16.5.15

[PRELIMINARY] ARAGON FERDEN - THE STRONGEST WILL





ARAGON FERDEN—THE STRONGEST WILL

Penulis: Yuki Ferden




"Akhirnya, babak preliminary Turnamen Battle of Realms akan segera dimulai!" Terdengar suara pembaca pengumuman yang menggelora di setiap penjuru kota Despera. Turnamen yang selama ini ditunggu-tunggu akhirnya dimulai, dan dengan sedikit keterkejutan dari para peserta, babak penyisihan dimulai dengan pertempuran berkelompok di gurun pasir yang hanya bisa dicapai menggunakan portal dimensi yang baru saja dibuka oleh Tamon Ruu, penyelenggara Battle of Realms.


Aragon Ferden, salah seorang peserta­—yang tidak pernah mencalonkan diri tapi terdaftar—bersandar di sebuah dinding batu dan mendengarkan seluruh pengumuman dengan seksama, memperhatikan setiap informasi dengan mata tertutup dan kerudung menutupi wajah. Syalnya berkibar pelan saat udara sejuk menerpanya.



"Jadi … Aku harus menemukan tiga orang lagi untuk bertarung di sebuah medan antah-berantah melawan monster-monster aneh, dan kembali lagi untuk menunggu pengumuman selanjutnya …?" Aragon bergumam pada dirinya sendiri.


"Huh … Merepotkan sekali."


Membuka matanya, Aragon beranjak dari tempatnya berdiri dan mulai melangkah menjauhi keramaian. Belum habis lima langkah, seseorang menyentuh bahunya. Refleks menyebabkan Aragon menangkisnya dan melirik curiga, hanya untuk mendapati seorang pria paro baya dengan wajah ramah dan rambut agak keputihan berdiri di belakangnya. Sebilah pedang panjang tergantung melintang di punggungnya.


"Apa maumu?" Aragon masih meliriknya tanpa membalikkan badan.


Ia tersenyum dan berkata, "Maaf, aku tidak bermaksud mengejutkanmu. Kau juga peserta di turnamen ini, bukan? Kulihat kau masih belum juga mendapat kelompok."
Tanpa menjawab, Aragon menghadapi pria itu, matanya menunjukkan bahwa ia tidak terkesan. "Benarkah? Lihat saja dirimu."
Pria itu tergelak. "Tepat sekali! Jadi begini, bagaimana kalau kau dan aku membentuk tim?"


Aragon terdiam sejenak, namun ia berkata, "Terserah saja. Pastikan saja kau tidak menghalangiku," sebelum kembali berbalik dan melanjutkan langkahnya.


"Namaku Kii. Orang-orang biasa menjulukiku Si Pemecah Pedang." Pria tadi menyusul langkah Aragon.
"Aku Aragon. Aragon Ferden."
"Julukanmu?"
Aragon mendengus. "Tidak penting."


Kii menghela nafas. Ia melirik Aragon dan berkata, "Nak, kau perlu melakukan sesuatu pada sikap acuhmu itu. Bagaimana kalau kita ke bar? Aku yang membayar."
Tanpa menunggu Aragon menjawab, Kii berjalan ke arah sebuah bar yang sepertinya penuh sesak oleh peserta turnamen. Walaupun sempat terdiam sejenak, Aragon mengikuti pria berjanggut abu-abu itu.


Mereka berdua duduk di depan sebuah meja bulat yang terlihat kuno namun bersih. Aragon menghirup jusnya dengan mata tertutup, sementara Kii terlihat menikmati rumnya. Suasana di dalam bar itu menyenangkan, musik dan dengungan percakapan menambah perasaan hangat di ruangan itu.
"Kii. Sepertinya kau tahu banyak tentang Alforea ini … Apa mungkin kau bisa memberitahuku apa yang sebenarnya harus kita lakukan sekarang ini?" Aragon mencoba menambah informasinya dengan milik Kii.


"Yah, aku punya sumber. Kau tahu, sebagai peserta, kita harus mengikuti turnamen ini hingga kita kalah atau menang. Detailnya mungkin akan kuberitahu belakangan—tapi untuk saat ini, kita harus menemukan paling tidak satu atau dua anggota lagi untuk bergabung ke tim." Kii terdiam sejenak untuk menghabiskan rum dalam gelasnya.
"Setelah tim lengkap, kita akan membahas taktik dan strategi bertarung sebelum masuk melewati portal yang telah dibuka menuju gurun pasir, dimana pertarungan itu akan dimulai. Disana sepertinya kita akan disambut dengan pertempuran masal antara prajurit Alforea dan ribuan monster. Sejauh ini, hanya itu informasi yang berhasil aku dapatkan. Sepertinya kita akan tahu semuanya jika telah sampai disana." Ia melirik Aragon dengan mata sayu.


Aragon terdiam. Ia merasa sesuatu yang buruk memang sudah menanti mereka disana. Kii lalu melanjutkan, "Kudengar, … ada seorang gadis shape-shifter yang belum mendapatkan tim. Mereka begitu takut dengannya, karena gadis itu memiliki dua kepribadian yang bertolak belakang. Bagaimana menurutmu?"
"Shape-shifter, ya … Benar juga. Aku akan memerlukan kemampuannya dalam pertarungan ini, Kii." Aragon beranjak bangkit dari kursinya, meregangkan badannya. Tidak ada lagi jalan lain selain mengikuti turnamen ini dengan sungguh-sungguh, pikirnya. Ia memerlukan seorang shape-shifter dan juga… sebuah perisai.
"Perisai? Itu Garrand. Katanya ia dijuluki sebagai The Unceasing Fortress. Apa yang mau kau lakukan?" Kii menunjuk seorang pria berotot dengan perisai raksasa di tangan kanannya, duduk sendirian di pojok bar.



***


"Jadi, Aragon, Kii. Apa mau kalian?" Garrand memandang Aragon dan Kii yang duduk di depannya, tangannya tak terlepas dari perisai emasnya.


"Aku ingin mengajakmu bergabung ke dalam timku. Kudengar kau belum mendapatkan grup hingga saat ini, dan aku rasa kita bisa saling bekerja sama dalam turnamen kali ini." Aragon berkata serius, pandangannya menancap pada lawan bicaranya.


Garrand tergelak, namun pandangannya tetap pada Aragon. "Kau benar, aku memang belum menemukan tim yang tepat. Tapi asal kau tahu saja, nak," Garrand menghantamkan perisai beratnya ke meja, menghamburkan minuman di atasnya. Seluruh perhatian segera terpusat pada mereka. Garrand tersenyum. "Aku yang menentukan siapa yang pantas menjadi timku."


"Baiklah," Aragon membalas  senyumannya. "Mari kita coba seberapa pantas aku menjadi timmu." Duel, itu yang ia maksud.
Dengan itu, mereka berdua melangkah keluar bar dan segera mencari sebuah area yang cukup lapang untuk melakukan pertarungan. Kii menatap dengan tidak bersemangat, namun merasa penasaran akan kemampuan Aragon.


"Nak, jangan memaksakan dirimu." Garrand memperingatkan Aragon seraya mempersiapkan perisainya, membentuk kuda-kuda bertarung.


"Oh, tidak. Aku hanya perlu sedikit waktumu," Aragon menjawab sambil membuka gulungan kain yang membungkus pedang birunya, Arian. Ia menghunusnya dan menggeser kaki kanannya sedikit ke depan, bersiap menyerang.


Sedetik berlalu, dan mereka berdua menerjang. Aragon tahu, jika Arian menghantam perisai Garrand, ia tak akan punya banyak kesempatan untuk menembus pertahanan pria itu. Garrand terlihat percaya diri dan mengayunkan perisai beratnya bagaikan sebuah senjata, berniat meremukkan Aragon dengan sekali hantam. Dalam sepersekian detik sebelum hantaman terjadi, Aragon membungkuk dengan cepat dan menggunakan tangan kirinya sebagai tumpuan sementara ia menendang perisai Garrand yang melesat cepat melewatinya, membuatnya agak terpental ke atas, membuka peluang serangan.
Aragon tidak membuang waktu, seketika itupun ia memijakkan kakinya dan memutar badannya, mengayunkan Arian secepat angin. Garrand melihatnya, dan dengan gesit menghindarinya sambil berguling ke belakang, menjaga jarak kembali.


"Kau lumayan cerdik juga, nak." Garrand tersenyum bersemangat. Ia mengatur kembali perisainya hingga dalam posisi menyerang.


Sekali lagi, pikir Aragon sambil memantapkan genggamannya pada Arian.
Kali ini Aragon yang menyerang lebih dulu. Ia melesat cepat dengan gerakan zig-zag, Arian berkilau di tangan kanannya. Garrand menghunjamkan perisainya kuat-kuat ke arahnya, namun Aragon telah menunggu momen itu. Ia meloncat dan menggunakan perisai garrand sebagai tumpuan, lalu Aragon berputar di udara dan mendarat di belakang Garrand dengan Arian menempel di bahu kanan pria besar itu, memercikkan sedikit bunga api ketika menggesek rompi besi yang digunakannya.
Garrand terkesiap, lebih karena melihat mata Aragon yang tajam menusuk, mata seseorang yang benar-benar memiliki determinasi dan keyakinan kuat pada dirinya.


Gerakan itu terjadi hanya dalam waktu lima detik.


Kii terkejut melihat manuver Aragon yang sukses membungkam Garrand, yang terdiam dan juga terlihat tidak percaya. Aragon menurunkan pedangnya dari bahu Garrand dan kembali menyarungkannya, membungkusnya kembali dengan hati-hati menggunakan sehelai kain putih panjang yang dibawanya.


