16.5.15

[PRELIMINARY] ASEP CODET - SANG PENAKLUK

ASEP CODET - SANG PENAKLUK
Penulis: Dendi Lanjung




Awan mendung menutupi langit, dihiasi petir yang menyambar bersahutan.

Berdiri di sana. Di atas tumpukan tubuh berbeda rupa. Seorang pria yang memakai singlet, berdiri tegak mengepalkan kedua tangannya.

Pria itu menatap tajam makhluk raksasa di depannya. Seekor kuda bersayap setinggi lima puluh meter sedang berdiri angkuh sambil mengetuk-mengetuk sebelah kakinya. Kuda raksasa itu menggeleng-gelengkan kepalanya bermaksud mengintimidasi dengan menunjukkan sepasang tanduknya yang garang.

"Ka dieu siah, dipodaran maneh ku aing!" (ke sini, kubunuh kau) teriak si pria sambil merentangkan kedua tangannya lebar-lebar.

Seakan membalas ucapan sang pria, kuda raksasa tersebut mengepakkan sepasang sayapnya dan terbang dengan kecepatan tinggi ke arah si pria.

Bagaimana nasib pria itu, kau mau tahu?
                                                                     



[1]
Seorang Pria Bernama Asep




Di sebuah ruangan kecil yang hanya berisi meja kayu dan lemari besi, seorang pria berpakaian rapi duduk di belakang meja dengan wajah ketakutan. Tubuhnya tak bisa berhenti gemetar, sementara di luar ruangan terdengar suara gaduh dan teriakan kesakitan yang semakin mendekat. Si pria hanya bisa melihat pintu di depannya sebagai satu-satunya penghalang antara dia dengan apapun yang ada di luar sana.

Suara gaduh dan teriakan itu pun berhenti. Untuk sesaat keheningan melanda.

Dan BAAAM!!

Pintu itu terhempas dengan kasar, memperlihatkan sesosok bayangan bertubuh kekar dengan matanya yang tajam. Tanpa penghalang apapun lagi, si pria yang ketakutan hanya bisa terdiam pucat.

Sosok bertubuh kekar tersebut perlahan mendekati si pria. Tangannya yang besar kemudian menggebrak meja di hadapannya. Si pria kecil tersentak kaget tanpa bisa bereaksi apapun selain menunduk, tak berani bertatapan langsung.

"Ini peringatan terakhir," ucap si pria kekar memulai ancaman, "Kalau besok kamu masih berani buka bisnis ini lagi, nasib kamu bakal sama kayak pintu ini... terbelah dua, ngarti?!"

Si pria hanya bisa mengangguk, tubuhnya masih saja gemetaran.

"Jawab yang jelas, jangan cuma uget-ugetan kayak hiasan dasbor mobil!"

"I Iya, Iya Kang Asep."

"Iya apa?!"

"I Iya, sa saya bakal tutup bisnis saya."

"Bagus!" ucap Asep sambil mengacungkan jempolnya. "Judi itu haram tau! Jangan bikin saya turun tangan lagi!"

Asep pun tersenyum puas, kemudian berbalik keluar ruangan, meninggalkan si pria yang akhirnya bisa bernafas lega.

Sang Preman itu berjalan melangkahi meja-meja judi yang terbelah dua, mesin-mesin togel terlihat hancur berantakan, kursi-kursi sudah tak berbentuk rupa, dan belasan penjaga berbadan besar dengan tubuh memar-memar terlihat berkaparan di sana sini. Gudang seluas lapangan futsal itu tampak seperti direnovasi ulang menyerupai kapal pecah. Melihat semua itu Asep hanya bisa menghela nafas panjang.

"Belegug atuh da, bet wanian ngalawan aing." (Bodoh banget, pake berani ngelawan saya) Ucap Asep sambil berjalan santai menuju pintu keluar.

•••

Sehari kemudian, Asep yang sedang bersantai di kedai kopi favoritnyaCareuh Wulan, duduk termenung sambil menikmati secangkir kopi hangat.

Seorang gadis yang memakai bandana berwarna pink, berjalan menghampiri Asep.

"Kang Asep lagi nyantai?" tanya si gadis.

"Eh neng Wulan, akang teh lagi nunggu Kang Aslan, disuuruh ke sini, katanya mau bicara sama akang," jawab Asep, "Sini atuh, duduk samping akang, kedainya juga lagi sepi kan?"

Belum sempat Wulan membalas, terdengar suara pintu kedai yang terbuka. Masuklah seorang pria bertubuh tambun yang berjalan menggunakan tongkat, rambutnya yang gondrong keemasan ditambah raut mukanya yang tegas, membuat sosoknya tampak sangat berwibawa. Asep yang sebelumnya bersantai, bergegas bangun dan menghampiri si pria. Wulan yang melihat kedatangan pria itu hanya tersenyum dan mengangguk hormat padanya, untuk kemudian kembali ke belakang kedai.

"Kang Bahar?" seru Asep.

"Bahar Bahar wae... Nama saya Aslan, dasar si borokokok!" ucap pria bernama Aslan tersebut.

"Bercanda atuh Kang, hehe," balas Asep, "Ada apa Kang, manggil saya? Eh, duduk dulu atuh."

Kang Aslan mengisyaratkan kalau dia tidak mau duduk. "Saya buru-buru, saya cuma mau mengantarkan ini, saya dengar hape kamu rusak makanya sekarang jadi susah dihubungi, jadi ini... hadiah buat kamu." Kang Aslan kemudian menyerahkan kantong keresek yang sedari tadi dibawanya.

"Apa ini Kang?" tanya Asep sambil memeriksa isi keresek tersebut. "Ini kan hape yang sekarang lagi ngetren itu? Buat saya?"

Tak menjawab pertanyaan Asep, Kang Aslan pun kembali berbicara. "Sepuluh tahun yang lalu saya memutuskan untuk pensiun karena merasa Bandung telah aman... Tapi saya salah, Bandung berubah jadi medan pertempuran dalam perebutan kekuasaan. Di situ saya merasa bimbang dan sempat memutuskan untuk kembali memangku jabatan sebagai bos. Tapi kemudian kamu datang, menjadi penyeimbang diantara dua kekuatan, memberi harapan kepada penduduk Bandung... Apa kamu siap jadi pengganti saya, Sep?"

Kang Aslan berhenti sejenak untuk melihat reaksi Asep, Asep sendiri untuk sesaat terdiam. Namun kemudian menjawab perkataan pria di depannya.

"Kang, kok bawa hape pake keresek? Ada dusnya gak? Terus charger sama headsetnya ada juga?" tanya Asep ketika memeriksa isi kantong keresek tersebut.

Sekarang giliran Kang Aslan yang berwajah datar.

"Kamu mah ya, malah gak serius!" ucap Kang Aslan geleng-geleng kepala.

Asep hanya tersenyum melihat reaksi mentor sekaligus bapak angkatnya tersebut. "Kang, saya bukannya menolak, tapi saya merasa belum siap jadi pemimpin... Apalagi menggantikan Akang, saya terus terang gak mau terikat orangnya.. Orang-orang memanggil saya bos, tapi sebenarnya saya hanya menjalankan apa yang disarankan oleh Akang."

"Walau kamu bilang gak mau, tapi pada dasarnya kamu sudah dikenal luas sebagai bos preman. Para penduduk Bandung merasa aman dengan kehadiran kamu... Mereka membutuhkan bimbingan dan kekuatan seorang pemimpin yang bisa dipercaya, seperti kamu."

•••

Setelah Kang Aslan pergi, cukup lama Asep termenung.

Sepuluh tahun yang lalu mungkin tidak akan ada seorangpun yang memperhitungkan dirinya, apalagi dari seseorang yang sangat dia hormati seperti Kang Aslan. Sambil berpikir keras, Asep tanpa sadar memutar-mutar smartphone yang ada di tangannya. Saat diputar-putar itulah terdengar nada notifikasi dari ponsel pintar tersebut.

Sebuah pesan singkat berisi tautan bertuliskan Battle of Realms muncul di ponselnya. Tautan tersebut disertai sebuah pertanyaan, "Apa anda ingin bermain?"

Tanpa curiga, Asep pun mengklik tautan tersebut. "Iya deh, saya ikut main"

Belum sempat Asep menyelesaikan kalimatnya, tubuhnya tiba-tiba saja tersedot ke dalam layar ponsel dan menghilang.



Tak berapa lama, Wulan, sang gadis pelayan sekaligus pemilik kedai kembali ke depan. Namun yang dia dapati hanya gelas kopi dan kursi kosong.

"Euh, kebiasaan si Kang Asep mah. Gak bayar kalau ngopi teh, maen kabur aja!"

•••


[3]
Sebuah Dunia Bernama Alforea

Asep menyadari dirinya bukan lagi di Bandung, bersama puluhan orang lainnya dia sekarang berada di sebuah lapangan luas depan sebuah kastil yang berdiri megah. Selain mereka, tampak para perempuan berbaju maid, berbaris rapi mengelilingi mereka.

"Wahai para petualang, selamat datang di Alforea!" tampak di balkon utama kastil tersebut, seorang wanita berperawakan bak peragawati menyapa semua orang yang hadir. Suaranya yang lembut dan penampilannya yang seksi, memukau hampir semua orang yang berada di lapangan, tak terkecuali Asep yang melihat si wanita tanpa berkedip.

Wanita tersebut kemudian menjelaskan maksudnya mengumpulkan banyak orang seperti itu, atau setidaknya mencoba menjelaskan.

Tapi karena penjelasannya yang malah membuat semua orang semakin bingung, tugas itu pun diambil alih oleh seorang pria berjanggut dan berambut putih.

"Kalian semua yang ada di sini, adalah calon peserta turnamen antar dimensi yang akan diadakan tidak lama lagi. Turnamen ini disebut Battle of Realms, dan hanya para petarung terbaik yang bisa mengikuti pertarungan bergengsi ini!" jelas si pria.

"Lalu jika memenangkan turnamen ini, kami akan dapat apa?" Tanya seorang peserta.

"Pemenangnya akan mendapatkan apapun yang dia inginkan!!" Sahut si wanita.

'Apapun yang diinginkan?' Entah kenapa kalimat itu sedikit banyak menarik perhatian Asep.



Penjelasan pun berlanjut dan berakhir dengan diumumkannya pembukaan babak penyisihan turnamen Battle of Realms.

Agak lama Asep mencerna perkataannya si pria, apalagi beberapa menit sebelumnya dia berada di kedai kopi favoritnya. Dan sekarang dia entah berada di mana, apa ini mimpi? Pikirnya. Tapi untuk sementara, Asep akan membiarkan dirinya mengikuti arus.

Dari yang didengar Asep, babak penyisihan ini akan melibatkan seratus satu orang yang hadir di lapangan. Tapi hanya akan ada empat puluh delapan peserta yang terpilih. Dengan kata lain, sisanya akan tereliminasi.

Sesuai penjelasan pria berjanggut tadi, babak penyisihan harus diikuti dua sampai empat peserta. Setiap kelompok akan dikirim ke area tempat penyisihan tersebut. Semua orang pun mulai ribut mencari rekan, ada yang malu-malu, ada yang blak-blakan, bahkan ada juga yang hampir berkelahi untuk memperebutkan peserta yang diinginkannya.

Asep pun berjalan untuk melihat-lihat semua peserta, dia cukup kaget melihat begitu beragamnya para peserta yang hadir di sana. Pria, wanita, orang tua, bahkan anak-anak pun ada. Bukan hanya manusia, Asep sempat dibuat tercengang saat melihat sebuah pohon yang setengah tubuh ke bawahnya adalah tubuh wanita tanpa busana.

Bukan hanya beda ras atau gender, baju yang mereka pakai pun unik-unik, mengingatkan Asep pada acara jejepangan yang pernah dia lihat di sebuah sekolah di Bandung. Tentu saja Asep pergi ke sana bukan untuk belajar, tapi karena ada bisnis penagihan hutang terhadap salah seorang guru sekolah tersebut.

Bicara soal guru, di antara salah satu peserta, Asep sempat melihat sosok perempuan berkerudung yang penampilannya mirip sekali dengan guru musik saat dia masih duduk di bangku sekolah, Ibu Salvitri namanya. Dia sempat akan menghampiri perempuan tersebut, ketika suara seorang pria menghentikan niatnya.

"Si janggut putih itu gak bercanda soal turnamen antar dimensi, kayaknya segala macam makhluk ada di sini," ucap si pria, "Aku bahkan sempat melihat kucing dan kotak kayu yang bisa bicara!"

Seorang pria berpakaian rapi, memakai jas, dasi dan celana berwarna zaitun, berjalan mendekati Asep. Asep mengenalnya sebagai Ronnie Staccato, anggota mafia yang pernah terlibat perebutan wilayah kekuasaan di Bandung. Keduanya pernah bertarung, hanya sayang, pertarungan tersebut berakhir seri.

