15.5.15

[PRELIMINARY] WILDAN HARIZ - THE MOST LOGICAL COURSE OF ACTION AT THIS JUNCTURE


WILDAN HARIZ THE MOST LOGICAL COURSE OF ACTION AT THIS JUNCTURE
Penulis: Wildan Hariz


I
SELAMAT DATANG

Dinding antarmuka hologram berwarna biru muda dan hitam muncul di hadapan Wildan. Kini semua yang ia lihat tidak lagi seperti kafe tempatnya menunggu Yuni untuk makan malam. Semua ini gara-gara surel misterius yang ia buka sore itu.

Hologram lain muncul di hadapan Wildan, menampilkan data berbentuk angka nol dan satu. Angka-angka tersebut kemudian mengambil bentuk seorang gadis manis berpakaian pelayan.

"Gwaaah! Kau ini siapa!?" tanya Wildan yang terkejut dengan kemunculan gadis itu.

"Selamat datang di Alkima, Tuan Wildan Hariz. Saya Kathrine Daemon, pemandu Anda. Dengan menerima surat dari Yang Mulia Tamon Ruu, Anda telah resmi diundang menjadi salah satu pemain dalam permainan Battle of Realms."

"Hah? Permainan? Apa maksudnya ini!? Bukannya aku sedang berada di kafe Antic?" Wildan tidak bisa menyembunyikan ekspresi kebingungannya. Ia menggaruk-garuk kepalanya sendiri. Pemandangan angka-angka yang ia lihat di sekitarnya tidak terlalu membuatnya nyaman. Jangan-jangan ini semacam fitur baru di kafe ini.

"Ya, permainan Battle of Realms. Dan tidak, ini bukan kafe Antic. Sekarang Anda berada di Alkima, di ruang penghubung antar-dimensi," jawab gadis berambut ikal sebahu itu sembari tersenyum. "Kami sudah memindai memori dan data pertarungan Anda. Kini Anda dapat melakukan login dengan data tersebut."

Sebuah amplop surat muncul di tangan gadis yang mengaku bernama Kathrine Daemon itu. Amplop surat itulah yang tiba-tiba muncul dari surel yang Wildan terima. Tidak jelas dari mana asalnya, sama seperti si gadis yang muncul begitu saja.

Wildan masih mencoba mencerna kata-kata Kathrine. Ia mengingat-ingat lagi apa sebelumnya ia pernah berkenalan dengan yang bernama Tamon Ruu. Namun semakin ia pikirkan, nama itu semakin asing baginya. Dilihat dari cara Kathrine menyebutnya, sepertinya ia adalah orang yang sangat penting. Apa itu undangan dari semacam raja?

Di tambah lagi, ia bahkan tak tahu permainan macam apa Battle of Realms yang Kathrine sebut ini. Dari namanya, sepertinya semacam permainan pertarungan. Namun tetap saja, Wildan tidak menyangka akan menerima undangan berupa surel aneh yang mampu mengubah sebuah kafe menjadi ruangan sempit yang sama anehnya dengan surel itu.

Kalau dipikir-pikir, ada beberapa hal yang menarik perhatian dari perkataan Kathrine. Wildan pun bertanya lebih lanjut, "Memori? Apa ini berarti aku akan mendapatkan ingatanku kembali?"

"Tentu, Tuan. Segalanya telah dipersiapkan untuk menyambut Anda. Semua atas perintah Yang Mulia Tamon Ruu." Senyum masih saja tersungging di wajah Katherine saat ia mengatakannya.

Wildan tak mengerti bagaimana gadis bernama Kathrine ini menemukan memori tentang dirinya. Entah pula siapa itu Tamon Ruu yang ia sebut lagi itu. Yang jelas, lupa ingatan tengah menjadi salah satu masalah utamanya saat ini.

Sejauh yang ia ketahui, dulu ia tersadar begitu saja di sebuah taman bermain tanpa bisa mengingat masa lalunya. Di taman itulah ia bertemu dengan Yuni, orang yang merawat lukanya dan menelpon ambulans yang membawanya ke rumah sakit.

"Tu-tunggu. Tadi kau juga bilang pertarungan. Memangnya pertarungan macam apa yang pernah aku lakukan dulu? Jangan-jangan dulu aku berandalan yang suka berkelahi, ya?"

Amplop yang Kathrine pegang berubah menjadi sebuah tudung saji. Ia pun menjawab, "Semuanya akan terjelaskan saat Anda melakukan login. Seluruh data pribadi Anda telah tersimpan di sini."

Tudung saji yang dibuka Kathrine menunjukkan sebuah memory chip dan sebuah amplop lain. Dua benda berukuran kecil itu sangat kontras dengan alas persegi yang dibawanya. Amplop tersebut lalu melipat-lipat dengan sendirinya, membentuk papan persegi hologram yang lebih besar.

Papan hologram di hadapan Wildan kini menunjukkan kotak-kotak warna-warni, dibingkai oleh garis tepi berwarna putih. Dua buah persegi panjang terpampang di tengahnya. Persegi panjang pertama berisi namanya sendiri, "Wildan Hariz". Sedangkan, yang kedua berisi bintang-bintang yang berjajar.

"Oh. Ini seperti login ke sebuah situs internet saja, ya. Biar kuperjelas, kalau aku melakukan login, berarti aku akan mendapatkan ingatanku kembali?" tanya Wildan sambil menunjuk ke arah papan.

"Ya." Kathrine mengangguk. "Namun perlu diingat bahwa pikiran seorang pemain tidak dapat menampung dua set memori berbeda sekaligus. Jadi, memori Anda yang sekarang akan terhapus."

"J-Jadi kau mau bilang kalau aku harus memilih salah satu, memoriku saat ini atau masa lalu!?"

"Begitulah, Tuan."

Dua pilihan sulit. Meski Wildan memilih menjaga ingatannya yang saat ini, ia mungkin akan melewatkan kesempatan mengetahui siapa dirinya di masa lalu.

"...." Wildan menggaruk kepalanya. "Boleh aku minta waktu sebentar? Ini agak merepotkan. Aku harus memikirkannya dulu."

"Silakan, Tuan."

Wildan kemudian berjongkok. Ia berpikir keras. Ada bermacam-macam kekhawatiran yang terlintas di pikirannya. Di satu sisi ia memang ingin ingatan masa lalunya kembali. Namun di sisi lain, ia juga tidak ingin kehilangan memorinya yang sekarang. Beberapa menit pun ia habiskan untuk memikirkan hal ini.

"Eh, namamu Kathrine, kan? Bagaimana caranya aku bisa kembali ke kafe Antic? Begini, sepertinya ini bukan waktu yang tepat. Aku sedang di tengah-tengah janji dengan seseorang."

Pakaiannya yang ia kenakan saat ini memang sudah rapi dengan kemeja dan rompi. Rambut hitamnya mengkilap. Wajahnya dihiasi kacamata. Ia juga mengenakan bawahan celana bahan dan sepatu kulit. Tentu saja, siapapun yang berpenampilan seperti itu pasti punya janji yang sangat penting baginya.

"Dalam keadaan normal, Battle of Realms memperkenankan Anda untuk logout kapan saja. Tapi—"

"Tapi?"

"Undangan Tamon Ruu yang Anda terima bersifat khusus. Jadi Anda tidak diperkenankan meninggalkan tempat ini sebelum melakukan login. Tapi Anda tidak perlu khawatir. Karena perbedaan aliran waktu, Anda masih tetap bisa pulang ke dunia Anda dengan waktu yang sama dengan pada saat sebelum Anda melakukan login."

Lagi-lagi Wildan berusaha mencerna penjelasan Kathrine yang panjang lebar. Mendengar penjelasannya sedikit membuat Wildan tenang. Ia bertambah yakin akan pilihan yang akan dibuatnya sekarang. Sangat banyak sebenarnya yang ingin ia tanyakan pada Kathrine tentang bagaimana permainan ini bekerja. Tapi Kathrine kemudian mengatakan bahwa itu akan dijelaskan lebih lanjut nanti.

"Baiklah. Kalau memang ini bisa mengembalikan ingatanku, aku siap." Tatapan mata Wildan kali ini menunjukkan kesungguhan.

"Kalau begitu, Silakan tekan tombol ini." Kathrine menyodorkan papan hologram kepada WIldan. Tanpa ragu lagi, Wildan menekannya. Toh ia sudah pikirkan matang-matang. Ia tak ingin melewatkan kesempatan ini.

Papan yang ia tekan memancarkan sinar yang terarah pada wajahnya. Secara bertahap, tubuh WIldan pun mulai bersinar seluruhnya.

"...."

Yuni, Irvan, Emma, Trisda, Rima, Ira, Kariyana, semua nama teman-temannya yang ia kenal saat ini perlahan terlupakan. Rangkaian memori baru memenuhi benaknya. Malahan, mungkin kurang tepat untuk disebut baru, karena itu sejatinya adalah memori masa lalunya.

Berbagai pemandangan terbersit dalam pikiran Wildan. Penyerangan para dark fiend ke Desa Valtessa tempat tinggalnya dulu, datangnya delapan warrior ke desanya, bahkan latihannya bersama Kanji untuk menjadi warrior yang lebih kuat. Semuanya. Ia kini memperoleh ingatan semasa tinggal di dunia asalnya, Reverse.

"Selamat, Tuan Wildan Hariz. Anda telah berhasil melakukan login."

Tidak ada jawaban dari mulut WIldan. Pancaran cahaya dari tubuhnya memudar. Setelah terlihat berusaha mengumpulkan kesadarannya, Wildan tiba-tiba berteriak sambil menjambak rambutnya sendiri, "A-AAAAAAAAH! Aku ingat! D-D-Dragola! Ya! Dimana para Dragola itu!?"

"Dragola" yang disebutnya secara refleks adalah nama sebuah keluarga warrior di Reverse. Seharusnya Wildan dan 'saudara-saudara'-nya dari keluarga Florian sedang bertarung menjalani sebuah turnamen warrior khusus.

"Saya tidak diberi informasi tentang Dragola, Tuan. Saya hanya berkewajiban memandu Anda menuju Battle of Realms," jawab Kathrine.

"Yang jelas, aku harus cepat kembali ke Reverse. Para dark fiend dan Dragola itu tidak akan terbasmi dengan sendirinya. Reverse membutuhkanku!" ujar Wildan sambil memegangi kedua pundak Kathrine.

"Sudah saya katakan tadi. Aliran waktu di sini berbeda dengan dimensi tempat Anda berasal. Jadi Anda tidak perlu khawatir," Kata Kathrine menenangkan.

Pikiran WIldan tersentak. Campuran ingatan tentang masa lalunya sebagai warrior dan tentang Battle of Realms masih belum terintegrasi sepenuhnya.

Tidak hanya mempengaruhi pikirannya, data memori yang baru saja ia dapatkan membuat penampilan fisik Wildan berubah tanpa ia sadari. Sepasang gigi taring terlihat menghiasi rahang atasnya. Rambutnya yang sebelumnya berwarna hitam kini berubah menjadi cokelat dan lebih panjang.

"… m-maafkan aku, Kathrine. Aku seharusnya lebih tenang."

Gadis itu menggeleng, "Tidak apa-apa, Tuan. Anda tidak perlu minta maaf." Ia lantas menjentikkan jarinya.

Muncul macam-macam angka aneh yang mengisi ruangan sempit itu. Tubuh Kathrine dan Wildan sama-sama melayang di dalamnya. Sepertinya gravitasi tidak lagi berlaku di sana.

 [Loading data ....]

II
ALKIMA BIRU

Berbagai angka di ruangan tempat Wildan Hariz dan Kathrine Daemon melayang saat ini berubah menjadi pintu-pintu. Kathrine melipat kembali papan hologram yang dibawanya sejak tadi, menjadi bentuk amplop seperti semula. Kemudian amplop itu terbang, masuk ke salah satu pintu yang ada.

Perlahan, pintu-pintu lain pun terbuka. Masing-masing memancarkan cahaya dari dalamnya. Udara segar mengalir ke luar. Hamparan lapang luas dapat terlihat saat pintu-pintu itu terbuka dan memudar. Langit—bukan, angkasa yang menaungi tempat itu begitu jernih dan gemerlap dengan taburan bintang. Pemandangan pun berganti menjadi lebih menyegarkan.