"Bagaimana menurutmu?" tanya Aragon dengan senyum tipis, tanpa sedikitpun nada mengejek.
Garrand mendengus agak kesal tapi sepertinya ia senang karena menemukan seseorang yang menarik. "Bocah, kau menarik juga. Aku tidak menyangka kau ternyata selincah tikus."
"Aku pun tak menyangka kau sekuat banteng," balas Aragon, mengakui kekuatan lawannya.
Garrand tergelak, lalu akhirnya ia menerima untuk masuk ke dalam tim Aragon dan berjabat tangan dengan mereka.


***


Di sela-sela tegukan birnya, Garrand sesekali memberitahu mereka tentang beberapa pengalamannya saat mencoba direkrut oleh grup lain. Walaupun ia bukannya tidak pernah kalah, Garrand belum pernah mengaku kalah kepada lawannya sebelum ia merasa pertandingannya seimbang, tanpa sihir ataupun kemampuan khusus.


"Jadi mengapa kau menerima tawaran kami untuk bergabung?" Kii bertanya padanya sambil ikut meminum isi gelasnya.


"Entahlah. Aku punya firasat aku bisa menemukan apa yang aku cari bersamanya." Ia menggerakkan dagunya, memaksudkan Aragon yang sedari tadi menyilangkan lengannya, mendengarkan tanpa berkomentar.
Garrand melanjutkan, "Jadi, Aragon. Bagaimana dengan turnamennya? Kebanyakan tim sudah berangkat menuju dataran Shohr'n." Mendengarnya, Kii sedikit membuka mulutnya, seakan berkata, "Jadi itu namanya,"


Mata Aragon terus saja terfokus pada satu titik di ujung bar.
"Kita perlu satu lagi anggota, dan aku sedang melihatnya saat ini," jawabnya tanpa menggeser tatapannya.


Saat Garrand dan Kii mengikuti pandangannya, mereka melihat seorang gadis berambut merah yang sedang berdiri di dekat sebuah jendela, mengenakan sepotong baju hijau tanpa lengan. Tak ada yang aneh pada gadis itu dalam pandangan sekilas, hanya saja sesuatu memang terlihat terlalu janggal untuk bisa dilewatkan oleh mata yang jeli.


Gadis itu terus saja mengubah bentuk tangannya. Untuk sesaat, tangannya berubah menjadi cakar besar dan berbulu yang mengerikan, namun di lain waktu berubah menjadi sebuah pedang kristal yang terlihat sangat tajam.


"Shape-shifter F …," desis Garrand. Kii juga terlihat agak tidak nyaman melihat gadis perubah wujud itu.



Aragon lalu melangkah mendekati shape-shifter itu, yang memang, sepertinya dijauhi oleh setiap orang.


"Hei. Namamu Effeth Scyceid, bukan?"


Gadis itu menghentikan perubahannya, membiarkan tangan kanannya dalam bentuk sebuah kait baja berujung tiga yang terlihat sangat mematikan.
"Apa maumu?" nadanya berbicara terdengar kasar. Ia melirik Aragon, yang agak terkejut melihat mata hijaunya. Sebuah tanda kesinisan dan kebencian dilihatnya, namun ada sesuatu yang lain darinya. Aragon tidak menjawabnya, melainkan meraih kursi terdekat dan duduk di sampingnya dan menurunkan kerudung yang selama ini selalu menutupi kepalanya.


Dengan kasual, Aragon bergumam seakan berbicara pada dirinya sendiri, "Kurasa semua orang di sini tidak terbiasa diberi pertanyaan semacam itu, ya …"


Mendengarnya, gadis itu terlihat tersinggung.
"Hei, bocah …! Apa kau sudah bosan hidup!? Menyingkirlah atau—" kata-katanya tiba-tiba terhenti, dan walaupun terjadi sangat cepat, Aragon menangkap adanya perubahan pada raut wajah dan sorot matanya. Dia berubah? pikirnya heran.
Seakan tidak pernah ada, gadis tadi digantikan oleh seorang gadis lain yang terlihat sangat ramah. Aragon kemudian menyadari inilah yang dikatakan oleh Kii tentang dua kepribadian yang dimiliki oleh shape-shifter ini.


"Oh … Maafkan aku. Kau benar, namaku Effeth, tapi kau bisa memanggilku F." Ia menjawab dengan ceria.
Tiba-tiba ia berubah lagi.
"Oh, kenapa kau selalu saja bersikap baik kepada setiap orang yang bahkan belum kau kenal?"
Gadis itu menjawab dirinya sendiri dengan agak kesal. "Jangan jadi menyebalkan. Kau tahu kita memang belum mendapat pasangan untuk turnamen kali ini. Itu semua karena kata-kata menyebalkanmu menakuti mereka!"


"Maafkan aku karena mengganggu, tapi perkenalkan, namaku Aragon. Aku sedang membentuk sebuah kelompok untuk turnamen ini dan di meja di ujung sana, dua orang temanku telah bergabung." Aragon berkata pada Effeth.
"Kami rasa akan jadi lebih baik jika kita saling bekerja sama untuk menyelesaikan turnamen babak ini. Jadi aku ingin kau bergabung dengan kami, nona F." Ia melanjutkan.


"Oh, dia manis."
"Diamlah, kau mempermalukanku, bodoh."
"Oh, aku tak menyangka kau setega itu padaku!"
"Oh, ya ampun."
Ia beralih pada Aragon, "Kau tahu, aku sudah mempertimbangkannya. Aku akan senang bisa ikut—"
"Hei! Ehem. Aragon, kurasa kami tidak memiliki pilihan lain selain bergabung dengan grupmu. Asal kau tahu, aku tidak terbiasa dibebani." Gadis itu membalikkan badannya dan berjalan menjauh, kembali mengubah-ubah bentuk tangannya.

"Tentu saja. Aku tak akan membebanimu." Aragon menjawab dengan kasual dari balik syalnya, melirik gadis berambut merah itu.


Timnya telah lengkap. Aragon belum mengetahui apa yang mungkin akan mereka hadapi di dataran Shohr'n, namun setidaknya, ia tahu ia bisa mengandalkan rekan-rekan barunya ini.


"Hei, Aragon! Rayuan yang bagus, tapi bisa kau mintakan aku segelas rum lagi?" Kii berseru dari tempat duduknya, mengayunkan gelas kosongnya di udara. Melihat tingkahnya, Aragon hanya mendengus dan beranjak kembali ke mejanya, mengenakan kembali kerudung abu-abunya.


***


Mereka berempat berkumpul di sekeliling meja kayu yang kini dipenuhi gelas-gelas kosong. Semuanya duduk kecuali Aragon, yang berdiri di depan sambil menyilangkan tangannya di depan dada.


"Sekarang kita semua lengkap. Aku ingin memulai ini dengan sambutan yang hangat tapi sayangnya kita tidak punya waktu untuk itu. Jadi akan kumulai dengan deskripsi tujuan kita kali ini." Aragon memulai, melirik setiap mata yang kini terfokus padanya, kata-katanya cepat dan padat. Ia melanjutkan.
"Setelah ini kita akan langsung berangkat ke tempat pertempuran di dataran Shohr'n melalui portal yang dibuka di tengah kota. Aku tidak tahu pasti, tapi kemungkinan besar kita akan mendapat informasi lebih lanjut di sana.
"Dan sebelum kita mulai babak kali ini, aku ingin kita mengetahui kemampuan bertarung masing-masing."


"Kau tahu, aku suka gaya bicaramu, bos," ledek Effeth sambil tertawa kecil.
"Hush, diamlah!" Ia membalas perkataannya sendiri.


Garrand lalu berkata bangga sambil menepuk perisainya. "Kau tahu, aku memiliki kemampuan yang disebut natma dan carma. Aku mampu menggunakan perisaiku untuk menyerang sekaligus mampu memberi perlindungan pada kalian semua. Perisaiku akan mampu menahan segala macam serangan fisik maupun sihir, setidaknya untuk beberapa saat."


Kii menghembuskan nafas panjang, lalu berkata, "Oh, baiklah. Kemampuanku hanya satu, menebas dengan pedang ini. Aku hanya mampu menebas, dan seiring dengan jumlah tebasan, kekuatan penghancurnya akan meningkat. Untuk saat ini aku hanya mampu mencapai lima puluh tebasan." Ia terlihat muram setelah mengatakan kalimat terakhir itu.
Terdengar gumaman kekaguman di antara mereka setelah mendengar kekuatannya. Lalu kali ini Effeth yang berbicara.


"Aku bisa membantai—"
"Eeh, maksudku … Aku bisa mengubah seluruh tubuhku menjadi bentuk apapun yang aku inginkan. Aku juga mampu mengubah kepadatannya, dan mungkin bisa menahan beberapa serangan energi dan mengalirkannya." F mengatakan kemampuannya.


"Kau sendiri, Aragon?" Kii mengalihkan pertanyaan pada pemuda berkerudung yang berdiri diam di depannya itu.


Aragon ragu-ragu, namun ia kemudian memilih untuk berbicara. "Aku memiliki ini," katanya sambil menyentuh pedang di punggungnya yang terbungkus lilitan kain. "Arian, memilihku untuk menjadi penyandangnya. Ia adalah salah satu dari lima pedang legendaris yang ada di negeriku, Velgia. Pedang ini tidak bisa terpengaruh sihir dan bisa dikatakan, aku tak tahu, … Tapi sepertinya tidak ada yang bisa merusaknya selain pedang yang sejenis dengannya."


"Kau bercanda! Pedang itu tak terhancurkan, maksudmu?" Kii terkesiap mendengarnya, sedikit rasa iri sepertinya terbesit di benak pria itu.


"Entahlah. Aku hanya tak pernah menemukan goresan dan kerusakan pada benda ini. Oh ya, kemampuanku yang lain adalah sihir es. Aku mampu mengendalikan air dan es sesuka hati, dan mengubah suhu. Aku tahu, aku tak akan banyak berguna di gurun pasir nanti, tapi aku bisa pastikan aku tak akan membebani kalian semua." Matanya yang penuh keyakinan dan tekad itu lebih dari cukup untuk meyakinkan rekan-rekannya akan perkataannya.