"Kamu... kenapa ada di sini?!" tanya Asep kaget.

"Memangnya kau saja yang diberi undangan, aku juga menerimanya." Jawab Ronnie.

"Oh, kamu juga dapat undangan dari ponsel ya?" tanya Asep.

"Ponsel? Undangannya kuterima lewat komputer kok," jelas Ronnie. "Oh iya, aku baru tau kalau kau bisa bahasa itali?"

"Saya emang gak bisa, kamu sendiri ternyata bisa bahasa endonesa."

Mereka berdua saling berpandangan, tidak mungkin orang di hadapannya menguasai lebih dari dua bahasa, begitu pikir mereka berdua. Tapi mereka berdua sepakat dalam hati, tidak akan memperpanjang hal tersebut.

"Jadi... kapan kita akan menyelesaikan pertarungan kita?" tanya Ronnie tanpa basa-basi.

"Sekarang juga hayu saya mah," balas Asep.

"Yakin kau siap kalah lagi?" tanya Ronnie dengan intonasi yang lebih tinggi

"Gak salah tuh, kuduna aing nu nanya kitu!" (harusnya saya yang nanya gitu) jawab Asep dengan intonasi yang setara.

"Osi?" lanjut Ronnie, kali ini dengan tatapan yang tajam.

"Dieu siah!" balas Asep tak mau kalah menunjukkan wajah yang seram.

Keduanya mulai beradu wajah layaknya pemain sepakbola yang siap bertinju. Namun sebelum keadaan bertambah panas, seseorang memisahkan mereka berdua.

"Wow, wow, Ronnie, sudahlah, biarkan dia, kita sudah harus bersiap tau," ucap seorang pria berwajah cantik, "Dua cewek cakep di sana, bersedia bergabung dengan kita."

Mau tidak mau Asep dan Ronnie pun mengambil jarak aman. Orang berjas putih tersebut kemudian memandang Asep dan tersenyum nakal, matanya menatap Asep dengan tatapan menggoda, cukup membuat Asep agak risih padanya.

"Namaku Dyna Might, kau bisa memanggilku Dyna," ucap pria cantik berambut ungu itu. "Sayang sekali tim kami sudah penuh, padahal aku akan senang sekali bisa satu tim dengan pria kekar sepertimu."

"Kita akan bertemu lagi Asep, itu juga kalau kau bisa lolos, haha." ucap Ronnie sambil melenggang pergi.

"Sampai jumpa lagi," tambah Dyna, tak lupa melambaikan tangan dan memberi ciuman jauh pada Asep, "Dan semoga beruntung dengan timmu."

"Huh, tim apa?" balas Asep mengdengus, "Saya bahkan belum mencari"

Asep terdiam ketika melihat seorang perempuan berambut pirang berdiri di sampingnya, dengan semangat jari telunjuknya mengarah ke Asep.

"Ya, tambah satu ini lagi, nona maid." ucapnya mantap.

"Hah?" balas Asep bingung.

Seorang maid bermata sayu menatap Asep, tangannya kemudian mengambil sebuah buku catatan kecil dan mulai menulis di buku tersebut layaknya seorang pelayan restoran mencatat pesanan pelanggan.

"Baiklah, saya pastikan sekali lagi anggota tim anda adalah Dominica Alta Orathivo, Yu Ching, Chubox dan Alex Alduin, apa itu benar?" tanya si maid.

"Ya, dan aku, Dominica akan menjadi leader mereka!" ucap si rambut pirang.

"Tunggu sebentar, jangan seenaknya saja kamu teh!" ucap Asep berang.

"Jadi aku harus satu tim dengan manusia otot ini, dia keliatan kayak orang bodoh."

"Apa katamu" Asep terdiam ketika melihat sosok yang berbicara tersebut adalah seekor kucing berwarna belang hitam putih. "Ucing?!"

"Tuan yang baik, maukah anda membuka dan mengambil benda yang ada di dalamnya?"

"Hah? Tidak, saya" sekali lagi Asep terdiam ketika melihat sosok lain yang berbicara adalah sebuah kotak kayu berwarna coklat kemerahan. Sebelah tambangnya bergerak-gerak layaknya sebuah tangan.

"Ayolah, di dalam kotak ini ada sebuah benda yang sangat berharga, yang mungkin sangat anda butuhkan, mau kan?" bujuk si kotak.

Untuk sesaat Asep terdiam, tapi kemudian menjawab, "Gak, saya gak punya waktu buat main-main."

"Anda yakin gak mau?" tanya si kotak.

"Iya, yakin... ng, makhluk apa sebenarnya kamu teh?" Asep balik bertanya, "tadi kucing, sekarang peti kayu, asa ararararaneh pisan."

Si kotak kayu tak menjawab, tapi badannya kemudian bergetar hebat, asap aneh mengepul dari sela-sela kayunya. Dari penutupnya seketika muncul dua buah mata berwarna merah, ketika si kotak membuka penutupnya, gigi-gigi tajam bermunculan di tepian penutup tersebut.

"Grrrr, beraninye lu nolak tawaran gue, lu berani ngerendahin gue, hah?!" teriak si kotak marah-marah, aura yang dipancarkannya berubah seratus delapan puluh derajat dari yang sebelumnya sopan bak SPG, menjadi aura seram bak preman jiketi.

Tanpa aba-aba, si kotak monster menerkam Asep dengan mulutnya yang terbuka lebar. Tujuannya jelas, si kotak monster berniat mengoyak habis pria berjaket hitam tersebut dengan giginya yang setajam gigi hiu.

Tapi dengan mudah Asep menahan mulut si kotak monster dengan kedua tangannya. "Nying, kotak gelo!"

"Bila tidak ada yang hal lainnya, proses fast travel akan dimulai dalam lima... empat..."

"Aku siap, aku siap!"

"3..."

"Meong~"

"2..."

"Engke heula!"

"1..."

"Grrrrao!!!"

"Fast Travel menuju Shohr'n Plain... Dinyalakan!"

•••

[4]
Satu Momen Perkenalan

Tersebutlah satu pasukan setingkat batalyon yang bernama Worshipper of Tamon-Ruu, atau dikenal juga dengan Wota Knight. Sesuai namanya, Wota Knight sangat memuja Tamon Ruu yang sudah mereka anggap waifu abadi bagi mereka, mereka akan melakukan apapun demi menyenangkan hati sang Penyihir Dataran Barat.

Suatu ketika, Wota Knight diutus ke dataran gurun Shohr'n untuk membasmi sekumpulan monster yang menunjukkan pergerakan ganjil. Dipimpin oleh Kolonel B. Bryan, pasukan itupun berangkat dengan gagah berani. Setibanya di Shohr'n Plain, mereka mendapati bahwa para monster tersebut telah menduduki Kota Shohr Stone, satu-satunya kota transit yang ada di sana.

Sebagai kota transit, Shor Stone sering menjadi kota persinggahan bagi para petualang yang akan menjelajahi dataran Shohr'n. Namun dengan didudukinya kota tersebut, praktis segala macam aktivitas yang berhubungan dengan petualangan menjadi lumpuh total. Bila hal itu terjadi, maka bukan hanya Shohr Stone, tapi seluruh Shohr'n Plain akan menjadi dataran mati. Tidak akan ada lagi petualang yang mau berkunjung ke sana; tidak ada petualang berarti tidak ada uang, tidak ada uang berarti pemasukan untuk Kota Utama Despera pun berkurang.

Pemasukan untuk Kota Despera berkurang akan berpengaruh pada gaji yang diterima oleh para ksatria yang bekerja untuk Tamon Ruu, termasuk Wota Knight. Dan mereka tentu saja sangat tidak menginginkan hal itu terjadi.



Pada hari yang telah ditentukan.

Penyerangan dilakukan malam hari untuk menghindari cuaca yang sangat panas di siangnya. Kolonel B. Bryan yang menunggangi kudanya dengan gagah, mulai berorasi.

"Ketika saya masih menjadi newbie dan berpetualang di Shorh'n Plain, saya hampir mati... Tidak, saya pasti mati kalau saja tidak ada penduduk Shohr Stone yang menyelamatkan saya. Kota ini telah menjadi bagian penting dalam hidup saya dan saya tidak akan pernah melupakannya. Kalian juga mungkin pernah mengalami hal seperti saya, hampir mati dan kehilangan harapan..." Sang kolonel berhenti sejenak untuk melihat wajah-wajah pasukannya, mereka memperlihatkan wajah-wajah kesukaannya, yaitu wajah penuh keberanian dan keteguhan.

"Hari ini penduduk Shohr Stone akan mendapatkan kembali harapan mereka, kita akan menyerang para monster itu dan mengusirnya Shohr Stone! Lima ratus ksatria melawan seratus ribu monster, tapi kitalah yang akan menang, kenapa?... Karena kita adalah buah dari harapan yang telah mereka beri pada kita! Karena kita adalah Wota Knight! Kita adalah Ksatria Alforea!!"

Seruan lantang Sang Kolonel dijawab teriakan menggemuruh oleh pasukan yang dipimpinnya. Sebanyak lima ratus pasukan Wota Knight berjajar rapi membentuk barisan memanjang. Mereka terdiri dari dua ratus pasukan infantri bersenjata tombak dan perisai, seratus pasukan berkuda (kavaleri), seratus lima puluh pemanah dan lima puluh Wota Spesialis dengan kemampuan beragam. 

Sementara di pihak lawan, ribuan monster telah menunggu mereka. Mereka terdiri dari monster kelas rendah seperti Tikus Gurun Bermata Mesum sampai monster level tinggi seperti Kalajengking Raksasa. Dengan komposisi yang bermacam-macam, sulit untuk membayangkan mereka bisa bersatu untuk menyerang Shohr Stone. Tapi itulah yang terjadi, entah siapa yang menggerakkan mereka.

Genderang perang berbunyi.

Puluhan sihir sinar dilontarkan oleh para Wota Spesialis, menerangi gelapnya malam di Shohr'n Plain.

Lima ratus Wota Knight pun berbaris perlahan, seratus kavaleri memimpin di depan sementara pasukan pemanah dan infanteri mengikuti di belakangnya. Semakin lama mereka bergerak semakin cepat, di baris paling depan tentu saja Sang Kolonel memimpin dengan semangat empat lima.

Lawan pertama mereka adalah para monster pelari cepat seperti Anjing Panas dan Ayam Goreng Bumbu, monter-monster itu berlari untuk menyongsong pasukan Kavaleri Wota Knight.

Pasukan pemanah melepaskan anak panahnya terlebih dahulu. Ratusan anak panah berhasil menemui sasarannya, mengurangi hampir setengah dari pasukan monster pelari cepat.

Kedua pasukan pun saling beradu, dimana Kavaleri Wota Knight dengan mudah memporak-porandakan gelombang pertama pasukan monster yang terlebih dahulu sudah dilukai para pemanah. Tak menghentikan serangan, pasukan kavaleri terus melaju membiarkan kaki-kaki kuda mereka yang menghabisi nyawa para monster. Mereka tak berhenti karena di hadapan mereka, pasukan monster gelombang kedua ikut menyerang, yang terdiri dari Badak Pelangi Bundar dan Setengah Kuda Setengah Gorilla yang dikenal berkulit tebal.

Panah gelombang kedua kembali dilepaskan, dan sesuai dugaan, monster gelombang kedua tak cukup kalau hanya diserang dengan panah biasa.

Kedua pasukan kembali beradu, kali ini Kavaleri Wota Knight sedikit tertahan dengan pasukan monster gelombang kedua. Di situlah pasukan infantri beraksi, dengan tombaknya yang tajam mereka menusuk bagian vital dari pasukan Badak dan Setengah Kuda Setengah Gorilla. Dan ketika pasukan pejalan kaki sudah terjun, perang yang sesungguhnya telah dimulai.

Di garis depan, Kolonel B. Bryan menggila dengan jurus Seribu Pedangnya. Diikuti oleh Wota Spesial yang sebagian besar menggunakan ilmu sihir. Mereka menyerang habis-habisan, mengeluarkan segala ajian khusus yang mereka kuasai, tak membiarkan satu monster pun lolos.

Pasukan Wota Knight yang hanya berjumlah lima ratus, dirasa cukup untuk mengatasi perlawanan seratus ribu monster. Hal itu karena level setiap anggota Wota Knight cukup tinggi. Dalam waktu setengah jam, jumlah pasukan monster sudah berkurang setengahnya. Diperkirakan kemenangan Wota Knight hanya tinggal menunggu waktu saja.

Medan perang pun merangsek dari padang pasir di sekitar kota dan mulai mendekati pusat Shohr Stone. Tapi saat itulah keadaan berbalik.

