15.5.15

[PRELIMINARY] ALICE ZEITFLÜGEL – AND THEN, A SOLO PLAYER HAS HER OWN REASON TO FIGHT

ALICE ZEITFLÜGEL – AND THEN, A SOLO PLAYER HAS HER OWN REASON TO FIGHT
Penulis: Karina Lazuardi




Alice membuka matanya. Ia merasakan angin bertiup kencang, menerpa rambut putihnya yang kini mulai melambai-lambai di angkasa.

Angkasa?

Benar. Saat sehelai surat melayang di atas taman mawarnya, ia sedang duduk sambil menikmati secangkir teh dan sepotong kue. Merasa heran dengan kedatangan surat itu, ia membukanya dengan pelan. Dan ia tersenyum, karena ada tantangan yang berada di sana. Lalu, ia mengayunkan pedang miliknya yang sangat berharga, Zeitschwertz, ke arah surat tersebut. Sebuah portal keemasan pun terbuka, dan…

Ia segera mendapati dirinya melayang di angkasa. Jatuh, tentu saja. Tak mungkin seseorang bisa melayang-layang dengan bebasnya di angkasa. Dan kini, gravitasi menariknya paksa kembali ke dunia, seolah memberi pelajaran bagi seseorang yang berusaha melawan teorema yang telah digariskan.

Namun, Alice bukan seseorang yang mau saja tunduk dengan aturan. Ia mengayunkan pedangnya, membuat satu retakan dimensi dengan suara menggelegar, dan membuat waktu berjalan pelan di sana.


Kini angin yang kencang tak lagi mengganggunya. Dan dari mata ungunya, ia dapat melihat dengan jelas dunia yang ada di hadapannya.

Pulau-pulau dengan air terjun melayang-layang dengan bebas di udara. Belasan ekor burung berbulu indah beterbangan di sampingnya, meninggalkan cahaya keemasan yang berkilauan di sepanjang jejak perjalanan mereka. Saat ia memandang ke bawah, Alice melihat gedung-gedung tinggi yang berdiri bersamaan dengan pohon-pohon yang ditata rapi. Dan di bawah itu pula, seluruh orang yang ada di bawahnya memandang heran kepadanya.

Alice tersenyum. Tentu saja.

Berada di taman sepanjang waktu bukanlah sesuatu yang menarik untuk diceritakan. Ingin sekali ia membunuh dirinya sendiri karena kebosanan, tetapi ia tak akan bisa membalas dendam pada Chronos yang telah membuatnya dikutuk seperti ini. Dan kini, semua itu tak ada lagi. Ia bebas. Ia kini berada di suatu dunia yang menyambutnya dengan cara spektakuler dan luar biasa. Bahkan, presiden atau perdana menteri pun hanya disambut dengan karpet merah dari dalam mobil sempit, bukan dengan keindahan alam Alforea yang sulit dilukiskan dengan kata-kata.

Karena itu ia bahagia. Sungguh.

Menjelang "perjalanannya" berakhir, ia bersiap. Sepertinya ia akan mendarat di halaman utama sebuah kastil. Tak ada hamparan rerumputan yang akan menyambutnya, sehingga Alice kembali mengayunkan pedangnya dan membuat suara gemuruh yang memekakkan. Ia tahu, orang-orang di bawah akan terganggu karena suara berisik. Namun, hari ini ia tak peduli. Setelah sekian lama terkurung dalam "penjara" yang membosankan, ia telah bebas. Tak akan ia biarkan seorang pun mengganggunya merayakan hidupnya. Bahkan penguasa sekalipun.

Sebab itu, ketika Zeitschwertz membuat distorsi waktu, Alice dapat mempersiapkan dirinya untuk mendarat dengan sempurna. Dan tentu saja, ada harga yang harus dibayar. Kurang dari dua menit, ia telah membuat pedang itu merusak aliran waktu dua kali, dan jika Alice masih menganggap itu kurang, mungkin ia bisa menambahkan dua gelas darah lagi dari mulutnya untuk diserakkan di atas lantai batu.

Benar, saat ia mendarat, saat itu juga darah segar keluar dari mulutnya.

"Dasar, menyusahkanku saja," kata Alice sambil membersihkan darah dari mulutnya dengan tangannya saja. Akan tetapi, sama seperti orang-orang yang akan terganggu karena suara berisiknya, ia tak peduli. Ia lebih tertarik dengan kilatan cahaya yang mulai muncul di sekelilingnya dan mulai membentuk makhluk dengan berupa wujud. Semakin lama, kumpulan cahaya semakin banyak, sehingga tempat itu mulai penuh dengan makhluk berbagai rupa.

Elf. Gnome, makhluk yang berbentuk seperti robot, pohon(?), dan sebuah ponsel(?) hiruk pikuk di sana. Namun, kebanyakan di antaranya berbentuk seperti makhluk yang telah lama dikenalnya.

Manusia.

"Sshh!" ujarnya sinis.

Alice tak ambil pusing dengan euforia orang-orang yang ada di sana. Ia memilih menyingkir dan duduk di sebuah kursi di dekat sebuah air mancur.

Dan perlahan, suara gaduh itu menghilang. Memang tak terlalu jelas, tetapi ia dapat melihat seorang wanita anggun, dengan rambut panjang dan para pengawalnya, keluar dari balkon istana dan mulai menyambut mereka. Akan tetapi…

"Areee... bukannya sudah kutulis alasannya di surat undangan ya?" tanya wanita itu ketika melihat wajah-wajah bingung dari orang-orang yang ada di lapangan.

Tentu saja. bahkan Alice pun bingung. Surat itu memang menawarkan tantangan, tetapi tak jelas maksudnya apa. Dan persis sebelum ia mengangkat tangannya, seorang tua berjanggut lebat mengambil alih pengeras suara dan mulai menjelaskan semuanya.

"Kalian semua adalah calon peserta turnamen antar dimensi yang akan diadakan tidak lama lagi. Pemenangnya akan mendapatkan apapun yang dia inginkan. Walaupun begitu, sayangnya kami tidak bisa menerima kalian semua yang ada di sini untuk mengikuti turnamen, karena jumlah kalian terlalu banyak. Dari seratus satu orang yang ada di sini, hanya ada empat puluh delapan peserta terbaik yang akan terpilih untuk mengikuti turnamen yang sesungguhnya!!!"

Lapangan itu hening sejenak. Lalu terdengar bisikan-bisikan dari mulut para peserta.

Dan seketika, lapangan itu runtuh oleh teriakan gempita dari seluruh orang yang ada di sana.

Alice hanya mengangguk-angguk sambil memejamkan matanya. Mengabulkan keinginannya? Tentu saja. Tak ada hari lain yang mampu membuatnya bahagia selain hari ini. Terbebas dari penjara yang mengekang dan punya kesempatan untuk mengabulkan keinginannya? Tentu saja! Sayangnya….

"Kalian akan bertarung dalam kelompok yang terdiri dari dua hingga empat orang. Jika kalian telah mendapatkan anggota kelompok yang pas, kalian akan langsung dikirim dan seorang maid akan mejelaskan misi yang harus dijalani begitu kalian tiba di tempat pertarungan."

"Kelompok?"

"Dua hingga empat orang?"

Raut wajah anak perempuan itu langsung berubah seketika.

Para calon peserta turnamen kembali berteriak histeris saat sosok pria berjanggut membuka turnamen itu secara resmi. Dan segera saja, lapangan itu berubah menjadi tempat yang ribut. Dari mata ungunya, Alice melihat dengan jelas, bagaimana seorang dengan pedang dengan mudahnya mengajak orang lain bergabung dalam timnya. Seseorang yang tampak kuat sudah pasti akan mendapat anggota tim, tidak seperti orang-orang yang berparas lemah atau tak punya aura yang cukup meyakinkan.

Entahlah. Alice sendiri tak terlalu yakin. Namun, di dunia tempat ia biasa mencabut nyawa bisa dianggap sebagai realita maya, ia adalah solo player, seseorang yang biasa bergerak dan menjalankan tugasnya sendirian. Tak butuh orang lain.

Justru, keberadaannya akan membuat tim tersebut menjadi hancur.

Jumlah orang yang berada di sana semakin sedikit. Sebenarnya, ia berharap seluruh orang telah mendapatkan anggota tim dan tak ada yang mengajaknya, sehingga ia punya alasan untuk menjalankan misi sendirian. Ingin sekali ia terus duduk di bangku itu sambil memejamkan matanya, tetapi sosok seorang anak perempuan tak bisa lepas dari pandangannya.

Sebenarnya ia tak tampak spesial. Baju birunya yang tipis tak bisa disandingkan dengan armor tebal yang dipakai oleh beberapa peserta lain. Walaupun ia memakai syal, tubuh kecilnya pun pasti akan remuk redam jika dihantam tinju seseorang wanita kekar yang hanya memakai spandek di ujung taman sana. Singkatnya, keberadaannya di dalam tim hanya menjadi beban. Merepotkan saja.

Dan kini, anak itu berjalan pelan ke arah Alice, dengan wajah malu-malu.

"Maaf, apakah kakak mau menerima Clara dalam tim kakak?"

Alice, yang sejak awal ingin sekali jauh-jauh dari kerumunan banyak orang, hanya menutup mata dan berbaring di bangku taman.

"Tolong kak, nggak ada yang mau ngajak Clara masuk tim. Clara mohon kak, ajak Clara gabung ke dalam tim kakak…"

Alice pun kesal.

"Aku tak mau. Aku bisa mengerjakan semua misi ini sendiri. Lagipula, lihat tubuhmu. Mana ada orang dengan sukarela mengajak orang yang hanya akan jadi beban dalam timnya? Lebih baik kau pulang, minum susu yang banyak agar kamu bisa tumbuh tinggi," kata Alice.

"Jadi, nggak boleh ya?" kata Clara sambil bersungut-sungut. Ia berjalan gontai ke ujung bangku dan duduk di sana. Ia mengeluarkan berbagai benda dari ransel yang berada di pinggang kirinya. Ada dua buah botol kecil, perban, pisau scalpel

"Kau—"

Alice tak sempat menyelesaikan kata-katanya. Segera saja, pandangannya menjadi berkunang-kunang. Ia tak lagi terkejut. Setelah kedatangan surat yang aneh, terjun bebas dari angkasa, bertemu orang-orang aneh lainnya dalam turnamen antar dimensi, ia tak lagi heran jika ada hal-hal aneh lainnya yang akan muncul. Walaupun demikian, tentu saja ia boleh bertanya, apa lagi yang akan terjadi setelahnya?"

And then, a solo player begins her own journey.

***

Alice terbangun dan membuka matanya. Mata ungunya kini melihat langit malam yang cerah, dihiasi bintang-bintang.