"Kita pasti akan menyelesaikan turnamen preliminary ini!" F berkata dengan semangat.
"Banyak yang akan bisa aku bunuh …," gumam F yang lain dengan senang.


"Aku juga akan berjuang semampuku bersama kalian. Siapa yang tahu, mungkin dengan kalian, aku bisa menjadi lebih kuat lagi." Kii meregangkan badannya, tidak sabar akan pertarungan.


"Baiklah … Kalau begitu, apa lagi yang kita tunggu? Ayo berangkat menuju portal itu!" Garrand menyudahi diskusi singkat mereka dengan satu hentakan bersemangat ke meja, membuat semua yang ada di atasnya berhamburan.



***


Mereka mendapati jumlah peserta yang tadinya cukup untuk memenuhi seluruh halaman kota kini telah jauh berkurang. Kebanyakan peserta telah mendapatkan kelompok masing-masing dan melewati portal yang terletak di tengah kota. Belum ada satupun yang kembali.
Aragon mendapati dirinya menatap sebuah gerbang besar dengan pintu kaca berukiran di depannya. Itulah portal yang akan mengantarkan mereka ke dataran Shohr'n tempat pertarungan pertama mereka di dunia ini akan dimulai.
Setelah ini, tak ada lagi jalan kembali. Aku harus menyelesaikannya dan keluar dari dunia ini. Tugasku bukan untuk bersantai disini! batin Aragon sambil mengepalkan tangannya, membulatkan tekadnya.


Mereka berempat lalu mendekati portal tersebut dan menemui seorang gadis berpakaian pelayan yang sepertinya memang telah menunggu mereka sejak tadi. Penampilannya tak ada bedanya dengan gadis pelayan biasa, namun Aragon mengetahui bahwa orang ini bukanlah manusia. Gadis itu memperkenalkan dirinya sebagai Catherine, maid yang akan memberi mereka petunjuk tentang pertarungan kali ini.


"Tim Aragon? Apa kalian sudah siap untuk memulai turnamen Battle of Realms ini?" tanya Catherine sambil tersenyum manis kepada Aragon.


"Ya, kami siap." Aragon menjawab singkat sambil menyilangkan lengannya di dada.


"Baiklah kalau begitu." Catherine tersenyum, lalu melangkah mundur, seakan mempersilahkan mereka untuk melanjutkan.
Gerbang portal itupun mulai terbuka secara perlahan, cahaya putih menyeruak keluar dari dalamnya. Garrand menghalangi cahaya itu dengan sedikit mengangkat perisainya menutupi wajahnya. Effeth dengan mata sadisnya yang jelas-jelas terlihat gembira mengertakkan jemarinya dengan tidak sabar. Kii, seperti biasanya, menatap gerbang itu dengan mata sayu, sebuah alisnya sedikit terangkat keheranan.


Aragon melangkahkan kakinya, bersiap menghadapi apapun yang menunggunya di balik ambang pintu kristal itu. Ia tahu ia pernah melalui sesuatu yang jauh lebih buruk dari ini. Sesuatu yang tidak pernah ia inginkan untuk kembali terjadi.


"Kalian." Aragon berkata tanpa menoleh kepada rekan-rekannya. "Kita pergi dan kembali. Aku akan pastikan kita semua kembali lewat gerbang ini lagi."


"Hah! Jangan sombong! Aku pasti kembali dari tempat itu, bod—"
"Tentu saja! Kita pasti bisa berhasil menyelesaikan turnamen ini bersama!" F tersenyum ceria dengan pandangan polosnya.
Kii hanya tergelak kecil dan menepuk pundak Aragon sambil berjalan mendahuluinya memasuki portal.


Dan dengan itu, mereka berempat lenyap ke dalam portal dimensi yang membawa mereka menembus ruang dan waktu, menuju sebuah tempat asing yang tak pernah terbayangkan oleh mereka. Mereka pergi melewati ambangnya dari Despera, dan gerbang itu akan tetap terbuka hingga mereka kembali dari sisi lainnya.


Jika mereka bisa kembali.



***



Potongan-potongan memori melesat cepat melewati benak Aragon yang tercampur aduk, membawanya kembali melewati waktu menuju masa lalu yang selalu menghantuinya.


"Aragon..! Aragon!!"


Sebuah suara memanggilnya dari kejauhan. Aragon membuka matanya secara perlahan, mendapati dirinya berada di sebuah tempat yang anehnya sangat familiar. Ia tersungkur di rerumputan, darah menetes dari sudut bibirnya. Arian tertancap dua meter di depannya, berkilau memantulkan cahaya matahari senja yang anehnya terlihat sangat merah. Ia menoleh ke arah suara, dan mendapati seseorang sedang berlari mendekatinya, membawa sebuah pedang berwarna merah darah.
"Blaze?" Aragon berseru tidak percaya. Ia berusaha bangkit, namun kakinya terasa terpaku pada tanah. Kepalanya terasa berputar, rasa sakit memenuhi otaknya.
Tiba-tiba pemandangan berubah. Langit menjadi jauh lebih gelap, dan sesosok pria jangkung muncul di depannya. Aragon menatapnya tanpa mampu bergerak, rasa takut dan dendam merasukinya, membuatnya terpatung di depan musuh terbesarnya.


Velenor, raja yang selama ini ingin ia kalahkan demi membalaskan dendam seumur hidupnya, berdiri beberapa meter di depannya, menyandang pedang hitam Galventor dengan ekspresi halus yang penuh akan kekejian. Sudut bibirnya melengkung, membentuk senyuman mengerikan. Rambut hitamnya berkibar di angin yang telah tunduk pada elf itu.


"Aragon, Aragon … Sejauh ini mencariku, apa hanya sampai sini kemampuanmu?" Velenor mengangkat pedangnya, menunjuk Aragon dengan ujung Galventor.


"Oh, lihatlah dirimu. Kau terlihat sangat menyedihkan, putra Arwen! The Frozen Fist? Pembawa Pedang Biru Arian? Kuharap kau bisa hidup dan melihat teman-temanmu mati dalam kesengsaraan, tapi kurasa lebih baik kuakhiri saja penderitaanmu disini, agar kau bisa lebih menikmatinya di kematian!!" Dengan itu, Velenor menyentakkan tangan kanannya, dan secepat kilat, Galventor melesat menembus udara menuju jantung Aragon.


Sesaat sebelum pedang itu mengenainya, Blaze melompat ke depan Aragon dan menahannya dengan tubuhnya.


"TIDAK!!!" Jeritan itu keluar dari mulut Aragon, saat ia tanpa daya melihat sahabatnya menerima tusukan maut yang seharusnya menancap pada jantungnya sendiri.
Blaze terdorong ke belakang oleh daya dorong Galventor, namun ia berhasil menahan lajunya, sementara ujung besi hitam pedang itu mencuat dari punggungnya. Blaze menoleh pada Aragon, dan pandangan sahabatnya itu selalu menghantuinya kapanpun dan di manapun ia berada.


Pandangan mata yang seakan berkata,
"Ini keinginanku. Jangan salahkan dirimu sendiri karena aku mati demi melindungi temanku, Aragon!"


Lalu kegelapan pun menyelimuti Aragon, menjadi tirai kelam yang segera terkuak kembali, melepaskannya dari cengkeraman kenangan yang penuh kepahitan.



***



Memori itu lagi …




Setitik cahaya menerangi penglihatan Aragon yang terselimuti kegelapan, dan ketika ia membuka matanya, ia mendapati dirinya tersungkur di tanah kering berbatu, pasir menempel di pipinya, yang membuatnya terkejut, basah dengan airmata. Udara dingin menerpanya, membuatnya sadar bahwa ini bukanlah mimpi ataupun sebuah visi. Ia bergegas bangkit, mengusap pasir dari pipinya dan melihat sekeliling, mencoba menepis bayangannya tentang masa lalu dengan memperhatikan situasi di sekitarnya. Rekan-rekannya ada di sekelilingnya, kurang-lebih dengan kondisi yang sama dengannya. Si pelayan berada di depan mereka semua.


Sementara mereka berempat kembali menghimpun kesadaran, Catherine berkata dengan panik, wajahnya memancarkan kebingungan dan kecemasan.
"Oh, tidak … Prosedur pemindahan dimensi mengalami interferensi! Terjadi kegagalan dalam mendeteksi penyebab gangguan sistem—"
Aragon memotong perkataannya, "Hei, apa yang sesungguhnya terjadi?"


Catherine berkata sambil menunjuk langit senja yang berwarna kemerahan. Sebuah lingkaran merah raksasa melayang di langit tersebut, penuh rekahan yang tiap detiknya makin melebar.


"Terjadi kesalahan dalam pemindahan dimensi, dan sekarang bulan Alkima akan sepenuhnya pecah! Tidak ada waktu lagi, kalian harus langsung berangkat menuju reruntuhan kastil yang berada sekitar lima ratus meter di utara. Setelah Alkima hancur, seekor monster raksasa bernama Tamon Rah akan muncul dan segera memusnahkan segalanya di dataran ini kecuali kalian menyegelnya kembali ke Alkima dengan menghancurkan dua menara segel yang berada di kastil itu."


Kii bertanya padanya, masih merasa kebingungan. "Hei, hei, … Apa maksudmu dengan menghancurkan menara?"


"Tepat seperti yang kukatakan. Waktuku sudah habis di sini, kalian harus menghancurkan dua menara kristal yang berada di kedua ujung kastil secara bersamaan, dan ketahuilah bahwa sihir jenis apapun tidak akan mempan melawan pertahanan menara itu. Cepatlah! Kalian telah kehilangan kebanyakan waktu kalian pada waktu perjalanan, dan Alkima akan melepaskan Tamon Rah kapanpun dari sekarang!" Dan dengan instruksi terakhirnya itu, Catherine mulai memudar, sebelum sepenuhnya lenyap dari pandangan meninggalkan mereka berempat yang kebingungan di bawah cahaya bulan merah di dataran gelap yang dipenuhi lautan pasir.


