16.5.15

[PRELIMINARY] ERNESTO BOREAS - ALUNAN PERANG PADANG PASIR

[Preliminary] Ernesto Boreas - Alunan Pedang Padang Pasir
Penulis: Naer Sisra

Kesialan itu terjadi ketika gerahana matahari, persis saat ia membuka surat yang terbungkus amplop bersinar. Entah dari mana datangnya angin ribut mulai bertiup, menerbangkan kertas surat yang kemudian bersinar membutakan penglihatanya untuk beberapa detik. Segel magis dengan rune yang tak ia kenali terbentuk dari surat yang perlahan terurai menjadi sebuah lingkaran besar berwarna hitam kelam seakan tak berujung. 

Tubuh ramping pemuda itu tertarik dengan amat kuat oleh lingkaran hitam tersebut. Sumpah serapah keluar dari mulutnya, teredam oleh ributnya angin dan keresak dedaunan pohon di sekitarnya. Pemuda jangkung itu meronta di udara, namun hal tersebut sia-sia karena beberapa detik kemudian ia menghilang bersamaan dengan usainya gerhana matahari. Suasana senantiasa kembali seperti semula seakan tak terjadi apapun tiga detik lalu. Angin berubah sepoi, kerasak daun kembali tenang.

Yang berbeda hanyalah, kini tidak ada lagi Ernesto Miguel Boreas di bumi Aetheria.

XoXoX




Amat mencurigakan, sungguh.

Sedari tadi Ernesto Boreas sama sekali tidak mengedipkan mata menatap sosok indah yang berdiri di balkon kastel lantai dua. Padahal semua omongannya tidak mutu dan berbobot, terkesan seperti wanita dewasa dengan kepala kosong kecuali tentang fashion kecantikan. Walaupun demikian entah mengapa mata birunya terkunci pada sosok tersebut, seakan wanita itu adalah poros kehidupan pemuda berambut merah ini. Untungnya hal tersebut tidak bertahan lama karena wanita memesona itu digantikan oleh seorang tua dengan janggut putih panjang di dagunya. Seketika itu pula Ernest merasa dirinya kembali ke keadaan normal.

Apa barusan ia dihipnotis wanita itu? Mengerikan sekali. Salah satu hal yang paling ia benci adalah pengendalian pikiran seperti ini.

Fokusnya kembali, Ernest mendengarkan dengan saksama. Walaupun ia adalah tipe yang tak suka memikirkan detail karena merepotkan, namun sekarang berbeda. Ia tak tahu dirinya ada di mana dan informasi sekecil apapun mungkin dapat membantunya bertahan hidup kelak.

Oh, apakah ia mulai memikirkan kalau nyawanya terancam di sini? Nampaknya bukan suatu pemikiran yang terlalu paranoid. Siapapun akan merasa terancam ketika mendadak dikumpulkan di tempat seperti ini tanpa tahu apa-apa—kecuali orang tolol.

Pengumuman singkat itu usai dan tidak membantu, sama sekali.

Yang dapat Ernest simpulkan adalah ia berada di suatu dimensi yang berbeda dengan dunianya, dipaksa mengikuti turnamen aneh, dan sebuah hadiah spektakuler yang dapat mengabulkan semua permintaan pemenang turnamen ini.

Beberapa orang segera berkumpul mencari rekan tim seperti yang pak tua instruksikan tadi. Namun Ernest masih termangu di posisinya semula, ia masih belum bisa menerima semua ini. Proses berpikirnya masih tumpul— memang baru kali ini ia gunakan untuk berpikir keras—dan kecurigaannya masih belum terhapuskan.

"Serius? Apa mereka tidak punya rasa curiga sedikitpun?" Celetuk Ernest ketika mendudukan dirinya di sebuah kursi panjang di depan air mancur.

"Sebagian dari mereka memang berniat ikut turnamen ini," seseorang menyahuti celetukan Ernest, suaranya lirih seakan ucapan barusan ditujukan pada dirinya sendiri.

Pemuda jangkung itu menoleh ke samping pada seorang wanita berpakaian amat tertutup dengan tudung yang menutupi kepalanya, tanpa meloloskan sehelai rambut pun. Sosoknya terlihat begitu kontras dengan lingkungan sekitar tempat ini, walaupun demikian ia merasa aura yang cukup menjengkelkan dari wanita tersebut. Rasa-rasanya seperti tengah duduk dengan Si Tua Margarita—mantan guru aritmansi yang super galak yang tak bisa ia bantah semua perintahnya.

"Kamu sendiri kenapa datang ke tempat ini, nak?" Tanyanya dengan nada lembut.

"Aku... terjebak, kurasa?" Jawab Ernest ogah-ogahan, ia merasa tidak nyaman di sini terlebih lagi dengan wanita yang memiliki aura seperti gurunya.

"Terjebak," ulang wanita itu dengan nada lebih tinggi, "ya... ya... terjebak, malang sekali nasibmu nak, sama seperti murid ibu yang mungkin terjebak di sini."

Murid? Uh... jadi dia benar-benar guru?

"Jadi anda," entah mengapa Ernest jadi sungkan dengan wanita ini, "memang berniat masuk ke turnamen ini?" Sebuah anggukan singkat beserta senyum simpul menjadi jawabannya. Ernest menatap orang itu beberapa jenak namun gagal mencari sesuatu yang hebat dari wanita ini.

"Oh mungkin nak... siapa namamu? Aduh sampai lupa kita belum berkenalan ya?" Wanita itu terkekeh pelan dengan punggung tangan menutupi mulut, "Nama saya Kusumawardani, tapi murid-murid lebih senang memanggil saya dengan panggilan Bu Mawar."

"Err... Miguel," entah mengapa ia merasa lebih aman kalau memperkenalkan diri dengan nama tengahnya alih-alih nama depan.
 
"Mungkin nak Miguel mengira ibu tidak bisa bertarung?" Tanyanya dengan nada riang, "memang benar, tapi ada beberapa hal yang hanya bisa dilakukan oleh ibu-ibu ini."

"Kenapa anda melakukan sampai sejauh ini?" Ernest bertanya dengan spontan.

"Ibu tidak bisa diam saja, ibu yakin murid-murid ibu ada—atau pernah ada di sini," Bu Mawar menengadahkan kepalanya ke atas wajahnya yang teduh menjadi sendu, "setidaknya ibu melakukan sesuatu, tidak diam saja menunggu kabar yang tak kunjung datang." Ernest ikut berdiri ketika Bu Mawar beranjak meninggalkan pemuda berambut merah ini.

"Apa anda sudah punya tim?" Pertanyaan basa-basi, namun ia sediki tertarik dengan guru wanita tersebut.

"Sayangnya sudah," jawabnya dengan senyum simpul, kemudian eksrepsinya berubah menjadi sedikit serius, "hati-hati nak, tempat ini berbahaya," ujarnya lirih sebelum bergabung dengan tiga orang timnya. Ernest termenung menatap sosok Bu Mawar yang menghilang setelah melewati portal hitam yang dibuka oleh salah satu maid. Beberapa saat ia masih berdiri di sana, memikirkan perkataan guru yang baru ia kenal tak lebih dari lima menit. Memang benar, duduk diam tanpa melakukan apa-apa tak akan membawanya kemana-mana.

Alasan Bu Mawar mengikuti turnamen sedikit mengganggunya. Tadi pak tua berjanggut putih mengatakan kalau dari sekian peserta akan tersisa empat puluh delapan, sedangkan sisanya tersingkir. Namun pak tua itu sama sekali tidak menjelaskan nasib orang-orang yang tersingkir. Mungkinkah ada hubunganya dengan murid-murid yang terjebak itu? Kalau Ernest tersingkir, mungkinkah ia akan terjebak di sini atau lebih para lagi... mati?

Pfftt... entah mengapa sejak datang kemari, Ernest selalu mengaitkan ketidak beruntungan dengan kematian.

Sebuah dengusan mengejek lolos dari balik geliginya yang ditujukan pada dirinya sendiri. Ernest menatap tajam ke arah balkon kosong kastel tempat dua orang tadi mengumumkan permainan ini. Ada beberapa hal yang masih membuatnya ragu, namun satu hal yang sudah jelas. Ia tak bisa menghindari permainan ini.

"Baiklah, aku ikut permainan kalian."

XoXoX

Walaupun tadi ia telah memutuskan untuk mengikuti turnamen, namun kenyataannya mencari tim itu susah. Mungkin karena ia sempat termenung tanpa melakukan apa-apa sehingga pemain yang tersisa di halaman kastel ini makin berkurang. Ia ragu kalau dirinya bisa mendapatkan rekan tim, karena Ernest bukanlah individu yang senang bergaul dengan orang lain. Namun ia merasa membentuk tim amat penting dalam permainan ini, sehingga semakin banyak orang semakin tinggi probabilitasnya untuk bertahan. Setiap ia melangkah, satu persatu tim mulai menghilang dari lapangan ini, berangkat ke arena antah berantah. Peserta makin sedikit hingga ia merasa geram.

