17.5.15

[PRELIMINARY] LIONA LYNN - PARA PAHLAWAN

[Preliminary] Liona Lynn - Para Pahlawan
Penulis: Yuu

Ada sebuah kisah, tentang para pahlawan yang menyelamatkan Tanah Utara Alforea.

Para pahlawan—yang enggan mengakui bahwa diri mereka adalah pahlawan.

Para pahlawan—yang bahkan asal usulnya pun tak ada yang tahu.

Entah bagaimana dan untuk apa mereka datang ke Shohr'n Plain saat itu.

Yang kutahu ...

mereka telah menyelamatkan nyawa kami.

***

"Pasukan penyihir, siapkan bola api! Pasukan pertahanan, bentuk benteng segera! Jangan biarkan para goblin itu melangkah lebih jauh dari ini!"

"Baik, Komandan!"


"Pasukan penyembuh, segera ungsikan anggota kita yang terluka parah. Maksimalkan kemampuan kalian!"

"Baik!!"

"Semuanya, ayo maju!"

Gurun bebatuan yang berada di kawasan utara Alforea. Tanah tandus Shohr'n Plain, saat ini menjadi arena peperangan antara beberapa ratus prajurit melawan ribuan monster yang seolah bangkit dari kegelapan.

Sejak gerhana Nurma muncul beberapa hari yang lalu, tiba-tiba saja kami para prajurit Alforea diperintahkan untuk berkumpul dan bersiaga di Tanah Utara.

"Musuh terlihat! Semuanya bersiap-siap!"

"Goblin pengguna tombak dan goblin pemanah. Diperkirakan mencapai dua ratus pasukan. Saat ini menuruni bukit menuju Skuadron 5."

"Skuadron 5 bersiap mengepung. Pasukan penyihir, siapkan mantra pendukung!"

Tujuan dari peperangan kali ini adalah,

"Hancurkan mereka!"

Untuk mengembalikan kejayaan Alforea.

...

..

.

Ada sebuah legenda yang mengatakan,

"Saat kegelapan menelan langit, pertempuran akan berkobar di Tanah Utara. Lingkaran langit akan terbelah, dan Sang Api mengamuk. Hanya Sang Cahaya dan para pahlawan yang dapat mengembalikan kedamaian."

Karenanya, kemunculan Gerhana Nurma yang hanya terjadi seratus tahun sekali itu membawa mimpi buruk bagi kami. Tak ada seorang pun yang mengharapkan peperangan, tak ada seorang pun yang menginginkan pertumpahan darah. Bahkan bagi seorang prajurit sepertiku pun tak menginginkan itu.

Meskipun pada akhirnya Kehendak Langit menjanjikan kedamaian, tetap saja kami, para prajurit Alforea harus membayarnya terlebih dahulu dengan nyawa.

Nyawa kami, nyawa rekan kami, nyawa saudara kami.

Sekalipun itu Kehendak Langit. Ia tak akan memberikannya secara gratis.

Mata dibalas dengan mata.

Kedamaian hanyalah ilusi semata.

Di belahan bumi manapun, semuanya sama saja.

"Bagus! Formasi musuh kacau!"

"Serang terus!"

Pada awalnya kami pikir kemenangan akan didapat dengan mudah, melihat lawan kami hanya terdiri dari makhluk hijau kerdil bertelinga lancip dan makhluk hijau besar berwajah mirip babi bertaring panjang yang buas.

Pasukan goblin dan orc, monster yang biasa kami dapati menjarah di gurun. Jumlah mereka banyak, tapi tidak cukup tangguh untuk melawan ratusan prajurit terbaik Alforea saat ini.

Tombak dihunuskan, pedang ditebaskan, perisai-perisai yang bertahan, anak-anak panah dilepaskan, komando dikumandangkan. Irama perang yang sungguh mengalun indah. Seolah dewi perang berpihak pada kami.

Namun keadaan berbalik begitu bulan biru di langit, yang dinamakan Alkima, mulai mengeluarkan suara retak yang mengerikan.

Seolah siap menyambut kemenangan, para monster yang ada di hadapan kami meraung menuju langit, dibarengi dengan hancurnya Alkima berkeping-keping.

Dan di antara kepingan-kepingan berserakan yang perlahan membentuk cincin angkasa itu, sosok yang paling tidak ingin kami temui pun muncul.

Tamon Rah, Sang Api.

Sosok kuda biru setinggi menara yang bersayap dan bertanduk satu. Dengan api yang terus berkobar mengelilinginya, seolah api adalah bagian dari dirinya sendiri.

Ia berdiri gagah, membuat seluruh pasang mata yang ada saat itu terpusat padanya, terpukau. Waktu seolah berhenti untuknya. Bahkan suara peperangan yang tadinya bersahut-sahutan, kini mendadak senyap. Hanya ada suara angin, dan hawa panas yang entah mengapa malah membuat bulu kudukku meremang.

"Itu ... Tamon Rah ..."

Kegelapan menyelimuti Shohr'n Plain. Alkima telah menjadi cincin angkasa. Penerangan yang ada saat ini hanyalah nyala dari obor-obor dan api yang menyelimuti Tamon Rah. Ini sama sekali tidak menguntungkan bagi pasukan Alforea.

Tamon Rah meringkik sesaat. Suaranya yang membahana menggetarkan tanah, mengembalikan waktu yang sebelumnya seolah berhenti. Ia mulai berlari di udara, menyisakan jejak-jejak api yang membakar apapun yang dilaluinya.

Tak ada waktu untuk mengagumi sosok Tamon Rah.

Tak ada waktu untuk mengharapkan kemunculan Para Pahlawan.

Dalam waktu singkat, pasukan kami dibantai.

**

Yang paling menyedihkan dari perang adalah, tidak adanya waktu untuk sekedar berduka pada kematian rekan. Padahal jelas-jelas mereka mati saat bersamamu. Dan itu menyebalkan melihat mayatnya tergeletak begitu saja, kadang tak sengaja terinjak baik olehmu, temanmu, atau monster-monster itu. Kita tidak bisa berbuat apa-apa. Itulah perang. Siapa yang bisa menjamin kalau hal itu tidak akan terjadi padamu?

