9.8.15

[ROUND 2 – LEVEL 1] BU MAWAR – DURI DAN DEBU

[ROUND 2 – LEVEL 1] BU MAWAR – DURI DAN DEBU
Penulis : Hewan



Prolog Peretas Alforea (II)


Kedai Gang Hitam di pojok terkelam Kota Despera, itulah tempat Hewanurma merenung sejenak. Dibiarkan dagunya menempel di meja bartender, janggut putihnya menyapu debu. Kepalanya tertunduk tanpa tenaga. Entah sudah berapa gelas minuman kaporit yang diteguknya, sekadar untuk menghilangkan penat. Tidak terlalu berpengaruh sayangnya. Kepalanya tetap pusing seperti mau pecah.

Alforea telah diserang.

Itu yang bisa dia pastikan untuk saat ini.
 
Tetapi oleh siapa? Atau tepatnya, oleh siapa saja? Suasana kedai yang remang-remang dan sepi membantu Hewanurma berpikir. Dan yang dipikirkannya bukanlah sembarang ide.

"Repot kalau harus mengejar mereka satu per satu. Mana si Manja Tamon sedang pikni—maksudku rapat penting dengan admin server lain. Hhh …," pak tua itu menghela nafas panjang sebelum memutuskan, "… tak ada jalan lain. Jika begini caranya maka akan kugunakan teknik lama."

Hewanurma bangkit dari kursinya, lalu pamit pada si bartender botak penjaga Kedai Gang Hitam. Tentunya setelah menjajarkan sepuluh keping emas di meja.

Dengan langkah tergesa, si tua bergegas pergi. Gang-gang sudah tampak sepi, malam telah sangat larut. Tetapi dirinya harus melakukan sesuatu sebelum takluk oleh rasa kantuk.



Tak lama, dia sudah pulang ke kastelnya. Sapaan para pelayan tak dia hiraukan, Hewanurma langsung mengurung diri di ruangannya.

Segera dia menempati meja kerjanya, berhadapan dengan sejumlah perangkat komputer canggih dengan deret layar holografis yang melayang di sekeliling.

"Daripada capek-capek mencari, bukankah lebih cepat membiarkan mereka datang sendiri? Heh, biar kutunjukkan kalau rambut ubanku bukanlah hiasan semata. Hahaha!"

Maka Hewanurma kembali mengetikkan instruksi pada sistem keamanan yang dia kendalikan. Jemarinya bergerak seperti kesetanan, menekan-nekan tuts papan ketik dengan kecepatan hewaniyah.

Pertama, dia mencabut proteksi yang melindungi Gerbang Nurma. Kedua, seluruh labirin data menuju server Alforea dia sederhanakan. Kode nurmatik canggih yang tadinya mengamankan seluruh pintu server Alforea kini dia buang, lalu diganti dengan kode pengamanan standar yang seolah mengatakan "Ayo tembuslah akuh~".

Server Alforea beserta segala database di dalamnya kini dilemparkan begitu saja ke meja judi. Taruhan yang sungguh berani. Menyeringailah dia.

Kemudian Hewanurma menjalankan satu program khusus, yaitu Nurmalog, sejenis program pelacak yang bekerja secara teramat rahasia. Fungsinya bisa ditebak, yaitu untuk mencari siapapun yang berani datang kemari.

"Sekarang apapun yang terjadi, maka terjadilah!"

Tombol enter ditekan. Maka turnamen ini akan berubah ke arah yang drastis, beserta seluruh peserta di dalamnya.

Tak ada lagi jalan mundur.



Prolog Dunia Permainan


Pada babak yang lalu, Bu Mawar beserta lima peserta lain terperangkap dalam pertarungan antara Ratu Puspita melawan Raja Belantara yang menaungi hutan lebat yang disebut Dodonge.

Ratu Puspita lebih dahulu takluk, dia kembali menjadi roh dan meninggalkan tubuh Winda—murid Bu Mawar—yang tadinya dirasukinya. Raja Belantara pun kehabisan tenaga. Tubuh Behemoth sebesar gunungnya hancur, sementara jiwanya langsung merasuki tubuh peserta turnamen, yakni Tan Yin Go.

Bagaimanapun, Bu Mawar menyudahi perlawanan Tan Yin Go. Jiwa sang Raja Belantara kembali menyatu dengan roh Ratu Puspita. Mereka mengurung diri di pedalaman Dodonge, menunggu entah berapa ribu tahun lagi untuk bisa bangkit kembali.

Tubuh sang guru begitu lemas, wajahnya pun berlumuran darah. Dia sendiri belum menyadari potensi kekuatan dirinya—kekuatan mental untuk menaklukkan segalanya.

Kini yang ada di pikirannya adalah menemui murid-muridnya yang juga adik kelas Winda. Tadi sang guru menyuruh mereka semua untuk bersembunyi di pinggiran Belantara Dodonge, jauh dari arena pertempuran.

Bu Mawar menarik nafas panjang. Digendongnya tubuh Winda yang meringkuk pulas.

"Ayo kita pergi, Nak Winda. Adik-adikmu sudah menunggu—"

Namun langkah Bu Mawar terhenti sampai di sana.

Raga guru itu tiba-tiba memudar, seperti hologram transparan. Dia bagaikan hantu, tangannya tak lagi mampu menggendong tubuh Winda. Gadis kecil itu terjatuh ke tanah, langsung terbangunkan oleh rasa sakit.

Begitu dilihatnya sosok sang guru semakin memudar, paniklah Winda.

"B-Bu Mawar! Apa y-yang terjadi? Ibu!!"

Winda mencoba merengkuh tubuh gurunya, namun tangan gadis kecil itu hanya lewat begitu saja menembus tubuh sang guru. Berapa kali pun dia mencoba, Bu Mawar tetap tak bisa disentuhnya.

"Ini …? Ronde selanjutnyakah?" Menyadari apa yang sedang terjadi, Bu Mawar hanya bisa tersenyum sedih. Dia menatap muridnya lekat-lekat lantas berkata, "Winda, kamu carilah adik-adikmu di pinggir hutan ini, Nak. Jaga mereka. Ibu berjanji akan menemui kalian lagi …."

Lalu tubuh Bu Mawar menghilang sepenuhnya.

"B-BU MAWAAAR!!"

Jatuh bersimpuhlah Winda, meratapi ketidakberdayaannya.


(* * *)

Beberapa menit sebelumnya, di pinggiran Belantara Dodonge, tampak seorang pria berjubah hitam sedang mengarahkan senapan mesinnya pada belasan anak kecil yang ada di depannya.

"Lumayan, untuk melampiaskan kekesalan. Selamat tinggal, anak-anak malang!"

Hampir saja pria itu menekan pelatuk senjatanya, namun teguran dari arah belakang menghentikan niat buruknya itu.

"Hentikan itu, Bodoh!"

Maka si pria menoleh dan mendapati sosok remaja bersweater dan bertopi rajut. Remaja itu tengah berjalan ke arahnya sembari menenteng laptop.

"Aku jauh-jauh ke sini bukan untuk disuguhi adegan pembantaian yang kekanak-kanakan begitu, heh!" lanjut si remaja. "Kau yang memanggilku, 'kan? Sekarang katakan apa tugasku."

Si pria berjubah hitam akhirnya menurunkan juga senapan mesinnya. Ekspresi wajahnya agak kecewa karena gagal melampiaskan kekesalan. Namun tugas yang diterimanya dari sang Tuan adalah yang terpenting.

Maka diajaknyalah si remaja pergi menjauh dari sana untuk membicarakan pekerjaan.

Sementara itu, anak-anak murid Bu Mawar hanya bisa terpaku ketakutan. Sebagian dari mereka sudah menangis, tak tahu lagi apa yang bisa diperbuat.

"Bu Mawar … *hiks* tolong kami …."
"Kak Windaaa … huwaaaaa …."



Di balik semak belukar lebat, sambil duduk bersila dengan laptop di pangkuannya, si remaja sudah melakukan pekerjaan yang diminta oleh kliennya. Namun ekspresi remaja itu jelas menampakkan keheranan.

"Ng … ini? Serius?? Sistem keamanan macam apa ini? Mudah sekali kutembus. Ini kalian tidak sedang bercanda, 'kan?"

Pria berjubah hitam tampak tersinggung, "Sudah, jangan cerewet! Lakukan saja apa perintah Tuanku padamu!"

"Langsung delete semua peserta?" tanggap si remaja.

"Tunggu, jangan dulu!" cegah pria berjubah hitam. "Kirimkan saja mereka ke database, buat agar saling bertarung di sana. Mereka mati, database pun akan hancur."

"Jika itu maumu," si remaja menghela nafas kesal. "Tapi yah … kalau memang harus ditarungkan, kenapa tidak sekalian saja membuat semuanya jadi lebih menarik? Ehehehe, aku punya virus-virus lucu untuk itu."

"Jadi kau ingin bersenang-senang?" balas si pria berjubah hitam. "Kalau begitu, selama kau mengurus tugasmu, kurasa aku pun akan bersenang-senang juga. Arhahahahaha!"

Maka pergilah dia dari semak belukar lebat sana.

Tujuannya hanya satu, yaitu melanjutkan kesenangan yang tadi terpotong.

(* * *)

Sementara itu, pria lain tampak bersembunyi di dalam gudang pada suatu tempat di Kota Despera. Dia mengamati keadaan melalui layar laptopnya sembari meneguk satu lagi minuman jahe kalengan.

Berdecaklah dia, "Hei, hei, apa yang dilakukan anak buah si Peti Mati?? D-dasar bodoh! Dengan menyerang server Alforea, kalian masuk ke perangkap Hewanurma. Semudah itu terpancing, dasar cupuw!"

Setelah itu pria jahe kalengan pun beranjak.

"Yang mereka lakukan itu di luar perkiraanku, tapi yah … tinggal bikin penyesuaian aja. Pokoknya, harus memanen lebih banyak tragedi lagi. Sekarang, pilih anak yang mana, ya? Ehehehehe!"


