16.5.15

[PRELIMINARY] MAIDA YORK - ARTHUR SANG PAHLAWAN

MAIDA YORK – ARTHUR SANG PAHLAWAN
Ditulis Oleh : Erwina


NOL – LEGENDA ARTHUR

Jam di dinding menunjukkan pukul 10 petang. Maida yang saat itu berumur 5 tahun, berlari dengan kaki kecil dari ruang tengah menuju kamarnya yang ada di loteng, membawa boneka kelinci kecil yang diberikan Manvred saat ulang tahunnya kapan lalu. Manvred berjalan mengikuti di belakang anaknya sambil tersenyum.

Masuk ke dalam, Maida kecil berusaha naik di ranjangnya sendiri. Memposisikan bantal untuk kepalanya bersandar dan masuk di dalam selimut. Manvred menyalakan lilin kecil agar ada sedikit penerangan di kamar itu.

"Ceritakan aku sesuatu sebelum tidur, Ayah!" Maida tersenyum manja menunggu saat-saat ini. Cerita Manvred selalu beragam dan menarik, kapan hari dia menjelaskan tentang legenda seorang pahlawan bernama Arthur.


"Baiklah, bagaimana lanjutan dari cerita kemarin?" Manvred mengelus pipi Maida dan duduk di samping tempat tidur.

"Sang pahlawan akhirnya terdampar bersama dengan tiga temannya di sebuah gurun,"  Manvred mulai melanjutkan ceritanya.

Cerita mengenai pahlawan bernama Arthur, suatu hari dia pergi ke daerah penyihir untuk menemukan harta kerajaan yang dicuri oleh penyihir. Arthur diperintahkan raja untuk mengambilnya, dan petualangan mereka terhenti karena jebakan dari sang penyihir, mereka semua di kirim di sebuah gurun. Pertarungan berlangsung hebat, bersama ratusan pasukan milik raja  dan 3 sahabat penyihir yang hebat, Arthur memimpin mereka untuk mengalahkan monster-monster milik penyihir di sana. Mereka semua kalah jumlah, namun karena kehebatan Arthur monster-monster itupun akhirnya hancur, namun semua prajurit kehabisan tenaga.

"Semua itu adalah jebakan dari penyihir jahat. Begitu mengetahui Arthur dan pasukannya sudah kehabisan tenaga, saat itu munculah monster yang berbentuk kuda dan berukuran sangat besar muncul di hadapan Arthur!" Manvred meninggikan suaranya untuk memberi kesan menyeramkam.

"Arthur dan 3 penyihir hebat tak mampu menandingi monster kuda apalagi tenaga mereka sudah habis. Dan sang monster menghancurkan segalanya dengan api, semua prajurit di kalahkan dan yang tersisa hanyalah dia dan 3 temannya.  Namun Arthur begitu cerdik dan mengetahui bagaimana cara mengalahkan monster kuda itu!"

Maida makin tertarik, dia menarik selimut dan mendekatkan pada wajahnya, terus menyimak. Manvred tampak puas dengan reaksi anaknya.

Manvred melanjutkan ceritanya, pahlawan Arthur mendapatkan informasi bahwa ada cara untuk menyegel monster, yaitu dengan menghancurkan dua menara api yang menjadi sumber kekuatan si kuda. Sang pahlawan dan 3 temannya mencari menara itu, namun di tengah jalan mereka terpisah karena ulah monster licik. Pahlawan Arthur yang hebat bisa mengalahkan monster itu dengan sihirnya dan sampailah dia pada salah satu menara.

"L-lalu apa yang terjadi ?" Seharusnya ini menjadi dongeng sebelum tidur tapi Manvred malah membuat Maida terjaga.

"Pada akhirnya, pahlawan Arthur...,"  

Sampai sekarang Maida lupa apa yang terjadi dengan pahlawan Arthur saat sampai di menara. Kenangan yang sudah lama, Maida bahkan hanya pernah mendengar sekali cerita itu. Alasan kenapa Maida kembali meningat cerita pahlawan Arthur tak lain karena apa yang dia hadapi kali ini. Bersama dengan ke-tiga teman yang baru saja dia temui.


SATU – PERTEMUAN

Gurun pasir harusnya tenang, hanya ada pasir yang bergerak tipis mengikuti angin, suara angin yang melewati sela-sela tebing. Tapi  di hadapan mereka yang terlihat adalah ribuan makhluk sedang bertarung satu sama lain, samar-samar tertutup oleh debu pasir yang terbentuk karena hentakan kaki dan hantaman benda berat, tak sedikit terdengar bebatuan runtuk yang mungkin berasal dari tebing yang hancur.

Maida York, tak bisa tenang melihat pemandangan yang mereka lihat, dia berada di atas sebua tebing tinggi bersama dengan 4 orang lainnya setelah melewati portal di daerah yang disebut Alkima . Pria yang hampir tak menggunakan busana, pemuda berkacamata yang nampak lemah, dan pria gagah dengan jubah dan aura yang tenang, dan yang terakhir adalah Maid dengan wajah datar.

"Baiklah, aku tinggal dulu," kata wanita berpakaian Maid hendak pergi dari sana.

Eh begitu saja? Apa yang sebenarnya terjadi di sini? Pikir Maida kaget karena mereka bahkan tak tahu tempat apa ini dan kronologis kejadian kenapa mereka harus di sini.

"Hei hei, Maid kau menyuruh kami kemari dan kau mau pergi tanpa menjelaskan semuanya?!" Pria berbusana minim mencegah Maid itu dengan mengenggam lengannya. Si Maid hanya mendecak kesal, terlihat keberatan.

Maid ini niat atau tidak? begitulah isi pikiran Maida.

***

Jika kita melihat kejadian sebelum ini, semuanya kacau karena Maid tersebut. Maida awalnya bersama pemuda berkacamata yang dia ketahui bernama Stella. Mereka tanpa sengaja berpapasan begitu Maida keluar dari portal yang menghubungkan dunianya dengan Alkima. Ah perlu diketahui portal Maida mendarat di kamar mandi laki-laki, dan dalam kondisi buru-buru dan shock seperti itu harusnya Maida yang berteriak, namun tak bisa karena Stella yang berteriak duluan saat mereka tanpa sengaja bertatap muka. Pemuda itu shock melihat ada wanita di kamar mandi laki-laki, dan untungnya dia belum melaksanakan kegiatan sakral di tempat itu.

Saat sedang berjalan-jalan di Alkima mereka bertemu dengan seorang Maid yang celingukan seperti sedang mencari seseorang. Dan matanya bertemu dengan mata Maida, Maid itu langsung bergerak mendekat, mendapatkan orang yang pas.

"Kalian ikut denganku," kata Maid itu dengan jari teracung tepat di depan Maida dan Stella. Maida dan Stella  hanya saling berpandangan, bingung.

"Kenapa kami harus ikut dengan anda?" Maida memberikan pertanyaan. Maid itu tak menjawab dan hanya menatap Maida dengan tatapan tak menerima pertanyaan. Gadis dengan choker biru itu mengurungkan niatan untuk bertanya dan diam, Maida lemah jika berhadapan dengan orang seperti ini.

"Baiklah, cari dua orang lain agar pas," Wanita berbaju Maid menaruh telapak tangan menyamping dan ditaruh di dahi, mencari target lain yang bisa cepat di ajak agar tugasnya selesai, sejujurnya dia malas kalau harus mengurusi orang-orang seperti ini hanya untuk atasan.

"Ah kalian berdua! Kemari!" Maid sudah mendapat target, menarik pria dengan jubah yang menutupi badannya, dan seorang lagi yang berjalan dengan pakaian minim bahkan tanpa alas kaki. Dua pemuda itu ditarik dengan paksa oleh wanita tersebut.

Dan dalam waktu singkat mereka berempat sudah berjejer rapi.

"Baiklah, kita punya 4 pemuda di sini," kata Maid sambil mencatat sesuatu di kertas yang dia bawa.

"Eh empat? bukannya ada ti— ," Stella hendak menyela perkataan Maid yang salah, tapi berhenti begitu mendapat delikan tajam dari sang Maid. "....ga," Intonasi nada Stella langsung mengendur, sama seperti Maida, dia berpikir lebih baik diam. Tepukan simpatik di bagian punggung diberikan kepada Stella oleh Maida.

Maid melipat kertas yang berisi data dan nama peserta ke dalam saku. "Kalian tunggu di sini, tunggu aku 5 menit," nada memerintah diucapkan dan setelahnya menghilang begitu saja membuat Maida dan dua orang lain makin kebingungan.

Lalu apa?