Muncul dari balik benteng Shohr Stone yang hancur, tujuh bayangan raksasa setinggi sepuluh meter keluar dari kepulan asap yang membumbung tinggi. Para Wota Knight sempat menghentikan serangan mereka demi melihat ketujuh raksasa tersebut. Mereka mengenalnya sebagai Pelangi Bersaudara, yang terdiri dari Si Merah, Si Jingga, Si Kuning, Si Hijau, Si Biru, Si Nila dan Si Ungu.

Ketujuhnya adalah bos tingkat tinggi yang harus dikalahkan satu demi satu untuk mengumpulkan batu akik yang ada di kepala mereka. Namun masalahnya, tidak pernah sejarahnya mereka melihat ketujuh monster raksasa itu berkumpul sekaligus.

Ketujuh raksasa mulai menyerang membabi buta, dengan berbagai senjata yang mereka pakai, para raksasa balik memporak-porandakan pertahanan Pasukan Wota Knight. Jumlah pasukan infantri maupun kavaleri pun semakin berkurang. Harapan kemenangan yang sudah di depan mata mulai menghilang. Para Wota Knight mulai ragu, tanpa disadari mereka perlahan bergerak muncur.

Tapi seseorang melangkah maju, mengeluarkan busur dan panahnya, tanpa ragu pria itu melepaskan dua anak panah sekaligus pada sang raksasa. Serangannya tepat mengenai kedua mata sang raksasa. Sang raksasa pun terjungkang dan mati. Semuanya terdiam dan terpana. Saat mereka melihat sosok sang pemanah tersebut, dia ternyata adalah pemimpin tertinggi Wota Knight sendiri, Kolonel B. Bryan.

Sang kolonel berteriak dan berlari maju menyongsong para raksasa yang mengincar dirinya. Semangat Sang Kolonel menular pada pasukannya, mereka pun mengikutinya. Menyerang monster di hadapannya.

Perang fase dua telah dimulai.

•••

"Terus apa yang terjadi selanjutnya?" tanya Dominica.

"Sang Kolonel berhasil memenangkan perang dan merebut kembali Shohr Stone. Dia berhasil menghancurkan dua menara kembar secara bersamaan dan menyegel kembali Tamon Rah." jawab maid pengantar.

Dominica sempat terdiam, "Jadi apa misi kami sebenarnya? Dan bagaimana si Kolonel menghancurkan dua menaranya secara bersamaan?"

"Sang Kolonel menggunakan busur legendaris Difalia, yaitu busur yang mampu melesakkan dua anak panah sekaligus. Busur itu juga memiliki sistem Cruise Arrow, artinya setiap panah yang ditembakkan seratus persen akan tepat sasaran sesuai keinginan pemanahnya," ucap si maid, "Misi kalian seharusnya membantu Sang Kolonel menyegel kembali Tamon Rah."

"Searusnya?"

Obrolan mereka terhenti sejenak saat mendengar Asep dan Chubox masih terus berseteru.

"Gue kan udah baik-baik nawarin barang ke lu, tapi lu-nya gak tau diuntung!" teriak Chubox.

"Kan saya udah nolak baik-baik!" balas Asep.

"Kalian bisa diam bentar gak?!" bentak Dominica mendiamkan keduanya. "Ya lanjut."

Giliran si maid yang terdiam. Sebagai pengantar, tugasnya adalah menjelaskan apa misi yang harus diselesaikan para peserta. Tapi tentu saja pekerjaan itu tak semudah kedengarannya, namun dia berusaha untuk tetap cuek dan fokus.

Saat ini mereka berlima berada dalam sebuah ruangan luas serupa elevator. Ruangan inilah yang mengantarkan mereka ke tempat selanjutnya.

"Ya udah, saya duduk-duduk dulu di pojok." ucap Asep.

"Huh, gue juga!" ucap Chubox tak mau kalah.

"Apa-apaan sih kalian, meong?" Yu Ching hanya bisa geleng-geleng kepala melihat tingkah mereka.



"Harusnya..." lanjut si maid, "semua berjalan sesuai skenario Quest biasanya. Tapi yang terjadi adalah sebaliknya."

"Memang apa yang terjadi?" tanya Dominica.

Si maid kemudian membuka tirai yang menutupi dinding elevator. Saat tirai dibuka, pemandangan di luar elevator pun terlihat jelas. Saat ini ruangan yang mereka tempati berada di tengah-perang peperangan antara pasukan Wota Knight dan pasukan monster beragam jenis.

"Lift kok ada tirainya?!" Asep kaget sendiri, tapi tak ada yang menghiraukannya karena semua fokus pada perang.

"Hei, itu tujuh raksasa yang tadi!" seru Dominica, "Dan itu... Kolonel B. Bryan... dia akan memanah raksasa itu!"

Bak menonton film, Dominica menatap takjud. Yu Ching dan Chubox pun ikut-ikutan menonton.

"Huh, kalau saya mah gak perlu pake panah, cukup pake satu pukulan saja, si buta (raksasa) langsung modar!" ucap Asep sambil mengepalkan tangannya. Tapi lagi-lagi tidak ada yang menghiraukan ucapannya.



Tampak di luar elevator, Sang Kolonel melepaskan kedua anak panahnya. Dari jarak lebih kurang dua puluh meter panah-panah itu melesat, dan persis seperti yang diceritakan si maid, kedua panah itu seperti hidup mencari sasaran.

Tapi ada yang aneh, kedua panah itu hanya melewati kepala si raksasa tanpa melukainya. Kedua panah itu pun memutar arah dan berbalik melesat ke arah Sang Kolonel sendiri. Sang Kolonel tak sempat mengindar karena menyangka panah sudah mengenai sasaran. Asap peperangan telah menutupi penglihatannya.

Kedua panah itu tepat menusuk dadanya.

Bahkan saat darah mulai menetes dari mulutnya, Sang Kolonel tampak tak percaya. Zirah yang dipakainya adalah zirah yang terbuat dari kulit naga, tahan tusukan atau tebasan dari logam apapun di dunia. Hanya tulang naga yang sanggup menembusnya, tulang yang akhirnya dijadikan bahan pembuat anak panah Difalia. Dan sekarang Sang Kolonel jatuh terlentang, tewas terkena senjatanya sendri.

Baik para prajurit ataupun para peserta yang sedang berada dalam elevator hanya bisa tenganga.

"Itulah yang terjadi." ucap si maid. "Sesuatu terjadi pada kontinuitas Quest dan mengacaukannya."

"Quest? Kontinuitas? Tunggu sebentar... Jadi perang yang kau ceritakan tadi dan perang yang sekarang terjadi, adalah perang yang sama?"

Pertanyaan Dominica hanya dijawab dengan anggukan oleh si maid. "Dan misi kalian adalah menyelesaikan apa"

"Buka pintu elevatornya." potong Asep.

"Eh, saya belum menjelaskan misinya secara detil." Jawab si maid.

"Cepat buka!" bentak Asep.

"Hei, memangnya mau apa, kamu gak liat kita sekarang ada di garis depan?!" tegur Dominica. "Saat kita keluar, kita akan langsung terjebak badai peperangan, seenggaknya kita perlu strategi. Kita masih belum tau banyak informasi tentang misi kita."

Asep tak menjawab, namun kemudian melirik pada Chubox. "Apa saya bisa menitipkan barang di dalam kotak kamu?"

"Me menitipkan apa?" tanya Chubox

Asep melepas jaketnya dan menyerahkannya pada Chubox, memperlihatkan tubuhnya yang kekar bertato. "Jaket ini peninggalan kakek saya, boleh kan?"

"Ten Tentu saja sialan!" Chubox meraih jaket Asep dan memasukkannya ke dalam mulutnya. "Jaket ini bakal gue jaga sebaik-baiknya."

"Hei, om, dengar gak?" ucap Dominica. "Kita butuh informasi, kita bahkan belum tau banyak soal Tamon Rah!"

"Buka pintunya." pinta Asep sekali lagi. "Saya mohon."

Mendengar ucapan Asep, si maid hanya tersenyum. "Pintunya otomatis kok, tapi saat anda keluar dari elevator ini, anda tidak akan bisa kembali sebelum misi selesai."

Asep mengangguk dan berjalan mendekati pintu elevator, secara otomatis pintu pun terbuka.

"Sudah kubilang, buat rencana dulu" ucapan Dominica terhenti saat menyadari ruangan kedap suara yang tadi ditempatinya, termasuk si maid pengantar telah menghilang, berganti dengan gurun pasir yang diselimuti suasana pertarungan. Keempat peserta mendapati diri mereka telah terjebak dalam badai peperangan.

Dominica serta merta mendekati mayat Kolonel B. Bryan yang tergolek di pasir. Gadis bermata biru itu menutup mata sang Kolonel yang terbuka, mata pria itu seakan masih menyimpan rasa tak percaya akan kematiannya sendiri.

"Dom, cepatlah menyingkir." Ucap Asep. "Raksasa itu datang ke sini."

"Nyingkat nama yang bener dong!"

Benar saja, para raksasa itu telah menyadari kehadiran mereka. Tak mau berdebat lebih lanjut, Dominica pun menuruti ucapan Asep.

Asep berdiri menunggu, dilihatnya para pasukan yang berada di bawah komando B. Bryan mulai kacau tak terkoordinir. Dengan mudah mereka diubrak-abrik para raksasa, mereka seperti kehilangan semangat bertarung, tak pelak korban pun berjatuhan.

Raksasa yang ditunjuk Asep hanya berjarak sepuluh meter darinya, raksasa yang sama yang sebelumnya menjadi target Sang Kolonel. Asep kemudian berlari dan melompat. Saat dia sudah berhadapan langsung dengan si raksasa, sang preman bertato itu mengepalkan tangan kanannya.

"PAPATONG... COMRO... KARUHUN!!"

Semua orang yang melihat kejadian itu hanya bisa terpana. Hanya dengan satu pukulan, sang raksasa setinggi sepuluh meter langsung tersungkur. Korbannya adalah Si Hijau, satu raksasa telah tumbang.

•••

[5]
Sang Badai

"Siapa dia? Bagaimana dia bisa menumbangkan tiga raksasa hanya dengan kekuatan pukulan dan tendangan?" itulah pertanyaan yang muncul di benak semua orang, namun itulah kenyataannya.

Sesaat setelah pukulan pertama menumbangkan Si Hijau, dua raksasa lainnya, Si Kuning dan Si Jingga turut menjadi korban si Preman. Si Kuning yang coba menebas Asep dengan goloknya malah mengenai Si Hijau yang sudah terkapar, Asep berlari memamfaatkan lengan Si Kuning sebagai jalan untuk mendaratkan tendangan memutar pada kepala raksasa pengguna golok tersebut. Tak jauh beda dengan adiknya, Si Jingga pun mengalami nasib yang sama. Namun kali ini si raksasa terkena serangan lariat terbang si Asep, tepat menjerat lehernya.

Dan sekarang Asep berdiri tegak menantang lawan selanjutnya, kakak tertua tujuh raksasa bersaudara, Si Ungu.

Tanpa basa-basi Si Ungu melancarkan pukulan langsung ke arah Asep yang tingginya hanya seperlima dirinya. Asep seakan berniat menahannya dengan pukulan, tapi dengan cepat menghindar ke samping untuk kemudian menyarangkan hook pada Si Ungu yang terlanjur mencondongkan badan.

"PAPATONG... GURILEM... CILILIN!!" seru Asep mengakhiri serangannya.

Tapi serangan Asep ternyata hanya membuat Si Ungu terlenggak, tubuhnya terdorong ke belakang, tapi tak sampai jatuh.

"Ternyata tak semudah itu menjatuhkan bos raksasa." ucap Asep, "Mungkin saya kepedean karena berpikir kau sama lemahnya dengan mereka bertiga."

Si Ungu terlihat kesulitan menjaga keseimbangannya, dagunya masih terasa sakit akibat serangan Asep. Tak menyia-nyiakan kesempatan, Asep pun melompat dan memberi tendangan menusuk tepat di perut Si Ungu. Tubuh raksasa itu tenjengkang ke belakang, menabrak benteng kota hingga hancur. 

Melihat nasib saudara-saudaranya, tiga raksasa lainnya tampak ragu menyerang. Sebaliknya para Wota Knight yang sempat berniat mundur, kembali bersemangat. Mereka mulai menyerang tiga raksasa yang tersisa bersama-sama.

"Aku tidak tahu siapa orang itu, tapi dia di pihak kita, ayo menangkan perang ini, demi Kolonel dan demi Tamon Ruu kita tercinta!!"

Walaupun para raksasa itu berlevel tinggi, pada dasarnya mereka bisa dikalahkan dengan kerjasama para ksatria, dan para Wota Knight hampir saja melupakan hal itu. Serangan gabungan para Wota Knight akhirnya berhasil menumbangkan ketiga raksasa tersebut.

