2.8.15

[ROUND 2 - LEVEL 2] CAITLIN ALSACE - DESTINED TO...

Written by Zoelkarnaen

Seseorang pernah bertanya kepadaku, "Cat, apakah kau percaya dengan takdir?"

Tidak, aku tak percaya kepada yang namanya takdir, tapi aku juga tidak percaya dengan yang namanya kebetulan. Segala hal yang terjadi di alam semesta ini merupakan hasil hubungan antara sebab dan akibat, bukan semata takdir ataupun kebetulan. Setiap pilihan yang kita ambil di masa lalu-lah yang akan menentukan hal-hal yang terjadi di masa depan.

Sesederhana itulah pemikiranku.


"Kalau kau sudah siap, masuklah," undang Grey kepadaku, setelah sebelumnya ia menuntunku ke salah satu ruangan luas di kastel milik pemimpin tertinggi Alforea ini. "Ruu sudah mengizinkanku untuk memakai ruangan ini."

"Apa yang akan kita lakukan di tempat ini?"

"Pertama, aku akan melanjutkan penjelasanku yang sebelumnya. Lalu yang kedua, aku akan sedikit melatihmu bertarung."

Orang ini gila, belum juga lima menit aku menginjakkan kakiku di kastel ini, dan ia sudah memintaku untuk latih tanding. Lengan kananku bahkan baru saja tumbuh kembali. Heh, tapi aku suka semangatnya!

Saat kubilang lenganku baru saja tumbuh kembali, itu benar-benar secara harfiah. Karena pada pertarunganku yang sebelumnya aku kehilangan lengan kananku, dan entah bagaimana sesuatu yang disuntikkan oleh Grey ke leherku berhasil menumbuhkannya kembali.

"Maaf, Grey, jangan tersinggung, tapi apa kau yakin ingin melatihku? Kau bahkan tak terlihat seperti seorang petarung bagiku. Lagipula, apa seorang wanita tak boleh sedikit beristirahat?"

Reaksi Grey hanya tertawa setelah mendengar kata-kataku barusan. "Aku sudah terbiasa mendengar kata-kata barusan selama aku tinggal di Midgard, terutama dari para perwira pasukan Singa Hitam. Lagipula, Cat, kau itu seorang petarung, dan orang-orang seperti kita hanya dapat beristirahat saat tubuh ini tak lagi bernyawa."

"Hei, aku hanya mengucapkan apa yang ada di kepalaku," kataku seraya mengedikkan bahu.

"Baiklah, sekarang silakan serang aku!"

"Kau serius? Walau aku sedang tak mengenakan zirah tempurku, bukan berarti aku tak bisa membunuhmu!"

"Buktikan saja, kecuali kalau kau memang takut," pancing Grey kepadaku.

Aku pun menggulung lengan dari baju ketat anti–peluru yang kukenakan. "Jangan salahkan aku."

Aku melesatkan diriku segera setelah memasang kuda-kuda, lalu kuayunkan tinjuku ke kepala Grey yang masih berdiri dengan tenangnya. Namun pria itu berhasil menghentikan laju tinjuku dengan tangan kirinya, kemudian yang berikutnya ia lakukan adalah menyentil keningku sebelum aku sempat bereaksi.

Entah apa yang terjadi setelah itu, yang kuingat barusan hanyalah ruangan ini seakan berputar, lalu rasa sakit yang mendadak terasa di kening dan punggungku.

"Bangkitlah, apa hanya segitu saja?" ejek Grey yang kini berjarak sekitar sepuluh meter dari tempatku terbaring.

Aku pun bangkit lalu duduk di lantai, berusaha mencerna apa yang baru saja terjadi barusan. Sentilan di keningku barusan rasanya seperti dihantam balok, rasa sakitnya nyaris membuat kesadaranku hilang.

Dengan telapak tangan yang terbuka, Grey mengangkat lengannya ke arahku. "Tahukah kau, hanya dengan satu tangan ini aku sanggup membunuh Vincent kalau aku memang ingin serius?"

"Lalu kenapa tidak kau lakukan?"

"Tidak semudah itu, apa kau pikir dia mau begitu saja terang-terangnya melawanku? Lagipula hanya para Midgardian dan keluarga Gunnhildr yang kukenal memiliki alat untuk melakukan perjalanan antar bintang, Vincent juga tak akan semudah itu meminjamkan perangkat portal antar bintang miliknya, apalagi kalau tujuanku untuk membunuhnya. Lalu kalian para Alsace, kalian melupakanku segera setelah kematian Dietrich."

"Hanya Dietrich yang tahu koordinat planet Bumi, dan ia membawanya sampai ke dalam kubur," sanggahku atas tuduhan Grey barusan.

Tapi Grey menggelengkan kepalanya seraya tersenyum, seakan ia tahu kalau barusan hanya sekedar alasan saja. Karena kami—keluarga Alsace—tak akan pernah membuang harga diri kami, apalagi kalau sampai meminta bantuan dari pihak lain yang tidak terlibat. Setelah membalas senyuman Grey barusan, aku kembali memasang kuda-kuda bertarungku.

"Sekarang gunakan kemampuanmu yang sesungguhnya untuk melawanku!" tegas Grey seraya mengotak-atik monitor hologram di hadapannya.

Belum sempat aku menyerangnya lagi, kurasakan sensasi aneh merayap di sekujur tubuhku, yang disusul cahaya menyilaukan membalut tubuhku. Tubuhku pun kini terasa lebih berat. Lalu entah bagaimana caranya, balutan cahaya tersebut kini mulai berubah menjadi potongan-potongan zirah tempurku. Satu persatu mulai dari kaki, naik ke tubuhku, kemudian kedua lenganku, sampai ke kepalaku yang terakhir. Bentuknya pun kini sudah seperti baru lagi, tanpa terlihat goresan hasil pertarunganku yang sebelumnya.

"Hei, aku sudah repot-repot memasang sistem baru ini, tak bisakah kau sedikit berpose seperti mahou shoujo?"

"Pose apa?"

"Sudahlah, jangan dipikirkan. Mari kita lanjutkan saja," ujarnya setelah menghela napas panjang.

