9.8.15

[ROUND 2 - LEVEL 2] MARIA FELLAS - JANGAN MENILAIKU SEENAKNYA!

"Don't judge the book by its cover!"

-George Eliot -

***

Manusia. Hidup berdasarkan pengetahuan dasarnya terhadap dunia. Apa yang kamu tatap, kamu rasa, kamu cecap, kamu raba, kamu dengar, kamu lihat, kamu ikuti. Kesemuanya itu akan menjadi pengetahuan dasarmu akan dunia. Langkah pertamamu, sentuhan pertamamu, suara pertamamu, tangisan pertamamu, pengalaman pertamamu. Tersimpan erat di dalam pikiranmu. Menjadi dasar atas olah sikap dan oleh pikirmu. Serta cara pandangmu terhadap orang lain, terhadap lingkunganmu, terhadap tatanan sosialmu, terhadap dunia, serta terhadap semesta.


Menggunakan semua pengetahuan itu, kau nilai apapun yang tertangkap oleh panca inderamu. Tak percaya? Cobalah sekarang kau tanyakan pada dirimu sendiri. Apa yang kau pikirkan membaca bagian ini? Apa reaksimu? Menganggukkah? Menggelengkah? Atau hanya diam termanggu dan lanjut membaca bagian berikutnya sambil mengingat-ingat kalimatku?

Namun, terkadang, karena pengetahuan dasar itu kau menilai seseorang sesuai persepsimu. Sesuai persepsimu yang kehidupannya berbeda, yang lingkungan tinggalnya berbeda denganmu, yang persepsinya berbeda denganmu. Memaksakan kehendak nilaimu pada mereka.

Karena itu, yuk, mari kita samakan persepsi kita sebelum memulai cerita ini. Ingat! Don't judge the book by its cover!


***

- Olimpiade, Awal Benci Mengeluarkan Wujudnya -





"Bisa apa bocah Lintah itu di tempat seperti ini?"

Felly terus berjalan menuju ruangan tempat dia akan mengikuti ujian. Ia berusaha mengabaikan sebisanya pandangan ganjil orang-orang yang terus mengikutinya sepanjang jalan masuk hingga saat ini. Mencoba mengulang kembali hal-hal yang telah dipelajarinya bersama pak Ntor, mentor biologinya.

"Memangnya dia Lintah?"

Felly tetap mencoba untuk fokus pada apa yang kini ada di tangan kanannya. Selembar kertas berisi nama-nama istilah yang harus ia hafal mati sebelum ujian dimulai. Masa bodoh dengan orang-orang gila yang ada di sekitarnya kini. Yang penting aku tidak diganggu secara fisik. Bisiknya dalam hati.

"Ih dia kan masih kecil banget? Sok banget sih bocah satu ini."

Sesekali matanya terpejam, mengingat kembali istilah yang sedang dihafalnya. Dirapalnya berkali-kali agar lengket di dalam otaknya. Ia sudah mulai terbiasa dengan obrolan miring orang-orang tentangnya. Memangnya kenapa jika ia masih terlalu muda? Bukankah ia masih punya hak untuk mengikuti ajang ini? Toh umurnya mencukupi.

"Iya tahu, dia itu lintah!"

Lalu, hanya karena Felly adalah Lintah, hanya karena itu, lantas ia tidak boleh ikut? Cih, picik sekali orang-orang ini. Bukan mereka yang menentukan, bukan? Siapa yang boleh ikut dan siapa yang tidak boleh ikut? Lagipula, Felly tidak datang sendiri ke tempat ini, ia diminta untuk mengikuti ajang ini. Tidak seperti mereka yang untuk datangpun, terpaksa.

"Itu yang di tangannya pasti contekan!"

"Berisik sekali sih kalian!!" dan gerumulan pembisik dan penggunjing itupun terdiam. Kaget karena gadis kecil berumur delapan tahun itu berani membentak mereka.

Mereka tidak paham dengan apa yang ada di otak gadis kecil itu. Bagi mereka, olimpiade ini adalah kompetisi. Untuk mendapatkan pengakuan dari orang tua mereka masing-masing. Untuk memperoleh derajat yang lebih tinggi dari yang lainnya. Untuk mendapatkan baju kebesaran yang mampu mengokohkan jalan menuju harga diri yang kuat. Untuk mendapatkan piala berkedok prestasi.

Tapi tidak begitu dengan si Gadis Lintah kita. Baginya olimpiade adalah teman. Teman yang tidak akan ia dapatkan dari manusia-manusia yang hanya ingin mengejar ketenaran. Teman yang tidak akan ia dapatkan dari manusia-manusia busuk, yang bermimpi menguasai dunia dengan ketamakan mereka atas harta. Teman yang berkhianat hanya pada yang lemah berusaha.

Dan baginya, olimpiade ini adalah tempat terbaik untuk … balas dendam.

***


- Keanehan Di Alforea -



Aku selamat dari dua gurun, tempat di mana dua tantangan pertama dari Tante Seksi diadakan. Aku juga selamat dari tiga portal pengantar, duniaku - Alforea, Alforea - Shohr'n Plain, Shohr'n Plain – Alforea, Alforea – Bauhaus, Bauhaus – Alforea.

Aku selamat dari Makhluk Terbang di tantangan pertama dan selamat dari para pembunuh di Gurun Bauhaus. Aku juga bertemu dengan salah satu legenda para preman, Asep Codet. Aku bertemu dengan banyak hal selama dua pertandingan jika bisa disebut begitu.

Sekarang apa lagi?

"Selamat datang kembali, Nona Fellas."

Salah satu Gadis Kloningan itu menyambutku. Yang benar saja? Lihat, pakaiannya berubah! Kemarin, (mungkin, karena aku sendiripun tidak tahu sudah berapa lama aku ada di tempat aneh ini) ia mengenakan pakaian yang di dominasi dengan warna hitam dan putih. Hari ini ia mengenakan pakaian yang di dominasi dengan warna merah gelap dan cream.

Perasaanku saja atau memang sense of fashion dari Tante Tamon tidak begitu bagus?

Ia menatapku dengan dingin, "bukan waktunya untuk anda mengomentari pakaian yang saya kenakan, Nona Fellas."

