15.5.15

[PRELIMINARY] APIS - ATRAKSI ABSTRAKSI

[Preliminary] Apis - Atraksi Abstraksi
Penulis: Ilira

Pertamanya hanya senyap.

Lalu kelamaan, ia jadi dengung samar yang dilantur serempak, semakin lama semakin keras namun tetap terlalu lirih untuk dipahami, khas mantra kuno. Tapi Apis tak terusik, dia sudah kenal akrab dengan situasi itu.

Wadana—sebutan bagi humanoid burung tak bersayap—itu membuka mata dan menemukan dirinya berada di dunia jingga dan merah, mengambang bersama baris-baris aksara kuno berpendar putih yang bergerak tak tentu arah, sedang berhadapan dengan sesosok melata.

"Enam puluh tahun berlalu sejak engkau jadi persembahan bagiku." Suara itu bicara langsung di kepala Apis, terdengar sebengis dan semengancam wujudnya, ular raksasa berkaki empat―Naga Mula-Mula. Apis ingat waktu pertama mendengarnya, dia ingin mengerut sampai hilang agar tak perlu mendengarnya lagi. Sekarang keadaannya tak banyak berubah, "jantung engkau sudah berdetak terlalu lama, Wadana!"


"Menantilah dua ratus tahun lagi, kalau begitu. Aku tidak akan mati semudah itu!" balas Apis. Seperti suaranya, sekujur tubuhnya gemetar, bahkan giring-giring di kakinya sampai bergemerincing meski dia tak sedang menggerakkan kaki. Ketakutannya membuat bicara saja seolah sudah menghabiskan seluruh tenaganya, tak peduli dia memiliki tubuh sesehat manusia dua puluhan tahun, seperti yang ditunjukkan penampilannya.

"Engkau jadi pongah karena dapat lari dariku." Sosok itu berkata lagi dalam benak. Matanya yang kuning berkilat, satu-satunya yang bercahaya dari tubuh yang tersaput uap tipis selegam arang, beradu dengan mata ungu Apis. Ia melayang mendekat dan mengangkat cakar, yang satu kukunya saja sudah nyaris seukuran Wadana itu, "sungguh aku ingin tahu dari mana kekuatan itu berasal."

Apis ingin menanyakan maksud perkataan itu. Jiwanya terikat ke sang Naga, yang selalu dapat menemukan dan datang ke mimpinya, menagih kematian si Wadana, membuat bersembunyi saja sudah merupakan hal mustahil. Tapi pada akhirnya Apis memutuskan diam. Dia tahu kalau pun makhluk itu menjawab, belum tentu ia akan jujur.

"Apakah dari leluhur engkau, Garuda terkutuk itu?" geram sang Buas. Cakarnya hendak mencabik Apis, yang mengangkat tangan melindungi wajah, meski dia tahu serangan itu akan terhalang perisai tak terlihat, seperti biasanya lindungan Garuda bekerja melindunginya dari si Naga.

"Tapi tak mengapa, aku tahu tujuanmu juga bukan tempat aman bagimu." Jauh di atas Apis, sosok itu berdesis, "sebentar lagi kau akan datang padaku dalam keadaan mati raga. Saat itulah, kujanjikan kehancuran pertama kali di kota tinggalmu sebagai balasan penantian ini."

Buas itu menarik kembali cakarnya dan mundur, tapi dentum jantung Apis tak menunjukkan tanda-tanda mereda. Kakinya gemetar dan nafasnya masih memburu bahkan setelah Naga itu menukik turun menjadi setitik kegelapan jauh di bawah.

Hampir saat Apis mengira dia akan terbangun seperti sebelum-sebelumnya, gelap malah menjalar dan menelan tempat Apis berada, melebur warna-warna, memecah huruf-huruf. Saat sekeliling Wadana itu sepenuhnya gelap, terlihat cahaya berkedip. Sekali, dua kali, seakan sinar berusaha menyeruak bayangan.

Pada kedipan ketiga, cahaya itu merobek gelap sepenuhnya, dengan cepat mewarnai sekeliling Apis dengan dinding kelabu yang berukir pola garis-garis dan lingkaran bewarna hijau kebiruan berdenyar-denyar.

Asap bewarna senada lalu memadat sejajar mata Wadana itu, membentuk huruf—yang seharusnya asing, tapi Apis dapat membacanya seolah aksara Bentala membayang di sana—bertuliskan ALFOREA, di atasnya dihiasi siluet dua orang menyilangkan pedang dan tongkat seperti hendak bertarung.

Di antara kedua huruf A, tertera tulisan yang lebih kecil berbunyi The Exiled Realms. Kira-kira sejengkal lagi di bawahnya ada persegi panjang hitam yang garis tepinya bercahaya hijau, terbaca kata 'MASUK' di sana.

Butuh beberapa detik bagi Apis untuk mencerna kejadian. Dia mengerjapkan mata mengira dia mengkhayal atau melihat halusinasi setelah Naga itu akhirnya membuatnya hilang akal.

Tapi tidak ada yang berubah.

Tulisan yang tak dia mengerti artinya itu tetap di depannya, bertengger di udara seolah menantinya berbuat sesuatu. Apis menatap sekelilingmenduga semua ini hanya jebakan mimpi karena debu penidur. Hal yang sudah biasa terjadi di hutan Bentala.

Dia memutuskan untuk berkeliling lebih dulu, tapi tak butuh waktu lama sebelum dia menemukan bahwa tak ada retakan seperti yang biasanya ada di jebakan mimpi, sejauh apa pun dia mencari.

Maka, dia kembali ke tulisan dan mengitarinya. Bila diperhatikan, huruf itu setipis rambut dan bisa buyar seperti uap saat Apis melambai tangan melewatinya. Akhirnya, semata karena tak punya pilihan, dia mencoba mendorong papan 'MASUK' layaknya pintu, walau dia ragu benda itu bisa mengantarnya ke mana-mana.

Papan itu bersinar putih begitu Apis menyentuhnya. Dalam saat bersamaan, tempat itu bergerak begitu cepat, menyisakan kelebat-kelebat hijau. Apis bahkan belum sempat terkejut ketika dia menemukan tubuhnya dari pinggang ke bawah digantikan oleh persegi-persegi tembus pandang. Dia berkedip dan menemukan tangannya sudah menghilang dan sekejap kemudian dunianya menghitam.

Downloaded data
100%

Patching Archive_25042015.wjk
Extracting data...

Installing Interdimensional Fighter files to C:/…/database/independent_AI...
Successfully installing files.

Installing Dimensional Transfer files to C:/…/database/realms...
Successfully installing files.

Configuration finished.
Patching completed.

Connecting to server...
Login to server...
Successfully connected.

Tulisan itu muncul dan hilang terlalu cepat untuk dibaca, walau sebenarnya jika punya kesempatan, Apis yakin dia juga tak akan mengerti.

Menggantikan tulisan itu, mendadak muncul sebuah gambar bangunan besar yang semegah keraton di ibu kota Bentala. Bangunan serupa puri ini memiliki atap biru mengkilat dan dinding putih bersih, halamannya tampak luas dengan air mancur sebagai pusat dan taman mengelilingi. Ia tampak persis lukisan, dibingkai garis hijau bersinar. Mungkin sebagai penjelasan, di bawahnya ada tulisan:

Despera Central Square
Location: Despera, Capital
Type: starter town/special
Element: neutral
Timelineday map
PvP: disabled
Loading....

'Alun-alun tengah Despera', 'ibu kota', aku paham itu, Apis membaca satu-satu tulisan itu, sedikit bingung kenapa dia bisa mengartikan semuanya walau itu bukan bahasa yang dikenalnya. Tapi 'kota pemula', 'peta hari', 'PvP', 'memuat'? Sandi apa itu?

Dia melihat ke bawah teks, mendapati persegi panjang kelabu, sesuatu yang bersinar hijau-biru bergerak seolah menutupinya dari sisi kiri. Saat ingin menyentuhnya, Apis tersadar satu hal.

Dia tak berwujud.

Namun sebelum Apis sempat memikirkan apa yang terjadi, keadaan sekitarnya kembali berubah. Sekilas dia bisa membaca tulisan 'Loading....' berubah menjadi 'Finished', sebelum bangunan-bangunan mewujud nyata di hadapannya.

Apis merasa dia diciptakan kembali, secara harfiah, ditumpuk dan disusun sampai menjadi rupa yang semula.Rasanya tak bisa dibilang menyenangkan, setiap potongan yang menyatu seperti menekan tubuhnya dari segala arah, tapi setidaknya sensasi itu cepat berakhir.

Saat dia membuka mata, di depannya ada istana seperti yang dilihatnya tadi. Hanya saja, bila di gambar halamannya tampak lengang, dalam kenyataan alun-alun itu penuh sesak.

Apis bisa melihat berbagai jenis makhluk, manusia atau separuh manusia, dari kerdil sampai raksasa, bahkan robot yang menjulang jauh di kiri depannya. Mengapit Wadana itu, adalah wanita berpakaian ketat bertopeng dan pria yang juga bertopeng perunggu menggandeng tangan seorang wanita berambut keemasan. Di sebelahnya lagi ada yang berambut hijau diekor kuda yang mengenakan penutup sebelah wajah warna merah. Mau tak mau dia merasa sedang berada di pesta topeng. Situasi ini mirip kisah yang pernah didengarnya dari pedagang asing di pelabuhan.

Apis memegang dagu, dia tahu pasti dia tak sedang menghadiri pesta apa pun, dia juga tak ingat pernah disergap untuk dibawa ke tempat asing ini. Lalu kenapa dia bisa berada di sini? Lelaki membuang nafas, merasa buntu.

Pikir keras, coba ingat lagi.

Wadana itu mengilas balik, masa sebelum Naga datang dalam mimpinya.

Pria itu dalam perjalanan menuju pesisir barat. Kemudian ada sekelompok preman mabuk yang menggodanya ....

Apis berhenti di sana. Bukan itu, yang lain.

