4.5.15

[PRELIMINARY] GEIGER SCHWARZ - SANG DETEKTIF

[Preliminary] Geiger Schwarz - Sang Detektif
Penulis: Yafeth Tandi Bendon

Distrik 10 adalah nama untuk daerah metropolitan dengan tingkat kejahatan tertinggi di negara Germanica. Satu dari dua puluh penduduknya pernah terlibat atau menjadi korban dari kejahatan, juga merupakan kaum pinggiran yang miskin. Sedangkan tiga dari dua puluh penduduk kota itu adalah polisi yang seharusnya bisa mengimbangi kejahatan yang terjadi di daerah itu. Seharusnya. Pada kenyataannya dengan keunggulan jumlah satu berbanding tiga itu tetap saja kejahatan masih bercokol di Distrik 10.

Jangan bayangkan kejahatan biasa seperti perampokan, penculikan atau pembunuhan. Distrik 10 memiliki daftar kejahatan yang melebihi itu semua. Sebut saja eksperimen ilegal yang mengubah manusia menjadi chimera. Atau pembunuhan di ruangan tertutup dengan mayat terbenam ke dalam dinding. Atau mayat kering dengan genangan darah yang membentuk tubuh manusia berada saling bersebelahan.

Terasa asing dan tidak masuk akal?

Selamat datang di Neo Gaia, dunia baru yang dihuni manusia setelah bumi hancur lima ribu tahun lalu. Tidak ada yang mustahil di dunia ini.


~~~

NEO GAIA

I

Geiger Schwarz tersentak kaget dari tidurnya oleh suara sirene yang memenuhi kamar tidurnya. Secara refleks Geiger meraih tablet seukuran telapak tangan di samping tempat tidurnya dan memeriksa jam. Pukul tujuh kosong-kosong.

"Faye!" bentak Geiger. Layar tablet di tangannya seketika menyala dan menampilkan sesosok peri mungil berkulit putih dan bertelinga lancip. Dari segi penampakan sosoknya mirip dengan gadis kecil, dengan rambut sepinggang berwarna perak dan baju terusan berwarna emas. Sang peri tampak tertidur lelap, melayang-layang di dalam layar berlatar belakang lautan dalam.

"Kau memasang alarm jam tujuh? Yang benar saja," keluh Geiger pada sosok peri di dalam layar tabletnya. "Aku baru tidur tiga jam!"

Peri itu tampak sedikit terganggu, tapi tetap terlelap. Dan itu membuat Geiger semakin kesal.

Geiger Schwarz, salah satu dari kalangan "tiga per dua puluh" Distrik 10 namun lebih tampak seperti orang dari kalangan "satu per dua puluh" distrik itu. Rambut hitam berantakan. Kumis dan cambang yang tidak terawat. Wajah persegi yang tampak jarang tersenyum. Bau alkohol menguar dari mulutnya. Bekas tebasan pisau dan bercak darah di lengan kemeja putih yang masih dipakainya sejak siang kemarin. Di balik bantal kepalanya menyembul gagang senjata api. Di pinggangnya tersampir pisau.

"Hentikan alarmnya!" bentak Geiger lagi. Kali ini peri kecil di dalam layar komputer tablet itu bereaksi.

Sang peri membuka matanya dan menatap Geiger dengan sepasang mata berwarna perak miliknya. "Selahat hagi, Heiher," kata sang peri setengah mengantuk. Dia menguap beberapa kali sebelum menggosok-gosok matanya.

"Sudah segar sekarang? Sekarang matikan alarm ini. Aku masih mau tidur!" perintah Geiger pada Faye, sang peri kecil di dalam layar tabletnya.

"Tapi kau harus ke markas untuk melaporkan hasil investigasimu, kan?" kata Faye.

"Aku bisa mengirimnya dari sini," kata Geiger.

"Kau harus bersaksi di pengadilan untuk kasus pemalsuan Codex jam sembilan nanti," kata Faye. Kini sang peri dan sang pemilik sudah cukup segar untuk saling beradu mulut. Dan sang peri kecil ini adalah lawan adu mulut yang tidak mudah mengalah.

Geiger menggerutu. "Jangan ingatkan aku," katanya.

"Tugas seorang detektif juga untuk bersaksi, kan? Dan lagi, detektif yang membuka kasus ini pertama kali adalah tuan Letnan Geiger Schwarz. Benar, kan?" tanya Faye yang disambut gerutuan Geiger.

"Kesaksianku tidak penting. Toh sudah cukup bukti untuk membuat tersangkanya dijatuhi hukuman," balas Geiger.

"Bagaimana dengan penelusuran informasi dari tuan Tony semalam?"

Geiger diam sejenak. Dia menggaruk-garuk kepalanya yang tiba-tiba terasa gatal. "Kau menang," katanya. "Kita memang harus menelusurinya. Jadi sekarang apa kau bisa mematikan alarmnya? Aku sudah bangun dan tidak ingin berurusan dengan tetangga yang terusik suaranya."

Faye tersenyum dan mengangguk. Dalam sekejap suara sirene berhenti.

Dari balik dinding kamar Geiger terdengar makian seorang wanita tua. Geiger menghela napas dan memegangi kepalanya yang mendadak pusing. "Terima kasih, Faye. Berkat kau sekarang aku harus berurusan dengan nenek itu lagi sebelum bekerja," katanya.

~~~
II

Geiger tidak bisa segera memeriksa informasi yang diberikan informannya, Tony. Persidangan—yang berusaha dia hindari namun gagal karena ketahuan atasannya—memakan waktu berjam-jam berkat argumentasi berbelit-belit pengacara tersangka yang berusaha terlalu keras menolong kliennya. Si pengacara berusaha melawan bukti senapan berasap yang masih di tangan tersangka saat ditangkap. Pembelaannya yang mengatakan bahwa tersangka yang dia bela dipengaruhi seseorang dengan Codex dibantah oleh tim forensik—Geiger bersaksi atas nama mereka—yang tidak menemukan sisa-sisa Codex apapun padanya. Ditambah dengan motif kuat dan alibi yang dangkal, argumentasi si pengacara tidak lebih dari usaha mengulur waktu demi berharap pada keajaiban yang mustahil datang. Pada akhirnya klien itu pun tetap dijatuhi hukuman.

Persidangan menyedihkan ini dimulai pagi hari dan berakhir sore hari. Ini bagaikan hukuman bagi Geiger. Harus menjawab dengan tegas namun tetap tenang dan sopan. Berusaha untuk tidak terpancing oleh kata-kata para pengacara tersangka yang berusaha menyerangnya secara pribadi. Menyampaikan bukti-bukti dari tim forensik sedetil mungkin namun dalam kata-kata yang mudah dipahami. Geiger lebih suka membalas para pengacara itu dengan kata-kata tajam dan menyerahkan tugas membahas hal-hal teknis pada orang lain. Tetapi jika dia melakukan itu, maka kasus yang dipersidangkan akan berakhir buruk. Geiger harus bersabar demi hasil akhir yang baik, sesuatu yang sebenarnya sulit dia lakukan.

"Hei, Geiger! Sidangnya sudah selesai, kan?" Seorang pria tua berambut putih dengan badan gempal berjalan mendekatinya di tangga luar gedung pengadilan sambil tersenyum.

"Sudah, Pak," jawab Geiger datar. Pria yang menyapanya adalah Harold, kepala polisi Distrik 10—atasan langsung Geiger sekaligus orang yang selalu dengan senang hati menyuruh Geiger mengatasi kasus-kasus berbahaya, sementara dia mengambil kredit dari keberhasilan Geiger.

"Kalau begitu kau bisa mengatasi kasus ini, bukan?" kata Harold sambil memeriksa komputer tablet miliknya. "Segala detilnya akan kuberikan padamu sekarang."

Komputer tablet milik Geiger berbunyi. Pesan kiriman sang kepala polisi ternyata berisi banyak sekali dokumen dan foto. "Apa ini kasus?" tanya Geiger.

"Tentu saja. Ini bukan pertama kalinya kau menangani kasus dengan banyak dokumen dan foto, bukan?" balas Harold.

"Benar, Pak. Hanya saja untuk sesaat saya merasa sebagai seorang akuntan," sindir Geiger.

Harold tertawa terbahak-bahak. "Kau detektif yang hebat. Hanya kau yang bisa kupercayai menangani ini. Ah, pastikan membaca semua dokumennya. Meski kurasa beberapa dokumen itu juga harus diseleksi kebenarannya," katanya sambil berjalan pergi meninggalkan Geiger.

Geiger melihat jumlah dokumen dan foto yang dikirimkan padanya. Memeriksa sekumpulan data mentah seperti itu akan menghabiskan banyak waktu.

"Tidak ada waktu mengurusi ini," kata Geiger sambil melangkah pergi.

"Bagaimana kalau penelusuran informasinya ditunda?" kata Faye yang muncul tiba-tiba di layar komputer tablet Geiger. "Pak Tua Harold itu bisa lebih berisik dari si nenek berisik kalau marah."

"Tidak masalah," kata Geiger. "Hanya ini kesempatanku menemukan si peretas hebat yang dikatakan Tony."

Faye menghela napas. Saat Geiger sudah menjadi keras kepala seperti ini, kata-katanya tidak akan didengar pria itu. "Apa mencari peretas itu sangat penting? Kalau sekadar mencari informasi, kukira kepolisian memiliki banyak peretas yang handal," katanya.

"Tapi apa mereka bisa meretas Codex level 5?" tanya Geiger.

Faye memiringkan kepalanya ke kiri. "Untuk apa meretas Codex kompleks seperti itu?" tanyanya bingung.

"Bukan untuk apa-apa," jawab Geiger. "Hanya penasaran."

"Jarang-jarang seorang Letnan Geiger penasaran pada sesuatu yang tidak berhubungan dengan kasus," kata Faye.