Baru saja aku akan melangkah untuk menanamkan tinjuku di wajah Grey, seluruh pencahayaan di ruangan ini tiba-tiba berubah merah, yang segera diikuti raungan sirine tanpa henti. Saat aku mengira kalau kastil ini akan terkena serangan udara, sesuatu yang berbeda terjadi pada diriku.

Tubuhku perlahan memudar.

"Nurma keparat! Apa yang dia lakukan sekarang?" seru Grey yang terlihat geram sambil berlari keluar dari ruangan.

Sementara itu aku yang tak dapat bergerak hanya bisa diam, pasrah akan situasi yang tengah terjadi.

***

Matahari terik bersinar, namun entah mengapa cahayanya sama sekali tak terasa panas. Sistem pendingin di dalam zirahku hanya mengeluarkan dengungan lembut, itulah mengapa aku dapat menyimpulkan kalau cahaya mentari di sini tak terasa panas. Mataku masih belum pulih akibat perpindahan tempat yang terlalu tiba-tiba barusan, segalanya masih terlihat buram.

Dominasi warna cokelat dan hijau di sekelilingku menandakan kalau aku berada di sebuah lembah atau semacamnya. Tidak, tunggu dulu, medan berupa tebing di kiri dan kananku sangat terjal, lebih baik kalau kuanggap saat ini aku berada di dasar sebuah ngarai.

"Cat, masuklah! Apa kau dapat mendengarku?"

Suara Grey?

Ah iya, sebelumnya Grey telah memodifikasi alat pernapasan dan komunikasi milikku dari ronde sebelumnya.

"Grey, di mana aku dan apa yang sebenarnya sedang terjadi?"

"Virus, ini semua karena virus! Si tua Nurma terpaksa mengirim seluruh peserta sebelum waktunya, atau seluruh Alforea akan lenyap dalam hitungan jam."

"Apa maksudmu dengan virus? Virus seperti virus penyakit?"

Terdengar Grey menghela napas panjang sebelum ia kembali bicara kepadaku. "Alforea bukanlah dunia secara fisik, tempat kita berada saat ini adalah dunia virtual."

"Maksudmu seperti dalam mesin simulasi pertempuran?"

"Ya, tapi lebih canggih lagi. Bukankah sampai saat ini kau tidak sadar akan bentuk Alforea yang sesungguhnya? Di tempat ini kau dapat merasakan semua sensasi yang kau rasakan di dunia nyata, sama sekali tidak ada bedanya dengan dunia nyata."

Sebisa mungkin aku menahan tawaku. Bagaimana mungkin tidak tertawa, penjelasan Grey barusan sama sekali tidak masuk akal bagiku. "Grey, kau sedang mabuk apa?"

"Saat ini aku sedang melihatmu melalui monitor dari ruang kendali di sayap barat kastil, coba kau bercermin atau lihat dirimu sendiri."

Karena tidak ada cermin, aku pun hanya mengangkat dan melihat lenganku sendiri.

Sialan, apa ini?

"Grey—"

"Itu karena virus," potong Grey sebelum aku sempat menyelesaikan ucapanku. "Kau pasti mengira penglihatanmu yang terganggu akibat teleportasi mendadak barusan, tapi sayangnya yang kau lihat itu nyata. Area tempatmu berada saat ini sudah terinfeksi virus, itulah mengapa secara visual kau dan seluruh tempat itu menjadi terdistorsi."

"Jadi sejak awal aku tiba di Alforea, aku berada di dunia virtual," gumamku sembari mengepal-ngepalkan tanganku.

Sensasi yang kurasakan masih sama dengan di dunia nyata, meskipun saat ini tubuhku terlihat seperti karakter animasi dalam gambar dengan resolusi rendah. Kubolak-balik telapak tanganku, tapi tetap saja tak berubah, tubuhku dan zirah yang kukenakan seolah tersusun dari butiran piksel digital yang kasar.

"Lihat ke atas kepalamu," perintah Grey.

"Hologram balok apa itu?"

"Balok berwarna merah itu akan terus memendek tiap kali kau terkena serangan lawan, kau akan mati bila balok merah itu sampai habis dan menghilang."

"Lalu apa yang harus aku lakukan agar baloknya tidak habis?"

"Jangan kena serang…"

"Kau bercanda? Nenek-nenek salto juga tahu itu… Tapi bukan itu maksudku, apa ada cara untuk menambah volume balok merah ini lagi kalau sudah hampir habis?"

"Bahkan si tua Nurma pun tak tahu seberapa besar virus di sana mengubah aturan mainnya, tapi satu hal yang pasti, kau harus menghancurkan inti dari virus juga satu peserta lagi yang terjebak di sana sebelum kau dapat kembali. Apa kau dapat melakukannya?"

Sambil melangkah maju, aku menjawab pertanyaan Grey, "Hei, ini bukan pertama kalinya aku harus membunuh."

***

"Mar, apa bongkahan logam itu benar-benar dia?"

"Entahlah, Mir, entahlah. Tapi bukankah dugaan papa jarang salah?"

"Mama…"

***

Beberapa kilometer pertama ngarai yang kulalui ini memang  datar, tapi sekarang jalan yang kutapaki mulai terasa agak menanjak. Pemandangannya masih tidak berubah, tebing yang curam masih mengawalku di sisi kiri dan kanan. Kemudian sedari tadi tak kutemui satupun makhluk hidup yang berkeliaran di sekitarku.

Hanya satu hal yang menggangguku, Grey memutar musik aneh yang terus diulang di sana hingga terdengar di earpiece milikku.

"Grey, bisa kau hentikan segala kebisingan ini? Kau membuatku sulit untuk berkonsentrasi."

"Maaf, maaf, tapi melihat keadaanmu dari balik monitor ini membuatku ingin memutar lagu dari Castlevania."

"Grey…"

"Apa lagi? Sudah kumatikan musiknya!"

"Aku melihat pergerakan jauh di depanku, aku akan menyusulnya!"

"Hei, jangan gegabah!"

