bunyi retak terdengar. Wildan memeriksa tangannya. Batuh hijau di tangannya hancur lebur. Apa ini berarti pet container dan inventory yang tersemat di sana takkan lagi berfungsi? Kedua tangannya diselimuti bulu. Tidak—bahkan hampir seluruh tubuhnya diselimuti bulu putih berloreng hitam!

"A-Apa? Kenapa ini!?"


[Hacking data….]


Seorang perempuan berpakaian putih mendarat dengan elegan saat keluar dari portal hologram. Penampilannya menyerupai perawat di rumah sakit. Dengan gambar palang pada topinya dan kedua lengan atas dekat bahunya, perempuan itu memeriksa diri, seakan mendiagnosa bagian tubuhnya.

Ia tidak berpikir bahwa ia sedang sakit. Namun tetap saja, terasa ada yang aneh pada tubuhnya.

Ada yang salah.

Mata perempuan itu sejenak terbelalak saat melihat rambut yang tumbuh di kepalanya membentuk ular-ular kecil. Walau begitu warnanya masih tetap cokelat seperti asalnya.

Demikian pula ia lihat lengannya. Seharusnya ia memakai perban yang melilit penuh kedua tangan. Sekarang wujudnya menjadi padat tebal dengan sisik. Baru ia sadar saat melihat dua kepala di masing-masing telapak tangan—yang melilit kedua tangannya adalah dua ular putih.

Tetapi, perempuan itu tidak terlihat gentar. Sorot sepasang mata merah yang dimilikinya seolah menyembunyikan rasa takutnya.

"Heh, ular ya? Cocok sekali denganku."

Perempuan itu bernama Vi Talitha. Akrab dipanggil Miss Vi oleh orang-orang yang mengenalnya di Universitas Keperawatan Suci. Ia adalah seorang divine nurse, perawat terpilih yang dipercayakan peralatan suci dan agung yang disebut divine tools dalam dunia medis.

Perban—yang sekarang berbentuk ular—yang melilit tubuhnya dari kedua lengan hingga leher, adalah salah satu divine tools yang terkenal mujarab dalam menyembuhkan. Perban ini juga dapat digunakan untuk melindungi penggunanya dari serangan berbahaya.

Bunyi deringan terdengar tepat dari hadapan Vi. Muncul sebuah layar hologram di udara. Vi dapat melihat dengan jelas apa yang tertulis di sana.


[Your opponent has not spawned yet.]


Mata Vi terpejam. Tawa kecil keluar dari bibirnya yang sensual. Ia tahu maksudnya. Vi memutuskan untuk melihat sekeliling. Adalah hal yang menguntungkan jika ia lebih tahu tentang medan pertarungan yang akan ia hadapi nanti dibandingkan lawannya.

Lagi-lagi Vi dibuat agak terkejut dengan penampilan barunya. Saat ia coba melangkah, ia tidak merasakan kakinya mengincak pasir pantai. Yang bisa ia dengar adalah suara berdesir.

Kakinya tidak ada.

Bagian bawah tubuhnya memanjang langsing dilengkapi dengan semacam sirip. Di ujungnya terdapat cagak membentuk dua ekor: ular dan ikan. Dan itu nampaknya tidak membuat Vi keberatan. Ia melata seolah itu bukan pertama kali ia mengalaminya.

"Oh ya. Inventory," ujar Vi sesaat sebelum menyentuh udara dengan jari lembutnya. Dari udara muncul hologram berupa kotak perawatan darurat. Kotak itu menampilkan pesan hologram bertuliskan 'TARGET'.

Sebuah rincian data dan gambar seorang manusia muncul.

"Jadi dia targetku. Mari kita lihat apa dia mudah dibodohi atau tidak."

Vi mencoba menggerakan perban-ular-nya. Sepintas ular-ularnya terlihat menyeramkan. Tapi saat Vi—entah bagaimana caranya—membuat ular itu menggigit pipinya, tak ada darah yang mengalir. Orang yang ada di sana mungkin akan merasa ngeri melihat pemandangan itu. Apalagi Vi melakukannya atas kehendak sendiri.

"Hmh, penampilannya saja yang menyeramkan. Ternyata kalian hanya ular-ular lucu yang terlampau baik. Gigitan kalian sama sekali tidak terasa."

Menit demi menit berlalu; target Vi belum juga tampak. Vi sudah memeriksa tempat ini. Ada beberapa bagian tempat yang lumayan strategis sebagai jebakan. Melata, bagaimanapun, tak terasa nyata bagi Vi. Baginya, rasanya hanya seperti berjalan biasa dengan kaki.

Pulau ini dihiasi benda-benda hidup. Semuanya bermutasi sebagai hasil menyebarnya virus di level ini. Vi sempat mengamati, ada tanaman bergigi tajam, binatang bertungkai janggal, pasir hidup, gas beracun dan air bergelembung. Ya, udara dan air pun tak luput dari mutasi.

Bagaimana ia bisa selamat dari semua itu?

Menyembuhkan diri kuncinya.

Sesuai dengan penampilan perawatnya, kemampuan penyembuhan adalah spesialisasinya. Terutama dengan perban agung sebagai salah satu divine tools. Perban itu ia gunakan sedemikian rupa untuk mengatasi ancaman yang ditemuinya.

Ini tempat yang menarik, batin Vi. Dan berbahaya.

Jika Vi bisa memanfaatkan tempat ini dengan baik, Vi dapat menyelesaikan pertarungan lebih cepat—atau malah menghindarinya sama sekali. Asalkan ia bisa selamat dari kematian, nasib targetnya tak terlalu Vi pedulikan.

Untuk saat ini, Vi hanya bisa menunggu.


[Hacking data ….]


Sementara itu di belahan lain pulau, Wildan mendongkol gara-gara batu hijau di tangannya hancur. Bukannya mengkhawatirkan batunya, ia lebih mengkhawatirkan keadaan Mao dan Alva yang berada dalam pet container yang disematkan pada batunya.

[Trans … tid … kuat … bert ….]

Berjalanlah Wildan ke sana kemari, seperti orang yang mencari sinyal telepon genggam. Ia ingat Kathrine bilang transmiter mereka sudah tidak kuat. Dia menduga, pasti trans—apalah itu adalah semacam pemancar.

[Saya … kiri … gambar … target Anda. Semoga ….]

Sebuah layar tampil di hadapan Wildan. Isinya adalah foto gadis bermata merah dengan pakaian perawat. Wildan malas untuk membaca rinciannya, yang tertangkap matanya hanya tulisan 'TARGET'.

"Ha? Target? Maksudnya aku harus menemui perawat? Tapi apa ada rumah sakit di sekitar pantai ini?"

Langak-lunguk, Wildan mempercepat langkahnya menjelajah pantai. Masih belum sadar dengan beberapa perubahan wujud lain di bagian tubuhnya. Ia memutuskan tak membuang waktu. Belum bisa tenang ia jika Mao dan Alva belum ditemukan.


[Hacking data ….]


Satu hal lagi yang tak disadari oleh Wildan. Di lepas pantai melayanglah sesosok laki-laki jangkung bersayap hitam.

"…."

Tatapannya kosong. Tak ada angin pantai yang berani menggerakan rambut hitam sebahu dan jubah hitamnya. Tak ada suara yang ia buat, seakan ia tak benar-benar berada di sana. Seperti ada sesuatu yang memanggilnya, sosok itu menatap lurus ke arah Wildan pergi.

Sebelum disadari oleh siapapun, di antara bunyi ombak yang datang ke pantai, keberadaannya terhapus dari sana.


[Hacking data ….]


Distorsi VIII
=Virus vs. Vaksin=


[Target located.]


[Target located.]


Kedua notifikasi itu masing-masing nampak di depan wajah Wildan dan Vi. Ini menandakan bahwa keduanya berdekatan. Masing-masing gambar target muncul kembali di hadapan Wildan dan Vi. Namun kali ini wujudnya sedikit berbeda.

Kali ini, wujud mereka adalah wujud yang telah bermutasi.

"Loh, targetnya berubah wujud?"

"Perawat ini … ular?"

Wildan dan Vi sama-sama terkejut akan hal itu. Keduanya berjalan—melata khusus untuk Vi—mendekati satu sama lain. Mereka tak menyangka bahwa target akan muncul semudah itu dengan saling berhadapan. Jarak mereka kira-kira tujuh meter.

"Ah kau kan …."

"Pe-Perawatnya ada di sini!"

Ada kejutan lain yang menanti mereka, yaitu munculnya layar besar yang menampilkan seorang pria aneh berkacamata hitam.

[Hae Mas, hae Mba. Selamat! Target telah kalian temukan! Sekarang kalian bisa bertarung sesuka hati.  Ronde dua, Virus vs. Vaksin dimulai!]

[Heh, jangan seenaknya membuka komunikasi dengan database! Kan sedang kuretas!] Terdengar suara teriakan anak kecil laki-laki dari ruangan yang sama dengan si pria kacamata hitam.

[Hei hei, ayolah. Biarkan aku sekedar menyapa mereka. Oh ya, tahukah kalian bahwa jika health bar kalian habis maka kalian akan mati? Iya, batang biru di kepala kalian itu. Tidak hanya di Alforea, tapi juga mati di dunia nyata.]

[Tutup!] Suara anak kecil terdengar lagi.

[Tu-Tu-Tunggu tunggu tunggu! Hae Mas Wildan, semoga menang ya! Kau menang, pekerjaanku cepat selesai. Hidup virus! He-Hei! Ayolah, kau merusak kesenangan. Tu-Tung—JANGAN—]

Layar besar tertutup dan menghilang.


[PvP: Killswitch Engage!]

[PvP: Killswitch Engage!]


"…."

"Yang tadi itu apa-apaan …."

"Daripada itu, beraninya kau baru muncul sekarang," ujar Vi.

"Kau siapa? Dia juga siapa?" tanya Wildan sembari menunjuk pria di layar besar. Tidak seperti di Level I dan Level II, memang ada health bar di kepala perawat itu, namun tidak ada namanya. Hal yang sama juga berlaku pada health bar di atas kepala Wildan.

"Kau darimana saja!? Ini sudah tujuh ribu kata, tahu! Kita baru akan mulai bertarung pada kisaran kata 7000-an ini. Bayangkan! Apa-apaan saja kerja narator ini sejak pengumuman R2 dimulai!? Lama sekali! Saking lamanya! Tapi narator tidak diganti dengan yang baru." tukas Vi tanpa mempedulikan pertanyaan Wildan.

….

Vi Talitha akan mengalami pengurangan jumlah screen time jika terus menghina narator lebih jauh. Kembali pada benang merah.

"Hei! Screen time-ku!" protes Vi.

"Kau dengar itu?" tanya Wildan yang mendengar suara entah dari mana.

"Suara kokoro?"

"Bukan. Pantai ini berbicara padamu."

"Tentu saja aku dengar! Itu suara narator, bukan pantai!"

Mulai sekarang Vi tidak banyak bertingkah. Tiba-tiba Vi menjadi pribadi yang patuh. Vi dan Wildan kembali pada benang merah. Peringatan kedua.

"Sial. Aku harus menurut. Ayo kembali ke benang merah," ujar Vi ketus.

"I-Iya, aku tahu aku memang sempat tersesat sebelum sampai sini. Tapi tak perlu meneriakiku juga, kan …. Lagipula aku tidak tahu kau siapa."

"Penampilanku seharusnya menjawab pertanyaanmu," sindir Vi berkacak pinggang, meski dalam wujud ini entah bisa disebut pinggang atau bukan. "Aku Vi Talitha. Makanan kesukaanku stroberi dan aku sudah menunggu selama tujuh ribu kata."

"Aduh. Ya, ya maaf, maaf. Hentikan bahasan meta-mu itu. Nanti ditegur narator lagi. Ah aku bicara apa …. Meta itu apa …."

"Kau sendiri siapa?" tanya Vi.

"Aku Wildan Hariz."

"Nagh liar, mulai sekarang aku akan memanggilmu begitu. Karena dirimu begitu liar."

"Terdengar menyebalkan …," protes Wildan.

"Hei, ini hanyalah awal terbukanya tirai panggung sandiwara bernama Ronde Dua," dalih Vi. "Namaku dan namamu takkan terlalu berarti kalau akhirnya hanya ada satu yang tersisa dari kita."

"Tidak. Tidak. Justru nama ini penting. Kalau kau ditanya dengan siapa kau bertarung tadi setelah memenangkan pertarungan, kalau kau tak bisa menjawab, bukankah kau akan terlihat bodoh?"

"Ya aku tidak peduli. Ketidakpedulian adalah kebahagiaan, mereka bilang." Vi berkacak pinggang. "Dengar, ya. Kau tak harus memahami semuanya,  Dasar nagh liar keparat."

"Mulutmu pedas sekali."

"Mulut pedas? Hihi, sok tahu kau ini. Kau bahkan belum pernah mencicipi bibirku," goda Vi.

Wajah Wildan memerah malu. "Hhh, a-a-ayo kita mulai saja pertarungannya sekarang! Jangan salahkan aku kalau health bar-mu habis. Kau tidak takut mati, ngomong-ngomong."

"Khawatirkan saja dirimu sendiri yang bermandikan debu itu. Kau pasti sudah kelelahan, kan. Pasti bagimu juga tak ada jeda menuju ronde ini" kata Vi dengan gestur tangan sedikit angkuh meremehkan, namun tetap anggun. "Pemilik kemampuan penyembuhan sepertiku merasakan keistimewaan sendiri. Kalau mau diibaratkan sih, aku punya sayap, kau tidak."

"Aku punya sayap yang terlihat bernama tekad, tahu," jawab Wildan sok keren. Tak mau kalah.

"Tapi aku bisa lihat sayapmu, kok."

Wildan menoleh ke kiri dan kanan bahunya. Benar juga. Wujudnya sekarang memang sudah berubah. Dua pasang sayap tumbuh dari tubuhnya. Motifnya mirip dengan sabit kembar yang selalu ia ikat di punggung.

Sementara di tangan kanannya tersemat sarung tangan cakar yang ia gunakan sebelum masuk ke level database. Kini cakar itu benar-benar menjadi cakarnya, menyatu dengan tangan.

Apa-apaan ini!? Apa aku sekarang jadi semacam burung?

Lompat-lompat kecil dilakukan Wildan. Vi hanya memperhatikannya. Tidak—dia tidak bisa menggunakan sayap itu untuk terbang. Wildan pun berusaha mengeluarkan aliran listrik dari tubuhnya, agar membentuk halilintar pendorong.

Namun tak ada listrik yang keluar. Wildan merasa bagian-bagian tubuhnya yang biasa mengalirkan listrik keluar tersendat sesuatu. Gawat Vi tak boleh tahu tentang ini, pikir Wildan.

Tiba-tiba, Wildan teringat sesuatu.

Tentang Mao dan Alva, jika melihat dari bentuk tubuh Wildan yang sekarang, bisa jadi mereka masuk dan menyatu dengan tubuh Wildan bersama kedua sabit di punggungnya. Hanya Tuhan yang tahu mutasi macam apa yang terjadi sehingga bentuk Wildan menjadi seperti itu.

Kembali Wildan merespon Vi.

"Ma-Maksudku biasanya kan aku tidak punya sayap … lagipula sayap ini tidak bisa digunakan untuk terbang. Kalau bisa, pasti sudah kugunakan tadi untuk menemukanmu lebih cepat."

"Bodoh. Mutasi wujud di tempat ini memang tak memberi kemampuan tambahan apa-apa. Berbeda denganmu, sayapku ini sih asli."

Sayap ular Vi mengepak, meski sebenarnya itu mungkin merupakan hal yang tidak perlu karena kemampuan magislah yang bisa membuat Vi terbang. Vi mengangkat dagunya. Tatapannya mendelik seakan sedang melihat seekor kucing yang baru saja mencuri ikan.

"Ke-Kenapa bisa? Bukannya kau bilang perubahan di sini tidak akan memberi kemampuan tambahan apa-apa?"

"Maksudku, sayap ini memang kekuatanku sejak awal. Ah sudah cukup bicaranya. Ayo bertarung!" Vi menyiapkan ular-ular putih di tangannya. "Hormatilah predatormu!"

Badan ular-ular putih memanjang kemudian membentur pasir. Wildan berhasil menghindari mereka.

"Jangan bercanda. Akulah yang predator!"

Kaki Wildan menolak permukaan pasir, gerakannya mengindikasikan bahwa ia akan melakukan lompatan untuk menerkam Vi.

"Jangan mimpi. Bagiku kau hanya sebatas organisme liar. Wildan nagh liar," respon Vi.

Heaven's Chain! Vi berseru dalam batinnya. Kemampuan ini mengarahkan kepala-kepala ular putih menggapai Wildan. Tujuannya adalah untuk mengikat. Namun gerakan Wildan cukup gesit untuk menahan lilitan para ular degan tangan kiri.

Tak berhenti sampai di situ ternyata. Lilitan ular yang berangsur menjadi perban yang mengikat erat lengan Wildan. Kencang. Sangat kencang ikatannya, sehingga membuat tangan kiri Wildan putus!

"U-Uuuaaaakkhhh …. AAAAH!"

Rasa perih luarbiasa menyengat. Pendarahan tak terelakan.

Vi menguasai kemampuannya dengan baik. Ia bisa mengubah wujud ular menjadi perban dengan sedikit latihan sebelum bertemu dengan Wildan tadi.

Kini, tubuh ular putih di tangannya dilecutkan pada badan Wildan seperti pecut. Rasa pedih makin menjadi bumbu pelengkap penderitaannya. Wildan hampir ambruk.

Pecutan demi pecutan Vi layangkan ke tubuh bercorak loreng itu. Wildan hanya bisa sesekali mengorbankan tangan cakarnya untuk menangkis. Tenaganya hampir tak tersisa.

Wildan membanting diri ke dekat tepi pantai. Ia seperti mencoba menghanyutkan diri. Bunyi berderas menggema dari ombak yang menabrak tubuhnya. Mau tidak mau, rasa perih harus ia tahan. Apalagi, yang akan dihadapinya adalah air.

"God's Wra—mau lari, ya?" Vi mengejar Wildan. Ia melata menuju pantai. "Jangan kira aku tidak bisa berenang."