"Begitukah?" Geiger tersenyum. "Anggap saja kali ini pengecualian."

~~~

III

Tony Leonardo adalah seorang bartender berkepala botak yang mengenal seluk-beluk dunia bawah tanah. Dia juga seorang peretas Codex yang dulunya terkenal sering membuat pemerintah kelabakan. Geiger pernah menangkapnya sekali, namun dia membuat kesepakatan dengan sang detektif untuk menghindari hukuman. Sejak itu Tony menjadi informan Geiger yang sangat berharga. Kecuali untuk saat ini.

Geiger menendang pintu kecil bar milik Tony hingga terpental. Semua pengunjung bar itu menoleh dan segera mencabut pistol dan mengarahkannya ke pintu—bar milik Tony adalah langganan para mafia dan orang-orang yang aktif di bawah tanah. Namun saat melihat siapa yang menendang pintu itu, mereka dengan segera pula menurunkan senjata mereka.

"Terima kasih atas pengertiannya," kata Geiger dengan suara pelan. Matanya menyapu seluruh ruangan. Tidak ada satupun yang berani membalas tatapan Geiger. Mereka sepertinya sibuk dengan urusan masing-masing, entah berbicara dengan teman mereka atau menggeser-geser layar hologram di depan mereka dengan gugup. Termasuk pula Tony yang pura-pura sibuk mengatur botol-botol minuman di rak.

Geiger melangkah perlahan. Dia dengan sengaja memperdengarkan suara langkahnya di atas lantai kayu ruangan bar itu. "Bartender, ada minuman yang enak?" tanyanya.

Tony melirik sesaat ke arah Geiger sebelum dengan tergesa-gesa mengambil gelas dan menuangkan bir ke dalamnya. Pengunjung lain menatap dengan awas pada adegan yang sedang terjadi di hadapan mereka, menimbang-nimbang kapan waktunya melarikan diri dari bar itu sebelum terjebak dalam kegilaan detektif semacam Geiger.

"Tolong jangan rusak barku," kata Tony dengan gugup saat Geiger sampai ke mejanya.

"Aku tidak akan merusak barmu," kata Geiger. Dia berbalik dan kembali melihat seluruh ruangan itu. Bagaikan lilin yang ditiup angin, satu per satu mata yang memperhatikan dia pun mengalihkan pandangan. Geiger tersenyum puas dan kembali menatap Tony. "Aku hanya ingin tahu satu hal," bisiknya.

"Link yang kukirimkan padamu itu asli. Sungguh! Jangan mengganggu bisnisku," potong Tony.

Kening Geiger berkerut. "Aku bahkan belum sampai ke sana," katanya.

"Oh, berhentilah basa-basi, Detektif. Aku tahu kau siapa. Kau tidak akan berhenti menggali sampai menemukan kebenaran yang kau cari, meski itu berarti menghancurkan banyak hal," kata Tony.

"Kau benar-benar mengenalku kalau begitu," kata Geiger. Matanya menatap tajam ke arah Tony saat dia mencondongkan badannya ke arah pria itu. "Dan sekarang kau bisa berkata jujur?"

Tony menelan ludah. Dia tidak ingin mengambil resiko mendapati bisnis legal yang dimilikinya ini hancur karena sang detektif mengamuk. "Baiklah," katanya setengah berbisik, "tapi kuharap kau mempercayai kata-kataku ini." Pria berkepala botak itu menarik napas. "Link situs itu benar. Kau bisa tahu tempat tinggalnya kalau kau mengaksesnya dengan benar."

"Activatio. Vis Gaia. Codex— "

"Tolong dengarkan aku!" potong Tony. Dia melihat para pengunjungnya, memastikan tidak ada yang memperhatikan mereka. Saat dia tahu kalau tidak ada yang memerhatikan mereka, Tony mencondongkan badannya ke arah Geiger. "Dugaanku kau sudah pernah membuka situs itu dan melihat sebuah antarmuka berupa gambar ruangan kerja, bukan?" bisiknya

"Dan aku sudah memeriksa semuanya," kata Geiger. "Tidak ada pintu rahasia atau apapun di sana."

Toni tertawa kecil. "Kau hanya belum tahu cara menemukannya, Bos," katanya.

"Dan bagaimana caranya?"

Tony mundur sejenak dan mengeluarkan sebuah kertas kecil dari bawah mejanya. "Infusio. Vis Lumen. Vis Agni. Vis Aera. Codex: Lumen Veritas," katanya sambil menyentuh kertas itu dengan telunjuknya. Seberkas cahaya terang muncul di ujung jarinya dan membentuk sebuah simbol di kertas itu.

"Codex level tiga terinfusi? Mencurigakan," kata Geiger.

"Semua orang yang memiliki kemampuan sehebat dia pasti akan melakukan ini," kata Tony sambil menyodorkan kertas di ujung jarinya. Di tempat jari telunjuknya tadi berada kini muncul sebuah simbol lingkaran bersayap. "Seandainya aku sehebat dia, aku pasti akan melakukan ini juga."

"Signum lingkaran bersayap ini tampak tidak asing," kata Geiger saat melihat simbol di kertas yang disodorkan Tony.

"Itu adalah Codex biasa yang dibuat kompleks. Kau lihat jaring-jaring dan segi enam di dalam lingkaran itu? Di situlah kompleksitasnya. Setiap jaring yang menghubungkan lingkaran dan segi enam itu melambangkan jalur yang harus ditempuh siapapun yang mencoba meretas masuk tanpa izin. Mereka yang berani mencoba hanya akan berputar-putar di tempat tanpa bisa masuk ke tengah," kata Tony.

"Aku tidak peduli dengan masalah teknis itu. Ini cukup diaktifkan, kan?" tanya Geiger sambil mengambil kertas itu dan menyimpannya di dalam long coat hitamnya.

"Ya, cukup diaktifkan," jawab Tony.

"Dan semoga kali ini  benar," kata Geiger. "Seharusnya kau memberiku ini dari awal."

Tony mengedikkan bahu. "Maaf, lupa," kata Tony.

Geiger tidak berbicara apa-apa lagi. Dia dengan cepat melangkah keluar dari bar itu. Dalam hatinya Geiger berjanji jika informasi yang diberikan padanya itu ternyata jebakan, maka dia akan menghancurkan bar itu beserta pemiliknya. Dan itu akan menjadi prioritas utamanya.

~~~

IV

Geiger akhirnya berhasil masuk ke bagian rahasia dari antarmuka situs yang diberikan Tony. Codex yang diinfusi pria itu ke kertas yang diberikan padanya membuka sebuah peta yang sebelumnya belum pernah ada saat Geiger membukanya tanpa menggunakan Codex. Saat Geiger menyorotnya, dia segera tahu bahwa peta itu adalah peta dari Distrik 10. Dan ada sebuah titik yang berkelip-kelip pada peta itu.

"Faye?" panggil Geiger.

Sosok Faye kembali muncul. "Ya?" katanya dengan riang.

 "Kau bisa memindai peta ini?"

Faye mengangguk.

"Kau bisa menandai pergerakan titik ini?"

"Bukan masalah," balas Faye. Peri kecil itu memejamkan mata sesaat. "Sudah. Sekarang kita bisa mengikuti pergerakan orang ini selama dia berada di Distrik 10 ini."

Geiger tersenyum. "Terima kasih. Sekarang ayo ke sana,"  katanya.

~~~

Tempat yang berkedip-kedip di peta ternyata adalah sebuah apartemen para mahasiswi. Geiger terpaksa harus menunjukkan lencananya untuk diizinkan masuk—yang berarti membuat keberadaannya di sana akan dianggap resmi dan tercatat di markas besar kepolisian.

"Anda harus tahu, Tuan. Peraturan di sini tegas. Kami hanya ingin menjaga ketertiban dan keamanan di sini," kata wanita muda pengurus gedung apartemen itu setelah memindai lencana milik Geiger.

"Apa di sini ada penghuni baru sekitar sebulan ini?" tanya Geiger.

"Ada beberapa. Apa mereka punya masalah, Tuan?" tanya wanita muda itu.

"Saat ini belum," kata Geiger. "Bisa minta nama-nama mereka?"

Sang pengurus mengangguk dan segera memeriksa daftarnya. Sebuah layar hologram muncul di depannya dan tangannya sibuk mengetikkan sesuatu pada layar itu. Beberapa saat kemudian di layar itu muncul foto tiga orang gadis muda.

"Samantha Gray, Montana Jo, dan Shafeera," kata sang pengurus. "Hanya mereka yang masuk dalam sebulan  ini. Mereka semua berada di lantai dua."

"Terima kasih," kata Geiger. Sang detektif hendak masuk ke dalam gedung saat sang pengurus mencegatnya.

"Untuk Montana kurasa kau butuh dari sekadar mengetuk pintu kamar," kata sang pengurus. "Apartemennya kedap suara, tapi menurut mahasiswi yang pernah masuk ke sana di dalam sangat berisik dan penuh dengan layar hologram."

"Terima kasih informasinya," kata Geiger. Sang detektif tersenyum. "Anda sangat membantu penyelidikan saya."

~~~

V

Seperti yang dikatakan pengurus apartemen, kamar Montana Jo tampak tidak berbeda dengan kamar-kamar lainnya. Hanya saja tampak tidak ada kehidupan di kamar itu. Jika dari kamar-kamar lainnya terdengar suara cekikikan para gadis, suara-suara para gadis yang bergosip atau suara musik, maka di kamar Montana Jo tidak terdengar suara apapun.

Geiger mengetuk berkali-kali namun tidak ada jawaban. Geiger berpikiran untuk menghancurkan pintu kamar itu, tapi itu malah akan membuat keberadaannya di sana makin dicurigai oleh markasnya. Seorang polisi melakukan pendobrakan tanpa alasan yang jelas bukan hal yang bagus untuk publikasi. Geiger sudah mempelajari sejarah polisi sejak manusia tinggal di dunia lama. Pelanggaran hukum yang dilakukan polisi sama saja meningkatkan kejahatan di tempat polisi itu berada.

"Mencari Montana?"

Suara seorang gadis yang menyapanya membuat Geiger menoleh. Di kamar sebelah kiri muncul seorang gadis muda berkulit gelap dengan rambut pendek hanya dalam balutan tank top dan micro pants. Gadis itu sedang memainkan lollipop di mulutnya.

"Kau siapanya Montana?" tanya gadis itu.

"Kenalan," kata Geiger. Dalam hukum keadilan yang dipercaya Geiger, sedikit kebohongan diperkenankan untuk mencapai kebenaran.

Gadis berambut pendek itu tertawa. "Wow, si kutu buku itu punya kenalan yang hot juga, ya?" katanya.

Dari gaya berbicaranya yang seperti orang baru bangun tidur Geiger menduga gadis itu suka berpesta. Biasanya gadis-gadis seperti itu punya banyak cerita untuk dibagikan. "Kau kenal Montana Jo?" tanya Geiger.

"Semua orang tahu Montana," kata gadis itu. "Kutu buku yang sangat doyan Codex dan sejarah Neo Gaia. Dia punya banyak barang-barang canggih di kamarnya. Tidak tahu dia dapat uang dari mana," gadis itu tersenyum sambil memainkan lollipopnya, "apa kau salah satu penyumbangnya?"

"Bukan," kali ini Geiger jujur. Dia menunjukkan lencananya pada gadis itu. "Polisi, Detektif Letnan Geiger Schwarz." Geiger tersenyum saat melihat ekspresi dan gaya menggoda gadis berkulit gelap itu segera berubah.

"Ma-maafkan saya, Detektif.," kata gadis itu gelagapan.

"Mari kita ulangi lagi. Siapa namamu?" tanya Geiger.

"Nama saya Shafeera. Saya masuk ke sini nyaris bersamaan dengan Montana," jawab gadis itu.

"Kau kenal baik dengannya?"

"Saya hanya pernah dua kali masuk ke kamarnya, pak," jawab Shafeera.

"Apa di dalam sana banyak komputer?" tanya Geiger. "Ah, dan tolong jangan memanggilku bapak. Umurku baru 28 tahun."

Shafeera mengangguk cepat. "Banyak layar hologram di mana-mana. Juga pakaian yang berserakan. Anda harus lihat sendiri bagaimana kacaunya kamar si Monta itu," katanya.

Geiger mengernyit. "Monta?"

