25.8.15

[ROUND 3] VI TALITHA - AWAL DARI KENYATAAN TERSEMBUNYI

Kemarin, aku bermimpi.

… Mimpi yang selalu berada di masa lalu.

Di dalam mimpi itu, kita masih berumur 13 tahun…

… Dan kita berada di sebuah lapangan sepi, luas, dan bersalju.

Berlatarkan lampu-lampu perumahan yang tampak muram dan sangat jauh.

Hanya jejak langkah kitalah yang ada di jalan yang kita lewati.

Dalam pemandangan itu…

… Suatu hari kita akan melihat Pohon Yggdrasil bersama lagi.

Dia dan aku, tanpa keraguan sedikitpun…
 

1

Kerumunan penonton yang ramai memenuhi kursi di stadium ini. Tak ada yang berani menghitung jumlahnya. Tidak, bahkan tak ada yang mau. Akupun sama.

Sorakan penuh semangat mereka membuatku berhenti memainkan jariku. Satu, dua, tiga, aku menunjuk beberapa orang saja sudah menyerah. Fokusku buyar ketika urat leher para penonton mulai kelihatan.

Aku dikalahkan oleh antusiasme mereka.

… Tapi itu tak apa. Dibanding mereka, aku yang lebih memegang kekuasaan di sini. Benar, ini adalah tempatku berlaga. Bukan Yang Mulia Netori, bukan juga si bangsat Tarou.

Ini adalah panggungku. Ini adalah rumahku sendiri. Ini adalah…

"Yaaaaaak~! Selamat malam para penonton semuanya~~!"

"MALAAAAAAAM, SAIKO-CWHAAAAN~!"

… aku.

Semua mata tertuju padaku. Sekejap itu juga. Tanpa ada keraguan sedetikpun. Membuat bulu kudukku berdiri. Tubuhku serasa menguap dan bergetar hebat.

Bukti bahwa aku hidup.

Bukti kehidupanku.

Bentuk nyata dari eksistensku.

"Sudahkah kalian semua makan malam~? Karena untuk malam ini, Saikolah yang akan menjadi dessert manis kalian semua, Saikou deshou~?!"

"SAIKO-CHWAN DAISUKI DESUUU~!"

"BELAH DADA INI~!"

"JANGAN GODA WAIFUKU WOY!"

Berserulah, terus, berteriaklah padaku, menjeritlah demiku. Perebutkanlah diriku. Pujalah aku. Sembahlah diriku. Jadikan aku dewi di imajinasi liar kalian.

[Saiko, halo? Saiko, dengar? Kamu enggak macam-macam lagi kan? Jangan bilang para penonton malam ini lebih kacau dari sebelumnya?]

—ehem! Sepertinya aku terlalu berlebihan.

"Manager-san, aku hanya menyambut para penggemarku saja, kok~!" jawabku seraya tanpa sadar sudah sedikit menekan earphone yang kukenakan.

['Hanya menyambut' palamu bocor? Kamu kira kasus Amatsu Lautan Api dulu itu salah siapa?]

"Salahku… tehee~!"

[Ga usah sok imut woy! Untuk kali ini saja, kumohon, jangan perheboh lagi suasana. Aku disuruh Yang Mulia Netori untuk membawakan acara terhormat ini. Kamu jangan bikin malu ya? Ngerti?]

Cih! Manager yang bawel! Dia pikir aku ini hidup untuk apa? Para penonton, sorakan mereka, pujian mereka untukku itulah yang selama ini menjadi kehormatanku. Dia mengerti atau tidak sih?!

Karenanya dengan enggan aku menjawab. "Iya deh… Apa sih yang engga buat Manager-san?"

Bohong, hehe. Biasanya setelah memberitahuku dia akan pergi entah ke mana dan aku bisa bebas ria menerima hujan cinta padaku ini!

[Kalau gitu aku mau pergi ke Indonesia dulu, ya? Aku harus tanda tangan kontrak untuk server baru di sana. Kalau ada sesuatu, kamu bisa diskusikan dengan NPC di belakang panggung. Jelas?]

"Okaay~"

[Sip. Kebetulan aku ada janji juga sama orang terkece bernama Dima—]

"Udah sana buruan! Nanti telat loh!"

[Oke, oke. Jangan kangen ya? Besok malam kita 'main' kayak biasanya. Bye!]

Tut.

… Akhirnya aku bebas juga.

"Maaf sudah menunggu buda—ehm, maksudku, mana semangat para penonton semuanya~?"

"WOOOOH!"

"SA-I-KO-U!"

Ahhhn, aku tidak akan pernah bisa berhenti melakukan pekerjaan ini.

—ah! Aku sampai lupa tugasku malam ini. Ya, ya, aku harus memperkenalkan dua peserta yang akan bertarung di dalam stadium ini—para peserta turnamen antar semesta yang katanya sih, paling epik sepanjang masa.

… bukan berarti aku peduli juga, sih.

Pokoknya, itulah pekerjaanku—juga sedikit memandu mereka menjalankan tugasnya.

Saling membunuh katanya. Sudah begitu di dalam dunia virtual, yang mana percuma! Kalau ingin heboh, mereka seharusnya melakukannya secara nyata. Tidak sebanci di server Amatsu ini lah!

… bukan berarti aku peduli juga, sih.

Karena mau bagaimanapun, siapapun yang bakal kalah, tetap akulah yang akan bersinar. Ya, akulah yang paling populer di sini. Sedetik setelah memijakkan kaki di panggung ini, akulah juaranya.

Aku adalah pemenangnya.

"Malam ini, aku akan memandu sebuah turnamen epik antar semesta yang tengah berlangsung di periode ini. Hebatkan aku~?"

"SAIKO-CHWAN SAIKOU DA!"

"SA-I-KO! SA-I-KO-U!"

… Ahhhn, rasanya aku ingin kencing.

"Baiklah, tanpa berlama-lama akan aku perkenalkan dua peserta ini!"

Mengayunkan tangan kananku ke samping, lampu menyala terang mengikuti arahnya. Menampakkan sosok pria kurus berambut pendek dan baju lusuh yang—ew, kuharap dia tidak dekat-dekat denganku.

"Kalian lihat cowok beruntung yang sedang berdiri di sampingku ini? Dengan membawa nodachi dan kodachi sambil mengenakan headset, Kazuki Tsukishiro, adalah otaku yang akan bertanding pada malam hari ini. Beri dia tepuk tangan~!"

"WOY KAMPRET APA LU DEKET-DEKET SAIKO-CHWAN?!"

"PERGI LO OTAKU BANGSAT!"

"KIMO KAMU!"

Benar kata mereka! Menjauh dikit, kek! Baunya minta dihajar tahu!

"Nggak perlu kasih penjelasan macam deskripsi novel-novel murahan juga, kan?"

Namun dia—Kazuki malah berkata seperti itu seolah olokan penonton tidak lebih penting dari kalimatnya sendiri. Yang mana kebalikannya denganku. Mungkin aku akan bunuh diri kalau mereka menyerukan itu semua padaku.

… Yah, bukan berarti aku peduli juga dengan orang ini.

"Lanjut! Di sisi kiriku sekarang, berdiri seorang suster yang dililit oleh perban layaknya mumi! Vi Talitha, beri tepuk tangan padanya~!"

"WUOOO ADA COSU MBLO!"

"SAIKO TAK DAPAT, SUSTERPUN JADILAH!"

Ugh, wanita ini cukup melukai pamorku.

Yah, dia memang tidak jelek, sih. Posturnya bagus, dadanya agak lebih besar dariku. Tapi tetap saja imutan aku. Lebih muda aku, lebih menarik diriku dibanding seragam susternya itu. Dia bahkan tidak pakai alas kaki. Dasar gembel.

"Woi, kenapa aku cuma dapat deskripsi sedikit? Apa di sini nggak ada yang namanya kesetaraan gender?" keluhnya, yang kuabaikan dengan senyuman.

"Para penonton sekalian, Amatsu diberi kehormatan untuk menjadi tuan rumah ronde ketiga turnamen antar semesta Battle of Realms ini~! Di ronde ini, mereka diberikan partner—"

"GA USAH JELASIN JUGA GAPAPA!"

"AKU MAH KE SINI BUAT LIAT SAIKO-CHWAN. BUKANNYA DENGERIN CERAMAH!"

"SA-I-KO SA-I-KO-U~!"

Apa tak masalah kalau aku tidak menjelaskan bahwa masing-masing dari peserta harus mengajak satu partner—apapun dari dunia mereka?

Yah, bukan urusanku juga, sih. Pokoknya mereka harus saling bunuh, entah yang mana dulu, entah peserta, entah partner, yang pertama mati akan kalah. Setelah itu, aku bisa beraksi menyanyi di atas panggung dengan briliannya~!

"Kalau begitu langsung saja, aku perkenalkan partner dari Kazuki Tsukishiro—Kagetora Kawasugi!"

Sosok seorang kakek tua berbaju zirah samurai muncul dari belakang Kazuki yang terbentuk dari pecahan kristal hijau. Katana yang besar dan panjang terpasang di pinggangnya selaras dengan pemiliknya, dengan tinggi sekitar 5 meter. Memenuhi panggung kecil yang seharusnya adalah tempatku bernaung ini.