[TING NUNG NING NUNG~!]

Bunyi yang amat nyaring bernada seperti lonceng menyita perhatian peserta yang tersisa di halaman kastel, termasuk Ernest.

[Peserta yang belum berangkat ke Area Tempur berjumlah 20. Karena keterbatasan waktu, kami akan memasangkan sisa peserta secara acak. Terima kasih atas perhatiannya.]

[TING NUNG NING NUNG~!]

Suara perempuan bergema di udara, entah darimana asalnya. Namun ia tak dapat  memikirkan hal tersebut terlalu lama karena sedetik kemudian tubuhnya telah berpindah tempat dengan amat mendadak. Kaget, Ernest terlonjak ketika di hadapannya kini berdiri seorang perempuan berpakaian maid dengan tatapan datar dari balik lensa kacamata. Orang-orang yang berada di sampingnya juga bereaksi hampir sama, mereka juga mengalami teleportasi paksa seperti dirinya.

"Nama saya Rosetta," ucap maid tersebut sembari membenarkan letak kacamatanya, "sudah terkumpul empat orang di sini; Master Garrand Entrenchord, Veronica Tiselina, Ernesto Boreas, dan Izayoi Nakama. Cukup untuk membuat satu tim," ucap Rosetta dengan menyebut sekaligus menunjuk nama-nama yang dimaksud dengan jari telunjuknya.

"Tunggu! Aku tidak pernah bilang setuju dengan ini?" Protes pemuda memakai zirah keemasan bernama Garrand.

"Sudah tidak ada waktu untuk menunda-nunda keberangkatan kalian," ucap Rosetta seraya menjentikan jarinya. Saat itulah portal terbentuk di belakang mereka berempat. Tanpa aba-aba mereka tersedot dengan amat kuat ke dalam portal. Sumpah serapah, pekikan tertahan, dan gerungan keras terdengar di segala penjuru halaman kastel tempat peserta tim lain tengah dikirimkan dengan cara yang sama.

Satu persatu portal tertutup dan halaman kastel kembali tenang.

XoXoX

Kakinya menapak sesuatu yang lembut. Kegelapan menyergap matanya. Butuh beberapa saat bagi Ernest untuk tahu kalau dia tidak sedang dalam ruangan gelap tertutup, tapi di daerah terbuka. Sudah tengah malam ia rasa, perpindahan dari siang menuju malam yang sekejap ini benar-benar membingungkan. Perlahan-lahan warna terlihat ketika matanya mulai beradaptasi. Langit cerah dengan bulan perak yang bentuknya amat besar jika dibandingkan dengan bulan yang biasa ia lihat di dataran Aetheria. Angin dingin berembus pelan membawa pasir yang sedikit mengganggu. Beberapa saat kemudian Ernest baru menyadari kalau ada tiga orang lain yang berada di sisi kiri dan kanannya.

Sosok mereka terbias cahaya bulan keperakan, membuat mereka terlihat pucat pasi. Walaupun demikian, cukup untuk melihat penampilan mereka dengan jelas. Seorang gadis berambut hitam yang memakai pakaian super ketat seperti plastik berwarna biru, dia Veronica. Garrand, pemuda yang serba emas dari pelindung dada hingga tamengnya. Juga Izayoi, pemuda lainnya yang lebih pendek dari Ernest, sebuah pedang besar tersampir di pundaknya—nampak mematikan.

"Selamat datang di padang pasir Shohr'n," sebuah suara yang berasal dari belakang, mengagetkan empat orang tersebut.

"Ahhh! Jangan muncul tiba-tiba dari belakang dong, Nona!" Seru satu-satunya perempaun di dalam timnya, Veronica.

"Maaf Master Tiselina, tapi kita tidak punya  banyak waktu," sang maid berkacamata berkata dengan cepat, "dengarkan baik-baik Master sekalian, karena saya tidak akan mengulangi ucapan saya."

Tak ada satupun kata keluar dari mulut keempat peserta.

"Di padang pasir ini akan terjadi peperangan antara lima ratus pasukan Alforea melawan ribuan monster—"

"Ri—ribuan?!" Garrand terperanjat, "Serius?!"

"—yang akan saling bertarung." Rosetta sama sekali tidak memedulikan kepanikan di wajah pemuda paling tinggi di kelompok ini, "Tapi itu bukan tugas utama anda sekalian, coba anda berbalik."

Semuanya membalikkan tubuh secara perlahan.

"Dapat dilihat di puncak gunung berbatu terdapat sebuah kastel tua. Anda sekalian juga dapat melihat pendaran biru terang di puncaknya. Pendaran itu berasal dari dua menara kristal, DUA," Maid Rosetta menekankan kata tersebut sembari membenarkan kacamatanya, "menara tersebut berfungsi sebagai media penghancur segel monster bulan, Tamon Rah yang agung."

"Monster bulan?" Ernest menengadahkan kepalanya ke angkasa. Awalnya ia tidak begitu memerhatikan, namun bulan itu kelihatan lebih besar daripada sebelumnya.

"Dalam waktu lima menit dari sekarang, bulan akan terbelah."

"Terbelah?!" Veronica menjerit tertahan, "terus serpihan bulannya jadi apa? Meteorit?"

"Dari dalam bulan akan muncul monster berbentuk kuda bersayap setinggi lima puluh meter yang berpendar merah terang, Tamon Rah. Monster ini dapat menghujani dataran dengan bola-bola api super panas yang dapat menghanguskan apa saja yang dihantamnya. Tamon Rah juga memiliki kemampuan mendeteksi peserta yang memakai kemampuan di radius seratus meter kemudian akan mulai mendekati peserta tersebut. Dan yang paling penting adalah monster ini tidak bisa mati."

"Apa ini tidak berlebihan?" Izayoi yang sedari tadi diam kini angkat bicara.

"Tenang saja Tuan Nakama, tugas kalian yang sebenarnya adalah menghancurkan dua menara biru secara bersamaan, BERSAMAAN," ulangnya dengan penekanan di kata terakhirnya sebelum melanjutkan kalimat, "untuk menyegel Tamon Rah kembali dalam bulan yang baru dan—"

Rosetta berhenti memberikan penjelasan ketika terdengar suara kencang warhorn dari kejauhan. Diiringi genderang kulit yang nadanya amat keras hingga dadanya seperti terpukul getaran suara, alunan perang mulai menggema di dinginnya padang pasir Shohr'n malam ini. Gemuruh datang, pasir yang mereka pijak bergetar hebat. Semua orang terlihat panik dan waspada, di sebelah kiri mereka melaju dengan kecepatan tinggi segerombolan monster aneka jenis dan di sebelah kanan mereka seruan perang dari prajurit Alforea bergema dengan tombak terhunus di barisan paling depan.

"Baiklah, saya rasa sudah cukup penjelasannya. Saya pamit undur diri, semoga berhasil Master." Rosetta menjentikkan jemarinya dan saat itu juga ia menghilang dari pandangan, meninggalkan empat orang yang panik, namun mereka tak dapat terus kebingungan karena hantaman dua kubu semakin dekat.

Tanpa aba-aba mereka langsung berlari ke arah depan dan belakang. Berpisah menjadi dua kelompok kecil beranggotakan dua orang, walaupun saat itu mereka semua sama sekali tidak tahu karena sibuk memikirkan keselamatan masing-masing. Oh, berdiam diri di tempat itu sama saja dengan bunuh diri.

Tak lama kemudian, benturan hebat terjadi. Suara logam beradu menjadi musik di telinga. Kerlap-kerlip kemerahan di langit menandakan panah api yang saling ditembakkan dari dua kubu.  Padang pasir yang sunyi kini ricuh dengan suara seruan perang dan raungan monster.

Butir-butir pasir masuk ke saluran pernapasan Ernest, namun tidak ia indahkan. Pemuda berambut merah itu terus berlari ke depan, hingga mata birunya menangkap bayangan kastel yang berada cukup jauh di puncak bukit bebatuan di sebelah Barat. Mengingat instruksi dari Rosetta, Ernest segera mengubah jalur larinya menuju kastel tersebut. Namun sayang, rencananya harus dihentikan oleh kelompok kecil monster kalajengking yang berukuran tiga kali tubuh Ernest.

"Cih," Ernest mendecih kesal, "sepertinya kalian tidak akan minggir, eh?"

Sejurus kemudian, aura merah mulai menjalar dari telunjuknya hingga kini membungkus seluruh tubuh; Auro. Ernest dapat membentuk segala macam senjata dan menggunakannya dengan sangat ahli jika senjata itu terbuat dari Auro miliknya. Boreas muda itu memokuskan pikirannya pada genggaman tangan kanan. Segumpal aura merah bergerak seperti tersedot oleh tangan kanannya, berpusing seperti pusaran angin kecil kemudian di sana termaterialisasi sebuah sabit baja raksasa berwarna merah.

