8.8.15

[ROUND 2 - LEVEL 3] FATHA A' LIR - IDENTITAS, IKATAN, DAN INERSIA




Segara Dzarjih, begitu kami menamakannya, sumber nutfah. Tempat lauk berkembang biak dan manik-manik mutiara terbentuk di mulut kerang.


Laut Pizgin, begitu para bangsa pelaut Adhergyen menamakannya, tempat mereka pulang dan menyandarkan posisi tidur mereka di atas pasir putih pengganti kasur di rumah mengapung mereka yang hangat.
Tanpa perairan ini mungkin mereka membangun pondok di pesisir Targaywn. Sambil menanggung malu akan ketidak mampuan mereka memegang tradisi leluhur.


Keduanya adalah tempat yang sama. Sayang, tidak ada bukti pasti bangsa mana yang berhak menguasai teritori ini, sehingga sengketa wilayah tak terhindarkan. Hubungan kedua wilayah ini memang kurang harmonis. Puncaknya yaitu 3 tahun yang lalu, panji perangpun dikibarkan dengan bermacam sebab.
Konyolnya, salah satu alasan berperang adalah membenarkan nama yang diangkat masing-masing negara. Walau menjunjung rasa damai. Internal Atuktar tidak luput dari gerogotan rubah pengerat rakus yang bersembunyi dalam kedok chauvinisme. Toh akhirnya perang dimenangkan oleh bangsa kami.


Perang tadi hanya sampel kasus. Perbedaan nama saja bisa menyebabkan tumpahnya sejuta kuadriliun darah yang memancar dari pembuluh nadi dan saluran tenggorok. Maksudnya, pembantaian antar dua pihak, konflik, agresi, perang, mimpi buruk humanis.


Sungguh, aku heran. Apalah arti sebuah nama?

Nama punya banyak arti, karena nama adalah informasi. Tanpa informasi, kau hanya sebuah boneka yang dipilin dari daging merah, atau putih? Putih bersih seperti apa yang kuucapkan ini.


Suara itu terdengar di balik tempatku duduk, tunggu....


Dimana sebenarnya aku ini. Kelihatannya seperti di sebuah lapangan landai yang teramat luas, namun rasanya kosong. Bukan kosong karena sepi, melainkan kosong melompong. Mutlak kosong, hampa. Aku duduk manis di sebuah bangku taman yang tersusun dari kayu wangi dan besi. Punggungku bersandar, memaksaku untuk mengendurkan otot punggungku, Kakiku menapak, memijak tanah, bahkan menekan, tapi perasaan ini membuatku serasa melayang, seakan aku bisa jatuh kapan saja. Sementara di langit nampak ratusa—ribuan pohon berdaun runcing melayang secara sejajar namun secara tinggi-rendahnya tidak teratur. Pohon-pohon berwarna perak itu seakan memantulkan cahaya lantai sehingga membuat ruang tempatku berada itu nampak menyilaukan.


Siapa itu? Furaz?

Sayangnya bukan, mungkin kau bisa panggil aku Putih,


Dihadapanku berdiri seseorang, kulitnya begitu putih, seputih pualam. Badannya telanjang dan hanya ditutupi oleh selembar kain. Wajahnya juga tertutup oleh kain satin.


Apa kau hantu?

Tentu saja bukan, suaraku tidak diisi Kugimiya Rie, Haha. Abaikan saja ucapanku barusan, tentu saja kau tidak bisa menonton anime musim lalu hihi. Kembali ke cerita, sepertinya kau tidak mengerti esensi dari sebuah nama. Tanpa nama, harta, senjata, tahta, ataupun peristiwa hanya sebuah benda atau buah pikir.


Hei-hei-hei, jangan mendadak membahas topik yang berat! Aku tidak mengerti.

Baiklah, lain kali saja.


Ngomong-ngomong, ada beberapa hal yang ingin kutanyakan, boleh?

Berapa banyak yang ingin kau tanyakan?


Apa maksudmu menanyakan jumlah? Pelit sekali kau menawariku dengan perhitungan.

Cih, berani ngelunjak, biar kuberitahu ya, selain menelaah arti dan kandungan dari nama, aku juga senang berhitung. Baik nominal, variabel, koordinat, kadar, akar, mahar, dan lain-lain. Semua itu jelas membuatmu bertanya-tanya -bukan? Oh iya, aku juga senang melempar tebakan. Yah, sekilas artikel aku-ingin-tahu.


Ah, aku nggak tanya kok. Tapi ya sudahlah kalau begitu aku hanya akan menanyakan tiga pertanyaan saja, kau keberatan?

Hahaha, kok sedikit sekali. Minta tiga ratus, tiga juta, tiga pentriliun pun kukabulkan. Kalau kamu ingin bersantai disini lebiiiih lama. Haha.


Bicara soal tempat ini, bisa kau beritahu dimana ini?

Oh, maaf belum sempat menyebutkannya tadi. Tempat ini, namanya, err.. oh iya.. Aku menyebutnya State of Solid Solitude. Tempat spesial butuh nama yang spesial bukan? Kamu bisa masuk di sini karena kamu tokoh spesial di cerita ini.



A-apa m-maksudnya tokoh spesial?

Kalau mau kuberi bocoran, kamu yang memenangkan babar kedua ini kok?


Syukurl—mana mungkin, ngarang kamu. Bertarung saja belum!

Heee, masih muda sudah pelupa. Ingatkah kamu dengan nama, Tan Ying Go?


Wanita itu terkikik melihat mukaku. Mungkinkah jika aku menyadari sesuatu mimik mukaku terlihat aneh? Entahlah. Yang jelas aku mendadak teringat tentang seorang pemuda. Pemuda yang gigih dan keras. Pemuda serius yang cukup menarik buatku. Dengan kedua tangannya yang menggenggam tombak panjang dengan sula pedang.


Bagaimana, sudah ingat rasanya ditusuk? Apa kau tidak salah mengira pembicaraan ini sebagai prelude?

---------------------------------------------------------------------



[Pasal IX: Turning Point]
(Sarafma Furaz's Perspectives)




Cerita kembali pada titik dimana Tata memencet-mencet dagunya dengan ekspresi kebingungan. Hanya tiga hal yang membuat Tata bingung, pertama, kenapa ketika nama Ronnie Staccato melintas di dalam benaknya, tidak sama sekali timbul rasa afeksi yang meluap-luap di dada. Padahal sebelumnya hanya mendengar kata Ron saja sudah membuat Tata menggelepar dihajar perasaan rindu.


Kedua, Vani, teman ngobrolnya beberapa saat yang lalu, tiba-tiba lenyap dari pandangan tanpa meninggalkan pesan, kesan, dan jejak
. Karena hal ini maka timbullah alasan Tata kebingungan yang ketiga, yaitu:


tempatnya berdiri bukannya berada di lobi Alkima, melainkan di sebuah tempat, tempat yang luas, namun kosong, asing bagi siapapun, sekalipun siapa yang disebutkan itu terlibat di pihak pengatur turnamen ini. Sebenarnya, tempat ini tercipta karena ulah nakal pihak tak bertanggung jawab. Memang tidak semua penenggak wedang jahe kalengan itu orang berakhlak terpuji.
Dari mana kita bisa tahu informasi barusan? Tentu saja dari surat digital yang ditandatangani langsung oleh pak Nurma.


Tulisannya bagus. Sayang, isinya hanya beberapa potong kata.


"Maaf rekan-rekan peserta turnamen, demi kepentingan bersama saya dengan terpaksa memajukan jadwal ronde kedua menjadi sekarang, detailnya akan dijelaskan oleh maid yang mendampingi anda. Sekali lagi maaf bila anda merasa keberatan."


Begitulah isi dari surat digital tadi
. Tanpa Vani, hal detail yang disebutkan pada surat tersebut takkan pernah terdengar oleh Tata.


Tapi, tidak ada manfaatnya jika terus tenggelam dalam kebingungan. Setelah Tata melempar surat dari Hewanurma tadi. Muncul sebuah monitor transparan yang bertuliskan sebuah kalimat," Makhluk apa yang paling kamu suka?"


Tata berucap pelan, dia mengaku menyukai sosok cantik yang menunggangi ular berkepala serigala.Dia juga menyukai wanita cantik pecinta reptil yang punya mata mengerikan. Tidak berhenti disitu, dia juga mengagumi wanita yang bersayap.


"Gak bisa, dasar maruk!" begitulah ucapan Vani yang diharapkan Tata. Sayang, Vani sedang tidak berdiri di posisi seharusnya. Yang terdengar hanyalah suara denging. Mungkin hanya satu jawaban yang bisa masuk.


Hemat Tata akhirnya memilih untuk menjadi sosok bersayap. Tata hanya menyebutkan sosok bersayap. Untuk apa menyebutkan secara detail, sosok bersayap tentu saja malaikat, bukan?


