16.5.15

[PRELIMINARY] AUSHAKII - PEMBURU, BURUNG NAZAR, DAN PERANG YANG TIDAK SEHARUSNYA TERJADI

AUSHAKII - PEMBURU, BURUNG NAZAR, DAN PERANG YANG TIDAK SEHARUSNYA TERJADI
Penulis: Kevin Arnando




Bab 1

Perburuan belum selesai ketika malam hampir turun. Di Lembah Besar, di desa-desa kecil yang terdapat di dalamnya, perburuan tak pernah sungguh-sungguh selesai. Mereka menikmati keheningan yang timbul ketika berjalan mengendap-endap dan rasa gatal saat rumput-rumput bergesekkan dengan kaki mereka yang kecil tapi kokoh. Bagi orang-orang yang hidup di Lembah Besar (sebetulnya mereka mempercayai bahwa hanya di Lembah Besar manusia bisa hidup), berburu bukan hanya merupakan kebutuhan yang mesti dilakukan untuk bertahan hidup; ia prosesi sakral yang mendekatkan mereka dan anak-anak mereka kepada Ruh-ruh.

Dari balik semak-semak dan pohon Papala yang tipis, Aushakii menyusuri sore hari yang gersang. Matanya membidik setiap pergerakan kecil dengan cepat dan tangkas. Ia mengintai seekor bwawhasa muda sejak tadi, sejak Lembah Besar masih benderang, hingga matahari sore menyinari wajahnya yang gelap dan membuatnya tampak kemerahan. Ia tahu ia tak bisa begitu saja menyergap dan melepaskan anak panahnya ke hewan buruannya itu. Bwawhasa (sejenis rusa kecil tanpa tanduk) dari desa Papala adalah yang tercepat dari jenisnya dan paling waspada. Telinga mereka mendengar bunyi-bunyian paling kecil sekalipun dan mereka berlari lebih kencang dari hewan lain. Aushakii terus membuntutinya, menunggunya makan dengan tenang, sambil berharap ia akan lengah satu waktu dan Aushakii bisa menundukkannya.

Dari jarak satu lemparan batu, Aushakii bisa melihat bwawhasa muda itu berdiri tegak dan memperhatikan sekitar. Telinganya yang lancip dan agak besar mengepak-ngepak mirip sayap burung. Aushakii merapatkan dadanya dengan tanah dan bergerak sedikit merayap. Ia tahu, dalam keadaan seperti itu, bwawhasa tengah mendinginkan suhu tubuhnya dan ia sedang merasa lebih nyaman untuk beristirahat. Aushakii memperhatikannya duduk dan mendongak-dongakkan kepala, tanpa menyadari apa yang sedang terjadi saat itu.

Aushakii bergerak lebih lamban dan ia kini benar-benar merayap. Ini saat yang tepat, pikirnya, dalam jarak sedekat ini, bwawhasa itu tak akan punya kesempatan untuk kabur. Anak laki-laki itu menyiapkan busurnya, menarik sebuah anak panah tipis yang terbuat dari kayu ringan, dan mengolesi ujungnya dengan getah racun yang ia bawa. Aushakii melakukan semuanya dengan hati-hati tanpa menimbulkan suara yang mengganggu. Tetapi, tepat ketika ia menarik tali busur, bwawhasa muda itu kabur dengan sigap. Ia berlari kencang dan berkelok menuju pepohon di timur dan menghilang dalam sekejap. Yang tersisa hanyalah debu tipis yang beterbangan di udara dan kekesalan Aushakii.

"Bagaimana dia bisa kabur," kata Aushakii, ia segera keluar dari tempat persembunyiannya selama beberapa jam terakhir ini. "tapi aku tidak berisik sama sekali, kok."

Anak itu berdiri tanpa bergerak cukup lama dan mencoba memahami apa yang sebenarnya terjadi. Nyatanya ia memang tidak mengerti sama sekali.

Apa dia bisa mencium bau yang keluar dari badanku, pikirnya, tapi kupikir Ndong'je pernah bilang padaku bahwa tak ada yang bisa menyamai penciuman bwawhasa yang buruk kecuali kewaspadaan mereka itu sendiri. "Barangkali deru napasku terdengar lebih kencang daripada kesigapanku dan telinga bwawhasa yang baik bisa menangkapnya. Ya, mungkin begitu," gumam Aushakii (anak itu belum menyadari, bahwa, keberuntungan atau ketidakberuntungan melampaui pengetahuannya).

Dari balik sisi semak-semak yang lain, tanpa Aushakii ketahui, sesuatu tengah bersiap-siap menerkamnya. Ia sedang membetulkan posisi kantung anak panah yang terletak di belakang pinggangnya tanpa memperhatikan sekitar. Bwawhasa muda yang melarikan diri tadi masih menyita perhatiannya. Kemudian, bunyi gemerisik rerumputan yang timbul akhirnya membuat Aushakii menoleh. Mendekat ke arahnya, ia melihat seekor singa betina dewasa dengan bulu-bulu keemasan. Makhluk itu menggeram dengan suara tertahan. Mata mereka saling bertemu dan Aushakii bisa merasakan kengerian menjalari sekujur tubuhnya.

Aushakii sedikit menunduk dan pelan-pelan melangkah ke belakang. Ia tak pernah bertemu seekor singa sebelumnya, tepatnya, seekor singa betina yang berniat memangsanya. Ia mungkin akan diam di tempat dan mencoba tenang. Tapi yang anak itu hadapi sekarang bukanlah anjing hutan. Singa tak mengenal rasa takut kepada mangsanya. Diam di tempat berarti mati, Aushakii tahu itu, dan ia lebih tahu bahwa ia harus segera melakukan sesuatu.

Tanpa menunggu apa-apa lagi, Aushakii berbalik dan berlari sekencang-kencangnya kembali menuju desa Papala. Singa itu dengan cepat mengejarnya. Aushakii menoleh sesaat ke belakang dan ia melihat cakar-cakar yang besar dan tajam itu memburunya. Singa betina itu benar-benar kelaparan, Aushakii bisa merasakannya. Ia berlari melewati pohon-pohon kering di sisi kanan dan kiri. Desa masih terlalu jauh, batin Aushakii, dan ia tidak akan sampai tepat waktu.

Aushakii menghentikan langkahnya tiba-tiba, mengambil busur, dan anak panah yang ujungnya telah diolesi getah. Itu cukup untuk melumpuhkan sang singa dan memberinya waktu menyelamatkan diri. Aushakii membidik dan melepaskan anak panahnya. Ia meleset. Tembakannya hanya menyerempet bagian luar cuping telinga kiri dari sang singa. Aushakii hendak mengambil anak panah lain dari kantung di pinggangnya tapi ia tidak punya cukup waktu. Singa itu makin mendekatinya. Dari jarak seperti itu, Aushakii bisa melihat bulu-bulunya yang bergerak tertiup angin.

Ia sampai di bagian Lembah Besar yang lain yang belum pernah ia lewati. Aushakii terhenti pada sebuah tebing batu curam dan segera memanjat ke atas. Singa itu berhasil mengejar dan berada dalam jarak yang terlalu dekat. Ketika Aushakii menoleh, singa itu menerkamnya.

(*)

"Memangnya siapa yang bisa menolak citarasa daging bakar bwawhasa?" tanya Aushakii. Ia duduk bersila dengan tenang. Di hadapannya, di atas tebing batu yang bertingkat-tingkat, bertengger seekor burung nazar yang mengajaknya berbicara.

"Tentu tidak ada, Aushakii, aku sangat yakin."

Ia terkekeh. "Dan lihatlah, bahkan Itand'je yang Agung tak punya kuasa menolaknya," katanya. "ayahku harus tahu ini."

"Ceritakan padaku, Aushakii, jika boleh, mengapa kita menyukai mereka lebih daripada hewan-hewan yang lain."

"Maksudmu selain bwawhasa?"

"Ya. Aku pernah mendengar tentang orang-orang tengah hutan yang berburu kadal-kadal raksasa."

"Mereka berburu kadal?!"

"Seperti kalian menangkap bwawhasa," kata Itand'je, mengepakkan sayapnya satu kali. Ia mendengkur singkat. Dalam bahasa elang bangkai, mereka mendengkur seperti manusia ketika tersenyum. Cahaya matahari yang menukik ke barat membuat bayangan Itand'je tampak memanjang. Kepalanya botak dan rambut tipisnya kelihatan berkilau.

"Aku tidak pernah mendengar yang seperti itu," kata Aushakii. "Kautahu, Itand'je, sesekali aku memikirkan itu juga, mengapa kita tidak berburu burung cerewet maori berbulu perak yang cantik, atau lembu-lembu bertanduk mirip bulan yang sering bergerombol dekat sungai itu, mereka lambat, kau pasti sudah tahu, atau kadal-kadal besar seperti yang orang tengah hutan lakukan setiap hari. Aku memang tidak berburu kadal, tapi lembu terlalu lamban, mereka jarang bergerak dan otot-otot mereka menjadi kaku. Lagipula, berburu lembu adalah pekerjaan yang terlalu mudah, temanku yang baik. Kami orang-orang Papala gemar berlari dan kami tak perlu berlari jika ingin mengejar lembu."

Itand'je terus mendengarkan dan menganggukkan kepalanya.

"Maka begitulah kukira mengapa kita menyukai bwawhasa. Kau harus coba sendiri, Itand'je, kuberitahu, orang Papala sangat pandai mengolah daging bwawhasa yang enak. Mereka mengerat timbunan daging di paha bwawhasa seperti mereka meraup keberkahan. Oh, tentu bukan itu, malah bukan itu bagian terpentingnya; lemak di dekat tulang rusuk bwawhasa muda itu, Itand'je, hanya bwawhasa muda, hmm ... aku kesulitan mengatakannya. Kau mesti mencobanya sendiri."

"Aku percaya hal itu akan sangat menyenangkan," kata Itand'je.

"Bukankah bwawhasa adalah suatu keberkahan?" tanya si pemburu muda.

"Benar. Sama halnya denganmu, Aushakii, begitu pula pohon-pohon Papala yang kalian sulam menjadi pakaian; dan kesabaran para perempuan yang merajutnya. Sejauh yang bisa kaulihat di Lembah Besar adalah keberkahan. Bahkan N'kote yang kekerasan hatinya mampu meremukkan kebuasan seekor singa memercayakan keberkahannya padamu," jawab Itand'je. "Kepercayaan, Aushakii, ia lebih mematikan daripada busur paling kuat yang bisa kautemui."

Sang pemburu mengangkat lengan kirinya. Telapak tangannya yang gelap dan dipenuhi garis-garis kasar mengelus kepala bagian atas seekor singa yang semula nyaris membunuhnya. Hewan itu bernapas dengan teratur dan duduk dengan tenang seperti kucing kecil nyx yang lebih lembut daripada seekor kupu-kupu. Kedua matanya tampak terkantuk-kantuk saat Aushakii membelainya.

Burung besar itu berkata; "Aku telah bertemu leluhur Papala yang pertama. Kami begitu dekat dan persahabatan kami tak bisa dipisahkan bahkan oleh kematian itu sendiri. Mereka orang-orang pemberani yang datang dari timur laut yang jauh. Aku melihat hal yang sama pada dirimu, temanku, pada hari ini, dan di hari-hari yang lain, sesuatu yang tidak bisa berubah setelah berapapun musim yang kaulewati."

"Itand'je, kau belum pernah menceritakan kisah leluhurku sendiri kepadaku."

"Benarkah?"

"Aku mengingat segalanya dengan baik."

Itand'je membuka paruh besarnya. "Itu sudah lama sekali. Tapi aku mengingatnya seperti baru sesaat yang lalu. Hal seperti ini, Aushakii, kautahu, tidak terjadi terlalu sering pada kita. Tidak semua cerita dapat bertahan lebih lama dari yang bisa kita pikirkan."