"Ah, itu nama panggilan kami untuk Montana Jo," kata Shafeera. Gaya bicaranya kembali santai. "Dia cukup dikenal di kalangan mahasiswi di sini. Kami sering meminta bantuan kalau ada tugas yang susah atau untuk urusan ... yah, biasalah anak muda. Tapi selain itu kami tidak terlalu tahu kehidupan pribadinya. Dia jarang masuk perkuliahan tapi selalu masuk hanya saat ujian saja. Dan hasilnya sselalu bagus." Shafeera diam sejenak. "Dia …," Shafeera ragu melanjutkan kalimatnya.

"Ini baru penyelidikan awal," kata Geiger sambil tersenyum. "Akan sangat membantu jika aku bisa menemuinya langsung."

"Kalau begitu biar saya bantu," kata Shafeera. Gadis itu berjalan ke arah pintu kamar Montana. "Mungkin Anda bisa bergeser sedikit?"

Geiger tidak tahu apa yang akan dilakukan gadis itu, tapi dia menurut. Sesaat berikutnya gadis berkulit gelap itu menghantam pintu itu dengan sepenuh tenaga dengan tinju dan kakinya berkali-kali.

"Monta! Buka!" teriak Shafeera.

Geiger tidak tahu darimana kekuatan gadis berkulit gelap itu berasal, namun apa yang dilakukan gadis itu membuatnya nyaris melompat di tempatnya. Dia tidak ingin menarik perhatian, namun sepertinya caranya tidak efektif. Gadis berkulit gelap itu tampaknya lebih efektif, meski jelas-jelas menarik perhatian.

"Shafeera! Jangan teriak-teriak!" teriak seorang gadis dari kamarnya.

"Kau juga berteriak, Kate!" balas Shafeera. Dia kembali menghantam pintu kamar Montana. Kali ini usahanya berhasil menarik perhatian sang pemilik kamar.

Pintu kamar itu akhirnya terbuka. Seorang gadis berkacamata dengan rambut putih sepinggang muncul dengan muka masam. Kantung mata menggelayut membingkai kedua matanya yang biru cerah. Kulit putihnya tampak pucat.  Dari dalam kamarnya terdengar suara musik keras dan berdengung. "Oh? Shafeera? Ada apa?" tanyanya dengan suara sedikit serak.

"Ada yang mencarimu," kata Shafera sambil menunjuk Geiger yang berada di belakangnya dengan jempolnya.

Monta melihat ke balik punggung Shafeera dan melihat seorang pria dengan long coat hitam. Di mata gadis itu pria itu memancarkan aura gelap yang tak asing. "Dia polisi atau penjahat?" tanyanya.

"Polisi," kata Shafeera.

Sedetik kemudian Monta kembali menutup pintu kamarnya, namun Geiger dengan cepat mencegah. "Terima kasih bantuannya, Nona Shafeera. Biar saya urus dari sini," kata Geiger.

Shafeera mengangguk dan kembali ke kamarnya. Tapi sebelum pergi, gadis berkulit gelap itu sempat mengedipkan mata padanya.

"Aku yakin kau bukan polisi," kata Monta yang berusaha menutup kamarnya dengan susah payah. "Tidak ada polisi yang sikapnya sepertimu!"

"Aku hanya menggunakan cara paling efisien untuk berkomunikasi," kata Geiger.

"Monta! Suara musikmu mengganggu!" teriak Kate dari kamarnya.

"Sepertinya tetanggamu itu tidak suka diganggu," kata Geiger. Jari-jari tangannya terjepit di pintu, namun dengan kuat dia menahan satu-satunya harapan untuk menemukan apa yang dia cari.

"Ya, dan kalau kau mau tahu aku tidak suka menggangu orang. Jadi permisi, pindahkan tanganmu sebelum aku melapor ke atasanmu karena pelecehan!" desak Monta.

"Aku menolak," kata Geiger. "Bagaimana kalau kita bicara di dalam?" Geiger mengerahkan segenap kekuatannya untuk mendorong pintu kamar Monta sampai membentuk celah yang bisa dia masuki. Begitu masuk ke kamar gadis itu dia segera mengunci pintunya dan berdiri tepat di pintu itu. Ruangan itu hanya diterangi beberapa lampu meja temaram. Suara musik yang bising dan berdengung menyambutnya. "Kau sebut ini musik?"

"Ini adalah kebudayaan dunia lama yang bagus! Apa urusanmu mengganggu privasiku?!" teriak Monta.

Geiger mengeluarkan kertas yang dia terima dari Tony. "Exsolvo. Codex: Lumen Veritas," bisik Geiger. Seketika semua suara musik di kamar Monta berhenti. Di saat bersamaan bermunculan layar-layar hologram beraneka warna, menyinari seluruh ruangan dan menampilkan banyak sekali informasi yang masuk tanpa henti. Di beberapa layar terdapat beberapa signum—simbol yang seringkali muncul sebagai penanda satu Codex digunakan pada tempat tertentu—yang dimodifikasi. "Halo, Nona Peretas. Namaku Letnan Geiger Schwarz. Aku butuh bantuanmu sekarang," kata Geiger. Dia tersenyum manis pada gadis itu.

~~~

VI

Montana Jo akhirnya menyerah. Gadis itu duduk di atas kasurnya dan menatap Geiger yang kini berdiri di depannya dan mengamati kamarnya dari sudut ke sudut. "Apa kau benar-benar polisi?" tanyanya dengan nada tidak bersahabat.

"Tanyakan saja pada gadis tadi," kata Geiger. "Gadis tadi ternyata benar, ya?"

"Tentang apa?" balas Montana dengan ketus.

"Bahwa kau gadis cerdas dengan kamar berantakan," jawab Geiger. "Gadis mana yang membiarkan pakaian dalamnya terserak seperti ini?"

Mata Montana menatap taam pada Geiger. "Apa perlu kuingatkan kalau ini adalah ruanganku? Apa perlu kau diingatkan mengenai pelanggaran privasiku?" tanyanya.

"Tidak perlu," kata Geiger. Dia menghela napas panjang. "Maaf kalau aku mengganggu. Tapi sebagai peretas Codex level lima hanya kau yang bisa kuharapkan di distrik ini," katanya.

"Dari mana kau tahu aku peretas Codex?" tanya Montana. Suaranya kini menjadi pelan.

"Dari seorang teman," kata Geiger, tersenyum. "Apa penting memberitahumu?"

"Tidak," kali ini Montana yang menghela napas panjang sambil menunduk, "kurasa aku tahu siapa yang memberi Codex buatanku padamu." Montana mengangkat mukanya. "Jadi, apa kau menghancurkan bar milik si botak itu?"

Geiger tertawa. "Tenang, ini kuterima tanpa menghancurkan sesuatu," katanya.

Alis mata kiri Montana terangkat.

"Oke. Hanya pintu saja yang rusak," kata Geiger.

"Itu baru kupercaya," kata Montana. "Tidak mungkin seorang Letnan Geiger tidak menghancurkan sesuatu."

Alis mata Geiger berkerut. "Kau memeriksaku?" tanyanya curiga.

"Begitu kau menyebut namamu, ada sebuah Codex yang aktif. Salah satu tipe Veritas yang kumiliki," jawab Montana.

"Kau meretas data kepolisian? Itu pelanggaran," kata Geiger. Dia mengeluarkan borgolnya, namun berhenti saat dia melihat gadis di depannya bersikap tenang, bahkan tersenyum menantang padanya.

"Keputusan tepat," kata Montana. "Kalau kau menangkapku, aku akan memberitahu atasanmu kau mencoba melakukan pelecehan seksual. Lagipula kau tidak akan menemukan apa yang kau cari dengan menangkapku."

Geiger merasa berat untuk mengakuinya, tapi yang dikatakan gadis itu benar. "Lalu apa maumu?" tanya Geiger.

"Akan kuberikan kau satu tantangan," kata Montana. "Kua tahu aku memiliki kode untuk masuk ke dalam permainan realitas virtual, bukan? Bagaimana kalau kutantang kau menyelesaikan permainan itu sampai tuntas. Jika berhasil, kau akan mendapatkan semua informasi yang kau inginkan terhadap mereka yang sangat ingin kauhabisi itu."

Mata Geiger melebar. "Bagaimana bisa kau tahu?" Suaranya terdengar menggeram. Ada amarah memancar dari matanya.

"Itu tidak usah dipermasalahkan. Permasalahkan saja apa yang bisa kulakukan bila kau menolak penawaranku," kata Montana. "Aku tahu kau ingin tahu siapa orang-orang itu. Kau beruntung mereka belum tahu siapa kau."

Geiger berpikir sejenak. Jika mereka tahu siapa dia, nyawanya terancam. Tidak ada pilihan lain. "Aku setuju," katanya.

Monta tersenyum. "Bagus," katanya, "mari kia mulai. Activatio. Vis Gaia, Vis Aera, Vis Agni, Vis Aqua, Vis Lumen. Codex: Ex Alforea."

~~~

ALFOREA

VII

Geiger tidak pernah menyangka ada seseorang yang bisa menggunakan sebuah Codex level lima seperti yang dilakukan gadis itu. Di Neo Gaia, sebuah Codex biasanya hanya memakai sampai tiga afiliasi elemen Vis saja. Sangat jarang ada Codex yang menggunakan hingga empat afiliasi. Sedangkan Codex yang memiliki lima afiliasi biasanya ditandai sebagai Codex khusus yang harus dicatat di data Codex dunia. Seseorang yang membuat atau bisa menggunakan Codex pada level itu biasanya akan menjadi orang yang terkenal. Tetapi Geiger tidak pernah melihat gadis bernama Montana itu sama sekali.

Saat Codex level lima itu diaktivasi, Geiger merasakan seluruh tubuhnya bergejolak. Seakan daging, tulang dan darahnya melebur menjadi satu. Dia merasakan panas yang perlahan menyengat di kulitnya, namun di saat bersamaan organ-organ dalamnya seperti sedang dibekukan. Sebuah signum aneh muncul dan berpendar di permukaan lantai dan dinding, seolah-olah Geiger dan Montana berada di dalam lingkup signum itu. Perlahan-lahan signum itu berputar dan menyusut naik ke arah Geiger dan Montana, dan di saat bersamaan tubuh mereka berdua ditutupi oleh sesuatu yang menyerupai selimut yang memancarkan cahaya.