Hologramnya terbelah. Tata merasakan bahwa tempatnya berdiri meluas. Vani yang masih seperti tadi posisinya menjadi terpinggir. Dari belahan hologram itu memancar cahaya kuning yang membentuk sebuah bidang panjang seperti karpet, yang membimbing siapapun yang menginjaknya menuju tempat sebuah pintu berdiri. Bukan pintu, melainkan lubang distorsi yang mengarah pada sebuah landskap asri. Koreksi buat kata membimbing, yang benar adalah menarik.


Benar saja, tubuh Tata disedot oleh lubang itu.



----------------------------------------------------------------------



Kini kebingungan Tata bertambah satu, alih-alih melihat malaikat bersayap, malah tubuhnya yang bertransformasi menjadi mahkluk bersayap. Tangannya tergantikan oleh sayap, demikian pula dengan kakinya yang sudah berubah menjadi ceker besar. Setidaknya Tata tidak tenggelam pada kekecewaan mendalam karna ekspektasinya meleset. Toh gradasi merah kuning hijau di bulu yang menghiasi tangan, err, sayapnya itu memang gula-gula buat mata.


Tak hanya itu. Dada Tata menggantung karena terbuka, sepertinya pakaiannya hilang entah kemana. Tentu saja reflek memaksanya untuk menutupinya. Ini juga permen untuk mata.


Walau aku pedang, tapi aku juga pernah menjadi lelaki.


Abaikan celotehanku barusan. Tidak benar jika seorang narator menceritakan dirinya dan mengabaikan tokoh yang harus dia narasikan. Toh, tidak ada tertarik dengan perjalanan hidupku yang kelam. Terkadang aku malah bersyukur karena sudah mati dan berubah menjadi pedang. Ah, maaf. Aku kelepasan lagi.


Kembali ke Tata. Tata masih berusaha menutupi badannya. Sepertinya kali ini dia terjatuh di tempat yang cukup ramai, sebuah taman, alun-alun tepatnya.
Palang yang menancap di dekat titik jatuhnya Tata yang berkata demikian. Pohon-pohon yang tumbuh dengan jarang mengitari sebuah kolam yang berhiaskan pancuran air. Di samping pohon-pohon itu bersandar bangku taman warna-warni dengan dot polka yang besar-besar. Tak hanya itu, Beberapa ekor rusa dibiarkan memamah biak mengerati rerumputan yang tak kunjung habis. Wajar saja tempat ini sarat pengunjung.Dominan pria untuk informasi lebih lengkapnya.


Mau bertanya Tata malu.
Tapi mungkin lebih malu jika ia melepas pegangan tangannya yang meng-kover dadanya. Tapi, manusia selalu penasaran, apalagi pria. Satu persatu makhluk berjakun itu mulai menengok Tata. Tata jelas gugup. Saking malunya mulutnya seakan tergembok.


Parahnya, makin lama orang-orang acuh padanya. Mengerumuninya.


Jelas Tata panik.


Tidak, jangan berpikir negatif. Yang membuat pria-pria itu penasaran adalah makhluk apa yang sedang mereka hampiri? Berbadan dan berkepala manusia, bersayap burung, dan berkaki ayam.


"Sepertinya itu harpy," ucap seseorang dari dalam kerumunan. Suara perempuan. Setidaknya disini Tata dianggap atraksi umum, bukan sebagai penyegar mata. "Iya benar. Aku pernah melihatnya di buku fantasi." imbuh seseorang.

Tidak mau terus membisu, Tata angkat bicara, "permisi, bisa beri tahu saya soal tempat ini?"


Audiens kaget. Ternyata makhluk ini bisa berkomunikasi. Yah bagiku ini tidak begitu mengagetkan.

"Ini alun-alun Brinmealong. Di kota Soro, Alforea." ucap salah seorang dari mereka. Seorang pria paruh baya yang berbadan padat dan berjanggut tipis. Mengenakan setelan dengan warna yang senada. "Ngomong-ngomong, anda ini siapa ya?" tambahnya.


"Oh, maaf terlambat memperkenalkan diri. Nama saya Fatha a` Lir. Saya peserta Battle of Realms."

"Hahaha, mungkin kami akan lebih kaget bila anda memperkenalkan diri anda setelah anda jatuh. Lalu, ada keinginan apa anda kemari? Bukannya turnamen Battle of Realms diadakan di ibukota?"


"He? Apa tempat ini jaraknya jauh dari ibukota? Entah mengapa tiba-tiba aku berpindah ke tempat ini. Apa mungkin ada sedikit kesalahan yang menyebabkan aku terkirim sampai kemari?"


"Jarak tempat ini ke ibukota tidak cukup jauh. Hanya setengah hari perjalanan. Lalu, soal keadaan anda sekarang. Mengherankan sekali memang. Setahu saya jarang sekali terjadi sistem error. Satu pertanyaan lagi, mengapa anda tidak berbusana? Apa ini memang sifat natural para erm—apa tadi namanya, oh iya- Harpy di dunia tempat anda berasal?

"T-tidak, sepertinya ini salah satu akal-akalan dari Tamon untuk membuat turnamen ini lebih menarik. Entah mengapa pakaianku lenyap dan aku mendapat tubuh ini, mungkin ini atas permintaanku sendiri sih. ugh.."


"Ahahaha, begitu ya? Baiklah. Mungkin anda bisa beristirahat sejenak disini. Mungkin salah seorang dayang dari istana akan menjemput anda bila benar ada masalah pada sistem. Sampai utusan itu tiba, anda bebas disini. Selamat menikmati alun-alun kami, nona burung."


Tata tersenyum masam. Yah, mau menyesal bagaimana, dia sendiri yang memilih makhluk bersayap. Tapi dia tidak menyebutkan kaki burung. Ah, mungkin benar-benar sedang ada masalah pada sistem.


Akhirnya Tata bisa tenang. Kerumunan tadi sudah bubar, walau rasa penasaran para pejalan kaki masih belum pudar.
Sekali-kali Tata memergoki dirinya tengah diawasi.


Karena tangan Tata bertransformasi menjadi sayap. Dia jadi tidak bisa menggenggamku. Anjing, umpatnya. Kebetulan didekatnya ada sepasang kekasih yang berlalu sambil menuntun anjing pudel dan pomeranian.

-Bagaimana ini, Furaz? Aku gak bisa genggam pedang. Gimana kalau babak ini satu lawan satu?-


Tata membatin.


Pakai kalari aja, Ta. Kamu sudah sampai jari kelima kan?


-Ta-tapi, apa bakal efektif?-


imbuhnya.


Untukmu sih efektif saja. Asal tidak mematikan bukan?


-B-bagaimana kalau lawan memakai senjata?-


Mampus


-Furaaaaz,-


Tiba-tiba pemandangan di sekitar kami mulai terurai, belum tuntas kami berdua keheranan. Mendadak badan Tata seakan tertarik ke atas, bukan, kebawah! Pemandangan di hadapan kami sudah berbalik 180
o . Dihadapan kami bukan lagi lingkungan taman yang asri melainkan air yang mengalir deras.


Parah, Tata tidak bisa terbang. Lengkaplah penderitaan kami.


-Gimana ini Furaz!!?-


Jatuh dan ikut lagi tahun depan!


-Jangan bercanda di situasi genting! Pedang jelek!-


Kembangkan sayapmu. Mungkin kita bisa
paraglid

Belum selesai berbicara, Tata. Dengan aku yang tersampir di sabuknya. Tercebur ke dalam air.



[Pasal X: Mara]
(Tan Ying Go's Perspective)

... Pernah tidak aku menyebut kalau kau itu mirip sekali dengan Yama?

Mungkin, mungkin tidak, aku lapar.

Perutmu memang luas. Sayangnya ingatanmu tidak luas. Okelah, lupakan yang kubilang tadi. Kau sekarang menjadi mirip sekali dengan Yama, MIRIP SEKALI.


Ya, kau benar, Rahula. Kain yang melingkari tubuhku dan dua pasang tangan tambahan ini. Sayangnya, aku belum bisa membiasakan diriku dengan keempat tangan baruku ini.

Kalau bisa bagaimana? Apa kau bisa memakaiku dengan lebih efektif?


Mungkin, mungkin tidak.
Setidaknya dengan 6 tangan aku bisa makan lebih cepat.

Terserah deh.


Demikian perbincanganku dengan Rahula, Rajata cerewet warisan dari Vajira Muni terdahulu, yang kini nama itu tengah kusandang. Walau Rahula menganggapku sebagai majikannya, malah sering berlagak superior dan memperlakukanku seperti keroconya. Apa boleh buat, ibaratnya dialah promotor dan obat suplemenku sekarang. Tanpanya, mungkin aku sudah jadi korban dari keganasan Kunarpa, makhluk pucat yang menyerupai monster-monster bio-hazard, perbedaannya mereka lebih seram karena mereka tidak dihalangi oleh lensa monitor.


"Rahula, kau yakin tadi ayam liar itu lewat sini?"

Mana kutahu! Aku hanya memberitahumu kalau ada ayam hutan yang melintas, bukankah ayam hutan dianggap sebagai satwa yang nyaris punah di dunia kita?