"Bagaimana kau tahu?" tanyaku padanya. Yang benar saja, pada pertandingan yang lalu Gadis Kloningan ini tidak dapat membaca pikiran. Mengapa sekarang ia jadi bisa membaca pikiranku?

"Tidak penting. Sekarang, mari kita urus terlebih dahulu, pakaian compang-camping yang kini anda kenakan."

Sial! Dia benar-benar menyebalkan.

"Ini pakaian ganti anda. Kaus polos berwarna kuning dan rok pendek selutut dengan motif yang sama berwana merah liris hitam."

Ia menyerahkan pakaian itu padaku. Sedetik kemudian ia menepukkan tangannya dua kali dan sedetik kemudiannya lagi, sebuah pintu kecil muncul di hadapan kami.

"Anda dapat mengenakan pakaian ini di dalam."

Aku segera masuk ke dalam mengunci pintunya. Penerangan ruangan di balik pintu, yang tak kusangka sangat luas, ternyata cukup baik. Aku melepaskan tasku dan meletakkannya pada kaitan di balik pintu.

Pandanganku langsung tertuju pada cermin besar yang ada di sebelah kanan pintu. Ada apa denganku?

Ada yang aneh, aku melihat bayanganku di dalam cermin memudar, berubah menjadi kota-kotak warna mosaik. Lalu menerang kembali, menjadi terlalu solid. Tidak lama. Lalu warnanya kembali seperti semula. Kenapa aku jadi seperti karakter di dalam game yang sedang error begini!?

"Nona Fellas, waktu anda tidak banyak. Segeralah berganti pakaian."

"Iya." Cih, menyebalkan sekali sih Gadis Kloningan ini. Lebih baik aku memang segera berganti pakaian. Mungkin pertandingan selanjutnya memang akan segera dimulai.

***

Aku keluar dari ruangan berganti pakaian itu. Si Gadis Kloningan yang sampai saat ini masih belum kuketahui namanya, masih menungguku dengan sabar tetap berdiri pada posisinya layaknya patung. Dia ga capek apa?

"Apakah anda … zzz ... Siap, Nona… zzz… Las."

Hah?

Itu apa? Sensor? Tempat ini terkena sensor dari badan sensor dunia?

Kenapa suaranya ber-zzz begitu? Dia bilang apa?

"Bukan … zzz … error."

--dan seketika ia memejamkan matanya. Terdengar suara komputer mati yang langsung diiringi dengan tubuhnya yang berubah warna menjadi abu-abu metal. Asap tipis keluar dari ujung ubun-ubunnya.

"Hei! Kau kenapa?" Kuguncangkan tubuhnya untuk memastikan apa yang sebenarnya terjadi. Bahkan tubuhnya tak bisa digerakkan. Keras. Seperti batu.

Belum lagi hilang rasa kagetku, kini di sekelilingku juga terdapat kehebohan yang sama. Orang-orang (anggap saja mereka adalah orang) yang kemarin berkumpul bersamaku di pelataran istana Tante Seksi juga sama kagetnya. Gadis-gadis Kloningan yang ada di sekeliling kami mendadak mati.

Bukan! Mereka tidak mati. Mereka (hanya) tidak lagi berfungsi. Karena kini mereka masih berdiri tegak seperti biasa. Jika mereka mati, maka tubuh mereka pasti lunglai dan tidak dapat berdiri lagi. Tunggu! Jika mereka tidak lagi berfungsi, itu berarti mereka bukan Gadis Kloningan. Mereka bukan manusia. Jangan-jangan mereka adalah … Robot?

Yang benar saja!?

Baru sedetik aku melirik ke arah Gadis-robot Kloningan di depanku, sekarang mataku disuguhi dengan kegelapan penuh. Ada apa sih sebenarnya dengan tempat ini?

Lihat, sekarang apa yang kulihat hanya kegelapan. Melirik ke kanan, gelap. Melirik ke kiri, gelap.

[Mohon maaf sebelumnya, sistem penerangan di Alforea sedang mengalami masalah. Silahkan hubungi beberapa saat lagi.]

Ya kali!! Pengumuman seperti apa itu!? Mirip sambungan ponsel gagal jaman jadul saja.

Oke, sekarang aku harus tenang! Pasti ada yang dapat kulakukan.

Tunggu, kalau penerangan Alforea memang mengalami masalah, kenapa aku bisa melihat tubuhku dengan sangat jelas? Tidak, pasti ada yang salah.

[Tidak ada yang salah dengan sistem di Alforea. Ini hanya efek sementara. Kami sedang memperbaharui sistem di dalam Alforea.]

Memperbaharui? Maksudnya updating system? Memangnya ini dunia di dalam komputer apa? Pakai updating segala.

Sebuah layar muncul di hadapanku. Masih gelap. Sekarang, satu-satunya penerangan di sini adalah layar yang kini berada tepat di hadapanku.

[Sementara menunggu proses pembaharuan selesai, Anda dapat menikmati fasilitas permainan kecil-kecilan kami.]

Permainan kecil-kecilan? Mini-games maksudnya?

Layar di hadapanku berubah menampilkan dua kotak kecil. Yang di atas berupa kotak kosong dengan sebuah garis yang berkedap-kedip tepat di tengahnya. Yang di bawah merupakan sebuah papan ketik yang berbentuk kotak-kotak kecil. Di setiap kotaknya menampilkan huruf-huruf alfabet.

Ini mah keyboard touch screen.

[Silahkan masukkan nama anda!]

Namaku? Aku mengetikkan [MARIA FELLAS] ke layar menggunakan fasilitas touch screen yang disediakan.

[Silahkan masukkan jenis gender lawan anda!]

Hah? Gender juga? Serius? Aku menekan karakter panah ke bawah untuk melihat pilihan yang ada. Sial, ada banyak. Hewan, tumbuhan, wanita, pria, campuran … apa? Ada campuran?

Baiklah… pilih yang normal saja. Wanita.

[Maaf, menu yang anda pilih telah habis, silahkan pilih pilihan yang tersedia!]

Oke! Kalau begitu, aku coba pilihan lainnya. Hmm ... asal jangan pria. Mari kita coba Tumbuhan.

[Maaf, menu yang anda pilih telah habis, silahkan pilih pilihan yang tersedia!]