Mengingat hal itu selalu berhasil membuat Apis gusar. Dia memang sengaja berpenampilan wanita untuk memudahkan pekerjaannya. Tapi karena itu juga, dia jadi sering terlibat dengan hidung belang atau paling tidak, orang usil.

Setelah menghela nafas dalam untuk menenangkan diri, Apis membawa pikirannya kembali ke Bentala dan teringat dengan kertas ungu mendarat di sisi kakinya saat dia tengah berjalan di hutan, dan juga seekor elang peliharaan terbang melintas di atasnya.

Karena penasaran, Apis mengambil kertas bewarna tak wajar itu. Isinya tentang pertarungan di suatu tempat, ada sesuatu tentang hadiah juga. Mengira itu undangan dari lanun incarannya, maka dia mencoret kata setuju tanpa pikir panjang dengan pena ilalang miliknyaNamun sebelum dia sempat beranjak, sebuah lubang tiba-tiba muncul di tanah dan menelannya. Mengingat itu terakhir kalinya Apis melihat Bentala, dia mulai menduga kalau kertas itu bukan jebakan mimpi, maka merupakan jampi pemindah tempat seperti yang pernah dibacanya dari kisah-kisah lama.

"Selamat datang di Alforea, wahai para petualang!"

Suara seorang wanita membuyarkan pikiran Apis. Mengikuti arah pandangan orang di sekitarnya, dia mendongak dan menemukan si pembicara di balkon istana. Dari tempatnya berada, Apis bisa membaca tulisan di atas kepala wanita berambut putih itu, Tamon Ruu, mungkin itu namanya.

Tamon Ruu terlihat masih muda, parasnya serupawan bidadari dan suaranya juga indah. Tapi hanya itu pesonanya. Saat dia—sedikit-banyak—berusaha menjelaskan alasan semua orang dipanggil ke Alforea, rupanya dia sendiri tak terlalu mengerti.

Nalar Apis seperti bertabrakan. Pertama, setahunya hanya ningrat yang diperbolehkan melakukan audiensi. Tapi, bila yang di depannya ini memang ratu atau semacamnya yang memerintah Despera, tentu dia menyembunyikan kemampuan yang membuat dia belum dikudeta dan juga mempertahankan tempat ini dari caplokan kerajaan lain.

Ah, dia membatin, ternyata di luar Bentala ada macam-macam hal yang belum kuketahui.

Pada akhirnya, Hewanurma, pria dengan garis wajah tegas, yang menyela Tamon Ruu sejak tadi, mengambil alih pembicaraan. Dia, yang lebih kompeten dibanding rekannya, memaparkan tentang pertarungan antar dimensi, di mana pemenangnya akan mendapatkan apa pun yang dia inginkan, dan tentang babak penyisihan.

Kalimat terakhir mengusik Apis. Sosok Naga Mula-Mula terbayang lagi di benak, sedang menyeringai padanya, seolah mencemooh.

Keabadian untuk menyegel Naga itu selamanya? Kekuatan untuk menumpasnya? Apis meremas tangannya gelisah. Tidak, terlalu muluk memikirkan kemenangan sekarang, apalagi aku belum tahu apakah dia berkata benar atau tidak. Lagipula ....

Apis melihat sekelilingnya, menemukan tulisan menumpuk di atas kepala orang-orang, membuat nama mereka sulit dibaca. Dia menggeleng dan membuang nafas. Penyisihan, katanya. Sementara nama orang-orang di sini bahkan belum kuketahui.

Menurut paparan Hewanurma, pertarungan akan dilakukan secara berkelompok, menimbulkan kasak-kusuk di alun-alun hampir seketika. Ketika dia mengumumkan dimulainya babak penyisihan, suasana jadi seramai pelabuhan disambangi saudagar dari seberang lautan.

Apis melihat-lihat sekitar, mencari rekanan. Rambut ungu bertopi yang bersandar di pilar batu di dekatnya tak bisa dijadikan teman sekelompok, dia terlalu sulit dibaca. Wanita bermantel sewarna pasir di dekat air mancur tampak bisa diandalkan, begitu juga dengan pria berbadan kekar agak di sebelah kanannya. Wadana itu mengangguk pada dirinya. Mungkin mereka bisa jadi pilihan bagus.

Lelaki itu baru saja akan melangkah, namun sebatang pohon melintas di depannya, nyaris menabrak andai dia tidak sigap mundur.

<Maaf, Mbak, buru-buru nih.> Tulisan kuning muncul di sisi pohon selagi dia berlari(!) pergi tanpa menunggu jawaban.

Belum habis kekagetan Apis, sekarang ada sebuah peti melompat-lompat dan berhenti di depannya.

Ini pertunjukan jalanan? Dia tertegun sejenak melihat kotak Kemudian dia melihat lagi wanita bermantel bersama tiga orang lain memecah dalam petak-petak transparan, sementara pria yang dia perhatikan mulai dikerumuni orang.

"Permisi," katanya cepat-cepat, walau tak yakin kotak itu dapat mendengar, "aku hendak membuat kelompok dengan―" ucapan Apis terhenti di sana, sebuah papan hitam transparan tiba-tiba muncul di depan matanya.

<Memroses kata kunci...>
<Memulai pencarian anggota kelompok dalam radius 5 meter...>
<1 karakter bersedia bergabung.>
<Kelompok telah dibuat.>

<Membuka portal dalam 3 detik.>

Papan bertanda '>' dan 'X' muncul di bawah tulisan yang terakhir, berkedip seperti meminta Apis memilih, sementara angka yang tertera terus berkurang. Tangan Apis baru terangkat untuk menyentuh papan, ketika sensasi familiar itu kembali, tubuhnya seperti dibagi dalam petak-petak yang diurai, seperti saat dia memasuki Alforea tadi.

Tanpa sempat protes atau bertanya siapa saja anggota kelompoknya dan kemana tujuan mereka, lubang hitam seperti yang membawanya dari Bentala sudah membuatnya meninggalkan Despera.

Ducles Tahl Castle's Yard
Location: Shor'n Plain
Type: field
Element: earth, wind, dark
Timeline: night map
Boss: Tamon Rah
PvP: disabled
Loading....

Kali ini, bagian 'Loading' berubah menjadi 'Get Started!', bukannya 'Finished'. Apis menatap gambar padang berbatu di hadapannya dan meneguk ludah, berusaha mempersiapkan hati menghadapi apa pun itu yang hendak dimulai.

Begitu gelap menghilang, lelaki itu menemukan dia tengah berada dalam kubah biru tembus pandang yang tersusun dari segienam-segienam sama sisi.

Di balik kubah ada hamada—gurun berbatu-batu sampai ke ujung cakrawala, persis seperti gambar yang dilihatnya tadi. Langit malam bertabur bintang, di titik zenith tampak bulan merah yang membesar sedikit-sedikit. Di timur ada bulan pendamping warna kuning yang tampak mungil, walau sebenarnya itulah ukuran normal penerang malam.

"Selamat datang di Shor'n Plain, para peserta turnamen."

Suara datar seorang gadis. Apis berbalik untuk menemukan seorang wanita bersetelan rok megar berenda bewarna pink-putih yang tubuhnya transparan. Nama Katerina tampak di atas kepalanya.

"Hantukah?" Apis bersiap mencabut keris dan memundurkan sebelah kaki sebagai kuda-kuda, tapi suara tawa tertahan dari belakang menghentikannya.

"Pfft ... hah-HAHAHAHAHAHA!! Seriusan kamu kirain itu hantu?"

Apis sigap berbalik dan menemukan seorang pemuda berambut merah terbahak. Dia menghampiri Wadana itu setelah berhenti tertawa, tapi seringai masih tampak di wajahnya.

"Bukan hantu, Non, ini namanya hologram," kata pemuda berambut merah itu sambil mengulurkan tangannya menembus tubuh Katerina yang tak bereaksi apa-apa.

"O-oh, jadi bukan hantu." Apis memaksakan senyum sopan pada pemuda dengan nama Ernest, yang terlihat terlalu gembira bermain dengan hologram itu, "lalu, bagaimana kamu bisa sekelompok denganku?"

"Aah, itu ... kau tahu," kata Ernest. Dia berhenti menjulurkan kepala menembus wajah Katerina, "tadinya aku iseng mengiyakan waktu ada hologram yang nanyain apakah aku bersedia ikutan grupmu blablaba nongol. Kupikir kamu bakal batalkan kelompokmu."

"Adakah cara membatalkannya?"

"Ergh. Kan ada tombol silangnya! Kamu gaptek, ya?"

"Gaptek? Apakah itu?"

"Lupakan." Ernest mengibas-ngibas tangannya, "sekarang ini kita satu kelompok, suka atau nggak,"—dia menyeringai pada Apis—"aku gak tahu kamu gimana, tapi jujur aja, aku nggak."

Ah, anak muda dan ucapannya yang tak dijaga. Apis menahan ucapan itu, merasa lebih baik bersikap bersahabat setidaknya sampai dia tahu seperti apa babak penyisihannya.

Lagipula, Ernest tampak berbahaya. Dia boleh saja menyeringai seperti tak memikirkan apa pun, namun tatapannya awas, mencari kelemahan. Walau memang gerak-geriknya tak seperti seorang petarung.

"Bagaimana kalau kita mendengar penjelasan Nona Katerina?" Apis berkata lagi, "tidak baik membiarkan gadis menunggu lama ... meski dia tak menyuarakan keberatan."

"Ngomongin diri sendiri, Non?" cibir Ernest, "ya deh, aku juga males lama-lama di sini."

"Misi kalian adalah memenjarakan kembali Tamon Rah dengan bantuan raid guild." Katerina otomatis bicara begitu perhatian Apis dan Ernest tertuju padanya.

"Ret gilt?tanya Apis, dia ragu dengan pengucapannya, tapi berharap Katerina dapat mengerti. Dari pemahaman barunya, kedua kata itu berarti serikat penggerebekan. Dia baru tahu di tempat ini memiliki serikat khusus untuk melakukan penyergapan, "berkenankah menjelaskan, Nona?"

