28.8.15

[ROUND 3] SANELIA NUR FIANI - DESPAIR

Prologue
-=Mindbreak=-

"Tolong… hentikan…"

Sekujur tubuhku menggigil, bergetar ketakutan walau nyaris tak menampakan sebuah pergerakan. Tenagaku sudah habis entah sejak kapan. Ototku terasa lemas. Pikiranku melayang tak jelas tujuan.

Cacing menjijikan.

Makhluk melata itu sebenarnya tak benar-benar  hidup. Mereka hanyalah sekumpulan robot bionik seukuran kepalan tangan. Bentuknya seperti tabung, pipih memanjang sekitar lima belas senti. Bagian ujungnya bundar tumpul, lebih lebar dari volume batang keseluruhan. Sekilas terlihat seperti kepala jamur.


Robot itu terbuat dari silikon empuk—merepresentasikan sensasi kulit dan daging manusia—begitu hidup, merayap-rayap, menggeliat, mengeluarkan getaran, bergerak penuh nafsu.

Bagian permukaannya licin, berlumurkan semacam lendir membasahi kulit. Tiga ruas kaki di bagian belakangnya membuat benda itu terlihat seperti seekor laba-laba, membawa meriam di atas tubuhnya. Permukaan pijakannya begitu merekat, hingga mereka sanggup bergelantungan di tiap permukaan. Masing-masing merayap menuju bagian kewanitaanku, menelisik masuk, memaksa untuk menerobos bagian sensitif di bawah sana. Aku tersentak dengan mata terbelalak. Ukurannya terlampau besar, merobek paksa dengan ganas. Mulutku terbuka lebar seraya merintih, tak kuasa menahan pedih. Tak sanggup kubendung aliran air mata.

Tujuan mereka hanya satu, yakni merusak pikiran seorang perempuan. Berbagai impuls serangan ditunjukan ke pusat pikiran, hingga kewarasan pun terdorong hingga ke tepian. Makhluk itu sepertinya amat menyukai rahim perempuan. Mereka tidak memakan bagian daging, karena tak ada rasa sakit yang kurasakan. Mereka hanya bergerak-gerak seraya bersemayam di sana, menghisap tiap senti energi kehidupan.

Tak pernah cukup bagiku untuk meratap karena harus menjadi korban.  Lengan dan kakiku diikat kencang dalam berbagai simpul lilitan. Perut beserta leherku juga tak luput dari kerasnya tarikan.

Awalnya terasa geli penuh kenikmatan, tapi lambat laun impuls itu berubah menjadi sebuah siksaan. Sempat aku melawan. Kedua paha ini dirapatkan erat seraya berharap makhluk itu mati dalam kuatnya himpitan.

Tapi aku salah, semakin keras aku menekan, semakin besar pula tenaga yang mereka keluarkan. Tubuh mereka bergerak luwes dalam gerakan maju mundur, seraya permukaannya mengeliat dalam liukan lentur. Indra sentuhan di sekujur tubuhku terasa amat menjijikan, kala tiap kakinya menapak rekat di tiap sudut. Mata, bibir, mulut, dada, perut, bokong, semuanya tak luput dari gerayangan.

Saat itulah aku tersadar, jumlah mereka mungkin ada ribuan. Gerombolan itu datang dari segala arah, layaknya tumpahan air menggenang. Tubuhku tenggelam, hanya menyisakan sebagian kecil bagian kepala.

Aku tak bisa melihat apapun. Telingaku tak menangkap suara sedikitpun, selain suara cipratan dari lendir yang bergenangan.

"Tolong aku…" ucapku lirih. Meski tak ada ucapan yang terdengar, kala kugerakkan mulut ini untuk mengeluarkan suara. Tenagaku semakin menghilang, seriring dengan menyusutnya Manna sebagai bahan bakar sihir. Sedari tadi aku senantiasa gagal mengucap inkantasi walau sebatas dalam pikiran. Jiwaku dibuat cacat oleh berbagai impuls kenikmatan.


..




Part 1
-=Villain=-


Aku tak ingat berapa lama waktu telah berlalu. Retina mataku bahkan tak lagi bergerak aktif untuk memandangi sekeliling. Ekspresi kosong mungkin terukir di wajahku yang tertunduk lesu.

Cacing-cacing itu telah menghilang. Sebagai gantinya, kini ada seorang pria berpakaian jas hitam menyeret tubuhku dari ruangan gelap. Aku bahkan tak memiliki tenaga sekedar untuk menolehkan wajah. Namun telingaku berhasil menangkap suaranya yang ringan, khas seorang pemuda di usia remaja.

"Heh, keturunan penyihir ya?"

Orang itu berucap mengomentariku, entah apapun itu. Pandanganku kembali sayu, lalu terlelap hingga segalanya menjadi gelap.

Sulit rasanya untuk melawan rasa kantuk yang mendera. Kusadari dua lenganku tertarik menuju arah yang berlawanan. Tubuhku tergantung sekitar dua meter ke udara, bersandar pada sebuah tiang berbentuk salib, lengkap dengan berbagai ikatan.

Ruangan ini begitu minim penerangan, hanya ada serangkaian lampu kecil sebagai penanda jalur, serta komponen elektrik di tiap sisinya. Sebuah jalur catwalk memanjang hingga membentuk lorong tak berujung.

Wajahku jatuh tak bertenaga, tatapanku tak tentu arah, gamang dirasa. Sepasang kaki terlihat berjalan anggun menghampiri. Kuangkat sedikit pandanganku, untuk mendapati kehadiran seorang perempuan berambut biru. Dua lengannya tersilang seraya mengukir ekspresi jahat. Bibir tipis itu terangkat sedikit, melemparkan senyum tak simetris.

"Yulia, bagaimana tiga hari ini? Kau menyukai pelayanan serangga milikku?"

Serangga? Ah mungkin maksudnya cacing menjijikan yang bergetar-getar selayaknya vibrator. Benda-benda itu berhasil menghancurkan tekadku serta segala niatku. Aku bahkan tak punya tenaga lagi untuk mengutuk tindak serta ucapannya itu.

"Kau seharusnya berterimakasih padaku. Berkat seluruh rencanaku, kau akhirnya bisa kembali ke permukaan, mengambil kembali kontrol atas tubuhmu."

Kontrol? Kembali ke permukaan? Memangnya dia anggap apa aku ini? Memanggilku dengan sebutan Yulia. Walau bagaimanapun aku tetaplah Nely, anak dari Fia dan Leon. Yulia memang muncul di pikiranku, serta mengubah total cara pandangku. Aku mungkin mengingat segala sesuatu di kehidupannya, ketika hidup bersama ibu dan ayahku. Tapi hey, aku tetaplah Sanelia Nur Fiani.

Ingin sekali rasanya aku mengumpat mengatakan semua itu. Namun apa daya, kondisiku saat ini tak ubahnya dengan seonggok mayat tak berdaya. Siksaan dari serangga itu menyedot seluruh energi nyaris tak bersisa. Tiap otot kurasakan begitu lemas tak bertenaga. Dan mungkin saja memang itu tujuan sesungguhnya, karena cadangan Manna yang biasanya melimpah ruah di tubuhku kini tak terasa keberadaannya.

"Kau mungkin bertanya-tanya, apa keinginanku sesungguhnya?" lanjut Fia.

Mungkin lebih tepatnya Tamon Ruu dalam wujud Fia. Aku tak sudi mengakui ibuku memiliki kepribadian bejat seperti itu.

Gadis itu menyilangkan lengannya seraya menopang dagu, "Ya… persis seperti klise dalam sebuah film. Sang antagonis akan mengumbar seluruh niat jahatnya, lengkap dengan strateginya. Lalu sang protagonist melawannya setelah mencari tahu celah dalam rencana yang sudah disusun sempurna."

Orang ini sudah gila.

"Baiklah, akan kuberitahu." Sorot matanya menatap tajam seolah menguliti sanubariku, "Yulia… aku menginginkanmu."

Susah payah aku mengangkat sedikit kepalaku, demi menjawab pandangannya yang menyorot tajam.

"Kau sekarang sudah bangkit. Nely yang tak berdaya kini sudah menghilang, tergantikan oleh keberadaan sesosok penyihir ketiadaan."

Penyihir ketiadaan, dia tau soal itu.

"Aku tahu semua tentang dirimu," ucapnya pelan, seakan tahu apa yang sedang kupikirkan, "Bagaimanapun juga, aku selalu iri denganmu."

Apa mau orang ini? Dari tadi dia bicara berbelit-belit.

Seseorang di sampingnya berjalan memegangi bahu, "Sudahlah, berhenti bersikap seperti tokoh penjahat. Kau gak pernah pantas berlaku seperti itu."

Pria itu yang membawaku hingga ke sini. Aku kenal betul dengannya. Si bocah boyband dengan model rambut lurus menutupi kening disisir ke samping. Wajah menyebalkannya tak pernah berubah meski sudah lama sekali aku terakhir melihatnya.

Namanya Limbo. Salah satu rekanku ketika masih hidup sebagai Yulia. Dia tampaknya tak mengenaliku. Jadi aku bisa berasumsi bahwa keberadaanya hanyalah sebatas entitas palsu. Salinan dari sosok asli, tak lebih dari tiruan semu.

Persis seperti sosok Fia di sampingnya. Gadis itu bukanlah ibuku. Dia sendiri mengakui hal itu. Kelompok Herotics yang ia gadang-gadang hanyalah berisi para salinan dari entitas asli dari berbagai dunia.

"Boleh kita mulai?" ucap Limbo seraya menjilat bibirnya. Lengan pria itu sibuk bergerak mengutak atik panel kontrol sebatas pinggang.

Mau apa mereka?

"Saaa… Tubuhmu kini kehabisan Manna secara total. Kau tak punya pertahanan diri, termasuk untuk menjaga pikiranmu sendiri."

Apa… maksudnya?

Limbo memutar sebuah kunci, mengaktifkan semacam mekanisme di sana. Lantai tempat Fia berpijak kini terlihat berpendar terang, dalam serangkaian ukiran kompleks berbentuk lingkaran hexagram. Semilir angin bergerak lembut menelisik tiap permukaan tubuhnya. Rambut biru panjang tergerai naik, tak jauh berbeda dengan rok mini yang tersingkap, serta kemeja biru yang dikenakan.

"Anima Ruptor.." Fia merapal inkantasi singkat.

Detik berikutnya, pandanganku terbelalak tajam hingga akhirnya berakhir dengan sebuah kegelapan.

"Aku adalah kau, tubuhmu kini menjadi milikku. Kita merupakan sebuah kesatuan…"

Aku terhenyak, seakan tak percaya akan kenyataan yang ada. Kubuka mata ini perlahan, walau merasa aneh akan lambatnya pergerakan. Kuperintahkan wajahku untuk menoleh ke kanan. Namun berakhir dengan sebuah kegagalan.

Apa ini?

"Hahahaha…" Mulutku mengeluarkan tawa kecil tanpa kuperintah.

Batinku menjerit keras seketika itu juga. Aku tak terima, kala menyadari tubuhku bergerak dengan sendirinya. Ikatan di tubuhku melonggar, hingga akhirnya aku jatuh menapak secara sempurna. Limbo di hadapanku melayangkan senyum simpul, seraya dirinya berlutut memberikan penghormatan dengan mencium telapak tanganku.

Tolong… aku mohon… ini tidak terjadi.

"Kau tetap terlihat cantik dalam tubuh barumu, Fia…" Limbo menatap mataku begitu dalam, seakan mengajukan kontak batin pada jiwaku yang terdalam, "Pemilik tubuh aslinya pasti sedang meratap tak berdaya."

Terjadi lagi… mimpi buruk ini terjadi lagi. Aku benar-benar tak percaya. Pikiranku berubah histeris. Seumur hidup aku menghabiskan waktu terperangkap dalam tubuh seorang gadis. Begitu lama hingga akhirnya aku terlahir kembali. Pun begitu aku kembali terperangkap dengan cara yang sama. Susah payah aku berhasil melepaskan diri, dengan menggabungkan pikiranku bersama Sanelia Nur Fiani. Namun kini, aku kembali seperti ini.

Kulihat dua lenganku menjamah tiap sudut tubuhku sendiri. Menyilangkan bagian lengan dalam gerakan erotis, hingga memijat lembut dua payudara kenyal menantang. Kurasakan mulut ini bergerak mengucap sesuatu yang tak kuhendaki,

"Seperti yang sudah kuduga. Aliran Manna dalam tubuh ini begitu liar, nyaris tak terkendali."

"Dengan tubuhmu itu, kau bisa kembali ke alam fana di dimensi ke tiga," tukas Limbo menjelaskan.

Aku tak paham. Apa tujuan mereka sebenarnya? Bukannya Fia sendiri adalah penyihir dengan suplai Manna tak terhingga? Sama persis seperti diriku. Kenapa dia tega mengambil alih tubuhku?

"Sekarang bagaimana? Kau sudah siap untuk menapaki langkah pertama?"

Aku menjawabnya, walau tidak atas kehendak sendiri, "Ya aku siap… Bawa aku ke Jakarta."

Jakarta? Planet Bumi? Kota di duniaku berasal?

"Tak ada apapun di sana, semuanya sudah musnah akibat perang nuklir."

Tolong aku…

"Aku hanya ingin melihat sisa-sisa St. Novice Remarks… sekolahku dulu."

Seseorang… siapapun itu, tolong aku…

Sebuah selubung cahaya terbentuk secara instan, tak jauh dari panel kontrol tempat kami berdiri. Sebuah portal, pintu penghubung menuju dunia lain. Tubuhku bergerak sendiri melangkahkan kaki berjalan menghampiri. Kehendak apapun yang kuperintahkan sama sekali tak berarti. Jasad ini seolah tak mau mengerti.

"Cukup sampai di sana, tolong hentikan segala aktivitas kalian." Seseorang berucap di penghujung ruangan.

Pria itu sama Boyband-nya dengan Limbo. Model rambut keduanya bahkan terlihat mirip menutupi kening, disisir ke samping. Kalau saja pria itu tak memiliki rambut pirang, tentu aku akan menganggap mereka orang yang sama.

"Dimas Pamungkas." Fia mengepalkan lengannya, "Pelaku dari serangan virus menuju database." Matanya menatap tajam sosok di hadapan, "Apa maumu?"

"Emulator …" Pria itu menjawab sekenanya.

Fia dan Limbo terhenyak, "Mau apa kau dengan benda itu?"

Senyum jahat terukir di wajah Dimas, "Seorang bidak salinan tak perlu tahu tujuan lawan bermain dari tuannya."

"Heh, bangsat tengik sialan..." senyum meremehkan ia berikan sebagai perlawanan. Sukses terkena provokasi, Limbo sontak saja menerjang maju. Tubuhnya diselimuti semacam jubah terbuat dari cahaya. Tiap langkahnya meninggalkan jejak aura berwarna hitam. Sebuah pedang berukuran besar tercipta di lengannya berbalutkan aura kegelapan.

Bilah tajam itu diayunkan sekuat tenaga, hanya untuk dibuat kecewa karena tertahan begitu mudah di udara. Sebuah bangun ruang tak kasat mata menghalangi niat utama. Perisai mistis melindungi tubuh lawannya.

Dimas hanya menyeringai dengan kedua lengan menyilang. Pria berambut pirang itu terbahak-bahak, seraya mengamati Limbo yang susah payah menembus pertahanannya. Percikan cahaya berupa ukiran lingkaran sihir tercipta di tiap hantaman.

Merasa tak memiliki kesempatan, Limbo akhirnya melangkah mundur demi mengambil jarak. Selubung bercahaya di tubuhnya menghilang begitu saja, tergantikan dengan kemunculan busur panah mistis menempal di lengan kiri. Ia memposisikan diri bak seorang atlit panahan. Menarik lengannya ke belakang seakan hendak melepaskan sebuah tembakan. Di genggamannya, anak panah mistis terbentuk secara perlahan, menempel erat pada busur siap dilontarkan.

Fia tak lupa memberikan inkantasi tambahan sebagai katalis demi memperkuat projektil tembakan. Aura sihir berwarna biru berputar cepat, untuk kemudian berpusat meresap ke dalam anak panah.

"Bow of Gluttony…" ucap Limbo pelan. Detik berikutnya, ledakan keras tercipta bersamaan dengan gerakan jemarinya melepaskan tarikan.

Projektil sihir itu melesat cepat. Hanya butuh waktu sepersekian detik baginya untuk tiba di hadapan Dimas Pamungkas. Pria itu tak akan pernah bisa menghindar.

Namun alih-alih berusaha untuk berkelit, Dimas malah tetap berdiri di tempat, lengkap dengan senyum kemenangan.

Dentuman besar terdengar begitu memekakkan. Empasan ledakan sukses menciptakan dinding energi hingga mengempas siapapun yang berada di sana. Fia sempat terlempar sesaat, andai saja Limbo tidak menahannya lewat kuda-kuda kaki terpijak kokoh.

Keduanya terperangah. Serangan tadi tak berarti apapun, tak ada goresan maupun luka. Baju jubah hitam yang dikenakan Dimas bahkan tak bergoyang sedikitpun. Itu berarti hantaman keras tadi begitu gagal melewati perisai magisnya.

"Sekarang giliranku," ucap Dimas dengan nada meyakinkan. Ia angkat lengannya tinggi ke udara, seraya memerintahkan kemunculan dinding berisikan manisfestasi jiwa manusia. Aura berwarna emas membentuk siluet wanita berpakaian tempur, berupa baju seksi dan rok mini. Berbagai meriam aneh tersemat di pinggang dan bahu orang-orang itu. Sekilas terlihat seperti meriam kapal perang di lautan samudra.