Tanpa mengindahkan kata-kata Grey barusan, aku segera berlari mengikuti makhluk itu. Namun kelihatannya apapun makhluk yang sedang kukejar ini menyadari kedatanganku, karena ia juga menambah kecepatan berlarinya. Sampai akhirnya ia berhenti di puncak bukit dengan medan yang agak luas, sosok yang terlihat serba hitam itu diam tak bergerak seolah sedang mengamatiku dengan bola matanya yang putih.

Perasaanku sedikit tak nyaman akibat tatapan makhluk itu, karena bola mata yang seluruhnya putih itu terlihat agak menyeramkan. Aku ralat, seluruh penampilannya menyiratkan ancaman. Lalu tiba-tiba saja ia mulai bergerak, dan dengan tubuh sedikit membungkuk ia mulai mengetuk-ngetukkan sebuah benda yang terlihat seperti sebuah pedang ke tanah. Semakin lama tempo ketukan pedangnya pun semakin cepat dan semakin agresif.

"Hati-hati, si hitam itu kelihatannya tidak bersahabat."

"Heh, kalau hanya satu, aku bisa menanganinya dengan mudah."

Keputusanku untuk sesumbar kepada Grey sepertinya benar-benar salah, karena saat ini muncul lagi tiga makhluk humanoid hitam yang sama. Bentuk mereka memang sama, tapi ketiga pendatang baru ini menggunakan senjata yang berbeda. Sebuah senapan serbu, sebuah gada, dan sebuah tombak.

"Sialan, ini pasti susah!"

"Itulah yang terjadi kalau kau meremehkan lawanmu. Sayang sekali aku juga tak bisa membantumu dari sini."

"Aku tak butuh bantuanmu!"

Suara raungan seperti binatang buas terdengar dari si pemilik pedang, yang langsung disusul oleh raungan keras dari tiga lainnya. Kemudian tiga di antara mereka merangsek maju secara bersamaan, si pemilik pedang memutar ke kiri sementara si pemilik gada ke kanan, lalu si pemilik tombak maju dari tengah.

Mereka cukup pintar, mencoba menyerangku dari tiga arah, sementara si pemilik senapan serbu menyerangku dari jarak jauh. Dengan ini terbukti kalau makhluk-makhluk hitam ini bukanlah sekedar monster biasa, karena mereka cukup cerdas untuk menggunakan senjata api, juga memiliki pola serangan yang terkoordinir.

Menghindari sabetan pedang dari kiri malah membuatku telak terkena tembakan di kepala, pelurunya memang tidak tembus, tapi rasa sakit akibat tembakan tersebut tetap terasa. Kemudian belum lagi aku pulih dari efek tembakan yang membuatku nyaris terjengkang, hantaman benda tumpul yang kurasakan di punggung membuatku tersungkur.

Anehnya tak satupun dari mereka yang mendekat untuk menghabisiku, mereka hanya bergerak memutariku dari jarak aman. Keempat makhluk ini sedang mempelajariku, dan mereka cukup cerdas untuk menyadari kalau serangan mereka sebelumnya tidak bisa membuatku terluka.

"Sebaiknya kau mundur sekarang, terlebih kalau memang hanya itu caramu bertarung melawan mereka."

"Kau bercanda? Mereka tak dapat melukaiku, serangan barusan bahkan sama sekali tak terasa sakit."

"Memang, tapi apa kau ingat apa yang kubilang soal aturan main di tempat ini? Lihat ke atas."

Astaga! Apa-apaan ini? Jangankan menyakitiku, serangan barusan bahkan tak menggores tubuhku. "Grey, tolong katakan kalau apa yang kulihat ini tidak nyata!"

"Tidak, itu nyata, balok merah milikmu sudah berkurang seperempatnya."

Melihatku yang perlahan mulai mundur, dua di antara mereka bergegas memutariku dari dua arah menuju ke jam delapan dan jam empat di belakangku. Mereka mengepung dan menutup jalanku untuk mundur. Kemudian sebelum aku sempat memikirkan strategi yang akan kuambil, tiga dari empat lawanku kembali merangsek maju.

Sebelum sabetan pedang dari belakang menyentuhku, aku mundur selangkah untuk menepis lengannya dengan tangan kananku, kemudian kuputar tubuhku sambil mendaratkan sebuah tendangan ke dadanya hingga ia terpental. Setelah itu aku kembali mengelak ke kiri, agar tak terkena ayunan vertikal dari sebuah gada yang dipegang penyerang kedua. Di saat yang sama aku juga harus menelengkan kepalaku sedikit ke kanan, agar tak terkena tusukan tombak dari penyerang ketiga di belakangku.

Sialnya lagi-lagi aku terkena tembakan dari penyerang keempat.

Tembakan dari penyerang keempat tepat menghantam bahu kananku, pelurunya memang tidak tembus, namun kerasnya hantaman peluru sanggup membuat tubuhku berputar berlawanan arah dengan jarum jam. Tentu saja aku tak akan menyia-nyiakan momentum ini. Dengan tangan kiri kutangkap ujung tombak yang masih berada di dekat leherku, lalu kuhantamkan lengan kananku sekeras mungkin ke bagian tengah tombak si penyerang ketiga.

Aku membawa tubuh si penyerang ketiga beserta tombaknya berputar, sampai ia menghantam lawan kedua yang bersenjatakan gada, tepat sebelum ia mengayunkan senjatanya lagi. Tanpa mengindahkan satu lagi tembakan yang menghantam punggungku, aku menggunakan daya dorongnya untuk melesat ke arah penyerang pertama yang bersenjatakan pedang.

Sambil berlari kutolakkan kakiku untuk melompat, lalu sambil melayang kucengkeram wajah lawan pertamaku—yang baru saja bangkit—sebelum kuhantamkan kepalanya ke tanah sekeras mungkin. Cairan berwarna kehitaman pun berhamburan saat kepalanya tergerus oleh tanah.

Kupungut pedang pendek milik lawanku itu setelah tubuhnya terurai dan menyatu dengan tanah.

"Sekarang giliran kalian!" tantangku sambil menunjuk menggunakan pedang di tangan.