Alice mencoba bangkit, tetapi tubuhnya masih terasa berat. Ia mencoba bangun dengan menggunakan kedua tangannya, tetapi telapak tangan itu terasa perih. Dan Alice segera menyadari bahwa ia sedang berada di atas sebuah batu dengan permukaan yang tajam.

Telapak tangan itu kini mengeluarkan darah. Tentu saja, Alice tahu. Walaupun demikian, ia tetap berusaha bangkit. Tak masalah, selama darah itu bukan karena tebasan lawan-lawannya atau karena ia memaksakan diri menggunakan kekuatannya. Sejak ia menjadi malaikat kematian, kehidupan (living, being) seketika lenyap dari tubuhnya. Ia menjadi sosok yang abadi, immortal, menghabiskan waktu hanya untuk mencabut nyawa manusia.

Alice hanya menarik napas panjang. Lalu, ia memandang ke sekitarnya.

Hamparan planet indah Alforea kini hilang seolah tak berbekas. Lampu-lampu taman berubah menjadi batu karang yang menjulang tinggi. Lantai marmar yang ada di depan istana kini berubah menjadi lautan pasir. Alice pernah membaca sebuah kisah, dimana manusia pendosa akan berubah menjadi makhluk yang mengerikan, seperti orc, ogre, demon, goblin, dan lainnya. Karena itu, ia hanya tersenyum sinis ketika melihat makhluk-makhluk tersebut bergerombol di bawahnya.

Alice segera melompat dan memperbaiki posisinya. Batu itu cukup tinggi, sehingga para makhluk itu tak akan bisa mengejarnya. Namun, tak butuh batu tinggi agar selamat dari amukan mereka. Cukup taruh seorang anak kecil di bawah sana dan silahkan lihat para monster itu akan menjauhimu dan mengejarnya.

Hal itulah yang sedang terjadi pada Alice saat ini.

Ia melihat Clara sedang berdiri di sana, dikerubungi oleh monster-monster yang tak punya nurani sama sekali. Clara bersimpuh, suaranya tercekat.

"Tolong aku…" rintihnya.

Alice hanya terdiam. Sebagai malaikat pencabut nyawa, ia harusnya bahagia jika ada orang lain yang menunaikan tugasnya. Apalagi saat ini ia dikutuk, sehingga ia tak bisa mencabut langsung nyawa manusia. Jika ia punya asisten saat ini, mencabut nyawa manusia benar-benar menjadi tugas yang amat gampang.

Namun tidak saat ini.

Clara masih terus mencoba berteriak, tetapi tak bisa. Alice paham itu. Suatu waktu ia pernah mendatangi seseorang dan mencoba membunuhnya, tetapi manusia itu tak kuasa melawan. Saking takutnya terhadap kematian, ia tak mampu bahkan untuk berteriak sekalipun. Akhirnya orang tersebut tetap mati, tetapi meninggalkan pengalaman yang berbekas di ingatan Alice.

Termasuk saat ini.

Alice hanya membiarkannya dan menutup matanya. Sudah menjadi hukum alam: yang lemah pasti akan mati. Dan ia sedang tidak mood untuk melihat nyawa seseorang melayang saat ini.

Dan terkadang, Alice lupa. Makhluk yang kuat terkadang tak hanya mengalahkan yang lemah, tetapi terkadang juga melindunginya.

Dan itu yang terjadi pada Clara.

Tiga buah anak panah melesat cepat, menembus dada para monster yang mencoba mendekati Clara.

Clara berteriak kecil. Alice membuka matanya, lalu tersenyum. Terkadang ia lupa hal-hal kecil seperti itu.

Di hadapannya kini berdiri seorang pemanah, lengkap dengan busur dan burung elang yang terbang rendah di atas kepalanya.

Pemanah itu berkulit pucat, dan ia tersenyum.

"Kali ini, lihatlah! Seorang pahlawan datang menyelamatkanmu!"

Para monster itu kemudian datang dan mengejar sang pemanah. Namun, karena mereka hanya monster yang tak mampu berpikir, tak ada yang tahu siapa yang ia hadapi.

Ia adalah Falcon, pemburu hadiah dari hutan Nite Elf yang telah lama terlupakan.

Kini, sepuluh buah anak panah ia ambil dari quiver-nya. Lalu, ia membidiknya sekaligus dengan busurnya.

"Aku memang belum bisa menembak seluruhnya bersamaan. Namun, setidaknya, aku dapat membidiknya satu persatu dan meruntuhkan para monster itu sekaligus!"

Dan benar saja. Dengan kecepatan yang luar biasa, ia melepaskan anak panah itu satu persatu dan tepat mengenai kepala para monster. Dan dalam waktu yang hampir bersamaan, sepuluh monster rubuh seketika. Para monster yang tersisa lalu terdiam, sebelum akhirnya mencoba kabur dan mati diterjang anak panah milik Falcon.

"Hahaha, itu yang kau dapatkan jika melawanku. Oh iya, mana hadiahnya?"

Falcon menoleh ke kanan dan kiri, sebelum menoleh ke atas.

"Hei, nona berambut putih. Apa kau yang akan memberiku hadiah?"

"Hadiah apa?" tanya Alice sedikit tak mengerti.

"Hadiah karena aku berhasil mengusir monster itu. Oh, jangan-jangan kau adalah utusan yang dikatakan nona bohai tadi ya? Ayo cepat, kabulkan keinginanku!" kata sang pemanah.

Alice hanya geleng-geleng kepala dan melompat turun.

"Kalau kau mau hadiah, silahkan datangi anak perempuan yang baru saja kau tolong. Mungkin ia punya sedikit ucapan terima kasih yang akan ia katakan padamu," kata Alice sambil nyengir.

"Jadi, tak ada uang atau hadiah lain ya?" kata pemanah itu kecewa. "Baiklah, setidaknya jauh lebih baik daripada tak dapat apa-apa sama sekali."

Falcon berjalan malas ke arah Clara yang telah menunggunya. Clara merapikan pakaiannya yang kusut akibat serangan monster barusan.

"Terima kasih banyak, kak…" katanya sambil tersenyum. Manis sekali.

Muka Falcon hanya memerah ketika Clara berkata kepadanya. Alice—yang sejak dahulu selalu punya pikiran jahil—datang dan mengganggu mereka berdua.

"Hati-hati, ia masih anak-anak lho!" kata Alice.

"Bukan urusanmu, dan kau sama saja. Masih anak-anak!" balas Falcon.

"Aku telah hidup lebih lama darimu, tahu! Dan panggil aku Alice. Sepertinya kau bukan manusia, karena aku tidak merasa mual melihat wajahmu."

"Itu sama sekali tak membuatku senang," gerutunya. "Namaku Falcon, sang pemburu hadiah." kata pemanah itu sambil merapikan anak panahnya.

"Aduh!"

Falcon memegang pergelangan tangan kanannya. Biasanya, saat menggunakan Arrow Chain, ia hanya menggunakan 3 anak panah. Terkadang 4, paling banyak 5. Dan tadi, ia langsung menggunakan 10 anak panah sekaligus. Wajar saja jika tangannya teregang.

"Kak Falcon!"

Clara mendatangi Falcon dan mengambil sesuatu dari tas ranselnya. Sebuah perban dan gunting.

"Jangan banyak gerak dulu kak. Nanti tambah sakit," kata Clara sambil membalut tangan Falcon dengan perban. Sepertinya, ia mencoba memperbaiki posisi pergelangan tangannya agar tidak terasa terlalu nyeri.

"Kau... Clara ya?"

"Iya kak."

"Darimana kau tahu cara mengobati ini?"

"Ah ini," kata Clara sambil menggunting perban dan merapikan simpulnya, "Aku belajar dari paman. Ia mengajari Clara cara memberi pertolongan pertama jika ada orang-orang yang terluka. Sebenarnya Clara juga punya satu set peralatan bedah, tetapi kalau hanya terkilir, tidak usah dibedah," kata Clara sambil membuat wajah Falcon menjadi memerah lagi.

"Medis, ya… mengapa tak ada yang mau mengajakmu? Bukankah setiap tim butuh pertolongan tenaga medis saat terluka?" tanya Alice.

"Karena Clara masih terlalu kecil. Lihat saja…"

"Memang, tak terlalu meyakinkan. Dan cukup PDKT-nya, tuan pemburu," kata Alice sambil berpaling dari Falcon yang masih terus memegang tangan Clara. "Sepertinya ada seseorang yang akan menjelaskan semua ini kepada kita."

"Ya, anda benar sekali, nona Alice," kata seseorang yang kini telah berada di hadapan mereka. Ia memakai baju seorang maid, lengkap dengan aksesoris di kepala dan rambut panjangnya.

"Hm.. menarik sekali. Mengapa kau tahu namaku?"

"Baginda ratu dan tuan observer telah memberitahukan kepada kami. Dan kalian pasti ingin tahu apa yang harus kalian lakukan, bukan?"

Mereka hanya mengangguk.

"Saya sebenarnya ingin memberi tahu lebih cepat, tetapi kalian terlalu sibuk dengan urusan masing-masing. Awalnya, saya ingin menunggu agar tim ini bisa bekerja sama, karena tak mungkin menyelesaikan misi ini sendirian. Lihatlah bulan itu!"

Mereka melihat bulan yang berukuran besar di langit. Bulan itu berwarna merah gelap, persis seperti darah yang ditumpahkan di tengah perang.

"Saat ini, lima ratus prajurit kami sedang berjuang menghadang ribuan monster dari seluruh pelosok gurun. Walaupun mereka adalah prajurit elit, kami tak yakin berapa lama mereka akan bertahan," kata maid sambil menundukkan wajahnya.

Alice masih terus memandang bulan. Ia tak yakin dengan apa yang dilihatnya. Namun, rasanya, bulan itu terasa semakin membesar dibanding sebelumnya.

"Hei, maid," kata Alice sambil terus menatap langit. "Apa yang sebenarnya terjadi dengan bulan itu?"

"Itu adalah Tamon Rah."

"Tamon Rah?"

"Makhluk yang telah lama disegel dalam legenda kami. Namun, segel itu terlepas dan membuat dua menara yang menjaga eksistensi Tamon Rah muncul kembali."

"Jadi—"

Belum sempat Alice menyelesaikan kata-katanya, bulan itu retak. Dan segera, bulan itu pecah berkeping-keping tanpa menyisakan apapun.

Falcon tak sadar bahwa busur dan anak panahnya terlepas dari pegangannya. Clara hanya menutup mulutnya. Dan Alice kini tak sanggup berkata-kata lagi. Sepanjang hidupnya ia dikenal sebagai dewi kematian. Utusan kematian. Namun, tak pernah ia dianggap sebagai kematian itu sendiri. Dan kini, ia baru tahu, mengapa ia tak pernah dianggap sebagai 'kematian'.