Maka kami fokus untuk menang. Fokus untuk bertahan hidup.

Sayangnya, melihat pasukan sendiri yang dibantai dalam waktu singkat, dan hanya menyisakan kurang dari setengahnya saja, hal itu membuat mental pasukanku jatuh dan aku tidak tahu harus berbuat apa. Benar-benar tidak tahu. Otakku seolah membeku. Tubuhku mematung. Terlebih melihat situasi yang semakin tidak seimbang ini. Pasukanku nyaris habis, pasukan lawan bisa dibilang tak habis-habis, ditambah kuda raksasa yang terus-terusan mengamuk. Aku tidak bisa bilang kuda itu ada di pihak mereka karena para monster itu juga setidaknya terkena dampak dari serangan Tamon Rah, hanya saja hal ini jauh lebih merugikan bagi kami pasukan Alforea. Karena tidak adanya bala bantuan.

Ya, tidak ada bala bantuan yang akan datang. Misi ini berakhir menjadi misi bunuh diri.

"Lindungi Komandan!"

Teriakan itu menyadarkanku dari lamunan. Aku menoleh dan mendapati Daeva, rekan terbaikku, tangan kananku, sekaligus sahabatku, memerintahkan pasukan yang tersisa untuk membentuk formasi melingkar. Mereka segera bergerak, mengelilingiku yang berada di tengah. Komando yang keluar dari mulut Daeva tidak mendapatkan protes dari siapapun. Alih-alih diprotes, ia justru seolah menularkan tekad pada kami. Seolah ia berkata pada kami 'Jangan menyerah'.

Komandan macam apa aku ini.

Kupandangi beberapa prajurit terbaikku. Daeva yang selama ini terus mendukungku dan menjadi orang yang paling kupercayai, kami sudah bersama-sama sejak kecil. Banyak suka duka yang telah kami lalui bersama. Siapa yang bisa menjamin kami akan tetap bersama-sama setelah ini?

Lalu ada Zen, seorang pemuda tegas dan setia. Ia baru saja menikah, seingatku. Tapi perang ini memaksanya meninggalkan keluarga kecil yang baru saja ia bangun. Siapa yang bisa menjamin dia bisa selamat dan kembali pada istrinya, wanita yang telah meluluhkan hatinya?

Kemudian kualihkan pandanganku pada Ava. Seharusnya hari ini anaknya lahir. Alih-alih mendampingi istrinya yang tengah berjuang melahirkan buah hati mereka, ia justru harus bergelut dengan para monster di tempat ini. Aku tahu, dia pasti sedang diam-diam menangis dan berdalih bahwa itu hanya keringat. Entah dia bisa menemui anaknya kelak atau tidak, tak ada yang tahu.

Kemudian ada Eliyas, kapten termuda yang membuatku salut. Sekilas memang dia terlihat lemah. Tapi tekadnya yang kuat dan gerakannya yang lincah serta didukung oleh kemampuan sihirnya, terkadang itu membuatku iri. Ayahnya sudah meninggal sejak lama. Beliau tewas dalam perang. Meninggalkan Eliyas yang harus merawat ibunya yang lumpuh serta harus membesarkan ketiga adiknya. Kalau hidup Eliyas berakhir di sini, apa yang akan terjadi pada keluarganya?

Aku menghela napas lantas mendongak, mengamati Tamon Rah yang masih saja berlarian tak tentu arah. Sesekali ia berhenti, mengepakkan sayap besarnya yang menciptakan hujan bola api.

Mungkin hanya ini yang bisa kulakukan, pikirku.

"Daeva!" Daeva menoleh. Aku tersenyum lebar, "kuserahkan pasukan ini padamu."

Daeva terbelalak, "Komandan, kau—"

"Pasukan Alforea! Kalian semua, mulai saat ini berada di bawah komando Kapten Daeva. Apapun yang ia perintahkan kalian harus mematuhinya. Ini perintah dariku! Kalian mengerti?"

Meskipun nampak ragu, para pasukanku menjawab. Hanya Daeva yang terlihat masih tidak setuju dengan apa yang kukatakan.

"Komandan, apa yang ingin anda lakukan?" tanya Zen.

Aku tersenyum, mencabut pedang yang tersampir di pinggangku. "Akan kupancing Tamon Rah, akan kujauhkan ia dari tempat ini. Dia satu-satunya pengganggu paling menyebalkan dari perang ini."

"Tapi Komandan—!"

"Jangan membantahku, Kapten Daeva."

Daeva terdiam. Segera saja kupacu kudaku keluar dari formasi melingkar ini seraya mengacungkan pedang ke atas. Merapalkan mantra singkat, petir-petir hitam pun menyambar pedangku. Tamon Rah bereaksi dan mulai mengejarku. Aku terus memacu kuda, meskipun aku sadar kecepatanku tidak ada apa-apanya dibanding Tamon Rah.

"Skuadron 5 yang tersisa, ikuti Komandan dan lindungi dia!"

"BAIK!"

Seruan itu berasal dari belakangku, tempat di mana Daeva dan pasukan yang tersisa berada. Aku mendengus, dasar keras kepala, pikirku. Dalam waktu singkat, sekitar lima puluh prajurit lantas mengikutiku. Sesekali mereka mengayunkan pedang, menghunus tombak, atau sekedar merapalkan mantra guna menghabisi monster yang mencoba menyerang kami.

Aku tersenyum dan terus memacu kuda tanpa ragu.

Masih sambil terus memacu kuda, aku menoleh sekedar memastikan seberapa jauh jarak kami dan Tamon Rah. Tamon Rah yang semula mengejar kami mendadak berhenti. Ia meringkik seraya mengangkat tungkai depannya lantas mengembangkan sayap dengan lebar. Aku terbelalak saat melihat titik-titik api bermunculan di sayap itu. Gerakan itu ...

"Pasukan penyihir, segera siapkan mantra pelin—"

Terlambat.