Para pasukan Wota Knight yang tersisa kurang dari empat ratus orang, Namun masih ada ribuan monster lainnya menghadang di dalam kota Shohr Stone.

Empat raksasa telah dikalahkan Asep dengan mudahnya. Tapi walau begitu, Asep sendiri sebenarnya terkejut. Pukulannya sanggup menjatuhkan bukan hanya satu, tapi empat raksasa sekaligus. Padahal bisa dibilang pukulan tadi dibuat tanpa perhitungan, istilahnya hanya emosi sesaat.

'Apa perasaanku saja atau kekuatanku jadi berkali-kali lipat?' pikir Asep.

•••

Beberapa menit kemudian, Asep dan para Wota Knight sudah berhasil mencapai pusat Shohr Stone. Dua menara kembar setinggi dua puluh meter menjulang tepat di tengah reruntuhan kastil kuno yang ada di bukit belakang.

Tapi untuk mencapai kesana pengorbanannya besar, para Wota Knight kehilangan hampir seratus anggota mereka. Sebaliknya di pihak monster pun tak kalah kehilangan. Badai peperangan terus berlanjut.

Adalah Asep yang menjadi mata badai, menerjang apapun yang menghadangnya. Semua jurus tendangan, pukulan dan banting dia keluarkan. Melawan Kalajengking atau Kecoa Magenta, Setengah Kuda Setengah Gorila atau Cacing Alaska, tak ada satupun yang bisa menghentikannya. Dibandingkan Asep, sekarang para monster itu malah terlihat imut.

Dalam satu kesempatan, Asep sempat berhenti sejenak ketika menyadari tumpukan tubuh monster yang menggunung.

'Sial, aku kebablasan lagi, ini persis kejadian sepuluh tahun yang lalu.'

Tapi sepertinya Asep tidak diberi kesempatan beristirahat, belum juga dia mengusap keringatnya, belasan monster Kera Bibir Merah menerkamnya. Asep tak tinggal diam, dia meraih salah satu Kera dan kemudian menyikunya. Satu kera lain berusaha mengunci lehernya, tapi mudah saja bagi Asep untuk melepaskan diri sekaligus mematahkan tangan si monster.

Beberapa serangan dia hindari, pada kesempatan lain dia mamfaatkan satu monster menjadi perisainya. Namun kemudian, kera-kera tersebut secara bersamaan mengunci tangan dan kaki Asep, hingga membuatnya sulit bergerak. Kesempatan itu tak disia-siakan para Kera. Belasan, bahkan puluhan Kera melompat mencoba menindih Asep hingga membuat gundukan Kera setinggi bukit.

Tiba-tiba.

"PAPATONG... BATAGOR... KUAH!!"

Asep berteriak sambil merentangkan kedua tangannya dan berputar, persis seperti gangsing. Membuat puluhan kera-kera licik yang menyerangnya berterbangan jauh.

•••

Di sela-sela perang yang berkecamuk, beberapa Wota Knight malah asyik merumpi.

"Aku kok malah kasian melihat monster-monster itu, tadi aku sempat bertanya, kenapa tak dihabisi saja monster-monster itu? Dia menjawab 'Preman tidak pernah membunuh, bila preman membunuh, dia bukan lagi seorang preman. Dia hanya penjahat biasa,' begitu katanya." Ucap satu Wota Knight.

"Tapi lihatlah, dia sendiri lebih mirip monster dari monster-monster yang kita hadapi."

"Yang penting dia di pihak kita, ayo selesaikan misi, sebelum Tamon Rah muncul!"



Di tempat lain.

Dominica dan Chubox si kotak monster terpisah cukup jauh dari rombongan penyerang yang dipimpin Asep.

"Kayaknya dia bisa nyelesaiin misinya sendiri." ucap Chubox

"Gak, perintahnya jelas, kita harus hancurin menara itu bersama-sama. Tapi bukan itu yang harus kita khawatirkan. Waktu lima menit telah terlewat dan liat ke langit, bulannya semakin lama semakin membesar!"

Chubox kemudian melihat ke atas. "Terus kenapa kalau bulannya membesar?"

"Dasar, kau tadi dengerin gak sih penjelasan si maid?" tanya Dominica kesal. "Setelah lima menit, Tamon Rah akan muncul tau!"

"Aku kan tadi terlalu sibuk berantem ma si Asep." Jawab Chubox.

"Tapi ngomong-ngomong, kemana perginya si kucing itu?"

•••

[6]
Seekor Kuda Yang Datang (Dari) Bulan


Sesuai perkataan si maid. Setelah lima menit, hal yang dijanjikan pun tiba.

Adalah Bulan Alkima, salah satu satelit yang mengelilingi Alforea, mulai melenceng dari orbitnya dan turun menuju Shohr'n Plain. Hingga pada suatu ketinggian tertentu, bulan berdiameter sepuluh kilometer itu berhenti di udara, permukaannya mulai bergetar hebat.

Dan GATCHAAA!!

Bulan kecil itupun terbelah dua, dari pusat bulan keluarlah sosok yang ditunggu-tunggu. Sang kuda legendaris setinggi lima puluh meter pun muncul. Sayap hitam dan sepasang tanduk yang mencuat dari kepalanya membuat siapapun yang melihatnya akan merasakan kengerian luar biasa.

Dialah TAMON RAH. Sang kuda semesta beberapa menyebutnya, yang berlari di udara dan meninggalkan jejak membara di angkasa.

Seakan memberi salam perkenalan, Sang Kuda Legendaris mengepakkan kedua sayapnya dan menembakan puluhan bola api raksasa ke segala arah. Saat hujan bola api tersebut mengenai tanah, ledakan bertubi-tubi pun tercipta. Bukan hanya Wota Knight, pasukan monster pun ikut menjadi korban keganasan bola api Tamon Rah.

"Itu yang harus kita segel?" teriak Dominica, baik dia maupun Chubox hampir tak percaya dengan penglihatannya sendiri.

Tamon Rah kemudian berlari ke arah Dominica, dan tiba-tiba menyerang pasukan Wota Spesialis di sebelah mereka yang bersiap dengan ajiannya. Sepasang kakinya menghujam tanah, ledakan yang ditimbulkan dari hanya hujaman kakinya setara dengan bom berkekuatan satu ton TNT. Tak ada satupun Wota Spesialis yang selamat.

Dominica dan Chobox hanya bisa gemetaran melihat kejadian tersebut.

"Itu kemampuan untuk mendeteksi kemampuan, seperti yang diceritakan si maid!" seru Chubox, "Ng, kenapa kau menutupi mulutmu?"

Dominica hanya bisa mengeleng-gelengkan kepalanya.

Sang kuda raksasa sendiri langsung kembali terbang ke angkasa dan mulai berputar-putar.

•••

Sementara di pusat kota. Asep yang juga melihat kedatangan sang kuda hanya bisa ternganga.

"Kucing yang bisa bicara, kotak hidup yang pikaseubeleun, tujuh raksasa dan ribuan monster... dan saya pikir gak ada lagi yang bisa bikin saya terkejut."

Asep melirik menara kembar yang menjulang di pusat kota yang berjarak seratus meter darinya. Dia pun kemudian melihat ke arah makhluk raksasa yang terbang di atasnya. Asep pun tersenyum.

Tangannya kemudian meraih dua biji kopi yang tersembunyi di balik gesper sabuk celananya. Dua biji tersebut diremasnya hingga bubuk, dan setelahnya bubuk kopi itu pun dioleskan ke masing-masing keteknya. Orang-orang yang melihat mungkin akan merasa jijik, tapi itu sebenarnya adalah persiapan untuk sebuah ajian rahasia yang dia pelajari saat dulu masih berkerja di kedai kopi milik Kang Aslan. Nama ajian tersebut adalah Ballista Armpits.

Efek dari ajian itu adalah membuat otot-otot tangannya sekuat baja, lebih kuat dari sebelumnya. Tato hitam yang menghiasi lengannya mulai berubah warna menjadi merah, kedua tangannya mulai bergetar.

Tamon Rah yang sebelumnya berputar-putar, tiba-tiba melaju ke arahnya, kuda raksasa tersebut seakan menyadari sebuah bahaya mengancam. Asep yang melihat hal itu mengambil sebongkah batu, kemudian memasang kuda-kuda layaknya seorang pelempar bisbol.

"KOPISAESETAN!!"

Asep melempar bongkahan batu tersebut sekuat tenaga. Batu yang dilemparnya melesat dengan kecepatan tinggi dan tepat mengenai kepala Tamon Rah, hingga membuat si kuda raksasa terkaget-kaget dan terbang menjauh.

"Hei kalian," seru Asep pada para Wota Knight yang masih bertempur melawan monster-monster lain, "Selama tiga puluh detik, tolong jaga supaya tidak ada musuh yang mengganggu saya."

Para ksatria itu saling berpandangan, tapi kemudian menggangguk, tanda mengerti. "Ba Baiklah, kami laksanakan!"

Asep pun pergi di atas tumpukan tubuh monster-monster yang tadi dia kalahkan dan berdiri di atasnya. Kemudian dia pun bernyanyi.

"Halo-Halo Bandung, Ibukota Periangan~
Halo-Halo Bandung, Kota Kenang-Kenangan~"

Bukan hanya pasukan Wota Knight, pasukan monster pun sampai berhenti sejenak ketika mendengar nyanyian Asep. Tentu bukan karena mengagumi suaranya, tapi lebih ke heran, orang ini ngapain sih, begitu kira-kira.

Sementara itu di kejauhan, Tamon Rah terbang memutar. Sang kuda raksasa itu sepertinya masih berniat untuk menerjang Asep.

•••

Sebelum kita melihat apa yang akan dilakukan Asep, sebelumnya mari kita kembali ke saat sebelum Tamon Rah muncul.

Tanpa disadari oleh siapapun, seekor kucing belang dengan lincahnya bergerak melewati sela-sela kaki para monster. Sesekali dia bersembunyi di balik bayangan malam, menunggu musuh terkecoh. Dibantu serangan Asep yang membabi buta, membuat tak seorangpun memperhatikan kehadiran dirinya.

Dialah Yu Ching, kucing pertama yang tiba di menara kembar. Tapi kenapa si kucing berada di sana?

Itu karena si kucing merasa dia akan lebih dihargai bila berhasil menghancurkan menara itu sendirian. Dia berpikir setibanya di sana dia pasti akan mendapatkan cara, begitulah rencananya.

Tapi pada kenyataan.

Di hadapannya berdiri menghadang satu monster setinggi dua meter lebih, dia adalah Si Raja Tengkorak Kribo Emas.

"Wah wah, selamat kucing kecil, kau jadi yang pertama tiba di sini. Tapi mana rekanmu? Dua menara ini tidak bisa dihancurkan oleh satu orang saja." jelas si tengkorak hidup, sementara itu di belakangnya terdengar suara musik nyaring dengan nada-nada yang tak beraturan. Memekakkan telinga siapapun yang mendengarnya.

Tak memperdulikan Si Raja Tengkorak, Yu Ching pun menyerang dengan kedua cakarnya. Berhasil, tubuh Si Raja Tengkorak hancur berantakan. Yu Ching tersenyum puas, tak menyangka serangannya tepat sasaran.

Tapi tentu tak semudah itu. Senyuman Yu Ching menghilang saat melihat tubuh Si Raja Tengkorak kembali bersatu seperti sedia kala. Si Raja Tengkorak pun terbahak, mentertawakan si kucing belang.

"Kau masih terlalu cepat seratus tahun untuk berpikir bisa mengalahkanku kucing kecil, aku tidak akan mati... Tidak selama Irama Semesta ada di genggamanku!" ucap Si Raja Tengkorak.

Yu Ching tak bisa berkata apa-apa, wajahnya pucat. Muncul keraguan dalam hatinya. Dia tak mungkin bisa mengalahkan Si Raja Tengkorak yang perkasa, karena dia hanya seekor kucing.

Tak lama setelah itu Tamon Rah pun muncul dan mulai menggila.

"Kembali ke sini setelah kau membawa temanmu, nak," lanjut Si Raja Tengkorak, "Kau takkan bisa melakukan"

Ucapan si Raja Tengkorak berhenti ketika dia mendengar suara nyanyian di kejauhan. "Su Suara jelek siapa ini?!"

Si Raja Tengkorak dan Yu Ching kemudian menyaksikan bagaimana Tamon Rah melaju dengan kencang ke suatu arah.



"KOH PEE LOO WAAAAK!!!" Asep berteriak sambil mengarahkan kedua tangannya ke arah Sang Kuda Raksasa.

Dan ledakan dahsyat pun terjadi.


