17.5.15

[PRELIMINARY] SUNGI - SI KUDA RAKSASA BERSAYAP


[Preliminary] Sungi - Si Kuda Raksasa Bersayap
Penulis: Riri-kun

Sinar matahari memberkahi setiap pulau di Oek. Burung-burung berterbangan dengan bebas, sementara para manusia sibuk dengan pekerjannya. Para hewan hanya mengikuti naluri mereka, memakan apa yang mereka bisa makan.

Berkah matahari tak pandang bulu, bahkan untuk makhluk aneh hijau, berlendir. Makhluk itu tengah tertidur di kedalaman hutan. Suaranya menyatu dengan nyanyian pepohonan.

Makhluk itu bernama Sungi. Seharian penuh dia telah tertidur, sebelumnya dia mengintip para perempuan yang mandi dan bersenang-senang.

Tapi apakah itu membuatnya puas?



Sungi telah merasa gairah hidupnya hilang sejak dulu kala. Ia ingat pertama kali dia tercipta, Sungi begitu senang dan menjelajah dunia.

Tapi kini gairahnya pergi.

Kini ia bagaikan sebuah bulu yang terombang-ambing terbawa angin, tak tentu arah.

Sungi terbangun, mata hijau gelapnya menatap sebuah hologram dengan tulisan aneh. Ia yang tercipta dari ingus Dewa Pengetahuan dengan cepat dapat membaca tulisan di hologram itu. Tak terlalu panjang, tapi menarik hasratnya.

Dengan lengan kirinya Sungi menekan tombol [Ya] dan tiba-tiba tubuhnya merasa aneh. Cahaya biru menyelimuti dirinya, dia menoleh ke berbagai arah. Tubuhnya terasa ringan, lalu cahaya yang menyilaukan membuat pandangannya kabur.

Cahaya terang itu menghilang, perlahan matanya dapat melihat lagi. Bangunan tinggi terlihat jauh di depannya, banyak manusia dan makhluk aneh di sekitarnya.

Suara seorang wanita cantik membuatnya terfokus pada pemilik suara itu. Dia berada di balkon atas kastil di depan Sungi. Mata sungi melotot, wajah cantiknya, ditambah belahan yang menakjubkan di dada wanita itu.

Tapi wanita itu tampak agak ceroboh. Hal itu tidak mengurangi rasa kagum pada sosok itu.

Kemudian ganti seorang pria berambut putih yang bersuara, mata Sungi masih tak lepas dari wanita di balkon di atas sana.

Setelah pidato dari pria itu selesai suasana menjadi riuh, tampak orang saling bergerombol. Para maid mendatangi mereka.

"Ahh Nona di mana kamar mandinya?" tanya Sungi mendekati salah seorang maid di dekatnya. Matanya terfokus pada belahan di balik seragam maid gadis muda itu.

Dengan senyuman maid itu membalas, "Silahkan ke sana, lalu belok ke kanan, nanti anda bisa tanya orang yang ada di sana." Maid itu menunjuk arah gerbang kastil di belakangnya. "Apa perlu saya antar?" tawar maid selanjutnya.

"Sebenarnya saya ingin, tapi tidak perlu, sepertinya Nona sedang sibuk. Saya akan pergi sendiri, terimakasih Nona." Sungi dengan cepat berlari menuju gerbang itu—bagaimana pun secepatnya ingus itu berlari dia secepat orang dewasa berjalan santai.

Satu persatu kelompok yang terdiri dari 2 sampai 4 orang menghilang dari tempat itu. Cahaya muncul di berbagai titik sebelum mereka menghilang. Dalam setengah jam hanya tinggal segelintir orang yang tersisa. Wajah ragu dan ketakutan terlihat dari raut mereka.

"Apa kita mulai sekarang?" tanya seorang gadis berambut kuning. Dari wajahnya tampak ia masih belia tapi memiliki kesan mewah dan angkuh.

"Lebih baik kita menunggu satu orang lagi, agar genap empat orang," jawab gadis berambut biru.

"Tapi yang ada hanya kelompok 2 dan 3 orang di sekitar kita, tidak ada yang sendiri, kalau kalian tidak mau aku akan bergabung dengan salah satu dari mereka."

"Hai bocah bukankah kau sudah di tolak mereka." Tiba-tiba sebuah kotak peti berbicara.

"Siapa yang kau panggil bocah dasar makhluk aneh gak guna," jawab si rambut kuning, kakinya bergerak ingin menendang kotak di sampingnya, tapi dengan cepat kotak itu mengelak.

"Sialan kau kotak aneh," geramnya.

"Ahh sudah jangan bertengkar. Eh tunggu itu ada yang keliatan sendirian aja," gadis berambut biru itu menunjuk sesosok berwarna hijau yang bergerak perlahan.

"Ehh aku gak mau nambah makhluk aneh lagi, cukup satu kotak aneh saja."

"Dia terlihat seperti monster, aku rasa dia kuat, ayo kita minta gabung aja keburu kelompok lain yang ngambil."

"Ahh oke deh kalau begitu."

Gadis berambut kuning itu mendesah, ia masih tampak ragu, lalu melambaikan tangannya pada monster hijau berlendir itu. Karena jalannya lambat, mereka bertigalah yang mendekati makhluk itu.

"Apa kau sendiri?" tanya gadis berambut kuning.

Monster itu memutar kepalanya, melihat sekitar.  "Aku rasa begitu," balasnya.

"Kau sangat beruntung, kami membutuhkan satu orang lagi sebagai anggota tim kami."

Makhluk hijau itu melihat kedua gadis di depannya, dan juga sebuah kotak yang berada di samping mereka. "Kalian kelihatan lemah chi."