"FAQ#17. Massive Guild Raiding. Fitur yang baru ditambahkan sejak patch Dimension Transfer. Lebih dari seratus player yang tergabung ...."

Katerina masih menjelaskan, tapi Apis, yang sebenarnya semakin tak mengerti, tak lagi mendengarkan. Akhirnya dia bergumam pura-pura paham. Nanti dia juga akan melihat sendiri seperti apa 'serikat penyergap' itu.

Ada jeda beberapa detik sebelum Katerina lanjut bicara. "... kelompok Tuan Apis dan Tuan Ernest—"

"Tunggu, tunggu! Tuan Apis? Jelas-jelas dia cewek! Kamu error, Non?" Ernest protes.

"Aku ingin tahu dari mana kamu tahu jati diriku, Nona," kata Apis itu disahut suara tersedak dan batuk-batuk pemuda di sampingnya.

"Memangnya itu penting? Lebih baik cepat lanjutkan saja biar misi kita cepat selesai."

Apis menghela nafas. "Ya, kurasa aku setuju dengan itu."

Katerina bicara lagi seolah tidak diinterupsi. "Penjelasan misi. Tiga ratus detik dari mulainya misi, Tamon Rah akan muncul dari bulan Alkima. Setelah itu akses menuju dungeon Ducles Tahl Castle akan terbuka. Hancurkan kedua menara kristal untuk menyegel Tamon Rah."

Jeda sedetik. "Tim GM Alforea menyediakan storage braceletempat puluh botol Beginner Potionsepuluh perkamen Protection of Ruusepuluh perkamen Force of Nurmadua Life Thread bagi tim yang berpartisipasi."

Apis ingin meminta Katerina menjelaskan dengan bahasa yang dimengerti olehnya—jangan dulu istilah 'gelang penyimpanan', dia lebih ingin tahu sehebat apa sebenarnya 'kekuatan Nurma' sampai dibuat perkamennya dan bagaimana benda seabstrak 'benang kehidupan' bisa mewujud—tapi belum sempat dia bicara, petak-petak transparan muncul mengelilingi pergelangan tangan kirinya. Saat dia melihat rekannya, ternyata pemuda itu mengalami hal serupa.

"Semua barang tersebut bisa diakses dari storage bracelet di tangan kalian."

Petak hologram membentuk gelang tak sampai sedetik kemudian. Warnanya hitam dengan segaris cahaya biru di tengahnya, menempel ketat di atas pakaian merah Apis. Berat gelang itu tak terasa, namun pundaknya mendapat beban baru. Tidak sampai sekilo, dia memperkirakan, tapi lumayan untuk membuat kaget.

<Tutorial#1. Putar gelang ke atas untuk membuka jendela inventory. Putar sekali lagi untuk mengunci posisi jendela.> Tulisan biru kehijauan terlihat di atas gelang.

Apis mencoba melakukan itu dan sebuah persegi panjang putih muncul vertikal di atas gelang, yang bertahan di posisi sama, tak peduli seperti apa dia menggerakkan tangannya. Barang-barang yang disebutkan Katerina, setelah dibagi dua, ada di dalamnya.

Setelah mempelajari tutorial kedua, Apis tahu kalau Protection of Ruu gunanya untuk memunculkan sihir penyembuh dan Force of Nurma memberinya kekuatan dan kecepatan berlipat ganda selama semenit, sedangkan Life Thread dapat menghidupkannya kembali.

Lewat penjelasan selanjutnya, Apis mempelajari cara memindahkan barang ke orang lain selama jaraknya tak lebih dari 2 meter, mengeluarkan barang dari dalam storage dan sebaliknya. Setelah dia menyimpan teropong pemindainya ke dalam gelang, Apis menekan sisi gelangnya untuk melanjutkan informasi, namun ternyata pembelajaran sudah berakhir. Maka dia melihat ke arah Katerina.

Seperti tadi, setelah perhatian terfokus padanya, Katerina menanyakan tentang kesiapan mereka memulai misi.

Ernest bersorak dan berkata dia sudah siap sejak lahir, tapi Apis belum. Dia menanyakan tentang kekuatan dan kelemahan rekannya lebih dulu dan memberitahukan hal sama.

"Sebelumnya, boleh aku memberitahukan satu hal?tanya Apis dengan suara lembut sebelum menutup pembicaraan. Dia menelengkan kepala dan senyumnya merekah lebar, "sebenarnya aku lebih senang kalau kamu bisa berpura-pura menganggap aku wanita."

Ernest menatap Apis, pandangannya kosong. Apis menduga dia sedang berpikir.

"Terserah," kata pemuda itu setelah membuang nafas berat, "entah apa alasanmu, tapi kurasa lebih baik aku gak tahu."

"Terima kasih," ucap Apis atas pengertian Ernest, dia lalu mengalihkan perhatian ke wanita berbaju megar, "kalau begitu, Katerina, kami sudah siap."

"Pesan terkonfirmasi. Memulai misi. Semoga berhasil, peserta turnamen." Dengan ucapan itu, Katerina buyar dan dinding segienam di sekeliling mereka menyusut dari dasar ke puncak kubah.

Tepat saat kubah menghilang, Apis merasakan angin padang pasir menerpa, menerbangkan pasir ke mana-mana. Cuacanya tak sedingin yang diduganya, temperaturnya seperti malam di pegunungan.

Dia mengangkat kepala melihat angkasa, selain bulan Alkima yang membesar, di tengah udara tertera dalam warna kuning, <Time until Tamon Rah appears 299 sec(s)—Waktu sampai Tamon Rah muncul 299 detik.>

Semakin menurun, dia melihat pijar-pijar api magis merah dan kuning berpendar, memberi rasa hangat sekaligus menerangi tempat itu. Menyusur turun lagi, dia menemukan kerumunan manusia.

Jadi inilah 'serikat penyergap' itu. Jumlahnya lebih banyak dari yang kuduga.

Sekali lihat saja Apis tahu jumlah mereka ratusan, tersebar rapi dalam sebuah formasi di hamada. Penampilan semuanya tampak tak sama dan mereka mengenakan seragam berbeda, namun kesamaan mereka adalah lambang perisai berukir dan tulisan di atas nama mereka yang berbunyi: Alforean Army. Beberapa memiliki embel-embel pasukan penyihir, pasukan penyembuh, regu pemanah ... Apis yakin dia belum melihat semuanya.

Seperti Apis dapat melihat mereka, orang-orang itu juga menyadari keberadaan kelompoknya. Segera setelahnya, bisik-bisik menyebar seperti kebakaran.

"Akhirnya keluar juga AI independennya! Gila, loading sampai lama banget! Kupikir quest-nya bakal nge-bug!" Seorang pria di kerumunan di depan Apis berseru.

"RNG kurang sajen! Kenapa gak pernah ngasih NPC yang rarity S, sih? Mana cuma dua lagi!!" Pekikan itu terdengar jelas di antara gumaman.

"Gak penting ah, mau rarity apa juga juga bisa mengubah arus pertarungan, kok."

Secepat dimulainya, keributan itu mereda, diawali dari arah datangnya sepasang manusia penunggang hewan yang menghampiri Apis. Keduanya mengenakan zirah berat dan tampak berusia dua puluhan akhir. Bedanya wanita penunggang serigala memiliki pedang satu tangan tersampir di pinggang, sementara si pria yang menaiki singa membawa tombak di tangan.

"Jadi, kalianlah kelompok yang kami dapatkan," Wanita berambut hitam panjang itu membuka pembicaraan, suaranya tenang dan seberwibawa penampilannya yang laik seorang jendral, "aku Mira, ketua guild Alforean Army."

Ernest membalas salam dengan menyeringai dan mengangkat bahu, dia tak bicara.

"Apis," kata si Wadana. Merasa harus mengatakan jabatannya, maka dia melanjutkan, "aku penari di tempat asal aku."

Mira mengangguk sekali. "Aku tahu. Aku telah membaca tentang kalian."―dia meneruskan tanpa memedulikan perubahan ekspresi Apis―"jati diri, kekuatan dan kelemahan ...."

Dia berhenti sejenak. Di balik kacamata, matanya menatap dua orang di depannya lekat-lekat. "Dalam penyerbuan ini, kami berjanji akan melakukan apa yang kami bisa, dan sebaliknya, kami juga mengharapkan yang terbaik dari kalian."

Wadana itu tak menjawab. Pikirannya dipenuhi pertanyaan yang memanggil pertanyaan lain: siapa yang menulis tentangnya, apa saja isinya, apakah itu berhubungan dengan keberadaannya di tempat ini. Tapi, dia memutuskan, lebih baik mencari tahu apa hanya Mira yang tahu tentangnya, sisanya bisa menyusul.

Mira lalu memberi instruksi singkat pada rekannya, lelaki dengan nama Arkel dan tergabung di kelompok 'Alforean Army_Infiltrator Squad―Tentara Alforea_Regu Penyusup'.

Pria itu mengangguk dan menanti Mira pergi sebelum bicara dengan kelompok dua orang di depannya. Matanya berbinar cerah dan dia terdengar ceria. "Untuk mempermudah penyerbuan, masuklah ke guild kami."

"Memudahkan? Dengan cara apa maksud Anda?" Apis bertanya, hanya pengalaman yang membuatnya mengatakan itu dengan nada mengobrol. Pekerjaannya di Bentala mengajarinya untuk lebih waspada dengan orang yang murah senyum. Bukan hanya satu-dua orang yang menyembunyikan belati di balik keramahan itu.

Arkel menggaruk pipi. "Monster-monster level tinggi pasti menghalangi jalan kalian menuju reruntuhan. Untuk itu kalian butuh bantuan kami untuk bertahan hidup," katanya lancar, seolah itu hapalan, "lagipula, tanpa kalian, portal ke dungeon tak bisa terbuka. Di dalamnya juga banyak monster menunggu."