"Heaaa!" Dengan seruan lantang Ernest mengayunkan sabitnya ke capit kalajengking yang hendak memotong tubuhnya, capit itu terbelah dengan sempurna. Desisan murka bercampur liur bau terciprat ke arah Erenst, membuatnya mengernyit muak. Kalajengking itu hendak menusukkan ekor beracunnya, namun Ernest telah meluncur di permukaan pasir melewati ruas-ruas kaki kalajengking tepat di bawah perut si monster, cukup cepat untuk menghindari serangan mematikan tersebut. Saat itu ia menyabetkan senjatanya pada perut monster dan cipratan cairan hijau menjijikan mengotori wajahnya.

Desisan kalajengking terdengar pilu sebelum ajal menjemputnya.

Namun ia belum bisa istirahat, dua kalajengking segera menyergapnya dari depan. Gerakan kaki mereka amat lincah di permukaan pasir yang lembut, membuat Ernest sedikit kewalahan karena sepatu boot-nya selalu terbenam beberapa senti ke dalam pasir. Ia pun tak dapat belama-lama meladeni monster ini, senjatanya hanya punya waktu lima menit untuk tetap bisa dipakai.

Ernest berguling ke samping dengan cepat ketika satu kalajengking hendak menubruknya, lalu dengan sekali ayunan sabitnya, ia berhasil memotong leher si monster malang. Ernest segera mengangkat  senjatanya di atas kepala, menghalau ekor beracun kalajengking kedua yang hendak ditancapkan ke dadanya. Kalajengking satu ini tidak mau kalah, ia mendorong sabit raksasa Ernest dengan kedua capitnya membuat punggung si rambut merah terhempas ke permukaan pasir, hampir ditimpa oleh monster kalajengking.

"Errrgghh!" Erangan tertahan keluar dari mulut pemuda bermata biru ini ketika ia berusaha menjauhkan monster tersebut, namun dengan bantuan tendangan kakinya sekalipun Ernest tak bisa lolos. Racun dari ujung ekor kalajenging itu menetes ke rompi hitam miliknya, membuat rompinya melepuh dan mengeluarkan asap. Ernest terbelalak melihatnya, ngeri bercampur geram. Di saat ia merasa ajal sudah dekat, sekelebat cahaya keemasan datang secepat kilat bersama hantaman keras logam pada kalajengking yang menindihnya.

Amat keras, hingga membuatnya pengang.

Tubuh kalajengking langsung remuk saat menghantam bebatuan tajam di permukaan padang pasir dengan cairan hijau mulai merembes di bawah mayatnya. Ernest menatap Garrand yang tengah membenarkan posisi tameng emasnya. Setidakna ia bisa menebak apa yang menghantam kalajengking raksasa barusan hingga terpental jauh.

Garrand mengulurkan tangan, Ernest menyambutnya.

"Trims, kurasa."

"Hmph! Aku hanya kebetulan lewat," Garrand nampaknya bukan tipe yang suka basa-basi. "Bukan berarti aku khawatir atau apa." Atau mungkin pemalu? Karena walaupun samar, Ernest dapat melihat rona merah di wajah merengut Garrand.

Ah terserahlah, yang penting ia selamat.

Sayang sekali, walaupun pertarungan utama monster dan perajurit berada cukup jauh dari posisi mereka. Padang pasir ini memiliki monster-monster pinggiran yang lumayan mengganggu. Dua ekor kalajengking raksasa kembali muncul dari balik tumpukan bebatuan merah tidak hanya itu kini dua sosok troll gunung dengan tubuh cokelat kering datang bersama gada raksasa yang rasanya bisa menghancurkan batu seukuran tubuh Ernest sekali hantam.

"Berapa lama lagi waktu yang kita punya sebelum bulan runtuh?" Ernest berbisik dengan sabit raksasa dalam keadaan siaga di genggamannya.

"Dua-tiga menit lagi kurasa."

"Berapa jauh lagi jarak ke kastel?"

"Entahalah, mungkin sepuluh-lima belas menit paling cepat, itu juga sambil lari."

"Tch, sepertinya kita tidak bisa menghindari jatuhnya bulan, eh?"

"Memang menyebalkan," Garrand memosisikan tamengnya ke depan, bersiap jika ada serangan mendadak dari monster.

"Jadi apa yang kau tunggu?" Ernest kemudian melemparkan sabitnya ke arah satu troll gunung yang langsung menancap di dadanya. Troll itu meraung kesakitan sebelum tubuhnya terlentang di pasir, bersimbah darah. Bersamaan dengan itu, sabit miliknya memudar menjadi uap kemerahan, sepertinya batas waktu lima menit sudah lewat

"LARI!"

Dalam sekejap kedua pemuda itu berlari, memacu kecepatan mereka ke arah kastel.

XoXoX

"Kyaaa!"

Veronica Tiselina segera tiarap di permukaan pasir ketika sebuah—atau lebih tepatnya sebelah—tubuh kelabang raksasa melayang ke arahnya dengan kecepatan tinggi. Kedua tangannya berada di kepala dengan mata tertutup. Suara-suara jeritan monster terdengar dari segala penjuru walaupun ia telah berada cukup jauh dari medan pertempuran utama. Seluruh tubuhnya bergetar hebat, campuran antara ketakutan berlebih dan suhu dingin padang pasir di malam hari. Untuk informasi saja, ia kini hanya memakai spandeks biru ketat yang tidak cukup tebal untuk menjaganya tetap hangat.

Ditambah lagi pemuda yang kini tengah bertarung di hadapannya tak pernah berhenti menghancurkan musuh dengan kekuatan magis berupa es.

Brrr...

Ia menggigil dengan napas yang memadat menjadi kabut putih. Namun Tiselina tidak bisa terus-terusan nungging di sini karena dari belakang muncul sekelompok serigala gurun yang meneteskan liur berlebih di permukaan pasir.

"T—tuan Nakama... berapa banyak lagi es yang akan kau keluarkan?" Gadis dua puluhan itu bertanya setelah sampai di samping pemuda tersebut.

"Sebanyak yang bisa kukeluarkan untuk bisa keluar dari kepungan monster-monster ini," jawab pemuda itu seraya mengayunkan pedang besar ke arah sekelompok kelabang yang langsung mati terbelah dua saat itu juga.

Uwahh... kalau dipikir-pikir setelah melihat banyaknya bangkai monster di sekelilingnya, Veronica yakin kalau Izayoi Nakama merupakan petarung handal yang mengerikan.Sedangkan Veronica sendiri hanya memiliki ponsel raksasa, N3BIO, yang ukurannya hampir sebesar tubuh mungilnya. Namun setidaknya ia bisa menggunakannya sebagai perisai ketika dua ekor serigala gurun menerkam ke arahnya.

"Uwaah!" Veronica menjerit tertahan sembari mendorong ponsel raksasa yang kini berbinar kebiruan oleh lapisan mirip kaca dengan lebar tiga kali N3BIO, memanjang ke kanan dan kiri. Sepasang serigala itu kembali terhempas ke permukaan pasir. Walaupun masih sedikit gemetar, Veronica bisa bernapas lega untuk sekarang.

"Boleh juga perisaimu, Nona," ujar Izayoi ketika mereka berdua saling mendempetkan punggung, terkepung selusinan monster segala rupa dan ukuran.

"Uhm... perisai ya? Tapi menurut buku petunjuk ini, lapisan tipis kaca barusan adalah—"

"Tunggu dulu, buku petunjuk?" Tanya Izayoi seraya menebaskan pedang pada seekor serigala gurun yang menerkamnya, "Maksudmu kau sama sekali tidak tahu kemampuan perisai anehmu itu?!"

Veronica hanya bisa meringis minta maaf.

"Sudahlah, sepertinya aku harus bekerja ekstra untuk mempertahankan hidup kita," pemuda berambut hitam itu kemudian (entah dengan cara apa) mengubah pedang besar di tangannya menjadi dua pedang pendek yang lebih tipis empat kali dari senjatanya yang lalu. Veronica tak sempat memerhatikan pembantaian monster dengan kecepatan tinggi oleh Izayoi karena gadis itu sibuk membaca buku petunjuk N3BIO sambil sesekali menghalau serangan monster dengan perisai ponselnya.

Lima monster telah tumbang oleh pemuda bersyal merah ketika suara retakan yang amat keras terdengar di seluruh penjuru padang pasir. Veronica menghentikan kegiatan membacanya, bahkan monster-monster di sekelilingnya membatu sembari melongok ke langit. Suara peperangan di medan tempur utama perlahan-lahan surut digantikan oleh kesunyian malam padang pasir yang tidak menyenangkan. Gadis dua puluh tahun itu terbelalak ngeri ketika melihat retakan bulan yang semakin besar tiap detiknya.

Retakan demi retakan mulai berjatuhan di atmosfer, melaju bagai pesta bintang jatuh, membuatnya terlihat seperti kembang api malam yang menghujam tanah Alforea dengan kecepatan tinggi.