Bola-bola api itu melesat ke arah pasukan yang mengikutiku. Bagaikan hujan meteor, mereka yang tidak siap terkena serangan itu dengan telak. Sebagian besar pasukan yang mengikutiku tumbang. Sedangkan aku sendiri masih bertahan dengan kudaku, diselubungi oleh diagram-diagram sihir pelindung yang sempat dirapalkan oleh Eliyas dan yang lainnya. Aku menggeram kesal. Terlebih saat melihat Tamon Rah kembali mengincar kami.

Apakah ini akhir dari semuanya?

...

"SPARK!"

Tiba-tiba saja aku merasa tubuhku seolah dialiri listrik. Terkejut dengan hal itu, alih-alih mati rasa atau lumpuh, aku merasa seolah kecepatanku meningkat dua kali lipat. Aku menoleh dan mendapati di belakang sana Tamon Rah sepertinya sedang kesulitan. Tubuh besarnya mendadak jatuh menghantam tanah bebatuan. Terlihat aliran listrik mengelilinginya. Ia seolah mengalami kejang-kejang, namun hal itu tak berlangsung lama. Ia kembali bangkit lantas kembali mengejar kami.

"Hei, terus bergerak! Jangan lihat ke belakang!"

Suara itu membuatku refleks menoleh. Seorang pemuda berkacamata yang mengenakan jaket lusuh serta penutup telinga aneh berwarna hitam  berlari menghampiriku. Sambil mengayunkan pedang pendek miliknya yang sukses membelah kepala salah satu goblin, ia pun berujar, "Maaf kami terlambat."

Menyusul dari arah kanan, seorang bocah gendut yang mengenakan pakaian orange, syal kuning, serta tudung biru dengan bintang di ujungnya yang nampak seperti topi penyihir. Meskipun tubuhnya cebol, ia nampak berlari dengan lincah.

"Efek dari [Spark] tinggal satu menit lagi, bun. Kita harus memanfaatkan hal itu sebaik-baiknya," ujarnya. "Ngomong-ngomong, kuda raksasa itu punya siapa, bun? Boleh Bun bawa pulang? Kudanya cantik sekali bun~"

Masih terpana dengan kehadiran dua orang asing itu, aku tak sadar dengan serangan anak panah yang datang dalam jumlah banyak sekaligus. Dan di saat itulah muncul seorang berjubah dan bertudung ungu yang melompat melewati kepalaku. Ia mendarat dengan mulus tak jauh di depan sana, lantas mengacungkan tangan kirinya ke atas dengan telapak tangan terbuka.

"Avalon!" serunya. Mendadak sebuah tirai tipis yang seolah terbuat dari cahaya muncul menyelubungiku serta beberapa orang lain, termasuk pemuda berkacamata yang mengenakan penutup telinga aneh serta bocah gendut yang mengenakan topi penyihir.

Anak panah yang tadinya mengarah padaku mendadak terserap begitu saja oleh tirai cahaya milik si jubah ungu itu. Entah bagaimana dia melakukannya, tapi hal itu benar-benar membuatku takjub. Belum pernah aku melihat sihir seperti itu sebelumnya.

Si jubah ungu itu menoleh, dan saat itulah aku melihat wajahnya. Seorang gadis berkulit gelap dengan pupil berwarna ungu cerah dengan kantung mata samar di bawah matanya. Pipinya nampak agak tirus. Rambutnya yang berwarna merah sebahu yang berantakan nampak mencuat dari balik tudung. Ia tersenyum lebar padaku.

"Butuh bantuan?" tanyanya dengan nada bersahabat.

"Siapa kalian?"

Si gadis berjubah ungu nampak berpikir, "Yah, anggap saja kami ... orang-orang yang kebetulan lewat?" ujarnya ringan.

"Komandan! Tamon Rah kembali!" seru salah seorang prajurit. Aku berdecak kesal.

"Kuda yang bersemangat sekali, huh?" gumam gadis berjubah ungu itu. Kemudian ia menoleh padaku. "Apa kita tidak bisa berhenti sejenak? Maksudku, cari tempat aman dan kita diskusikan cara mengalahkan kuda sinting itu."

"Liona, kita harus segera pergi dari sini. Kuda itu kelihatannya marah sekali, bun," ujar si bocah gendut. Aku setuju. Saat ini kami harus bisa menjauh dari amukan Tamon Rah.

Gadis berjubah ungu yang dipanggil Liona itu menghela napas, "Baiklah. Ayo, ikuti aku. Kurasa Falcon sudah siap di posisinya."

Tadinya aku bertanya-tanya dalam hati siapa itu Falcon. Namun untuk saat ini kufokuskan untuk mengikuti Liona dan dua rekannya. Aku hanya ingin pasukanku yang tersisa selamat dari perang ini dan kembali pada keluarganya. Biar bagaimana pun aku bertanggung jawab atas mereka semua. Para prajuritku.

Entah kenapa ... kemunculan orang-orang asing ini memberikan harapan baru padaku. Harapan yang begitu segar. Lantas kuamati wajah para pasukanku dan aku tertegun melihat ekspresi mereka.

Mereka tersenyum penuh percaya diri. Tekad mereka kembali. Mereka melawan monster-monster itu dengan semangat. Seolah mereka yakin, perang ini akan berakhir dengan kemenangan Alforea.

"Liona!" panggilku pada gadis berjubah ungu itu, kuulurkan tanganku padanya. "Naiklah, lebih cepat kalau kalian semua ikut berkuda bersama kami."

Liona tersenyum dan mengangguk. Lantas ia meraih tanganku dan melompat naik ke kuda. Begitu pula dengan pemuda berkacamata yang kini bersama Zen dan si bocah gendut kini bersama Eliyas.

"Kalian belum memberitahuku siapa kalian sebenarnya. Setidaknya beritahu aku siapa nama kalian."

"Oh, maaf. Si kacamata itu namanya Kazuki. Julukannya The Abandoned Child. Lalu bocah gendut yang memakai topi ala penyihir itu, namanya Bun. Lalu ada satu lagi. Dia sedang menunggu kita di tebing di sana itu. Namanya Falcon. Dia menyebalkan, banyak omong, berkulit pucat, bermata tajam, berambut putih, punya elang besar yang keren, pemanah yang handal, julukannya Bountry Hunter."

Aku tersenyum. Kutebas salah satu goblin yang mendadak melompat menerjangku. "Dan kau sendiri?"