"Whoaaa! Kita terbang!" Wildan menundukkan kepalanya, melihat ujung kakinya yang tidak menyentuh tanah.

"Alkima, tempat kita berada saat ini adalah satelit biru Alforea. Sekarang saya akan mengantar Anda ke tempat berkumpul pemain lainnya," ujar Kathrine. Gadis berseragam maid itu mengatur koordinat hologram yang muncul begitu saja dari jemari tangan kanannya.

Tubuh Wildan dan Kathrine melayang menuju sebuah bagunan dengan atap berbentuk kubah raksasa, tidak jauh dari tempat mereka muncul. Mereka terbang menembus bangunan itu layaknya masuk ke dalam air. Saat mendarat, sampailah mereka di sebuah ruangan luas berupa lobi.

"Wah. Luas sekali! Oh! Benda apa ini? Gerbang apa pula itu!? Satu orang, dua orang, tiga orang—banyak orang!" seru Wildan saat melihat sekitarnya.  Ia tak bisa menyembunyikan kekagumannya akan tempat itu. Sangat jelas terlihat di matanya yang berbinar. Teknologi di sini terlihat sangat maju—sangat berbeda dari Desa Valtessa, tempat asalnya.

"Anda telah memasuki Alkima Plaza, dikenal juga sebagai ruangan utama lobi antar dunia. Pemain di sini datang dari berbagai dunia dengan cara yang bermacam-macam."

"Oh begitu. Jadi dimana Yang Mulia Tamon Ruu yang kau bicarakan itu?" tanya Wildan lagi tanpa melepaskan pandangannya dari hal-hal baru di sekitarnya.

"Yang Mulia Tamon Ruu akan menyampaikan pengumuman pada semua pemain. Saya akan memberitahu Anda jika tiba saatnya."

Kathrine melanjutkan penjelasannya, "Sampai di sini Anda diperkenankan untu secara leluasa berkeliling di Alkima. Anda disarankan untuk menunggu di Dining Room. Di sana Anda akan dijamu dengan makanan yang bisa Anda pesan. Alternatif lainnya, Anda dapat melakukan latihan di Alkima Training Ground dengan fasilitas yang ada."

"Wow! Benarkah? Walaupun singkat, pemandangan dan 'penerbangan' yang kualami tadi membuatku lapar. Aku ingin ke Dining Room saja."

"Anda bisa menuju pintu paling kanan di ruangan ini untuk ke Dining Room. Jika Anda tersesat, Anda bisa melihat layar penunjuk arah yang ada di ruangan ini."

"Baiklah. Aku mengerti. Terima kasih, Kathrine."

Kathrine lalu memberikan sebuah benda kecil pada Wildan. Bentuknya segitiga dan berwarna biru muda.

"Ini—"

"Bagian dari memori Anda," timpal Kathrine sambil tersenyum. Beberapa penjelasan singkat ia sampaikan mengenai benda itu, sebelum akhirnya ia pamit, "Kalau begitu, saya permisi dulu."

Tubuh Kathrine berubah menjadi angka-angka berwarna hitam dan biru, kemudian ia pun menghilang dari ruangan luas itu.

[Loading data ….]

III
GADIS ES

Sudah 15 menit lebih Wildan menghabiskan waktu mengotak-atik benda yang ia terima dari Kathrine, pelayan pendampingnya. Kathrine bilang, benda itu adalah pet container. Artinya, tempat menyimpan hewan peliharaan. Ia juga mengatakan bawa benda itu dapat disematkan pada bagian manapun di tubuhnya.

Wildan memuntuskan untuk menyematkannya ke dalam tempat batu hijau di pergelangan tangan kanannya. Ia tak menyangka akan begitu senang saat mendapatkan benda ini.

Senyum menghiasi wajah Wildan saat memandangi dua hewan yang berada di dalam pet container. Ia sangat menyayangi hewan-hewan itu. Yang satu adalah harimau Bengal putih bernama Mao, sementara yang satu lagi adalah elang emas Asia bernama Alva.

Hehehe. Aku senang kalian baik-baik saja. Mao, Alva. pikirnya. Tapi, Kathrine bilang aku belum bisa memanggil kalian untuk keluar dari benda ini. Ia menggaruk-garuk kepalanya. Memang dasar penasaran, cara mengeluarkan merekalah yang ia ingin ketahui dari benda itu sejak tadi.

Rasanya sudah lama sekali ia tidak melihat Mao dan Alva. Memorinya samar-samar. Dari pembicaraannya dengan Kathrine sebelum tiba di Alkima, ia sadar bahwa ada bagian dari ingatannya yang hilang, ditukar dengan ingatan masa lalunya.

Terasa aneh memang. Ia dengan jelas mengingat dan menyadari bahwa ingatannya telah ditukar untuk mengikuti permainan bernama Battle of Realms ini, tapi ia tetap menyetujui pertukaran itu. Pasti ada sesuatu dengan permainan ini.

Sebenarnya permainan apa ini? Apa orang yang disebut Yang Mulia Tamon Ruu itu mengenalku di masa lalu?

Tenggelam dalam pikirannya, Wildan berjalan menyusuri Alkima Plaza. Banyak booth yang berjajar di sini. Mereka sepertinya menjual beragam hal pula.

Bahkan, ada beberapa dari mereka yang ada di sini, yang berbentuk tidak seperti manusia. Entah mereka makhluk apa. entah pemain juga atau bukan. Sejauh ini Alkima Plaza menyuguhinya dengan berbagai hal menarik yang tak pernah ia bayangkan.

"Terima kasih, Paman."

Suara seorang gadis terdengar dari arah depan Wildan. Namun Wildan terlalu sibuk melihat ke arah hal yang menarik pandangannya di sisi kiri. Alhasil, tabrakan pun tak dapat terhindarkan dengan sang pemilik suara.

Si gadis terjatuh karena tabrakan itu. Ada noda berwarna yang mengotori pakaiannya yang berwarna putih-merah. Noda itu memanjang dari baju sampai rok mini yang dipakainya. Tumpahnya es krim berukuran jumbo yang baru dibelinya itulah sumber nodanya.

"Aduduuh. Es krimku … pakaianku jadi kotor …." ujar si gadis. Ia kemudian mengalihkan pandangan ke orang yang menabraknya. Matanya menatap ngeri penampilan Wildan. Sontak gadis itu berdiri.

"AAAAAAH! He-Hentai!"  teriak gadis itu sambil menunjuk.

Penampilan Wildan memang terkesan seadanya. Dengan rambut cokelat tua acak-acakan, ia bertelanjang dada. Tangannya diselimuti kain yang menyerupai spandeks berwarna putih. Bagian bawah tubuhnya hanya ditutupi kain pendek berwarna hijau dan pelindung betis. Ia bahkan tak memakai alas kaki.

Ia baru sadar bahwa itu adalah pakaian yang ia kenakan saat latihan untuk menghadapi turnamen keluarga warrior yang diadakan di tempat asalnya.

Wildan menjulurkan tangannya ke depan, berusaha menenangkan gadis itu. Namun apa daya, usahanya sia-sia. Hal berikutnya yang ia tahu adalah terbangnya barang-barang dagangan ke arah dirinya.

"T-T-Tungg-gu. Tunggu dulu! Maaf, apa kau bilang!?"

"Dasar kamu, hentai. Apa yang kamu pikirkan dengan penampilan seperti itu. Beraninya kamu menjatuhkan es krimku!" Nada bicara gadis itu tenang, namun disertai bentakan di bagian akhirnya. Ia tak henti-hentinya melempar benda dagangan apapun yang ia ambil dari setiap booth yang dilewatinya. Pemilik booth pun hanya bisa melongo, tak sempat bereaksi melihat tingkahnya.

"AAARGH! Hei! Kubilang tunggu dulu! Siapa itu hentai? Namaku Wildan! Bukan hentai!"

Gadis itu tak menghiraukan suara Wildan. Semakin lama, barang-barang yang dilempar gadis itu semakin tak masuk akal. Dari mulai buah-buahan, botol ramuan, dinamit, pisau, lampu, batu akik, sampai tabung gas elpiji.

Merasa kehabisan barang, gadis berambut krem itu mulai mencari barang lain yang bisa ia gunakan, Tatapan mata ungunya sedingin es. WIldan seakan menggigil dibuatnya. Sudah sangat jelas dari reaksinya walaupun ia tak banyak bicara, gadis itu benar-benar marah.

Amarah gadis itu seakan semakin menjadi setiap kali Wildan berhasil menghindari beberapa barang yang dilempar ke arahnya. Sesekali bahkan ia harus mengaduh saat salah satunya mengenainya dengan telak.

Tapi hal itu tidak menghentikannya untuk terus menghindar.  Ia harus terus bergerak. Ia sempat hampir menabrak seorang gadis pirang cerah berseragam. Untungnya lelaki bersorban yang menemani si gadis berhasil bermanuver dan mengamankan sang gadis dengan sigap.

"Kau tidak apa-apa, mai waifu?" tanya lelaki itu. Nada khawatir terdengar darinya meski ekspresinya tak terlihat, tertutup topeng yang melekat di wajahnya.

"xopowo. T-Tidak apa-apa. Terima kasih," jawab si gadis pirang yang masih setengah terkejut atas kejadian itu. "Apa itu tadi?"

Pengejaran yang dilakukan si gadis berambut krem membuat Wildan menjelajahi beberapa bagian Alkima Plaza. Bunyi benda-benda jatuh menambah kebisingan yang menghalangi teriakan Wildan untuk menyuruh gadis itu berhenti. Otomatis, mereka menjadi pusat perhatian.

Tanpa sadar Wildan dan si gadis yang mengejarnya memasuki sebuah ruangan bertuliskan "Dining Room". Tulisan itu terpampang jelas di atas pintu ganda ruangan.

Di dalamya, seorang pelayan yang menyambut mereka bahkan tidak mereka hiraukan. Sepintas Wildan merasa wajah pelayan itu menyerupai Kathrine. Aroma makanan pun sempat menggodanya. Tapi ia tidak punya waktu memikirkan semua itu.

"Ah. Ada orang-orang baru lagi yang datang. Heeei! Mau bergabung makan bersama kami!?" Seorang gadis berkulit agak gelap tengah berada di sebuah meja bersama dua orang lainnya.

"Hei, Bun, Radith. Kalian lihat itu!? Hei! Hei! Liona pada Radith dan Bun. Halooo!?"

Gadis bernama Liona itu berusaha mengalihkan perhatian dua teman satu mejanya yang sedang asyik melahap hidangan yang ada. Saking asyiknya, mereka sampai-sampai tidak menyadari Liona berbicara pada mereka selama beberapa detik.

Apa ini, bun ... perasaan aneh. Apa rasa ini datangnya dari perutku yang masih belum kenyang ini ya, bun, gumam anak gemuk bernama Bun itu dalam hati. Tudung biru bermotif bintang dan rambut poni hitam yang menutup wajahnya menyembunyikan ekspresinya.

Bun lalu menanggapi Liona. Mulutnya masih setengah terisi makanan. "Ah? Maaf, Liwona. Keasyikan mwakan, bun. Hahaha! Apa tadi, bun?"

"Hah? Ada ribut-ribut apa, nih?" tanya pemuda bertopeng sebelah yang dipanggil Radith. Ia juga sebenarnya merasakan hal serupa dengan Bun, Sensasi apa ini … sepintas ada energi listrik yang tidak biasa tadi.

"Yah. Mereka keburu pergi," kata Liona sambil melihat pintu keluar di sisi lain yang sudah terbuka. "Tadi ada dua orang yang kejar-kejaran lewat sini!"

Sementara beberapa pelayan membereskan sedikit kekacauan timbulkan di Dining Room, Wildan dan si gadis pengejar sudah sampai di ruangan Alkima Training Ground. Ada banyak peralatan latihan di sini, di antaranya ada sansak, alat angkat besi, treadmill, bahkan TRX, semacam alat memelar pada dinding yang kebanyakan orang tidak mengetahui namanya.