Hening 1 menit, masing-masing dari 4 orang ini tak ada yang membuka pembicaraan. Bukan karena Maida atau Stella tak bisa berbicara, tapi aura pria dengan jubah itu, cukup menekan.

"Haii! Karena seperti ini, bagaimana kalau kita saling berkenalan?" Pria dengan baju minim dan berkulit coklat untungnya terlihat cukup bersemangat dan dapat menjadi penengah di keheningan tadi. "Namaku Wildan, kalau kalian bertiga?" Wildan awalnya menoleh ke arah pria dengan jubah namun tak digubris, jadi dia mengubah arah pandangannya menuju ke arah Stella.

"Stellene Fortrand," Pemuda dengan kacamata sebagai identitasnya itu masih mencoba tersenyum rileks.

"Hoo, kalau nona?" Tanya Wildan kepada Maida yang ada di sebelah Stella.

"Maida York, panggil saja Maida," Maida membungkuk 45 derajat memperkenalkan diri di hadapan mereka, melakukan salam formal yang menjadi tradisi di daerahnya.

Tiga sudah memperkenalkan diri, tinggal yang keempat, sempat hening sesaat tapi Wildan, Stella, dan juga Maida menatap pria itu bebarengan. Merasa risih, pria dengan jubah itu akhirnya angkat suara. "Aragon," katanya singkat, tapi cukup membuat Maida dan dua orang lain lega.

Entah apa yang diinginkan oleh maid itu sehingga mengumpulkan mereka berempat. Mereka—maksudnya 3 orang kecuali Aragon akhirnya menghabiskan waktu dengan saling berbincang-bincang, sampai akhirnya Maid itu datang kembali setelahnya.

"Nah, kalian masuklah ke portal, cepat-cepat!" Kata Wanita berbusana Maid itu sambil mendorong keempat orang seperti sedang memasukkan binatang ternak ke kandangnya.

***

Kembali ke waktu sekarang.

"Jadi, seperti yang sudah kukatakan, kami sama sekali tak mengerti dengan ucapanmu yang sesingkat itu!" Wildan sedikit berteriak kesal mewakili 3 orang di belakangnya, Stella sendiri nampak kebingungan karena pemandangan di hadapan mereka jelas bukan hal yang biasa, gurun pasir, monster, dan peperangan.

"Sudah kubilang bukankah kata-kata tuan Hewanurma sudah jelas?" Maid itu nampak tak suka apalagi Wildan tadi meninggikan volume suaranya.

"Jelas darimana! Pria itu bahkan lupa tentang isi undangan yang dia kirim," Stella yang awalnya ragu-ragu akhirnya ikut bersuara karena sudah tak sabar.

Maida serta Aragon hanya diam kebingungan di belakang ketiga orang yang sedang berdebat, biarkanlah dua pemuda itu yang menanyakan segalanya kepada si Maid. Maida sendiri sibuk berpikirmengenai keganjalan antara pengumuman yang diutarakan saat di aula tadi, dan kejadiannya sendiri.

Karena surat undangannya sendiri lebih tepat sebagai surat ancaman, ingin dia membaca surat itu lagi tapi dia sadar bahwa surat itu sudah lenyap saat dia berada di Alkima.

Maida tak berani menatap kebelakang, suara teriakan prajurit dan gemuruh hentakan kaki yang saling bertabrakan membuat hati Maida tak tenang. Dia memang penyihir tapi dia tak pernah melihat pertempuran seperti ini.

Butuh waktu sekitar 1 menit sampai si Maid itu menyerah dan menjalaskan dengan terpaksa mengenai apa yang terjadi, apa yang harus dilakukan, dan apa yang menanti mereka. Maida, Wildan, Stella, dan Aragon menyimak setiap perkataannya. Wajah Stella dan Maida memucat. Dan mereka berempat sadar bahwa sekarang bukan waktunya untuk bercakap-cakap.

"Nah, jangan sampai mati, ok?" Kata Maid itu enteng sebelum lenyap dari sana. Maida melihat ke arah tiga orang tersebut, jika dipikir dengan logika hal ini mustahil, mereka berempat tak akan sanggup.

Maid itu mengatakan mereka punya waktu 5 menit sebelum monster bernama Tamon Rah muncul dari bulan yang semakin mendekat. Dan tugas mereka adalah menghancurkan dua menara yang dapat menyegel monster itu kembali, letak menara itu ada di reruntuhan kastil di utara. Mereka harus melewati banyak monster yang sedang bertarung dengan ratusan prajurit di sana.

Mendengar penjelasan itu saja, Maida sudah kecut. Dia bukan ahli yang bisa melawan puluhan monster sekaligus, dia tak suka bertarung. Dari raut muka 3 orang di depannya, terlihat Stella dan Wildan juga ragu, Aragon sendiri bahkan tidak menunjukkan ekspres. Memang sudah pembawaan pria itu tidak menunjukkan ekspresi berarti? Maida sendiri penasaran.

"Tinggal kita hadapi saja, tak ada pilihan lain," Aragon nampak yakin dengan perkataannya. Dia berbalik melihat 3 orang yang mau tak mau harus bekerja sama dengannya. "Cepat bersiap-siap, waktu kita hanya tinggal beberapa menit,"

Wildan, Stella dan Maida tak menyangkal perkataan Aragon. Mereka semua mau tidak mau harus siap dengan hal seperti ini, termasuk Maida. Walau tangan Maida sampai sekarang tak bisa berhenti gemetaran. Dia takut, tapi tak mungkin dia mengatakan hal itu dihadapan 3 pria lainnya.


DUA – TENTANG MEREKA

Maida meneguk ludah, tangan yang tertutupi jubah pendeknya berkeringat dingin melihat apa yang terjadi. Ratusan monster bertarung dengan prajurit berbaju zirah, menunggangi kuda, membawa tombak dan pedang. Namun dari semua peralatan itu tentu tak begitu ampuh untuk menyerang semua monster di hadapan mereka.

Keempat orang  sedang memandangi pertarungan di bawah. Bersiap-siap untuk pergi menuju arah utara. Menurut informasi dari Maid, ada reruntuhan kastil dimana di depannya terdapat dua menara kristal, tugas mereka adalah menghancurkan dua menara tersebut .

"Hah, padahal bintang bersinar dengan indahnya," Pria dengan pakaian minim dan kulit kecoklatan memandang ke arah atas, malam seperti ini bintang terlihat jelas—dan bulan yang terlihat sangat besar karena semakin mendekat. Stella yang sedang menyiapkan batu-batuannya spontan ikut mendongak, begitu juga Maida. Malam yang indah,  bertolak belakang dengan kejadian yang terjadi di tanah ini.

Aragon masih memandang ke pertarungan yang terjadi, memikirkan rute paling cepat bagaimana mereka berempat bisa maju tanpa harus melalui banyak monster. Tanpa disadari pria itu kini sudah berperan sebagai pemimpin dari kelompok ini.

"Bagaimana?" Wildan menghampiri Aragon, tangan kanannya diletakkan di dahi untuk memfokuskan matanya melihat ke arah utara. "Ooh benar, aku bisa melihat reruntuhan. Tak butuh waktu lama kalau kita harus berlari, " katanya percaya diri.

"Jangan hanya lihat reruntuhannya, lihat juga monster yang menghadang," Aragon memberitahu. Walau jauh, monster-monster yang mengitari reruntuhan masih bisa terlihat layaknya semut yang mengerubungi satu tempat.

"Mau bagaimanapun kita kalah jumlah, kalian semua punya pengalaman bertarung?" Aragon menoleh kearah 3 temannya. Setidaknya dia tahu, dari postur tubuh Wildan terlihat kalau pemuda itu cukup kuat. Tapi untuk Stella dan Maida, Aragon sendiri tak yakin.

"Dibilang bertarung juga tidak sampai seperti ini, setidaknya aku berperan sebagai Support untuk teman-teman satu kelompokku," kata Stella yakin.

"Aku...," Maida mulai berbicara.

"Aku hanya pernah bertarung satu lawan satu. Jadi lebih baik aku berperan melindungi kallian," Perkataan Maida membuat ke-tiga pemuda itu bingung. "Maksudmu Maida?" Stella bertanya karena tak mengerti maksudnya.

"Aku tak begitu kuat dalam hal bertarung, tapi jika untuk membuat kubah perlindungan..." Maida berdiri, daripada menjelaskannya dia kini berkonsentrasi. Memposisikan kedua tangannya hampir berdekatan memberikan ruang kosong, dan di ruang kosong itu muncul gumpalan air kecil yang bergerak-gerak random. Maida menjauhkan jarak dari kedua tangannya dan bola air itu membesar, tak lama gumpalan itu menjadi seperti kubah, mengepung mereka berempat.