(* * *)

Dengan demikian, turnamen Battle of Realms terus bergulir ke babak selanjutnya. Namun kali ini, menu pertempuran tidaklah disediakan oleh Hewanurma, Tamon Ruu, ataupun para pelayan mereka.

Kali ini para petarung akan dihadapkan pada situasi yang benar-benar berbeda.

Ronde Kedua, dimulai!



BAB 1 Sekolah yang Diselimuti Debu


Semua telah tertutup oleh kepulan debu. Jarak pandang hampir nol. Angin meraung-raung bertiup kesana-kemari, namun tebalnya debu seolah tiada terkikis.

Bangunan itu … tak ada lagi yang mengenalinya sebagai bangunan sekolah. Badai debu telah turun seolah wabah penyakit yang menjangkiti tempat ini. Namun, bukan berarti sekolah ini tanpa kehidupan.

Di puncak sekolah, dua sosok menampakkan diri. Rupa mereka tak terlalu jelas karena terkepung kabut debu, namun suara mereka masih bisa didengar.

"Kau tahu siapa aku, Bocah?"

Pria berdandan perlente itu mengukir senyuman indah. Dia tampak begitu bersahabat. Namun itu semua tak mampu mengurangi rasa ngeri yang menjalar di dalam sanubari bocah lelaki yang berdiri di hadapan pria perlente tersebut.

"Err … siapa yak t-tadi namamu, Om?" lugu si bocah menjawab. "R-Roni, err, Ronnie Sta—"

"Ronnie Staccato," potong si pria perlente. "Tepat sekali. Akulah Ronnie Staccato. Dan kau tahu siapa itu Ronnie Staccato?"

Bocah lelaki menggeleng.

Akibatnya, pria bernama Ronnie itu menghadiahkan satu hantaman lutut ke arah perut si bocah. Keras hantaman itu berbunyi, si bocah tersungkur seketika dalam posisi setengah bersujud.

Kemudian Ronnie berkata, "Dengar baik-baik, bocah. Ronnie Staccato adalah legenda di antara seluruh Camorristi yang pernah melayani keluarga Don Sergio."

"… urrgh," si bocah masih terkapar seraya memegangi perut.

"Dan setiap legenda pasti punya cerita," lanjut Ronnie. "Apakah kau pernah dengar cerita tentang bagaimana seorang Ronnie Staccato menghabisi satu geng—"

"A-aku kagak peduli sama semua itu!" kali ini si bocah yang menyela. "Tujuanku ngikutin kamu, Om, cuman biar aku jadi kuat!!"

Bocah itu bangkit, matanya melotot garang.

Ronnie menatap balik seraya terkekeh. "Heh, aku suka ini," katanya. "Aku suka sorot matamu, Bocah! Kau punya nama?"

"Arai! N-namaku itu ARAI!!" balas bocah lelaki itu. "Dan Om, a-ajarin aku gimana caranya biar jago berantem!!"

"Ha? Kau ingin jadi jagoan, ya? Hehehe, menarik," ujar Ronnie. "Kalau begitu, aku punya tugas pertama untukmu, Arai. Dan ini tidak akan mudah. Hahahahaha!"

Tawa Ronnie pun menggema.

Kemudian debu-debu berpasir semakin menggila, tertiup oleh angin yang menderu-deru. Selubung debu berputar-putar mengelilingi bangunan sekolah seperti angin puyuh yang riuh.

Belum ada yang menyadari bahwa bangunan sekolah ini bukanlah sembarang bangunan. Ada semacam rahasia di balik semua itu, terkait dengan Alforea. Namun kita bahas saja itu nanti.

Sekarang, satu lagi peserta telah hadir di tempat ini.

(* * *)

Sinar hologram muncul di depan gerbang sekolah. Tadinya pudar namun lama-lama semakin menguat. Ketika sinar itu menghilang, sosok dalam hologram telah menjadi nyata.

"Dan di mana ini sekarang, ya Allah~!"

Hanya itu kalimat yang bisa diucapkan olehnya. Dan seketika dia pun menyadari bahwa suaranya kini telah berubah menjadi lebih ... err, imut. Tak lagi dia terdengar berwibawa seperti layaknya seorang guru.

Bukan hanya itu. Tampak pula olehnya kalau kedua kakinya, serta tangan kirinya, semua turut mengecil. Bahkan ketika dia mendapati pantulan bayangannya pada genangan air, tersadarlah dirinya kalau seluruh tubuhnya kini terlihat tak ubahnya seperti anak kecil. Seperti murid SD kelas 1.

"Ini …?! A-aku jadi muda lagi? Kutukan macam apa ini?"

Dan apa yang pertama kali terlintas di benaknya sewaktu menyadari tubuhnya mengecil?

"Masih SD sudah menjanda, ahahaha—astaghfirullah, ngomong apa aku ini!"

Yap, dia adalah seseorang yang dulunya dipanggil sebagai Bu Mawar. Sekarang dengan proporsi tubuhnya yang menyusut, mungkin lebih enak jika dia kita panggil sebagai Bu Mawar Kecil?

"Tubuhku boleh saja mengecil, tetapi hatiku tetaplah hati seorang guru. Karena kebenaran yang hakiki hanya ada satu, insya Allah! Ayo sini, tantangan macam apapun kali ini, biar kuladenin semuanya~"

Maka berjalanlah Bu Mawar Kecil dengan bersemangat. Namun pandangan matanya tertutup oleh tebalnya kabut berdebu, dia bahkan tak tahu sedang memasuki wilayah apa saat ini.

Di mana-mana terdapat genangan air, di mana-mana tampak kabut dan debu. Apakah sebelum ini baru saja hujan badai di sini? Langkah kakinya semakin waspada, menjadi lebih pelan.

Dan benar saja. Tahu-tahu sejumlah genangan air menciprat kencang, derap langkah asing mendekat dengan cepat diiringi teriakan "Uwoooooh!!"

Sebelum sempat bereaksi, Bu Mawar Kecil sudah dihantam oleh pipa besi dari arah samping. Terjungkal dia, kepala membentur tanah basah. Sekilas tampak olehnya bahwa penyerangnya itu merupakan sosok lelaki berpakaian gangster.

Lalu datanglah lelaki gangster lainnya, tiga orang sekaligus. Yang aneh, tubuh mereka kontet semua. Seolah terkena kutukan yang sama seperti yang saat ini mendera Bu Mawar.

Maka sial sudah nasib si Mawar Kecil. Dia digebuki tanpa ampun oleh para gangster cebol dengan pipa besi, palu, atau apapun yang mereka gunakan sebagai pentungan. Bintang-bintang derita pun mencuat setiap kali hantaman para gangster itu mengenainya.

Bu Mawar Kecil merasakan sakit dan nyeri, namun entah mengapa sama sekali tak ada darah memercik dari tubuhnya.

Sebagai gantinya, justru muncul semacam hologram aneh di atas kepala Mawar Kecil. Seperti diagram balok. Tadinya berwarna hijau, namun kini mulai menjadi kuning. Dan ukuran diagram itu semakin memendek setiap kali pukulan dari para gangster menyambar telak di tubuh si Mawar Kecil. Segera dirinya menyadari kalau diagram balok itulah yang kini menjadi simbol kehidupannya di babak ini.

"He-hentikan!" teriak Bu Mawar Kecil. "Kubilang hentikan semua ini!!"

Seharusnya bentakan itu mampu membuat siapapun tersentak. Namun kali ini, dengan suara yang kehilangan wibawanya, maka perkataan Bu Mawar versi mungil tiada memiliki daya apa-apa. Hilang sudah kemampuan spesial sang guru yang selama ini selalu membantunya menghadapi segala kesulitan.

"T-tolong hentikan …," kali ini suara si Mawar Kecil berganti memelas dan pasrah, alih-alih tegas. "Kumohon, *hiks* …!"

Namun tak ada yang menanggapi itu. Gangster-gangster itu tetap asik melancarkan pukulan demi pukulan. Diagram perlambang hidup Bu Mawar Kecil semakin memendek, berganti warna menjadi merah. Kini dia sekarat. Sampai pada suatu ketika—

"Ayolah! Masa' udah kalah sama musuh kroco di level terendah?!"

—suara seorang gadis memecah semua kebuntuan itu.

Dan suara itu diikuti oleh bunyi desing senjata api. Rentetan peluru menyambar dari suatu arah, telak menghujani para gangster.

Serangan itu ampuh. Diagram nyawa di atas kepala mereka berkurang secara drastis, lalu habis dalam sekejap. Dan bersamaan dengan hilangnya diagram tersebut, mereka tumbang. Lalu sosok mereka perlahan memudar menjadi hologram sampai akhirnya lenyap menjadi tiada.

Si penyerang menampakkan diri, dia keluar dari balik kabut debu. Dia mengenakan jubah sederhana, sementara pistol kembar tergenggam di masing-masing tangannya.

"Kau Player 2, ya? Aku baru tahu kalau game kali ini mesti dimainin berdua. Tapi payah deh kalau belum apa-apa udah sekarat nyawamu."

Bu Mawar Kecil melihatnya. Ternyata sosok sang penyelamat justru lebih mungil lagi daripada dirinya. Dia seperti anak kecil yang kena kutukan menjadi kecil sehingga tubuh kecilnya kini malah jadi superkecil. Ah, pokoknya seperti itulah.

Bagaimanapun, mata si Mawar Kecil segera menyadari sesuatu. Mata seorang guru pasti akan mengenali sosok penolongnya ini.

"Ka-kamu … Nak Eriza?"

Jelas saja si gadis mungil terkejut. "Kenapa kau bisa tahu namaku? T-tunggu, jilbab itu ... jangan-jangan dirimu …," kini dia balas memperhatikan, "B-Bu Mawar??"

Bu Mawar Kecil pun bangkit sambil teraduh-aduh. Debu sudah menempel di sekujur pakaiannya. Dia menggangguk kecil saja untuk menjawab pertanyaan Eriza.

"J-jadi beneran Bu Mawar? K-kok Ibu bisa ada di sini juga??"