Karena kini, di hadapannya, berdiri 'kematian' yang sesungguhnya.

Tak ada yang berdiri di hadapan mereka, kecuali sebuah makhluk raksasa. Sepasang sayap api merentang lebar di belakangnya, membuat tanduk keperakan di kepalanya bersinar merah. Ia tak lain adalah Tamon Rah, pegasus yang telah lama dilupakan keangkuhan sejarah Alforea.

"Misi kalian sederhana," kata maid yang mulai kembali mengangkat kepalanya. "Hancurkan kedua menara yang ada di kastil. Menara itu merupakan energi bagi semua monster, tak terkecuali Tamon Rah. JIka kalian dapat menghancurkannya, seluruh monster yang ada di sini akan musnah. Namun, kalian harus menghancurkannya bersamaan, atau menara itu akan kembali seperti semula. Ada yang ingin kalian tanyakan?"

"Hanya itu?" kata Alice sambil berusaha mengumpulkan sisa-sisa keberaniannya.

"Benar."

"Tak ada yang lain?"

"Baginda hanya memberitahu perintah itu kepada kami. Dan tak ada hal lain yang saya sembunyikan kepada kalian," kata sang maid.

"Begitu saja? Syukurlah," kata Alice sambil tersenyum sinis dan mencoba bangkit. "Jika hanya menghancurkan menara, aku—tidak, kami akan melakukannya. Dasar, menjijikkan sekali. Bisa-bisanya kalian memberikan misi yang tak mungkin dilakukan oleh satu orang. Dan lebih baik kau pegang janjimu, maid."

"Janji apa?"

"Tak ada misi lain yang akan kalian berikan kepada kami."

"Saya berjanji."

"Baiklah. Hei, Falcon, ayo berangkat. Dan mau sampai kapan kau mau berdua terus dengan anak itu!" kata Alice sambil berjalan menjauhi mereka berdua.

"Diam kau!" kata Falcon sambil menutup mulutnya. Clara yang tadi terdiam saja segera merapikan ranselnya dan bergegas berlari mengejar Alice. Namun, Alice tiba-tiba berhenti, membuat Clara kaget dan menabraknya. Clara terjatuh dan Falcon berusaha menolong, tetapi Alice tak peduli.

"Hei, maid. Sepertinya kau melupakan satu orang?"

"Siapa? Aku tak akan datang sebelum jumlah kalian lengkap. Bukankah sudah ada empat orang di sini?" kata sang maid keheranan.

"Empat?"

Falcon segera mengambil busur dan anak panahnya. Alice segera mengeluarkan pedangnya. Clara yang tak tahu apa-apa hanya bingung. Beberapa saat kemudian, dari balik batu karang, muncul sesosok pria yang memakai tudung kepala dan jubah. Ia menatap Alice dengan mata dingin, seolah tak ingin dirinya berada di sana.

"Yo, orang aneh," kata Alice sambil tersenyum.

"Misi ini segera dimulai," lanjutnya.

And then, a solo player (and other players) have a quest to be cleared.

***

"Falcon, di belakangmu!"

Alice berteriak sambil menghindari serbuan pasukan goblin yang menuju ke arah mereka. Falcon—yang mendengar teriakan Alice—langsung berguling ke bawah sambil menyeret Clara dari tempat pertempuran. Sesosok zombie berada di sana, memegang batu karang dan menjatuhkannya ke tempat Falcon baru saja berdiri.

"Untung saja," kata Alice dalam hati.

Akibat kesalahan mereka, bulan Alkima telah jatuh sebelum maid sempat menjelaskan segalanya. Dan kini, sebuah makhluk berbentuk seperti kuda itu telah berada di sana, mengamuk tak tentu arah sambil sesekali melontarkan bola api dalam jumlah besar. Sialnya, makhluk itu punya ukuran yang sangat besar dan tak bisa mati. Sementara, mereka juga harus menghancurkan kedua menara yang ada di samping kastil dalam waktu bersamaan.

Karena itu, Alice mempunyai ide. Mereka akan menggunakan prajurit Alforea sebagai tameng sementara untuk menahan Tamon Rah. Sementara mereka akan mengambil jalan memutar, tidak lurus sebagaimana yang disarankan maid. Walaupun mereka tahu perjalanan akan menjadi lebih panjang, setidaknya jauh lebih baik daripada menanggung risiko cepat mati akibat amukan sang kuda.

Dan masalahnya sama saja. Walaupun mengambil jalan memutar, tetap saja ada segerombol monster yang menyerang mereka. Dan kali ini adalah yang keempat.

Karena tim mereka sangat berantakan—satu malaikat kematian yang tak bisa membunuh, satu paramedis dengan tubuh mungil dan tak bisa apa-apa, satu pemanah yang besar mulut, dan satu pria berjubah yang tidak melakukan apa-apa sejak tadi—jadilah Alice menjadi umpan bagi rekan-rekan(?) mereka. Ia tak percaya pada manusia berjubah dan ia juga tak bisa membunuh, maka lebih baik ia serahkan urusan itu pada Falcon. Ya, walaupun semua itu….

Membuat Alice meradang.

"Aku menjadi tumbal bagi orang-orang yang ada di sana? Tidak masuk akal!"

Alice kesal sendiri dan mulai kembali memancing para goblin agar menyerang ke arahnya. Selama ia memiliki Zeitschwertz, ia tak perlu khawatir akan terkena serangan lawan. Asal serangan itu bukan sihir atau sesuatu yang sangat cepat, Zeitschwertz secara refleks akan membuat dirinya berpindah tempat dan menghindari serangan itu. Place distortion, demikian Chronos—sang pemilik asli pedang itu—menyebutnya.

Awalnya, ia menggunakan hal itu untuk menghindari serangan para orang yang mencoba menyerangnya. Namun, tak pernah terbayang bahwa ia akan menggunakannya untuk menyelamatkan orang dan membiarkan dirinya diserang.

"Awas saja kau!"

Ia tahu bagaimana menumpahkan kekesalannya. Ia berlari sambil menghindari pedang, tombak, dan segala jenis senjata yang dibawa para goblin menuju sesosok pria berjubah yang tidak berbicara sejak tadi.

Alice terus saja berlari ke arah pria berjubah sambil membawa gerombolan goblin ke arahnya.

Akan tetapi, pria itu tidak tinggal diam. Ia mencabut sebuah pedang berwarna kebiruan dari punggungnya dan menebas goblin pertama yang berlari ke arahnya. Tanpa ampun.

"Hahaha, kau tahu apa yang harus kau lakukan rupanya."

Itu adalah perjudian yang sama sekali tak merugikannya. Andai sang pria tak punya senjata dan mati di sana, setidaknya Alice masih bisa memikirkan strategi menggunakan tiga orang yang berguna dalam tim, tidak hanya beban. Dan nyatanya, ia punya pedang yang bisa ia gunakan untuk mempertahankan diri.

Alice kembali memancing goblin yang tersisa dan membawanya ke arah pria berjubah.

"Falcon, bunuh setiap goblin bisa kau jangkau dengan panahmu!"

"Baiklah," kata Falcon sambil melindungi Clara yang mulai dikejar oleh dua goblin. Ia menarik dua anak panah dari punggungnya dan membidik makhluk tersebut. Sementara, Alice kembali mengarahkan goblin tadi kepada pria berjubah.

Tak lama kemudian, tak ada yang tersisa, selain kumpulan debu yang segera menghilang ditiup angin gurun yang kering.

"Huff, selesai juga…" kata Falcon sambil memegang pergelangan tangan kanannya yang ditutup perban.

"Masih sakit, kak?" tanya Clara sambil memegang perban itu.

"Ah, tidak apa-apa," kata Falcon memalingkan wajahnya. Ia tak ingin wajah merahnya terlihat oleh Clara.

"Masa muda kalian sungguh bahagia," kata Alice sambil tertawa nyengir dan menutup mulutnya.

"Diam kau, pendek!" kata Falcon yang segera disambut dengan batu yang mendarat di kepalanya.

"Dasar," gerutu Alice. "Dan kita kedatangan tamu baru yang tak bisa bicara sejak tadi.

Clara memandang sosok berjubah yang belum berbicara sejak tadi. Sosok itu balik menatap Clara dengan tatapannya yang tajam.

Clara segera berlari dan bersembunyi di balik Falcon.

"Ah, rupanya tampangku benar-benar menyeramkan, ya?"

"Ha?" kata Falcon dan Clara bersamaan. Alice hanya terdiam.

"Namaku Aragon. Aku memang tak suka bicara, tetapi aku suka anak kecil."

Kali ini, mereka semua terdiam.

"Pedofil," kata Alice sambil mendekapkan tangannya di dadanya.

"Diam kau, pendek brengsek!" teriak Aragon sambil menyerang Alice yang baru saja mengata-ngatainya dengan pedangnya. Alice pun balik mengeluarkan pedangnya. Kedua pedang itu berbenturan, menimbulkan suara yang memekakkan.

"Kau sengaja mengumpankan goblin itu kepadaku bukan?" kata Aragon dengan emosi.

"Ya… karena kita punya satu orang yang tak punya peran apa-apa dalam tim…" kata Alice sambil nyengir, mencoba mencari alasan.

"Huh, dasar!" kata Aragon sambil mundur dan memasukkan pedangnya. "Kali ini aku maafkan kau. Akan tetapi, tak ada maaf kedua! Dan jangan kau gunakan lagi cara licik itu kepadaku!"

"Baiklaaaahhh…." Kata Alice sambil menguap. Aragon mendengus, lalu memilih duduk di atas sebuah batu.

Alice naik ke sebuah batu yang cukup tinggi. Ia melihat prajurit Alforea sedang berjuang di lini depan, menghadang ribuan monster dan sesosok kuda api yang tak kenal kawan dan lawan. Sesekali, bola api terlontar dari sepasang sayapnya.

"Tiap lima menit ya…"

"Apa yang lima menit?" tanya Falcon kepada Alice.

"Kuda itu. Sayapnya mengeluarkan bola api tiap lima menit. Aku sendiri tak yakin bagaimana para prajurit akan bertahan jika seperti itu. Akan tetapi, 500 orang menjadi tameng untukku, apa aku tidak kelewatan ya?" kata Alice kebingungan.

"Kau menggunakan 500 orang sebagai tameng agar kita bisa selamat? Fabulous! Aku tak peduli selama bisa mendapatkan hadiah, tetapi apa kau benar-benar tak punya nurani sebagai manusia?" tanya Falcon.

"Ha? Jangan sekali-kali samakan aku dengan makhluk rendahan itu."

"Lantas, kau itu apa?"

"Malaikat kematian."

"Aku tak percaya!"

"Bukan urusanmu," kata Alice sambil turun ke bawah. "Jika aku ceritakan kepadamu, kau mungkin juga tak akan mengerti."