Itand'je melanjutkan kisahnya. "Orang-orang Papala sejak dulu begitu setia kepadaku, saudara-saudaraku, dan pasukan yang mereka jumpai setelah perang sekalipun. Mereka memuja Para Ruh yang mereka tanamkan dalam alam pikiran mereka sendiri. Temanku, Para Ruh adalah sebuah kekuatan besar dan kekuatan seperti itu akan terus bergerak hingga ia menemui tempat untuk beistirahat sejenak. Kepada orang-orang Papala kami telah memutuskan untuk menetap, hingga satu persatu dari mereka meninggal, dan lahir penerus-penerus berikutnya," tukasnya, "tetapi, berbeda dengan manusia, Para Ruh tidak dapat mati atau dibunuh, kami akan terus hidup, sampai menghilang kemudian ketika tiba waktunya."

"Tidakkah Ruh-ruh adalah makhluk abadi, Itand'je?"

"Para Ruh adalah makhluk yang kekal, Aushakii, itu benar. Kami hanya kembali ke tempat dimana kami berasal. Sesuatu yang kembali atau menghilang sama sekali menyimpan perbedaan yang amat besar."

"Aku mengerti," ujar si pemburu, "kuharap aku bisa memercayai Paman Obwang sebaik kau memercayai kami." Aushakii sedikit menundukkan wajahnya. Ia menghindari bertatap mata dengan Itand'je untuk sesaat. "kupikir ia telah mempertaruhkan nyawaku ketika memberiku petunjuk agar tidak berhenti mengejar bwawhasa muda itu. Aku tidak mengerti Obwang, temanku. Atau sebenarnya aku tidak mengerti diriku sendiri. Aku menghormati Paman seperti sesepuh-sesepuh lain di desa."

Katanya, "Hari ini kau dan N'kote, Sang Ruh Binatang yang Tangkas, mungkin telah menyelamatkanku dari serangan singa yang murka. Tapi aku tidak bisa menjamin keselamatanku sendiri di waktu kemudian ketika Obwang mengutusku berangkat menuju tempat-tempat yang belum pernah aku lalui, tempat-tempat penuh bahaya yang tidak aku ketahui.

"Aku sendiri tidak yakin dengan apa yang aku lakukan. Banyak hal terjadi di Lembah Besar yang belum aku mengerti. Tempat ini mengandung misteri yang tidak habis-habis. Tiap kali aku menjelajah, aku semakin yakin bahwa aku tidak mengenal Lembah Besar lebih baik dari punggung busurku sendiri."

"Kau tidak bisa terus mengikuti apa yang dikatakan Obwang." Itand'je melanjutkan pembicaraan, "Cepat atau lambat, kau akan menggantikan kedudukan Ndong'je sebagai penerusnya. Itu hal yang tak bisa kau elakkan, temanku."

"Ya, aku tahu itu."

"Aku telah berada di Lembah Besar sejak Para Ruh melakukan Perjalanan Agung. Meski begitu, butuh waktu bagiku untuk menyadari hal ini." Sang Ruh berkata dengan suara serak yang mendung. "sebagai Ruh dan manusia, kautahu, kita memiliki satu kesamaan."

"Apa itu, Itand'je?"

Itand'je membuka paruhnya, "Kesempatan untuk memilih, Aushakii. Ruh telah memilih kesempatan untuk percaya pada orang-orang Papala dahulu. Kelak, sebagai pemimpin dan manusia, kau punya kesempatan untuk memilih memercayai seseorang, begitupun sebaliknya. Namun, terlebih dulu, kau perlu percaya pada dirimu sendiri, pada pilihan yang kauambil."

Si Pemburu Muda menelusuri penglihatannya yang jernih, ke arah ranting dan batang-batang pohon kering yang hampir mati, semak yang terus bergerak beriringan karena desauan angin, dan beberapa ekor musang tanah yang mengeruk lubang galian. Apa saja yang bisa ia temui dan itu membuatnya merasa lebih nyaman. Desa berada di seberang Selatan, di dekat aliran sungai (orang-orang Papala membutuhkan sumber air), dan Aushakii terus memperhatikan kawanan serangga kecil beracun yang berjejer melewati kedua kakinya.

Ia berkata, "Darimanakah kau berasal, Itand'je, Para Ruh-ruh?"

"Melewati bukit-bukit di sebelah Utara itu, dan melampaui beberapa buah hilir. Tepat di tepi Lembah Besar."

"Katakan padaku, seperti apa rupanya tempat asalmu itu, apakah seperti desaku, dan apakah kalian juga gemar memanah?" tanya Aushakii.

"Ia sama indahnya dengan Lembah Besar. Aku hampir tidak bisa merasakan perbedaannya. Ketika berada di desa, di sisi orang-orang Papala, aku merasa seperti berada di tempat asalku," Sang Ruh menjawab, "saudara-saudaraku dan aku akan terbang ke ujung Lembah Besar menuju tempat tinggal kami, bersama arwah-arwah yang gugur dalam peperangan."

"Jika bisa, aku ingin sekali menemui tepi Lembah Besar, menuju tempat asalmu."

"Tentu saja kau bisa, tempatku berasal adalah rumah bagi mereka yang selalu mencari tahu dan para pemburu yang hidup dengan rasa hormat."

"Tapi itu terdengar jauh sekali," ujar Aushakii, "temanku yang baik, seringkali aku memikirkan itu, malam-malam ketika aku hendak tidur. Pikiran itu terus saja menggangguku dan hanya menimbulkan banyak pertanyaan."

Itand'je mengalihkan pandangannya. Kedua kakinya yang bercakar bergerak dua langkah menghadap Sang Pemburu.

"Rasanya aku hanya semakin tidak sabar. Malam ketika aku menengadah ke langit pertanyaan ini datang menghampiriku, seperti; mengapa Sang Matahari meredup ketika malam dan apa pula sebabnya Ruh Bulan hanya datang di saat keadaan gelap? Maksudku, mengapa mereka tidak pernah berdiri berdampingan. Aku menduga jika mereka mungkin pernah bertengkar satu kali lalu permusuhan di antara mereka terus terjaga hingga saat ini. Sang Matahari menolak berbaikan kemudian begitu pula Ruh Bulan. Kenapa mereka berdua gemar sekali memelihara pertengkaran? Aku masih tidak mengerti hal itu, Itand'je. Sama seperti hal lain. Seharusnya mereka memberi ilmu yang baik untuk orang Papala, kan?" terang Aushakii. "banyak hal yang membuatku merasa memiliki keinginan untuk menjelajah lebih jauh, ke tempat asalmu, contohnya, atau ke balik bukit-bukit besar di mana kabut tidak pernah menyingkir dari mereka. Maksudku, apa saja yang ada di balik kabut-kabut abadi yang kekal seperti dirimu itu, Itand'je? Apakah Rusa Besar Adengkwa yang Masyhur itu benar-benar hidup di sana. Ndong'je, ayahku, dalam salah satu dongengnya, bercerita bahwa ia memiliki berkah yang akan membuat kami tidak berhenti merasa kenyang. Aku membayangkan ia sebesar gunung itu sendiri. Dan mungkin hanya anak panah Ruh N'kote yang bisa melumpuhkannya. Itand'je, kautahu, rasa penasaran ini tak juga berhenti mendatangiku. Kadang-kadang aku hanya menyimpannya sampai aku terlelap. Aku sungguh tidak dapat menunggu lebih lama lagi hingga aku dewasa. Aku ingin cepat-cepat bergabung bersama pemburu dewasa yang lain."

Itand'je sesekali berkoak nyaring. Mereka terus bicara sepanjang waktu hingga langit gelap dan Aushakii memutuskan untuk kembali. Itand'je, Ruh Pengetahuan dan Kebijaksanaan, sekaligus sahabat baiknya, dengan setia menanggapinya seperti ia berbicara kepada bagian dirinya yang lain. 



Bab 2

Malam telah bergulir di langit desa yang jernih, dan upacara penobatan telah mencapai tahap akhir. Orang-orang Papala yang berjumlah puluhan duduk mengitari sebuah undak-undakan yang terbuat dari batu yang disusun sederhana dan batang pohon yang mereka percayai sebagai singgasana magis Ruh Tarung. Para sesepuh dan pemburu duduk lebih dekat di depan, di sebelah anak-anak remaja yang beranjak dewasa, sementara para perempuan berada lebih jauh. Di depan mereka, terdapat api unggun berbentuk kerucut. Nyala api yang membakar kayu dan ranting-ranting kering bergemeretak kecil memecah suasana hening. Dalam keadaan remang-remang dari nyala api tersebut, mereka duduk dengan khidmat sambil menunggu prosesi yang akan berlangsung selanjutnya. Tari-tarian Suku Papala yang selalu penuh semangat dan menghentak-hentak telah dilakukan sejak awal. Dan nyanyian persembahan kepada Lembah Besar sudah selesai dilantunkan. Mereka meyakini Ruh Tarung yang tak kasat mata telah duduk di singgasana yang mereka dirikan. Semua orang belum berani bergerak sebagai bentuk penghormatan kepadanya. Ruh Tarung akan menjadi tamu tertinggi dalam upacara penobatan anak-anak yang bertumbuh dewasa, mewakili Ruh-ruh lain sebagai pembimbing perayaan.

Kakeu Putra Wame, yang sedikit lamban dalam berkembang menemui gilirannya. Ia telah berusia tujuhbelas musim saat ini (orang Papala belum mengenal hitungan masehi, untuk menggantikannya, mereka menggunakan musim kawin zebra sebagai satuan ukur waktu). Ia tinggi, sedikit berkumis, dan badannya tipis. Kakeu kelihatan paling besar di antara anak-anak lain yang berada dalam upacara itu.

"Kemarilah, Putra Wame," kata Ndongje, sang kepala suku. Kakeu yang Penakut itu tampak ragu-ragu ketika Ndong'je memanggilnya. Tetapi, kata-kata sang kepala suku yang terus membesarkan hatinya menepis sedikit rasa gusar dalam benaknya. "ayahmu adalah sebaik-baiknya panglima perangku. Darahnya mengalir pula dalam darahmu. Darah seorang kesatria. Jika ada seseorang yang paling mampu memandu perburuan penting kelompok ini, aku tahu kaulah orangnya," ujarnya.

Ndong'je yang hanya memiliki satu tangan meraih sebuah kendi berisi darah seekor Rahang Besar. Laki-laki itu mencelupkan dua jarinya, kemudian mengoleskannya ke wajah Kakeu. Ia membentuk pola tertentu seperti tato. Setiap laki-laki Papala memiliki tato dari darah Rahang Besar di tubuh mereka yang dibuat oleh kepala suku. Setiap orang memiliki pola berbeda satu sama lain. Tato itu menggambarkan kepribadian mereka yang unik. Suku Papala mempercayai, bahwa, setiap manusia diciptakan dengan memiliki tujuan mereka masing-masing.

"Aku melukis matahari di atas dada sebelah kirimu. Tidak ada yang lebih berani daripada matahari yang benderang."

Tetua dan petinggi Papala lainnya memperhatikan dengan seksama saat Ndong'je melaksanakan tugasnya. Mereka duduk bersila dengan teratur ketika sang kepala suku memanggil satu persatu anak-anak muda itu, dan mendoakan mereka agar senantiasa dilindungi Ruh Tarung. Udara dingin padang rumput menyelimuti tubuh mereka yang berpakaian kulit kayu.

"Aushakii, putraku," kata Ndong'je. Aushakii segera bangkit dari barisan paling depan. Ndong'je yang Perkasa belum bicara apa-apa saat Aushakii menghampirinya. Ia memperhatikan putranya itu lekat-lekat.