"Katakan sampai jumpa pada dunia ini, Tampan," kata Montana dengan suara mendesah. Gadis itu tersenyum nakal. "Dan katakan apa kabar, Alforea."

~~~

Geiger tidak pernah tahu ada permainan realitas virtual yang seperti ini. Rasanya sangat nyata. Dia bisa merasakan sakit saat dia menampar wajahnya sendiri. Dia bahkan bisa mencium aroma pengharum ruangan di bilik toilet tempatnya sadar.

Geiger mendelik. Dia melihat sekelilingnya. Dia memang berada di dalam toilet. Tidak ada tempat permulaan yang lebih aneh dari ini, pikir Geiger. Pria itu berdiri. Di saat itulah dia menyadari sesuatu yang sama anehnya.

Pakaiannya tidak berubah—long coat hitam dan celana panjang hitam. Tetapi di balik long coat itu sudah tersampir pisau baja chromium-titanium dan senjata api yang selalu dia bawa saat melakukan pengejaran. Di sisi kanannya bersandar sebuah tongkat besi berongga sepanjang bentangan tangannya dengan ukiran kepala ular di tiap ujungnya.

"Amphisbaena," kata Geiger. Dia mengangkat tongkat itu. Di saat itu dia juga menyadari sebuah cincin di jari manis kanannya—sebuah cincin perak bermata batu aquamarine. "Oke. Kenapa semua senjataku ada di sini?"

"Suara siapa itu?"

Seakan belum selesai, sebuah kejutan lainnya menyambut Geiger. Suara di balik pintu biliknya adalah suara seorang wanita muda. Tentu saja, pikir Geiger. Toilet pria tidak pernah harum seperti taman bunga. Ini toilet wanita!

"Sepertinya aku mendengar suara laki-laki," kata suara wanita lain. Suaranya terkesan lebih dewasa dari wanita sebelumnya. Geiger menduga wanita pertama masih remaja. Tampaknya mereka berdua berada tepat di depan biliknya, mungkin sedang memperbaik riasan wajahnya. Mungkin mereka berdua bersaudara?

"Sepertinya dari sini," wanita yang pertama tampaknya berjalan mendekati bilik Geiger bersembunyi—dengan terpaksa.

Geiger mulai memikirkan rencana untuk melarikan diri dari tempat itu. Melompat ke atas? Itu tampaknya bagus, namun dengan kemungkinan di sebelah ada orang—wanita—lain, ide itu segera berubah menjadi ide buruk. Menerjang ke depan? Mungkin saja. Dan dia akan diteriaki sebagai orang mesum.

"Keluarlah!" seru wanita bersuara dewasa.

Sebelum pintu bilik tempatnya 'bersembunyi' dibuka, Geiger memutuskan membukanya lebih dulu. "Maaf, saya salah masuk," kata Geiger. Sang detektif segera berlari keluar dari toilet itu sebelum kedua wanita itu—yang karena terburu-buru tidak begitu dia perhatikan siapa—sempat meneriakinya.

~~~

Dari toilet menuju ke lorong-lorong berdinding putih dengan lampu-lampu temaram, Geiger tidak tahu apa yang harus dia lakukan sekarang. Dia bahkan tidak tahu dia ada di mana sekarang. Setelah cahaya dari signum yang diaktifkan Montana menyelimuti seluruh tubuhnya, dia tidak mengingat apa-apa lagi. Tetapi sebelum ingatannya terputus, dia sempat melihat gadis itu juga diselimuti oleh cahaya yang sama.

Jika dia berada di sini karena cahaya itu, mungkin saja Montana berada di tempat yang sama dengannya. Mungkin saja jika dia menemukan gadis itu dia tahu permainan macam apa yang sedang dia mainkan. Tetapi mencari seseorang di tempat yang tidak dikenal, dengan lorong-lorong yang saling bersambung dan pintu-pintu yang terkunci di sisi kiri dan kanannya, membuat Geiger menjadi gusar.

Geiger meraba long coat miliknya dan mengambil komputer tablet dari dalam sakunya. "Faye!" serunya.

Tablet itu segera aktif. Sosok Faye tersenyum menyapanya. "Ya?"

"Bisa mengenali tempat ini?"

Faye memejamkan mata sejenak. "Kita di Neo Gaia," katanya saat kembali membuka mata.

"Salah besar."

Geiger segera mencabut senjata apinya dan berbalik menodong ke asal suara yang tiba-tiba berbicara di belakangnya. Seorang gadis berambut pirang sepundak berpakaian seperti pelayan zaman Victoria berdiri di belakangnya dengan wajah datar.

"Siapa kau?" tanya Geiger. Senjatanya masih tertodong, tepat di kening gadis itu.

Gadis berambut pirang itu menghela napas. "Bisa turunkan senjatamu? Aku tidak ingin ada pertumpahan darah di sini," katanya dengan nada datar.

Geiger semakin siaga. "Kau mengancam. Memangnya darah siapa yang akan tertumpah?"

"Darahku," kata si gadis pelayan.

Geiger mengira gadis itu mengancamnya. Namun apa yang diucapkan gadis itu sesuatu yang logis, membalikkan semua kecurigaannya dan membuatnya bingung sementara. "Oke," kata Geiger, "itu … masuk akal." Geiger memasukkan kembali senjata apinya ke dalam holster di dadanya.

"Setelah memasuki kamar mandi yang salah, sekarang menodong gadis yang tidak berdosa? Sepertinya kau punya ketertarikan yang unik, Tuan," kata si gadis pelayan.

Geiger terkejut. "Bagaimana kau tahu aku di—"

"Aku berada di bilik sebelah," potong si gadis pelayan. Dia menunduk. "Seharusnya aku yang menyambutmu, bukan mereka berdua. Tapi aku ada urusan." Gadis itu kembali mengangkat wajahnya. "Kau memang benar-benar bermasalah, Tuan," katanya lagi.

"Bukannya itu salahmu!?" seru Geiger.

"Letnan, tenanglah," kata Faye panik.

"Sebaiknya kau ikuti kata-katanya," kata si gadis pelayan. "Karena kalau kau berteriak-teriak begitu padaku …"

Geiger kembali mencabut senjatanya dan menodong kening si gadis pelayan. "Apa yang akan kau lakukan?" tanyanya tajam.

Ekspresi si gadis pelayan tidak berubah. "Aku …," tetapi kini matanya sedikit berkaca-kaca. "Aku mungkin akan menangis," katanya dengan nada yang tetap datar.

Geiger kembali menyarungkan senjatanya. "Faye?" katanya pada gadis peri di dalam tabletnya.

"Ya?" balas Faye.

"Ayo pergi," kata Geiger. "Aku sudah muak dengan adegan lelucon ini." Geiger berbalik dari si gadis pelayan, tetapi saat dia melakukannya, si gadis pelayan telah berada di depannya.

"Sepertinya kau memang bukan manusia," Geiger berpikir untuk menarik senjatanya untuk kali ketiga. "Apa kau sebenarnya?"

"Aku adalah pemandu peserta," kata si gadis pelayan. "Selamat, Anda terpilih sebagai peserta Battle of Realm. Namaku Xan. Mari kita berjalan-jalan sejenak." Si gadis pelayan menjentikkan jari. Bersama dengan itu, sosoknya dan Geiger pun menghilang.

~~~

VIII

Xan mengajak Geiger berpinda-pindah sambil membicarakan semua fitur dari dunia yang disebutnya Alforea itu. Di satu kesempatan dia memindahkan Geiger ke sebuah restoran mewah yang memiliki banyak sekali sajian. Di sana Geiger mencium bau caffee latte yang memancing kembali memori indah. Tetapi sebelum sempat tenggelam kembali dalam memori itu, Xan telah memindahkannya ke tempat lain. Kali ini sebuah tempat perbelanjaan yang sangat ramai oleh beragam makhluk.

"Di sini adalah persimpangan beragam dunia. Jelas saja jika ada makhluk nonmanusia di sini," kata Xan saat Geiger bertanya mengapa ada makhluk-makhluk aneh di sana. "Berikutnya tempat terakhir sebelum Anda tiba di tempat seharusnya Anda berada."

"Jadi toilet itu memang kesalahan?" tanya Geiger.

Xan tidak menjawab. Gadis itu kembali menjentikkan jari, dan mereka pun berpindah di sebuah tempat luas yang dipenuhi orang-orang yang bertarung. Beragam orang—dan nonmanusia—saling bertukar jurus, namun tak satupun yang terluka parah.

"Di sini adalah arena pemanasan, sekadar tempat tidak penting untuk pamer kemampuan. Apa Anda ingin ikut pamer?" tanya Xan.

"Tidak," kata Geiger cepat.

Xan pun menjentikkan jari dan seketika arena itu berganti dengan sebuah taman luas dengan sebuah istana berbalkon. Banyak sekali orang di taman itu, dan sepertinya mereka sama bingungnya dengan Geiger.

"Jadi ini tempat terakhir?" tanya Geiger pada Xan. Namun gadis itu sudah menghilang. "Ya, tentu saja."

Suara terompet tiba-tiba membahana. Seluruh mata menatap ke arah asal suara itu. Seorang pria tua berambut dan berjanggut putih berdiri di balkon dengan sebuah terompet di tangannya.

"Selamat datang, para peserta!" seru pria itu. "Nama saya adalah Hewanurma. Bagi siapapun yang bertanya-tanya mengapa mereka di sini, ketahuilah, kalian adalah orang-orang terpilih! Kalian adalah yang terhebat! Tetapi hebat saja tidak cukup. Kalian harus menjadi super! Bagi kalian yang ingin menjadi super, marilah! Dengarkan apa yang akan yang mulia Tamon akan katakan pada kalian. Beri tepuk tangan!"

Bagaikan terhipnotis, para peserta bertepuk tangan—atau anggota badan apapun yang bisa saling bertepuk dan menghasilkan bunyi. Tetapi Geiger tidak melakukannya. Dia mengernyit. Setelah gadis nonmanusia bernama Xan, kini seorang kakek-kakek tua bergaya seperti pembawa acara motivasi. Entah kekonyolan yang mengganggu apa lagi yang akan muncul berikutnya. Satu hal yang mengganggunya adalah nama seseorang yang akan muncul setelah si pembawa acara gadungan. Tamon.

Peserta bertanya-tanya—yang entah dengan cara apa Geiger bisa mengerti apa yang mereka katakan—karena setelah beberapa menit kemudian tidak ada siapapun yang muncul. Melihat peserta yang mulai gelisah, sosok bernama Hewanurma mengundurkan diri. Saat dia muncul kembali dia membawa—atau lebih tepatnya mendorong—seseorang ke depan balkon.

Seorang gadis berambut putih keperakan sepinggang muncul di depan dalam balutan gaun terusan merah tanpa lengan. Kulit putih yang nyaris tampak pucat. Yang berbeda hanya tidak ada kantung mata pada gadis itu, tetapi Geiger tahu siapa gadis yang berdiri di atas balkon itu.

"Montana?"

~~~

"Demikian peraturannya," kata Tamon, sang pemilik Alforea dengan ceria. Para peserta bertepuk tangan dan mengelu-elukan namanya. Mereka bahkan ada yang jatuh cinta pada sang pemilik.

Terkecuali Geiger.

Dia sibuk memikirkan persyaratan dari babak pertama yang baru saja disampaikan oleh Tamon. Entah dengan cara bagaimanapun juga, mereka harus membentuk kelompok yang terdiri atas dua sampai empat orang. Berikutnya mereka akan dibawa ke tempat pertarungan penyisihan. Selebihnya tidak begitu jelas didengarkan oleh Geiger karena para peserta yang menyanyikan puji-pujian dadakan pada kecantikan Tamon.

"Ma-maaf, apa Anda memiliki pasangan?"

Geiger menoleh. Seorang wanita dewasa dengan sebuah kerudung menutupi kepalanya tampak ragu-ragu mendekat padanya. "Pasangan?" tanya Geiger.