Sang guru menghela nafas panjang sebelum membalas, "Yah … ceritanya panjang, Nak. Ibu lagi nyari anak-anak Desa Sukatarung yang menghilang. Ujung-ujungnya malah terdampar di dunia aneh begini."

"B-begitukah?"

"Yap, dan yang nggak bisa Ibu percaya, ternyata anak-anak yang hilang memang ada di sini!" Lalu Mawar Kecil menatap Eriza. "Termasuk dirimu, Nak Eriza. Kamu kan juga ada di daftar anak-anak hilang."

Eriza menggelengkan kepala. "A-aku nggak hilang," timpalnya. "Sama kayak Ibu, aku datang ke sini buat nyari yang lain. Atau tepatnya … nyari seorang anak lelaki yang brengsek!"

Emosi Eriza tiba-tiba memuncak. Bu Mawar sudah tahu siapa 'anak lelaki brengsek' yang dimaksud Eriza, namun sang guru membiarkan muridnya meneruskan sendiri kalimat tersebut.

"Iya! Aku ke Alforea ini buat ngasih pelajaran ke Arai jelek brengsek itu!!"



BAB 2 Permainan Dimulai


Arai dan Eriza adalah anomali di SDN Sukatarung O5, atau bahkan di seluruh Desa Sukatarung. Mereka berdua boleh dikatakan sebagai murid yang terlalu menonjol. Mereka berdua murid pindahan dari kota, masuk ke SDN Sukatarung 05 pada tahun lalu. Arai masuk ke kelas 5, sedangkan Eriza kelas 6.

Keduanya memiliki hobi yang sama, yaitu Jejepangan. Mereka sangat suka segala sesuatu yang berbau Jepang, terutama budaya populernya seperti anime, manga, game, cosplay, atau apapun. Namun anehnya, sekalipun memiliki kegemaran serupa, mereka berdua tak pernah akur.

Tak terhitung berapa kali keduanya cekcok. Mulai dari saling berbalas ejekan, sampai benar-benar perkelahian fisik. Semua mewarnai hubungan pelik kedua murid itu. Seringkali perselisihan keduanya sampai harus dilerai oleh para guru—termasuk Bu Mawar.

Ketika Eriza akhirnya lulus duluan, semua terasa lebih sepi.

Namun petaka itu akhirnya muncul yaitu hilangnya anak-anak Desa Sukatarungan. Arai adalah salah satunya.

(* * *)

Eriza mengeluarkan benda aneh, yakni daging besar (namun beresolusi sangat rendah sehingga tampak seperti gambar piksel). Diberikannya daging itu kepada Bu Mawar Kecil dan ketika sang guru memegang daging itu erat, terseraplah daging itu begitu saja. Sebagai gantinya, diagram nyawa sang guru kini kembali penuh.

"I-ini benar-benar seperti game, jadinya ya?" ujar Bu Mawar.

"Itu stok sirloin terakhirku, Bu," kata Eriza. "Mulai sekarang hati-hatilah. Mesti siap tempur."

Bu Mawar Kecil mengangguk. Dia pun memungut satu pipa besi dengan tangan kirinya untuk dijadikan senjata. Eriza langsung menyadari sesuatu.

"Tangan k-kanan Ibu kenapa?"

Sang guru hanya tersenyum kecil, "Kamu nggak perlu mengkhawatirkan soal ini, Nak." Mawar Kecil lantas mengayun-ayunkan pipa besi itu dengan lagak siap. "Nah, kamu Player 1-nya kan, Eriza? Sekarang misi kita apa?"

Eriza menjawab dengan sedikit gugup, "Tadi sebelum masuk ke stage ini, ada tulisan digital yang bilang begini: Selesaikan ronde Sekolah Debu, kalahkan Big Boss!"

"T-tunggu!" Bu Mawar tersentak. "J-jadi ini adalah sekolahan?"

Maka pandangan sang guru kini kembali tertuju ke depan. Memang tertutup oleh kepulan debu, namun siluet bangunan itu kini tampak lebih jelas ketika matanya terfokus untuk melihat.

"Bukan sekolahan biasa kayaknya sih, Bu," jelas Eriza. "Kan ini cuman game."

"Hmm … gitu ya?"

Belum sempat keduanya berdiskusi lebih lanjut, musuh-musuh sudah kembali datang. Kali ini gangster bermotor. Mereka muncul dalam rombongan besar, tampak begitu mengintimidasi. Knalpot mereka menyemburkan asap hitam legam, seolah kepulan debu di tempat ini belum cukup mengganggu.

"Mereka datang lagi, Bu!"

"Oke, k-kali ini Ibu lebih siap!"

Yang pertama datang adalah sepasang pengendara motor yang melaju beriringan. Mereka sudah mengayun-ayunkan rantai berbandul besi, siap melumat siapapun.

Namun Eriza lebih sigap. Dia membidik dengan jitu. Pistol di tangan kanannya mengincar satu pengendara, pistol di tangan kirinya membidik pengendara lainnya. Setelah beberapa kali tembakan, kedua penyerang itu terjengkang dari motor mereka. Nyawa mereka habis, mereka lenyap. Tersisa dua motor yang saling bertabrakan dan meledak secara dramatis.

Bu Mawar Kecil tertegun menyaksikan kecanggihan gaya bertempur muridnya. Namun segera si murid menyadarkan gurunya dari lamunan.

"Bu Mawar! Di dunia game ini, kita bisa lebih cepet, terus juga lebih kuat daripada di dunia asli!" seru Eriza. "Kayak yang Ibu sering bilang ke kami di kelas Kesenian: Percaya dirilah, jadilah lebih kreatif! Bu Mawar pasti bisa!"

Sungguh si Mawar Kecil tak menduga kalau dia akan mendengar nasihatnya dikembalikan kepada dirinya, oleh muridnya sendiri. Sang guru tersenyum lebar. Entah mengapa, keberaniannya kini meluap-luap.

Satu pengendara melajukan motor ke arah Bu Mawar Kecil, hendak melindasnya. Namun kali ini reaksi dirinya sungguh luar biasa.

Dengan satu lompatan, Bu Mawar berkelit ke atas melewati motor dan pengendaranya. Lalu dalam posisi terbalik di udara, dihantamkannya pipa besi itu ke kepala si pengendara.

Satu bintang raksasa kemerahan pun mencuat, disertai munculnya tulisan holografis "CRITICAL HIT" saat pukulan Bu Mawar mengena telak di tengkuk lawannya. Wanita mungil berjilbab itu mendarat sempurna sedangkan si pengendara terpelanting dan balok diagram nyawanya kosong seketika.

Kini Eriza dan Bu Mawar berdiri berdampingan, penuh kepercayaan diri. Gerombolan bermotor gentar. Dan Bu Mawar, meskipun kehilangan kekuatan sugestinya dalam wujud kecil ini, tetap berupaya untuk membuat lawan-lawannya semakin gentar.

"Ini sekolahan!" bentaknya. "Bukan markas geng motor!!"

Hardikan itu malah membuat musuh marah. Mereka kini menyerang secara serentak. Namun seperti kata Eriza sebelumnya, musuh di tingkatan ini sesungguhnya hanya level kroco saja. Kalau menggunakan bahasa game, mereka semua ini memiliki stats yang rendah, diagram nyawa yang sedikit, serta pola gerakan yang tak terlalu variatif.

Duet Mawar Kecil dan Eriza Mungil sukses membereskan lawan, sedikit demi sedikit. Pukulan pipa besi Bu Mawar dari jarak dekat, tembakan pistol kembar Eriza dari jarak jauh … lalu tak butuh waktu terlalu lama, semua gangster di level itu lenyaplah sudah.

Pertarungan pembuka telah selesai.

"Bu Mawar, sekarang kita masuk ke gedung sekolahan! Level selanjutnya pasti di sana!" seru Eriza.

"Oke, tunjukkan jalan~" sambut si Mawar Kecil dengan gembira. Dia mulai menikmati permainan ini.

Maka mereka berdua berlari ke arah pintu depan gedung sekolah. Buasnya angin debu bercampur pasir tidak mengalangi langkah mereka, paling hanya membuat mata sedikit kelilipan.



Tak lama, Mawar dan Eriza sudah sampai di koridor lantai satu.

Sungguh gedung sekolah ini seperti tak terawat. Tampak coret-coretan grafiti di sepanjang tembok ataupun lantai, bahkan di langit-langit. Kaca-kaca ruangan kelas lebih banyak yang pecah. Pintu rusak. Dan bahkan, di dalam gedung pun dipenuhi dengan butiran pasir serta kepulan angin berdebu, meskipun tidak sebanyak di luar.

Karena mereka sudah memasuki level baru, iringan musik pun hadir. Jika di luar mereka hanya mendengarkan deru debu, maka di dalam gedung ini tiba-tiba terdengar musik instrumental yang ceria dengan beat tinggi. Lumayan sebagai lagu pengiring pertempuran.

Lantai pertama, musuh adalah kumpulan dari murid-murid berandalan—atau setidaknya tampak seperti itu. Sesungguhnya mereka hanyalah eksistensi virtual berupa kumpulan data padat. Tak memiliki jiwa, hanya bergerak berdasarkan pola yang telah terprogram.

Secara garis besar, musuh-musuh di lantai pertama ini tidak begitu tangguh. Hanya saja, diagram nyawa mereka lebih panjang daripada sekumpulan gangster di luar.

Bu Mawar dan Eriza tak mengalami kesulitan berarti menghadapi mereka.

Kemudian boss lantai pertama pun muncul, bersamaan dengan bergantinya lagu pengiring menjadi lebih dramatis. Rupanya boss lantai ini adalah guru olahraga berbadan gempal, ditemani beberapa murid berseragam training.

Guru olahraga itu melompat tinggi, hendak menjatuhkan diri untuk menimpa si Mawar Kecil dan Eriza Mungil.

"Eriza, mengindar!!"

"Siap, Bu!"