Kakek tua sialan.

"Bisa berikan beberapa komentar, umm, Tuan Kagetora?" tanyaku agak ragu.

"Dia nggak bisa asal bicara ke semua orang." Dan yang menjawab adalah Kazuki, membuatku mengangguk berpura-pura paham.

"Kalau begitu yang terakhir, aku perkenalkan partner dari Vi Talitha—Umbr… a?"

"Ahahah, jangan pedulikan dia!"

Bertengger di bahu Vi yang berkata demikian, seekor burung? Setidaknya bentuk yang dimiliki adalah seekor burung sekalipun dia dililit perban.

"Jadi partnermu adalah burung?"

"Ah, nggak juga! Aslinya dia bukanlah burung tapi, ng… Aku bingung gimana jelasinnya. Pokoknya dia bisa berubah jadi apapun semaunya. Aku sengaja melilitnya dengan perban begini agar dia nggak bertindak seenaknya. Dia susah sekali menuruti perint—ah!"

Belum sempat menyelesaikan kalimatnya, Vi sudah ditinggalkan oleh Umbra yang kemudian terbang ke angkasa.

"Tuh, kan! Aku bilang apa! Ahh, nggak apa deh! Aku tarung sendiri aja," ujar Vi yang tampak tidak keberatan dengan partnernya yang berputar-putar di atas stadium itu.

"Yakin tak apa?" aku memastikan.

"Hum, nggak masalah! Dari awal aku juga nggak begitu cocok kerja sama dalam tim," jawabnya santai.

"Baiklah kalau begitu. Langsung kita mulai saja ronde ketiga turnamen epik antar semesta Battle of Realms ini. Arena pertarungan kalian adalah…"

Bukan bermaksud pelit atau semacamnya. Tentu bukan karena tak ada uang atau dana. Bukan juga aku ingin pamer walau yah, aku sedikit bangga dengan ini, sih.

Intinya, karena aku yang datang sebagai pembawa acara, stadium ini didatangi penonton hingga memenuhi arena pertarungan. Ini sengaja dilakukan karena kata mereka penjualan tiketnya bisa menutup kerugian akibat peristiwa Amatsu Lautan Api yang kusebabkan itu.

Jadi mau tak mau Vi dan Kazuki harus bertarung di…

"… arena sumo!"

Panggung kecil kami tiba-tiba pecah berkeping-keping dan mematerialisasi tali melingkar dengan dua garis sejajar berada di tengahnya. Vi dan Kazuki sudah berdiri di belakang kedua garis tersebut masing-masing saling berhadapan, sedangkan aku berdiri di tengah-tengah mereka.

"Anjir kecil bet!" keluh Vi spontan.

"ASTAGA, ini apaan?" timpal Kazuki tampak kaget. Bahkan tubuh Kagetora sampai melewati garis luar hanya untuk menjaga jarak dengannya saja.

Karenanya aku menjauhkan mic milikku. "Ssst! Terima saja! Kami perlu dana untuk konstruksi ulang data yang hilang! Pengertian dikit lah!"

"Kamu yang harusnya pengertian!" bantah Vi. "Kalau jaraknya aja kek gini, sekali sabet aku pasti langsung kalah, bego!"

"Dan Kagetora akan langsung keluar dari arena, yah, kurasa aturannya tak mempermasalahkan itu, ya? Tapi apa nggak masalah kalau ayunan pedang Kagetora membunuh banyak penonton?" Kazuki melengkapi.

Kalau penonton tidak masalah, sih. Reset ulang data adalah urusan mereka. Palingan mereka minta kompensasi biayanya. Ditambah kerusakan properti stadium… arrgh! Kenapa mereka kasih aku stadium kecil begini, sih?!

[…Untuk kali ini saja, kumohon, jangan perheboh lagi suasana…]

Ahh… jadi begitu. Maksud Manager tidak hanya dengan upacara pemujaanku, tetapi juga kelakuan para peserta turnamen, ya? Meski begitu, tetap saja acaranya tak akan seru dong kalau bukan pertarungan berdarah?

"Ng… Kalian nggak bisa suit aja ya buat tentuin siapa yang bakal menang?" tanyaku yang sepertinya meminta hal mustahil karena keduanya menggeleng secara bersamaan.

"Kalau gitu, gimana kalau kita main game saja?" celetuk Vi menyarankan.

"Ahh, ide bagus! Kalau permainan, kita bisa memanfaatkan arena kecil ini! Gimana Kazuki?"

"Aku ahli dalam game apapun, tapi tunggu," jawabnya tampak curiga. "Kenapa harus game? Ini bukan jebakan, kan?"

Cukup lucu mendengar 'kan' yang disebut sampai tiga kali seperti itu. Tapi agar tidak memperlama keadaan, aku cukup mendengar diskusi mereka saja.

"Jebakan? Nggak percayaan amat sama aku?"

Mendengar Vi, Kazuki mengeluarkan kertas entah dari mana dan membaca isinya.

"Di ronde penyisihan, secara nggak langsung kamu memanfaatkan Clara dan F. Di ronde pertama kamu memanfaatkan NPC dan membohonginya. Lebih parahnya di ronde kedua kamu mengkhianati kepercayaan Wildan. Aku sudah mencatat rekaman hasil pertarunganmu. Kali ini pasti kamu ingin memperalatku. Kamu pikir aku bodoh?"

"A-Apa?!" ucap Vi tampak terkejut. "Dari mana kamu bisa dapat info itu semua?!"

"Nggak penting dari mananya. Apa aku punya kewajiban untuk menjawab semua pertanyaanmu?" tukas Kazuki.

Sejenak Vi bungkam, hingga tak lama kemudian dia membalas.

"Kalau emang kamu segitu nggak percayanya, gimana kalau kamu sendiri yang tentukan permainannya? Adil bukan?"

… Cukup adil kubilang.

Sekalipun aku tidak tahu kalau yang diucapkan Kazuki tadi benar adanya atau tidak, dengan menyerahkan keputusan di tangan Kazuki sudah cukup adil menurutku. Bagaimanapun juga, jenis permainan yang akan dia pilih sangatlah bermacam-macam. Tidak bisa ditebak—karena itu, Vi tidak bisa memanfaatkan apapun dari awal di sini, apalagi menjebak.

"…"

Seperti dugaanku, pasti sekarang Kazuki sedang berpikir permainan apa yang sekiranya lebih menguntungkan untuknya. Atau bisa jadi, apapun alasannya, dia tidak akan bisa dijebak oleh Vi.

Sebelum kemudian Kazuki mulai membuka mulut.

"Dengan satu syarat. Kalau kamu berbuat macam-macam aku takkan segan-segan membunuhmu," ujarnya dengan nada dingin, membuatku sedikit bergidik.

"Curang maksudmu? Yah, sekalipun aku melakukannya, kamu juga pasti nggak bakal tahu, kok. Santai aja!" balas Vi, tersenyum. "Jadi kita akan main apa?"

"UNO," jawab Kazuki singkat.

"Whutt?" celetukku spontan.

"Permainan ini cukup bergantung pada strategi dan keberuntungan. Kurasa akan sulit menebak sebuah keberuntungan," jelas Kazuki. "Tapi tunggu, apa kamu tahu apa itu UNO?"

Kulihat Vi menyilangkan tangannya tampak berpikir. Ah, bisa jadi karena ini adalah pertarungan antar semesta, belum tentu juga Vi tahu apa itu UNO. Atau ada kemungkinan kalau namanya bukan UNO melainkan ANU atau yang lainnya.

"Oh, kalau nggak salah ingat… Permainan kartu negara Amerika yang ada di planet Bumi dengan menggunakan bahasa Itali, 'Uno' yang berarti 'satu', ya? Permainan identik lainnya Mau Mau," adalah yang dikatakan Vi seakan dia mengetahuinya dengan pasti.

Namun reaksi Kazuki yang mengangkat alis agak lain. "Kok kamu tahu? Itu kan pembahasan yang ada di Wiki-Wiki?"

"Wiki-Wiki? Plesetan buat Wikipedia? Yah, wajarlah aku banyak tahu. Di perpustakaan akademiku menyimpan lengkap semua pengetahuan bahkan sampai penjuru semesta lain."

Meski Vi berkata begitu, aku rasa agak sangat kebetulan sekali dia bisa membaca soal Uno dan Wiki-Wiki. Lagipula dari awal, apa benar perpustakaan macam itu ada? Bahkan Kazuki sedikit terlihat tak percaya.

"Pokoknya," tambah Vi. "Aku tahu cara mainnya tanpa kalian menjelaskan."

"Tapi bagaimana dengan aturan turnamennya? Kalian harus saling bunuh untuk bisa menang, kan?" selaku cepat.

"Ah, benar juga. Bagaimana kalau yang kalah bunuh diri? Mudah bukan?"

"Aku masih nggak percaya kamu bakal bunuh diri sekalipun udah kalah," ujar Kazuki yang tampak meragukan Vi. "Tapi kalau akan seperti itu jadinya, artinya kamu curang, dan aku siap menusukmu kapan saja."