•••

[7]
Satukan Hati, Satukan Tujuan


Asep perlahan membuka matanya, rasa sakit akibat ledakan tadi masih perih terasa. Tapi tubuhnya merasakan kehangatan yang berdenyut, seakan terkena sapuan ombak di sore hari.

"Ini teh di mana?" tanyanya sembari melihat sekeliling, dilihatnya Yu Ching sedang duduk di dekatnya. Ruangan tempat dia berbaring cukup sempit, bahkan tidak bisa disebut ruangan. Walau dengan penerangan yang minim tapi Asep bisa melihat ruangan itu tak lebih luas dari toilet umum di Balai Kota.

"Ucing, tempat apa ini?" tanyanya sekali lagi, tapi Yu Ching terus terdiam, sementara itu di bawah kaki si kucing sebuah lingkaran sihir menjadi alas bagi mereka berdua. Saat itu Asep menyadari kalau kehangatan yang dirasakannya berasal dari sihir Yu Ching.

"Ternyata kamu bisa sihir penyembuh ya?" ucap Asep.

"Huh, kamu ini banyak nanya ya!" seru Yu Ching kesal, "Jangan ganggu konsentrasiku, aku belum selesai mengobatimu, tunggu sebentar lagi."

"Cukup, saya gak apa-apa," jawab Asep yang kemudian mencoba berdiri.

"Gak apa-apa apanya?! Kamu tadi pingsan cukup lama, waktu tadi Tamon Rah menyerang, kamu terhempas cukup jauh dan sepertinya kepalamu membentur dindng batu."

"Udah cukup, sakitnya gak terasa lagi kok, sihir penyembuh kamu berhasil mengobati saya."

"Kamu ini ya, aku bisa melihat luka di kepalamu itu masih belum kering!"

Asep hanya tersenyum, "Ucing, terima kasih, tapi saya udah mendingan, luka segini mah biasa buat saya... Lagipula misi kita belum selesai kan?"

Yu Ching hanya bisa menghela nafas mendengar ucapan Asep. "Dasar manusia, selalu saja memaksakan diri."

"Jadi... Kita sekarang ada di mana? Gimana caranya kita keluar?"

"Kita sedang berada di ruangan antar dimensi... dan sepertinya sebentar lagi dia akan bergerak." Ucap Yu Ching yang kemudian memanjat ke punggung Asep.

"Hah, ruangan antar dimensi? Terus maksudnya berge" pertanyaan Asep langsung terjawab saat ruangan itu mulai bergetar dan hampir membuat Asep jatuh kalau saja dia tidak sigap menjaga keseimbangan.

"Pegangan pada sesuatu!" terdengar suara teriakan dari luar, atau lebih tepatnya suara ruangan itu sendiri.

"Eh, ini suara si kotak itu kan? Jangan-jangan kita sekarang"

"Ya, kita sekarang berada di dalam si kotak." Jawab Yu Ching.

"Si kotak si kotak... semua orang memanggilku si kotak, aku punya nama tau!" teriak si kotak monster kesal, "Panggil aku Chubox!!"

Toeng!! Toeng!! Toeng!! Duaaarrr!!

Berkali-kali terdengar suara keras pegas yang menyentuh permukaan tanah berpasir, disertai suara ledakan yang saling bersahutan.

"Kita sedang melompat-lompat ya?" tanya Asep. "Ugh, bisa-bisa ongkek kalau gini terus!"

"Ongkek?" tanya balik Yu Ching yang berpegangan erat pada kaos Asep.

"Lupakan saja, ng, kita ini sebenarnya ngapain? Ayo, cepat keluar!"

"Jangan keluar dulu, sekarang Chubox sedang mati-matian menghindari serangan bola api Tamon Rah. Kalau kita keluar sekarang, usahanya melindungi kita akan sia-sia!"

"Apa!!" ucap Asep kaget, "Justru karena itulah kita harus keluar! Katakan di mana pintu keluarnya?"

"Mana aku tahu, tadi Chubox buru-buru menyuruhku masuk!"

DUAAARRR!!!

Saat itu terdengar ledakan yang cukup keras, kemudian pergerakan Chubox pun berhenti, tak terdengar apapun. Baik Asep maupun Yu Ching sempat terdiam menunggu.

"Eh iya, katamu tadi kita berada di ruang antar dimensi si kotak... Kira-kira apa yang terjadi kalau si kotak hancur?"

"Ja Jangan berkata yang nggak-nggak!" ucap Yu Ching, namun jelas dirinya mencemaskan hal yang sama.

"Seenaknya saja kalian meremehkanku, aku ini terbuat dari kayu pohon Mas Adam tau!"

"Pohon Mas Adam... apaan itu?" tanya Yu Ching penasaran.

"Pohon Mas Adam adalah pohon terkuat di dunia, konon katanya kayu dari pohon itu tidak mempan dibor!" seru Chubox semangat.

"Siapa peduli, mau kayunya Mas Adam atau Mas Epul, yang penting keluarkan kami dari sini!" bentak Asep.

"Huh, gak tau balas budi, pengen enaknya aja... Cepat keluar dari tubuhku!" balas Chubox.

"Ambigu sekali." Ucap Yu Ching.

Sebuah lubang kemudian muncul di atas kepala Asep. "Pegangan padaku, jangan jatuh ucing!" dengan sekali hentakan, Asep melompat ke pintu keluar yang ternyata mulut kotak tersebut. Berpegangan ke sisi mulut kotak, Asep pun memanjat keluar. Saat melihat ke sekeliling, padang pasir yang asalnya menjadi medan peperangan antara manusia melawan monster itu sudah berubah menjadi lautan api.

Bukan hanya di daratan, bentuk kengerian itu juga terlihat di langit malam yang tertutup awan merah. Tamon Rah masih terus berlari menggila, meninggalkan jejak berapi yang membakar angkasa.

"Dasar, kuda kampret!!" umpat Asep.

"Asep, lihat Chubox!" teriak Yu Ching yang sontak membuat perhatian Asep beralih.

Dilihatnya kondisi badan Chubox yang hampir tak berbentuk, tidak ada satu sisipun dari kelima sisinya yang tak rusak parah. Satu pegas baja di bawahnya telah menghilang, sementara pegas di sebelahnya pun bengkok. Sebelah mata di bagian penutup kotaknya juga ikut hilang, digantikan lubang yang menganga.

"Oi, katamu kau terbuat dari kayu terkuat di dunia?!" ucap Asep.

"Jelas dia berbohong, mana ada kayu seperti itu kan?" ucap Yu Ching dengan nada sedih.

"Diam kalian, ja jangan cemaskan aku, bukan saatnya membahas hal itu tau!" balas Chubox, terlihat jelas dia menahan rasa sakit. "Aku sudah menjalankan tugasku, sekarang giliranmu!"

"Giliran saya?" tanya Asep kebingungan.

"Ada misi yang harus diselesaikan Tuan Asep!" suara itu lantang terdengar dari belakang mereka bertiga. "Kita harus menyegel kuda sialan itu!"

Suara itu berasal dari Dominica yang datang bersama puluhan prajurit Alforea yang tersisa.

"Menyegel? Maksudmu dengan menghancurkan dua menara itu secara bersamaan?" tanya Asep.

"Ya emang gimana lagi caranya? Si maid jelas-jelas memberi instruksi seperti itu, hancurkan dua menara bersamaan dan semua mimpi buruk ini pun berakhir!" balas Dominika.

"Itu sih cara yang gampang," lanjut Asep. "Lebih menarik kalau kita juga menghajar si kuda buta!"

Nada-nada sangsi bercampur takut mewarnai reaksi terhadap perkataan Asep, tapi Dominika hanya diam dan menatap tajam Asep. Setelah beberapa saat gadis itu menghela nafas dan tersenyum.

"Sudah kuduga itu pasti tujuanmu... Kalau gitu, kita butuh rencana."

•••

[8]
Serangan Balik!

Asep terus berlari dan berlari, sementara itu di belakangnya Tamon Rah, si kuda raksasa dengan beringas mengejarnya.

"Padahal cuma sekali aja Kopisasetan kena wajahnya, tapi..."

Tamon Rah menggunakan kedua kaki depannya untuk menghantam tanah yang dilalui Asep. Seperti kejatuhan meteor, sesaat setelah kedua kakinya menyentuh permukaan tanah, terjadi ledakan gelombang yang sangat dahsyat di sekelilingnya. Gelombang itu menerbangkan makhluk-makhluk tak beruntung di sekitarnya, sementara di bekas hantaman dua buah cerukan berdiameter lima belas meter pun tercipta.

Lalu di manakah Asep?

Sesaat sebelum kedua kaki depan Tamon Rah menyentuh tanah, ternyata Asep telah lebih dulu menghindar dengan melompat sangat jauh. Saat dia mendarat, tercipta gelombang dahsyat di sekeliling tempatnya berpijak. Walau tentu saja tidak sekuat injakan Tamon Rah, tapi cukup membuat beberapa makhluk di sekelilingnya terhempas jauh.

"Kayaknya saya lompat terlalu jauh," ucap sang preman, "Ini jangan-jangan..."

Asep melihat sekeliling untuk memastikan, ternyata dia memang berada di tengah-tengah reruntuhan kastil dan menemukan kedua menara itu masih berdiri tegak. "Baiklah, saya hanya harus memancing si Kampret dengan Kopisasetan."

"Tidak akan bisa," ucap sesuatu di belakang Asep, "Di tempat ini, cast detector milik Tamon Rah tidak akan sampai, jadi skill apapun yang kau coba keluarkan, dia tidak akan datang."

Asep celingak celinguk mencari sumber suara tersebut, dia pun melihat sekumpulan tulang belulang yang sepertinya sempat menjadi korban hempasan kaki Asep. Tulang belulang itu pun satu per satu mulai bergabung kembali membentuk tubuh semula, tidak lupa dengan tengkorak berambut kribo emasnya.

"Ah, kamu pasti si Raja Tengkorak yang dibicarakan si Ucing," ucap Asep, "apa maksudmu cast detector Tamon Rah tidak akan sampai?"

"Kamu dengar suara musik yang kumainkan? Musik ini menyamarkan fungsi deteksi yang dimiliki Sang Tamon Rah, ini adalah kemampuan sejatiku, Muse Kakofoni."

Asep coba menyimak sekelilingnya, dan memang benar dia mendengar bunyi-bunyian aneh bernada kacau. "Muse Kakofoni? Kalau ini skill, bukankah seharusnya Tamon Rah juga menyerangmu?"

"Sayangnya tidak, karena basis Muse Kakofoni adalah irama yang ada di seluruh alam semesta, dan irama yang kumaksud adalah udara, angin, arus listrik yang bergerak melewatinya hmm, pergerakan atom. Yang kulakukan hanya mengubah frekuensinya saja."

"Asa gak masuk akal."

"Begitulah," ucap si Raja Tengkorak, "Tapi aku heran, Muse-ku harusnya membuat manusia biasa menjadi gila. Sementara kau bisa bertahan, seperti tidak merasakan apa-apa. Makhluk apa sebenarnya kau?"

"Bukan hal yang penting," jawab Asep, "Oh iya, kata si Ucing, kamu beneran gak bisa mati ya?"

"Ya, aku tidak bisa mati. Kau tidak akan bisa membunuhku."

"Gitu ya." Ucap Asep sambil mengangguk-angguk tanda mengerti.

"Jadi apa kau yang akan melawanku sekarang?" tanya si Raja Tengkorak, sambil mengambil kuda-kuda siap bertarung.

Mendengar tantangan si Raja Tengkorak, Asep sejenak berpikir.

"Tidak, lawanku si kuda terbang, tapi terima kasih infonya, saya harus keluar dari wilayah reruntuhan ini kalau mau mancing si kuda."

Tanpa basa-basi, Asep pun berlari meninggalkan si Raja Tengkorak yang hanya bisa melongo. Tidak jelas ekspresi apa yang ditunjukkan wajah tengkoraknya tersebut.

•••

"Sudah kubilang pake rencana A!" teriak Asep sambil menyentuh telinganya, "Tapi kamu malah nyuruh saya pake rencana D dulu."

Preman tersebut berlari kencang melewati hadangan pasukan monster yang semakin bertambah. Tanpa niat bertarung, Asep berlari sambil terus mengelak serangan-serangan yang ditujukan kepadanya. Beberapa monster yang kebetulan berada tepat di depannya, ditubruknya sampai terpental. "Minggir siah!"

"Memangnya kenapa?" tanya Nica yang juga menyentuh telinganya. Lokasi Asep dan yang lain saat ini terpaut cukup jauh, namun berkat teknologi Earchat yang dipinjam dari pasukan Alforea, keduanya sekarang bisa berbicara bebas.

"Sihir si Raja Tengkorak membuat sonar si Kuda gak bisa sampai ke Menara Kembar. Makanya" Asep yang sedikit terhalang, kemudian melompat setinggi-tingginya dan BRAAK!!