"Aku selalu menantikan saat ini akan tiba," mulainya dengan suara berat yang terdengar hati-hati. Meski begitu, Ndong'je tak bisa menyembunyikan kegembiraan serta kedua matanya yang berbinar-binar.

Aushakii sedikit mendongak, Ndong'je memasukkan ujung jarinya ke dalam kendi dan mulai melukis motif mirip sayap burung pengintai pada kening, pipi, serta bagian leher si pemburu muda. Wajah Aushakii dipenuhi darah.

"Malam ini, dan mulai esok ketika fajar berdesir, Lembah Besar akan mengakui dirimu sebagai pemburu dari Papala," sahut Ndong'je. "pemburu-pemburu besar lain akan bergabung bersamamu.

Aushakii mengedarkan pandangannya. Sebagai tradisi, suku Papala menyambut anggota baru kelompok pemburu dewasa dengan rasa hormat karena mereka memegang peranan penting dalam kelangsungan desa. Para sesepuh dan istri-istri Ndong'je yang berjumlah tigabelas menyaksikan penobatan si anak kepala suku sambil menyimpan kekaguman. Begitu pula dengan anak-anak lain yang telah usai melaksanakan prosesi penobatan.

Ujar Ndong'je di hadapan seluruh orang Papala, "Jika ada yang lebih berbahagia daripada aku saat ini, maka ialah Ruh Bulan yang tengah menyaksikan dari atas sana."

Ndong'je berkata, masih dengan suara keras seolah ingin memberi penekanan, "Istri-istriku terdahulu tidak ada yang mampu melahirkan anak laki-laki kuat sebagai penerus Suku Papala. Ruh Bulan Putri Nggo, yang kupertaruhkan cintanya dengan mengorbankan lengan kananku untuk dimangsa Rahang Besar, telah memberiku apa yang selama ini aku butuhkan; seorang anak laki-laki yang cerdas dan secepat seekor singa. Ia yang mempelajari segala ilmu dan bertarung seperti panglima. Sambutlah kepala suku kalian yang baru," sahut Ndong'je, "ia yang bahkan mampu mengalahkan Si Rahang Besar itu sendirian!"

Ndong'je mundur beberapa langkah dan memberi ruang untuk Aushakii. Sang Pemburu Muda menunjukkan rasa segan pada seluruh orang Papala yang memberikan hormat untuknya. Nyala api unggun berkobar lebih besar hingga menimbulkan bunyi terbakar.

"Kau hidup bersama naungan Para Ruh dan tumbuh hanya untuk menjadi kebanggaan dan puji-pujian. Aku tahu itu sejak malam ketika kau dilahirkan. Aku berkata 'kelak, ketika anakku besar, jerapah-jerapah akan tunduk dan singa-singa akan belajar menghormati. Mereka akan memuja anakku seperti hal yang tak pernah mereka lakukan sebelumnya," sambung Ndong'je, "aku hanya akan semakin tua dan lemah setiap harinya, sementara Lembah Besar butuh seseorang yang masih segar dan lincah. Kupikir, sudah saatnya kita memilih kepala suku yang baru."

Ndong'je tersenyum lebar, kelihatan amat puas dengan apa yang ia ucapkan barusan. Ia memandangi tubuh anaknya dari rambut ikalnya ke bawah yang tampak gemilang diterangi nyala api. Tetapi, hal berikutnya yang terjadi sungguh berada di luar perkiraannya.

"Ia yang Berlengan Tunggal pasti sedang bergurau dengan kita!" sahut sebuah suara dari barisan terdepan tempat para tetua dan sesepuh berada. Hal itu muncul tiba-tiba seperti bunyi petir menggelegar dan begitu mengejutkan Sang Kepala Suku serta seluruh orang Papala yang berada di sana.

Keadaan sempat hening sejenak. "Apa yang kau maksudkan itu, saudaraku?" tanya Idanke, kakek tertua dalam kelompok, sambil berusaha menenangkan sedikit keributan yang timbul. "apakah menurutmu Aushakii Putra Ndong'je yang Perkasa belum pantas memimpin kita?"

Obwang menegakkan duduknya lalu melanjutkan kata-katanya, "bukan hanya tidak pantas. Kurasa ia juga belum layak."

"Tenangkan dirimu, saudaraku," ujar Soo. Laki-laki itu mencoba meredakan amarah Ndong'je yang nyaris tumpah. "Obwang Si Cerdik pasti memiliki penjelasan untuk diberikan kepada kita."

Ndong'je berusaha mengendalikan dirinya. Ia menoleh kepada Soo untuk sejenak lalu berkata pada Obwang, "beritahukan kepadaku mengapa kau menolak keputusanku ini."

Obwang yang memiliki leher panjang serta tindikan di dagu dan hidung itu mengangkat tangannya kemudian diarahkannya pada Aushakii yang berada di depan. "Ia masih terlalu muda untuk mengepalai kelompok berburu kita. Apa yang bisa kauharapkan dari seorang anak yang bahkan tidak memiliki nyali untuk mengejar bwawhasa sampai ke ujung persembunyiannya? Apakah kelaparan atau ketidakberdayaan?"

Orang-orang Papala yang hadir merasa terhenyak dengan apa yang keluar dari mulut Obwang tetapi mereka tak bisa menolaknya. Aushakii, sebagaimana anak lain yang belum memiliki cukup pengalaman, memang tidak dianjurkan untuk berkelana terlalu jauh dari pengawasan orang-orang Desa Papala. 

Kata Idanke yang berkeriput, "Tetapi, bukankah kehadiran Para Ruh dalam dirinya, Sang Putra Ruh Bulan dan Ndong'je yang Perkasa, telah cukup membuktikan bahwa ia layak menjadi pemandu kita? N'kote yang tangkas, Bharanj, bahkan Itand'je yang Agung itu sendiri selalu mengikutinya kemanapun ia pergi."

Soo dan Ndong'je, serta para tetua lain mengangguk ketika mendengarkan perkataan Idanke.

"Aushakii telah menaklukkan Rahang Besar, sesuatu yang bahkan Ndong'je yang Perkasa tidak mampu melakukannya." 

Obwang menjawab, "Saudaraku yang aku hormati, tidakkah kau berpikir bahwa Rahang Besar yang Aushakii hadapi itu telah sangat tua semenjak terakhir kali ia mengalahkan Ndong'je? Tidak ada yang mengetahui bahwa Rahang Besar telah berada dalam keadaan yang begitu lemah. Bahkan angin saja mampu membunuhnya."

"Apakah kau baru saja merendahkan Si Rahang Besar yang merupakan jelmaan dari Ruh Tarung itu sendiri?!" Ndong'je terdengar marah.

Obwang yang Cerdik, meski begitu, tetap bersuara tenang dan menjawab dengan yakin. "Soo, Kakek Idanke yang aku hormati, dan saudaraku sekalian, apakah kita akan terus bergantung pada Para Ruh? Apa yang dapat kita lakukan ketika mereka memutuskan untuk meninggalkan kita pada saat yang tidak kita ketahui? Selama apapun Para Ruh tetaplah bukan bagian dari orang-orang Papala. Pada akhirnya, hanya orang Papala sendirilah yang menentukan nasib kehidupan mereka. Beritahu aku, Ndong'je, saudaraku, apakah kau benar-benar telah mempertimbangkan hal ini?"

Ndong'je sedikit memalingkan wajahnya dari Obwang dan ia terdiam. Begitu pula Soo, Kakek Idanke, dan anggota suku yang lain. Tak lama kemudian, mereka saling berbisik satu sama lain dan mencerna perkataan Obwang. Aushakii tidak berbicara sama sekali dan ia hanya memperhatikan orang-orang dewasa di sekitarnya memperdebatkan tentang dirinya.

Kata Idanke, "Kurasa ia benar, Ndong'je. Bukan untuk menolak keputusanmu. Tetapi sebagai sesuatu untuk kita pertimbangkan lagi." Soo mengiyakan.

Ndong'je tampak berpikir, kemudian melihat ke arah Aushakii yang masih berada di altar pemujaan. Sementara Obwang telah pamit lebih dulu dari upacara penobatan. Sang kepala suku meminta izin untuk undur diri. Malam itu berakhir dengan penundaan sementara hingga Ndong'je membuat keputusan bersama para tetua lain.

Ndong'je bilang pada Aushakii setelah itu, "Mungkin Paman Obwang benar dengan pikirannya. Tetapi, sampai kapanpun, kebanggaanku dan Ruh Bulan kepadamu adalah hal yang tak bisa keliru. Esok hari, ketika fajar terbit, kau akan bergabung dengan Soo, Idanke, dan pemburu-pemburu dewasa lainnya. Ini mungkin akan menjadi hal yang asing bagimu." Ndong'je meraih sesuatu dari balik pinggangnya yang telah ia persiapkan sebelumnya.

"Aku membawakanmu kantung kulit berisi segenggam tanah dari desa kita," kata Ndong'je, "ketika kau tersesat, atau tidak yakin dengan apa yang harus kaulakukan, genggamlah kantung ini dan ingatlah bahwa kau tidak pernah berada terlalu jauh dariku, dari Desa Papala yang kaucintai. Dan ketahuilah bahwa Itand'je yang Berkata Benar tidak akan meninggalkanmu."

(*)

Kakeu Putra Wame, berjalan agak merapat di punggung Aushakii. Sesekali terdengar bunyi keras yang tidak diketahui asal sumbernya dan ia kemudian lebih mendekat kepada Aushakii. Suara itu muncul dari dalam kabut seperti berasal dari sesuatu yang besar. Bunyi-bunyian itu menggema dan terdengar menakutkan. Kabut memang belum juga reda ketika mereka berangkat menjelang fajar. Malah sebaliknya, semakin mereka berjalan, Lembah Besar semakin tak tampak jelas.

"Aushakii, temanku, kupikir kita tidak bergerak daritadi. Rasanya kita hanya berputar-putar di satu tempat," bisik Kakeu. Aushakii menepisnya.

"Kenapa kau tak bisa tenang juga, Kakeu," ujar Aushakii. "sejak tadi, jika kau memperhatikan, aku sedang berusaha mencari jalan untuk kita."

Kakeu mengangguk. Mereka berdua kembali melangkah mengendap-endap di dalam kabut yang kental. Tidak ada sesuatu pun yang Aushakii lihat di hadapannya kecuali gumpalan-gumpalan putih menyerupai awan dan daratan yang retak karena kekeringan dan tandus.

Ini adalah perburuan paling besar selama satu musim. Desa Papala mengerahkan pemburu terbaiknya untuk mengumpulkan bahan makanan sebagai bekal melewati musim kering. Sebelum pohon-pohon menjadi tandus, dan para bwawhasa dan zebra berpindah tempat untuk menemui air. Dan mereka hanya akan semakin sulit ditemukan.

Pagi-pagi sekali, Kakek Idanke memimpin paling depan. Disusul Ndong'je, Obwang, dan beberapa sesepuh lain yang masih kuat memanah. Kabut telah muncul sejak saat itu tapi mereka berpikir ia akan reda dengan sendirinya menjelang siang. Tetapi tidak, nyatanya, cuaca hanya semakin bertambah buruk dan hal ini menimpa mereka. Para pemburu saling terpisah antara satu dan yang lain. Kabut tebal menyulitkan mereka menentukan arah. Mereka terus berjalan dan saling memanggil tetapi secara misterius suara mereka itu lenyap sesaat setelah keluar dari rongga mulut. Mereka terus berjalan dan para anggota kelompok menjadi terpisah.

Kakeu memegang erat sebilah tombak yang terbuat dari bahan kayu keras. Sementara Aushakii menyiagakan busur dan anak panahnya. Mereka bersiap, kalau-kalau, hewan buas menyergap mereka berdua dari kedalaman kabut yang tak kelihatan.