Monster bersorak dengan raungan keras ketika bulan meledak dan dari dalamnya perlahan muncul sosok yang terlihat seperti kuda poni membara dari jarak sejauh ini, namun sayangnya kesan tersebut kandas ketika kuda itu meringkik dan terbang dengan kecepatan tinggi ke arah medan tempur padang pasir.

Tamon Rah telah bangkit.

"A—astaga!" Veronica menumpu tubuhnya dengan lutut karena ia tak bisa merasakan kakinya sendiri. Lemas ketika melihat makhluk super besar dengan tinggi mendekati lantai 13 di sebuah gedung tempatnya bekerja sebagai penjaga konter ponsel.

Ringkikan itu terdengar memekakkan walaupun masih bisa diredam oleh earphone bentuk telinga kucing miliknya. Tubuh Veronica gemetar hebat kala itu, hampir saja seekor kelabang raksasa menyuntikkan racun ke arahnya kalau saja Izayoi tidak segera membabat monster itu menjadi lima serpihan besar.

"Nona! Kau mau mati?!"

"E—eh?"

"Berdirilah! Cepat! Kita tidak punya banyak waktu di sini! Ingat pesan maid barusan? Kita harus menghancurkan menara di kastel itu!" Veronica mengikuti arah telunjuk pemuda Nakama itu dan saat itu juga tubuh Veronica mulai dapat digerakkan. Kesadaran telah seutuhnya kembali padanya.

"De—dengan begitu kita bisa menyegel monster kuda itu kembali, kan?"

"Ya."

Veronica berdiri sembari mengangkat tameng berat miliknya namun saat itu ia merasa kalau ponsel N3BIO telah menjadi lebih ringan, entah mengapa. Ia menatap Izayoi yang tengah membuka jalan dari kepungan monster, menyabet dengan pedang di kanan membekukan musuh dengan tangan yang lain. Ia merasa menjadi beban berat pemuda tersebut, namun saat itu ia tak punya pilihan selain berlari mengekor Izayoi. Walaupun ketakutan melanda ketika melintasi jalan yang dikepung oleh monster, Veronica berusaha memberanikan dirinya untuk terus berlari dan sesekali menghantamkan tamengnya pada musuh yang mencoba menghalanginya. Ternyata hal tersebut bisa menimbulkan dampak yang cukup serius pada monster-monster kecil.

Mereka berdua telah keluar dari kepungan monster dan berlari dengan susah payah di permukaan pasir lembut. Di hadapan mereka hanya ada satu dua monster kalajengking yang mereka hiraukan begitu saja. Tujuan utama mereka adalah kastel yang berada di puncak bukit bebatuan di depan mereka saat ini. Namun ringkikan Tamon Rah yang menggelegar membuat keduanya menoleh ke atas dan terbelalak untuk kesekian kalinya. 

Bulatan-bulatan api sebesar ruangan kost 1LDK mulai jatuh bagaikan hujan bola api di permukaan padang pasir. Menimbulkan kerusakan bagi monster juga para perajurit Alforea. Namun yang lebih mengerikan lagi dua ekor serigala raksasa berukuran dua kali tubuh Veronica tengah menerkam Izayoi yang kini telentang di padang pasir. Izayoi bertahan sekuat tenaga agar serigala tersebut tidak mengoyak lehernya.

"Tuan Nakama!" Veronica segera menerjang satu ekor serigala dengan N3BIO dan berhasil. Namun saat itu juga serigala tersebut menerjang Veronica dengan cepat, untungnya lapisan kebiruan di depan ponselnya tidak bisa dihancurkan oleh apapun—begitu yang ia baca di buku panduan N3BIO tadi.

Izayoi mampu membelah tubuh satu serigala yang menindihnya dengan mudah dan dilanjutkan dengan serangan bertubi-tubi pada serigala yang tengah menyerang Veronica. Mereka berdua selamat walaupun kini pakaian Izayoi berlumur darah serigala yang anyir.

"Terima kasih, Nona ku—"

"AWAS!" Veronica mendorong Izayoi ke samping ketika sebuah bola api raksasa Tamon Rah melaju ke arah mereka. Entah darimana keberanian itu datang, namun Veronica tak ingin selalu menjadi beban.

Ya, beban.

Beban kehidupan keluarganya yang memaksa ayahnya menjadi pedagang gelap barang elektronik. Memaksa ibunya untuk bekerja sebagai penghibur lelaki. Pekerjaan mereka sama sekali tidak terpuji oleh norma-norma masyarakat namun hal itu mereka lakukan karena ingin Veronica bisa hidup lebih baik dari mereka.

Mereka sering bilang pada gadis ini untuk selalu bertahan dari segala cobaan dan penderitaan hidup.

Bertahan.

Mungkin inilah yang membuat N3BIO menjadi sebuah tameng untuk bertahan?

Bertahanlah Vero, bertahan. Mungkin dengan demikian kau bisa berguna untuk pertama kalinya di dalam dua puluh tahun ini.

"NONA VERONICA!"

Seruan Izayoi terdengar seperti desauan angin sepoi di pagi hari ketika hantaman dahsyat di lapisan tamengnya mengeluarkan suara desing seperti angin puyuh.

Mungil tubuhnya, jika dibandingkan dengan bulatan raksasa yang menghantam N3BIO dengan begitu kuat bahkan membuat Veronica terbenam ke dalam pasir hingga batas lutut. Namun gadis berambut hitam ini masih bertahan, karena hanya itu yang dapat ia lakukan saat ini.

"RRAAAAHHHHH!!!" Veronica berteriak kencang dengan pelupuk mata mulai berair, ketakutan juga keberanian untuk bertahan muncul secara bergantian. Walaupun demikian, entah mengapa ia merasa kalau N3BIO akan melindunginya.

[SERANGAN AKAN DISIMPAN SETELAH NADA: "BEEEEEP!"]

Mendadak ponselnya mengeluarkan suara seperti mesin penjawab otomatis dan saat itu bola api dihadapannya berpusing seperti air yang dibuang dari saluran bak cuci piring, perlahan-lahan bola api itu terkupas bagai kulit apel yang kemudian terhisap dalam sekejap ke dalam ponsel N3BIO.

Poof!

Veronica masih termangu dengan kaki terbenam dalam pasir hingga lutut ketika Izayoi menariknya hingga terduduk di pasir. Keduanya terdiam sembari menatap ponsel milik Veronica.

"Itu tadi apa?" Izayoi bertanya dengan napas satu-satu, nampak sangat letih.

 "Eh? Eh? Uhm... ah!" Veronica menjentikkan jemarinya, "barusan itu... kemampuan N3BIO dalam merekam serangan musuh."

"Merekam?"

"Iya merekam! Astaga kenapa aku bisa lupa ya?" Padahal beberapa saat lalu ia sudah baca di buku petunjuk.

"Lalu setelah direkam memangnya bisa diapakan?"

"Diteruskan seperti ini."

[SERANGAN AKAN DITERUSKAN: "YES" OR "NO"]

"YES!" Seru Veronica lantang seraya mengarahkan ponselnya ke segerombolan monster yang hendak menghadang mereka di depan. Dan saat itu juga sebuah ledakan dahsyat membuat mereka tercerai berai menjadi tak berbentuk. Baik Veronica maupun Izayoi menatap pemandangan itu dengan takjub.

"Whoaaa! ternyata kalian ada di sini?" Sejurus kemudian dua orang lain mendekati mereka, Ernesto dan Garrand yang sempat terpisah di awal.

"Umm...," Ernesto menatap ke sekitarnya, melihat banyaknya potongan-potongan tubuh monster bergelimpangan, "sepertinya barusan ada pesta besar di sini."

"Sangat besar, sampai-sampai aku mau pulang saja karena bising," Izayoi menanggapi sambil meringis. Tangannya tergores cakar serigala tadi, rupanya.

Sayang sekali Tamon Rah tidak mau membiarkan mereka berempat beristirahat barang sejenak. Sekejap kemudian kuda raksasa itu terbang menuju ke arah mereka melintasi medan pertarungan utama sembari meninggalkan jejak berupa lintasan api yang membakar apapun yang dilewatinya, baik monster maupun perajurit Alforea.

"Lari! Lari! Ke arah kastel! CEPAT!" Garrand yang lebih dulu bersuara ketika kepanikan mulai melanda. Bereka berempat lalu berlari sekuat tenaga, sama sekali menghiraukan gerungan dan desisan monster yang berusaha menyereang mereka.

XoXoX

Gerbang kastel telah terlihat, untungnya mereka berempat masih hidup. Ernest merasa kalau mereka benar-benar akan mati jika berada di padang pasir lebih lama dari ini. Walaupun demikian, Veronica bekerja amat baik dengan menyedot dua bola api dengan tameng aneh miliknya. Hal tersebut berhasil membuat mereka bertahan hidup hingga saat ini, walaupun harus dibayar dengan terus-terusan dikejar Tamon Rah.