Vi tak ingin kehilangan mangsanya. Meski memang, ia malas berenang.

Yang benar saja, dari semua lomba yang ada. Aku harus melakukan lomba berenang dengan orang ini, batin Vi.

Dan ini kabar buruknya: Wildan perenang ulung. Ia berenang semakin jauh.

Vi tak bisa mengejarnya, walaupun keduanya masing-masing perenang handal. Vi belajar renang sungguh-sungguh karena tidak ingin tenggelam dan mati. Wildan belajar berenang begitu saja di kolam tengah hutan bersama binatang, kadang pula di sungai.

Alasan utama Vi tak dapat mengejar adalah tidak adanya kemampuan berenang tambahan dari hasil perubahan mutannya. Ekor bersirip tidak membantunya berenang. Tubuh Vi pun tentu memiliki stamina lebih sedikit daripada Wildan.

"Aw!"

Sedang asyik berenang—baiklah, sebenarnya itu tidak terasa asyik bagi Wildan—tangannya yang menjulur ke depan menabrak dinding tak kasatmata. Ini seperti yang terjadi di Despera. Hanya saja kali ini lebih beruntung bukan kepalanya yang jadi korban.

Menolehlah Wildan ke belakang. Vi semakin mendekat. Wildan tahu bahwa dinding tak kasatmata itu adalah pembatas agar pemain tak bisa keluar arena pertarungan. Mencoba menghancurkannya bukan pilihan, ia tahu seberapa kuat dinding itu. Tenaganya semakin menipis seiring narasi adegan ini ditulis.

Jadi berbeloklah ia ke arah kanan. Wildan sejak kecil diajarkan untuk mematuhi adab dengan memilih kanan dalam berbagai macam hal untuk menyimbolkan kebaikan. Semoga kali ini kanan menjadi keberuntungan yang lebih baik baginya.

Vi sadar dengan berubahnya arah Wildan. Namun terasa ada sesuatu yang berat mengganggu gerakan renangnya. Detik berikutnya ia sadar, ular-ular putihlah yang  memberat. Wildan sudah tak terlihat. Sepertinya ini waktunya Vi melepaskan mangsanya.

Setidaknya untuk sementara.


[Hacking data ….]

Semak belukar dan pepohonan menjadi benteng perlindungan bagi Wildan. Ia bersembunyi dari Vi. Wildan tak mengerti, listriknya sama sekali tak bisa keluarkan. Padahal, jika saja ia bisa mengeluarkannya, tentu ia akan terbantu dengan itu saat melawan Vi.

Tidak ada dukungan Mao dan Alva. Wildan memutuskan untuk mengerahkan kemampuan terakhirnya. Terhitung dari detik ini sampai sepuluh menit ke depan. Wildan akan menyerap energi alam untuk merubah suhu tempat ini. Hal tersebut adalah syarat mutlak untuk mengeluarkan Amukan Badai Halilintar.

Tidak ada pilihan lain, Wildan harus mencoba teknik ini walau ia tahu kemampuan serangannya memiliki akurasi yang buruk.

Bunyi berisik mulai terdengar dari semak dan pepohonan. Ada seseorang di sana.

Gadis perawat itu siap dengan sebuah perisai magis. Melihat lawannya tak bisa berkutik lagi, ia merasa aman untuk menghilangkan perisai tersebut. Digantikan dengan ular-ular putih yang siap melakukan serangan yang sudah pasti tidak menyenangkan.

Bibir itu menyeringai lebar.

"Ketemu."


[Hacking data ….]


Butiran awan hitam kecil mulai bertambah di langit.

"Hei. Sebelumnya penampilanmu seperti orang-orang di hutan yang hobi berburu," ujar Vi membuka pembicaraan. "Sekarang beritahu aku. Bagaimana rasanya diburu?"

"Heh, asal kau tahu, situasi terdesak seperti ini sudah sering kualami. Aku tak akan gentar, membela yang benar."

"Terdesak? Lagipula apa yang kamu bela? Itu secara langsung kau mengakui kelemahanmu, loh."

"Hmh, biar saja. Aku benci mengakuinya, tapi Kanji bilang menyadari situasi bahaya itu menunjukan kalau kau kuat. Bukan mengakui kelemahan."

"Hihi, kau ini lucu. Saat seperti ini masih ingat guru. Aku sih sudah tak ingin lagi mengingat dosenku di Universitas Keperawatan Suci." Vi mendekatkan wajahnya pada wajah Wildan. Ia mengangkat dagu Wildan sambil berucap dengan bibir sensualnya, "Kau tahu, mungkin gurumu itu hanya takut pada kematian, seperti kau saat ini."

Seperti Vi.

Jauh di lubuk hatinya, Vi pun merasakan hal yang sama. Tapi Vi tak mengakui ketakutan. Malah ia membencinya, kematian. Kebencian atas kematian. Itulah yang membuatnya belajar di Universitas Keperawatan Suci.

"Sudah selesai ceramahmu?"

"Huh, dasar tidak romantis. Padahal aktingku sudah bagus."

Ular-ular putih membelit seluruh tubuh Wildan. Perlahan tubuh tebal ular-ular itu menipis, menjadi perban. Tak ada yang luput. Dari ujung kepala sampai ujung kaki. Termasuk kedua sayap dipunggunya. Menjadikan Wildan sebagai sosok mumi bersayap dengan tangan cacat.

Ya. Mumi bersayap … se-random itu wujud Wildan saat ini.

"GRRRWAAAAHH RRAAAAH!"

Tubuh mumi Wildan bergerak dengan sendirinya membabi buta. Perban menutup mata, sehingga hanya gelap yang bisa Wildan lihat. Gelap mata mungkin tepat menggambarkannya.

Mumi Wildan menyerang ke segala arah. Vi yang cerdik menggunakan perisai suci bernama Divine Aegis untuk menghalau serangannya sesekali. Kemampuan God's Wrath Vi membuat orang yang termumifikasi memiliki kekuatan serang, bertahan, kecepatan, dan regenerasi yang bertambah pesat.

Vi menggiring tiap seranganan Wildan dengan memanfaatkan perisai sucinya. Perlu usaha lebih, tapi hasilnya sepadan. Wildan sang Mumi Bersayap kini terjebak dalam area hisapan pasir hidup.

"Berterimakasihlah. Setidaknya aku menguburkanmu. Meski dalam pasir hidup, sih." Vi berdiri di tepi pasir yang tak hidup. Matanya sayu. "Ini ironi. Pasir hidup untuk mengubur orang yang akan mati."

Pasrah, Wildan sama sekali tak tahu apa-apa tentang mumi. Ia bukan arkeolog di bidang kemumian. Melihat keadaan saat ini, tidak ada ide apapun yang muncul di benak Wildan.

Tamatlah sudah.

Pikiran itu sempat terbersit di benaknya. Semangatnya hanya bisa jatuh bertempias dalam nurani.

Sama seperti aliran listriknya yang tidak bisa ia keluarkan dengan benar.

Tidak tahu.

Tak ada yang terpikir.

Tak ada lagi yang bisa dilakukan.

Pada kedalaman tertentu pasir hidup. Segala yang Wildan lihat berubah menjadi warna krem. Semakin lama semakin pekat wanranya. Kesadarannya kini melayang, berada pada ruang hampa berwarna krem. Ruang hampa keputusasaan tak bisa lebih menyeramkan lagi.

Di tengah keputusasaan, dua sosok muncul dari dalam tubuh Wildan.

Satu sosok memakai topeng harimau putih. Sesosok lagi memakai topeng burung. Keduanya memakai jubah. Meski dengan bentuk itu, tanpa alasan yang jelas Wildan merasa sangat mengenali keduanya.

"Ka … kalian … Mao!? Alva!?"

"…."

"…."

Tidak ada jawaban dari mereka, namun kepalanya masing-masing mengangguk pelan.

Tidak diragukan lagi, semua benda di tempat ini mengalami perubahan. Tidak terkecuali Mao dan Alva. Entah sudah seberapa parah mutasi yang terjadi pada tempat ini. Dua sosok itu jelas-jelas adalah manifestasi mereka.

Setidaknya, itu cukup untuk mendukung Wildan.

Menit kesepuluh akhirnya berlalu sejak Wildan menyerap energi alam. Berlalu pula tiga menit durasi efek kemampuan God's Wrath.

Percikan listrik bersinggungan dengan pasir hidup di bagian dalamnya. Pasir memang tidak cocok dengan listrik. Namun singgungan itu semakin sering. Semakin banyak juga volume listrik yang keluar. Semuanya tidak lain berasal dari tubuh Wildan.

Thunder Stormrage, Amukan Badai Halilintar telah bangkit.

Kawanan awan mendung semakin membawa gelap pada suasana pantai.

"Ng? Mau hujan?" tanya Vi menengadah. Mau hujan ataupun tidak, tidak masalah bagi Vi. Yang penting ia sudah menang. Berlindung dari hujan bukan hal yang sulit. Ia tinggal menggunakan Divine Aegis sebagai atap darurat.

Alangkah terkejutnya Vi mendapati petir menyeruak dari dalam pasir hidup. Biasanya ia hanya melihat petir menyambar dari balik awan. Tapi kali ini terbalik, dari dalam pasir! Ini sungguh tak lazim.

Merasa terancam, Vi mengaktifkan kemampuan Angel Wings. Ia terbang menjauh dengan sayap ular-ular putihnya.

"Bagaimana bisa …."
 
Baru saja Vi berusaha memahami apa yang terjadi, semburan darah segar sudah segar keluar dari leher dan tangannya. Cakar beraliran listrik tegangan tinggi menabrak Vi dengan sangat keras.

Vi terpelanting ke tanah. Pandangannya menghitam untuk beberapa saat, seakan ada orang yang iseng memainkan saklar lampu.

"GRRYAAAHHH! WRRROAAAAHHH!"

Indera penglihatan Vi hanya bisa menangkap suara yang memudar. Semakin lama, suara raungan Wildan yang tersamar bunyi tautan halilintar semakin tak terdengar.

Mengerjap-ngerjaplah Vi. Yang bisa ia lihat hanyalah dan bayangan kabur lawannya yang sedang melakukan sesuatu pada dirinya.

Sakit luar biasa Vi rasakan. Terutama pada tangan dan lehernya. Yang kedua membuat Vi sulit bernapas. Sampai akhirnya Vi tak lagi merasakan sakit. Tubuhnya mati rasa. Segala koyakan, cabikan dan tusukan bertubi yang dilakukan Wildan pada tubuhnya sudah menjadi angin lalu. Vi lantas mempunyai firasat bahwa ia akan segera menemui sesuatu yang dibencinya.

Kematian.

Isi health bar Vi Talitha habis.

Merasa benci tak bisa lagi menghibur dirinya saat ini.

Yang ada hanya ketakutan.

Akhirnya berdamai dengan kematian, Vi meyakinkan diri bahwa semuanya akan baik-baik saja.

Meski ia tak tahu pasti.

Kematian hanyalah sekedar penutup babak lama kehidupan. Pembuka gerbang keabadian. Kau tak perlu takut atau membencinya, Vi.

Kau tak perlu.


[Hacking data ….]

 
Sosok bersayap hitam terlihat di bagian lain pantai. Tak seperti sebelumnya, kali ini ia memanggul sebuah sabit besar.

Dialah Kematian. Dan dia sudah mendapatkan apa yang dia cari.

Atau begitulah yang seharusnya.

Sampai ia mengetahui pendaran cahaya jiwa di tangannya berangsur menyerpih menjadi butiran-butiran cahaya halus yang diserap oleh 'dunia' tempat ia bertamu.

"…."

Sebuah gumaman terucap dari mulut sosok itu, memecah geming.

"Belum waktunya."

Keberadaan sosok itu kembali terhapus.


Distorsi IX
=Destruksi/Restorasi=

 
Hologram-hologram muncul di hadapan Wildan. Cahayanya terkesan lebih agung dari biasanya.

"Merepotkan. Berantakan sekali di sini!" seru sosok yang keluar dari dalam hologram.

Suara itu dikenali Wildan. Ternyata itu adalah kakek berambut putih yang ia lihat di Despera, Hewanurma!

Wajah kakek itu serius.

Ada apa sampai dia repot-repot menemui pemain secara langsung? Mungkin ini mengenai masalah virus. Kalau memang virus ini berbahaya, pastilah dia punya penjelasan yang bagus. Atau malah dia punya cara untuk memperbaikinya.

"Itu—Vakina!" Begitu Hewanurma melihat tubuh Vi yang tak karuan, sebuah bogem mentah mendarat sukses di kepala Wildan. Hewanurma geram, "Bocah bodoh! Seharusnya perawat ini yang menang. Bukan kamu!"

Tangan Hewanurma terlipat. Lantas ia lanjut berkomentar, "Ah, kau lebih mengenalnya dengan sebutan Vi. Nama Vakina itu terlalu innuendo, makanya diubah."

"Apa boleh buat. Kau sudah lihat pemenangnya di sini," jawab Wildan dingin. Ia yang sudah kelelahan merasa malas untuk membalas tindakan Hewanurma, apalagi untuk marah karena dipanggil 'bocah'.

"Dia masih bisa hidup, loh. Aku tahu kau punya rasa simpati. Asal kau melakukan sesuatu untukku," pancing Hewanurma.

"Apa … dia bisa hidup? Health bar-nya habis." tanya Wildan tercengung melihat tubuh Vi. "Tadi kau panggil dia apa? Vag—"

"Nah kan! Sudah kubilang itu innuendo!" Hewanurma kembali melancarkan serangan bogem mentah keduanya ke kepala Wildan. "Secara teknis memang jika health bar habis, nyawanya sudah hilang dari tubuhnya. Tapi masih ada yang bisa dilakukan."

"Aah! Aku tidak mengerti apa itu innuendo atau penjelasan teknismu itu! Sekarang beri tahu apa yang harus aku lakukan, Kek!" dongkol Wildan.

Membersihkan tenggorokan, Hewanurma memulai penjelasan, "Kau mungkin sudah tahu dari pelayanmu. Ada virus ganas yang menyerang database sistem turnamen Battle of Realms. Tidak—seharusnya ini rahasia, tapi virus itu bukan hanya menyerang turnamen ini, tetapi juga berpotensi mengancam seluruh Alforea jika tidak segera ditangani."

"Apa virus itu bisa dihancurkan? Kalau ada yang bisa kulawan, bilang saja. Aku ingin segera pulang ke Reverse."

"…."

"Atau … malah aku harus paksa kau memulangkanku dengan cara melawanmu, Kakek Hewanurma? Itu kalau kau bisa memulangkanku ke Reverse."

"Hmh … hahahaha. HAHAHA! Kau? Melawanku? Sudah lama aku tidak mendengar lelucon bagus seperti itu. Tidak—tidak—aku tidak bisa. Dan hentikan memanggilku aku kakek!"

Sama sekali Wildan tak menganggap itu lelucon. Hewanurma dapat menyadari dari tatapan matanya. Pemuda ini sangat bersungguh-sungguh.

"Biar kuberitahu, Wildan Hariz. Kau sudah menjadi bagian dari virus itu. Setiap tindakan yang kau lakukan itu meretas database perlahan-lahan. Apalagi, kau ini kuat untuk ukuran pemain yang belum istirahat sejak tadi."

Wildan melengos, "Aku tidak megerti yang kau bicarakan."

"Maka dari itu, aku ingin kau menghancurkan mutan-mutan virus yang akan jatuh dari retakan langit level ini sebentar lagi dan menyerap mereka." Hewanurma berseringai, "Kau yang virus akan memangsa sesama virus. Menarik, bukan? Kau menjadi bagian dari pemulihan sistem."

Kali ini dengan nada sedikit mengancam, Hewanurma melanjutkan, "Jujur saja, dengan sumber daya yang kumiliki sekarang, aku tidak dapat menghancurkanmu dan virus lainnya yang sudah menyebar. Sebagai gantinya, kalau menolak, kau akan kusegel di sini."

"Heh, mana mau aku disegel di tempat ini! Aku tidak tertarik memangsa virus! Aku ingin pulang, kau dengar? Apa itu tidak cukup jelas bagimu!?

"Tentu. Ini kedengaran tak masuk akal," Hewanurma berpaling. Ia menaruh satu lengan di belakang, sementara tangan kanannya ia gunakan untuk mengelus janggut. "Kau yang menginginkan kebebasan untuk pulang ke Reverse justru akan tersegel. Tidak ada lagi kebebasan untukmu. Kau lihat, aku sebenarnya tidak sedang memberimu pilihan di sini."

"…." Wildan tertegun. Ia kemudian merespon, "Setidaknya bisa kau pulihkan aku dulu. Dan pastikan dia hidup kembali." Tanpa menoleh, tangan Wildan menunjuk pada tubuh Vi.

"Hoo, kita sepakat, ya?"

Cahaya biru menyelimuti bagian tubuh Wildan yang terluka. Termasuk tangannya yang telah putus. Usai cahaya tersebut berpendar, bagian tubuh Wildan kembali lengkap.

"Jangan segan. Mengamuklah sesukamu. Kerusakan lingkungan bisa kupulihkan dengan mudah. Semudah melahap kue pie. Selama nyawa Vak—maksudku Vi masih berupa data, dia pun bisa kupulihkan."

"Tak perlu kau beritahu pun aku tak akan segan," ujar Wildan ketus.

"Oh ya, gunakanlah Zirah Sammeriil. Cuma itu barang yang bisa kupulihkan dari inventory-mu saat ini." Hewanurma melemparkan sebuah chip yang meresap ke tubuh Wildan. "Itu akan membuatmu sedikit lebih kuat."

Hologram-hologram kembali muncul, Hewanurma kembali ke dalamnya setelah melepaskan gelombang energi berwarna hijau ke langit. Ia memutar pergelangan tangannya seakan membuka kunci.

"Silakan mulai," ujarnya dari balik hologram.

Seperti 'ramalan' Hewanurma. Langit runtuh. Satu demi satu mutan manifestasi data yang terjangkit virus berjatuhan ke air laut dan tanah pantai.

"Zirah Sammeriil …."