Oke, Tumbuhan dan Wanita sudah habis, mungkin Hewan pilihan yang bagus.

[Maaf, menu yang anda pilih telah habis, silahkan pilih pilihan yang tersedia!]

Yang benar saja!? Semuanya habis? Lalu kenapa pilihannya masih ada?

Ya sudah, kalau begitu, Pria.

[Baik! Pilihan anda telah tersimpan!]

Sial!

[Apakah anda ingin memasukkan spesifikasi lawan dengan lebih detil?]

Lebih detil itu maksudnya seperti apa?

[Seperti tinggi lawan, dadanya besar atau tidak, rambutnya sepanjang apa, kemampuannya seperti apa.]

Muncul pilihan [yes] dan [no] di layar. Segera kutekan tombol [no]. Ribet amat. Yang namanya main game itu, lebih seru kalau lawannya acak, dipilihkan. Masa aku memilih lawan sendiri? Tidak menantang, dong?

"Silahkan masukkan tempat pertarungan yang anda inginkan!"

Repot sekali sih mau ikut mini-games, doang!? Hmm … Mari kita lihat. Hutan … tidak, terlalu berbahaya untukku, banyak setan buas. Sungai … tempat yang menarik tapi kurang menantang. Pasar … terlalu banyak orang. Laut … tidak! Terlalu banyak garam. Yang jelas aku tidak mau bertemu dengan Gurun lagi. Kebun … Sepertinya kebun tempat yang menarik. Aku bisa sekalian melakukan penelitian di sana.

Aku menekan pilihan [Kebun] di layar.

[Oke, Nona Maria Fellas, saya ulangi pesanan Anda. Lawan seorang pria. Tidak perlu terlalu detil. Tempat pertandingan yang anda pilih adalah kebun. Apakah ada pesanan tambahan?]

Kembali muncul pilihan [yes] dan [no]. Kembali pula aku menekan tombol [no] pada layar.

[Baiklah. Pesanannya ditunggu lima menit, Nona.]

Tidak berapa lama, secercah cahaya muncul dari ujung sepatuku. Terus merambat ke betis, paha, perut, kedua tanganku, dan terakhir ke kepalaku. Seolah aku adalah pusat dari cahaya itu sendiri.

Tidak sampai tiga detik, cahaya itu meledak menyerang ke segala arah. Lalu, semuanya gelap. Tidak bersisa.


***


- Titah Pria Bertudung -


"Hai, kau ... Maida, bukan?" orang itu menatapku tersenyum. Sebelah alisnya dinaikkan. mimik mukanya dibuat seramah mungkin. Tudung hitam di kepalanya membuat ia terkesan misterius, walau ia sebenarnya tidak kelihatan misterius sama sekali dengan wajah cerianya.


"Ya, aku Maida. Ada apa tuan mencariku?" Ucapku langsung ke pokok permasalahan. Aku merasakan firasat yang kurang baik. Ada aura aneh yang menguar darinya yang membuat seluruh tubuhku memerintahkanku untuk segera menghindar.


"Santai, saja Nona, atau ... haruskah aku memanggilmu dengan sebutan, Tuan York?"


Tubuhku membeku. Siapapun dia, dia bukan orang sembarangan di tempat ini.


"Siapa kau? Apa yang kau inginkan dariku?" Aku sudah memasang sikap siaga. Aku tidak mengenalnya. Aku merasa harus mempersiapkan diri untuk kemungkinan terburuk.


"Aku juga tidak ingin terlalu bertele-tele. Keinginanku hanya satu, menghancurkan turnamen gila ini selamanya." Saat ia mengucapkan kalimat terakhirnya, entah mengapa, ada perasaan ngeri yang muncul dari ujung tengkuk hingga kakiku. Seketika merinding.


"Lalu, apa yang kau inginkan dariku?" Akan lebih baik jika aku tidak ingin berlama-lama dengan orang ini. Aku tidak tahu apa yang diinginkannya dariku. Tapi jelas, dia orang yang berbahaya.


Ia membuka tudungnya santai. Hembusan angin membelai rambutnya yang melambai ringan. Ia meminum cairan dari kaleng berlabel 'WJK' di tangannya, lalu menatapku kembali, tajam, "Aku ingin kau mengalahkan Maria Fellas. Kukira ia akan gagal pada Preliminary kemarin. Tak kusangka, ia malah menjadi satu-satunya yang lolos dari timnya."


"Kenapa kau ingin menghabisinya?" pertanyaan bodoh. Aku tahu itu. Namun, melakukan sesuatu tanpa alasan bukanlah caraku bermain.


"Ia kuat, karena kuat, ia harus segera dihabisi. Peserta sepertinya hanya akan membuat turnamen ini berjalan lebih lama dari yang kuinginkan."


"Apa untungnya bagiku jika aku mengalahkannya?" Pandanganku menatapnya tajam. Tubuhku berdiri tegak bak paku yang siap membelah bumi. Aku bersiap untuk segala kemungkinan yang ditawarkannya.


"Untung? Aku akan memberikan lebih dari apa yang si Seksi Tamon berikan padamu."


"Apa itu?"


"Sesuatu yang sangat kau inginkan selama ini. Keinginan terpendam yang terdapat di dalam dirimu."


Sesuatu yang sangat kuinginkan? Apa yang dia ketahui tentangku?


"Tenanglah Nona. Kita sedang berada di dalam kapal yang sama. Kau ingin menang, aku ingin menghancurkan turnamen ini. Kau mendapatkan apa yang kau mau, akupun begitu."


"Jika aku menolak permintaanmu, apa yang akan terjadi?" Kulihat ia menaikkan sebelah bibirnya. Meremehkanku.


"Kematian. Apa lagi menurutmu?" Kembali ia menyesap ringan cairan di kaleng WJK itu.


Aku menimbang-nimbang tawarannya. Tak ada ruginya bagiku. Tapi, aku berpotensi membunuh seseorang yang tidak bersalah.


Setelah menimbang cukup lama, aku memutuskan, "baiklah, aku akan membantumu. Dengan syarat, kau tidak akan membunuhnya. Kalah. Tapi tidak terbunuh. Bagaimana?"


"Deal. Pastikan kau memenangkan pertandingan ini!"