"Ah kubah air," Stella tampak takjub, begitu juga Wildan yang mencoba menyentuh bagian sisi kubah dan ternyata padat, padahal dari luar terlihat seperti air yang mengitari mereka.

"Tapi apa kubah seperti ini kuat?" Wildan menoleh kebelakang untuk memperhatikan Maida.

"Aku tak yakin, tapi jika kubah ini hancur aku bisa membuatnya lagi dalam waktu 5 menit, Kubah ini juga mudah hancur jadi dalam,"

Untuk membuktikan perkataan Maida, Aragon mengambil pedang di punggungnya dan mencoba menusuk kubah itu. Pedang Aragon bisa menusuk sampai di luar dan dalam sekejap kubah yang berasal dari kumpulan air itu menghilang, menyebabkan air yang ada di luar jatuh membasahi tanah.

"Ini bisa digunakan, elemenmu air ?" kata Aragon penasaran, sungguh kebetulan kalau elemen mereka berdua cocok. Maida mengangguk.

Setelahnya semua saling menjelaskan dengan singkat bagaimana kemampuan mereka. Stella dan Maida tak bisa berhenti takjub saad Wildan mengeluarkan seekor harimau putih bernama Mao dan elang yang gagah bernama Alva. Kedua makhluk itu keluar dari sebuah kontainer. Elemen Wildan adalah petir dan konon katanya dia bisa berlari kencang.

"Mungkin aku bisa menggendong Maida yang sedang mengaktifkan kubahnya dan berlari sekuat tenaga menuju tempat itu, sempurna bukan!" kata Wildan bercanda sambil menunjukkan senyum cerah yang entah kenapa menyilaukan.

Stella nampak kurus dan lemah, namun kemampuannya membuat Maida takjub dan iri. Katanya dia adalah Jeweller, dan dia bisa memanipulasi batuan alam menjadi kekuatan yang bisa dia kendalikan termasuk beberapa elemen yang bisa dia kuasai walau dengan limit. Saat menjelaskan batu-batunya Stella nampak sepert maniak, Wildan sendiri juga jadi ikut antusias karena baru kali ini dia tahu batu-batuan alam bisa digunakan seperti itu.

"Aku juga bisa menyembuhkan kalian jika ada apa-apa nanti," Stella membetulkan letak kacamatanya, hal yang perlu dia khawatirkan adalah jangan sampai kacamatanya lepas dan dia jatuh dengan cerobohnya saat menuju kastil nanti.

Yang terakhir adalah Aragon, dia mengatakan bahwa dia tipe yang bertarung langsung dari depan, cukup yakin dengan kemampuannya, elemen utamanya adalah Es. Pedang yang ada di punggungnya adalah Arian, kebal dengan berbagai macam sihir sehingga tak akan mudah hancur. Dia menjelaskan bahwa dia bisa melakukan sihir Es, yang menjadi kendalanya adalah di gurun seperti ini media air akan sulit ditemukan. Untungnya Maida mengatakan kalau dia bisa menciptakan air sebanyak apapun dia mau, dengan begitu kemampuan Aragon bisa keluar sepenuhnya.

"Kita tak punya waktu banyak sebelum Tamon Rah datang, dan jika monster itu keluar maka keadaan akan menjadi semakin lebih buruk," Aragon menguatkan pegangan di pedangnya, Stella sudah siap dengan tongkat kebanggaan bangsanya, Wildan juga sudah menyiapkan sabit besar sebagai senjatanya dan tak lupa ditemani dengan Mao dan Alva. Maida di belakang mereka masih menyiapkan hati, dalam waktu singkat dia sudah menyiapkan tas pinggangnya terbuka agar bisa mengambil senjata bunganya kapan saja.

Aragon melangkah lebih dulu untuk terjun ke bawah dengan melompat ringan. Diikuti oleh 3 (dan dua hewan) lain.

Pertarungan mereka akan segera di mulai.


TIGA – KEBANGKITAN

Suara raungan dari beberapa monster yang ada di depan mereka cukup menganggu telinga. Keempat pemuda mulai beraksi dengan kemampuannya masing-masing. Dan jujur, Maida tak kaget menghadapi monster seperti ini karena monster-monster itu tidak terlalu berbeda dengan yang ada di tempatnya. Di dunianya monster-monster terlihat seperti hewan pada umumnya hanya saja dengan beberapa perbedaan seperti warna bulu dan mata, kebanyakan mereka bisa memakai sihir elemen. Selain binatang ada juga makhluk hasil dari kegagalan para penyihir, seperti slime yang terbentuk dari ramuan yang mengental dan diberi sihir kehidupan. Ada juga makhluk mistis seperti Ogre dan Mandragora. Dia bisa melihat ada beberapa ogre dan slime yang menyerang mereka, namun ada juga monster asing yang tak pernah dia lihat. Maida berpikir apakah monster-monster ini berasal dari beberapa dunia dan kemudian di satukan? Seharusnya mereka akan saling bertarung satu sama lain, namun melihat bagaimana mereka hanya fokus kepada manusia, Maida yakin bahwa semua monster ini di kontrol.

Selama perjalanan, Wildan dan Aragon tampak menjadi yang paling dominan menghancurkan monster-monster di hadapan mereka. Dengan bantuan pasokan air dari kemampuan Maida, Aragon memanipulasi air itu agar membeku menjadi jarum-jarum es yang langsung menusuk 3 monster secara bersamaan. Stella membantu teman-temannya dengan menghantarkan listrik pada monster-monster yang ada di sekitar, membuat monster itu lumpuh tak bergerak dan mereka berempat berlari dari sana. Wildan maju lebih dulu dengan menguatkan kecepatan kakinya dan menebas monter yang menghadang dibantu oleh Mao dan Alva.

Tak lama mereka dihadang oleh dua monster berukuran raksasa dengan tubuh seperti beruang, Aragon siap mengeluarkan kekuatannya tapi Maida dengan cekata melemparkan 10 batang Camillia menusuk setiap sisi tubuh monster itu, dan tak lama dua monster itu lumpuh dan terjatuh.

"Keren!" kata Wildan melihat, dia tak ada henti-hentinya kagum melihat kemampuan 3 orang lain, hal baru bagi Wildan memang sangat menarik.

Mereka bisa, kombinasi mereka berempat walau serampangan namun mampu memusnahkan puluhan monster. Yang menjadi kendala adalah waktu, 5 menit bukan waktu yang lama. Apakah mereka berhasil menghancurkan dua menara itu sebelum Tamon Rah muncul? Bahkan tanpa saling mengatakannya Maida, Stella, Aragon dan Wildan tahu jawabannya adalah mustahil.

Mereka maju setelah beberapa monster mereka musnahkan kembali. Mao, harimau putih milik Wildan ada di depan lebih dulu. "Ngomong-ngomong Tamon Rah itu seperti apa, ada yang tahu?" kata Wildan penasaran, karena Maid itu tak menjelaskan seperti apa bentuk Tamon Rah.

Ke-tiga orang yang masih ikut berlari itu berpikir. "Entahlah, naga? Biasanya yang besar-besar itu naga," Stella nampak yakin dengan jawabannya.

"Hee Naga? Aku bertaruh kalau bentuknya seperti Jalalapah!"

Perkataan Wildan membuat Aragon, Maida, dan Stella memandang ke arahnya. Jalalapah nama yang asing bagi mereka. "Jalalapah? Maksudmu Jerapah?" Kata Maida, karena mungkin mereka salah dengar.

Wildan menggeleng. "Jalalapah ya Jalalapah!, kalian tak tahu?" katanya tak percaya. Tiga orang itu menggeleng hampir bersamaan.

"Aaagh! Masa tak ada yang tahu?" Kata Wildan dengan ekspresi tak percaya. "Jalalapah itu yang lehernya panjang, punya sayap dan terbangnya cepat, matanya merah bulat dan berjaring-jaring. Pokoknya menyeramkan!" Bahkan dengan penjelasan Wildan seperti, Maida masih susah membayangkan seperti apa Jalalapah.

"D-daripada itu, aku yakin Tamon Rah mungkin monster yang menyerupai kuda," Kata Maida berusaha melupakan Jalalapah tadi. "Kenapa kau bisa yakin?" Stella menginginkan alasan dari perkataan Maida. "Karena kejadian ini sedikit mirip dengan legenda di tempaku?" Maida menyadari bahwa pertarungan ini mirip dengan cerita ayahnya dulu.