"Tentu saja," kata Apis, walau ada yang tak dia pahami dari jawaban itu (Monster? Portal? Dungeon?). Setidaknya dia mengerti bahwa mereka akan saling membutuhkan. Menurut Apis, itu malah wajar, dia akan lebih curiga bila mereka memberi bantuan tanpa mengharapkan balasan.

Pria itu menyerahkan sumbat telinga yang dia sebut komunikator pada Apis dan ErnestSetelah mengajarkan cara memakainya—mengubah dari mode pribadi, kelompok dan seluruh guildArkel kemudian mengisyaratkan pada tim itu untuk mengikutinya.

Mereka berjalan cepat-cepat ke ujung barisan, sambil bicara seadanya. Dalam dialog singkat itu, Apis tahu jati diri para peserta turnamen Battle of Realms, yang mereka sebut independent AI, ditulis dalam buku bertajuk 'BoR: Char Sheetyang hanya diterbitkan dua eksemplar. Dia juga diberitahu kalau Alforean Army merupakan satu dari lima besar guild paling berkuasa di Alforea—jenis permainan yang sedang populer saat ini.

Dalam perjalanan ke tujuannya, Apis dapat melihat keseluruhan tentara Alforea, empat peleton yang terbagi menjadi tujuh belas regu, yang dibedakan dari lambang dan warna perisai di atas nama mereka. Mengikuti arah yang ditunjuk Arkel ke tengah pasukan di garis depan, Apis menemukan Mira di sana, bersama sembilan orang lain yang lambang guild-nya bewarna emas.

"Tombak utama guild ini, Immortales," kata pria itu. Dia berhenti berjalan, sekarang mereka sudah tiba di pelataran tebing curam.

Apis hanya mendengar setengah hati. Dia mulai paham keadaannya. Berhasil lepas dari kejaran Naga hanya untuk menjadi barang pembantu dalam sebuah permainan. Dia tak yakin apakah itu perkembangan yang patut disyukuri atau bukan.

"Jadisekali lagi, tugas kita—" kata Arkel, dia berbalik menghadap anggota regunya, "menyusuri tebing sampai ke lereng di barat laut. Dari sana, kita tinggal lurus ke kastel."

Arkel menunjuk arah yang dimaksud, dua titik bercahaya di kejauhan yang tersembunyi di balik bayangan baris gemunung.

Apis menghitung-hitung, dengan langkah angin—berkah Wadana untuk bergerak secepat angin—miliknya, mungkin tak sampai sepuluh menit dia bisa mencapai tempat itu, tapi mengingat Arkel mengatakan sesuatu bernama 'monster level tinggi' yang menghalangi jalannya ke reruntuhan, Wadana itu memilih tak mengambil resiko. Kalau orang-orang kuat di sisinya ini saja butuh kelompok, apalagi dia yang bukan ahli pertempuran.

Setelah sembilan anggota tetap dan dua anggota sementara menjawab, penombak itu menyampaikan ke Mira lewat komunikator, bahwa semua telah siap di posisi.

"Phase terakhir, Tentara Alforea!" suara Mira terdengar jelas di komunikator Apis, "ayo, MENGAMUKLAH!!"

Diiringi gemuruh sorak-sorai dan langkah kaki pasukan garis depan, Mira memacu serigalanya, diikuti sembilan orang di sisinya. Pada titik tertentu, tulisan kuning tampak di tengah udara.

<Phase 4. Gall of The Imprisoned Beast>
<Time until Tamon Rah appears 170 sec(s).>

Bersamaan dengan hilangnya tulisan itu, makhluk-makhluk yang tak dikenal Apis bermunculan memenuhi dataran di bawah. Raungan mereka menyaingi teriakan guild Tentara Alforea.

Huruf-huruf di atas tubuh mereka menunjukkan nama yang tak dikenal Apis. Wujud mereka mengingatkan Wadana itu pada Buas dan Cemar penghuni mimpi buruk dan cerita seram orang tua, tapi sebelum sempat memerhatikan lebih jauh, dia menemukan kelompok Arkel sudah jauh di depannya.

"Mereka tidak ikut maju bersama kita?" Setelah menyusul dan berjalan cukup lama, Apis bertanya pada Arkel di sisinya. Wadana itu memerhatikan pasukan utama yang tak bergerak jauh dari tebing.

"Strateginya, mereka menahan Tamon Rah agar perhatian kuda itu tidak teralihkan ke kelompok kecil kita," jawab si penombak, "kita akan kesusahan kalau harus menghadapinya."

"Ngomong-ngomong, kamu sudah tahu di sini tak seramai di bawah, ya?" celetuk Ernest, mengingatkan Apis, dibanding dengan kerumunan di bawah sana, Cemar—jenis kerangka manusia bertubuh pendek atau mayat hidup dibalut bebat lapuk—yang mereka temui di pelataran tebing memang bisa dihitung dengan tangan.

"Ini yang kedua kali kami ke sini." Arkel mengangguk, lalu mengalihkan perhatian ke kekacauan, ledakan dan teriakan di bawah. Sesekali ada cahaya hijau berpendar di antara barisan Alforean Army yang menerobos maju, yang menurut penjelasan seorang anggota guild adalah penanda kematian, "tapi dengan AI berbeda-beda, mereka—"

Ucapan pria itu dipotong bulan merah meledak di angkasa dalam cahaya membutakan.

Setelah pandangannya normal, Apis menoleh ke asal cahaya dan melihat seekor kuda turun dari sana. Surai dan ekornya seperti api berkobar, tanduknya berulir dan menyala seakan terbuat dari logam yang dibakar. Sepasang sayap yang tampak seperti obsidian-obsidian transparan berisi nyata api membentang di sisi tubuhnya yang hitam dengan garis-garis jingga yang senantiasa berdenyar, menampakkan kesan kuda itu terbuat dari magma. Namun yang membuat Apis tercengang adalah ukurannya, ia sendirian saja sudah memenuhi lembah.

Begitu sampai di tanah dan mematikan beberapa anggota guild dan Buas tak beruntung, ia meringkik. Suaranya membahana, semengerikan tatapannya yang nyalang saat pandangan Apis dan kuda itu beradu—Apis terpaku, kakinya bahkan tak dia gerakkan saat lingkaran mantra raksasa warna merah muncul di antaranya dan Tamon Rah—mata kuda itu mengingatkannya pada Naga Mula-Mula, mata yang hanya dimiliki para pecandu kehancuran.

"Oi, jangan bengong!"

Bersamaan dengan seruan itu, Apis merasa tangannya ditarik. Sebelum dia sadar apa yang terjadi, dia sudah tiarap. Sedetik kemudian, dia mendengar suara deru dan merasakan panas di dekat kakinya, seakan alas kakinya terbakar.

Saat dia membuka mata dan berbalik, dia melihat dengan mata membelalak, sekitar lima langkah darinya, tebing melebur, membentuk jurang dengan lahar mengaliri tepiannya. Setidaknya ada satu hal yang disyukuri Wadana itu. Udara jadi tidak dingin lagi sekarang.

"Sudah mulai, ayo!" seru Arkel, "bergerak cepat!"

Mengatakan itu lebih mudah dari melakukannya. Dihalangi Buas yang semakin banyak muncul, dikejar-kejar bola api yang sesekali menyasar saat ada yang menggunakan sihir untuk menghalau Cemar-Cemar yang memanjat dari bibir tebing di sisi mereka membuat nafas Apis sudah putus-putus meski mereka belum setengah jalan menuju tujuan.

Baru saja selesai mengurusi makhluk di sekitar merekasepuluh langkah di depan guild itu, raksasa merah bernama Ghaddar bersama bawahannya mengadang.

Ghaddar tampak mengerikan. Ia dua kali lebih tinggi dibanding Apis dan tiga kali lebih lebar. Meski tak bersenjata seperti raksasa-raksasa bertubuh lebih kecil di belakangnya yang membawa pedang lengkung, seringai gila dan aura hitam yang menguar darinya menunjukkan seberapa bahayanya dia.

"Datang jugamini-boss level 90 dan antek-anteknya," gumam seorang wanita di sisi Apis.

"Siap-siap!" seru Arkel, "jangan sampai AI di-teleportasi!!"

Menjawab komando itu, kesepuluh regu penyusup lalu membentuk formasi, menjagai Apis dan Ernest di garis belakang.

Setelah melewati semua alang-rintang tadi, Apis sudah mengetahui bahwa kelompok penyusup terdiri atas tiga penyembuh, dua penyihir, satu pemanah, satu petarung tangan kosong, dua ksatria dan yang terakhir si penombak, Arkel; tiga penyokong, empat penyerang dan tiga pertahanan, tanpa menghitung Apis dan Ernest.

Pasukan manusia dan raksasa merah menyongsong maju dan pada titik tengah, mereka bertemu. Cakar merah beradu dengan tombak keperakan, lingkaran sihir merah yang muncul di tanah yang dipijak lawan berubah menjadi lahar atau dinding api, hujan anak panah membutakan sebelah mata Ghaddar, tinju beruntun memundurkan satu raksasa bawahan yang terbakar sebelum dia lenyap bersamaan dengan pudarnya angka-angka putih—itulah yang mereka muntahkan alih-alih darah—yang merayap naik.

Di belakang mereka, Ernest, setelah berpikir-pikir, akhirnya membantu menyerang dengan naginata—tombak berujung pedang lurus—dari auro, menyusul Apis yang menggunakan ilmu Remo Nebak Buminya untuk menyembuhkan petarung garis depan secara bertahap, membantu kedua penyembuh.

Serangan musuh lebih beruntun dibanding serangan regu penyusup. Ghaddar terus mencakar, kadang juga menanduk. Pedang-pedang bernoda darah menghunus dan menebas. Angka-angka merah penanda besaran luka mereka naik tanpa henti, sesekali diselingi angka hijau tanda penyembuhan diberi.