"Hei, bocah," balas Vi yang nadanya naik, menantang. "Perasaan daritadi aku mulu yang kelihatan kayak orang jahat?"

"Emang itu faktanya, kan?"

"Tapi nggak menutup kemungkinan kalau kamu curang juga, kan?"

"Setidaknya, aku lebih jujur darimu."

"Sekali hitam, tetap aja hitam! Nggak usah sok suci cuma karena dosamu lebih ringan dari orang lain!"

Err… kenapa tiba-tiba situasi memanas begini? Ah, ya, aku kan pemandu mereka! Aku harus lebih menguasai arena ini dibanding mereka. Ya, aku harus mengambil alih situasi ini!

"Oke! Aku akan laporkan ini pada autoritas stadium kalau tidak jadi diadakan pertandingan sumo. Para penonton semuwanyah jangan ke mana-mana yah~? Saiko akan segera kembali~~!"

"Cepat, ya? Aku nggak sabar lagi mendapatkan kemenanganku," ujar Kazuki percaya diri.

"Bicara apa kamu? Dari awal sudah ditentukan kalau aku adalah pemenangnya!" balas Vi tak mau kalah.

Aku meninggalkan mereka yang masih beradu mulut ke belakang panggung.



+++

Aku selalu mencari sosok bayang dirimu.

—Di atas menara Arkaik.

—Di pesisir pantai Haira.

—Di ujung kenangan terakhirku.

Meskipun kutahu kamu takkan mungkin ada di sana.


2

Tes…

Tes tos ter…

Saya… Errr… Saya… Aku… Kamu… Tes tes tos tis…

Semuanya… Kalian… Tes…

Oke!

"Kembali ke panggung sandiwara, Saiko-desuuuu~!"

Mendengar sambutanku, semua penonton berteriak seakan urat putus bukanlah suatu ketakutan bagi mereka. 'S-A-I-K-O S-A-I-K-O-U', sorakan mereka bergantian bak ombak yang menerpa bulu kudukku. Semangat yang dipenuhi keringat itu cukup menakjubkan.

Sesaat aku terdiam, sebelum kemudian pandangan Kazuki dan Vi tertuju kepadaku.

"Ah, maaf~!" ujarku cepat. "Sebagaimana rencana awal, para autoritas setuju kalau kita akan mengadakan turnamen kematian—UNO!"

Semua berkat pertimbangan dan keputusan kaum atas. Aku jadi penasaran bakal seperti apa jadinya kalau arenanya lebih normal dari ini. Apakah pertumpahan darah akan lebih realistis dari hanya sekedar main kartu?

"Kalau gitu cepat siapkan peralatannya!" buru Vi.

"Kita butuh meja kursi, dan tentu saja kartu UNO!" timpal Kazuki.

Tanpa menjawab, aku menjentikkan jari. Perlahan, termaterialisasi kursi dan meja kayu dengan satu pak kartu UNO di atasnya. Ini adalah sistem yang diatur karena hasil perundingan tadi yang—tak ada gunanya kujelaskan juga, kan?

Lebih baik aku jadi pemandu yang efektif saja agar turnamen cepat selesai.

"Silahkan untuk Vi Talitha dan Kazuki Tsukishiro untuk duduk di kursi panas~!"

Tanpa basa-basi, keduanya duduk di kursi masing-masing. Kagetora juga duduk selaras dengan Kazuki, membuatku berpikir kalau apa mungkin gerakannya akan sama mengikuti Kazuki. Meja yang tak begitu besar memisahkan mereka. Suasana mendadak tegang bersamaan denganku yang membuka satu pak kartu UNO.

"A-Apa yang kamu takutkan bocah? Kukira kamu cukup percaya diri akan permainan ini?" ujar Vi yang tampak gugup.

"I-Ini kemenangan yang mudah bagiku, tak perlu khawatir!" Kazuki juga sama.

Di tengah-tengah tatapan penonton, di antara kedua peserta turnamen yang kurasa mulai memikirkan berbagai macam strategi ini, aku mengocok kartu dengan santainya.

Tidak, mungkin lebih tepatnya aku juga agak sedikit terpengaruh oleh keduanya. Namun tentu saja, aku berusaha untuk tenang.

Sebelum kemudian aku meletakkan satu dek kartu UNO tersebut di atas meja.

"Yak, sebelum aku bagikan kartunya, ada dua aturan untuk permainan malam hari ini. Yang pertama ini adalah permainan tiga ronde, dengan cukup dua kemenangan saja."

"Sebanyak itu?" keluh Vi mendengar setengah dari penjelasanku.

"Malam ini kita punya waktu banyak. Satu permainan saja tidak akan seru!" jelasku.

"Dan kita bisa membuat strategi semisal nanti skor 1-1. Yah, meski kurasa itu mustahil, sih. Karena aku akan memenangkan dua permainan sekaligus," ujar Kazuki yang mulai tenang.

"Heh! Biasanya yang suka bacot di awal itu yang bakal kalah!" ketus Vi.

"Iya, kalah di awal, tapi akhirnya menang," balas Kazuki.

Keduanya tampak kekanak-kanakan sekali.

Yah, tak masalah juga, sih.

"Sudah?" tanyaku memastikan. "Lanjut ke peraturan kedua, yang kalah akan bunuh diri dengan terhormat. Bisa dimengerti?"

"Aku ragu orang ini punya yang namanya kehormatan," celetuk Kazuki.

"Aku sendiri juga ragu."

"Woi!"

Mungkin Vi cukup lelah melakukan pembenaran diri dan mengikuti saja apa yang dikatakan Kazuki. Dia pasti sadar tak ada gunanya juga mengubah sesuatu yang mustahil. Yah, bagaimanapun juga kalau belum terbukti, Kazuki juga tak bisa berbuat apa-apa.

"Baiklah, akan aku mulai bagi kartunya."

Secara bergantian aku memberikan kartu ke Vi dan Kazuki sebanyak masing-masing tujuh. Setelah keduanya melihat kartu mereka, aku mengambil satu di dek dan meletakkannya terbuka di meja.

"Game start!"

Tujuh merah.

"Siapa yang jalan duluan?" tanya Vi.

"Searah jarum jam," jawab Kazuki.

"Terus siapa yang searah jarum jam, bego!"

"Kita pakai koin saja," aku menengahi. "Kalian pilih apa?"

"Gambar," ujar Vi cepat.

"Angka," Kazuki yang sedikit terlambat sepersekian detik.

"Aku bahkan belum bilang apa yang ada di kedua sisi koin ini!" protesku. "Yah, tak masalah, sih. Aku carikan koin yang cocok."

Merogoh celemek putih yang kukenakan, terdapat beberapa koin yang sepertinya sudah dipersiapkan sebelumnya. Kupilih yang bergambar siluet seorang wanita bercerutu dan angka kuno di sisi sebaliknya. Setelahnya, aku lempar koin itu dan menangkapnya di sisi luar tanganku, tertutup.

Lalu kubuka.

"Gambar Sherlo—"

"Woy!" seru Vi cepat. "Berarti aku giliran pertama, ya? Wajar untuk pemenang."

"Kayaknya tadi kamu bilang yang bacot di—"

"Awal kemenangan!" potong Vi yang kurasa sedang menghindar. Mengeluarkan kartu tujuh kuning di atas tujuh merah.

Membuat Kazuki sejenak diam.

"Kartu awal Vi adalah tujuh kuning, para penonton! Apa yang akan Kazuki lakukan?"

… Ini cukup cerdik.

Bisa dibilang Vi cukup beruntung, atau mungkin tidak. Pokoknya, mengeluarkan kartu tujuh kuning di meja setelah kartu tujuh merah bisa memberikan artian lain bagi Kazuki.

Ada kemungkinan kebanyakan dari kartu Vi berwarna kuning. Atau bisa jadi pula itu adalah jebakan saja. Tapi memang normalnya, seseorang pasti mengeluarkan kartu yang bisa membuatnya berjalan mulus setelah gilirannya, bukan?

Meski begitu, bukan berarti Vi senaif itu mengeluarkan kartu yang jelas-jelas memberikan identitas aslinya, kan? Jika dia mampu menipu banyak orang sehingga bisa sampai ke arena ini, artinya dia juga akan melakukan hal yang sama di sini, kan?

"Hmph! Mau menipuku, ya? Kalau begitu…"

Kazuki yang mulai berbicara mengeluarkan kartunya.

"… Terima ini, tujuh hijau!"

Apa?!

"Ini dia serangan balasan dari Kazuki~!"

Tu-Tujuh hijau?! Yang benar saja!

Apa yang namanya kebetulan itu sungguhan ada? Maksudku, barusan sudah keluar tujuh merah dan kuning, kan? Sekarang tujuh hijau… apa seperti itu bisa terjadi?

… Tunggu. Kalau dipikir lagi, pak kartu ini cukup baru. Bisa jadi ketiga kartu itu berdempetan dan tidak rata kukocok. Ya, mungkin seperti itu.