Zirah Sammeriil aktif. Tubuh Wildan dihinggapi baju zirah lengkap yang melindungi bagian tangan, bahu, badan dan kaki. Tak lupa dengan jubah berkibar di punggung. Pedang besar dibawanya. Untung Wildan pernah berlatih menggunakan pedang. Jadi bisa dipastikan benda itu akan sangat berguna.

Kaki Wildan yang tebalut boot semakin terbenam di antara pasir, tanda beratnya Zirah Sammeriil termasuk pedangnya. Wildan sendiri tak merasa begitu. Ia merasa ringan.

Luapan energi membahana dari dalam tubuh Wildan. Ia belum pernah merasakan kekuatan seperti ini.

'Sedikit lebih kuat'? Kakek itu pasti bercanda.

Satu per satu mutan yang tak mendapat luka berarti dari jatuhnya mengamuk ke segala arah. Mereka membabi buta. Pohon, pasir, batu, air, apapun mereka serang. Bahkan sesama mutan.

Delapan mutan dengan gesit melonjak-lonjak ke arah Wildan. Gerakan mereka kacau. Namun Wildan tetap tenang. Gelombang listrik hitam mengiringinya. Ia mengangkat pedang besar di tangannya, kemudian dengan mudah mengayunkannya.

"GRRRAAAAAAHH!"


[Restoring data ….]


"Pada akhirnya semua berjalan sedikit lebih lancar walau tanpa Vakina," gumam Hewanurma saat menatap layar hologram di depannya. "Tapi jangan dendam, ya. Kau tetap akan kusegel untuk sementara." Jarinya menutup jendela hologram yang menampilkan lembar data seorang pemain dengan nama Wildan Hariz.

Suara kotak plastik yang jatuh dari sudut meja membuat Hewanurma merasakan keberadaan sosok lain di ruangannya, "Kemarilah, siapapun kau. Lain kali ketuk pintu dulu, tidak sopan." Ia lantas setengah berbalik.

Hewanurma mengernyitkan dahi. Sosok putih itu perlahan terlihat jelas olehnya. Rambut, mata, kulit, semuanya berwarna putih. Kalau saja tak ada garis kontur berwarna kelabu padanya, pastilah sulit bagi Hewanurma membedakan sosok itu dengan sekadar pendaran cahaya berpostur orang dewasa.

"Lamiel, ya? Kalau kau mau menggangguku dengan leluconmu, ini bukan waktu yang tepat. Mood-ku sedang buruk."

"Hae Mas, memangnya kapan mood-mu baik? Mood-mu selalu buruk," jawab sosok bernama Lamiel. Mata Hewanurma hanya bisa melotot mendengar ejekannya.

Lamiel melanjutkan, "Begini-begini, aku tidak ke sini untuk main-main. Nih."

Sebuah foto hologram ia sodorkan ke hadapan Hewanurma.

"Ini—"

"Ya. Ini foto yang diambil di benteng tanpa nama itu. Tentu kau tidak asing dengan orang berkacamata hitam itu."

Foto hologram menunjukkan seorang laki-laki mencurigakan yang mengenakan kacamata hitam. Di tangannya ada sekaleng minuman bertuliskan "WJK".

"Dimdim."

"Tepat sekali."

Terpasang ekspresi tertarik dari wajah Hewanurma. Dielusnya jenggot putih miliknya.

"Kembaranmu, kan?"

"Kenapa kau tidak bilang klon saja?" sindir Lamiel.

"Karena klon biasanya punya kelainan emosi jika disebut klon."

"Hmh, sayangnya itu tidak berlaku padaku."

Hewanurma mengambil sencangkir kopi dari mejanya, kemudian meminumnya. Ia tahu betul bagaimana karakteristik klon secara umum. Tak perlu heran jika ada klon dengan anomali seperti Lamiel ini.

"Ada yang lain?" tanya Hewanurma, pantatnya ia dudukan pada meja kerjanya dengan santai. Sorot matanya seakan menyampaikan niat mengusir Lamiel jika tak ada lagi hal penting yang bisa ia laporkan. "Ngomong-ngomong, Vakina-mu tidak berfungsi dengan baik."

"Hah, Hewanurma klasik. Tanpa banyak basa-basi, eh? Namanya sekarang Vi Talitha, loh. Daripada itu, ada sedikit pesan komentar dari Tamon Ruu mengenai hal ini. Dia sudah tahu."

"Kau menghubungi Tamon Ruu? Bagaimana … ?"

"Hehe, ayolah. Jangan gusar karena hal sepele, Kakek Nurma. Tamon Ruu bilang kalau kemunculan Dimdim itu sudah bagian dari rencananya. Ia sudah memperkirakannya."

"…. Ck, dasar. Hal sepenting itu tidak dia beritahu padaku. Lihat saja, kumarahi dia habis-habisan kalau sudah tiba di sini."

Tangan Lamiel sedikit terangkat. Hologram menyelimutinya sebelum tiba-tiba muncul satu cangkir kopi, persis dengan yang dipegang Hewanurma saat ini. Lamiel menyodorkan cangkir kopi miliknya ke depan.

"Tenang saja. Wanita seksi itu bilang akan segera kembali, kok."

"Kita tunggu saja kalau begitu."

Obrolan itu berakhir dengan dentingan cangkir. Keduanya bersulang.


[Restoring data ….]


Distorsi X
=Vigil=


Cahaya hangat perlahan masuk ke dalam kelopak mata Wildan. Tubuhnya terbaring lemas di ranjang sebuah kamar yang tertata bagai kamar rumah sakit.

Atau memang itu kamar rumah sakit.

Hal pertama yang ia periksa saat mulai siuman adalah tangan kirinya. Tampak batu hijau masih rusak. Semua yang ia alami di pulau itu bukan mimpi.

Bunyi semilir angin sejuk yang menerpa gorden mengalihkan pandangan Wildan dari tangannya. Menolehlah ia ke kanan. Ia tersenyum.

Dilihatnya Mao dan Alva di balkon kamar. Mao terlihat duduk santai menikmati angin. Sementara Alva sepertinya baru sampai ke balkon, mungkin ia tadi terbang berkeliling entah kemana. Ia bertengger pada pagar balkon.

"Ah, sudah bangun rupanya."

Suara itu mengalihkan Wildan. Ia lantas mencoba membangunkan tubuhnya sedikit. Seorang perawat berambut cokelat cerah bangkit dari sebuah kursi. Perban mengikat kedua lengannya. Sepertinya ia menunggu di sana sedari tadi, ditemani sebuah headphone yang melingkar di leher.

Mata merah berkantung sang perawat memandang Wildan. Pandangannya dibalas Wildan dengan tatapan kikuk, seolah ia merasa terjadi kejanggalan pada penampilan sang perawat.

Janggal, namun tidak termasuk kantung matanya yang menjadi ciri bahwa ia sama sekali belum tidur semalaman.

"Hm? Kau pasti heran kenapa aku memakai headphone, ya? Sebenarnya perawat tidak diperbolehkan mendengarkan musik saat bekerja, tapi karena bosan jadi kugunakan saja, hihi."

Wildan merasa wajah perawat itu begitu familier.

"Perkenalkan. Aku Vi Talitha. Bagaimana keadaanmu?"

Tanpa terasa, sebuah senyuman tersungging di wajah Wildan. Memori pertarungan dengan Vi begitu jelas terpatri di benak Wildan. Perubahan bentuk tubuh tak terlalu berpengaruh baginya. Ia betul-betul jelas mengingatnya.

Bagaimanapun, dilihat dari reaksinya, hal yang sama tidak berlaku bagi perawat itu.

Vi tak mengingatnya.

"Aku baik-baik saja."

Wildan menjawab dengan lemas. Setidaknya, ini merupakan akhir yang ia harapkan terjadi pada saat ini juga.


[Saving data ….]


[Skill unlocked: Sammeriil's Armor (details will be presented further at the comment section of Wildan's char sheet)]

{End Note: The last four sketchy images appeared in this entry are my original works. The image on [Core Level] is the exact image posted by Erza Suryanda on Battle of Realms OC Tournament group. Its source is unknown at the moment. The other two which appeared on [Level I] and [Level II] are made on character generators customized by me. Lastly, thanks a bunch for reading!}

2015-08-07 23:27 GMT+07:00 Wildan Hariz <wildanhariz27@gmail.com>:
Wildan HarizNot Even If Death Were Good
Penulis: Wildan Hariz

Distorsi I
=Menghindari Kematian=


Sudah bukan rahasia lagi bagi para Florian warrior bahwa masing-masing dari mereka mengemban unsur-unsur tertentu sebagai kekuatan utama. Semuanya adalah anugerah mesterius yang diberikan kedua semesta Reverse dan Earth.

Tidak banyak yang para warrior ketahui tentang kekuatan mereka sendiri. Adalah Lord Valefor, makhluk magis yang terkenal dengan kebijaksanaan dan ilmu pengetahuannya di jagat Reverse, yang justru tahu lebih banyak tentang kekuatan para warrior. Atas pilihan Lord Valefor pula-lah sembilan Florian warrior dapat terkumpul.

Dan secara tipikal—sebagai 'makhluk bijak', Lord Valefor selalu sibuk dengan berbagai macam urusan. Sehingga, tidak banyak waktu bagi Lord Valefor untuk berbagi informasi lebih banyak dengan para Florian warrior mengenai kemampuan mereka.

Terakhir mereka berkomunikasi hanyalah melalui surat yang dikirim Lord Valefor, dengan bukti insignia resminya yang berbentuk cakar bercahaya. Ini pun hanya komunikasi satu arah.

Beragam pendapat muncul mengenai asal-muasal kekuatan yang dimiliki para Florian warrior. Beberapa penduduk Reverse memercayai bahwa kekuatan mereka adalah kekuatan khusus yang diberikan oleh dewa. Sementara kebanyakan penduduk Earth lebih tak acuh— atau malah tidak sadar akan keberadaan kekuatan itu.

Jangankan para penduduk, Lord Valefor pun tak tahu pasti.

Mengesampingkan kemisteriusan kekuatan para warrior, Lord Valefor percaya bahwa darimanapun kekuatan itu berasal, kekuatan itu idealnya digunakan untuk melindungi Reverse maupun Earth.

Di antara para Florian warrior, kekuatan yang ada beraneka ragam. Ada yang dapat menggunakannya sejak masih bayi, kanak-kanak, remaja, sampai dewasa. Semuanya dengan tingkatan dan fungsi berbeda.

Sekuat apapun mereka, toh para Florian warrior masihlah makhluk fana. Mereka tak terhindar dari kematian.

Melawan milyaran dark fiend yang sudah menguasai sebagian besar Reverse pastinya bukan hal mudah bagi mereka. Bahkan, telah terdengar bahwa para dark fiend dari Reverse mulai berusaha menembus pertahanan dimensi Earth.

Bisa dibayangkan seberapa tak seimbangnya sembilan Florian warrior yang dipilih Lord Valefor menghadapi para dark fiend yang jumlahnya semakin hari semakin membludak.

Dengan tanggungjawab itu, tak banyak pilihan bagi Florian warrior saat bahaya mengancam kedamaian tempat tinggal mereka.

Menyelamatkan Reverse.

Menyelamatkan Earth.

Dan pada saat yang sama ….

Menyelamatkan diri dari kematian.


[Loading data ….]


Distorsi II
=Reverse Utara=


Airship ini mengarah ke bagian utara Reverse. Sesuai namanya, bentuk airship menyerupai kapal. Namun alih-alih di laut, kapal ini dapat 'berlayar' di udara. Bagian utara Reverse adalah tempat para dark fiend mengacau dan memporakporandakan pemukiman damai.

Menggunakan airship inilah para Florian warrior menjelajah Reverse. Di salah satu kabinnya terdapat ruang bersantai. Dua orang warrior duduk-duduk di tengah ruangan. Tatapan keduanya serius. Sesama pemuda, mereka mencoba membunuh kebosanan dengan membuat semacam permainan.

"Aw!"

Bagian atas kepala seorang pemuda gondrong dipukul oleh sebuah tangan mesin.

"Ayo. Sekarang mau suit atau panco?"

Pemuda yang dipukul tadi menjawab, "Panco!"

"Yang kalah kena jitak lagi, ya?"

"Siapa takut!"

Kedua pemuda itu duduk berhadapan, dipisahkan sebuah meja bundar. Pemuda sebelah kiri berambut cokelat tua dan bertelanjang dada. Pemuda sebelah kanan terlihat lebih modern dengan tangan mesin. Penampilannya lebih seperti robot dibanding manusia.

Sudah 20 menit mereka duduk di situ. Sudah berkali-kali pula keduanya bertukar giliran menjitak kepala masing-masing, meskipun yang lebih sering memenangkan giliran adalah pria bertangan mesin.

Bunyi langkah kaki cepat terdengar memasuki ruangan.

"Nyahahahah~ sepertinya menarik sekali! Boleh aku ikutan?"

Seorang gadis berambut pirang panjang dengan tawa yang khas masuk begitu saja ke ruangan. Perangainya sangat santai dan ceria.

"Kau mau ikut main begituan? Yang benar saja, Orchid. Aku sih mana mau main permainan konyol seperti itu," kata seorang pemuda lain. Ia tahu-tahu sudah menyandarkan lengannya pada kusen pintu kabin.

"Ja-Jangan! Gue nggak mau mukul Kak Orchid," larang pemuda bertangan mesin.

"Dan ini bukan permainan konyol, Gee! Ini permainan jantan!" protes pemuda berambut cokelat.

Pemuda yang dipanggil Gee mendengus, "Huh. Tidak ada yang bermarwah dari permainan macam itu, tahu."
"Nyahaha! Pokoknya aku mau ikutan! Sekarang giliran siapa? Kyle? Atau Wildan?"

"Ada apa ribut-ribut begini?" tanya seorang gadis berambut perak. Ia datang bersama beberapa orang lagi yang menyambangi kabin. Mereka langsung masuk ke sana dengan santai, seolah itu adalah rumah mereka.

"… jadi kalau kita bisa menghalau dark fiend di utara, pergerakan mereka akan …." Seorang pria berambut hitam dengan mata emas sedang asyik berbicara dengan Jessica Legrand, sang alchemist pendamping para warrior. Jessica hanya bisa manggut-manggut tanda setuju dengan pria itu.

Di belakangnya ada seorang laki-laki berkacamata hitam. Sebuah katana menggantung di pinggangnya. Ia tak banyak bicara. Gelagatnya tak terlalu peduli dengan segala yang terjadi di sekitarnya.

"Nah, Hart! Kau datang juga! Ayo kita latih tanding! Pedangmu atau sabitku yang lebih kuat," pemuda berambut gondrong bangkit dari tempat duduk. "Kau bisa pakai dua pedang kalau takut kalah," tambahnya.

"…."

"Hei! Ayo!"

"Buang-buang waktu saja." Si kacamata hitam yang awalnya enggan menjawab itu berujar dingin. Lagipula, ini katana, bukan sekedar pedang, gerutunya dalam hati.

"Apa kau bilang!?" Ajakannya ditolak, pemuda gondrong naik pitam.

Si tangan mesin protes, "Heh, kita belum selesai, Wil! Mau lari, ya?" Ia pun sama-sama bangkit dari tempat duduk.

Gadis pirang bernama Orchid menimpali, "Haa~ Kyle, kau kan masih punya aku~ Mending kita main tembak-tembakan, kita kan sama-sama pakai mesin. Aku baru datang dan bosan dan ingin main, ayoayoayoayo~ Nyahahahahah~" Orchid menggamit tangan mesin Kyle.

"E … euh …. Nggak mau! Gaby, tolong lakukan sesuatu sama Kak Orchid ini, dong …."

"Hah …" Gabyola Crescent, si gadis rambut perak hanya bisa mendengus. Ia berjalan ke arah lemari berlaci di ruangan itu.

"Dark, biasanya semuanya nurut sama Dark, kan— ah, dia sedang asyik ngobrol sama si Jess." Bola mata Gaby beralih pada pemuda yang bersender di gawang pintu. "Gee Gee, kau saja."

"Aku? Merepotkaaan …," keluh Gee Gee.

"Nyahahah~" Orchid malah tertawa.

Pemuda gondrong menyilangkan lengan ke belakang kepalanya. "Hah, aku lebih baik main di luar saja kalau begini."

"Yah, main sesekali tidak apa-apa sih. T-Tapi setidaknya pakailah pakaian yang layak, Wil!" Gaby melempar kaus ke wajah pemuda telanjang data itu. Wajahnya sedikit berona merah.

"Haha, jangan-jangan telanjang dada adalah fetish-mu ya, Gab?" goda Gee Gee.

"Fe-Fetish!?" Gaby terbelalak.

"Fetish itu apa?" tanya pemuda gondrong sembari garuk-garuk kepala.

"Nyahahahahah~ ada yang Gaby sukai ya? Siapaa? Siapaa? Pasti si pelat—"

Sebelum bicara lebih jauh, Gaby sudah membungkam mulut Orchid. Tapi Orchid tak tinggal diam, ia berontak dan berhasil membuka mulut lagi, "Yang—sama-sama warna rambutny— wewak …"

Gaby sukses menyumpal mulut Orchid … dengan kaus yang ia ambil dari laci.

Gee Gee hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala berambut pirangnya. Ia lantas menyadari hilangnya satu orang, "Loh? Mana Wildan, Kyle?"

"Mana gue tau. Gue bukan bapaknya," ujar Kyle bermengkal sambil menyilangkan tangan mesinnya.

"Paling kabur ke luar. Si Wildan emang nggak bisa diem, sih," komentar Gaby sambil menahan Orchid yang ingin kabur juga.


[Loading data ….]


Distorsi III
=Pemanasan=


Di luar, tepatnya di geladak atas airship, Jessica dan Dark si mata emas tengah menghalau para dark fiend yang beterbangan. Mereka mencegat airship. Jessica dan Dark menoleh saat langkah kaki pemuda berambut gondrong memijak lantai geladak.

"Wil! Bisa tolong bantu urus ini?" tanya Dark sambil mengeluarkan bola energi dari telapak tangannya. "Fayth Prominence!"

Bola energi tersebut memanjang ke hadapan Dark. Arahnya dapat digeser sehingga mengenai sayap-sayap besi dark fiend berjenis penerbang itu. Jejak berupa kabut terlihat setelah pancaran energi selesai.