Wajah wanita itu segera memerah. "Bu-bukan! Ma-maksud saya bukan pasangan yang itu, tapi pasangan yang … Aaahh!!!" secara tiba-tiba sebuah rotan yang tidak dilihat Geiger datang dari mana munculnya mengayun di tangan wanita itu. "Kusumawardani! Kamu masih berkabung! Jangan cari pasangan dulu!" serunya sambil mencambuk betisnya sendiri dengan rotan itu.

"Kau suka menyiksa diri?" tanya Geiger. "Masokis?"

Wanita bernama Kusumawardani itu berhenti mencambuki dirinya seperti orang yang baru sadar dari kesurupan. "A-ah, maafkan saya," kata wanita itu. Rotan di tangannya segera dia sembunyikan di belakang. "Nama saya Kusumawardani. Tapi sebut saja saya Mawar. Saya sebenarnya seorang guru, tapi demi satu tujuan saya ikut perlombaan ini," katanya jujur.

"Kau mau apa?"

Mawar menarik napas dan membuangnya perlahan. "Seperti yang saya katakan tadi, saya memiliki tujuan. Dan saya tidak ingin gagal di tahap awal. Kata nona di balkon tadi jika ingin berhasil, saya harus bergabung dalam kelompok. Jadi saya mengajak Anda untuk menyatukan kekuatan dengan saya," katanya mantap.

"Aku menolak," kata Geiger. "Tidak ada untungnya."

Mawar menatap Geiger dengan tajam, dan untuk sesaat Geiger merasa gentar di hadapan wanita berkerudung itu.

"Cari orang lain saja!" bentak Geiger.

"Saya tahu Anda adalah orang yang cerdas dan berpikiran taktis. Anda juga punya tujuan, bukan?" tanya Mawar.

"Tetapi aku akan mencari orang-orang yang tidak menyusahkan," jawab Geiger.

"Sayangnya Anda terlambat," kata Mawar. "Lihat, jumlah peserta sudah berkurang. Mereka pasti sudah dikirim ke lokasi babak berikutnya."

Geiger melihat berkeliling, dan seperti yang dikatakan oleh Mawar, sebagian besar peserta telah menghilang. Pilihannya berkurang. Geiger mengincar beberapa peserta tersisa yang sekiranya terlihat kuat atau berguna untuknya, tetapi peserta-peserta itu memutuskan untuk berkumpul bersama membentuk sebuah kelompok. Lalu seorang gadis pelayan seperti Xan muncul dan bergabung dengan mereka dan membawa mereka pergi. Persis seperti cara Xan 'menculik' dirinya tadi.

"Yang tersisa sekarang tinggal pemuda di sana dan gadis di sana," kata Mawar sambil menunjuk ke dua tempat yang berbeda. "Pemuda itu bernama Silas, dan gadis di sana bernama Sanelia. Mereka sudah kuhubungi terlebih dulu."

"Kau sudah punya dua orang yang bisa membantumu. Seharusnya aku tidak dibutuhkan lagi," kata Geiger.

"Apa Anda sangat percaya diri untuk bisa menang, atau Anda meremehkan kami?" tanya Mawar. Matanya menatap serius ke arah Geiger.

"Sayangnya ini adalah arena pertarungan, kan?" balas Geiger. "Kita mencari kemungkinan menang yang terbaik."

"Apa Anda berpikir kami tidak akan memberikan kontribusi?" Mawar menghela napas panjang. "Biar saya katakan pada Anda. Pemuda itu memiliki kemampuan menembak yang sangat cepat. Saat di arena saya pernah melihat dia menembak kaleng minuman jahe dengan ketepatan yang sangat akurat. Dan itu dari jarak yang cukup jauh. Sedangkan gadis berambut biru di sana memiliki senapan jarak jauh yang berguna. Sedangkan kemampuan saya adalah pembantu serangan. Dengan kekuatan saya, kita tidak akan pernah patah harapan."

Geiger mendengarkan perkataan Mawar—entah mengapa dia bisa mendengar penjelasan panjang lebar itu dengan sabar—dan tidak sadar bahwa jumlah peserta kembali berkurang, hingga akhirnya dia tidak punya pilihan lagi. Gadis berambut biru yang sejak tadi duduk di sudut taman mulai bergerak mendekat. Di sisi lain pemuda dengan setelah baju putih kusam bernama Silas berlari sambil melambakan tangan pada Mawar.

Geiger mengacak-acak rambut hitamnya yang sudah berantakan sejak awal. "Sepertinya aku tidak punya pilihan lain," katanya sambil menghela napas. "Baiklah, aku setuju.:

Secara tiba-tiba seseorang menepuk punggung Geiger. Geiger menoleh dan melihat Xan telah berdiri di sampingnya.

"Tenang," kata Xan, masih dengan nada datar. Mata birunya menatap Mawar dan kedua peserta lain yang kini bercengkerama. "Mereka sangat cocok dengan babak penyisihan ini. Beruntunglah memiliki mereka sebagai rekan untuk saat ini."

~~~

IX

Xan  mengumpulkan peserta yang tersisa dan mengirim mereka ke arena babak penyisihan—tepat seperti saat dia 'menculik' Geiger. Sebuah padang pasir di tengah malam yang riuh dengan suara ratusan manusia yang memekik marah dan berteriak kesakitan saat melawan serbuan monster. Lima ratus orang menghadapi gelombang demi gelombang monster mematikan yang menyerbu mereka, namun secara ajaib dapat bertahan. Tetapi di mata Geiger mereka bagaikan api lilin yang nyaris kehabisan sumbu.

Di padang pasir itu juga tampak sepasang menara kristal yang berdiri sejajar. Diameternya hanya sekitar lima meter dan tingginya sekitar dua puluh meter dari atas permukaan pasir. Dari perkiraan Geiger, jaraknya dan kedua menara itu sekitar satu kilometer. Sedangkan jarak antarmenara itu mungkin sekitar seratus meter. Para monster juga melindunginya, seolah kedua menara itu adalah nyawa mereka.

Xan mengalihkan perhatiannya dengan menjelaskan segala yang mereka perlu ketahui untuk babak penyisihan. Tetapi penjelasan dengan nada datar tanpa emosi itu tidak bisa dicerna oleh sebagian besar peserta.

"Bisa dijelaskan lagi?" tanya Silas.

"Intinya kita harus menghancurkan menaranya," kata Geiger menyimpulkan semua yang dijelaskan oleh Xan. Dia melihat ke arah Xan seolah mempertanyakan kembali pendapat gadis itu pada orang-orang yang menjadi satu kelompok dengannya itu.

"Tetapi sebelumnya kita harus melewati segerombolan monster dan bulan jatuh," kata Mawar. "Apalagi dari dalam bulan itu akan muncul monster bernama Rah apalah itu."

"Tamon Rah," kata Sanelia.

Geiger sempat tidak menyadari keberadaan gadis itu seandainya dia tidak berbicara. Gadis bertubuh tinggi dengan rambut biru sebahu, menopang pada riffle miliknya. Mata hijaunya memperhatikan Xan dengan sungguh-sungguh, meski ekspresinya hanya sedikit lebih baik di banding si gadis pelayan itu yang benar-benar datar.

"Berarti kita tinggal berlari dan menghantam keduanya, kan?" kata Silas penuh semangat.

"Secara bersamaan," timpal Sanelia.

"Dan para monster itu bukan boneka yang diam saja," tambah Geiger.

Silas yang ditantang oleh kedua orang itu menyerah. Dia memilih mundur ke belakang Mawar dan membiarkan anggota kelompok lain membicarakan masalah ini.

"Penjelasanku selesai di sini," kata Xan. "Bulan Alkimia sudah bergerak. Kalian punya waktu kurang dari lima menit sebelum kuda api bernama Tamon Rah mulai mengamuk. Setelah misi selesai, aku akan menjemput kalian kembali." Setelah selesai mengatakan itu, Xan menjentikkan jarinya dan seketika itu pula menghilang.

~~~

Geiger dan kelompok dadakan itu segera tahu bahwa mereka tidak punya banyak waktu yang tersisa. Xan memunculkan mereka di atas bukit pasir setinggi sekitar dua puluh meter. Di bawah sana ada gerombolan monster yang menggila. Pasukan yang melawan mereka pada akhirnya habis. Kini para monster itu berlari ke arah kelompok dadakan. Sementara bulan bernama Alkimia mulai turun dengan kecepatan tinggi.

"Apa rencananya?" tanya Sanelia.

"Maju ke depan dan membuka jalan. Mendekati menara dan menyegel si kuda dan gerombolan monster di bawah, " kata Geiger.

"Tapi dengan jumlah monster yang begitu banyak—"

"Kalau begitu silakan diam di sini," kata Geiger memotong kalimat Mawar. "Cari peluang untuk maju. Buktikan kalau kalian layak di sini."

Geiger berlari maju tanpa menunggu anggota kelompoknya yang lain. Dengan berlari secepatnya dia menyambut ratusan monster—kalajengking raksasa berkepala singa, macan tutul bersayap, ular berkepala tiga, dan masih ada puluhan spesies monster lainnya—yang mengalihkan serangan ke arah bukit pasir.

"Faye! Saatnya mengamuk! Keluarlah!" perintah Geiger.

Menyambut perintah sang letnan, seberkas cahaya terang melesat keluar dari saku dalam long coat miliknya. Cahaya itu menjelma menjadi sosok Faye, gadis peri yang hidup di dalam komputer tablet sang letnan. Matanya tampak berbinar-binar melihat ribuan monster yang menuju ke arahnya.

"Apa boleh kita menggila di sini?" tanya Faye dengan gembira.

Geiger tersenyum. "Ini hanya permainan, kan?" katanya. "Bersenang-senang adalah keharusan. Pandu seranganku!"