"Mundur, jangan gegabah! Balok di atas kepalamu tinggal setengah!"

Lagi-lagi aku tak mendengarkan Grey dan kembali maju. Dua penyerang jarak dekat yang tersisa pun ikut berlari dan bersiap menyambutku, tapi kini fokusku bukan mereka, melainkan penyerang terakhir yang bersenjatakan senapan serbu. Sambil terus berlari aku menghindari ayunan gada dari kanan, kemudian dengan lengan kiri kutangkis tusukan tombak dari kiri. Kutendang si pemegang tombak untuk kemudian kembali berlari zigzag, demi menghindari lintasan peluru dari si pemegang senapan serbu.

Dengan pedang yang siap menebas aku melompat.

***

"Cat, kau tak apa? Cat!"

Seseorang memanggil namaku.

"Cat!"

Gelap, semuanya gelap. Dimana aku? Apa yang terjadi? Kenapa tubuhku terbaring di lantai?

"Ah, syukurlah kau sudah sadar. Maaf kalau tendanganku barusan terlalu keras."

Hal pertama yang kulihat saat membuka mata adalah ekspresinya yang terlihat lega. Kuangkat tanganku untuk meraba wajahnya, wajah yang sudah melalui begitu banyak hal. Memang sih brewoknya agak kurang terurus dibanding terakhir kali aku melihatnya, mungkin ia sudah tak peduli lagi dengan penampilannya saat ini, dan aku bisa mengerti penyebabnya.

Tanpa kusadari air mataku mulai mengalir, sambil sesengukan aku mencoba sebisa mungkin menahan tangisku. Kemudian kutarik kemeja yang dikenakan Dale untuk membantuku duduk, sebelum kusandarkan kepalaku di dadanya.

"Hei, apa tendanganku barusan terasa sakit sekali? Mau kupanggilkan dokter?"

Aku tak menjawab pertanyaan Dale barusan, dan yang kulakukan hanyalah terus menangis di dadanya. Setelah agak lama, ia pun mulai merangkul tubuhku.

"Kalau kau tetap tak bicara, aku tak akan tahu kau kenapa dan mau apa."

"Kau itu benar-benar brengsek, Dale," kataku di sela-sela isak tangis. "Papaku baru saja dibunuh oleh Vincent, lalu aku menghabiskan enam bulan di hyperspace untuk datang ke sini, dan hal pertama yang kau lakukan adalah mengajakku latih tanding?"

"Memangnya aku bisa membaca pikiranmu? Kau tidak bicara apa-apa seja—augh!"

"Diam dan peluk saja aku!" desisku setelah menghantamkan tinjuku ke rusuk kirinya.

Setelah itu kami hanya duduk diam dan saling berpelukan sampai entah seberapa lama, hanya pikiran kami masing-masing yang menemani dalam lamunan. Tapi aku yakin kami berdua memiliki tujuan yang sama, karena kami berdua tengah melalui duka kehilangan yang sama.

Akan kucari dia walau sampai ke neraka sekalipun, lalu akan kubunuh penyihir sialan itu meski harus kucongkel jantungnya dengan sebuah sendok!

***

Ayunan pedangku terhenti, makhluk hitam ini menangkis seranganku dengan senapan miliknya. Lalu belum sempat aku memberikan serangan susulan, ia melompat sambil memutar tubuhnya, untuk kemudian menyabetkan kakinya ke kepalaku. Tapi beruntung reaksiku masih lebih cepat, aku berhasil mundur dan menghindari serangannya.

Sambil terus mundur aku menghindari tusukan tombak dari belakangku, kuputar tubuhku untuk berkelit hingga aku dapat memosisikan diriku di belakangnya. Lalu kutebas putus kepalanya, satu lagi lawan yang tumbang. Tapi sebelum tubuhnya terurai seperti lawan pertamaku, kutendang tubuhnya yang tak berkepala ke arah si pemegang gada.

Walau sempat limbung akibat lagi-lagi terkena tembakan, tapi aku berhasil menghabisi satu lagi lawanku, si pemegang gada.

Kini tak ada lagi yang mengganggu pertarungan antara aku dan si pemegang senapan. Walaupun saat ini balok merah di atas kepalaku isinya sudah kurang dari setengah, tak akan kulepaskan mangsaku yang terakhir ini.

Dengan santai aku berdiri tanpa kuda-kuda, membiarkan lawanku melihat kalau aku saat ini tanpa pertahanan dan terlihat lengah. Lalu dengan laras senapan yang diarahkan kepadaku, ia sedikit bergerak maju, sepertinya umpanku berhasil.

"Ayo, majulah! Terus maju!"

Seiring dengan hentakan kakinya, si makhluk hitam itu pun mulai berlari.

"Hah?"

Tapi ke arah yang berlawanan dan semakin menjauhiku…

"Sebaiknya jangan diikuti, kau sudah menang dari dia, daripada nanti kau jatuh ke perangkap yang sama seperti barusan."

"Jangan ikut campur, Grey! Hoi, bangsat pengecut, jangan lari!" teriakku yang juga ikut berlari demi mengejar si hitam.

Ini memang masih sedikit berkaitan dengan masalah menang atau atau kalah, tapi bukankah lebih baik juga kalau aku menghabisinya sebelum ia dapat memanggil atau memperingatkan teman-temannya? Berhati-hati memang perlu, tapi bukankah lebih baik kalau aku bisa mencegah kejadian seperti barusan?

Hah, sesuai dugaanku…

Aku tak bisa mengejarnya, makhluk sialan itu larinya cepat sekali!

Baiklah, kuakui kalau tindakanku barusan memang gegabah, dan tidak mungkin aku bisa mengejarnya selama zirah ini masih kukenakan. Yah, kecuali kalau aku menggunakan overdrive demi menambah kecepatan gerakku, tapi rasanya sayang sekali kalau aku membuang-buang tenaga hanya demi memburu satu target saja, apalagi dia bukan target utamaku. Menembak makhluk itu dari kejauhan pun mustahil, kecuali ada sesuatu yang bisa kugunakan untuk menahan rekoil, atau seperti biasanya tembakanku akan meleset.