Asep mendarat di kerumunan pasukan monster yang tak siap. Efek jatuhannya menyebabkan hempasan gelombang yang membuat tanah sekitarnya berhamburan, menyebabkan para monster terlempar.

"Siapkan rencana A, saat saya tiba di sana, benda itu sudah harus ada!!" seru Asep. Dia kemudian memeriksa ketiaknya dan mendapati warnanya sudah kembali cerah, berbulu tapi cerah.

"Baiklah... sekali lagi!" Asep pun mengeluarkan empat biji kopi sekaligus dari gesper sabuknya, empat biji kopi tersebut di pecahkannya dan kemudian dioleskannya pada ketiaknya. Dan seperti sebelumnya, kedua tangannya bergetar hebat. Tato tribal di kedua lengannya berubah warna menjadi merah menandakan ajian Ballista Armpits yang disematkan di tubuhnya telah kembali aktif.

Sementara Asep melakukan sesi oles pada ketiaknya, monster-monster yang sebelumnya terlempar telah kembali bangun dan mengepung Asep. Mereka bersiap untuk menyerang dan mengeroyok preman tersebut, namun sebelum mereka berhasil melakukannya, Asep mengangkat kaki kanannya tinggi-tinggi.

"PAPATONG... MARTABAK... TELOR!!" Asep menghantamkannya kaki kanannya tersebut menghujam tanah, lagi-lagi menghamburkan tanah bebatuan di sekitarnya, memecah kepungan monster-monster di sekeliling Asep.

"Punten ah," ucap Asep meminta maaf, "Tapi saya udahan olahraga ma kalian!"

Sementara itu, Tamon Rah yang merasakan skill aktif Asep, berbalik arah dan melaju menuju tempat Asep berdiri.

Asep yang menyadari hal itu kemudian melarikan diri sekencang-kencangnya, menjauhi si kuda raksasa. Tentu saja itu tak semudah melarikan diri dari kejaran Satpol PP, Asep harus berlomba dengan monster setinggi lima puluh meter. Jarak seratus meter bagi Asep, mungkin hanya dianggap berjarak dua atau tiga langkah bagi si Tamon Rah. Ditambah lagi dengan banyaknya monster yang menghalangi jalur lari Asep, sedikit banyak menyulitkan si bos preman tersebut.

Tapi Asep tak hilang akal, saat si kuda raksasa terasa mulai mendekat, saat itulah Asep melompat ke arah sebaliknya. Sesekali Asep berhenti untuk melancarkan jurus Kopisasetan hanya supaya Tamon Rah terus mengejarnya.

"Ayo sini, kejar terus!" teriak Asep. "Domie, siap atau gak siap, saya ke sana!"

•••

Di tempat lain, tak jauh dari reruntuhan menara kembar. Dominica dan sisa pasukan Alforea terus berjuang mempertahankan posisi. Mereka membentuk lingkaran semacam benteng berlapis untuk melindungi Dominica dan yang lainnya. Setelah terkena hipnotis plus sugesti gadis tersebut, para prajurit Alforea menjadi lebih bersemangat dan bertambah kekuatannya. Satu prajurit Alforea sekarang sebanding dengan seratus monster.

Saat ada monster mendekat, barikade perisai akan melumpuhkan mereka dengan cepat. Bila ada yang bisa melewati lapis pertama, maka akan terkena pasukan kedua. Dan terakhir lapis ketiga berisi pasukan pemanah yang memberi dukungan serangan jarak jauh.

Sementara itu di lingkaran paling dalam, Dominica dan Yu Ching, serta satu prajurit sedang berdiskusi.

"Asep sebentar lagi menuju ke sini, apa kau yakin gambarnya seperti ini?" tanya Dominica yang tampak tidak yakin dengan coretan yang digambarkan satu prajurit di atas pasir.

"Saya yakin Nona Dominika, ini adalah senjata yang dimaksud oleh Tuan Asep. Tapi saya memodifikasinya supaya arah lontarannya jadi vertikal." Jawab si prajurit.

"Modifikasi ya? Tapi namanya aneh, gak ada bagus-bagusnya." Ucap Dominica masih tidak yakin.

"Soal itu gak penting, meong!" seru Yu Ching, "Keseluruhan rencana A itu sendiri kurang meyakinkan tau! Harusnya rencana C!"

"Atau B!" timpal Chubox, tubuh kotaknya sekarang tampak lebih rapi setelah diperbaiki oleh salah satu Wota Knight yang merangkap sebagai tukang kayu.

Saat mereka masih sibuk berdebat, seorang prajurit Alforea menunjuk ke suatu arah, "Tuan Asep, dia menuju kesini! Di belakangnya... Tamon Rah sedang mengejarnya!"

"Domie, kau harus cepat membuatnya, meong!" ujar Yu Ching.

"Iya tau, uh, sial, ini pertama kalinya aku diperintah kucing!" balas Dominica, "Minggir semua, kosongkan area!"

Semua prajurit pun mematuhi gadis tersebut, memberikan ruang padanya untuk melakukan skillnya. Gadis itu menutup matanya, mencoba berkonsentrasi di antara bisingnya medan perang. Sesaat kemudian dia membuka matanya dan berteriak. "Munculah, MANGONEL MODIFIKASI!!"

Tiba-tiba muncul di hadapan mereka, sebuah Mangonel, yaitu mesin pelontar batu yang berasal dari perang jaman dulu.

"Benda sebesar ini tidak akan bertahan lama, cepatlah Asep!" seru Dominica.

Jarak Asep dan Dominica terpaut lima puluh meter lagi, Asep terlihat bersiap melakukan serangan Kopisaesetan-lagi untuk menyamarkan skill aktif Dominica. Tapi sebelum si preman itu bisa melakukannya, Tamon Rah memulai kuda-kuda untuk melakukan serangan bola apinya.

BUM! BUM! BUM!

Tanpa ampun, si kuda raksasa itu pun melancarkan serangan bola api raksasa dari kedua sayapnya. Bola api sebesar manusia bertaburan seperti meteror, mengenai tepat di lokasi Asep akan melompat. Semua monster yang kebetulan berada dekat sudah tak mungkin selamat. Semua orang hanya bisa terpana, mereka memikirkan yang terburuk terjadi pada Asep.

Namun tepat di saat semua orang sudah hilang harapan, sesosok bayangan terlempar dari lokasi pemboman. Asep bergulingan di tanah, secara ajaib selamat dari serangan membabi buta Tamon Rah.

Sepertinya dalam waktu sekian detik, Asep bisa melompat dan melepaskan diri dari hujan bola api. Sementara Tamon Rah sendiri, usai melakukan serangan rutinnya, kembali berputar-putar di angkasa Shohr'n.

"Uh, aku kira kau tidak selamat, meong!" ucap Yu Ching terharu.

"Iya, dasar brengsek, mesin anehnya udah kubuat tuh, terserah mau diapain, tapi cepat, waktunya terbatas!" jelas Dominica.

Dengan susah payah Asep berdiri, darah mengucur dari kepalanya. "Ba Bagus, saya berangkat dulu," ucap Asep.

"Kau terluka lagi!" bentak Yu Ching.

Asep hanya tersenyum, "Yu Ching, saya ketemu si Raja Tengkorak, kamu harusnya bisa mengalahkannya."

"A Apa maksudmu? Dia monster yang tidak bisa mati, kalau kau sudah bertemu dengannya harusnya kau tahu itu!" bantah Yu Ching, "Aku... tidak mungkin bisa megalahkannya, meong."

Asep perlahan kemudian menduduki semacam mangkok pelontar yang ada di Mangonel. "Kau bisa mengalahkannya, kau kan punya jurus penyembuh."

"Eh?" Yu Ching sempat terdiam, namun kemudian dia meloncat pergi meninggalkan Asep dan yang lainnya. Melihat itu Asep hanya tersenyum.

"Mau kemana dia?" ucap Dominica heran.

"Tuan Asep, semua sudah siap!" seru satu prajurit yang menjadi operator dadakan Mangonel.

"Bagus, pastikan bidikanmu"

"Aku ikut." Ucap Chubox yang tiba-tiba melompat ke pangkuan Asep.

"Hei hei, berat tau nih, buat apa juga kamu ikut, saya bisa kok sendiri." Ucap Asep.

"Gak sopan tau, bilang berat sama cewek,"  balas Chubox, "Anggap aja aku sebagai senjata rahasia."

"Ce Cewek?!"

Belum sempat Asep bereaksi lebih lanjut, Dominica lantang berteriak, "Lempar!!"

Dan senjata Mangonel pun melaksanakan tugasnya. Diiringi pekikan ngeri, kedua makhluk beda jenis itu terlempar setinggi-tingginya. Jauh ke angkasa melebihi Tamon Rah yang masih sibuk menggila. Tak lama setelah itu, Mangonel pun menghilang.

"Dasar, kalian terlalu banyak bicara, sudah kubilang waktu materialisasi-nya sebentar, kan?" ucap Dominica sembari mendengus, "Soal banyak bicara, cukup aku saja yang melakukannya!"

•••

[9]
Sang Penakluk

Beberapa menit sebelumnya.

"... Kalau gitu, kita butuh rencana," cap Dominica, "Kita pancing Tamon Rah untuk menghancurkan dua menara kembar itu, kata si kucing, di sana ada monster penjaga yang sangat kuat."

"Kamu sudah ke sana Ucing?" tanya Asep. "Kau bertarung dengan monster itu?"

"Sudah, jangan dibahas, yang jelas untuk menghancurkan menara itu, kita harus mengalahkan penjaganya dulu." Jelas Yu Ching. "Jadi sebaiknya kita cepat ke reruntuhan"

"Gak, menurut saya, kita jatuhkan saja si kuda!" ucap Asep mantap.

"Masih aja pengen ngejatuhin... Kamu gak lihat seberapa tinggi kuda itu, meong!" teriak Yu Ching.

"I Iya, kenapa harus menjatuhkan si kuda sih?" tambah Dominica. "Si maid sudah memberi tahu cara untuk menyegel Tamon Rah. Kenapa harus repot-repot menjatuhkan si kuda?"

Asep terdiam sejenak. "Karena semua peserta pasti akan melakukannya."

"Hah, maksudnya?" Dominica dan Yu Ching saling berpandangan.

"Coba pikir, ini adalah babak penyisihan, mereka pasti tidak akan memilih para peserta yang biasa-biasa saja. Semua orang mungkin akan mencari cara yang mudah dalam menyelesaikan misi ini... Tapi hanya orang gilalah yang akan terpilih, orang yang hidup di jalan kekerasan adalah yang akan bertahan."

"Kalian tahu kenapa? Karena ini adalah Battle of Realms!"

•••

Kembali ke masa sekarang.

Asep dan Chubox terlempar sangat tinggi, sementara itu sebuah tambang tampak menjerat tangan sang preman. Tambang itu sendiri adalah 'tangan' Chubox yang ikut saat Mangonel hasil kreasi Dominica melontarkan mereka berdua.

Saat ini berada di ketinggian dua ratus meter dari permukaan tanah. Dia bisa melihat semua yang terjadi di bawah dengan lebih jelas. Dilihatnya Tamon Rah kembali melontarkan puluhan bola api raksasa.

"Ternyata benar, si kuda itu berputar-putar membentuk angka delapan, dan juga soal serangan bola api yang berjeda lima menit, semuanya tepat... Chubox bersiaplah!"

Setelah momentum lontaran itu habis, mereka berdua pun mulai merasakan gravitasi Alforea menarik mereka ke bawah. Dengan kata lain, mereka berdua sekarang terjun bebas.

Tujuan pendaratan mereka hanya satu, yaitu punggung Tamon Rah yang terbang di bawah mereka.

"Apa rencanamu supaya kita bisa tepat mendarat di punggungnya?" tanya Chubox. "Kau punya rencana kan?"

"Tidak." jawab Asep singkat. "Oh iya, gaya bicaramu sekarang gak sekasar tadi ya?"

"Bukan waktunya ngebahas itu!" balas Chubox, "Kalau kita melewatkan tempat pendaratan, kita akan jatuh ke tanah... dan mati!"

"Makanya, jangan sampai terlewat." ucap Asep santai. "Oh iya, jaketku masih aman kan?"

"Jaket apa?"

•••

Sementara itu di bawah. Dominica yang tinggal bersama para Wota Knight yang tersisa, memimpin mereka untuk terus berjuang.

"Teman-teman, kita tinggal menunggu Asep menyelesaikan tugasnya. Tapi tugas kita belum selesai, kita harus terus berjuang dengan semangat!"