"Aku lapar, Rahula. Kau tahu sendiri kalau aku lapar maka akan susah mengendalikanmu!"

Bukankah kau sudah dibekalikan tata cara bertahan hidup di alam liar sewaktu pelatihan Sandi Yudha? Alam di sekeliling kita sudah menyediakan aneka dedaunan yang bisa kau santap secara mentah maupun masak. Tidak usah susah-susah menggali tanah untuk mencari cacing bukan? Lagipula soal ayam tadi, apa kau tidak lupa?

"Lupa apa?"

Pantangan.

"Astaga! Nyaris saja, terima kasih buat pengingatnya, Rahula."

Terima kasihnya nanti saja. Sepertinya kita kesasar. Kita sudah terlempar jauh dari tempat kita mendarat tadi berkat kamamu.


"M-mungkin, ayam hutan tadi jelmaan Mara!"

Ngawur! Mana mungkin Mara melenggang sampai sejauh tempat ini. Sudahlah, apa yang sudah terjadi biarlah terjadi. Cepat makan sana! Dedaunan disana kelihatannya mirip dengan pegagan. Mungkin saja setelah menyantapnya kau menjadi lebih cerdas.


Benar saja, dari arah yang ditunjuk Rahula nampak barisan tanaman hijau yang menyegarkan mata. Pegagan, atau pecut kuda. Biasa dipakai untuk antiseptik dan eksaknya bisa mencerdaskan balita.


Dikala aku sedang menyantap tetumbuhan itu, aku mendengar suara cipratan air. Sepertinya sebuah batu besar tengah tercebur.


Ying Go, kau dengar tadi ada orang berteriak?


"Tidak,"

Kau yakin? Aku mendengarkannya dengan jelas lho!


"Hah, yang kudengar malah suara riak air."

Apapun itu, alangkah baiknya jika kita memastikannya. Pastinya kau sudah cukup kenyang menyantap 9 batang pegagan yang gemuk-gemuk itu.


Maka melajulah kami berdua ke sumber suara tadi. Sungguh sebuah pemandangan. Di delta sungai tengah mengibas-ibaskan tubuh seorang gadis bersayap dominan hijau. Air yang terkebas dari sayapnya itu segera meluncur ke dalam air yang mengalir deras dari air terjun di dekat gadis itu berdiri.


"EEEE!! SIAPA ITU YANG LAGI NGINTIP!!"


Gadis itu memekik, bukan berkicau.


"M-maaf, nona. Kukira anda burung kasuari." ucapku. Menghampirinya.


"BAU KAUS KAKI!!!?? GAK SOPAN!" pekiknya sambil menghindari kontak mata denganku. Rupanya mulutku kelu setelah melihat pemandangan ini. Mungkin sudah puluhan gadis kutiduri, tapi entah mengapa, seakan gadis ini punya pesona aneh. Yang lebih aneh, rasa yang timbul di hati ini bukanlah rasa asmara. Melainkan rasa waspada.

Mara!


Benar juga, sepertinya aku memang akrab dengan wajah gadis ini. Wajah sang penggoda Sidharta. Kumara si dewa gundik.


"Mau apa kau kemari, Mara! Tidak cukupkah kau mengacaukan kalpa di Bumi?!"


"Eeehh.. ya maaf kalau aku marah tadi, kamu manggil aku kaus kaki sih."


"Hentikan omong kosongmu, Mara! Aku tahu kau hanya ingin berbasa-basi!"

"Heeee, siapa itu Mara??? Aku Tata. T, A, T, A.."


"Sebentar, Tata... Fatha a` Lir?"


"Iya! Bagaimana bisa tau selengkap itu?"


"Bu Mawar yang menceritakan soal dirimu. Maaf, telah berprasangka. Kau mirip sekali dengan seseorang yang kukenal."


"Melihat nadamu berbicara. Sepertinya kau benci sekali dengan orang yang kau anggap aku, begitu?"


"Benar, orang yang kusalahkira kau itu bukan orang. Dia iblis bermuka bidadari."


"Hooo.."


"Tidak seperti dirimu yang bidadari seutuhnya."

Ngegombal lagi... Dasar Don Juan.


"Ah, malunya.. Tapi aku bukan bidadari. Aku Harpy! Padahal aku ingin jadi bidadari, huft!"


Kasihan. Aku jadi iba padanya, sambil melihat diriku sendiri yang benar-benar dijadikan sesosok Dharmapala utuh sesuai ekpektasi.


Kami berdua, aku dan Tata. Akhirnya memutuskan untuk saling bertukar informasi. Sayang, aku tak menerima satu dua kata yang baru darinya. Sepertinya situasi kami berdua sama. Mungkin perbedaannya dari kedekatan hubungan kami dengan maid yang mendampingi kami di babak sebelumnya.

Tata nampaknya berusaha menutupi rasa paniknya dengan bertingkah aneh. Kurasa. Dari tadi dia berusaha memainkan pedangnya dengan cakarnya. Yang menurutku terlihat seperti parkit sirkus yang tengah berlatih.


Tunggu, apa parkit sirkus memakai kakinya dalam atraksinya? Atraksi apa yang memakai cakar? Bukankah sirkus biasa memakai kakaktua bukannya parkit? Aduh, sepertinya aku masih terkejut akan kenyataan bahwa paras Tata mirip sekali dengan wujud wanita dari Mara. Untungnya dari cara mereka berbicara terlihat kontras bedanya.


"Ying Go, kita kemana nih?" tanya Tata. Nampaknya dia sudah menyerah mengayunkan pedang dengan cakarnya.


Aku berpikir sejenak, bagaimana kalau babak ini babak satu lawan satu? Apa aku harus menghabisi Tata disini?


"Kita tidak tahu dimana posisi kita, objektifitas kita juga masih samar-samar. Akankah lebih bijak kalau kita mempelajari tempat ini dahulu. Mungkin saja ada peserta lain yang mendarat di posisi yang tidak jauh dari kita."


"Mungkinkah babak ini seperti babak yang lalu?"


"Entah, bisa jadi ini co-op battle."

"Bisa jadi ya?"


"Dan, lagi...."


"Iya?"


"... maaf, hanya itu saja.
Ayo kita jalan."

Licik seperti biasanya, Ying Go. Kalau kau kembali jadi manusia, perfilman Indonesia mungkin butuh namamu.

"Aku tidak berakting, Rahula. Akan kuberitahu nanti padanya disaat waktunya tiba.

Disaat kau sudah menusukkan diriku tepat di jantungnya bukan? Dasar.

Bisa jadi. Tapi mungkin tidak begitu. Bicara soal Tata, kemana gerangan dia sekarang?

"Ying Go, kemari! Lihat apa yang kutemukan!"


"Ada apa Tata?"


"Apa ada yang aneh di atas kepalaku?"


"Rambut merahmu berantakan?"


"Ugh, ini gara-gara bara Tamon Rah yang memaksanya permanen. Aku heran, padahal tanganku bisa tumbuh kembali, mengapa rambut ini tidak kembali jadi lurus? Ah, kesampingkan dulu. Bukan, bukan rambutku. Lebih keatas lagi."

Aku mengerti apa yang dimaksud Tata, sebuah balok biru yang panjangnya sekisar semeter mengambang tepat di atas kepalanya.


"Di atasmu juga lho, Ying Go."


"Benar juga. Apa artinya ini?"


Selain melihat balok biru di atas kepalaku, aku melihat langit. Langit yang tertutup oleh rindangnya pepohonan yang saling berdempet. Awan-awan nampak jarang. Langit terlihat berseri-seri menaungi rombongan burung-burung hibernator yang sedang beradu cepat.


Hutan ini memang tidak semegah, seamboi, dan seseram Dodonge. Namun, keduanya memiliki kesamaan. Hidup. Kupejamkan mataku untuk mendengarkan suara kehidupannya.


Deram aliran air terjun,


tanah yang longsor perlahan,


burung yang berkicau,


semak yang bergemeresak,


daun diterpa angin,


geram Kunarpa.


...


... Tunggu, apa tadi yang kudengar??!!


Kubuka mataku segera. Kami berdua sudah tidak berdiri di tengah hutan. Melainkan sebuah taman, taman yang cukup luas. Dengan para makhluk-makhluk pucat yang bagian tubuhnya cacat bergerak kesana kemari. Suara derau mereka menggema di telingaku, saking rapatnya amplitudo suara-suara itu sampai seperti suara radio rusak. Sepertinya jumlah mereka tak terhitung. Anehnya, beberapa dari mereka ada yang saling memakan satu sama lain, ada yang tidak menuju kami, dan ada yang hanya berputar-putar. Sepertinya mereka tidak sedang dikendalikan.


"Y-ying Go, ada apa ini? Mereka itu apa? Busuk!" ucap Tata sambil memencet hidungnya. Setidaknya aku sudah kebal dengan aroma kematian ini.