"Kancolle," ucapnya bangga.

Detik berikutnya. Gempuran selongsong peluru datang menghujani. Kedatangan projektil itu bahkan lengkap dengan bising lecutan tinggi khas suara mortar.

Fia dengan cepat merapal inkantasi singkat demi menciptakan lapisan pertahanan, "Protega!"

Akan tetapi, lapisan itu tercipta begitu prematur. Tiga kali hantaman saja cukup untuk memecahkannya. Hancurnya perisai sukses mengekspos kami berdua. Pandangan mata Fia terbelalak tajam menatap maut yang menyapa.

"Tidak!" ucap Fia tak percaya. Ia berubah histeris kala mendapati Limbo berdiri membelakanginya. Pria itu merentangkan kedua tangan, menjadikan dirinya sebagai lapisan terakhir demi melindungi atasannya. Tubuhnya tercabik-cabik seketika.

Serangan itu terhenti. Meninggalkan keberadaan Fia yang terduduk lemas menatap ngeri. Pria di hadapannya tumbang dengan tubuh berlumuran darah.

"Seranganku itu permanen lho… data yang terhapus tak akan pernah bisa pulih," ucap Dimas seraya berjalan menghampiri, "Tewas oleh seranganku akan selalu menjadi kematian yang sesungguhnya.

Tubuh Limbo larut perlahan, berubah menjadi kumpulan angka binari berwarna hijau, lalu pecah berhamburan.
                                        
Ekspresi Fia berubah ketakutan. Susah payah ia menjejakkan kakinya pada lantai yang licin, berusaha untuk menjauh walau dalam posisi terduduk sulit untuk berdiri.

"Nah… Tamon Ruu… Sudikah Anda memberitahuku akan keberadaan Emulator?"

Keringat dingin bercucuran di wajah beserta seluruh tubuhnya, "Ti—tidak.. tolong…" matanya berulang kali menelisik ke sekeliling, berusaha mencari jalan keluar, "Aku..."

Senyum kecil terukir di wajah Dimas Pamungkas. Ekspresinya begitu teduh, menyiratkan kehangatan seorang pria santun dan berwibawa.

Detik berikutnya, lengan pria itu menjambak keras rambut Fia. Menyeretnya kasar menuju sebuah ruangan gelap, tanpa memedulikan rintihan pedih yang dirasa.

"Silakan nikmati [layanan serangga] milikmu sendiri," ucapnya seraya terbahak-bahak. Tawa jahatnya begitu kontras dengan wajah ramah yang tadi ditunjukan.

Ruangan itu begitu minim penerangan. Hanya terdiri dari dinding, lantai, serta langit-langit terbuat dari baja berwarna hitam. Sekelebat bayangan kecil datang menyapa, diikuti dengan kemunculan ratusan serangga lainnya.

"Ti—tidaaaak…!" jerit Fia dipenuhi kengerian. Lengannya terjulur berusaha menggapai Dimdim di kejauhan sana. Gadis itu berbalik, menatap horor di hadapan mata. Berulang kali ia menendang, menginjak, berusaha melepaskan diri. Namun semua perlawanan itu berakhir dengan sia-sia. Tubuhnya tenggelam dalam kumpulan lautan serangga. Masing-masing menggerayangi tiap senti permukaan kulitnya, saling berebutan menstimulasi organ kewanitaan tanpa jeda.

Otak Fia digempur sejuta impuls luar biasa. Pikirannya larut dalam ekstasi. Matanya mendelik kehilangan fokus.  Air liur tumpah ruah membanjiri mulut, sementara lidahnya terjulur keluar. Tiap indra di tubuhnya berubah sensitif hingga dirinya berubah liar. Lenguhan serta desahan tiada henti terdengar, bersahutan dengan jeritan dan makian seraya tubuhnya berubah kaku menggelinjang.

Trauma yang dialami oleh Sanelia, kini sepenuhnya ia rasakan.

Lelah, letih, lesu, pegal, sakit, perih, hingga kenikmatan sensorik bercampur padu menjadi satu. Batinnya terasa pilu, tak kuasa menahan penderitaan yang menyerbu. Isak tangis sama sekali tak membantu. Tubuhnya kini tergolek kaku layaknya batu.






Part 2
-=Dimdim-Sama=-


Apa yang dialami Fia, tentu menjadi pengalaman serupa bagiku. Segala rasa takut, horror yang dihadapi, serta trauma diperkosa oleh ribuan serangga. Semuanya dirasakan olehku. Ini merupakan pengelaman yang kedua kalinya bagiku.

Serangga-serangga itu sebenarnya tak bermaksud menyakiti. Mereka hanya ingin memuaskan dahaga seksual dari ratu yang mereka yakini. Tubuhku tak lagi merespon pada tiap sensasi yang datang menghampiri. Pada akhirnya, jiwaku kini mulai bisa membiasakan diri.

Tak sedikitpun perubahan ekspresi terukir di wajahku. Mataku bahkan memandang kosong pada langit-langit yang membisu. Lautan serangga menjijikan ini terasa bagaikan genangan air sejuk bagiku. Tubuhku merebah santai, seolah mengambang walau mereka silih bergantian menelisik satu persatu.

Kutatap jeli tangan milikku. Jemarinya bergerak melebar, mengepal, lalu mengayun-ayun dalam gerakan pelan. Semuanya persis sesuai dengan kehendakku. Aku berhasil mengambil kembali kontrol atas tubuhku. Aku sendiri tak begitu yakin kenapa.

Pintu ruangan terbuka, seseorang muncul dari sana. Para serangga serentak berlarian ke segala sisi, menghilang dalam bayangan gelap di sudut ruangan. Aku lantas menoleh, tanpa sedikitpun mengubah posisiku yang terlentang tanpa busana. Entah kenapa aku malah menyesali para serangga yang telah pergi.

"Dimas Pamungkas…" ucapku pelan, memanggil namanya. Perlahan aku bangkit sekedar untuk duduk.

"Aku salah, sepertinya kau malah menikmati siksaan ini. Yah.. walau bagaimanapun, ini kan ciptaanmu sendiri."

"Aku bukan Tamon Ruu…" ucapku menyela. Mungkin perkatannya tadi ditunjukan pada Fia.

Dimas terperangah, lengannya kemudian menyilang seraya bertopang dagu, "Hmm… jadi dia berhasil melarikan diri. Sial sekali, aku lupa kalau Ruu bisa log out berpindah server sesuka hati."

"Log out?" aku sedikit memiringkan kepala.

Dimas memandangiku sejenak. Napasnya mendengus pelan. Persis seperti seorang kakak yang hendak memaklumi kepolosan adiknya, "Namamu Nely kan?"

Aku menjawab dengan sebuah anggukan.

Pria itu mengotak atik sebuah layar virtual yang muncul sebatas dada. Sejenak ia memandangiku seraya memeriksa data berisi infographic di sana.

"I see… rupanya kamu penghuni planet Bumi. Satu dunia dengan Heru," matanya menelisik tiap sudut penampilanku. Pakaian compang camping nyaris tak bersisa, tak ubahnya dengan bayi tanpa busana. Menghadapi itu, mungkin jiwa lelakinya berubah menggebu. Aku tahu niat busuk di kepalanya.

Namun aku hanya diam, tak memberikan respon lanjutan.

"Penyihir ketiadaan ya…" Wajahnya berubah serius kala membaca bagian tertentu berisi informasi milikku. Berulang kali ia membolak-balik pandangannya dari layar pada diriku, seakan tak percaya akan pengetahuan baru itu.

Wajahku seperti biasa dibuat datar tanpa ekspresi. Dia sepertinya tak tertarik pada tubuhku.

Mulut Dimas tertarik ke samping dalam bentuk tak simetris, "Kau mungkin saja kunci bagi emulator terakhir."

"Emulator?" Wajahku berubah sudut agak miring. Rambut depanku tergerai jatuh pada gerakan kecil itu.

"Baiklah. Aku bisa menggunakanmu," ucapnya seraya menyusun rencana, "Akan kutunjukan sesuatu. Untuk itu kau harus ikut denganku."

Dia seenaknya saja memerintahkanku. Aku tentu saja menolak. Kesunyian kuberikan sebagai jawaban. Tubuhku tak mau beranjak.

"Tidak mau ikut?"

Tak kuberikan tanggapan sedikitpun. Ekspresi dingin di wajahku juga sama sekali tak memberi petunjuk.

"Begitu ya…" wajahnya berubah teduh. Senyum lembut terukir menggantikan hawa permusuhan yang sedari tadi mengancam.

Tapi aku salah. Alih-alih berubah ramah, dia malah bergerak cepat menghampiri. Aku bahkan tak sempat berbuat apapun, ketika lengannya menjambak keras rambutku seraya membanting kepalaku ke lantai. Aku jatuh tertelungkup.

"Aaah.."

"Dengar ya…" ucapnya dengan nada memburu, "Kau harus tau diri. Keberadaanmu itu tak berarti apapun selain menjadi alat… Instrumen untuk memuaskan nafsu kaum pria." Pria itu membenturkan kepalaku berulang kali. Kurasakan tulang pipi ini remuk di tiap hantamannya. Hidungku patah seketika. Darah mengucur keluar sedetik kemudian. Dia gila, mulutnya tiada henti mencerca, "Kau itu ALAT. Kau itu alat, kau itu alat," ucapnya mengulang.

"A-ampuun…" ucapku memohon. Pandanganku memburam, kepalaku serasa hendak pecah, benar-benar pecah. Darah menggenang membasahi lantai, melumuri seisi wajahku.

"Ulangi ini; Aku adalah alat, aku adalah alat!"

"A-aku… adalah alat…" ucapku membeo, mengikuti apa kemauannya.

Tenaganya begitu besar, aku sama sekali tak berdaya. Rapalan sihir yang kugunakan sama sekali tak berguna. Kejut listrik yang kuciptakan, gagal mempengaruhinya. Kurapal sihir penghisap kalor panas, hingga muncul sekelebat kabut tak kasat mata. Hawa dingin yang terbentuk sebenarnya cukup untuk membekukan logam. Pun begitu, dia tetap melakukan kegiatan sadisnya seolah tak merasa apa-apa.

Rambutku ditarik hingga tubuhku meliuk ke belakang, sulit bagiku untuk bernapas kala bagian tenggorokan tertarik keras. Berulangkali ia mengendus tulang selangka di dekat dada.

"Panggil aku Dimdim-sama…"

"Ba—baik, Dimdim-sama." Suaraku bergetar. Dia terlalu menyeramkan. Jauh lebih menakutkan dari siapapun. Segala macam sihirku tak berpengaruh padanya.

Jambakan itu ia lepas begitu saja, membuatku terjerembab mencium lantai. Lengannya menyilang seraya bertopang dagu, "Mungkin lebih keren kalau menggunakan bahasa Inggris."

Aku tak bisa menang melawan orang ini.

Seraya menahan pedih, kupaksakan mulut ini untuk mengabulkan keinginannya, "Yes, your highness…"

"Bagus, sekarang ikut denganku." Ekspresinya kembali terlihat ramah. Senyum teduh itu lagi-lagi muncul menghias wajah.

"Yes, your highness." Suaraku begitu bergetar, terguncang oleh rasa takut.







Part 3
-=Third Dimension=-


Luka yang kuderita kembali pulih seperti biasanya. Dimdim-sama mengobatiku dengan kemampuan aneh miliknya. Dia juga memaksaku untuk memasuki portal berisikan cahaya. Aku tak memiliki bayangan akan kemana pintu ini akan mengantar.

Tak lupa ia memberikanku pakaian Maid berwarna gelap, memaksaku untuk memakainya detik itu juga. Aku sama sekali tak bisa menolak.



Panas.

Mataku belum terbiasa dengan teriknya matahari di atas sana. Gumpalan awan terlihat melayang di angkasa, menghias langit berwarna biru tua.

Hal pertama yang kurasakan oleh tubuh ini adalah hawa panas. Berulangkali aku menyapu pandangan ke sekeliling, hanya untuk dikecewakan oleh absennya tumbuhan hijau di lingkungan ini.
                                                                                       
Sebuah gedung terlihat menjulang tinggi, berwarna cokelat dipenuhi karat. Bagian terluarnya sungguh tak terawat. Rangkaian bangunan itu dipenuhi berbagai pipa dari besi. Sekilas mengingatkanku pada pabrik penyulingan minyak. Sebuah cekungan raksasa dibangun di kejauhan, mirip dengan parabola pengumpul sinyal.

"Inilah salah satu hub… penghubung server Alforea di dunia dimensi tiga." Dimdim-sama memulai penjelasan.

Dimensi ke tiga?

"Kau tau perbedaan tiap tahapan dimensi?"

Aku menggeleng pelan.

Pria itu memanggil sebuah pedang entah dari mana. Bilah tajam berukuran panjang terbentuk dari udara kosong tepat di sampingnya. Lewat ujungnya yang tajam, ia mengukir sebuah titik di aspal kering tempat kami berpijak.

 "Anggap titik ini sebuah dimensi," ucapnya memulai penjelasan, "Ketika dimensi satu kutarik menjadi sebuah garis lurus. Dia telah berubah menjadi dua dimensi."

Sebuah gambar?

"Kau mungkin pernah membaca komik. Komik itulah bentuk dari dunia dua dimensi. Hanya memiliki panjang dan lebar, terpaut pada sebuah bidang datar. Kau yang terletak pada dunia tiga dimensi bisa membaca komik itu dan memahami isinya. Kau bebas membaca maju, mundur, bahkan bisa menikmati jalannya cerita mulai dari manapun.  Bukan begitu?"

Aku mengangguk.

"Itu karena kau ada di dunia tiga dimensi. Kau hidup dalam sebuah ruang berisikan Panjang, Lebar, serta tinggi. Sekarang aku Tanya, bisakah kau masuk ke dalam dunia dua dimensi?"

Wajahku bergerak horizontal memberikan gelengan sebagai jawaban. Tentu saja aku tak bisa masuk ke dalam sebuah lembaran buku. Aku hanya sekedar bisa mengamati.

"Begitu pula dengan makhluk dimensi ke empat."

Dunia empat dimensi?

"Alforea— tidak, maksudku dunia tempat turnamen Battle of Realms dilaksanakan," ucapnya dengan nada serius, "Semuanya terletak di dimensi ke empat. Mereka memiliki kemampuan untuk bergerak instan ke manapun di alam semesta dimensi ketiga."

Itu berarti, penghuni dunia dimensi ke empat tidak terikat oleh ruang yang ada.

"Sama seperti ketentuan sebelumnya. Mustahil bagi penghuni dimensi tingkatan yang lebih tinggi, untuk memasuki dunia di dimensi lebih rendah dari alam mereka. Penghuni asli Alforea tak akan bisa datang ke sini, ke planet Bumi ini.

Benar dugaanku. Aku sekarang ada di Bumi. Pantas saja udaranya terasa berbeda. Sesejuk-sejuknya udara di Alforea, aku tetap lebih nyaman menikmati terpaan angin di sini. Walaupun sekarang secara teknis aku ada di tengah padang pasir.

"UFO, hantu, jin, setan, serta malaikat itu sejatinya merupakan penghuni tingkatan dimensi yang lebih tinggi. Dimensi lima, enam, mungkin saja tujuh. Karena mereka bebas berkelana ke tiap penjuru waktu. Ke masa depan, zaman penjajahan, maupun ketika sedang terjadi perang dunia ke dua."

"Lalu kau sendiri apa? Apa maumu?" ucapku memberanikan diri. Aku masih belum mengerti motif utamanya membawaku ke sini, lalu susah payah menjelaskan segala sesuatu secara cuma-cuma.

"Apa tadi kau bilang?" ucapnya seraya menoleh, melemparkan tatapan mata mendelik.

Aku sontak saja terkesiap, apa ucapanku tadi ada yang salah?

"Jangan pernah memanggilku dengan sebutan KAU," ucapnya berang. Lengannya mengeluarkan semacam tombol kecil, lalu menekannya tanpa ragu.

Aku terhenyak, tubuhku tersentak seketika. Pandanganku terbelalak. Tenagaku hilang begitu saja. Sebuah benda bergetar hebat tak jauh dari mulut rahimku. Benda kenyal berbentuk phallus bersarang kokoh di dalam rongga kemaluanku. Padahal sedari tadi aku tak merasakan apapun di sana. Benda itu terbentuk begitu saja dari ketiadaan, menggeliat cepat mengaduk-aduk secara liar. Serangan impuls berjenis ekstasi membombardir tiada henti. Sensasinya jauh lebih hebat dari apa yang diperbuat oleh para serangga. Sebuah zat aprhodisiac pastilah tertanam sebagai penguat.

Aku sontak jatuh, bertumpu pada kedua lutut. Lenganku bergetar hebat kala memaksakan diri untuk mencabut benda asing di bagian selangkangan.

Usaha itu berakhir sia-sia. Sebuah gelang kecil tersemat erat di pergelangan tangan kiri, senantiasa memastikanku untuk tidak berbuat macam-macam. Kejutan listrik terasa sangat menyiksa kala aku berusaha untuk menarik bagian bawah celana dalam.

Aku tak tahan, kandung kemihku terasa diaduk keras. Aku ingin buang air kecil.

"Ti—tidaaak…" ucapku lemas. Rok mini yang kukenakan berubah basah. Kucuran air seni merembet pada kaki, melewati garterbelt lalu merembes pada kaus kaki setinggi lutut.

Pandanganku berubah tak jelas. Mataku berkaca-kaca. Napasku sesenggukan. Aku tak terima, dinistakan begitu saja, diperlakukan seperti makhluk hina.