"Biar kuberi tahu, kalian sebenarnya sama kuatnya dari Asep... Tidak, bahkan kalian lebih kuat, tau kenapa? Bukan saja karena kalian memakai zirah, tapi kalian juga memegang senjata, dan satu lagi alasannya... Karena kalian adalah Ksatria Alforea!"

Para Wota Knight yang mendengarnya menjadi sangat bersemangat dan mulai mendesak pasukan monster yang tersisa keluar dari Shohr Stone. Kekuatan mereka seakan kembali pulih setelah mendengar ucapan Dominica. Ucapan yang sebenarnya sederhana itu, bila diucapkan oleh dirinya berubah menjadi kekuatan Sugesti yang mumpuni. Itu juga adalah satu kekuatan yang dimiliki oleh Dominica.

Dan karena itu pulalah, Tamon Rah dengan kemampuan cast detector-nya, mengubah arah dan melesat menuju Dominica dan kawan-kawan. Tapi itulah yang diharapkan.

•••

Di tempat lain, di reruntuhan kastil tempat menara kembar berdiri. Seekor kucing belang untuk kedua kalinya berhadap-hadapan dengan Si Raja Tengkorak.

"Setelah melarikan diri seperti itu, aku pikir tidak akan bisa melihatmu lagi kucing kecil," ucapnya mengejek, "Tapi aku tetap tak melihat teman-temanmu, di mana mereka?"

"Teman-temanku sedang menyelesaikan tugas mereka, meong."

"Lalu, apa yang kau lakukan di sini? Kenapa tidak membantu temanmu?"

"Aku juga akan menyelesaikan tugasku sendiri... yaitu mengalahkanmu! Meong!"

Si Raja Tengkorak hanya tertawa mendengar ucapan si kucing, "Kalau memang bisa, apa yang kau tunggu? Cepat serang aku!" tantang si Raja Tengkorak.

"Sudah kulakukan dari tadi, meong!"

Tak disadari oleh Si Raja Tengkorak, sebuah lingkaran sihir telah terlukis di bawah kakinya. Lingkaran tersebut bersinar terang, mengalirkan gelombang hangat padanya.

"Apa sebenarnya yang" tapi terlambat, Si Raja Tengkorak mulai merasakan efek sihir penyembuh yang dilancarkan Yu Ching. Tubuhnya perlahan mulai hancur, tulang-tulang kokoh penyusunnya mulai retak. Pun rambut kribonya yang mulai terbakar. Sihir penyembuh yang seharusnya menyembuhkan bagi makhluk hidup biasa, berakibat fatal bagi makluk mati seperti Si Raja Tengkorak.

"Ah, pintar, ini adalah heal dan aku adalah undead, aku tak menyangka kau memiliki sihir tersebut... Sungguh cermat."

"Temanku yang memberitahuku, meong."

"Aku lengah, aku kalah, aku terlalu memandang rendah dirimu kucing kecil... Siapa namamu?"

"Namaku Yu Ching, aku adalah kucing medis dari Kerajaan Kucing."

"Namaku SAL" Tubuh Si Raja Tengkorak pun menghilang sepenuhnya, begitu pula musik dengan nada tak beraturan yang mengiringinya sudah tak terdengar lagi.

"Semoga kau beristirahat dengan tenang... Sal."

Dengan dikalahkannya Si Raja Tengkorak, sihir yang menutupi dan melindungi reruntuhan pun menghilang.

•••

Di angkasa, jarak antara Asep dengan Tamon Rah hanya tinggal sepuluh meter lagi.

"Tamon Rah terpancing ilmu yang dikeluarkan Dominica... Dia sekarang tepat di bawah kita!" teriak Chubox.

"Iya tau!" balas Asep. "Siap-siap!"

"Kuharap mereka semua bisa memghindar!" seru Chubox.

Tamon Rah dengan kekuatan penuh menghantam tanah di bawahnya, menghancurkan siapapun yang berkumpul di sana. Makhluk besar itu tak menyadari ada dua orang yang berniat menungganginya. Tapi mungkin memang tak semudah itu.

Tepat saat Asep dan Chubox akan mendarat di punggungnya, Tamon Rah merasakan satu skill aktif di kejauhan, tepatnya di reruntuhan tempat dua menara kembar berdiri.

"Sial, dia akan bergerak lagi!" seru Asep. "Kuda itu pasti merasakan sihirnya si kucing!"

"Tuh kan, tidak akan mungkin tepat sesuai rencana... Sekarang lempar aku!" teriak Chubox.

Tanpa pikir panjang Asep melemparkan Chubox ke arah Tamon Rah. Waktu terasa seakan bergerak lambat ketika mulut Chubox terbuka dan menggigit bulu ekor Tamon Rah. Keduanya berhasil walau tidak berhasil mendarat di punggungnya.

Dengan susah payah Asep meniti tambang untuk kemudian mmenggunakan bulu ekor Tamon Rah dan memanjat menuju ke punggung kuda raksasa tersebut. Namun tak semudah diucapkan, gerakan berlari Tamon Rah hampir membuat pegangan Asep terlepas.

"Bagaimana denganmu Chubox?" tanya Asep.

"BEGI.. BAGAGAGAGA!" (Pergi... Tinggalkan aku) ucap Chubox dengan mulut yang masih bertahan di ekor Tamon Rah.

Asep hanya mengangguk dan terus memanjat dengan berpegangan pada bulu-bulu Tamon Rah, hingga akhirnya dia sampai di punggungnya. Saat itulah Tamon Rah mulai bergerak aneh, tepat di atas reruntuhan, kuda raksasa itu bergeliat.

Tamon Rah sepertinya menyadari ada seseorang yang mencoba menungganginya. Dia pun melonjak-lonjak gila di udara, persis seperti kuda liar di rodeo. Hal itu jelas makin mempersulit pegangan Asep, walau begitu dia masih bisa bertahan.

Tapi tidak dengan Chubox, gerakan rodeo Tamon Rah yang makin menggila membuat gigitannya lepas. Chubox pun terlempar jauh ke angkasa.

"Chubox!" Asep hanya bisa berteriak melihat nasib rekannya tersebut.

Namun sekarang bukan saatnya untuk berduka, karena efek Ballista Armpits di tangannya mulai memudar. Asep berpacu dengan waktu, tidak ada waktu untuk berpikir. Asep pun kembali bernyanyi.

"Maju tak gentar
Membela yang benar
Maju tak gentar
Hak Kita Diserang

Maju serentak
Mengusir penyerang
Maju serentak
Tentu Kita menang

Bergerak bergerak
Serentak serentak
Menerkam menerjang terkam
Tak gentar tak gentar
Menyerang menyerang
Majulah majulah Menang."

Asep melepaskan pegangannya, kemudian meluruskan kedua tangannya tepat ke punggung Tamon Rah.

"KOH PEE LOO WAAAK!!!"


Ledakan dahsyat kembali terjadi.

Tamon Rah yang sempat menggila dengan gerakan rodeonya, akhirnya jatuh bebas. Bukan kehendaknya, tapi ada tekanan maha dahsyat mendorongnya ke bawah. Tekanan yang terjadi akibat ledakan jurus Kopiluwak Asep.

Tubuh si kuda raksasa melayang dan ambruk mengenai menara kristal di bawahnya. Menghancurkannya tanpa tersisa.

"Kita berhasil!" teriakan kegembiraan bergema di Shohr Stone.

Asep yang melepaskan pegangannya saat melepaskan jurus Kopiluwak, bisa mendarat dengan mudah, seperti biasa terjadi gempa kecil di sekitarnya. Tato di tangannya pun sudah kembali seperti semula.

"Tunggu, belum selesai!" teriakan Dominica menyadarkan semua orang. "Menara yang hancur baru satu!"

"Apa!"

Benar saja, menara kristal yang hancur berada tepat di bawah badan Tamon Rah. Sementara menara satu lagi masih tegak berdiri. Sepertinya posisi jatuh Tamon Rah tidak tepat menutupi kedua menara tersebut.

Sementara Tamon Rah tampak mulai menggeliat. Karena terhalang badannya, satu menara yang terhimpit masih dalam kondisi hancur. Dengan kata lain, saat Tamon Rah terbang kembali, menara tersebut akan kembali seperti sedia kala.

"Wah, sepertinya kita memang harus pake cara yang gampang, menghancurkan menara secara bersamaan." ucap Asep santai.

Dominica mendengus mendengar ucapan Asep. Sementara Yu Ching hanya menghela nafas. "Cape deh, meong."

Tepat pada saat itulah, sebuah benda tiba-tiba jatuh dari langit dan tepat mengenai menara kristal yang masih berdiri. Membuat menara itu hancur sebelum menara sebelahnya terbentuk kembali.

"Chubox!" teriak Asep, Dominika dan Yu Ching bersamaan. Ternyata kotak yang jatuh tadi adalah si kotak hidup.

Bersamaan dengan hancurnya kedua menara itu, Bulan Alkima yang tadi terbelah dua perlahan mulai menutup. Semua monster yang tersisa, termasuk Tamon Rah tersedot semua ke dalam inti Alkima. Angin kencang tercipta akibat proses hisap Bulan Alkima, tapi anehnya para Wota Knight, juga Asep dan yang lain tidak ikut tersedot.

Mereka semua memandang takjub proses penghisapan tersebut. Semuanya merasa lelah, tak memiliki tenaga lagi untuk melanjutkan. Tapi setidaknya semua sudah berakhir, misi penyegelan Tamon Rah telah berhasil diselesaikan.

•••

29 comments:

  1. Aih, kang Asep ngeunah pisan euy caritana. Urang macana asa balik deui ka zaman" SMP masih di Bandung, kentel suasana Sundana

    Kayanya entri Asep bagus nih buat ngebalikin sense bahasa Sunda #eh. Dari awal emang udah keliatan Asep ini punya image gentle giant, dan fokus yang dikasih ke karakternya juga bikin asik buat diikutin dari awal - siapa dia, ada masalah apa di tempat aslinya, dan motivasi sampe ikut turnamen ini

    Wah ada cameo tim Dyna-Ronnie. Bisa jadi hint kalo ketemu lagi di masa depan ini

    Naon ieu waifu abadi, wota knight, wota spesialis? Meuni wibu kieu prajurit Alforea teh wwww

    Eta ngaran monster"na ngalawak kabeh. Anjing Panas, Ayam Goreng Bumbu, badak Pelangi Bundar... aya" wae

    Begitu Asep turun ke medan perang, spotlight langsung buat dia ya.. Saya jadi keinget entri sendiri, Dyna juga sejak muncul jadi curi sorotan dari yang lain

    Raja Tengkorak Kribo Emas? Habis beary muncul di bu Mawar, sekarang Salvatore muncul di sini? Pada susah move on ya

    Entri ini terlalu kuat. Entah kenapa rasanya penulis udah all-out dari awal, saya ga tau lagi apa yang bisa ditelisik lebih dalam, selain kenyataan kalau Asep kayanya emang salah satu material OC yang udah siap bener buat maju

    Dari saya 10

    [OC : Dyna Might]

    ReplyDelete
    Replies
    1. Makasih Kang Sam XD

      Soal kemunculan Dyna-Ronnie, mereka sebenernya karakter yg awalnya pengen saya pilih, tp gak jadi.

      Dan iya, sy belum bisa move on, Sal dulu endingnya jelek T_T

      Delete
  2. Halo Dedi Lanjung
    saya beneran puas baca ini. Setiap relasi antar karakter berasa asik diikuti. Terus cara kamu memasukkan bahasa sunda ke dalam cerita nggak bikin saya weirded out karena saya bukan orang sunda. Sebalikna, saya malah bisa paham dengan jelas.

    SAya gabisa kritik banyak karena so far, kamu sudah melakukan yang terbaik, bahkan lebih baik saya.

    Nilai : 10
    OC : Alayne Fiero

    ReplyDelete
    Replies
    1. Makasih nilai kang Ilyas, tunggu kunjungan baliknya ya ^_^

      D.Lanjung

      Delete
  3. Oh God... Mengerikan.... Sangat mengerikaaaan...
    Ga nyesel nunggu2 Entry kang Dendi lah... Asli baca ini Entry lancar jaya, ga kerasa tau2 beres dan seru luar biasa.

    Saya melihat typo yang yah hanya sedikit... dan bagi saya bukanlah hal yg mengganggu.

    Well... Pemaparannya asik, karakterisasinya juga keren. Plot mantap dan ini Entry paling mengerikan di Prelim ini.

    Nilai 10. Sampurna pokoknamah lah
    Bun the Bubble, bun~

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, ternyata tetep aja ada typonya, makasih nilainya ya akinya bun, eh, bunnya aki :D

      Tunggu ya nilainya, digabungin ^3^

      Delete
  4. Po - Fatanir

    karakter Asep keren dan khas. dia preman tapi benci yg haram2. nilai plus kemampuan dia juga sederhana yaitu kemampuan fisik dan nama jurus yg lucu tapi dahsyat secara power.