Namun apa benar ketiga kartu itu berdempetan di dek UNO? Ah, aku tak tahu. Entah mungkin keajaiban atau memang sudah takdir, ketiga kartu itu sudah muncul di atas meja. Tak perlu kupikirkan lebih dalam juga karena tak ada pengaruhnya sama kenyataan.

Yang jelas, kali ini Kazuki memberikan serangan balik berupa misteri. Ya, kemungkinan-kemungkinan yang tadinya dimiliki Vi kali ini diambil Kazuki.

Posisi mereka terbalik sekarang. Antara Kazuki mempunyai banyak kartu hijau ataukah hanya jebakan saja. Mari kita lihat kartu balasan apa yang akan Vi—

"Tujuh biru!"

"EEEEEEEEEEEEHHH?!"

Mana bisa keempat kartu tujuh keluar secara bersamaan hanya dalam 15 kartu?!

"Apa yang terjadi di arena ini, para penonton~? Bagaimana bisa ada empat kartu tujuh muncul secara berturut-turut? Ada apa dengan kocokan dariku tadi~?"

"KOCOK AKU PLS, SAIKO-CHWAAAN~!"

"JANGAN MINTA DIKOCOK, COK!"

"ARISAN AJA SANA KALO MAU KOCOKAN!"

Ah, kalau tak salah ingat, ada dua kartu angka yang sama di setiap warna selain nol. Artinya, kemungkinan mendapatkan angka tujuh juga besar. Walau kurasa, keberuntungan merekalah yang melebihi besarnya kemungkinan itu.

"Dengan ini keadaan berbalik! Kazuki mulai kebingungan menebak kartu warna apa yang dimiliki Vi, para penonton sekalian. Apa kalian bisa menebaknya?"

"PASTI 37E!"

"NGAWUR KAMU! JELAS-JELAS 38D!"

"LEBIH BESAR! PASTI LEBIH BESAR DARI ITU!"

"Kalian nebak apaan woy!" seruku balik.

"Bicara apa kamu?" ujar Kazuki yang sama sekali tak menatapku. "Aku tak perlu kebingungan karena kartuku adalah—"

"Tujuh kuning, para penontooooon~!"

Lagi?!

"Takkan kubiarkan kamu menang! Tujuh merah!"

Vi tujuh lagi?!!

"Kamu nggak ada apa-apanya dibandingkan master UNO sedunia! Tujuh biru!"

Ja-Jangan bilang semua kartu mereka adalah tujuh?!

"Tapi tunggu, para penonton! Jika semua angka tujuh ada di arena, arti angka tersebut, bahkan kemunculan ketujuh kartu tujuh tersebut. Ini… Tidak salah lagi… Ini adalah…"

Tujuh kartu berangka tujuh pada masing-masing tujuh kartu di tangan mereka. Layaknya naga berbola tujuh bintang. Seakan hempasan udara hebat berpusat pada meja serba tujuh itu. Memamerkan keberuntungan kepada para penonton yang hanya bisa melongo. Cahaya kemuliaan bersinar di hadapan para pendusta menjijikkan itu.

Mereka menyebutnya sebagai…

"Seventh Heaven!"

"WUOOOO, SAIKOU-DAAAA!"

"KEREEEEEN OOOY!"

"EMANG ADA YA YANG GITUAN?"

Tak salah lagi… Ini adalah perang antara Dewa Kartu. Pertarungan antar semesta, terbaik dari yang terbaik.

Yang terkuat sejagad raya.

Dan seperti yang sudah bisa ditebak. Kartu yang akan dikeluarkan Vi selanjutnya adalah kartu tujuh hija—

"Skip biru."

"… Eh?"

"Skip lagi."

"Eh eh?"

"Skip terakhir, UNO!"

"EEEEEEEEEEEEEEEHHH?!"

A-Apa yang sedang terjadi?!

"Bagaimana bisa Vi punya tiga kartu Skip di dalam tujuh kartu awal?! Apakah dewi keberuntungan sedang berpihak padanya? Ataukah Stephen Cho pernah menjadi gurunya?! Ini adalah pertandingan pertama yang menakjubkan sekaligus membosankan, para penonton sekalian~!"

Di hadapan senyum Vi, mata Kazuki terbelalak. Tangannya yang gemetar menjatuhkan beberapa kartu—tujuh hijau salah satunya, dengan beberapa angka lain yang sewarna. Alih-alih memikirkan ada kesempatan untuk Kazuki menang jika saja dia duluan yang mulai, aku lebih kagum dengan kartu yang diperoleh Vi.

Apa yang membuatnya bisa seberuntung itu? Murni kebetulan, kah?

"Ini… tidak mungkin!" seru Kazuki yang masih tampak belum mempercayai kekalahannya. "Kalau ini adalah game melawan juara dunia atau orang biasa, mungkin aku bisa menerimanya. Tapi melawanmu—dengan kartu-kartu super rare itu—aku tetap saja tak bisa mengakuinya!"

Yang membuat Vi terkekeh.

"Ngomong apa kamu? Kalau kamu pikir aku curang, mana buktinya? Tak ada bukti, tak ada saksi, yang ada cuma lolongan anjing saja, HAHAHAHAH!"

Tangan Kazuki mengepal kuat, tampak menahan amarah. Urat nadi di dahinya muncul ke permukaan, ditambah tatapan tajam di balik kacamatanya itu. Taringnya yang tampak itu cukup mengintimidasi—jika saja lawannya bukanlah Vi.

Hingga sesaat setelahnya, Kazuki menghela napas.

"Kita mulai saja babak keduanya," ujarnya mulai tenang. "Aku pasti akan bongkar kedok busukmu itu!"

"Coba saja kalau bisa… karena dari awal, tak ada kecurangan yang pernah kulakukan," klaim Vi.

Yang kemudian keduanya mulai diam ketika aku mengocok kembali dek UNO ini.


+++

"Lima sentimeter per detik…"

"Ha? Apa?"

"Kecepatan Pohon Yggdrasil mencapai Eternia, lima sentimeter per detik."

"Kamu tahu juga yang seperti itu."

"Hum… Tapi kalau kulihat lagi, pohon itu seperti jembatan menuju surga, yah?"

"Iyakah?"

"…"

"Ah, tunggu!"

"Hei…"

"Hm?"

"… Aku harap kita bisa melihat Pohon Yggdrasil bersama lagi tahun depan."


3

Rasanya cukup aneh kalau aku memberikan komentar pada pertandingan Vi dan Kazuki sendirian seperti ini. Para penonton juga hanya teriak seenaknya, membuatku cukup malas mengomentari. Lebih baik aku mengamati saja untuk seterusnya. Selebihnya hanya instruksi biasa.

"Karena Kazuki kalah, maka ronde selanjutnya dia giliran pertama," jelasku seraya membagikan kartu.

"Itu artinya, kali ini aku menang, ya?"

"Pede amat," sela Vi. "Cuma karena tadi aku menang gara-gara dapat giliran pertama, terus sekarang kamu bakal menang gitu?"

"Salah. Nggak cuma sekarang, setelahnya juga."

Vi menampakkan taringnya sembari membuka kartunya. Lalu berubah menjadi senyuman. "Kamu yakin? Aku sarankan tarik kata-katamu sekarang juga."

Namun tidak, yang dilakukan Kazuki hanyalah menutup mata dan menghela napas. Lalu membukanya kembali seraya membalas Vi. "Kita buktikan saja nanti."

Aku mengangguk. "Kalau begitu… Game Start!" Lalu dengan lincahnya aku membalikkan satu kartu paling atas dari dek.

Tujuh kuning.

"…!"

… Rasanya aku ingin mengomentari tapi untungnya sempat kutahan. Tenang, tenang, ini hanya kebetulan saja. Tak mungkin kan mereka memainkan 'Seventh Heaven' dalam dua ronde berturut-turut?

"Draw two," ujar Kazuki.

Ini artinya, Vi harus mengambil dua kart—

"Draw two juga," balas Vi.

"Eh?" spontan keluar dari mulutku.

Membuat Vi menengok. "Ada apa?"

"Ng-Nggak… Maksudku, memangnya bisa ya draw two ditumpuk begitu?"

"Bicara apa kamu? UNO kan emang bisa ditumpuk begini, sama kayak tujuh tadi, atau wild four—"

"Salah," potong Kazuki. "Aturan itu cuma dipakai di beberapa daerah saja. Secara aturan internasional, draw two atau wild four tidak bisa ditumpuk. Misalkan seperti sekarang, aku mengeluarkan draw two—artinya setelah giliranku, kamu, harus mengambil dua kartu dan langsung lanjut giliranku."

"Curang amat!"

"Memang begitu peraturannya. Kamu yakin perpustakaan akademimu selengkap yang kamu bilang?"

Atau bisa jadi, Vi belum selesai membaca semua informasi tentang UNO.

"Yah, tak masalah, sih," Vi mengambil dua kartu. "Yang bakalan menang aku juga, kok!"

Meletakkan draw two berwarna merah, sudut mulut Kazuki terangkat. "Yakin?" ujarnya.