Satu persatu dark fiend kehilangan kemampuan terbangnya. Baik itu karena luka di sayap, maupun luka besar menganga pada anggota tubuh mereka yang lain.

Si pemuda gondrong berseringai, "Wah wah. Kukira sedang apa, ternyata kalian berpesta tanpaku. Dengan senang hati akan kubantu."

Wildan Hariz—si pemuda berambut gondrong itu, lantas meraba-raba udara dekat punggungnya sendiri. Ia lupa kalau sabit peraknya tertinggal di kabin. Satu-satunya senjata yang ada sekarang hanya sarung tangan cakar yang menggantung di ikat pinggangnya.

Sarung tangan itu ia pakai kemudian kencangkan, "Hm? Pakai ini juga tidak apa-apa, deh."

"Hati-hati, Wil. Ini bukan main-main. Dark fiend di utara berbeda dengan yang pernah kita lawan." Jessica meningatkan. Ia tetap menjaga jarak dengan dark fiend sampai siap melakukan serangan.

Sebuah staff dengan ujung gelas berisi alkimia diangkat Jessica tinggi-tinggi. "Matchbook Morrowlight!" Cahaya spiral biru menyentuh lima dark fiend sekaligus. Dengan sekejap tubuh mereka meledak, kemudian dimakan cahaya spiral.

"Dan satu lagi, Wil. Pastikan kali ini listrikmu menjatuhkan lebih dari satu." Dark menimpali. Ia pun sibuk menendang moncong dark fiend yang mendekati kepalanya.

"Ahahaha. Kau bisa saja, Dark. Itu kenangan buruk."

Usai mengatakan itu Wildan langsung melompat, menerjang sekawanan dark fiend. Gerakannya cepat seperti biasa. Dengan listrik yang mengaliri cakarnya, Wildan hinggap dan menembus tengkorak tiga dark fiend secara berurutan. Jejak aliran listrik dapat terlihat di udara.

Dua dark fiend lainnya berniat menabrakan sayap besinya ke tubuh Wildan. Namun Wildan sudah siap. Ia menyilangkan tangan ke depan tubuh. Sayap besi dark fiend pertama tertangkis, lalu saat tubuh Wildan hampir jatuh, ia memanfaatkan permukaan sayap dark fiend pertama untuk memelantingkan tubuhnya.

Sebuah tendangan sukses menghantam rahang dark fiend kedua yang bahkan belum sempat melancarkan serangan. Tubuh Wildan melesat jatuh karena gravitasi, tepat sasarannya adalah dark fiend pertama. Cakar berlistrik Wildan mencengkeram bagian atas kepalanya, kemudian ia hantamkan itu pada lantai geladak.

"Lumayan …" ujar Dark.

"Ya, ini peningkatan." Jessica ikut mengomentari di samping Dark.

"Lumayan merusak …. Lihat lantainya," jelas Dark.

Tersisa belasan dark fiend di geladak. Empat di dekat Wildan, sisanya di dekat pintu masuk ke dalam airship jauh dan agak jauh di depan.

Wildan menengadah. Kakinya sudah siap menolak lantai, lengkap dihiasi listriknya. Tetapi, munculnya banyak ledakan di tubuh keempat dark fiend menghentikan tindakan Wildan.

Jessica tahu siapa yang pelaku ledakan itu, "Ng? Itu … Sin dan Sakura!"

"Bidikan bagus, Sin!" seru Wildan.

"Maaf mengganggu. Kau tak keberatan, kan?" respon sebuah suara.

Proteclo dan Savior adalah nama dua senjata yang baru saja memuntahkan pelurunya. Keduanya dipegang secara mantap oleh pemuda bernama Sin. Matanya sayu, menunjukkan kebosanan. Di sampingnya berdiri seorang gadis bertubuh mungil yang memegang kartu-kartu sebagai senjata.

"Hm, Dark, kenapa sih kita harus bertarung dengan makhluk-makhluk ini? Bukannya ini harusnya hari pertama latihan dengan pelatih kita masing-masing, ya?" tanya Sin.

"Yah, membasmi dark fiend juga sudah kewajiban kita. Jangan banyak protes, lah."

"Iya iya. Haah … merepotkan saja. Aku ingin pulang."

Sakura pun angkat bicara, "Tapi ini juga sekaligus hari terakhir kita bersembilan bisa kumpul sama-sama, kan? Pasti akan sepi kalau semuanya sudah mulai latihan masing-masing."

Seekor dark fiend berukuran besar menghampiri Sin dan Sakura. Sakura menyiapkan sebuah kartu emas dengan judul "Time Bomb" di atasnya. Setiap kartu Sakura terlihat ringan namun tajam, seolah-olah jika salah memegangnya mungkin sang pemegang akan terluka di tangannya.

Dilemparnya kartu itu. Melayang dan sampai tepat salah satu bagian tubuh dark fiend besar. Bersamaan dengan itu, keluar cahaya menyilaukan dari kartunya. Hampir seluruh geladak diselimuti cahaya putih selama tiga detik.

Waktu sesingkat itu cukup bagi Sakura untuk melancarkan serangan selanjutnya. Ia berseru, "Detonate!"

Sehelai kartu perak melayang secara vertikal ke atas, diiringi sebuah gelombang kejut berwarna senada. Gerakan dark fiend besar bersama dengan kawanannya yang lebih kecil melambat. Saat itulah teriakan keras menggema di geladak.

"MIGHTY—ROCKET— SWING—PUNCH!"

"Berisik, Kyle. Berisik," komentar Wildan saat mendengarnya. Tahu-tahu pemuda gondrong itu melancarkan sikut ke salah satu fiend di sana. Dilanjutkan dengan tendangan berputar menyamping pada fiend lain. Terakhir, cakarnya ia gunakan untuk mencengkeram leher dark fiend itu dan melemparkannya pada dark fiend besar.

Pemilik suara tadi adalah Kyle. Tangan mesinya menimbulkan dentingan-dentingan keras saat menabrak badan para dark fiend kecil. Tenaga pendorong pada tangannya membuat Kyle melesat cepat.

Mungkin sudah nalurinya untuk menyerang ketika melihat dark fiend. Padahal tadinya ia masih berdiri dekat pintu penghubung geladak. Sekarang ia sudah lincah meloncat-loncat, memukuli para fiend.

Dentuman bunyi tembakan terdengar berkali-kali. Sin juga tak mau ketinggalan. "Cih, kalian berdua berisik," ujarnya.

Memang tidak semua bidikannya tepat mengenai dark fiend kecil. Mungkin karena hati-hati, agar tidak mengenai dua temannya. Namun dark fiend besar menjadi sasaran empuk baginya. Raungan keras keluar dari makhluk besar itu.

"Dan mengganggu," lanjut Sin. Ia berhenti menembak.

Semua dark fiend yang gerakannya melambat lantas ambruk. Bunyi bedebam lebih keras malah diakibatkan oleh pendaratan fantastis Kyle yang menghantamkan tinju mesinnya pada dark fiend besar, mengakhiri segala kekacauan. Retakan parah timbul di lantai geladak sebagai akibatnya.

"Gue nggak akan kalah," ujar Kyle bangkit. Kepalan tangan mesinnya beradu.

"Kau juga merusak, Kyle …," omel Dark. Pria yang hanya menonton itu kini berkacak pinggang, "Bisakah kalian berdua bertarung dengan lebih tenang tanpa merusak yang tidak perlu?"

"Betul itu. Kalau tidak, kalian pasti akan dimarahi seseorang," ujar Jessica sambil menunjuk ke retakan yang mereka buat.

Pandangan Jessica beralih. Ia memicingkan mata saat melihat dataran di hadapannya dari geladak airship itu. Ia tahu ini adalah tempat tujuan mereka. Kecepatan airship pun melambat

"Nah, sudah sampai. Para pelatih menunggu kalian. Sebaiknya kita segera turun," ujarnya.

Dark membuka pintu untuk turun ke geladak bawah, diikuti oleh Jessica yang masuk ke dalamnya. Wildan yang bermaksud ke sana berpapasan dengan Sin.

"Hei Sin, Proteclo dan Savior-mu itu kotor sekali," komentar Wildan sambil menunjuk pada dua senjata Sin. "Kau juga terlalu banyak menghabiskan peluru tadi. Tidak biasanya."

"Huh. Jadi kau lebih mengkhawatirkan peralatanku daripada nyawa teman-temanku?"

"Justru sebaliknya, kalau ada apa-apa dengan peralatanmu, kau tak akan bisa menyelamatkan temanmu di pertarungan-pertarungan berikutnya."

"Ah sudahlah, jangan cerewet. Kau mulai kedengaran seperti pelatihku, si nenek tua  berambut merah muda itu," jawab Sin yang melengos.

Wildan mengangkat bahunya. Sin, Sakura dan Kyle sudah berjalan duluan di depan untuk turun ke geladak bawah. Ia pun menyusul mereka.


[Loading data ….]


Distorsi IV
=Kilas Reuni=


Tarikan selimut dapat dirasakan Wildan di pagi hari ini. Pelakunya seperti biasa, Alva. Mao lagi-lagi sudah berada di sampingnya, meminta elusan manja.

"Selamat pagi, Mao, Alva," ujarnya menyapa kedua hewan itu.

"Selamat siang, Tuan Wildan."

Wildan terperanjat. Ia mendapati Kathrine sudah berada dekat tempat tidurnya.

Aneh … aku merasa pernah mengalami ini sebelumnya ….

"K-Kau … sejak kapan kau ada di situ!?"

"Sejak pagi … maksud saya, sejak tadi."

"…. Ada perlu apa? Eh? Ini sudah siang, ya? Ahahaha."

Apanya yang 'Ahahaha'? Kenapa aku bicara begini?

"Saya ke sini untuk memberitahu Anda bahwa keberangkatan menuju Sammeriil's Fortress akan dilakukan nanti malam. Anastasia yang akan memandu Anda," jelas Kathrine.

"Itu saja?" Wildan menguap. "Bagiku tidak masalah."

Loh? Bukannya aku sudah bertemu dengan Sammeriil di benteng itu? Ke-Kenapa ….

"… kalau begitu saya permisi dulu."

"Eh, Kat, ini berarti aku bebas sampai malam, kan?"

"Tentu, Tuan."

"Hm, bagus."

A-Apanya yang bagus?

Kathrine meninggalkan ruangan. Agak lama sebelum Wildan memutuskan untuk beranjak dari tempat tidur. Padahal ia biasanya langsung bangun dan berolahraga. Namun kali ini ia merasa malas meski efek lelah dari pertarungan sebelumnya sudah hilang, terima kasih pada beras listrik yang ia makan kemarin.

Menjelang siang, ia keluar penginapan. Tentu setelah meminta izin dahulu pada Anastasia yang duduk di balik counter resepsi. Pelayan itu bilang ada semacam kebun di belakang penginapan dengan kolam yang indah. Wildan pun tergugah untuk mengunjunginya.

"Hmm, penginapan memang menyenangkan. Tapi lama-lama bosan juga," gumam Wildan. Posisinya saat ini dengan badan terbalik. Kakinya disangkutkan pada dahan pohon. Segenggam apel segar ia santap, baru beberapa gigitan.

Alva tak terlihat. Elang itu sedang terbang berkeliling. Mao sedang meminum air jernih kolam yang sudah lebih dulu ia pakai merendamkan bulu-bulunya. Mungkin agak menjijikan jika dibayangkan. Meminum air bekas mandi sendiri? Ew. Namanya juga hewan.

Kepala Mao terangkat saat mendengar bunyi kecil dari suatu tempat di balik semak belukar. Wildan pun mendengarnya.

"Mao? Siapa di sana? Keluar!"

Seorang pemuda berjanggut menampakan diri dengan dua senjata menyerupai pistol bermata pisau terhunus. Ia berjalan santai dari balik pohon bersemak.

"Florian warrior of lightning. Ingat aku?" tanya pemuda bercelana khaki itu. Tatapannya mendelik tajam, seolah ia takkan segan menarik pelatuk senjatanya jika Wildan menawarkan jawaban yang salah.

"Kau kan—"

Sin.

Wildan kenal betul dengan orang ini. Sesama Florian warrior. Sin adalah Florian warrior of fire. Bagaimana bisa Sin ada di sini?

"Kau benar Sin, kan? Apa yang terjadi, Sin? Penampilanmu sedikit berubah."

Sin memejamkan mata sejenak, "Syukurlah. Sepertinya ingatanmu pun kembali." Pemuda itu menurunkan senjatanya, tak lagi mengancam.

"De-Dengar, Wil. Aku tidak punya waktu banyak untuk menjelaskan padamu. Tapi …" lanjut Sin, "butuh waktu bagiku untuk memahami semuanya—sebenarnya kita saat ini tidak ada di Earth maupun Reverse …. Kita harus cepat mencari yang lainnya dan pulang ke Reverse."

"Ya. Aku sudah tahu kok, dengan hal seperti itu," jawab Wildan tenang. "Aku juga tidak terlalu mengerti. Mereka bilang tempat ini bernama Alforea."

"Eh? Kau sudah tahu?"

"Bahkan, saat ini aku sedang menjalani turnamen Battle of Realms. Ada orang bernama Tamon Ruu yang jadi penyelenggaranya. Untuk bisa pulang, sepertinya dia tahu caranya," jawab Wildan polos.

"Tunggu! Battle of Realms kau bilang? Aku ada sedikit informasi tentang ini. Kabarnya—" Kepala Sin menoleh ke sana ke mari, memperhatikan sekitar.

"Kenapa?"

"Kau tidak sedang diikuti oleh siapa-siapa kan?"

"Tidak," Wildan pun menoleh ke belakang sejenak. "Kurasa tidak. Hanya aku, kau dan Mao di sini."

"Kau sedang mengikuti turnamen ini kan? Kau tidak lihat ada yang aneh?" tanya Sin setengah berbisik.

"Kalau hal aneh sih sudah kulihat banyak di sini … hahaha. Bagaimana denganmu? Apa kau melihat hal-hal aneh juga?"

"Yah, aku melihat—eh, maksudku, bukan waktunya untuk itu …. Sudah kubilang aku tidak punya banyak waktu. Kudengar, ada yang sedang mencoba meretas sistem turnamen dengan semacam virus." Ekspresi Sin berubah lebih serius.

"Virus? Yang menyebabkan orang sakit itu ya? Turnamen Battle of Realms bisa sakit?"

"Tidak tepat seperti itu … eh … yah tapi semacam itulah, pokoknya ada yang salah pada turnamen yang kau ikuti itu."

Wildan bergeming sejenak sebelum mengingat sesuatu, "Oh ya, aku sempat melihat orang yang mirip Gee Gee! Tapi dia tak mengenaliku. Aku juga tidak sempat bicara lagi dengannya karena kami sedang ada di tengah pertarungan telur kuda, waktu itu."

"Telur kuda? Kau ini bicara apa, sih …."

"Itu benar kok! Dan sebelum aku sempat bicara dengan Gee Gee, aku dan teman setimku sudah dipindahkan lagi ke tempat lain, ke penginapan yang ada di sekitar sini."

"Hm, Gee Gee, ya. Ini semakin membuktikan bahwa besar kemungkinan beberapa dari kita terlempar ke dimensi ini sejak pertarungan dengan Dragola warrior. Entah bagaimana caranya." Sin melihat ke arah jam tangannya. "Gawat. Sudah waktunya. Aku harus segera pergi."

"Mau ke mana, Sin?"

Ada beberapa barang yang Sin siapkan. Pemuda berjanggut dan berjambang itu sudah membeli alat-alat yang sekiranya ia butuhkan dari toko-toko di kota.

"Aku akan mencari petunjuk tentang yang lainnya," jawab Sin sambil mengangkat ransel. "Yah, tidak ada jaminan kita semua lengkap bersembilan, sih. Maaf aku tidak bisa bercerita lebih lanjut untuk saat ini. Kita juga mungkin tidak akan bisa berkabar karena aku tidak punya alat komunikasi. Kau punya?"

Wildan menggeleng, "P-Padahal kita baru saja bisa bertemu kembali, kan …."

"Hei sudahlah. Jangan murung begitu. Kemana senyum dewa-mu itu?"

Mendengar itu, Wildan tersenyum simpul. Adalah hal yang patut disyukuri ia dapat bertemu dengan sesama Florian warrior. Ia kemudian bertanya, "Tapi kapan kita bisa bertemu lagi?"

"Entahlah. Pokoknya, pasti ada sesuatu di Alforea ini," tukas Sin. "Jangan lengah."

Badan Sin berbalik. Ia melanjutkan langkahnya, tanpa basa basi lebih lanjut.
Namun pada suatu titik ia berhenti, mengatakan sesuatu sambil melambaikan tangan tanpa menoleh, "Aku mengandalkanmu di turnamen ini. Semoga beruntung. Sampai jumpa!"

"Heh, ya! Aku juga mengandalkamu untuk menemukan yang lain."

Senyum yang awalnya simpul lama-kelamaan melebar. Wildan melambaikan tangan, sebelum akhirnya membalikan badan, kembali ke tempat penginapan.


[Loading data ….]


Distorsi V
=Kenaifan=


Sin?

Sepintas, tak ada yang asing dengan Kathrine, pelayan yang sedang memandu Wildan menuju ronde kedua ini dengan tenang menyusuri lorong dimensi penghubung tempat-tempat di Alforea. Wildan pun hanya bisa mengikutinya dari belakang setelah sebelumnya melamun tentang para Florian warrior. Kedua sabitnya ia masukkan ke dalam inventory.

Aneka warna menghiasi dinding lorong. Warna-warna tersebut bergerak dengan cepat, tanda terjadinya distorsi ruang perpindahan jarak jauh.

Wildan pikir kemampuan para pelayan ini praktis sekali. Mungkin jika ia punya kemapuan seperti ini, ia dan para Florian warrior tidak harus repot-repot menggunakan airship untuk menjelajahi Reverse.

Sekian menit berlalu, baik Wildan maupun Kathrine sama sekali tak bertukar kata. Wildan sendiri memang sedang berpikir macam-macam. Bukan—bukan macam-macam dalam arti mesum. Mengenai Florian warrior, juga mengenai nasib para pemain di benteng tanpa nama, di ronde sebelumnya.