"Tenang, aku hanya bercanda kok," kata Falcon sambil merapikan busur dan anak panahnya. "Kau bukan seseorang yang biasa berbohong.

"Maksudmu?"

"Kau dengan santainya mengatakan 500 orang sebagai tameng. Biasanya, orang akan berkata 'bagaimana cara menyelamatkan mereka' walaupun mereka pengecut dan tak punya keberanian. Akan tetapi, kau memilh cara pengecut dan bisa berkata jujur. Lalu, apa lagi alasan agar aku tak mempercayaimu?"

"Terserah kau saja," kata Alice sambil merapikan bajunya.

"Lalu, Itu sebabnya aku tak suka manusia? Hingga kau rela mengorbankan mereka?"

"Hm… jika kau menjadi diriku, apa yang akan kau lakukan?"

Falcon terdiam.

"Apa kau pernah bertemu dengan manusia?"

"Hm… hanya satu orang. Kami, para Nite Elf, tinggal di hutan yang terisolir, jauh dari jangkauan makhluk lain. Namun, aku dibesarkan oleh seorang manusia. Dan ia satu-satunya manusia yang kutahu."

"Bagaimana pendapatmu tentang dirinya?"

"Hm… terkadang ia menyebalkan, suka menyuruh-nyuruh, tetapi ia sangat baik kepadaku. Aku kadang sampai berpikir, manusia lah yang akan membawa kedamaian di dunia ini…."

Alice hanya terdiam.

"Lebih baik kau jangan terbangun dari mimpi indahmu," kata Alice dengan suara dingin.

"Ha? Apa maksudmu?"

"Tidak apa-apa. Prajurit itu tak akan bertahan lebih lama lagi. Lebih baik kita berangkat sekarang," kata Alice sambil berjalan menjauhinya.

***

"Jadi, berapa lama lagi kita akan sampai?"

Falcon bertanya kepada Alice yang kini sedang mengayun-ayunkan pedangnya tanpa tujuan. Di sampingnya ada Clara, yang sibuk merapikan ransel kecilnya—sambil sesekali melongok ke jalan agar tidak tersandung kerikil. Sementara, Aragon berjalan jauh di belakang mereka, tak berbicara sepatah kata pun.

"Hm… mungkin sekitar 10 menit lagi. Prajurit Alforea tampaknya semakin sedikit saja," kata Alice sambil melompat ke atas dan melihat peperangan yang ada di depan mereka. Tamon Rah masih mengamuk di depan sana, sambil sesekali melontarkan bola api ke medan pertempuran.

"Bagaimana kalau pasukan itu musnah oleh kawanan monster?"

"Sudah kubilang dari tadi, tak usah risaukan itu," kata Alice malas sambil terus mengayun-ayunkan pedangnya. "Maid tadi hanya berkata, hancurkan kedua menara yang ada di kastil itu bersamaan dan semua ini akan usai. Dan ia tak meminta kita untuk menyelamatkan prajurit mereka, bukan?"

"Iya, tetapi…"

"Apa kau ingin terjun langsung ke sana, menghadapi ribuan monster sambil dihantam bola api Tamon Rah? Tenangkan dirimu. Jika kau mati… jika kau mati…"

Alice terdiam.

"Ya! Silahkan! Dengan begitu, sainganku berkurang satu lagi. Lumayan, tinggal seratus orang…"

"Maksud kak Alice?" tanya Clara yang telah selesai merapikan satu set peralatan bedahnya.

"Tidak. Ada orang bodoh yang ingin berteriak, 'aku akan menyelamatkanmu, wahai prajurit Alforea yang gagah berani', lalu mati dengan cara yang konyol. Bagaimana pendapatmu?"

"Hm… Kalau dia mati, bagaimana ia bisa menyelamatkan prajurit Alforea?"

"Nah, anak kecil saja paham. Rupanya kebodohan tak bisa disembuhkan walaupun telah berpindah dimensi. Hahaha…" kata Alice sambil tertawa sinis.

Falcon hanya garuk-garuk kepala. Bagaimana pun juga, apa yang dikatakan Alice benar adanya. Ini bukan seperti misi yang biasa ia terima saat masih berada di hutan.

Sepertinya, Alice mirip dengan pemburu yang telah menyelamatkannya di hutan dahulu.

"Hei, sampai kapan kau mau bermimpi terus?"

Alice menendang Falcon yang masih saja berjalan sampai terjerembab. Gurun ini memang berbatu-batu, dan karena itu Falcon amat bersyukur masih bisa mendarat di pasir yang lembut. Falcon segera bangkit dan ingin membalasnya, tetapi instingnya segera bekerja. Di hadapannya, puluhan orc berdiri. Salah satunya ada di depannya, mengangkat sebuah kapak berkarat tinggi-tinggi.

Falcon tahu apa yang harus ia lakukan.

Segera ia melompat ke belakang dengan sekuat tenaga. Orc tersebut mengayunkan kapaknya ke tempat Falcon baru saja berdiri dan—tentu saja—meleset. Kapak itu menghantam tanah dengan dahsyat, menerbangkan debu dan pasir ke sekitarnya.

Alice segera berlari ke arah orc tersebut.

"Falcon, kau lindungi Clara. Dan sampai kapan kau mau berdiri di belakang, pedofil?'

Nama yang disebut terakhir meradang dan segera mengejar Alice.

"Bingo," kata Alice dalam hati.

Alice tak perlu khawatir dengan puluhan orc yang ada di depannya. Selama ia memiliki Zeitschwertz, ia bisa memanipulasi ruang dan waktu yang ada di sekitarnya. Apalagi jika ayunan kapaknya hanya secepat itu. Masalahnya, ia tak mungkin menggunakan time-and-place distortion jika jumlahnya sebanyak ini.

Karena itu…

"Hei, otak udang. Apa kau bisa mengejarku di tengah makhluk ini tanpa terluka sedikitpun? Oh iya, aku lupa. Tak mungkin, karena kau pasti M-A-T-I!" teriak Alice.

Aragon hilang kesabaran—dan juga kesadaran. Ia segera ingin mengejar Alice yang mulai menghilang dari pandangannya, tetapi dua orc menghadangnya.

"Kau pikir aku akan mati hanya karena ayunan kapak makhluk ini? Yang benar saja!"

Ia mencabut Arian dari punggungnya dan menebas kedua orc tersebut dengan teknik pedang tingkat tinggi. Darah mengalir deras sebelum mereka jatuh ke tanah dan menjadi debu yang diterbangkan angin.

Baru saja kedua orc itu jatuh, empat orc lain segera menghadangnya.

"Tsk, rupanya aku dijebak oleh permainannya."

Alice memandang ke belakang sambil menghindari ayunan kapak orc dengan santainya, membuat para orc tersebut frustrasi karenanya.

"Hehehe… kau sadar juga rupanya," kata Alice sambil menghindar ke arah kiri. Ia tak mungkin bergantung terus pada Falcon, karena kemampuannya dibatasi oleh jumlah anak panah—kelemahan fatal tiap pemburu. Dan sebenarnya, ia juga sedikit kesal pada Aragon karena sama sekali tak berkontribusi dalam tim.

"Hei, pedofil—bukan, otak udang! Jika kau masih ingin berada di sini, kalahkan monster yang ada di sini. Falcon, kau juga, jangan pacaran terus!" kata Alice sambil tertawa terbahak-bahak melihat para orc yang frustrasi.

Falcon mengambil batu dan melemparnya ke arah Alice—pasti meleset, tentu saja. Muka Clara memerah.

"A-aku tidak pacaran. Aku hanya…" kata Clara mencoba membalas, tetapi ia tak mampu melanjutkan kata-katanya. Mukanya semakin bersemu merah.

"Ya, ya. Serahkan saja pada pria gentleman yang ada di sampingmu, bukan?" kata Alice yang semakin membuat Clara merasa malu.

Falcon kembali menggaruk kepalanya dan mulai memperbaiki posisi panahnya. Ia mengambil sepuluh anak panah sekaligus dari quiver-nya dan menariknya dengan Elven Bow.

Satu panah. Dua. Sepuluh anak panah meluncur ke kerumunan orc secara beruntun.

Dan tepat setelah anak panah terakhir diluncurkan, sepuluh orc jatuh ke tanah. Teriakan mereka menggema sebelum tubuhnya menjadi debu dan hilang diterpa angin gurun.

"Hm… lumayan…" kata Alice sambil terus menghindar dari serangan para orc.

Di sisi lain, Aragon telah menjatuhkan 32 orc. Di gurun ini tak ada air, dan karena itulah ia lebih memilih menggunakan pedangnya, walaupun tak efisien. Masih ada dua pertiga dari jumlah pasukan orc yang tersisa.

Ia harus memikirkan cara lain.

"Hei, anak kecil!" teriak Aragon.

"Aku bukan anak kecil!" balas dua suara bersamaan. Ia lupa bahwa ada Clara juga di sana.

"Maksudku yang berambut putih. Apa kau punya air?" teriak Aragon sambil tersengal-sengal.

"Di tengah gurun? Apa kau sinting?" teriak Alice sambil terus menghindar dan memancing orc ke arahnya.

"Aku tak ingin berlama-lama di sini. Lagipula, membunuh dengan pedang ini sungguh butuh waktu yang lama."

"Terserah kau saja. Berapa banyak air yang kau butuhkan?"

"Semakin banyak semakin baik!" teriaknya. "Bisa kau carikan?"

"Kau gila rupanya! Mana ada sumber air di tengah gurun, kecuali di oasis."

"Terserah kau saja lah. Bisa buatkan aku oasis?"

Alice berhenti sejenak dan menepuk jidadnya.

"Rupanya ia stres karena tak biasa berada di tengah gurun," kata Alice. "Mana ada sumber air di tengah gurun, kecuali…"

Jika ia bisa membuatnya.

Alice mencari sebuah batu yang cukup tinggi, melompat dari atasnya, dan mulai mencari-cari sesuatu. Tidak ada rembulan di langit, sehingga apa yang dicari Alice semakin sulit ditemukan.

"Hei, kuda liar, cepatlah kau lemparkan bola apimu," gerutu Alice.

Hening. Tamon Rah masih asyik dengan dunianya sendiri, berputar-putar di langit, tak jelas tujuannya apa.

"Hei, otak udang. Lima menit lagi!"

"Brengsek kau!"

Alice tak peduli. Baginya, jauh lebih penting menjadi decoy bagi teman-temannya dibanding adu mulut dengan Aragon. Sebagai dewi kematian, "mengorbankan" dirinya untuk orang lain adalah suatu tindakan menjijikkan, merendahkan harga dirinya sendiri. Namun, ia harus menahan egonya saat ini. Apa yang diminta oleh sang penguasa Alforea bukan sesuatu yang bisa ia kerjakan sendiri, apalagi dengan senjata cacat miliknya.