Aku hanya menganggukan kepalaku mengiyakan.


Ia menarik kembali tudung hitamnya dengan sekali hentakan. Ia menatapku sesaat, sebelum berbalik pergi menjauh. Melemparkan kaleng minumannya ke arah tempat sampah dengan gaya yang sempurna–


kalau saja, kaleng itu masuk ke tempatnya.

***

Kejadian bertemu dengan pria bertudung tadi, kini berkelebat berkali-kali di dalam benakku. Siapa dia? Dari mana asalnya? Mengapa dia ada di sini? Apa yang sebenarnya dia inginkan? Kenapa harus Maria Fellas? Siapa sebenarnya Maria Fellas? Sehebat apa?

Namun, pertanyaan itu hanya tersampaikan oleh hatiku saja. Tak dapat kuucapkan dengan lantang. Tidak seperti seorang York. Wanita seperti apakah Maria itu sebenarnya? Aku sungguh penasaran.

Setengah jam. Tepat setengah jam setelah kepergian Pria Bertudung Hitam itu dari hadapanku, kejanggalan demi kejanggalan hadir. Dimulai dengan perubahan warna tubuh kami, para peserta, yang memudar dan menerang. Lalu, para peserta yang tiba-tiba berubah bagai layar televisi yang rusak, berkotak-kotak hitam dan putih. Malfungsi dari setiap Gadis Pelayan. Hingga akhirnya, entah dari mana, suara itu muncul di telingaku.

"Nona York, sistem keamanan Alforea telah berhasil diretas. Kini, Maria Fellas menganggap bahwa Alforea sedang dalam proses pembaharuan. Tepat setelah dia selesai memilih tempat pertarungan, kau akan diteleportasi, langsung ke Medan Perang. Baginya, tempat tersebut tidak lebih dari sebuah mini-games yang disediakan sambil menunggu pembaharuan sistem selesai. Silahkan manfaatkan waktumu di Neegr' Garden se-efisien mungkin! Jika kau gagal, nyawamu taruhannya."

Disinilah aku sekarang. Menatap bingung dengan pemandangan di hadapanku yang, bagaimana ya aku mengatakannya, tidak wajar. Sejauh mataku memandang, yang ada hanya kotak-kotak berwarna-warni.

Di sebelah kananku ada beberapa kotak kecil berwarna gradasi hijau dan putih, yang dikelilingi oleh kotak-kotak berwarna cokelat. Kalau ditilik dari bentuknya, sepertinya itu adalah kubis.

Di sebelah kiriku ada kebun wortel, di depanku ada kebun jagung, di belakangku ada kebun cabai. Atau anggap saja begitu, karena aku sendiri, masih berusaha terbiasa dengan pemandangan kotak-kotak ini.

Aku ingin medeskripsikan tempat ini sebagai kebun yang indah dengan sayur mayur yang melimpah ruah tumbuh segar di atas tanah yang subur. Sayangnya, walaupun kebun ini memang memiliki sayur mayur yang segar tumbuh di atas tanah yang subur, namun pemandangan yang kulihat tidak indah.

Kotak-kotak. Apa yang indah dari itu?

Mungkin sekarang lebih baik aku mencari wanita yang bernama Maria Fellas itu. Jadi di mana wanita itu?

"Hei, menjauhlah dariku!" seorang gadis kecil berambut ikal kuning, berlari kecil ke arahku sambil mengibaskan tangannya. Kotak-kotak berwarna kuning dan hitam terlihat terbang ke arahnya.

Manusia ada di tempat ini? Bagaimana bisa?

Dia sepertinya tidak sadar sedang berlari kencang ke arahku. Bergerak terus sambil tetap berusaha mengusir (mungkin) para pengejarnya. Aku hanya pasrah ketika menyadari ia tak menghentikan laju larinya saat tepat berada di hadapanku.

"Aduh, sakit!" Ucapnya. Kami sama-sama terjatuh.

Hai, lihatlah! Manis sekali adik kecil ini!

"Kamu tidak apa-apa adik kecil?" Aku mengulurkan tanganku padanya. Ia menatapku sebentar sebelum menepis tanganku dan berdiri menggunakan tangannya sendiri. Menepis butiran debu yang lengket di rok selututnya. Aiihh manisnya!!

Segera saja aku memeluk gadis kecil ini! Lihat, bahkan tubuhnya sangat kecil sekali di dalam pelukanku!

"Hei! Lepaskan aku! Dasar Mesum!" Ia mendorong dadaku perlahan. Aku hanya bisa tersenyum manis padanya. Aihh... lucunya anak ini!

"Siapa yang mesum, sayang? Kau manis sekali!" Kutarik dia lagi ke dalam pelukanku. Lihatlah! Dia lucu sekali!

"Lepaskan aku!" Gadis Kecil itu kembali mendorongku!

"Kakak berumur berapa?" humm... pertanyaan yang cukup aneh.

"Aku? Aku 19 tahun, Sayang."

"Kau sudah 19 tahun dan tak punya payudara!?" Dia mendorong tubuhku dengan kencang.

Aku sudah akan tersenyum lagi ketika kudengar ia melanjutkan teriakannya, "Kakak bukan wanita! Kakak adalah ..."

Sial! Segera kubekap mulutnya sebelum berkata lebih jauh!

"stttt... diam. Jangan disebut!"

"Uhmmm.. Leuph … phas … khan ... akh … khu ..."

Dia memberontak kembali. "Oke, akan aku lepaskan! Asal kau berjanji untuk tidak menyebutkan genderku lagi!" Ia menganggukan kepalanya. Segera kulepaskan ia dari pelukanku.

Setelah terbatuk, ia mundur beberapa langkah menjauh dariku. Menatapku dalam posisi siaga.

Tidak mungkin! Jangan bilang kalau dia adalah ...


***


- Mari Memasak -



Maria Fellas.


Itu namaku. Aku mengelap bibirku yang habis dibekap oleh kakak berambut biru. Ia masih berada di hadapanku. Huh, menyebalkan sekali. Modus baru penculikan gadis kecil seumuranku!


Dasar Lolicon! Menyebalkan!