"Kakek Idanke! Ayah!" pekik Aushakii. Kakeu mengikuti di belakangnya mengendap-endap.

"Soo!" Kakeu menimpali. Mereka terus memanggil-manggil tetapi tidak ada jawaban yang terdengar. Ia berkata, "Aushakii, barangkali kau salah memilih jalan."

Tiba-tiba, mereka menangkap suara seperti burung hantu yang terdengar serak. Suara itu menggaung seolah berasal dari tempat yang sangat jauh. Sang Pemburu Muda menelan ludah. Mungkin Kakeu betul, ia telah keliru memilih jalur dan itu hanya membuat mereka semakin menjauhi kelompok. 

Aushakii merasakan jantungnya berdenyut lebih kencang seolah sesuatu yang buruk akan menimpa mereka. Napasnya tak keruan. Mereka tak kunjung menemui jalan keluar sejak tadi. Aushakii tak mengingat sejak kapan. Tetapi, yang jelas, mereka sudah berada semakin jauh.

Aushakii mencoba mengatur napas. Ia lalu memegang kantung pemberian ayahnya yang terikat di pinggang. Lalu membayangkan Ndong'je di kepalanya. Dan sesaat kemudian ia bisa lebih tenang.

"Bharanj mungkin dapat menuntun kita," gumamnya. "Ya, dia pasti bisa membantu kita, Kakeu." Aushakii meletakkan busur, memasukkan kembali anak panahnya, dan bersiap menari.

Sang Pemburu menadahkan kedua tangannya ke langit. Ia diam beberapa saat. Kemudian menurunkannya lagi mengikuti gerakan angin. Badannya meliuk seperti tertiup angin. Aushakii melompat kecil beberapa kali dan mendarat hanya dengan satu kaki. Ketika melakukan itu, tangannya melakukan hal serupa. Saat ia berdiri dengan kaki kiri, lengan kanannya menadah ke atas. Kemudian, ketika ia melompat dan mendarat di telapak kaki kanan, Aushakii mengacungkan tangan kirinya ke langit. Ia terus melompat-lompat dan hiasan kakinya yang bermotif totol-totol jerapah ikut bergerak. Kalung di batang lehernya yang bergigi duabelas juga bergemerincing. Semakin lama, gerakannya bertambah cepat dan menghentak-hentak. Kakeu Putra Wame menyaksikan hal itu dengan kagum ketika Aushakii mulai mengucapkan doa. "Ooh, Bharanj Sang Ruh Angin, pencipta hujan dan panas, serta angin dan petir. Ia yang menunggui langit. Berikanlah orang Papala arah kepada mereka untuk ditempuh."

Aushakii merasakan udara dingin berembus melewati pundaknya. Semakin lama dan bergerak semakin kencang. Celana pendeknya yang kelihatan mirip rok berwarna cokelat pun berkibar diterpa angin. Kakeu sedikit bersembunyi di balik badan Aushakii. Angin terus berarak deras dan meniup kabut-kabut yang semula menutupi penglihatan hingga habis tak bersisa. Segera Aushakii menyadari,di hadapannya sekarang, hanya ada dataran yang begitu luas dan gersang. Serta beberapa bonggol kayu mati yang habis terbakar. Tempat ini, di mata mereka berdua, seperti bagian paling mengerikan dari Lembah Besar.

"Kita ada di mana saat ini?" kata Aushakii. Ia terus mengamati, tetapi tak ada kehidupan yang tampak. Hanya keadaan panas yang tak berpenghuni.

Aushakii menyusuri langkahnya. Melewati bongkahan tanah yang retak-retak, dan mencari siapapun, atau apapun, yang bisa ia temukan di tempat itu. "Apa kita telah benar-benar berada sangat jauh dari Desa Papala?" pikirnya.

Di dekat kakinya, Sang Pemburu mendapati sesuatu yang tak ia maupun seluruh orang Papala kenali. Sebuah benda berbentuk lonjong dan berdebu tebal hingga menyembunyikan bentuk aslinya, seolah telah terkubur selama ratusan tahun. Aushakii mengambilnya dan mengamatinya dari dekat. Tidak, ia tetap tak mengetahuinya. Ia begitu asing. Sesuatu yang dapat ia padankan dengan benda ini hanyalah kotoran lembu yang telah mengering. Tetapi tetap saja masih terlihat jauh berbeda. Aushakii membolak-baliknya, mencoba merobeknya, tapi sesuatu di tangannya itu kuat dan amat liat. Sesuatu mirip tali mencuat dari permukaannya. Aushakii menemukan sebuah ukiran di sana. Satu hal yang Sang Pemburu tidak ketahui, ukiran itu adalah sebuah tulisan yang berbunyi; 'Swallow, made in Indonesia.'

"Kakeu, temanku!" panggil Aushakii. "coba kaulihat kema-" kata-katanya terputus. Tanah di mana Aushakii berpijak tiba-tiba anjlok. Aku terjebak perangkap babi, pikirnya.

"Aushakii Putra Ndong'je!" pekik Kakeu, berlari menghampiri Aushakii yang jatuh terjerumus. Sang Pemburu masih berpegangan pada sisi dinding yang rubuh. Kakeu menjulurkan tangannya, dan Aushakii mencoba meraihnya. Tetapi tidak sampai. "Cepat, raih tanganku!"

Aushakii berusaha menggapainya, tetapi salah satu lengannya terpeleset dan ia jatuh lebih dalam. Hal terakhir yang ia lihat adalah lubang yang hitam dan gelap pekat.



Bab 3

Bagi Eophi, ras unik dari Myrdial, ini adalah sebagaimana hari biasa di Myrd. Ia mengantuk, menarik kasur dan selimut, tertidur dan terbangun dan ia berada di Myrd.

Tetapi ia tidak terbangun di Myrd kali ini.

Alih-alih, ia berada di tempat yang begitu asing. Dan hal itu anehnya tidak mengganggu pikirannya. Seingatnya, tadi ia merasa mengantuk setelah mengikuti sesi pelatihan dan Eophi memutuskan untuk istirahat sebentar (sebentar bagi Eophi adalah pengertian lain dari keabadian menurut orang lain). Ketika ia telah tertidur, atau masih setengah sadar, samar-samar Eophi melihat makhluk aneh datang ke pikirannya dan berbicara kurang jelas. Eophi memang kurang memperhatikan, tetapi ia tahu seseorang dalam pikirannya itu mengajaknya ke satu tempat. Dan ia, menganggap bahwa ini akan menjadi mimpi menyenangkan lainnya, mengangguk setuju-setuju saja.

Eophi melihat burung-burung bercicit lalu hinggap di puncak pohon-pohon palem yang berjejer di sisi kanan dan kiri tempat itu. Pohon-pohon palem itu tumbuh mencuat dari beton-beton putih berdinding rendah dan mereka memancarkan aroma harum. Di kakinya, ia berdiri di atas lantai batu amat halus berwarna gading. Permukaannya seperti cermin mengilap yang nyaris tembus pandang hingga memantulkan motif bunga-bunga lembut berbentuk siluet hitam. Pemuda berambut hijau itu diam-diam mengaguminya. Sementara itu, hewan kecil bersayap yang senantiasa bersamanya, dari tadi terbang melompat-lompat dari puncak pohon ke puncak lainnya. Ia lebih kelihatan bergairah daripada tuannya sendiri.

Eophi mencuit lalu menengadahkan lengannya. Dan hewan itu terbang mendekatinya.

"Jangan keluyuran, ya."

Eophi mendongak ke atas. Langit berwarna biru cerah dan awan menggumpal seperti gelembung-gelembung kapas yang halus. Udara bergerak semilir melewati taman-taman flora di sekitarnya dan meniupkan kelopak dan daun-daun layu yang gugur. Ya ampun surgakah ini, pikir Eophi, lalu membentangkan kasurnya dan duduk bersila di atasnya. Ia ingin menikmati suasana di tempat ini lebih lama lagi. Eophi mengingat musim semi. Bunga-bunga mengingatkannya pada musim semi.

Ia memperhatikan keriuhan di tempat berbeda dari jarak cukup jauh, cukup untuk mengamati setiap detil keadaan yang terjadi. Di depan matanya, orang-orang berkerumun memadati halaman sebuah kastil megah. Mereka sama bingungnya tetapi tidak cukup santai seperti dirinya. Eophi merasakan kantuk pelan-pelan mendatanginya lagi dan ia ingin kembali membenamkan wajah lancipnya di bantal. Berbeda dengan orang-orang itu, ia menanggapi tempat baru yang asing dan hal-hal yang tidak pernah ia lihat dengan caranya sendiri. Hel, makhluk merah bersayap ikut melingkar di sebelahnya.

Pemuda bertelinga runcing itu baru akan tidur ketika ia mendengar suara teriakan. Ia mengamati sekitar tetapi hanya ada dirinya dan pohon-pohon palem yang tegak.

Seseorang muncul tiba-tiba dari langit lalu jatuh tepat menuju kasur lipatnya. Cukup keras hingga menimbulkan bunyi berdebum yang membuat hewan kecil peliharaannya terlonjak.. Itu pendaratan yang tidak cukup bagus.

Eophi melihat seorang anak terduduk lalu membetulkan kantung anak panahnya.

"Ini perangkap babi paling gemilang seumur hidupku," kata anak itu pada dirinya sendiri, "temanku, mereka menggali lubang yang sangat dalam hingga dapat kupastikan tidak ada babi yang bisa lolos."

Aushakii menoleh pada Eophi. Ia menghentikan omongannya. Eophi masih diam saja. Sang Pemburu menutup mulutnya tanpa bergerak sedikit pun dan ia masih menatap Eophi. Si Pemuda Mengantuk melakukan hal yang sama. Mereka saling diam. Hal ini masih terus terjadi hingga beberapa saat kemudian. Itu saat-saat yang canggung bagi mereka berdua.

Aushakii segera melompat dari kasur lipat milik Eophi. Ia baru sadar, mengapa ia tak merasakan sakit sama sekali ketika terjatuh tadi?

"Tunggu, ini bukanlah perangkap babi!" sahut Aushakii. "Ya, mereka pasti menipuku! Kenapa aku baru mengetahuinya sekarang? Ini pasti jebakan celeng!"


Eophi belum berkata apapun ketika Si Pemburu terlihat serius berusaha menyimpulkan perangkap jenis apa yang menimpa dirinya.

Ujar Aushakii. "Orang-orang tengah hutan mungkin pandai menipu kami. Tetapi mereka tidak bisa membohongiku tentang jebakan celeng." Setelahnya, ia merasa sedikit lebih lega.

"Bagaimana menurutmu, temanku? Mereka melewatkan hal ini, 'kan?" tanya Si Pemburu. Tetapi ia segera terkejut setelah mengetahuinya. Orang yang barusan ia ajak bicara bukanlah Kakeu Putra Wame, atau Siina Si Pemahat Kayu. Tetapi, sosok berpenampilan aneh yang tidak pernah ia temui. Lalu siapakah dia?

Dengan agak ragu, Aushakii mendekati Eophi yang tidak bergerak. Si Pemburu menatap wajahnya dari dekat. Mata mereka saling bertemu. Ia yang Berkepala Hijau Seperti Semak, pikir Aushakii. Dan berkulit lebih putih daripada mani seekor babon jantan.

Aushakii merasa kebingungan sekaligus geli. Ia sedikit menjauh dari pemuda itu, lalu berjalan memutarinya. Si Pemburu memperhatikan secara keseluruhan apa yang dapat ia lihat dari Eophi. Pemuda itu memang mirip seperti dirinya, tetapi beberapa hal membuatnya sangat berbeda sekaligus aneh. Ia memiliki rambut berwarna hijau cerah, kulit putih yang begitu kontras dengan warna kulitnya yang gelap, dan memakai pakaian dari kulit hewan yang tidak dikenali. Aushakii menyentuh baju Eophi dengan takut-takut. Ini terasa sungguh halus, gumamnya, apa yang ia buru lalu kuliti untuk pakaian ini?