Salah satu sansak di sana terlempar jatuh oleh pukulan seseorang. Sansak yang jatuh menghilang, kemudian muncul sansak lain yang menggantung di tempat yang sama, siap sedia untuk dipukul. Orang itu lalu bersiap melakukan pukulannya sekali lagi. Ia terlihat sangat giat berlatih tanpa menghiraukan adegan kejar-kejaran yang berlangsung di dekatnya.

Tidak jauh dari sana juga terdapat sebuah tempat bertuliskan "Battle Simulator". Ada beberapa orang yang sedang asyik menonton pertarungan latih tanding di dalamnya dari layar yang terpampang di luar.

"Hei ayolah. Bertarunglah pada tempatnya, kalian berdua!" ujar seorang penonton yang tersenggol. Wildan dan si gadis tak luput mengacaukan keasyikan mereka semua.

Melewati itu semua, tanpa dirasa, Wildan ternyata berlari ke arah yang salah, yakni pojok ruangan. Ia berpaling, "Gawat … gigih sekali gadis ini."

"Hah … hah … hah … baiklah. Siapa namamu tadi? Wildan, ya? Pokoknya kamu harus mengganti es krim dan pakaianku." Agak mengejutkan melihat gadis itu memiliki stamina yang tinggi, walaupun ia terlihat kelelahan gara-gara kejar-kejaran tadi.

"Mengganti pakaianmu!? Memangnya kau tidak bisa ganti pakaian sendiri apa."

Gadis itu menyanggah, "Bukan itu maksudnya, dasar hentai! Belikan aku es krim dan pakaian baru!"

"Tolonglah. Aku tidak punya uang." Wildan menampilkan senyum kecut.

"Kalau tidak punya uang, lihat-lihat kalau jalan! Jangan merusak kesenangan orang!"

Seiring memuncaknya amarah, si gadis mengeluarkan bongkahan es dari tangannya yang berpendar. Ukurannya sangat besar, sebesar layar penunjuk arah di Alkima Plaza. Mungkin kemarahannyalah yang membuat es tersebut sebesar itu.

Apaaa-apaan ini!? Tertiimpa yang begituan pasti sakit sekali. Wildan berkeringat dingin. Ia mulai panik. Sontak saja ia mengayunkan kakinya.

Serangan es gadis itu berhasil dihalau oleh sebuah tendangan beraliran listrik. Wildan tak menyangka akan menggunakan kemampuan listriknya. Energi listrik yang dikeluarkannya pun cukup kuat, sehingga pecahan-pecahan es yang berterbangan ke sekitar masih dialiri listrik.

Pecahan-pecahan berbentuk balok tersebut menimpa alat latihan dan benda elektronik lainnya yang ada di belakang Wildan. Barang-barang itu meledak. Keduanya sama-sama beruntung tidak terkena, hanya terempas sedikit gelombang kejut ledakan. Bunyi ledakan itu membuat para penonton Battle Simulator menoleh.

[Loading data ….]

IV
PERKENALAN SINGKAT

Usai kejadian itu, lingkungan sekitar terlihat kotor, bahkan ada api masih menyala, membakar lantai. Namun tidak  lama. Lantai yang kotor kini berubah bersih, seperti tak pernah dikotori. Api pun padam tanpa harus disiram air. Alat dan benda yang meledak tadi juga pulih seperti semula.

Mulut Wildan dan si gadis menganga melihat benda-benda yang pulih dengan sendirinya. Mereka terduduk dengan wajah tidak mengerti di depan pemandangan itu.

Apa-apaan tempat ini, pikir mereka berdua.

Orang-orang di sekitar mulai berkumpul karena kaget dengan ledakan tadi. Tapi melihat semuanya berangsur membaik, mereka mulai membubarkan diri. Mereka tak perlu merasa khawatir.

"Kemampuan es-mu hebat," ujar Wildan tiba-tiba. Ekspresi agak heran masih melekat di wajahnya.

"Listrikmu juga. Sampai terlihat mata begitu alirannya. Belajar dari internet juga?"

"Internet? Siapa lagi itu? Gurumu?"

Gadis itu memutar bola matanya, "Sulit dipercaya zaman sekarang ada orang yang tidak tahu internet."

"Mana aku tahu! Bukan salahku. Seterkenal apapun dia, yang jelas di tempat asalku tidak ada yang namanya begitu. Setidaknya tidak di Desa Valtessa yang sebagian besar nama penduduknya sudah kuhapal."

"Bukan begitu, tahu. Hubunganku dengan internet tidak seperti yang kamu pikirkan." Si gadis memijat keningnya sendiri, "Duh. Ya ampun. Kamu ini kurang gaul atau apa."

"Kenapa memangnya? Kau tak perlu malu kalau memang ada yang mengajarimu. Aku juga punya guru. Namanya Kanji. Dia menyebalkan, sih. Tapi kuat." Tampang bangga mengiringi ujaran Wildan tentang Kanji. Orang itu selalu memanggil Wildan dengan sebutan "bocah". Tapi bagaimanapun, Wildan mengakui kekuatannya.

"Bodoh. Pembicaraan ini nggak ada habisnya."  Gadis itu berdiri. "Lupakan sajalah semua kejadian tadi. Aku capek."

"Hohoho! Kau baik sekali. Terima kasih, ya!" ujar Wildan tersenyum lebar. Sepasang taring dapat terlihat dari dalam mulutnya, namun ia tak tampak mengerikan bagi gadis itu.

"…." Dasar, polos sekali orang ini. Dan gerakannya lincah seperti monyet, pikir gadis itu. Ia kemudian berkacak pinggang, "Tapi kalau kau sudah punya uang, kau tetap harus membelikanku es krim dan pakaian baru."

"Heh, itu sih bukan melupakan namanya …."

"Oh ya. Siapa namamu tadi? Wildan? Namaku Ariana Maharani. Panggil saja Aria."

"Ya. Namaku Wildan. Wildan Hariz." Lagi-lagi senyum lebar terpampang di wajahnya.

[Loading data ….]

V
PENGUMUMAN TURNAMEN

Masih di Alkima Training Ground. Dalam jeda perkenalan Wildan dan Aria, Kathrine akhirnya muncul. Seperti sebelumnya, ia muncul begitu saja dari sebuah gumpalan hologram. Pasti kemunculannya kali ini adalah untuk memberitahu tentang pengumuman yang ia katakan sebelumnya.

"Tuan Wildan, Nona Ariana, sudah saatnya pengumuman dari Yang Mulia Tamon Ruu. Sekarang saya akan mengantar Anda sekalian ke Alforea, tepatnya ke halaman kastil kota Despera."

"Loh? Aria? Kau juga?"

"Yep. Kamu keberatan?"

"T-Tidak … aku hanya penasaran berapa orang yang akan mengikuti permainan Battle of Realms ini."

Kathrine angkat bicara, "Jika Anda ingin tahu, seluruhnya terdapat 101 pemain yang mendapat undangan khusus Yang Mulia Tamon Ruu." Jemari Kathrine mulai menyentuh udara. Sebuah portal magis tercipta dari udara yang ia sentuh.

"Ng … tu-tunggu dulu. Sebelum pergi aku harus membersihkan bajuku dulu," kata Aria.

"Anda tenang saja. Saya akan membersihkan baju Anda dalam perjalanan menuju ke sana."

"Dicuci dalam perjalanan!? He-hei di sini ada aku yang laki-laki, lho. Kalau bajunya kau cuci, lantas dia mau pakai apa selama perjalanan?"

Aria memukul kepala Wildan, "Dasar hentai."

"Aw! A—pa!? Dia sendiri yang bilang!" keluh Wildan sambil memegangi kepalanya. Komentar apapun yang ia ucapkan seakan tak pernah terdengar bagus bagi Aria.

Kathrine hanya tersenyum, "Saya hanya akan mengganti data equipment Nona Aria dengan yang baru. Sekarang, silakan Anda berdua memasuki portal ini."

Portal tempat mereka masuk menghubungkan Alkima dan Alforea. Kathrine bilang Alkima adalah satelit planet Alforea, berarti seharusnya perjalanan ini melewati angkasa dan atmosfir planet. Namun pada kenyataannya, perjalanan itu sama sekali tak terasa lama. Kurang dari 30 detik, mereka telah sampai ke tempat tujuan.

Ada banyak orang yang terkumpul di sebuah lapangan luas. Lapangan itu merupakan halaman sebuah kastil yang menjulang tinggi. Wajah-wajah kebingungan terpampang pada orang-orang ini.

Wildan pun sama bingungnya. Matanya memandang sekitar. Dari ujung ke ujung lapangan diisi oleh orang dan makhluk aneh. Posisi mereka ada yang berdekatan satu sama lain, ada pula yang berjauhan.

Lantas, Wildan menoleh pada Aria yang berdiri di dekatnya. Ia tetap memakai pakaian yang sama persis, namun bersih dari noda. Tatapannya seakan mengatakan "Apa?" lengkap dengan nada suara yang dingin. Melihat itu, Wildan tak ingin mengeluarkan komentar yang tidak-tidak.

"Selamat datang di Aflorea, wahai para petualang!" sebuah suara terdengar begitu lembut dan merdu. Asalnya dari beranda kastil. Wildan dan Aria sama-sama menujukan pandangan mereka pada sumber suara itu.

Pemilik suara itu berwujud seorang gadis berambut pirang panjang nan anggun. Mata hijaunya jernih bagai permata. Kakinya jenjang dihiasi sepatu berhak. Ia berdiri di atas beranda kastil yang hanya memiliki segaris besi horizontal sebagai pegangan. Sama sekali tidak ada tanda-tanda takut jatuh darinya meski begitu.

"Siapa dia?" tanya Aria pada Kathrine yang bersebelahan dengannya

"Beliau adalah Yang Mulia Tamon Ruu."

"I-Itu Tamon Ruu!?" Aku harus bicara dengannya." sambung Wildan.

"Ah, tungg— Tuan—," kata Kathrine. Namun terlambat, Wildan sudah terlanjur berlari, membawa diri ke arah yang lebih dekat dengan beranda kastil.

Ia bisa menemukan jalur menuju pintu gerbang kastil. Tapi melewati jalan itu tidak semudah yang ia kira.

"Gwah!"

Sebuah penghalang kasat mata mencegah WIldan untuk maju lebih jauh. Wajah Wildan terlanjur menempel lekat pada permukaan penghalang yang datar layaknya kaca.

Ia pun baru menyadari ada dua pelayan yang siap siaga di sisi kanan dan kiri jalan ini. Wajah mereka mirip dengan Kathrine, tapi pakaiannya sedikit berbeda. Wildan melepaskan wajahnya dari permukaan datar penghalang.

"Boleh kuhancurkan?" tanyanya pada salah satu pelayan sambil meraba permukaan penghalang.

"Tidak."

"Kenapa?"

"Tuan Hewanurma memasang system pengaman ini dengan kekuatan magis Yang Mulia Tamon Ruu. Anda tidak dapat menghancurkannya."

"Heh, tidak dapat dihancurkan? Meremehkanku, ya?"

Baru saja Wildan mempersiapkan ancang-ancang untuk mendobrak penghalang, namun ia lihat Tamon Ruu yang sejak tadi sedang bicara di beranda kastil sudah digantikan oleh seorang kakek berambut panjang. Mungkin itu "Tuan Hewanurma" yang dimaksud si pelayan tadi.

Kakek itu berseru, "—kami akan mengadakan babak penyisihan untuk memilih para peserta terbaik yang akan berlaga dalam turnamen Battle of Realms!"

"Ha? Turnamen? Jadi Battle of Realms itu permainan atau turnamen? Dan lagi, kakek ini siapa, sih," omel Wildan.

"Di sini kamu rupanya."

Suara itu membuat WIldan menoleh ke belakang. Di sana berdiri Aria dan Kathrine.

"Ternyata kalian …. Hei Kat, barusan aku mendengar orang yang di sana itu menyebut tentang turnamen. Apa maksudnya? Kukira Battle of Realms hanya sekedar permainan."