Lengannya meraih daguku, lalu mengangkatnya hingga memaksaku menatap wajahnya. Ucapannya berubah parau, "Jangan pernah memanggilku KAU… Kau harus sadar akan posisimu. Panggil aku Dimdim-sama."

"Ba-baik… Dimdim-sama…" ucapku dipenuhi air mata.

Sadar bahwa aku kembali menuruti keinginannya. Seperti biasa, raut wajah Dimdim-sama kembali mengukir senyum menawan, "Bagus sekali…" Tombol pengontrol di lengannya ditekan pelan. Siksaan yang mendera akhirnya terhenti begitu saja. Meski tubuhku tetap terasa lemas kehilangan tenaga.

Susah payah aku berusaha untuk bangkit. Aspal ini terasa amat panas dipanggang oleh teriknya matahari.

"Tadi aku menjelaskan sampai mana?"

"Sampai dimensi ke empat, Dimdim-sama…" balasku patuh.

"Oh iya, dimensi ke empat. Penghuni Alforea," ucapnya pelan, seraya berusaha merangkai penjelasan. Matanya lalu kembali tertuju padaku.

Sontak saja aku menghindarkan pandangan agar tak beradu. Tak sopan namanya, semoga saja dia tidak tersinggung.

"Nely, aku adalah makhluk dari dimensi ke tiga. Sama halnya dengan peserta turnamen lainnya. Kita semua diadu dalam pertarungan hidup mati, dibuat menderita. Tak ubahnya dengan acara sambung ayam."

Agak terbelalak aku dibuatnya. Dimdim-sama rupanya memiliki pemikiran yang sama denganku.

"Bangunan ini merupakan salah satu Access Point menuju jaringan di seluruh jagat raya. Hub untuk planet bernama Bumi dalam sistem gelombang tak kasat mata berwujud dunia digital."

Seperti modem yang menghubungkan komputer pada internet. Hanya saja dalam kasus ini aku tak membutuhkan perangkat keras, melainkan raga kasarku yang secara langsung masuk ke dalam jaringan.

"Uhmm…" Ingin sekali aku bertanya sesuatu. Tapi rasa takut begitu kuat menghalangi niatku. Semoga saja ucapanku tak akan dianggap menyinggung, "Dimdim-sama…" ucapku pelan.

Pria itu menoleh.

"Jadi dimensi ke empat itu adalah internet jagat raya?"

"Betul sekali, kau rupanya pelayan yang cerdas," ucapnya diselingi senyum menawan.

Entah kenapa jantungku dibuat berdebar olehnya. Ucapan terima kasih itu terasa begitu menyanjung. Senang sekali rasanya walau hanya mendapat sedikit pujian.

"Ja-jadi.. jika kita ingin menghentikan BoR, kita harus menghancurkan access point ini?"

Dimdim-sama menggelengkan wajahnya dalam raut wajah kecewa, "Tidak bisa begitu. Access Point ini hanyalah salah satu persimpangan saja. Menghancurkannya tidak akan memberikan efek apapun pada jaringan seluas jagat raya. Aku kecewa padamu Nely, kau tak bisa memahaminya."

Mataku terbelalak, aku tak percaya. Aku telah mengecewakannya, "Ma-maafkan aku, Dimdim-sama."

Wajahnya kembali berubah drastis. Senyum teduh miliknya terasa begitu menghangatkan hati. Aku ikut senang walau hanya melihatnya, "Gak usah dipikirkan, Nely. Sekarang, ada sesuatu yang ingin kutunjukkan di dalam sana."

"Ba-baiklah, Dimdim-sama…" ucapku agak terbata. Perasaanku terasa begitu campur aduk. Aku tahu aku sedang dipermainkan. Namun entah kenapa aku tak bisa membencinya. Buru-buru aku berjalan mengikuti.

Kompleks bangunan ini sudah lama ditinggalkan. Kaca di bagian lobby pecah tak berbentuk, debu pasir setinggi setengah meter menutupi  bagian lantai. Perabotan berupa sofa, meja, serta kursi sudah musnah dimakan usia. Nyaris tak berbentuk.

Memasuki salah satu koridor, aku terdiam sejenak membaca nama perusahaan yang terpampang di bagian lobi.

"Herumi. Corp…" ucapku seraya berjalan.

Kudapati Dimdim-sama berbelok masuk ke dalam sebuah tangga menurun. Di penghujungnya, ia mengaktifkan sebuah mekanisme menggunakan alat kecil serupa handphone.

Dinding kosong di hadapannya mendadak bergerak maju, lalu bergeser ke samping, menyibak keberadaan lorong lainnya dengan tangga vertikal menuju bawah. Aku tak berkomentar apapun selain berjalan mengikuti langkahnya. Pandanganku senantiasa menyapu detail dari lorong ini. Pijaran cahaya dari lampu LED biru memanjang jauh berfungsi sebagai jalur pejalan. Di penghujungnya, kudapati sebuah ruangan luas berisikan bola biru bercahaya.

Sekilas terlihat seperti bangun ruang berbentuk bundar. Namun sebenarnya itu adalah serat cahaya hologram yang bergerak tak beraturan. Berupa simpul garis tak ubahnya dengan sekumpulan benang kusut.

"Inilah 'Emulator' alat untuk memberikanmu kehendak mutlak di dunia digital," ucap Dimas dengan lengan terbuka, "Berkat alat ini aku memiliki kehendak setara dengan Administrator di dunia sana."

Tapi ada yang aneh. Serat benang kusut bercahaya itu terlihat berkedip-kedip, seolah kehilangan tenaga.

"Tapi sayangnya, emulator ini palsu. Tiruan, tak sempurna."

Ternyata begitu.

"Seisi fasilitas ini kekurangan daya. Tiga puluh tahun berlalu semenjak perang bodoh umat manusia. Akhir dari peradaban di planet ini telah menghentikan suplai energi bagi access point internet sejagat raya."

Aku kira tempat ini memiliki sistem energi mandiri. Karena ketika di luar sana, kulihat ada sebidang lapangan dipenuhi solar cell.

"Tiap teknologi membutuhkan perawatan tangan pembuatnya. Apa yang terjadi andai penciptanya menghilang begitu saja?"

"Maka teknologi itu akan rusak, musnah dimakan usia."

"Benar sekali, aku bangga padamu Nely." Dimdim-sama melepaskan tawa kecil seraya memandangiku penuh kepuasan.

Wajahku berubah sumringah.

"Sama halnya dengan fasilitas ini. Sistem pembangkit listrik tenaga surya sudah mati sejak lama. Cadangan batre lithilium di bawah tanah sudah menipis hingga yang tersisa hanyalah sistem kritis."

"Kita harus memperbaikinya, Dimdim-sama," ucapku memberikan solusi. Semoga dia senang dengan ide ini.

Dimdim-sama berbalik, ia menatapku lekat seraya mengukir senyum kecil. Wajah ramah itu entah kenapa terasa hangat bagiku, "Untuk itulah aku membawamu ke sini, Nely…"

"Eh?"

"Kau memiliki kekuatan sihir, perlukah kujelaskan energi macam apa yang kubutuhkan?"

Energi listrik tentunya, "Yes, Your highness," ucapku patuh.

Kami berdua lantas kembali ke luar. Lewat instruksi singkat ia memerintahkanku untuk menciptakan badai petir, lalu menyambar batang logam di dekat panel surya.

Kupejamkan mata ini, seraya mengucap rapalan mantra yang kuingat dalam hidup sebagai Yulia, "Et tantae naturae conditor cum quae ipsi manent in umbra, ego præcipio vobis dimittere potestatem in convertendo inimicum meum."

Lingkaran sihir tercipta seketika itu juga. Melebar dalam radius lima ratus meter ke segala arah. Tak peduli seterik apa matahari bersinar, pendaran lingkaran hexagram berisikan huruf kuno senantiasa terlihat mencolok.

Awan besar perlahan berkumpur di langit kejauhan. Gemuruh petir terdengar menyusul kemudian. Teriknya matahari tergantikan oleh mendungnya cuaca. Tak lama bagi formasi cumulonimbus untuk memuntahkan sambaran petir, tepat menuju area yang kuperintahkan.

Dentuman besar terdengar begitu keras nyaris memekakkan telinga. Semburan awan panas tercipta dari jutaan megawatt listrik yang mengalir dalam jeda seketika. Sumber penampungan energi di bawah tanah kini terisi penuh siap sedia. Fasilitas itu kini bangkit setelah mati suri sejak lama.






Part 4
-=Four Dimension=-

Kami berdua kembali ke ruang bawah tanah untuk memeriksa. Kedatangan kami disambut dengan seseorang bertubuh lesu, mengenakan jaket ilmuwan berwarna putih. Wajahnya terlihat pucat seakan baru bangkit dari kematian.

"Heru Setiawan…" ucap Dimdim-sama. Ia menyilangkan lengannya, bertopang dagu seraya memikirkan sesuatu.

"Aku terkena emergency log out, apa yang kau perbuat?" ucapnya seraya menguatkan tenaga. Lengannya bertopang pada pagar pembatas, sekedar untuk berdiri.

"Apa yang kulakukan? Aku hanya memperbaiki tempat ini, tempat di mana kau hidup bersama Umii."

Siapa Umii? Mereka berdua jelas saling mengenal satu sama lain.

"Jangan ungkit soal Umii," tegas Heru Setiawan.

"Sudahkah kau menemukan jalan keluar dari masalahnya? Dia sudah menjalani Cyrosleep terlalu lama."

Dimdim-sama sepertinya berusaha memancing emosi dari Heru. Aku menangkap perubahan ekspresi murka di wajah pria itu.

"Itu bukan urusanmu." Heru menegaskan dengan nada permusuhan.

"Hoo…? Sekarang jelaskan, apa yang sudah kau lakukan di Alforea selama ini? Selain menjadi budak dari Tamon Ruu?"

Budak Tamon Ruu? Dia bawahan Fia juga kah?

"Aku punya agenda tersendiri."

"Selain menjadi administrator server? Hidup sebagai Hewanurma sepertinya terdengar membosankan." Dimdim-sama tetap memasang wajah tenang, sementara lawannya terlihat begitu membara.

"Cukup sudah omong kosongnya. Terlalu banyak dosa yang sudah kau perbuat." Hewanurma menyalakan sistem keamanan. Jemarinya bergerak lincah memasukan berbagai perintah pada layar tablet di genggaman tangan.

Sedetik kemudian, berbagai macam turret—senjata api terpasang pada dinding, lengkap dengan kamera pengintai—terpampang sangar di tiap sudut ruangan. Tiap moncongnya mengarah persis pada kami berdua.

"Nely…" ucap Dimdim-sama, memerintahkanku untuk berbuat sesuatu.

"Yes, your highness." Lenganku sontak terjulur keluar, memerintahkan kemunculan sebidang perisai tak kasat mata untuk melindungi kami berdua.

Rentetan tembakan dilepaskan, tapi itu semua tak berarti pada lapisan pelindung yang ada. Percikan bunga api tercipta bersahutan di tiap empasan peluru yang gagal mengenai targetnya.

"Bunuh dia,"

"Yes, your highness," ucapku patuh. Sementara lengan kanan terbuka lebar dalam gerakan menahan. Tangan kiriku kuayunkan pelan, seolah mengusap dinding imajiner sebatas dada. Detik berikutnya, formasi es tajam berwujud tombak tercipta melayang di udara.

Aku tak membuang waktu lebih lama, kuperintahkan saja rangkaian es itu untuk melesat cepat menghujani Heru Setiawan. Atau mungkin harus kusebut sebagai… Hewanurma.

Dia pria brengsek yang pertama kali menyuruh orang untuk menodaiku. Sudah sepantasnya ia mati layaknya tikus di pinggir jalan. Kulihat bongkahan es sebesar kepalan tangan menghujam dada sebelah kanan, hingga menciptakan ukiran lubang. Matanya terbelalak tak percaya. Paru-parunya terbanjiri oleh darah, ia terbatuk mengeluarkan cairan merah. Tubuhnya masih berdiri, bertopang pada pagar pembatas.

Matanya menatapku sejenak, lalu terkejut seolah teringat sesuatu. Pria itu kemudian mengaktifkan sesuatu lewat layar tablet. Tubuhnya perlahan menghilang, berubah menjadi serpihan debu.

"Dia melarikan diri ke dunia digital," komentar Dimdim-sama. Kutangkap sedikit rasa kekecewaan di wajahnya, "Haruskah kukejar Umii? Atau mungkin… Maria Fella. Semoga dengan begitu si tengik Hewan itu sadar akan kebodohannya. Tapi tidak, membunuhnya hanya akan menciptakan konflik baru…"

Dimdim-sama terlihat larut dalam pemikirannya sendiri. Sementara itu puluhan Turret masih saja memberondong kami berdua. Aku lantas memerintahkan gulungan es lainnya untuk menubruk dalam kecepatan tinggi. Suasana akhirnya kembali hening tanpa adanya suara tembakan.

Napasku begitu memburu, keringat dingin membasahi sekujur tubuhku. Energi Manna dalam tubuhku memang mengalir keras tanpa batas. Namun fisik tubuhku tetaplah lemah selayaknya perempuan normal pada umumnya.

"Dimdim-sama?" Kupanggil namanya seraya meyakinkan sesuatu. Matanya bergerak liar menatapku, begitu lekat dari bawah kaki hingga ke ujung dada.

"Kau terlihat seksi dengan keringat itu," ucapnya memuji.

Aku tentu saja berubah salting, "Ma-maksudnya?"

"Layani aku."

"Eh?" Aku terhenyak. Butuh waktu agak lama bagiku untuk tersadar akan niat sesungguhnya. Kala dia membalikan badanku, memaksa lenganku untuk bertumpu pada teralis pagar pembatas.

Lengannya menyingkap rok mini mengembang yang kukenakan, seraya mengusap stocking yang tersambung pada garterbelt di bagian paha. Sesekali ia menampar sembulan daging kembar yang menantang keluar.

"Di… Dimdim-sama…"

Niatnya untuk menistakanku sama sekali tak terhalang, kala kusadari celana dalamku ternyata memiliki lubang di bagian tengahnya. Celah kecil itu sangat memudahkan niat bejatnya. Jemari Dimdim-sama begitu liar mengaduk bagian klitorisku. Tak butuh waktu lama bagi organ itu, untuk berubah basah kuyup berbalut lendir.

Napasku terasa tak beraturan, daguku jatuh setengah terkatup. Jemari Dimdim-sama berubah kini mencengkeram erat kedua sisi pinggangku.

Aku berusaha menoleh, hanya untuk dikejutkan oleh kemunculan sang phallus yang sudah menegang keras. Zat Aphrodisiac di bawah kendalinya kembali ia aktifkan. Pikiranku serasa berhenti bekerja saat itu juga. Detik berikutnya, leherku menegang, tubuhku merasa merinding, punggungku menggeliat kala merasakan sensasi liar akan masuknya benda asing. Mulutku mendesah tanpa kuperintahkan. Lenganku mencengkeram erat teralis besi yang kugenggan, "Dimdim-sama… tolong hentikan… Aahhn..…"

Tak ada tanggapan. Dia masih saja memompa penuh. Serangkaian lenguhan terlontar dari mulutku. Aku tak menyukai ini.

"Kau adalah alat," ucap Dimdim-sama.

"Aku… Ahhhn…" Sebuah entakan terasa begitu keras, menusuk jauh ke sudut paling dalam. Aku tak sanggup mengendalikan tubuhku sendiri. Sulit rasanya untuk mengucapkan sesuatu sesuai kehendak hati.

"Kau adalah alat." Dimdim-sama mengulang kembali, kali ini nadanya terasa tak bersahabat.

"Aku… adalah…" ucapanku terhenti. Mataku terpejam erat. Mulutku malah mendesis pelan.

Pria itu habis kesabarannya. Ia menampar keras kepalaku, tepat di bagian telingaku. Tak lupa ia mendorong keras kepalaku, amat merendahkan harga diriku.

Air mataku kembali mengucur, aku tak sudi diperlakukan seperti ini. "A-aku… adalah… alat…" Susah payah kuucapkan kata itu, melawan pertentangan keras dalam diri.

Dimdim-sama mencabut keras benda miliknya. Lalu tanpa memberikan jeda ia simpan kembali di sebuah lokasi tiga senti dari tempat semula.

"Tu-tunggu dulu…" Wajahku berubah histeris. Lubang itu bukanlah tempat untuk bersenggama. Tanganku terarah ke belakang, berusaha menahan keinginannya.

Akan tetapi ia menepis dengan kasar,  seraya memaksa pinggangnya untuk menekan keras.

"Ah… aaa… Ah?" Mataku terbelalak lebar, pikiranku seakan lepas dari sana. Tubuhku tersentak maju, bersamaan dengan kuatnya rasa mulas di bagian pinggangku. Perih mengikuti tak lama kemudian, seolah hadir hanya sebagai sensasi tambahan.

Dimdim-sama mengaktifkan tombol kecil dari balik saku baju. Benda mini seukuran butir beras mendadak mengembang besar di dalam rongga vagina. Seakan paham akan tugas utamanya, ia menggeliat dalam berbagai gerakan, mengaduk-aduk menstimulasi sensor sensitif di sekitaran dinding.

Vibrator mini itu yang menyiksaku tadi, sebagai alat untuk pengontrol, membuatku patuh akan tiap perintahnya. Perasaanku bercampur aduk. Di satu sisi aku membenci ini, tapi di sudut lainnya aku menikmati gempuran sensorik yang ada. Terbukti dengan semakin kerasnya suara jeritan.