"Legenda?" Aragon nampak tertarik. Maida mengangguk dan mulai menjelaskan. "Legenda Arthur dan 3 penyihir, intinya klimaks dari cerita itu adalah mereka menghadapi monster kuda yang sangat besar," Maida memandang ke atas untuk melihat sudah sedekat mana bulan Alkima. "Aku sedikit lupa karena itu sudah lama sekali, tapi cerita mengenai tower yang harus dihancurkan sama, mungkin hanya kebetulan," Jelas Maida.

Aragon yang dihadang oleh beberapa monster lemah langsung mengalahkannya dengan sekali tebas. "Lalu apa bagaimana akhir ceritanya?"

"Aku tak ingat," Maida  dan Aragon menghentikan perbincangan mereka untuk kembali berkonsentrasi. Maida kembali mengeluarkan air untuk digunakan Aragon karena melihat segerombolan monster meghadang mereka.  Dua Slime dihancurkan dengan mudah oleh Mao menggunakan kedua cakarnya.

Ogre besar berkulit biru melemparkan batu kearah mereka berempat, Aragon menghancurkan batu menjadi kepingan kecil setelah memotongnya dengan pedang. Di Belakang Wildan langsung menerjang dengan kedua sabitnya dan menusuk tepat di jantung Ogre.

"Ayo, kita harus segera berge—," Stella yang awalnya ingin langsung berlari tiba-tiba terdiam kaku. Wildan dan Aragon juga ikut terdiam—semua yang ada di sana terdiam karena mereka merasakan aura mencengkram berasal dari langit.  Maida dengan penuh ketakutan memandang keatas dan melihat permukaan bulan mulai berubah menjadi merah. Suara pukulan besar terdengar, permukaan bulan menjadi retak mendapat hantaman dari dalam.

"S-sudah waktunya?" Mao dan Alva terlihat mendekati majikannya dan bertindak protektif melindungi. Monster-monster di kejauhan juga berhenti dan memandang ke atas, seharusnya memberikan kesempatan para prajurit untuk menyerang serempak. Tapi prajurit kerajaan nyatanya juga diam, ketakutan.

Suara raungan binatang buas terdengar. Semua mata tertuju pada bulan yang retak, dan tiba-tiba retakan itu melebar—bulan hancur dan serpihannya jatuh ke bawah. Aragon langsung menggendong Maida, dan Wildan membawa Stella di tangannya. Mereka berdua lari dengan cepat menuju bebatuan yang tersusun kokoh untuk berlindung dari serpihan bulan.

Suasana langsung mencekam. Mereka berempat menyaksikan binatang dengan ukuran yang sangat besar keluar dari bulan, suara rauman menggelegar terdengar menyakitkan telinga.Seekor Kuda raksasa dan memiliki tanduk dan juga sayap yang mengembang, warna kulitnya putih tulang dengan bola mata merah. Yang paling mencolok adalah 4 kakinya yang diselimuti api, bergerak seakan langit adalah tanahnya. Tamon Rah kini berada tepat di bawah kumpulan prajurit serta monster yang mulai berlari ketakutan. Dan dalam sekejap Tamon Rah berlari melewati prajurit dan monster itu menuju kearah di mana Maida, Stella, Wildan, dan Aragon berlindung.

Maida tak percaya dengan pemandangan yang dia lihat, Api mulai berkobar di bawah Tamon Rah. Dan baru dia sadari api itu mulai membakar hangus orang-orang yang ada di bawahnya. Maida menutup mulut dengan kedua tangannya, masih tidak percaya. Mereka berempat tak ada waktu untuk memikirkan apa yang terjadi, karena Tamon Rah sedang berlari menuju ke arah mereka.

Wildan langsung menggesturkan Maida dan Stella untuk naik diatas Mao, karena kemampuan berlari mereka berdua kalah cepat jika dibandingkan dengan dirinya dan Aragon. Mereka kemudian langsung berlari menjauh.

"Lihat! Sudah kubilang itu Jalapah!" kata Wildan entah kenapa merasa senang dengan tebakannya.

"Tapi—dia tak punya leher panjang,"

"Dia juga tak memiliki mata seperti jaring!"

"Cukup kalian! Konsentrasi!"

Stella, Maida dan Wildan langsung diam mendengar teriakan Aragon.Beberapa monster kembali menghadang mereka, Stella sejak tadi berkonsentrasi dengan menggunakan batu Ruby, bola api berada di belakang mereka dan Stella luncurkan ke depan, bola-bola api itu meledak saat mencapai tanah menghancurkan dan menghempaskan puluhan monster.

Tapi mereka belum tahu bahwa semakin kuat sihir yang di gunakan, maka Tamon Rah akan mengikutinya. Maida menoleh kebelakang melihat Tamon Rah mengikuti mereka dengan jarak yang semakin dekat.

"D-dia mengejar kita!" Kata Maida khawatir.

"Ck, kita bahkan tak tahu apa kelemahan monster itu," Aragon berdecak kesal sambil menghunuskan pedangnya ke monster berbentuk pohon yang dia hadapi.  Stella, Wildan dan Aragon berkonsentrasi menghadang musuh, sementara Maida di belakang mereka mengawasi pergerakan Tamon Rah sekaligus menciptakan air untuk digunakan Aragon.

Tamon Rah yang sedari tadi mengejar tiba-tiba menghentikan langkahnya. Maida menyadari itu dan merasa ada yang aneh. Dari awal Maida merasa aneh, Tamon Rah bergerak dengan kakinya di udara dan sayapnya tak memberikan gerakan berarti. Dan sekarang sayap itu bergerak-gerak seperti bersiap untuk terbang. Sorot mata Maida melebar ketika ada banyak bola api menyelimuti sayap itu. Dan dalam sekejap sayap milik Tamon Rah menghempas, melemparkan bola api berukuran besar menuju ke arah mereka.

"SEMAUNYA—BERKUMPUL!" Teriak Maida nyaring, ke-tiga orang yang sedang fokus bertarung di depan menoleh kebalakang.  Terpantul di mata mereka, bayangan bola besar diselimuti api mendekat .


EMPAT – BUKAN PETARUNG

Semuanya kacau.

Gurun yang awalnya ramai dengan suara prajurit dan monster yang saling bertarung kini hening, berganti menjadi suara api yang menjalar di berbagai tempat. Segelintir orang dengan sangat beruntung masih selamat, tapi tetap saja rasa takut dan trauma mungkin akan terus menghantui mereka.

Serangan bola api dari Tamon Rah benar-benar luar biasa, dalam waktu singkat gurun sudah di kelilingi oleh kobaran api yang berasal darinya. Lalu bagaimana nasib keempat orang itu?

Maida menahan nafas detik itu, untungnya dia tepat waktu. Saat bola api mengarah pada mereka, Stella, Wildan dan Aragon merapat pada Maida. Gadis itu menggunakan kemampuannya untuk membuat kubah perlindungan. Tanah di sekitar mereka rusak, kobaran api kecil masih mengitari . Mereka berempat diam sejenak, masih tak percaya apa yang terjadi.

 "Untunglah kau tepat waktu," Aragon yang berkata lebih dulu. Maida mengangguk, keringat dingin terlihat membasahi wajahnya. Stella yang menyadari itu langsung memberikan sarung tangan untuk digunakan.

Maida memandang Stella, diikuti senyum sadar kalau dirinya terlalu tegang. Diambilnya sapu tangan itu untuk mengelap mukanya. Kubah air milik Maida masih kokoh tanpa lecet. "Kalau kena seperti ini dua kali, pasti akan hancur," jelas Maida.

Tamon Rah sendiri kembali mengejar. Bahkan dari jarak sejauh ini kemampuannya membuktikan bahwa mereka  tak bisa mengalahkannya. Setelah menghancurkan kubah pelindung, mereka kembali berlari. Karena serangan tadi, monster-monster yang hendak menghadangnya sudah hangus bahkan masih tersisa tubuh yang menghitam karena kobaran api.

Menurut informasi dari Maid—ya untungnya masih ada informasi yang diberikan—jika mereka sudah sampai di wilayah kastil maka dipastikan mereka aman, tapi wanita berpakaian Maid tak menjelaskan alasannya.

Lama mereka berlari, saling mengejar dengan Tamon Rah yang semakin mendekat. Reruntuhan besar yang konon adalah sebuah kastil mulai terlihat oleh mata. Maida dan Stella masih menaiki Mao. Alva yang terbang lebih dulu melihat keadaan.

Mereka sampai pada gerbang istana yang seperti hendak runtuh, terlalu tua dan bebatuannya berlubang di setiap sisi. Saat masuk ke gerbang tersebut, mereka merasa seperti melewati dinding tipis yang elasastis, mungkin itu adalah pelindung yang membuat Tamon Rah tak bisa mendekati kastil.  Tepat waktu, mereka memandang kebelakang dan Tamon Rah kini berlari ke arah lain. Entah bagaimana menggambarkan rasa senang mereka sekarang, namun semuanya belum berakhir.