"Siapa yang kau panggil lemah ha!" Gadis berambut kuning itu terlihat marah. "Adalah kehormatan bagimu untuk bisa satu tim denganku."

"Terserah saja, aku juga sebenarnya tak butuh tim, chi." Monster itu melihat sekitar, orang-orang semakin sedikit, titik-titik cahaya menelan beberapa kelompok yang tersisa.

"Pilihan yang tepat," ucapnya diiringi senyuman angkuh.

"Jadi kita hanya bertiga?"

"Kita berempat!"

"Empat? Aku, kamu, dan kamu, semuanya hanya tiga, chi." Makhluk itu menunjuk dirinya, lalu gadis berambut kuning, dan diakhiri gadis berambut biru.

"Hei kau tidak menghitungku!" Kotak yang di samping ke dua gadis itu melompat-lompak dan berteriak dengan suara yang menyakitkan.

"Heh? Kotak bisa bicara?"

"Enak saja kau panggil kotak. Namaku Chubox tapi untuk makhluk aneh sepertimu kau boleh memanggilku tuan Chubox yang hebat."

"Chi, daripada aku, kau lebih aneh dasar kotak! Aku Sungi." Makhluk hijau itu berkata dengan nada yang dibuat-buat menjadi keren.

"Aku tuan putri Maria Fellas kau bisa memanggilku Putri Felly," ucap gadis berambut kuning, ia membusungkan dadanya.

"Emm ... dan aku Maida York, panggil saja aku Madia, salam kenal." Gadis berambut biru itu menunduk dengan sopan diiringi sebuah senyuman yang ia sunggingkan. Rambut biru bergelombangnya bergerak dengan indah.

"Ah Nona Maida sepertinya aku pernah mendengar nama itu, chi," ucap Sungi yang kini terlihat berpikir.

"Benarkah?" Wajah Maida menjadi bingung.

"Iya, tapi aku gak ingat, chi. Yang lebih penting kau manis sekali, untukmu sebuah pengecualian, meski dadamu rata tapi kau adalah gadis yang sangat manis, chi."

Pipi Maida merona merah, ia tertunduk malu.

"Te-terima kasih."

"Bagaimana denganku, makhluk aneh?" Felly berkata dengan angkuhnya.

"Aku gak tertarik dengan anak kecil sepertimu!"

"Ughh ... kau pasti tidak memiliki mata yang bagus." Felly membuang mukanya dari Sungi.

Setelah itu, ada seorang maid yang mendekat. Rambut hitam pendek dengan poni di dahinya, membuat wajahnya semakin manis.

"Apakah tim kalian sudah siap?" tanya maid itu.

Keempat orang makhluk itu saling berpandangan. Tapi akhirnya Felly membuka mulutnya. "Iya kami sudah siap."

"Baiklah kalau begitu. Saya akan menteleport kalian ke tempat yang sudah disiapkan, misi kalian akan saya jelaskan di sana."

Sang maid dengan tenang mengeluarkan sebuah alat berbentuk kotak kecil berwarna biru transparan. Setelah itu semua orang—Sungi, Felly, Maida, Chubox, dan maid—dikelilingi cahaya biru nan menyilaukan.

Setelah cahaya itu perlahan-lahan hilang, atmosfer di sekitar mereka berubah. Udara sejuk yang nyaman berubah menjadi udara dingin, kering, gersang dan menyesakkan dada. Terdengar suara ribut dan dentuman keras dari arah kejauhan. Letupan-letupan cahaya menghiasi tanah lapang yang seharusnya gelap.

"Selamat datang di gurun ­­­Derada. Saat ini sedang terjadi perang antara lima ratus umat manusia melawan ribuan monster." Maid mengatakannya dengan tenang, seolah dia telah mengatakan itu ribuan kali.

"Misi kalian adalah membantu tentara Alforea mengalahkan para monster. Apa kalian mengerti?"

Keempatnya hanya bergumam dengan sedikit anggukan, kecuali Chubox.

"Jadi, kami hanya tinggal menghabisi para monster itu kan?" tanya Felly.

"Tepat sekali apa yang Nona Fellas katakan." Maid itu menyunggingkan senyuman penuh makna.

"Kalau begitu tugas saya sampai di sini. Semoga kalian tidak mati, dan selamat berjuang!" Maid itu agak menjauh lalu menekan kotak biru transparan yang ia gunakan untuk berteleportasi sebelumnya. Seketika cahaya biru mulai menelannya.

"Ah iya aku lupa, dua menara di utara akan sangat membantu kalian. Semoga bulan datang terlambat ...." Setelah mengatakan hal tersebut sosok maid nan manis hilang dari pandangan mereka berempat.

"Apa ada yang punya rencana?" tanya Chubox menyingkirkan keheningan sesaat di antara mereka.

"Bukankah sudah jelas? Rencana kita adalah maju dan mengalahkan mereka semua," ucap Felly, tangan dikepalnya ke udara.

"Hei bocah, kau pikir kekuatan kita cukup? Aku rasa kau hanya bisa mengalahkan beberapa orc, chi." Sungi memutuskan semangat Felly.

"Apa kau punya rencana lain makhluk aneh?!"

Sungi hanya diam, ia berjalan mendekat sekumpulan orang berseragam yang sedang menembakkan senjata-senjatanya. Barisan kotak besar dengan banyak lubang di belakang mereka.

Namun, ketika Sungi dan yang lainnya mendekat seseorang menembaki mereka. Puluhan peluru menembus badan Sungi, tapi tak berefek apapun bagi Sungi. Sementara Maida, Felly, dan Chubox yang berjalan di belakang Sungi selamat karena tak ada peluru yang mengarah ka mereka.