Sementara, Kathrine? Gadis berambut ikal sebahu seolah tak peduli apa-apa sejak kemenangan Wildan atas Nely di benteng tadi.

Bagaimanapun, ini sama sekali tak membuat Wildan nyaman. Ia bisa mulai mengantuk jika tidak ada obrolan. Tak tahan dengan nuansa kikuk di lorong itu, Wildan mencoba memecah keheningan.

"RNG, Tamon Ruu, Kakek Hewanurma. Yang mana yang akan kita temui sekarang?" tanya Wildan. Nadanya serius namun santai. Ia bahkan menyilangkan kedua tangannya di belakang kepala.

"Anda akan segera mengetahuinya," jawab Kathrine tanpa memalingkan wajah.

"Tidak sopan sekali jawabanmu. Tidak seperti biasanya. Jangan biarkan rasa penasaranku menggantung," omel Wildan. Ia sadar ada yang tidak beres dengan gadis berpakaian gothic lolita merah itu. "Seingatku bukan begini cara Kathrine memperlakukan peserta sebelum ronde satu."

Wildan melengos, namun tatapannya mendelik ke arah punggung Kathrine. Mulutnya mengucapkan kalimat penutup, "Kathrine yang dulu lebih sopan."

"…."

Di hadapannya, Kathrine hanya bergeming. Empat-lima langkah kemudian kakinya berhenti bergerak.

"Atau, sekarang Anda akan mengetahuinya," jawab Kathrine.

Kali ini ia berbalik cepat saat mengatakannya. Dua buah party popper ditodongkannya ke arah Wildan. Dari kedua benda itu muncul gelombang laser yang meluncur lurus ke arah Wildan.

Langkah kaki Wildan pun refleks berhenti. Namun berhenti saja tidak cukup untuk menghindari laser yang meluncur. Wildan merasa seperti terasuki sesuatu. Sejenak ada sengatan dahsyat yang melanda tubuhnya.

"Kau … RNG! Apa yang kau lakukan padaku!?"

Wajah Kathrine dilapisi retakan-retakan, yang kemudian jatuh seperti puing tembok. Itu sama sekali bukan Kathrine. Yang muncul di balik retakan itu adalah wajah makhluk yang disebut dengan RNG-sama. Sang pengatur kelompok di ronde sebelumnya.

"Coba tebak," seringai lebar muncul di wajah RNG. Wajahnya berbentuk lebih dewasa daripada sebelumnya. Tak ada lagi mulut sempit maupun mata pipih vertikal.

"Bukannya seharusnya tujuan kali ini adalah ke kota?" tanya Wildan. "Jangan main-main denganku, RNG!"

Wildan memunculkan layar inventory dari tangannya. Dengan cekatan ia memakai langsung sebuah sarung tangan cakar dengan cara menembuskan tangannya ke permukaan hologram. Seolah-olah itu bukan yang pertama kali baginya.

"Pertanyaanmu tak perlu kujawab. Kau terlalu polos untuk menyadari apa yang sedang terjadi pada Battle of Realms ini, Wildan Hariz. Kau sudah terjebak," ujar RNG.

"Heh, kau tidak bisa semudah itu menjebakku, RNG!" Wildan merangsek ke arah pelayan gadungan itu. Lehernya menjadi sasaran empuk tangan Wildan yang memakai sarung cakar. RNG tersudut ke dinding dimensi.

Dengan tangan kiri mengepal, Wildan siap melancarkan bogem mentah ke wajah RNG jika ia tak mendapat jawaban memuaskan mengenai apa yang terjadi saat ini.

Fakta bahwa RNG berwujud seorang perempuan tak membuatnya segan. Lawan bertarung yang ditemuinya akhir-akhir ini kebanyakan perempuan, lagipula.

"Kh … katakan itu pada dirimu sendiri," respon RNG tenang meski tercekik.

Dua buah ledakan hologram muncul dari tubuh Wildan. Pemuda gondrong yang kesakitan itu melepaskan cengkeramannya dari RNG.

Wujud Wildan berubah. Ia sekarang menjadi anak-anak dengan bentuk kepala, tangan, dan kaki yang besarnya tidak normal. Sarung tangan cakarnya ditarik kembali oleh sistem inventory.

"A-Apa … tangan dan kaki macam apa ini!?" Bahkan suaranya pun berubah seperti anak sembilan tahun.

"Ha, lihat dirimu. Kau seperti detektif cilik yang terkena toksin bodoh," ejek RNG. "Ah, aku harus berhenti menggunakan lelucon macam ini kalau tidak mau kena pelanggaran hak cipta."

RNG lantas bergeming sejenak. Sial, dia lucu juga dalam bentuk chibi, batin RNG. "Ah, hak cipta? Apa yang kubicarakan? YOLO! Aku cabut dulu, ya~"

"Hei! Tunggu! RNG brengsek!" Mata Wildan menguning. Aliran listrik tersendat. Karena perubahan itu ia tak bisa mengendalikan listriknya dengan bebas. "Kau mau meninggalkanku di sini!?"

Sial, suara marahnya membuatnya makin lucu! Lagi-lagi RNG membatin. Ia kemudian berujar, "Ehm, tentu tidak. Aku akan mengirimmu ke database level I." RNG menjentik jari. Sebuah lubang lonjong berbentuk angka nol muncul di permukaan tempat Wildan berpijak. "Bersenang-senanglah di sana, ya~"

"Aaaaaaaaahhh!"


[Loading data ….]


Distorsi VI
=Wild Ride=

[Level I]


Aliran listrik dalam tubuhnya masih membuat mata Wildan berwarna kuning. Anak matanya berubah lancip. Giginya menjadi lebih tajam seperti gigi hiu. Tubuhnya mendarat di atas gundukan pasir yang empuk. Matahari senja menyinarinya. Kotak pasir itu adalah mainan umum di sebuah taman. Pemandangan yang dilihatnya sekarang tak ubahnya seperti dunia anak-anak.

Banyak anak-anak berkelahi, bermain jungkat-jungkit, seluncuran, sepak bola. Sebagian kecil lainnya hanya duduk-duduk pada tikar seakan sedang bertamasya.

"Uhuk … uhuk …. Sekarang apa?" tanya Wildan seraya melihat sekitar. "Apa ini tempat ronde selanjutnya? Tapi tubuh ini …."

Seorang anak menatap Wildan dari kejauhan. Tubuhnya gemuk. Pakaiannya yang berwarna oranye sangat mencolok. Ia kemudian menghampiri Wildan dari belakang.

"Hei." Jari anak itu menggamit pundak Wildan.

Bahu Wildan naik sedikit karena terkaget sebelum menoleh.

"Kau tak seharusnya berada di sini," ujar anak itu.

"Ha? Kenapa?"

Pipi sang anak laki-laki bergerak seiring mulutnya. Tatapan matanya kosong. Wildan hampir tidak merasakan tanda-tanda kehidupan dari bocah itu. Namun bocah itu terlihat yakin dengan kata-katanya.

Dan yang paling mengherankan - Wildan baru menyadarinya - semua anak di sana memiliki ukuran kepala, tangan dan kaki besar tidak normal. Sama seperti Wildan.

"Cepat pergi dari sini! Aku tidak lihat daftar namamu di tempat ini. Salah-salah kau bisa terluka, loh." Sebuah pizza berukuran dua kali tubuh anak gemuk itu muncul di udara. Anak itu mengangkat kedua tangannya untuk menyangga, namun tak mengenai pizzanya.

"Wow."

"Bukan saatnya kagum, Wildan Hariz …." Anak gemuk itu mengingatkan.

"Di situh rupanya kau, Pitta Junior! Sinih hadepin Ujang!" ujar seorang anak dengan kaus oblong putih tak jauh dari situ.

"Eh, kau tahu namaku? Apa dari daftar nama? Dan kenapa dengan anak itu!?" tanya Wildan berangsur panik.

Bocah gemuk menunjuk ke atas kepala Wildan, "Itu. Tak ada Wildan Hariz dalam daftar nama untuk tempat ini." Jarinya kali ini menunjuk ke sebuah benteng-bentengan. "Berlindunglah ke arah sana. Dia lawanku, berdasarkan daftar, sih."

Ada sebuah batang horizontal aneh berwarna biru melayang di atas kepala Wildan, lengkap dengan namanya sendiri. Hal yang sama juga dapat ditemukan Wildan saat melihat ke atas bocah gemuk itu. Sebelumnya ia tak dapat melihatnya karena tertutup pizza.

[Tuan Wildan Hariz, pergilah ke arah benteng-bentengan. Cepat!]

Suara aneh menggema di kepala Wildan. Sepertinya itu suara Kathrine. Tapi ia tak dapat menemukannya di mana pun.

"Te-Terima kasih, Pitta. Aku pergi dulu."

"Pittttaaaaaaaa!" Si bocah kaus putih menghunuskan sebuah golok. Ini jelas-jelas tidak aman untuk dimainkan anak-anak. Janggalnya, tak ada satu pun orangtua di taman itu.

"Maaf, tapi aku lebih suka dipanggil Fapi."

Wildan berlari tanpa menoleh ke belakang. Arah larinya tepat lurus menuju sebuah portal yang muncul sebelum benteng-bentengan. Wildan tak tahu portal itu menuju ke mana. Tapi ia pikir perkataan si bocah gemuk ada benarnya. Ia tak seharusnya berada di sini.

Di sudut mata, ia dapat melihat ada dua anak lagi yang bertarung, tapi anak-anak lain seakan tak menghiraukan kejadian tersebut.

[Tenanglah Tuan Wildan, kami akan memandu Anda ke alamat level database yang tepat.]

Suara itu terdengar lagi.

Cairan merah mengacapi kaki Wildan. Di dalam portal itu mendadak banjir. Wildan mencoba berontak, tapi sama sekali kakinya tak dapat ia gerakan. Seolah ada lem yang merekat pada kakinya. Lama kelamaan  volume air semakin meninggi. Atas, ke atas, terus sampai akhirnya meneggelamkan Wildan seluruhnya.

[Level II]

"Aaaaahh! Waaaaaahhh!"

Lagi-lagi Wildan berteriak sekenanya. Kakinya masih menempel pada sebuah permukaan. Namun yang membuatnya berteriak adalah kecepatan tinggi permukaan yang melesat. Sehingga, yang bisa dilihat di kiri-kanan Wildan hanyalah kedua dinding dimensi yang bergerak cepat.

Kecepatan berangsur melambat. Wildan dapat melepas telapak kakinya dari permukaan. Tapi ia terkejut bukan main saat mencoba melangkah dan melihat kakinya.

Kakinya seperti orang yang telah diamputasi.

"Kakiku manaaaaaa!?"

Permukaan yang dipijak Wildan dengan 'kaki baru'-nya berwarna hitam pekat. Sewarna dengan dinding sekitarnya, entah berapa luas. Terdapat bangunan warna merah, kuning, oranye, biru, dan warna lainnya, yang didirikan baik vertikal maupun horizontal.

Lagi-lagi Wildan melihat anak kecil. Kali ini tubuhnya terdiri dari kotak-kotak kecil aneh. Rambutnya biru muda panjang—terlihat dari lebih banyaknya kotak di bagian punggungnya. Matanya juga sewarna dengan rambut. Ia mengenakan baju cokelat.

Sementara, Wildan sendiri berpenampilan tidak jauh berbeda dengan anak itu. Mereka berdua sama-sama terdiri dari kotak-kotak kecil. Namun kali ini mata Wildan sudah berubah menjadi cokelat kembali. Tak ada aliran listrik yang memancar.

Sadar sedang dilihat, anak kecil itu menoleh dan bertanya pada Wildan, "Kau tersesat?"

"Ah … i-iya, meskipun aku yang memutuskan untuk ke sini, sih …." Wildan meneliti penampilan anak itu. Ternyata keterkejutannya tadi berlebihan, anak itu pun memiliki kaki yang sama dengan Wildan. Ini pasti keanehan wujud lagi, pikirnya.

Oh ya, daftar nama! Aku harus menemukan daftar nama tempat ini.

Penasaran, Wildan bertanya, "Apa kau tahu cara melihat daftar nama di tempat ini?"

"Daftar nama? Ah tentu," jawab anak itu. "Di ujung sana setelah bangunan merah panjang, belok kiri."

"Terima kasih, emm …" Wildan berusaha membaca nama di atas kepala anak itu, "Maida York. Sampai jumpa!"

Lambaian tangan menutup pembicaraan mereka. Wildan pergi ke arah yang anak itu tunjukan.

"Eh? Rasanya aku pernah melihat dia sebelumnya?" Mata Maida York melihat ke atas, berusaha mengingat sesuatu. "Apa cuma perasaanku saja, ya?"


[Loading data ….]


Wajah Kathrine terlihat menahan tawa tatkala melihat penampilan Wildan.

"Baiklah, Kathrine yang ini juga bisa tidak sopan. Setidaknya kau punya sedikit selera humor," gerutu Wildan.

Kathrine hanya tersenyum, "Maaf, Tuan. Hanya saja Anda memang terlihat lucu dengan wujud  piksel ini." Rona di pipinya mulai sedikit memerah.

"Lucu!? Si RNG juga bilang begitu, aarrgh! Aku tidak mau jadi lucu!" Wildan berusaha mengacak-ngacak rambutnya sendiri dengan tangan pikselnya.

Daftar nama di tempat ini sudah Wildan periksa. Tak ada namanya di sana. Saat itulah tiba-tiba layar inventory-nya aktif dengan sendirinya. Ada satu pesan bertuliskan 'emergency' yang ia terima. Saat dibuka, muncullah layar komunikasi yang menampilkan Kathrine.

Akhirnya dapat berkomunikasi, Wildan menceritakan segala yang terjadi dengan RNG di lorong dimensi pada Kathrine. Ternyata memang, berdasarkan penjelasan Kathrine, terjadi gangguan pada sistem database turnamen Battle of Realms yang disebabkan oleh semacam virus.

"Pada dasarnya kau malah akan memindahkanku ke tempat berbahaya?" tanya Wildan sambil menatap Kathrine ngeri.

"Ada satu level lagi yang harus Anda lalui. Tansmiter kami semakin melemah. Yang bisa kami lakukan hanya membuka portal untuk Anda. Selebihnya perpindahan harus Anda lakukan secara manual. Kami sedang berusaha memulihkan sistem saat ini."

"Benar kata Sin, turnamen ini memang ada virusnya," gumam Wildan.
"Sin?" tanya Kathrine.

"Ah bukan apa-apa, Kat," sanggah Wildan. "Ngomong-ngomong, apa si goyang aneh RNG itu benar-benar berkhianat, Kat?"

"Kami masih belum bisa membuktikannya."

"Hm, begitu. Kalau aku bertemu dengannya nanti kusampaikan saja 'salam hangat' dari kalian. Selanjutnya ke mana?"

"Selanjutnya core level. Di sana Anda harus menunggu kami mengatur koordinat portal evakuasi. Walau turnamen masih berlangsung, saat ini yang terpenting adalah mengamankan data para peserta agar tidak corrupt oleh virus. Core level adalah tingkat yang paling aman, efek virusnya malah mempertinggi kualitas visual," jelas Kathrine.

"Yah aku tidak begitu mengerti tentang efek virus, sih. Tapi terima kasih atas informasinya," komentar Wildan.

"Nah. Portalnya sekarang telah siap,"

Sebuah portal muncul di permukaan hitam tempat Wildan berpijak. Kali ini bentuknya berupa lubang yang dalam.

"Baiklah, satu level lagi. Sampai jumpa, Kat!"

"Sampai jumpa, Tuan. Hati-hati."

Bertolak pada permukaan, Wildan melompat ke dalam lubang portal.


[Core Level]


Wildan tersadar dalam posisi berdiri. Sejauh mata memandang, tempatnya kini berada hanya diisi rak buku yang penuh dan terjajar rapi.

Nuansa merah redup menyelimuti tempat itu. Perpustakaan ini sama sekali tidak layak menjadi tempat membaca. Segala yang Wildan lihat tampak sangat jelas. Rak buku yang berjajar, buku-buku yang dipajang dan tertata rapi di dalamnya—semuanya terlihat bagus. Segalanya terkesan mewah.

Tempat ini mengingatkan Wildan pada rumah Kepala Desa Valtessa. Banyak sekali buku. Biasanya Kepala Desa akan memarahi siapapun yang berani mengacak-acak—apalagi merusak barang satu buku pun di sana. Wildan sudah membuktikannya karena pernah tak sengaja merusaknya.

Kepala Desa bilang itu semua buku mahal.

Pasti semua buku ini berharga mahal juga, pikir Wildan.

Penampilan Wildan pun berubah di tempat ini. Sekarang ia terlihat lebih normal dibandingkan tempat sebelumnya. Atau tepatnya—lebih dari normal. Saat melihat tangannya, ia merasa tangannya lebih mencolok, lebih jelas—sampai pori-pori di kulitnya pun dapat ia lihat. Bahkan, warna kulitnya lebih putih dari biasanya.

Rak-rak buku menjulang tinggi. Butuh tangga untuk mengambil buku paling atas jika tak bisa terbang atau melompat tinggi. Sedang asyik mata Wildan melihat-lihat buku di bagian atas rak, terdengar suara bising—yang rupanya menyebabkan rak di dekatnya tumbang.

"Aaaaargh!"
Refleks kedua tangan Wildan menahan berat rak buku yang tumbang. Besarnya ukuran rak membuat Wildan kewalahan. Apalagi ia sama sekali belum istirahat sejak ronde sebelumnya.

Tentu, ratusan buku yang tadinya terpajang rapi kini berjatuhan. Terima kasih kepada gravitasi yang masih bekerja.

"Aw. Aw. Aw. Aw! Hei! AW!" tukas Wildan saat buku-buku menghujani kepalanya. Menengadah membuat segalanya lebih buruk.

Be-Berat …. Terbuat dari apa sih ini? Baja?

"Ng … nngghhh!"

Dengan tenaga yang masih tersisa, Wildan mendorong balik rak buku yang beratnya bukan main itu. Rak buku jatuh ke arah sebaliknya, menimpa rak buku lain. Satu, dua, tiga rak buku tumbang seperti susunan domino sebelum rak terakhir tertahan dinding.