Tanpa peringatan ia cabut dengan keras kejantanannya. Lengannya memaksaku untuk berlutut tepat di hadapannya. Aku terbelalak menatap benda itu, terlebih ketika sadar apa tindakan ia selanjutnya.

Dimdim-sama memaksaku untuk melakukan oral. Ia meletakkan kejantanannya pada mulutku, untuk kemudian dihisap penuh walau terasa bau sehabis melakukan anal.

Ini menjijikan.

Tapi apa yang bisa kulakukan? Selain menuruti apa keinginannya. Tubuhku sukses berada di bawah kendalinya. Instingku sebagai perempuan telah mengalahkan tekadku yang ingin melawan. Kuusap batang itu, kujilati batok kepala dengan perlahan. Tak lupa kuberikan pijatan kecil pada kantung berisikan dua bola imut. Dimdim-sama begitu mengagumkan. Tak sedikitpun kudapati bulu di sana, permukaannya halus terawat.

Pelayananku seakan menjadi bahan bakar untuk semakin liar. Lengannya mencengkeram keras rambutku dari dua sisi, lalu secara paksa ia majukan pinggul untuk menekan dalam.

Aku ingin muntah. Ujung benda kenyal itu menyodok hingga pangkal terdalam. Tapi tak hanya sampai di sana, ia juga tega memompa dalam gerakan maju mundur. Berulang kali aku tertohok, hingga tenggorokanku berkontraksi hendak mengeluarkan isi lambung. Sebuah tonjolan mungkin terlihat bergerak dari leherku. Lenganku menepuk-nepuk pinggangnya, seraya mendelik ke atas menatap wajah, memohon ampunan.

Detik berikutnya, cairan kental kurasakan mencuat membanjiri pangkal tenggorokan. Kutelan saja air itu, semata untuk menjaga perasaannya.

Pria berambut pirang itu memandangiku sejenak. Wajahnya seperti biasa berubah teduh, melayangkan senyum menawan, "Kau hebat sekali."

"Te-terima kasih atas pujiannya, Dimdim-sama," ucapku setengah tak sadar. Lututku terasa amat gemetaran, lagi-lagi aku berubah lemas kehilangan tenaga.

"Kau telah menjadi pelayan yang baik, kuberikan kalung leher ini padamu sebagai penghargaan." Dimdim-sama menyodorkan sebuah sabuk dari bahan kulit.

Tanpa halangan kupakai benda itu di pangkal leherku. Penampilanku kini tak ubahnya seperti anjing peliharaan, karena sabuk itu rupanya tersambung pada sebuah rantai besi, mengarah langsung pada gelang di pergelangan tangannya.

Rantai itu berubah tak kasat mata, seolah menghilang keberadaannya.  Namun kutahu, prosesi barusan merupakan pengukuhan atas sebuah ikatan sempurna. Tak bisa dipisahkan walau dengan cara apapun.

"I announce!
Thy body shall be under my command, obey me!
Thou shall recognize me as your master…"

Aku mengangguk, lalu memperbaiki posisi berlututku tepat di hadapannya. Layaknya seorang ksatria yang sedang disumpah, kutundukan wajah ini untuk memberi penghormatan,

"I am your servant, your sword and shield. I shall protect you from your enemy, bring a curse towards the adversary."

 ....

 



Part 5
-=Alforea's Destruction=-


"Proses isi ulang energi emulator palsu ini sudah selesai, kini kita bisa mengaktifkan Virus yang lebih bertenaga, di server Alforea."

Virus?

Dimdim-sama menoleh, menatapku lengkap dengan senyum sinisnya, "Mari kita hancurkan Alforea."

Aku hanya mengangguk mengiyakan, "Yes your highness."

Selanjutnya, kami berdua mengunggah tubuh dan kesadaran masing-masing memasuki dunia digital.

"Sebelum kita pergi, aku ingin kau memakai ini." Dimdim-sama menyodorkan dua buah benda padaku. Sebuah bando berbentuk telinga kucing, serta benda panjang berbulu, mirip dengan ekor berbulu.

"Eh… eeeeeh? Apa ini?" Aku terkesiap, kala menyadari bagian ujung ekor yang berupa benda tumpul. Ujungnya sedikit melebar dengan bagian pangkal berukuran kecil. Jangan bilang kalau cara penggunaan ekor ini adalah dimasukan ke…

"Namanya ButtPlug."


*****


Langit gelap bertabur bintang, seakan menjadi penenang bagi sebuah kota yang tengah tertidur lelap. Negeri itu tak memiliki bangunan mencolok tinggi, selain kastil besar di bagian tengahnya. Pepohonan rimbun di sekeliling pemukiman menjadi batas penghubung akan lautan luas di luar sana.

Kudapati kakiku berpijak pada jalanan terbuat dari batu susun. Lokasi saat ini adalah alun-alun tempat diumumkannya Ronde satu dulu.

Dimdim-sama di sampingku sibuk mengotak-atik layar virtual di hadapan wajah. Mata yang sedikit melotot, disertai tawa kecil menandakan suksesnya rencana.

"Maria Fella… rupanya benar kau adalah inkarnasi dari Umi."

"Target yang harus kumusnahkan? Dimdim-sama."

Ia menoleh, "Tak perlu, kau hanya cukup mengaktifkan peledak utama. Itu akan membunuh semuanya."

"Yes your highness."

Rangkaian angka terlihat berseliweran, tercipta dalam bentuk bola seukuran kepalan tangan. Warna hijau itu mengingatkanku akan bilangan biner, pembentuk utama dari sistem dunia digital. Benda dalam genggaman ini adalah sebuah tiruan emulator, elemen terkuat yang bahkan sanggup menulis ulang kode sang administrator utama.

Kuserap rangkaian kode itu, selanjutnya kukerahkan energi sihir dalam tubuhku. Semburan manna sebagai bahan bakar terasa jauh meningkat dari biasanya. Lenganku merentang tinggi, menatap langit dengan mata tajam menyayat.

"Semoga dengan ini turnamen bisa terhenti," ucapku penuh harap.

Sebuah pilar terbentuk secara instan, menghujam daratan dari arah langit. Warnanya biru terang, terbentuk dari plasma membara. Udara terlihat memuai saking panasnya. 

Puluhan cahaya berikutnya datang menyusul, menciptakan rangkaian kurungan bak jeruji penjara. Formasinya mengelilingi Alforea dari segala penjuru. Orang-orang di kejauhan kompak menengadahkan kepala. 

Ratusan pilar cahaya itu perlahan bergeser, bergerak dalam gerakan memutar. Gerakan rotasinya terlihat semakin mengecil, hendak memusat di bagian tengah. Tempat aku dan Dimdim-sama berdiri. 

Inisiasi itu menghancurkan apapun yang terkena limbasan, menggerus segala sesuatu di bawahnya. Gemuruh suara kehancuran terdengar begitu keras. Kudapati kerikil bebatuan melayang di udara, tanda gravitasi seolah menghilang bersamanya.

"Dimdim-sama…" ucapku tak yakin. Kami berdua berdiri tepat di tengah pusat kehancuran. Aku sudah menyiapkan mantra teleportasi, terbukti dengan kemunculan diagram lingkaran sihir di tanah tempat kami berpijak. Aku bisa saja memindahkan posisi langsung menuju tempat aman. Tapi aku tak mau membuatnya marah, jadi aku hanya bersikap patuh menunggu perintah.

Namun Pria itu tak mengacuhkanku. Pandangannya lurus menatap sosok Hewanurma di atas kastil. Mereka saling melayangkan mata permusuhan. 

Hewanurma pada akhirnya menghilang dalam rangkaian sihir pengendali ruangan, demi menghindari kehancuran dari pilar bercahaya yang berputar cepat menuju dirinya.

Dimdim-sama kemudian memberikan perintah, lewat gestur tangannya memberikan sebuah aba-aba.

"Yes your highness," ucapku patuh, kurapal sebuah inkantasi singkat untuk mengaktifkan, "Tempus Sobrie Telepisca…"

Kami tiba di tengah lautan, sekitar lima puluh kilometer dari garis pantai. Kubekukan air untuk menciptakan pijakan.

Di kejauhan sana terdapat sebuah pancangan tiang cahaya berukuran besar. Detik berikutnya aku sontak memejamkan kelopak mata, tak kuasa menahan kemilau sinar membutakan mata. 

Gemuruh suara ledakan terdengar hebat, nyaris memecahkan gendang telinga. Semburan air berupa gelombang tsunami tercipta akibat kuatnya entakan. Sontak saja kurapal sebuah sihir, demi memerintahkan angin untuk melesat kuat membelah gulungan ombak.

Daratan itu terlihat menekuk ke bawah. Sisa letupan termonuklir menyala kemerahan, tiada henti membakar daratan hingga membentuk gumpalan magma. Air laut di sekitarnya tumpah ruah tertarik gravitasi. Perpaduan itu menciptakan semburan uap membumbung tinggi. Tak ada yang tersisa. Manusia, pepohonan, bangunan kastil, perkotaan segalanya lenyap tersapu begitu saja.




Part 6
-=The Tournamen must go on=-
                 
Semilir angin datang menerpa, menggerai rambut biru panjang hingga berkibar berbalut cahaya. Matahari bersinar terang di angkasa. Pandanganku masih setengah sadar menatap teriknya suasana.

Sesaat setelah ledakan hebat itu, tubuhku mendadak dipanggil dalam sistem teleportasi darurat. Pihak panitia berusaha menyelamatkan siapapun, termasuk peserta turnamen. Posisiku di sini masih terdaftar sebagai salah satu dari mereka. Jadi aku ikut terlempar ke sana.

"Dimdim-sama?" ucapku kebingungan. Pandanganku menyapu bersih ke sekitar, berusaha mencari sosok pria berambut pirang mengenakan jubah.

Tempat ini begitu hiruk pikuk. Banyak sekali peserta dari ronde sebelumnya berkumpul dalam satu tempat. Aku bisa melihat beberapa entitas yang sebelumnya sudah aku lawan.

"Wildan, perempuan pegulat, Kazuki, dan bunda Mawar," ucapku mengabsen. Kehadiran Yulia dalam pikiranku entah kenapa sukses memperkuat daya ingat.

Pengalaman hidupku sebagai Yulia juga mentransformasi Nely dari perempuan polos, hingga akhirnya berubah menjadi sosok dewasa dengan segudang pengalaman.

Mendadak pikiranku larut dalam sebuah renungan, "Gadis polos ya…" ucapku lirih. Entah kenapa lenganku bergerak pelan melindungi bagian depan pinggulku, "Papa… maafkan aku. Anakmu ini sudah menjadi wanita jalang."

Aku merasa sangat kotor.

"Wueeeh, ada kuciing," seorang gadis kecil menghampiriku dengan mata berbinar-binar. Pandangannya menatap lekat diriku dari bawah kaki ke ujung kepala, "Kakak pake baju maid dandanan kucing. Tapi rok mini itu buat apa? Kakak kayak gembel kurang bahan."

Komentarnya amat tak mengenakkan.

"Tapi bukannya kakak peserta juga? Atau cuma sekedar NPC pembantu panitia?"

"… Aku peserta," ucapku sedikit tak ramah.

"Pantas bau darah kakak agas sedikit asam, banyak bercampur dosa." Sedikit kekecewaan tersirat di wajahnya. Telunjuknya menempel sedikit pada mulutnya yang cemberut.

Tau apa bocah ini?

"Kakak bukan orang baik, tapi kakak juga bukan orang jahat. Tapi Felly senang lihat penampilan kakak, jadi teman Felly yah?"

Aku tak memberikan jawaban.

Bukannya sadar akan sikap dinginku, gadis yang menamai dirinya Felly ini malah bergerak mengitariku. Matanya begitu polos menatap ekor yang 'menancap' di bokongku, "Kak, bulunya halus banget, ini bikinan kakak sendiri?" Lengannya memegangi ekor itu, hingga tertarik sedikit dari tempat aslinya.

Aku tentu saja tersentak kaget. Cukuplah aku merasa tak nyaman dengan benda itu, tak perlu seseorang menarik-nariknya. Jangan sampai benda itu terlepas, lalu mengekspos bagian ujungnya yang basah. Maka dari itu segera saja kutepis lengannya, "Ja-jangan disentuh."

Felly terkesiap, dia menatapku sejenak, senyum jahat perlahan terukir di wajahnya, "Heh, jangan bilang kakak itu keturunan Deviluke yah? Kakak jadi lemas kalau bagian ekornya dielus elus?"

Apaan sih? "Po-pokoknya jangan dipegang," ucapku seraya mengambil jarak, demi mengamankan diri. Benda ini sebenarnya amat mengganggu. Tiap langkah yang kuambil pasti akan menimbulkan sensasi mulas seperti sedang diaduk-aduk.

Aku tak berani melepasnya tanpa seijin Dimdim-sama.

Gadis itu menatapku dengan pandangan polosnya. Aku sontak mengalihkan pandangan. Jauh di lubuk hatiku, aku sebenarnya merasa malu. Terlebih ketika kurapatkan kedua paha, demi menutupi aliran love juice yang turun membanjiri. Adalah keputusan Dimdim-sama, untuk senantiasa mengaktifkan vibrator di bawah sana. Meski tingkat getarannya tidak separah biasanya. Dia juga tidak menyalakan Aphrodisiac—sistem pelumas misterius pembangkit libido—yang biasanya bertindak aktif menghancurkan pikiranku.

Setidaknya benda ini bisa membuatku nyaman dalam waktu lama. Layaknya candu, aku bahkan tak bisa membayangkan diriku tanpa benda itu. Untuk itu aku harus berterima kasih padanya.

Orang-orang mulai tak sabar, dikumpulkan tanpa sebuah kejelasan, membuat mereka melakukan inisiatif untuk berjalan beriringan. Setidaknya ada sebuah jalan besar yang bisa dilewati.

"Kita kenapa dikumpulin di sini?" seseorang menggerutu. Pria dengan tubuh kekar membawa sebilah pedang di lengannya.

"Kudengar Alforea musnah dalam satu serangan, itu sebabnya semua orang dievakuasi ke sini." Peserta lainnya menambahkan, seorang pria berambut kribo terlihat sibuk menganalisis sesuatu lewat monitor virtual.

Aku tak bisa berlama-lama di sini. Pihak panitia—siapapun itu—tentu akan melakukan investigasi untuk mencari pelaku penghancuran Alforea. Oleh karenanya, diam-diam aku menyelinap keluar dari barisan. Memasuki hutan berisikan pohon dengan daun berguguran.

Warna jingga mendominasi pemandangan sekeliling. Batang pohon berjajar ke manapun aku memandang. Tiap langkahku mengempas dedaunan kering, seraya aku berlari menjauhi. Berulangkali wajahku berbalik ke belakang, sekedar meyakinkan tak seorangpun datang mengikuti.

Fokusku begitu tertuju pada ketakutan seorang pelarian. Aku gagal menyadari keberadaan Hewanurma yang datang menyekap. Pria itu seakan sudah menungguku sedari tadi.

"Henti— mmmh..!" Pria itu begitu kuat membekapku. Tanganku dipelintir ke belakang, lalu ditahan dengan keras. Kuciptakan daya sengat tinggi di sekujur tubuhku, sebagai bentuk perlawanan, layaknya belut listrik berusaha mempertahankan diri.

Akan tetapi, usaha itu tak berarti apapun padanya, "Kau sadar kan aku Administrator di dunia ini? Bentuk lain dari entitas Dewa di sini."

Apa maunya? Jika dia berniat menghapusku dari sini, tentu sekarang adalah saat yang tepat. Alih-alih membekapku seperti ini.

"Akan kulepaskan, tapi kau harus tetap tenang."

Anggukan kecil kuberikan sebagai jawaban. Dia pikir siapa aku ini? Aku bukan remaja tanggung yang mudah panik. Mati sekarang pun aku siap.

Sebuah gelang kecil ia sematkan di lengan kiriku. Terlihat seperti gelang emas biasa, normal tanpa bentuk apapun.

"Sekarang kau tak lagi mampu menggunakan emulator palsu itu."

"Eh?" Manna dalam tubuhku serasa menghilang begitu saja, "Apa yang kau lakukan?" Mataku berubah menyalak.

"Upaya pencegahan, agar tragedi Alforea tidak terjadi lagi karenamu."

Aku tentu saja dibuat bingung. Dia tahu aku pelakunya, posisiku sudah ditangkap olehnya. Lantas kenapa?

"Tamon Ruu memiliki rencana pribadi untukmu. Aku tak tahu eksperimen apa yang dia lakukan padamu. Yang jelas, aku tak bisa mengenyahkanmu. Lagipula, kewenanganku dalam sistem ini tak memungkinkan untuk menghapus data entitas peserta."

"Tidak bisakah aku pergi saja? Melarikan diri dari turnamen ini, tak terlibat dalam ajang pembunuhan di dalamnya." Pandanganku mungkin terlihat amat tajam di matanya.

"Kau sudah terikat kontrak di dalam surat undangan Alforea. Tak ada jalan untuk kembali dari semua ini."

"Begitu ya…" Mulutku mengukir sebuah senyum getir.

"Kau membenci turnamen ini?"

Pertanyaan itu tak kutanggapi. Toh dia sudah tahu jawaban yang hendak kuberi. Tindakanku menghancurkan Alforea, menentang dirinya. Semuanya didasari oleh kebencian itu.