Karena itu, ia harus memutar otak. Seperti saat ini.

Dan ia sedikit beruntung, karena apa yang dicarinya akhirnya bertemu juga.

Dengan refleks, tubuhnya menghindar dari ayunan kapak beberapa orc yang menghadangnya. Cepat saja, ia telah berada di depan apa yang dicarinya. Genangan air. Benda itu akan bercahaya jika disinari sesuatu, dan sebab itu ia sedikit kesal karena tak ada bulan atau bola api yang menyala terang di tengah malam.

"Oi, pedofil! Cepat ke sini, kau butuh air kan?"

"Namaku Aragon, anak kecil! Berapa banyak yang kau temukan?"

"Cuma genangan kecil. Tapi ia mengalir."

"Sama sekali tak ada gunanya!" kata Aragon kesal. Ia sebenarnya tipe yang tenang dan penuh perhitungan, tetapi Alice sejak tadi selalu menyerangnya dengan kata-katanya. Lambat laun, ia akhirnya tak tahan dan sulit mengontrol emosinya. Namun, kali ini, walaupun hatinya penuh dengan emosi, ia tetap menuruti perintah Alice.

Ia tahu, ada sesuatu yang masih ia simpan untuk dirinya.

Dengan tersengal-sengal, Aragon berhasil mendatangi Alice.

"Minggir, tuan! Kau butuh air, bukan? Akan segera datang…" kata Alice sambil mengayunkan pedangnya ke arah genangan air tadi.

Seketika, tempat itu terguncang. Genangan air itu seketika menguap. Sebagai gantinya, muncul sedikit retakan di sana.

"Menghindar dari sana jika kau tidak ingin mati, bodoh!" kata Alice sambil berlari menjauh.

Aragon hanya terbengong-bengong. Tadi ia disuruh untuk datang ke sana, dan barusan ia diminta untuk menjauhi tempat itu. Dan tepat sebelum ia akan kembali mengejar Alice, terdengar suara mendesis dari tempat itu.

Tempat itu meledak, membuat Aragon terpental ke belakang. Dan segera setelahnya, air menyembur deras ke angkasa.

"Geyser… apa yang telah dilakukan anak itu?" kata Aragon sambil mencoba bangkit. Seluruh tubuhnya terasa sakit.

Namun, itu semua tak penting. Jauh lebih penting baginya untuk menghancurkan seluruh monster yang ada di tempat itu, sebelum mereka semua dihancurkan oleh mereka.

Aragon berjalan ke arah geyser, sembari menebas beberapa orc yang berusaha mendekatinya. Setelah ia berada di dekat geyser, ia mengangkat Arian—pedangnya—tinggi-tinggi. Geyser itu mendidih dan panas, tetapi Aragon membuat air tersebut menjadi sedingin es. Bahkan, air itu kini berubah menjadi stalaktit es yang melayang-layang dalam jumlah besar di udara.

Aragon tersenyum. Itu adalah Glacia un Bodhiablazta, kekuatan sihir yang menandakan dirinya sebagai penyihir sejati.

Bongkahan es itu segera menyambar para orc yang berada di sana. Satu, dua, hingga lima puluh orc tumbang karena hujan es yang tidak berhenti. Selama geyser itu masih terus berada di sana, ia dapat menggunakan sihirnya tanpa henti.

Tak lama kemudian, seluruh orc yang ada di sana menghilang, digantikan oleh pasir gurun yang basah oleh lelehan es. Aragon menurunkan tangannya. Melelahkan, memang. Akan tetapi, setidaknya mereka semua tak perlu takut lagi gerombolan orc yang akan menyerang. Setidaknya sampai saat ini.

Alice tersenyum. Lalu, tak lama kemudian, pandangannya menjadi kabur. tak mudah memang, berkorban untuk orang lain. Namun, sebelum pandangannya menjadi gelap sepenuhnya, ia masih sempat merasakan sesuatu melayang ke arahnya. Clara dan Falcon berlari ke arahnya sambil berkata sesuatu.

"A….."

Dan ingatannya hilang seketika.

***

"Sudah sadar rupanya."

Alice, yang baru saja membuka matanya, menyadari bahwa Falcon dan Clara kini ada di sampingnya. Clara sedang memegang pisau bedah, sementara Falcon sedang membersihkan sesuatu di dalam ransel Clara.

"Apa yang terjadi?" kata Alice sambil mencoba bangkit.

"Ah, kak Alice, jangan dulu!" Kata Clara sambil meminta Alice untuk kembali berbaring. "Aku sedang menjahit luka kakak, nanti jadinya nggak rapi."

"Luka?"

"Iya, di sini," kata Clara sambil menunjuk ke arah lengan kirinya.

"Aku tak merasakan apa-apa. Memangnya aku terluka?"

"Oh iya, kan sedang dibius…" kata Clara sambil tertawa kecil. "Sebenarnya tidak terlalu besar, tetapi luka itu terus-terusan mengeluarkan darah. Nanti kak Alice bisa pingsan lagi kalau kehilangan banyak darah. Dan lihat, kakak udah pucat banget sekarang."

"Tak masalah, soal itu. Apakah masih lama? Dan apa yang kau lakukan?" tanya Alice kepada Falcon.

"Mencuci peralatan bedah yang baru saja dipakai Clara. Ia tak ingin pisaunya karatan gara-gara bekas darahnya tak langsung dicuci. Dan terima kasih ya. Aku tak tahu apa yang kau lakukan sebelumnya, tetapi karena itu Clara bisa membersihkan lukamu dan menjahitnya."

"Mengapa harus berterima kasih?" tanya Alice yang kini kebingungan.

"Sudah, lupakan saja," kata Falcon sambil mengeluarkan air dari ransel (serbaguna) itu dan mengibas-ngibasnya. Lalu, ia menaruh peralatan bedah yang sudah bersih itu di atas sebuah batu.

"Lebih baik kita istirahat dulu. Sebentar lagi kita sampai ke kastil dan aku tak ingin kita kehabisan tenaga di saat-saat akhir," kata Falcon.

"Ya…" kata Alice sambil terus berbaring. Clara sudah selesai menjahit luka Alice dan menutupnya dengan perban. Bintang-bintang masih bersinar cerah di langit.

Bedanya, tak ada bulan malam ini.

***

"Jadi, untuk apa batu ini?"

Falcon kini berdiri di atas batu datar yang disangga oleh beberapa batu lain. Alice secara khusus meminta mereka mencari batu ini, dengan spesifikasi yang tak bisa diganggu-gugat: datar, kuat, dan tak akan hancur oleh panas dan benturan. Setelah berkeliling beberapa saat, akhirnya mereka menemukan batu itu—dengan perjuangan, keringat, dan banyak air mata karena debu gurun yang beterbangan.

"LIhat saja nanti. Ngomong-ngomong, kau tahu bagaimana menara itu, bukan?"

"Sedikit banyak," kata Falcon. "Maid itu berkata bahwa menara itu terbuat dari kristal yang hanya bisa dihancurkan oleh serangan fisik. Jika kau berjalan terlalu dekat, menara itu akan menembakkan proyektil sihir. Tidak akan membunuh memang, tetapi tetap saja sangat menyulitkan."

"Bagus, kau sudah mengerti," kata Alice sambil mengamati batu tersebut. "Sudah selesai persiapannya."

"Persiapan apa?"

"Lihat saja nanti."

"Dan mengapa harus aku yang berada di kastil?"

"Bukannya kau sudah tahu kalau aku tak bisa membawa kalian seluruhnya dengan teleport?"

Tentu saja Falcon tahu. Ia hanya menggerutu karena Alice tak pernah menceritakan rencananya dengan lengkap. Mereka setuju untuk menempatkan seseorang di dalam kastil untuk menjaga pergerakan monster yang semakin padat, selain membersihkan kastil dari monster yang akan mengganggu mereka nantinya. Namun, Alice tak memberitahu rencana mereka selanjutnya. Ia hanya menyuruh mereka mencari batu seperti yang ia inginkan.

"Dan.. sudah selesai. Clara, bisa kau mundur sebentar? Kalau bisa, jangan ke dekat pria pedofil itu, nanti kau diculik olehnya."

"Diam kau!" kata Aragon. Clara hanya terdiam.

"Ngomong-ngomong, apa yang akan kakak lakukan dengan batu ini?"

"Tentu saja. Kita akan menyelesaikannya dengan ledakan."

Mereka terdiam.

"Ledakan? Maksudmu ledakan yang itu?" tanya Falcon.

"Iya, ledakan yang itu."

"Syukurlah…" kata Falcon, menganggap bahwa ledakan itu maksudnya adalah bang, 'cara yang spektakuler'.

Dan…

Alice mengayunkan pedangnya ke sekitar batu. Seketika, tempat itu berguncang.

Falcon pucat pasi.

"Hei, Alice…."

"Iya? kata Alice dengan senyumnya yang lebar.

"Maksudmu tentang ledakan itu…"

"Benar. Tempat ini memang akan meledak."

"Kau tak pernah bilang!"

"Lho, bukannya aku sudah bilang barusan?"

"Kau tak bilang kalau kau benar-benar akan meledakkan tempat ini dan menerbangkanku ke atas kastil. Barbar sekali! Kupikir kau akan menyelesaikan masalah ini dengan cara yang spektakuler."

"Ssttt… sudah terlambat untuk protes…"

"Sialan kau!!!!"

Tempat itu meledak, mengeluarkan kepulan asap dan magma yang meleleh. Batu itu kini menghilang dan terlempar ke angkasa, seiring teriakan Falcon yang semakin menjauh ke arah kastil.

"Tenang saja, ia tak akan mati kok. Jarak dari tempat ini hanya 500 meter, dan ia akan jatuh tepat di atas kastil. Tak perlu repot-repot naik lewat tangga dan berisiko bertemu monster yang ganas di perjalanan. Hahaha…"

"Kak Alice, sadis sekali…" kata Clara.

"Sadis ya? Jika kau tidak mau tersisih, kau harus gunakan otakmu untuk bertahan. Percuma saja datang ke kastil sambil berlagak penuh gaya ingin melawan Tamon Rah, tapi mati di tengah jalan."

Clara hanya mengangguk saja, karena itu hal yang ditanyakan Alice kepadanya tadi.

"Ngomong-ngomong, Jika keinginanmu dikabulkan, apa yang kau inginkan?" kata Alice kepada Clara sambil memandang ke arah langit.

"Hm… aku tidak tahu," katanya polos. "Aku hanya tak ingin ada perang. Kalau misalnya boleh, aku juga ingin stok permen untuk setahun," lanjutnya sambil tersenyum.

"Menarik sekali. Pantas saja kau dikatakan anak kecil," kata Alice yang membuat raut wajah Clara menjadi merah. "Bagaimana denganmu, pria bertudung?"