Napas Wildan mulai memburu; bunyi bising terdengar lagi. Tumbangnya tiga rak buku membuat Wildan dapa melihat apa yang ada di baliknya.

Seorang bocah gemuk berpakaian oranye terseok. Tapi tak lama, ia langsung bangkit dan memanggil satu anak lain yang memunculkan dua buah perisai besar untuk menghalau teriakan seorang pria dengan topi fedora.

Aneh. Dua perisai itu berguncang hebat saat sang pria berteriak. Bahkan ledakan sempat terlihat, sedikit merusak kedua perisai. Serangan gelombang suara?

"Loh? I-Itu kan … Bun! Itu Bun! Hei Bu—"

Pandangan Wildan terhalang asap. Asalnya dari dalam buku-buku yang jatuh. Buku macam apa yang mengeluarkan asap dari kertas-kertasnya? Ini tidak beres.

Asap apa ini?

Tenggorokan Wildan terasa tercekik. Ia tak bisa melanjutkan kata-katanya. Ia hanya bisa melihat tiga sosok yang melesat ke sana kemari. Di belakang pria bertopi, terlihat seseorang dengan rambut hijau memutar tendangan. Secara tipis tendangan itu menyerempet dahi si pria bertopi. Topi fedora sang pria jatuh. Namun kakinya berhasil menolak lantai.

Pria itu menapaskan sesuatu, namun Wildan tak dapat mendengarnya. Sama sekali tidak ada suara yang dapat ia dengar.

V-Vaj—ra!

Tidak salah lagi. Mereka adalah kedua rekan seperjuangan Wildan di Tim Lightbringer, Bun dan Vajra. Entah siapa pria bertopi. Mengapa mereka bertarung, Wildan masih belum tahu.

Sosok berambut hijau yang disinyalir sebagai Vajra menahan ayunan sikut pria bertopi. meroda untuk menghindar. Kemudian, tanpa terlihat segan, mengempaskan Bun dengan tinju petirnya. Bun sepertinya berusaha menlakukan serangan kejutan, namun gagal.

Bun dan Vajra sama sekali tidak terlihat bersahabat. Awalnya Wildan pikir mereka berdua bekerjasama untuk melawan si pria bertopi fedora. Nyatanya, mereka saling melancarkan serangan cepat kepada satu sama lain tanpa pandang bulu.

Mungkin terjadi sesuatu.

Cekikan asap yang memenuhi tenggorokan Wildan membuatnya tak lagi dapat bernapas dengan benar. Ingin rasanya ia berteriak agar Vajra dan Bun menyadari keberadaannya. Namun apa daya, saat ini kesadarannya telah hilang dimakan waktu.


[Hacking data ….]


Distorsi VII
=Pulau Tepencil=


[Level III]
 
Segalanya merah.

Wildan merayau-rayau. Sama sekali tak ada dinding yang dapat ia sentuh. Ia melayang di ruang hampa.

Warna merah di sekitar mulai menyelimuti dirinya secara keseluruhan. Membentuk semacam cangkang telur, serpihan kerak demi kerak memadat. Pemuda bernama Wildan Hariz tak sadarkan diri di dalamnya.

Tak lama, terjadi retakan pada lapisan cangkang telur. Cairan kenral yang sama merahnya keluar dari retakan. Semakin lama semakin banyak cairan yang keluar.

Retakan menyebar.

Satu serpihan lepas dari cangkang telur, menampilkan rambut cokelat sang pemuda. Dari kepala, badan, sampai ujung kaki, semuanya perlahan mulai nampak seiring banyaknya serpihan yang lepas.

Untuk kesekian kalinya, wujud Wildan berubah.


[Hacking data ….]


Telinga Wildan mampu menangkap dersik dalam udara sekitar. Ia sekarang telungkup lesu di atas pasir pantai. Banyak pepohonan berdansa oleh angin di sebelah timur. Sepintas semuanya tampak seperti pantai normal. Tapi gerakan segala sesuatu di tempat itu terasa janggal. Seolah-olah tiap benda di sini memiliki kehendak untuk menggeliat.

Air laut yang bisa Wildan lihat pun berbeda dari biasanya. Terdapat banyak gelembung di permukaannya, seakan itu adalah didihan air yang dipanaskan. Masing-masing gelembung berdetas bergantian.

Pasir berdesir, tertumpah dari sela-sela tubuh Wildan tatkala ia bangkit dari tidur. Pasir yang menjadi alasnya terasa halus. Sebelum bangkit, saat terlentang tadi, Wildan sempat melihat sedikit keadaan sekitar.

"Ah … ini pantai?" gumam Wildan. Ia menggelengkan kepala dan mengibas rambut agar pasir tak lagi mengotorinya. "Apa level tadi sudah terlewati? Sayang sekali."

[Level … janga … lanjut … lar … haya … bukan ….]

Samar-samar Wildan mendengar suara Kathrine. Apa ini artinya ia telah sampai di tempat yang seharusnya? Lepas dari belenggu telur. Kini pemandangan sekitar tak lagi merah. Wildan sempat ragu akan pandangannya sendiri.

Segalanya tampak begitu asri kali ini. Yang terpampang dihadapannya adalah hutan lebat. Sebuah puncak gunung nampak jelas di atas daun-daun pohon hutan.

Tiba-tiba, Wildan merasakan panas di tangan kirinya. Bunyi retak terdengar. Wildan memeriksa tangannya. Batuh hijau di tangannya hancur lebur. Apa ini berarti pet container dan inventory yang tersemat di sana takkan lagi berfungsi? Kedua tangannya diselimuti bulu. Tidak—bahkan hampir seluruh tubuhnya diselimuti bulu putih berloreng hitam!

"A-Apa? Kenapa ini!?"


[Hacking data….]


Seorang perempuan berpakaian putih mendarat dengan elegan saat keluar dari portal hologram. Penampilannya menyerupai perawat di rumah sakit. Dengan gambar palang pada topinya dan kedua lengan atas dekat bahunya, perempuan itu memeriksa diri, seakan mendiagnosa bagian tubuhnya.

Ia tidak berpikir bahwa ia sedang sakit. Namun tetap saja, terasa ada yang aneh pada tubuhnya.

Ada yang salah.

Mata perempuan itu sejenak terbelalak saat melihat rambut yang tumbuh di kepalanya membentuk ular-ular kecil. Walau begitu warnanya masih tetap cokelat seperti asalnya.

Demikian pula ia lihat lengannya. Seharusnya ia memakai perban yang melilit penuh kedua tangan. Sekarang wujudnya menjadi padat tebal dengan sisik. Baru ia sadar saat melihat dua kepala di masing-masing telapak tangan—yang melilit kedua tangannya adalah dua ular putih.

Tetapi, perempuan itu tidak terlihat gentar. Sorot sepasang mata merah yang dimilikinya seolah menyembunyikan rasa takutnya.

"Heh, ular ya? Cocok sekali denganku."

Perempuan itu bernama Vi Talitha. Akrab dipanggil Miss Vi oleh orang-orang yang mengenalnya di Universitas Keperawatan Suci. Ia adalah seorang divine nurse, perawat terpilih yang dipercayakan peralatan suci dan agung yang disebut divine tools dalam dunia medis.

Perban—yang sekarang berbentuk ular—yang melilit tubuhnya dari kedua lengan hingga leher, adalah salah satu divine tools yang terkenal mujarab dalam menyembuhkan. Perban ini juga dapat digunakan untuk melindungi penggunanya dari serangan berbahaya.

Bunyi deringan terdengar tepat dari hadapan Vi. Muncul sebuah layar hologram di udara. Vi dapat melihat dengan jelas apa yang tertulis di sana.


[Your opponent has not spawned yet.]


Mata Vi terpejam. Tawa kecil keluar dari bibirnya yang sensual. Ia tahu maksudnya. Vi memutuskan untuk melihat sekeliling. Adalah hal yang menguntungkan jika ia lebih tahu tentang medan pertarungan yang akan ia hadapi nanti dibandingkan lawannya.

Lagi-lagi Vi dibuat agak terkejut dengan penampilan barunya. Saat ia coba melangkah, ia tidak merasakan kakinya mengincak pasir pantai. Yang bisa ia dengar adalah suara berdesir.

Kakinya tidak ada.

Bagian bawah tubuhnya memanjang langsing dilengkapi dengan semacam sirip. Di ujungnya terdapat cagak membentuk dua ekor: ular dan ikan. Dan itu nampaknya tidak membuat Vi keberatan. Ia melata seolah itu bukan pertama kali ia mengalaminya.

"Oh ya. Inventory," ujar Vi sesaat sebelum menyentuh udara dengan jari lembutnya. Dari udara muncul hologram berupa kotak perawatan darurat. Kotak itu menampilkan pesan hologram bertuliskan 'TARGET'.

Sebuah rincian data dan gambar seorang manusia muncul.

"Jadi dia targetku. Mari kita lihat apa dia mudah dibodohi atau tidak."

Vi mencoba menggerakan perban-ular-nya. Sepintas ular-ularnya terlihat menyeramkan. Tapi saat Vi—entah bagaimana caranya—membuat ular itu menggigit pipinya, tak ada darah yang mengalir. Orang yang ada di sana mungkin akan merasa ngeri melihat pemandangan itu. Apalagi Vi melakukannya atas kehendak sendiri.

"Hmh, penampilannya saja yang menyeramkan. Ternyata kalian hanya ular-ular lucu yang terlampau baik. Gigitan kalian sama sekali tidak terasa."

Menit demi menit berlalu; target Vi belum juga tampak. Vi sudah memeriksa tempat ini. Ada beberapa bagian tempat yang lumayan strategis sebagai jebakan. Melata, bagaimanapun, tak terasa nyata bagi Vi. Baginya, rasanya hanya seperti berjalan biasa dengan kaki.

Pulau ini dihiasi benda-benda hidup. Semuanya bermutasi sebagai hasil menyebarnya virus di level ini. Vi sempat mengamati, ada tanaman bergigi tajam, binatang bertungkai janggal, pasir hidup, gas beracun dan air bergelembung. Ya, udara dan air pun tak luput dari mutasi.

Bagaimana ia bisa selamat dari semua itu?

Menyembuhkan diri kuncinya.

Sesuai dengan penampilan perawatnya, kemampuan penyembuhan adalah spesialisasinya. Terutama dengan perban agung sebagai salah satu divine tools. Perban itu ia gunakan sedemikian rupa untuk mengatasi ancaman yang ditemuinya.

Ini tempat yang menarik, batin Vi. Dan berbahaya.

Jika Vi bisa memanfaatkan tempat ini dengan baik, Vi dapat menyelesaikan pertarungan lebih cepat—atau malah menghindarinya sama sekali. Asalkan ia bisa selamat dari kematian, nasib targetnya tak terlalu Vi pedulikan.

Untuk saat ini, Vi hanya bisa menunggu.


[Hacking data ….]


Sementara itu di belahan lain pulau, Wildan mendongkol gara-gara batu hijau di tangannya hancur. Bukannya mengkhawatirkan batunya, ia lebih mengkhawatirkan keadaan Mao dan Alva yang berada dalam pet container yang disematkan pada batunya.

[Trans … tid … kuat … bert ….]

Berjalanlah Wildan ke sana kemari, seperti orang yang mencari sinyal telepon genggam. Ia ingat Kathrine bilang transmiter mereka sudah tidak kuat. Dia menduga, pasti trans—apalah itu adalah semacam pemancar.

[Saya … kiri … gambar … target Anda. Semoga ….]

Sebuah layar tampil di hadapan Wildan. Isinya adalah foto gadis bermata merah dengan pakaian perawat. Wildan malas untuk membaca rinciannya, yang tertangkap matanya hanya tulisan 'TARGET'.

"Ha? Target? Maksudnya aku harus menemui perawat? Tapi apa ada rumah sakit di sekitar pantai ini?"

Langak-lunguk, Wildan mempercepat langkahnya menjelajah pantai. Masih belum sadar dengan beberapa perubahan wujud lain di bagian tubuhnya. Ia memutuskan tak membuang waktu. Belum bisa tenang ia jika Mao dan Alva belum ditemukan.


[Hacking data ….]


Satu hal lagi yang tak disadari oleh Wildan. Di lepas pantai melayanglah sesosok laki-laki jangkung bersayap hitam.

"…."

Tatapannya kosong. Tak ada angin pantai yang berani menggerakan rambut hitam sebahu dan jubah hitamnya. Tak ada suara yang ia buat, seakan ia tak benar-benar berada di sana. Seperti ada sesuatu yang memanggilnya, sosok itu menatap lurus ke arah Wildan pergi.

Sebelum disadari oleh siapapun, di antara bunyi ombak yang datang ke pantai, keberadaannya terhapus dari sana.


[Hacking data ….]


Distorsi VIII
=Virus vs. Vaksin=


[Target located.]


[Target located.]


Kedua notifikasi itu masing-masing nampak di depan wajah Wildan dan Vi. Ini menandakan bahwa keduanya berdekatan. Masing-masing gambar target muncul kembali di hadapan Wildan dan Vi. Namun kali ini wujudnya sedikit berbeda.

Kali ini, wujud mereka adalah wujud yang telah bermutasi.

"Loh, targetnya berubah wujud?"

"Perawat ini … ular?"

Wildan dan Vi sama-sama terkejut akan hal itu. Keduanya berjalan—melata khusus untuk Vi—mendekati satu sama lain. Mereka tak menyangka bahwa target akan muncul semudah itu dengan saling berhadapan. Jarak mereka kira-kira tujuh meter.

"Ah kau kan …."

"Pe-Perawatnya ada di sini!"

Ada kejutan lain yang menanti mereka, yaitu munculnya layar besar yang menampilkan seorang pria aneh berkacamata hitam.

[Hae Mas, hae Mba. Selamat! Target telah kalian temukan! Sekarang kalian bisa bertarung sesuka hati.  Ronde dua, Virus vs. Vaksin dimulai!]

[Heh, jangan seenaknya membuka komunikasi dengan database! Kan sedang kuretas!] Terdengar suara teriakan anak kecil laki-laki dari ruangan yang sama dengan si pria kacamata hitam.

[Hei hei, ayolah. Biarkan aku sekedar menyapa mereka. Oh ya, tahukah kalian bahwa jika health bar kalian habis maka kalian akan mati? Iya, batang biru di kepala kalian itu. Tidak hanya di Alforea, tapi juga mati di dunia nyata.]

[Tutup!] Suara anak kecil terdengar lagi.

[Tu-Tu-Tunggu tunggu tunggu! Hae Mas Wildan, semoga menang ya! Kau menang, pekerjaanku cepat selesai. Hidup virus! He-Hei! Ayolah, kau merusak kesenangan. Tu-Tung—JANGAN—]

Layar besar tertutup dan menghilang.


[PvP: Killswitch Engage!]

[PvP: Killswitch Engage!]


"…."

"Yang tadi itu apa-apaan …."

"Daripada itu, beraninya kau baru muncul sekarang," ujar Vi.

"Kau siapa? Dia juga siapa?" tanya Wildan sembari menunjuk pria di layar besar. Tidak seperti di Level I dan Level II, memang ada health bar di kepala perawat itu, namun tidak ada namanya. Hal yang sama juga berlaku pada health bar di atas kepala Wildan.

"Kau darimana saja!? Ini sudah tujuh ribu kata, tahu! Kita baru akan mulai bertarung pada kisaran kata 7000-an ini. Bayangkan! Apa-apaan saja kerja narator ini sejak pengumuman R2 dimulai!? Lama sekali! Saking lamanya! Tapi narator tidak diganti dengan yang baru." tukas Vi tanpa mempedulikan pertanyaan Wildan.

….

Vi Talitha akan mengalami pengurangan jumlah screen time jika terus menghina narator lebih jauh. Kembali pada benang merah.

"Hei! Screen time-ku!" protes Vi.

"Kau dengar itu?" tanya Wildan yang mendengar suara entah dari mana.

"Suara kokoro?"

"Bukan. Pantai ini berbicara padamu."

"Tentu saja aku dengar! Itu suara narator, bukan pantai!"

Mulai sekarang Vi tidak banyak bertingkah. Tiba-tiba Vi menjadi pribadi yang patuh. Vi dan Wildan kembali pada benang merah. Peringatan kedua.

"Sial. Aku harus menurut. Ayo kembali ke benang merah," ujar Vi ketus.

"I-Iya, aku tahu aku memang sempat tersesat sebelum sampai sini. Tapi tak perlu meneriakiku juga, kan …. Lagipula aku tidak tahu kau siapa."

"Penampilanku seharusnya menjawab pertanyaanmu," sindir Vi berkacak pinggang, meski dalam wujud ini entah bisa disebut pinggang atau bukan. "Aku Vi Talitha. Makanan kesukaanku stroberi dan aku sudah menunggu selama tujuh ribu kata."

"Aduh. Ya, ya maaf, maaf. Hentikan bahasan meta-mu itu. Nanti ditegur narator lagi. Ah aku bicara apa …. Meta itu apa …."

"Kau sendiri siapa?" tanya Vi.

"Aku Wildan Hariz."

"Nagh liar, mulai sekarang aku akan memanggilmu begitu. Karena dirimu begitu liar."

"Terdengar menyebalkan …," protes Wildan.

"Hei, ini hanyalah awal terbukanya tirai panggung sandiwara bernama Ronde Dua," dalih Vi. "Namaku dan namamu takkan terlalu berarti kalau akhirnya hanya ada satu yang tersisa dari kita."

"Tidak. Tidak. Justru nama ini penting. Kalau kau ditanya dengan siapa kau bertarung tadi setelah memenangkan pertarungan, kalau kau tak bisa menjawab, bukankah kau akan terlihat bodoh?"

"Ya aku tidak peduli. Ketidakpedulian adalah kebahagiaan, mereka bilang." Vi berkacak pinggang. "Dengar, ya. Kau tak harus memahami semuanya,  Dasar nagh liar keparat."

"Mulutmu pedas sekali."

"Mulut pedas? Hihi, sok tahu kau ini. Kau bahkan belum pernah mencicipi bibirku," goda Vi.

Wajah Wildan memerah malu. "Hhh, a-a-ayo kita mulai saja pertarungannya sekarang! Jangan salahkan aku kalau health bar-mu habis. Kau tidak takut mati, ngomong-ngomong."