Dari kejauhan, angin membawa suara pertempuran yang sepertinya telah berlangsung cukup lama di dataran berpasir itu. Aragon mencoba melihat pertempuran itu dengan lebih jelas, namun kepulan debu dan cahaya redup bulan merah bukanlah sesuatu yang akan membantunya melihat pada saat itu.


Menyadari keadaan secara tidak terduga telah menjadi sangat genting, Aragon langsung menyerukan rencana yang—saat ia mengatakannya, masih ia reka-reka di benaknya.


"Tidak ada waktu untuk persiapan lagi. Kita langsung berangkat menuju utara! Rencana akan kukatakan di perjalanan," dan Aragon pun membalikkan badannya dan mulai berlari dari tempat mereka tiba dari gerbang dimensi tadi. Kii dan Garrand saling pandang sejenak, lalu mereka juga mengikuti langkah-langkah gesit Aragon. Effeth yang sejak tadi terdiam juga mengikuti mereka dengan mengubah kakinya menjadi kaki burung unta, berlari dengan mudah di atas pasir yang membentuk jejak-jejak kaki, butir-butirnya memantulkan cahaya kemerahan Alkima.


"Dengarkan baik-baik. Setelah Tamon Rah itu terlepas dari segelnya, kita tak boleh menyia-nyiakan waktu. Aku akan menuju menara yang satunya bersama dengan F, Kii dan Garrand akan mengurus yang lain. Kita akan menghancurkannya dengan sekali se—" kata-katanya terputus oleh sebuah ledakan dahsyat di langit. Permukaan Alkima telah meledak, pecahannya dengan berbagai ukuran berhamburan ke segala penjuru, beberapa terbakar habis di atmosfer sementara sisanya mendarat dengan ledakan di dataran berpasir itu, tidak jarang menghancurkan monster maupun pasukan manusia. Warna bulan itu pun berubah menjadi oranye kemerahan.


"Oh, kau pasti bercanda." Garrand menghentikan langkahnya dan menatap langit dengan ekspresi tidak percaya.


Sesosok makhluk nan-besar bangkit dari permukaan bulan raksasa itu, dengan sepasang sayap kolosal yang membentang menutupi cahaya kemerahan Alkima. Sepasang mata merah menyala terbuka, mulut yang penuh gerigi dan lidah api mengeluarkan ringkikan berat termengerikan yang pernah mereka dengar, menggelora sepanjang padang pasir yang tak berujung. Wujud Tamon Rah menyerupai kuda bersayap yang memiliki tanduk besar di ujung kepalanya dan empat kaki bertapal yang diselimuti nyala api merah, mata dan surainya yang panjang menyala terang bagaikan lava—namun hal yang paling mencengangkan dari makhluk itu adalah ukurannya. Kuda monster itu melayang setinggi ratusan meter dari permukaan tanah, namun ukurannya tidak bisa diragukan lagi mencapai puluhan meter. Bahkan dari kejauhan, kepakan sayapnya menciptakan angin kencang yang menghamburkan butiran-butiran pasir ke udara, mengibarkan pakaian mereka berempat.


"Itu Tamon Rah!? Apa-apaan dengan ukuran gila itu?" F berseru setengah tidak percaya dan terkejut.


"Bagaimana mungkin sesuatu sebesar itu terbang di langit?" Garrand juga tidak memercayai penglihatannya.


"Kita tidak mungkin—tidak, … Kita tidak bisa menang melawan sesuatu seperti itu!" Kii mencabut pedangnya dari punggungnya dengan keputus-asaan.


Meski sama terkejutnya dengan yang lain, Aragon tidak ingin membiarkan mereka kehilangan setiap detik yang telah menjadi sangat berharga.
"Jangan berhenti! Gunakan kesempatan ini sebelum makhluk itu menyadari keberadaan kita," serunya sambil mempercepat larinya, menaiki sebuah gundukan pasir dan sedikit menutupi wajahnya dari hembusan angin bercampur pasir yang menerpanya.


***



Suara pertempuran terdengar sangat jelas di sini. Di depan mereka, ratusan prajurit manusia sedang bertempur mati-matian melawan ratusan, bahkan ribuan monster dalam berbagai macam jenis dan ukuran. Para prajurit itu jelas terlihat kewalahan melawan jumlah makhluk mengerikan yang jauh berada di atas mereka.



Seorang prajurit terkena hantaman sebuah gada milik troll setinggi tiga meter dan terhempas ke samping, tersungkur dan memuntahkan darah. Baju besinya remuk, dan pedangnya juga terlempar entah ke mana. Troll itu melangkah mendekat, gada berat terangkat tinggi di atas kepala botaknya. Sekali ayun dan tamatlah sudah pria itu.

Ia menunggu pukulan terakhir itu dengan pasrah, namun sepertinya kematian belum mengincarnya. Troll itu tiba-tiba teralihkan oleh sesuatu yang memang hampir mengalihkan perhatian setiap orang.


Seorang pria tinggi besar berompi kuning dan membawa perisai emas sebesar roda kereta menerobos masuk kerumunan goblin dan orc, menghempaskan mereka ke tanah atau udara seakan mereka hanya sebutir batu kerikil. Ia mengayunkan perisai yang terlihat sangat berat itu bagai memainkan pedang, rahang dan tulang belulang monster remuk dibuatnya. Belum sempat mengenali musuh baru mereka, para goblin yang lain meregang nyawa terkena tebasan pedang panjang seorang pria yang sepertinya telah melepas bajunya—hanya bajunya. Yang mengejutkan, tebasan pria itu terlihat semakin lama semakin dahsyat.
Tidak cukup dua pria mengerikan, seorang gadis mungil malah membuat orc dan goblin menjerit-jerit ketakutan. Dengan tawa mengerikan, gadis berambut merah darah itu beterbangan di udara menggunakan sepasang sayap kelelawar raksasa dan mencabik-cabik daging setiap monster yang ditemuinya menggunakan cakar-cakar baja setajam silet, menebarkan teror bahkan kepada troll yang paling berani sekalipun.


Tidak ingin membuang waktunya, troll pembawa gada itu lalu mengalihkan kembali wajah jeleknya pada si prajurit, memutuskan untuk membunuhnya saat itu juga. Tiba-tiba, tiga batang pisau menembus lengannya, membuat makhluk besar itu menjerit kesakitan dan menjatuhkan gadanya. Belum sempat melakukan hal lain, makhluk itu langsung terpaku diam, kemudian tubuh besarnya bergetar hebat selama dua detik sebelum mulutnya terbuka lebar dan belasan paku beku berwarna merah sepanjang setengah meter mencuat dari dalam tubuhnya, membunuhnya seketika.
Lima meter di belakangnya, seorang pemuda berkerudung mengarahkan tangan kanannya ke arah troll tadi, menggunakan sihirnya untuk membunuh makhluk buruk rupa bertubuh besar itu.



Beberapa meter dari tempat itu, Kii yang mulai bersemangat menebaskan pedangnya dengan cepat menembus daging dan tulang para monster. Ia menghindari sebuah ayunan gada dari tiga troll yang menghadangnya, lalu menendang salah satu troll hingga kehilangan keseimbangan. Kii memutar badannya, dan dengan seruan keras, menebas ketiga kepala troll sekaligus hingga melambung jauh ke dalam medan pertempuran.


"Dan itu yang ke-dua puluh tiga!" katanya sambil menyarungkan kembali pedangnya, terlihat agak letih akibat serangannya tadi. Kii merasakan bekas luka di bahu kanannya berdenyut, namun ia malah semakin bersemangat untuk melawan lebih banyak musuh lagi.


Effeth, yang membiarkan sisi sadisnya mengambil alih sepanjang waktu terlihat menikmati pertempuran, atau lebih tepatnya pembantaian yang ia lakukan. Ia secara konstan mengubah pola serangan serta senjatanya, berubah dari sepasang pedang baja yang memotong cepat apapun yang berada di dekatnya, hingga dua martil besi yang bahkan dapat menghancurkan sesuatu sebesar golem batu setinggi tiga meter.


"Ayo, ayo, ayo!! Datang lagi, ayo datang terus!" F berseru senang dengan seringaian kejinya, tidak memedulikan darah musuhnya yang membasahi bajunya.
"Oh, tidakkah kau pikir ini keterlaluan?" Ia berkata pada dirinya sendiri di sela-sela pertempuran.
"Kau bercanda? Ini benar-benar mengasyikkan!" balasnya sambil tergelak dan memalu kepala goblin terdekat dari samping hingga putus.



Aragon merapalkan mantra sambil berlari menuju segerombolan werewolf dan golem batu yang tinggi besar yang menyerbu ke arahnya, jubah hitamnya berkibar liar di belakangnya.
"Isa Froza de Circla!" serunya sambil membuat gestur dengan tangan kanannya seakan mendorong sesuatu di depannya.


Secercah cahaya kebiruan seketika memancar dari telapak tangannya, terfokus tepat di tengah-tengah gerombolan monster itu, lalu memudar hampir sama cepatnya. Sedetik pun berlalu, dan sihirnya langsung bekerja.


Seketika, hampir empat puluh monster seperti werewolf, troll, golem, goblin, dan lain-lain di depan Aragon berubah menjadi patung es, mati membeku hingga ke dalam tulang dalam sekejap mata. Efek dingin yang diakibatkan mantra itu sungguh dahsyat, bahkan partikel-partikel air yang sedikit terdapat di udara pun membeku, membentuk butiran-butiran salju kecil yang bercampur bersama pasir yang terbawa angin.