Lantai meretak ke segala arah ketika guru olahraga menghunjam bumi dengan badan gempalnya, debu dan pasir beterbangan tinggi. Untung saja Bu Mawar dan Eriza masih bisa melompat ke samping. Guru olahraga itu malah menimpa muridnya sendiri. Murid malang itu gepeng seketika, lalu lenyap karena kehabisan nyawa.

"Ih, kuat juga dia! Sekali gencet langsung tewas itu muridnya sendiri," ujar Bu Mawar. "Guru olahraga macam apaan tuh?"

"Kita serang dia, Bu!" seru Eriza.

Maka mereka berdua kompak menyerang boss lantai satu tersebut. Sekumpulan murid bawahannya cukup dihindari saja karena toh mereka bakal mati sendiri karena terkena serangan liar dari si guru olahraga.

Perlu waktu yang tak sebentar untuk menumbangkan boss pertama ini. Pola serangannya sederhana, tetapi waktu untuk menyerangnya balik tidaklah banyak. Ketika melompat, maka saat itulah guru olahraga itu seperti tak tersentuh. Baru setelah dia mendarat maka pertahanannya terbuka lebar.

Sempat beberapa kali Bu Mawar Kecil ataupun Eriza terserempet serangan si boss, mengakibatkan berkurangnya diagram nyawa mereka berdua. Hingga sekarang, hanya tersisa sekitar setengah balok saja.

Beruntung pada satu kesempatan, Bu Mawar dan Eriza sukses mendaratkan satu serangan kombinasi yang telak. Kerusakan yang ditimbulkan pun maksimal.

Guru olahraga itu terhempas ke dinding, lalu dinding itu roboh menimpanya. Dan dia tak akan pernah bangun lagi karena nyawanya kini sudah kosong. Dari puing-puing dinding, muncullah dua roti yang langsung mereka ambil.

Hanya menambah sedikit saja garis nyawa, namun itu lebih baik daripada tak ada sama sekali.

Selain itu, muncul pula sebuah kotak harta. Eliza membukanya dan mengambil satu senjata yang tersimpan di sana, yakni senapan mesin. Kebetulan kedua pistolnya sudah kehabisan amunisi.

"Sekarang, hayuk kita ke lantai dua!" seru Bu Mawar.



BAB 3 Puncak Sekolah


Pada lantai kedua, lawan yang dihadapi adalah murid-murid dari beragam klub ekstrakurikuler. Dan ini agak merepotkan. Setiap klub memiliki pola bertempur yang berbeda.

"Itu … mereka lagi ngapain sih, Bu?" Eriza terheran.

"Err, bukannya udah jelas, Nak?" jawab Bu Mawar Kecil.

Sekumpulan murid berseragam amat rapih tampak berderet dan berjajar dengan amat rapih pula. Pola gerakan mereka pun serasi lagi seirama. Jejak langkah kaki mereka seiring dan sejalan. Sungguh sempurna. Mereka dari Paskibra, selalu berbaris dengan penuh kebangga—

"Ah bodo amat!"

Eriza sudah sewot. Dia langsung menembaki anak-anak Paskibra dengan senapan mesin—yang tadi dipungutnya dari dalam kotak harta. Matilah anak-anak Paskibra itu dalam kematian yang begitu rapih dan indah.

Kemudian datang guru pembina Paskibra, murka akibat murid-muridnya ditewaskan begitu saja. Namun baru saja dia mendekat selangkah, kali ini giliran Bu Mawar yang menjegal dengan pipa besi. Guru pembina itu tersandung, lalu terlempar ke luar jendela, lalu jatuh dan mati secara epik.

"Maafkan kami …."

Si Mawar Kecil menghela nafas lelah. Ini sepertinya memang sebuah game. Meskipun demikian, menghabisi "nyawa" seseorang tetaplah terasa begitu berat baginya.

"Urgh, untuk ukuran game Beat 'Em Up, entah kenapa AI-nya makin lama makin kerasa manusiawi. Ini nyebelin," keluh Eriza yang ternyata juga ikut merasakan kegelisahan Bu Mawar.

Namun mereka berdua tak bisa galau selamanya. Sudah datang serbuan gelombang berikutnya.

Murid-murid dari klub memasak datang dengan membawa panci, pisau dapur, penggorengan, spatula, atau apapun yang bisa diambil dari dapur sebagai senjata. Mereka berniat memasak Bu Mawar dan Eriza, tetapi akhirnya justru mereka semualah yang dimasak oleh duo petarung itu.

Sempat satu peluru dari Eriza menembus tabung gas LPG yang dibawa oleh salah satu murid klub memasak. Meledaklah. Hancur dan gosong semua yang berada dalam radius 5 meter. Koridor pun menganga akibat temboknya berlubang, membuat lebih banyak angin berdebu yang menerobos masuk ke dalam.

Sekalipun berada di luar radius ledakan, Bu Mawar dan Eriza juga terkena dampak dari hempasan ledakan itu. Mereka terlempar mundur dan kehilangan sejumlah garis nyawa.

"M-maafkan aku, Bu," Eriza bangkit dengan tubuh bergetar.

"… tidak apa-apa," Mawar juga bangun sambil menyeka debu hitam yang menempel di jilbabnya. "Ibu kaget tadi bisa meledak gitu. Tapi yah … jalan ke depan sekarang jadi kebuka lebar."

Masih ada beberapa klub yang menghadang, seperti klub sepakbola, taekwondo, catur, bahkan klub memandang bintang. Namun dengan segala keberuntungan, semua itu bisa diatasi.

Sepertinya tidak ada boss penjaga lantai dua. Akhirnya Bu Mawar dan Eriza, duet kecil-mungil itu, melangkah naik ke lantai berikutnya.



Dan inilah lantai ketiga.

Semuanya menjadi lebih brutal di lantai ini.

Penghuni lantai ini adalah para mafia bersetelan rapih ala Italia. Dan bukan sekadar penampilan, mereka semua membawa senjata yang sewajarnya digunakan mafia, yaitu pistol dan senapan.

Tak ayal, terjadilah baku tembak antara para mafia dengan Eriza. Sementara itu, Bu Mawar yang tak punya senjata api apapun hanya bisa bersembunyi di balik tembok.

Namun seperti yang bisa ditebak, Eriza kalah jumlah. Sangat jauh. Baru sebentar beradu peluru, dia sudah kehabisan amunisi. Pistol kembarnya, ataupun senapan mesin yang tadi dia pungut dari kotak harta, semua jadi tidak berguna. Sekarang dia ikut berlindung di balik tembok, di samping gurunya.

"Waduh, kali ini gimana??" untuk pertama kalinya hari ini, Eriza panik.

Tembok tempat mereka berlindung sudah semakin terkikis oleh gempuran peluru. Sementara itu para mafia kian mendekat. Bunyi langkah kaki mereka, di tengah bising tembakan, justru semakin membuat Eriza tertekan.

Di sisi Eriza, akhirnya Bu Mawar Kecil mencoba melakukan sesuatu.

"… ehem, ehem, tes tes … lalala … tes satu dua tiga."

Alis Eriza naik. Ditanyanya, "Bu Mawar s-sedang apa?"

"Err, itu … Ibu sedang mengetes suara," jawab si Mawar Kecil. "Suara Ibu jadi aneh sejak jadi muda—maksud Ibu, sejak jadi kecil begini. Padahal biasanya bentakan Ibu itu ampuh, lho."

Eriza mengangguk-angguk. Dia juga pernah jadi korban bentakan sang guru.

"Tapi sekarang suara Ibu terlalu kyut buat bentak-bentak orang. Jadinya kagak ngefek apa-apa," keluh Mawar Kecil.

Mereka berdua terdiam.

Sementara itu, hujan tembakan dari para mafia semakin gencar. Bu Mawar dan Eriza sudah begitu terpojok, hampir tak ada sisa tembok untuk berlindung. Dan saat itulah Eriza teringat sesuatu.

"Bu Mawar! Mungkin teriakan Ibu cuman kurang keras aja?"

"Hah?"

"Sebentar, aku mau ngambil sesuatu!"

Eriza pun meninggalkan lokasi untuk kembali ke lantai bawah. Dia berlari dengan tergesa-gesa hingga hampir tergelincir sewaktu menuruni tangga.

Gempuran para mafia sudah hampir mendekat. Bu Mawar Kecil hampir putus pun berniat untuk ikut kabur ke lantai bawah. Namun saat itulah Eriza sudah kembali—

—dengan membawa TOA.

Entah dari mana Eriza mendapatkan benda itu, mungkin dari salah satu ruangan klub di lantai dua.

"Ini, Bu! Pakai ini coba deh!!"

Tanpa banyak tanya, Bu Mawar Kecil pun mengambil pengeras suara itu dari tangan muridnya. Dinyalakannya alat itu. Kemudian setelah menarik nafas dalam-dalam, Bu Mawar segera berseru sekeras-kerasnya memanfaatkan TOA tersebut.

<<Dasar kalian mafia nakal! Kalian Ibu setrap!! Angkat sebelah kaki, tangan kanan jewer kuping kiri, lalu tangan kiri colok lubang hidung!! Dan tutup mulut kalian, jangan sampai kedengaran suara sedikit pun! Lakukan sekarang juga!!>>

Kali ini ajaib.

Suasana menjadi hening. Hujan peluru reda.

Semua mafia perlente itu menurut saja setelah mendengarkan perintah dari Bu Mawar Kecil. Segala pistol dan senapan mesin yang ada di genggaman mereka terlepas. Lalu mereka kompak berpose bodoh layaknya anak-anak SD yang sedang dihukum.

Bahkan Bu Mawar Kecil pun tak menyangka kalau teriakannya kali ini begitu efektif. Eriza ikut terheran. Namun mereka berdua tak mau berlama-lama terdiam. Segera mereka berjalan melewati kumpulan mafia yang terbisu dan terpana.

"Permisi yak, Mas-Mas sekalian. Ibu Guru mau lewat dulu," kata si Mawar Kecil.

"Aku pinjam senjata-senjata kalian yak, Om-Om ganteng," Eriza ikut menggoda, sambil memungut senapan mesin dan sejumlah pistol.