Gerbang kastel tertutup rapat, namun Garrand tak diam saja. Pemuda itu berlari mendahului kelompoknya kemudian menyiapkan perisainya.

"DOBRAK JERUJI BESINYA!" Seru Ernest dengan panik ketika Tamon Rah berada kurang dari lima ratus meter di belakang mereka.

Dengan cepat pemuda paling tinggi dikelompok ini menerjang jeruji besi penghalang gerbang dengan tamengnya dan saat itu juga ia mendobrak jeruji besi itu dengan tamengnya yang bisingnya bukan main. Mereka berempat lalu masuk ke dalam area taman kastel. Dan entah mengapa Tamon Rah malah terbang ditempat dengan sambil meringkik gelisah.

"Kenapa dia?" Garrand yang telah lebih dulu masuk ke dalam kastel menatap Tamon Rah dengan heran.

"Entahlah...," Ernest menatap ke puncak kastel tempat menara kembar penyegel berada, "mungkin kuda poni takut menyerang kastel ini karena bisa-bisa dia menghancurkan menara kembar? Hah! Apapun alasannya tidak masalah, yang penting aku bisa istirahaaaaat," Ernest segera mendudukkan diri sembari bersandar di tembok kastel.

Dan benar saja beberapa saat kemudian Tamon Rah malah terbang menjauh.

Ketiga orang yang lain juga mulai duduk sembari bersandar, mengikuti Erenst.

"Sudah berapa lama kita di sini?" Izayoi bertanya seraya menekan luka di tangan kanannya dengan balok es.

"Uhm... tadi kalau tidak salah sudah hampir setengah jam," Veronica menjawab seraya mengetuk dagunya, agak tidak yakin.

"Setengah jam?!" Garrand berseru pelan seraya mengurut pangkal hidungnya dengan gemas, "Kenapa rasanya sudah lama sekali?"

"Entahlah..." Ernest menjawab sambil lalu. Ia tak begitu peduli sudah berapa lama mereka ada di sini, yang penting saat ini adalah harus menghancurkan menara kembar di puncak kastel ini.

"Sepertinya kita bisa istirahat cukup lama di sini," Garrand berjalan ke arah pintu ganda yang tingginya tiga kali tinggi tubuhnya. Didorongnya pintu tersebut dan koridor dingin dengan obor yang menyala redup sebagai sumber cahaya. Belum sempat Ernest melangkahkan kaki ke dalam kastel, suara gerungan keras terdengar begitu memekakkan telinga dari ujung koridor ini, "atau tidak."

"AHH! Sial! Di dalam sini ini pun ada monsternya?!" Ernest menggeram kesal sembari menarik-narik rambutnya sendiri.

"Sepertinya pembuat turnamen ini sama sekali tidak mempermudah peserta, eh?" Garrand menghela napas panjang, "Sudahlah, lagipula kita ada berempat sekarang."

Mereka mulai menelusuri koridor lambat-lambat. Langit-langit koridor ini begitu tinggi, tidak dapat diukur berapa tingginya karena penerangan obor dinding sama sekali tidak sampai. Berjalan dengan kewaspadaan penuh, walaupun demikian belum ada tanda serangan musuh sama sekali. Ernest tidak menyukai ini, sepertinya ada yang bersembunyi di balik kegelapan sudut koridor kastel ini. Oh, ia senang bersembunyi dari pandangan musuh dengan stelath mode-nya namun ia tidak suka mendapatkan kejutan.

"Shhh berhenti," Ernest merentangkan tangan kirinya, menghalau langkah rekannya.

"Ada apa Tuan Boreas?" Veronica mencicit dengan suara amat pelan.

"Kalian dengar itu?"

"Dengar apa?"

Suara itu terdengar amat sayup, seperti suara jentikan jari yang terdengar berulang-ulang. Awalnya hanya Ernest yang dapat mendengarnya namun lama kelamaan suara itu semakin jelas dan ketiga orang lainnya ikut bersiaga.

"OW! WAAAH!" Teriakan kaget Garrand membuat Ernest menoleh pada pemuda yang kini telah tergantung jungkir balik di langit-langit koridor dengan kaki terikat oleh sesuatu.

"KYAAA! LABA-LABA!" Veronica menjerit histeris ketika laba-laba hitam legam berukuran empat kali tubuh manusia terbias oleh cahaya oranye obor dinding tengah bertengger di puncak koridor. Makhluk bermata banyak itu terlihat begitu mengerikan dengan penerangan temaram. Dua gigi taringnya mengucurkan racun yang menetes di lantai seakan siap menggigit Garrand.

"Tidak secepat itu monster!" Izayoi membentuk sebuah tombak es dari ketiadaan, kemudian melemparkannya ke bagian perut laba-laba raksasa tersebut. Monster berkaki enam itu menggeliat beberapa jenak sebelum jatuh terjerembab di lantai koridor dengan debum keras. Sama sekali tidak memberi celah pada monster untuk kabur, Ernest membentuk tombak dengan auro yang menyelimuti tubuhnya kemudian dengan empat kali tusukan di kepala target, monster itu kemudian diam tak bergerak.

Izayoi membuat sebuah pedang es di tangan kirinya, kemudian ia melompat zig-zag di antara dinding koridor sebelum menyabetkan pedangnya ke jaring yang mengikat kaki Garrand. Pemuda jangkung itu terjun bebas, untungnya ia sempat memutar tubuh di udara hingga hanya bokongnya saja yang menjadi korban hantaman dengan lantai.

"ADAW!" Tapi tentu saja tetap sakit.

Bahkan belum sempat berbasa-basi dengan pertanyaan retoris 'kau tak apa-apa?' mereka kembali dikejutkan oleh suara langkah kaki mirip jentikan jari itu dari arah belakang mereka. Namun kali ini suara tersebut terdengar amat banyak bahkan lantai tempat mereka berpijak pun kini bergetar pelan.

"Oke sepertinya waktunya untuk kembali berlari," Ernest segera berlari saat itu juga, disusul oleh rekan-rekannya yang lain. Koridor yang mereka lalui terasa amat panjang namun sayang sekali jalan buntu menunggu mereka di ujung koridor.

"Kenapa kau tidak lari ke tangga tadi?!" Garrand berseru geram pada Ernest.

"Kenapa juga kalian mengikutiku dari belakang?" Ernest tentu saja tidak mau disalahkan atas kenaasan nasib tim mereka saat ini. Pertengkaran kecil itu harus disudahi karena dihadapan mereka kini berkumpul belasan monster laba-laba yang menyesaki koridor. Ada yang bergengger di kusen jendela, di dinding, di lantai bahkan di langit-langit.

"Tch... aku bisa menghabisi mereka semua, tapi kalau diserang sekaligus dalam ruangan sempit seperti ini...," Izayoi menggerung kesal.

"AH!" Veronica yang sedari tadi diam di belakang ketiga lelaki itu mendadak menyeruak kedepan, "biar aku yang tangani!" Serunya percaya diri.

"Bagaimana caranya?" Tanya Garrand agak tidak percaya.

[SERANGAN AKAN DITERUSKAN: "YES" OR "NO"]

Suara itu keluar dari tameng Veronica dan dijawab oleh Veronica dengan seruan 'YES' amat keras. Kemudian tembakan plasma dilontarkan dari tameng si gadis spandeks, menyebabkan ledakan dahsyat yang berhasil melubangi dinding di sekitar ledakan.

"Tadi sebelum masuk ke kastel aku kan menyerap dua bola api Tamon Rah," jawab Veronica sembari tersenyum bangga, "satu ledakan saja sudah cukup untuk membinasakan lima sampai enam monster di hadapan kita," lanjutnya dengan penuh percaya diri.

"Hoo! Ternyata kau punya senjata cadangan seperti ini," Ernest menepuk pundak Veronica, "Nah, kau masih punya satu tembakan lagi kan? Bisa ditembakkan sekarang?"

"Tentu!" Kemudian ledakan susulan membuat kepungan laba-laba raksasa itu lenyap dalam seketika. Sedangkan yang masih bertahan hidup dari ledakan itu lari terbirit-birit.

"Cepat! Kita tak bisa membiarkan kesempatan ini lepas, kita tidak tahu berapa banyak monster macam itu akan menghalangi jalan kita ke puncak kastel," Garrand berlari terlebih dahulu ke arah tangga yang berada tidak jauh dari jalan buntu kemudian melambai pada yang lain kemudian mereka menyusul dan mulai mendaki anak tangga.

XoXoX

Mereka terus berlari dari satu lantai ke lantai yang lebih tinggi. Beberapa kali terdengar ringkikan Tamon Rah, bahkan dari balik tebalnya dinding kastel tak bernama ini. Garrand berada di depan, memandu rekan timnya untuk tetap berada di dalam satu kelompok agar tidak terpisah. Ia tak ingin menyerahkan urusan pemandu jalan pada Ernest lagi karena tadi mereka berempat hampir saja mati gara-gara mengikuti si rambut merah kalau saja Veronica tidak menyimpan cadangan serangan.