"Benar. Seperti yang Anda dengar tadi dari Tuan Hewanurma, Battle of Realms adalah permainan yang berupa turnamen. Meski disebut permainan, tapi hadiah utama permainan ini nyata. Hadiahnya adalah segala yang diinginkan oleh pemenang Battle of Realms akan terwujud."

"Be-Benarkah!? Se-Segalanya!? Benar-benar segalanya bisa terwujud!?"

Aria mendengus, "Kamu tidak menyimak, ya. Si Kakek Hewanurma itu sudah bilang begitu kok tadi."

Kembali Wildan melihat ke arah si kakek di beranda kastil. Di belakangnya entah mengapa Tamon Ruu terlihat lesu. Kali ini ia berusaha menyimak penjelasan Hewanurma yang panjang lebar, "—hanya ada 48  peserta terbaik yang akan terpilih—"

"Empat puluh delapan? Apa mereka berniat membentuk grup idola?" respon Aria.

"Entahlah. Jangan tanya aku. Apa pula itu grup idola."

Inti dari penjelasan Hewanurma adalah bahwa seleksi peserta turnamen didasarkan pada performa peserta menjalankan sebuah misi dalam tim. Ia mewajibkan setiap peserta untuk berada dalam tim yang terdiri dari dua sampai empat orang. Itu artinya peserta tidak bisa 'memainkan' babak penyisihan sendirian.

"Dengan ini, kunyatakan babak penyisihan Battle of Realms telah dimulai!!" sahut Hewanurma dengan lantang dan penuh semangat.

[Loading data ....]

VI
TIM BARU

Sebagai warrior dari keluarga Florian, bukanlah pengalaman baru bagi WIldan bekerjasama dalam sebuah tim. Malah, dalam tim warrior Florian, ia mempunyai sangat banyak rekan, bukan—mereka menyebut satu sama lain sebagai anggota keluarga. Termasuk Jessica sang alchemist, ada sembilan anggota keluarga yang berjuang bersama WIldan dalam tim Florian untuk membasi para dark fiend di Reverse.

Kini Wildan akan dihadapkan dengan tim yang lebih kecil. Jumlahnya maksimal hanya setengah dari timnya yang dulu. Memang, Ia sudah setidaknya pernah bertarung dalam sebuah tim dengan jumlah anggota yang banyak. Tapi membentuk sebuah tim dengan anggota acak yang tidak ia kenali di lapangan ini kelihatannya bukan perkara mudah.

Apalagi, dengan tim yang anggotanya lebih kecil, ia harus menyesuaikan gaya bertarungnya. Semoga saja ia tak mendapat masalah dalam tim barunya kelak.

Ariana Maharani, kenalannya sejak di Alkima, bisa jadi merupakan kandidat terbaik untuk menjadi rekan satu timnya saat ini. Namun kenyataan berkata lain.

Setelah babak penyisihan resmi dibuka, Hewanurma dan Tamon Ruu kembali ke dalam kastil. Wildan dan Aria masih berdiri di lapang dengan tampang seadanya. Kathrine masih setia mendampingi mereka. Sesaat kemudian Aria membuka mulutnya.

"Jangan harap aku masuk tim kamu, ya."

Nadanya dingin seperti biasa. Sebelum Wildan sempat membalas, Aria sudah menyambung perkataannya.

"Kamu memang terlihat kuat. Gerakanmu juga lincah. Tapi aku nggak mau buru-buru membentuk tim dengan orang yang baru saja kukenal beberapa menit yang lalu. Lagipula—" Ia berpaling, "aku lebih suka menari dan menyanyi dibanding berkelahi. Kamu pasti bisa menduga ini turnamen macam apa, kan?"

Benar juga. Dari tadi ia baru sadar bahwa yang berkumpul di sini bukan hanya muda-mudi seperti dirinya dan Aria. Ada anak-anak, wanita, orang tua, sampai makhluk yang ia tak tahu harus masuk ke dalam kategori mana.

"Jadi apa yang akan kau lakukan sekarang, Aria? Memeriksa keadaan sekitar?" tanya Wildan.

"Yep."

"Kalau begitu, ayo."

"Nggak usah. Aku nggak butuh bantuanmu."

Dingin sekali.

"Heh, bukannya lebih menyenangkan kalau ada yang menemani?"

"Kalau nggak ya nggak," ujar Aria tak setuju. "Oh ya. Jangan lupa hutangmu, ya. Dah."

"Kau ini … masih saja … menyebalkan sekali! Hah! Ya sudah kalau itu maumu!"

Melihat Aria beranjak, Wildan mendengus kesal. Di sudut matanya, ia melihat Kathrine yang sedari tadi hanya diam menyimak. Ia hampir lupa Kathrine ada di sana.

"Oh ya. Kat, aku ingin mengeluarkan mereka berdua," minta Wildan. Ia menunjuk batu hijau di tangannya yang berisi pet container.

"Oh—saya baru saja akan menjelaskannya. Untuk memudahkan pemain, pet container dilengkapi dengan sensor perintah suara dan pikiran. Jadi, Anda dapat mengeluarkan mereka dengan memanggil nama mereka. Begitu juga dengan benda ini," Kathrine memberikan satu lagi benda kecil aneh pada Wildan. Kali ini bentuknya berupa kubik.

"Ini adalah inventory," lanjutnya. "Benda ini digunakan untuk menampung barang-barang, termasuk senjata, pakaian, dan aksesoris lainnya."

"Woaah. Menarik sekali. Apa pemain lain juga mendapatkan benda-benda bagus ini?"

"Umumnya hanya inventory. Pet container hanya diberikan bagi mereka yang memiliki peliharaan."

Mulut Wildan membulat, "Hoo. Kalau begitu, akan kucoba dulu benda-benda ini sekarang, ya." Ia pun menyematkan inventory ke batu hijau di tangannya.

Wildan memanggil Mao dan Alva dengan menyebut namanya. Dan benar saja, mereka keluar dari batu itu! Keduanya terlihat segar dan bugar. Wildan langsung memeluk Mao - bulu hitam-putih harimau itu terasa lembut seperti biasa - dilanjutkan dengan mengelus-elus Alva yang bertengger gagah di lengannya.

Ekspresi lega kini terpampang pada wajah Wildan karena ia tahu pasti keduanya baik-baik saja

Selanjutnya ia mencoba inventory. Kathrine menjelaskan lebih lanjut bawa ia harus menyebut inventory, kemudian benda itu akan memunculkan layar hologram yang menampilkan barang apa saja yang ada di dalamnya. Alternatif cepatnya, Wildan bisa juga menyebut
inventory diikuti nama barang yang ingin dikeluarkan.

Saat ini layar inventory hanya menampilkan dua barang. Keduanya adalah senjata milik Wildan. Senjata pertama adalah favoritnya, dua buah sabit berukuran agak panjang yang dihubungkan oleh rantai perak. Warnanya dominan putih, dihiasi dengan warna kuning dan sedikit warna hijau. Senjata kedua adalah sebuah sarung tangan cakar berwarna kuning, dengan warna hijau di bagian tengahnya.

Melihat senjata membuat Wildan tertegun sejenak. Seandainya memang ia harus dihadapkan pada pertarungan - seperti apapun itu, setidaknya ia akan siap menggunakan senjata-senjata ini.

"Saya akan ada di sini jika Anda membutuhkan saya untuk mendaftarkan tim Anda," ujar Kathrine.

"Baiklah. Aku akan melihat-lihat." Wildan pun beranjak meninggalkan Kathrine. Mao ia masukkan kembali ke pet container. Sementara Alva, ia biarkan terbang untuk melihat sekitar. Banyak orang yang terlihat kuat di lapangan itu. Ada yang masih asyik mengobrol, menyendiri, bahkan mencoba memainkan senjata masing-masing.

Segerombol orang menepi dari lapang. Ada pelayan yang sudah sibuk mendapatkan antrian pemain yang ingin mendaftarkan tim mereka. Bisa jadi, mereka sudah saling bertemu dan mengenal satu sama lain sejak di Alkima.

"Heeeeiii!"

Sebuah suara menghentikan langkah Wildan. Ia menoleh ke sebelah kanan. Ada tiga orang yang berjalan menghampirinya.

"Nah, Bun, Radith, ini orang yang kulihat waktu di ruang makan itu!" ujar seorang gadis berjubah ungu di antara tiga orang itu. Kulitnya agak gelap. Rambut ikalnya berwarna merah. Sepintas, Wildan dapat melihat telinga lancip yang tertutupi rambutnya.

"Eh? Kau pernah melihatku?"

"Hum, perkenalkan, namaku Liona Lynn. Siapa namamu? Aku melihatmu berlari melewati ruang makan saat di Alkima. Oh ya, mana temanmu yang main kejar-kejaran saat itu? Kalian berdua lucu sekali, hahaha."

"M-Main kejar-kejaran … haha. Entahlah …." Wildan tertawa kecut sambil menggaruk kepalanya. Mengingat kejadian itu membuat wajah dingin Ariana Maharani terbersit di benaknya. "Namaku Wildan Hariz. Salam kenal."

"Kami mencari anggota untuk membentuk tim, bun~" Seorang anak pendek nan gemuk berbaju oranye angkat bicara. Wildan tak dapat melihat matanya langsung karena tertutup poni hitam. Rambut atasnya ditutupi tudung lucu berwarna biru muda bermotif bintang kuning. Hanya dia yang membawa ransel di antara tiga orang ini.

"Timbun?"

"Maksudnya tim," sambung Liona. "Hei, ayo perkenalkan namamu dulu." Liona menepuk pundak anak kecil itu.

"Namaku Baldwin Ulrich Ragnavald Nikolai Ol'Dweller the IV, bun~ Orang-orang mengenalku dengan sebutan 'Bun sang Gelembung', bun~ tapi kau bisa panggil aku dengan 'Bun' saja, bun~"

"Ha? Hahahaha. Namamu panjang sekali seperti ular. Hahaha. Cara bicaramu juga lucu. Bun saja, ya. Baiklah! Lagipula akan sulit bagiku mengucapkan 'Bawldin Ularis' yang panjang itu."

"Baldwin Ulrich, bun! Yap. Bun saja, bun~ Salam kenal, Wildan, bun~ Hobiku makan dan memasak, bun~"

"Waah, be-benarkan? Aku juga suka makan! Tapi tidak terlalu baik dalam memasak, sih …." Wildan lagi-lagi menggaruk kepalanya. Ia lantas melirik satu orang lagi yang berdiri di belakang Bun, "Oh ya, kalau kau, siapa namamu?"

Laki-laki di belakang Bun tidak langsung menjawab. Ia malah sibuk menyentuh sebuah papan kecil yang dibawanya. Wajahnya tertutup topeng aneh yang hanya sebelah. Rambut hijau panjangnya diikat ke belakang.

"O-Oh, maaf. Wildan Hariz, ya? Aku Raditya Damian. Kau bisa memanggilku Radith." Ia menjulurkan tangannya untuk berjabat tangan. "Hm, jadi kau ya yang lewat di ruang makan Alkima. Liona berusaha memberitahuku tapi aku tidak sempat melihatmu."

"Ya, itu aku. Aku juga tak melihat kalian karena … emm, agak … buru-buru."

Radith lantas menundukkan wajahnya. Perhatiannya kembali tertuju pada papan yang dibawanya.

"Hei Radith. Serius sekali. Kau sedang lihat apa, sih?" Liona mencuri pandang. Terdapat semacam layar yang pada papan yang dibawa Radith. Layarnya menampilkan data tentang Wildan.

"Hei, itu aku!" Tanpa Radith dan Liona sadari. Wildan sudah berdiri di samping mereka.

"W-Waah! Y-Ya, ng … aku sedang melihat data tentangmu. Maaf. Tapi mengetahui data akan berguna jika kita membentuk tim," jelas Radith agak terkejut.

"A-Aku tidak bisa lihat, bun~"

Radith memperlihatkan layar papannya pada Bun.

"Hoo, menarik sekali. Benda apa ini namanya? Kathrine tidak memberiku benda seperti ini saat datang ke tempat ini."