Tangga menuju puncak sekolah sudah terlihat, keduanya pun bergegas. Namun tiba-tiba—

Terdengar bunyi nyaring menggelegar. Ledakan api beruntun menyambar koridor lantai tiga!

Eriza dan Mawar terhempas, terkena lumayan telak. Garis nyawa mereka segera berkurang drastis, menjadi merah. Mereka terkapar terguling-guling, mengepulkan asap hitam. Namun itu pun masih terbilang beruntung.

Sebab, seluruh mafia yang tadinya berdiri di koridor karena sugesti Bu Mawar, kini mereka semua telah lenyap tak bersisa. Semua mafia itu tewas karena tersambar ledakan aneh barusan.

"Astaghfirullah! Apa-apaan itu tadi?!" seru Bu Mawar.

"H-hati-hati, Bu! Mungkin Boss Besar ada di atas!" sahut Eriza. "Dan gimana ini? Nyawa kita tinggal sedikit gini, urgh …."

Maka keduanya bangkit dengan perlahan. Lalu mereka menaiki tangga dengan kewaspadaan tinggi.

Tak lama sampailah mereka di atas.

Dan betapa terkejutlah Eriza begitu mengetahui siapa yang menanti mereka di sana.

"A-Arai?!"



BAB 4 Bangkitnya Mawar Berduri



"Eriza??" ternyata Arai juga terkejut. "Ternyata player yang m-mesti kuberesin itu elu, Za?!"

Arai melirik ke belakang, namun sosok Ronnie Staccato di sana hanya berdiri menyandar di pagar sambil bersedekap. Dia menyeringai seolah mengatakan "Kenapa? Kau takut sekarang, Bocah?".

"Dasar Arai brengsek!" maki Eriza. "Capek-capek gue ke sini, elu-nya malah jadi penjahat. Goblok kok dipelihara?!"

"Eh apa lu bilang? Siapa yang brengsek, siapa yang goblok?!" balas Arai. "Dasar cewek jadi-jadian! Gue mau jadi apa itu urusan gue sendiri, Jelek!"

"Elu yang jelek!!"

Kedua murid itu pun saling membalas dengan bahasa yang kasar. Bahkan, mereka sudah siap untuk bertempur. Melihat itu, Bu Mawar Kecil tentu saja berniat untuk segera melerai keduanya. Akan tetapi—

—tahu-tahu Ronnie sudah berdiri di belakangnya sambil menodongkan pistol ke tengkuk Bu Mawar Kecil.

"Jangan ganggu mereka, Signora Mawar," ancam Ronnie. "Kenapa tidak kita saksikan saja pertempuran mereka dari jauh?"

Ronnie memancarkan aura menekan yang membuat Bu Mawar sekalipun tak berkutik. Bahkan ketika tubuhnya juga ikut dikutuk menjadi kecil, Ronnie tidak kehilangan karismanya sebagai Mafia Camorrista.

Bu Mawar Kecil terdiam. Dia mencoba mengumpulkan keberanian, menanti kesempatan untuk melawan balik.



Dan akhirnya pertempuran Arai-Eriza dimulai juga.

Di dunia ini, Arai ternyata telah berubah menjadi seorang penyihir. Dari pakaiannya, serta teknik bertarung yang dia peragakan.

Sejumlah bola api dilontarkan Arai untuk menghanguskan Eriza, namun gadis mungil itu masih cekatan. Diagram nyawanya tinggal sedikit, dia harus benar-benar waspada.

Tembakan balasan dari Eriza mengenai tubuh Arai secara telak. Namun ternyata balok diagram nyawa bocah lelaki itu sungguh panjang.

"Heh! Elu sekarang jadi boss di game ini ya? Dasar jelek!" cela Eriza.

Arai membalas, "Lu pulang aja sono, ke Desa Sukatarung! Gue males ngelihat mukalu!"

"Apaa?!"

Maka Eriza terus menembak. Kali ini sejumlah tembakan berhasil ditepis Arai dengan sihir tabir. Dan pertempuran semakin intens.



Bu Mawar Kecil belum bisa bergerak. Terpaksa dia menyaksikan dari jauh, untuk saat ini. Di belakangnya, Ronnie terkekeh sendirian. Tampak dia begitu menikmati perkelahian dua murid Bu Mawar.

"Bagaimana, Signora Mawar? Melihat kedua muridmu saling bunuh begitu, bagaimana perasaanmu sebagai guru mereka?"

Mendengar ejekan itu, Bu Mawar hanya menggeram. Dia menggenggam pipa besi di tangan kirinya dengan lebih erat. Sebentar lagi kekuatan mentalnya akan cukup untuknya melepaskan diri dari tekanan Ronnie. Sebentar lagi ….



Saat itu, duel Arai-Eriza sudah sampai pada klimaksnya.

Ternyata Eriza yang lebih unggul. Dia mampu membaca semua serangan sihir Arai dan menghindari sihir-sihir itu secara gemilang. Balok diagram nyawa Eriza hampir tak berkurang sama sekali. Malah kini balok nyawa Arai yang mulai merah—padahal tadinya begitu penuh.

"Sial, sialan lu, Za!!" maki Arai. "Kenapa gue tetep nggak bisa menang dari lu di sini. K-kenapa?!"

Arai melepaskan sihir petir, namun itu pun mampu dielakkan oleh Eriza. Gadis mungil itu hanya memiliki sedikit amunisi tersisa, maka dia memutuskan untuk mendekat dan melancarkan serangan balasan secara langsung.

Eriza menendang perut Arai begitu kuat, bocah lelaki itu terjungkal jauh ke belakang. Garis kehidupannya sudah kedap-kedip.

"Heh! Memangnya kenapa lu pikir, Blo'on?!" kali ini Eriza balik memaki. "Itu karena elu emang lemah!" Eriza menodongkan kembali pistolnya. "S-sekarang nyerah aja deh, lu! Cepetan nyerah!!"

"Gimana bisa … gimana bisa begini? Urgh …," Arai malah meratap sendirian, alih-alih merespon Eriza.

Saat itulah terjadi petaka itu.

Tahu-tahu Ronnie sudah berada tepat di sebelah Arai yang terkapar! Bahkan Bu Mawar pun terkejut mengetahui sosok yang tadi masih ada di belakangnya kini malah sudah berpindah jauh.

Pria perlente itu lantas menjambak rambut Arai seraya mengangkat tubuh bocah lelaki tersebut.

"Aku berubah pikiran," ujar Ronnie. "Kamu belum pantas jadi anak buahku."

Eriza bersiap menembak, Bu Mawar pun sudah berlari untuk mengejar, namun Ronnie sudah tak terhentikan.

Pria itu melancarkan tinju sekuat tenaga ke perut Arai, membuat balok nyawa bocah lelaki itu habis. Tubuh Arai pun terpelanting dan terseret hingga ke sisi Eriza. Dan perlahan-lahan, sosok Arai mulai memudar.

"ARAI!! T-TIDAAAK!" jerit Eriza. Gadis mungil itu pun terjongkok di samping Arai dengan mata berkaca-kaca. "A-Arai …."

Belum pernah Arai melihat Eriza menangis seperti itu. Terukirlah senyuman kecil di wajah si bocah lelaki. "Eriza … maafkan …."

Kemudian sosok Arai lenyap menjadi butiran holografis berkilau.

Dia tak sempat mengatakan apa-apa. Tak sempat mengatakan kalau sesungguh dirinya mengagumi Eriza. Bahwa sesungguhnya dia ingin menjadi lebih kuat dari Eriza agar bisa melindunginya.

Arai adalah manusia dari dunia nyata. Dia bukan eksistensi virtual yang menghuni tempat ini. Ketika diagram nyawanya habis, maka …

"BANGSAT!!" meluaplah emosi Eriza. "BERANINYA KAU, BAJINGAN!!"

Eriza kini mengincar Ronnie, si pembunuh.

Bu Mawar mencoba mencegah, "J-jangan, Eriza! Jangan serang pria itu, Nak! D-dia berbahaya!!" Namun suara sang guru tak sampai ke hati muridnya.

Eriza menggunakan seluruh sisa amunisinya untuk menembak Ronnie. Namun saat itulah teknik Ronnie bekerja. Dengan pengamatan cermat, pria itu mampu memperkirakan arah laju peluru Eriza untuk kemudian diantisipasinya.

Untuk pria yang bahkan mampu menghindari tetesan hujan, mengelak dari terjangan peluru tentu sama mudahnya.

Ketika peluru Eriza habis, Ronnie masih berdiri tegak tanpa terluka sedikit pun. Beda level.

Lalu Ronnie sudah berada tepat di hadapan si gadis mungil.

"Jangan berani kau sentuh muridku!!" Bu Mawar berteriak.

"Oh, ya?" namun Ronnie tak terpengaruh oleh itu. "Aku akan lebih daripada sekadar menyentuh."

Maka petaka kedua pun terjadi.

Ronnie melancarkan tendangan yang sangat kuat ke arah muka Eriza. Gadis itu terpental menerobos pagar pengaman. Lalu dia terjatuh dari puncak sekolah. Dua detik kemudian tubuhnya menghunjam bumi. Bunyi jatuh itu menggema kecil saja.

Dan Eriza kini sudah menyusul Arai.

"Hahahahahaha!" Ronnie terpingkal puas. "Mampuslah kalian, Nak! Mampus! Hahhahhahhahhaha!!"

Tawa pria itu seolah tak akan pernah berhenti, andai saja dia tak merasakan hawa yang begitu menekan, yang datang dari arah samping. Begitu diliriknya ke arah sana, sosok Bu Mawar Kecil sudah diselimuti oleh aura kegelapan yang pekat.

"Lagi-lagi begini," gumam Bu Mawar. "Aku nggak bisa melindungi muridku di depan mataku sendiri. Lagi-lagi begini …."

Aura kegelapan Bu Mawar bertambah pekat, dia tak lagi tampak seperti sosok kecil yang imut. Ketika Bu Mawar Kecil diselubungi aura itu, kekuatannya bangkit. Balok diagram nyawanya yang tadinya sudah merah, kini kembali terisi hingga penuh.