"Apa yang salah dengan turnamen ini? Ketika kau membunuh seseorang di ronde sebelumnya, kau tidaklah benar-benar membunuh mereka. Tak ada seorangpun yang benar-benar mati. Kau sendiri bisa melihat kan? Di sekumpulan orang tadi pasti ada mereka yang sudah kau kalahkan. Mereka masih terlihat sehat wal'afiat seolah tidak terjadi apa-apa."

Aku terhenyak, sesaat tadi aku memang sempat melihat Wildan, juga perempuan pegulat berambut hitam pendek. Padahal aku menyaksikan sendiri kematian mereka berdua.

"Jelaskan alasan kau ada di sini?"

"Eh?"

"Jelaskan, kenapa kau bisa berdiri di sini. Padahal kau telah mati berulangkali." Hewanurma mengeluarkan pernyataan, langsung menancapku tepat di relung terdalam, "Ketika Peralihan ke babak ke-dua kau sempat mati di server Alforea. Sistem pun menghidupkan kau kembali saat itu juga. Merekonstruksi tubuhmu yang sudah pecah berserakan."

Kenapa?

"Bagaimanapun juga…" Hewanurma berucap dengan wajah dingin.

Aku entah kenapa tak sanggup menatap matanya. Sejuta rasa bersalah membayangi jiwaku di perkataan selanjutnya.

"Semua ini hanyalah permainan…"

Dunia seakan runtuh, segala sesuatu terlihat menjauh, tubuhku terasa mengecil. Jantungku berdesir, "La-lalu bagaimana dengan mereka yang gugur!? Aku menyaksikan sendiri sehabis preliminasi. Bagaimana pihak panitia bertindak kejam membunuhi mereka yang tersingkirkan. Dicincang begitu sadis, dijadikan olahan makanan." Aku tak bisa melupakan tentang Alayne sahabatku. Gadis itu dibunuh dengan cara yang teramat mengenaskan.

"Kau melihat ada perlawanan?"

"Tentu saja tidak, kalian pasti sudah membius mereka."

Hewanurma berpikir sejenak, "Yang kau lihat itu bukanlah entitas sesungguhnya. Hanya avatar, residual, tubuh kosong sisa-sisa data tak terpakai." Pria itu menyandarkan tubuhnya pada sebatang pohon, "Jiwa mereka sudah kami kirim kembali ke dunia masing-masing. Menuju dunia nyata."

Napasku tertahan seketika itu juga, "La—lalu, apa yang terjadi dengan orang-orang yang kuledakkan?"

"Kode program dari emulator palsu telah menghapus mereka secara permanen. Aku berhasil menyelamatkan banyak jiwa—termasuk peserta turnamen—dalam perintah evakuasi darurat."

Waktu seakan terhenti, jantungku berdesir keras. "Lalu sisanya?"

"Mereka yang tertinggal kini musnah tak bersisa. Aku tak sanggup mengirim semua orang bersamaan. Nyawa mereka tak tertolong."

Napasku tertahan, pandanganku berubah buram dipenuhi air. Kututup mulut ini dengan jemari yang merapat, "Jadi…" Korban ledakan itu menghilang secara permanen, "… aku sudah membunuh mereka semua?"

Hewanurma membalas dengan sebuah kebisuan. Seakan menuntut tanggung jawab moral dari apa yang sudah kulakukan, "Jiwa mereka menghilang untuk selamanya. Mereka dipaksa menghadapi kematian yang sesungguhnya."

Mendadak aku berubah mual. Lututku berubah lemas, lalu jatuh dengan wajah menatap tanah. Air mata jatuh bercucuran, batinku disiksa dengan kemunculan sejuta rasa penyesalan. Apa yang sudah kulakukan?

Aku salah… sangat salah…

Hewanurma memandangiku dengan wajah teduh. Tak ada sedikitpun kalimat yang terucap, akan tetapi aura bijaknya terasa begitu menentramkan, "Kenapa kau jadi seperti ini? Apa yang Dimas lakukan padamu?"

Ucapan itu sontak membuatku berang, "Apa yang Dimdim-sama lakukan padaku?" Dia malah menyalahkan Dimdim-sama, "APA DOSAMU PADAKU. Itu pertanyaan yang tepat. Tanya pada dirimu sendiri." Emosiku seakan hendak meledak, "Kau yang memulai ini, kau yang menistakanku sejak awal." Dia yang memerintahkan Ronnie untuk memerkosaku.

Pria berjanggut itu kemudian memalingkan pandangannya, seakan merenung menyesali perbuatannya, "Rupanya begitu. Jadi ini salahku…"

Sikap submisifnya itu membuatku kehabisan tutur kata untuk menyerang.

"Aku hanya menjalankan perintah dari Tamon Ruu. Maafkan aku…"

Aku terhenyak. Tak percaya melihat sosok setingginya menundukan kepala meminta ampunan. Wajahku berubah semakin tak karuan. Kutarik napas dalam, walau sulit rasanya untuk melakukan hal demikian,

"Hentikan, aku yang salah… Aku telah menghilangkan banyak nyawa."

Hewanurma seperti biasa menciptakan jeda, seakan menyusun rangkaian kata sebelum mulutnuya berucap, "Tolong, berhentilah mengikuti Dimas. Dia bukan orang baik-baik."

Aku tak memberikan respon. Penjelasan dari Hewanurma telah menjadi pukulan besar bagiku, kejutan keras yang menggoyahkan seisi pendirianku. Tujuanku selama ini seakan hanyalah kebohongan semata. Aku merasa diperalat.

"Aku ingin sendiri…"

Seolah mengerti, pria itu perlahan mengaktifkan sistem perpindahan ruang. Tubuhnya berubah menjadi serpihan dedaunan.

Percakapan itu telah membuka mata hatiku. Aku tak lagi ingin menjadi budak dari Dimas Pamungkas. Kutarik ekor berbulu di belakangku, lalu kucabut seketika itu juga. Mulutku secara refleks mengaduh kala merasakan sakit yang mendera.





Part 7
-=Betrayal=-


Aku tak lagi memiliki alasan untuk tetap maju. Langkahku gontai mengikuti iring-iringan rombongan.

Felly di sampingku tiada henti menggangguku, "Kak, ekor berbulunya mana?"

Aku tak menghiraukannya. Pikiranku masih saja menerawang jauh. Mengingat kembali setengah jam lalu dalam usaha untuk melarikan diri. Tak ada jalan keluar dari sistem turnamen ini. Kemanapun aku memandang, hanya ada pantai berisikan lautan.

Lamunanku sontak terbuyarkan, kala terkejut merasakan usapan tangan tepat di kakiku. Bocah bernama Felly ini mengusap-usap stockingku.

"Bahannya lembut ya, sabuk kecil ini namanya apa? Nyambung ke celana dalam ya? Kakak seksi banget ih…"

Ya ampun bocah ini…

Kami tiba di sebuah Colloseum. Sebuah arena pertarungan dalam lindungan gedung raksasa, tak ubahnya dengan stadion sepak bola.

Sebuah panggilan muncul di layar virtual, muncul tepat di hadapan wajah. Wajahku berubah pucat kala membaca nama tertera di sana.

"Dimdim-sama…"

"Lihat ke arah kanan," ucapnya singkat.

Kutatap salah satu sudut di dalam bayang bangunan besar, tepatnya di samping pilar beton. Di sana muncul keberadaan sosok mengenakan jubah gelap. Rambut pirangnya terlihat begitu kontras.

"Di-Dimdim-sama… ucapku tak percaya." Mendadak aku teringat akan setiap ucapan Hewanurma. Dimdim…

Tidak, Dimas Pamungkas. Pria itu selama ini telah memeralatku. Aku tak akan lagi jatuh di bawah pengaruhnya.

"Dimas…" ucapku tak bersahabat, sedetik setelah berjalan menghampirinya.

Pria itu mendadak kehilangan senyum jahatnya, agak terperangah mendapati aura permusuhan dariku, "Hoo… jadi begitu. Kau masih ingin membangkang rupanya."

Tubuhku sontak bergetar, kala ia menggunakan kartu as-nya untuk mengendalikanku. Denyut vibrator yang sedari tadi bersemayam di depan pintu rahimku kini mulai menggeliat keras. Zat aprhrodisiac terasa membanjiri, hingga meluber keluar dalam wujud cairan kental.

Napasku mulai tak beraturan, pandanganku mulai berkunang-kunang. Aku sudah terbiasa dengan siksaan cacing. Aku tak boleh kalah oleh impuls macam ini.

"Aku… tahu… yang sebenarnya." Sesekali aku harus melepaskan lenguhan kecil di tiap jedanya. Aku mulai bisa mengendalikan tubuhku sendiri.

Senyumnya semakin tertarik sebelah, "Tahu apa?"

"Kau… tak lebih dari virus di dalam sebuah… game… Keberadaanmu…" Aku berusaha mengumpulkan tenaga, "Keberadaanmu… hanyalah penghalang bagi sistem ini. Kau… menyedihkan.

"Aku memang virus, emulator palsu itu bukti konkritnya. Kau sendiri yang menggunakan virus itu. Demi menghancuran data seisi server Alforea."

"Dunia digital ini… hanyalah sebuah permainan…" Aku kehilangan tenaga. Tubuhku ambruk, hingga terduduk dengan paha merapat. Namun tekadku tak terhenti sampai di sana. Mataku masih mendelik tajam seraya berusaha melanjutkan ucapan, "Semua orang yang kalah di tiap ronde tidaklah dibuat meninggal. Mereka kembali ke dunia masing-masing."

Tak ada jawaban. Dimas menatapku, seakan menunggu kelanjutan dari ucapanku.

"Tapi berbeda di ledakan sebelumnya… Aku telah melenyapkan sebagian peserta. Ribuan data berisikan jiwa terhapus secara permanen. Kau telah membunuh mereka semua."

Dimas tak lagi membalas, mungkin lidahnya berubah kelu.

"Apa tujuanmu sesungguhnya?"

Butuh beberapa saat sebelum pria itu memberikan jawaban. Pria itu memegangi dagunya seraya mengalihkan pandangan, "Emulator terakhir…" ucapnya.

Emulator untuk apa?

"Demi menyelamatkan planet Bumi tempatku berasal. Dunia yang sama dengan dimana kau tinggal."

"Eh…"

"Emulator asli memiliki kehendak mutlak untuk mengendalikan elemen terdasar dari tiap dunia. Memiliki kekuatan emulator sama halnya dengan menjadi seorang Dewa. Di jagat digital ini, elemen penyusun terdiri dari angka biner nol dan satu. Alam dimensi ke tiga pun berlaku hal yang sama. Elemen paling dasar di sana bernama Atom."

"Maksudmu… Kau ingin menjadi tuhan di planet Bumi?"

"Untuk mengembalikan segalanya seperti sediakala, memperbaiki alam yang sudah rusak oleh wabah radioaktif yang melanda. Tentu saja aku harus menjadi seorang dewa."

Pikiranku kembali dibuat bingung. Keyakinanku kembali goyah.

"Tapi merebut emulator terakhir akan menjadi akhir dari jagat dunia digital. Sambungan nirkabel antar planet—… Tidak, jaringan kuat yang menghubungkan galaksi satu dengan yang lainnya akan terputus begitu saja. Itu akan menjadi akhir dari semesta yang kau sebut dengan… dimensi ke empat."

Gelang di lengan kiriku berucap menyela, terdengar seperti suara Hewanurma. Pria itu memang menyegel kekuatan sihirku lewat benda ini. Rupanya selama ini dia mencuri dengar percakapanku.

Hening… aku berusaha mencerna kembali ucapan Hewanurma. Singkatnya, jika aku membantu Dimas mencapai tujuannya, Bumi akan terselamatkan. Namun seisi jagat raya dimensi ke empat akan musnah sebagai gantinya.

"Aku tak bisa menerima itu. Bumi sudah hancur sejak lama. Kemusnahan massal di sini tidaklah sepadan dengan hal itu."

Senyum kecil menghias di wajah Dimas. Aku tahu itu hanyalah awal dari serangkaian kemarahan yang hendak memuncak.

"Jangan main-main bangsat!" Lengannya terjulur hendak menjambak rambutku.

Namun sebuah perisai muncul mementahkan niatnya. Percikan listrik menyambar tepat di jemari. Lonjakan energi itu sepertinya luar biasa besar, cukup untuk membuat sarung tangan Dimas terbakar. Pria itu juga terlempar ke belakang akibat ledakan udara yang memuai. Rasanya persis seperti menyaksikan seseorang tersambar petir. Pendengaranku terasa berdengung kencang, hilang sesaat akibat ledakan memekakkan.

"Sayang sekali, kau tak akan pernah bisa lagi menjamah tubuh Nely. Gadis itu akan tetap suci di bawah lindungan Ultima Bracelet pemberianku." Hewanurma muncul di belakang. Rupanya sedari tadi ia sudah tahu di mana posisiku.

"Heruuuu…!" Dimas berubah berang. Ia mempersiapkan Gate of Kantai miliknya. Dinding mistis terbuat dari aura keemasan muncul tepat di belakang tubuhnya. Dari sana, puluhan perempuan terbentuk dengan meriam aneh di kanan kiri tubuhnya. Mereka siap menembak.

Ledakan petir tadi sontak saja menjadi pusat perhatian. Para peserta datang untuk menyaksikan. Mereka mendapatiku terduduk jatuh dengan tubuh lemas, sementara di sisi lain, Dimas tengah bersiap untuk menyerang.

Tanpa diperintah semuanya bersiaga dengan senjata masing-masing. Ada yang memegangi pedang katana, ada pula yang berubah menjadi sesosok superhero, mengenakan topeng menutupi sebelah wajah.

"Ini sepertinya seru, sebaiknya kumusnahkan saja mereka sekalian." Dimas menyeringai.

Perang besar nyaris saja meletup, andai kemunculan wanita penguasa di sana tidak menghentikan itu di saat terakhir,

"CUKUP!" ucapnya keras.

"Yang mulia Netori!" Semua orang menurunkan kewaspadaan. Namun tidak dengan Dimas Pamungkas. Pria itu tetap melepaskan tembakan, sama sekali tak mengintahkan larangan.

Hewanurma tetap berdiri di belakangku, tubuhnya tak beranjak sedikitpun.

Dan memang tak perlu, karena sebuah perisai muncul dari arah sang penguasa wanita tadi. Begitu kuat hingga serangan tadi tak ubahnya seperti anak panah menubruk tembok baja.

Dimas terpojok, sadar bahwa kemampuannya tak akan sebanding dengan seorang administrator di servernya sendiri.

"Kau adalah seorang Admin dari server tak dikenal. Siapa kau sebenarnya?"

Dimas tak memberikan jawaban. Gestur tubuhnya seakan memadamkan hawa permusuhan. Posisi siaganya tergantikan dengan gerak santai berjalan pelan. Lengannya kemudian terjulur sebatas dada, mengaktifkan kemunculan sebuah gelang tersambung pada rantai. Tali besi itu memudar di bagian ujungnya, tertarik kecil tepat menuju arahku.

Aku terpekik, kala menyadari kalung berbentuk sabuk di leherku diaktivasi di saat bersamaan. Ujung rantai Dimas tadi tertuju langsung pada benda ini, dalam sambungan tak kasat mata, tak terbataskan oleh jarak.

"In the name of one from Three Command Speel… I order you to end your life here and now."

Mataku melotot tajam. Kala kusadari lenganku bergerak dengan sendirinya, menusuk dada bagian kanan, hingga mencabut organ seukuran kepalan tangan dari dalam sana. Gerakanku begitu bertenaga, diprakarsai oleh command speel ketika Dimas mengukuhkanku sebagai seorang servant.

"Ah…" tubuhku berubah lemas. Sensasi dingin datang menyapa, badanku tersentak hebat, bergetar merenggang nyawa. Lengan kananku ini berisikan kode dari emulator palsu. Apa yang kulakukan dengan itu akan menghapus data secara permanen, tanpa bisa dipulihkan. Itu berarti aku akan mati sungguhan… sekarang, dan di sini juga.

"Papa…" ucapku lesu.





Part 8
-=HERUMI=-

Kubuka pandanganku perlahan. Apa aku sudah ada di alam kematian?

Seseorang menggenggam lenganku, "Kak kucing, kakak baik-baik aja?"

Maria Fella, atau haruskah kupanggil Umii? Rambut kuningnya terlihat bergelombang, kantong punggung selalu tersemat kemanapun ia pergi. Bagaimanapun sosok itu terlihat seperti anak SMP pada umumnya.

Kuangkat dua lengan ini, seraya menatap tiap sudut jemarinya dengan seksama. Aku masih hidup? Tapi kenapa?

Mendadak saja perhatianku tertuju pada gelang pemberian dari Hewanurma. Kemampuan sihirku memang disegel secara sempurna, tapi sebagai gantinya rangkaian kode penghapus data permanen itu gagal terlaksana. Sistem regenerasi di dunia ini kembali bekerja sebagaimana mestinya.

Batinku kembali teringat akan nyawa yang sudah terhapus sia-sia. Mereka lenyap diledakkan dalam satu tembakan. Aku harus hidup menanggung dosa.

"Kakak tau nggak, dua jam lagi kita naik ke panggung loh. Kita nanti battle untuk lanjut ke ronde empat."

Aku menoleh, menatap lekat Maria. Gadis kecil itu senantiasa bersikap ceria, seakan tak mengindahkan horor yang hendak dihadapkan padanya. Kami berdua adalah musuh, jadi sudah menjadi hal yang alami untuk saling menjaga jarak.

Jadi kenapa?

Kutepis lengannya yang menggenggam erat jemariku, "Bisakah aku menyerah saja? Aku tak memiliki semangat untuk melanjutkan turnamen konyol ini." Toh Hewanurma juga menegaskan, bahwa siapapun yang kalah akan dikembalikan ke dunia masing-masing, tanpa sedikitpun kekurangan.