Tameng dan zirah emas yang berkilau terbias oleh cahaya obor temaram nampaknya membantu mereka agar tidak terpisah. Sejauh ini mereka hanya kembali direpotkan oleh segerombolan laba-laba raksasa, untung saja mereka sudah belajar dari kesalahan sebelumnya untuk tetap berada di tempat yang cukup luas agar tidak terkepung dari satu arah. Untuk urusan kekuatan, monster laba-laba itu tidak ada apa-apanya kalau dilawan satu per satu.

Mereka telah samapi di lantai keenam, ruangan semakin menyempit karena bentuk kastel ini mengerucut ke atas. Kira-kira tiga lantai lagi mereka akan tiba di puncak kastel. Dari sini mereka bisa melihat bias cahaya kebiruan dari jendela, menara kembar sudah dekat. Tamon Rah yang terbang di langit malam terlihat seperti matahari di tengah malam yang bergerak seenaknya. Membuat jalur api yang menghanguskan siapa saya yang dilewatinya bahkan kini muntahan bola api keluar lebih banyak daripada sebelumnya.

"Sepertinya kuda sembrani kita mulai gelisah," ucap Garrand ketika ia menoleh ke jendela.

"Semoga saja dia tetap takut menyerang kastel ini hingga kita menghancurkan menara kembar," sahut Ernest, "oh omong-omong, kalian dengar sesuatu?"

Garrand mendecih. Pendengaran si rambut merah itu lebih tajam daripada yang lainnya, mereka bisa menghindari serangan fatal laba-laba raksasa karena telah diperingatkan oleh Ernest terlebih dahulu. Dan sekarang Garrand yakin kalau yang menunggu mereka di lantai atas bukan sesuatu yang menyenangkan.

Oh semoga saja Ernest hanya mendengar tikus mencicit atau kecoa terbang.

Namun harapannya harus kandas begitu saja ketika mereka sampai di puncak kastel. Angin dingin berembus membawa aroma darah dari peperangan yang belum juga usai, suara ringkikan Tamon Rah terdengar begitu nyaring, dan mereka berempat kini dihadang oleh dua raksasa berwujud manusia lelaki super jelek dengan tinggi kira-kira tujuh meter. Gada berduri berada di genggaman tangan masing-masing raksasa, siap melumat siapapun yang berani mendekati menara kembar. Mereka hanya memakai koteka super besar yang terlihat amat kumal. Melihatnya saja sudah membuat Garrand mual.

"Yang benar saja...," Izayoi terdengar lesu ketika melihat tak hanya Tamon Rah saja raksasa yang harus mereka hadapi.

"Uh... bagaimana ini? Bahkan mengendap-endap pun nampaknya tidak akan berguna," Veronica mencicit gelisah.

Menara kembar itu berada di belakang para raksasa. Mustahil bagi mereka untuk berlari menembus benteng raksasa itu. Garrand menggaruk kepalanya dengan perasaan gundah, ia tak punya ide apapun untuk saat ini. Di saat itulah ia merasakan sebuah tepukan di pundaknya.

"Kau terlihat lebih tua 10 tahun tahu tidak?" Ejek Ernest sembari menempelkan telunjuknya di kerutan kening Garrand karena berpikir terlalu keras.

"Apa maksudmu hah?" Ucap Garrand sewot sembari menggosok keningnya.

"Hey Izayoi, kau bisa mendekat ke menara dengan cepat?" Tanya Ernest pada pemuda bersyal tersebut.

"Kurasa bisa... memangnya kenapa?" Tanya Izayoi.

"Aku ingin memastikan keadaan di dekat menara itu, siapa tahu ada jebakannya kita tidak pernah tahu, kan?"

"Caranya?"

"Dengan ini," jawab Ernest dengan nada santai. Beberapa detik kemudian tubuh Ernest berpendar kemerahan lalu yang mengagetkan ketiga rekannya adalah tubuh Ernest menjadi transparan. Maksudnya, kau masih bisa melihat siluet tubuh Ernest tapi seluruh tubuhnya menjadi bening seperti gelas kaca berwarna merah.

"Jangan terperangah begitu, kalian bahkan belum melihat semuanya," Ernest terkekeh jahil kemudian mulai berjalan menjauh dari ketiga rekannya dan dalam jarak pandang tertentu, tubuh pemuda itu lenyap dari pandangan, "oh mungkin kalian bahkan tidak bisa melihatnya, eh?" Lanjutnya dengan nada iseng.

"Kutunggu kau Izayoi, awas jangan lebih dari tiga menit ya! Aku ada di menara yang sebelah kiri!" Setelah menyerukan itu, tak ada lagi suara yang dikeluarkan Ernest yang kini entah berada di mana.

"Oke jadi... bagaimana sekarang?" Tanya Garrand pada dua rekannya.

"Mungkin kita bisa mengalihkan perhatian dua raksasa itu?" Usul Veronica sembari menaikkan tameng aneh miliknya, "Dan Tuan Nakama bisa menyelinap ke arah menara, hmm hmm... sempurna!"

"Aku tak akan bilang rencana kita bisa berjalan sempurna, tapi tak ada salahnya mencoba," ucap Garand, "kau siap-siap kalau begitu, Izayoi," yang bersangkutan menjawabnya dengan anggukan singkat.

"Tuan Boreas tadi bilang tidak boleh lebih dari tiga menit kan? Mungkinkah itu batas penggunaan kemampuannya?" Veronica kemudian mengangkat tamengnya dan memencet beberapa tombol, "Kita hanya tinggal mengalihkan perhatian mereka saja, kan?"

[RINGINGTONE MONOPHONIC: ON!]

Sedetik kemudian suara dengan satu nada melantun amat keras dari tameng Veronica. Saking nyaringnya lantai tempatnya berpijak bergetar hebat, telinga Garrand sakit bukan kepalang hingga pemuda itu berlutut dengan kedua tangan menutup telinga.  Kondisi yang sama pun dialami oleh Izayoi.

Nada-nada yang menjerit keras itu akhirnya berhenti setelah sepuluh detik berlalu.

"Kau! Barusan apa yang kau lakukan?" Seru Garrand dengan geram.

"E—eh? Oh... ini serangan suara, ternyata serangan ini berlaku bagi siapapun yang tidak memakai headphone seperti milikku," ucap Veronica salah tingkah sembari menunjuk penutup telinganya dengan canggung.

"GROAARRRGHHH!!!"

Mereka dikagetkan oleh geraman dua raksasa yang terlihat murka, sepertinya nada dari tameng Veronica benar-benar ampuh untuk mengalihkan perhatian. Tapi sepertinya perhatian yang diterima Garrand dan Veronica terlalu berlebihan. Kedua raksasa itu kemudian berlari dengan geram ke arah mereka, bersiap menghantamkan gada berduri.

"Tch! Veronica, berlindung dibelakangku!" Garrand menarik gadis berambut hitam itu, kemudain mengangkat tameng bulatnya ke atas kepala. Dari permukaan tameng emas itu muncul sebuah lapisan kuning muda transparan yang berbentuk seperti kubah yang melindungi mereka berdua dari serangan gada berduri seukuran tubuh manusia. Serangan pertama dan kedua berhasil dihalau, benturan gada dengan lapisan pelindung terdengar seperti benturan logam yang memekakakn telinga.

"Perisai ini bertahan berapa lama?" Tanya Veronica dengan panik ketika melihat serangan berikutkanya akan dilancarkan.

"Lima detik! Izayoi sekarang waktumu untuk menyelinap!" Tak perlu seruan lainnya, Izayoi segera bergerak ke arah pinggir, menghindari pengalih perhatian Veronica dan Garrand.

Empat... tiga...

Serangan bertubi-tubi itu masih belum juga usai, lapisan pelindung mulai retak.

Dua... satu...

"Ke samping kiri!"

Veronica dan Garrand segera berguling ke samping kiri sebelum gada memecahkan lapisan pelindung. Lantai batu tempat hantaman gada tersebut membentuk ceruk yang lumayan besar, walapun demikian tidak cukup kuat untuk membuat lubang ke ruangan di lantai bawah.

"Veronica giliranmu!"

"Ba—baik!"

Veronica kemudian berpindah posisi ke depan Garrand, memasang tamengnya di atas kepala.

"Umm... Tuan, sepertinya aku tidak bisa menahan serangan fisik seperti itu...," ucap Veronica dengan ngeri ketika melihat gada raksasa itu kembali terangkat.

"Tenang saja, aku akan membuatmu berkilau!"

"Be—berkilau?!"

Garrand menempelkan perisainya ke punggung Veronica kemudian perisai emas melebur di tubuh gadis itu memberikan sebuah lapisan keemasan yang membuatnya berkilau—secara literal. Dengan begini, serangan fisik akibat benturan bisa dikurangi hingga tidak ada kerusakan sama sekali.