Kemudian dia melotot ke arah Ronnie.

"Untukmu, Tuan," kata Bu Mawar, "kau sungguh perlu diajar. Dan dihajar!!"

Ronnie terkekeh, "Menarik. Ayo maju sini, Signora!"

Inilah pertarungan penutup babak ini.

Bu Mawar melawan Ronnie Staccato.



Bab 5 Duri dan Debu


Angin berdebu berhembus begitu kencang, musik pengiring laga akhir pun berkumandang.

Hanya tersisa dua orang di sekolah berdebu ini, dan keduanya kini akan baku hantam.

Yang diserang lebih dahulu adalah Bu Mawar Kecil.

Ronnie melancarkan kombinasi pukulan kiri-kanan, menghajar wajah sang guru, dilanjutkan dengan tinju telak ke perut. Tertekuklah badan si Mawar Kecil.

Kemudian mafioso itu menangkap belakang kepala Bu Mawar dengan kedua tangan. Maka keluarlah gerakan khas kickboxing yang dikuasai Ronnie.

Ditariknya kepala Bu Mawar ke bawah untuk disambut oleh hantaman lutut kiri. Lalu dilanjutkan dengan lutut kanan, kemudian kiri dan kanan bergantian. Semua mendarat di wajah guru itu tanpa tertahankan. Hingga pada kombo kesepuluh, maka Ronnie melepaskan hantaman lutut sekuat tenaga.

Bu Mawar terpelanting, namun dia masih sempat bereaksi. Dilecutkannya pipa besi menyambar pelipis dahi Ronnie—bahkan sang Camorrista tak menduga munculnya serangan balasan itu.

Terjatuhlah Bu Mawar Kecil, sedangkan Ronnie kini sudah berlutut merasakan dampak dari pukulan lawannya. Sang Camorrista telah tertusuk duri sang Mawar.

Sekujur badan Ronnie merinding ngeri oleh tekanan aura kegelapan Bu Mawar yang menerobos masuk ke relung sanubarinya. Namun Ronnie adalah petarung pro, dia bisa kembali menguasai diri. Bangkitlah dia menepis semua tekanan itu.

"Sialan kau, Signora! Punya jurus aneh begitu," umpat Ronnie.

Berikutnya, giliran Bu Mawar yang bangkit. Balok diagram nyawanya berkurang seperempat akibat kombinasi serangan Ronnie barusan.

"... dan hanya berkurang segitu?" Ronnie terheran. "Rupanya aura anehmu itu menaikkan pertahananmu, ya? Kalau begitu aku akan serius seka—"

Belum sempat sang Camorrista menyelesaikan dialognya, Bu Mawar Kecil yang diselimuti aura kegelapan sudah menyerbu maju. Pipa besi terayun.

Ronnie tak mau menangkis, sebab sentuhan sedikit saja akan membuat mentalnya menderita. Maka dengan keahlian pengamatannya, Ronnie mengelak.

Satu dua ayunan pipa besi Bu Mawar terhindari dengan sempurna. Ronnie bisa membaca serangan itu. Tiga empat lima, masih bisa dielakkan. Namun Ronnie mulai menyadari ...

Signora ini tak pernah berkelahi! Gerakannya sungguh sembarangan!! Bahkan petarung jalanan pun lebih bisa ditebak daripada ini ...!

Maka pada pukulan kesebelas, Ronnie salah mengantisipasi. Pinggangnya terserempet ujung pipa besi yang diselimuti aura kelam. Ronnie kembali terpuruk, bulu kuduknya berdiri tegak. Badannya gemetar oleh rasa takut yang aneh, lebih menekan daripada jika seluruh Don di negeri Stallza menyidangnya di satu ruangan tertutup.

Kali ini, sebelum Ronnie meneguhkan mentalnya untuk mengusir tekanan batin itu, Bu Mawar sudah melancarkan serangan lain.

"Senyum tengilmu kayak Pejabat Dinas Pendidikan yang korup, pengen kutendang saja!"

Maka benarlah muka Ronnie dihantam oleh sol sepatu kets Bu Mawar. Bintang kuning memancar terang. Tulisan "CRITICAL HITS" kenbali muncul.

Terjengkanglah pria itu.

Tendangan sepenuh hati sang guru mengurangi balok nyawa Ronnie sebanyak 25 persen. Kini mereka setara.

Dengan kepala mengepul oleh rasa kesal, Ronnie bangkit sambil bersalto ke belakang. Tak bisa dibayangkan kalau kerusakan dari kombo serangannya itu ternyata sebanding dengan satu tendangan lawan. Apa-apaan ini?

Ronnie meludah. Dia mulai menganalisa, "Cih, settingan game chibi ini membuat kekuatan kita menjadi sama kuat, heh? Seperti Kuririn yang bisa mengalahkan Cell dalam video game Dragonball—"

"Ah, banyak bicara kau, Tuan!" hardik Bu Mawar.

Terkagetlah Ronnie oleh bentakan lawannya. Kemudian nyawa Ronnie berkurang lagi sebanyak 5% akibat serangan barusan.

"Ap-apa?! Bagaimana b-bisa??" semakin terkejutlah sang Camorrista.

Kemudian Bu Mawar kembali berseru, "Kalau sudah berdiri, maju sini. Biar kutatar kau sampai jadi orang bener!!"

Tambahan kerusakan 5% lagi.

Ronnie benar-benar berang. Rupanya lawan dia kali ini tak boleh dibiarkan membuka mulut sama sekali.

Terdesak, maka Ronnie menyiapkan serangan istimewa. Lebih istimewa daripada yang biasa dia lakukan di dunia nyata. Dua jari tangan kanannya menunjuk ke depan. Kemudian secara ajaib, seluruh debu tebal dan butiran pasir yang ada di sekelilingnya pun berkumpul di ujung jari itu.

Sekarang terbentuklah bola debu padat sebesar manusia.

Bu Mawar terperanjat.

"Biasanya kupakai teknik ini untuk membutakan mata lawan," lagak Ronnie, "tapi khusus untuk Signora … kusiapkan ukuran jumbo."

Ronnie melepaskan tembakan debu. Melesatlah bola itu secepat angin ke arah Bu Mawar. Dan guru itu terlambat bereaksi. Dia terkena telak dan terdorong jauh hingga membentur tembok menara sekolah. Lalu semua menjadi sangat dramatis.

Ledakan besar.

Bola debu memecah dan menyembur deras, tembok meruntuh. Kepingan batu berjatuhan. Musik pengiring tak lagi terdengar, berganti oleh bunyi gaduh. Lalu terakhir, seluruh menara itu tumbang begitu kerasnya dari puncak sekolah hingga menghunjam permukaan tanah di bawah.

Dan di manakah Bu Mawar Kecil?

Sepertinya dia tertindih tumpukan puing, sosoknya tak terlihat. Hanya diagram nyawanya saja yang tampak, dan sudah berkurang sangat drastis oleh satu serangan itu. Warnanya berganti merah dan berkedip-kedip. Hingga kini, hanya tersisa sekitar 6 persen saja.

Lalu tiba-tiba, diagram itu mengilang begitu saja.

Bukan, Bu Mawar belum tewas. Tadi garis nyawanya masih belum habis. Yang terjadi sekarang … adalah hal yang lain. Bahkan Ronnie pun terkejut. Diagram nyawa pria itu juga menghilang, soalnya. Kemudian …

"Hah, i-ini??"

Ronnie mendapati dirinya tidak lagi berukuran mungil. Suaranya kembali seperti semula. Dan kini sebagian kepalanya mulai merasakan sakit, akibat tadi terkena tendangan Bu Mawar. Selama menjadi ukuran mungil, semua seperti game, tidak terasa sakit kalau dipukul. Tidak ada memar. Tidak ada darah, melainkan efek visual saja.

Namun sekarang, hidungnya meneteskan darah. Ada bekas tapak sepatu di wajahnya, lalu belakang kepalanya ada memar.

"Semua kutukan itu menghilang sekarang? Kalau begitu," Ronnie langsung berpikir, "ini bagus sekali! Hahahaha!!"

Ada sesuatu di menara sekolah, penyebab semua kutukan itu. Ketika menara itu hancur-lebur, lenyap pulalah segala kutukan yang dibawanya. Entah bagaimana cara kerja kutukan itu, Ronnie tak peduli.

Sekarang dia berlari ke arah tumpukan puing. Ditendanginya segala bongkahan batu, kayu, rangka baja, pokoknya semuanya. Sampai akhirnya ditemukanlah sosok Bu Mawar terbaring tak berdaya di antara reruntuhan, ukuran tubuhnya pun kembali normal. Sementara itu, aura kegelapannya malah mengilang.

"Ketika semua kembali normal, maka kesetaraan kita hilang sudah. Bukan begitu, Signora?"

Ronnie merengkuh pinggir jilbab Bu Mawar, lalu ditariknya hingga tubuh sang guru terangkat. Sehingga tampaklah wajah Bu Mawar yang sudah tak manis lagi akibat lebam dan kucuran darah. Wanita berjilbab itu hanya bisa meringis.

"Kenapa? Lemas, ya?" ledek Ronnie. "Tubuh serasa remuk? Sudah pasti. Mestinya memang begitu sejak tadi!"

Lalu diseretlah tubuh Bu Mawar keluar dari tumpukan puing. Setelah itu, Ronnie melempar lawannya ke lantai.

Seringai bengis terpancar di wajah sang Camorrista.

"Sudah lama aku tidak menistai wanita. Dan apa salahnya kalau kulakukan sekarang?"



Bab 6 Kembali Nyata


Ronnie Staccato.

Namanya telah menjadi legenda di Negeri Stallza. Atau tepatnya, dia sendirilah yang mengarang dan menyebarkan cerita legenda tentang dirinya. Dia menyukai itu. Saat namanya tersebar sebagai mitos. Ditakuti. Disegani. Lalu uang terus mengalir dan dia bisa berbuat apa saja sesuka hatinya.