Mencabut Arian dari belitan kain putih dan sarungnya, Aragon menerjang ke depan sambil menahan rasa letih luar biasa yang menyerangnya akibat efek samping penggunaan sihirnya. Pedang birunya melesat cepat memotong sosok-sosok beku yang menghalangi jalannya, menghancurkannya bagai memecahkan kaca. Serpihan es yang mulai meleleh bertebaran di pasir yang panas, disertai pecahan-pecahan tubuh beku para monster yang tidak cukup beruntung.


Perbuatan Aragon yang spektakuler itu membuat para prajurit Alforea berseru dengan semangat baru. Mereka terlihat kembali mendapatkan kekuatan baru dan semakin merangsek maju ke dalam gerombolan monster yang sepertinya memang tidak ada habisnya. Seruan-seruan penyemangat terdengar di udara, di sela-sela dentingan pedang dan jeritan kesakitan, tidak ada yang terlalu memedulikan keempat orang aneh yang terus saja berusaha menembus lautan monster di depan mereka. Kemampuan mereka terlihat bagaikan mukjizat bagi para prajurit yang tadinya sempat kehilangan harapan, namun tidak ada yang menyadari bahwa itu adalah sebuah kesalahan besar.


"Oh, sial! Kurasa kuda raksasa itu mengarah kemari, Aragon! Ugh, lima belas!" Kii berseru sambil menghitung tebasan pedangnya.



***



Tamon Rah melesat turun dengan kecepatan mengerikan dari langit. Gelombang panas mengikuti jalur terbangnya, menerangi langit malam dengan kobaran api dari sayapnya yang membara. Makhluk itu kini memusatkan perhatiannya kepada seorang pemuda yang sedang merapalkan mantra dan membasmi sekumpulan monster ratusan meter di bawahnya. Ia meringkik liar dengan penuh amarah dan mempercepat terbangnya, turun ke medan pertempuran bagaikan gunung berapi yang siap menghancurkan semuanya dalam sekali letusan.


Melihat bahaya besar mendatangi, Aragon berpikir cepat dan menyuruh ketiga rekan sekelompoknya untuk berkumpul. "Garrand, kuharap kali ini kau bisa melindungi kami semua." Ia meliriknya sambil menebas beberapa orc yang berada terlalu dekat dengannya, berniat menyimpan energinya sihirnya untuk saat-saat genting nanti. Mereka terus bertarung mati-matian sementara lautan monster yang tak kunjung habis mulai mengerubungi mereka.


Tamon Rah meringkik marah di langit, serpihan berapi berjatuhan dari sayap-sayapnya yang mengepak kuat.

Ia … Ia akan segera menghancurkan kita semua! batin Aragon dengan frustasi. Ia pernah menghadapi sesuatu yang menyerupai ini, dan ia tahu, ada yang telah memicu sesuatu pada monster raksasa itu.


Bagaikan menjawab perkataan Aragon, Tamon Rah berhenti menukik sekitar lima puluh meter di atas tanah. Bayangannya menyelimuti hampir seluruh medan pertempuran, mengalihkan perhatian baik manusia maupun monster-monster. Kuda itu membuka mulutnya dan menunjukkan geriginya yang terlihat mematikan, sepertinya menunggu sesuatu.
Lalu sebuah bola terang berwarna kuning muncul dari dalam rongga mulutnya, tumbuh semakin besar setiap detiknya. Bola api itu dengan cepat berukuran hampir sebesar kepalanya, sebelum Tamon Rah menarik lehernya dan bersiap-siap memuntahkan miniatur matahari itu ke bawah.


Semua mata memandang ke langit saat bola api yang terang benderang itu melesat turun dengan cepat bagaikan sebuah bintang jatuh, mengincar Aragon dan kawan-kawannya.


"Kau bercanda …!! Hei, hei, kalian semua! Cepat berlindung di belakangku!" Garrand lalu memosisikan perisainya sehingga sisi depannya mengarah tepat ke arah bola api raksasa yang mengarah padanya.


Lalu sesaat sebelum bola bercahaya itu mendarat di perisainya, Garrand berseru keras, "Constant Fortress!!"


Bola api raksasa itu mendarat dengan ledakan cahaya yang terlebih dahulu menyelubungi dataran Shohr'n. Sepersekian detik setelahnya, gelombang dahsyat ledakan yang memekakkan telinga menyapu padang pasir berbatu itu. Dalam radius tiga puluh meter, gelombang panas menerpa sebagian besar medan perang, menghempaskan apapun yang tidak cukup kokoh untuk menahannya. Angin panas menerbangkan pasir dan menimbulkan gumpalan debu tebal yang menutupi sebagian besar medan perang.


Setelah asap dan debu panas mulai memudar, Aragon mendapati mereka berempat terselamatkan oleh perisai Garrand yang terlihat melebar seluas lima kali ukuran aslinya, dengan sisi-sisi transparan dan bercahaya keemasan yang melindungi mereka dari serangan Tamon Rah yang mematikan.
Ledakan tadi begitu kuat dan terfokuskan sehingga tanah di sekitar mereka menghitam dan membuat mereka seperti berada di dalam kawah meteor kecil, dengan perisai Garrand yang tak tergoyahkan di pusatnya. Garrand lalu menurunkan perisai emasnya, terlihat agak letih akibat menahan sesuatu sekuat bola api tadi.



Mereka berempat melihat ke sekeliling dan terpana melihat mayat-mayat hangus para monster yang tadinya mengerumuni mereka. Beberapa makhluk seperti golem dan slime api sepertinya bertahan dari serangan tadi. Sebagian besar prajurit Alforea yang selamat berada sedikit di luar area ledakan, sepertinya terlontar oleh kekuatan ledakan api Tamon Rah. Suasana terlihat begitu sepi, kekacauan yang ditimbulkan oleh bola api tadi membungkam segala macam mulut dan menulikan banyak telinga.


Tamon Rah masih beterbangan di atas, sedikit berada lebih tinggi dari posisinya tadi. Kuda monster itu meringkik mengerikan dan terlihat terbang berputar-putar di udara seratus meter di atas permukaan tanah, terlihat menunggu sesuatu terjadi atau mungkin merasa puas akan kehancuran yang ia sebabkan.



***



"Kuda sialan … Tanpa Garrand, kita sudah benar-benar habis tadi," geram Kii sambil mengibaskan pedangnya yang berasap dan berlumuran darah monster.

"Kau tak apa, Kii? Bahu kananmu sepertinya terluka lumayan parah," F bertanya padanya, menunjuk luka memanjang di bahu kanan Kii yang mengeluarkan darah.

"Ini hanya bekas luka lama … Aku bertindak ceroboh dan membukanya kembali," Kii menyarungkan pedangnya kembali, menunggu tenaganya untuk pulih kembali.


Keadaan sekitar yang terlihat berantakan dan kosong sepertinya memberikan kesempatan bagi mereka untuk berunding. Aragon yang mengawasi pergerakan Tamon Rah sejak awal pun, merasa makhluk itu kehilangan minatnya pada mereka, setidaknya untuk saat ini.


"Kii, Effeth, Garrand. Dengarkan aku baik-baik, kita tidak memiliki banyak waktu untuk berstirahat, jadi sekarang yang akan kukatakan perlu kalian perhatikan dengan baik." Aragon berbicara dengan cepat, berniat mengatur rencana secepat mungkin.
"Seperti yang kalian lihat tadi, makhluk itu memiliki kekuatan penghancur yang luar biasa. Tanpa perlindungan Garrand, aku ragu kita bisa lolos dari serangan tadi. Namun yang berhasil aku amati adalah bagaimana ia bereaksi dengan kemampuan kita."


"Apa maksudmu dengan reaksi pada kemampuan kita?" Garrand mengangkat sebelah alisnya.


"Tamon Rah tiba-tiba menyerang segera setelah kita menggunakan kemampuan kita dalam pertarungan. Ini hanyalah spekulasiku, tapi kurasa itulah yang membuatnya memfokuskan serangannya pada kita berempat, bukannya mengamuk di tempat lain," Aragon melanjutkan.
"Dengan asumsi seperti itu, kurasa ia akan menyerang lagi setelah kita kembali menggunakan kekuatan kita. Jadi jika kita tetap seperti ini, aku ragu Garrand sekalipun mampu bertahan melawan serangan sekuat itu secara terus menerus."


Garrand mengiyakan sambil sesekali memeriksa perisainya yang sedikit kehitaman.


"Aku mengerti. Jadi apa yang harus kita lakukan? Aku bahkan belum melihat kastil itu sama sekali," gerutu F.


Aragon lalu menunjuk langit dimana Tamon Rah dengan sosoknya yang luar biasa besar sedang terbang melingkar, mengawasi dataran Shohr'n.
"Kita akan menggunakan kemampuannya itu untuk, setidaknya, menghambatnya sementara kita berpencar menuju ke menara itu. Setelah serangan Tamon Rah yang tadi, aku sempat melihat siluet reruntuhan kastil di utara sekitar dua ratus meter lagi, yang tadi sepertinya tersembunyi oleh gundukan pasir. Aku mau kalian bertiga bergegas menuju kastil itu dan menghancurkan menaranya." Lalu, dengan itu, ia pun menjelaskan rencananya dengan rinci dan padat kepada ketiga rekannya.


"Apa katamu? Kau tak bisa mengumpankan dirimu sendiri kepada makhluk buas itu, Aragon! Kau lihat sendiri, 'kan? Ia bisa membunuhmu dalam sekejap!" F berkata tidak setuju setelah mendengar rencana Aragon.