"Mereka Kunarpa. Mayat hidup yang muncul di duniaku. Mungkin ada
sink hole muncul di sini. Setidaknya kita bisa tenang karena mereka sedang tidak dikendalikan. Namun mereka tetap kelaparan akan daging, setidaknya tetap waspada."


Sudah benar aku menyuruh Tata untuk waspada. Makhluk-makhluk itu, setelah aku berbicara dengan Tata tadi. Tiba-tiba berhenti aktif. Seakan ada perintah yang sedang mereka proses. Benar saja. Serempak makhluk-makhluk itu menuju kearah kami.


"Ying Go, lari ke arah barat!"


"Untuk apa!?"


"Disana ada sebuah bilik tempat menyimpan peralatan berkebun. Tak usah tanya lagi. Cepat lari!"


Aku sedikit ragu dengan ucapan Tata. Tapi mau bagaimana, kakiku sudah berlari menuju arah yang dimaksud Tata. Benar saja, sebuah bangunan berbentuk dua kubus raksasa yang ditumpuk berdiri dengan kokoh.


Segera kami berdua memasuki bangunan kecil tersebut. Menguncinya dari dalam tentunya.


"Kunarpa, kunarp.. Arrghh!!"


"Ying Go! Ada apa??"


"K-kepalaku,"


Rasa sakit ini, sama sekali tak kuduga. Kupikir, dengan ikutnya aku ke turnamen ini setidaknya membebaskanku dari dinas tak resmi terhadap para mayat itu. Tapi, bagaimana mereka bisa sampai kesini.


"T-Tata, kau benar-benar tak tahu monster-monster tadi bukan?"


Tata diam, seakan aku melihat aliran ekspresinya berubah sejenak tadi. "B-benar, aku tidak tahu. Sungguh!"

Mencurigakan.

"Apa kita habisi saja, Rahula?"

Dengan apa? Sapu? Cari kesempatan untuk membenarkan kepalamu dulu. Setidaknya untuk sekarang waspadalah pada gerak-geriknya, mungkin dia sedang berpura-pura lengah dan percaya padamu karena kala ini dia sedang menderita kerugian atas mutasi di tangannya.


Belum tentu juga gadis ini adalah Mara. Tapi, mengingat Mara adalah eksistensi yang penuh akan muslihat dan tipu daya.
Mungkin saja gadis ini adalah Mara. Mungkin juga tidak.


"Arghh..."

"Kau benar-benar tidak apa-apa, Ying Go? Apa kepalamu habis terbentur??"


"T-tidak, kepalaku pusing sekali. B-biarkan aku bersandar dulu."


"Silahkan, oh iya, kebetulan disini ada ember dan keran. Apa mau kuambilkan air?"


"T-tidak, terima kasih. Sebentar lagi nyerinya bakal reda kok."


Entah mengapa, aku jadi sedikit enggan dengannya. Hanya karena dia menunjukkan sedikit aksi mencurigakan. Setidaknya, aku ingin memberinya beberapa pertanyaan untuk sekadar memastikan.


"Tata, apa kau tidak merasa aneh berduaan dengan pria di ruangan sempit seperti ini?"


Apa maksudnya aku menanyakan ini!? Tetapi, ekspresinya berubah lagi. Namun kali ini lebih kentara, mukanya menyala merah, bibirnya bergetar, kepalanya menggeleng-geleng, lalu sayapnya memegangi kepalanya, seakan ingin membenarkan kemana seharusnya arah gelengannya yang benar.


"A-awawawa. I-itu, b-bagaimana ya? Ah! M-maaf, aku lupa menutupi dada.. Aaaa.."


Sial, kok lucu.


Arh! Kali ini pertanyaannya serius. Setidaknya aku butuh beberapa informasi lagi untuk membuatku percaya kalau dia adalah Mara.


"Sudah pernah berhubungan dengan pria sebelumnya?"


Hnghhh!!!

Dasar ngeres, kapan kau bisa berhenti menggombal, Ying Go?

B-bukan maksudku melenceng sejauh ini, Rahula! Kau tahukan? Tipe seperti Mara itu tipe penggoda, setidaknya kalau dia berkata tidak pernah mungkin akan terlihat kebohonganya. Nah lihat, bagaima- astaga! Sekarang gadis ini malah cengengesan?


"Sebelum ini, aku sempat ditembak seseorang.. Hehe.. Ituloh, si ganteng berpeci hijau." ujarnya sumringah.


"Hooo, ganteng ya? Kalau begitu ganteng mana, aku atau dia?"

Maaf Ying Go. Untuk sementara jangan ajak aku bicara.

E-eh! Rahula, Bukan, bukan seperti yang kau duga! Ini untuk mengorek—

Mengorek sambel kan? Sudahlah.. Pacaran saja dengan dia. Tak usah lagi kau perdulikan kalpa.


Rahula ngambek, lagi. Ah, aku sudah terbiasa. Lalu, Tata... sepertinya sedang membandingkan antara aku dan pria yang dibahasnya barusan.

"K-kalian berdua, sama-sama tampan." ucapnya sembari menunduk. Sialan! Kenapa gadis ini polos sekali! Kuakui sandiwaramu kali ini kelas satu sekali, Mara!


"Lalu, apa kau terima lamarannya?"

"Sepertinya, tapi entah mengapa perasaan waktu itu berbeda dengan sekarang. Yang lalu itu, rasanya, serasa gerakku tidak leluasa. Seakan aku dikendalikan."


"... atau mungkin, pria itu menjampimu dengan peletnya?"


"M-mungkin, latar belakang pria itu juga tidak baik.."


"Ahaha, kalau aku sih tidak akan memakai cara seperti itu, cukup dengan charm saja aku akan membuatmu merasa menjadi gadis paling beruntung di seluruh semesta."


Mukanya kembali memerah. Kali ini sayapnya dipakai untuk menutupi wajahnya.


"K-kalau begitu. Lakukan sekarang..." ucapnya lirih.


"Hmm.. lakukan apa, aku nggak dengar.."


"B-buat, a-aku... jadi.. wanita paling.. beruntung di seluruh semesta."


Tanpa sadar, dua tanganku menggenggam sayapnya, dengan keenam tanganku aku bisa melakukannya sambil meraba kulit halusnya yang
basah. Aku hanya melakukan skinship padanya, entah mengapa tubuh gadis ini begitu meresponnya dengan berlebihan.


"Sudah merasa beruntung, Tata?" ucapku.


Tata hanya mengerang. Sayapnya mengepak lemah, sepertinya badannya sedikit berontak.



"Ugyuu.. A-apa, hngh.. kamu.. ingin menunjukkan .Magnummu.."


Kalau saja aku percaya gadis ini bukan Mara, pasti sudah kulepaskan bebatan toga yang melingkar menutupi bagian bawah abdomenku ini.


Tempat ini, menjadi cukup lembab. Apa karena keringat Tata? Mengapa bisa sebegini deras?


Tiba-tiba Tata memotong proses berpikirku, "Y-ying Go, kita di sungai kan?"


"Ah, benar.. Sepertinya kita kembali ke air terjun tadi"


"Apa kita akan melanjutkan ini?" ucapnya lagi.


"Sepertinya tidak, aku tidak ingin ada yang melihat kita sedang bercengkrama di sini, lagipula aku bukan eksibisionis."


"Ah, maaf.. aku juga bukan."


"Lalu, mengapa kita kembali lagi ke sini?"


Tata menjawab, "Sepertinya ini bagian dari ronde kedua.. atau masalah yang sedang mendera turnamen kali ini."


"Mungkin keduanya.. Paling tidak kita harus tahu apa yang harus kita lakukan untuk bisa lolos dari babak ini."

"M-mungkin ini hanya sebatas dugaan. Namun, bagaimana jika di babak ini, kita..."


"... Harus bertarung."


"Ya, dengan apa yang kita takuti.. Seperti dirimu dengan makhluk putih tadi." ucap Tata.


"M-mungkin benar. Lalu, hal apa yang paling kau takutkan, Tata?"


"Kau yakin ingin tahu? Ketakutanku mungkin akan merepotkan kita berdua."


"Baguslah, setidaknya kau tidak menderita sendirian kali ini. Sekarang, boleh aku tahu, hal apa yang paling kau takutkan?"


"Umm... Perang,"


Astaga.. Kepalaku...


"Ying Go, kau tidak ap—"


Mendadak terdengar suara gemerisik semak yang mengarah menuju tempat kami. Tanpa kuantisipasi, aku menatap kearah suara itu berasal, refleksku berkata jika sesuatu yang amat, sangat, mengancam kesehatan akan menghampiri kami berdua. Sesuatu keberadaan yang sangat besar. Apa mungkin yang akan kami hadapi adalah satu batalyon tentara? Yang jelas, keberadaannya semakin mendenyutkan sebelah kepalaku.


Sepersekian menit, gemerisik semak tadi mulai memelan. Tidak semenggebu-gebu tadi.