Mereka berjalan masuk ke reruntuhan, semua terasa hening. Aneh, seharusnya jika daerah depat seperti itu, di dalam kastil tersebut juga banyak monster, tapi yang mereka lihat hanayalah tanah kosong yang bersih.

"Hng? Apakah monster-monster itu juga tidak bisa mendekati kastil?" Wildan mencoba merenggangkan badannya, menyuruh Alva turun di tangannya untuk beristirahat. Maida dan Stella  masih menunggangi Mao, Maida menepuk-nepuk sisi kanan tubuh Mao memberikan pujian. Maida hendak turun dari tumpangan namun tiba-tiba tanah terguncang begitu kuat, seperti gempa.

"A-apa yang terjadi!" pekik Maida shock, baru saja dia ingin turun namun sekarang dia dan Stella harus berada di atas harimau putih itu lagi. "A-aku tak tahu, gempa? Tamon Rah bikin ulah lagi?" Stella juga sama kagetnya dengan Maida.

Di belakang mereka, tanah tiba-tiba meninggi, membuat gundukan-gundukan besar mengarah ke empat orang tersebut. Secara refleks mereka berempat menjauh, Wildan dan Aragon melompat ke kanan, sementara Mao yang membawa Maida dan Stella menghindar ke kiri. Gundukan tanah itu tiba-tiba meninggi, menjadi sebuah dinding yang memisahkan mereka.

Aragon sigap menebas dinding batu, namun dinding tersebut tetap baik-baik saja sementara bagian depan baju Aragon sedikit sobek. "Sial, dinding ini mementalkan serangan. Kalian tak apa?"  

"Kami tak apa! Tapi bagaimana ini?" Stella kebingungan, dia hendak menghancurkan dinding itu namun urung karena perkataan Aragon.

Belum selesai dengan dinding, di atas reruntuhan kastil beberapa monster sudah berkumpul, dan serempak mereka turun ke bawah.  Maida dan Stella memandang kedatangan mereka, Mao berusaha menghindari beberapa monster yang membawa senjata, jumlah mereka sangat banyak. Menyebabkan mereka harus berlari menjauh dari sana.

"Aragon,Wildan, hati-hati!" Teriak Maida entah didengar oleh dua orang di seberang sana.

"Kalau begini kita harus maju terus, " Mao terus berusaha menghindar, namun mendapat serangan di badan yang menyebabkan Mao sedikit berdiri, menjatuhkan Stella dan Maida. Stella berguling ke samping menghindari terkaman dari serigala dengan bulu kuning dan menusuknya dengan ujung tongkat. Pemuda berkacamata itu mencoba berdiri dan melihat Maida yang masih terjatuh hendak mendapat pukulan di punggungnya dari monster ogre yang besar dan berotot.

"Maida!" Stella siap melancarkan serangan  dengan batuannya, namun tak sempat. Dia menyaksikan Ogre itu menghantam Maida dengan kepalan tangannya yang besar.

Sesaat jantung Stella berhenti, otaknya berpikir logis bahwa Maida tak akan selamat. Tapi ternyata tidak seperti itu, Pukulan Ogre itu bukan menghantam Maida melainkan menghantam sebuah tembok yag  es transparan yang tiba-tiba muncul di depan Maida. Di saat seperti ini, anugrah dari orang tuanya benar-benar membantu.  Maida mencoba bangkit, dan mengambil dua bunga dari tas pinggangnya, melemparkannya tepat di kedua bola mata Ogre yang mulai berteriak kesakitan sambil memegang kedua matanya.

"Stella! Keluarkan kemampuan apimu lagi, aku akan membuat pelindung!" Maida berlari mendekat ke arah Mao dan Stella. Stella berkonsentrasi pada tongkatnya, Maida berkonsentrasi untuk membuat kubah. Detik yang hampir bersamaan ketika bola api kecil mulai terlihat di atas langit, dan kubah Maida yang sudah melindungi mereka. Bola-bola api itu Stella arahkan ke seluruh tempat secara acak. Seperti yang terjadi tadi, suara ledakan besar terdengar di sekitar mereka, hanya tempat di mana Stella dan Maida berdiri yang tak terkena ledakan karena kubah pelindung yang sudah di buat.

Serangan itu  cukup ampuh menghancurkan monster yang mengepung mereka walau tidak semuanya. Maida dan Stella naik ke atas punggung Mao sekali lagi, Harimau putih itu seakan mengerti dan langsung berlari menuju ke bagian kastil paling dalam. Monster yang masih tersisa mencoba menghentikan mereka dengan melancarkan sihir api, namun tak berhasil karena kubah air Maida masih menyelimuti mereka.  

Stella dan Maida langsung bernafas lega. Saat ini mereka harus berterimakasih kepada Mao. "Maaf membuatmu terluka Mao," Maida mengelus sisi badan Mao yang ada pada jangkauannya.

"Hampir saja kukira kau terkena hantaman itu tadi Maida," Stella menoleh kebelakang, masih ingat betapa takutnya dia melihat serangan tadi. Maida tersenyum sedih, karena tadi dia juga ketakutan.

Kalau bukan anugrah dari orang tuanya tadi Maida pasti mati. Dinding Es itu adalah anugrah dari ibunya yang berusaha melindungi tubuh anaknya. Sudah berapa kali Maida di selamatkah oleh kemampuannya.

Kastil terlihat sangat gelap, sinar bulan bahkan tak lagi tampak. Ironisnya sumber pencahayaan mereka adalah bara api yang ada di luar dan berasal dari Tamon Rah. Sekali lagi banyak monster menghadang mereka, saat kubah Maida hancur maka Stella akan mengeluarkan sengatan listrik untuk melumpuhkan lawan, dan Mao akan menyerang dengan cakarnya ke arah monster yang sudah lumpuh, setelahnya mereka terus melakukan kombinasi serangan dengan kubah Maida sebagai pusat, jika kubah Maida hancur lagi maka Stella yang akan mengeluarkan serangan. Pertarunagn mereka cukup lama dan menguras tenaga, dan akhirnya mereka sampai wilayah sayap kiri kastil.

Kilauan yang indah, dihadapan mereka terlihat sebuah menara tinggi dari kristal yang memantulkan cahaya kemerahan. Disekitarnya hanyalah wilayah kosong dengan lantai yang rentak

Stella yang sedari tadi berdiri nampak ragu-ragu. "Aku rasa ini akan susah," katanya membuat Maida bertanya-tanya. "Menara kristal ini kebal dengan sihir, "

"Bagaimana kau bisa tahu?" bahkan menara itu terlihat seperti hanya tumpukan kristal tak berarti.

"Lihat bagaimana indahnya kristal-kristal itu terbentuk, tak ada lecet sama sekali dan warnanya tak berubah yang berarti tak pernah terkena panas ataupun listrik. Keindahan seperti itu menandakan tak ada yang bisa menyentuhnya," Kalau sudah menyangkut permata dan bebatuan, Stella adalah orang yang paling jeli.

"B-baiklah," tiba-tiba Maida jadi sedikit sebal dengan penjelasan Stella. "Lalu bagaimana? Kita harus menghancurkannya dengan serangan fisik? Senjata?"

Stella mengangguk, detik itu juga mereka hening. "K-kau kuat memukul benda keras?" Maida bertanya kepada Stella.  Stella menggeleng-geleng cepat, dia sama sekali tak punya kemampuan fisik. Sebenarnya tak perlu bertanya, mereka berdua hanyalah manusia biasa yang diberkahi kekuatan sihir,  jika sihir itu tak berguna maka mereka hanyalah manusia biasa, mengangkat karung seberat 10 kilo saja mereka tak akan sanggup.

"L-lalu bagaimana? Aragon dan Wildan tak ada, tongkatku dan senjatamu tak mungkin bisa menghancurkan menara itu" Stella mulai khawatir.

Namun mereka baru teringat akan satu hal. Maida dan Stella menoleh ke kanan, pandangan mereka tertuju Mao sedang duduk nyaman beristirahat setelah banyak berlari tadi. Mao menyadari dan memandang bingung Stella dan Maida.

"Mao! Kau harapan terakhir kami!" Stella dan Maida menerjang ke arah Mao dan memeluk manja harimau putih itu. Entah Mao mengerti atau tidak kenapa mereka bahagia.