"Aku? Namaku Liona Lynn. Aku suka berteman dan saat ini sedang berkelana mencari Riz Sang Pahlawan. Julukanku adalah Sang Cahaya. Senang bisa membantu kalian dalam perang ini."

Aku tersentak.

"Kalian ..."

Sang Cahaya dan Para Pahlawan.

*

"Kenapa kalian lama sekali?!"

Begitu tiba di tebing yang Liona maksud, kami disambut oleh seorang pemuda pucat—pasti dia adalah Falcon—yang meluapkan kekesalannya pada Liona.

"Sudah kubilang waktu kita tidak banyak! Aku lelah dan ingin segera menyelesaikan misi ini. Kalau bukan karena hadiah yang dijanjikan itu, kalian pasti sudah lama kutinggal."

Liona yang tadinya ada di belakangku langsung melompat turun dan bergegas menghampiri Falcon.

Mendadak Liona menendang lutut Falcon yang sukses membuat Falcon meraung kesakitan.

"Kalau kau bicara seperti itu lagi, aku bersumpah tidak akan melindungimu lagi. Meskipun kau sekarat dan monster-monster itu hendak membunuhmu, meskipun kau memohon padaku, aku tidak akan menyelamatkanmu," ujar Liona dingin lantas berjalan menghampiriku. "Ayo, kita harus menghancurkan menara kembar yang ada di kastel utara. Itu satu-satunya cara untuk menghentikan peperangan ini dan Tamon Rah."

"Wanita sialan!"

Aku menghela napas. Apa-apaan itu?

"Meskipun Liona berkata begitu tapi," Bun yang ada di sampingku berujar. Ia menatap kepergian Liona seraya tersenyum, "Liona bukan tipe yang akan meninggalkan temannya dalam kondisi genting. Dia bahkan rela mengorbakan nyawa agar temannya selamat. Kupikir dia tipe yang seperti itu."

Kutatap punggung Liona yang perlahan menjauh.

"Namaku Liona Lynn. Aku suka berteman."

Yah ... kurasa Bun benar. Liona bukan tipe yang seperti itu.

Falcon yang berjalan dengan agak pincang menghampiriku. "Dengar, kau dan pasukanmu harus bisa sampai di kastel utara dengan cepat. Begitu sampai di sana langsung saja hancurkan menara yang ada di sayap kiri dan kanannya. Tapi berhati-hatilah, golem dan minotaur yang menjaga kastel itu."

Aku menggangguk, "Baik, aku mengerti."

"Dan mulai dari sini, Tamon Rah milikku. Meskipun tubuhnya besar, bukan berarti dia tidak bisa dikalahkan. Dia pasti punya kelemahan. Dan biasanya yang berukuran besar itu otaknya sulit diandalkan," ujar Falcon seraya tersenyum penuh percaya diri.

Aku pun memacu kudaku, diikuti oleh Zen, Ava, dan Eliyas.

"Ah, tunggu sebentar." Aku menoleh dan mendapati seekor elang besar hinggap di bahu kanan Falcon. "Elang bilang dia melihat pasukanmu yang dipimpin oleh ... siapa namanya? Diva? Mereka baik-baik saja. Beberapa mungkin terluka tapi berkat mereka daerah menuju kastel bisa dibilang nyaris bersih. Hebat juga mereka."

Aku tertegun. Daeva dan yang lainnya berhasil bertahan, bahkan nyaris menyapu bersih monster-monster itu. Aku tersenyum lantas mengucapkan terima kasih pada Falcon kemudian bergegas menyusul Liona.

Begitu aku menoleh, Falcon sudah menghilang. Namun di kejauhan sana bisa kulihat Tamon Rah meringkik keras dan gerakannya menjadi lebih kacau dari sebelumnya. Setelah kuperhatikan dengan seksama, beberapa anak panah menancap pada mata Tamon Rah. Apa itu ulah Falcon? Mungkinkah ia mengincar hal itu sejak awal?

***

Setelahnya kami tiba di kastel tanpa adanya hambatan yang berarti. Aku benar-benar berterima kasih pada Daeva dan yang lainnya.

Begitu memasuki area kastil yang sudah runtuh, hanya menyisakan menara kembar yang terbuat dari kristal hitam yang masih berdiri tegak, para golem dan minotaur menghadang kami.

"Sambutan yang hangat, eh?" gumam Kazuki. Ia meraih pedang pendek yang ada di pinggangnya dan mulai menebas minotaur satu persatu. Gerakannya terlihat lincah sekali. Ia bisa menghindari tiap serangan yang datang padanya dengan mudah, seolah ia sudah bisa menebak serangan itu sejak awal. Empat minotaur sekaligus sama sekali tidak menjadi penghalang baginya.

Begitu pula dengan Liona. Di tangan kanannya saat ini sudah ada cambuk yang tercipta dari cahaya. Ia melecutkan cambuknya ke arah salah satu golem, dan dalam sekali hentakan ia menghempaskan golem yang telah terlilit itu ke arah gerombolan golem lainnya. Tubuh batu mereka hancur setelah saling menabrak satu persatu.

Aku yang berada tak jauh dari mereka tentu saja melakukan hal yang sama. Kutebas tiap minotaur maupun golem yang menghampiriku, berusaha melindungi Bun yang ada di belakangku.

"Spark!" seru Bun seraya meninju lantai kastel. Aliran listrik segera merambat di sekitar kami, membuatku dan yang lainnya semakin cepat dan efek serangan kami meningkat. Sebaliknya, musuh-musuh kami justru terkapar dengan tubuh kejang-kejang.

"Cepat hancurkan menaranya!" seru Liona.

Kami pun membagi dua pasukan. Baru saja hendak berpencar, dari kejauhan terdengar suara derap kuda. Kami menoleh dan mendapati Tamon Rah berlari menuju kastel.

"Uwaaah!"

Mendadak sesuatu melesat dan menghantam dinding kastel dengan keras. Kami terkejut saat mengetahui ternyata itu adalah Falcon.

"Maaf, aku tidak bisa menahannya lebih lama lagi. Dia benar-benar tangguh. Dia tidak bisa mati. Dia terus-terusan memulihkan diri."