Aushakii berjalan mengitari Eophi yang masih duduk diam untuk kedua kalinya. Pandangannya masih terpaku pada sosok di hadapannya. Si Pemburu kemudian terkikik lagi. Ia pasti orang paling jelek di desanya, gumamnya. Bagaimana ia bisa melewati malam-malam yang panjang ketika musim kawin tiba? Para gadis pasti menolaknya dan ia barangkali bercumbu dengan babon betina.

"Umm ... bisakah kau berhenti melakukan itu?" keluh Eophi. Aushakii terus berjalan memutarinya sambil sesekali terkekeh. Pemuda itu sedikit mendengus.

"Temanku, jika tak keberatan, kita bisa berbagi pengalaman ketika kau menyenggamai babon."

"Sejujurnya itu membuatku terganggu," kata Eophi.

Aushakii meraba selimut tebal yang menutupi sebagian tubuh Eophi. Kemudian ia merasa heran, benda ini kelihatan padat sebagaimana benda-benda yang lain, tetapi kenapa ia begitu lunak, dan terasa nyaman (orang Papala biasa tidur beralaskan tanah yang keras, dan mereka menggunakan potongan kayu pahat sebagai penyangga kepala). Eophi tidak menggubris Aushakii, ia membiarkan saja Si Pemburu Muda berbuat semaunya.

"Aku tidak tahu ada yang semacam ini." Aushakii menatap pemuda itu.

Eophi menguap lebar, kemudian memberi penjelasan seadanya. "Ini untuk tidur," ujarnya. "memangnya kamu tidur pakai apa?"

"Kami ...," jawab Aushakii ragu-ragu. "kami menggunakan mata tertutup."

Masih dengan terkagum-kagum, Aushakii kembali mengamati perlengkapan tidur Si Myrd. Ia bertanya apakah dirinya boleh duduk di atas kasur di sebelah Eophi. Pemuda itu menggangguk sekenanya. Dengan cepat dan agak terburu-buru , Aushakii melompat ke atas kasur. Ujung anak panahnya yang runcing menusuk permukaan kasur dan ia seperti mendengar bunyi mengaduh singkat.

Si Pemburu merasakan kepuasan tersendiri. Aushakii menirukan Eophi yang duduk sambil memeluk kedua lututnya. Dari depan, ia kelihatan lebih kecil dari Eophi.

Aushakii memandang pemuda itu diam-diam. Dari samping ia bisa melihat telinga Eophi yang runcing.

"Aku bisa melihat sejak pertama kali bahwa kau bukanlah berasal dari desa Papala. Dari sisi Lembah Besar yang manakah kau datang? Aku pernah mendengar cerita Itand'je yang Senantiasa Terbang Tinggi dan Melihat dari Atas bahwa orang-orang yang tinggal di utara jauh Lembah Besar memang berperilaku agak aneh. Aku menduga jika kau adalah salah satu dari mereka. Apakah itu benar, temanku?"

Pemuda bertelinga runcing tidak mengatakan apa-apa. Ia memang tampak tidak sedang memperhatikan. Tetapi, Aushakii menunggunya dengan sabar hingga ia menjawab.

"Aku dari Myrdial," tutur Eophi. "tapi aku tidak tahu Myrdial itu bagian dari Lembah Besar yang mananya."

"Apa orang-orang dari desa Myrdial yang Surgawi selalu kelihatan pucat seperti bulan dan kulit mereka terasa lembut seperti gadis?" tanya Aushakii.

"Aku kurang begitu yakin. Tapi kalau yang kulihat seperti itu."

Lalu, Si Pemburu berpikir dalam kepalanya. Tapi yang muncul dari kepala dan suaranya yang selalu terdengar yakin hanya rasa keingintahuan lainnya.

"Aku tidak menyangka bahwa Lembah Besar adalah tempat yang sedemikian luas," mulainya. "aku merasa beruntung setelah bertemu denganmu, ini kesempatan yang tidak terjadi setiap hari padaku."

Timbul jeda di antara mereka. Si Myrd membayangkan sesuatu. 

Kata Aushakii pada si pemuda, "Tidak apa-apa, aku akan mencari cara agar kita dapat kembali ke Lembah Besar. Sebagai seorang yang bernasib sama, aku bisa merasakan kesedihanmu juga. Jebakan babi hutan itu telah membawa kita ke tempat yang sangat jauh rupanya. Tapi kita tidak perlu takut."

"Aku tidak takut," kata Eophi. "aku hanya sedikit mengantuk."

"Tidak apa-apa jika kau merasa takut. Sesekali aku juga bisa merasa takut. Satu kali ketika kami berburu dan aku berpencar dengan kelompokku, aku merasa tidak nyaman." Aushakii menunjukkan sebuah kantung kecil yang terikat di pinggangnya. "tetapi Ndong'je memberikan ini kepadaku. Ia bilang ini berisi sedikit tanah dari Lembah Besar. Ia akan selalu berada di sini, Lembah Besar itu sendiri, sampai aku bisa menemukan jalan untuk kembali. Kau mungkin akan membutuhkannya juga seperti diriku. Aku tidak keberatan jika kita berbagi."

Eophi menatap Aushakii, namun ia tidak begitu mengerti apa yang dimaksudkan si pemburu. Beberapa hal dalam diri Aushakii mengingatkannya pada temannya dari Myrdial yang kecil dan bertubuh pendek. Eophi memang tidak memiliki banyak teman, salah satunya adalah karena ia tidak menyukai keramaian, tetapi, ia mulai tertarik ketika mendengarkan seseorang yang belum lama ia temui ini bicara.

Tiba-tiba, Aushakii menyadari satu hal, ia segera meraih sesuatu dari dalam celananya dan memberikannya pada Eophi. Benda berbentuk lonjong dan berdebu tebal. Ia bilang, "aku baru mengetahui ini, aku yang biasanya cermat memilih langkah bisa terjebak perangkap babi hutan. Para Ruh pasti sengaja menutupi kedua mataku agar aku jatuh ke lubang itu dan bertemu denganmu agar aku bisa mengembalikan ini. Temanku, hal seperti ini kadang-kadang terjadi, kautahu, seperti sebuah takdir yang tidak bisa kita hindari begitu saja semudah jebakan babi. Aku percaya kau yang memiliki benda ini."

Eophi mengamatinya dari dekat. "Sekarang aku bisa merasa lebih tenang," kata Aushakii.

"Ini sendal," jawab Eophi.

"Baiklah," timpal si pemburu. "Sendal yang Menggembirakan milik Tanah Myrdial yang Surgawi."

Eophi menanggalkan sepatu bootsnya dan mengenakan sendal itu. Aushakii memperhatikannya dengan kagum. Terang Eophi, "Kau pasti seorang naturalist karena tidak mengenal benda-benda yang bisa jadi limbah buat alam. Ini buat dipakai di kaki sebagai alas."

Mata sang pemburu berbinar-binar ketika menyaksikannya dan ia tak dapat menyembunyikan keheranan mengapa orang-orang dari luar desanya menyimpan kepandaian untuk menciptakan sesuatu yang sangat bergaya.

Sambung Eophi, "Tapi aku tidak berpikir jika aku pemiliknya," lalu kembali memakai sepatunya.

"Benarkah?"

"Hmm ... ya."

Aushakii menerima sendal misterius itu kembali. "Apa kau yakin?"

"Kau harus mengembalikannya ke pemiliknya yang asli."

Aushakii sejenak merasa bimbang. Ruh tidak mungkin salah orang, pikirnya. Lalu, ia memasukkannya lagi ke dalam celananya. "Kurasa Para Ruh mengetahui hal lain yang tidak terpikirkan olehku."

Eophi merebahkan diri di kasur lipat. Lagi-lagi ia merasa mengantuk. Hel, hewan kecil bersayap yang berada di sampingnya, merayap mendekati Aushakii.

"Hei, itu belum pernah kulihat sebelumnya. Hel bukan naga yang gampang akur sama orang lain."

Hel merentangkan sayap lalu terbang ke pundak Aushakii. Ia merayap ke rambut si pemburu yang kelihatan senang bermain dengannya.

Makhluk itu kemudian terbang menuju pilar-pilar megah di dekat kastel. Tanpa pikir panjang, Aushakii segera berlari mengejarnya, sampai ia tanpa sengaja menabrak seseorang hingga terjatuh. Dalam posisi terduduk, si pemburu tak bisa melihat secara jelas wajah orang yang berdiri di hadapannya. Tapi ia bisa melihat siluet tubuh tinggi dan janggut panjang.

"Ini sudah semuanya?" tanya orang itu dengan nada berat.

"Iya, Pak Nurma, mereka dan dua peserta lain di ujung sana," balas perempuan di sebelahnya sambil menunjuk ke arah kastel.

"Jadikan satu sekalian lalu kirim!"

"Baik."

Aushakii tak bisa menyimpulkan apa yang terjadi dan siapa kedua orang itu dan apa yang mereka bicarakan. Hel, si naga terbang, melayang dengan cepat ke pundak Eophi yang masih mengusap-usap matanya.

Sesaat kemudian, Aushakii merasa tubuhnya seperti terlempar menuju tempat lain.

(*)

Dalam keadaan tengkurap, Kakeu dengan hati-hati mendongakkan kepalanya ke dalam lubang di mana Aushakii terjatuh dan ia terus meneriakkan nama kawan baiknya itu. Ia memanggilnya berulangkali namun tidak terjadi apapun. Suaranya menggema di dalam lubang dan ia tidak dapat mendengar apa-apa selain itu; tidak ada jawaban dari Aushakii dan ia tidak bisa melihat apapun di dalam lubang kecuali keadaan yang gelap. Ia seperti menatap lorong panjang yang tanpa dasar.

"Putra Ndong'je!" pekiknya. " cepat jawab aku!"

Dengan tergopoh-gopoh dan kesulitan, dan ragu-ragu, Kakeu mencoba merangkak ke dalam lubang untuk menyusul Aushakii. Tetapi ia segera memanjat balik ke atas sebelum terlalu jauh karena keadaan yang gelap, dan nyalinya sendiri, tidak memungkinkan untuk meneruskannya.

Kakeu mengambil tombaknya, lalu berjalan bolak-balik memikirkan sesuatu. Tidak lama kemudian, ia mendengar derap langkah kuda dan keramaian. Rombongan Idanke, Paman Obwang, dan Ndong'je, mendengar teriakannya dari jauh dan mereka bergegas menghampirinya.

Ndong'je bertanya pada Kakeu tentang apa yang terjadi. Laki-laki itu memantau sekitar tetapi ia tidak dapat menemukan Aushakii, anak laki-lakinya. Ia mencoba menenangkan Kakeu yang kesulitan mengendalikan dirinya sendiri.

"Mengapa kalian berpencar dari kelompok?" tanya Soo.

Kakeu, kemudian, dengan terang namun sedikit gagap, menjelaskan semuanya pada rombongan. Ia berbicara panjang lebar dan berputar-putar pada hal yang sama dan berakhir saat ia memberitahu bahwa Si Pemburu Muda terjatuh ke dalam lubang dan lenyap sama sekali.

Idanke meminta Kakeu menunjukkan letak di mana Aushakii terjatuh. Kakeu Putra Wame menuntun mereka ke tempat terakhir ia melihat Aushakii. Sesampainya di sana, ia tidak menemukan apapun. Tidak ada lubang atau batang hidung si pemburu. Sejauh yang mereka lihat, hanya padang gersang yang membentang luas. Kakeu tidak percaya pada dirinya sendiri dan mencoba meyakinkan orang-orang dewasa di sana jika itu betul-betul terjadi. Mereka kesulitan mempercayai apa yang Kakeu katakan, tetapi, yang terjadi memang Aushakii benar-benar menghilang.