"Aku tahu. Itulah mengapa aku memikirkan rencana ini, karena bagaimanapun juga, ini lebih baik daripada menjadikan kita semua sebagai sasarannya." Aragon menjawab, dan dengan sedikit lambaian tangan, ia mengurungkan niat F untuk membantahnya lagi.
"Aku akan menarik perhatiannya dan memberi kalian cukup waktu untuk pergi dan menghancurkan menara itu. Sihirku akan cukup untuk mengalihkan perhatian makhluk itu, dan bisa memberi kalian kesempatan untuk menggunakan kekuatan kalian untuk menghancurkan menara-menara itu. Lagipula, suhu gurun ini sudah turun begitu jauh dari sebelumnya, dan kekuatanku telah meningkat drastis karenanya. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan." Aragon memandang mereka bertiga dengan pandangan yang tajam, berniat memaksa mereka untuk menerima rencananya.


Mudah sekali bicara, ya … Aku sendiri pun tak yakin akan bisa bertahan selama itu menghadapi monster yang satu ini … pikirnya sambil menyembunyikan senyum pahitnya di balik syal abu-abunya.


"Baiklah … Aku mengerti. Aku tidak setuju dengan rencanamu, tapi kurasa hanya ini yang bisa kita lakukan saat ini." Kii melangkah mendekatinya dan menepuk bahu kanan Aragon, memegangnya dengan agak keras dan memaksanya untuk menatap matanya yang sayu.
"Kalau kau hanya mementingkan dirimu sendiri dan menikmati pertarungan dengan monster itu tanpa mengajak kami, akan benar-benar kuhajar kau nanti!"


Kii tersenyum dan melepaskan bahu Aragon. Garrand lalu mengangguk dan bangkit dengan perisainya, F berdebat dengan dirinya sendiri namun juga terlihat percaya diri. Aragon, melihat semua itu, merasa keyakinannya kembali lagi. Ia ingat, sesuatu yang berharga baginya tidak bisa ia dapatkan hanya dengan mencarinya. Teman-teman barunya ini telah membuktikannya, dan dengan itu, Aragon tahu keputusannya kali ini adalah pilihan terbaik yang bisa ia miliki.


"Heh. Tidak akan, pak tua." Senyum tipis mengembang di wajahnya. Mungkin kali ini, ia bisa mendapat kesempatan untuk melindungi rekan-rekannya.



***



Dentingan pedang beradu dengan cakar dan bebatuan terdengar nyaring di antara bunyi-bunyi lain dari pertempuran yang sudah kembali dimulai. Hanya saja, kali ini medan perang telah menjadi porak-poranda akibat Tamon Rah dan pertempuran terlihat menjadi semakin kacau. Bahkan para monster yang masih memenuhi padang pasir itu mulai menyerang kawannya sendiri, bagaikan dirasuki oleh ringkikan mengerikan kuda setan yang melayang-layang di udara, sesekali turun hanya untuk menambah kacaunya pertempuran dengan serpihan-serpihan api yang terjatuh dari sayapnya yang membara, menelan korban setiap kali menyentuh permukaan tanah.


Tiba-tiba makhluk sebesar kastil itu memalingkan kepalanya yang besar, melihat dengan matanya yang menyala merah ke suatu titik bergerak di bawahnya. Tamon Rah meringkik marah, lalu menukik dengan deras, memenuhi udara malam dengan hawa panas tubuhnya yang bahkan terlihat memanggang angin hingga menyala. Ia menunjukkan taringnya yang tajam dan berderap di udara, mengibaskan sayap raksasanya menuju ke titik kecil yang terasa begitu memuakkan baginya.




Titik kecil itu berlari melewati padang pasir, sesekali menebaskan pedang birunya yang berpantulkan cahaya kemerahan Alkima ke arah para makhluk aneh yang mengejarnya, setiap tebasan dan tusukan hampir pasti ditimpali dengan luka atau kematian.


Sudah kuduga, kuda itu memang mengincarku saat aku menggunakan sihir! Aragon bergumam di benaknya sembari mempercepat larinya menjauhi medan pertempuran, kakinya melesak di pasir yang dingin sebelum kembali menapak dengan cepat, nafasnya sedikit terengah-engah.
Ia mengawasi Tamon Rah yang menukik di atas, lalu mengalihkan pandangannya kepada ketiga rekannya yang berlari ke arah yang lain di kejauhan. Garrand yang berhasil menemukan sebuah kapak besar di medan pertempuran terlihat mengayun-ayunkannya ke arah musuh, menghempaskan apapun yang menghalangi jalan mereka sementara Kii tidak bisa melakukan apa-apa selain menyarungkan pedangnya dan berlari di belakangnya, F juga berjuang tanpa mengandalkan transformasi tubuhnya.


Kurasa sekarang yang dilihat oleh kuda ini hanya aku, ya … Entah mengapa, ia merasa lebih lega, meski ia tahu mungkin nyawanya kali ini tidak akan selamat.


Aragon menyarungkan Arian, lalu mengarahkan kedua telapak tangannya kepada sosok raksasa yang menukik ke arahnya. Angin panas menerpanya, membuka kerudungnya dari wajahnya yang kini menatap Tamon Rah dengan keyakinan dan kekuatan yang dingin.


"Kau milikku, Tamon Rah! Kau mungkin besar, tapi makhluk sepertimu pun bisa berdarah!!" serunya dan merapalkan mantranya, cahaya putih kebiruan menyelimuti telapak tangannya sejenak sebelum tubuh Tamon Rah yang menjulang tinggi mendarat di pasir, beratnya menyebabkan gempa bumi kecil dan badai pasir menerpa seluruh dataran.



Ketiga peserta yang sedang mati-matian berjuang untuk bertahan hidup itu terkejut mendengar gemuruh dan suara berdebum dari arah yang ditempuh Aragon. F berpaling dan mencoba melihat Aragon dan Tamon Rah di balik awan pasir yang menyelimuti mereka, namun bahkan sosok sebesar kuda monster itu tersembunyi sepenuhnya dari pandangannya.


"Aragon!" F berseru khawatir, lalu menanggapi perkataannya sendiri dengan sinis.
"Heh, apa dia bisa selamat dari itu?"
"Diamlah! Kau memang menyebalkan!"


"Kalau ada yang bisa, dialah orangnya," kata Garrand, dan walaupun ia terlihat sedikit khawatir, namun ia menyuruh mereka untuk kembali melanjutkan perjalanan. Lautan monster sudah hampir mereka lewati, dan sebuah sosok hitam yang menjulang tinggi terlihat di kejauhan. Itu kastilnya.





Di sisi lain padang pasir, Aragon sedang berjuang mati-matian mempertahankan dari dari serangan kuda raksasa itu. Melompat keluar dari awan debu yang dihasilkan oleh pendaratan Tamon Rah, Aragon mencoba kembali menjaga jarak dengan makhluk buas itu, sihirnya membantunya meloloskan diri dari tindihan tubuh monster seberat gunung itu.


Sial, apa monster ini benar-benar tidak bisa dilukai? pikirnya kesal sembari berlari menjauh dari awan debu itu.


Belum sempat mendapat jarak yang bagus untuk menyerang, sebuah kaki bertapal setinggi pohon kelapa dan hampir selebar sebuah tempat tidur melesat keluar dari kumpalan debu yang menyelimutinya, terangkat begitu tinggi di atas Aragon.
Tepat sebelum kaki Tamon Rah turun dengan kecepatan tinggi ke arahnya, Aragon menghunjamkan kedua tangannya ke dalam pasir dan berseru, "Glacia un Bodhia Blazta!"


Dari depannya, tiga pilar es bercampur pasir setebal pohon tercipta dan menghunjam ke atas. Tamon Rah menginjaknya dan kembali memenuhi area itu dengan kabut debu yang tebal.


Aragon menyingkir pada saat-saat terakhir, namun masih juga terpental ke pasir dengan kuatnya hantaman kaki itu. Mengusap darah dari mulutnya akibat terlempar dari serangan itu, Aragon mencoba melihat ke balik debu.


Meskipun aku tak mampu secara langsung menggunakan air di tempat kering seperti ini, membuat es seperti itu masih mungkin dengan menggabungkan molekul air yang masih tersimpan di dalam tanah dan pasir. Pasir yang kugabungkan dengannya juga akan memperkuat strukturnya … Apakah kali ini berhasil? Aragon berkata dalam benaknya, berharap setidaknya ia bisa mengubah penilaiannya terhadap kekuatan kuda setan itu.


Awan debu perlahan-lahan menghilang tertiup angin gurun yang dingin, memperlihatkan kaki Tamon Rah yang tidak sedikitpun terluka. Tidak memberi Aragon kesempatan untuk terkejut, ia disambut dengan sebuah bola api yang berdiameter hampir empat kali tubuh pemuda itu.


Sial, jarak ini terlalu dekat! pikir Aragon dan mengangkat sebelah tangannya seakan untuk menghalangi serangan dahsyat itu.


Tanpa memberi kesempatan untuk mengelak, bola api raksasa itu menghantam tempat Aragon berdiri, kembali memenuhi padang pasir dengan cahaya yang membutakan dan suara ledakan yang membahana.



***



Ledakan besar kembali terdengar di seluruh medan perang. Gelombang angin kencang bercampur pasir dan bebatuan kecil yang terhempas akibat kekuatan ledakan itu menerpa para monster dan prajurit, yang masih saja bertempur bahkan setelah jumlah mereka jauh berkurang akibat Tamon Rah. Tapi ledakan kali ini berasal dari sisi lain padang pasir, penuh kepulan asap hitam dan awan debu yang menyembunyikan sosok kolosal Tamon Rah, yang tidak ragu lagi adalah sebab dari ledakan tersebut. Ringkikan mengerikan—lebih mirip raungan—Tamon Rah kembali terdengar ke seluruh dataran, mengguncang bumi kedua kalinya setelah ledakan itu.


Kii, Garrand, dan F berhasil menerobos barisan terakhir para monster yang terlihat jauh lebih lemah dan tidak teratur dari sebelumnya. Mereka mencapai sebuah gundukan pasir dan memanjatnya, berhasil melihat kastil tujuan mereka sebelum suara ledakan tiba-tiba mencapai telinga mereka. Mereka tahu, bagian lain dari padang pasir itu telah meledak oleh serangan Tamon Rah.