"Tunggu! Kami bukan musuh," teriak Felly. Ke-dua tangannya melambai-lambai mencari perhatian.

"Kami di sini untuk membantu kalian," lanjut Felly.

Seorang pria tegap, tinggi dengan kulit gelap mendekati mereka. Tampak beberapa lencana bertengger indah di pakaian pria itu.

"Kalian siapa?" tanya pria itu.

"Kami dikirim ke sini membantu kalian," jawab Felly.

"Oleh siapa?"

"Uhmm ...." Felly mengerutkan dahinya, sepertinya dia lupa.

"Tamon Ruu ...." sela Maida.

"Yang mulia ...," gumam pria itu.

"Sial kenapa dia hanya mengirim empat orang!"

Bummm ....

Terdengan suara ledakan besar di dekat mereka.

"Komandan, salah satu mesin peluncur kita dihancurkan oleh serangan gorgoyle." Seorang prajurit berlari dengan tergesa-gesa mendekati mereka dan memberi laporan.

"Apa kau buta? Aku juga melihatnya!"

Raut muka prajurit itu masih tak berubah meski telah dibentak.

"Maafkan saya Komandan."

"Bagaimana dengan barisan depan?"

"Unit ksatria berkurang empat puluh persen, mereka telah di bawa ke unit penyembuh, unit penembak masih kualahan memberi dukungan."

"Bagaimana dengan unit penyihir?"

Prajurit itu langsung memegang benda di telinganya, lalu berbisik.

"Unit penyihir masih dalam proses pemulihan tenaga, tapi sudah mampu ke medang perang."

"Perintahkan unit penyihir maju membantu unit ksatria. Unit penembak ganti target, perintahkan mereka menembaki musuh di udara. Bagaimana kondisi pelucur?"

"Siap Komandan. Peluncur masih delapan puluh persen pengisian tenaga."

"Langsur luncurkan serangan ketika tenaga terisi penuh!"

"Siap laksanakan!"

Prajurit itu kembali ke posisinya. Dia tampak tampak sibuk berkomunikasi dan memberi arahan seperti perintah komandannya.

Maida dan Felly yang baru saja melihat apa yang terjadi, mengeluarkan keringat dingin.

"Aku tidak punya banyak waktu. Meskipun kalian terlihat lemah aku berharap banyak. Lakukan yang terbaik, tapi jika takut mati lebih baik pergi saja sekarang."

Ke empatnya menelan ludah mendengar ucapan komandan.

"Semoga kita berjumpa di kehidupan lain."

Seketika Komandan berlari dengan sebuah pedang besar dan senapan besar di punggungnya.

Maida tampak bergetaran begitu pula Felly, sedang Chubox perlahan-lahan bergeser ke belakang.

"Kau mau ke mana Kotak aneh?!" teriak Felly ketika melihat Chubox yang hendak menjauh.

"Ahh aku tidak ke mana-mana."

"Kau ingin kabur kan?"

"Ti-tidak ...."

"Tak akan kuampuni."

Dengan sekuat tenaga, Felly menendang Chubox. Chubox terbang jauh ke kerumunan monster.

"Kasihan sekali ...," ucap Felly.

"Siapa pun yang lari dari medan perang tak dapat di ampuni."

"Apa yang kita lakukan sekarang?"

"Terserah padamu, aku akan menghabisi mereka," seru Felly dengan kaki gemetaran. Wajahnya tampak pucat.

"Kau jangan sok tangguh bocah. Aku tahu kau gak punya serangan yang bisa bikin mereka mati, chi."

"Jangan sok tahu kau ingus!"

"Apa kau mau menggigit mereka satu per satu? Aku tak masalah jika kau mati, aku hanya gak ingin kau membebaniku!"

Felly terdiam mendengar komentar Sungi. Ia bingung bagaimana sungi bisa mengetahui kekuatannya.

Sungi melihat ke arah Maida York, ia menatap mata Maida.

"Dan kau ... nona Maida-" Sungi belum menyelesaikan ucapannya. Sungi kaget, entah apa yang ada di pikirannya sekarang.

"Na-namamu Maida York?" tanya Sungi, seolah ia salah dengan apa yang diucapkannya.

"I-iya itu namaku, bukankah kita sudah berkenalan tadi."

"Apaaa!!!" Sungi berteriak kencang, tapi suaranya masih kelah dengan dentuman bom di gurun tersebut.

"Ahh ... Apa ada yang salah?" tanya Maida ragu-ragu.

"Sial kau menipuku."

"Apa maksudmu?"

"Lupakan, aku membencimu."

"Kenapa?"

"Karena aku tidak suka orang sepertimu! Lupakan saja. Kita tim saat ini, hanya itu. Ambil senapan, kita bisa memanfaatkan itu."

"Hei bicara yang jelas makhluk aneh?!" teriak Felly.

"Kita tak punya serangan mematikan, jalan satu-satunya adalah mengambil senjata yang ada dan memanfaatkannya."

Mereka bertiga mengambil senapan dari dalam kotak yang penuh senapan.

"Sungi ini berat," keluh Felly.

"Uhh iya ini berat," sahut Maida.

"Jangan mengeluh, ini satu-satunya cara keluarkan semua kekuatan kalian, ini adalah pertempuran yang sesungguhnya."

Mereka bertiga menuju medan perang. Hampir saja mereka di serang oleh pasukan Alforea namun untung itu hanya sebentar, setelah salah paham itu selesai, mereka bertiga menembaki sekawanan Bison. Bison yang bertubuh besar, hitam, dengan banyak bulu di sekitar leher dan dadanya, serta sepasang tanduk di kepalanya.