"Cat, suda—"

"Aa—ah!" potongku sebelum Grey menyelesaikan kalimatnya. "Jangan komentar, atau kugunduli kau nanti!"

Bukit demi bukit dengan jalan yang semakin menanjak kulalui, sampai akhirnya aku akan segera tiba di puncak tertinggi dari jajaran bukit yang terletak di tengah ngarai. Seketika itu pula aku berhenti berlari dan mulai berjalan, karena aku tak ingin terkena masuk kepungan musuh seperti sebelumnya.

Sesampainya di puncak bukit tertinggi, yang luasnya sama dengan puncak-puncak bukit sebelumnya, makhluk itu menungguku. Di belakangnya terbentang sebuah jembatan gantung menuju sebuah pulau. Tentu saja pulau tersebut bukan pulau biasa, karena pulau tersebut melayang lebih tinggi daripada dua sisi tebing yang mengawal ngarai ini.

Pulau normal di planet mana yang melayang? Mau di lihat dari mana pun, hal tersebut sudah melanggar hukum gravitasi.

Tapi mari kesampingkan dulu soal logika pulau melayang tersebut, karena saat ini yang ingin kulakukan adalah membebas-tugaskan kepala makhluk hitam itu dari tubuhnya.

Beberapa langkah kuambil mendekati makhluk itu, tapi yang kualami berikutnya malah membuatku berhenti tepat di tengah tanah lapang ini. Sama seperti sebelumnya, kini muncul juga beberapa makhluk hitam yang langsung mengepungku.

Dengan kepala tertunduk kuletakkan telapak tanganku di kening. Aku juga dapat mendengar dengan jelas melalui earpiece milikku, kalau Grey baru saja menghela napas panjang.

"Grey, jangan komentar!"

"Aku tidak ngomong apa-apa…"

Ini situasi yang benar-benar sama dengan situasi sebelumnya, empat makhluk hitam yang sama seperti sebelumnya. Meskipun kini senjata yang mereka pegang berbeda, bukan berarti aku bisa berasumsi bahwa pergerakan mereka akan berbeda, bisa jadi malah sebaliknya. Intinya aku tidak boleh bertindak gegabah seperti sebelumnya.

Mereka mulai menyerang, dan aku menjatuhkan pedang yang sejak tadi kubawa.

Tiga makhluk bersenjatakan tombak maju secara serentak, dan di belakang salah satunya kulihat dia mulai membidikku, si penyandang senapan serbu.

Setelah mengelak dua serangan tombak dari belakangku, aku menangkap tombak dari penyerang di depan. Kemudian kurebut tombak miliknya sebelum kuhantamkan gagangnya ke wajah si empunya. Melihatnya tertegun akibat hantaman barusan, aku tak menyia-nyiakan kesempatan tersebut.

Kutanamkan ujung tombak yang kupegang kepadanya, sebelum kuangkat tubuhnya dan kubawa berlari.

Ya, aku menjadikan salah satu dari lawanku sebagai perisai daging, karena sejak awal targetku adalah si pemegang senapan.

Beberapa tembakan bersarang di tubuh perisai daging yang kubawa berlari bersama tombakku, namun tombak ini berhasil bersarang di satu target lagi sebelum akhirnya perisaiku mati dan terurai. Si pemegang senapan akhirnya berhasil kudapatkan.

Layaknya seorang pemburu yang sedang memamerkan trofi buruannya, kuangkat tombakku—dengan salah satu dari makhluk hitam itu masih menancap di sana—setinggi mungkin. Lalu sesuai dengan yang kuharapkan, reaksi dari kedua makhluk hitam pemegang tombak yang tersisa adalah melarikan diri.

Setelah memastikan tak ada lagi makhluk hitam yang datang, kujatuhkan tombak tersebut bersama dengan tubuh lawanku yang mulai terurai. Sebagai gantinya, kupungut senapan serbu yang tergeletak di dekat kakiku.

Heh, sekarang tinggal pulau melayang itu yang belum kujelajahi, semoga saja targetku yang sebenarnya ada di sana.

Kemudian setengah jam berlalu sampai akhirnya aku berada di sisi lain dari jembatan gantung, dan sungguh mati itu adalah perjalanan melintasi jembatan paling menegangkan seumur hidupku. Pertama, jembatan itu lebih panjang dari kelihatannya. Kedua, jembatan sialan itu selalu goyang di tiap langkahku. Lalu yang terakhir, beberapa kali kayu tempatku berpijak patah dan nyaris membuatku terjun bebas.

Jembatan terkutuk itu lebih pantas disebut sebagai jalan kematian.

Sialnya lagi, aku kehilangan senapan serbu yang kubawa saat nyaris terjatuh di jembatan.

Belum selesai aku memuji jembatan sialan yang baru kulalui, mataku kembali disuguhkan pemandangan luar biasa lainnya. Di tengah dataran luas pulau melayang ini sedang terjadi pertarungan. Salah satunya adalah makhluk humanoid hitam seperti yang sebelumnya kulawan, namun tubuhnya beberapa kali lipat lebih besar. Sementara itu yang satunya adalah seorang pria peserta sepertiku.

Wajahnya—yang tersusun dari kotak-kotak piksel resolusi rendah—tak dapat kukenali karena efek virus di tempat ini, tapi meski wajahnya jelas pun, belum tentu aku dapat mengingatnya. Satu hal yang kuingat jelas, pakaian lusuh ala gelandangan yang dikenakannya pernah kulihat saat pertama tiba di Alforea.

"Grey, apa kau dapat melihat yang kulihat? Apa kau tahu siapa dia?"

"Hmm, tunggu sebentar," jawab Grey yang juga terdengar penasaran. "Namanya Ahran, dan dia—ah! Nurma keparat! Dia memutus koneksiku ke database peserta, jadi aku tak bisa melihat kelanjutan datanya!"

Bagiku tidak terlalu penting juga untuk mengetahui kemampuan lawan, toh aku bisa langsung melihatnya di sini. Tapi memang akan lebih baik kalau aku bisa mengetahui semua kartu yang dipegang lawan.