Melihat itu, Effeth berseru, "Aragon!"
Ia lalu menumbuhkan sepasang sayap kelelawar yang lebar di punggungnya dan beranjak terbang menuju tempat Aragon, namun sebelum ia sempat melakukan apa-apa, Kii memegang pergelangan tangannya dan menahannya di tempat.


"Apa yang kau lakukan? Ia tidak mungkin bertahan melawan sesuatu seperti itu!" F memprotes kelakuan Kii.


Kii menggeleng. "Lalu apa? Apa kau berniat menolongnya sekarang? Kau dengar apa yang tadi ia katakan pada kita? Menghancurkan menara itu sekarang lebih penting daripada apapun, Effeth!"


"Heh, kau benar. Sudah terlalu terlambat untuk Aragon sekarang, jadi—" F mulai berkata, sebelum kata-katanya dipotong oleh dirinya sendiri.
"—jadi apa? Apa maksudmu kita harus menggunakannya sebagai peluang untuk menyelesaikan turnamen ini!?"


Garrand, yang baru saja memukul sepasang gargoyle batu yang berani menghampirinya hingga hancur, menjawab pertanyaan F.

"Tidak. Yang harus kita lakukan adalah memercayai keputusannya dan tetap berjalan sesuai rencana. Aragon pasti tidak akan menyetujui jika kita berhenti sekarang dan menyia-nyiakan perjuangannya hingga saat ini, F!"


"Ta-tapi …" F kembali mengubah tubuhnya menjadi biasa, pandangan sedih terlihat di matanya.
Ekspresinya berubah lagi, sebelum ia berkata, "Sudahlah! Ayo cepat kita selesaikan semua ini. Bocah itu pastinya masih hidup; mengingat dirinya sendirilah yang merencanakan semua ini!"


"Kau benar, F, yang manapun darimu. Ayo cepat bereskan urusan kita saat ini dan segel kembali kuda sial itu ke kandangnya!" kata Kii.


Pemandangan suram dan sunyi terlihat di depan mereka, reruntuhan sebuah kastil raksasa yang pastinya telah berumur ratusan tahun. Pada dua ujung kastil, dimana menara yang seharusnya telah rusak, terdapat dua buah menara setinggi puluhan meter yang terbuat dari sejenis kristal ungu, dihiasi berbagai macam ukiran aneh yang terlihat berdenyut dengan kekuatan sihir. Di puncaknya, semacam bola kristal yang bercahaya melayang; berputar-putar di udara dan memancarkan berbagai macam cahaya misterius. Satu-satunya hal yang menghalangi mereka untuk sampai di menara itu dan mulai merusaknya adalah dua sosok identik pria raksasa—hampir dua kali ukuran tubuh Garrand—yang berjaga di depannya, masing-masing terlihat menyandang pedang besar bergagang panjang yang bahkan lebih tinggi dari ukuran tubuhnya. Penjaga menara itu sepenuhnya tertutup baju besi yang berkilau, mata mereka menyala merah dari celah helm perang yang menutupi wajah tanpa jiwa mereka.


Melihat ketiga orang itu, kedua penjaga itu seketika bergerak seakan-akan terlepas dari sihir yang menahan tubuh mereka. Langkah mereka terdengar berat sekalipun teredam pasir, menunjukkan berat tubuh mereka yang luar biasa.


"Hanya dua lagi, ya? Kalau begini tidak masalah!" Kii menghunus kembali pedangnya dengan bersemangat.


Lalu tanpa disengaja, penjaga berzirah yang berada terdekat dari mereka menabrak sebuah pilar marmer setebal tubuh kuda, dan tanpa membuat langkahnya terganggu, menghancurkannya seakan pilar itu terbuat dari tumpukan pasir.


"Oh, sial! Yang benar saja!?" seru Kii panik saat melihatnya.


Garrand mengangkat perisainya dan berseru, "Hindari bertarung sebisa mungkin! Aku akan ke menara di kanan, kalian urus yang satunya!" Dan dengan aba-abanya, mereka berpencar dan berlari secepat mungkin melewati jarak yang memisahkan mereka dengan para penjaga berzirah besi itu dan juga kedua menara sihir yang menjulang tinggi di atas reruntuhan kastil.



***



Beberapa menit sebelumnya, Aragon sedang menghadapi bola api yang mengarah langsung padanya di sisi lain padang pasir, benar-benar mempertaruhkan nyawanya.


Sial, habislah sudah …! pikirnya frustasi, namun instingnya menuntunnya untuk bergerak lebih cepat dari benaknya. Merapal mantra dengan cepat sambil berlari sekuat tenaga mendekati Tamon Rah—menapakkan kakinya hanya berselang sepersekian detik di tanah—Aragon lalu membuat dirinya sendiri terlontar jauh ke depan menggunakan sebuah pilar es yang muncul dari tanah di bawahnya, mengincar Tamon Rah. Memanfaatkan momentumnya, Aragon menusukkan Arian ke samping salah satu kaki raksasa Tamon Rah yang terbenam di pasir dan menjejak pasir untuk menghentikan lajunya, dan tepat sebelum bola api itu menyentuh tanah, menggunakan kaki monster itu sebagai perisai.


Ledakan itu terjadi dengan sangat dahsyat, gelombang panas melewatinya seketika disertai dengan hempasan angin bercampur bebatuan dan pasir. Meskipun panas ledakan itu tidak secara langsung mengenainya berkat perlindungan kaki Tamon Rah, ujung jubah Aragon dengan cepat terbakar menjadi abu hanya dengan terkena hawa panas yang melewatinya. Jumlah tak tertahankan dari cahaya, suara, dan panas menguasai inderanya, namun Aragon berjuang mati-matian untuk mempertahankan kesadarannya. Kulit di tangannya yang mencengkeram pedangnya yang masih tertancap di daging kuda itu terbakar akibat terkena angin panas dari ledakan. Melawan rasa sakit tak tertahankan yang ia rasakan, pemuda itu teringat sebuah memori kecil yang samar-samar.



"Aragon, kau akan berjuang terus, bukan?" Suara seorang gadis kecil terdengar berbisik di telinganya. Aragon yang berbaring di rumput sambil memejamkan matanya menjawabnya dengan santai, "Tentu saja, Rina. Sampai semua kembali seperti semula."


"Apa benar semua akan kembali lagi seperti dulu?" tanya gadis itu dengan polos, matanya yang cerah sedikit memancarkan kesedihan.


"Aku tidak tahu. Mungkin saja kita akan gagal, mungkin tidak ada harapan lagi bagi kita semua. Mungkin setelah semua penderitaan ini, pada akhirnya kita semua akan terjatuh lagi." adalah kata-kata yang mungkin diucapkannya dulu sebelum ia bertemu gadis ini, namun saat itu Aragon hanya tersenyum dan menjawab, "Percayalah. Aku akan selalu berjuang hingga itu menjadi kenyataan." Rina yang mungil tersenyum lebar dan memeluk Aragon, berkata ia sangat ingin kembali bermain dengannya dan teman-temannya lagi di padang bunga miliknya dulu.


Kau benar, Rina. Apapun yang terjadi, aku akan terus berjuang untuk semua yang telah hilang, dan mengembalikannya seperti semula.


Apapun yang terjadi …


Aku harus hidup untuk mengingatmu.



Asap dan awan debu yang tebal menutupi area ledakan, tanah yang gosong membara bagaikan dasar kawah gunung berapi. Tamon Rah mengibaskan sayapnya yang lebar dan mengusir kumpalan debu itu, menunjukkan kehancuran yang diakibatkannya dan kesenyapan yang mengikutinya.
Ia mencari-cari keberadaan titik mengganggu yang pastinya sudah musnah dengan ledakan tadi. Kakinya yang terbenam dalam di pasir sangat mengusiknya, tapi setidaknya ia bisa memuaskan rasa haus darahnya dengan membunuh manusia yang membuatnya murka dengan berani menyerangnya.


"Mencari sesuatu, kuda gila?"


Aragon berdiri di bawahnya, benar-benar kelelahan dan kehilangan sebagian besar jubahnya akibat api, juga menderita sedikit luka bakar, namun hidup dan siap memulai babak berikutnya.


Tamon Rah meringkik marah mengetahui lawannya masih hidup, dan segera menundukkan kepalanya, berniat melumat makhluk ini dengan rahangnya yang terbuka lebar.


"Glacia un Bodhia Blazta!!!" Mengerahkan sisa tenaganya, Aragon merapalkan mantranya sambil mengarahkan kedua tangannya ke arah Tamon Rah.


Kemudian dalam sedetik, kedua bola mata Tamon Rah meledak keluar seakan-akan tertekan dari dalam, dan beberapa jarum-jarum berwarna merah, lebih tepatnya jarum darah mencuat keluar dari dalam rongga matanya. Seketika itupun langit dan bumi berguncang akibat ringkikan kesakitan Tamon Rah yang terdengar bahkan hingga ujung dataran Shohr'n. Kuda raksasa itu menggeliat kesakitan, mengguncang bumi dan merekahkan tanah, jeritan gilanya hampir-hampir memecahkan gendang telinga Aragon. Kulit di sekitar matanya seketika itu sembuh, namun bola matanya yang hampir seluas meja itu tidak mampu beregenerasi kembali seperti sedia kala akibat jarum darah yang mencuat dari dalamnya.


Terbutakan dan kesakitan, Tamon Rah mengamuk sejadi-jadinya dan mengepakkan sayapnya sekuat-kuatnya, melepaskan dirinya sendiri dari pasir yang sedari tadi menelannya. Kuda raksasa itu membubung ke angkasa, terus saja meringkik bagai kerasukan hingga lenyap ke atas awan gelap.