Vi menggigit bibir, mengambil dua kartu lagi. "Jangan bilang kamu…"

"Ya, seperti dugaanmu," timpal Kazuki yang kembali mengeluarkan wild two, warna hijau.

Vi membersut, menyilangkan tangan. Wajah masamnya keluar begitu saja sembari dia mengambil dua kartu lagi.

Kazuki yang tampak tak peduli kemudian mengeluarkan kartu tiga hijau seolah memberi Vi giliran untuk jalan. Atau bisa jadi, dia punya strategi lain yang mengharuskannya menggunakan kartu tersebut.

… Namun sepertinya itu langkah yang cukup fatal.

Sedetik setelahnya, giliran Vi yang tersenyum. Matanya berubah drastis setajam sudut bibirnya yang meruncing ke atas. Menampakkan taring seakan sedang memamerkan sesuatu yang sangat dia banggakan.

"Sudah saatnya kamu kalah, bocah tengik!" seru Vi percaya diri.

Dikeluarkannya kartu tiga biru yang membuat Kazuki tercengang. Bulir keringat menetes dari dahinya. Tangannya terhenti sesaaat, sebelum kemudian mengambil kartu dari dek.

"Eh? Kamu nggak punya biru, ya? Ketahuan yeeey~," ejek Vi.

"Ughh…"

… Benarkah begitu?

Maksudku, barusan itu bukan sekedar 'ketahuan' lagi, kan? Aku sempat lihat Vi tersenyum seakan sudah tahu kalau Kazuki tidak mempunyai kartu biru. Kalaupun menebak, rasanya sangat kebetulan sekali. Cukup mustahil setelah munculnya tujuh kartu tujuh tadi.

"Aku curiga kamu udah tahu kalau aku nggak punya kartu biru. Tapi bagaimana bisa…"

Bahkan Kazuki bilang begitu. Dia juga bisa merasakan ketidaknormalan ini. Tapi sekalipun Vi curang, Kazuki—tidak, bahkan aku tak tahu bagaimana caranya. Seolah Vi punya mata yang bisa melihat apapun.

[All Seeing Eyes]

—Ah! Aku mengerti! Jadi begitu…

Dia memang curang.

"Sekarang giliranku, tujuh biru!"

Lagi, Kazuki menelan ludah sambil mengambil kartu dari dek. Sebelas kartu dipegang Vi, enam kartu pada Kazuki. Pelan tapi pasti, Vi mulai menambah beban Kazuki hingga posisi berbalik drastis.

[Vi 6 kartu]

[Kazuki 11 kartu]

"Kamu masih berpikir bisa menang dariku?" olok Vi, dengan senyum menggoda.

"Bagaimana… Bagaimana bisa kamu tahu semua kelemahan kartuku…?"

Beberapa saat kemudian, Kazuki meletakkan kartu di tangannya—tentu tertutup. Setelah melakukan sesuatu pada headset yang dia kenakan, Kazuki menutup mata.

"WOY JANGAN BERHENTI WOY!"

"SOK KEREN AMAT LU KEK PROTAG DETEKTIF!"

"BANGKE DIA MALAH TIDUR!"

Kazuki terlihat fokus sekali. Napasnya tenang, lembut, tenang, tanpa suara, tenang, perlahan, tenang. Di tengah sorakan liar penonton, Kazuki seperti mencoba memikirkan sesuatu. Lima detik… Sepuluh… Dua puluh… Kazuki masih memejamkan mata. Bahkan sampai Vi tidak sabar menunggu gilirannya datang.

"Woy woy, sampai kapan kamu mau tidur? Emangnya siapa kamu? Ko-kun? Perlu lima belas menit istirahat buat aktivasi side effe—"

"Nggak perlu," potong Kazuki yang kemudian membuka mata. "Sekarang aku tahu bagaimana caramu mencurangi ronde ini."

Vi terkekeh. "Curang? Maksudmu ap—?!"

Namun sebelum sempat Vi mengakhiri kalimatnya, dengan cepat Kazuki menarik pedangnya dan mengayunkannya pada Vi dari bawah—diagonal ke atas. Pedang Kazuki terhenti di udara, begitu juga katana besar dan panjang milik Kagetora yang ternyata sama. Menghembuskan udara yang cukup membuat celemekku terangkat.

Darah keluar dari leher Vi, tidak muncrat, namun mengalir begitu saja. Lukanya tidak terlihat begitu dalam. Entah berkat perbannya atau memang Kazuki sengaja tidak memenggalnya, kepala Vi masih ada di tempatnya. Menampakkan ekspresi terkejut di tengah-tengah arena sumo ini.

Tapi itu semua tidaklah penting.

Ya, karena yang paling mengundang perhatian pada saat itu adalah…

"Sudah peringatkan, bukan…"

… burung Vi di atas sana hancur menjadi debu perban yang menghujani arena sumo.

"… Kalau kamu berbuat macam-macam, aku takkan segan-segan membunuhmu," ujar Kazuki dengan nada yang dingin.

Dan pada saat itu juga, keadaan berbalik drastis. Setelah tertunda satu giliran, Kazuki mulai bisa melanjutkan permainannya dengan aman.

Ronde kedua adalah kekalahan Vi Talitha.

+++

Itu pasti adalah perjalanan sepi yang tidak akan pernah bisa kubayangkan.

Tanpa keraguan berjalan ke depan, melewati kegelapan yang sebenarnya.

Bahkan satu atom hidrogenpun sangat sulit untuk dicari.

Hanya mampu percaya bahwa pasti ada sesuatu di ujung dunia sana.

Dengan pemikiran itu, seberapa jauh kita bisa pergi?

Seberapa jauh… kita bisa pergi ke sana?


4

Ini adalah ronde ketiga.

Ronde terakhir.

Babak penentuan.

Aku tidak tahu mengapa Kazuki tidak langsung membunuh Vi. Mungkin saja arah lintasan pedangnya tidak sanggup melukai leher Vi lebih dalam. Atau bisa jadi pedangnya terlalu pendek untuk melakukan itu sekalipun mejanya tidak begitu besar. Bagaimanapun juga, yang Kazuki gunakan tadi adalah kodachi dan bukan nodachinya.

Sedangkan untuk Vi, baru saja dia mendapat luka meski sudah dia sembuhkan sendiri. Tapi bukan itu masalahnya. Ya, intinya terletak pada kalimat Kazuki yang serius. Dia tidak main-main. Kazuki sungguhan memberi peringatan seakan berkata kalau Vi curang lagi, kepalanyalah yang akan dipenggal.

Tak ada ruang bagi Vi untuk curang lagi. Atau sekalipun begitu, Vi harus sangat hati-hati dalam melakukannya—tidak seperti tadi. Seperti burung perban yang melayang di atas sana.

Vi seharusnya tahu Kazuki tidak sebodoh itu. Vi memang berani sekali bertaruh, tapi apakah dia senaif itu menggunakan burung yang dia aku tidak akur di awal padahal membantunya di dalam pertandingan? Apa yang membuatnya seyakin itu kalau Kazuki takkan langsung membunuh Vi saat ketahuan tadi?

Ini cukup menarik.

Benar-benar menarik.

Aku beruntung bisa mendatangi turnamen ini.

"Karena Vi kalah, sekarang gilirannya mulai duluan," ujarku seraya kesulitan menahan tawa. "Semua sudah tujuh kartu? Kalau begitu… Game starto!"

Aku membuka kartu empat biru dari dek. Tanpa bicara, Vi menaruh tujuh biru. Sama, Kazuki mengeluarkan enam biru. Masih diam, Vi menggunakan wild two biru. Kazuki mengambil dua kartu dalam bungkamnya. Setelah Vi meletakkan lima biru, Kazuki membalas dengan wild two biru.

Diam, tanpa suara.

Suasana menjadi hening dan membosankan. Penontonpun dengan saksama dan khidmat menyaksikan permainan yang atmosfirnya sudah berat ini. Bahkan mereka juga tahu kalau ini sebenarnya adalah pertandingan antara hidup dan mati—sekalipun berada dalam dunia game.

Vi dan Kazuki tampak cukup kuat dan serius kali ini. Berulang kali masing-masing dari mereka membalik keadaan satu sama lain. Mencari celah yang akan mereka gunakan untuk memenangkan permainan terakhir ini.

Meski begitu, aku tahu kalau Vi sedang memikirkan bagaimana caranya memenangkan ronde ketiga dengan pasti. Kazuki mungkin juga begitu, karena terlihat sekali dirinya selalu memberi serangan balik setelah dijatuhkan oleh Vi. Bedanya, Kazuki terasa lebih sportif alih-alih Vi yang berusaha mencari celah kecurangan.

Sesederhana itu.

[Vi 4 kartu]

[Kazuki 4 kartu]

Di titik ini, akhirnya Vi membuka mulut. "Hei bocah," panggilnya. "Apa motivasimu ikut dalam turnamen ini?"

Yang membuat Kazuki mengerutkan dahi. "Kamu pikir, aku akan begitu saja mengumbar keinginan dan segala sesuatu tentangku pada lawanku? Kamu kira ini novel murahan, hah?"