"Khawatirkan saja dirimu sendiri yang bermandikan debu itu. Kau pasti sudah kelelahan, kan. Pasti bagimu juga tak ada jeda menuju ronde ini" kata Vi dengan gestur tangan sedikit angkuh meremehkan, namun tetap anggun. "Pemilik kemampuan penyembuhan sepertiku merasakan keistimewaan sendiri. Kalau mau diibaratkan sih, aku punya sayap, kau tidak."

"Aku punya sayap yang terlihat bernama tekad, tahu," jawab Wildan sok keren. Tak mau kalah.

"Tapi aku bisa lihat sayapmu, kok."

Wildan menoleh ke kiri dan kanan bahunya. Benar juga. Wujudnya sekarang memang sudah berubah. Dua pasang sayap tumbuh dari tubuhnya. Motifnya mirip dengan sabit kembar yang selalu ia ikat di punggung.

Sementara di tangan kanannya tersemat sarung tangan cakar yang ia gunakan sebelum masuk ke level database. Kini cakar itu benar-benar menjadi cakarnya, menyatu dengan tangan.

Apa-apaan ini!? Apa aku sekarang jadi semacam burung?

Lompat-lompat kecil dilakukan Wildan. Vi hanya memperhatikannya. Tidak—dia tidak bisa menggunakan sayap itu untuk terbang. Wildan pun berusaha mengeluarkan aliran listrik dari tubuhnya, agar membentuk halilintar pendorong.

Namun tak ada listrik yang keluar. Wildan merasa bagian-bagian tubuhnya yang biasa mengalirkan listrik keluar tersendat sesuatu. Gawat Vi tak boleh tahu tentang ini, pikir Wildan.

Tiba-tiba, Wildan teringat sesuatu.

Tentang Mao dan Alva, jika melihat dari bentuk tubuh Wildan yang sekarang, bisa jadi mereka masuk dan menyatu dengan tubuh Wildan bersama kedua sabit di punggungnya. Hanya Tuhan yang tahu mutasi macam apa yang terjadi sehingga bentuk Wildan menjadi seperti itu.

Kembali Wildan merespon Vi.

"Ma-Maksudku biasanya kan aku tidak punya sayap … lagipula sayap ini tidak bisa digunakan untuk terbang. Kalau bisa, pasti sudah kugunakan tadi untuk menemukanmu lebih cepat."

"Bodoh. Mutasi wujud di tempat ini memang tak memberi kemampuan tambahan apa-apa. Berbeda denganmu, sayapku ini sih asli."

Sayap ular Vi mengepak, meski sebenarnya itu mungkin merupakan hal yang tidak perlu karena kemampuan magislah yang bisa membuat Vi terbang. Vi mengangkat dagunya. Tatapannya mendelik seakan sedang melihat seekor kucing yang baru saja mencuri ikan.

"Ke-Kenapa bisa? Bukannya kau bilang perubahan di sini tidak akan memberi kemampuan tambahan apa-apa?"

"Maksudku, sayap ini memang kekuatanku sejak awal. Ah sudah cukup bicaranya. Ayo bertarung!" Vi menyiapkan ular-ular putih di tangannya. "Hormatilah predatormu!"

Badan ular-ular putih memanjang kemudian membentur pasir. Wildan berhasil menghindari mereka.

"Jangan bercanda. Akulah yang predator!"

Kaki Wildan menolak permukaan pasir, gerakannya mengindikasikan bahwa ia akan melakukan lompatan untuk menerkam Vi.

"Jangan mimpi. Bagiku kau hanya sebatas organisme liar. Wildan nagh liar," respon Vi.

Heaven's Chain! Vi berseru dalam batinnya. Kemampuan ini mengarahkan kepala-kepala ular putih menggapai Wildan. Tujuannya adalah untuk mengikat. Namun gerakan Wildan cukup gesit untuk menahan lilitan para ular degan tangan kiri.

Tak berhenti sampai di situ ternyata. Lilitan ular yang berangsur menjadi perban yang mengikat erat lengan Wildan. Kencang. Sangat kencang ikatannya, sehingga membuat tangan kiri Wildan putus!

"U-Uuuaaaakkhhh …. AAAAH!"

Rasa perih luarbiasa menyengat. Pendarahan tak terelakan.

Vi menguasai kemampuannya dengan baik. Ia bisa mengubah wujud ular menjadi perban dengan sedikit latihan sebelum bertemu dengan Wildan tadi.

Kini, tubuh ular putih di tangannya dilecutkan pada badan Wildan seperti pecut. Rasa pedih makin menjadi bumbu pelengkap penderitaannya. Wildan hampir ambruk.

Pecutan demi pecutan Vi layangkan ke tubuh bercorak loreng itu. Wildan hanya bisa sesekali mengorbankan tangan cakarnya untuk menangkis. Tenaganya hampir tak tersisa.

Wildan membanting diri ke dekat tepi pantai. Ia seperti mencoba menghanyutkan diri. Bunyi berderas menggema dari ombak yang menabrak tubuhnya. Mau tidak mau, rasa perih harus ia tahan. Apalagi, yang akan dihadapinya adalah air.

"God's Wra—mau lari, ya?" Vi mengejar Wildan. Ia melata menuju pantai. "Jangan kira aku tidak bisa berenang."

Vi tak ingin kehilangan mangsanya. Meski memang, ia malas berenang.

Yang benar saja, dari semua lomba yang ada. Aku harus melakukan lomba berenang dengan orang ini, batin Vi.

Dan ini kabar buruknya: Wildan perenang ulung. Ia berenang semakin jauh.

Vi tak bisa mengejarnya, walaupun keduanya masing-masing perenang handal. Vi belajar renang sungguh-sungguh karena tidak ingin tenggelam dan mati. Wildan belajar berenang begitu saja di kolam tengah hutan bersama binatang, kadang pula di sungai.

Alasan utama Vi tak dapat mengejar adalah tidak adanya kemampuan berenang tambahan dari hasil perubahan mutannya. Ekor bersirip tidak membantunya berenang. Tubuh Vi pun tentu memiliki stamina lebih sedikit daripada Wildan.

"Aw!"

Sedang asyik berenang—baiklah, sebenarnya itu tidak terasa asyik bagi Wildan—tangannya yang menjulur ke depan menabrak dinding tak kasatmata. Ini seperti yang terjadi di Despera. Hanya saja kali ini lebih beruntung bukan kepalanya yang jadi korban.

Menolehlah Wildan ke belakang. Vi semakin mendekat. Wildan tahu bahwa dinding tak kasatmata itu adalah pembatas agar pemain tak bisa keluar arena pertarungan. Mencoba menghancurkannya bukan pilihan, ia tahu seberapa kuat dinding itu. Tenaganya semakin menipis seiring narasi adegan ini ditulis.

Jadi berbeloklah ia ke arah kanan. Wildan sejak kecil diajarkan untuk mematuhi adab dengan memilih kanan dalam berbagai macam hal untuk menyimbolkan kebaikan. Semoga kali ini kanan menjadi keberuntungan yang lebih baik baginya.

Vi sadar dengan berubahnya arah Wildan. Namun terasa ada sesuatu yang berat mengganggu gerakan renangnya. Detik berikutnya ia sadar, ular-ular putihlah yang  memberat. Wildan sudah tak terlihat. Sepertinya ini waktunya Vi melepaskan mangsanya.

Setidaknya untuk sementara.


[Hacking data ….]

Semak belukar dan pepohonan menjadi benteng perlindungan bagi Wildan. Ia bersembunyi dari Vi. Wildan tak mengerti, listriknya sama sekali tak bisa keluarkan. Padahal, jika saja ia bisa mengeluarkannya, tentu ia akan terbantu dengan itu saat melawan Vi.

Tidak ada dukungan Mao dan Alva. Wildan memutuskan untuk mengerahkan kemampuan terakhirnya. Terhitung dari detik ini sampai sepuluh menit ke depan. Wildan akan menyerap energi alam untuk merubah suhu tempat ini. Hal tersebut adalah syarat mutlak untuk mengeluarkan Amukan Badai Halilintar.

Tidak ada pilihan lain, Wildan harus mencoba teknik ini walau ia tahu kemampuan serangannya memiliki akurasi yang buruk.

Bunyi berisik mulai terdengar dari semak dan pepohonan. Ada seseorang di sana.

Gadis perawat itu siap dengan sebuah perisai magis. Melihat lawannya tak bisa berkutik lagi, ia merasa aman untuk menghilangkan perisai tersebut. Digantikan dengan ular-ular putih yang siap melakukan serangan yang sudah pasti tidak menyenangkan.

Bibir itu menyeringai lebar.

"Ketemu."


[Hacking data ….]


Butiran awan hitam kecil mulai bertambah di langit.

"Hei. Sebelumnya penampilanmu seperti orang-orang di hutan yang hobi berburu," ujar Vi membuka pembicaraan. "Sekarang beritahu aku. Bagaimana rasanya diburu?"

"Heh, asal kau tahu, situasi terdesak seperti ini sudah sering kualami. Aku tak akan gentar, membela yang benar."

"Terdesak? Lagipula apa yang kamu bela? Itu secara langsung kau mengakui kelemahanmu, loh."

"Hmh, biar saja. Aku benci mengakuinya, tapi Kanji bilang menyadari situasi bahaya itu menunjukan kalau kau kuat. Bukan mengakui kelemahan."

"Hihi, kau ini lucu. Saat seperti ini masih ingat guru. Aku sih sudah tak ingin lagi mengingat dosenku di Universitas Keperawatan Suci." Vi mendekatkan wajahnya pada wajah Wildan. Ia mengangkat dagu Wildan sambil berucap dengan bibir sensualnya, "Kau tahu, mungkin gurumu itu hanya takut pada kematian, seperti kau saat ini."

Seperti Vi.

Jauh di lubuk hatinya, Vi pun merasakan hal yang sama. Tapi Vi tak mengakui ketakutan. Malah ia membencinya, kematian. Kebencian atas kematian. Itulah yang membuatnya belajar di Universitas Keperawatan Suci.

"Sudah selesai ceramahmu?"

"Huh, dasar tidak romantis. Padahal aktingku sudah bagus."

Ular-ular putih membelit seluruh tubuh Wildan. Perlahan tubuh tebal ular-ular itu menipis, menjadi perban. Tak ada yang luput. Dari ujung kepala sampai ujung kaki. Termasuk kedua sayap dipunggunya. Menjadikan Wildan sebagai sosok mumi bersayap dengan tangan cacat.

Ya. Mumi bersayap … se-random itu wujud Wildan saat ini.

"GRRRWAAAAHH RRAAAAH!"

Tubuh mumi Wildan bergerak dengan sendirinya membabi buta. Perban menutup mata, sehingga hanya gelap yang bisa Wildan lihat. Gelap mata mungkin tepat menggambarkannya.

Mumi Wildan menyerang ke segala arah. Vi yang cerdik menggunakan perisai suci bernama Divine Aegis untuk menghalau serangannya sesekali. Kemampuan God's Wrath Vi membuat orang yang termumifikasi memiliki kekuatan serang, bertahan, kecepatan, dan regenerasi yang bertambah pesat.

Vi menggiring tiap seranganan Wildan dengan memanfaatkan perisai sucinya. Perlu usaha lebih, tapi hasilnya sepadan. Wildan sang Mumi Bersayap kini terjebak dalam area hisapan pasir hidup.

"Berterimakasihlah. Setidaknya aku menguburkanmu. Meski dalam pasir hidup, sih." Vi berdiri di tepi pasir yang tak hidup. Matanya sayu. "Ini ironi. Pasir hidup untuk mengubur orang yang akan mati."

Pasrah, Wildan sama sekali tak tahu apa-apa tentang mumi. Ia bukan arkeolog di bidang kemumian. Melihat keadaan saat ini, tidak ada ide apapun yang muncul di benak Wildan.

Tamatlah sudah.

Pikiran itu sempat terbersit di benaknya. Semangatnya hanya bisa jatuh bertempias dalam nurani.

Sama seperti aliran listriknya yang tidak bisa ia keluarkan dengan benar.

Tidak tahu.

Tak ada yang terpikir.

Tak ada lagi yang bisa dilakukan.

Pada kedalaman tertentu pasir hidup. Segala yang Wildan lihat berubah menjadi warna krem. Semakin lama semakin pekat wanranya. Kesadarannya kini melayang, berada pada ruang hampa berwarna krem. Ruang hampa keputusasaan tak bisa lebih menyeramkan lagi.

Di tengah keputusasaan, dua sosok muncul dari dalam tubuh Wildan.

Satu sosok memakai topeng harimau putih. Sesosok lagi memakai topeng burung. Keduanya memakai jubah. Meski dengan bentuk itu, tanpa alasan yang jelas Wildan merasa sangat mengenali keduanya.

"Ka … kalian … Mao!? Alva!?"

"…."

"…."

Tidak ada jawaban dari mereka, namun kepalanya masing-masing mengangguk pelan.

Tidak diragukan lagi, semua benda di tempat ini mengalami perubahan. Tidak terkecuali Mao dan Alva. Entah sudah seberapa parah mutasi yang terjadi pada tempat ini. Dua sosok itu jelas-jelas adalah manifestasi mereka.

Setidaknya, itu cukup untuk mendukung Wildan.

Menit kesepuluh akhirnya berlalu sejak Wildan menyerap energi alam. Berlalu pula tiga menit durasi efek kemampuan God's Wrath.

Percikan listrik bersinggungan dengan pasir hidup di bagian dalamnya. Pasir memang tidak cocok dengan listrik. Namun singgungan itu semakin sering. Semakin banyak juga volume listrik yang keluar. Semuanya tidak lain berasal dari tubuh Wildan.

Thunder Stormrage, Amukan Badai Halilintar telah bangkit.

Kawanan awan mendung semakin membawa gelap pada suasana pantai.

"Ng? Mau hujan?" tanya Vi menengadah. Mau hujan ataupun tidak, tidak masalah bagi Vi. Yang penting ia sudah menang. Berlindung dari hujan bukan hal yang sulit. Ia tinggal menggunakan Divine Aegis sebagai atap darurat.

Alangkah terkejutnya Vi mendapati petir menyeruak dari dalam pasir hidup. Biasanya ia hanya melihat petir menyambar dari balik awan. Tapi kali ini terbalik, dari dalam pasir! Ini sungguh tak lazim.

Merasa terancam, Vi mengaktifkan kemampuan Angel Wings. Ia terbang menjauh dengan sayap ular-ular putihnya.

"Bagaimana bisa …."
 
Baru saja Vi berusaha memahami apa yang terjadi, semburan darah segar sudah segar keluar dari leher dan tangannya. Cakar beraliran listrik tegangan tinggi menabrak Vi dengan sangat keras.

Vi terpelanting ke tanah. Pandangannya menghitam untuk beberapa saat, seakan ada orang yang iseng memainkan saklar lampu.

"GRRYAAAHHH! WRRROAAAAHHH!"

Indera penglihatan Vi hanya bisa menangkap suara yang memudar. Semakin lama, suara raungan Wildan yang tersamar bunyi tautan halilintar semakin tak terdengar.

Mengerjap-ngerjaplah Vi. Yang bisa ia lihat hanyalah dan bayangan kabur lawannya yang sedang melakukan sesuatu pada dirinya.

Sakit luar biasa Vi rasakan. Terutama pada tangan dan lehernya. Yang kedua membuat Vi sulit bernapas. Sampai akhirnya Vi tak lagi merasakan sakit. Tubuhnya mati rasa. Segala koyakan, cabikan dan tusukan bertubi yang dilakukan Wildan pada tubuhnya sudah menjadi angin lalu. Vi lantas mempunyai firasat bahwa ia akan segera menemui sesuatu yang dibencinya.

Kematian.

Isi health bar Vi Talitha habis.

Merasa benci tak bisa lagi menghibur dirinya saat ini.

Yang ada hanya ketakutan.

Akhirnya berdamai dengan kematian, Vi meyakinkan diri bahwa semuanya akan baik-baik saja.

Meski ia tak tahu pasti.

Kematian hanyalah sekedar penutup babak lama kehidupan. Pembuka gerbang keabadian. Kau tak perlu takut atau membencinya, Vi.

Kau tak perlu.


[Hacking data ….]

 
Sosok bersayap hitam terlihat di bagian lain pantai. Tak seperti sebelumnya, kali ini ia memanggul sebuah sabit besar.

Dialah Kematian. Dan dia sudah mendapatkan apa yang dia cari.

Atau begitulah yang seharusnya.

Sampai ia mengetahui pendaran cahaya jiwa di tangannya berangsur menyerpih menjadi butiran-butiran cahaya halus yang diserap oleh 'dunia' tempat ia bertamu.

"…."

Sebuah gumaman terucap dari mulut sosok itu, memecah geming.

"Belum waktunya."

Keberadaan sosok itu kembali terhapus.


Distorsi IX
=Destruksi/Restorasi=

 
Hologram-hologram muncul di hadapan Wildan. Cahayanya terkesan lebih agung dari biasanya.

"Merepotkan. Berantakan sekali di sini!" seru sosok yang keluar dari dalam hologram.

Suara itu dikenali Wildan. Ternyata itu adalah kakek berambut putih yang ia lihat di Despera, Hewanurma!

Wajah kakek itu serius.

Ada apa sampai dia repot-repot menemui pemain secara langsung? Mungkin ini mengenai masalah virus. Kalau memang virus ini berbahaya, pastilah dia punya penjelasan yang bagus. Atau malah dia punya cara untuk memperbaikinya.

"Itu—Vakina!" Begitu Hewanurma melihat tubuh Vi yang tak karuan, sebuah bogem mentah mendarat sukses di kepala Wildan. Hewanurma geram, "Bocah bodoh! Seharusnya perawat ini yang menang. Bukan kamu!"

Tangan Hewanurma terlipat. Lantas ia lanjut berkomentar, "Ah, kau lebih mengenalnya dengan sebutan Vi. Nama Vakina itu terlalu innuendo, makanya diubah."

"Apa boleh buat. Kau sudah lihat pemenangnya di sini," jawab Wildan dingin. Ia yang sudah kelelahan merasa malas untuk membalas tindakan Hewanurma, apalagi untuk marah karena dipanggil 'bocah'.