Kembali ke tengah pulau, pria itu masih sibuk melawan makhluk hitam raksasa. Dentuman keras terdengar saling barsahut-sahutan, baik dari pukulan makhluk hitam yang meleset ke tanah, juga dari ledakan bola-bola api yang diluncurkan Ahran.

Pria bernama Ahran ini boleh juga. Sebagai petarung tipe sihir, gerakannya memang tidak terlalu lincah. Tapi hal tersebut ditebusnya melalu tiap semburan api yang ia keluarkan, tiap-tiap serangannya memiliki daya dorong yang dapat memperlambat serangan lawannya.

Tapi di lihat dari manapun, Ahran tak akan bisa menang sendirian melawan si bongsor hitam itu. Serangan Ahran memang dapat mengikis balok merah milik lawannya, tapi balok itu berkurang terlalu pelan bila disbanding miliknya sendiri. Balok merah penyihir api bahkan sudah hampir separuhnya hilang, dan itu kebanyakan hanya karena gelombang kejut dari serangan si bongsor hitam.

Aku pun mendekati pertarungan Ahran dan si bongsor hitam, lalu dengan satu tangan terangkat aku menyapanya.

"Hey, apa kau butuh bantuan melawannya?"

Hal terakhir yang kuharapkan sebagai jawaban adalah semburan api meluncur ke arahku, dan itulah yang terjadi saat ini. Ahran malah menyerangku. Untungnya aku sempat menghindar sebelum api itu mengenaiku, aku menjatuhkan diriku ke belakang hingga terlentang di tanah.

"Aku tak butuh bantuanmu!" teriak gembel sialan itu sebelum kembali fokus kepada lawannya.

Dapat kudengar di telingaku suara Grey yang sedang menahan tawanya.

"Grey, apa semua penyihir api di alam semesta ini memang bajingan?"

"Memangnya apa yang kau harapkan? Sejak awal kalian berdua adalah musuh, bukan teman baik yang mau piknik."

"Kau benar, ini bukan saatnya beramah-tamah," kataku sambil melesatkan diri ke mereka yang sedang bertarung.

Satu ayunan lengan raksasa dari si hitam bongsor, meleset untuk kemudian menghantam tanah. Gelombang kejutnya sedikit mengikis balok merah di atas kepala Ahran, juga membuatnya sedikit terdorong mundur. Lain halnya denganku yang sejak tadi sudah mengamati pertarungan mereka, hiingga aku berhasil mundur ke jarak aman dari gelombang kejut barusan.

Ahran melepas dua bola api sekaligus, satu ke arahku dan satu ke arah si hitam. Satu bola api menghantam kepala si hitam hingga ia nyaris terjengkang, sementara itu aku melompat tiarap ke bawah di antara dua kaki si hitam untuk menghindari bola api.

Tapi lawanku itu tak berniat menyudahi serangannya sampai di sana, ia kembali merangsek maju dengan sebilah pedang di tangan. Entah itu pedang dari mana, miliknya atau milik makhluk hitam yang ia lawan sebelum sampai ke tempat ini.

Masih tengkurap di antara kaki si bongsor hitam, kini aku dipaksa berguling menghindari ayunan pedang dari si gelandangan. Pedang Ahran pun malah bersarang di kaki monster hitam.

Otomatis raungan keras langsung terdengar dari monster hitam yang berdiri di atasku, sabetan pedang Ahran menyakitinya, dan kini ia dengan liar mulai mengayunkan kedua tangannya. Tapi sebelum si hitam berhasil menghantamkan lengan besarnya ke tanah, kutempelkan tangan kananku lalu kutembak ia dengan peluru penembus baja dari zirah pelindung lengan kanan milikku.

Semburan darah berwarna hitam pun berhamburan, seiring putusnya kaki si bongsor hitam. Kemudian makhluk itu mengeluarkan lolongan kesakitan yang lebih keras dari lebelumnya saat ia terjatuh.

Aku dan Ahran menghindar ke arah yang sama saat monster itu terjatuh, tapi sayang karena kami tak cukup cepat untuk menghindari gelombang kejutnya. Balok merah di atas kepalaku tinggal seperempat, Ahran masih setengah, sementara si bongsor hitam masih tiga perempatnya.

"Hei, berikan pedangmu, kau tak ahli menggunakannya," pintaku sambil mengulurkan tangan kananku ke Ahran.

Tentu saja alih-alih sebuah jawaban yang kuterima, Ahran malah merespon dengan satu tebasan ke kepalaku. Aku berguling menghindarinya.

"Gelandangan sialan! Aku mencoba membantumu!"

"Aku ini seorang ilmuwan, dan aku sama sekali tak membutuhkan bantuanmu, wanita kaleng!" desisnya dengan ujung pedang yang masih diarahkan kepadaku. Kini tangan kirinya mulai meraba-raba sesuatu di tas pinggangnya, kelihatannya ia sedang berusaha mengambil sesuatu dari sana.

Melihatnya lengah seperti itu, aku bergegas bangkit untuk kemudian mendaratkan telapak kakiku ke wajahnya. Botol-botol kecil berisi cairan merah pun berserakan saat Ahran terguling.

"Sial! Sial! Sial! Sial!"

Melihat Ahran yang panik dan merangkak mengumpulkan botol-botol miliknya, aku kembali merangsek sambil menyiapkan tinju kananku untuk menghabisi si gelandangan.

Namun belum sampai tinjuku ke kepalanya, si bongsor hitam sudah merangkak mendahuluiku. Sambil berlutut, tangan kanan monster itu menarik kaki Ahran lalu mengangkat tinggi tubuhnya, semetara itu kibasan dari tangan kirinya menyerempet bahu kananku.

Aku pun terpental.

Lalu bagai sebuah boneka, si bongsor menghantamkan tubuh Ahran ke tanah.

Balok merah di atas kepalaku dan Ahran kini sama panjangnya, hanya sisa lima belas persen lagi. Tapi kalau barusan seranganku berhasil masuk, Ahran sudah pasti akan tamat riwayatnya, dan balok merah milikku pasti tak akan berkurang seperti ini.