"Baik!" balas Faye.

~~~

"Ayo kita juga maju," kata Mawar.

"Buat apa? Sepertinya orang itu cukup hebat untuk mengatasinya sendiri," kata Silas. Dia berjongkok di tanah sambil menggambar sesuatu dengan ujung pistol miliknya.

Mawar menepuk pundak pemuda itu. "Ibu tahu kamu punya kemampuan yang tinggi. Semua senjata-senjata ini sangat terawat, tapi juga tampak sering digunakan. Ibu merasa kalau kamu mau, maka dengan semua senjata itu, menghancurkan menara kristal bukan hal yang sulit," katanya lembut.

"Malas, Bu," kata Silas. Tanpa sadar dia memanggil Mawar dengan panggilan 'ibu', meskpun usia mereka tidak terpaut jauh.

"Benarkah?" tanya Mawar. Dia ikut berjongkok dan dengan lembut dia menghadapkan tubuh Silas padanya. Matanya menatap lembut pada pemuda itu. "Ibu pernah melihatmu menembakkan peluru nyaris tanpa henti. Dan semuanya tepat sasaran. Menghancurkan beberapa monster yang terbang ataupun menara itu bukan masalah untukmu, bukan?"

Silas berpikir sejenak. "Mungkin," jawabnya pelan.

"Nah! Kalau begitu ayo! Kita berjuang bersama dan kalahkan mereka. Kumpulkan poin yang tinggi!" seru Mawar penuh semangat. Dia bahkan melompat berdiri dengan tangan kanan terkepal di udara.


Melihat Mawar melompat seperti itu membuat Silas ikut merasa semangat. Pemuda itu pun ikut melompat bersamanya. "Ayo!" serunya.

"Kamu juga ikut melompat, Nely!" seru Mawar pada Sanelia. Tetapi yang bersangkutan ternyata telah berbaring di tanah sambil bersiap menembak dengan riffle miliknya.

"Maaf, aku menolak," kata Sanelia. Tangannya menarik pelatuk, dan dalam sekejap sebutir peluru melesat ke seekor monster berbentuk macan kumbang bersayap. Dalam sekejap pula monster itu hancur menjadi potongan-potongan daging yang berjatuhan. "Mengisi ulang energi. Satu, dua, tiga, tembak." Sekali lagi dia menarik pelatuknya dan menghancurkan monster bersayap lainnya.

"Tinggalkan saja dia di sini, Bu," kata Silas. Dia memeriksa semua senjatanya dan amunisi yang dia bawa. "Kita menyusul si cambang secepatnya."

Mawar mengangguk. "Kalau begitu barisan belakang Ibu percayakan padamu," katanya pada Sanelia.

Gadis itu hanya mengangguk singkat. Dia menunggu sampai kedua sosok itu menghilang di bawah kaki bukit. Sekali lagi dia membuat seekor monster berubah menjadi hujan potongan daging.

"Aku lebih muda dari Silas," kata Sanelia, "dan dia menyebut dirinya sebagai 'Ibu' di depan pria itu?" Gadis berambut biru itu menghela napas. "Anggota kelompokku sepertinya tidak ada yang beres," katanya.

~~~

X

Geiger melihat potongan-potongan daging berjatuhan dari langit bersamaan suara ledakan. Dia menoleh ke belakang dan melihat dua anggota kelompoknya sedang menuruni bukit. Sementara itu, gadis berambut biru masih berada di atas bukit, mengarahkan ujung riffle-nya dan melontarkan peluru-peluru ke arah para monster terbang.

"Letnan! Di depan!" seru Faye.

Geiger menoleh dan melihat seekor monster yang tampak seperti campuran gorilla dan kepiting melompat ke arahnya. Geiger menghantamkan amphisbaena, tongkat besi miliknya, ke dada makhluk itu saat dia nyaris tertimpa dan mengayunkan tongkat itu ke belakang. Dalam gerakan yang hanya sepersekian detik itu Geiger telah berhasil membuat monster itu terpelanting ke belakang. Tetapi masalah belum selesai. Kini dirinya berada tepat di tengah-tengah gelombang monster beraneka rupa yang menyerangnya bersamaan.

Geiger mencabut pisaunya dan memotong beberapa monster kecil, tetapi dengan cepat serangannya dipatahkan saat sekelompok monster berwujud seperti umbi mengeluarkan sulur-sulur dan menangkapnya. Di saat yang sama Faye sibuk melindungi dirinya sendiri dengan memakai Codex pertahanan. Kini dirinya terbungkus dalam sebuah batu yang melayang, sementara puluhan monster berkepala burung dan berbadan kelelawar mematuk-matuk batu itu.

"Faye, berapa banyak Vis yang ada di tempat ini?" teriak Geiger. Sulur yang membelit tangan dan kakinya semakin erat, sementara badannya terangkat ke udara dalam posisi terlentang. Sesosok monster menyerupai kelinci hitam dengan punggung berapi berjalan di bawahnya dan menyalakan api di punggungnya dengan sekuat tenaga.

"Vis di sini sebanyak di Neo Gaia! Tapi afiliasinya Gaia dengan sedikit Aqua!" teriak Faye dari dalam batu.

"Bagus!" seru Geiger. Ujung long coat­-nya mulai terbakar. "Activatio! Vis Aqua! Codex: Lachryma!"

Dalam hitungan detik di atas langit padang gurun itu berkumpul awan gelap. "Ayo! Turunlah!" teriak Geiger yang meronta dalam perangkap sulur. "Matikan apinya!"

Seolah menjawab teriakan Geiger, awan gelap itu pun jatuh menjadi hujan lebat. Dalam sekejap semua monster yang memiliki elemen api tumbang—termasuk kelinci hitam di bawah badan Geiger. Mereka berteriak saat api yang mejadi nyawa mereka tersiram hujan yang turun tanpa ampun. Monster-monster berbentuk umbi-umbian yang membelit tubuh Geiger pun tak luput dari amukan hujan. Dan itu memberi Geiger cukup banyak peluang untuk melepaskan diri dari sulur-sulur mereka, mengambil kembali pisaunya yang terlempar dan mencincang para monster itu—juga monster-monster lain di sekitarnya yang terhenti gerakannya karena hujan lebat—hingga tak bersisa. Geiger tertawa saat melihat monster-monster itu berubah potongan daging segar dan darah mereka membasahi long coat-nya yang rusak.

"Mati kalian! Bangsat sialan! Mati!!" seru Geiger. Ada sesuatu yang membara di dalam dadanya, bagaikan api yang membakar otaknya. Membunuh para monster itu menyenangkan, tetapi dia tidak puas. Geiger melihat ke arah monster yang mengelilingi Faye dan melakukan hal yang sama pada mereka. Dalam sekejap para monster itu pun berjatuhan.

"Faye, keluar dari sana! Kita tidak punya waktu!" seru Geiger dengan suara parau. "Jadi navigatorku dan lindungi belakangku!"

Faye mematuhi perintah Geiger. Dia membuka pelindungnya dan keluar. Dan dia terkejut melihat sang letnan, tuannya, kini dibanjiri darah. Sebagai golem—sebutan untuk makhluk pendamping buatan—yang telah lama bersama Geiger, Faye tahu apa konsekuensi dari kondisi tuannya sekarang.

"Tuan! Jangan mengamuk!" seru Faye. Namun suaranya tak didengar. Sang tuan makin menggila, menembak dan menebas monster dalam kecepatan yang tak wajar, dengan wajah gembira yang mengerikan. Itulah kegilaan Geiger.

Geiger mencabut senjata apinya dan meletakkan tangannya pada senjata itu. "Infusio! Ad projectilis! Vis Gaia! Dilatio Codex!" serunya sambil berlari menghindari serangan demi seangan monster. Pada satu titik dia menembakkan peluru ke atas dan menembus seekor kelelawar berkepala burung. Pelurunya tidak berhenti di sana. Dalam gerakan garis lengkung yang sempurna, peluru itu terus menembus apapun yang dilewatinya hingga kembali ke tanah.

"Bagus! Exsolvo: Arena Insidiae!" teriak Geiger saat melihat pelurunya menghunjam pasir. Sesaat setelah meneriakkan nama Codexnya, pasir di bawah kaki Geiger berdentum keras. Di saat bersamaan titik peluru itu berada secara perlahan tapi pasti mulai turun. Pasir mulai membentuk pusaran, seakan tersedot oleh peluru itu. Dan dalam waktu beberapa menit saja, sebuah perangkap pasir isap berukuran seratus meter telah tercipta. Monster-monster pun tak kuasa tersedot ke dalam pusaran itu. Demikian pula Geiger.

"Tuan!"

Sebelum Geiger terpeleset dan menyerah pada tarikan jebakan pasir yang dibuatnya, Faye dengan cepat mendorongnya dan mengangkatnya ke atas. Meski memiliki tubuh sekecil telapak tangan sang tuan, Faye mampu mengangkatnya dengan mudah. "Aku tidak akan membiarkan tuan mati di sini! In nomine pactio mea! Codex: Conscio Corpus!" teriak Faye. Seketika tubuh Geiger memancarkan cahaya putih yang tampak berdetak.

Tubuh dan jiwa Geiger kini terikat oleh sebuah sistem Codex khusus yang hanya bisa digunakan oleh para golem. Dengan menggunakan pactum—perjanjian-perjanjian yang mengikat golem dan tuannya—sesosok golem bisa menggunakan Codex apapun yang digunakan tuannya meski mereka tidak terhubung dengan sumber dari Vis. Codex yang diucapkan Faye mengikat kesadaran tuannya kembali ke dalam tubuhnya dan melepaskan kegilaan yang menguasainya.

"Apa … yang terjadi?" tanya Geiger.

"Kau lepas kendali lagi," kata Faye dari balik punggung Geiger. Mereka masih melesat terbang di udara. "Aku terpaksa mengikatmu demi keselamatan semua orang. Menjauhkanmu dari tanah akan melepaskan pengaruh Vis yang berlebihan. Dengan begitu kau akan menjadi sadar dan tidak mengulangi kesalahanmu dulu."

Sementara Faye mendorong Geiger ke udara, awan gelap yang menutupi langit padang gurun itu tiba-tiba lenyap. Hal yang berusaha mereka hindari akhirnya tiba. Bulan Alkimia kini telah tiba. Benda itu pun pecah di langit, menyebarkan bebatuan raksasa dan melepaskan sesosok makhluk berwujud kuda api di dalamnya.

Tamon Rah telah muncul.

~~~

XI

Mawar dan Silas nyaris menjadi korban perangkap pasir Geiger seandainya perangkap itu masih aktif—perangkap pasir hanya aktif selama tiga menit dalam radius seratus meter. Mereka berdua melompati bangkai-bangkai monster yang telah terkubur untuk menambah laju di tengah hujan lebat yang turun secara tiba-tiba.

"Apa ini kerjaan si cambang?" tanya Silas sambil menembakkan badai peluru, salah satu kemampuannya, ke arah ratusan monster yang mendekat.

"Sepertinya begitu," kata Mawar yang berlari di belakangnya. Tongkat rotan yang dia sembunyikan kini keluar kembali. Beberapa monster kecil atau tentakel yang mencoba menyerangnya dengan mudah dia tepis.

"Ternyata dia hebat juga," kata Silas. "Dan cukup mematikan."

Percakapan mereka terhenti saat tiba-tiba bebatuan besar jatuh dari langit. Silas mengalihkan badai pelurunya ke atas dan memecahkan seluruh batu yang menuju ke arah mereka berdua. "A-apa si kuda sudah keluar?" tanyanya gugup.

"Sepertinya begitu," kata Mawar. "Kuharap kesempatan kita tidak mengecil."

~~~

Kuda bersayap dan bertanduk satu dengan tubuh setinggi lima puluh meter berlari cepat ke arah Geiger. Mulutnya siap menyemburkan api. Seandainya Faye tidak segera kembali menukik ke tanah, maka pastilah Geiger akan menjadi seonggok daging hangus di udara. Kuda itu berhenti mengejar mereka saat Faye mengakhiri Codexnya.

"Tampaknya dia mengejar peserta yang memakai kekuatan," kata Faye. "Sekarang dia berlari ke arah Silas dan Mawar."

"Activatio," Geiger mengucap dengan lemah. Efek Conscio Corpus masih dirasakannya. Dia meletakkan kedua tangannya ke pasir. "Vis Caia. Codex: Gigantea Murus."