Beberapa Mamoa, Monster mata bersayap berterbangan sembari melemparkan batuan yang membara. Tapi baru saja melewati garis bertahanan, monster itu langsung terkena tembakan dari unit penembak.

Setiap monster yang mati, tubuh mereka menjadi abu, lalu muncul bola cahaya kecil dari dalam tubuhnya. Cahaya berwarna merah itu berpendar sebelum akhirnya terbang ke utara. Begitu pula yang di alami Mamoa dan Bison yang mati.

Musuh benar-benar tak ada habisnya, semakin lama garis bertahan pasukan Alforea semakin mundur.

"Hei Sungi, aku tak enak mengatakan ini, apa boleh aku membunuh anggota keluargamu?"

"Siapa yang kau maksud keluargaku, bocah?"

"Para slime biru yang semakin mendekat itu."

"Kau menyamakan aku dengan mareka? Asal kau tahu, aku adalah anak dewa aku tak punya kekerabatan sedikitpun dengan mereka. Bunuh saja itu tugas kita, chi."

Ledakan semakin sering terdengar, pasir yang berterbangan tak mengehentikan semangat pasukan Alforea yang semakin kelelahan.

Sementara itu di tengah medan pertempuran beberapa Orc terlihat berkumpul. Mereka tengan melihat sesosok yang sedari tadi terus bicara. Itu adalaha Chubox, ia menarik perhatian mereka. Tapi para Orc itu terlihat kebingungan.

"Tidak apa, mendekatlah. Buka aku dan temukan keberuntungan kalian," teriak Chubox.

Satu per satu para Orc itu mengambil barang yang ada dalam peti yang terus berbicara itu. Tapi apa yang mereka dapat bukanlah hal yang menarik. Ada yang mendapat bulu ayam, sepotong kuku, kain cerca, bola kempes dan yang lain.

"Ruagh ... apa ini?" tanya salah satu Orc.

"Itu adalah keberuntungan kalian, dan sebagai gantinya aku minta senjata kalian."

"Apa kau bercanda? Kau memintaku senjataku di tukar benda aneh ini?"

"Yap ... kau pintar sekali."

"Kau membuang waktu kami, aku akan menghancurkanmu." Ia mengangkat tinggi-tinggi pemukulnya, lalu di ayun dengan kencang ke arah Chubox. Namun, belum sempat pemukul itu menyentuh Chubox, sekawanan Orc itu berubah menjadi peti.

"Wahaha, itu lah balasannya, sekarang aku akan memakan kalian."

***

"Komandan lihat itu," seru seorang prajurit sambil menunjuk langit.

Bulan Alkima semakin besar. Bukan. Bulan itu semakin mendekak ke tengah pertempuran.

"Semua Mundur. Semua menyingkir," perintah komandan. Ia menaruh kembali senjata pada punggungnya, lalu menjauh dari tempat ia bertempur.

"Kenapa Mereka lari?" tanya Maida.

"Apa mereka menyerah?" sahut Maida.

"Ah mungkin karena itu," ucap Sungi sambil menunjuk benda besar yang mendekati mereka dari angkasa.

"Itu bulan kan? Ia jatuh? Lariii ...." Felly dan Maida berlari dengan kencang, meninggalkan Sungi yang berlari dengan lambat.

"Oii ... Kalian meninggalkanku!"

"Apa ini yang dimaksud maid tadi?" gumam Sungi.

Bulan Alkima membentur gurun dengan dahsyat. Tanah bergoncang, dan ombak pasir menelan banyak makhluk. Sebagian besar mereka adalah para monster. Benturan itu menimbulkan kawah besar berdiameter sekitar seratu meter. Dari kawah itu muncul kuda hitam raksasa bersayap, tanduk menghisai kepalanya.

Suara derik kuda itu membuat siapa saja yang mendengarnya menjadi merinding.

"I-itu Tamon Rah," gumam sang komandan.

Kuda setinggi lima puluh meter itu seketita menyemburkan api dari mulutnya. Api berkobar di sekelilingnya.



"Apa kau baik-baik, Felly?" tanya Maida. Air yang berbentuk setengah bola melindungi mereka. Air itu bagaikan tembok kokoh transparan.



"Iya, terimakasih Maida." Felly merapikan pakaiannya yang kotor akibat jatuh saat berlari menghindari benturan bulan Alkima. Gurun gersang yang tadinya penuh pasukan Alforea dan berbagai monster, kini hancur.



"Apa itu?" gumam Felly saat melihat Tamon Rah yang sedang menyemburkan api dan hampir mengenai mereka, jika pelindung air buatan Maida York tak ada.



"Ayo kita menjauh." Maida menarik lengan Felly yang masih terperangah melihak kuda raksasa di hadapan mereka.



Mereka berdua berlari menuju pasukan Alforea yang berhasil menjauh sebelum benturan terjadi.



"Ternyata kalian masih hidup," ucap Komandan ketika melihat mereka berdua.



"Apa itu?" tanya Felly.



"Itu adalah Tamon Rah, monster yang tersegel di dalam bulan Alkima. Aku tak menyangka dapat melihatnya."



"Kenapa kau terlihat senang?"



"Karena aku akan membunuhnya." Ia menyunggingkan senyuman. "Bagaimana peluncurnya?" lanjutnya.



"Tenaga sudah terisi penuh," jawab seorang prajurit di depan monitor.



"Baiklah, hancurkan monster itu!"



"Siap, Pak!"