"Baiklah! Kita tinggal suruh Mao menghancurkan menara itu dan selesailah su—" Perkataan Stella terhenti. Suara dentuman yang berasal dari benda besar jatuh ke tanah terdengar. Maida dan Stella menoleh dengan perasaan khawatir.

Monster berukuran 3 kali lipat dari Maida berdiri. Bentuknya aneh, sepeti gorila namun dilengkapi baju zirah keemasan dan nampak sangat kuat.

Mereka kira dengan menghancurkan menaranya saja beres, tapi sepertinya mereka masih harus berusaha. Gorila itu meraung keras sebelum berlari kencang kearah Maida, Stella dan Mao.

"H-hii!" Stella, Maida dan Mao berlari ke samping untuk menghindar.  Gorilla itu tak menghentikan kecepatannya dan menubruk dinding kastil. Dinding itu langsung hancur menandakan betapa kuatnya hantaman yanh terjadi. Lebih parahnya Gorila itu nampak tak terluka sama sekali, dia berbalik dan menerjang ke arah mereka bertiga.

Stella mengambil batu Citrine miliknya dan mengeluarkan petir mencoba mengenai Gorilla. Namun gerakan Gorila begitu gesit sehingga dengan mudah menghindari serangan Stella. Bahkan dengan tubuh besar, monster itu sangat cepat. Kemampuan Stella tak akan mempan jika targetnya terus bergerak.

"Dia terlalu cepat, ini tak akan berhasil," Stella kembali mencoba menghindar begitu Gorila mencoba menyerangnya. Mao menerkam dari belakang, menggigit bagian leher Gorilla. Namun Gorilla itu mengambil Mao dan melemparkannya ke arah dinding.

"Mao!" Bahkan Mao yang kekuatan fisiknya jauh lebih kuat dari mereka ber-dua dapat dilempar dengan mudah.  Kekuatan sihir Stella tak bisa mengenainya. Gorilla itu terus lari menerjang membuat Stella dan Maida mati-matian menghindar, tak sadar bahwa jarak Maida kini cukup dekat dengan menara segel.

Menara yang nampak tenang itu memunculkan lingkar sihir kecil sebelum cahaya kecil seperti jarum melesat ke Maida, namun sekali lagi pelindung es spontan muncul dan Maida baru menyadari itu. Melihat ke arah menara kristal yang mulai menembakkan beberapa peluru sihir ke arah Maida dengan percuma. Maida diam sejenak dan dia mendapatkan ide. Ide untuk membuat Gorila itu diam.

"S-stella!" Maida berteriak. "Apakah kau bisa mengeluarkan sihir listrikmu lagi ?"

Stella yang baru saja menggunakan sihir listriknya tentu menggeleng. "Butuh waktu, sekitar 3 menit lagi!"

3 Menit bukan waktu yang sedikit. "Kita alihkan perhatiannya sampai 3 menit, jika sudah siapkan sihirmu lagi," Maida berlari mendekati si Gorilla dan melemparkan dua batang Camellia yang mendarat di bagian lengan yang berotot, berusaha mendapat perhatian monster tersebut.

Mao yang bangkit setelah dilempar ke dinding sekali lagi menerkam si Gorilla, tapi kali ini Mao langsung menjauh dan berlari. Sepertinya harimau itu mengerti maksud Maida dan hanya berusaha mengalihkan perhatian Gorilla tanpa menyerang. Tak terasa sudah beberapa menit berlalu, sorot mata Maida tertuju pada Stella yang terus berkonsentrasi, tak lama Stella memandang Maida dan mengangguk.

"Bagus!" Maida terlihat senang, kembali mendekati menara kristal pada jarak 4 meter dan otomatis lingkaran sihir kecil kembali muncul, menembakkan peluru sihir.  Maida tak mendapatkan luka apapun karena bongkahan es terus muncul di tubuhnya menghalangi peluru sihir, Maida mengeluarkan lagi 3 batang Camellia terakhirnya dan melemparkannya tepat di punggung Gorilla. Monster yang sedang sibuk dengan Mao kini berbalik menoleh ke Maida.

Ayo kemari—itulah yang diharapkan Maida sekarang. Dan sesuai rencana monster Gorilla nampak marah, menerjang  ke arah Maida.  Mata Maida fokus untuk melihat seberapa dekat jaraknya dengan Gorilla,  beberapa kali dalam hati dia berkata belum sambil mengukur jarak antara mereka.

Lingkaran sihir itu kini bertambah, dan tanpa sadar peluru-peluru yang berasal dari menara kini juga terarah kepada Gorila. Serangan peluru sihir awalnya tak membuat Gorila mengehentikan langkahnya. Namun semakin mendekat peluru-peluru itu makin banyak menyerang. Entah mulai kapan monster itu mulai berhenti dan merasa kesakitan dengan serangan beruntun. Posisi Maida juga sama, bahkan dia merasakan punggungnya panas karena bongkahan es hancur setelah mendapat dua tembakan pada titik yang sama di tubuhnya.

Gerakan Gorila itu terhenti. Saat itulah tangannya terulus dan dia berkonsentrasi di tempatnya. Untuk membuat segalanya lebih cepat, Maida mengurung Gorila tersebut di dalam gumpalan air yang membentuk bangun persegi, membuat monster itu terkurung  dalam air seperti ikan pada akuarium, meronta-ronta lambat karena tekanan air.

"Sekarang Stella!"

Mendengar teriakan Maida Stella kembali melancarkan serangan listriknya. Musuh yang tak lagi bergerak menjadi target yang mudah.  Listrik menyambar Gorilla, kekuatan sengatan listrik menjadi lebih kuat karena air, serangan Stella membuat monster itu kejang-kejang dengan mulut terbuka lebar kesakitan.

Maida buru-buru menjauh dari menara kristal dan peluru-peluru tak lagi menembak. Gorila itu kini jatuh bersamaan dengan air yang menyelimutinya, terlihat kilatan cahaya yang saling terhubung menandakan masih ada aliran listrik yang tersisa.Stella menghampiri Maida, begitu juga Mao mendekati mereka. Punggung Maida terasa panas dan terlihat bekas hangus tepat di punggungnya.

"Nanti saja urus lukaku, serangan cepat hancurkan menara itu sebelum ada monster lagi!" kata Maida buru-buru.

Untuk menghindar serangan peluru sihir. Stella mengeluarkan Undine untuk memberikan perlindungan kepada Mao. Maida kagum karena ditempatnya yang bisa memanggil makhluk mistis hanyalah para petinggi. Mao berlari untuk menubrukkan badannya ke menara, perlindungan Stella dilepaskan saat Mao melompat, dan dengan begitulah menara kristal itu hancur. Maida dan Stella tidak bisa menyembunyikan wajah senang mereka.


LIMA – KEBETULAN?

Kristal itu hancur, cahaya keemasakn keluar membuat Maida dan Stella harus menutup mata. Di sisi kanan juga terdapat sinar yang sama. Suara raungan Tamon Rah kembali terdengar. Mereka berdua naik di atas dinding untuk melihat jelas apa yang terjadi. Dari kejauhan mereka melihat Tamon Rah seperti terhisap di angkasa.

Monster yang sedang betarung juga ikut tertarik, semetara monster yang sudah dihabisi menjadi debu dan melayang ke angkasa, begitu juga monster gorila yang mereka kalahkan tadi.

Stella kini sibuk menyembuhkan luka Maida yang ada di punggung, begitu juga dengan luka yang diterima Mao. Maida memandang ke atas dan melihat seekor burung terbang mengitari mereka. "Ah, itu Alva!"

Stella dan Maida berdiri, mengikuti Alva yang terbang untuk menunjukkan jalan. Maida dan Stella melewati menara kristal itu namun terhenti, karena melihat ada buku yang tergeletak begitu saja di sana.

"Buku?" Stella melihat baik-baik, dia memungut buku tersebut. Sampulnya hitam, dengan ilustrasi ksatria dengan baju zirah dan bagian judul yang bahasanya sangat asing. Maida mencoba melihat dan terkejut.

"I-ini, buku cerita pahlawan Arthur," jelas Maida. "Kau bisa membacanya? Aku bahkan tak mengerti huruf apa itu," Stella masih memandangnya namun yang dia pahami hanya gambar ksatrianya. Maida mengambil buku itu dan halaman pertama penuh dengan tulisan. Tulisannya tidak asing, mengenai legendar pertarungan pahlawan Arthur dengan kuda bersayap. Maida terus membuka halaman demi halaman, namun selain 24 halaman depan, sisanya kosong.
Stella dan Maida saling memandangi tanda tak mengerti. Akhirnya dibawalah buku itu bersama mereka. Mengikuti Alva yang ada di atas mereka dan sampai di sebuah ruangan.