"Novel murahan, eh?" ulang Vi yang kemudian tersenyum. "Aku pernah membaca di perpustakaan soal itu dan ya, aku sendiri tak akan berkoar-koar tentang motivasi, terlebih diriku."

"Kalau ngerti kenapa tanya?"

"Haha, nggak ada. Aku cuma pengen tahu saja apakah motivasiku sendiri cukup kuat untuk menghancurkan setiap harapan peserta atau tidak."

"Peduli amat? Kayaknya selama ini kamu bahkan tak pernah memikirkan itu!" ketus Kazuki.

Vi tertawa. "Benar juga. Kurasa sejak ronde kedua turnamen ini aku mulai memikirkan banyak hal. Mempertimbangkan kembali tujuanku."

"Hah?" bingung Kazuki. "Kenapa malah curhat? Sejak kapan karaktermu jadi seperti ini?"

Meski bilang begitu, Kazuki yang dari awal mengikuti pembicaraan Vi bisa dibilang cukup aneh juga. Kenapa dia segitunya mau menanggapi Vi yang tampak lemah ini? Itu saja sudah bisa dibilang tidak masuk akal menurutku. Melihat Kazuki yang sebelumnya sangat skeptis sekali terhadap Vi.

"Karena aku bimbang? Gini-gini juga aku cewek biasa, tahu! Aku nggak sekuat yang kamu kira…"

… Bohong. Vi itu kuat. Siapapun bisa berkata begitu jika mengikuti episodenya selama ini. Kelicikan yang dia lakukan kurasa tidak begitu penting. Namun kalau apa yang dikatakannya benar, mungkin dia selalu mengenakan topeng dalam kesehariannya. Atau bisa jadi, dia sendiri tidak menyadari akan kekuatannya.

Kalau kuingat lagi, dari video rekaman ronde kedua Vi melawan Wildan, air mata sempat keluar darinya. Aku tidak tahu apakah dia hanya berpura-pura saja atau memang benar-benar menangis karena sesuatu. Jika yang kedua, maka aku sangat ingin tahu alasannya.

Dan rasanya… cukup aneh juga melihat Vi mengaku lemah seperti ini.

"Ini sangat membosankan!" Yang membuat Kazuki menghela napas dan meletakkan kartunya. "Dengar, aku memang bukan seorang penceramah atau sejenisnya. Aku juga tidak ingin permainan ini menjadi sangat mudah! Tapi setidaknya aku tahu, yang dibutuhkan seseorang untuk mencapai tujuannya adalah keegoisan. Dengan itu, siapapun bisa menghancurkan apapun tak peduli itu orang yang dia sayangi atau bahkan dunia sekalipun."

Seperti Kazuki, sepertiku, seperti orang lain yang ada di stadium ini. Bahkan aku merasa, sebelumnya Vi adalah orang paling egois di dunia—tidak, bahkan semesta ini. Diceramahi oleh orang seperti Kazuki seharusnya cukup melukai harga diri Vi.

Dia lebih buas dari ini.

Dia lebih licik dari ini.

Dia lebih kejam dari ini.

Jadi, apa yang membuatnya berubah menjadi serentan ini?

"Egois, eh? Ah… benar, egois. Ya, ya, aku ingat… aku ingat, egois. Dan aku harus memenangkan permainan ini secara egois," gumam Vi. "Ah… kenapa aku bisa lupa begini? Mungkin memang benar adanya bahwa 'pertemuan' itu bisa mengubah seseorang…"

Sesaat Vi tampak seperti gadis biasa. Hanya sesaat saja dan cukup kabur di mataku. Namun sedetik setelahnya, Vi telah kembali tenang dan elegan. Menjadi dirinya yang kuat. Dia yang sebenarnya.

Lalu Vi mengulurkan tangannya, memegang kartu paling atas dari dek—sebelum kemudian menariknya kembali.

"Ah, maaf!" serunya spontan. "Aku kira kartuku tak ada yang bisa dikeluarkan. Ternyata ada."

Meski Vi bertindak sok ceroboh seperti itu, apa yang dia tinggalkan di kartu dek adalah kenyataan yang tak bisa lewat dari mata siapapun.

"Draw two."

Jelas sekali ada sesuatu yang menempel pada kartu tersebut. Entah kulit, entah kuku, yang jelas tampak sekali menempel meski sangat tipis. Membuat Kazuki ragu untuk mengambil kartu sekalipun draw two yang digunakan Vi.

"Kenapa?" tanya Vi. "Kenapa diam saja?"

Kazuki bukannya sengaja diam saja, melainkan tak punya pilihan lain. Kalau dia menyentuh apa yang baru saja Vi sentuh, tentu itu akan berefek buruk pada dirinya. Sesuatu yang bisa dibilang sebagai kutukan—dan Vi akan memanfaatkannya sebagai kelicikan terakhirnya.

"Kenapa nggak kamu ambil?"

Pilihan terakhir.

[Throbbing Heart]

Kelemahan Kazuki ketika menyentuh orang lain. Dirinya akan diam, mematung, tak bergerak dalam kurun waktu tertentu ketika menerima kenyataan tersembunyi dari seseorang, membaca masa lalu. Meski waktu aktivasinya sangat acak, namun sedetik setelah dia menyentuh kartu dek tersebut, timer kekalahannya sudah otomatis menyala.

Vi hanya perlu mengulur waktu saja untuk bisa menang.

Tentu saja dengan membunuh Kazuki yang sedang membatu.

Tapi…

"…"

… Kazuki tetap mengambilnya.

Aku yakin Kazuki menyadari bagian tubuh Vi yang menempel di kartu itu. Namun demikian, kartu tersebut tetap diambilnya. Apakah dia mengambil resiko dengan memenangkan permainan secepatnya? Apakah dia bisa mengalahkan Vi yang—

"MUWAHAHHAHAHAHA!"

—tertawa seolah sudah mengklaim kemenangannya?

"Ajalmu sudah dekat bocah!" serunya bak iblis. "Akan kutunjukkan seberapa egoisnya diriku yang sebenarnya!"

Kazuki diam saja di hadapan Vi yang sudah kembali pada dirinya yang lama. Vi yang kuat. Vi yang tidak akan kalah oleh siapapun. Yang membuat Kazuki menunduk seraya menjatuhkan kartu-kartunya, memegangi dahinya seakan sesuatu menusuknya di kepala.

"AAAARRRRGHHHH!"

"MUWAHAHHAHAH EFEKNYA SUDAH KELUAR! CEPAT SEKALI!" seru Vi yang semakin buas dan puas.

Mengerang kesakitan, Kazuki  menjatuhkan kepalanya di meja. Membuyarkan semua kartu di meja. Menghancurkan sekaligus menghentikan permainan yang sedang berlangsung. Tentu saja bukan salahnya, ini semua adalah perbuatan—

"Kamu kalah, bocah!"

—Vi.

"Tak peduli sekeras apa kamu berpikir, tak peduli strategi apa yang akan kamu gunakan. Semuanya akan kuhancurkan dengan segala keegoisanku ini!"

Vi melempar kartu-kartunya di udara. Semuanya adalah kartu yang bisa digunakan untuk mengalahkan Kazuki. Menghujani mata para penonton yang menyaksikannya. Entah keberuntungan, entah dia bisa mengubah kartunya sendiri, atau entah sihir apa yang dia gunakan—mengalahkan Kazuki adalah sebuah kepastian untuknya.

Seakan dari awal, pertandingan ini tidak berarti di hadapan Vi.

Inilah Vi, kekuatannya yang sebenarnya.

"Yah, mungkin seperti itu aja bacotanku. Saatnya untukmu ma—"

"Tapi bohong."

"… Eh?"

Tanpa kuduga, Kazuki sudah menarik nodachi dari sarungnya dan…

"Ka-Kamu…"

… menusuk Vi tepat di dadanya.

"Sudah kubilang, kan?" ujarnya dengan mata dingin. "Aku akan membunuhmu kalau kamu curang lagi."

Kagetora juga melakukan hal yang sama, namun Vi masih bisa bereaksi dengan mengeluarkan perisainya, [Divine Aegis]. Membuat Kagetora terpental jauh hingga menghancurkan stadium. Menyisakan Kazuki yang bisa lolos dari perisai Vi.

"…"

Darah mengaliri mata pedang nodachi. Yang tampak mencuat dari punggung Vi. Menghancurkan perban yang melilit di dadanya. Melenyapkan semua kemampuannya. Seakan menyerap sari-sari kehidupan yang dimiliki Vi.

"Ke… Kenapa efek kelemahanmu tidak bekerja?" ujar Vi yang tampak menahan sakit.

Yang membuat Kazuki tersenyum. "Memang benar aku bisa tak bergerak karena itu. Tapi tidak lewat potongan tubuh seperti ini melainkan sentuhan langsung. Kamu bahkan tak mengerti itu?"

"Menyedihkan sekali!" tambahnya.

Dengan ini, kemenangan akan diperoleh Kazuki. Vi sudah terluka, hanya tinggal menunggu waktu saja sebelum dia kehabisan darah. Perban di dada Vi juga hancur, artinya dia tak bisa mengalahkan Kazuki. Bahkan sekedar menyembuhkan dirinya sendiri saja tidak mampu.