Ndong'je menyusuri tempat itu. Kata Kakek Idanke padanya, "Para Ruh mungkin membawanya ke dalam perjalanan mereka. Jika demikian, tidak ada yang bisa kita lakukan untuk itu."

"Bagaimana kita bisa membiarkan itu terjadi, Saudaraku," balas Ndong'je, "Ruh-ruh, dan Aushakii sendiri, mengapa mereka merasa perlu melakukan itu?"

Obwang muncul di tengah-tengah mereka. "Kita semua sepaham jika tidak ada satupun hewan buas di Lembah Besar yang sanggup menghentikan Putra Ndong'je. Jika Para Ruh yang membawanya, kita bisa merasa aman, atau menganggap itu sebagai sesuatu yang sangat buruk."

Bersama dengan para pemburu dewasa, Kakeu akhirnya mendirikan perkemahan sementara. Mereka berencana menunggu Aushakii, atau hal apapun, akan muncul di hadapan mereka sampai esok hari.



Bab 4

"Kenapa ini harus jadi perang kita?!"

Hel mendengkur di dekat Eophi. Selimut tebal yang menutupi mereka dan melindungi benturan ketika terjatuh sekarang pelan-pelan terbuka. Eophi menyentuh kepala Hel dan mengatakan bahwa ia tidak apa-apa. Aushakii, mendaratkan wajah lebih dulu dan ia kini sibuk menyapu pasir-pasir yang masuk ke hidung dan rambutnya. Ia terbatuk-batuk.

"Kenapa ini jadi perang kita, heh?!"

"Jadi begitulah, kuharap kalian baik-baik saja."

"Kamu bisa dengar saya, kan?"

"Dan semoga beruntung!"

"Hei!"

Gadis yang Aushakii lihat sebelumnya bersama si pria berjanggut, menarik diri dari perdebatan satu arahnya dengan laki-laki berkacamata. Ia menunduk dan mundur beberapa langkah dan seketika menghilang.

"Kampret mah," gumam si laki-laki berkacamata kesal.

Si pemburu kemudian berdiri, menyapu debu yang mengotori dadanya, lalu memperhatikan sekitar. Ia telah berada di tempat yang benar-benar berbeda sekarang. Ia berada di tengah-tengah padang gersang, malam hari, dan untuk beberapa saat Aushakii mengira ia telah kembali ke Lembah Besar. Tetapi ia menampik pikirannya sendiri yang mengatakan bahwa ini adalah tempat itu. Ini bukan Lembah Besar, kata Aushakii. Ia tidak bisa memastikannya, namun, ia hanya tahu ini bukan tempat asalnya. Itu perasaan yang sulit dijelaskan tetapi ia begitu yakin karena Aushakii telah begitu lama mengenal Lembah Besar dan Lembah Besar tidak terasa seperti ini.

Aushakii memperhatikan si pria dengan perangkat mata aneh yang bening dan seperti memantulkan bayangan. Ia tidak mengenal kacamata. Ia beralih pada Eophi, ia tahu orang ini, yang tadi bertemu dengannya dan sekarang mencoba bangkit sambil memeluk selimut dan guling tidurnya. Dan, seorang gadis lain dan seekor kucing di dekat mereka yang tidak berkata apa-apa.

Pria berkacamata itu berjalan bolak-balik. Memindai sekitar. Menatap ke arah padang gurun yang seolah tanpa ujung. Ia kelihatan gusar.

"Sekarang apa?" kata Eophi. Ia membuat pria berkacamata itu menoleh padanya.

"Apa gimana?" balasnya.

"Kita dimana?"

"Alforea. Kamu gak denger tadi kata perempuan itu?"

Eophi menggeleng. Si perempuan kucing, berjalan pelan-pelan mendekati mereka. Aushakii memandangi gadis itu lekat-lekat, kucingnya, dan kenapa ia, atau semua orang selain dirinya, terlihat berbeda dengannya. Berada dalam situasi yang benar-benar asing seperti ini membuat si pemburu merasa tidak baik.

"Sekarang kita pikirin gimana cara pergi dari sini," sela si laki-laki berkacamata. "Kalian udah pikirin sesuatu?"

Tidak ada yang menjawab. Eophi masih berdiri dengan selimut yang menutupi sebagian badannya. Aushakii duduk menyilangkan kaki dan mencoba menenangkan diri dan membayangkan Ndong'je agar ia merasa sedikit lebih tentram. Sementara itu, si gadis dan kucingnya tidak melakukan hal yang berarti.

"Sialan."

Keadaan ini tetap berlangsung selama beberapa saat. Aushakii masih bermeditasi. Dan Eophi, seperti biasa, berencara beristirahat lagi. Laki-laki itu berada agak jauh dari mereka, di atas bukit pasir, ia membetulkan kacamatanya dan memicingkan mata agar dapat melihat lebih jelas. Ia menyadari sesuatu, samar-samar dari jauh, dan mulai mendekat, ia melihat sebuah pergerakan yang masif dan teratur. Ia bisa mendengar derap langkah padu yang berdentang dan menggetarkan udara.

Laki-laki itu melepaskan kacamata, mengusapnya, lalu memakainya lagi. Sekarang ia bisa melihat dengan jelas.

"Apa-apaan ...."

Dari barisan paling depan, seseorang tinggi besar dan mengenakan zirah besi menyilaukan kelihatan memberikan aba-aba. Ia mengangkat lengannya tinggi-tinggi, menahannya beberapa detik, kemudian mengayunkannya ke depan dengan cepat. Di belakangnya, laki-laki berkacamata bisa melihat kobaran api yang berjejer membentuk sebuah garis yang melintang di sepanjang gurun.

Satu anak panah jatuh di dekatnya. Ia terkesiap. Dan di sisi lainnya lagi. Dan anak panah lain menancap tepat di depan Aushakii. Si pemburu segera membuka kedua mata saat menyadarinya. Hal itu memecah konsentrasinya.

Sesaat kemudian, anak panah lainnya jatuh dari langit seperti hujan deras. Mereka saling bersusulan dan menciptakan semacam garis-garis hitam yang bergerak sangat cepat di langit malam yang gelap, melewati padang gurun yang gersang. Anak-anak panah tersebut jatuh di sembarang tempat dan beberapa di antaranya bahkan nyaris mengenai keempat orang itu dan menghabisi nyawa mereka.

Aushakii segera bangkit. Hel, naga kecil merah milik Eophi, memekik dengan suara yang amat nyaring hingga keadaan menjadi lebih kacau.

"Hel, kenapa-" suara anak panah mendesing melewati telinga Eophi. Ia terperanjat dan segera mengetahuinya.

Laki-laki berkacamata itu bergegas melarikan diri dari bukit, ia terpeleset dan jatuh berguling-guling di atas pasir. Kemudian berdiri lagi dan menghampiri ketiga orang itu untuk mencari perlindungan. Napasnya terburu-buru dan tidak teratur.

"Cepat kita lari dari sini!" teriaknya.

Anak panah terus ditembakkan tanpa henti dan terbang dengan cepat melintas di atas kepala mereka. Eophi menyembunyikan diri di balik selimut yang memantulkan peluru panah yang runcing. Hel, si naga merah, terbang berputar-putar di atasnya dan ia terus memekik. Si Pemburu berdiri mematung dan ia tidak menyadari ketika Eophi menariknya untuk ikut melindungi diri. Ini mengingatkan Aushakii tentang perang antarsuku di Lembah Besar. Tetapi jauh lebih dahsyat. Laki-laki berkacamata lari tunggang-langgang menghindari bilah-bilah tajam yang berjatuhan di dekat kakinya.

"S-sejak kapan ...." Si Gadis meringis kesakitan memegangi lengan kanannya yang berlubang dan mengeluarkan darah. Ia langsung jatuh terduduk, kepalanya menunduk. Kucing hitamnya mengeong dan mendekati dirinya. Gadis itu duduk bersimpuh, ia kelihatan kesakitan. Aushakii melihatnya tetapi ia tidak bisa melakukan apa-apa ketika panah berikutnya menancap tepat di hadapannya.

Sedetik kemudian, Si Pemburu merasakan telinganya berdengung. Ia mendengar suara statis yang menyakiti gendang telinganya. Aushakii menutup pendengarannya dan menyadari bahwa si gadis telah menghilang. Anak panah yang berjatuhan di sekitar mereka sekarang bergerak dengan lamban. Sangat lambat hingga ia mampu melihat momentum sebelum mereka menghantam tanah. Waktu seolah berada dalam dimensi yang lain. Segalanya, yang dapat mereka lihat, seperti bergerak dengan tidak semestinya.

Laki-laki berkacamata, Eophi, dan Si Pemburu menyadari bahwa si gadis telah menyelamatkan diri ke tempat yang lebih aman. Mereka bertiga berlari mengikutinya, ke bagian sisi yang tidak terkena hujan panah. Ketika mereka sampai, keadaan telah kembali seperti semula. Keriuhan yang semula hening terdengar kembali dan semakin bertambah ramai.

"Di sana!" sahut laki-laki berkacamata. Dari tepi, mereka dapat melihat semuanya dengan lebih jelas. Panah-panah itu tidak ditujukan untuk mereka, tetapi pasukan lain di belakang mereka. Pasukan itu memakai peralatan yang hampir sama dan mereka nyaris sama banyaknya.

Barisan terdepan, yang masing-masing dikomandoi seorang pria besar dengan baju besi tebal, telah lebih dulu merangsek ke medan perang. Pedang-pedang mereka yang lebih besar dari ukuran tubuh mereka sendiri saling beradu dan berdenting dan menimbulkan percikan api. Baju besi yang mereka kenakan menghantam lawan dan mereka jatuh bergelimpangan di pasir. Debu-debu naik meninggi karena pergerakan yang kasar dan itu menutupi pandangan. Tetapi, mereka tidak berhenti di situ saja, pasukan berbaju besi meraih kapak dari punggung dan memotong kepala lawan yang terjatuh. Aushakii bisa melihat mereka menimpa tubuh lawan dan memaksa mereka melepaskan topeng bajanya, kemudian saling memenggal satu sama lain. Dari balik besi, Aushakii mengetahui bahwa mereka adalah manusia seperti dirinya. Namun, ia tidak memahami mengapa mereka memutuskan untuk saling membunuh.

Tiba-tiba, Hel memekik lagi, kali ini dengan suara yang amat keras hingga membuat Eophi sedikit terkejut. Hel tidak pernah berlaku seperti ini sebelumnya. Mereka bisa merasakan ketakutan besar yang muncul dari jeritan sang naga kecil.

Mendadak, angin bergerak sangat kencang dan meniup apapun yang dilewatinya. Udara berembus dengan hebat menerbangkan pasir dan bebatuan kecil di gurun itu. Para prajurit itu kesulitan mengatur langkah dan satu-persatu dari mereka terlempar ke udara. Aushakii, Eophi, si laki-laki berkacamata dan gadis serta kucingnya, berusaha sekuat tenaga agar tidak terbawa angin. Aushakii menutupi kedua matanya yang terhalau debu pasir. Dari balik jemarinya, samar-samar, ia bisa melihat sepasang sayap raksasa yang bergerak di kejauhan. Kedua sayap itu mengepak dan ia menimbulkan tiupan angin yang begitu deras. Pasukan dari kedua belah pihak yang berseteru berjatuhan dan mereka saling bertubrukan.