Ruangan itu atapnya sudah hancur, namun seperti altar untuk pemujaan dewa, dengan patung dan kursi panjang memenuhi ruangan. Di sana sudah ada Wildan dan Aragon yang duduk menunggu. Sekali lagi Maida dan Stella merasa lega bisa bertemu dengan mereka berempat kembali.

Menurut informasi Alva, portal yang harus mereka lalui ada di ruangan di depan Altar. Wildan menceritakan kejadian saat mereka berpisah, puluhan monster menghalangi mereka tapi mereka tak menjadi halangan. Saat sampai di menara ada 4 monster berbeda warna menyerang mereka berdua, Wildan bercerita bagaimana kerennya Aragon memusnahkan 3 dari 4 monster itu.

Stella juga bercerita bagaimana perjalanan mereka. Wildan memeluk dan mengelus-elus harimau putih kesayangannya itu bangga. Mao juga terlihat bahagia mendapat 3 pelukan hari ini.  Aragon tak menggubris karena dia merasa capek, mengeluarkan kekuatan terbesarnya benar-benar menguras tenaga. Maida melihat Aragon yang kecapekan langsung mengusulkan mereka untuk segera pergi.

Maida berjalan di belakang bersama Aragon. Mereka berdua hanya diam saja sampai Aragon mengatakan hal yang membuat Maida terkejut. "Kau lak-laki kan?"

Maida mendelikkan mata kaget, tapi bukan berarti dia terganggu. "Ah, kau tahu saat mengangkatku tadi?" dia ingat Aragon mengangkat tubuhnya, pria berjubah itu mengangguk. Maida hanya bisa tersenyum pasrah dan membenarkan perkataan Aragon, dia menceritakan bahwa identitasnya diganti saat kecil.

"Sebenarnya 4 monster yang kami hadapi mengatakan sesuatu yang aneh," Aragon berkata sambil masih berjalan. "Seharusnya mereka tak mungkin bicara, tapi keempat monster mengatakan dengan lantang bahwa mereka harus mengalahkan Arthur," Aragon mengingat saat dia bergerak mendekat, ke-4 monster itu terus mengatakan 'habisi Arthur, bunuh Arthur!' selama pertarungan mereka. "Apa ada hubungannya dengan cerita yang kau katakan tadi?"

Semua menjadi semakin aneh, kalau diingat. Legenda Arthur yang diceritakan ayahnya, babak penyisihan, lalu buku yang tiba-tiba muncul. Semua sama sekali tak masuk akal, jika di pikirkan membuat kepala Maida menjadi sakit.  

Orang tuanya, surat undangan, turnamen, Battle of Realms, semuanya terlalu acak. Maida memandang ke portal yang sudah terlihat di depan mata bersama dengan Aragon, Stella memandang ke belakang, menggesturkan tangan kepada Maida dan Aragon agar lebih cepat. Maida kembali menunjukkan senyum rileksnya. Mungkin sekarang dia masih belum paham, tapi kalau dia terus mengikuti turnamen ini ada kemungkinan dia akan tahu jawabannya. Di tangannya terdapat buku yang mungkin bisa menjadi petunjuk.

"Semoga ujung portal ini ada toilet," kata Stella berharap. Maida merasa aneh dengan perkataan Stella. "Bukankah tadi kau sudah di toilet? Saat bertemu denganku pertama kali," Teringat kembali kejadian beberapa jam lalu.

"Justru itu, karena kau tiba-tiba di sana aku tak jadi ke toilet karena malu," Wajah Stella memerah, Maida menahan tawa, sedikit merasa bersalah juga. "Baiklah, kalau sudah keluar kita cari toilet dulu," Gadis rambut biru itu memukul pelan punggung Stella dengan telapak tangan, memberi semangat.

"Ng, tapi...," Stella masih nampak ragu. Maida menunggu Stella menyelesaikan perkataannya.

"Kau tak akan ikut masuk ke toiletnya kan?" Kata Stella sambil tersenyum malu. Stella takut kalau Maida ikut masuk seperti kejadian tadi. Maida merasa perkataan itu konyol hanya menginjak sepatu Stella kesal. Stella meringis kesakitan sambil berjalan, cahaya putih menyilaukan menyelimuti mereka saat masuk ke dalam portal, dan portal itu lenyap bersama dengan keempat orang ini.

13 comments:

  1. Finally. Someone who sees him as I do.

    Pendeskripsian karakternya cukup tepat, namun ada sedikit typo yang terlihat, tapi itu bukan masalah. pertempurannya juga seru dan cukup menonjolkan kemampuan-kemampuan mereka semua. Karena tulisan ini pendek, jadi bacanya menyenangkan, walaupun mungkin saya ingin melihat pertempuran Aragon bersama Wildan lebih diperlihatkan sewaktu di menara.


    Tapi overall, saya suka ini.

    Nilai dari saya 9.


    OC: Aragon Ferden

    ReplyDelete
    Replies
    1. Satu hal yang membuat lega adalah pemilik OC merasa puas karakternya digerakkan oleh saya. Sekali lagi terimakasih Aragon-san ;__;

      Delete
  2. Yahuuu...
    Aku mulai jatuh cinta sama Maida~♡

    Narasi, so epic so pretty.
    Dialog, cukup lah~
    Karakterisasi, bagus!

    Congrats! I give you 9!
    Haru Ambrosia

    ReplyDelete
  3. Hai kak Wina B)

    Oke, ini mengharukan. Saya merasa bersalah dengan membuat Maida masuk ke proyek seperti ini. Awalnya saya hanya coba-coba, tak menerima kenyataan kalau saya sedang UN. Dan akhirnya saya lempar ke kak Wina. Saya sudah menebak kalau bakal WO dan saya rela, karena tahu kak wina juga punya kesibukan sendiri.

    Ternyata engga, Maida di mainin. Maida masih ada sekarang. AKU G TAHU HARUS NANGIS APA BAHAGIA KAK WINA!!

    Ok selesai sesi curcol, mari lihat di segi cerita.

    Gaya bahasanya mudah dipahami, tapi masih banyak menggunakan kata itu entah kenapa. Untuk plot, sebenarnya sampai sekarang saya engga tahu ini mau di kemanain, tapi dengan adanya hint untuk memperjelas plot pada cerita saya jadi penasaran. Saya suka dengan cerita yang membuat saya berdebar-debar ingin tahu apa yang terjadi setelahnya dengan petunjuk-petunjuk yang masih abstrak. Mengenai karakter, kombinasi Stella dan Maida mungkin bagus. Tapi entah kenapa saya ingin melihat kombnasi Aragon dan Maida di sini, karena dilihat dari cerita mereka kontras tapi paham satu sama lain.

    Kekurangannya, walau pendeskripsiannya begitu detail tapi entah kenapa bagian Battle tetap terasa terlalu cepat? andai Maida dibuat lebih terluka, baju sobek-sobek, nafsu saya bisa lebih naik #INIAPA , tapi mungkin ini alasan kenapa ada Wildan dan Aragon di sini, karena sepertinya mereka lebih tak karuan kena luka daripada Stella dan Maida XD

    Untuk nilai saya kasih 8,7 /10. Tapi karena tidak bisa jadi saya bulatkan menjadi 9/10

    Saya doakan masuk babak utama ya! saya pingin lihat perkembangan Maida, sungguh. Jangan ngambek sama saya, setdiaknya kasih saya spoiler nanti kak wina ;___;

    Dari pembaca
    mataharikemalaman

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sampai sekarang
      aku masih ngambek ama kamu


      lol kidding, kapan aku ngambek sama adikku yng paling cantik?

      Terimakasih komennya mamat! syukurlah Maida yang ini bisa kamu terima ^^, kamu tahu dulu aku desperate sampai gimana gegara Maida, sampai harus lihat postingan dia di AniHogwarts buat lihat dia bagaimana? dan inilah Maida yang sekarang.

      Doakan lolos deh, kalau lolos sampai jauh nanti juga tahu sendiri hihi. Dan orz, rasanya harga diri jatuh dikomenin orang yang bahkan typonya jauh lebih parah dari aku (/hempas saja saya/). Tapi terimakasih! tetap dukung Maida ya, anakmu ini kesepian haha.

      Delete
  4. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  5. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  6. Halo, Mba--ehm, Mas Maida <3 /kenapa pakai salam segala kamu/
    jadi ini komentar saya:
    untuk diksi, dialog dan karakterisasi sudah bagus
    battle nya singkat, tapi acceptable
    (bagian pertemuan pertama Stella dan Maida di toilet itu kocak deh =)) =)) )

    oh ya, 'petang' di kbbi itu artinya 'kira-kira dr pukul tiga sampai matahari terbenam', lho
    dan di paragraf pertama ada penggunaan kata yang sama berulang-ulang, itu bisa diakali dengan menggunakan diksi berbeda. Coba pakai tesaurus (ada app android, ada yang online) untuk mencari sinonim kata biar tidak redundan.