Tak lama berselang, barisan kotak besar di belakang mereka bergerak, benda itu mengarah ke Tamon Rah yang terus meraung dan menyemburkan apinya ke segala arah. Cahaya bagai kilat berterbangan dari kotak-kotak itu. Seperti jutaan bintang jatuh.



Saat cahaya-cahaya itu mengenai Tamon Rah, seketika ledakan besar mengelilinya. Peluncur itu masih terus menghujani Tamon Rah dengan tembakan-tembakan yang tak terhitung jumlahnya, namun itu hanya berjalan sekitar satu menit.



Ketika ledakan yang menyelimuti tubuh Tamon Rah menghilang, terlihat Tamon Rah yang meraung kesakitan. Sayangnya tak berapa lama luka di tubuhnya menghilang, tubuhnya pulih seutuhnya. Dan seketika ia sayapnya terbuka dan mengepak.



"Sial sepertinya legenda itu benar, kita tak dapat membunuhnya kalau seperti ini," ucap Komandan.



"Bagaimana cara mengalahkannya?" celetuk salah satu prajuridnya.



"Satu-satunya cara adalah menghancurkan menara kembar di utara sana. Pertempuran masih belum selesai, ini adalah serangan terakhir. Semuanya menuju utara, bunuh semua monster yang ada, hancurkan menara kembar!" seru sang Komandan penuh emosi, lalu di balas para prajuritnya dengan tak kalah semangat.



Seketika mereka semua—termasuk Maida dan Felly—berlari menuju utara dengan memutar, mereka tak ingin menjadi santapan Tamon Rah begitu saja. Tamon Rah kini tengah terbang, angin berhembus darinya. Ia mencoba mendekati para pasukan yang melewatinya.



Namun, dari gurun gersang itu muncul benda hijau yang terus membesar, benda yang awalnya tak lebih dari sepuluh meter kini hampir setinggi dengan Tamon Rah dalam hitungan detik. Benda itu berubah, tubuhnya kini menyerupai Tamon Rah. Ia lalu terbang menuju Tamon Rah dan menyemburkan api ke sayapnya, membuat Tamon Rah terjatuh.



"A-apa itu? Ada dua Tamon rah?" teriak Komandan sambil terus berlari.



"Dua? Bagaimana bisa?" tanya Felly.



"Chi ... chi ... chi ... kalian kini melihat kekuatanku yang hebat," ucap Sungi yang kini tubuhnya menyerupai Tamon Rah. Suaranya membahana, tersebar ke seluruh penjuru.



"Itu Sungi? Bagimana Bisa?" gumam Felly.



"Sungi? Temanmu?" tanya sang Komandang.



"Iya, dia makhluk hijau yang bersama kami tadi."



"Ternyata dia hebat juga," gumam Komandan.



"Ahh sial dia dasar ...," pikir Felly.



"Ternyata pilihan kita tepat," ucap Maida senang, mereka masih terus berlari.



Setelah melewati Tamon Rah, monster yang tak ada hentinya sudah menunggu mereka.



"Serang!!!" seru Komandan.



***



Sungi yang dalam bentuk Tamon Rah menendang Tamon Rah dengan dua kaki depannya, hal itu membuat Tamon  Rah terpelanting dan mendarat dengan kasar pada gurun tersebut. Selain itu jatuhnya Tamon Rah membuat gempa hebat.



Namun, dengan cepat Tamon Rah kembali bangkit. Ia langsung menuju ke arah Sungi, sayapnya memerah lalu beberapa saat kemudian muncul banyak bola api dari sayapnya, meluncur dengan cepat ke arah Sungi. Meski Sungi berusaha menghindar, sebagian tubuhnya masih terkena serangan Tamon Rah. Beruntung ia kini berwujud Tamon rah sehingga ia mendapat penyembuhan yang cepat, seperti Tamon rah.



Seringai marah terlihat jelas pada wajah Tamon Rah, ia mengepakkan sayap, terbang semakin mendekati Sungi. Sungi yang tak mau kalah mengepakkan sayapnya pula, jadilah mereka terbang di langit malam. Saling menendang, menggigit, menyeruduk di angkasa.



Sedikit banyak munculnya Tamon Rah mengubah jalannya pertempuran, para monster yang hanya menyerang tanpa ampun malah mendapat hantaman bola api dari udara, sedang para pasukan Alforea meski tak semua, dapat menghindari amukan Tamon Rah.



"Ayo semua terus maju menara kembar sudah dekat," seru Komandan menyemangati.



Lebih dari seratus meter di depan ada sebuah kastil besar, dari pintu kastil itu keluar ratusan, bahkan ribuan monster terus menerus dan seratus meter di sisi timur dan baratnya terdapat dua menara kembar setinggi hampir 30 meter. Di atas menara tersebut terdapat sebuah kristal berwarna merah, menyala terang bagai matahari di malam hari. Setiap monster yang mati, cahaya dalam tubuh mereka di tarik oleh kristal tersebut, dan mereka akan di hidupkan kembali di dalam kastil, itulah mengapa para monster itu tak pernah habis meski dibunuh berapa kalipun.



Saat asa mereka mulai membumbung tinggi, muncul naga setinggil sepuluh meter dengan dua kepala, sisi kanan menyemburkan api, sedang sisi kiri menyemburkan es. Naga itu berhasil menghentikan laju sebagian besar para prajurit Alforea. Setiap detiknya bertambah puluhan monster yang mengepung mereka, tak ada harapan bagi kurang dari 300 pasukan Alforea yang tersisa, mereka hanya mempu menahan saja.



Di udara suara pertarungan antar kuda raksasa bersayap masih berlangsung, raungan kesakitan, suara semburan api bercambur menjadi satu dalam gelapnya malam.