"Dia masih bisa hidup, loh. Aku tahu kau punya rasa simpati. Asal kau melakukan sesuatu untukku," pancing Hewanurma.

"Apa … dia bisa hidup? Health bar-nya habis." tanya Wildan tercengung melihat tubuh Vi. "Tadi kau panggil dia apa? Vag—"

"Nah kan! Sudah kubilang itu innuendo!" Hewanurma kembali melancarkan serangan bogem mentah keduanya ke kepala Wildan. "Secara teknis memang jika health bar habis, nyawanya sudah hilang dari tubuhnya. Tapi masih ada yang bisa dilakukan."

"Aah! Aku tidak mengerti apa itu innuendo atau penjelasan teknismu itu! Sekarang beri tahu apa yang harus aku lakukan, Kek!" dongkol Wildan.

Membersihkan tenggorokan, Hewanurma memulai penjelasan, "Kau mungkin sudah tahu dari pelayanmu. Ada virus ganas yang menyerang database sistem turnamen Battle of Realms. Tidak—seharusnya ini rahasia, tapi virus itu bukan hanya menyerang turnamen ini, tetapi juga berpotensi mengancam seluruh Alforea jika tidak segera ditangani."

"Apa virus itu bisa dihancurkan? Kalau ada yang bisa kulawan, bilang saja. Aku ingin segera pulang ke Reverse."

"…."

"Atau … malah aku harus paksa kau memulangkanku dengan cara melawanmu, Kakek Hewanurma? Itu kalau kau bisa memulangkanku ke Reverse."

"Hmh … hahahaha. HAHAHA! Kau? Melawanku? Sudah lama aku tidak mendengar lelucon bagus seperti itu. Tidak—tidak—aku tidak bisa. Dan hentikan memanggilku aku kakek!"

Sama sekali Wildan tak menganggap itu lelucon. Hewanurma dapat menyadari dari tatapan matanya. Pemuda ini sangat bersungguh-sungguh.

"Biar kuberitahu, Wildan Hariz. Kau sudah menjadi bagian dari virus itu. Setiap tindakan yang kau lakukan itu meretas database perlahan-lahan. Apalagi, kau ini kuat untuk ukuran pemain yang belum istirahat sejak tadi."

Wildan melengos, "Aku tidak megerti yang kau bicarakan."

"Maka dari itu, aku ingin kau menghancurkan mutan-mutan virus yang akan jatuh dari retakan langit level ini sebentar lagi dan menyerap mereka." Hewanurma berseringai, "Kau yang virus akan memangsa sesama virus. Menarik, bukan? Kau menjadi bagian dari pemulihan sistem."

Kali ini dengan nada sedikit mengancam, Hewanurma melanjutkan, "Jujur saja, dengan sumber daya yang kumiliki sekarang, aku tidak dapat menghancurkanmu dan virus lainnya yang sudah menyebar. Sebagai gantinya, kalau menolak, kau akan kusegel di sini."

"Heh, mana mau aku disegel di tempat ini! Aku tidak tertarik memangsa virus! Aku ingin pulang, kau dengar? Apa itu tidak cukup jelas bagimu!?

"Tentu. Ini kedengaran tak masuk akal," Hewanurma berpaling. Ia menaruh satu lengan di belakang, sementara tangan kanannya ia gunakan untuk mengelus janggut. "Kau yang menginginkan kebebasan untuk pulang ke Reverse justru akan tersegel. Tidak ada lagi kebebasan untukmu. Kau lihat, aku sebenarnya tidak sedang memberimu pilihan di sini."

"…." Wildan tertegun. Ia kemudian merespon, "Setidaknya bisa kau pulihkan aku dulu. Dan pastikan dia hidup kembali." Tanpa menoleh, tangan Wildan menunjuk pada tubuh Vi.

"Hoo, kita sepakat, ya?"

Cahaya biru menyelimuti bagian tubuh Wildan yang terluka. Termasuk tangannya yang telah putus. Usai cahaya tersebut berpendar, bagian tubuh Wildan kembali lengkap.

"Jangan segan. Mengamuklah sesukamu. Kerusakan lingkungan bisa kupulihkan dengan mudah. Semudah melahap kue pie. Selama nyawa Vak—maksudku Vi masih berupa data, dia pun bisa kupulihkan."

"Tak perlu kau beritahu pun aku tak akan segan," ujar Wildan ketus.

"Oh ya, gunakanlah Zirah Sammeriil. Cuma itu barang yang bisa kupulihkan dari inventory-mu saat ini." Hewanurma melemparkan sebuah chip yang meresap ke tubuh Wildan. "Itu akan membuatmu sedikit lebih kuat."

Hologram-hologram kembali muncul, Hewanurma kembali ke dalamnya setelah melepaskan gelombang energi berwarna hijau ke langit. Ia memutar pergelangan tangannya seakan membuka kunci.

"Silakan mulai," ujarnya dari balik hologram.

Seperti 'ramalan' Hewanurma. Langit runtuh. Satu demi satu mutan manifestasi data yang terjangkit virus berjatuhan ke air laut dan tanah pantai.

"Zirah Sammeriil …."

Zirah Sammeriil aktif. Tubuh Wildan dihinggapi baju zirah lengkap yang melindungi bagian tangan, bahu, badan dan kaki. Tak lupa dengan jubah berkibar di punggung. Pedang besar dibawanya. Untung Wildan pernah berlatih menggunakan pedang. Jadi bisa dipastikan benda itu akan sangat berguna.

Kaki Wildan yang tebalut boot semakin terbenam di antara pasir, tanda beratnya Zirah Sammeriil termasuk pedangnya. Wildan sendiri tak merasa begitu. Ia merasa ringan.

Luapan energi membahana dari dalam tubuh Wildan. Ia belum pernah merasakan kekuatan seperti ini.

'Sedikit lebih kuat'? Kakek itu pasti bercanda.

Satu per satu mutan yang tak mendapat luka berarti dari jatuhnya mengamuk ke segala arah. Mereka membabi buta. Pohon, pasir, batu, air, apapun mereka serang. Bahkan sesama mutan.

Delapan mutan dengan gesit melonjak-lonjak ke arah Wildan. Gerakan mereka kacau. Namun Wildan tetap tenang. Gelombang listrik hitam mengiringinya. Ia mengangkat pedang besar di tangannya, kemudian dengan mudah mengayunkannya.

"GRRRAAAAAAHH!"


[Restoring data ….]


"Pada akhirnya semua berjalan sedikit lebih lancar walau tanpa Vakina," gumam Hewanurma saat menatap layar hologram di depannya. "Tapi jangan dendam, ya. Kau tetap akan kusegel untuk sementara." Jarinya menutup jendela hologram yang menampilkan lembar data seorang pemain dengan nama Wildan Hariz.

Suara kotak plastik yang jatuh dari sudut meja membuat Hewanurma merasakan keberadaan sosok lain di ruangannya, "Kemarilah, siapapun kau. Lain kali ketuk pintu dulu, tidak sopan." Ia lantas setengah berbalik.

Hewanurma mengernyitkan dahi. Sosok putih itu perlahan terlihat jelas olehnya. Rambut, mata, kulit, semuanya berwarna putih. Kalau saja tak ada garis kontur berwarna kelabu padanya, pastilah sulit bagi Hewanurma membedakan sosok itu dengan sekadar pendaran cahaya berpostur orang dewasa.

"Lamiel, ya? Kalau kau mau menggangguku dengan leluconmu, ini bukan waktu yang tepat. Mood-ku sedang buruk."

"Hae Mas, memangnya kapan mood-mu baik? Mood-mu selalu buruk," jawab sosok bernama Lamiel. Mata Hewanurma hanya bisa melotot mendengar ejekannya.

Lamiel melanjutkan, "Begini-begini, aku tidak ke sini untuk main-main. Nih."

Sebuah foto hologram ia sodorkan ke hadapan Hewanurma.

"Ini—"

"Ya. Ini foto yang diambil di benteng tanpa nama itu. Tentu kau tidak asing dengan orang berkacamata hitam itu."

Foto hologram menunjukkan seorang laki-laki mencurigakan yang mengenakan kacamata hitam. Di tangannya ada sekaleng minuman bertuliskan "WJK".

"Dimdim."

"Tepat sekali."

Terpasang ekspresi tertarik dari wajah Hewanurma. Dielusnya jenggot putih miliknya.

"Kembaranmu, kan?"

"Kenapa kau tidak bilang klon saja?" sindir Lamiel.

"Karena klon biasanya punya kelainan emosi jika disebut klon."

"Hmh, sayangnya itu tidak berlaku padaku."

Hewanurma mengambil sencangkir kopi dari mejanya, kemudian meminumnya. Ia tahu betul bagaimana karakteristik klon secara umum. Tak perlu heran jika ada klon dengan anomali seperti Lamiel ini.

"Ada yang lain?" tanya Hewanurma, pantatnya ia dudukan pada meja kerjanya dengan santai. Sorot matanya seakan menyampaikan niat mengusir Lamiel jika tak ada lagi hal penting yang bisa ia laporkan. "Ngomong-ngomong, Vakina-mu tidak berfungsi dengan baik."

"Hah, Hewanurma klasik. Tanpa banyak basa-basi, eh? Namanya sekarang Vi Talitha, loh. Daripada itu, ada sedikit pesan komentar dari Tamon Ruu mengenai hal ini. Dia sudah tahu."

"Kau menghubungi Tamon Ruu? Bagaimana … ?"

"Hehe, ayolah. Jangan gusar karena hal sepele, Kakek Nurma. Tamon Ruu bilang kalau kemunculan Dimdim itu sudah bagian dari rencananya. Ia sudah memperkirakannya."

"…. Ck, dasar. Hal sepenting itu tidak dia beritahu padaku. Lihat saja, kumarahi dia habis-habisan kalau sudah tiba di sini."

Tangan Lamiel sedikit terangkat. Hologram menyelimutinya sebelum tiba-tiba muncul satu cangkir kopi, persis dengan yang dipegang Hewanurma saat ini. Lamiel menyodorkan cangkir kopi miliknya ke depan.

"Tenang saja. Wanita seksi itu bilang akan segera kembali, kok."

"Kita tunggu saja kalau begitu."

Obrolan itu berakhir dengan dentingan cangkir. Keduanya bersulang.


[Restoring data ….]


Distorsi X
=Vigil=


Cahaya hangat perlahan masuk ke dalam kelopak mata Wildan. Tubuhnya terbaring lemas di ranjang sebuah kamar yang tertata bagai kamar rumah sakit.

Atau memang itu kamar rumah sakit.

Hal pertama yang ia periksa saat mulai siuman adalah tangan kirinya. Tampak batu hijau masih rusak. Semua yang ia alami di pulau itu bukan mimpi.

Bunyi semilir angin sejuk yang menerpa gorden mengalihkan pandangan Wildan dari tangannya. Menolehlah ia ke kanan. Ia tersenyum.

Dilihatnya Mao dan Alva di balkon kamar. Mao terlihat duduk santai menikmati angin. Sementara Alva sepertinya baru sampai ke balkon, mungkin ia tadi terbang berkeliling entah kemana. Ia bertengger pada pagar balkon.

"Ah, sudah bangun rupanya."

Suara itu mengalihkan Wildan. Ia lantas mencoba membangunkan tubuhnya sedikit. Seorang perawat berambut cokelat cerah bangkit dari sebuah kursi. Perban mengikat kedua lengannya. Sepertinya ia menunggu di sana sedari tadi, ditemani sebuah headphone yang melingkar di leher.

Mata merah berkantung sang perawat memandang Wildan. Pandangannya dibalas Wildan dengan tatapan kikuk, seolah ia merasa terjadi kejanggalan pada penampilan sang perawat.

Janggal, namun tidak termasuk kantung matanya yang menjadi ciri bahwa ia sama sekali belum tidur semalaman.

"Hm? Kau pasti heran kenapa aku memakai headphone, ya? Sebenarnya perawat tidak diperbolehkan mendengarkan musik saat bekerja, tapi karena bosan jadi kugunakan saja, hihi."

Wildan merasa wajah perawat itu begitu familier.

"Perkenalkan. Aku Vi Talitha. Bagaimana keadaanmu?"

Tanpa terasa, sebuah senyuman tersungging di wajah Wildan. Memori pertarungan dengan Vi begitu jelas terpatri di benak Wildan. Perubahan bentuk tubuh tak terlalu berpengaruh baginya. Ia betul-betul jelas mengingatnya.

Bagaimanapun, dilihat dari reaksinya, hal yang sama tidak berlaku bagi perawat itu.

Vi tak mengingatnya.

"Aku baik-baik saja."

Wildan menjawab dengan lemas. Setidaknya, ini merupakan akhir yang ia harapkan terjadi pada saat ini juga.


[Saving data ….]


[Skill unlocked: Sammeriil's Armor (details will be presented further at the comment section of Wildan's char sheet)]

{End Note: The last three sketchy images appeared in this entry are my original works. The image on [Core Level] is the exact image posted by Erza Suryanda on Battle of Realms OC Tournament group. Its source is unknown at the moment. The other two which appeared on [Level I] and [Level II] are made on character generators customized by me. Lastly, thanks a bunch for reading!}

7 comments:

  1. Hohoho, gitulah seharusnya sikap Wildan yg soo natural menghadapi sneaky snake macam Vi. Mau jadi virus atau vaksin kek, you show 'em!
    Yah, meskipun urusan "show the glitch" dan "cameo show"-nya makan sampai dua pertiga porsi cerita, tapi emang pas battlenya kyk begini yg pas sama selera saya. No neko2, no falling into cheap tricks, and power wins.

    Oya, +1 untuk cameo Vajra+Bun+Dynanya, hampir persis adegannya dgn entri Vajra.

    Skor: 9+1=10
    OC: Vajra

    ReplyDelete
    Replies
    1. buset jadi dobel gini ternyata entrinya, gmail pake ngutip email sebelumnya sih...

      oh ya? mirip? saya belum baca vajra sih pas ngetik ini, cuma ngebayangin aja.

      waw sepuluh! thanks bang andry. ini lagi ditengah2 baja vajra, tunggu kunjungan baliknya saya ke sana deh

      Delete
  2. Tadinya saya pikir, "Tumben si bleki bikin entry super panjang," waktu lihat ke scoll. Taunya isinya kedobel ya...
    ._.


    ---------------------


    Wogh, ada Orchiiid, Gaby, Dark (Adiw?), Ryo (Sin), si CC Saku juga... terus Jejeeesss
    XD

    dan Yuki... eh, di sini ganti nama jadi Kyle ya..
    ._.


    Sepertinya saya aja di sini yang kenal sama siapa-siapa orang di opening ini.
    ._.

    Saya jadi tertarik bikin spin off cerita lepas, Nely ketemu sama Wildan...

    Secara, di Universe-nya Nely juga ada Orchid, Jejes, Celine (cc Sakura), Ryo (Sin), dan Yuki (Kyle)

    Memang OC yang berbeda, semuanya merepresentasikan orang yang sama.

    ------------------------------


    Anjaaay, itu gambar WIldan versi IRL dipajang juga.
    XD

    Nama asli Vii disebutin.
    XD

    Dan Vii mati-nya one hit kill... yah, berlanjut dimangsa sama Wildan yang menggila sih.
    ._.


    Dimdim sama juga nongol...
    O.o


    Dan endingnya.... waaaaw...
    Wildan berpotensi shipping sama Vii nih, wakakakak :D

    Point : 8
    OC : Sanelia Nur Fiani

    ReplyDelete
    Replies
    1. HAHAHA

      Shipping? Jane-nya perawat yah berarti, ii ja ne ka :3 Ini sejak prelim diketemuin sama cewe2, apa bikin harem route aja ya. /woy

      Iya nih, emang ceritanya anak-anak rum ff di mig juga. cuma ga tau itu ada Hart siapa ya *padahal sendirinya yang nulis* kalo ga salah temennya Gaby. Ini semua yang muncul di flashback karakter2 berdasarkan ceritanya Jessica sih.

      Eh? Celine? Oh ya, di remake EoM sakura jadi ganti nama ya? Kalo Kyle (Yuki), ya karena dia pake nama Kyle di ceritanya sejak awal.

      Anyway, thanks udah mampir. Entry nely juga sudah tak kunjungi tuh. ;]

      Delete
  3. -Hyep, rupanya saya memang kurang suka adegan yang di luar pertarungan ronde itu ditempatkan di awal. Serasa salah baca cerita.
    -Mulai battlenya lama juga ini.
    -Dua-duanya sepertinya keasyikan ngobrol ini di tengah battle.
    -Hmmm, begitu akhirnya mulai pertarungannya rasanya kurang oke.
    -Ngapain kau double post X)))
    -Mengesampingkan kelemahannya, narasinya cukup menarik. Saya bisa gampang mengikuti ceritanya dan membayangkan apa yang terjadi.

    Skor akhir: 7/10
    OC: Lady Steele

    ReplyDelete
    Replies
    1. waduh

      malah, saya mau ketik: "perhatian, ini BoR."

      yah, tapi itu emang keinginan pribadi buat munculin backstory sih.

      huhu, iya nih double post... saya mesti lebih sering solat nih. #HubungannyaApa

      Delete
  4. halo, mampir buat cari datanya Wildan Hariz.

    sekalian berikan feendaback deh, entah juga apakah entry ini dihitung panitia atau tidak.
    - kelehaman entry ini sama dengan punya saya, opening yang terlalu panjang... termasuk juga, keterlibatan beberapa nama yang saya bener-bener bingung siapa gerangan. Siapa Dimdim, Lamiel, Wedang jahe... aduh...
    - breaking 3rd wall nya masih terlalu mainstream, kurang unik, jadi terasa garing-garing aja buat saya.
    - deskripsi battlenya kurang menggigit. Saya masih bisa bayangkan ini seperti apa, tapi karena penggunaan kata/diksi yang terbatas, kesan emosionalnya jadi kurang, jadi terasa datar-datar saja.
    - dilengkapi ilustrasi; bagus banget... somehow ini menginspirasi saya juga untuk memberanikan diri bikin ilustrasi buat R3 nanti.

    entah dihitung atau tidak, saya titip 7/10 dulu.
    see you next :)

    Rakai A.
    OC Mima Shiki Reid

    ReplyDelete