    Nilai 8

    OC. Apis

    _____
    kenapa gak ada fitur edit sob

    ReplyDelete
    Replies
    1. LOL LOL melihat 2 kali kau salah, pasti kau gugup kan bisa bertemu denganku hai manis? #DIBUANG

      Terimakasih Apis ;_;, iya saya menyadari saya masih kurang dalam pemahaman bahasa sana sini orz. Untuk rekomendasi Tesaurus, aku berterimakasih! semoga kedepan bisa lebih baik. :D

      [s] nanti biar Apisa sana Maida bisa saling tata rambut kalau ketemu hihi[/s]

      Delete
  7. Menarik melihat bagaimana penulis memuat legenda Tamon Ruu yang terhubung sama masa lalu Maida ini. Ada beberapa typo kecil tp nggak terlalu mengganggu waktu baca. Pembentukan timnya mendadak, tapi reaksi OC-OCnya natural. Ada yang nggak terlalu percaya (Aragon). takut (Maida), kaget (Stella) dan mulai interaksi (Wildan). Interaksinya sama sekali nggak ada yang OOC menurut saya.

    Trap Maida pun sukses menjebak Stella ;] yang awalnya keliatan biasa aja, tapi dalam pertarungan dia bisa sangat mendukung kelompoknya. Maida sebagai tokoh utama pun karakterisasinya oke sekali. Timidnya keliatan di awal, terus perlahan-lahan berkurang waktu battle. Di battlenya pun party ini bisa bikin kerja sama yang baik karena si Maida ini. Ide battlenya pun asik, termasuk ide split up. Sampe ada gorila segala ;]]

    Baru sadar di akhir entah kenapa si Maida tetep dibilang sama narator sebagai "Gadis rambut biru" lol. Eh, kalo nggak salah denger2 ini pemilik OC asli-nya mercayain dia buat ditulis sama Erwina ya?

    Dan, saya jadi kebayang terus bentuknya itu Jalalapah ;] Humor2nya keren, terutama dari Stella dan Wildan. Juga si Aragon pas banget jadi 'pengingat' anggota lainnya kalo udah debat konyol kayak waktu Tamon Rah muncul.

    Oh ya, makasih banget udah masukin Wildan di party ini, perannya gede banget lagi ;] maaf nggak bisa bawa Maida di cerita saya karena party saya udah fix duluan.

    8/10

    OC: Wildan Hariz

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terimakasih sudah berkunjung Wildan! tidak ada yang lebih membahagiakan selain kata-kata "Enggak ada yang OOC" dari author lain. Karena apa yang saya takuti adalah rasa tidak puas dari author yang saya pinjam OC-nya.

      Ah ketahuan, s-saya sendiri sebenarnya masih engga menyangka kalau Maida ini laki-laki, jadi mungkin kedepannya tetep saya sebut 'gadis' orz, padahal di sini dia sudah mengaku walau hanya di depan Aragon.

      Iya ini bukan OC saya =)) di CS Maida nama authornya itu mataharikemalaman kan (dan yang komen di atas saya itu) , karena itu saya engga pede gimana gerakinnya, alasan tulisan saya ngadat tepat deadline karena saya masih bingung sebenarnya Maida itu 'apa' dan bagaimana. Syukurlah sepertinya pihak pemilik OC puas dengan apa yang saya tulis (walau saya masih dendam)


      S-syukurlah ada yang bisa menerima humornya ;___;. Jujur saja, saya baca lagi terus berpikir " anjir humornya garing abis" sambil guling-guling malu dilihat orang. Tapi ternyata banyak yang bilang kocak, saya terharu ;___;

      Sama-sama, saya juga terimakasih sudah izinin pakai Wildan, apalagi Mao. Tanpa Mao mungkin Maida dan Stella engga bisa apa-apa ^w^!

      Delete
  8. Eeeh, OC orang dikendaliin orang lain, eh... Kenapa penulis ga submit OC sendiri? Kenapa pemilik OC ga nulis sendiri? Meski ga ada aturan yang ngelarang ini, tetep aja saya ga favor kasus begini, karena secara esensi ini turnamen antar penulis, dari bikin OC sampe nulis entrinya. Rasanya ada spirit yang ilang begitu tau ini karakter 'pinjaman' dan bukan buah ide penulis yang bersangkutan

    'Eh begitu saja?', 'Ah perlu diketahui' ini bahasa informal yang sebaiknya ga dipake gitu aja dalam narasi, kecuali mungkin dibikin italic dan nunjukin kalo ini monolog seseorang. Plus, baiknya habis ah atau eh itu kasih koma

    Ini masih terlalu tell dan terpaku sama formula plot umumnya ya

    "D-daripada itu, aku yakin Tamon Rah mungkin monster yang menyerupai kuda," Kata Maida berusaha melupakan Jalalapah tadi. "Kenapa kau bisa yakin?" Stella menginginkan alasan dari perkataan Maida. "Karena kejadian ini sedikit mirip dengan legenda di tempaku?" Maida menyadari bahwa pertarungan ini mirip dengan cerita ayahnya dulu.
    ^Paragraf kayak gini sebaiknya dipisah, soalnya ada terlalu banyak ide utama dalam satu paragraf kalo gini (dialog Maida, Stella, Maida lagi)

    Suasana langsung mencekam. Mereka berempat menyaksikan binatang dengan ukuran yang sangat besar keluar dari bulan, suara rauman menggelegar terdengar menyakitkan telinga.Seekor Kuda raksasa dan memiliki tanduk dan juga sayap yang mengembang, warna kulitnya putih tulang dengan bola mata merah. Yang paling mencolok adalah 4 kakinya yang diselimuti api, bergerak seakan langit adalah tanahnya. Tamon Rah kini berada tepat di bawah kumpulan prajurit serta monster yang mulai berlari ketakutan. Dan dalam sekejap Tamon Rah berlari melewati prajurit dan monster itu menuju kearah di mana Maida, Stella, Wildan, dan Aragon berlindung.
    ^Gaya cerita tell itu ga pernah dilarang, tapi kalo sekedar nyebut list ciri" gini jadi ga ada kesan mengancam atau menyeramkannya, berkesan cuma 'hooh, gitu *manggut"*'

    Untuk menghindar serangan peluru sihir. Stella mengeluarkan Undine untuk memberikan perlindungan kepada Mao. Maida kagum karena ditempatnya yang bisa memanggil makhluk mistis hanyalah para petinggi. Mao berlari untuk menubrukkan badannya ke menara, perlindungan Stella dilepaskan saat Mao melompat, dan dengan begitulah menara kristal itu hancur. Maida dan Stella tidak bisa menyembunyikan wajah senang mereka.
    ^Masih sama kayak di atas, padahal ini harusnya adegan pamungkas, tapi feelnya jadi super datar buat saya

    Nilai awal 6. Deadliner buffer -1, jadi nilai akhir dari saya 5

    [OC : Dyna Might]

    ReplyDelete
  9. Gue kasihan sama Aragon, rasanya kayak waras sendiri dan dia doang yang inget kalo mereka lagi di tengah pertarungan gitu, apalagi kayak waktu si Jalalapah keluar *nangis*

    Anyway.

    Yang lupa isi tulisannya sendiri bukan Hewanurma, tapi si Ruu, sayang. Detail kecil, tapi kok kepentok juga jadinya ngebacanya, heuheu. Terus, bener kata review-review sebelumnya, ada bagian-bagian tertentu yang karena tell jadinya agak kurang kerasa impactful. Alur battlenya lumayan jelas seenggaknya - mungkin bakal ada yang bilang kalo porsi Wildan sama Aragon agak ke-cut, tapi berhubung PoV ketiganya bener-bener disentralin di apa yang dilihat Maida, kayaknya memang can't be helped ya =)) (Toh terakhirnya ada recap juga walopun cuma sekilas.) akujadimalusendirisebenernyauwu #APAZI

    Tapi overall rapi kok. Typomu nggak parah-parah amat sampai kelihatan banget (atau mungkin karena terselip dimana-mana sampe nggak kelihatan, entahlah), dan terlepas dari beberapa adegan yang mungkin bakal lebih ~*breathtaking*~ kalo diexpand, nulisnya juga cukup berada di area nyaman :'>

    8/10 ya~

    ~Stellene

    ReplyDelete