Lihat! Tampangnya seperti wanita. Cantik. Berkata lembut. Baik sekali perangainya. Tak kusangka dia pria! Tadi saat aku mendorong dadanya, tak kurasakan gumpalan empuk yang biasanya menghiasi tubuh wanita seumurannya. Aku saja sudah memiliki gumpalan itu walau sedikit.


Kini, ia menatapku. Tajam. Tak bergerak. Aku juga menatapnya. Tajam. Tak bergerak.


Kami tak bergerak sedikitpun dari tempat pertama kali saling 'menemukan' di Neegr' Garden beberapa menit yang lalu. Berdiri dalam posisi siaga. Mencari aman, kalau-kalau terjadi serangan tiba-tiba dari pihak lawan.


Bukannya apa-apa. Dua ronde. Petarungan berdarah. Yang pertama tim, yang kedua saling bunuh. Siapa yang tidak waspada kalau begitu?


Setelah beberapa menit tidak juga melihat tanda-tanda mencurigakan dari kakak Rambut Biru, aku mulai sedikit lebih tenang. Mataku masih terfokus padanya, Namun tubuhku tidak lagi berada pada posisi siaga. Aku mulai sedikit ragu kalau kakak ini adalah lawanku di pertandingan kali ini. Apalagi mengingat wujud kami berdua yang bisa dibilang ... terlalu ceria.


Penampilan kami berubah menjadi makhluk dua dimensi. Berbentuk seperti makhluk pixel yang selalu ada di dalam game-game yang teman-temanku mainkan. Aku bahkan bisa melihat bagian belakang tubuhku kotak-kotak lucu.


"Kita sebenarnya mau ngapain sih, di sini?" Aku menyedekapkan tanganku ke depan. Mendengus kecil ke arah lobak hijau yang tertanam rapi di kananku.


"Aku juga tidak tahu Adik Kecil. Apakah kamu lawanku di pertarungan kali ini?"


"Lawan?" aku kembali bersikap awas. Di pertandingan yang terakhir, lawanku juga seperti ini. Cantik. Baik. Ceria. Izu.


Bedanya hanya terletak pada kepolosannya. Kakak ini tidak terlihat seperti gadis polos yang hanya akan mengikuti permainanku. Dia terlihat lebih dewasa dan bijak. Kesampingkan jenis kelaminnya.


"Siapa namamu, Adik Kecil?"


Dia kira dia siapa! Kurasa dia banci. Apalagi sebutan yang pantas untuk pria yang berdandan seperti wanita?


"Kau catat ini, Dik. Aku bukan banci. Jadi, siapa namamu?"


Sial! Ada apa sih dengan hari ini? Semua orang dapat membaca pikiranku dengan baik. Mungkinkah ini efek dari pembaharuan di Server Alforea?


Tunggu, ada yang aneh! Jika memang Server Alforea sedang diperbaharui dan mengakibatkan kami harus mengikuti semacam mini-games dari Tamon. Bukankah itu berarti kami sedang berada di dalam Server itu sendiri? Lalu, portal itu … berarti itu bukan portal menuju dimensi lain. Portal itu adalah portal menuju salah satu lokasi di dalam server, salah satu bagian Memori.


Jika memang begitu, berarti, kami saat ini sedang berada di dalam memori sebuah komputer. Kami yang sekarang ini, diproyeksikan dari wujud nyata, ke dalam bentuk kode-kode bit. Kode-kode itu kemudian diartikan kedalam bit-bit warna RGB.


Lalu, karena saat ini sistem sedang melakukan pembaharuan, maka, bit-bit RGB itu kembali ke jaman 500 tahun lalu, saat komputer dengan layar pertama diciptakan di dunia. Layar pixel.


"Hei, Adik Kecil, kau kenapa? Siapakah namamu?" Pertanyaannya barusan menggangu konsentrasiku. Aku sedang mencoba menganalisa situasi dan kondisi di tempat ini.


"Kakak berisik! Untuk apa kakak tahu namaku?"


"Yah, aku hanya ingin memastikan kau lawanku atau bukan. Itu saja." Ia menatap sayur-mayur yang ada di sekitar kami. Membuatku merasa bersalah.


"Aku, panggil aku Fellas."


"Jadi benar, kau adalah Maria Fellas. Lawanku pada ronde ini. Pantas saja pria bertudung hitam itu membuat ini semua seolah permainan kecil saja untukmu. Ternyata, kau masih bocah."


"Kakak terlalu meremehkanku. Kata Tsun Tzu, jangan pernah terburu-buru dalam menilai lawanmu. Kau tidak pernah tahu kunci apa yang ia genggam." Aku tersenyum pada kakak Rambut Biru di hadapanku.


Kulihat ia masih akan tertawa –


namun terhenti oleh bunyi bergetar aneh yang berasal dari tanah yang kami injak.


Sebuah tiang pemancang besi muncul dari pusat getaran. Tiang pemancang yang sungguh sangat berbeda dari … keseluruhan pemandangan yang ada di sini.


"Kau … itu … "


Aku menganggukkan kepalaku mengiyakan. Benar. Warna dari tiang tersebut, berbeda dari kami. Warnanya terlalu … sempurna. Mirip dengan wujud asli dari tiang pemancang. Halus dan tidak berkotak-kotak warna seperti kami.


Dua buah layar transparan muncul tepat di bagian atas kepala kami. Layar tersebut melayang dengan indah, kemanapun kami bergerak. Aku merasa jadi seperti malaikat yang ada di film-film yang kutonton. Tambahkan aku sayap putih maka aku akan persis seperti bidadari cantik yang–


pemikiran bodoh seperti apa itu di saat seperti ini.


Kini, aku dan dia telah bersiaga. Berdiri dengan kaki berkuda-kuda siap menerjang jikalau tiba-tiba ada musuh lain yang datang ke arena pertarungan ini.


Sebuah loudspeaker kotak-kotak muncul tepat dari tengah pemancang besi di tengah kami. Lalu, sebelum kami sempat bertanya 'apa itu?' suara cempreng memekakkan telinga membahana di kebun kotak-kotak Neegr' Garden.


"Selamat datang semuanya di Kebun Neegr' Garden. Apakah kau sudah siap untuk bertarung??? APAKAH KAU SUDAH SIAAAPPPP?"


Aku menatap kakak berambut biru dengan bingung. Sementara ia membalasku dengan tatapan tidak mengerti yang sama. Kami canggung sekali jadinya.