Aragon hanya terdiam sebelum menjawab pertanyaan itu.

"Tidak ada. Aku hanya mau balas dendam pada raja tiran yang selama ini merusak Velgia, tempat tinggalku. Akan tetapi, aku difitnah di tengah perjalananku. Ya, aku ingin kekuatan untuk membalas dendamku. Kekuatan untuk menghancurkan raja dan para pengkhianat, aku membutuhkan itu!" katanya penuh emosi.

"Oh, begitu…" kata Alice. Lalu ia tersenyum dalam hati.

"Sayangnya, hanya ada 48 peserta yang bisa lanjut. Lebih baik kau jangan mati. Kau tak akan bisa membalaskan dendammu apabila kau tersingkir di sini. Jumlah peserta yang mendaftar terlalu banyak, wajar saja jika mereka menyingkirkan peserta lain yang dianggap tidak menarik. Oh iya, bagaimana kriteria seorang peserta disingkirkan ya? Apakah mati di tengah pertarungan? Mati ya… hm.. mungkin saja. pasti… hm… tetapi…" kata Alice yang kini mulai bergumam tak jelas pada dirinya sendiri.

Hanya….. 48 orang…?

Aragon menelan ludahnya.

"Yang jelas, ayo kita ke kastil. Aku harap Falcon tidak terbentur di kepalanya dan tak bisa bangun lagi."

"Ha? Benarkah itu kak Alice?" tanya Clara sedikit takut.

"Kau rupanya benar-benar ingin terus bersamanya ya," kata Alice sambil garuk-garuk kepala.

"Anu… ng…. uhm…." kata Clara yang tak bisa melanjutkan kata-katanya.

"Tenang saja. aku yakin, ia termasuk dalam 48 orang yang nanti diterima dalam turnamen. Kau juga, semoga."

"Benarkah itu kak?"

"Tentu saja!" kata Alice.

"Syukurlah… aku harap aku bisa ketemu dengan kak Falcon lagi…"

Aragon memandang Alice dan Clara sambil terdiam. Dengan gemetar, ia berjalan ke arah Alice yang masih memandang ke arah kastil.

Jumlah peserta yang mendaftar terlalu banyak.

Ia tahu apa yang harus ia lakukan.

Namun, apakah itu benar?

Ya. Kau tak akan bisa membalaskan dendammu apabila kau tersingkir di sini.

Aragon masih memandang ke arah Alice yang terdiam di depannya. Clara masih ada di sana, jadi ia pasti tak akan menyangka apa yang terjadi.

Namun, apakah itu benar?

Lalu, secepat kilat ia mengambil sesuatu dari punggungnya, dan…

Alice segera membalikkan wajahnya.

Aragon terbelalak. Ia terjebak lagi dalam perangkap Alice. Mentah-mentah. Dan kini, semuanya terlambat sudah. Ia terlanjur mengayunkan Arian sekuat tenaga ke arah malaikat kematian itu.

Tidak, masih ada harapan. Anak itu tak bisa menghindar jika ia mengayunkan pedangnya secepat ini. Tidak, pedang ini pasti akan mengenainya jika ia mengayunkan lebih cepat.

Maka Aragon berharap pada pedang satu-satunya, kemampuan Half-Elf miliknya, agar ia menjadi lebih cepat dan bisa mengenai Alice yang telah menjebaknya.

Dan sayangnya, Aragon membuat kesalahan fatal. Dan Alice tersenyum lebar.

Alice segera membalikkan badannya mengayunkan pedangnya ke atas. Suaranya begitu keras, sehingga sekilas ia melihat, Tamon Rah berhenti dan menatap mereka dengan tajam. Clara yang heran kemudian ikut membalikkan badannya, dan ia melihat…

Pedang milik Alice membuat semacam distorsi di sana. Baginya, Alice bergerak luar biasa cepat ke arah belakang, menghindari sesuatu berwarna biru yang melesat cepat ke arah…

Perutnya.

Segera tahu akan kesalahannya, Aragon menutup mata. Pedang itu terus melesat maju.

Dan kini, pedang itu bersimbah darah seorang anak manusia yang berteriak kesakitan di hadapannya.

Kaki Aragon tak kuasa lagi menahan guncangan tubuhnya. Ia berlutut, pedangnya tanpa sadar terlepas dari tangannya. Ia berusaha menggapai Clara yang masih menangis di sana, tetapi tangannya gemetar.

Di ujung sana, Alice hanya terdiam. Ia masih memegang Zeitschwertz, tetapi kali ini ia menggenggamnya dengan kuat.

"Aku sudah mengira bahwa kau akan mencoba membunuhku dari belakang. Karena itu aku menyimpan sebuah rahasia menarik untukmu. Apa kau tak merasa aneh dengan pedangku yang bisa memanipulasi ruang dan waktu? Andai kau berpikir sejenak, kau pasti tahu bahwa aku bisa menggunakannya untuk memperlambat waktu dan menghindar dari seranganmu. Ya, walaupun ada harga yang harus kubayar untuk itu."

Alice pun terjerembab sambil menutup mulutnya. Darah segar mengalir, deras membasahi tangannya.

Dengan sisa kekuatannya, Alice mencoba bangkit dengan bantuan pedangnya.

"Akan tetapi, aku pun membuat dua kesalahan fatal. Pertama, membiarkanmu tetap hidup sampai saat ini. Aku punya banyak kesempatan untuk menyingkirkanmu sejak awal dan tidak kulakukan. Itu yang pertama…"

Dengan susah payah, Alice berjalan pelan ke arah Aragon yang mulai kembali menggapai pedangnya.

"Dan yang kedua, Aku tak menyangka bahwa kau berani membunuhku walaupun anak itu berada di sampingku. Aku tak tahu bahwa kau berani ambil risiko mencelakakan orang lain, walaupun kau tak tahu pasti siapa yang kau hadapi. Hanya dengan alasan takut tersisih lebih cepat," kata Alice dingin.

Aragon mengambil pedangnya, tetapi anak itu segera mengayunkan Zeitschwertz dan membuat Arian miliknya terlempar ke tengah padang pasir.

"Sejak awal, aku memang membenci manusia. Namun, aku tak tahu bahwa sifat kalian serendah itu."

Alice segera melesat dan menendang kepala Aragon. Ia tahu, tak ada yang bisa diharapkan dari tubuhnya yang telah dikutuk. Karena itu, ia tak berharap Aragon akan mati atau terlempar jauh dari sana.

Dan benar saja. Aragon segera bangkit dan mengambil pisau lempar yang dipegang di kedua tangannya.

"Kau yang membuat tanganku luka rupanya," kata Alice.

Alice tersenyum sinis. Bagi Aragon, balas dendam rupanya adalah segalanya. Sebentar lagi, Tamon Rah akan datang. Terlalu riskan kalau ia berada di sini.

Dengan satu gerakan, Alice berlari ke arah belakang. Aragon yang terbakar emosi melempar salah satu pisaunya. Dan tentu saja, pisau itu pasti meleset.

Dan tiba-tiba, di hadapan mereka, berdiri kuda api raksasa dengan sayap yang membentang. Tamon Rah kini berdiri angkuh di hadapan mereka, mengerang. Sebuah bola api muncul di depan mulutnya yang terbuka lebar.

Mereka terbelalak.

Aragon membentangkan kedua tangannya, membuat sebuah lapisan energi yang berbentuk seperti kristal berkilau.

Mantra sihir pelindung tingkat tinggi, Protecto.

Aragon melompat ke belakang. Alice juga berlari ke belakang, mendekati Clara dan mengangkat tubuhnya. Tamon Rah melepaskan bola api yang ada di mulutnya, meledakkan tempat tersebut. Aragon berdiri di sana, dengan sisa-sisa tenaga dan perisai yang retak. Sementara, Alice terpental bersama Clara hingga beberapa puluh meter jauhnya.

Aragon ingin segera mengejar Alice, tetapi ia hanya sendiri di sana bersama Tamon Rah. Saat ini, prioritas utamanya adalah menyelamatkan dirinya.

Alice mencoba bangkit. Clara di sampingnya, masih mengerang kesakitan.

Ia (dan mungkin juga Aragon) tahu, Clara tak akan mati secepat itu. Jika ia masih bisa mengerang, artinya tebasan pedang Aragon tak mengenai organ vital miliknya. Lagipula, anak itu seorang paramedis yang tahu bagaimana menangani luka.

Namun, Alice sendiri tak terlalu yakin, apakah ia masih bisa bertahan hidup lebih lama lagi.

Dan saat itu, ia hanya bisa terdiam saat Clara mengatakan sesuatu kepadanya.

"Kak Alice, nggak usah mikirin Clara."

Mana mungkin ia bisa melupakan Clara? Gadis mungil yang berjalan sendirian ke hadapan orang-orang, berharap ada yang mau mengajaknya ke dalam tim mereka? Gadis kecil yang mau saja menjahit lukanya, walaupun tak ada seorang pun yang memintanya melakukan hal tersebut. Dan tak mungkin ia bisa melupakan anak itu, karena ia….

Karena ia….

Alice tak mampu melanjutkannya. Terlalu banyak hal-hal menarik yang ia temukan pada anak itu. Untuk pertama kalinya, ia merasa emosional seperti ini.

"Tenang aja, kak Alice. Clara bisa kok… aaahhhh…"

Anak itu mendekap perutnya erat-erat. Darah masih mengalir dari bekas lukanya.

"Kau bisa mati jika aku biarkan di sini."

"Nggak apa-apa kak. Clara mohon kak, selesaikan misi ini…" kata Clara sambil meringis.

"Aku tak punya alasan untuk membiarkanmu mati di sini. Tidak, untuk saat ini."

"Tenang, kak. Clara nggak akan mati kok. Clara janji…"

Bagaimana mungkin kau bisa berjanji kepadaku, sementara tubuhmu lebih pucat dari tubuhku, napasmu saja bahkan sudah seperti itu?

Akan tetapi, jika itu maumu…

"Baiklah, Clara. Aku pegang janjimu. Nanti, setelah semua ini usai, aku akan menceritakanmu banyak hal. Bagaimana?"

Clara terperangah. Air matanya menetes.

"Tentu saja kak, Clara janji. Terima kasih…. kare—"

Clara kembali memegang perutnya sambil berteriak kesakitan. Napasnya tersengal-sengal.

Alice memandang ke depan. Ia tak ingin tempat itu menjadi ajang pertempuran, karena itu ia segera berlari ke depan menjauhinya. Dan saat itu, Clara memandang Alice dengan mata berkaca-kaca.