"Kakak kenapa mau menyerah?"

Aku tak memberikan jawaban. Aku sudah lelah. Setidaknya hidup sendirian di planet rusak bernama bumi, jauh lebih menyenangkan daripada harus disiksa seperti ini. Traumaku akan perbuatan Hewanurma, serta Dimas Pamungkas tak akan menghilang begitu saja. Aku tak akan pernah melupakan kebejatan mereka.

"Kak kucing…" Maria memandangiku dengan tatapan iba.

Mungkin karena pandanganku berubah buram, atau mungkin karena emosiku memuncak. Karena nyaris saja aku menumpahkan air mata yang susah payah kubendung. Kupandangi wajah polos gadis itu, seraya berusaha mengukir senyum walau terasa pahit, "Namaku Nely… bukan kucing."

"Tapi kakak seperti kucing," Maria berusaha menyusun kata. Wajahnya mengangguk kecil kala menemukan kalimat yang tepat, "Iya… kakak itu kucing manis yang kesepian."

Mataku mungkin melebar ketika mendengarnya.

"Kakak ada keinginan yang terpendam?"

Aku hanya ingin bertemu kembali dengan ayahku. Lalu menjalani hidup sebagaimana biasanya di dunia asalku… Exiastgardsun.

 Tapi mungkin bukan itu impian sejatiku. Planet Bumi… tempat ibuku berjuang seumur hidupnya. Rusak akibat wabah radiasi,"Kurasa aku ingin memperbaiki sesuatu."

"Kakak bisa melakukan itu,"

Aku seolah kehilangan ketenanganku. Kutatap wajahnya seolah menuntut kelanjutan ucapannya.

"Kakak harus bisa maju menuju final, lalu memenangkan turnamen ini. Mereka bilang mereka akan mengabulkan apapun permintaan kakak. Apapun itu."

"Apapun itu?" ucapku membeo.

"Termasuk merekonstruksi kehancuran di seisi planet?"

Maria mengangguk mengiyakan.

Berarti masih ada sesuatu yang bisa kuperjuangkan. Siksaan batinku entah kenapa sedikit terobati. Kutatap wajah polosnya, seraya berucap lembut, "Terima kasih, Maria…"

Gadis itu menjawab dengan ukiran senyum lebar, "Nanti kita bertarung dengan adil ya kak."

Anggukan kecil kuberikan sebagai jawaban.

"Aku pergi dulu ya kak, sisa sejam lagi sebelum pertarungan kita. Aku mau memanggil peliharaanku dulu. Dadah kakak~"

Aku membalas lambaian tangannya. Menatap kepergiannya melewati pintu ruang kesehatan. Perhatianku kemudian tertuju pada gelang kecil di lenganku.

"Kau masih mengawasiku? Hewanurma…"

"Aku selalu mengawasi Felly, kemanapun ia pergi."

Kususun sebuah teori, sebelum berucap padanya, "Herumi… itu singkatan dari Heru dan Umii kan? Kalian sepasang kekasih di dimensi ke tiga. Planet Bumi."

Tak ada jawaban.

"Kudapat informasi dari Dimas, bahwa Maria Fella adalah inkarnasi dari Umii… Itu berarti kau memiliki hubungan spesial dengannya."

Gelang itu membisu, tapi aku tahu pria itu sedang menunggu kelanjutan dariku.

"Praktik KKN menjijikan." Pedas sekali kukomentari situasi mereka berdua, "Kau menginginkan kekalahanku. Agar kekasihmu itu bisa maju, bukan begitu?"

"Sebaliknya." Gelang itu akhirnya merespon, "…Justru sebaliknya… aku ingin kau mengalahkan dia."

Agak terperangah aku dibuatnya, "Kenapa?"

"Agar aku bisa merebut kembali jiwa Umii yang bersemayam di tubuhnya."

Terhisap?

"Umii gagal dalam transformasi memasuki dunia Digital," ucap Hewanurma. Pria itu hendak menceritakan kenangan pahitnya.

"Kami adalah penemu Access Point menuju jaringan internet jagat raya. Kami berhasil menciptakan alat untuk mentransformasi bentuk fisik atom, ke dalam kode biner di dalam sistem digital komputer. Lewat cara itu aku berhasil mengirimkan seseorang masuk ke dunia digital."

"Apa yang terjadi dengan Umi?"

"Gadis itu terhenti setengah jalan dalam proses transformasi. Sebagian dari jiwanya terserap ke dunia digital, sementara tubuh fisiknya masih utuh tak berbekas. Kesadarannya menghilang entah ke mana. Aku harus memasukan tubuh fisiknya ke dalam kapsul Cyrosleep—membekukannya  dalam waktu lama—sementara aku menghabiskan waktu di sini, mencari tau cara untuk mengembalikan kesadarannya."

Dan di sini dia berubah menjadi Maria Fella.

"Di turnamen ini dia mengambil alih tubuh seorang gadis. Namanya Maria Fella. Termasuk segala kenangan dan ingatan, hidup sebagai pengganti dari entitas sesungguhnya. Itu kenapa dia tidak mengenalku walau berulangkali aku berusaha menggapainya."

"Dan kau ingin aku membunuhnya…"

"Tak perlu sejauh itu. Cukup kalahkan dia. Kau hanya perlu memusnahkan hewan peliharaannya."

"Peliharaan?"

"Kau tak sadarkan diri sehabis diserang Dimas. Kau mungkin melewatkan pengumuman untuk Ronde Tiga. Jadi biarlah kujelaskan kembali. Kau memerlukan partner untuk pertarungan ini, melawan Maria yang diperbantukan sesosok manusia setengah harimau."

Team match ya…

"Apa sosok yang kau pikirkan saat ini?"

Ayahku… entah kenapa aku teringat akan boneka beruang inkarnasi dari Leon ayahku.

"Aku punya kabar menarik untukmu," ucap Hewanurma, "Seharian ini aku mendeteksi adanya hack—upaya untuk menerobos masuk—ke dalam dunia digital. Dan kau pasti bisa menebak upaya itu datang dari mana."

Aku terkesiap, "Jangan-jangan…"

"Kulongkarkan sistem firewall-nya, seharusnya penerobos itu sekarang muncul sekitar lima meter darimu."

Sontak saja aku menoleh ke sekeliling. Tak ada siapapun di ruangan kesehatan ini kecuali gorden putih, ranjang, lemari berisikan kaca transparan, serta boneka beruang terpajang di dalamnya.

Jantungku berdesir keras, kala menyadari boneka beruang itu bergerak dengan sendirinya. Lengan kecil itu berusaha membuka pintu lemari, lalu meloncat turun menapaki lantai.

"Ternyata cuma aku yang tembus ke sini ya…" ucapnya menggerutu. Jaket hitam beserta celana jeans membungkus tubuh mungilnya. Ukuran boneka itu tak lebih besar dari kaum Gnome.

Napasku tertahan. Lenganku mendekap mulut yang nyaris saja menjerit haru, "Papa… ucapku tak percaya."

Lengannya terangkat sebelah, seraya menyapaku dengan suara khasnya, "Yo, Nely~…"

Sontak saja kugapai boneka itu. Lenganku begitu erat memeluknya, mencium tiap bulu lembut itu, seraya kurasakan empuk permukaannya.

"Hohohoho~ Nely, kau baik-baik saja? Syukurlah…"

Kurasakan lengan boneka itu bergerak nakal memegangi payudaraku. Aku tentu tak memedulikannya. Setelah melewati semua pengalaman mengerikan itu, itu sudah menjadi hal lumrah bagiku.

"Wogh, kau level up ya? Jadi D-cup?"

Tak sedikitpun kuacuhkan komentar itu. Lenganku melingkar di tubuhnya, memeluk erat. Papa mungkin tak sadar, tapi benda kecil di dekat rahimku masih saja terus bergetar. Semoga aku bisa menjaga rahasia ini darinya.

Reuni itu tak berlangsung lama, karena di pengeras suara, kini terdengar pengumuman akan dimulainya pertarunganku melawan Maria Fella.

Leon Bearry menatapku sejenak, "Kau bertarung lagi Nely?"

Wajahku bergerak untuk mengangguk, "Sekarang adalah ronde tiga. Papa mau kan membantuku?"

Boneka itu menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal, "Aku sih mau, tapi…"

Kumiringkan wajahku sejenak, berusaha menebak, "Tapi?"

"Gunbladeku ketinggalan entah di mana. Papa gak bisa bertarung tanpa benda itu…"

"Atuh lah…" Bahuku serasa jatuh mendengarnya.






Part 9
-=Team Match=-

Aku sama sekali tak menyangka akan megahnya arena pertarungan. Tribun penonton memanjang mengelilingi, menyusun mendaki hingga puluhan meter menjulang tinggi. Tempat ini tak jauh berbeda dengan stadion sepak bola.

"Hadirin sekalian, mari kita mulai pertandingan ke dua. Dari sudut kanan…" ucap seorang pembaca acara—kalau tak salah namanya Saiko-chan—mengarahkan jari telunjuknya padaku, "Seorang penembak jitu, kelahiran planet Bumi… anak dari Presiden Republik Indonesia… Sanelia… Nur FIANIII~!"

Lengan pembawa acara itu terangkat tinggi, meminta sorak keramaian dari penonton. Riuhnya semangat terdengar membahana sedetik kemudian. Mereka tak benar-benar mengenalku. Orang-orang itu hanyalah menginginkan pertumpahan darah.

"Dari sudut kiri, perkenalkan…" Perempuan itu kemudian menunjuk pada sudut terjauh di ujung sana, "Seorang gadis manis berusia empat belas tahun. Memiliki kemampuan menggigit yang tak bisa diremehkan. Ditemani sesosok jelmaan singa berwujud manusia… SAMBUTLAH...! MARIA FELLA..!"

"Hai semua, dukung aku ya~," ucap gadis itu centil. Ia mengedipkan matanya ke arah kamera. Wajah imutnya ditampilkan secara langsung lewat layar hologram raksasa di langit-langit arena. Rambutnya berwarna jingga, meliuk-liuk indah kala tubuhnya berputar melakukan pose menawan.

Gemuruh suara semakin terdengar memekakkan telinga. Jauh lebih liar dari sambutan mereka padaku. Kurasa kebanyakan penonton di sini adalah seorang lolicon.

"Hey, tadi aku gak dikenalin!" Leon disampingku berseru memprotes.

Kuperiksa senapan runduk di lenganku. Bentuknya begitu mirip dengan senapan kesayanganku. Dunia digital ini terasa serba instan. Gauss Rifle yang hilang entah di mana, dengan mudahnya mereka rekonstruksi.

"Seperti pertandingan Kazuki melawan Vii di ronde sebelumnya, sistem arena akan menciptakan berbagai macam detail selayaknya di dunia sungguhan. Fitur pertarungan kali ini adalah…" Saiko-chan memberikan jeda sebelum mengumumkan, "Kota hancur di medan peperangan."

Kutatap dataran tempatku bertarung nanti, luasnya sekitar empat ratus meter persegi. Dua kali lipat lapangan sepak bola. Berbagai macam hologram terbentuk dari pendaran garis tipis. Selanjutnya, ukiran-ukiran cahaya itu termaterialisasi ke dalam bentuk solid, menciptakan berbagai macam gedung hancur, lengkap dengan detail macam kerikil dan serpihan batu.

"Selamat bertarung," ucap Saiko-chan seraya mengedipkan mata.

"Papa, aku takut…" ucapku lirih.

"Tenang nak, papa akan melindungimu… apapun yang terjadi papa akan…" Ucapannya terhenti.

Seekor harimau menyambar tubuh kecilnya, membawa boneka itu di cengkraman mulutnya. Melompat menaiki reruntuhan, lalu berlari menjauh mendekati Maria di kejauhan.

"Gyaaaa~..!!!" Boneka beruang itu menjerit panik, "Turunin gue bangsaat!" Tak hentinya ia mengumpat. Ia tak bisa berbuat apapun selain diombang ambing tak berdaya.

"Pa-papa…" aku terkesima. Maria akan menang, sedetik setelah papa dikalahkan. Apa secepat ini pertarungan akan berakhir?

Maria berdiri berkacak pinggang. Aku harus menengadahkan kepala karena posisinya ada di atas sebuah bangunan. Kulihat mulut manisnya mengukir senyum tak simetris, seakan mengumumkan kemenangan.

"Heh, hewan peliharaanmu ada di genggaman tanganku. Menyerahlah, sebelum aku…" Gadis itu memandangi sejenak kedatangan Harimau peliharaannya. Matanya menatap lekat wujud boneka beruang dari ayahku. Ekspresinya berubah membeku, terperangah seakan tersihir atas sesuatu. Lengannya terangkat hendak meraih Leon, seraya berucap pelan nyaris tak terdengar, "Lucunya… boneka ini bisa bergerak." Suaranya semakin meninggi, "Kyaaaa…!!"

Gadis berambut orange itu memeluk Leon erat. Wajahnya terlihat begitu gemas.

"He—hentikan bocah!" Leon berusaha memberontak.

"Kyaaa…! Bonekanya bisa bicaraaa~!" Gadis itu memeluk semakin erat. Sempat kulihat lengan dan kaki Leon terjulur kejang. Andai boneka itu bisa bernapas, tentu ia akan mati sesak.

Aku tak tahan melihatnya. Ayahku bukanlah boneka mainan yang bisa dipeluk siapapun seenaknya. Rasa cemburu memenuhi sanubari, sontak saja kuarahkan ujung senjata ini. Bidikanku tepat tertuju pada beton tak jauh darinya.

Ledakan hebat tercipta kala projektil senapan menghantam beton di samping Maria. Serpihan itu mengenai tubuhnya hingga mengaduh kesakitan.

"Aduh, gak sopan ya. Menyerang tiba-tiba kayak pengecut. Dasar kimo kamu!"

Maksudnya?

"Lepaskan Aya… maksudku Leon." Dia tak boleh tahu bahwa boneka itu ayahku, "Yang tadi itu peringatan. Selanjutnya aku tak berniat untuk mengampunimu." Lenganku begitu siaga menahan beratnya ujung senapan. Pisir dan pijera dalam pembidik sudah selaras mengunci bagian kepalanya.

"Gak mau," ucapnya keras kepala.

"Lepaskan aku bocah…" Leon berucap dengan suara serius. Aku bisa merasakan suara kemarahan dalam ucapanya.

Maria masih saja memeluknya, "Boneka imut, jadi temanku ya…"

"Gak mau, bocah berdada rata sepertimu bukanlah seleraku." Leon berucap dingin, sementara lengannya bergerak bebas menggerayangi dada bocah itu. Tentu saja, lengannya tak menemukan tonjolan besar seperti yang ia harapkan.

"Eh… Eeeeeeeh!?" Maria berubah gelagapan, secara refleks ia banting boneka itu hingga terjun dari ketinggian. Gadis itu panik seraya melindungi payudara setengah matang miliknya.

"Kwek." Boneka itu terempas keras, namun bangkit sedetik kemudian.

Pertarungan kali ini tak menggunakan sistem healthbar. Fisik boneka yang terbuat dari kapas sepertinya tahan terhadap segala jenis benturan. Papa akan baik-baik saja, asalkan tidak ada benda tajam menyayat tubuhnya.

"Aaaahh… maafkan aku boneka-kun." Maria malah menyesali tindakannya. Ia memerintahkan harimau peliharaannya untuk mengambil kembali boneka di bawah.

Aku tentu saja tak membiarkan itu. Leon berlari menuju arahku, sementara aku mengayunkan langkah memperpendek jarak.

Kemunculan harimau peliharaan Maria benar-benar mengagetkanku. Meloncat dari ketinggian, lalu memposisikan diri di antara aku dan Leon.

Wujud peliharaan itu tak benar-benar seekor harimau. Lebih mirip bocah kecil mengenakan kostum kucing besar. Baju di tubuhnya berwarna loreng, lengan dan kakinya berbalut cakar, tak lupa topi di kepalanya menyiratkan kepala harimau. Lalu ekornya… aku tentu saja terkesiap menatap ekor itu. Apa dia juga mengenakan 'ButtPlug' sepertiku?

Tampaknya ekor itu ekor asli, berfungsi untuk menjaga keseimbangan. Tubuhnya melesat lincah dengan lengan dan kaki menapaki bebatuan, mirip dengan gerakan harimau sungguhan.






Part 10
-=Wild Tiger=-
 

"Graaawrrrr~…!!" Harimau itu meraung, walau suaranya terdengar lucu karena masih suara seorang manusia. Suara anak kecil lebih tepatnya. Ukurannya tak terlalu besar, aku mungkin bisa mengangkatnya andai dia bersikap jinak.

"Marcy, gigit dia," ucap Maria memberikan perintah.

Harimau itu bergerak maju untuk menerkamku, tak mengacuhkan Leon yang masih berlari di belakangnya. Kecepatan geraknya tak sebanding dengan kegesitan tubuhku. Butuh waktu dua detik baginya untuk melompat tinggi, lalu menubruk bahuku. Cakarnya yang tajam menancap tepat menembus kulitku. Bobotnya ternyata berat, cukup untuk membuatku terkapar, ditindih olehnya.

"Aaaahnnn…"

"Hoey, hentikan bangsat!" Leon berlari dalam wujud boneka, meloncat tinggi hingga mendarat tepat di leher harimau itu.

"Graaawrrrr~"  Telapak tangan berbentuk cakar kucing menyulitkan harimau itu untuk melepaskan diri. Leon menggantung erat di bagian leher, berusaha melepaskan terkamannya padaku.