Keempat orang yang berasal dari tempat yang berbeda itu juga tidak mampu menahan pijakan mereka lebih lama. Akhirnya, mereka ikut terbawa angin dan saling berpencar.

Aushakii nyaris tak sadarkan diri ketika ia menyadarinya, sebelum Eophi menariknya pergi dari situ. Di langit malam yang amat luas dan jernih, Si Pemburu melihat sesuatu bergerak dengan liar. Ia mengepakkan sepasang sayap raksasanya dan meringkik dan suaranya terdengar membahana di seluruh penjuru padang gurun.

Aushakii bergumam sebelum segalanya menjadi gelap, "Jadi, Adengkwa itu betul-betul hidup?"

Kemunculan makhluk itu membuatnya mengingat dongeng yang dikisahkan Ndong'je pada suatu malam. Tentang Rusa Besar Adengkwa yang Masyhur yang sebesar gunung dan muncul dari dalam kabut.



Bab 5

Adhyasta Dartono Gaspard berjalan tertatih-tatih di tengah padang gurun. Kacamatanya retak dan ia tak mampu melihat dengan baik. Kemeja kotak-kotak yang dikenakannya terkoyak di bagian pundak setelah ia melompat untuk melarikan diri dari Sang Kuda Raksasa. Adhy menepuk dadanya yang kotor lantas terbatuk. Ia masih dapat mendengar bunyi berdentum di kejauhan serta raungan hewan buas yang menakutkan.

"Tsaqif ...," gumamnya. Kemudian jatuh terduduk.

"Tsaqif."

Laki-laki berkacamata itu mencoba memusatkan perhatian untuk berbicara kepada Tsaqif, sahabat dekatnya, yang berada jauh di tempat lain. Adhy mengatur napasnya. Ia telah berada dalam alam pikirannya sendiri saat ini, dan Tsaqif berdiri di dekatnya dan mereka berdua seperti ada dalam ruang hampa.

Adhy menceritakan semua yang ia tahu sejelas-jelasnya. Dan meminta pendapat sahabatnya itu.

"Biarkan saya berpikir dulu."

"Mengalahkan Rah adalah hal mustahil."

"Saya tahu itu."

"Bantuin saya."

"Ngomong-ngomong, Ruu bilang apa sebelum ini?"

"Apanya?"

"Apa aja."

"Gak ada. Dia bilang dia bisa kasih semua hadiah yang pemenangnya inginkan."

"Harta yang tak pernah habis?"

"Itu termasuk."

"Kita gak boleh lewatin ini, Adhy."

"Saya juga mau begitu."

Tsaqif, kemudian, mendekati Adhy yang menundukkan kepalanya. Lalu bicara dengan suara pelan yang menggema.

"Kamu tahu kamu bisa manfaatin tiga orang itu."

"Tapi gimana?"

"Bikin mereka bertarung buat kamu. Mereka cuma anak kecil. Kamu sendiri gak mungkin selamat dari ini."

"Sialan."

"Dan tentang hadiah."

"Ya?"

"Kita gak bisa 'kan biarin itu dibagi empat?"

Adhy mengangkat kepalanya, kemudian menatap tubuh Tsaqif yang kelihatan translusen.

Adhy lalu berdiri, "Saya coba ikutin jejak kaki mereka."

(*)

Udara sangat dingin ketika tengah malam jatuh di gurun itu. Eophi si Pemuda Myrdial merapatkan selimutnya. Sementara, gadis pendiam bersama kucingnya mendekap kedua tangan di depan dada untuk sedikit menghalau suhu rendah. Mereka duduk mengitari api unggun yang Aushakii buat dengan batu yang dapat ia temukan dan potongan kayu anak panahnya.

"Kamu gak kedinginan, ya?" tanya Eophi.

Si Pemburu duduk bersila, lalu berkata, "Tidak juga. Desa terasa sangat panas ketika siang dan begitu menggigil saat malam. Aku sudah terbiasa dengan udara yang berubah-ubah."

Mereka serempak menoleh. Dari balik bukit, mereka sebetulnya dapat melihat langit malam yang menyala berkedip-kedip. Sesuatu yang hebat pasti sedang berkecamuk di seberang sana. Ketiga orang itu saling diam tetapi mereka tidak dapat menyembunyikan ketakutan mereka.

Tiba-tiba, pendengaran Aushakii yang selalu waspada menangkap sebuah bunyi langkah di atas pasir. Si Pemburu menarik tali busurnya dan segera membidik ke arah sumber suara.

"Tunggu! Jangan!"

Bayangan hitam itu kian tampak jelas setelah mendekati cahaya api. Sesosok pria muda yang kelihatan kepayahan dan luntang-lantung. Ia yang Punya Mata Aneh, pikir Aushakii. Adhy lantas duduk bergabung dengan ketiga orang itu. Si gadis yang semula terkejut sekarang bisa menghela napas.

"Saya pikir saya sudah kehilangan kalian," ujarnya. Ia tampak amat lelah dan kesulitan ketika duduk. Si Pemburu meletakkan busurnya.

Tanya Aushakii pada pemuda itu, "Kau baik-baik saja?"

"Kayaknya begitu."

"Bagaimana kau bisa lolos dari makhluk itu?"

"Saya gak ingat. Hal terakhir yang saya tahu, saya sendirian di tengah gurun."

Eophi ikut berbicara kemudian. Hel, sang naga kecil, melingkari pundaknya. Ia bilang, "Seenggaknya di sini kita aman," katanya.

Keheningan timbul di antara mereka. Tetapi hanya sejenak. Bunyi ledakan keras disusul langit gelap yang tiba-tiba menyala merah membuat jantung mereka berdebar lagi.

Aushakii duduk bersila dan ia seperti merapalkan doa. Mereka berempat duduk mengitari api unggun kecil. Itand'je, si burung besar berdiri tepat di belakangnya. Tidak ada yang menyadari kehadiran makhluk itu kecuali Si Pemburu sendiri.

"Teman-temanku, kita tidak bisa terus berada di tempat ini. Rasa takut terus-menerus membuat kita semakin kecil dan kita tidak melakukan apa-apa untuk itu."

Adhy mengedarkan pandangannya pada semua orang. "Saya kira dia benar."

"Lalu, bagaimana caranya kita pergi dari sini?" sambung Eophi. Hel membuat suara pelan. Si gadis pendiam mengusap kepala kucingnya supaya merasa agak tenang.

"Mereka sebetulnya sudah beritahu kita gimana caranya."

Aushakii mengangkat alisnya, "Mereka?"

"Orang-orang yang membawa kita ke sini," jawab Adhy.

"Ceritakan pada kami apa yang kau pikirkan."

Dari balik kobaran api unggun dan keriuhan perang yang terdengar semakin dekat, Adhy menjelaskan kepada mereka cara menghentikan Rah, dan bagaimana mereka bisa keluar dari medan berbahaya itu.

(*)

Mereka menembus kerumunan pasukan perang Alforea dengan berlari. Tidak ada jalan lain menuju menara yang diceritakan Adhy kecuali dengan melewati pasukan itu. Aushakii, yang paling kecil sekaligus paling lincah, memimpin di depan. Eophi berada di belakangnya lalu disusul si gadis. Sementara, Adhy berlari paling belakang.

"Cepat!" perintah laki-laki berkacamata dari belakang.

Keempat orang itu kini berada di tengah-tengah medan laga. Tombak dan peralatan besi lainnya berdenting si sekitar mereka. Keadaan begitu riuh dan mereka harus berteriak agar suara mereka sampai pada orang lain. Keempat orang itu berlari meliuk-liuk melewati tumpukan mayat yang bergelimpangan menghalangi jalan. Dan melalui jalur yang digenangi darah segar. Perang itu seperti terus berlangsung tanpa jeda dan mereka bergerak dalam bayang-bayang.

Seorang prajurit pedang yang berada dalam jalur mereka menggila dan menyerang secara asal-asalan. Ia menebas pedangnya ke sembarang arah. Aushakii menarik anak panahnya lalu melepaskannya ke kepala prajurit itu, hingga membuat pelindung kepalanya terlepas ke tanah. Dengan cepat, Aushakii melompat dan menjatuhkannya untuk membuka jalan bagi mereka menuju menara.

Adhy sedikit mendorong si gadis yang berada di depannya menggunakan kedua tangan. Ia tidak sabar. Gadis itu berlari paling pelan. Ia memperlambat mereka.

"Kamu bisa membunuh kami!" kata Adhy. Sebilah tombak menghunus tepat ke arahnya. Tetapi, dengan reflek yang bahkan membuat dirinya sendiri terkejut, ia segera merebutnya dan menusuk tentara itu hingga tumbang.

Aushakii menghindari serangan demi serangan yang datang tanpa arah. Samar-samar, mereka dapat mendengar raungan sesuatu yang menggema dari atas kepala mereka. Mulanya amat jauh lalu menggaung semakin dekat. Rah melayang di langit gurun.

Si Pemburu dan tiga orang lainnya tiba di suatu tempat seperti sisa-sisa reruntuhan bangunan besar. Pilar-pilar megah yang pernah memiliki keagungan di suatu masa dahulu telah ambruk ke tanah dan hancur berkeping-keping. Mereka tidak melihat ada hal lain di sana kecuali puing-puing reruntuhan yang luas.

"Apa kita sudah sampai?" tanya Aushakii. "dimana tempat yang kauberitahu itu?"

Adhy menelusuri tempat itu. Tetapi tidak ada menara di sana. Mereka telah sampai di tepi jalur pertempuran tetapi hanya tubuh-tubuh tak bernyawa dengan baju zirah rusak yang mereka temui. Bahkan tidak ada bangunan yang masih berdiri. Sekarang, Adhy juga tidak mengerti apa sebenarnya yang mereka harus lakukan.

"Tapi ...,"

Duabelas tentara berkuda lapis baja mendatangi mereka sambil mengacungkan pedang. Aushakii terpaksa melepaskan anak panahnya dan mengincar tapal-tapal mereka dan membuat kuda-kuda itu terjatuh bersama penunggangnya. Eophi menggunakan bantalan tidurnya sebagai perisai magis yang menangkal semua serangan yang ditujukan kepadanya. Mereka berada di depan si gadis dan kucingnya untuk melindunginya.

"Kita nggak bisa terus-terusan begini!" Eophi menoleh ke Adhy. Laki-laki itu tidak menjawab. Ia terlihat kebingungan sendiri. Tidak mengerti dengan apa yang dimaksudkan pesuruh wanita dari Alforea itu.

"Tidak ada menara di tempat ini," gumamnya kalut. Adhy tidak tahu apa rencana berikutnya. Ia melepaskan kacamatanya yang hampir pecah. Adhy menutup kedua matanya.

"Tidak ada menara."

Adhy memakai kembali kacamatanya lalu memandang ke medan tempur. Ke arah lautan prajurit yang saling bantai. Dan dua orang panglima tinggi mereka yang bertarung satu sama lain dan membawa panji-panji kerajaan. Mereka kelihatan seperti sepasang batu kokoh yang saling beradu.

"Dua menara?" pikirnya.

"Tapi ...,"

"Apa benar begitu?"

Sebelum ia sempat berkata apapun, angin kencang kembali menerpa mereka. Udara bergerak dengan kecepatan tinggi dan melempar puing-puing reruntuhan, para prajurit, serta meluluh-lantakkan apapun yang dilewatinya. Rah terbang liar berputar-putar di langit. Keempat orang itu berusaha menahan pijakan mereka.

"Dua menara!" teriak Adhy.

"Apa?"

"Menara! Menara itu maksudnya bukan menara! Mereka udah bohongin kita!"