Kami panik. Terlebih saat mendapati para golem dan minotaur telah pulih dari efek Spark milik Bun. Yang lebih parahnya lagi, para goblin dan orc yang tadinya sudah kami kalahkan kini bangkit kembali.

"Biar aku yang mengurus mereka. Kalian pergilah, hancurkan menara itu," ujar Kazuki. Ia merapikan letak kacamatanya lantas menatap ke depan dengan serius.

"Kazuki mau apa?" tanya Bun.

"Akan kugunakan Auto Focus milikku. Kalian semua, setelah ada aba-aba dariku, jangan menoleh padaku, mengerti? Atau kalian akan terkena efeknya juga. Sekarang pergilah."

Kami mengangguk.

"Kami mengandalkanmu," ujarku.

Kami, selain Kazu tentunya, kembali bergerak menuju menara. Dan di saat itulah aku mendengar Kazuki berseru.

"Sekarang! AUTO FOCUS!"

Entah kenapa suasananya mendadak tegang. Aku tidak berani menoleh, meskipun penasaran dengan apa yang Kazuki lakukan sebenarnya. Kuperhatikan Liona dan yang lainnya, sepertinya mereka juga tidak berani menoleh.

Dan saat itulah aku mendengar seruan para monster yang membahana. Aku terkejut dan refleks menoleh. Di sana terlihat Kazuki berlari menyusul kami sambil meraih pedang panjang yang sejak tadi disampirkan di punggungnya. Mengarah ke arah sebaliknya, para golem dan minotaur yang ada di kastel—tidak, bukan cuma mereka melainkan seluruh monster yang ada mendadak berlari menyerbu Tamon Rah. Aku bertanya-tanya apa sebenarnya yang telah terjadi, namun perhatianku segera teralihkan saat Liona dan Bun berlari melewatiku.

Tunggu, kenapa mereka juga berlari ke arah Tamon?

"Liona! Bun! Mau ke mana kalian?"

Liona menoleh, "Ini satu-satunya kesempatan untuk mengalahkan Tamon Rah. Aku dan Bun akan memanfaatkan keadaan bagus ini. Kalian hancurkanlah menara itu. Lagipula menaranya tidak mempan terhadap sihir seperti yang kupunya."

Aku tidak tahu harus bereaksi bagaimana. Kazu berhasil menyusul kami. Begitu ia sampai di sisiku, ia berujar, "Ikuti mereka. Aku tidak sanggup kalau harus membantu mereka melawan Tamon. Kondisiku dan Falcon sudah tidak memungkinkan. Kami hanya bisa mengerahkan kemampuan terakhir kami untuk menghancurkan menara."

Aku menatapnya ragu.

"Tak apa, kami bisa mengurus sisanya. Tolong lindungi Liona dan Bun."

Aku mengangguk lantas berlari menuju Liona dan Bun. Biar bagaimana pun aku berhutang nyawa pada mereka.

"Liona, Bun, tunggu!" Liona dan Bun yang berlari tak jauh di depanku pun menoleh.

"Biarkan aku membantu kalian," ujarku.

Liona tersenyum, "Selamat bergabung, Komandan."

**

"Nexus!"

Petir menerjang awan, membelah langit menjadi dua dan menyambar Bun untuk kemudian memanggil sesosok gnome bertudung ungu dan melayang di sampingnya.

"Mengapa kau memanggilku, mon~" seru gnome melayang tersebut yang kini mencubit gemas pipi tembam Bun. Bun dengan susah payah menjelaskan kondisinya pada gnome yang ternyata bernama Monica itu dan meminta tolong padanya.

"Jadi begitu. Baiklah, mon~ Tapi ini tidak gratis, ya mon~"

Monica lantas memanggil dua ruh —yang menurut penjelasan Bun bernama Purplepie dan Graycakes—seraya melayang menyusuri
medan pertempuran. Kami mengikuti dari belakang. Monica melontarkan Purplepie guna mengutuk Tamon Rah sekaligus melambatkan gerakannya untuk waktu yang singkat. Ia juga melontarkan Graycakes ketika Tamon Rah hendak menciptakan bola api dari sayapnya. Hal itu membuat gerakan Tamon Rah terhenti sesaat.

"Sekarang Liona! Komandan!"

Aku dan Liona mengangguk. Kami berlari melewati beberapa monster sekaligus yang juga hendak menyerang Tamon Rah. Kudengar Bun meneriakkan Spark, dan sekali lagi tubuhku seolah dialiri listrik yang membuat kecepatanku menjadi dua kali lipat.

Tiba-tiba Liona menarik tanganku dan merangkulku.

"Pegangan padaku! Aku akan berlari di udara agar kita bisa mencapai punggung Tamon. Kita akan aman dari serangan bola apinya di sana."

Aku mengangguk paham. Setelah berpegangan kuat pada Liona, Liona pun melompat tinggi dan menjejakkan kakinya di udara. Tamon Rah kelihatannya masih terkena efek dari serangan ruh milik Monica. Ia masih belum bergerak sama sekali.

"Aku akan menyusul yang lainnya!" seru Bun di bawah sana. Aku mengangguk lantas menggenggam pedangku dengan erat. Ini satu-satunya kesempatanku dan Liona.

Liona mulai berlari di udara. Dengan cepat ia pun tiba di punggung Tamon Rah. Segera saja ia memunculkan pedang cahaya miliknya. Kami menancapkan pedang di punggung Tamon Rah bersamaan dengan habisnya efek milik ruh Monica.

Tamon Rah meraung kesakitan. Ia kembali berlari tanpa arah di udara. Aku dan Liona berpegangan kuat pada pedang masing-masing, berusaha agar tidak terjatuh.

"Komandan, awas!"

Liona mencabut pedangnya dari punggung Tamon Rah lantas melompat dan menepis serangan anak panah yang datang mengarah padaku. Anak-anak panah itu lenyap begitu menyentuh bilah pedang milik Liona, seolah terhisap oleh sesuatu.

"Jangan lengah! Sebentar lagi efek kemampuan milik Kazu akan lenyap," seru Liona.