"Terima kasih, kak Alice. Terima kasih, karena untuk pertama kalinya, kakak memanggilku dengan namaku sendiri…"

Tentu saja, Alice tak mendengarnya. Yang jelas, ada janji yang harus mereka tepati. Tamon Rah semakin mendekat. Dan ia tahu, pertempuran mereka tak terelakkan lagi

***

Telah lima menit sejak dua orang bertarung demi kematian lawannya masing-masing.

Aragon menerjang ke arah Alice yang selalu melompat ke belakang. Arian ia genggam erat, sementara Zeitschwertz tak pernah lepas dari genggaman Alice.

Aragon mengayunkan Arian sekuat tenaga, sementara Alice pun mengayunkan Zeitschwertz miliknya. Dua pedang itu beradu, menimbulkan suara ledakan yang luar biasa keras. Tak ada makhluk yang tidak mendengar suara itu, tak terkecuali Tamon Rah. Kuda raksasa itu melontarkan bola api dalam jumlah besar sebelum ia menerjang sendiri ke arah mereka.

Alice paham, kondisinya terdesak. Ia mengayunkan pedangnya ke atas, membuat distorsi waktu, dan memperlambat semua gerakan yang ada di sekitar pedangnya itu.

Dua buah bola api datang.

Alice segera melompat ke belakang. Bola api itu meledak, meninggalkan lubang yang menganga lebar di hadapannya. Debu mengepul, membuat pandangannya terganggu. Belum sempat ia menyadarinya, sebuah tendangan keras menghantamnya dari belakang.

Aragon. Ia rupanya berhasil lolos dari ledakan.

Dan kini, Alice terpental jauh ke depan, menghantam batu karang yang ada di hadapannya. Ia terbatuk dan mengeluarkan darah, sebelum jatuh terkulai di tanah. Ia terlalu sering menggunakan kekuatan manipulasi waktunya, sehingga ia tak tahu lagi berapa lama bisa bertahan.

Menghadapi dua musuh sekaligus—dan satunya tak bisa mati—benar-benar menjengkelkan.

Namun, ia masih lebih senang menghadapi musuh yang tak bisa mati. Setidaknya, ia hanya berputar-putar di tengah gurun tanpa tahu harus berbuat apa. Yang membuat ia tak bisa menahan amarah adalah makhluk tak berperasaan yang kini sedang berjalan ke arahnya.

Demi balas dendam, ia tega melakukan hal itu. Bahkan, walaupun ia sangat membenci Chronos, ia tak pernah melakukan hal-hal seperti itu.

"Hahaha…" kata Alice sambil tertawa sinis.

"Apa lagi maumu, anak kecil? Lihat tubuhmu, sekali tendang lagi pasti mati. Dan kau masih saja tertawa. Aneh sekali. Apa orang yang akan mati selalu seperti ini ya?" tanya Aragon.

"Aku tertawa bukan karena aku akan mati, bodoh," balas Alice.

Aragon mengayunkan Arian sekuat tenaga, tetapi Alice hanya berguling dan menghindar. Pedang itu mengenai karang, membuat batu keras itu hancur berkeping-keping.

"Aku tertawa karena kau hanya manusia. Hahaha…" kata Alice, tetapi suaranya kali ini benar-benar dingin.

"Apa maksudmu?" tanya Aragon mencoba menantang.

"Sejak dahulu, aku menganggap manusia hanya makhluk bodoh yang gemar sekali mengulang kesalahannya. Manusia membunuh, menipu, berkhianat, berbohong, semua demi kepentingannya sendiri. Namun, baru kali ini aku menemukan manusia sepertimu. Manusia yang rela menggadaikan identitasnya, harga dirinya, hanya demi tujuan semu yang belum tentu bisa diwujudkannya."

"Kau…" geram Aragon, "MANA MUNGKIN KAU PAHAM SOAL KAMI, MAKHLUK TERKUTUK?"

"Tentu saja aku paham," balas Alice sambil menatap tajam kepada Aragon. "Kuhabiskan seumur hidupku hanya untuk mencabut nyawa manusia. Dan aku lihat semua itu dari mataku. Bahkan, manusia mati pertama kali bukan karena sakit, tetapi dibunuh oleh saudaranya sendiri. Untuk apa? Pernikahan sedarah! Dan kau sendiri pasti tahu bukan?"

Ya, Aragon tahu itu. Kisah melegenda yang pernah ia baca di buku-buku tua. Kisah tentang Cain dan Abel, Qabeel dan Habeel, Qabil dan Habil.

"Aku dikutuk, sehingga aku tak bisa membunuhmu dan membuatmu sadar tentang apa yang kau lakukan pada Clara," kata Alice sambil berjalan pelan ke arah Aragon.

"Tapi, AKU BISA MEMBERIMU HAL YANG LEBIH BURUK DARI KEMATIAN!"

Aragon naik pitam. Ia menerjang sekuat tenaga dan mengayunkan Arian ke arah Alice.

"Bingo," ujar Alice dalam hati.

Ia kembali mengayunkan pedangnya ke atas dan membuat distorsi waku di sana. Aragon paham itu. Sebab itu ia hanya tinggal mengatur arah serangannya ke tempat yang tak mungkin dihindari oleh Alice. Apalagi, Tamon Rah pasti juga mendengar suara keras yang dihasilkan oleh distorsi. Namun…

Alice segera mengayunkan Zeitschwertz ke tanah. Dan ia tersenyum lebar.

Ia tak hanya menggunakan time distortion. Ia juga menggunakan time-and-place distortion.

Segera saja, tanah tempatnya berpijak menjadi sesuatu yang merah dan panas. Tempat itu meleleh, mengeluarkan uap panas. Aragon yang masih terus menerjang terkejut.

Seketika, waktu seolah berjalan lebih lambat.

Alice tersenyum.

Walaupun untuk itu, ia mungkin tak sanggup lagi untuk bangun.

Mungkin ia akan berakhir di sini, mati karena kehabisan tenaga.

Bukan karena dua musuh yang membuatnya terjebak dalam kondisi ini.

Namun, ia bahagia.

Setidaknya, ia bisa melihat sisi lain dari seorang manusia, sesuatu yang jadi jati dirinya zaman dahulu.

Dan saat ia menutup mata, ia hanya berujar pelan.

"Akhirnya, aku punya alasan untuk bertarung saat ini…"

Tanah itu segera berubah menjadi magma yang meledak, menghancurkan apa saja yang berada di atasnya. Tak terkecuali Aragon, manusia yang musnah akibat keserakahannya sendiri.

***

Alice membuka matanya. Bintang-bintang bersinar di langit.

Dingin. Itu hal pertama yang ia rasakan saat ia membuka matanya.

Alice mencoba untuk bangkit dengan susah payah. Kepalanya masih terasa berat. Ia mencoba mengingat apa yang barusan terjadi. Ah, iya. Ia baru saja meledakkan tempat itu. Tak mungkin ada yang selamat, apalagi jika ditambah dengan bola api milik sang kuda. Lantas, mengapa ia bisa selamat?

Tidak! Bukan saatnya untuk memikirkan hal itu.

Clara! Bagaimana kondisinya saat ini?

Alice mencoba berdiri, tetapi ia terjatuh lagi. Namun, ia tetap berusaha berdiri, walaupun tangan dan kakinya seolah tak lagi patuh kepadanya. Setelah beberapa kali, ia akhirnya mampu berjalan, walaupun pelan dan harus ditumpu dengan pedangnya. Dan setelah berjalan sekian lama, ia menemukan Clara sedang berbaring di atas tanah.

"Clara….!"

Tak butuh waktu lama bagi Alice untuk memahaminya. Tak ada lagi darah yang mengalir dari luka di perutnya. Tak ada lagi rintihan lemah dari bibirnya. Yang tersisa adalah tubuhnya yang terbaring kaku di padang pasir yang tandus.

Clara telah mati. Tentu saja. Apa yang kau bisa kau harapkan dari seorang pendusta sepertinya?

Walaupun ia terluka parah, ia masih bisa mengatakan tidak apa-apa.

Walaupun darah mengalir deras dari lukanya, ia masih bisa mengatakan dirinya baik-baik saja.

Walaupun tubuhnya semakin lemah, ia masih bisa mengatakan tidak akan mati secepat itu.

Dan kini, dirinya tinggal tubuh ringkih yang pucat dan dingin.

Alice menatap Clara yang terbaring di sana.

"Dasar pembohong," katanya dingin. Namun, ia tahu, matanya kini basah oleh air mata.

And then, a solo player shed her tears.

***

Dari lantai teratas kastil, Falcon mendengar suara langkah kaki. Ia tahu, Alice dan Clara akan segera datang. Ia juga bukan pemburu bodoh yang tak tahu dengan apa yang terjadi sebelumnya, dan karena itu ia bersiap.

Dengan tangan yang juga gemetar, ia mengambil sebuah anak panah dan mulai membidik ke arah tangga. Tak ada siapa-siapa di sana.

"Tsk!" ujarnya sambil menarik busur itu sekuat tenaga.

"Apakah dengan membunuhku, kau bisa mengembalikan semua seperti segalanya?"

Falcon hanya menundukkan kepalanya. Lalu, ia lepaskan anak panah itu dari busurnya. Anak panah itu meluncur cepat, mengenai dinding yang retak karena kuatnya busur tersebut ditarik.

Alice muncul dari tangga sambil membawa Clara yang bersimbah darah. Kata-katanya sama dinginnya dengan tubuh anak itu saat ini.

"Aku, aku…."

Alice hanya mengabaikan Falcon yang masih berdiri di sana. Lalu, ia berjalan ke arah sebuah peti yang berada agak jauh dari Falcon. Dengan perlahan, ia taruh tubuh anak malang itu di atas peti tersebut.

"Jika kau mau, kau bisa ucapkan salam terakhir untuknya. Sangat jarang ada dewi kematian yang mau membawa jasad orang mati kepada orang yang ditinggalkannya."

Falcon masih berada di sana.

"Hei, malaikat kematian…"

"Oh, akhirnya. Ada juga orang yang memanggilku dengan nama 'malaikat kematian'. Namun, aku lebih senang jika dipanggil dalam bahasa lain, shinigami. Nama itu terlalu panjang, aku tak suka," kata Alice dengan riang, tetapi tampak jelas kehampaan dalam suaranya.

"Jadi, Alice…"

Alice kini tak peduli. Saat ia menggerakkan tangannya, partikel-partikel keemasan muncul di sekeliling jarinya. Lalu, ia mulai menggenggam partikel yang kini mulai berbentuk pedang keemasan.

"Apa aku salah menilai manusia?"

Alice terdiam. Lalu ia membuka gerbang dimensi berwarna kehitaman.

"Aku tak tahu. Kau dibesarkan oleh seorang manusia yang memperlakukanmu dengan baik. Dan kau belum pernah bertemu dengan manusia lain sebelumnya. Jika kau ingin tahu lebih banyak soal manusia, sepertinya kau sudah dapat banyak pelajaran hanya dari pertarungan kami sebelumnya."