    Nama2 monsternya menyenangkan, monster mejikuhibiniunya juga keren...tapi sayamg kurang digali deskripsi atau sejarahnya lebih jauh. Salvatore juga ada wkwkwk

    Salah satu hal yg mengganjal, Asep kyknya jadi serba tau sehingga ngerti hubungan undead dan healing spell. Adegan menghadapi Tamon Rah di awal yg udah badass itu, kyknya kurang nyambung sama adegan versus Tamon Rah di bagian pertengahan sampe klimaks. Oh iya, kesannya sejak Asep muncul, alurnya jadi lurus2 aja tanpa kejutan.

    Dariku nilai 8

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ya, mungkin dulu Asep pernah maen FF di PS1, dia terkenal suka ngbolos pas jaman sekolah cuma buat maen ps. Entahlah XD

      Makasih nilainya Kang Po.

      Delete
  5. "Mmi, Kakek ini keren, ya?" Felly menatap layar dengan mata tak berkedip.
    "Hus, ngasal kamu! Dia masih muda. Beda 6 tahun denganku loh!"
    "Eh? serius? Pantesan tampilannya begitu."
    "Hmm.. normal sih, abis di charsheet dia dipanggil, Abah."
    "Tapi kemampuannya mengerikan juga yah, Mmi. Kalo seandainya aku ketemu dia, aku takut juga kali."
    "Kayaknya ga kamu doang deh, Fell, yang takut. Aku juga sebagai Authormu, takut ketemu si Abah."
    "Dasar Author payah kamu Mmi."
    "Sialan!"

    ***

    Umi baca Asep, jadi inget sama preman pensiun xD Sempet nonton salah satu Episode-nya di bus balik pulang dari Bandung kemaren itu xD

    Demi apapun Ronnie sama Kang Asep bisa saling kenal. Ini pasti konspirasi xD Hayoloh, kang Dendi abis dibayar berapa sama Nyasuu?

    Umi sempet bengong baca ini ._. "Apa-apaan sih kalian, meong?" meongnya itu loh kang xD Ampuun xD

    Denger panggilan Dom, Umi malah inget sama Fast & Furious 7.

    Buju buset, Badass amat Kang Asep bisa ngabisin monster dalam waktu lima menit.

    "KOH PEH LOO WAAAK!!!" buset Asep penggemar Kopi banget xD

    Eh Umi terlewat sama perubahan wujud Sal sepertinya ._.

    Itu apaan yang dikeluarin chubox? kok bisa ancur menaranya?

    ***

    "Jadi, Umi mau kasih berapa nilainya?"
    "Pull!"
    Dan Felly memandangku sambil mengacungkan jempolnya.

    ***

    The Fun : 5.0
    Karakterisasi : 3.0
    Alur : 2.0
    Total : 10.0

    ***
    Maria Fellas - Bocah Lintah yang lagi duduk di atas meja belajar ._.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ya, emang inspirasi saya dari preman pengsiun itu, terutama kang Bahar (alm. Didi Petet) yg sy plesetin jadi kang Aslan, anggap aja ini tribut buat beliau.

      Soal Ronnie & Asep, gara2 Kang Hewan, sy sempat tertarik bikin party ma Ronnie XD

      Dominica & Kol. B. Bryan, ngerti kan referensinya? ^_^

      Ng, gak lima menit kok, lebih dari itu, cuma emang sy gak jelas bikin timeline nya ><

      Makasih nilainya ya Neng Umii. Tunggu kedatangan saya di bilik Felly ^_^

      Delete
    2. Siapa lagi di sini yang ke pengaruh sama idenya kak Heru? :/

      Noh kan beneran dari Fast-Furious xD pantesan xD pas baca banyak recall xD

      sama sama kang Dendi~~

      Ditunggu kehadirannya di... lapak-nya Felly xD

      Delete
  6. Entri yang sangat taktis, lengkap dengan mini-boss2nya, dan pemanfaatan segala unsur yang ada dengan optimal. Dan yg paling mengagumkan, semua diselesaikan dengan logis tanpa perlu banyak memodifikasi bahkan "melemahkan" semua musuh yang ada. Salut!

    Ngg... Apa si Chubox meledak dan mengorbankan diri?
    Salam dari Yogya - OC Vajra (Raditya Damian)
    Skor: 9/10

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ho, sy baru nyadar Chubox gak ketauan nasibnya, tapi di charsheetnya disebut dia mudah hancur, jadi mungkin dia mengorbankan dirinya, tapi mungkin selamat juga ya XD

      Makasih nilainya ya Kang Andry

      Delete
  7. huiii seru bingit ini prelimnya asep. ada kocaknya, ada battle intesnya, dibalut dengan alur menarik dan karakterisasi yang mantap. nilai plus ni dialognya asep kental sekali logat sundanya. sudah tak bisa berkata apa-apa lagi aku karenanya...

    ditunggu kunjugan baliknya yah kang ma dog~

    Nilai : 10

    OC aye : Zhaahir.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hehe, makasih Kang Sun, tunggu ya nilai saya buat Zhaahir dan Eri.

      Delete
    2. This comment has been removed by the author.

      Delete
  8. Wah, kayaknya bakal ada pesta kopi luwak nih. Wanginya nggak nahan!
    But please, PLEASE jangan dikepit di armpit dulu ya!

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ta -Tapi kopi luwat sendiri keluar dari anu*nya luwak?
      Jangan kuatir, semua kopi yang dikepit Asep adalah kopi berkualitas tinggi kok (?)

      Delete
    2. Ieeewww... yang keluar dari luwak itu udah disteril ui, yang dikepit Asep kudu direndem kembang 7 rupa dulu - on second thought - roast 'em anyway.

      Delete
  9. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  10. bahasa daerahnya kental banget si Asep XD
    itu kenapa ada wota knight nya? jd idol nya si Ruu ya? wkwkwkk

    mantep banget euy penggambaran kondisi perangnya. cuma kerja sama tim nya kurang dominan krn Asep nya individualis, tp tetap macho kang!
    Asep laki banget! keren plus dahsyat! sayang gak dapet batu akik tujuh warna (?)

    imajinasi author jg mantep, terutama dr segi ragam monster nya. saya jd ngebayangin gmn rupa monster kera berbibir merah, setengah kuda setengah gorila, dll. benar2 kreatip bin kocak, kang!

    KOPILUWAK nya maknyosss!!!
    itu kyknya ada si Sal ya, kang... wah nyambung ama BoR sebelumnya dong kalo gt...

    cuma ending nya rada kocak ya, tower terakhir cukup ditiban pake Chubox wkwkk


    saya kasih nilai 9/10 aj ya, kang..

    hatur nuhun

    Beckman

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, Asep egois banget, pengen dia sendiri aja yang kena spotlight XD

      Sayangnya gak dapet batu akik tujuh warna, soalnya keburu diambil player bernama Thanos XD

      Iya, Sal ngebet pengen jadi cameo, sekaligus jadi perpisahan buat dia :')

      Makasih nilainya Wery ^_^

      Delete
  11. Aduh ini Kang Asep nyunda banget. Jadi malu sama entri sendiri. :(

    Nilai : 10/10

    Asepnya badass banget. Ngikutin alur dari awal sampe akhir ini seru, jadi kayak baca komik shonen.

    Interaksi antara karakter nya juga asik, semuanya kebagian bagusnya. Tentu saja Asep sendiri karena ini entry nya asep. XD

    Bener kata Ummi di atas, bagian awalnya kek preman pensiun hahaha ampe salah sebut Kang Bahar Xd

    "Mampir ka prelim abi nya, Kang Asep ;)"

    Mang Ujang - Petani Ikemen

    ReplyDelete
    Replies
    1. Siap Mang, eh Kang UJ, Ujang udah ada di daftar baca saya kok.

      Nuhun pisan pontenna ^_^

      Delete
  12. Rame pisan euy, aya Kang Bahar sagala.

    Ya semua karakter dapat porsi masing-masing dan yang saya bikin ketawa pas Chubox jadi pahlawan terakhir bisa ngancurin menara.

    saya tidak bisa berkomentar banyak di sini karena saya benar-benar menikmati cerita ini.

    Nilai 10/10

    OC: Izu Yavuhezid

    ReplyDelete
  13. Truly badass. Asep kayak Zolo yang ngacauin medan perang pake jurus-jurusnya, terus yang lain (para prajurit) berasa kecil dan nurutin kata-katanya. Kekuatan Asep jadi keliatan dahsyat banget.

    Dominica jadi tipe yang bijak dan kalem ya. Nasehatin para Wota Knight pula. Dia yang paling normal, jadi tolok ukur yg bagus buat keanehan2an temen2nya. Oh ya, penamaan pihak pasukan Aldorea dan pihak monster juga lucu-lucu XD

    Yu Ching ketemu Sal~ Kucing lawan Monyet, battle dua babaknya berakhir dengan gaya tuker nama, ini keren banget >< bahkan Asep juga sempat ketemu Sal, jadi kayak pertarungan sesama kokojo Kang Dendi untuk BoR, hehehe. B]

    Chubox tsundere suicidal :[ berasa udah menduga waktu dia bohong tentang bahan kayu itu, dia bakal ngelakuin semacam pengorbanan yang mempertaruhkan nyawa lagi :[ karena nasibnya bisa dibilang open ending, mau ketemu dia lagi di R1 juga ga masalah.

    Battlenya padat banget ya. Tapi narasi battlenya gak monoton, selingan lelucon2 juga bikin tambah betah ngikutinnya. Ga nyangka Asep kepikiran buat pake gaya bertarung yang bombastis biar bisa lolos sebagai peserta yang luar biasa. Sampe ada adegan 'manjat' Rah sama Chubox. Pokoknya, entri ini keliatan mateng banget. Mungkin ini yang pailng sesuai ngegambarin perintah panitia di pembukaan prelim: bertarunglah habis-habisan.

    10/10

    OC: Wildan Hariz

    ReplyDelete
  14. Ho ho ho ho terima kasih sudah pakai Yu Ching dan sepertinya kemampuan Heal Yu Ching bisa buat bunuh undead juga. Ini bisa jadi bahan referensi.
    Seperti biasa cerita ini seru abis dan komedinya dapet. Saya tidak bisa komentar banyak soal ini, Tulisan ini jauh…jauh lebih baik dari tulisan saya.

    Nilai 10/10
    OC : Yu Ching

    ReplyDelete
  15. Ada beberapa typo yang walo sepele tapi tetep keliatan mencolok. Asep keliatan rada aneh waktu bahas celah dimensi, sihir penyembuhan dan kematian, mengingat latar belakangnya. Tamon Rah muncul keknya kelamaan ya, bukan lima menit?

    Ah tapi semua kekurangan di atas hampir ketutup semua sama GAR-nya tulisan ini. Ngehajar monster pelangi, ngehajar Tamon Rah. Mana lucu juga, WOTA, Kuda datang bulan.

    Dendi banget lah tulisan ini, banyak cameo, singkatan dan nama-nama lucu yang nggak maksain sama sekali.

    Ditambah rasa lokal yang renyah. Aku gak bakal bisa nulis kek gini. Dan aku puaaasss banget sama endingnya.

    Keknya R1 gak bakal meriah tanpa Kang Asep, jadi...

    Nilai : 10
    OCku : Alshain Kairos

    ReplyDelete
  16. Keren, konsepnya unik, tugas ngalahin Tamon Rah itu ternyata buat mempertahankan kontinuitas. Tapi plothole juga sih, ga dikasih tau soalnya efek mbenerin kontinuitas ini nanti kek apa. Semoga di R1 dikasih liat :v

    Aku demen gimana Kang Dendi bisa masukin referensi2 dari karakter2 fiksi dunia nyata entah intentional atau nggak. Kayak kecoak magenta misalnya, itu kan Kamen Rider Decade XD aku juga ngbayangin Brook pas liat itu raja tengkorak kribo yg pake musik wkwk

    Kuda datang (dari) bulan, Wota Knight yg berjuang nyelametin gaji, nama2 monster yg unik tapi menarik, semua bener2 baru buatku. Keren.

    Cuma aku bacanya lurus2 aja, ga ada elemen kejutan rasanya. Ga ada plottwist yg menarik buat diikutin, minus di sini aja sih. Sama nasib chubox yg gaje, tau2 jatuh tapi ga dikasih liat dia mati apa nggak.

    Demen juga sama gimana cara Kang Dendi make karakternya, keliatan ga teratur di awal krna seolah random-picking tapi ternyata rapih di akhir. Semua ngejalanin perannya dalam cerita sesuai sama karakternya, lancar dan ga maksain menurutku.

    9/10 Kang XD

    ~JFudo
    ~Lo Dmun Faylim

    ReplyDelete