"Ini namanya tablet. Benda ini sudah lumrah dipakai di tempat asalku, Yogyakarta. Aku menghubungkannya dengan jaringan Alforea. Jadi aku bisa melihat data para pemain di sini," jelas laki-laki berambut hijau itu.

"Nah. Sekarang, apa kau mau membentuk tim bersama kami, Wildan?" tanya Liona. "Memang, minimal dua orang pun sudah bisa, tapi bukannya lebih ramai lebih baik?"

"Ya. Dan lebih aman. Siapa yang tahu apa yang akan kita hadapi di babak penyisihan," timpal Radith.

Wildan memandang Liona dan Radith bergantian. Alasan mereka cukup masuk akal. Ia tidak terlalu peduli walaupun dalam anggota tim ada anak-anak atau perempuan. Baginya, hubungan baik antar anggotanyalah yang bisa membuat sebuah tim kuat. Tiga orang ini sudah cukup menunjukkan suasana hangat walaupun mereka baru saja bertemu.

Selain itu, jika mengikuti turnamen, Tamo Ruu mungkin akan menampakan batang hidungnya lagi. Ia tidak ingin menunda lebih lama lagi untuk mendapatkan penjelasan dari Tamon Ruu, kemudian pulang ke Reverse. Siapa yang tahu bagaimana keadaan Reverse sekarang. Keberadaan para warrior Florian lainnya juga sangat ingin ia ketahui.

"Baiklah. Akan kubantu. Aku penasaran dengan turnamen ini. Tapi kalau bertemu Tamon Ruu, mungkin aku akan minta dipulangkan saja ke tempat asalku. Teman-temanku membutuhkanku di sana."

Liona berseru, "Bagus!"

"Setuju. Sepertinya kita semua di sini juga merasakan hal yang sama denganmu. Selain ingin mempa diri di sini supaya lebih kuat, ada yang harus kulakukan juga di tempat asalku." jawab Radith.

Pendapat Bun pun kurang lebih senada, "Syukurlah, bun~ Ayo kita cari pelayan untuk mendaftarkan tim, bun~ Aku ingin cepat pulang ke Gnomeria. Aku sudah rindu rasa makanan di tempat asalku, bun~"

"Hm, kita sepakat kalau begitu," sahut Wildan. Kini mereka sudah mempunyai anggota tim yang lengkap. Wildan dan teman-temannya sekarang berniat mencari tempat yang lebih nyaman untuk melakukan persiapan menghadapi babak penyisihan sebelum mendaftarkan timnya.

Mata Wildan untuk beberapa saat sejak tadi melihat ke atas. Ada sesuatu yang terbang turun ke arahnya.

"Ah iya. Ada yang ingin kuperkenalkan pada kalian."

Seekor elang besar bertengger di lengan kiri Wildan. Burung berjenis elang emas Asia itu tak terlihat takut maupun terusik akan keberadaan orang-orang di sekitar Wildan.

"Perkenalkan, ini Alva."

"Wow, elang yang cantik!" seru Liona. "Boleh kuelus?"

"Silakan. Tidak apa-apa kan, Alva? Mereka teman baruku."

"Woaah~ burung besar, bun~ Pasti enak dimasak, bun~"

"Heh! Ja-Jangaaan!" WIldan menjauhkan Alva dari hadapan wajah Bun yang tergoda mendekat. Radith dan Liona hanya bisa geleng-geleng melihat perilaku Bun.

"Dan ada satu lagi, namanya Mao!"

Dari batu hijau di tangan Wildan, keluar seekor harimau putih besar. Yang paling terkejut atas kemunculannya adalah Radith. Ia sampai memasang kuda-kuda siaga. Liona dan Bun malah sembunyi di belakangnya. Kecemasan mereka  mereda saat Wildan mengisyaratkan bahwa semuanya baik-baik saja.

"Ka-Kalau yang ini aku tidak berani memasaknya, bun~"

"Memangnya akan kubiarkan!? Mereka bukan makanan!" ujar Wildan. Tak lama kemudian, Wildan mengarahkan batu hijau di tangannya pada Mao dan Alva untuk memasukkan mereka kembali ke dalamnya.

"Ngomong-ngomong, bagaimana denganmu, Liona? Apa kau tidak ingin pulang ke tempat asalmu?" tanya Wildan.

"Eh … ya, tentu saja. Tapi sekarang ini aku sedang berkelana untuk mencari Riz sang Pahlawan. Kalian pernah dengar?"

Wildan, Radith dan Bun menggeleng.

Liona menghela napas, "Yah … ya sudah. Sebenarnya, di tengah pengelanaan tiba-tiba ada surat dari langit yang membawaku ke sini. Pasti ada semacam petunjuk. Jadi aku sepertinya akan lebih lama menjelajahi tempat ini. Mungkin saja Riz ada di sini, kan? Kalian juga kalau mendengar tentang Riz kabari aku, ya. Ah, itu—"

Pembicaraan terhenti tatkala telunjuk Liona meengarah pada seorang pemuda berambut putih. Telinganya sama dengan Liona, sama-sama lancip. Seperti Wildan dan Alva, pemuda itu terlihat sedang bersama seekor elang.

"Falcon!"

"Siapa dia, teman Liona?" tanya WIldan penasaran. Suaranya sengaja ia pelankan.

Radith menjawab, "Dia Falcon. Teman kami. Kami mengenalnya di Alkima."

Sedangkan, Liona menghampiri Falcon, "Apa kau mau ikut bergabung denga tim kami?" Falcon sendiri agak terkejut melihat teman-temannya yang ia kenal dalam waktu singkat. Ia memandang Radith dan Bun bergantian setelah melihat kedatangan Liona.

Pemuda bernama Falcon tak terlalu menghiraukan Wildan yang berdiri di antara Radith dan Bun. Ia tidak yakin bisa lebih akrab lagi dengan lebih banyak orang, terutama dengan Wildan. Ada semacam aura tegang saat kedua pandangan mata mereka bertemu.

"Hei, hei. Liona. Tim kita sudah lengkap empat orang, bun~"

"Oh iya, aku lupa. Hahahaha~"

"Maaf ya. Hehehe. Aku juga sudah membentuk tim. Kalau lolos penyisihan, mungkin kita akan bertemu lagi." Falcon berpaling menjauh. Arah yang ditujunya adalah lambaian tangan milik seorang gadis kecil. Gadis itu memakai sehelai syal yang membelit hangat lehernya.

"Itu anggota timnya? Hmm … aku tidak menyangka selera Falcon yang seperti itu. Apa dia lolicon, ya? Pantas raut wajahnya kelihatan senang," gumam Radith.

"Lolicon itu apa, bun~? Permen loli baru, bun?"

"Lupakanlah, Bun. Kau tidak boleh tahu lebih jauh, bun~" Entah mengapa. Tapi Radith sepertinya sengaja meniru cara bicara Bun.

"Baiklah, baiklah. Sekarang ayo pikirkan strategi untuk melewati babak penyisihan ini, teman-teman!" seru Liona.

Akhirnya Wildan, Bun, Radith dan Liona sepakat untuk berunding sebagai tim. Biar berkata seperti tadi pun, Liona tidak benar-benar mengetahui strategi seperti apa yang harus mereka buat. Belum ada keterangan lebih lanjut mengenai pertarungan yang akan mereka hadapi.

Jadi, perundingan itu mereka habiskan dengan mengobrol untuk saling mengenal. Tak lupa juga mereka sedikit mendemonstrasikan kemampuan masing-masing. Terkadang kegiatan itu dihiasi oleh gelak tawa. Bahkan mata Wildan dan Bun sempat beberapa kali berbinar karena kagum melihat kemampuan satu sama lain.

Usai perundinangan, Wildan lantas menuntun tiga teman barunya pada Kathrine yang bertugas mendata tim yang terbentuk. Kebetulan antrian pendaftaran di depan Kathrine tak terlalu banyak. Ia mensenaraikan nama-nama anggota tim dan mencatatnya pada sebuah papan hologram.

"Apa nama tim ini?" tanya pelayan itu.

"Hm, harus memiliki nama ya?" Liona malah balik bertanya.

"Tentu. Ini supaya memudahkan kami mendata tim-tim yang terbentuk."

"Bagaimana kalau—" Radith tiba-tiba berujar, "Lightbringer?"

Nama itu muncul begitu saja di benak Radith. Alasannya mungkin karena kemampuan-kemampuan yang dimiliki rekan satu timnya ini seluruhnya berkaitan dengan cahaya.

Wildan menaikkan bahunya. Ekspresinya seakan mengatakan "Bagiku sih tidak masalah." Bun dan Liona pun menyetujuinya. Nama itu lalu dicatat oleh sang pelayan sebelum akhirnya ia mengumumkan keberangkatan. Tentu saja, keberangkatan menuju area pertarungan babak penyisihan.

[Loading data ....]

VII
TELUR KUDA

"Tim Lightbringer, untuk memenangkan babak penyisihan ini, yang harus Anda sekalian lakukan adalah menghancurkan dua menara yang terletak di sebelah utara gurun ini dalam waktu kurang dari 500 menit." Kathrine mengarahkan telunjuknya ke arah yang ia maksud.

"Hmm … baiklah! Ayo kita hancurkan!" Wildan memperhatikan ke mana arah telunjuk sang pelayan. Tidak ada apa-apa selain barisan makhluk-makhluk aneh yang berduyun-duyun datang dari arah sana.

"… Eh … pasti jaraknya jauh, ya? Dari sini tidak kelihatan apa-apa yang berbentuk menara," sambung WIldan setelah melihat ke utara.

"Bagaimana kami mengetahui sudah 500 menit atau belum?" tanya Liona.

"Tenang saja. Ada penunjuk waktu di tabletku," Radith sudah siap dengan tabletnya. "Sekarang jam 6:21. Lima ratus menit berarti sekitar delapan jam dari sekarang."

"Jika lebih dari itu, maka Anda sekalian akan langsung mendengar pengumuman bahwa tim ini tidak lolos babak penyisihan," tambah Kathrine.

Bun melihat ke arah sang pelayan, "Apa ada lagi yang ingin kau sampaikan, bun~? Oh, oh, apa di tempat ini ada makanan, bun~?"

"Jangan berpikir tentang makanan terus, bun~" Liona mencubit kedua pipi Bun dengan gemas.

"Ya. Ada satu hal lagi," Sang pelayan lanjut menjelaskan. "Gurun ini diselimuti aura kegelapan. Aura kegelapan akan semakin kuat seiring larutnya malam. Akan lebih sulit menghancurkan menara jika aura tersebut sudah terlampau kuat. Jadi, berhati-hatilah."

"Ng … tapi, kau yakin tidak mengantar kami ke tempat yang salah? Maksudku, lihat saja keramaian itu!" seru Liona.

Kathrine menggeleng, "Tentu tidak. Ini tempat yang benar, gurun Shohr'n. Ada prajurit Alforea yang sedang berjuang di sini. Sekian yang bisa saya sampaikan. Semoga Anda sekalian berhasil. Permisi."

"He-Hei!" panggil Liona. Ia terlihat kesal dengan Kathrine yang menghilang tiba-tiba, meninggalkan mereka begitu saja di gurun itu.

Tak lama setelah kepergian Kathrine, makhluk-makhluk aneh dari arah utara mulai menyadari keberadaan Wildan dan teman-temannya. Mereka berusaha mendekat. Gerak-geriknya tidak menunjukkan kesan bersahabat. Yang ada hanya nafsu membunuh.

"Hiii. Mereka menuju ke sini, bun~!"

Wildan dan teman-temannya langsung bersiaga. Wildan menyiapkan senjata sabitnya, juga mengeluarkan Mao dan Alva. Sementara, yang lain siap memasang kuda-kuda bertarung.

"Heh, kelihatannya situasi di sini agak kacau, ya," komentar Wildan sambil memainkan dua sabitnya.

Radith menyahut, "Agak? Ini sih lebih dari kacau."

Kini tim Lightbringer dihadapkan pada sebuah area gurun berbatu yang tandus. Tapi bukan itu yang jadi masalah. Sejauh mata memandang, justru banyak terjadi baku hantam di area ini.