"Whoaa! Mataku silau tuan!" Seru Veronica.

"Tutup mata kalau begitu, tahan saja serangan berikutnya!"

Gada menghantam tameng Veronica, walaupun terlihat aneh ternyata lapisan mirip kaca berwarna biru pada tameng Veronica tidak bisa dianggap remeh karena dengan kekuatan super raksasa itu sekalipun, lapisan tersebut tidak retak sama sekali. Sepertinya lapisan pelindung emasnya masih kurang kuat dibandingkan tameng Veronica walaupun demikian setidaknya bisa menghalau benturan lanjutan akibat hantaman gada.

"Keadaanku ini bisa bertahan sampai berapa lama, tuan?"

"Dua menit!"

"Whoa! Aku tidak bisa menahan serangan lebih dari lima belas kali, batere N3BIO akan habis dan lapisan pelindung ini akan hancur! Aku hanya bisa menahan selama setengah menit sampai semenit saja!"

Ternyata kemapuan tameng Veronica pun ada batasnya. Oh tentu saja, tidak ada yang sempurna di dunia ini, kan?

"Baiklah, ikuti aba-abaku sebelum kita menghindar lagi ke samping!"

"O—oke! Tapi sebelum itu biarkan aku merekam satu serangan dulu!" Tukas Veronica kemudian memencet tombol di perisainya dengan cepat di saat jeda serangan musuhnya.

[SERANGAN AKAN DISIMPAN SETELAH NADA: "BEEEEEP!"]

Sebuah pukulan besar menghantam tameng Veronica.

"Sudah cukup Veronica! Sekarang menyingkir dari situ!" Seru Garrand yang kemudian menarik kembali tameng emasnya yang melindungi Veronica.

Mereka berdua berlutut dengan ngos-ngosan di satu sudut atap kastel. Kedua raksasa masih mengincar mereka berdua. Pengalihan perhatian mereka sudah lebih dari tiga menit. Sekarang harusnya pekerjaan dua orang lainnya sudah selesai.

Namun raungan suara yang ia kenali membuat Garrand mencelos.

XoXoX

Izayoi berada cukup jauh dari menara kanan yang berjarak sepuluh meter dari menara kiri, hampir sampai ke arah tujuannya. Dari jarak ini dapat ia lihat kalau menara kembar itu terlihat begitu rapuh, sepertinya dengan satu serangan pedang miliknya pun nampaknya bisa meruntuhkan menara itu dengan satu dua serangan biasa.

Namun suara raungan tertahan terdengar begitu keras dari arah menara kiri. Ia melihat Ernest diserang oleh sinar kebiruan tepat di bagian punggung kirinya. Serangan sinar kebiruan itu tidak terlalu cepat, amat mudah untuk dihindari. Begitu pula dengan Ernest yang dengan mudah menghindari serangan-serangan berikutnya. Namun, serangan pertama merupakan kejutan yang tak bisa diprediksi.

"Sial! Ternyata menara ini masih punya muslihat simpanan eh?" Geram Ernest, "Jangan terlalu dekat menara! Nanti sinar biru itu menyerangmu Izayoi!"

"Kau masih bisa berdiri? Kita harus menghancurkan menara ini bersamaan," ingat Izayoi pada si rambut merah.

"Iya aku tahu itu! Tch, aku benar-benar tidak suka diberi kejutan seperti ini, sial!"

"Kita tidak punya banyak waktu, sepertinya raksasa-raksasa itu mendengar teriakanmu barusan," pemuda berambut pirang itu kemudian mengangkat Frozen Soul, pedang yang dapat ia ubah bentuknya sesuai keinginannya, kemudian saat itu juga ia mengubah bentuk pedangnya menjadi pedang berukuran besar, hampir sama besar dengan ukuran tubuhnya.

Sedangkan di sisi lain, Ernest nampak tengah membentuk senjata yang sama dengan miliknya. Oh, nampaknya mereka berdua punya pikiran yang sejalan. Kalau saja sifat short fuse pemuda rambut merah itu bisa agak dijaga, sepertinya mereka bisa akrab.

Izayoi hendak menghantamkan pedangnya ketika Garrand berseru dari belakang, memperingatkan mereka berdua untuk mundur dari situ. Izayoi hampir mati jika tidak melompat ke belakang dengan cepat ketika sebuah ledakan dengan radius lima meter melubangi lantai batu hingga tembus ke ruangan di bawah. Suara ringkikan memuakkan itu kembali terdengar dan saat ia mendongakkan kepala ke atas, Tamon Rah tengah memuntahkan setengah lusin bola-bola api dari mulutnya ke arah atap kastel.

"Apa makhluk itu gila? Apa dia ingin menyegel dirinya sendiri dengan mengahancurkan menara kembar?" Desis Izayoi geram. Namun ketika satu bola api hendak menghantam menara kembar, bola api itu lenyap seakan ditelan oleh menara tersebut.

"Tch, serangan sihir tidak berdampak apapun pada menara, huh?" Geramnya, "Ernest! Kau masih di sana?"


"Masih!" Seru Ernest dengan suara lantang karena sudah tidak ada gunanya lagi mengendap-endap di keadaan seperti sekarang. Dan lagi, dua raksasa yang menjaga menara kembar itu langsung melompat dari kastel kemudian lari terbirit-birit. Setidaknya satu masalah selesai, walaupun harus disambung dengan masalah yang lebih sulit.

Tamon Rah terus memuntahkan bola-bola api dari mulutnya, Izyoi dan Ernest beruntung mempunyai kecepatan gerak di atas rata-rata sehingga dapat menghindari bola-bola api yang melubangi atap kastel ini. Semakin banyak lubang yang terbentuk di sekitar menara biru, semakin terlihat pula kalau menara kembar itu bahkan tidak memerlukan lantai untuk menopangnya karena mereka bisa melayang di udara.

"Sial! Lubangnya makin banyak! Jumlah pijakan semakin sedikit!" Ernest berhasil melompat dari pijakan yang barusan runtuh karena teralu rapuh akibat ledakan.

"Kalian berdua! Cepat kemari!" Garrand berseru dari balik pintu menara jam. Izayoi dan Ernest tidak banyak protes dan langsung berlari mendekati mereka.

"Aku punya rencana," ucap Garrand ketika mereka semua telah berkumpul, "Veronica bisa kau keluarkan penutup telinga yang kau berikan padaku?" Ucap Garrand sembari menujuk penutup telinga yang kini melingkar di lehernya.

"Tentu saja!" Veronica memencet beberapa tombol di tameng anehnya kemudian suara aneh berseru dari sana.

[SCREENSAVER, ON. PICTURE SELECTED: HEADPHONE]

Kemudian dari tameng itu muncul penutup telinga mirip seperti yang ada di leher Garrand. Veronica lalu menyerahkan penutup telinga itu pada Ernest dan juga Garrand.

"Untuk apa ini?" Tanya Izayoi dengan bingung.

"Pakai saja, kita tidak punya banyak waktu! Biar aku dan Veronica yang mengalihkan... WHOA!" Sebuah ledakan keras terdengar dari samping pintu menara jam, "biar kami yang mengalihkan perhatian Tamon Rah, kalian urus menara kembar!"

"Tapi bagaimana?"

"Sudah kubilang kita tidak punya banyak waktu lebih lama dari ini maka atap kastel ini bisa hancur bahakan sebelum aku menjelaskan rencana ini!"

Ernest dan Izayoi terdiam beberapa detik sebelum menganggukkan kepala. Walaupun tidak terlalu yakin, namun mereka tidak punya banyak pilihan. Jika mengikuti perintah orang lain Izayoi bisa melanjutkan hidup, maka ia akan lakukan perintah itu.

"Baiklah sekarang pasang penutup telinga kalian," ucap Garrand dan keduanya mematuhi.

"Masalahnya sekarang bagaimana mendekati menara kembar itu? Lubang di lantai sudah tidak memungkinkan untuk dipijak." Garrand menggaruk-garuk rambutnya dengan gelisah.

"Oh kalau itu sih mudah, aku bisa terbang ke sana," jawab Izayoi.

"Terbang?!" Seru ketiga rekannya bersamaan. Namun ledakan bola api Tamon Rah semakin membabi-buta, tidak ada waktu untuk menjelaskan.

Izayoi segera keluar dari menara jam, ia menatap Tamon Rah dengan tatapan tajam. Kemudian ia memejamkan matanya, memusatkan kekuatan sihirnya di punggung kemudian dari situ tumbuh sepasang sayap dari kristal es yang mungkin akan membuat ketiga rekannya terperangah kalau saja suasananya tidak genting seperti saat ini.

"Oi Izayoi! Aku numpang ya!" Ernest lalu melompat ke pundak Izayoi, sama sekali tidak menunggu persetujuan terlebih dahulu.