Lepas dari tindihannya, kugulingkan saja badanku ke arah samping, seraya meraih senapan lalu melepaskan sebuah tembakan.

Tentu saja, tembakan panik dalam jeda singkat itu menurunkan tingkat akurasi bidikan. Niatku untuk melukai tubuhnya, malah meleset menyerempet bagian lengan kiri.

Gadis itu meringis kesakitan.

Melihat majikannya terluka, harimau tadi berubah panik. Lengannya berhasil menggapai Leon lewat cakar tajam, lalu melempar boneka itu ke sembarang arah. Langkahnya terayun beranjak pergi, menghampiri Maria yang terkapar.

Aku menjerit panik. Kudapati boneka itu robek di bagian punggung kanannya. Kapas putih berhamburan dari sana.

"Aiih, tubuh ini gampang banget rusak ya." Leon berkomentar santai, seolah tak merasakan apapun.

Kutarik boneka itu, lalu berlindung dari balik sebuah reruntuhan. Punggungku menyandar pada sebuah beton, sementara lenganku mendekap Leon. Aku tak bisa terus membiarkan ini, "Papa, kita harus mengatur strategi."

"Persetan dengan strategi. Taktik pertarungan itu hanya satu, yakni menyerang."

Kutundukkan wajahku, seraya mengusap bagian kepalanya. Aku menanggapinya dengan sedikit senyuman, "Itu aku juga tahu."

Suasana terasa hening. Riuhnya penonton di luar sana tak terdengar sama sekali. Mungkin terdapat semacam lapiran isolir untuk menghentikan kebisingan dari luar, agar tiap petarung bisa fokus pada tujuan masing-masing.

Tembakanku tadi seolah menyepakati akan tindak gencatan senjata. Maria tak lagi menyerang. Dia malah bersembunyi bersama hewan peliharaannya. Arena berisikan beton serta bangunan hancur tak berpihak padaku, banyak celah sempit di sini. Dia bisa menyerangku dari mana saja tanpa kuketahui. Dan aku tentu saja tak bisa menembaknya dengan bebas.

Telingaku kemudian menangkap suara gedebuk bersahutan, rasanya seperti suara langkah, terdengar semakin mendekat. Aku menjulurkan leherku untuk mengintip keluar. Kulihat Maria tengah menunggangi harimau peliharaannya selayaknya kuda. Lengan kirinya terjulur memegangi pisau, sementara lengan kanan merangkul erat leher tunggangan.

 "Persetan dengan taktik, aku akan membunuhmu wahai beruang mesum!" ucapnya diliputi kekesalan.

Aku merasa déjà vu.

"Hey, itu strategiku," ucap Leon tak mau kalah.

Ya ampun… Kutatap sosok gadis kecil itu, "Maria, kau sadar kan kalau aku itu bisa menembak dari kejauhan?" ucapku lirih. Kubidik saja kaki harimau itu. Sebuah tembakan melecut hingga melukai tungkai kaki bagian depan. Gerakannya hilang keseimbangan, lalu jatuh berguling-guling, hingga mendarat tepat di hadapan.

Maria tergeletak menghadap langit. Matanya berkaca-kaca seraya menatapku dengan sejuta kekesalan. Dia terlalu imut. Seperti malaikat kecil tanpa dosa. Aku tak sanggup jika harus membunuhnya walau semua ini hanyalah permainan.

"Jangan mainan pisau, bahaya." Kuambil pisau di lengannya, walau tentu saja gadis itu akan melawan. Kutarik bagian ujung yang tak tajam, sementara ia menarik lewat gagangnya.

"Lepas..kan… Eeeeeiiii…!!"

Dia benar-benar anak kecil. Aku bisa mengimbanginya walau hanya menggunakan tangan kiri.

"Eeeeeiiiii…!"

"Nely, awas, harimaunya bangkit lagi." Leon di sampingku berusaha memperingatkan.

Perhatianku tentu saja teralihkan. Kulihat sosok peliharaan Maria itu merangkak tertatih-tatih dengan kaki berlumuran darah.

Maria di hadapanku berubah raut wajahnya. Senyum sinis terukir di sana, aku tersentak kala terlambat menyadari rencana sesungguhnya. Gadis itu tak lagi menarik gagang pisau, melainkan mendorong keras dibantukan tarikanku sendiri. Dia mengarahkan ujung tajamnya pada perutku, hingga bilah dingin itu menancap tepat sedalam sepuluh senti.

"Ah…" Aku memandangi darah yang bercucuran.

"Nely…!" Leon berubah panik. Ia bergegas menghampiri. Lengan kecilnya mengambil batu kerikil, lalu dilemparkan pada Maria berusaha untuk mengusir.

Kutatap benda itu, lalu kucabut perlahan dari sana. Tak ada rasa sakit, hanya sensasi seperti sedang dicubit.

"Heh, aku sudah melumuri pisauku dengan zat anti koagulan. Lukamu tak akan menutup, kak kucing…"

Benar sekali. Luka ini begitu aneh, darah yang mengucur turun begitu deras selayaknya air terjun, berdenyut-denyut seiring dengan kerasnya detak jantung. Butuh waktu agak lama, sebelum akhirnya rasa sakit datang mendera.

Tubuhku ambruk, aku kehilangan tenaga. Darah yang keluar terlalu banyak. Segera saja kurobek kemeja ini, lalu melakukan proses bebat dengan sisa tenaga. Leon membantuku mengencangkan simpul ikatan, setidaknya darah yang keluar harus bisa dihentikan. Aku tak peduli walau penampilanku sekarang tak ubahnya dengan seorang model berbikini.

"Mohon maaf, lengan boneka ini tidak bisa berbuat banyak."

Sensasi yang kurasakan amat bercampur aduk. Vibrator di mulut rahimku masih bergetar hingga detik ini. Aku tak bisa melepasnya. Absennya benda itu justru bisa membuatku tersiksa. Pikiranku memang nyaris gila. Aku jatuh terlalu dalam dalam candu aktivitas seksual. Aku merasa sangat berdosa.

Kemampuan penyembuhku bergerak lamban, tapi setidaknya cukup untuk menghentikan pendarahan. Zat anti koagulan yang ia gadang-gadangkan nyatanya tak berpengaruh banyak padaku.

Pun begitu, Maria Fella, gadis dengan rambut berwarna jingga, tersenyum penuh kemenangan seraya berkacak pinggang, "Kakak sepertinya kebal ya, kakak ini immortal? Itu berarti aku harus membunuh boneka tengik itu."

Harimau peliharaannya muncul dengan kaki terluka. Maria tanpa ragu memerintahkan makhluk itu untuk menerkam Leon.

Sang boneka beruang tanpa disangka mampu bergerak lincah. Tubuh kecilnya melompat ke belakang berusaha berkelit.

"Papa, lari!" seruku panik. Aku tak ingin melihatnya mati tercabik-cabik.

"Kakak hebat ya, masih mengkhawatirkan orang lain. Sementara dirinya di ambang kematian. Aku tak segan untuk membunuh kakak loh~," tukas Maria.

Kukumpulkan tenaga yang tersisa, lalu bangkit seraya menahan sakit di bagian perut. Aku kehilangan banyak darah. Wajahku kini mungkin terlihat pucat.

Leon berhasil melarikan diri, memasuki celah sempit yang tak bisa dimasuki harimau tadi. Mereka berdua memulai aktivitas kejar mengejar, sementara aku berhadapan dengan Maria.

Kutodongkan senapanku, walau kami hanya terpaut jarak tiga meter.

Maria Fella, gadis itu ternyata gesit dalam gerakan bela dirinya. Ia melesat maju, seraya memutar tubuh berlawanan arah jarum jam, seraya mengayunkan tungkai kakinya.

Senapanku yang terarah ditendangnya dengan keras. Bidikanku tentu saja berubah jauh dari yang seharusnya. Posisi lenganku terayun terbuka, tanpa sedikitpun pertahanan.

Kepalan tangan kanan dia bergerak cepat bertumpu pada putaran. Aku terkesiap kala merasakan nyeri di bagian samping kepalaku. Gadis itu memukul tepat di telinga, melumpuhkan sistem keseimbangan, hingga akhirnya tubuhku jatuh tergeletak di tanah.

Gerakan tadi berlangsung begitu cepat, kurang dari satu detik aku sudah terkapar nyaris tak sadarkan diri. Berulangkali kukerjapkan mata, berusaha untuk mengumpulkan kendali. Pandanganku terasa berkunang-kunang, telingaku berdengung sebelah. Tak sanggup aku mendengar teriakan Leon di kejauhan.

Maria menindih tubuhku yang masih tak berdaya, tanpa ragu ia menempatkan wajahnya di tenggorokanku. Sepasang taring menempel di kulit, lalu menusuk cukup dalam hingga mengoyak jalur nadi. Posisiku tak ubahnya seperti lembu yang sedang dimangsa singa.

Mataku terbelalak hebat. Kedua sisi leherku seakan bocor menumpahkan darah. Kudorong saja gadis itu, sementara lenganku yang lain bergerak panik berusaha menutupi luka.

Ia terlihat meringis memegangi mulut, tepat di lokasi keringatku menempel di wajahnya. Aku tak paham apa kenapa.

Fokusku kali ini teralihkan pada darah yang mengucur tak terhentikan. Tubuhku terasa lengket oleh cairan kental berwarna merah. Untuk bicarapun aku susah, taringnya tadi merusuk tepat di bagian tenggorokan.

Tubuhku terasa menggigil. Rasa dingin ini bahkan mengalahkan perih akibat berbagai sayatan yang tengah dilakukan Maria. Gadis itu terbahak-bahak seraya menggoreskan pisau bedahnya di tiap permukaan tubuhku. Lengan, dada, hingga kedua pahaku terbelah mengeluarkan darah.

Wajahku tergeletak ke arah kanan, aku hendak kehilangan kesadaran.

Leon berteriak histeris menyaksikan kondisiku. Ia berlari menghampiri, tak memedulikan harimau yang menerkam di belakangnya. Taring tajam hewan buas begitu mudah mengoyak bagian punggungnya. Namun boneka itu seakan tak peduli, ia mengarahkan lengannya padaku, berusaha menggapaiku.

Ingin sekali aku meraih boneka itu. Lenganku terangkat namun tertahan oleh sesuatu. Seketika itu aku sadar, lenganku masih memegang popor senapan penembak jitu. Ujungnya terarah tepat menuju posisi harimau itu.

Sekuat tenaga kuangkat benda itu. Lenganku bergetar hebat hingga ujungnya bergerak tak beraturan.

"Kumohon, kenalah…"

Kutekan pelatuk itu, demi mengirimkan lecutan peluru melampaui cepatnya rambatan suara.

Harimau itu terhentikan gerakannya, ambruk dengan kepala berlumuran darah. Otaknya hancur dihantam oleh logam.

Maria berubah histeris. Kakinya melangkah mundur seraya ia menatap tak percaya.

Gemuruh keramaian mulai terdengar. Selubung tak kasat mata utuk menghalangi gelombang suara kini menghilang, bersamaan dengan kemunculan Saiko-chan menaiki wahana berupa piringan terbang.

"Yak, pertarungan kali ini dimenangkan oleh kubu Sanelia!"

Berbagai macam beton hingga bangunan hancur terlihat memudar, berubah menjadi garis kecil hingga menghilang seutuhnya. Kini arena luas itu tergantikan dengan hamparan rumput hijau layaknya lapangan sepakbola.

Segala penderitaan yang kurasakan menghilang secara perlahan. Seluruh luka sembuh berkat cepatnya proses regenerasi. Hewanurma di kejauhan menganggukan kepala seraya melayangkan senyum singkat. Kini ia bisa melakukan rencananya. Yakni mengembalikan kesadaran Maria Fella ke dunia asli, sementara sistem buatannya mengambil kembali jiwa Umii yang bersemayam di gadis itu.

Boneka beruang imut terlihat berjalan mendekatiku, segera saja kudekap dirinya dengan perasaan penuh haru. Baru kali ini aku bisa menikmati jalannya sebuah pertarungan tanpa sedikitpun beban di hatiku.

Saiko-chan memersilakanku untuk menaiki piring terbang yang sedang mendarat. Di sana, ia menyodorkan mic untuk mewawancaraiku.



"Hey Nely… kau belum melupakanku kan?"

Aku tersentak, suara Dimas pamungkas terdengar langsung di dalam kepalaku. Wajahku sontak saja memandangi ke sekeliling, berusaha mencari keberadaanya di antara ribuan penonton memadati tribun.

"In the name of Two From Three command spell... I command you…"

Kengerian tersirat jelas di wajahku. Kalung di leher ini mendadak aktif. Rantainya terangkat seolah ditarik dari kejauhan, terlihat aneh karena ujungnya berubah transparan.

Leon menyaksikan perubahan ekspresiku, "Nely… apa yang…"

"… to pleasure yourself…"

Tidak— tidak di depan orang-orang ini. Jangan di depan ayahku… kumohon!

Lenganku bergerak dengan sendirinya, terlihat bergetar kala aku memberikan perlawanan pada perintah mutlak itu.

Ekspresi Saiko-chan berubah aneh, rasa jijik tersirat jelas di wajah penonton lainnya. Mereka semua terperangah, kala tubuhku jatuh merebah. Dua paha ini terbuka lebar, menunjukan celana dalam yang tersinkap ke samping. Lenganku bergerak liar naik turun, menggosok-gosok kemaluanku yang terjulur keluar.

"Jangan… Hentikan… Seseorang tolong aku."

Ucapanku terdengar kontras dengan perbuatanku. Tubuhku mengenjang kala kurasakan tiap gesekan itu lebih kuat dari impuls biasanya. Zat Aphrodisiac kembali melakukan tugasnya, getaran dari vibrator di organ intimku semakin liar dalam berbagai gerakan. Bagaimanapun juga, benda itu adalah hasil modifikasi dari cacing bantet penyuka kemaluan.

"Nely… kau…" Leon terperangah kehilangan kata-kata.

Papa, ampuni aku. Ini semua bukan kehendakku. Tubuhku bergerak sendiri. Air mataku meluncur sebagai pembuktian. Akan tetapi boneka itu seolah tak mengerti. Ekspresi kosong di wajahnya terasa bagaikan sejuta rasa kekecewaan. Terlebih ketika ia menyaksikan tonjolan kecil dari klitorisku, vibrator tadi mencuat setengah badan menuju keluar.

"Dimas Pamungkas!" Hewanurma berteriak lantang. Ia berusaha memberitahu semua orang akan pelaku sesungguhnya.

Tapi terlambat, berbagai cemooh mulai terdengar. Bisik-bisik hinaan mulai menggantikan berbagai macam kekisruhan.

"Papa… tolong aku…"

"Seseorang melakukan ini padamu?" Boneka itu mulai paham akan hal sesungguhnya. Pandangannya kemudian terarah pada Hewanurma di bawah sana. Pria berjanggut putih itu memberikan kode singkat akan keberadaan rantai pengikat di leherku.

Hewanurma melakukan koneksi langsung menuju sistem komunikasiku. Tampilan wajahnya, lengkap dengan suara pria itu muncul di pikiranku. "Nely aku tak sanggup memutuskan ikatan master – servant dari Dimas Pamungkas. Rangkaian kode itu adalah virus emulator palsu, segalanya terkunci sempurna bersamaan dengan gelang yang kuberikan padamu."

Penjelasan itu tak menolong banyak. Aku hanya ingin proses memalukan ini dihentikan sekarang juga. Tiap detik yang terlewati merupakan sebuah siksaan, orang-orang bisa menyaksikan tayangan tak senonoh ini.

"Sebagai gantinya, aku melepaskan sistem pengaman di server ini, khusus untuk ayahmu seorang. Dia pasti bisa melakukan sesuatu."

Pandanganku lalu teralihkan pada Leon, "Papa…" Dua lenganku menyibukkan diri menggerayangi payudara serta belahan kemaluan. Jadi satu-satunya komunikasi yang bisa kulakukan adalah lewat pergerakan mata.

Kutatap rantai di leherku yang menegang. Benda itu ditarik menuju salah satu tribun penonton dalam ikatan tak kasat mata.

"Di sana pelakunya?"

Tubuhku ada di luar kendali, sebuah anggukan kecil saja sulit untuk dilakukan. Suara lenguhan senantiasa tercipta. Tapi pada dasarnya ia mengerti.

"Bajingan…" Suara Leon berubah parau. Sekujur tubuhnya kini berbalut cahaya. Siluet boneka itu tergantikan dengan sosok tegap berwajah tampan.

Jubah berwarna krem tergerai diembus angin, bersamaan dengan pecahnya jutaan Kristal kecil sisa transformasi. Pria berambut cokelat memasang wajah serius dengan gunblade terhunus. Tubuhnya berubah menjadi sosok asli, mungkin itu maksud ucapan Hewanurma tadi.

Aku begitu bahagia, kembali menyaksikan sosok gagah itu membuatku gegap gempita.

"Rantai itu yang mengendalikanmu?"

Aku berusaha memberikan anggukan kecil.

Tanpa banyak membuang waktu ia ayunkan gunblade di tangannya. Bilah logam berwarna perak begitu mudah memutus ikatan rantai. Tubuhku kini tergeletak lemas tak berdaya.

Command Spell itu berhasil dihentikan.

Leon melepaskan jubah yang ia pakai, lalu menutupi tubuhku dengan gerakan lembut, "Tunggu nak, aku akan membalas si brengsek yang sudah menodaimu."

Pria itu menatap tajam salah satu rangkaian tribun penonton. Pandangannya bisa dengan mudah menemukan sang pelaku. Dimas Pamungkas terlihat menyilangkan lengannya seraya tersenyum sinis.