Kedua ksatria yang menggunakan tameng untuk menahan serangan terdorong mundur perlahan-lahan, sepatu mereka menyeret batu dan menimbulkan bekas di pijakan mereka.

"Perisai pertahanan habis lima detik lagi!" seorang ksatria mengingatkan. Dari pertarungan sebelumnya, Apis belajar bahwa mereka tak bisa menggunakan perisai untuk sementara. Itu artinya luka yang mereka derita akan lebih besar nantinya.

Satu penyembuh berhenti merapal mantra, berganti menambah pertahanan, seperti juga yang Apis lakukan dengan menarikan Remo Tatasan. Aura putih menyelubungi mereka bahkan setelah tameng diangkat dan para ksatria mengambil posisi sebagai penyerang.

Aura itu mampu menahan besarnya serangan yang mereka terima, namun tak dapat mengunci formasi seperti halnya tameng tadi. Dalam sekejap para raksasa bawahan sudah mendorong mundur para penyerang, membuat regu itu kocar-kacir.

Apis sedang bersama dua orang lain terbawa memepet ke tebing. Mereka hanya mampu melihat saat Ghaddar sudah di depan mereka, dengan tangan menangkup. Garis-garis segi delapan tumpang tindih muncul di kaki mereka dan menguarkan bayangan hitam menutup pandangan mereka.

Dalam sekedip mata, mereka berpindah tempat. Di sekeliling mereka dipenuhi lawan. Sejauh mata memandang, tak tampak sesosok manusia pun. Ranah utara tertutupi sosok Hantu, Cemar dan berbagai Buas tiada habis, tebing curam terlalu jauh di barat, sementara di selatan Tamon Rah yang sedang memberangus musuh dan teman sekaligus.

"Cepat lari dari sana!" Seruan seseorang terdengar dari komunikator Apis, suara Arkel.

Ghaddar yang membawa mereka ke kerumunan mendekat, begitu juga dengan para Buas yang menyadari keberadaan mangsa.

Namun saat serangan itu hendak mencapai mereka, sebuah dinding lengkung membentuk dari tanah.

"Ini cuma dua detik!" Orang yang terbawa bersama Apis ternyata penyihir, namanya RiseaGadis itu mati-matian merapal mantra angin saat dinding tanah beretakan.

"Kalau gitu, aku sembunyi aja, ya. Kalian lanjut sendiri. Dah." Ernest, yang juga terbawa, mengatakan itu dalam satu tarikan nafas.

"Tak bisa." Risea merapal mantra angin pendek untuk mementalkan musuh yang mendekat, "monster di sini elemen bayangan,"—mantra lagi—"mereka bisa deteksi orang sembunyi!"

"Bah, aku sial banget hari ini," gerutu Ernest.

"Tamon Rah," kata Apis, dia menatap kaki kuda yang menginjak pasukan petarung pedang magis di selatan mereka, "kata kalian tadi, dia terpancing oleh sihir?"

"Iya, tapi cuma seratus meter." Dinding tanah runtuh sepenuhnya, dia makin sering merapal mantra angin pendek-pendek untuk mementalkan musuh. Aura pertahanan mereka mulai berkeredep, menyadarkan Apis waktu mereka makin berkurang.

Apis mengira-ngira, semeter kurang lebih selangkah, sementara jaraknya ke Tamon Rah tak sampai lima puluh meter.

"Tutup telinga kalian," kata Apis, berusaha mengabaikan rasa sakit karena cakaran buas dan angka ratusan warna merah yang merayap naik dari sana.

Pertamanya penyihir itu tetap merapal mantra dan Ernest pura-pura tak mendengar, tapi tatapan Apis memaksa. Akhirnya ketika mereka melakukan seperti yang diminta, Apis menghentak kaki kiri ke tanah, mengaktifkan ilmu Kencaknya.

Bunyi giring-giring menyebar di antara para Buas dan Cemar, mengalahkan riuh pertempuran, memberi Apis beberapa detik pinjaman selagi pendengarnya mematung.

"Pasukan utama, hentikan memakai sihir! Akan aku alihkan perhatian Tamon Rah!" Apis berseru ke komunikator yang terhubung ke seluruh pasukan, sembari memberi isyarat tangan pada Risea untuk mulai merapal. Ernest menceletukkan agar dia berteleportasi saja sekalian, Apis tak ingin tahu entah pemuda itu serius atau tidak.

Ketika efek Kencak hampir habis, barulah cahaya-cahaya sihir makin berkurang sampai akhirnya seluruh hamada tenggelam dalam cahaya keemasan bulanmembuat pijar api yang diciptakan Risea dengan perkamen sihirnya tampak mencolok.

Tamon Rah meronta, berusaha melepaskan dari kuncian Kencak.

"Terima kasih, Risea. Kamu kembali ke Arkel kalau ingin," kata Apis, sambil berlari untuk mengambil jarak.

"Tak bisa!" bantah Risea, mengikuti Apis, walau jauh di belakang karena tak mampu mengejar kecepatan Wadana itu. Pijar api yang mengelilinginya menghanguskan musuh yang masih membeku, "kalau kalian mati, raid gagal, aku—"

Ucapannya ditutup oleh semburan api dari angkasa, yang mengubahnya dan semua musuh di sekelilingnya menjadi abu.

Menghindari semburan api sepanas neraka yang mendekat ke sisinya, Wadana itu segera menapaki pentungan milik salah satu Buas berkepala anjing yang masih bingung, sebagai tumpuan dan melesat ke barat laut secepat anak panah.

Hanya sekali dia menggunakan perkamen sihir Protection of Ruu dari inventory untuk menyembuhkan luka sekaligus memastikan Tamon Rah mengikutinya. Sepanjang jalan, kuda itu mengamuk dan membawa kebinasaan bagi berbagai makhluk cemar yang terinjak.

"Ternyata kamu ikut," kata Apis di komunikator saat melihat Ernest menyusulnya, dengan menginjak kepala atau wajah Buas, sesekali melompati cakar dan menghalau yang menyerangnya memakai bilah naginata.

"Tak bisa sembunyi, terpaksa ikut lari aja."

Belum sempat Wadana itu menyahut, Tamon Rah sudah berbalik, telah kehilangan minat terhadap dua orang itu.

"Giliranmu selesai, sekarang gantian," kata Ernest, membuka inventory dan mengetuknya. Cahaya merah, yang seharusnya tanda penggunaan Force of Nurma menyelimutinya hanya sedetik, tapi sudah cukup untuk menarik perhatian Tamon Rah. Kuda itu segera berbalik menghadap dua orang itu dan merangsek seperti kesetanan.

"Titip kudanya, Non." Pemuda itu berlari menapaki beberapa Buas sambil mengangkat naginata-nya di atas kepala, sebelum menyodokkan bagian bilahnya ke muka salah satu Cemar naas dan menggunakan daya tolak itu untuk melenting. Dia berseru, "Swift Shift!!"

"Kamu jadikan ini balapan?" tanya Apis, menggeleng kepala bingung. Tapi kemudian dia memutuskan untuk menyusul. Satu bola api Tamon Rah menyasar di belakangnya. Terlambat bereaksi sedikit saja berisiko membuatnya hangus.

Menyadari arahnya condong ke tebing dan membuatnya lebih mudah dikejar, Wadana itu menjejak ke senjata salah satu Cemar sebagai tumpuan baru dan melesat lurus ke utara. Hitung-hitung juga membersihkan lembah dari makhluk-makhluk seram, agar pasukan utama Alforean Army dapat  maju lebih mudah dan cepat.

Apis sudah menyusul Ernest, ketika sebuah dinding bundar emas menghalanginya. Hanya keberuntungan semata yang membuat batang pohon raksasa yang tiba-tiba turun dari langit tidak meremukkan tubuh Apis, tapi menghempas udara di sisinya.

Wadana itu menghentikan lajunya untuk berhadapan dengan bentuk asli penghalang itu. Dia menengadah dan menemukan bahwa yang di hadapannya ternyata adalah perut tambun milik seorang raksasa setinggi tebing. Kedua tangannya memegang gelondongan yang diangkat tinggi–tinggi. Nama Diwe tampak di atas kepalanya.

Tapi hanya itu yang dia tahu. Soal rencana bertempur, dia sama sekali tak punya. Tiga meter di bawahnya, tangan-tangan Cemar menggapai-gapai, siap menangkapnya.

"Kau akan datang padaku," bisik sebuah suara di telinga Apis, suara Naga Mula-Mula, "sudah terlalu lama engkau buat aku menunggu kematianmu."

Seolah seperti tersadarkan, sekarang Apis dapat melihat sekelilingnya lebih jelas. Dia mengarahkan kaki menjejak tangan satu Cemar dan melompat mundur.

Sekarang dia melihat Ernest jauh di sampingnya, sedang menginjak moncong panjang Buas kadal, sambil memutar-mutar naginata-nya memotong tangan-tangan Buas yang mendekat, layaknya pemotong daging. Ternyata jalannya juga terhalang oleh Diwe.

Kabar baiknya, mereka tak sedang diapit raksasa dan kuda api. Dari cahaya terang dan bunyi ledakan dahsyat jauh di belakang, Apis menduga Mira, ketua guild Alforean Army itu memerintahkan penyihirnya menggunakan sihir tinggi untuk mengalihkan perhatian Tamon Rah dari kedua AI.

"Cepat juga kau mengejarku," kata pemuda itu saat Buas di sekitarnya sudah tak bertangan. Dia lalu melompat menyamping, menghindari gelondongan yang dihantam Diwe ke arahnya.

"Bukan sesuatu yang patut aku sombongkan," balas Apis, sambil melompat tinggi agar cakaran Buas serigala tak menangkap kakinya.

"Tapi kamu terhenti di sini." Ernest tergelincir saat menapaki moncong Buas kodok dan hampir jatuh ke kerumunan andai Apis tak menarik kerahnya.

"Kamu juga begitu, bukan?" Apis berkata, karena tahu pemuda itu tak akan berterimakasih.