Ini adalah akhir Vi.

Ini adalah tempat pemberhentian terakhir Vi.

Ya, semuanya akan berakhir. Bila saja—

"Umbra!"

—Vi tidak meneriakkan nama itu.

Nama partner dari Vi.

Nama monster yang dibawa oleh Vi.

"… !!"

… namaku.

"Sudah kubilang, kan? Dari awal sudah ditentukan kalau aku adalah pemenangnya."

Terlambat Vi, kau terlambat.

"Kamu bilang aku tak tahu? Aku tahu pasti! Ini semua hanya permainan saja, tak perlu seserius itu juga, bocah! Kamu masih hidup sampai sini saja karena aku telah mengizinkanmu!"

Aku sudah memenggal kepala Kazuki dengan kodachinya sendiri sebelum kau sempat mengatakannya.

"Tapi satu yang tak kuketahui. Apakah efeknya akan bekerja bila aku menyentuh mayatmu? Meski sekalipun aku mencobanya, aku takkan tahu karena kamu sudah mati. Tapi mungkin aku bisa memberimu satu potongan kenyataan tersembunyiku."

Tapi tak masalah, bukan berarti ini penting juga bagi Vi, Kazuki, maupun aku.

"Sebagai hadiah telah menemaniku bermain!"

Ini adalah akhirnya—ini adalah akhir ronde ketiga di mana Vi Talitha sebagai pemenangnya.

My Lord.

+++

Mati-matian, mereka hanya ingin mencapai langit hitam Eternia dengan tangan mereka…

Meluncurkan benda sebesar itu.

Hanya untuk melihat sesuatu yang berada sangat jauh di sana…

Membuatku mengerti kenapa dia sangat berbeda dengan yang lainnya.

Dan pada waktu yang sama pula, aku mengerti bahwa…

… dia tidak pernah melihatku.

Karenanya, aku tak mengatakan apapun kepadanya di hari itu.

Dia baik, sangat baik…

… tapi dia selalu menatap pada sesuatu yang sangat jauh hingga tak bisa kulihat.

Harapanku, takkan pernah bisa terkabulkan.

Meski begitu, aku…


5

Muncul papan digital besar tanda kemenangan Vi.

Ini artinya, Vi adalah pemenangnya. Bahkan lukanya telah pulih kembali. Karena itulah aku kembali ke wujud asalku, setelah menggantikan pemandu gila fans itu. Ya, tadi aku sempat melepaskan diriku dari perban burung Vi atas perintah-Nya untuk melakukan hal tersebut.

Sekarang, aku tak tahu harus segera mengeluarkan gadis itu dari bilik toilet yang kukunci sebelum dia sempat konsultasi pada autoritas stadium tadi, atau langsung kembali saja ke Eternia.

… Tapi tidak. Masih ada beberapa pertanyaan yang ingin kuungkapkan pada Vi. Pertanyaan yang melebihi sekedar 'Apa jadinya kalau arenanya lebih besar dari ini?' atau 'Bagaimana kalau Kazuki menolak saran bermain Vi?' yang kurasa jawabannya adalah 'Akan kuancam Kazuki menggunakan kekuatanmu yang terhebat' atau sejenisnya, walau itu hanya dugaanku saja.

Melainkan seperti…

"Maaf bila hamba lancang, tapi bolehkah hamba bertanya mengapa Tuan tidak menyuruh hamba langsung menghabisi saja Kazuki tadi?"

Membuat Vi melirikku yang tengah berlutut di hadapannya.

"Aku nggak keberatan kalau kamu memanggilku Vi. Malahan, aku tak ingat kenapa kamu bisa memanggilku 'Tuan' seperti itu."

Tak ingat? Apakah Vi lupa ingatan?

"Maaf, Tuan. Tapi hamba tidak bisa selancang itu."

Mendengarku, Vi menghela napas. "Yah, sudahlah. Untuk jawaban atas pertanyaanmu, mungkin bisa dibilang aku bosan?"

"Bosan?"

Aku kira ada alasan lain? Maksudku, aku bisa dengan mudahnya membunuh Kazuki dengan menjadi seekor Naga Helios atau Ratu Tethys. Bahkan aku bisa menjadi Dewa Kematian. Kenapa Vi tidak melakukannya dan malah bermain UNO?

"Ya, sudah tiga kali aku melawan sesuatu dan aku butuh sedikit perubahan. Walau kurasa kamu takkan percaya kan kalau itu jawabanku, kan? Hahah!"

Aku mengerutkan dahi, kebingungan.

"Hmmm, kalau mau jujur, sih," lanjut Vi. "Mungkin obrolanku dengan bocah itu di permainan ketiga tadi bisa jadi salah satu alasannya."

"Tuan ragu?"

"Kurang lebih. Melihat biodata yang bocah itu miliki, aku merasa dia punya suatu jawaban yang cocok untukku. Sesuatu yang sejenak kulupakan sejak ronde kedua turnamen sebelumnya. Dan kali ini, aku sudah yakin kembali akan hal itu."

"Ja-Jadi benar kalau Tuan sungguhan menangis saat melawan Wildan?"

"Ahahaha! Cukup malu mengakuinya tapi… ya. Dia mengingatkanku pada seseorang."

"Seseorang? Jikalau hamba boleh tahu, siapakah gerangan…"

Apakah dia yang membuat Vi menjadi seperti sekarang ini? Apakah dia yang dimaksud oleh Vi ketika Vi mengatakan soal 'pertemuan' tadi? Apakah dia yang menciptakan sisi lemah Vi?

"…"

Namun Vi tidak menjawabku.

Dengan sedikit mengangkat dagu, Vi meletakkan jari telunjuk di bibir dan menjawabku menggunakan bahasa asli Amatsu.


"内緒~"
 

27 comments:

  1. PERTAMAX YA

    Sumpah dim ini kocak banget.
    Baru kali ini saya baca tulisanmu dan lololololol

    Kagetora kalahnya gampang xD
    (Oi, ini entri siapa oi)

    Dan saiko punya nama panjang SAIKO UMBRA

    wkwkwkwkwk


    Ngga vote ya, ga nilai juga. Kamu lawan saya
    wwww

    At least saya cukup terhibur. xD

    ReplyDelete
    Replies
    1. Your, opponent

      Kazuki Tsukishiro

      Delete
    2. wwww... saya masih pake teknik keikaku doori sih di sini, atau mungkin karena ada faktor bawa partner dari dunia sendiri, akan ada banyak perubahan yang cukup kontras--karena ga mungkin juga bawa partner cupu tp pengen menang www
      Maaf, kagetora salah lawan untuk kali ini wwww,,,
      wahahaha, entah pada notis atau engga, saya pake dua PoV 1 di sini, Saiko yg asli sama Saiko yg digantiin Umbra xD
      anyway thanks beb~

      Delete
    3. anjeeer wkwkwkw

      Well, 2 pov 1? who cares, anyway? Doakan saya cepet kelar aja beb nulisnya :))

      Delete
    4. yah rapopo, yg penting dua2nya sama2 saiko.

      Delete
  2. Wex, gue nggak ngerti main UNO :p
    Tapi kocak juga pas ngikutin narasinya, gue sempet asli ngakak, kyk lebay to the max lagi. Dan monster2nya muncul belakangan, pakai sistem one-hit-kill pulak :p

    Karakter Vi juga dimainkan lagi hitam-putihnya, bikin gue campur aduk antara sebel dan simpati.
    Kayaknya utk yg ini gue ikut aturan yg udah2 aja deh, baca entri Kaz dulu baru vote yg mana. Blm langsung vote dulu yah :p
    Salam dari Vajra. NB: Si Kaz jadi kyk Vajra di entri prelimnya Tasya, penuh petuah :p

    ReplyDelete
    Replies
    1. wahahaha, saya kira semua orang main UNO, ternyata saya salah sangka wwww
      Hu uh, karena keduanya kuat jadi ya paling efektif one hit kill meski Kazuki cm bisa nusuk doang karena pura2 nunduk pas nipu si Vi~
      Yah, mungkin saya bakal reveal soal siapa Vi yang sebenarnya pas lawan Dyna (semoga ketemu) www, spoiler dulu infonya xD
      thanks btw~

      Delete
  3. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  4. KEDUAXXXX


    anjaaaay, Dimdim-sama ngeluarin entry banyolan, KIMO KAMU,

    wkwkwkwwkwkwkwk


    "KOCOK AKU PLS, SAIKO-CHWAAAN~!"
    Bangkee~
    XD

    btw, saya gak paham UNO ini permainan kartu kayak gimana. Jadi sepanjang battle strateginya saya lost di tengah jalan.

    -edit
    penjelasan dari Dee di chat ternyata lumayan mencerahkan.

    Vii seperti biasa menang lewat nafsu berapi-api yah, serem juga Kazu yang udah yakin bisa mengontrol permainan, malah jadi mati kepenggal sama senjatanya sendiri.

    Btw, Vii shipping sama Wildan please~
    ._.