"Lihat, Kebunku~
Penuh dengan bunga~
ada yang merah~
dan ada yang putih~
setiap hari~
kusiram semua~
mawar melati~
Semuanya indah~
"


Loudspeaker itu terus menyanyikan lagu-lagu jadul dari duniaku yang membuatku sungguh bosan setengah mati.


"Hei, sebenarnya apa yang kau lakukan?" Aku menatap si loudspeaker itu dengan tatapan tidak mengerti. Sesuatu yang menyebalkan sekali, di saat seperti ini, di dalam suasana pertarungan, (err ... sebenarnya tidak juga sih ...) ada sebuah lagu jadul yang tidak membakar semangat muncul dari antah berantah. Sungguh merusak mood.
"Kau sungguh tidak seru. Baiklah, aku adalah pelayan kalian kali ini. Nona atau nyonya? ah... Nona Tamon memintaku untuk menjelaskan peraturan pertarungan pada kalian."


Aku dan kakak Rambut Biru menatap loudspeaker itu dengan seksama. Aturan pertarungan itu penting. Jangan sampai kami melewatkan satu peraturanpun.


"Aturan pada permainan ini gampang," loudspeaker tersebut membentuk senyum penuh arti pada kami dengan bentuk bulatnya. Satu kotak berwarna hitam muncul di kedua sudut lingkarannya yang kini sudah membentuk oval. Setelah beberapa saat tidak ada sahutan dari kami, loudspeaker hitam tersebut melanjutkan kalimatnya ,"kalian berdua harus memasak makanan yang dapat menyerang lawan. Setiap satu porsi makanan yang kalian masak akan mengurangi poin lawan kalian sebanyak 10 poin."


Mudah sekali.


"Tidak semudah bayanganmu teman. Setiap makanan yang sudah kau masak, harus kau habiskan. Tidak baik membuang makanan." ucap loudspeaker itu dengan tenang. Seolah itu adalah hal yang biasa terjadi.


"Apa yang terjadi jika kami tidak berhasil menghabiskan makanan itu?"


"Pertanyaanmu lucu sekali Tuan York, tentu saja, orang yang membuang makanan, harus dihukum. Minus 5 poin untukmu. Karena kau menjadi anak yang nakal. Namun, jika kau menghabiskan makananmu dan menjadi anak yang baik, 5 poin tambahan untukmu."


Aku dan kakak berambut biru (yang mungkin bernama York) terdiam di tempat. Sama-sama mematung. Ada satu aturan penting yang belum disebut oleh loudspeaker ini.


"Oh iya, tentu, aku lupa memberikan informasi penting terkait pertarungan kalian ini. Kalian akan diberikan masing-masing 100 poin sebagai modal. Ini adalah pertandingan mati-matian. Kau akan kalah jika poinmu habis duluan. Masing-masing dari kalian akan mengetahui jumlah total poin lawan dengan melihat layar transparan yang ada di atas kepala kalian. Nah sekarang, Selamat bertarung Nona Maria Fellas dan Tuan Maida York!"


Lalu, loudspeaker serba guna itu menghilang dari hadapan kami berdua.


WHAT!? JUST WHAT?!

***



- Jangan Menilaiku Serendah Itu -



Seiring dengan menghilangnya loudspeaker itu dari hadapan kami, muncullah dua buah meja dapur lengkap dengan alat memasak yang lengkap.


"hahaha ..." Kakak berambut biru itu tertawa menatapku, "kau? Bisa memasak adik kecil? Hahaha … "


"Hei Tuan York," Kutatap matanya dalam sambil mengambil salah satu pisau – atau yang kukira seperti pisau, "kakak akan menyesal telah mentertawakanku."


Lenyap sudah keinginanku untuk melakukan eksperimen. Hilang sudah bayangan indahku tentang bermain bersama para tumbuhan. Aku tinggalkan kakak York tersebut yang masih tertawa melihat kekesalanku.


Saat sampai di sini, aku dijatuhkan tepat di atas sarang lebah. Lebah-lebah itu menghajarku, membuatku lari kalap ke arah seorang wanita cantik berambut biru. Menabraknya. Berpikir aku akan selamat dari sengatan para lebah yang sudah menciptakan kotak-kotak merah di kulitku.


Lebah menghilang lolicon datang! Wanita cantik yang kukira adalah seorang wanita ternyata tak punya dada. Aku dipeluk. Dasar menyebalkan! Dasar penipu! Terlepas dari si wanita jadi-jadian, kukira kesialanku selesai sampai di sana.


Ternyata tidak! Aku masih harus diremehkan! Dia kira dia siapa? Aku memang anak kecil, lalu apakah lantas dia boleh meremehkanku? Aku memang tak bisa memasak, lalu tidak berarti dia boleh seenaknya merendahkanku! Dasar kakak jadi-jadian!


Mini-games apaan? Ini big-games!


Aku bergerak ke arah kebun sayur kesukaanku. Wortel cantik berwarna nila, dengan pucuk daun yang masih keriting sehat. Kugerakkan pisauku ke salah satu wortel. menca


"Aaaa Aaaa, cabut aku, cabut aku!" Aku melirik ke kiri dan ke kanan. Mencari arah suara cempreng itu berasal. "Aaaa ... aaa … cabut aku!"


Aku terdiam. Tanganku terhenti dari kegiatan mencongkel tanah. Memperhatikan wortel di dalam genggaman tanganku. Ada dua buah kotak hitam dan sebuah garis melengkung di dekat pangkalnya. Tiga garis kemerah-merahan tergores manis tepat di bawah masing-masing titik hitam itu. Mataku terpaku pada kedua titik itu.


Tiba-tiba, kedua titik hitam bergerak bagaikan mata yang menatap ke arahku, dan –


– "aaa ... kakak kenapa berhenti mencabutku?"


Seketika itu juga aku melempar wortel di dalam genggaman tanganku. Apa-apaan itu? Sayuran yang bisa berbicara?


"Kalau begitu cabut aku saja!" Aku menatap ke belakang dan mendapati sawi di belakangku juga dapat berbicara.