"Kalau begitu kita serang terus matanya dan giring dia menjauh dari kastel."

Kami berlari menuju kepala Tamon Rah yang masih saja berlari tak karuan. Ia seperti anjing yang mengejar ekornya sendiri.

"Setelah kita lukai matanya, kita harus melumpuhkannya. Kita serang sendi-sendinya bersama-sama," ujarku.

"Baik!"

Aku dan Liona pun melompat seraya menghunuskan pedang yang sukses menancap di mata Tamon Rah. Belum selesai sampai di situ, kami segera mengincar belakang lutut kiri depan. Dalam sekali tebasan yang bersamaan, Tamon Rah pun kehilangan keseimbangan. Liona kembali membawaku berlari di udara. Kali ini kami mengincar kaki kanan depan.

"Gawat, matanya mulai pulih!" seru Liona.

"Bukan cuma itu, sepertinya monster-monster itu sudah berhenti menyerang Tamon Rah dan mulai mengincar kita lagi."

Liona berdecak kesal. Lantas ia pun berseru, "Avalon!"

Tirai cahaya kembali menyelubungi tubuhku dan Liona, melindungi kami dari serangan para monster. Liona terus berlari di udara, mengincar kaki kanan depan Tamon Rah.

"Lumpuhkan kaki depannya. Untuk saat ini aku hanya bisa melindungimu," ujar Liona.

Aku mengangguk. Begitu kami sampai di sisi kaki Tamon Rah, segera kutebas belakang lututnya. Tamon Rah yang baru saja hendak berdiri kembali kehilangan keseimbangan.

"Bagus!"

Namun hal yang tidak kami duga terjadi. Tamon Rah mengembangkan sayapnya lantas mulai menciptakan bola api dan menghempaskannya ...

... dan bola-bola api itu melesat menuju kastel.

*

Aku terbelalak melihat puluhan bola api besar melesat menuju kastel. Liona bergegas melompat kembali ke tanah dan berlari menuju kastel.

"Liona, tunggu!"

Suara ledakan terdengar di depan sana. Sepertinya bola-bola api itu sukses mengenai kastel.

Aku mengernyit ketika mendapati monster di sekelilingku mendadak berhenti bergerak dan melebur menjadi asap hitam. Aku menoleh dan mendapati Tamon Rah perlahan menyusut dan berubah menjadi kuda berukuran normal berwarna putih.

Aku berbalik arah, berlari menuju Tamon Rah yang kini hanya serupa kuda normal lainnya. Aku melompat lantas menungganginya guna menyusul Liona.

"Liona!" Liona menoleh, aku tertegun melihat wajahnya berurai air mata. Ia pasti benar-benar mengkhawatirkan teman-temannya. Kuulurkan tanganku padanya, "Ayo naik!"

Liona pun meraih tanganku dan dalam sekali lompatan ia sudah berada di belakangku, memelukku erat.

"Kazu! Salah satu bola api itu tadi menuju ke tempat Kazu! Aku yakin sekali," ujarnya terisak.

Aku ingin bilang 'jangan khawatir, semuanya baik-baik saja' tapi itu mustahil. Aku tidak bisa menjamin hal buruk apa yang menimpa mereka di kastel sana.

Kupacu kudaku lebih cepat lagi. Kastel itu mulai terlihat di depan sana. Samar-samar kulihat pasukanku berkerumun di satu titik. Perasaanku mulai tidak enak.

Liona melompat begitu kami sampai di depan kastel. Ia berlari dengan terburu-buru menuju pusat kerumunan. Aku berlari mengikutinya di belakang.

"Kazuki!"

Aku tertegun melihat sosok yang terbaring di tanah. Seperti dugaan Liona, itu adalah Kazuki, pemuda berkacamata yang mengenakan penutup telinga aneh dan jaket lusuh. Kacamatanya terlepas, begitu juga penutup telinganya. Sebagian jaketnya hangus. Bahu kanannya terkoyak. Ia tak sadarkan diri.

Di sampingnya ada Bun yang menangis dengan keras. Dan juga Falcon yang terlihat begitu kesal dan kecewa.

"Hoi, bangun bodoh!" ujarnya seraya menendang tubuh Kazuki, "Kau manusia, 'kan? Yang kutahu manusia itu tidak selemah ini. Cepat bangun! Mana mungkin kau tumbang hanya karena luka seperti itu, dasar kacamata brengsek!"

Liona yang nampaknya sangat terpukul menghampiri tubuh Kazuki dengan terhuyung-huyung.

"Kazu ..."

Ia jatuh berlutut di samping tubuh Kazuki. "Kazuki, tenanglah, aku pasti akan menyelamatkanmu," ujarnya dengan suara bergetar.

Aku hanya bisa tertunduk menyaksikan itu semua.

Dalam perang tak ada yang tahu akhirnya akan bagaimana ...

Entah kau atau rekanmu selamat ...

Atau malah berakhir menyedihkan ...

Tak ada yang tahu ...

Tiba-tiba Liona menegakkan kepalanya. Ia menghapus air mata yang membasahi wajahnya. Diacungkannya tangan kirinya ke arah Kazuki lantas berseru, "Aurum!"

Cahaya keemasan yang berkelap-kelip menyelubungi tangan kiri Liona dan tubuh Kazuki. Merasa tidak ada perkembangan yang berarti, Liona kembali berseru.

"Aurum!"

Masih belum ada tanda-tanda Kazuki akan pulih.

"Kazuki bangunlah, kumohon ... Aurum!"

Bun berhenti menangis, lantas memandangi Liona, "Tunggu Liona, kau ... apa yang kau lakukan, bun?"

"Apa yang kulakukan? Tentu saja menyelamatkan Kazuki! AURUM!"

"Tunggu Liona, berhenti! Kalau kau melakukannya terus kau bisa mati!"

"Aku tidak peduli! AURUM!"

"Liona!"

Aku bergegas menghampiri Liona dan menarik tangannya, "Hentikan, kumohon. Kau bisa mati."

Liona menatapku dengan penuh keteguhan, "Aku harus menyelamatkan Kazuki."