Terlihat segerombolan orang yang memakai baju zirah, helm, dan mengcungkan senjata. Mereka berhadapan dengan berbagai macam makhluk aneh. Pertarungan terjadi di sana-sini, seakan hampir di setiap jengkal gurun tak pernah sepi dari bunyi riuhnya pertarungan. Tidak—bukan sekedar pertarungan. Ini perang.

Orang-orang berzirah itu adalah prajurit Alforea. Sementara, makhluk-makhluk aneh itu terdiri dari berbagai macam bentuk dan jenis monster. Tidak jelas bagaimana monster-monster itu dapat bersatu dan menyerang para prajurit Alforea.

Memang, dalam keadaan perang, sudah bukan waktunya lagi bagi kedua belah pihak untuk repot-repot bernegosiasi. Tapi Wildan melihat ada kejanggalan dari makhluk-makhluk itu.

Insting mereka sangat terlihat dalam bertarung, namun tak ada tanda-tanda komunikasi antara satu dengan yang lainnya. Baginya, perilaku mereka tidak lebih dari monster yang di luar kendali.

"Avalon!" Kata itulah yang terucap dari bibir Liona saat selesai merapal mantra pelindungnya. Ada semacam tirai cahaya yang mampu mementalkan setiap monster yang mendekat.

Bun sibuk menghindari serangan monster-monster yang berotot besar. Anehnya ia tidak panik maupun kesulitan membaca serangan mereka. Padahal matanya hampir tertutup poni setiap saat.

Penyebabnya adalah kekuatan "Seismic Sense" yang dimilikinya. Kemampuan itu dimilikinya secara alami sebagai gnome, ras orang-prang bertubuh pendek yang terampil dalam mebuat peralatan mekanik.

Puas menghindar, Bun mendekati Liona untuk mendapatkan perlindungan. Bun juga punya kekuatan lain yang belum ia tunjukkan, yang dapat berguna dalam situasi seperti ini – selain makan dan memasak, tentunya.

Wildan menaiki Mao. Harimau itu dapat bergerak dengan cepat walaupun ditunggangi. Wildan berhasil menebas monster berkepala kadal dan ikan sembari berkeliling di antara kerumunan monster. Ia belum mau mengeluarkan kekuata listriknya saat ini. Wildan belajar menyimpan energi listriknya untuk hal yang lebih penting.

Sedangkan Alva, Wildan meninggalkannya bersama Liona. Mereka dapat saling melindungi. Terlalu berbahaya jika ia bawa lepas bersama Mao, mengingat jumlah monster yang cukup banyak. Apa boleh buat.

Lain lagi dengan Radith. Ia bertarung dengan tangan kosong. Sebenarnya ia mempunyai topeng dan pusaka lainnya yang bisa  membuatnya lebih kuat dalam bertarung. Sesekali ia mengeluarkan jaring petir yang membelenggu lawan dengan prana bagai laba-laba. Radith menyebutnya "Jaring Petir Dalangkusuma".

Sejauh ini, ia tak mendapat kesulitan. Ini merupakaan kesengajaan yang menjadi bagian dari rencana Radith. Lagipula, menempa diri adalah salah satu tujuannya datang ke sana. Asal tidak memaksakan diri, sepertinya ia akan baik-baik saja.

Tidak jauh dari tempat Radith menghajar lawannya, ada beberapa prajurit Alforea yang membawa bendera sebagai penanda pasukan. Di pasukan itulah para prajurit elit bertarung bersama jendral mereka, Jendral Teheneseja.
Seorang prajurit melaporkan keberadaan tim Lightbringer pada sang jendral, "Jendral, di depan ada beberapa orang yang dicurigai sebagi rakyat sipil ikut bertarung bersama kita. Dan mereka kuat! Apa yang harus kita lakukan!?"

Sang jendral kemudian membalas, "Aku akan bicara pada mereka," Ia menebas dan menusuk monster berbaju zirah di sebelah kirinya. Jendral Teheneseja dapat melihat para anggota tim Lightbringer satu persatu, terpisah di beberapa tempat. "HEI! SIAPA KALIAN!? APA YANG KALIAN LAKUKAN DI SINI!?"

"…."

Tidak ada jawaban dari mereka. Masing-masing terlalu sibuk dengan monster.

Menit demi menit berlalu. Tim Lightbringer terlihat seakan hanya melakukan pemanasan. Mereka sadar, pertarungan dengan monster sebanyak ini sangat menguji ketahanan tubuh. Sejauh ini mereka belum menemui ancaman serius dari para monster yang menyerang. Mereka dan para prajurit Alforea belum tahu kengerian macam apa yang akan terjadi di menit selanjutnya; dari menit kelima dan seterusnya.

"Hei, apa kau tidak merasakan sesuatu yang aneh?" tanya Wildan pada Radith saat kebetulan mereka berdampingan menghadapi monster.

"Aku tahu. Cahaya bulannya—"

"Apa namanya? A-Alkima, ya?"

"Ya, itu Alkima … tapi …"

"Kau juga sadar, ya? Ukurannya—"

Alkima, bulan biru Alforea memancarkan cahanya biru terang dalam malam yang semakin larut di gurun Shohr'n. Yang tidak biasa dari satelit itu adalah ukurannya yang semakin membesar. Cahayanya semakin terang. Liona, Bun, dan beberapa prajurit Alforea pun sepertinya sudah menyadarinya.

Semakin besar, berarti bulan biru itu semakin dekat pada Alforea. Tentu akan berbahaya jika keduanya bertabrakan. Tapi sebelum menyentuh atmosfir, permukaan bulan itu mulai terbelah. Bunyi retakan dahsyat terdengar sampai ke gurun Shohr'n.

"Ukurannya—besar. Tapi tidak lagi," ujar Wildan. Ia menelan ludah. Firasatnya buruk tentang ini.

Benar saja. Firasat Wildan menjadi nyata. Belahan semakin menjadi di permukaan Alkima. Sampai akhirnya dari dalam belahan itu muncul sesuatu. Benda misterius itu menyerupai kuda. Tidak—itu memang kuda! Kuda bersayap! Dan bertanduk!

"HORES!" teriak Bun lantang. Ia, Alva dan Liona sudah berada di dekat Wildan dan Radith tanpa mereka berdua sadari. Wajah Bun sumringah. Kemunculan kuda itu di udara malah membuatnya senang.

"Maksudmu horse?" tanya Radith memastikan.

"Bukan! HORES! BIG HORES IS SO AWESOME, BUN~"

Entah mengapa Bun menyebutnya begitu. Yang jelas, orang-orang di tempat itu dapat melihat bentuk kuda bersayap yang melayang. Sayapnya seakan hampir menutup pemandangan langit.

Dekat, dekat, dan semakin dekat. Wujudnya terlihat semakin besar! Panasnya atmosfir seakan adalah hal remeh yang sama sekali tak berpengaruh padanya. Guncangan dahsyat dapat terasa saat ia menapakkan empat kakinya di gurun Shohr'n.

Ukuran kuda itu tidak main-main. Tingginya sekitar 50 meter. Melihat bentuk sepatu kudanya yang besar saja sudah bisa dibayangkan akan jadi apa manusia yang tertimpa telapak raksasa itu. Untung tidak ada prajurit maupun monster yang cukup bodoh untuk tidak menghindar saat melihat makhluk berukuran jumbo itu mendarat.

"J-Jadi bulan itu telur!? Baru kali ini kulihat kuda yang keluar dari telur!" Wildan terperangah. Dari semua hal yang ia alami hari ini, pemandangan itulah yang paling luar biasa.

Kuda bertanduk dan bersayap itu baru saja "menetas" dari dalam Alkima yang kini sukses terbelah. Serpihan-serpihan Alkima sebagian hancur lebur oleh lapisan atmosfir Alforea, sebagian lagi terlalu besar untuk dimakan atmosfir sehingga terbakar berjatuhan menghujani gurun Shohr'n.

Tanduk kuda itu berkilau. Sepertinya tebuat dari kristal. Walau cahaya Alkima yang menyinari sekitar tidak seterang sebelum terbelah, tanduk kuda tersebut mampu berpendar dengan warna biru terang. Sayapnya yan berapi-api pun memancarkan warna serupa.

Begitu juga di pergelangan sepatu kudanya, gelang-gelang api berkoar indah melingkari tanpa melukai sang pemilik kaki jenjang yang dua di antaranya sekarang sibuk mengayuh udara.

"Jendral Teheneseja, a-a-ada … i-itu kuda raksasa bersayap … bertanduk … jangan-jangan …."

Sang jendral hanya bisa membuka rahangnya selebar mungkin. Ia tidak mengacuhkan prajurit yang mengajaknya bicara.

"T-TAMON RAH! ITU TAMON RAH!" teriak satu prajurit. Prajurit lain pun turut berteriak panik.

"I-IYA, TIDAK SALAH LAGI DARI BENTUKNYA, ITU TAMON RAH!"

"AAHHHH!"

"HEI, YANG BENAR!?"

"APAAA!?"

Medan perang riuh dengan teriakan prajurit Alforea pada satu sama lainnya. Seorang prajurit jatuh berlutut. Ia bergumam, "Sudah berakhir … habislah kita …."

"BO-BODOOH! JANGAN MENYERAH! KAU SEBUT DIRIMU PRAJURIT, HAH!?" Jendral Teheneseja membentak prajurit itu. Urat lehernya terlihat jelas. Ia membetulkan posisi helm yang ia kenakan.

Lantas, Jendral Teheneseja melihat ke arah anak buahnya yang berada di sekitar si kuda bersayap. Ia membuka mulut berkumisnya lebar-lebar, "YANG MASIH BERADA DI SANA! CEPAT MENYINGKIR KALAU MASIH SAYANG NYAWA!"

Tim Lightbringer mendengar jelas teriakan-teriakan para prajurit Alforea. Ritme serangan para monster pun sempat menjadi kacau gara-gara kemunculan kuda raksasa yang disebut "Tamon Rah" itu. Bahkan ada beberapa dari mereka yang berhenti menyerang sama sekali.

Tamon Rah mengepakkan sayapnya. Tanpa disangka-sangka, puluhan bola api raksasa menghujani area di sekitarnya. Banyak prajurit maupun monster yang terkena. Nasib mereka entah mati tertimpa bola api, ataupun merasakan terbakar dahulu sebelum mati. Keduanya tidak terdengar bagus.

Beruntung Liona cekatan. Ia berhasil membentuk tirai pelindung untuk timnya. Sayang sekali sebagian prajurit dan monster tidak seberuntung mereka. Mayat-mayat bergelimpangan begitu tim Lightbringer melihat sekitar.

"I-Ini mengerikan, bun~!" Bun menutup matanya. Liona pun langsung memeluknya.

"T-Tenanglah, semuanya." kata Radith. Penampilannya sekarang lengkap dengan topengnya yang bernama "Pancanaka", dan sebuah gelang yang disebut "Gandiwa".

Liona terlanjur menyahut cemas, "Mana bisa kita tenang dalam situasi ini, Radith! Tinggi kuda itu puluhan meter loh! Malahan, kalaupun aku berdiri di bawahnya mungkin aku tak akan bisa melihat kepalanya saking jauhnya. Haaa~"

Radith tertegun. Masing-masing pusakanya punya kemampuan khusus. Ia pikir, pusakanya pasti akan sangat berguna untuk melindungi teman-temanya saat ini.

Satu lagi yang termasuk pusaka selain topeng dan gelang adalah jaketnya. Radith bilang itu adalah "beskap", jenis jaket yang biasa dipakai oleh para dalang di dunia asalnya, namun desainnya telah dimodifikasi sehingga lebih bergaya modern.

Bersamaan emua pusaka tersebut akan membentuk sebuah mode tarung pada Radith. Mode ini bernama Vajra. Ini juga merupakan avatarnya di permainan Everna Online yang biasa ia mainkan. Maka dari itu, jika mode ini aktif, para anggota tim Lightbringer sepakat memanggilnya dengan sebutan "Vajra".