***



"Ayo Maida cepatlah." Felly menarik tangan Maida, melewati kerumunan monster yang mengelilingi pasukan Alforea.



"Kau hancurkan sisi menara barat sedang aku akan menghancurkan menara timur," perintah Felly setelah mereka berhasil kabur dari para monster itu.



"Baiklah Felly, ayo berpisah."



"Iya. Ingat tandanya, kita harus menghancurkan bersamaan. Harapan ada tangan kita," ucap Felly menggenggam tangan Maida.



"I-iya."



Akhirnya mereka berdua berpisah, mereka berlari sekencang mungkin. Maida dengan water shield-nya terus berlari tanpa menghiraukan serangan monster yang mendekatinya dan untuk Felly, dengan kecepatan serta penciumannya ia berhasil menghindari setiap monster yang berusaha mendekat.



"Tinggi sekali," gumam Maida melihat menara di depannya, di menara yang lain Felly juga merasakan hal yang sama.



Maida berjalan semakin mendekat, namun puluhan proyektil sihir tertembak dari kristal di atas menara tersebut. Namun beruntung ice protection melindungi tubuhnya, es-es tersebut menghalau setiap proyektil sihir yang mendekat ke arahnya. Meski begitu ia masih tak dapat menghancurkan kristal, ia tak memiliki serangan yang dapat menjangkaunya, senapan yang ia gunakan tadi juga telah ia buang.



Di menara yang lain, Felly memanjat menara tersebut dengan cepat. Ia berhasil menghindari serangan proyektil sihir yang di keluarkan kristal di atasnya beberapa kali, tapi masih banyak serangan yang mengenainya. Akhirnya ia terjatuh karena tak kuat menahan sakit lagi.



Di depan, kastil para monster semakin banyak yang muncul, berbalik sangat jauh dengan para pasukan Alforea yang samakin terpojok.



"Semua terus bertahan!" seru Komandan.



Cahaya di atas mereka bersinar semakin terang, panas semakin terasa. Dua kuda raksasa bersayap dengan api menyelubungi mereka terjatuh dengan bebas bak meteor. Sungi menggigit leher Tamon Rah, membuat Tamon Rah tak mampu banyak bergerak, sayap mereka berdua sama-sama terbakar.



"RUAAARRGHH!!!!"



Suara erangan yang amat dahsyat mengihi setiap telinga makhluk yang ada di gurun itu, bahkan mungkin jauh di luar gurun. Mereka berdua jatuh mengarah kasti tempat para monster itu muncul. Namun, di tengah udara Sungi melepaskan gigitannya dan menendang tubuh Tamon Rah menjauh



Tubuh Tamon Rah mengarah ke utara, sedang Sungi mengarah ke barat, tepat ke arah ke dua menara kembar. Di ke-dua menara itu masih berdiri Felly dan Maida. Mereka berdua ketakutan melihat kuda raksasa mengarah pada masing-masing mereka.



Ke-dua menara itu bersama kristal di atasnya hancur bersamaan di timpa Tamon Rah dan satunya di timpa Sungi.



Para monster yang masih mengepung pasukan Alforea terlihak kesakitan dan diiringi raungan mengerikan. Tubuh mereka perlahan jatuh dan berubah menjadi debu, cahaya dalam tubuh mereka meredup dan hilang.



Sedang pada Tamon Rah sendiri tubuhnya di kelilingi bebatuan, lalu kembali menjadi batu besar, sebelum akhirnya terbang menuju langit dan menjadi bulan Alkima kembali.



Tubuh Sungi perlahan berubah, tubuh besarnya mengecil sebelum akhirnya kembali menjadi tubuhnya yang asli—hijau dan berlendir. Namun, ia tampak tak sadarkan diri. Suara dengkuran keras keluar dari mulutnya.



"Apa ini berakhir?"



"Mereka menghilang."



"Hiyaaa!!!" sorakan kebahagiaan terdengar di mana-mana.



"Hei, tunggu teman-teman aku menemukan kotak peti, aku rasa ini harta karun." Seketika berpuluh pasukan Alforea mengelilinnya.



"Ayo kita buka." Satu per satu dari mereka mengambil isi dalam kotak itu.



"Apa ini?" Sontak mereka kaget melihat apa yang mereka dapat.



"Itu adalah keberuntungan kalian hiya hahaha," teriak Chubox.



"Aku gak sudi!" Mereka melempakan apa yang mereka dapat.



"Kalian akan-" Belum menyelesaikan kalimatnya, Chubox kembali tertendang jauh dan menghilang.



Dari gerbang kastil itu muncul seorang maid yang bertugas menjemput mereka.



"Etto ...  di mana mereka??"



***



"Yang mulia berhentilah bermain-main dan bantu aku," ucap Hewanurma membuka pintu ruangan miliknya.



"Hahaha, kau seharusnya bersantai sejenak Nurma," balas Tamon Ruu sambil meminum air dalam gelasnya.



"Mana bisa aku bersantai sedang anda teledor dan tak mengurus tugas anda." Kerutan terlihat jelas di kening Hewanurma dan kembali hanya di balas tawa oleh Tamon Ruu.



"Apa anda tadi memasuki ruanganku?"



"Gak, emang kenapa Nurma?"



"Sepertinya tadi aku sudah mematikan layar Hologramku."



"Kau ternyata menjadi pelupa, sepertinya kau harus pensiun dini."



"Lalu siapa yang mengurus anda?"



"Masih banyak Maid kok."



"Mereka tak akan tahan bersama anda lebih dari sepuluh menit."



"Kau seamakin baik dalam membuat lelucon."