"Ke~te~mu~..." begitu suara yang kudengar setelah aku menatap sosok yang mencuat dari rimbunnya sesemak. Sesosok pemuda, dengan french coat merah, kepalanya dihinggapi semacam baret yang juga berwarna merah, tangannya tak memegang apapun, sama seperti dengan perawakannya yang seakan tak menonjolkan apapun.
Hanya, wajahnya tertutup oleh semacam persona merah yang terlihat berkilat. Sosok itu lalu menatap kami berdua, lebih fokusnya ke arah Tata.


"Ka~kak~..." begitu ucapnya, lemah. Suaranya mirip suara gadis. Bukan waktunya aku memperhatikan itu. Kini aku mencoba menengok Tata.


Aku tidak mengerti bagaimana, tapi Tata sudah berpindah posisi. Tubuhnya terlempar. Seakan ada pukulan tak nampak yang melontarkannya. Tahu-tahu dia sudah terlungkup di tanah. Panjang balok yang melayang diatasnya sepertinya berkurang.


Bagaimana bisa?


"Per~mi~si~..."


Pemuda itu sudah berada didepanku. Melewatiku tanpa memberi acuh, seakan sosokku tembus pandang.


"Sebenarnya kau itu apa?"


"per~ta~nya~an bo~doh~."


Apa maksudnya pertanyaan bodoh, saat aku akan berucap sedemikian, aku malah melihat pemuda itu sama sekali tidak menengokku. Dia hanya menatap tubuh Tata yang tergeletak.


"A~ku ha~nya frag~men~ me~ mo~ ri~ nya~." begitu yang kudengar dari ucapannya, tentu saja tanpa memerhatikanku. Pada siapa dia berbicara sebenarnya, aku tidak tahu. Yang kusaksikan dari pemuda itu hanya situasi dimana dia berbicara sendiri dengan suara yang sudah tak terdengar oleh telingaku. Aku sudah mencoba mendekat namun entah mengapa badanku seakan tidak patuh padaku. Aneh, setelah beberapa saat, sosok itu mengucapkan sesuatu dari mulutnya dan tiba-tiba lenyap.

Ying Go!


"Apa Rahula?"

Kau mendengar informasi barusan?


"Informasi apa?"

Jadi benar ya? Kau tidak bisa mendengarnya. Mungkin hanya eksistensi tertentu yang bisa mendengarnya.

"Lalu, apa yang mereka bicarakan?"

Hal aneh, mereka berdua berkali-kali menyebutkan kata final dan ingatan. Lalu, pemuda tadi, yang menyebut dirinya sebagai Brian, menyebutkan beberapa nama. Nama-nama yang asing.


"Terus?"

Brian sepertinya menjelaskan apa yang terjadi di sini dan apa seharusnya misi kita di sini.



"Benarkah? Cepat ceritakan, Rahula!"

Pertama, karena serangan virus, terjadi kerusakan di tempat kita sekarang, level tiga. Membuat ruang tersebut terjalin dengan kota Soro dan air terjun ini. Sayangnya, ikatan tersebut memaksa kita, yang mendapat hak untuk bertransportasi, untuk berpindah lokasi setiap 15 menitnya.


"Apa yang harus kita lakukan untuk lolos dari babak ini?"

Ada dua syarat untuk memenangkan babak ini. Pertama, kita harus menemukan source virusnya dan menghapusnya. Bagaimana cara kita menghapusnya? Dengan kemampuan kita tentunya. Virus-virus tersebut sepertinya memakai fragmen memori kita untuk mematerialisasikan wujud mereka menjadi apa yang kita lawan di dunia kita. Namun, untuk pemuda tadi. Entah mengapa virus-virus itu malah patuh pada sosok yang mereka jelma. Membuat sosok yang seharusnya mereka tiru mengambil alih keberadaan mereka. Syarat kedua..



"Ya?"

Duel satu lawan satu dengan peserta yang kita temui, dan lawan kita tak lain dan tak bukan adalah Tata.



"Ah, sepertinya ini tak terhindarkan..."

Mengapa? Kau ada hati padanya?



"Tidak, hanya saja.. Rasanya aneh membunuhnya tanpa mengetahui siapa sebenarnya dia. Mara atau bukan?"

Oh, soal tadi ya? Biarkan saja rasa aneh itu. Mungkin saja nanti akan ikut hilang bersamaan dengan migrainmu. Oh, sudah hilang ya.



"Benar juga. Baiklah, sepertinya sudah waktunya untuk mengakhiri babak ini. Kita bisa menghabisinya sekarang. Masih tersisa 3 menit sebelum kita kembali ke taman tadi." demikian, aku lalu menuju ke tempat dimana Tata tergeletak. Dia masih saja belum tersadar.


"Maaf ya Tata.."


Demikian. Mata pedang Rahula sudah menembus dada Tata.


+++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++



[Pasal XI: Previlege]
(Fatha a` Lir's Perspective)


Sudah ingat kan, sudah ingat kan.. hehehe

Ya, aku sudah ingat. Jadi, aku mati?

Sayangnya belum. Tidak akan seru kan jika kau mati sebelum turnamen ini berakhir. Lagipula aku sudah bilang kalau pemenang babak kedua ini kamu kan?

Lalu, bagaimana caranya aku kembali sadar? Apa jantungku masih bekerja setelah ditusuk tombak?

Tenang saja, daya hidupmu itu dilihat darimanapun itu cukup kuat. Dikoyak binatang buas pun kau mungkin masih hidup... untuk beberapa menit..


Sama saja kaaan...

Haha, bercanda.. Oh iya, sebentar lagi seorang pangeran akan membangunkanmu dari tidur panjangmu. Pangeran tampan, pemberani, dan bisa diandalkan.


Hah?

Oh, iya. Perlakukan dia dengan baik. Jika tidak, dia akan berubah menjadi katak, tergantung caramu memandangnya. Dia akan menjadi katak beracun atau katak lucu. Dan jangan lupa dengan apa yang kuucapkan tadi selama kau berusaha mengingat hal yang terjadi sebelumnya. Kalau kamu lupa, ronde ini akan makin sulit. Haha.... Yah, kalau kau lupa, cukup ingat kalau kau harus mengalahkan Ying Go dalam duel. Oke, sampai jum—

Tunggu! Bagaimana dengan dua pertanyaan yang tersisa?

Wah iya, kalau begitu cepat utarakan!


Err.. apa ya? Begini saja deh. Setelah aku keluar nanti, bagaimana caranya agar aku bisa masuk ke sini lagi?

Oh, mudah. Tinggal bayangkan saja, toh alam ini masih berada di bawah alam sadarmu. Pertanyaan terakhir?


S-sebenarnya aku tidak punya pertanyaan lain saat ini, tapi.. Bisakah kita berteman?

Pffftt...

Kenapa?? Permintaanku aneh?

Ah... Tidak... Tentu saja.. Kita bisa berteman selama mungkin.


Setelah berucap sedemikian, sosok wanita itu menghilang. Diikuti dengan terangkatnya pohon-pohon yang melayang di langit dan merosotnya tanah lapang yang kuinjak. Semuanya menjadi gelap.


Aku membuka mataku. Tidak ada pangeran yang mengecup bibirku. Kucoba untuk menyandarkan diriku di batang pohon terdekat.
Badanku masih kesemutan, serasa aliran darahku baru saja mengalir kembali. Sekonyong-konyong aku mendengar suara pohon ambruk. Bersamaan dengan suara gebrakan pohon yang mencium bumi. Aku melihat Ying Go, terhempas dengan posisi tangan melindungi wajahnya. Dari arah yang berlawanan. Muncul seorang pemuda berambut merah menendang wajah Ying Go, yang sebelumnya sudah dilindungi oleh tangannya yang kokoh. Pemuda berambut merah itu berpakaian kemeja putih berlengan panjang dengan vest hitam dengan riasan corak kuning. Kakinya yang dilapisi kain jins hitam ketat sepertinya berusaha mendepak badan Ying Go sejauh mungkin.


Lalu, di sekitar kami berubah. Dari lantai hutan yang licin menjadi lantai paving batu yang kokoh. Dihiasi dengan beberapa percik darah dan puluhan mayat putih yang terlentang dan terbujur.


Ying Go, mendarat setelah terlempar dan menarik sepucuk pistol dari apitan toga yang dikenakannya dan menarik pelatuknya. Memunculkan suara desing yang mengekor biji peluru yang melesat secepat kilat kecil, menuju titik dimana pemuda berambut merah mendarat. Sedikit meleset, hanya mengenai lengan kirinya.


Namun, itu tidak menghentikan si pemuda, malah membuatnya semakin bernafsu menendang badan Ying Go. Tapi Ying Go tidak berhenti begitu saja setelah menembak pemuda itu. Beberapa desing peluru keluar dari moncong pistol Ying Go. 6 dari 8 tembakan mengenai tubuh si pemuda itu.
Jelas saja si pemuda merasa lemas.