"Aku sudah memakai semua pusakaku. Panggil aku Vajra, kau ingat?" Vajra mencoba mengingatkan Liona, "Ingat pula, kita harus bertahan hidup. Kita tidak harus melawan yang bernama Tamon Rah itu. Kita serang menaranya."

Tanah kembali berguncang. Tamon Rah kini menolakkan kakinya pada permukaan gurun Shohr'n. Ia terbang.

Tim Lightbringer sempat agak cemas saat Tamon Rah terbang. Tapi yang ia lakukan hanya berputar-putar secara acak. Ia tak punya tujuan. Monster dan prajurit Alforea yang masih hidup mati-matian menghindari kaki-kaki Tamon Rah yang kadang menabrak tanah.

"Alva, kembalilah ke dalam pet container," perintah Wildan. Ia tadinya punya rencana meminta bantuan Alva untuk membimbing mereka ke menara. Tapi penerbangan Alva pasti berbahaya karena di udara saat ini tengah terbang Tamon Ruu. Siapa yang tahu kapan ia akan menembakkan bola api lagi.

"Liona, Bun, naiklah ke atas Mao. Kalian harus cepat lebih dulu sampai ke menara. Aku dan Vajra akan menyusul dari belakang." Mereka mengangguk setuju. Wildan kemudian menyatukan dua sabitnya menjadi satu sabit dengan dua bilah pisau di atas dan bawah.

Vajra berujar, "Anu, kita mungkin akan menghadapi Tamon Rah langsung kalau dia datang ke arah kita." Vajra sepertinya sudah memikirkan serangan apa yang akan ia layangkan pada Tamon Rah jika saat itu tiba. "Kau siap?"

"Karena tujuan kita menghancurkan menara, anggap saja itu sebagai bonus." Keringat mengucur dari pelipis Wildan. Tapi ia tetap mempertahankan senyumnya. Rambutnya berjigrak-jigrak, warnanya mulai berubah menjadi kuning saat listrik mengalir di kepalan tangan dan telapak kakinya.

"Hei kalian, ayo!" Liona dan Bun sudah siap di punggung Mao.

Belum sempat Wildan menyahut. Sebuah bola api raksasa sudah mendekat, mengancam nyawa tim Lightbringer.

[Loading data ....]

VIII
DUA MENARA

Tim Lightbringer bergerak ke utara. Gurun Shohr'n sejak tadi disinari cahaya bulan, jadi mereka tidak perlu terlalu khawatir tak dapat melihat saat malam hari. Namun makin ke utara, entah mengapa cahaya bulan semakin meredup.

Di sebelah utara juga terdapat pasukan penyihir. Mereka menyinari dengan sekitar dengan sihir cahaya dan api. Pasukan penyihir dipimpin oleh Kapten Gee Gee, penyihir terkuat di Nivelheim. Orang ini punya wajah yang agak mirip teman warrior Wildan di Reverse dulu, meski begitu, Wildan hanya bisa mengingatnya samar-samar.

Tunggu. Sebelumnya, bagaimana tim Lightbringer selamat dari bola api? Jawabannya bukan tirai cahaya Avalon milik Liona.

Bola api mengarah lurus pada tim Lightbringer. Namun dalam jeda itu Bun menggunakan kemampuannya, ia berteriak, "Spark!" Dalam sekejap semua anggota tim Lightbringer termasuk Mao mendapatkan asupan energi listrik. Ini membuat mereka bisa bergerak dengan cepat selama dua menit.

Gelombang listrik itu melompat dari kaki Bun ke tanah saat menaiki Mao. Alhasil, listriknya merambat ke Wildan, Vajra dan Mao. Tamon Rah pun mendapat jatah listrik dari Bun, tapi efek yang diterima adalah kakinya yang tidak bisa digerakan untuk beberapa saat. Itu juga menjadi celah bagi tim Lightbringer untuk bergegas ke utara.

"Keputusan yang bagus, Wil." puji Liona.

"Ah, tidak juga. Ini semua berkat Bun."

"Siwapa dwulu, Bwun, bwun~" sahut Bun. Mulut penuh dengan drumstick yang sengaja ia bawa sebagai persediaan pemenuhan rasa lapar.

"Sebenarnya aku punya alasan sendiri. Tadinya mungkin aku akan berhadapan langsung dengan Tamon Rah, atau setidaknya bersama Vajra."

"Hahaha sok sekali kamu. Memangnya kau bisa mengalahkannya?"

"Tidak. Tentu tidak. Dia terlalu kuat. Hanya saja …

"Hanya saja …?

"Aku ingin sekali menungganginya!" jawab Wildan polos. Sorot matanya sama sekali tidak bercanda. Ia serius.

Namun itulah yang berhasil meyakinkan Liona untuk mendaratkan bogem mentah ke atas kepala Wildan. Kekagumannya pada Wildan runtuh saat itu juga.

"Sekali lagi kau bilang akan menungganginya, kuhajar kau," ujar Liona sambil mengepalkan tinjunya. Wildan hanya bisa meringis kesakitan memegangi kepalanya.

"Kh … sakti sekali kuda bersayap ini. Lebih sakti dari guruku, Ki Rogohjiwo," keluh Vajra. Ia berpikir, mungkin kalau ia bisa mengalahkannya, ia aka bisa mengalahkan Ki Rogohjiwo.

Tak berapa lama, mulai terlihat jelas sebuah menara tinggi di depan reruntuhan kastil. Pasukan penyihir Alforea sudah sampai lebih dulu, namun sepertinya mereka kesulitan menghancurkannya. Setiap menara hancur seluruhnya atau patah, menara itu langsung kembali pulih!

Wildan dan Vajra bersiap membantu meraka menghancurkan menara, namun lagi-lagi, setelah bola api raksasa, tim Lightbringer harus berhadapan dengan tembakan jarak jauh. Kali ini asalnya dari puncak menara. Tembakan itu merupakan peluru sihir. Rasanya, jika terkena itu mungkin bisa diibaratkan dengan terkena peluru plastic yang ditembakkan oleh pistol.

Liona menengadah, "Ada yang aneh. Kenapa ada peluru sihir dari atas langit? Bukannya asalnya cuma dari atas menara?"

"Benarkah!?" Wildan sibuk menghindari peluru sihir. Vajra dan Bun yang lebih dekat beberapa senti dengan menara mencoba melakukan serangan kombinasi untuk menghancurkannya.

"Ayo, Bun!" Vajra mengerahkan tenaga sihir dalam tubuhnya. "Naga Petir—"

Bun merespon, "Nexus: Merr—"

"Gwah! A-Apa ini!?" Wildan merasakan kepalanya menabrak sesuatu. Suara berisiknya membuyarkan fokus Bun.

"—Pancanaka!" Hanya Vajra berhasil mengeluarkan jurusnya. Serangannya telak, namun sia-sia. Menara sialan itu langsung pulih seperti semula.

Kapten Gee Gee angkat bicara, "Sepertinya menara ini hanya mempan oleh kekuaran fisik! Dan lihat itu! Yang kau tabrak itu ternyata menara!"

Ternyata, ada dua menara kembar yang menjulang di sisi kanan dan kiri depan reruntuhan. Keduanya terbuat dari semacam Kristal. Menara yang Vajra dan Bun coba hancurkan di sisi kiri berwarna biru. Sementara yang berwarna hitam tidak terlihat jelas karena kegelapan malam.

"Ya ampun. Sudah dua kali aku menabrak sesuatu yang tak kulihat hari ini. Berikutnya mungkin aku akan dapat gelas cantik," gerutu Wildan.

"Benar juga, pelayan itu bilang ada dua menara. Mungkin memang keduanya harus dihancurkan bersamaan!" simpul Vajra.

Namun tidak semudah itu, Tanduk Kristal Tamon Rah tiba-tiba sudah siap terhunus di belakang tim Lightbringer dan pasukan penyihir Alforea! Yang paling rawan terkena adalah prajurit Alforea pimpinan Jendral Teheneseja yang dikejar oleh memang dikejar oleh Tamon Rah dari arah selatan. Mereka tak bisa mundur sekarang.

"BODOH! KENAPA KALIAN MALAH KE SINI!?" teriak Kapten Gee Gee pada Jendral Teheneseja.

"LALU APA!? APA KAMI HARUS MATI DI SANA!? DAN BERANINYA KAU MEMANGGILKU BODOH, HAH!" balas sang jendral.

"WIL! SEPERTINYA KITA HARUS MENGHANCURKANNYA BERSAMAAN!" teriak Vajra sambil menghindari sebuah peluru sihir.

"BAIK!"

Untuk menghancurkan kedua menara, medan reruntuhan halaman kastil yang terdiri dari beberapa dinding utuh bisa menghalangi komunikasi Vajra dan Wildan. Dari bentuknya, terlihat bahwa tempat kedua menara itu berada tadinya dibatasi oleh semacam ruang pembatas. Ditambah lagi, ada dua orang konyol yang mulai berteriak saling menyalahkan, Kapten Gee Gee dan Jendral Teheneseja.

Tentu, ini membuat mereka harus saling berteriak lantang agar dapat saling berkomunikasi. Akan sulit bagi mereka untuk melancarkan serangan serentak.

"Sekarang apa rencanamu, Wil?!" tanya Liona.

"Pemberani tak butuh rencana!" sanggah Wildan sambil tersenyum.

Liona mendengus, "Itu nekat namanya! Jika semua pemberani sepertimu, maka pemberani adalah orang bodoh!"

Vajra tiba-tiba berteriak lagi, "HEI WIL! BAGAIMANA KALAU GUNAKAN MEREKA!?" Ia menunjuk dua pasukan Alforea yang lari tunggang-langgang.

"…"

"…"

"AH SUDAHLAH! SEMUANYA! DENGAR! DENGAR! AYO KITA SERANG KEDUA MENARA ITU! GUNAKAN SERANGAN FISIK!" teriak Wildan selantang-lantangnya. "INGAT! SERANGAN FISIK!"

[Loading data ....]

Di kejauhan langit malam yang menjadi payung bagi gurun Shohr'n, terlihat sesosok anak kecil perempuan. Anak itu diselimuti aura segel yang terlepas dari dua buah menara kembar. Rambut biru terangnya dikepang dua. Bondu hitam bermotif aneh menghiasi kepalanya. Lehernya pun dihiasi sebuah kalung. Anak ini adalah jelmaan dari Tamon Rah.

"Huuh, kzl. Kzl. Bu-Bukannya aku senang karena sudah disegel kembali, ya! Lain kali kubunuh kalian. Pasti kalian disuruh oleh Ruu, kan!?" Mata gadis itu berusaha melihat orang-orang bersorak di bawahnya. Sejadinya ia berteriak geram, "HEEEEEII! JANGAN MENGABAIKANKU!"

Sudah barang tentu teriakan itu tak sampai pada telinga para anggota tim Lightbringer maupun prajurit Alforea. Omelan Tamon Rah terabaikan, hilang dimakan jarak. Omelannya tak lantas berhenti sebelum akhirnya tubuh mungilnya tersegel ke dalam Alkima. Belahan Alkima kembali menutup, membentuk bulan biru sempurna.

[Loading data ....]

IX
TIM LIGHTBRINGER

"KITA MENAAAAAANG! YAAAAAH!" teriak WIldan sambil mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi. Ia terduduk kemudian membaringkan tubuhnya secara terlentang.

Di sekitar Wildan pun bendera-bendera dinaikkan tinggi-tinggi oleh para prajurit Alforea. Suasananya sangat riuh oleh gelora kemenangan. Tetesan air mata jatuh menuruni pipi sebagian prajurit, semata-mata untuk meluapkan rasa haru mereka. Akhirnya mereka menggenggam kemenangan.

Bun menaikkan tangannya untuk menutup telinganya sendiri, "Berisik, bun~ apa kau tidak bisa tenang sedikit?" Biar berkata seperti itu pun, Bun ikut membaringkan tubuhnya.

Melihat Bun terbaring, Wildan tertawa geli, "Hahaha. Bun, apa boleh aku meminjam perutmu sebagai bantal? Kelihatannya empuk sekali."

"J-Jangan, bun~ Rambutmu tajam begitu."