Dia adalah Ronnie Staccato, tak ada yang tahu apakah dia benar-benar seorang manusia atau bukan. Tak ada yang bisa menebak asal-usulnya. Dia telah ada sejak lama. Dia kuat, dia momok bagi seluruh musuhnya. Dia punya uang, kekuasaan, tipu daya, serta segala yang dia butuhkan untuk bertahan hidup, atau untuk membuat orang lain mati.

Dan sekali lagi, Ronnie Staccato bisa berbuat apapun yang dia mau.

Termasuk memperkosa wanita.

Kali ini calon korbannya adalah seorang guru sekolah dasar. Janda kembang, tidak perawan lagi. Tetapi tubuhnya tetap terjaga kehormatannya dari lelaki selain mendiang suaminya. Dialah Bu Mawar.

Tubuhnya sudah remuk, wajahnya berantakan. Dia sudah lemas dan tiada lagi berdaya. Yang bisa dilakukannya hanyalah bersuara.

"Hentikan …."

Saat Ronnie baru saja mendekat, tiba-tiba tubuhnya kembali merinding. Kakinya tak bisa bergerak maju.

"Hah? Kenapa aku mengikuti kata-katanya?"

Ronnie menguatkan pikiran untuk menepis sugesti Bu Mawar. Pria itu melangkah lagi, hanya untuk mendapatkan perkataan kedua. Masih dalam suara pelan.

"To-tolong hentikan ini, Tuan …."

Lagi-lagi badan Ronnie terdiam tak bergerak. Namun lagi-lagi, dia membebaskan diri dengan kekuatan mentalnya sendiri. Ronnie kembali melangkah.

Kini dirinya sudah berada tepat di samping Bu Mawar, lantas dia berjongkok. Kemudian ditariklah jaket kusam Bu Mawar hingga robek dan terlepas, lalu dibuang begitu saja ke samping. Tetapi belum. Ronnie harus mengurus dulu korbannya sampai tak bisa melarikan diri. Berdirilah pria itu seraya mengangkat sebelah kaki sebagai ancang-ancang.

Maka diinjaklah tulang kering kanan Bu Mawar dengan sekuat tenaga!

Nyaring bunyi retakan tulang yang patah itu, lalu diikuti pula dengan jeritan histeris dari si korban.

Selanjutnya Ronnie kembali berjongkok di samping Bu Mawar, mencoba untuk merengkuh wajah sang guru. Namun kali ini dia disambut oleh tatapan garang dari Bu Mawar.

Ketika Ronnie beradu pandang dengan Bu Mawar, entah mengapa pria itu tiba-tiba merasa gentar. Tangan Ronnie berhenti menjangkau, sementara keringat dinginnya mulai menetes dari kening. Lalu peringatan ketiga datang juga. Bu Mawar berteriak penuh kemarahan.

"Memangnya kau pikir wanita itu APA, hah?!"

Ronnie tersentak, bahkan dia jatuh terduduk dari posisinya yang tadi berjongkok. Dan kali ini, efek dari perkataan Bu Mawar lebih terasa. Perkataan itu menusuk jauh ke dalam sanubari hingga mampu membangkitkan segala memori kelam Ronnie di masa lalu.

Wanita, katanya?

Mengapa aku jadi teringat soal Madre?

Madre, atau Ibu. Dulu Ronnie pernah punya sosok itu. Bukan ibu kandung tetapi baginya itu jauh lebih penting daripada segalanya. Dialah yang membantu Ronnie menjadi seorang Ronnie Staccato.

Namun Madre akhirnya tewas.

Dan mengapa kini Ronnie mengenangnya kembali? Seharusnya sekarang dia telah dewasa dan bisa melupakan semuanya. Tetapi mengapa semua kenangan ini malah muncul tiba-tiba?

Ronnie sudah tahu jawabannya.

"K-kau dan mulut kotormu itu, Signora!!" makinya. "Heh! Aku sudah tak tertarik lagi untuk melakukan itu. Bagaimana kalau kau mati saja?"

Maka Ronnie mengubah niatnya saat itu juga. Dia sudah bosan dipermainkan oleh trik sugesti dari sang lawan. Saatnya untuk mengakhiri semuanya.

Ronnie meraih pipa besi yang tergeletak di samping Bu Mawar. Barangkali dalam pikirannya, cara mati paling sesuai untuk wanita di depannya ini adalah dengan memukulinya menggunakan pipa besi hingga tak lagi berbentuk.

Tangan Ronnie sudah menggenggam salah satu ujung pipa tersebut, namun ternyata … ujung lainnya sudah dipegang oleh Bu Mawar.

Kini mereka berdua berebut pipa besi yang sama. Ronnie berusaha menarik pipa besi itu tetapi cengkeraman Bu Mawar masih kuat. Tak bisa terlepas. Lalu—

"Sekarang kau mau ngerebut pipaku? Coba katakan padaku, Tuan. Sepanjang hidupmu, apa aja yang sudah kau rebut? Ada berapa banyak orang yang sudah kau rampas hak-haknya?!"

Datang lagi satu perkataan menusuk dari Bu Mawar!

Efeknya serupa. Kali ini Ronnie dipaksa untuk mengingat bagaimana kiprahnya di dunia hitam. Apa saja yang telah dia rampas? Banyak. Ada berapa orang yang sudah dia sakiti? Bahkan dia sudah tak bisa menghitungnya lagi. Terlalu banyak.

Dan salah satu korban dari kejahatan Ronnie adalah … Madre.

Madre tewas akibat ulah anak angkatnya sendiri.

Kini Ronnie benar-benar syok. Dia melepaskan genggaman di pipa besi Bu Mawar. Pelan-pelan Ronnie berdiri, badannya gemetar hebat. Tatapan matanya tidak lagi jernih. Lalu refleks, kakinya malah melangkah mundur dengan perlahan.

"… Madre … tidak … me-mengapa??"

Nalurinya sudah tak lagi bisa menunjukkan perlawanan. Logikanya sudah tertutup oleh ilusi masa lalu.

Sementara itu, Bu Mawar perlahan ikut berdiri dengan mengerahkan sisa tenaganya. Sebelah kakinya sudah patah sehingga dia tertatih bangkit hanya mengandalkan topangan satu kaki yang lain.

Badan sang guru sudah benar-benar berantakan.

Pipa besi memang tergenggam erat di tangan kirinya. Namun Bu Mawar tak bisa melangkah. Bahkan untuk menahan posisi berdirinya agar tidak jatuh pun sudah setengah mati.

Bagaimanapun, lisannya masih lihai bermain kata.

"Kalau masih berani, sini maju! Biar Ibu kasih pelajaran!"



Berani ya kamu kepada Madre? Jawab, Ronnie. Kamu mau Madre sekolahkan lagi agar bisa belajar tentang perilaku baik?

Inilah puncak derita batin Ronnie.

Di matanya sekarang, sosok Bu Mawar menjelma seperti sosok mendiang ibu angkatnya. Keberanian Ronnie runtuh seketika. Dia tak bisa melawan sosok Madre!

Keringat dingin Ronnie membanjir. Kakinya terus melangkah mundur.

Lama-lama dia sudah berada di tepian, terbentanglah jurang setinggi empat lantai di belakang Camorrista itu. Satu langkah lagi ke belakang, maka Ronnie Staccato akan terjun bebas.

"A-awas! Hati-hati terjatuh!!" seru Bu Mawar.

Dan benar saja, langkah mundur berikutnya dari Ronnie ternyata tidak menjejak apapun selain udara. Pria itu hilang keseimbangan dan terjatuh. Namun—

—ternyata ada yang menggenggam pergelangan tangannya sesaat setelah dirinya terjun. Kini Ronnie bergelayutan pada tangan itu. Dan dilihatnya sosok baik hati itu. Sosok yang menahannya agar tidak jatuh dari atap sekolah.

"M-Madre? Kau masih hidup??"

Namun bayangan Ronnie menjadi buram. Wajah Madre mengilang, berganti dengan muka Bu Mawar.

Sesungguhnya, sudah  tak ada sisa tenaga di tubuh sang guru. Tetapi dia masih memiliki kepedulian. Kepedulian inilah yang menjadi pemicu tindakannya barusan. Bu Mawar tak bisa membiarkan orang lain celaka.

Mengabaikan segala perih luka, bahkan patah kaki, Bu Mawar mampu melesat cepat untuk mengejar Ronnie yang hampir terjatuh. Kemudian guru itu ternyata masih bisa menangkap lengan Ronnie tepat saat pria itu terjun bebas.

Hanya tangan kiri. Namun itu adalah genggaman tangan seorang guru, dan genggaman tangan guru tak akan terlepas dengan mudah. Genggaman tangan itu dipenuhi oleh jiwa.

"… urgh, bertahanlah!" ujar Bu Mawar. "Mati bukan solusi atas kejahatan yang kau perbuat."

Seketika, Ronnie kembali pada akal sehatnya.

Dia tersenyum. Tersenyum penuh arti.

"Benar, matiku bukan solusi," kata Ronnie. "Jadi, mengapa bukan kau saja yang mati?"

Senyuman Ronnie berganti menjadi seringai iblis. Kedua kakinya berayun lalu menjejak di kusen jendela. Kemudian Ronnie menarik kuat-kuat Bu Mawar ke arah bawah.

Justru Bu Mawarlah yang akhirnya terjatuh dari atas sekolah.

Guru itu terjun bebas, sementara Ronnie malah tertawa terkekeh.

Dua detik lagi Bu Mawar akan membentur bumi, namun—

Tiba-tiba dunia berhenti berputar. Tak ada lagi orientasi atas-bawah. Tubuh Bu Mawar melayang dua meter sebelum menghunjam permukaan tanah. Dia tak jadi menjemput ajal.

Bahkan saat ini tak ada lagi permukaan tanah.

Seluruh dunia terkelupas. Gedung sekolah, tanah, pepohonan kering, ruang kelas, semuanya meluruh. Yang tampak hanyalah kumpulan poligon hijau, yang menjadi rangka dari segalanya.