Part 11
-=Father's Rage=-


Nely kini tak sadarkan diri. Gadis itu begitu kelelahan setelah disiksa oleh berbagai macam penderitaan.

Aura berwarna emas terlihat menyelimuti tubuh sang raja Exiastgardsun. Rambut beserta pakaiannya tergerai, kala energi Manna di tubuhnya terpancar deras menciptakan pusaran angin.

"Rushtio…" Rapalan sihir tipe katalis ia ucapkan. Kini kelincahan gerakannya meningkat nyaris dua kali lipat. Tubuhnya kemudian hilang begitu saja, melesat cepat untuk menerjang. Pria itu melontarkan diri tepat  menuju Dimas berdiri. Lintasan tubuhnya menabrak tepat menuju lapisan pelindung yang menghalangi arena dan tempat penonton. Barrier itu pun pecah berserakan.

Gedebum suara ledakan terdengar begitu nyaring. Tribun kursi para penonton tertekuk hingga ke dalam, para warga yang tak beruntung ikut terkena letupan, tubuh mereka pecah berhamburan, berubah menjadi serpihan digital.

Di bagian pusatnya, terdapat dua orang saling menyilangkan pedang. Dimas menahan ayunan Gunblade dengan bilah tajam miliknya. Gerakan mereka tertahan satu sama lain.

Leon menekan pelatuk gunblade miliknya. Semburan manna meletup pada bilah tajam, menciptakan desakan energi, memperkuat ayunan.

Dimas harus menyerah dalam sesi adu tenaga, ia membiarkan pedang Leon melecit nyaris menenai lengannya. Pria berjaket hitam itu memutar tubuhnya, mengambil momentum untuk serangan balasan.

Akan tetapi Leon sudah paham apa gerakan lawannya. Ia sontak menarik pedang miliknya, seraya menekan pelatuk untuk menciptakan daya tolak balik dari ayunan sebelumnya. Sekuat tenaga ia hantam logam tajam milik Dimas.

Benturan itu begitu kuat, hingga lengan Dimas bergetar hebat. Ia tak kuasa menahan daya kejutnya, hingga gagang pedang itu terlepas dari genggaman.

Otot leon mengembung begitu keras, memaksa lengannya untuk menarik balik gunblade hingga terposisikan di sebelah kiri pinggangnya. Ia hendak melanjutkan kombo serangan.

Kakinya mengentak begitu keras, melempar tubuhnya maju dalam satu lontaran. Gerakannya begitu mendadak, seolah tak terikat hukum gravitasi, tak terpengaruh gaya sentrifungal.

Sebuah sabetan horizontal telak bersarang di perut Dimas. Ia meringis seraya memegangi sebelah tubuhnya yang musnah terkoyak. Organ dalam berupa usus, serta tulang punggung terekspos jelas pada udara luar. Pria itu sontak bertekuk lutut dengan mata terbuka lebar.

"Uaaagh…"

Leon berdiri dengan posisi pedang masih tertahan di udara. Ia sama sekali tak membalikan badan, sadar bahwa serangan tadi begitu telak mengenai lawannya. Pria itu membisu, berusaha menenangkan diri setelah dilanda amarah luar biasa.

Pertarungan tadi terjadi begitu cepat. Para peserta turnamen yang hendak membantu urung melaksanakan niat masing-masing. Netori sang pimpinan acara memerintahkan semua orang untuk menahan diri.

Dimas terbatuk mengeluarkan darah. Matanya setengah terkatup berusaha menjaga kesadaran diri, "Hebat sekali… kau memang pantas menyandang gelar seorang raja."

Perlahan Leon membalikkan tubuhnya, menatap sang lawan yang tahu akan jati diri dia yang sesungguhnya. Jangan-jangan dia mengenal pria itu ketika masih hidup.

Lengan Dimas terangkat tinggi, lalu bergerak cepat seakan mengusap dinding tak terlihat. Tubuh pria itu lantas menghilang dalam balutan cahaya terang.

"Sampai jumpa lagi, King of Exiastgardsun…"

Leon sontak mendecakkan lidah, "Kurang ajar… dia melarikan diri."

Pandangan pria itu kemudian bertautan dengan Netori. Wajahnya mengangguk pelan, meyakinkan semua orang bahwa kehebohan itu kini sudah di bawah kendali.


***


Epilogue
-=My Lord=-

Dua jam berlalu, suasana kembali kondusif hingga akhirnya turnamen dilanjutkan kembali. Netori beserta panitia lain berusaha mengejar keberadaan Dimas Pamungkas.

Di sebuah ruangan kecil, tak jauh dari ruang ganti pria…

Sosok berjanggut putih bernama Hewanurma, tengah bertekuk lutut memberi penghormatan pada pria di hadapannya, "Maafkan hamba di waktu terakhir kali kita bertemu."

Leon menyilangkan lengan seraya berpikir, "Waktu itu kau ada dalam kendali Tamon Ruu. Aku juga tak pernah menduga bahwa sejatinya kau itu adalah Heru, ilmuwanku yang terkenal dulu. Mana Umii?"

"Sedang dalam proses menuju ke sini, kehadirannya terkendala karena hal teknis."

Hewanurma kemudian menceritakan segalanya. Dimulai dari sistem turnamen, hingga pemahaman akan dunia digital tempatnya bernaung. Tak ada seorangpun yang benar-benar mati di sini, mereka semua akan dikembalikan ke dunia sendiri ketika tersisihkan.

"Apa saya harus membantu anak Anda untuk mencapai final?"

Leon menggelengkan kepalanya, "Tak perlu, biarkan dia berusaha dengan kemampuannya sendiri. Dan jangan beritahu dia bahwa kau mengenalku."

"Baik yang mulia…"

"Lalu bagaimana dengan Tamon Ruu? Aku tak bisa percaya bahwa dia adalah Fia istriku."

Hewanurma berpikir sejenak, "Kesadaran Tamon Ruu saat ini terjebak dalam tubuh Sanelia. Tapi itu bukan masalah besar, karena dalam rentang waktu dua belas jam, dia akan kembali."

Batin Leon terasa campur aduk tiap kali Fia merasuki pikirannya. Ingin sekali rasanya ikut campur dalam turnamen ini, sekedar untuk menguak misteri tentang istrinya. "Sayangnya waktuku di sini sudah habis. Ursario tak memberiku waktu lama untuk pergi melanglangbuana."

Leon harus bersabar untuk kesempatan di lain waktu, "Aku ada tugas lain yang lebih penting. Lagipula, yang kuinginkan sudah terkabulkan…"

Hewanurma dibuat penasaran.

Leon melanjutkan ucapannya dengan sebuah senyuman, "Aku hanya ingin meyakinkan anakku baik-baik saja. Pastikan dia tetap begitu."

"Yes, my lord…"

24 comments:

  1. Aaaaaa.... lupa naro warning berisikan MATURE CONTENT.

    Mimin yang lagi onlen, kalo boleh minta tolong dong editin dikit di bagian atasnya, ditambahin warning simpel aja, "CERITA INI BERISIKAN BOKEP"

    ReplyDelete
  2. wwww... saya ngiri sama DP #plak
    hmmm, kalo boleh jujur saya bukan penggemar yg bawa2 OC di luar bor gini sih, tp saya masih bisa toleran aja, melihat plot yg dibuat dengan menghubung2kan OC panitia dan lain sebagainya, menjadi sebuah cerita.
    Well, battlenya sendiri bisa dibilang pendek, saya sendiri ga bisa mikirin sih gmn caranya bikin battle yg panjang, tapi ngeliat 15k kata yg diberikan ke saya, porsinya sangat sedikit. Di awal banyak penjelasaan yg cukup menarik soal konsep dunia di BoR V versi Sanelia. Well, kind of unexpected and unique, karena saya sendiri baru baca yg kayak gini. Mungkin yang sebelum2nya juga sudah ada, maybe? Tapi yang jelas saya baru baca di sini aja.

    Anyway, penulisannya cukup rapi(ya, emang ada typo tp ga terlalu masalah jg sih, editable) dan bisa dinikmati, well, konten dewasa sih, jadi saya ga akan bilang dengan yakin semua orang bakal baca. Mungkin saya ngerasa sedikit kurang di bagian battle dan deskripsi saat battlenya, entah saya kurang cermat atau saya ngerasa ngambang--tak tahu bagaimana latar sekitar ketika battle.

    Yah, mungkin segitu dulu aja yg kepikiran. Voting saya tahan dulu nunggu entry Maria Otona--ehm, maksud saya Maria Fellas muncul.

    Skor: serat--plak!

    OC: Vi Talitha

    ReplyDelete
    Replies
    1. oiya, fertamax gans~ :>

      Delete
    2. DP di sini jadi lucky bastard~

      Iyah, battle lawan Maria Otona--- maksudnya, Maria Fella emang lumayan singkat, takut kepanjangan dengan plot yang udah jelas-jelas dragging.

      Konsep dimensi dua, tiga, empatnya dapet referensi dari luar, tapi lupa lagi sumbernya di mana :p

      Noted, berarti saya kurang menggarap narasi tentang background ya.

      Yep, nunggu Maria Otona--- euh... Maria Fella dulu~

      Delete
  3. anjir..ni entri yang sukses bikin ane ngaceng selama membaca. tapi entah kenapa rasanya bosen banget ngikutin event-event yang terjadi di luar pertandingan but point tentang misteri server cukup menggelitik... Nely boleh jadi haremnya Nobu gak?

    vote : Sanelia

    Oc : Nobuhisa

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wakakakakak, selamat ya buat boner-nya~

      Iyah, banyak kok yang ngomentarin entry ini dragging, sampe 15k pula.. :'D

      Nely udah jadi harem siapa aja, kalo lolos R4 bakalan ada stensilan lain kok, tenang aja~ #Plak

      Oyeeee, makasih buat vote-nya~
      :D

      Delete
  4. What the hell? Ini kenapa hidangan pembukanya lebih banyak dari hidangan utamanya, lebih nampol pula... jadi berasa battle BoR-nya hanya selingan saja.

    Pertama, saya agak greget mau komen soal dimensi keempatmu. Dimensi keempat adalah internet jagad raya? Bukankah sudah resmi kalau dimensi keempat (fourth dimension) itu adalah waktu? (Line, 2D plane, Space, and Time).

    Kalau soal penulisan sih rasanya gak perlu komentar, udah cukup rapi, battle-nya juga jelas.

    Vote nanti, saya belum baca lawannya.

    Zoelkarnaen
    (OC: Caitlin Alsace)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Dimensi kelima adalah Data :p

      Delete
    2. dimensi keempat itu donat

      Delete
    3. This comment has been removed by the author.

      Delete
    4. Dimensi tertinggi adalah Core Level Hae Difinisien :p

      Delete
    5. Fourth dimension happens when you watch 2 Girls 1 Cup in 3D... the immersion level is gonna bring forth another dimension for you, the fourth D...

      Delete
    6. Anyway...

      VOTE: SANELIA

      I'm so sorry, Fellas~
      (it's a good pun, I can't help it)

      Delete
    7. kata dosen saya sih gitu :>
      titik diputer jadi lingkaran, lingkaran diputer jadi bola, bola diputer jadi donat....
      tapi somehow saya ngerasa bola diputer jadi wormhole :>

      Delete
    8. Jangan dengerin dosen situ, atau di dunia ini para pemain bola bakalan mulai nendangin donat buat cari nafkah...

      Delete
    9. Dude, DO NOT, I REPEAT, DO NOT ever go full donuts...

      Cat says hi, by the way.

      Delete
    10. Wkwkwkwk, akhirnya ada yang sadar soal ke'absurd'an konsep internet jagat raya.

      Yep, dimensi satu itu titik, dimensi ke dua satu bidang panjang dan lebar, dimensi tiga panjang, lebar, tinggi, dimensi ke empat panjang, lebar, tinggi, dan waktu. Yep saya pernah baca.

      Ini yang coba disampaikan di R3 ini cuma bid'ah aja, teori ngasal dari author, wkwkwkwk.

      Saya terlalu bernapsu membangun canon sampe cerita BoR kerasa kayak selingan..
      ._.

      btw, makasih buat vote-nya om Zoel~
      :D

      Delete
  5. Terjebak di dalam ruang penuh cacing...
    Nely diperlakukan semena-mena...
    Setelah selesai si Nely menjadi Mage...
    Sekarang kita punya karakter yang mempunyai kekuatan dari Matou! Tinggal menunggu kedatangan sang Hero bertangan implan, maka akan lengkap Rute Heaven's Feel!

    Ahem.... meski H-Scene hanya sebagai sidedish, tapi bagi saya rasanya cukup mengganggu saat ditempatkan berjejer dengan penjabaran dunia dan konklusi battlenya, But well... the story’s dark enough, so it’s fine!

    Battle tidak terlalu signifikan jika dibandingkan dengan kekelaman cerita dan H-Scenenya.

    Awalnya saya kira H-Scene, bisa diskip sampai part ke 7 dimana “ekor” Sanelia sudah dicabut dan mulai memasuki battle. Kejadian di akhir battle itu sangat mengejutkan... dan...

    Vote : Nelly.
    Overall, cerita Sanelia lebih menarik daripada Maria yang sudah kepepet deadline, jadi saya memvote Nelly!

    Sekian dari saya, terimakasih.
    OC : Renggo Sina.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Muahahahahaha~!
      Selamat, Mocha jadi komentator pertama yang menyinggung Worm's Crest dari keluarga Matou~
      XD

      Akhirnya ada yang ngeh juga itu tiga chapter pertama parody dari mana, wkwkwkwk.

      H-scene dipaksain masuk murni sebagai fan service (tukang reparasi kipas) buat pembaca mesum kayak saya~

      Yay, makasih buat vote-nya~ :D

      Delete
  6. ampun bang,,,aye kagak kuat ngebaca nye,,, ini panjang,,terus kagak jelas juntrungannye di awal- awal cerite gitu,,,kebanyakan nyang aye kagak ngerti,,,intinye ini cerite rada kurang bersahabat gitu buat pembaca pemula kayak ayee

    mane dikasi adegan esek- esek segale,,,aye jadi ngebayangin yang enggak- enggak deh,ehehe,,,tapi aye lebi demen ama nyang langsung bag big bug kagak banyak perfelen

    ReplyDelete
  7. Fyuuh ... kepotong terus di tengah jalan sewaktu membaca entri Sanelia ini ._. Akhirnya beres juga.

    Ini udah kayak membaca komik seinen R 21+ aja. Ada plot cerita, battle, tapi diselingi banyak sekali adegan fanservice (atau di sini boleh saya katakan authorservice? Pemuas nafsu penulisnya sendiri :v). Kadang saya bertanya-tanya apa pentingnya bikin karakter utama dizolimi sampai kayak segininya. Tapi setidaknya di sini agak mendingan daripada waktu diraep pada episode yang lalu. Yang ini lebih simpel, lalu langsung berdampak pada si Nely, dan juga jadi plot untuk kemarahan si bapak. Kalau yang dulu, masih belum jelas apa maksudnya.

    Plot Herumi-nya ... saya ingin mengetahui lanjutan ceritanya.

    Battlenya agak singkat, ya? Tak sesingkat Felly, tapi terasa kurang megah. Bisa jadi pembaca lebih fokus pada :hal lain" daripada battenya sendiri :v Resiko, tuh. Dan saya nggak heran jika di babak selanjutnya si Nely tiba-tiba hamil :v Dimas harus bertanggung jawab, tuh~

    Saya suka konsep dunianya, walaupun kata Bang Zoel ngawur secara teori, tetapi setidaknya teori yang ngawur pun udah teori. Daripada saya yang belum memikirkan apa-apa tentang konsep dunia di kanon Bu Mawar ._. Mungkin ini kemajuan daripada entri-entri Leon di BoR4L. Tetapi kalau dari segi komedi, jelas ini kemunduran.

    Secara keseluruhan, cerita ini bagus. Tapi bagusnya masih banyak yang mesti dipermak. Dan beruntung, entri Felly kali ini jauh dari memuaskan. Sehingga entri Nely jadi lebih unggul dalam banyak hal.

    Saya VOTE Nely~

    ReplyDelete
  8. Pertama, ini panjang. Kedua, ini ngelebar ke mana". Ketiga, ini unsur stensilannya kuat banget

    Yah, saya paham sih keinginan penulis buat meluapkan semua di sini, yang mungkin sedikit kebendung meski sebenernya lumayan bocor juga dari entri sebelumnya. Secara impact banyak poin yang lebih unggul di sini dibanding lawannya, tapi overall ini kurang sesuai sama saya....mungkin masalah preferensi soal konten dan pacingnya yang agak dragging

    ReplyDelete
  9. Sejujurnya, saya skip most of part cerita ini.

    1. Ini panjang, tapi saya dragging parah. TBH, saya bisa baca panjang kayak tulisannya bang Her pas final ursario atau kak sam. Tapi ini nggak, mungkin karena "not in my territory" kali ya?

    2. Mature content. Duh, entah kenapa saya ga bisa baca mature content kali ini. Saya bisa baca mature content yang ga terlalu terang2an kayak di R1 grup E

    3. Dari segi cerita, saya sempet bingung. nely kan sudah ga sadarkan diri meski masih ada Leon, tapi... ditulis turnamen masih berlangsung.... meski adegannya netori cs kejar-kejaran sama Dimas Pamungkas

    4. Tambahan, Kuuderenya Nely ilang.

    Seriously, need refresh my head. Sorry bang ichi...

    OC: Kazuki Tsukishiro

    ReplyDelete