Di depan Silas dan Mawar kini muncul sebuah tembok raksasa. Saat kemunculannya sangat tepat, karena si kuda raksasa saat itu menghembuskan napas api ke arah mereka berdua.

"Berhenti menggunakan kekuatan kalian!" seru Geiger pada Silas dan Mawar yang tertinggal tiga ratus meter darinya. Kini tenaganya telah pulih. "Dia mengejar siapapun yang memakai kekuatan khas!"

"Lalu kita sebaiknya bagaimana?" tanya Mawar dengan suara lantang.

"Terus maju! Sisa setengah perjalanan menuju menara!" seru Geiger. Dia berbalik dan mencabut pisaunya.

"Tuan!" seru Faye. Dia tidak ingin melihat tuannya menjadi gila kembali.

"Tenang," kata Geiger. "Conscio Corpus tidak hilang sepenuhnya dari tubuhku." Geiger berlari kencang sementara menebas beberapa monster. Tetapi monster-monster itu tidak berkurang jumlahnya. "Apa boleh buat. Vis Gaia. Codex: Stratoso panem."

Pasir di bawah kaki Geiger kembali berdentum. Tetapi berbeda dari perangkap pasir, kini dari dalam tanah muncul dua bidang tanah tebal dengan luas masing-masing seluas seratus meter persegi yang terangkat di kedua sisi. Para monster terjebak di antara kedua bidang tanah itu saat keduanya bergerak menyatu dan menghimpit, membentuk sebuah tembok besar yang menjulang di langit.

"Aku nyaris tidak punya kekuatan lagi," kata Geiger. "Faye, dorong mereka ke sini."

Faye mematuhi perintah Geiger. Secepat kilat dia terbang ke tempat Silas dan Mawar. Faye lalu melakukan pada mereka apa yang dilakukannya pada Geiger. Di saat bersamaan Tamon Rah berlari ke arahnya.

"Kudanya!" seru Mawar saat melihat Tamon Rah makin mendekat. Tepat setelahnya sebutir peluru mengenai tubuh kuda itu.

Tamon Rah berhenti mengejar dan berlari memutar ke arah orang yang menembaknya. Di atas bukit pasir, Sanelia dengan percaya diri tetap diam pada tempatnya. Dia kembali menembak, kali ini menuju tepat ke mata si kuda. Si kuda meringkik keras dan memuntahkan api ke arah Sanelia, tetapi gadis itu sudah tidak ada lagi di sana.

"Nely mengalihkan perhatian si kuda," kata Mawar, "ayo, sisa dua ratus meter lagi!"

Silas dan Geiger mendadak menjadi semangat kembali. Mereka berdua mengangguk dan kembali berlari menuju menara kristal.

~~~

XII

Silas dan Geiger kini memisahkan diri. Mawar sebelumnya telah mengulang kembali penjelasan Xan. Menara yang mereka tuju hanya bisa dihancurkan dengan serangan fisik di saat bersamaan. Dalam radius lima meter, mereka akan mulai menembaki siapapun yang mendekat. Karena itu Geiger telah memberikan pada silas sebutir peluru dari dua peluru yang telah diisinya dengan Codex Gigantea Murus.
"Tembakkan beberapa meter dari menara, tepat ke pasir," pesan Geiger saat mereka berpisah. Silas mematuhi pesan itu dan menembakkan peluru yang diberikan Geiger ke pasir sepuluh meter di depan menara.

"Tuan, peluru sudah dilepaskan," kata Faye.

Geiger pun menembakkan pelurunya. "Exsolvo, Codex: Gigantea Murus!" serunya saat peluru itu telah menyentuh pasir.

Secara bersamaan di kedua tempat bersarangnya peluru Geiger dan Silas, sebuah dindin setebal satu meter menjulang hingga setinggi kedua menara incaran mereka. Baik Geiger dan silas segera berhenti, seperti yang telah mereka berdua rencanakan.

Geiger mengangkat tangannya, seolah-olah sedang mendorong sesuatu. Tembok raksasa di depannya dan Silas mulai bergemuruh. Saat Geiger—dengan kepayahan seperti benar-benar mendorong sebuah dinding—bergerak maju, kedua tembok itupun bergerak maju.

Silas mulai mengisi kembali seluruh senjatanya dengan amunisi, bersiap untuk serangan terakhir sambil tetam memperhatikan keadaan. Si kuda raksasa masih disibukkan oleh serangan Sanelia yang berpindah-pindah. Sedangkan monster-monster lainnya terkena serangan bola api dari sayap si kuda raksasa atau semburan api dari mulutnya.

"Bersiaplah," kata Geiger. "Dinding sudah kupasang lima meter dari menara. Saatnya menyerang."

Silas mengangguk. Dia menoleh dan melihat mawar mengepalkan tangan dan tersenyum. Semangatnya kembali terisi. Dia menunggu aba-aba dari Geiger untuk maju dan mulai menyerang.

Geiger mengayunkan tangan kirinya ke depan, sedangkan tangan kanannya telah menodongkan senjata api miliknya—turunan Sig Sauer dari dunia lama yang kini dimodifikasi menjadi lebih efisien dan tanpa efek recoil yang besar—ke depan. Itulah tanda yang ditunggu oleh Silas. Dia segera berlari ke dinding dan dengan cepat menempelkan diri tepat di pinggiran dinding itu. Dari belakang terdengar suara bagaikan peluru yang ditembakkan tanpa henti. Silas meneguk air liurnya sendiri, tangannya mulai berkeringat. Tetapi saat dia kembali melihat Mawar, keraguannya segera menguap.

"Sekarang!" seru Geiger.

Di saat bersamaan Silas dan Geiger berbalik dan mulai menembaki menara kembar itu. Satu menit, lalu kembali bersembunyi selama semenit. Lalu kemudian kembali menembak selama dua menit sebelum kembali bersembunyi selama semenit. Usaha mereka menghujani kedua menara kristal mulai membuahkan hasil. Dari balik dinding yang melindungi mereka mulai terdengar suara retak. Jumlah proyektil yang ditembakkan kedua menara pun mulai berkurang. Silas dan Geiger saling menatap dan mengangguk. Inilah saat penentuannya.

"Kalian berdua, semangat!" seru Mawar.

Dengan semangat baru yang disuntikkan Mawar pada keduanya, Silas dan Geiger berlari ke balik dinding dan kembali menyerang. Baik Geiger maupun Silas tidak peduli akan serangan proyektil kedua menara kristal itu. Mereka terus menyerang meski dengan tubuh luka-luka.

Meski memiliki kemampuan memulihkan diri, bagian bawah kedua menara itu menjadi keropos seiring serangan-serangan merusak Geiger dan Silas. Geiger menembaki perpotongan retakan yang timbul akibat tembakan-tembakan sebelumnya, sementara Silas memuntahkan seluruh amunisinya dalam serangan beruntun. Tak sanggup menopang bobotnya sendiri, kedua menara itu pun akhirnya roboh.

Di kejauhan terdengar ringkikan kuda. Geiger, Mawar dan Silas melihat kuda raksasa di atas langit menggelinjang tak terkendali. Perlahan kaki dan sayapnya menyusut. Tubuhnya berputar-putar. Kepalanya tertarik ke badannya sendiri. Meski meronta sekuat tenaga, perlahan tetapi pasti sosok Tamon Rah berubah menjadi sebuah bola. Pasir-pasir gurun beterbangan mengelilingi makhluk itu, berputar dan mengeras membentuk batu raksasa. Geiger masih melihat sebuah peluru melesat menghantam si kuda yang telah tersegel, tetapi tidak terjadi apa-apa setelahnya.

"Nely masih hidup," kata Mawar. "Dia memberikan tanda untuk kita."

"Baguslah," kata Geiger.

Tamon Rah yang telah tersegel kembali terangkat ke langit. Di saat bersamaan bangkai-bangkai monster di padang gurun berubah menjadi debu dan menghilang.

"Ayo kita kembali ke tempat Sanelia," kata Silas.

"Kalian duluan saja," kata Geiger.

"Kau yakin? Katanya kita akan dijemput lagi di sana," kata Silas.

Geiger hanya mengibaskan tangan untuk menyuruh mereka pergi secepatnya.

"Baiklah. Kami akan pergi duluan. Susul kami nanti," kata Mawar.

Geiger menunggu mereka hingga berjalan jauh. Napasnya perlahan memburu. Badannya gemetar. Dia cepat-cepat bersandar pada tembok raksasa yang dibuatnya dan berjalan tertatih-tatih memutari tembok itu. Saat dirasanya tidak ada yang melihat, Geiger pun menjatuhkan dirinya ke atas pasir.

Faye yang sejak tadi terbang di sisi Geiger kini mendarat dan duduk di samping telinga pria itu. "Tuan," katanya khawatir, "maafkan aku karena menggunakan Codex itu." Mata gadis peri itu mulai berkaca-kaca. "Meski tahu resikonya, aku tetap harus menghentikan tuan."

"Aku mengerti," kata Geiger. Dengan susah payah dia membalik dirinya sendiri. "Kau hanya tidak ingin aku menjadi gila dan membunuh siapapun yang kulihat, bukan?"

Faye mengangguk. Air matanya kini mengalir bagaikan sungai. Dia memeluk leher tuannya dan merengek.

"Hei, berhenti menangis," kata Geiger pelan. Dia membelai lembut kepala Faye yang semakin merengek dan memeluk lehernya semakin erat. "Kalau terlalu erat memeluk leherku, aku bisa mati."

"Sementara yang lain khawatir, kau malah bermain-main dengan gadis kecil?"

Geiger melirik ke arah suara yang tak asing lagi itu. Si gadis pelayan berekspresi datar dengan kata-kata ambigu, Xan, kini berdiri di sampingnya. "Ah, kau rupanya?" kata Geiger.

"Apa mengelus kepala gadis kecil adalah hobimu?" tanya Xan. Dia mencondongkan badannya. "Kau menjijikkan sekali, main seperti itu dengan anak kecil."

"Seandainya aku cukup kuat, mungkin aku akan menghantam kepalamu sekarang," kata Geiger.

"Benar," kata Xan, "aku beruntung kau sedang dalam keadaan lemah."

Geiger menghela napas panjang. Dia menahan tubuh Faye yang sejak tadi sudah ingin terbang dan menghantam Xan mengantikan dirinya. Dengan lembut dia memerintahkan golem miliknya itu untuk kembali ke dalam tablet. "Terima kasih," bisiknya pada Faye sebelum dia berubah menjadi bola cahaya yang kembali ke dalam komputer tablet di saku long coat-nya.

"Jadi, apa selanjutnya?" tanya Geiger.

"Mau melihat isi di balik rokku?" balas Xan sambil memegangi roknya. "Kau punya vantage point yang bagus. Mengerti vantage point, kan?" tanyanya tanpa ekspresi.

Geiger buru-buru menutup matanya. "Pergi saja kau," kata Geiger.

"Tidak bisa," kata Xan datar. "Aku diminta menghibur peserta dan membawa mereka kembali"

"Itu sama sekali tidak menghiburku," kata Geiger.

"Mungkin kalau sosokku adalah gadis kecil kau akan terhibur?" tanya Xan.

"Activatio. Viz—"

Xan menjentikkan jarinya sebelum Geiger sempat menyelesaikan kalimatnya. Sosok Geiger pun seketika lenyap.

"Misi pertama selesai," kata Xan. "Menunggu keputusan yang mulia Tamon Ruu, lulus atau tidaknya anggota tim ini." Xan kembali menjentikkan jarinya. Sosoknya pun lenyap dari tempat itu.