    ReplyDelete
    Replies
    1. wwwwww ternyata sudah ada dua orang yg ga tau UNO... mungkin lain kali saya jelasin singkat dulu deh kalo lagi kasih suatu permainan...

      saya sih pengen nunjukkin battle yang bisa saling counter tanpa bak bik buk, semoga cukup tampak...

      thanks anyway~

      Delete
    2. I anounce!

      My vote goes to...... VI TALITHA
      **tepuk tangan**

      Alasan : SAIKO-CHAN

      Semoga lolos ke ronde berikutnya. :D

      Delete
    3. makasih bang~ kalo lolos di ronde selanjutnya bakal saya bikin ultimate entry~ xD

      Delete
  5. Awal lumayan bingung.
    Agak ke tengah sip. Tengah sip. Rada ke belakang ruwet bin high speed. Tambah kebelakang super speed. Dan akhirnya buyar. Mata gue harus cermat baca.
    6/10

    ReplyDelete

  6. Fatanir - Po

    Battlenya cenderung singkat ya. Kalau mind battlenya sendiri mungkin konsepnya udah cukup rapi, tapi pas eksekusi tersendat soalnya Mas Dim masih memperlakukan setting mind battle yaitu UNO, sebagai sesuatu yang pasti udah familiar bagi semua pembaca. padahal tugas penulis kan memberi info supaya pembaca familiar dan lancar bacanya karena persepsi udah disamakan dengan penjelasan tsb, bukan sebaliknya, menggelar setting tanpa penjelasan konsep untuk memperlancar dan "menyangka" para pembaca pasti bisa mengikuti flownya dengan lancar.

    Kalahnya Kazuki bagus sih, nggak pakai basa basi dan emang real memanfaatkan situasi yg ada. Paling pihak Vi terlalu mendapat hype. luar biasa licik, penguasa dunia, Umbra pun bisa menang kapan saja dsb, sehingga keseruannya berkurang.

    ReplyDelete
    Replies
    1. iya, aaaa, maaaf saya salah di situ... harusnya saya kasih panduan singkat aja soal uno.. maaf u,u
      .
      Hmmm, mungkin poin di situ bisa kurang ya karena melebih2kannya itu, tapi saya nulis itu buat dukung next plot sih, dan memanfaatkan entry ini untuk itu agar saya bisa melengkapinya (secara berpikir positif) pas lanjut di next round... well, cukup jadi pedang bermata dua, anyway, thanks for reading~

      Delete
  7. What the hell is UNO?

    I was lost for the entire UNO game... anyway, trik menggunakan Umbra untuk menggantikan Saiko boleh juga. Tapi saya cukup bingung, sama dengan Umbra, buat apa memperpanjang waktu lawan yang sejak awal sudah bisa dikalahkan?

    Zoelkarnaen
    OC: Caitlin Alsace

    ReplyDelete
    Replies
    1. Damn it, this is hard!

      Sorry, Kazuki, but I'll go for Vi...

      VOTE: Vi

      Delete
  8. somehow, saya ga bisa nulis reply buat balas om zoel, jadi saya komen aja di sini www.
    hu uh, kesalahan fatal saya nih kurang menjelaskan bagaimana UNO, tapi sebenarnya UNOnya cm jadi plot device aja, walau saya rasa emang orang harusnya menikmati adegan bermain UNO.
    Hmmm, soal itu udah dijelasin secara samar sih di entry, tapi masih dirahasiakan sama si Vi, nanti next round bakalan jadi jelas semuanya www
    anyway, makasih komentar dan terlebih, VOTENYA~
    uhuuuu~ uhuuu~

    ReplyDelete
  9. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  10. Entri Vi menurut saya menarik, narasinya unik, awalnya saya kira sudut pandang panitia, ternyata... [spoiler]

    Seperti reviewer yg lain, saya kurang tahu cara main UNO, sering liat tmen yg maen, tp belum ada kesempatan main XD
    Tapi walau begitu keseruan permainan masih bisa tersampaikan dengan baik.

    Secara pengembangan karakter Vi menurut saya lebih terasa menjanjikan daripada Kazuki

    Nilai Vi: 8

    VOTE: saya pilih Vi
    D. Lanjung (Asep)

    ReplyDelete
  11. Saya suka ketika main UNO! Mereka mau dapat tujuh sampai berapa kali?!
    Skip, Skip, Skip, Uno, Skip lagi... ending yang sadis... apalagi kalau cuma main berdua.

    Karena dua-duanya battlenya terlalu minim, saya pakai adegan di luar battle sebagai takarannya. Kazuki punya kesuraman di ceritanya, sedangkan Vi punya adegan UNO yang sangat menarik.

    Vote for Vi!
    Karena Adegan UNOnya!

    Sekian dari saya, terimakasih.
    OC : Renggo Sina.

    ReplyDelete
  12. entry Vi jauh beda dengan Kaz yang gelap, suram dan dingin. yang ini terasa ramai, lincah, nggemesin, bitchy banget, gitu. Ditambah pakai UNO, pendekatan yang nonmaintream, yang akhirnya setelah saya gali ingatan saya, saya tahu UNO dan pernah main! ("oalah, yang itu, iya, iya... saya ingat"). Meskipun penggunaan UNO disini beresiko ya dim, enggak semuanya tahu, dan tentu saja bisa tidak memenuhi taste yang pembaca yang battle-minded (seperti saya), but... saya puas aja membacanya. Dan jujur, karakternya Kaz yang adem ayem dingin menghadapi Vi itu... menurutnya memberikan satu poin tersendiri. keseimbangan juga penting.

    aku nyerah buat yang blok ini. Samapi sekarang belum bisa menentukan.
    DRAW aja. maaf.

    OC Mima Shiki Reid.

    ReplyDelete
  13. aye rada kagak ngerti ama nih tulisan,,,aye juga kagak tahu UNO,,,kalo gaplek sih jagoan deh aye,,ehehehe

    ini tulisannye bagus,,tapi kebanyakan hal nyang aye kagak pahami,,kayk si naratornye seru sendirian aje,,sementara aye sbagai pembaca katrok malah bengong sendirian,,,ya gitu aje deh,,,bingung aye mau komen apelagi,,,

    karakter aye si Kumirun,,ude tue,,,ude lenggser pule

    ReplyDelete
  14. *acungkan tangan*

    Idem sama yang lain. Saya juga belum pernah main UNO ._.

    Well, komentar saya terhadap entri ini itu ... syairnya nggak gitu paham, narasi si Saiko menyebalkan dan bawel, penontonnya berisik, plot ceritanya bagus tapi pembawaan ceritanya nggak nyaman bagi saya. Ditambah, sulit bagi saya memahami sepenuhnya kenikmatan duel UNO kalau saya tidak akrab dengan permainan itu. (Dan ini waktunya udah mepet buat komen, jadinya saya nggak bisa riset dulu soal UNO)

    Triknya seru, saingan sama entri Kazuki sendiri. Lalu eksperimennya dapet. Dan kedua entri Kazuki maupun Vi sudah bagus. Tapi kalau disuruh memilih, barangkali saya memilih yang lebih "enak" pas saya baca. Jadinya vote saya mampir ke lapak sebelah~

    OC: Kusumawardani, S.Pd

    ReplyDelete
  15. Sebenernya di awal saya kira saya bakal lebih favor ke Vi, tapi setelah ngeliat ulang dan mikirin struktur ceritanya buat perbandingan, entri ini itungannya terlalu gampang. Mainan Uno ini eksperimental, saya jadi keinget reception orang pas saya bikin capsa juga beda". Tapi closurenya - meski emang ada unsur twist - juga ga kuat, kesannya yaudah, gitu aja. Poin yang sama kayak pas lawan Wildan, jadi trik finishing Vi kerasa kirang variatif imo

    ReplyDelete
  16. Dhika (guest)

    .... 1 kata untuk cerita ini. UNIK!

    Dari awal cerita sudah disuguhi ceria yang ringan dan sedikit berbau komedi, sempat cekikikan sendiri pas membaca 'KIMO KAMU', masih kebayang ada orang yg ngomong kayak gitu xDDD hahaha... terus komen2 penonton yg ada... macem2 dah...

    Masuk lebih jauh ke cerita, sudah mulai pengenalan karakter, si Vi dan si Kaz yang memiliki sifat yang bertolak belakang, yang satu 'otaku' yang satunya lagi 'cosplayer'.... berbeda.

    Tapi... kenapa malah jadi main UNO???? masih bingung daku..

    Cerita yang unik, benar2 unik sampai saya bingung sendiri mau ngejelasin kayak apa xDDD tapi, melihat entri pesaing Vi si Kaz, saya lebih memilih Kaz selain ceritanya yang lebih dapet feelnya, somehow lebih mudah dicerna dan diresapi macam minum multivitamin penambah nafsu makan.

    Mohon maaf tapi vote saya berikan kepada Kaz, BUT cerita yang unik dan inspiratif ini sangat langka dan jarang didapat, membacanya pun ada kesan tersendiri terutamaucapanKIMOKAMUitu xxDDD

    Mohon maaf jika terdapat kesalahan ucapan dan kata2 baik sengaja maupun tidak.

    ReplyDelete