"Kau ini menyebalkan."

Sekarang mereka berdua berdiri sejajar, menghadap Diwe yang terlihat kesulitan memilih satu di antara dua sasaran yang terlalu gesit baginya.

"Mau kerjasama?" tawar Apis, dia melompat rendah satu kali untuk menghindari pentungan yang diarahkan ke kepala dua Buas kadal yang jadi pijakannya, kemudian mendarat di atas pentungan kayu itu, kemudian berganti pijakan saat senjata itu diangkat.

"Tergantung," jawab Ernest, "apa rencanamu?"

"Dia lamban."

"Dan pijakan kita gak stabil!" protes Ernest, dia meremukkan kepala satu Cemar kerangka yang menggapai kakinya.

"Dan aku lebih cepat," lanjut Apis tak menggubris, "kamu lebih kuat."

"Poin kedua benar. Jadi?"

"Kualihkan perhatiannya, kamu lakukan sesuatu untuk membasminya."

"Heh. Membasmi. Oke—baik." Pemuda itu meralat ketika mengingat kosakata Apis yang terbatas, "yang penting bagian susah diurus kamu."

Mendengar konfirmasi itu, Apis segera melompat dari pijakan terakhirnya, pundak bidang Buas kerbau, dan melesat ke kiri, di antara Diwe dan tebing.

Raksasa yang menyadari keberadaan Apis segera menyapukan senjatanya mengejar. Tapi Apis yang menduganya, menggunakan hidung raksasa versi lebih kecil Diwe untuk mengganti haluan lagi ke kanan atas.

Diwe lebih lambat bereaksi dari yang diperkirakan Apis, tapi akhirnya raksasa itu menghadap si Wadana, yang artinya, membelakangi Ernest. Makhluk besar itu mengayunkan senjatanya, namun hanya mengenai leher atau kepala raksasa-raksasa yang tadinya dipijak Apis.

Melihat Apis selalu kabur dari serangannya, Diwe menggeram berang dan mengangkat gada pohonnya tinggi di atas kepala dengan dua tangan.

Apis berdiri di atas helm raksasa anakan, waswas. Ernest terlalu memakan waktu, tapi dia tak dapat melihat apa yang terjadi pada pemuda itu karena dihalangi tubuh lebar Diwe.

Saat dia hendak menanyakan itu lewat komunikator, garis diagonal bewarna merah muncul di leher raksasa emas itu, menyilang sampai ke sebelah bahu. Tombak-tombak api dan anak-anak panah juga menancap terus-menerus di bagian kiri tubuhnya.

Mata raksasa itu melebar kaget. Dia meraung seolah meratapi angka-angka putih yang berlomba naik ke angkasa dari lukanya, gerungannya masih menggema bahkan setelah dia berubah menjadi petak-petak transparan dan hilang.

Ernest mendarat di tebing yang menjorok di sisi Apis. Senjatanya sudah buyar menjadi asap merah.

"Bala bantuan, datang," kata pemuda itu angkuh, dia menunjuk ke tebing. Arkel berdiri di bibir tebing, seharusnya regu penyergap lain juga, tapi dari tempat Apis, posisi pelataran terlalu tinggi untuk memastikannya, "kuhubungi lewat komunikator tadi, rupanya tebing lagi kosong."

"Aku lanjut dari sana aja. Ikut, Non?" Ernest membentuk tali pengait dari auro dan melemparnya ke bibir tebing. Ujung kaitnya menyangkut dalam sekali coba, sepertinya karena kemampuan penguasaan auronya dibanding hal lain.

"Tak perlu." Apis tersenyum.

"Yah, baguslah. Aku juga cuma basa-basi, kok." Dia meniti tali auro, yang memudar setelah dia lewati.

Sementara itu, Apis malah kembali ke selatan, ke tempat Tamon Rah berada. Namun karena dia sudah membuat kuda itu menyapu bersih sebagian besar para makhluk cemar, dia tak perlu mundur jauh.

"Sekali lagi, hentikan serangan kalian!" pinta Apis lewat komunikator. Pada saat bersamaan dia membuka jendela inventory. Tapi ternyata berkonsentrasi agar posisinya tepat di depan mata selagi bergerak dan melompat agak sulit. Maka dia berdiam barang sedetik-dua detik, membiarkan pentungan membentur kakinya.

Dia menunggu suara-suara dan cahaya sihir tentara Alforea perlahan menghilang, walau melompati para Buas dengan pergelangan terluka membuat kakinya kesakitan. Tepat saat Tamon Rah tak lagi diserang, Apis mengetuk simbol Protection of Ruu, yang meredakan sakitnya dengan seketika.

Seperti tadi, kuda api itu segera mengetahui keberadaan Apis dan mengejarnya. Situasi kembali sama, hanya saja kali ini lebih mudah karena tak ada raksasa yang menghalangi dan anggota Alforean Army tampaknya tak mencoba menyerang kuda dan menjaga jarak agar sihir mereka tak terdeteksi.

Ketika dia sampai di dinding kastel, dia hanya menggunakan satu Force of Nurma untuk menambah kecepatannya ketika Tamon Rah yang kehabisan kesabaran mulai terbang dan menembakkan bola-bola api. Serangan itu nyaris tak berjeda, kelincahan alamiah Wadana ditambah kecepatan tambahan perkamen itu masih tak mencegah lengannya terluka bakar parah.

"Aku terpojok," kata Apis, sembari menggunakan Protection of Ruu ketiganya. Sekarang dia tersudut di dinding kastel. Di depannya kuda itu melayang, seolah sedang berpikir untuk menanduk atau menghanguskan atau menginjak makhluk serupa nyamuk menyebalkan di depannya.

Seperti yang dipekirakan Apis, kasak-kusuk menyusul ucapannya.

"Kita gak dapat defensive bonus kalau lawan Tamon Rah di terrain ini."

"Life Thread-ku sudah habis, nih."

"Tapi kalau AI matiraid kita sia-sia!"

Apis tersenyum mendengar seruan terakhir. Dia mempertaruhkan nyawanya untuk menunggu kalimat itu. Tentu saja, guild itu tidak akan membiarkannya mati.

"Regu penyihir satu, menyebar tiap seratus meter, pancing Tamon Rah pergi dari gerbang! Penyembuh di jarak aman, gunakan sihir pelindung terkuat kalian!" Dari suatu tempat, Mira berseru lewat komunikator, "Penyerang dan penahan regu dua, lindungi mereka dari monster yang muncul lagi! Sisanya ke gerbang kastel!"

Komando itu segera dipatuhi tanpa ada yang membuang waktu. Lingkaran magis bercahaya biru muncul di tanah, membentuk pilar-pilar es di sekitar tapak Tamon Rah. Di atas penyihir itu tercipta tameng sewarna mutiara. Apis menduga fungsinya untuk menahan serangan Tamon Rah.

Yaitu tombak-tombak api sebesar gajah, yang berjatuhan beruntun dari sayap Tamon Rah. Tiap-tiap ujungnya menguncang tanah, gemuruh keras terdengar.

Dilindungi hanya satu perisai dari serangan dahsyat itu, dalam dua hitungan tameng sihir pecah, menghantam langsung penyihir di baliknya. Lingkaran mantra di kaki Tamon Rah seketika padam dan pilar es yang menyelimuti kukunya lenyap, memberitahukan nasib penyihir itu.

Kelompok lain juga bernasib sama; terinjak, terpanggang atau mati dikerubungi lawan. Tanpa formasi pertahanan memadai, dengan cepat lambang perisai penanda keberadaan mereka redup dan menghilang satu-satu.

Saat Tamon Rah sudah jauh di lembah, regu penyusup tiba. Arkel dan Ernest masih ada, namun satu ksatria dan petarung tangan kosong sudah tak tak di sana, mati. Mereka semua menatap ke arah pasukan utama, beberapa melihat dengan mulut terbuka.

Mengikuti pandangan mereka, Apis menemukan hanya lima Immortales tersisa, bersama regu-regu lain yang jumlah keseluruhannya tinggal delapan puluhan. Beberapa menatap nanar ke Buas Api, yang lain menatap tanah atau berbisik satu sama lain, kemudian ada satu mendatangi Apis, menunggangi serigala.

"Punya nyali juga kau," Mira bicara begitu di depan Apis, "membuatku membunuh pasukanku."

Membalasnya, Apis malah menyunggingkan senyum, di cahaya bulan emas, tampaklah matanya yang bersinar hampa. "Aku ingat di dalam istana banyak makhluk cemar. Sekarang, dengan kalian di sini untuk membantu kami melewati mereka, akan lebih sedikit korban ... jatuh."

"Ada hal lain yang mau kau bilang, Apis," kata Mira, "dan tak usah pura-pura mengkhawatirkan pasukanku."

Terbaca seperti itu, akhirnya Apis memutuskan jujur. "Dengan atau tanpa campur tanganku, kelimapuluh tamtamamu akan dibunuh Tamon Rah juga, bukan? Aku hanya memberi kematian yang tak begitu sia-sia."

 Mira mendengus. "Kali ini aku dapat AI independen berengsek rupanya."

"Setidaknya kita sampai lebih cepat dari dugaan," kata wanita itu lagi setelah mengecek gelangnya yang bersinar merah, berbeda dengan gelang milik Apis, "hancurkan kristal dengan cepat, aku mungkin akan memaafkanmu."

"Akan aku usahakan—" Kata-kata Apis disela Ernest.

"Woi! Kamu menambah pekerjaan kita, Bung!" seru pemuda itu dari komunikator. Sepertinya dia masih ingat permintaan Apis agar menjaga rahasianya itu, "benaran kamu membuat Mira membunuh 50 anggotanya?"

"Mana mungkin," ucap Apis, "itu dilakukannya hanya untuk menyelamatkanku."

Tapi Ernest benar, aku harus berusaha melakukan permintaan Mira. Dia Senapati cerdas, keputusan cepatnya membuat tak banyak bidak dikorbankan sia-sia. Orang seperti itu akan menjadi musuh berbahaya.