"Ngomong-ngomon tiu bukan lelucon, lebih baik kita lihat perkembangan para peserta."



"Yeyy ... ayo!"
>

10 comments:

  1. Tunggu dulu! Jadi Sungi bisa berubah menjadi Tamon Rah?!

    Halo Sungi! Sebagai Author yang memakai monster "Slime" di tahun lalu saya mengerti kenapa memakai OC bertubuh cair, yaitu karena kebal terhadap serangan fisik dan bisa meniru bentuk apapun sesuka hati.

    Oke... secara Narasi lebih ke arah "Tell" dari pada "Show", saya beri saran untuk lebih mendeskripsikan apapun di dalam narasi. Jumlah kata hanya 3904, jadi masih ada banyak ruang untuk peningkatan dan penjabaran narasi.

    Selain Narasi, battlenya tidak ada bagian yang terlalu mencolok. Mungkin kalau meniru monster seperti Goblin, Orc atau Gigantes masih bisa saya tolerir, tapi perubahan menjadi Tamon Rah yang 50 meter itu terlalu Overpowered...

    Nilai dari saya : 6/10

    OC : Renggo Sina.

    ReplyDelete
  2. Sekuat apapun satu OC, pas seleksi pendaftaran kan udah dibatasi jangan sampai "terlalu dewa". Setidaknya batas kekuatan di charsheet juga diterapkan secara konsisten dalam ceritanya.

    Kalau memang tantangan prelim terlalu "dewa" untuk OC manapun, saya lebih suka pendekatan yang taktis dan cerdas, memanfaatkan medan dan kelemahan2 musuh dan "modal2" yang ada. Bukan memodif medan jadi lebih lemah atau OC yang jadi terlalu dewa demi mengimbangi "dewa" secara langsung.

    Karena Sungi termasuk tipe "bukan" yang ke-2, nilainya 5/10. Untung kebantu OC2 lain termasuk Chubox, kalau nggak pasti sama dgn nilai dari saya utk Kumirun.
    OC: Vajra

    ReplyDelete
  3. Terimakasih bang mocha dan andry ^^
    agak terlalu overpower yah? Emm sbenernya kekuatannya emang terlalu overpower tp memiliki kelemahan yg cukup fatal yaitu cuma satu jam dia bisa berubah seperti itu, selanjutnya ia bakal tertidur.

    Yah terimakasih sudah mampir ^^

    ReplyDelete
  4. Dan juga tambahan, saya gak bikin Sungi berubah menjadi yg lain juga karena batas waktu miliknya. Ia hanya akan meniru sosok yg paling berguna ^^ bukan sekedar orc atau semacamnya. Dia tipe jika musuh lemah dia lemah, musum kuat dia kuat. Dia bagai cermin yg rapuh ^^

    ReplyDelete
  5. Oic, kalau begitu saya revisi nilainya 5+1=6. Kumirun juga kasusnya mirip dgn ini btw, main dewa tapi durasinya cuma 10 menit, abis gitu dia sbnrnya totally helpless. OC: Vajra.

    ReplyDelete
  6. '-chi' ini emang verbal ticnya Sungi ya? Kok ga muncul pas ngomong ke maid? Btw dia ngapain nanya kamar mandi di awal?

    Kenapa nama gurunnya berubah jadi Derada?

    Dialognya masih agak kaku, battlenya masih kurang berkesan buat saya. Terlebih habis Sungi berubah jadi copy Tamon Rah, rasanya dibuat jadi kegampangan amat, ga ada momen yang bikin tantangan berarti

    Bagian akhir obrolan Tamon Ruu sama Hewanurma kok kayak non sequitur sama entrinya sendiri (ga nyambung)

    Dari saya 6. Deadliner buffer -1, jadi nilai akhir dari saya 5

    [OC : Dyna Might]

    ReplyDelete
  7. Mata sungi melotot, wajah cantiknya, ditambah belahan yang menakjubkan di dada wanita itu. << keknya ini kalimatnya rada keputus. 'yang menakjubkan di dada wanita itu (menariknya) atau (membuat terangsang) atau apa?

    "meski dadamu rata" > ini ga dianggap sebagai sexual harassment ya? ^^; gw agak heran aja napa malah justru si Maida tersipu. atau well, mgkn aja memang dia ga kebal pujian sih.

    "Aku rasa kau hanya bisa mengalahkan beberapa orc, chi" < kapan disebut adanya Orc? sebelumnya ga ada tulisan tentang Orc, yang ada cuma monster aja.

    euh... ada apa ini? kenapa tiba2 Sungi benci sama Maida? tiba-tiba banget dan kayaknya ga dijelasin lagi @_@

    trus itu mereka tahu darimana harus ngancurin menara kembar bersamaan? pasukan Alforea cma bilang hancurkan menara.

    gw ngerasa Sungi di sini cma sebagai distraction di battle. dan keliatannya dia ga begitu susah payah lawan Tamon Rah padahal sebelumnya sempat ketakutan. overall gw bahkan ngerasa karakternya kayak ga punya pendirian akan sifat masing2...


    nilai 6

    OC gw: Kii

    ReplyDelete
  8. Kok di akhir makin renggang-renggang ya? Apa masalah pas kirim?

    "Apa kau buta? Aku juga melihatnya!" ini apa bukan seharusnya "Apa kau pikir aku buta? Aku juga melihatnya!" Konteksnya si prajurit memberitahu komandannya soalnya .___.