"Tidak, cabut aku saja!" kata sawi yang lain. Lalu brokoli, lalu bayam, kangkung, lobak dan semua sayur mayur yang ada di sini berbicara. Minta dicabut!


Aku menutup telingaku. Namun suara mereka membuatku menjadi gila. Arrgggghhhhh


"KALIAN BERISIK!"


dan seketika mereka menjadi hening.


"Kakak … marah padaku?" sebuah tanaman sawi menatapku dengan wajah memelas. Lalu sawi lainnya mengatakan hal yang sama. Tidak sampai dua puluh detik, sayur-mayur lainnya berteriak mengatakan hal yang sama.


Yang benar saja!


"DIAM!" teriakku kencang. Seketika semuanya kembali menjadi hening.


"Bicara satu-satu!" ucapku setelah beberapa saat tak mendengar suara mereka lagi. Diujung sana kulihat kak York sedang menari bersama para wortel. Dia bodoh atau bagaimana, sih?


"Baik kakak!" Jawab mereka serentak. Bagus.


"Nah, sekarang katakan padaku, apa tujuan mini-games ini?"


"Ah … itu katanya tuan WJK, kami tidak boleh bilang." jawab si Sawi berdaun kribo.


"Oke. aku ganti pertanyaannya. Bagaimana caranya supaya aku bisa menang?" aku menatap ke arah brokoli yang terlihat berwibawa.


"Itu cukup gampang, Nona Fellas. Anda cukup memasak dan memakan kami." Aku mendelikkan mataku pada Pak Brokoli.


"Itu juga aku sudah tahu!"


Aku kembali mengambil pisauku dan menggali wortel. Satu wortel sudah di tanganku. Di saat itulah. Aku menemukan ide cemerlang.


"Hai, Ibu Bayam, aku hanya harus memasak hingga angka seratus di kepala kakak itu berubah jadi nol kan?" tanyaku sambil menunjuk ke arah Kak York yang kini sedang memotong-motongi sayur-mayur yang sudah di ambilnya.


"Benar, Nona!" ucapnya menggukkan kepala padaku.


"dan apapun yang aku masak akan mengurangi poinnya, bukan?" kembali aku menatap ibu Bayam. Meminta jawaban.


"Benar, Nona!" ucapnya sekali lagi dengan suara dalam yang tenang.


"dan di dalam seporsi makanan itu tidak harus terdiri dari berbagai jenis sayuran, bukan?"


"Benar, Nona!" Lagi, ia mengatakannnya dengan nada yang tenang dan dalam.


"Berarti aku tidak harus memasak satu menu utuh. Cukup rebus saja, lalu makan. Terlalu lama jika harus mempersiapkan semuanya menjadi makanan satu porsi yang enak. Modal poin kami masing-masing adalah seratus dengan tingkat kerusakan per porsi sepuluh poin. Berarti aku butuh sepuluh porsi makanan yang dimasak secara terpisah." Aku bergumam sendiri. Menatap ke tanah pijakanku.


Dengan segera aku menggali kentang dan wortel, masing-masing dua buah. Mengambil dua buat tomat. Mengambil dua buah tanaman bayam. Terakhir mengambil dua buah sawi. Oke. Sudah sepuluh buah.


Aku tersenyum riang membawa panenku ke atas meja dapur. Sekilas, kak York tersenyum sinis menatap hasil panenku yang seadanya. Sementara ia masih memotong-motongi wortel. Terlihat wortel-wortel itu tersenyum gembira dipotong-potongi oleh beliau. Sepertinya ia akan memasak sup. Kelihatannya enak –
tidak, aku tidak butuh enak. Yang penting menang.


"Oke, teman-teman. Setelah aku mencuci kalian, aku akan merebus kalian, utuh dan memakan kalian tepat setelah kalian selesai direbus. Oke?"


"Baik, Nona." Jawab mereka serempak.


Aku memasukkan air ke dalam panci, lalu kuhidupkan api kompor gas. Terlihat olehku kak York tersenyum menang, menatap semua sayuran yang tidak kupersiapkan ini. Aku hanya tersenyum riang.


Begitu airnya mendidih, kumasukkan bu Bayam ke dalam panci. Air mendidih membuat bu Bayam cepat layu. Tidak sampai lima menit , bu Bayam matang. Ku angkat bu Bayam dan kupindahkan ke mangkuk kecil. Begitu bu Bayam terletak manis di dalam mangkuk, muncul layar kecil yang menghitung mundur dari angka sepuluh di atas mangkuk dan terdengar bunyi ting dari arah kak York.


Jadi begitu, jika dalam sepuluh detik aku tidak memakan bu Bayam, maka poinku akan berkurang lima. Aku masukkan Bu Tomat ke dalam air mendidih tempat rebusan Bu Bayam. Sambil menunggu Bu Tomat matang, aku memakan Bu Bayam pertamaku.


"Aaaahhhh … terima kasih." teriak bu Bayam pertama ketika akhirnya sampai di dalam mulutku.


Setelah selesai aku mengunyah bu Bayam pertama, Aku mengangkat Bu Tomat dari panci dan memasukkannya ke dalam mangkuk. Kak York sepertinya mulai menyadari bahwa ada yang aneh dengan sistem permainan yang ia pahami. Bunyi ting kembali muncul dari layar di atas kepala kak York, pertanda sepuluh poin lagi berkurang darinya.


Aku terus-menerus memasukkan satu dan mengeluarkan yang lainnya dari dalam panci.


Ketika kak York selesai memasak satu porsi makanannya, poinku berkurang sepuluh. Sementar poinnya sudah berkurang tujuh puluh. Di saat itulah ia menyadari kesalahannya.


"Kau … telah menyadari permainan ini sejak awal ya?" tanyanya padaku yang sedang makan Mba Wortel, porsi ke delapanku. Di dalam panci, sedang direbus Tante Sawi. Di atas mejaku hanya tinggal Pak Tomat.


"Bukankah sudah kubilang, Kak? Kakak akan menyesal telah mentertawakanku." dan bunyi ting kembali keluar dari layar di atas kepalanya. Kini poinnya tinggal sepuluh lagi. Sedang aku, mengangkat Tante Sawi, Pak Tomat sudah tersenyum bahagia akan segera menyusul Bu Tomat ke perutku.