Berpikir seperti itu, Apis bersama anggota Alforean Army yang dipilih Mira memasuki kastel.

Ducles Tahl Gate Ruins
Location: Shor'n Plain
Type: dungeon
Element: earth, dark
Timeline: night map
Special: Crystal Tower (2)
PvP: disabled
Loading....

Saat mereka sudah di dalam reruntuhan gerbang kastel, tampak tulisan kuning di udara bertuliskan 'Hancurkan kedua menara dengan serangan fisik secara bersamaan'.

Kristal yang ditunjuk berbentuk wajik ramping setinggi tiga puluh meter. Yang di kanan bewarna emas, sementara satu lagi hitam, melayang-layang di atas tanah, terpisah sejauh dua ratus langkah.

Menjaga kristal itu, ada ratusan makhluk cemar dalam kegelapan. Apis dapat melihat nama makhluk itu: Bonnachon―sapi mata merah bertanduk ulir dan Shawabti―manusia bertubuh lumpur. Lalu, bertengger di menara kastil, Rukh―elang raksasa bertanduk.

Mira maju duluan dan tiba-tiba tulisan baru muncul di udara: Time limit for accomplishment 'Fastest Hunters, Fire Horse Alert': 20 sec(s).

"Itu batas waktu kalian," kata Mira ke komunikator Apis, "seperti yang pertama kukatakan, kami akan melakukan apa yang kami bisa, dan kau jangan berani-berani mempermainkan kami lagi!"

Berkata begitu, wanita itu maju bersama Arkel dan Immortales lain, membuka jalan di tengah-tengah kerubungan musuh. Penyihir dan pemanah menyusul di belakangnya, dengan ksatria berzirah berat menjaga di sisi luar barisan. Penyembuh, bersama Apis dan Ernest berada di belakang.

Di depan, Bonnachon menyeruduk namun ditahan oleh satu Immortales. Pedang Mira membelah satu. Dengan serangan tanpa henti dari para penyihir, tak sampai lima detik, jalan menuju pertigaan sudah kosong.

"Ernest ke kanan, Apis kiri," perintah Arkel, "sisanya dibagi dua."

Perintah itu diikuti tanpa banyak komentar. Apis menemukan dirinya berlari mengikuti sekelompok ksatria yang dipimpin Arkel. Di belakangnya dua pemanah mengekor.

Semua berjalan lancar, kecuali saat seekor Rukh paling besar yang cakarnya sebesar manusia, namanya menunjukkan bahwa dia induk para elang bertanduk, menukik dan menabrak ksatria di sisi Apis.

Ksatria itu jatuh dan detik selanjutnya, Apis melayang. Ada yang mencengkeram lengan kirinya. Tanpa perlu melihat pun, Apis sudah tahu itu Rukh induk.

Dibawa membubung, Wadana itu dapat melihat waktunya tinggal sepuluh detik dan bahwa beberapa pemanah membidik Rukh yang membawanya.

"Jangan tembak!" teriak Apis, karena tak sempat mengatur komunikator ke mode kelompok. Dia lalu melanjutkan dengan bisikan, "aku akan menggunakan hewan ini."

Dengan kelenturan tubuh seorang penari, Wadana itu mengaitkan kedua kaki ke cakar Rukh yang mencengkeramnya, dan sambil menahan sakit di tangannya, dengan tangan kanan yang bebas, dia memutar gelang untuk menggunakan Force of Nurma untuk meningkatkan kekuatan serangannya.

Persiapan selesai, sekarang dia mencabut kerisnya dan menghujamnya dalam ke cakar yang mengunci lengannya. Cakar itu berkelonjotan seperti terkena setrum akibat serangan langsung ke otot.

Dalam sepersekian detik cakar itu melonggar, Apis meloloskan lengannya. Patah, tapi dia memilih segera bergerak daripada menggunakan perkamen Protection of Ruu. Wadana itu memanjati cakar, naik ke punggung Rukh dan sesaat kemudian sudah berdiri di leher burung itu, yang berusaha terbang ke sekumpulan Rukh, anak-anaknya.

Waktunya tinggal enam detik.

Sambil mengatur mode komunikatornya, dia menatap kelompok Ernest. Pemuda itu sedang menahan tangan lumpur Shawabti dengan sebuah perisai, sebelum Mira menebas kepala makhluk itu dan memecahnya ke ketiadaan. Keadaan mereka sekarang aman, tapi dia masih terpisah beberapa meter dari kristal sasaran.

Apis menjejak kepala Rukh induk, dan dengan kemampuan langkah anginnya, melesat ke arah kristal hitam. Bola-bola cahaya ungu gelap membentuk di depan kristal, mengarah ke Wadana yang mendekat.

Apis mengelak beberapa, namun harus menerima sisanya telak. Pakaiannya melepuh, setiap kulitnya yang terkena terasa panas dan perih seperti teracun. Tapi Apis mengacuhkannya dan terus maju.

"Ernest, serang kristalnya!" seru Apis setelah bola ungu itu tak lagi menghantamnya. Sekarang kristal itu tinggal seruas jari dari ujung kerisnya.

"Kamu pikir aku bisa melempar tameng!?" serunya dari komunikator, membuat Apis menahan nafas terkesiap.

Tapi kemudian pemuda itu menyambung dengan nada geli. Apis menduga dia sedang menyeringai saat mengucapkannya. "Aku bohong. Memangnya apa yang aku tak bisa?"

Selagi gravitasi menarik Apis turun, dan secara bersamaan membuat kerisnya membelah kristal hitam, Apis melihat perisai Ernest membuyar menjadi aura sebelum berubah menjadi pisau lempar, yang dia lontarkan ke tengah-tengah kristal emas.

Waktu menunjukkan angka tiga ketika bilah pisau lempar mengenai permukaan kristal dan menembusnya, kemudian menancap erat di dinding di baliknya.

Detik kedua, dengan suara berderak, kristal itu pecah dan runtuh. Pada saat bersamaan, semua makhluk cemar yang ada di kastel menggerung mengerikan, tapi tak lebih menyeramkan dibanding raungan panjang yang terdengar dari tempat yang jauh. Apis menduga itu suara Tamon Rah.

Apa yang terjadi, Apis tak bisa melihatnya, dia berbaring di atas tumpukan batu. Patah tangan dan luka tembak beracun membuatnya kesadarannya menipis.

"Sembuhkan AI itu." Terdengar suara seseorang dari komunikator.

Bola-bola cahaya putih dan hijau menguar dari tanah di sekitar Apis, dan sekedip mata kemudian dia sudah merasa cukup kuat untuk berdiri lagi, walau tanpa 'bantuan' Mira yang mengangkat Apis dengan menarik kerah Wadana itu.

"Bersyukurlah karena nasib baikmu," katanya. Dia sekarang berdiri, matanya sejajar dengan Apis, "untuk sekarang ini Alforean Army tak akan jadi musuhmu."

Setelah melepas Apis, dia menaiki serigalanya dan kembali ke kelompoknya dan menekan sesuatu dari gelangnya, membuatnya dan anggotanya meninggalkan kastel, memecah menjadi persegi-persegi sebelum hilang.

"Wih, nyaris."

Dari belakang Apis terdengar suara Ernesto. Saat Apis berbalik melihatnya, pemuda itu menyeringai dan melanjutkan lagi. "Kalau mereka sampai memusuhiku gara-gara kamu, aku sih gak bakal segan memotong nadi lehermu."

Bila Apis takut dengan ancaman itu, dia tak menunjukkannya, lelaki itu malah tersenyum tipis. "Aku tahu kamu pasti akan menghancurkan kristalnya tepat waktu."

"Heh. Makhluk licik." Pemuda berambut merah itu tertawa mencemooh, "oh ya, kalau mau balik ke kota, ngomong aja sama Katerina di dekat gerbang istana."

"Duluan, Bung." Berkata begitu, dia melambai sekilas sambil melangkah pergi ke arah Katerina, dan menghilang tak sampai sedetik setelah mereka bicara.

Apis menyusulnya, dengan benak tak berhenti memikirkan semua kejadian tadi, tentang Tamon Rah dan perlahan Naga yang menanti kematiannya menelusup ke pikirannya.

Tanpa dia sadari, dia hampir melewati Katerina andai gadis hologram itu tidak bersuara.

"Apa kamu sudah siap untuk kembali ke kota?"

Apis menghentikan langkah tiba-tiba. Dia menoleh pada gadis itu dan mengambil nafas sebelum menjawab. "Aku siap."

12 comments:

  1. Penggambaran konversi digitalnya keren banget. Baru di sini saya liat ada yang bikin macem gini

    Btw, kalo Wadana itu humanoid burung tanpa sayap, apa yang kesisa? Bulu sama paruh?