Tak ingin mengulur waktu pertarungan, aku pun melentingkan tubuhku seperti pegas untuk bangkit dan segera berlari.

Dengan pose setengah bersujud, sepertinya si monster berniat menghabisi Ahran dengan cara membantingnya lagi.

Sebuah uppercut kuhantamkan ke dagu si monster yang hendak membanting Ahran untuk kedua kalinya, akibatnya pegangan si monster terhadap Ahran terlepas. Pria itu terlempar ke udara, tapi belum waktunya aku menghabisi dia. Bagiku monster ini harus menjadi prioritas utama.

Melihat kepala si monster terangkat, aku pun menempelkan tangan kananku ke lehernya yang terbuka. Lalu dengan satu dentuman keras, terpisahlah kepala si monster dari tubuhnya. Di saat yang sama tubuhku juga terlempar jauh akibat rekoil dari railgun milikku sendiri.

Tubuhku terhempas ke tanah, terguling lalu memantul dan kembali melayang terlempar hingga beberapa kali. Sampai akhirnya aku berhenti setelah menabrak sesuatu, tubuh Ahran.

Pria gelandangan itu tergeletak tak sadarkan diri tepat di sebelahku, balok merah di atas kepalanya sisa tiga persen dan mulai berkedip. Aku ingin sekali menghabisinya, tapi saat ini tubuhku sulit sekali digerakkan. Entah sudah berapa tulang di tubuhku yang patah, remuk, atau bahkan hancur.

Kugerakan lengan kananku, lalu kuarahkan ke kepala Ahran.

Selesai sudah.

Tapi tidak juga, karena saat ini ada seorang gadis yang sedang menginjak lenganku. Gadis ini berambut pirang yang lurus sepanjang bahu, memakai kemeja putih yang terbalut jaket kulit berwarna hitam juga celana panjang taktis berwarna hitam. Ia menodongkan sebuah revolver ke wajahku.

Anehnya penampilan gadis itu tak terpengaruh keadaan di sini, tidak seperti penampilanku yang berubah jauh dari normal.

"Siapa kau?"

Datang satu lagi gadis dengan wajah dan penampilan yang sama, dialah yang berjongkok di dekatku dan menjawab pertanyaanku.

"Namaku Marreth, dan yang sedang menodongkan pistol itu bernama Mirreth. Kau tak mengenali kami?"

Aku menggeleng seraya mencoba menarik lenganku yang diinjak, tapi gadis yang dipanggil Mirreth itu sepertinya tak berniat melonggarkan injakannya.

"Katakan, Cat, apa tujuanmu di tempat ini?"

"Lepaskan tanganku, sebelum kubunuh kalian berdua!"

Terlepas dari keingintahuanku soal siapa dua gadis kembar ini, aku tidak ingin membuang waktu lagi dan harus segera menghabisi lawanku.

Terlambat, Ahran sudah kembali siuman.

Mirreth tiba-tiba saja jatuh berlutut sambil memegangi dadanya, sementara itu Marreth yang melihat segera membopong kembarannya menjauh. Hal yang sama juga terjadi kepadaku, untuk sesaat aku merasa dadaku seperti terbakar dari dalam. Sambil merangkak menjauhi Ahran, aku mengaktifkan alat pernapasanku.

Entah racun apa yang telah dilepaskan si gelandangan ke udara, tapi aku tak berniat mencari tahu sekarang. Karena serangan barusan telah mengakibatkan balok merah di atas kepalaku tersisa dua persen saja, selain itu alat pernapasanku juga hanya mampu menahan serangan Ahran selama tiga puluh detik.

Pengeluaran daya dari zirahku sudah melampaui maksimum, overdrive kuaktifkan.

Dua puluh detik sampai alat bantu pernapasanku berhenti bekerja dan mengisi ulang.

Tubuhku melesat cepat menuju Ahran, tapi dia sudah lebih dulu melempar sebuah botol kecil berisi cairan merah. Karena mengira kalau botol tersebut akan menjadi sebuah serangan, aku berhenti dan berbelok.

Sialan, tak terjadi apa-apa!

Lemparan botol barusan hanya gertakan, hanya agar ia memiliki waktu untuk melemparkan beberapa bola api sekaligus ke arahku. Sayangnya saat ini gerakanku lebih cepat dari serangan api milik Ahran.

Sepuluh detik lagi…

Demi menghindari lima serangan dari Ahran aku pun berlari zig-zag, lalu sambil melompat kutarik tinju kananku ke belakang. Satu ayunan tinju dariku ke kepala membuat Ahran terpelanting, dan balok merah yang melayang di atas kepalanya pun menghilang.

Berakhir sudah ronde ini, berakhir pula masa aktif alat pernapasan dan mode overdrive dari zirahku. Seluruh persendian dari zirahku kini terkunci selama satu menit ke depan, membuatku hanya bisa berdiri mematung sementara tubuh Ahran terurai di hadapanku.

Ujung laras sebuah revolver diarahkan cukup dekat ke mata kiriku, sementara itu dinginnya bilah pedang dapat kurasakan menempel di leher.

"Dan karena gangguan barusan sudah kau atasi, mari kita lanjutkan obrolan kita sebelumnya."

"Apa kau yang akan diutus oleh Vince untuk membunuh Dale?"

"Apa maksud kalian berdua? Apa 'Vince' itu sebutan lainnya untuk Vincent Gunnhildr?"

"Kalau iya?"

"Katakan kepadaku di mana penyihir keparat itu sekarang, atau kubunuh kalian berdua sebelum aku membunuhnya!"

Tapi alih-alih menjawabku si kembar itu malah tertawa lepas, seolah-olah ancamanku barusan merupakan banyolan seorang komedian. Kedua gadis kembar itu mulai menurunkan senjata mereka masing-masing secara perlahan, tapi Marreth—gadis yang bersenjatakan pedang—tetap tinggal sementara saudari kembarnya melangkah pergi.

"Camkan kata-kataku ini; Keberadaanmu di sini merupakan penghinaan terhadap Caitlin Alsace, kau bukan dia, kau hanyalah produk gagal dari seorang penyihir gila!" raung Marreth sambil mengetuk-ngetukkan ujung bilah pedangnya di dadaku.