    Ke empatnya menelan ludah mendengar ucapan komandan.  -> agak2 bingung ngebayangin si kotak nelen ludah wkwk

    Btw kalo bulannya jatuh, asumsi ukuran bulan ini hampir sama dengan bulan kita, harusnya udah nggak sekedar tsunami pasir (?) dan ngehasilin kawah seratus meter. Global Extinction level itu :"

    Penutupnya agak aneh, irrelevan kalo kubilang. Udah enak padahal kalo ditutup dengan hilangnya seluruh peserta XD kocak juga si chubox malah ditendang pas mau jadi monster wkwk. Tapi malah ada Nurma sama Ruu yang nongol gaje cuma buat ngobrol.

    Agak kecewa juga pas sungi langsung jadi Tamon Rah, gila amat. Ini kayak bikin cerita yang intinya 'asalkan misi berhasil', ga ada challenge yang berarti. Memang gak jelek, tapi ga bisa dibilang bagus banget juga. Padahal masih ada sekitar 6k lagi, banyak ruang buat improvisasi. Seandainya Sungi diperlihatkan "berubah jadi Tamon Rah"-nya itu perlu energi ekstra mungkin bisa lebih dinikmati, tapi kayaknya gak gitu deh. Ga keliatan kayak gitu.

    Terus sifatnya sungi ini agak gaje juga. Aku gatau harusnya dia ini imut, konyol, atau tipe sok keren? Karena aku bacanya dia kayak ga konsisten sifatnya. Kalo bukan gara-gara dia ini ingus jelek menjijikkan, beberapa dialog bahkan terdengar 'cool'.

    Bagian Sungi benci sama Maida gak terlalu kupermasalahin sih, walaupun plothole. Kuanggep itu bakal di-reveal di next story kalo lolos prelim.

    Yah, 6/10 lah dari aku

    ~JFudo
    ~Lo Dmun Faylim

    ReplyDelete
  9. Halo! terimakasih sudah memakai Maida :D

    Dengan lengan kirinya Sungi menekan tombol [Ya] dan tiba-tiba tubuhnya merasa aneh. Cahaya biru menyelimuti dirinya, dia menoleh ke berbagai arah. Tubuhnya terasa ringan, lalu cahaya yang menyilaukan membuat pandangannya kabur.

    Cahaya terang itu menghilang, perlahan matanya dapat melihat lagi. Bangunan tinggi terlihat jauh di depannya, banyak manusia dan makhluk aneh di sekitarnya.

    ^ Kalimat ini harusnya digabung saja? di awal-awal entah kenapa kalimatnya jadi banyak yang dibuat paragraf baru padahal itu masih bisa disambung karena masih satu adegan.


    Suara seorang wanita cantik membuatnya terfokus pada pemilik suara itu.
    ^ Entah kenapa jadi tidak baku kalimatnya IMO

    "Iya, tapi aku gak ingat, chi. Yang lebih penting kau manis sekali, untukmu sebuah pengecualian, meski dadamu rata tapi kau adalah gadis yang sangat manis, chi."

    Pipi Maida merona merah, ia tertunduk malu.

    ^ ini kalimat yang paling wao dalam cerita ini =)) saya jadi penasaran kenapa chi sepertinya kenal Maida.

    KOMANDAN KOMENTARMU KE EMPAT ORANG INI SAMA SEKALI ENGGAK MEMBANGKITKAN MORAL MEREKA, MAAH MEMBUAT CIUT.

    Ah dan sepertinya saya paham kenapa sungi bisa benci Maida, karena dia sadar kalau Maida ini laki-laki karena itu dibilang 'menipu?' wkwkwk.

    Ada beberapa dialog yang saya bingung siapa yang ngomong.

    Adegan sungi jadi Tamon Rah keren, tapi benar seperti komentar di atas-atas saya entah kenapa terkesan 'biasa saja' padahal seharusnya ini jadi adegan kunci, dialog komandan dan beberapa karakter rasanya masih kurang buat dapat 'dampak'. Dan iya, jadi terlalu overpower, andai saja meniru Tamon Rah tapi tetap ada batasan (misal hanya bentuk, tapi kekuatannya tidak bisa ditiru) itu mungkin masih bisa di terima.


    Nilai dari saya 6/10
    (Maida York)

    ReplyDelete
  10. Anjir Tamon Ngus #KREK

    Pertama baca, reaksi pertama saya "dialog, dialog everywhere". Mungkin kepengaruh style saya sendiri yang sebisa mungkin menghindari dialog beruntun secara berkepanjangan; kalau sampai memunculkan tanda tanya siapa aja yang ngomong imo udah patut dipertanyakan efektifnya dialog beruntun itu. Selain itu, ada yang nggak beruntun pun kadang masih rancu karena nggak ada arahan siapa yang bicara. Yang paling menonjok, iya, menonjok, di saya— [ "Itu bulan kan? Ia jatuh? Lariii ...." Felly dan Maida berlari dengan kencang, meninggalkan Sungi yang berlari dengan lambat. ] Siapa yang bilang itu? Felly? Maida? Kesannya kayak ada suara kelima yang terdengar dari atas terus mereka langsung lari gitu aja, gitu :'|

    Penulisan dialog dan overallnya juga masih terasa agak kaku, dan kayak katanya mbak (mas) Maida, mungkin saya nggak seharusnya komentar banyak-banyak soal cara nulis juga, tapi terasa aja ada beberapa bagian tertentu yang sebenernya masih bisa dijadiin satu paragraf tapi malah dipecah. Strukturisasi paragraf yang bagus sangat membantu di pacing, lho . .)/

    Soal ke-OPannya Tamon Ngus sudah disebut bolak-balik jadi saya nggak akan ngulangin lagi.

    6/10 ya Ngus. Konsep karaktermu itu lucu banget, btw - terinspirasi shape-shifting slime ya =))

    ~Stellene

    ReplyDelete