"Tata, tangkap aku!" teriak pemuda itu padaku. Tentu saja aku hanya menadahkan sayapku tanpa mengerti apa yang dia maksud.


Entah beberapa detik tadi aku berkedip. Tapi, kini ditampahan sayapku sudah mendarat pedang yang kupakai, Sarafma Furaz.


"F-furaz...."


[Ya?]


Pemuda tadi, kau?


[Ah, maaf.. Aku lupa memberitahumu kalau kami para Andema punya kemampuan untuk kembali menjadi wujud kami semasa hidup.]


"K-kalau itu, aku sudah pernah dengar. Tapi, sosokmu... mengapa mirip sekali denganku?"


[Bukannya di dunia ini kita bisa punya lebih dari 3 orang kembaran tanpa relasi darah?]


"Ya benar, tapi..."


[Tapinya nanti saja. Bukan kau saja yang punya pertanyaan. Hadapi dulu apa yang ada di depanmu ini.]


"Maksudku, gimana caraku menggenggammu? Tanganku kan... 


[Yakinlah kalau kau bisa menggenggamnya, Tata!]


Kukumpulkan fokusku pada pergelanganku. Pelan, tapi pasti. Walau nampaknya sayap, tapi aku merasakan jari-jemariku bergetar. Mulai kelingking, jari manis, jari tengah, telunjuk dan jempolku mulai terasa nyata.


Tanpa babibu lagi, Furaz sekarang sudah beradu dengan tombak Ying Go. Dentingan besi mata pedang kami memuncratkan percikan api yang terjun ke tanah, sabetan berikutnya melemparkanku sejauh semeter, begitu pula dengan Ying Go. Cukup dua langkah saja bagi kami untuk melancarkan sabetan ketiga. Sabetan keempat tidak eksis, karena Ying Go merodakan ayunan tombaknya sehingga memaksaku untuk menghindarinya. Tiga putaran berhasil kuhindari.


"Tusukan Arahat !" seru Ying Go, menyobek pinggangku. Tapi, bukan waktunya untuk menjerit. Lubang pada tusukan Ying Go kali ini lebar dan..


Syat, begitu suaranya. Sabetanku barusan ditahan oleh kedua tangan kanan Ying Go hingga putus. Sepertinya Ying Go tidak merasa kesakitan. Walau tangan-tangan itu aktif dan bisa digunakannya, fakta jika tangan itu hanya 'exoskeleton daging'
tidak terelakkan.


Bukan waktunya untuk mengamati hal tadi, kini tangan Ying Go tinggal 4. Sepertinya sabetan tadi mengenai dadanya. Hanya saja luka itu belum cukup dalam.


[Tata, kau bawa abbhoreniumnya?]


I-iya, aku bawa.



[Hitung sampai tiga, lalu lemparkan segenggam saja ke arah lawan]



Satu, aku mulai meraup bubuk hitam ini.


Dua, Ying Go, sepertinya berlari ke arahku.


Tiga... Ying Go tepat di arahku. Hendak menyabetku. Mengabaikan butiran pasir hitam yang melayang di sekelilingnya.


Selesai. Ying Go menyabetku.. Hanya saja, sabetannya meleset. Mungkin ini berkat kekuatan Furaz. Yang jelas, tanpa sadar aku juga balas menyabetnya.


Bum.


Ying Go terpelanting terkena ledakan tadi. Tubuhnya terhempas cukup jauh. Setelah mendarat di tanah, dia tak bergerak.


"S-selesai.."


[Belum, masih ada satu syarat lagi untuk menyelesaikan babak ini. Kita belum menemukan virus yang merusak sistem di level 3 ini]


Bagaimana cara kita menumpasnya?


[Tenang Tata, apa kau ingat kode pemberian pak Marlong?]


Ajaibnya iya.
5ash0kci172hsbk


[Kita beruntung, sepertinya itu kode khusus yang diberikan hanya pada NPC spesial, dengan kode itu kita bisa melihat hal-hal yang seharusnya tidak bisa dilihat oleh player biasa]


NPC spesial?


[Iya, seperti boss monster atau pemberi quest pada game online]


Hee? Apa itu? Aku tidak pernah main game online.


[Yah, kau tak usah mengerti lebih jauh deh. Yang jelas, kita tinggal cari sebelas persegi yang tersusun secara horisontal.]

Dimana?


Yang jelas di sekitar sini. Ayo kita ca—


Sekarang kami berdiri di ranting pohon. Sepertinya sudah lewat 15 menit.


Dan lagi, dewi fortuna sepertinya memihak kami. Setelah menuruni pohon besar ini, kami menemukan sebelas persegi-persegi kecil terpampang pada kulit pohon. Langsung saja kuukirkan angka dan huruf pemberian abah Marlong di kotak-kotak itu.


Setelah angka dan huruf itu selesai kuinputkan. Dari kulit pohon itu tiba-tiba menyembul sebuah ranting kecil yang kemudian membentuk gagang pintu.


Aku menggenggam gagang pintu itu, membukanya.


Ketika aku menarik gagang pintu itu. Terdengar sebuah suara. Suara yang cukup keras. Sumbernya bukan dari pintu itu.


Aku merasa leherku sangat gatal, Hidungku mencium bau asap yang keluar dari mulutku. Tenggorokanku terasa panas, sangat panas. Darah mulai mengalir di daguku.


Kucoba membalikkan badan. Kulihat, Ying Go. Tepat di hadapanku, tangan kanannya memegang pistol, tangan kirinya menusukkan belati pada dadaku. Satu, dua, tiga kali tusukan ditarik dan dilancarkan. Tusukan terakhir disarangkannya pada perutku, lalu diirisnya perut ini.


"2 – 1, aku pemenangnya, Mara." bisiknya padaku. Aku sudah tak punya tenaga untuk bergerak. Ying Go merampas Furaz dari sayapku. Mematahkannya. Tak berhenti disitu, Ying Go menyeretku ke pohon yang lain, menancapkan dua patahan Furaz di kedua telapak tanganku sampai menembus batang pohon.


Hal terakhir yang kulihat adalah punggung Ying Go, lalu balok di atas kepalanya yang tidak lagi berwarna biru, melainkan merah. Panjangnya juga sudah menyusut.


Balokku juga sudah berubah merah. Sebentar lagi lenyap.


Aku tetap ingin terjaga, namun rasa kantuk ini sudah menekanku. Apa aku akan pecah dan menjadi kepingan kecil seperti Ronnie?

HOI!!!

Eh!? Aku kembali di SSS?

SSS??? Apa itu?


Karena nama tempat ini lumayan sukar jadi yang kuhafal hanya singkatannya hehe.

Ah, begitu, boleh sih.. hanya saja, kamu mati lagi. Kenapa kamu lemah sekali?


Aku... lengah...

Baiklah, kau akan kubant—

[TATA, JANGAN KAU DENGAR UCAPANNYA!]


Aku jarang mendengar suara Furaz. Baru pertama kali ini aku mendengar suara Furaz yang begitu mengintimidasi.


[KAU! SUDAH KUBILANG JANGAN DEKATI TATA, BISAKAH KAU BIARKAN TATA MENJADI 'TATA']


F-furaz, mengapa a—

[DIAM DAN DENGAR SAJA TATA, JANGAN KAU IKUTI KEMAUAN WANITA INI, SEKALIPUN JANGAN PERNAH! ATAU KAU SENDIRI YANG AKAN MENYESAL]


Tap—

Jangan terlalu keras padanya, seingatku aku tidak mengajarkanmu demikian, dik.


[Jangan panggil aku seolah aku adikmu, Homunculla]

Kok kamu panggil aku dengan nama itu?? K-kau tidak sayang padaku?


[Ugh.. B-bukan b-begitu..]

Kalau begitu, biarlah aku berbicara pada Tata!


[Tata! Jangan dengarkan!]


Wanita itu berlari kecil ke arahku, wajahnya yang tertutup kain kini hanya sekitar 50 senti dari wajahku.

Tata, kenapa kamu tidak ambisius?


Eh? M-memang aku begitu?

Seharusnya begitu! Karena itu sifat dari salah satu namamu!


M-maksudnya!!?


Dengarkan aku Tata, sebutkan namamu.


F-Fatha..


Bukan nama itu! Nama asli yang kau dapat dari orang tuamu!


Arahallia Yaenisser.


Benar! Dan kau tahu? Medhina Yaenisser adalah seorang penasihat utama di Feyenorrd, putra dari Mech-ca Yaenisser sang Bintang Ketujuh Gugusan Eleanord. Kau tahu kesamaan dari dua orang ini? Jenius, manipulatif, dan ambisius! Dan kau adalah keturunan dari mereka bukan!?


I-iya.


Maka dari itu kau seharusnya mewarisi bakat mereka!!


Tiba-tiba rasanya kepalaku dialiri dengan bermacam ingatan. Hal-hal yang bahkan tak pernah kubayangkan atau kulakukan sebelumnya.


Bagaimanaaa?? Sudah ingat siapa dirimu sebenarnya?