~~~

Di suatu tempat di istana Tamon Ruu, sang pemilik istana sibuk berendam di dalam Jacuzzi yang hangat. Gelembung-gelembung sabun menutupi tubuhnya. Di balik pembatas pintu dari kertas, Hewanurma sedang sibuk menghitung nilai performa para peserta.

"Mereka semua terlalu kasar," kata Tamon Ruu merajuk.

"Bukannya salahmu sendiri karena memutuskan terlibat? Ingat, kau yang jadi kuda dan membakar mereka," sahut Hewanurma dari balik pembatas.

"Tapi melihat mereka bermain sendiri juga tidak enak, kan? Kau sendiri juga ingin ikut main, kan?" kata Tamon. Perlahan dia menurunkan badannya hingga setengah wajahnya terendam air.

"Aku sudah cukup sibuk di sini. Aku punya banyak kerajaan, bukan seperti seseorang yang kerjanya hanya main saja. Dan bukannya kau harus mengkhawatirkan penyusup yang masuk ke dunia ini?"

Tamon mengernyit. "Aku tahu, kok," katanya sambil kembali merajuk.

"Kalau tahu sebaiknya kau melakukan apa yang sebaiknya kau lakukan," kata Hewanurma.

Tamon diam sejenak. Tiba-tiba dia tersenyum. "Hei," katanya dengan suara manja, "mau mandi bersama? Kalau kau berhenti mengomeliku, kau boleh ikut berendam denganku, lho."

"Maaf, tapi aku hanya suka gadis berkacamata," balas Hewanurma. "Lagipula kau ini sudah berumur—"

Kata-kata Hewanurma tidak berlanjut. Kekuatan sang dewi memindahkan pria berjanggut putih itu ke padang gurun sebelum dia sempat menyelesaikan kalimatnya.

***

10 comments:

  1. Panjang....
    bagus saya suka, ada komedinya juga yang cukup nyambung dan nggak dipaksa.

    cerita awal sebelum masuk Alforea cukup panjang, dan ane juga kurang ngerti masalah Codex yang ente ciptain disini, bahkan istilahnya juga. aqua, dll

    menarik sih dan pembagian partnya juga bagus jadi nggak terlalu bosen bacanya.

    nilai 9

    -Reviss Arspencer

    ReplyDelete
  2. Hmm oke ini panjang.

    Tapi saya merasa dagelan di awal sama akhir entri ini sangat bagus.
    Hanya saja saya nggak paham dengan battle-nya yang gimana ya .. . Intens sih, tapi kok saya merasa bingung dengan adegan battle se-intens ini?

    Selain itu saya juga nggak paham bagaimana si Nely bisa lolos dari ancaman 'dihanguskan' si Tamon Rah >.<

    Tapi overall lumayan menarik sih jadi saya kasih ... nilai : 8

    ReplyDelete
  3. Hai Geiger~

    Aku mendapati nampaknya sistem Codex di dunia Geiger sudah dirancang dengan lumayan solid. Aku masih kurang paham sama cara kerja dan pengaplikasiannya tapi agaknya berhubungan sama pengendalian elemen yah.

    Pembukaan ceritanya uda rapi banget, langsung ketahuan latarnya Geiger seperti apa. Karakternya dia juga langsung terlihat jelas. Yang aku rada ngga sreg adalah dari awal langsung ditembak jati dirinya Tamon adalah Monta si peretas Codex. Bukannya saya ga setuju ama bending canon panitia oleh peserta sih, tapi klo dari awal gini langsung dibend rasanya agak gimana gitu, dan jadinya turnamen ini berkesan Geiger-sentris banget.

    Secara aksinya manteb lah, Geiger show off ilmu penggunaan Codexnya. Sedikit blundernya kupikir, rekannya jadi kerasa seperti pemeran pembantunya Geiger yang ga terlalu berperan atau hanya sekedar bantu-bantu saja.

    Kalau narasi mah uda ga usa ditanya, penceritaannya enak diikutin. Hanya kadang ada dialog-dialog yang terasa kaku, atau seperti hasil terjemahan dari bahasa asing.

    Nilai : 8

    OC aye : Zhaahir

    ReplyDelete
  4. Halo om Yapet,

    Saya sebenarnya udah baca dari kemarin, cuma bingung mau komentar apa.
    Disamping cerita utama yang... wow.
    Canon utama Geiger ini begitu solid, malah terkesan ini novel stand alone yang cuma numpang latar di Alforea aja.

    Tapi ya... mari kesampingkan ceritanya yang panjang, (saya bacanya dua hari, wkwkwkwkwk)
    Ini Geiger ngejabarin Codex agak membingungkan yaaa...
    Mungkin saya lebih sreg kalo misalnya konsep Codex itu bisa dijelaskan sedikit demi sedikit seiring dengan melajunya Geiger ke Round selanjutnya (amiin)

    Nilai : 8
    :D

    OC saya : Sanelia Nur Fiani

    ReplyDelete
  5. Ini Geiger carbon copy Stallza bener ya
    >dandy hard-boiled man
    >punya peri yang bisa diajak ngobrol asik sendiri macem Spiritia
    >kemampuannya sains tapi magic, dan rumit
    >dan yang paling penting...ini cerita beneran all about Geiger banget, persis kayak Stallza. Iya sih ini indikasi canon yang kuat...tapi di satu sisi, rasanya BoRnya justru jadi sesuatu yang berkesan sampingan

    Kalo ini sebuah tulisan lepas, saya bakal puji karena keliatan well-thought. Tapi entah kenapa entri Geiger ini asimilasinya terlalu kuat, sampe" awalannya yang ga berhubungan sama actual content udah makan setengah porsi cerita sendiri. Di penyisihan begini, saya lebih mentingin kenal karakter dari impresi entrinya, dan di sini saya malah disuguhin sesuatu yang terlampau infodump (oke, mungkin ga segitunya, tapi tetep aja lots of one's background) padahal saya belum kenal, apalagi care sama karakter ini

    Saya mau kasih ini 6, tapi karena masih readable dan lumayan tanpa cela kalo sekedar liat teknis dan cara penyampaian cerita (sekalipun rasanya ga sejalan sama ideal saya), tambah 1. Jadi dari saya 7

    [OC : Dyna Might]

    ReplyDelete
  6. "Semua pengunjung bar itu menoleh dan segera mencabut pistol dan mengarahkannya ke pintu—bar milik Tony adalah langganan para mafia dan orang-orang yang aktif di bawah tanah." This is not how you use an Em Dash.

    "Sang detektif segera berlari keluar dari toilet itu sebelum kedua wanita itu—yang karena terburu-buru tidak begitu dia perhatikan siapa—sempat meneriakinya." Yang ini penggunaan Em Dash benar, tapi kau sebaiknya jangan menggunakan kata "itu" lebih sekali dalam satu kalimat.

    Kau menerjemahkan interface jadi antarmuka, tapi long coat tetap jadi long coat...

    Oke, sekarang untuk entry ini sendiri, openingnya kepanjangan. Selain itu, di sana juga tak terlalu banyak hal penting terjadi. Dude... 6 parts buat Neo Gaia, lalu 2 parts buat Alforea... Tapi kenapa hanya 4 parts untuk menu utamanya?

    Lalu untuk bagian pertempurannya, saya gak ngerti kenapa itu Geiger dude tiba-tiba semangat juang 45-nya begitu membara?

    Untuk pertimbangan, sebaiknya kau juga memikirkan para pembaca yang tidak terlalu niat untuk meneliti seluruh character sheet yang ada sebelum membaca entry ini.

    Ini battle-nya epik sangat, tapi ya itu, ini serasa nonton serial fantasi di pertengahan musim. I'm in awe, but I don't understand any of it, neither the magic nor how the hell that Geiger dude did it.

    Saya gak bilang kalau kau harus lempar infodump terus-terusan, just be subtle about it.

    Lagipula ini battle-nya terlalu cepat, chemistry anggota grupnya juga terkesan sangat sempurna (walau mereka jarang terlihat dan spotlight-nya dibantai Geiger).

    You're trying too hard to make this Geiger dude into a hard-boiled dick (detective), but I find him hard-to-understand instead.

    Jujur, paragraf pembuka entry ini bikin saya merinding (in a good sense), apalagi ada embel-embel detektifnya. Mungkin saya yang berharap terlalu banyak, kalau ini akan jadi OC yang memiliki unsur hard-boiled noir dick...

    Nilai 7

    Zoelkarnaen
    (OC: Caitlin Alsace)

    ReplyDelete
  7. Entri yang panjang.

    Kalau saya sih, saya sudah enjoy dengan pembukanya, meski rasanya terlalu panjang(?)

    Tapi ya, kalau dari saya pribadi, we need more action in alforea dibanding di dunia mz Geiger.

    Saya rasa bagian-bagian dari kehidupan mz Geiger sebelumnya bisa dipotong sebagian atau diringkas jadi bagian di alforea lebih menonjol.

    8/10 untuk Scientific Magic.

    Salam hangat dari Enryuumaru/Zarid Al-Farabi

    ReplyDelete
  8. Ampuuuun, Pak Geiger! Aku cuman lulusan pendidikan seni rupa, dikasih banyak banget istilah latin gitu, kan akunya jadi mabok Latino~ #puyeng# Ini KUDU dan HARUS ditempelkan semacam GLOSARIUM di tiap akhir entri.

    Cerita latar belakangnya asik sih, Om, tetapi banyak juga porsinya ya? Biarpun demikian, keren juga, jadi agak refreshing sehabis baca entri-entri lainnya yang melulu langsung berantem.

    Tapi lagi-lagi itu detail battlenya, Om. Vis a vis-nya itu, kayaknya lebih oke kalau dibikin lebih akrab ke pembaca. Saran dariku aja sih, sebagai guru seni rupa.

    Dan YEEEEEEEAY, aku muncul di sini juga #blush
    Nggak gitu banyak sih perannya, tapi aku tetep seneng >.<

    TOTAL PONTEN 8
    -Bu Mawar-

    ReplyDelete
  9. ini aye kayak ngebaca nopel nyang ude jadi,,,beneran mantep bang! kayaknye luewes banget gitu nyeritain segale sesuatu tentang si tokoh nye,,, langsung kenal deh aye ame Geger ini,,tapi rada ngejelimet gitu name jurus- jurusnya,,,dari bahase ape sih?? tapi aye banyak belaajr gimana cara nulis narasi di mari nih,,, biarpun aye masih belom berani niru- niru,,, singkat kate ini cerita seru deh

    Nilai dari aye 10
    Karakter aye itu Kumirun

    ReplyDelete