    Semakin ke sini rasanya jadi timpang ya, antara Apis yang berkesan fantasiyah sama Alforea yang bahasanya serba digital (atau game online banget), dati item" bekal sampe RNG (pasti main Touran atau semacemnya ini). Tapi kontras gitu lumayan menarik, ngegambarin juga asingnya Apis sama dunia baru yang dia hadapin di sini

    Buas = Beast? Unik juga translasinya

    Battlenya bener" macem raid war ya. Settingan ada pasukan Alforea di-utilize banget di sini, saya jadi nunggu" sepanjang cerita kapan momen Apis sama Ernest kebagian jatah buat showoff. Dan padahal cuma bawa 2 OC, tapi unlisted char dari prajurit Alforea yang dikasih nama sampe lebih banyak daripada OCnya sendiri. Agak disayangkan sih buat saya, karena saya lebih seneng ngeliat sepak terjang OC daripada mereka yang kesannya NPC. Tapi setidaknya mereka masih pegang peran kunci di usaha ngancurin kristalnya

    Dari saya 8

    [OC : Dyna Might]

    ReplyDelete
    Replies
    1. Thanks nilainya :D
      Well, yang tersisa sih feathers di bagian pinggang, spine, pundak (stu meter: up!! /plak) sama kemampuan flight control sih ...
      Buas = beasts, Cemar = unholies (seperti demon, undead dkk)

      kalau soal battle ... yaa, sebenarnya saya berpikir kalau dua karakter itu gak mungkin bisa 1 hit boss, ditambah lagi, strategi bertempurnya baru kepikiran setelah entri dikirim =))
      shikatanai naa orz

      Delete
  2. Saya sakit kepala. Mungkin karena banyaknya OC non-peserta yang kamu fokusin daripada pesertanya sendri. Keren sih, tapi susah ngikutinnya dan saya jadi berasa dialihkan perhatiannya. In a way, itu bagus, tapi saya ga bisa ngasik nilai plus buat karakter peserta sendiri

    Nilai : 7
    OC : Alayne Fiero

    ReplyDelete
  3. AnonymousMay 18, 2015

    Hmmm, narasinya bagus. Transisi dunia dari homeworldnya Apis ke Alforea juga menarik, walau itu pembukaan agak panjang deh :)) seenggaknya kamu nggak sekalian ngulang prolog prelim, dan hanya menyampaikan yang perlu saja. itu battlenya... very hectic. Tapi kurang dramatis entah kenapa. mungkin karena ini sejak awal masuk sampai ending beneran seperti sekumpulan orang lagi main MMORPG. (kecuali Apis)

    Saya ingin ngasih 7.5, tapi karena harus bulat maka saya berikan sampean nilai 8.

    OC: Lady Steele

    ReplyDelete
  4. Vajra sez: Wow, menarik! Real-time actionnya membuat "film" dalam otak saya asyik aja mencerna tiap adegan dalam entri ini. Walaupun harus kena "lag" dikit nunggu "game stuff" yang lagi "loading" (nge-scroll aja sih), sekalian saya bacanya sambil dengerin soundtrack "Fast and Furious 7". Lumayan stimulating :p Battlenya rame banget, saya seperti disuruh lari-lari, tengok kiri, tengok kanan dengan amat cepat andai saya masuk menonton di dalamnya - leher saya bisa pegal. Wait, di mana Rah? Oh ya, di pojokan entah di mana tadi.

    Tapi, entah pakai istilah MMORPG atau nggak, pertempurannya sendiri seperti 4 player level 20 menyerbu kumpulan monster level 10-15, cuma Tamon Rahnya yang kelihatannya seperti Raid Boss level 30 something (atau sama level 20?) Dan menaranya, mudah sekali pecah ya. Oh well. Masih ada ruang untuk pengembangan sih.

    Nilai: 7
    OC: Vajra

    ReplyDelete
  5. Yee akhirnya aku mampir ke sini. Unik banget prelim Apis ini. Uniknya di mana? Uniknya itu ada pada bagian di mana player dan AI seperti ditukar. Para OC jadi AI untuk bantu event, sedang pasukan Alforea adalah pemainnya. Lucu banget, jadi BoR ni game online dan para peserta diseret ke dunia game sebage AI.

    Keunikan lainnya ada pada kekontrasan antara istilah-istilah digital yang dipadu dengan nama-nama monster yang asing itu, juga gaya narasinya. Tapi untuk yang ini aku rada jadi ngelag untuk memahaminya. >.<

    Dari segi narasi pertarungannya sendiri aku agak sulit menikmati. Rasanya penjelasannya kurang jelas gitu, jadi aku kadang lost pas baca narasi.

    Ah, apis kenapa dipake kata ganti 'lelaki' sih? XD Tiap baca itu aku malah kepikirnya jadi ke ernes mulu. #plak

    Nilai : 7

    OC aye : Zhaahir

    ReplyDelete
  6. Kesan pertama saya itu "Wah, Sengoku Basara"

    Sebenarnya saya kagum Author Apis bisa berani mengambil party hanya 2 orang, dan beda dengan yang lainnya. Intronya agak sedikit membingungkan, tapi saya baru sadar apa yang terjadi.

    "Pfft ... hah-HAHAHAHAHAHA!! Seriusan kamu kirain itu hantu?"

    Apis sigap berbalik dan menemukan seorang pemuda berambut merah terbahak. Dia menghampiri Wadana itu setelah berhenti tertawa, tapi seringai masih tampak di wajahnya.

    "Bukan hantu, Non, ini namanya hologram," kata pemuda berambut merah itu sambil mengulurkan tangannya menembus tubuh Katerina yang tak bereaksi apa-apa.

    "O-oh, jadi bukan hantu." Apis memaksakan senyum sopan pada pemuda dengan nama Ernest, yang terlihat terlalu gembira bermain dengan hologram itu, "lalu, bagaimana kamu bisa sekelompok denganku?"

    ^ ini lucu, momen apis yang kaget dengan hologram bikin saya ketawa =))

    ...

    Oke saya juga ketawa waktu pembahasan soal Gaptek. Ernest jadi lebih 'jenaka' di sini.

    Author Apis kayaknya sudah terbiasa ada banyak karakter di satu sesi cerita, tapi saya yang baca jadi bingung juga =)) sama seperti kalau baca komik saya harus balik ke halaman sebelumnya karena kadang saya lupa "ini yang mana" saya juga bolak balik scroll ke atas buat cari ini prajurit yang mana.


    "Kalau mereka sampai memusuhiku gara-gara kamu, aku sih gak bakal segan memotong nadi lehermu."

    Ernest orz

    Akhir2nya kerasa ada yang kurang, seharusnya ada penutup. Tapi overall saya bacanya enjoy XD

    Nilai 8/10
    (Maida York)

    ReplyDelete
  7. Aku suka narasinya. Kaya akan kosa kata bikin gak jenuh bacanya.

    Nilai 9/10

    Narasinya tadi. Tipe narasi yang nyaman aku baca. Panjang tapi gak bertele-tele.
    Istilah game onlinenya asing buat aku. Tapi nggak bikin garuk2 kepala. Masih bisa ngikutin alurnya.
    Masuk ke bagian battle nya menarik. Jadi inget main raid di ragnarok. Rame. Tapi karena ramenya itu jadi aku gak bisa fokus. Ini yg bikin aku gak ngasih nilai sempurna. Padahal suka banget narasinya.

    Mang Ujang - Sang Petani Ikemen.

    ReplyDelete
  8. Bacanya agak bikin capek, gatau kenapa. Tapi aku suka sama gaya narasi yang mengkombinasi bahasa digital dan bahasa Indonesia yang unik, meski gak jarang bikin bingung XD

    Karakterisasi Apis yang "gaptek" ini bener2 digarap dengan apik. Kekontrasan antara dunia Apis yang mistis dengan Alforea yang penuh unsur-unsur futuristik dunia digital dalam game tergambar dengan sangat rapih. Aku paling suka ketika author berusaha menjelaskan segala pergerakan di Alforea (yang dunianya berdasarkan game banget) dari apa yang dilihat Apis yg ga ngerti teknologi.

    Konsep 'peperangan'-nya dapet banget, tapi jadi susah dinikmatin karena terlalu rame. Kemunculan karakter-karakter di luar OC peserta ini sebenarnya menarik, tapi karena kebanyakan jadi gampang lost focus sama ceritanya karena sibuk nginget2 ini siapa ini yang mana. @_@

    Oh, tambahan, soal Wadana yang "humanoid burung tak bersayap" ini bikin aku sempat mikir dia manusia dengan kepala burung dan berbulu, macem Fumikage-nya Boku no Hero Academia (http://bokunoheroacademia.wikia.com/wiki/Fumikage_Tokoyami). Tapi gak tau juga sih gimana jelasinnya biar bisa langsung paham.

    tl;dr

    Overall nilainya 7, tapi +1 karena konsep yang menarik dan aku pengen ini bisa lolos ke babak berikutnya :D

    Nilai akhir 8/10

    ~JFudo
    ~Lo Dmun Faylim

    ReplyDelete
  9. Whoa saya agak kaget pas baca canon-nya Apis ini benar-benar seperti virtual reality =)) tapi setelah dibaca beberapa paragraf ke bawah, deskripsinya jelas dan kesannya nggak terlalu nge-game banget, ternyata.

    Saya suka karakterisasi Apis di sini yang kelihatan banget gapteknya, tapi sebenarnya Ernest juga datang dari realm medieval loh, jadi sebenarnya dia juga nggak begitu mengerti teknologi modern. Oh well, kamu ngebawain Ernest seperti yang saya bayangkan (bahkan lebih hidup di sini daripada di cerita saya sendiri orz orz orz, cheeky bastard-nya dapet =)) )

    Pemilihan OC yang hanya ada 2 orang ini termasuk nekat banget--awalnya sih saya mikirnya gitu. Tapi nggak juga, karena perajurit Alforea-nya dibuat jadi raid guild. Idenya oke banget, walaupun saya menyangkan aksi 2 OC di cerita ini kurang berkesan karena fokusnya menyebar ke seluruh anggota guild raid. Tapi, narasi pertarungannya enak diikuti jadi nggak terlalu masalah buat saya hehehe...

    Hmm... untuk nilanya saya kasih 8 ya ' 'd

    OC: Ernesto Boreas

    ReplyDelete
  10. bang boleh tanya spek PC nya buat maen BoR ? :v becanda lah :D
    grup cuma dua orang tapi bisa greget gini hehe btw cukup seru buat dibaca nubi kayak ane
    jadi tanpa basa basi ane kasi anda


    8


    Dallas

    ReplyDelete
  11. Jadi... Apis itu cewe apa cowo?? haha ^^ (kok saya masih kepikiran ya..?) ya sudah lupakan..
    (+) : wew, ini keren banget... eksplorasi ceritanya yang saya suka.. walau paarty cuma 2 orang, tapi tetep bisa terasa penuh dan kenyang baca nya... (9)
    (-) : maaf, saya nggak nemu.. haha^^

    Nilai: 9
    OC: Falcon

    ReplyDelete