Kenapa setelah wanita itu berucap demikian, aku seakan memiliki motivasi baru untuk menyelesaikan turnamen BoR ini. Tak peduli memakai cara apapun.


Nah, Levi... Aku titip Tata padamu lagi ya?


[Jangan panggil aku dengan nama yang sudah kubuang itu, panggil Drian atau Furaz.]


Furaz lalu menengadahkan kepalanya ke atas. Menutupi mukanya dengan tangannya.


[Tata...]


Iya, Furaz?


[Maafkan aku yang sebelumnya membentakmu]


Iya.. Lalu, apa yang dilakukan Putih padaku tadi?


[Hal yang tak patut kau dengar. Untungnya apa yang kaudengar tadi tidak begitu berpengaruh padamu.]


Aku merasa Furaz bermaksud melindungiku tadi. Tapi, melindungi dari apa? Mungkin dia mendengarkan pikiranku ini. Tapi biarlah, tiada guna aku memikirkannya lagi. Saatnya kembali sadar.



[PASAL XII: PRIME TIME!]
(White's Perspective)




White's Perspective, eh.. Padahal aku pakai nama Putih, tapi sudahlah. Tata sudah keluar dari sini. Melangkah melawan keberadaan setara dewa. Kedengarannya seram.


Pemandangan tempat ini, SSS, agak carut marut. Sepertinya tempat ini butuh sedikit sentuhan. Dengan beberapa ketukan di udara dan. Blink, tempat ini sudah kuubah menjadi tempat gelap dengan satu kursi panas yang nyaman. Layar besar sudah terpampang di depan kursi nyaman itu. Ditemani dengan jagung pop. Menonton aksi gadis manis dan cowok tampan akan sangat-sangat menyenangkan.


Pertarungan akan dimulai, Tata yang baru saja terbangun berusaha menegakkan tubuhnya yang kuyu. Setelah tubuhnya dirasa bugar dia melewati pintu pada pohon tadi. Oh iya, soal luka di tubuhnya. Sudah kututup dengan energi penyembuhku. Yah ini hanya berlaku 3 kali sih pada turnamen ini. Ugh, kenapa juga ada batasan buat kuasaku ini.


Kulihat Tata lagi, dia masuk kedalam pintu itu. Didalamnya dia melihat pemandangan yang tidak pernah disaksikannya. Sepanjang horizon hanya terlihat bangun-bangun persegi bergaris biru menyala yang berdempet satu-sama lain. Langitnya hitam legam tanpa bintang, walau begitu tidak ada masalah buat Tata untuk melihat kesekeliling.


Kemudian Tata melihat pria berkemeja yang setiap kali dia bergerak timbul bayangan biru neon. Sepertinya pria itu sedang kewalahan melawan sesosok makhluk kecil, ya kecil sih menurutku. Seperti monyet putih yang sudah membusuk, tangannya lebih besar ketimbang tubuhnya. Makhluk yang tingginya hanya 6 meter itu terus saja berusaha menangkap pria bernama Ying Go itu, yang badannya jauh lebih kecil dari monster itu. Yah, satu remasan saja sudah meremukkannya sih. Oh, Ying Go sudah kehilangan tampilannya sebagai Yama. Aku nggak pegitu perduli sih.


Tata kemudian masuk kedalam ruang itu. Kini dia kembali pada tampilan standarnya. Jubah hijau dan kupluk putih yang nampak muluk itu.


"Ying Go!" teriak Tata, disambut dengan Ying Go yang tengah berkelit menghindari serangan monster itu.


"Kukira aku sudah menembak lehermu tadi, kenapa masih bisa bergerak?" jawab Ying Go. Kembali berkelit ketika hantaman tinju monster itu menengahi posisi berdiri mereka berdua.


Tata juga menghindar dari tinjuan itu, lalu membalas omongan Tata "Sepertinya aku dapat bantuan dari panitia, eh. Berarti skor terakhir tadi belum sah milikmu."


"Haha, kau benar-benar susah mati! Sudah kedua kalinya lho! Tata, eh Mara.. Ah, Tata saja." Ucap Ying Go lagi. Sambil menunduk menghindari sapuan lengan sang monster.


"Panggil Tamara juga boleh, Ah... bicaranya nanti saja. Susah nih lawan segedhe ini. Kerjasama yuk?" balas Tata setelah mendarat di tangan monster itu dan menyobek lengannya dengan Furaz.


"Apa boleh buat, situasinya memaksaku untuk menerima permintaanmu!" ucap Ying Go, yang kemudian mendarat dan menyabet kaki monster itu. Monster itu oleng, rubuh, dan mendapati jari-jari kepalanya sudah ditembus pedang Tata.


"Oke, sudah selesai.." ucap Tata.


"Belum, dia cuma antek bos. Bosnya sedang bersembunyi daritadi." balas Ying Go sambil menghembuskan nafas panjang dari hidungnya. "Itu dia," tunjuknya pada lantai persegi yang menyembung.


Dari buntalan itu keluar sesosok wanita yang akrab di mata Tata, Vani. Tidak hanya satu, dia melihat tiga gadis lain yang menyerupai Vani. Hanya saja mereka tidak memakai gaun hitam putih dan mop sebagai bando, melainkan hanya membalutkan kain hitam di daerah pinggul dan payudara, dan choker emerald melingkar di leher mereka. Mereka nampak, vulgar.


Salah satu dari mereka angkat bicara, "Sepertinya peserta pilihan Pak Nurma tepat sekali ya. Mengirim kamu, Tata kemari. Sepertinya ayah memberimu kartu trufnya bukan? Cuma akses PIN NPC spesial yang bisa membuka tempat ini."


"Hmm.. Kalian berempat putri dari abah Marlong ya? Berarti kita saudara tiri."


"Benar, senang sekali rasanya punya adik baru, oh iya.. Tata eh Voni, itu nama yang diberi oleh ayah bukan? Bergabunglah dengan pihak kami, mematahkan kekuasaan dari ratu genit yang menjijikkan itu. Dengan itu kami akan membantumu keluar dari dunia ini."


"Hee, hanya keluar?"


"Bukankah itu permintaanmu, Voni."


"Hihihi.. tidak kok, tidak.... Sekarang aku ingin dunia ini."


"Maksudnya?"


"Maksudnya ya kalian semua..." Tata mengayunkan pedangnya pada sepatu botnya, membuatnya terlontar. "... tunduk padaku!" ucapnya lagi untuk melengkapi kalimatnya.


"Dasar bandel! Vani, Vano, Vana!! Berubah!" ternyata yang berbicara dari tadi si Vane.


Setelah Vane meneriakkan kata berubah, memang benar penampilan mereka berubah. Kini Vane memakai zirah platina di toraknya, bagian abdomennya dilindungi oleh kulit beruang dan sabuk kulit. Ditambah dengan helm dengan hiasan sayap, membuatnya terlihat seperti Valkyrie. Saudarinya yang lain lebih menakjubkan lagi. Vani berubah menjadi tombak besar, Vano menjadi perisai platinum yang memancarkan pendar emas, dan Vana berubah menjadi kuda sembrani.


Vane meraih Vani dan Vano, lalu menunggangi Vana. Hanya melihat pemandangan itu saja membuat Tata tertegun, begitu pula dengan Ying Go.


"Ying Go! Mereka hendak menyerang kita!"


"Aku sudah tahu, Tata!" balas Ying Go. Menempelkan pegangan tombaknya pada dahinya.


"Ayo serang mereka! Tata!"


Akhirnya pertempuran antar ke, satu, dua, tiga... kedelapannya jika menambah Furaz dan Rahula dimulai. Sabetan dan tusukan saling dihindari dan dikembalikan.


[Aku disini, jadi tujuh makhluk yang bertempur]


Eh, Levi.. Sebentar, aku ganti penampilan.
Oke, kau tidak membantu Tata?

[Justru mudah kan, bagi eksistensi seperti kita untuk membelah diri.]

Ahaha, jangan sekali-kali pakai kemampuan keluarga lah. Bukannya dulu disaat kita masih terlibat Ragnarok sudah keberitahukan?


[Kakak, mengapa kau memilih jalan ini?]

Aku belum ingin menjawabnya, Levi.. Ah, mungkin aku akan memanggilmu Furaz disini. Untuk pertanyaanmu, lain kali saja. Tanya yang lain.

[Huh, baiklah... Lalu, bagaimana reaksimu ketika penahannya bertambah lagi?]

Oh, nama Voni itu ya? Kaget sih. Tapi pasti dengan mudah akan kubobol lagi.


Huh, keras kepala. Baiklah, tidak ada yang ingin kutanyakan lagi.]

Le—Furaz, kau menyayangiku bukan?


[Bagaimana bisa aku membenci saudariku satu-satunya?]

Oh, hihi.. Kalau begitu boleh aku bebas?


[Maaf, aku tidak bisa mengabulkan soal itu.]

Huh, tanpa izinmu pasti aku akan melarikan diri.