Alih-alih terlihat kuat, Liona justru terlihat begitu menyedihkan. Ia menyerukan 'aurum' beberapa kali lagi sebelum akhirnya darah menetes dari mulutnya.

"Liona! Hentikan bun!"

Falcon yang sepertinya sudah kehilangan kesabaran langsung melayangkan tinjunya ke wajah Liona, membuat kami semua yang ada di sana terkejut.

"Hentikan, sudah cukup, Kazuki mulai bergerak. Lihatlah."

Kami semua beralih menatap Kazuki yang ternyata mulai membuka mata. Liona terlihat sangat lega dan langsung memeluk tubuh Kazuki.

"Portalnya ...," ujar Kazuki lemah.

Seperti baru tersadar akan sesuatu, Liona bergegas menggendong tubuh Kazuki dan melihat sekeliling lantas beralih menatapku. "Tugas kami sudah selesai sampai di sini. Kami harus kembali sekarang."

Aku tersenyum, "Terima kasih banyak, dan maaf sudah melibatkan kalian. Gunakan kuda ini dan kembalilah segera. Aku senang kalian semua selamat."

Mereka berempat mengangguk lantas mulai menaiki kuda yang sebelumnya adalah Tamon Rah. Kecuali Liona tentunya.

"Sampai jumla lagi," ujar Liona seraya tersenyum.

Ya, sampai jumpa lagi Para Pahlawan Alforea.

***

13 comments:

  1. Vajra sez, "Halo, Liona!

    Wah setelah berkali2 revisi, u pakai pendekatan straightforward toh? Langsung battle. POV-1-nya juga variatif, pakai karakter pendukung yg bukan OC sendiri. Yah, lebih mendingan drpd POV-1 dari OC org lain sih.

    Battlenya termasuk yang runut aturan, that's good. Tapi ada yg aneh, si Rah kesannya kyk bukan terlalu kolosal, dan bukankah kristalnya nggak mempan serangan sihir + prana + unsur alam, termasuk serangan si Rah sendiri?

    Oh well, overall sih lumayan seru+menghbur lah, ini saya beri nilai realistis 8/10 yah.
    Sincerely, Vajra (Raditya Damian).

    ReplyDelete
  2. Halo... saya mampir..
    Serius, ceritanya terkesan cepet karena langsung battle. But well, ini dari sudut pandang komandan kan ya? Jadinya wajar.
    Kan komandan ga ada pas pengumuman //hus

    Ceritanya seru, dan saya nikmati suasananya. Hau Hau Hau
    Tapi di ending kenapa Tamon Rah bisa dinaiki ya? Kirain dia disegel
    xDa

    Titip 8/10 ya yuu


    P.S
    Saya akan memikirkan Lion


    Regards,
    Kazuki Tsukishiro

    ReplyDelete
  3. Ini menarik karena pakai PoV di luar OC, battlenya juga bagus. Hanya saja sepertinya kau kehilangan sense of size dari Tamon Rah, karena si komandan terkesan mudah dalam menebas sendi belakang lutut dari kuda bongsor 50 meter.

    Karena hanya itu yang mengusik saya dalam cerita ini, saya akan beri...

    Nilai 8

    Zoelkarnaen
    (OC: Caitlin Alsace)

    ReplyDelete
  4. Hai hai, Dik Liona~ Bu Mawar is in the house, yow~~ #cool glasses#
    -
    Ini entrinya seru sekali, langsung bak bik buk battle. Ibu langsung perhatian sama mas-mas komandan itu (eh, dia mas-mas kan, yak?), dan juga para bawahan kecenya. Semoga mereka baik-baik saja~

    Kemunculan Liona dkk asik di sinih. Tetapi pas bagian Liona memperkenalkan timnya terlalu lengkap itu mah, masa' sampai disebutin ke julukan-julukan segala. Kesannya malah jadi aneh.

    Lalu sesuai kata Pak Zoel di atas, ini kudanya kayak agak kecilan gimana gitu. (kasusnya mirip sama kuda di cerita Nak Arai) Dan kenapa di bagian akhir malah Tamon Rah jadi kuda biasa yang jinak? Ibu nggak ngerti #ngurut kening

    Dan pertanyaan terpenting: Kapan Kazu dan Liona menikah? :>
    Undang-undang Bu Guru ya, nanti~ Jangan lupa

    PONTEN 8
    -Bu Mawar-

    ReplyDelete
  5. Wah, bener" fresh ini. Ada juga selain Vi yang bikin PoV1 non karakter utama, dan ini dari sudut pandang bystander ala NPC pula

    Tapi bagai pedang bermata dua, itu juga ngebuat kita yang ngeliatnya dari PoV si komandan berasa cuma penonton yang ngeliat Liona dkk beraksi. Ya, mereka muncul dan punya cukup porsi dalam cerita, tapi ga mengesankan kalo mereka ini 'karakter utama'nya buat saya. Masih berasa si Komandan aja yang kebetulan ketemu pahlawan legenda, jadi Liona dkk itu guest char aja di cerita ini

    Soal miskonsepsi ukuran kayanya udah banyak yang bilang ya

    Saya jadi penasaran ke depannya kayak gimana. Apa kalo lolos bakal pake PoV Liona?

    Mengabaikan poin" minusnya, satu poin kuat di sini adalah suasananya kerasa banget. Mungkin faktor penggunaan PoV1, jadi dari awal masa" despair sampe dapet harapan barunya lumayan dapet

    Dari saya 8. Deadliner buffer -1, jadi nilai akhir dari saya 7

    [OC : Dyna Might]

    ReplyDelete
  6. keren!! ini mungkin yang dimaksud "figuran yang beruntung" :v

    meskipun char yang dipake itu dominan. Tapi mereka punya rasa seperti figuran yang 'penting', bukan jadi karakter utama di cerita ini.

    Yah kalo yang ini mungkin sih battle scene dah gak diragukan karena dari awal sudah disuguhi pertarungan sengit tapi, Tamon Rah kan gede tuh, kok bisa ditunggangi? Tapi gak masalah buat ane XD

    overall : 9/10 (gaya penarasiannya beda banget)

    - Dhaniy Islaviore/Masqurade

    ReplyDelete
  7. Whoa, baru baca tiba-tiba dihadapkan dengan perang. Strategi yang hebat untuk membakar semangat pembaca dengan menyajikan konflik secepat mungkin di awal cerita.