"Ayolah. Apa kau takut perutmu meletus?"

"Apa!? Kau pikir perutku balon apa, bun~!"

Bagaimanapun, Bun tahu Wildan hanya bercanda. Setelah berbaring sejenak, Wildan malah mengajak Bun untuk berbaring bersama Mao. Harimau putih itu terlihat segar kembali setelah beristirahat di pet container.

Para prajurit dan penyihir Alforea dan melambaikan tangan dan mengangkatnya tinggi-tinggi ke udara. Liona yang berdiri tak jauh dari Kapten Gee Gee dan Jendral Teheneseja melakukan hal yang sama. Gelak tawa prajurit Alforea masih mewarnai waktu yang sudah memasuki dini hari, seakan mereka sudah lama tidak tertawa selama ini.

"Dasar …."

"Ada apa, Liona?" Radith, yang kini tak lagi berada dalam mode bertarung Vajra, menghampiri Liona. Ia bersender pada sebuah reruntuhan kastil.

"Beberapa menit yang lalu wajah mereka diselimuti rasa takut. Bahkan ada yang terbirit-birit seperti rusa yang dikejar singa. Eh, mungkin rumput yang dikejar kuda? Sekarang lihat mereka."

"Kuakui, aku juga panik dan merasa takut tadi," Radith melipat tangannya ke depan. "Tapi sebagai pendekar, aku tidak bisa berpaling begitu saja melihat mereka."

Liona tersenyum, "Yah, kupikir …" Ia menghela napas sejenak, "sepertinya memang ada juga orang-orang yang dipertemukan oleh takdir."

Liona menengadah. Hal yang sama dilakukan oleh Radith. Pertarungan dengan Tamon Rah telah selesai. Ini menandakan berakhirnya babak penyisihan turnamen Battle of Realms.

Bagaimanapun, tidak ada satu pun dari mereka yang tahu apa yang akan terjadi selanjutnya dalam turnamen yang akan mereka tempuh. Yang bisa mereka lihat sekarang hanya indahnya kilauan cahaya biru Alkima, yang menaungi kemenangan pertama mereka sebagai tim Lightbringer.

Tentunya, memenangkan turnamen Battle of Realms adalah incaran setiap individu dalam tim Lightbringer. Baik sebagai tim maupun perseorangan, mungkin di masa depan mereka harus siap menghadapi sesuatu yang lebih kuat dari Tamon Rah. Permainan baru saja dimulai.

16 comments:

  1. Hohoho, detil sekali, Wil! Seakan Roleplayan kita di Alkima really counts dan penting utk pembentukan tim yg natural. Seandainya boleh lebih dr 4, bisa jadi ajak ariana, falcon dan clara juga :p Tapi, gara2 detil di awal itu, porsi utk battlenya jadi terkesan lebih singkat, dan Miss Lolicon Tamon Rah jadi terkesan lebih lemah dari ukuran saya. Utk menaranya, kalau memang bisa diruntuhkan tentara alforea, mereka tinggal berusaha sinkron dan menghancurkannya bersamaan. Sayangnya si jendral n cap'n jadi spt total idiots. Oh well.

    Saya saja supaya coba lebih proporsional terpaksa pangkas rp-an di Alkima dan pusatkan di Alkima. Sayang, battlenya seharusnya bisa lebih asyik lagi.
    Oya, karakterisasinya TOP, terutama utk Wildan dan Bun.

    Skor: 8/10
    OC: Vajra (Raditya Damian) - beginilah nasib superhero.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Thanks~

      Hehehe, iya. Saya anggap yang terjadi di lounge itu true canon. Emang tadinya mau pangkas juga bagian dengan Ariana, tapi kejar-kejarannya menuntun Wildan ke Lightbringer sih. Jadi sekalian aja saya masukin.

      Utk menara, itu sbenernya prajurit Alforea kan ga tau kalo menara itu buat nyegel Tamon Rah dan menghilangkan para monster, jadi fokus mereka bukan ke menara, tapi ke monster2nya sejak awal. Cuma, kebetulan party ketemu pasukan penyihir yang lagi lawan monster sambil mengarah ke utara. Dan Tamon Rah yang punya cast detector ikut terpancing ke sana juga.

      Karena ini fokusnya lebih ke teknis dan karakter, jadi memang battlenya singkat. Kalo lolos, inginnya sih nantinya ngembangin lagi battle dan penggunaan jurus-jurus Vajra dan Liona.

      Delete
  2. Lho, saya kira Wildan ini Tarzan di hutan, kok bisa nerima surel? Ternyata setting tempat asal dia masih dunia modern ya?

    Oh, ternyata dia amnesia. Baru tau dari sini. Tapi kok bisa ga kenal internet?

    Wildan ini heboh juga ya di awal, berasa kayak orang kampung baru liat kota #dihajar

    Pembukanya agak kepanjangan nih... Kayaknya udah ciri khas tim Lightbringers ya panjang di intro. Saya juga agak menyayangkan karena terlanjur banyak kata dipake buat Aria, tapi ternyata ga jadi setim sama dia, jadi ga gitu ada relevansinya (apalagi kalo ternyata Aria ga lolos, karena porsi di sini berasa bukan sekedar jatah cameo)

    Wah, ada title drop dari entri Bun

    Ugh, ini kenapa ngancurin menaranya di-skip? Atau saya yang miss? Kok tau" Tamon Rah udah jadi loli aja.asanya jadi ga sepadan sama usahanya di awal" battle kalo konklusinya gini

    Dari saya 7

    [OC : Dyna Might]

    ReplyDelete
    Replies
    1. Thanks~

      Ga kenal Internet karena memorinya udah dituker, jadi isi memorinya cuma ingatan masal lalunya, ditambah ingatan yang berisi sedikit penjelasan tentang BoR dari Kathrine.

      Hahahaha. Iya. Pertemuan sama Aria udah jadi landasan canon sih. Kalo nggak ketemu nanti pun, toh di sini doi udah bilang lebih seneng menari dan menyanyi daripada berantem di turnamen. Sekarang tinggal terserah Valen aja sebagai authornya.

      Battle emang sengaja disingkat. Konklusinya ngehe ya. Hahaha. saya keasikan nulis, tau2 udah 9k. Kalo ditambah lagi nembus kuota. Ugh. Jadi terpaksa offscreen.

      Delete
  3. BIG HORES IS SO AWESOME, BUN~

    Enuf said... Walaupun banyak typo, namun ceritanya seru(di awal). Masuk battlefield, tensi cerita mulai menurun dan ketika menara kembar tetiba hancur Offscreen... Well... Begitulah... Kurang srek menurutku.

    Nilai dariku 7/10
    Bun the Bubble.
    Semangat Will. Kalo Lolos, nanti kita lomba makan, Bun~

    ReplyDelete
    Replies
    1. Thanks akii~ doakan saja ya, hohoho.

      Delete
  4. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  5. Intronya panjang banget, tapi ga terlalu masalah sih demi pendalaman karakterisasi. Yang aku bingung ternyata kemunculan Aria cuma di awal, padahal sempet mikir klo Wildan dan Aria bakal bikin tim bedua.

    Kalau cerita pertarungannya oke sih, bagian skip menaranya hancur juga aku senang, habisnya ceritanya jadi lebi cepat selesai. #eh Tapi pasti gara2 tulisannya jadi kepanjangan klo ditulis semua.

    Hehe btw ada cameo Zhaahir dan waifu, kuneri nilai plus. #plak

    Nilai : 8

    OC aye : Zhaahir

    ReplyDelete
    Replies
    1. Thanks Lilin, tunggu kunjunganku ke Zhaahir yes.

      Delete
  6. Kalo boleh dibilang ini lebih baik dari pada entry Enzeru dulu. Setidaknya semua cerita latar si Wildan sudah dijelaskan dari awal tanpa menunggu nanti.

    Pembukaannya kayaknya kelamaan Kang, adegan ama Aria juga bisa dibilang kepanjangan, kecuali nanti ke depannya ada kemungkinan interaksi lagi ma Aria.
    Endingnya juga berasa cepet, tanpa kemelut, terus tiga karakter tambahan (Jendral Teheneseja dan Kapten Gee Gee, plus Tamon Rah loli edition) kurang impactnya, jadi terasa penting gak penting. Tapi gaya narasinya udah bagus.

    Tulisan [Loading data ....] ada dua kata lho, dikali sembilan (?) lumayan banyak (dikit sih) XD

    Nilai 9

    ReplyDelete
  7. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  8. Hmm ... sebenernya nemuin nama Wildan Hariz di antara nama-nama berbau asing (temen-temennya Wildan) itu berasa agak aneh buat saya. Tapi, kayaknya saya aja yang merasa begini.

    Terus pembukaannya panjang banget. Omongannya terlalu detail ... terus pakek ngebahas Alkima lagi. Kan RP-an di Lounge udah cukup, kalo menurut saya ....

    Giliran masuk ke tempat battle-nya berasa singkat banget. Gaya bahasa sih oke, typo-nya gak terlalu banyak. Tapi pemilihan font-nya bikin pusing. Kenapa ga TNR ato Calibri aja kaka ....

    Ya udah deh, Ahran titip 8 buat Wildan. Awalannya panjang sekali, sampe jujur ada yang saya skip.

    -OC: Ahran-

    ReplyDelete
  9. Satu komentar.

    Panjang orz. Intronya bahkan kalau dipisah harusnya jadi cerita baru, andai lebih fokus langsung ke Alkimanya saya rasa lebih acceptable.

    Dan saya kagok, sama seperti kata Sam saya kira Wildan itu tarzan, dan saya kaget pas dia lagi di cafe yakali masa telanjang dada, dan ternyata di tengah-tengah dijelaskan kalau dia pakai baju. Menurut saya seharusnya pendeskripsian pakaian itu di awal-awal dan baru masuk tindakan biar engga jadi miss imajinasi. Saya awalnya udah bayangin betapa lucunya wildan pakai baju minim--namun langsung berubah pas ada penjelasan bajunya.

    [Loading data ....]

    BUN DISINI IMUT SEKALI ;___; *ikut cubit2 bareng Liona*

    Kayaknya adgan menaiki mao emang udah canon, enggak di saya enggak di sini. Mao hebat ;___;

    "J-Jadi bulan itu telur!? Baru kali ini kulihat kuda yang keluar dari telur!" Wildan terperangah. Dari semua hal yang ia alami hari ini, pemandangan itulah yang paling luar biasa.

    ^ Kalimat yang paling saya suka di cerita ini =)) jadi maksud Telur kuda itu ini toh.

    S-suara tim lightsaber ini pasti habis stelah pertarungan, banyak teriak *kasih air putih satu2*

    Nilai awal 10
    Minus -1 karena intronya dan soal pakaian wildan yang baru dijelasin di tengah
    Minus -1 karena battlenya jomplang sama intronya yang panjang

    Jadi nilai akhir 8/10
    (Maida York)

    ReplyDelete
  10. (+) : Saya suka banget pas bagian perang nya (walaupun "mungkin" terlalu cepat), nggak cuma narasi tentang peserta prelim aja, tapi ada narasi tentang tentara alforea nya juga.. saya baca nya jadi lebih agak berwarna aja.. (9)
    (-) : Masalah porsi intro yang nggak berimbang sama perang nya.. (tapi menurutku nggak begitu mempengaruhi cerita sih, itung2 saya nggak usah baca2 lagi charsheet nya Wildan)^^

    Nilai: 8
    OC: Falcon

    ReplyDelete
  11. Heh, kenapa kamu ikutan masukin self-insert-OC ya ke BoR?
    #jitakwildan #dijitakbalik

    Intronya panjang, tapi bagus juga sih buat perkenalan karakter hahaha
    Terus baca bagian battle dan nemu
    "loh. kok. udahan."

    Oke, entry saya emang battlenya buru-buru dan kesannya mudah. Jadi ngejudge disana juga kurang pas. Well, saya berharap kau lolos..
    Saya suka penggambaran dan jokes saat battle lel


    So, titp 8

    Regards,
    Kazuki Tsukishiro

    P S: font tulisannya sesuatu e_e

    ReplyDelete