Langit tiba-tiba benderang, seperti siang hari. Seluruh prajurit mendongak ke atas dan mereka berpikir telah melihat matahari. Tetapi mereka segera menyadarinya. Ini bukanlah siang hari, dan benda mahabesar di atas kepala mereka bukan matahari. Rah tampak menyepakkan kedua kaki depannya yang besar dan makhluk itu menciptakan semacam bola api raksasa yang berkobar di hadapannya. Ia memiliki kekuatan sedahsyat itu.

Kasur lipat Eophi segera bergerak dengan sendirinya menelan bulat-bulat tubuh Eophi, menjadi semacam setengah bola besar yang tebal, menjaganya tetap berada di dalam dan terlindungi. Aushakii berdiri di tempat tanpa mengucapkan satu kata. Si Pemburu tidak memercayai matanya sendiri. Bola api raksasa itu perlahan-lahan turun dan terlihat semakin besar. Para prajurit dari kedua pihak berlarian ke sana kemari seolah mereka telah melupakan urusan mereka.

"Matahari" ciptaan Rah akan menyentuh daratan ketika Adhy berlari menjauh sebisa mungkin untuk menyelamatkan diri.

Si gadis, mematung sambil memeluk kucing hitamnya.

"Eve," ia bilang. Kucing itu terus melihat ke depan. Kedua bola matanya yang berkilau memantulkan bayangan bola api raksasa yang kian mendekat.

Kemudian, Aushakii kembali mendengar suara berdengung seperti sebelumnya. Segalanya kelihatan melambat. Ia menoleh pada si gadis dan kucingnya. Mereka berdua seperti diliputi daya sihir.

Bola api raksasa yang nyaris menamatkan semua orang mendadak berhenti bergerak, dan, pelan-pelan, bergerak merangkak ke atas, kembali menuju Rah. Kuda Besar itu meringkik nyaring ketika "matahari" ciptaannya menghantam dirinya sendiri. Dua kekuatan besar itu saling bertemu dan menimbulkan cahaya yang menyilaukan. Seluruh gurun menjadi terang. Kemudian, Rah kehilangan keseimbangannya dan jatuh menubruk daratan. Menuju sebagian besar pasukan di bawahnya yang tak sempat lari. Bunyi berdebum disusul tanah yang bergetar seperti gempa bumi dahsyat.

(*)

Aushakii mulai sadar ketika si gadis membopongnya berdiri. Ia menoleh padanya. "Terimakasih."

"Kau bisa memanggilku Puppet," katanya. Si Pemburu membalas dengan suara serak, "Aushakii."

Eophi muncul dari dalam kasur lipatnya yang berukuran besar dengan wajah takjub. Ia tampak kehabisan napas. Aushakii menoleh ke sekitar, ia dapat melihat banyak prajurit yang selamat. Mereka telah menghentikan perang mereka. Masing-masing pemimpin kedua pasukan itu telah tumbang dan mereka seolah kehilangan tujuan. Tetapi, Aushakii tidak dapat menemukan si laki-laki berkacamata. Bulan di puncak gurun membiaskan cahaya temaram.

Sesuatu dari celana anyaman Si Pemburu tiba-tiba terjatuh. Aushakii memungutnya. Ia mengingat jika si laki-laki berkacamata hanya mengenakan alas kaki yang mirip seperti itu di salah satu kakinya. Dan ia berniat mengembalikannya tadi setelah semua ini selesai.

Namun, Adhy tidak berada di manapun agar Aushakii bisa mengembalikannya.

11 comments:

  1. fontnya berubah-rubah :v /

    well, sorry, Kev, entah kenapa ketika saya baca ini...

    saya ga tahan untuk tidak melakukan sesuatu yang lain.

    iya, sekarang saya lagi goreng bala-bala <(")

    maksudnya, pembukanya, dari awal, agak... ngebosenin. (-)

    dan, seperti yang pernah kubaca kau agak kurang suka dengan kalimat satu kata satu paragraf, aku malah capek baca paragraf yang banyak kalimatnya. apalagi kalimat itu merupakan dialog. (-)

    lalu, Aushakii banyak bicara, feel 'anak kecil' nya hilang. (-)

    saya kurang suka anak kecil banyak bicara ;_; mereka harus polos dan pendiam, kalau mau jahat, enggak boleh banyak omong ;_; *lupakan

    untuk kerapihan sih, gampang aja mau kasih 10, 100 juga malah.

    tapi ini soal selera...

    tato tribal dari darah, saya kira pemakaiannya bakal dengan pisau atau sesuatu yang tajam, ternyata cuma dioles tangan. ga luntur emangnya? kena ujan gitu? (-)

    bagian swallow...... okeh, saya ngakak :v (+)

    lalu penuturannya memang melekat. cara orang-orang palapa berkomunikasi sangat lekat di kepala. semakin ke sini, semakin menuju konflik, semakin menarik. (+)

    tapi, belum sampe BoR nya sama sekali loh. (-)

    oke, masuk ke Eophi. Saya suka sekali dengan pemakaian POV 3 serba tahu nya. (+)

    deskripsi tentang kastil, membuat saya merasa malu karena tidak menjelaskan lebih lanjut tentang kastil (+)

    lalu dihubungkan si aushakii jatoh di empuk-empuk Eophi, nice (+)

    tapi, berulang kali dibilang Myrd, Myrd, Myrd, tanpa dijelaskan apa itu Myrd? (-)

    baboon? Aushakii liar banget! tapi ternyata memang, inilah sisi asli Aushakii, saya menggambarkan dia terlalu anggun. tapi ternyata, polosnya ada. (+)

    "Kampret mah," gumam si laki-laki berkacamata kesal. > NICE (+)

    "Sekarang apa?" kata Eophi. > hei, kebetulan yang aneh pas saya juga pakai Eophi buat berkata itu <(") (+)

    tapi, di sini yang nganter kayaknya bukan maid (-)

    Adhy yang kelelahan... mau bicara ke tsaqif, lalu liciknya keluar, sexy! (+)

    eophi lari juga? duh, kasurnya kurang dimanfaatin (-)

    OOOH! Puppet kemilau banget di sini! (+)

    doh! maaf banget kev, banyak aturan yang kaulanggar. sebenernya sih, keren, tapi, yakali menara kristalnya dibawa-bawa ._.

    idenya sih emejing, tapi maaf, mengecewakan dan ga sesuai rule banget <(") (- -)

    nah, persamaannya adalah y = 10 ^ x; x = 1
    y = 10 ^ (-10+8)
    y = 10 ^ (-2)
    y = 8

    Selamat, Aushakii :v /

    ReplyDelete
    Replies
    1. Lupa, sangking semangatnya,

      OC : Eumenides - Puppet

      Delete
    2. y u so logic all of a sudden? :v

      nggg soal melanggar peraturan itu, ini adalah bentuk perlawaan dan hak kemerdekaan buat otoriter bor :v #gak itu sebenernya banyak adegan di alforea yang gakjadi, rencananya sik porsi bg sama alforea bakal seimbang tapi ternyata kelebihan.

      makasih buat semuanya

      Delete
    3. ini efek sudah-selesai-membuat-milik-sendiri, u know :v /

      merdeka!

      Delete
  2. Cerita awal Aushakii di Lembah Besar bikin saya tau gimana perkembangan Aus, keseharian, budaya, etc, sebelum dia masuk ke BoR, ini bagus, dan menurut saya masih pas. Beda sama prelim Eophi yang juga pakai cerita di rumah sebelum ke arena (bahkan selang-seling), tapi komposisinya masih agak berat sebelah (pr buat saya).

    Buat gaya tulisnya ini saya suka banget karena pencerita pinter nyusun kata. Ngalir di bagian yang diinginkan, tegas juga di bagian tertentu.

    Soal teknis di sini ada beberapa yang (menurut saya) pemakain huruf kecil besarnya salah. Ada satu-dua kelebihan spasi, tapi yah... itu nggak ngaruh banyak ke cerita dan selalu bisa diperbaiki ke depannya.

    Well, buat Eophi di sini, saya bisa bilang belum ada yang pake Eophi terus ooc, begitu juga di sini. Saya seneng Eophi bisa jadi first mate Aus di arena.

    Buat keseluruhan, cerita ini cukup menghibur. Soal cara pencerita bikin “alternatif dua menara”, saya nggak bisa komen apa-apa, itu sama sekali nggak kebayang. Adegan perangnya? Lumayan kebayang, narasinya asik.

    So, setelah keputusan demi keputusan, saya titip nilai 9 (^^ keep running Aus!

    Oc : Eophi

    ReplyDelete
  3. Kadang kreativitas dan pemikiran "out of the box" pasti sangat impresif di beberapa tempat, seperti yang sudah banyak sekali saya baca (dan coba kembangkan sendiri).

    Kadangkala modifikasi dari rambu-rambu yang ada, seperti yang ada di banyak entri di sini kelihatannya dihalalkan dan sah-sah saja, toh yang menilai adalah pembaca, bukan panitia. Dan saya berusaha untuk nggak mempermasalahkan itu.

    Yang buat saya jadi masalah adalah, sementara teman2 lain banyak yang berusaha keras menyajikan cerita yang alami dan logis berdasarkan rambu-rambu yang ada. Ada yang coba memodifikasi supaya medan ini tidak terkesan terlalu "dewa" untuk OC2 yang di preliminary yang kebanyakan mulai dari skill2 awal. Tapi kalau sampai merombak besar2an sampai hampir semua rambunya diganti, saya rasa masih lebih baik Kumirun yang terpaksa jadi "terlalu dewa" asalkan bisa melewati "mission impossible" ini. Saya jadi ingin tahu bagaimana tanggapan Tamon Ruu andai dia tahu soal ini. Ini juga berlaku buat semua OC lain yang kebetulan saya sempat review.

    Skor: 6/10 - semata2 karena saya suka aushakii beserta seluruh backgroundnya.
    OC: Vajra

    ReplyDelete
    Replies
    1. thx mz andry. mudah-mudahan kalo masuk r1 bisa patuh

      Delete
    2. pm ke fb saya yah, saya mau tawari sesuatu buat aushakii & his folk.

      Delete
  4. Saya lelah duluan baca dua bab awalnya. Keliatannya fixed team EAEA ini seneng banget masukin bg story panjang" ya. Ditambah saya bukan tipe yang seneng sama tembok paragraf, jadi semakin kesulitan buat nikmatinnya.

    Bagian Aushakii ketemu Eophi sebenernya bagus juga ngegambarin anak pedalaman yang baru liat sesuatu yang asing, tapi buat saya agak dragging. Kalo mau dibilang, pembuka cerita ini sama sekali ga efektif

    Kata ganti yang dipake agak redundan, berapa kali 'Aushakii', 'si pemburu', 'Aushakii', 'si pemburu'..

    Perpindahan fokus ke Adhy berkesan nanggung karena cuma sebentar, dan model tulisannya jadi berubah kayak tabrakan

    Sampai akhir rasanya peran Aushakii jadi agak kebuang dan lebih dominan Adhy, meski saya ga ngerti juga dia ngilang ke mana di akhir. Dan Euminedes bener" figuran aja ya di entri ini?

    Dan jujur saya ga nangkep apa maksud menara ataupun apa yang sebenernya terjadi di akhir, Maafkan otak saya yang kurang imajinatif ini

    Nilai awal 5. Deadliner buffer -1, jadi nilai akhir dari saya 4

    [OC : Dyna Might]

    ReplyDelete
  5. > Oh wow saya bingung sendiri baca awalnya. Banyak terminologi yang bikin saya pusing
    > Lagi lagi bingung baca who's who, siapa yang jadi teammate dia
    > Dan endingnya. Wth happened?

    Diluar 3 hal diatas, saya suka sama cara penulisannya dan narasinya. Tapi karena 3 hal di atas juga, dengan berat hari...
    5/10, saya nggak bisa menikmati ceritanya
    OC: Lexia Gradlouis

    ReplyDelete