    Menggunakan POV 1 dari NPC, adalah sesuatu yang anti mainstream, keuntungannya bisa langsung memtotong adegan tanpa repot-repot dengan interaksi peserta sebelum masuk arena.

    Narasinya bagus, berjalan lancar, sayangnya plotnya terlalu biasa. Tidak ada komedi, hanya battle yang cool, tapi tidak ada kejadian "wow" yang memorable.

    Soooo, the final answer is 8.
    OC : Relima Krukru

    ReplyDelete
  8. (+) : Yang sudah ditulis menurut saya sudah keren.. variatif banget dan berbeda dgn kebanyakan cerita, apalagi pake sudut pandang orang ke 3 nya (haha, maaf kalo salah, soal nya saya nggak ngerti PoV1 itu apa..^^).. maksudnya dari sudut pandang cameo nya gituh.. (9)
    (-) : Untuk cerita yang tiba2 masuk ke peperangan, (Boleh jugak) tapi legenda pahlawan yang tiba2 turun menyelamatkan Alforea, (ya bagus jugak sih), tapi karena nggak diceritakan asal-usul nya (intro), jadi terkesan pahlawan nya cuma 4 orang peserta itu doang (moga2 cuma anggapan saya aja, soal nya saya baca nya dari sudut pandang si tentara)...^^

    Nilai: 8
    OC: Falcon

    ReplyDelete
  9. Ouch! Langsung lompat ke adegan battle. Benar-benar panas dari awal sampai akhir. Beberapa paragraf narasi dari sudut pandang si komandan tentara ini tentang anak-anak buahnya membuat bulu kudukku merinding. Seandainya aku ada di sana bersama mereka, pasti aku juga seputus asa itu. Tapi hebatnya si komandan ini, putus asa sekalipun dia masih mau berbuat baik, ya ? Soalnya di perang yang sebenar-benarnya pasti ada aja yang berkhianat atau memilih kabur dalam situasi yang seperti ini. Anggaplah para tentara itu punya good morale.

    Lanjut ke karakterisasi, entah kenapa aku melihat Liona dan kawan-kawan bukan karakter utamanya. Atau memang di-plot begitu ? Yang karakter utamanya justru si komandan.

    Mengenai Tamon Rah yang bisa ditunggangi, kayaknya tidak ditunggangi. Tapi hanya numpang berdiri di punggung kuda super besar itu. Walaupun begitu, bukannya si Rah tubuhnya diselimuti api ya ? Tapi good idea juga cara menaklukannya seperti hendak menyembelih sapi waktu Idul Adha. hehehe ... Soal miskonsepsi, bisa dikurangi kalau kerjasama dengan 50 orang tentara yang ikut si komandan.

    Tapi good thing dari entry ini adalah kisahnya yang menyentuh dan mengalir. Sayang sekali kalau harus berhenti di sini.

    Jadi nilainya 8.

    Salam Arly Eve dan Mirsya
    Penulis Ditto Stormrage

    ReplyDelete
  10. Pemilihan sudut pandangnya cocok dengan judulnya, bukan, dengan backstory Liona. Ini jelas poin plus. Karena sudut pandang ini, tingkat kekerenan party sebagai pahlawan jadi meningkat --)b

    Masih di sudut pandang, eratnya hubungan pribadi di antara para prajurit Alforea dapet peran besar dalam penggambaran setting yang menegangkan. Ini berasa baca pembukaan battle novel epic fantasy. Sebagai pemimpin, si aku bahkan hapal kapan prajurit2nya menikah, punya anak, dsb. Prajuritnya pun beraneka ragam. Eliza, Daeva... eh, Daeva OC punya si Aki? Atau bukan ya, hahaha.

    Satu lagi yang worth mentioning adalah drama penyembuhan Kaz oleh Liona. ini ngenunjukin kalo Liona bener-bener nggak mau kehilangan temannya. Sedikit selisih dengan Falcon juga jadi sedikit bumbu di sela battle.

    Ugh, typo 'jumla' di akhir, agak ngerusak mood. Tapi maklum itu kecelakaan sih.

    8/10

    OC: Wildan Hariz

    ReplyDelete
  11. Sampaaaaiii kita jumla lagiii~

    #PLAK

    Seriusnya, setelah overall cerita yang high-paced jumla itu kecelakaan kecil yang lumayan gede sandungannya =)) Jadi agak disayangkan sih, tapi ya gapapalah. Positioning party yang berbeda di sini jadi daya tarik utamanya buat saya, jadi kebayang kayak ini adegan cinematic game yang ambil sudut pandang tokoh figuran utamanya gitu. Eee, atau trailer game, malah...

    Tapi intinya! Saya cukup suka, apalagi penyampaian emosinya. Ceritanya lebih terasa kayak recounting dari si komandan, tapi bolehlah—detailnya nggak terlalu banyak yang hilang, dan sepertinya yang hilang pun sudah tersampaikan dengan cara yang lain /o/ (Matanya komandan bagus banget, observasinya lengkap. Ga protes juga sih #...) Tapi belum bisa sampai bikin saya nahan napas sampai banget sih (walaupun sempat doki-doki waktu adegan Liona sama Kaz di ending, uhu!)

    Dan.

    "Bun"-nya Bun ketinggalan!

    #GAPENTINGABIS

    9/10 ya. Emosinya kebangun banget, nice!

    ~Stellene

    ReplyDelete
  12. Ebuset, itu pengelompokan pasukannya pake bahasa skuadron segala. Itu kan buat klasifikasi pespur.
    XD

    Ini openingnya suram ya, gak nyangka pula pake PoV satu, dan lebih kaget karena penceritaannya bukan dari sudut pandang entrant..
    O.o

    Kazu di sini Cool sekali
    ._.

    Tamon Raah-nya jadi jinak
    ._.



    maaf gak bisa komen banyak.
    ._.

    Point 8


    ReplyDelete
    Replies
    1. Maaf lupa menyertakan nama OC
      ._.

      Sanelia Nur Fiani

      Delete