"Astaga, berat sekali!" Keluh pemuda berambut pirang itu. Namun ia tak bisa mengeluh lebih lama karena bulatan api kembali menghujani mereka. Kali ini Izayoi menghindar di udara, lebih mudah ketimbang harus melompat ke sana kemari di daratan. Walaupun demikian muatan yang ia bawa rupanya membuat gerakannya jadi lebih lambat.

"Awas! Ke kanan! Ke kanan! Eh, maksudku ke kiri! Yak bagus! WAAAA! MENUNDUK!"

"BERISIK!" Izayoi berteriak pada manusia untuk pertama kalinya ia tiba di Alforea, rasanya benar-benar menjengkelkan ketika disuruh-suruh oleh orang yang menumpang di punggungnya.

"Garrand! Kalau kau punya rencana, sekaranglah waktunya!" Seru Ernest dengan tidak sabar.

"Iya aku tahu itu! Veronica sekarang giliranmu," ucap Garrand seraya meleburkan tameng emasnya ke tubuh gadis itu, membuat Veronica kini terlapisi emas di seluruh tubuhnya.

"Baiklah," ucap Veronica, "kalian hanya punya waktu sepuluh detik untuk menghancurkan menara kembar!"

"Itu sudah lebih dari cukup!" Tukas Ernest.

Berdiri di tempat terbuka seperti ini benar-benar merugikan Veronica karena ia tak dapat menghindari serangan dengan cepat seperti Ernest atau Izayoi, namun dengan bantuan emas yang melapisi tubuhnya, kini gadis itu tenang-tenang saja ketika sebuah bola api raksasa menghantam tubuhnya karena ia tak akan terluka sama sekali.

"Oke! RINGINGTONE MODE ON!" Seru Veronica seraya mengacungkan tamengnya ke atas.

Dan saat itulah suara yang memekakkan telinga itu menggema hingga membuat kaca-kaca jendela kastel bergetar saking kuatnya gelombang suara itu. Bahkan Tamon Rah menggeliat di udara dengan amat merana karena tidak bisa menutup telinganya, cukup untuk membuat pegasus api raksasa itu tidak memuntahkan bola-bola api untuk sementara waktu. Untungnya kemampuan ini sama sekali tidak berpengaruh pada siapapun yang memakai headphone seperti yang dikenakan dua orang yang tengah terbang dengan kecepatan tinggi ke arah dua menara kembar.

"Ernest, sekarang!"

"OKE!"

Ernest melompat dari pungguh Izayoi dengan pedang besar yang ia ciptakan dari aura merah tubuhnya. Di saat yang sama Izayoi mengubah bentuk pedangnya menjadi lebih besar tiga kali lipat. Dengan seruan kencang keduanya menukik dari langit dengan pedang besar terangkat tinggi. Dibarengi oleh selesainya nada memekakkan telinga dari tameng Veronica, menara kembar telah berhasil dihancurkan.

Tamon Rah meringkik ketakutan ketika tubuhnya kembali terbungkus bulatan besar. Meronta adalah hal terakhir yang dapat mereka lihat dari sang kuda api sebelum makhluk mengerikan itu terbungkus sempurna. Kemudian bulatan itu terlontar dengan kecepatan cahaya ke arah langit. Kembali menjadi bulan Alforea yang utuh, seakan tak terjadi apa-apa selama dua jam terakhir ini. Monster-monster yang bertarung dengan sisa pasukan Alforea juga telah menghilang satu persatu digantikan dengan sorak-sorai dari pasukan Alforea. Sedangkan keempat peserta hanya bisa terdiam sambil menghembuskan napas lega karena mereka masih bisa hidup sampai saat ini.

"Selamat atas keberhasilan anda Master," ucap seseorang yang kini berdiri di puncak puing menara kembar yang telah hancur, mengagetkan keempat peserta. Dia adalah Rosetta, maid yang mengantar mereka ke arena pertarungan. Mereka berempat tak sempat mengucapkan apapun karena sedetik kemudian Rosetta telah menjentikkan jarinya dan keempat peserta langsung tersedot ke dalam portal.

"Selamat atas keberhasilan anda, Master. Tantangan yang lebih berat akan menunggu kalian di ronde berikutnya."

Lalu dengan satu jentikan jari lagi, Rosetta menghilang di udara kosong.

***

7 comments:

  1. Aduh, nggak percaya cerita sesantai ini ditulis mendekati deadline~

    Penarasian, oke banget. Tapi sayangnya ada benih typo yang belum dipanen.
    Karakterisasi, sip.
    Dialog, cukup. Tapi sayangnya begitu mendekati akhir, dialog2nya bikin kakak kelihatan terburu2.

    Overall 8 deh :3
    Haru Ambrosia

    ReplyDelete
  2. Fontnya apa iniii, kenapa kecil sekaliii @_@

    Tapi terlepas dari itu, tulisan dan plotnya tersusun rapi, cukup beda dengan mayoritas deadliner yang saya baca borongan. Meski ini tim random, tapi interaksi antar karakternya ga ada yang bikin saya cringe. Bacanya juga lumayan lancar sampe akhir.

    Paling sedikit keluhan saya, entah kenapa karakter dan kemampuan Veronica jadi lebih menarik daripada Ernest sendiri #plak

    Dari saya 8. Deadliner buffer -1, jadi nilai akhir dari saya 7

    [OC : Dyna Might]

    ReplyDelete
  3. Kecil amat, aku mau baca ng-zoom dulu wkwk.

    Aku suka bacanya, aliran plotnya enak buat diikutin, walaupun di akhir setelah ngancurin menara, konklusinya jadi terlalu cepet. Demen pas ngobrol sama Bu Mawar, sayang gajadi rekan setim. Pas ngebentuk tim secara random sempet kukira bakal bikin cringe, tapi ternyata nggak sama sekali.

    Minusnya, typo di mana-mana. Diksi dan tanda baca ada beberapa yang kurang enak dibaca. Ada sebagian kata yang diulang-ulang juga, bikin aku agak geli. Tapi masih terselamatkan karena ceritanya yang asyik buat dibaca.

    Selain itu, MC kurang menonjol. Mirip sama punyaku sih, MC kalah bersinar sama karakter rekan setim. Di sini Veronica terlalu banyak diekspos. Bahkan ketika pisah dua-dua di awal tadi pun, kurasa lebih menarik sisi Veronica daripada sisi Ernesto.

    Yah, nilai 6 dari saya. +1 karena story yg kuanggap asik dan rapih untuk hitungan deadliner.
    Nilai akhir saya 7/10 :D

    ~JFudo
    ~Lo Dmun Faylim

    ReplyDelete
  4. Fontnya kecil sekali... Aku harus mindahkan ke word dulu buat baca ini.
    Terlepas dari masalah font, narasi mengalir lancar. Deskripsi lengkap sekali, suasana pertarungan tergambar dengan baik, plotnya juga oke.

    Entri ini asyik dibaca, hanya saja kenapa spotlight Ernest dicuri Veronica di tengah battle?

    Nilai : 8
    OC : Relima Krukru

    ReplyDelete
  5. Fontnya kecil banget. Saya sampai baca di Mobile karena terlalu malas mindahin ke notepad D:

    Eniwei
    > Typo
    > Saya suka gimana Bu Mawar muncul sebagai cameo
    > Overall deskripsinya ringan dan ceritanya rapi. Entah kenapa Ernest rasanya kurang bersinar disini, masih kalah dengan teman teman rekan setimnya terutama si Veronica.
    > Dimulai pertengahan tiba-tiba alurnya jadi cepat, terkesan terburu buru

    Nilai 8
    OC: Lexia Gradlouis

    ReplyDelete
  6. Tulisannya beneran nyiksa mata--ini kata orang yang males copy ke word. Tapi karena penuturannya enak diikuti, saya bisa lancar jaya sampe selesai. Narasinya ringan, dan dalam hal itu ada beberapa bagian yang ngingetin sama cara bercerita sendiri XD

    Oh ya, saya pertama kali kira Bu Mawar bakalan ikut (sama Ahran <--geer luar binasa). Gak taunya cuma sekadar cameo. Tapi cameo pun bagus, Ga cuma numpang nama sama ciri fisik aja. Kepribadiannya sesuai bayangan saya.

    Dan kayanya, cerita ini punya masalah yang sama dgn entry saya. Dari awal udah memuaskan tapi menjelang akhir agak terasa cepet.

    So, nilai: 8, tapi karena penuturannya oke punya, jadi 9 :3

    -Ahran-

    ReplyDelete
  7. Kebingungan dan kegusaran Ernest kerasa banget di awal-awal =))
    Narasinya oke, terasa ala RPF tapi bukan berarti itu buruk kok ww
    Interaksi karakter sudah bagus, walau makin lama Garrand jadi kurang tsundere
    Ada beberapa typo yang kelewatan sih, tapi dimaklumi karena ditulis di last days

    8

    OC. Apis

    ReplyDelete