"Tapi kau licik!" ucapnya sambil memasukkan bayam ke dalam panci. Sepertinya dia mengikuti caraku untuk menang. "Kau mempermainkan aturan pertarungannya."


"Kak York harus ingat! Apa yang tidak tercantum di dalam aturan, adalah bebas. Aku berhak berkreasi pada apa-apa yang tidak diatur di dalam aturan dari panitia!" Aku tersenyum menang ketika Pak Tomat telah matang. "Kak York, dunia bekerja dengan kreatifitas dan kebebasan. Kukira kakak sudah tahu itu!"


Tepat setelah aku memindahkan Pak Tomat ke dalam mangkuk, bunyi ting terakhir dari kak York terdengar.


"Kau … benar-benar … " ucapnya sebelum ia tiba-tiba membeku. Tak bergerak di tempatnya.


Tak berapa lama meja dapur kami menghilang, berganti dengan munculnya si Loudspeaker kembali ke tengah-tengah kami.


"Selamat Nona Fellas. Anda telah memenangkan pertarungan ini. Sayang sekali, seperti biasa, rencana Tuan Bertudung tidak berjalan dengan lancar. Tapi tak apa, yang penting satu peserta telah gugur ke alam baka. Baiklah Nona, selamat atas kemenangan Anda. Tak kusangka kau cerdas."


Sialan!!


"Mari, sayur-mayur semua kita bernyanyi untuk mengantarkan kepergian Nona Fellas kembali ke Alforea, satu … dua … tiga … "


"Lihat, Kebunku~"


Satu persatu suara sayur-mayur mulai terdengar. Serentak penuh dengan harmoni. Membuaiku.


"Penuh dengan bunga~"


Ya … bunga yang indah dan bermekaran.


"ada yang merah~"


perlahan bibirku mengikuti lirik yang dinyanyikan para sayur-mayur.


"dan ada yang putih~"


Setiap hari adalah hari yang indah.


"setiap hari kusiram semua~"


Ya... dan mataku perlahan mengantuk.


"mawar melati, Semuanya indah~"


"Dengan ini, kunyatakan sebagai pelayan dari Nona Felly dan Tuan Maida, kehidupan Maria Fellas di dalam Kebun Neegr' Garden telah selesai. Teleportasi kembali ke Alforea akan dimulai dari tiga … "


Euh... lagi? Teleportasi lagi?


" ... dua … "


Tunggu, apa yang terjadi dengan kak York? "HEI! Kak York bagaimana?"


"... satu … "

"Teleportasi Maria Fellas, telah berhasil. Dengan ini, Maida York dinyatakan gugur."

dan semuanya gelap.


***


"Hei, bagaimana denganku?" Maida menatap jeri pada lubang portal yang menghilang bersamaan dengan loudspeaker pelayan.


"Kau akan hidup bersama kami, Tuan Maida."


"Ya.. kau akan hidup bersama kami."


"Selamanya~"


"Selamanya~"
"Selamanya~"
"Selamanya~"
"Selamanya~"


"TIIIDAAAAAAKKKKKKK."


dan tak pernah ada yang pernah mendengar kabar Maida lagi di Alforea.


***

2 comments:

  1. Yeay, saya jadi komentator pertama \(o_o)/

    Seperti biasa, entri Felly diawali dengan kuot, yang mana kali ini ingin saya ubah dikit menjadi: "We should not judge a book by its cover, but we can always judge the graphic designer who made the cover~" :D

    Dan langsung bahas ke cerita, ini latar belakang kisah Felly baru ditunjukkan kalau dia dibenci (dan dibully?) oleh yang lain. Namun saya melihat di sini, masih kurang ada penjelasan kenapa Felly dibenci. Kayaknya kurang sreg aja kalau disuguhi alasan "Ya dia dibenci karena beda aja. Kan dia lintah." Well, bukan berarti itu tidak bisa dijadikan alasan. Mungkin akan lebih mantap jika dielaborasi? Misal tambahkan detail pemicu kebencian, si Lintah bisa saja pernah menyerang kawan-kawannya. Seperti menggigit mereka, atau menyedot darah mereka. Dengan demikian, maka alasan "Aku benci dia karena dia lintah" akan tampak lebih masuk akal.

    Lanjut~ Itu di bagian memilih menu, kasihan banget si Felly kayak lagi dikerjain gitu. Akhirnya nggak bebas memilih. Dan lagi-lagi kata "Hewan" diawali dengan huruf kapital, saya jadi terheru :')

    Lalu sudah tampak plot WJK rupanya? Mari kita lihat akan dibawa kemana plot ini ke depannya. Dan Neegr' itu dari kata green ya? ._.

    Perihal tata kalimat, masih banyak yang bisa dikerjakan dengan lebih teliti untuk menghindari typo, salah eja, dsb. Kemudian coba juga perhatikan tentang redudansi (pengulangan yang kadang tak perlu). Misal saja pada rangkaian kata:

    - Kebun Neegr' Garden (garden itu udah kebun, jadinya ini pengulangan makna kata yang mubadzir)
    - jaman jadul (err ..., ini kalau tidak disingkat akan menjadi "Jaman Jaman Dulu" sehingga lagi-lagi ada pengulangan yang tidak efektif)

    Kembali ke cerita, ini bagian duel masaknya entah mengapa terasa begitu cepat. Maida York seperti tak bisa memberikan perlawanan sama sekali. Tahu-tahu Felly udah ngumpulin banyak skor. (Bagian sayur yang bisa ngomong, itu menurut saya agak lucu ngegemesin gimana ... gitu)

    Mungkin yang perlu ditambahkan dari segi cerita (selain tentang battlenya yang belum wah) adalah hubungan antara kanon panitia dengan plot yang Umi rancang di entri Felly. Jika hubungan itu dijabarkan dan dijelaskan dengan baik, maka secara keseluruhan entri Felly bisa lebih mantap lagi.

    --

    Oke, gitu aja deh, Um. Selamat berjuang :D

    PONTEN 9

    OC: Kusumawardani, S.Pd.

    ReplyDelete
  2. Mohon maaf saya gak mengikuti canon Fella, sekarang baca ke sini juga for the sake of information gathering.
    ._.

    Fella tipikal cewek sundere songong yah..
    ._.

    ReplyDelete