"Jadi, apakah manusia selalu seperti itu?"

Alice hanya memandang Tamon Rah yang masih mengamuk tanpa tujuan di tengah gurun. Tak ada prajurit Alforea yang tersisa. Dari atas kastil, ia dapat melihat dengan jelas dari kejauhan, para monster mulai berlari ke arah mereka.

"Bagiku, manusia itu tak ada gunanya. Bahkan, menepati satu janji pun tak bisa," kata Alice sambil mengepalkan tangannya kuat-kuat.

"Jadi, begitu ya…" kata Falcon sambil berjalan pelan ke sisi kanan kastil. Ia menarik tiga buah anak panah dari quiver-nya yang kini mulai terasa ringan.

Ia melihat sebuah menara yang berkilauan. Sebuah cahaya biru menyala terang, menghantarkan partikel-partikel kebiruan terbang di atasnya. Sulit untuk percaya bahwa menara itulah yang membuat mereka semua menderita seperti ini.

"Keluarkan semua panahmu yang tersisa. Tak ada gunanya kau simpan juga. Jika kau punya alasan untuk marah dan balas dendam, silahkan lampiaskan pada menara itu. Toh menara itu juga biang dari kekacauan ini," kata Alice sambil berpaling.

"Tidak, terima kasih."

"Kenapa?"

"Aku tak serendah itu. Mungkin, jika aku bisa memenangkan turnamen ini, aku harap aku bisa kembali bertemu dengan anak itu. Masih ada harapan, bukan?"

Alice tersenyum.

"Terserah kau saja, lolicon," katanya sambil berpaling dan melambaikan tangannya. Ia berjalan menuju portal dimensi yang ia buka sebelumnya.

Portal yang akan membawanya langsung ke depan menara yang ada di sisi kiri kastil.

Dan secara bersamaan, mereka menunaikan tugasnya. Falcon melepaskan seluruh anak panah yang ada di busurnya, sementara Alice mengayunkan pedangnya segera setelah gambaran menara muncul di hadapannya. Puluhan sinar biru datang kepadanya, tetapi semua itu tak mau ia pikirkan lagi. Yang ia mau, semua ini berakhir sudah, ketika menara itu retak dan hancur bersamaan, seiring dengan raungan Tamon Ruu yang terdengar sayup-sayup.

Cahaya-cahaya putih menyelimuti sebelum mereka menghilang sepenuhnya dari tempat itu.

And then, a solo player (and other players) have finished their quest.

***

Klik.

Klik.

Klik. Klik.

"Huh, dasar Hewanurma! Sekarang aku hanya punya komputer dengan spec seperti ini. Mana bisa main Doto 2? Aaarggghhh… sial… kenapa nge-lag lagi sih?"

Tamon Ruu uring-uringan dengan komputer dengan spesifikasi seadanya itu. Saat Hewanurma datang menggerebek kamarnya, ia panik dan tanpa sadar menendang komputer canggihnya. Sementara menunggu komputer itu direparasi, ia harus sabar menggunakan benda yang dari beberapa tahun yang lalu bahkan sudah jadi mitos semata.

[Your middle tower is under attack].

"Aaarrgghhhh!!!!!" kata Ruu sambil menguncang-guncang layar monitor. Ia lupa, layar itu tak punya salah apa-apa. Saking kesalnya, ia lupa bahwa prosesor itu ada di CPU, bukan layar.

Ia bahkan tak menyadari, seorang anak perempuan kini berada di belakangnya.

"Yo, baginda ratu."

Tamon Ruu menoleh ke belakang.

"Ha? Apa aku lupa menutup pintu? Gawat! Nanti Hewanurma akan—"

"Bisa kau hentikan akting itu? Kau seperti orang bodoh saja."

Ruu kini terdiam dan menatap anak itu. Berambut putih dan bermata ungu.

"Oh… kau salah satu peserta ya? Maaf, maaf, aku lupa. Kau mau tanya apa? Sebentar ya, aku pause dulu. Eh, nggak bisa ya? Ini multiplayer…"

Alice kesal dan mulai menendang bantal yang ada di dekatnya ke arah Ruu.

"Bisa kau jelaskan, mengapa kau adakan turnamen ini?" Alice bertanya kepada sang penguasa Alforea.

Ruu terdiam sejenak.

"Karena, menyenangkan?" jawabnya.

Alice kini ikut terdiam.

"Walaupun harus ada yang terbunuh?" tanya Alice.

"Lho, bukankah itu yang menarik dari sebuah permainan?" jawab Ruu.

"Hm… jika begitu, bagaimana jika kau yang mati duluan?" balas Alice.

"Areee…. Kenapa aku yang harus mati duluan? Aku kan belum selesai main Doto…"

Alice pun geram dan ingin segera membunuh Ruu. Ia mengayunkan tangannya dan berharap partikel keemasan muncul dari genggamannya.

Akan tetapi, tak terjadi apa-apa.

"Ah, untung saja tablet ini ada gunanya, hehehe…"

Ruu mengeluarkan sebuah komputer tablet dari balik bajunya dan mulai menekan sesuatu dengan jarinya. Akses root ke dalam database player. Dispel, salah satu privilese yang diberikan kepada seorang admin. Dengan itu, ia bisa melenyapkan segala kemampuan yang dimiliki oleh lawannya.

"Hahaha… apa yang kau lakukan kepadaku, baginda ratu?" kata Alice sambil tertawa sinis.

"Maaf ya, tapi aku sedang main. Nanti kita sambung lagi bicaranya. Lama-lama aku bisa kalah."

Tamon Ruu menggeser layar sentuhnya, membuka sebuah menu, dan menekan sebuah item dengan jarinya. Menu itu berbentuk sebuah kotak berwarna putih, dengan tulisan White Imprison di bawahnya.

Tubuh Alice seketika berubah menjadi gambaran piksel yang kabur. Ia tahu, monster yang ia hadapi di gurun tak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan wanita ini. Hanya dengan gerakan jari saja, ia bisa memanipulasi seluruh orang yang ada di sana.

Namun, ia tak peduli. Satu-satunya alasan mengapa ia datang ke ruangan ini adalah bertemu dengannya. Bertemu dengan alasan satu-satunya mengapa ia masih ingin melanjutkan pertarungan.

Membunuhnya. Orang yang seenaknya bermain-main dengan nyawa.

Sebelum Alice sempat berteriak, tubuhnya segera menghilang dari tempat itu.

"Sudah selesai ya?" tanya Ruu sambil melihat tempat itu. Tak ada siapa-siapa lagi di sana.

Tiba-tiba, terdengar suara seperti pohon runtuh. Tamon Ruu terbelalak.

"Tidak… kalah lagi…"

Ruu hanya berdiri di sana, memandang para monster seperti zombie yang menari-nari di sebuah pohon yang telah runtuh.

Ia kalah.

"Yosh! Satu game lagi. Nggak boleh kalah lagi!"

Ruu segera kembali ke komputer bututnya dan mulai memegang mouse.

Klik.

Klik. Klik.

Klik.

And then, a solo player has her own reason to fight.

8 comments:

  1. Masih terjebak di kebanyakan ngobrol dan minim deksripsi yang bikin suasana battlenya berkesan santai dan ga ada ketegangan berarti, ya

    Entah saya aja atau hubungan Falcon-Claranya agak dipaksain, kayanya ngambil dari versi Falcon cuma ditambah ada Alice sama Aragon ya di sini

    Saya kurang ngerti flow battlenya karena kesannya Tamon Rah ga gitu dominan, dan kadang diseling Alice yang sok emo pake sikap 'higher than thou' segala

    Entahlah, sampe akhir saya nangkep kesan banyak momen di entri ini yang berusaha keliatan keren tapi malah bikin saya cringe

    Dari saya 7. Setidaknya teknis rapi, karakter bisa ditangkep, dan pembagian partnya lumayan.

    [OC : Dyna Might]

    ReplyDelete
  2. Lho? Udah? gitu aja?
    Meski saya pengen banget ngasik jempol buat setiap pembawaan karakter dan narasi, tapi hubungan karakternya berasa maksa. Saya sempet harus baca ulang siapa ngomong ke siapa karena gapaham apa yang terjadi di setiap dialognya. Belum lagi adegan....oke, saya ga akan bahas itu.

    Anyway

    NIlai : 7
    OC : Alayne Fiero

    ReplyDelete
  3. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
    Replies
    1. deskripsi karakter nya OK..
      Alur nya bagus di awal, tapi agak kacau di menjelang akhir gara2 konflik internal sama Aragon, jadi final battle sama si kuda binal kurang menonjol..
      tapi Battle Story nya bagus..

      dari saya : 7 (hehe)
      OC : Falcon

      Delete
  4. Ah, interesting entry ini...

    Salah satu entri yang memperlihatkan kekuatan Tamon Ruu. Itu baru buat saya. Tapi masalahnya, kurang mulusnya interaksi karakter jadi bikin fokus ceritanya rada bias buat saya. Dan adegan battlenya standar menurut saya, padahal potensi Alice saya rasa bisa lebih lagi.

    Mungkin konflik Aragon-Alice nya bisa dibilang menarik, tapi sayangnya masih kurang halus. Mungkin timingnya yang kurang pas atau dialognya yang masih kurang mengalir.

    Tapi enjoyable.

    Jadi 7/10 dari saya.

    Salam hangat dari Enryuumaru/Zarid Al-Farabi

    ReplyDelete
  5. Well, tentang urusan aragon-clara-alice saya cuma bisa tunggu tanggapan pemilik oc ybs. Aragon mungkin nggak gitu evil sih imho.
    Mungkin gara2 itu juga si rah rada kurang kemunculannya. Teknis menara termasuk lumayan aja, mungkin entriku aja ya naikin tingkat kesulitannya.
    Yah bisa dibilang ini macam party dadakan yang jadi kacau, daripada vajra yg terlalu sukses sinkronnya. Oh well, kalau tim vajra juga kacau, mungkin saya gak bakal berani upgrade menara2nya dan sering2 munculin si kude gile. eh kok malah aku curhat sendiri sih?
    Nilai 8/10, OC: Vajra

    ReplyDelete
    Replies
    1. ahahaha...sepertinya penggambaran karakter aragon sedikit kurang tepat,.. dia mungkin tidak peduli dengan orang lain, tapi dia tidak akan mencoba melukai teman satu timnya apalagi dari belakang ^^ he's not stupid, too.

      Delete
  6. Ok yang pertama saya tidak mengerti bagaimana bisa party terbentuk tanpa persetujuan masing-masing dan tau-tau ada di tempat misi aja.

    untuk tulisan, tulisannya sudah rapi.

    untuk aksinya lumayan seru

    nilai 9/10

    OC : Yu Ching

    ReplyDelete