"Apa maksudmu?"

Gadis yang mengaku bernama Marreth itu pun mulai melangkah pergi, meninggalkanku yang masih mematung.

"Hei! Hei! Jawab pertanyaanku!"

Tak satupun di antara mereka yang menoleh, seolah teriakanku barusan tak pernah sampai ke telinga mereka.

"Hei!"

"Cat, tenanglah, aku akan kesana menjemputmu sekarang!"

Aku tak mengerti sama sekali mengenai apa maksud mereka, tapi kami bertiga memiliki satu kesamaan yang saling berkaitan. Satu nama, Vincent Gunnhildr.

Jangan pernah bilang kalau ini takdir, persetan dengan takdir! Bukan takdir yang mempertemukan mereka denganku, tapi penyihir sialan itulah. Kemudian meski aku benar-benar ingin tahu mengapa mata kedua gadis kembar itu dipenuhi kebencian saat menatapku, aku sama sekali tak dapat mengingat apapun soal mereka. Ini adalah kali pertama aku bertemu dengan mereka berdua.

***

Tambahan skill:

Setelah R1
Breathing Device
Alat yang bila diaktifkan dapat membantu Caitlin bernapas tanpa menghirup udara dari sekitarnya, dapat digunakan untuk menghindari serangan yang mempengaruhi paru-paru. Alat ini hanya dapat dapat aktif selama 30 detik di daratan, dan 3 menit di bawah air. Jeda sebelum dapat digunakan kembali, 2 menit setelah masa aktif alat ini habis.

Setelah R2
Gravity Drive: Shockwave
Menggunakan perangkat gravitasi untuk menciptakan gelombang kejut ke arah luar, membuat obyek apapun (dengan berat total 500kg) dalam jarak 1-10 meter akan terpental sejauh 15 meter. Jeda pengisian ulang tenaga sama dengan Gravity Drive, 1,5 menit.
Kelemahan
  1. Obyek apapun, termasuk dinding akan terkena efeknya.
  2. Obyek berjarak kurang dari 1 meter dan lebih dari 10 meter tidak akan terkena.
  3. Zirah akan menerima tekanan balik dari tiap obyek yang terkena Shockwave.
  4. Tekanan yang diterima berbanding lurus dengan total berat obyek yang terkena Shockwave.
  5. Bila total berat yang terkena Shockwave mencapai 500kg atau lebih, zirah beserta isinya akan hancur.

5 comments:

  1. Susah login lewat akun asli, jdi dari sini aja deh.

    -

    Hmm ... kesan pertama entri ini entah kenapa kurang berkesan. Kayak dikerjakan buru". Ada bagian yang tau" aja selesai. Kayak flashback.

    Battlenya juga. Harusnya 1 vs 1 yg lebih diutamain, tp ini lebih banyak lawan makhluk humanoid. Ahran dibilang gelandangan pula. Sedi ;_; <-- lupakan, ini terserah opini Cat lah.

    Yang paling kurang di sini interaksinya--kecuali sama Grey. Cat juga emang keliatannya ngalamin kesulitan, tapi perasaannya kurang digambarkan. Ketakutan, atau apa pun itu belum kena. Sama banyak istilah asing gak diitalic.

    Tp cewe kembar itu bikin penasaran sama masa lalu Cat. Hmm ... saya jadi mulai nebak" hubungan Cat sama Vinnie. :3

    Titip 8 ya.

    -N. Alfian
    OC: Ahran

    ReplyDelete
  2. Fatanir - Po

    pertarungannya bagus dan terasa gesit. Kata2 Caitlin agak beda dibanding prelimnya, mgkn ini nunjukin karakter yg udah berkembang. Udah ada perkembangan kanon jg secara konsep dari kdatangan Mir dan Mar.

    Paling yg kurang sregnya adalah ada kesan terburu2. Pertarungan versus makhluk hitamnya kurang berkesan berhubungan dgn virus dan penyelesaian masalah virusnya. Emosi di pertarungan lawan Ahran jg kurang kerasa, mgkn sebagiannya krn karakter Ahran kurang tergali.

    Nilai dariku 7

    ReplyDelete
  3. Awalannya kok berasa rada krik krik ya. Meski saya tau siapa Grey dan kedudukan Alsace/Gunnhildr, tetep aja awalannya berasa trivial

    Dan kemudian dilanjutkan dengan ngelawan sesuatu yang lagi" ga berkesan relevan sama ronde ini... Meski modifikasi aturan ga dilarang, karena penyampaiannya kurang enak ga bisa gitu saya nikmatin. Sampe akhir saya ga ngerasa tiga sosok yang dilawan Cat itu ber'karakter'

    Juga minus karena Ahran yang baru muncul setelah setengah jalan juga kerasa kayak bukan siapa"

    Dari saya 7

    [OC : Dyna Might]

    ReplyDelete
  4. -Narasinya bagus seperti biasa (y)
    -Pertarungan generiknya kok lebih panjang dari battle yang seharusnya jadi main event?
    -Kok battlenya begitu doang?

    Cukup oke, tapi pemilihan adegan yang disajikan bikin ceritanya... ya, berkesan kurang memuaskan.

    Skor: 7/10
    OC: Lady Steele

    ReplyDelete
  5. saya suka gaya bahasanya, nggak terlampau banyak diksi rumit, nggak bertele-tele, hanya saja masih ada kekurangan, antara lain, eksplorasi emosinya saat pertarungan Ahran vs Caitlin malah terasa kurang, daripada ekplorasi emosi di flashback. Lalu tiba-tiba muncul si kembar yang mengganggu pertarungan mereka, terasa kurang smooth masuknya. Terasa terburu-buru, dan Ahran akhirnya malah menjadi tempelan belaka.

    anyway, karakter caitlin menarik disini, ada perbedaan diksi dengan di prelim, tapi saya nggak sempat membandingkan dengan di prelim.

    oke, nilai 8/10 dulu, meskipun sebenarnya bisa lebih, minus di battle itu.

    OC Mima Shiki Reid

    ReplyDelete