Kemudian muncul rentetan kalimat holografis berwarna putih di tengah-tengah keduanya. Ukurannya besar, bisa terbaca jelas.

//Kerja bagus

Kalian tadi sudah menghancurkan induk virus yang menyerang database Alforea pada level 1, sehingga aku tak perlu turun tangan langsung untuk membersihkan ini

Kerjaanku jadi lebih sedikit

Sekarang aku akan mengembalikan kalian berdua ke Alforea//

-Hewanurma

Maka terciptalah satu lubang hitam di tengah dunia poligon itu. Bu Mawar dan Ronnie Staccato tersedot ke dalam lubang hitam tersebut. Mereka pergi meninggalkan dunia poligon—atau database level 1.

Mungkin mereka berdua tak menduga sama sekali kalau bentuk dan isi dari dunia database ini ditentukan oleh faktor mereka sendiri. Wujud sekolah yang dipenuhi oleh murid dan guru adalah pencerminan dari Bu Mawar. Sedangkan badai debu, kumpulan gangster dan mafia, serta kegilaan pertempuran, semua merupakan refleksi dari dunia Ronnie.

Virus yang dimaksud oleh Hewanurma adalah program yang membuat sosok Bu Mawar dan Ronnie menjadi seperti anak-anak, lalu mengubah dunia database ini sehingga seperti permainan Beat Em Up di arcade.

Namun sekarang, semua permainan di dalam database telah berakhir.

Bu Mawar dan Ronnie terusir keluar.

(* * *)

Mereka berdua muncul di tempat yang berbeda.

Ronnie hadir kembali di Gang Belakang Despera, tempat dia berebut koin emas pada pertarungan babak sebelumnya. Merasakan bahwa pertempurannya dengan Bu Mawar terhenti di tengah jalan sebelum ada pemenangnya, Ronnie pun kesal. Dia menendang tong sampah yang dipenuhi kucing liar.

"Cih! Akan kuingat ini, Signora! Kalau kita bertemu lagi, kau tak akan selamat dariku!"

Setelah meludah, Ronnie pun berpaling pergi.

Dia membiarkan gang-gang gelap di sana memberikan nama julukan baru baginya. Entah apakah seorang Ronnie Staccato akan muncul kembali, atau malah menjadi mitos selamanya?

Mitos di Gang Belakang Despera.



Bu Mawar muncul di tempat lain. Dia kembali pada lokasi sebelum dirinya diculik ke dalam database oleh peretas, yaitu di Belantara Raya Dodonge. Dengan tubuh penuh luka, Bu Mawar hanya bisa ambruk.

Namun perihnya luka di badan masih lebih bisa ditahan daripada sesaknya hati.

Dalam posisi terbaring, Bu Mawar menatap dua tubuh kecil yang terkapar dan sama sekali tak bergerak. Baik hati sekali Hewanurma mengirimkan dua tubuh tak bernyawa itu untuk berada di sisi guru mereka, alih-alih membusuk di dunia database.

Dua murid itu …

Eriza,

Arai,

kini mereka hanyalah onggokan mayat di hutan.

Dan yang lebih parah, begitu Bu Mawar menoleh ke arah lain, dia pun mendapati belasan tubuh kecil lain yang terkapar bersimbah darah.

Winda,

Dan adik-adik kelasnya,

kini tak ada lagi janji yang bisa ditepati.

Semuanya mati.



Air mata Bu Mawar mengalir tak tertahankan, begitu pula dengan emosinya yang meluap-luap.

"HuwaaaaaaaaaaaaAAAH!!"

Beberapa meter di sampingnya, muncul sesosok pelayan wanita dari gerbang antardimensi yang membuka.

Pelayan itu berkata, "Tuan Hewanurma tengah mengejar dua orang yang bertanggung jawab atas pembantaian di sini. Aku akan membawamu kembali ke Alforea." Persoalan teknis saja. Karena kamu lenyapnya dari sini, berarti memang buat orang-orang di sini.



Epilog Dunia Permainan


Pria perlente berkacamata hitam dengan lengan jas tergulung tampak duduk santai sembari mengamati hasil kerjanya kali ini. Di saat semua sedang sibuk bertarung dan saling bunuh, atau main petak umpet antara administrator dan para peretas, maka dia sendiri punya agenda lain.

Ditebarnya delapan kepingan permata beraneka rupa dan warna.

Masing-masing dipungutnya dari Pegunungan Salju Los Soleil, Tambang Managua, Kota Bawah-Air Rupture, Benteng Sammeriil, Belantara Dodonge, Gang Belakang Despera, Pembangkit Energi Verdana, dan Gurun Pasir Bauhaus.

Kedelapan keping permata itu kemudian bergerak-gerak, semakin lama semakin cepat. Mereka mendekat dan berkumpul. Ketika pendaran cahaya menyilaukan memancar, maka terbentuklah satu permata spesial.

"Hurahahahaha! Jewel of Phantasm kedua, berhasil kudapatkan!"

Pria perlente itu mengeluarkan sebungkus kain dari saku jasnya, kemudian meletakkan permata tadi bersama permata yang sebelumnya telah dia dapatkan dari Lembah Shohr'n.

"Semua demi Seni dan Mimpi, wahai Kakak Tertua Klan Nurma. Hurahahaha!"



 [ROUND 2 – LEVEL 1]
Bu Mawar, Duri dan Debu—SELESAI







6 comments:

  1. Akun asli blm bisa buat komen. Jadi lewat sini~

    -

    Ya ... kesan saya baca entri ini? Campur aduk. Tapi bukan artinya jelek. Ada bagian yang bikin senyum-senyum mau ketawa, karena penuturannya mungkin? Dan ada yang bikin 'sesuatu' di akhir. Endingnya gantung, tapi IMO mending begini daripada Bu Mawar dipaksa jahat supaya menang--kayak entri R1 saya T_T

    Ganjalan besar mungkin karena ada bantuan langsung. Kalau di Dodonge masih agak bisa dimaklumi, soalnya toh disetting ada makhluk mirip Behemoth dsb. Dan lingkungan emang mendukung kemunculan monster itu. Tapi di sini kemunculan Eriza agak gimana gitu buat saya.

    Well, kenapa dari prelim sampe sekarang selalu ada plot murid tersakiti--yang ujungnya bikin Bu Mawar keluar aura gelapnya? Kesannya rada repetitif.

    Terus Bu Mawar liat distorsi dirinya gak terlalu syok gimana gitu. Saya pikir kalo guru kan gak terlalu familier sama dunia game. Tangannya buntung satu juga biasa aja (atau ada detail kelewat?)

    Dan ... ah, apa lagi ya? Ya udah deh, segitu aja yg saya pikirin. Maaf kalo komennya berantakan dan kalo ada lupa-lupa. Baca di kampus tulis review di rumah *uhuk*gakadaygnanya*~

    Titip ... 9 ya.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih sudah jadi komentator pertama.

      Iyap, saya juga bikin entri ini rada campur aduk perasaan saya. Jadi wajar kalau kebacanya pun campur aduk ._.

      Eriza dan Arai, hmm ...

      Plot repetitif ya? Oke, saya catat sebagai masukan. Sebenarnya tersakitinya anak-anak itu terkait dengan plot Pria WJK, bukan sekadar untuk memunculkan Mawar Hitam. Tapi itu mungkin baru ronde selanjutnya saya bahas ...

      Bu Mawar, sekalipun guru dan janda, usianya masih muda. Bahkan lebih muda dari penulisnya sendiri *oTL ... Jadinya dia masih agak akrab dengan game dan segala macam, karena sering mendengarkan cerita dari murid-muridnya sewaktu di sekolah. Meskipun Bu Mawar-nya sendiri bukanlah gamer

      Iyap, tangannya ... lagi-lagi belum kerasa, ya? Saya mesti mikirin trik narasi buat menonjolkan itu :/

      Siplah. Makasih banyak sudah mau mampir di lapak deadliner ini dan memberikan banyak masukan :D

      ~Salam dari Bu Mawar untuk Ahran

      Delete
  2. Wogh! Bang Hewanurma udah jadi langganan tetap TVRN yaaa...

    What the... Arai jadi murid si Ronie!?
    O.o

    Tadinya udah nyengir, "Wah, Bunda kehilangan kemampuannya nih, bakalan kayak gimana ya?"

    Eh, ternyata problem solved dengan sebuah Toa :v


    ...


    Anjir, duel Arai - Eriza kenapa jadi ng'feels gini?
    Bang hewan bisaan pisan ngebanting mood gebuk-gebuk lucu jadi suram nan tragis.
    ._.


    Anjaaaay, bu Mawar disiksa... ternyata bukan saya aja yang demen nyiksa OC sendiri!
    XD


    ---------------


    UUUuuuuu... sepertinya Bu Mawar bakalan ngambil jalur gelap ya...
    Semua muridnya mati. Tidak ada yang lebih menakutkan dari orang yang tak punya apapun untuk dipertahankan.
    ._.


    -------------

    "Semua demi seni dan mimpi!"

    Wah, teaser buat BoR selanjutnya ini?
    :D



    Point : 9
    OC : Sanelia Nur
    Fiani

    ReplyDelete
    Replies
    1. Saya lagi nggak kepikiran metode lain, udah mepet deadline. Pakai TOA aja, jadinya :v

      Wiw, saya kira nggak bakal ada yang ngefeel sama Arai-Eriza. Syukurlah mereka tewas #eh

      Tapi saya belum setega situ perihal menyiksa OC, sih :D

      --

      Ini saya karena mepet deadline jadi lupa masukin satu scene penting. Bu Mawar belum memutuskan untuk mengambil Jalan Cahaya ataupun Kegelapan. Dia memilih untuk mengambil Jalan Besi :D

      --

      Yap, kalau lancar ... tokoh satu itu bakal jadi pondasi buat BoR6~

      Makasih banyak udah jadi komentator kedua.

      Delete
  3. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
    Replies
    1. This comment has been removed by the author.

      Delete