[...Takkan kubiarkan]

Huh, senyuman kriminal yang pernah kukejar. Ah, sepertinya aku juga tidak bisa membencimu, L—Furaz. Sini kupeluk.


[Tidak mau, aku ingin kembali ke genggaman Tata.]

Yah, sampai jumpa lagi.. di alam nyata..


[Sudah kubilang takkan kubiarkan.. Kakak.]

Aris.. Ah, dia sudah bukan anak kecil yang senang berdandan sebagai perempuan lagi. Aduh, kenapa aku menangis.. hiks.. ya?


Kulepaskan persona putih ini, ayo lihat apa yang terjadi dengan si molek hijau itu. Wah, hebat sekali ya nama Yaenisser.. Tak kusangka valkyrie yang kelihatan kuat itu sudah kehilangan perisai dan kudanya. Tak hanya itu, Ying Go juga hebat bisa kompak sama dengan Tata. Rasanya aneh ya jika aku memuji lawan Tata. Tak apalah..


Vane tertunduk di lantai biru neon, kelelahan sekaligus kesakitan. "Urgh.. K-kenapa... Padahal aku sudah mengalungkan choker ini ke lehermu, Voni. Kenapa, kenapa bisa lepas begitu saja?"


"Tentu saja karena tidak cocok kukenakan, dasar gembel!" balas Tata, "Kau bilang tadi choker itu juga membuat kekuatan pemakainya berlipat ganda ya? Sepertinya cuma omong kosong." tambahnya.


"Hh—hh.. Sepertinya memang kau harus bergabung dengan kami, Voni.. Yang jelas sepertinya serangan berikutnya yang terakhir. Akan kutunjukkan jika choker ini menyimpan kekuatan yang besar."


Dari fragmen perisai, tombak dan jasad kuda sembrani keluar cahaya hijau yang kemudian bersatu di tubuh Vane, cahaya itu lalu menyelimutinya. Menebarkan cahaya horor yang membuat siapapun ingin menghindarinya. Sayang itu tidak mungkin, karena efek dari kekuatan choker kali ini sepertinya adalah tarikan. Tubuh Tata dan Ying Go seakan tertarik ke arah tubuh Vane. Entah apa yang terjadi jika mereka berdua tertarik. Yang jelas, Vane sudah menyediakan tombak yang siap menusuk.


"Ying Go! Serang dia bersamaan!" perintah Tata. Tarikan tadi malah membuat gerakan mereka semakin cepat. Sedetik, mata pedang masing-masing sudah menyebabkan luka mendalam pada bagian vital Vane.


"Sori, Voni. Aku juga mendapatkan matamu. Kuat bukan?" ucap Vane setengah lemas. Masih sambil berdiri. Begitu pula dengan Tata yang sudah kehilangan mata kirinya. Tak ada jeritan sakit yang keluar dari mulut masing-masing.


Sambil berusaha menahan cairan merah keluar dari mulutnya, Vane dengan terbata-bata berucap. "Ah, mati. Sayangnya cuci otak oleh choker ini membuat program kami menjadi tidak terlebur ketika mati, melainkan meledak. Yah, selamat menikmati aku. Tata, Ying Go."


Vane meledak, ledakan yang tidak membuahkan hasil karena Tata dan Ying Go sudah menghindar. Namun keduanya menjauh karena mereka melompat ke arah yang berbeda dan sepertinya terdorong angin ledakan.


Ying Go, sepertinya puas atas hasil kerja sama kali ini. "Ah, satu syarat selesai, kasihan Tata, mata kirinya hilang.. Ah, mungkin ini keuntungan bagiku."


Tiba-tiba dari arah ledakan melesat sesosok pemuda berambut merah yang sebentar saja sudah berjajar posisinya dengan Ying Go.


"Oh, maaf. Sebentar lagi kedua syarat akan diselesaikan." ucap pemuda itu. Melempar sesuatu ke lantai dan tidak sampai sedetik sosok itu kembali jadi pedang. Keduanya mendarat. Lalu terdengar suara ledakan kecil. Sesuatu yang dilempar pemuda tadi meledak dan ledakannya memantulkan Ying Go ke arah sebaliknya. Di arah itu sudah menunggu gadis berambut merah dengan satu mata tertutup, memegang sangkur.


Selesai, Ying Go mendarat dan tangan Tata menyambutnya, sangkur tadi tepat diarahkannya pada jantung Ying Go dan kini jantung itu sudah keluar dari tubuhnya, tersula tangan Tata yang berlumur darah Ying Go. Tanpa berucap sepatah kata, Ying Go musnah menjadi partikel-partikel data.


Tata membunuh seseorang, lagi. Kali ini tidak ada rintik air mata turun dari matanya yang tinggal sebelah. Sepertinya nama Fatha a` Lir memang memberinya kecenderungan untuk bersimpati ya?


"A-apa yang terjadi? T-tata?" tiba-tiba muncul suara seseorang yang terdengar baru sadar.


"Vana, Vani, Vano??" tanya Tata.


"Vani lah," ucapnya lirih.. "B-baru saja aku menerima informasi soal peraturan babak ini. Dan sepertinya Tan Ying Go sudah kau kalahkan jadi aku tidak perlu menyebutkannya. Tapi, apa yang baru saja terjadi padaku."


"Kau baru saja dikendalikan, oleh virus. Begitu pula dengan saudari-saudarimu."


"E-eh... Ap-apa aku melukaimu??" tanya Vani cemas, lalu dijawab Tata dengan jari menunjuk ke kelopak mata kirinya yang berlumur darah merah.


"M-maaf Tata.. A-aku benar-benar tidak tahu..." isak Vani yang menangis sambil memeluk Tata, Tata juga berusaha menenangkannya dengan mengusap rambut hitam Vani.


"T-tidak apa-apa... Aku juga ingin minta maaf.. Aku.. membunuh adikmu.."


Tangisan Vani semakin menjadi-jadi, tidak begitu lama karena dia pingsan setelahnya. Tata hanya mengusap air mata di mata kanannya. Memegangi Vani yang sesenggukan tanpa sadar.


Tanpa mereka sadari, sebuah portal terbuka dari belakang mereka. Dari portal itu keluar seorang maid bertubuh jenjang bak model dengan rambut diikat pigtail.


"Fatha a` Lir, itukah anda.." tanya maid itu dengan halus.


"Err.. maaf, sepertinya aku tidak akrab dengan nama itu."


"Kalau begitu, siapa nama anda?"


"Arahalia, Arahalia Yaenisser.. Tapi entah mengapa aku lebih senang dipanggil Tata. Panggil aku dengan nama Tata saja kalau begitu."


"B-baiklah, selamat nona Tata.. Anda lolos dari babak kedua ini."


"Ya, dan sekarang tolong bantu aku mengangkat gadis ini, err.. siapa namamu?"


"Oh, nama saya Tamon Nyah.. Panggil saja Manya."


==========================================


Haaah, mereka sudah melewati portal. Popcorn-nya juga sudah habis. Sepertinya aku ketagihan menikmati semua ini. Yah, semoga saja aku bisa membantu Tata lebih banyak dikedepannya. Membantu, pfft.. Kata yang pas.


*****


ABILITY UPDATED
>Sarafma Furaz.
Pedang yang satu ini benar-benar ajaib. Dia bisa berbicara dan kini dia bisa mematerialisasikan dirinya menjadi sosok pemuda berwajah cantik yang berambut merah. Hanya saja sosoknya itu hanya bisa bertahan selama sejam dalam sehari. Sayang sekali ya?




3 comments:

  1. AAAAAA hormat pada tamon nyah! jadi selama ini itu nama aslimu?

    okey... saya menikmati ini, sayang kok makin ke belakang rasanya kaya diulur demi canon yang mana saya well... skim di beberapa tempat. dan jujur saya mengharapkan entri koplak lagi dari dirimu sebagai penghibur #plak

    -1 karena kamu harus bikin saya ngezoom browser saya

    -1 karena bikin saya cape ngeblok tulisan yang sengaja dibuat sewarna dengan background

    -5 karena bikin saya inget lagi kekkai sensen yang mana episode terakhirnya belum rilis rilis juga.

    total skor: 3/10
    #dihajar

    srsly
    8/10

    salam~

    Avius Solitarus

    ReplyDelete
  2. Pembukanya bikin saya ngira entri tata bakal banting setir jadi sok" serius, 180 derajat beda sama r1. Dan brengsek kamu manya, saya keduluan pake hidden text gini. Udah berapa kali di turnamen ini saya bilang kamu brengsek?

    Scene tata-ying go di tengah entri itu bikin geli. Sayangnya makin ke belakang saya makin blur sama konten entri ini sendiri, belum lagi nyampein canon tata tapi kurang tertata, jadi susah ngikutinnya secara kaffah

    Dari saya 7

    [OC : Dyna Might]

    ReplyDelete
  3. Numpang lewat doang. Saya belum cukup energi untuk mencerna cerita ini secara penuh ._.

    ReplyDelete