Kehabisan tenaga, Aragon jatuh terduduk di atas tanah yang hitam gersang, meraih pedangnya yang tertancap di dekatnya sebagai tumpuan. Ia mencoba mengatur nafasnya yang pendek-pendek, lalu melihat ke horizon tempat kawan-kawannya sedang berjuang menyelesaikan turnamen ini.


"Sisanya … Kuserahkan pada kalian." Aragon bergumam pelan sementara kesadarannya memudar, dan akhirnya ia pun menyerah pada kelelahan yang menggerogotinya, menikmati ketenangan yang ia rasakan saat kegelapan menyambutnya. Aragon memejamkan matanya dan membiarkan dirinya berbaring di tanah yang hangus, menghela nafas dengan senyum kecut di bibirnya.


Garrand mengayunkan perisainya sekuat tenaga, menghantam leher penjaga berpedang yang menghalanginya. Sebuah serangan yang mampu membunuh manusia biasa, namun pria itu hanya terdorong mundur sebanyak dua langkah. Terkejut, Garrand pun melancarkan serangannya lagi dengan lebih kuat.


"Strikebash!!" serunya saat ia mengayunkan perisainya yang berpendar keemasan ke arah lawannya.


Ujung perisai emas Garrand menghantam dada penjaga berbaju besi itu yang baru saja mengangkat pedang besarnya. Sebuah ledakan kecil terjadi akibat udara yang tiba-tiba terdorong oleh daya rusak serangan Garrand, yang menghempaskan sosok besar penjaga itu sejauh enam meter. Pria itu melayang sejenak di udara, sebelum mengenai sebuah dinding batu yang seketika itu hancur lebur.


Debu terlihat memenuhi udara, dan Garrand mencoba mengatur nafasnya yang habis akibat serangan terakhir tadi.


"Harus berapa kali aku menjatuhkanmu, monster!?" kata Garrand frustasi saat lawannya itu bangkit kembali dari puing-puing dinding, baju besinya benar-benar remuk tapi sepertinya tidak menyakitinya sama sekali.


Beberapa saat sebelumnya, Garrand berhasil memasuki reruntuhan kastil itu dan mendapati dirinya berada dalam sebuah aula yang cukup luas—yang anehnya sama sekali tidak mengalami kerusakan—dengan langit-langit kristal yang keunguan. Ia berada tepat di bawah menara sihir yang sejak tadi terus saja melontarkan sejenis proyektil bercahaya yang menghancurkan apapun yang bergerak di bawah dalam radius lima meter. Garrand beruntung, karena ia mampu menangkal sebagian besar meriam sihir itu menggunakan perisainya, dan kini berada tepat di bawah menara itu, bola-bola sihir yang terus saja turun itu tidak lagi mengincarnya. Akan tetapi, masalah lain yang lebih merepotkan sedang dialaminya saat ini—penjaga abadi yang sejak tadi mengejarnya dan mencoba membelahnya dengan sebuah pedang lebar bergagang panjang.
Abadi, karena sejak tadi serangan Garrand yang seharusnya mampu meremukkan tulang naga sekalipun sama sekali tidak berefek padanya. Ia seperti mesin pembunuh, mengayunkan pedang besarnya dengan kekuatan yang berlebihan, menghancurkan apapun yang berhasil dikenainya.


Lalu dengan sebuah ayunan pedang yang kuat, penjaga itu menghancurkan pilar di sebelah Garrand—yang berguling ke depan untuk menghindarinya. Tiba-tiba seluruh pondasi bergetar dan gemuruh terdengar dari atasnya. Pilar yang hancur tadi merupakan salah satu pondasi menara itu, dan melihatnya, Garrand mendapatkan sebuah ide untuk memanfaatkan kekuatan lawannya ini. Melompat mundur, Garrand memancing pria raksasa itu untuk menyerangnya kembali.


Mengayunkan pedang besarnya, pria itu kembali menghancurkan sebuah pilar marmer yang menyangga menara itu, tidak berhasil mengenai Garrand yang langsung menghindarinya dengan merunduk cepat. Seluruh bangunan pun bergoyang, bebatuan kecil terjatuh dari langit-langit.


"Bagus … Beberapa lagi dan—" gumamnya sebelum si pria berzirah itu tanpa diduganya memutar badan dengan kecepatan yang tidak manusiawi dan menendang dada Garrand dengan amat keras. Tendangannya begitu kuat, sampai-sampai Garrand terlontar ke belakang sejauh tujuh meter dan langsung menghantam sebuah pilar hingga hancur. Garrand memuntahkan darah segar dari mulutnya, perisainya terlepas dan tergeletak jauh darinya. Pandangannya memudar, rasa sakit menguasai pikirannya yang mulai mengabur. Beberapa rusuknya remuk, organ dalamnya juga sudah pasti hancur lebur jika saja Garrand tidak secara refleks memadatkan otot-ototnya sebelum hantaman terjadi.


Si penjaga berjalan mendekat sambil menyeret pedang lebarnya melewati lantai yang bergemeretak saat kakinya menapak, bersiap untuk melancarkan satu serangan terakhir. Garrand hanya mampu melihat tebasannya datang tanpa daya, badannya tidak mampu bergerak secepat yang ia inginkan akibat serangan tadi.


Tiba-tiba, seseorang menahan ayunan pedang raksasa itu dengan kedua tangannya, menyelamatkan Garrand dari maut. Baju dan jubahnya dipenuhi bekas terbakar, namun tubuhnya sendiri terlihat seperti tertutup seluruhnya oleh lapisan beku kristal es.


"Aragon!" seru Garrand terkejut.


"Garrand! Bangunlah! Aku akan berusaha menahan orang ini untuk sementara … Kau tunggu aba-aba dari F dan hancurkan menaranya!" Aragon berkata sementara ia semakin melesak ke dalam tanah akibat tekanan pedang musuhnya. Garrand berjuang untuk bangkit dan tertatih-tatih meraih perisainya yang tadi terjatuh. Hanya ada tiga pilar lagi yang perlu dihancurkan.
Aba-aba? Dia benar … Kita harus menghancurkan menara ini secara bersamaan! pikir Garrand sambil mendekati sebuah pilar dan bersiap menghancurkannya.



***



Beberapa menit sebelumnya, di sisi reruntuhan yang lain, Kii dan F juga mengalami hal yang sama dengan Garrand. Kii telah hampir mencapai batasnya karena menggunakannya terus menerus melawan si pria penjaga menara yang sepertinya tidak keberatan menjadi sasaran tebasannya, dan pedangnya pun terlihat tidak mampu menahan serangan-serangan yang lebih kuat lagi. Effeth, di sisi lain, masih cukup bugar untuk bertarung melawan ksatria berpedang besar itu. Namun setelah mengetahui makhluk itu tidak mampu dibunuhnya, F pun mulai panik dan semakin terdesak oleh ayunan-ayunan mematikan si penjaga menara.


Kii, yang terduduk lemas akibat kehilangan terlalu banyak darah dari bekas luka lamanya yang terbuka seiring dengan penggunaan kekuatannya, tiba-tiba teringat kata-kata pelayan bernama Catherine yang mengantar mereka ke tempat ini sebelumnya.


"Waktuku sudah habis di sini, kalian harus menghancurkan dua menara kristal yang berada di kedua ujung kastil secara bersamaan,"


Kii bergegas berseru, "F!! Cepat berubah dan terbang! Beri aba-aba pada Garrand agar ia menghancurkan menara ini tepat saat aku melakukannya!"


"Apa kau gila!? Kau sudah hampir mencapai batasmu!"


"Aku tidak apa-apa, percayalah padaku! Cepatlah!!" Kii berjuang untuk berdiri dan berjalan ke pilar marmer terdekat yang menyangga menara itu. Melihat ekspresi mendesak di wajah Kii, F lalu segera merubah tubuhnya menjadi sesuatu yang bersayap dan bercakar, bersiap untuk mengudara. F lalu mengepakkan sayap kelelawarnya dan melesat ke udara, meninggalkan Kii bersama si penjaga menara yang tak terkalahkan itu.


Melesat menerobos udara malam yang dingin, F melihat di kejauhan, di sisi reruntuhan yang lain, Aragon dan Garrand bertarung bersama melawan seorang pria berbaju zirah yang berkilau.


Namun sesuatu yang gelap dan besar terlihat melayang turun dengan kecepatan yang mengerikan dari langit, menukik dengan sayap-sayap membara yang menerangi awan. Mulutnya berapi-api, tapalnya diselimuti oleh api cair.


Tamon Rah!! pikir Effeth dengan panik.
Ia pasti terpikat ke tempat ini gara-gara kau menggunakan transformasimu!
Kau bercanda! Ini 'kan idemu!
Sudahlah! Ayo beri aba-aba pada Garrand dan Aragon sekarang juga dan segel kuda gila itu!



***



Seluruh mata yang ada di dataran itu terfokus pada kemunculan Tamon Rah dari atas awan hitam bagaikan sebuah meteor berapi berwujud kuda raksasa setinggi lima puluh meter. Aragon yang sedari tadi menghalangi serangan-serangan penjaga menara bertubuh besar itu juga melihatnya, namun di saat yang sama ia juga melihat sosok kecil bersayap yang melayang menuju mereka.


Tamon Rah! Dan F! gumam Aragon dalam benaknya sembari menghindari tebasan pedang raksasa yang mengincar lehernya. Efek sihir yang menyelubungi tubuhnya mulai memudar, rasa sakit yang tadinya sempat tertahan oleh sihirnya mulai kembali menyiksanya. Garrand juga sepertinya melihat pemandangan yang sama, matanya membelalak melihat sang kuda kolosal yang sudah kehilangan akalnya, meringkik penuh kemurkaan dan terjun dari langit dengan kecepatan tinggi menuju mereka semua.



Sempat teralihkan oleh kemunculan Tamon Rah, Kii terpaksa menerima sebuah sabetan pedang oleh lawannya yang telah berkali-kali ia tebas. Pinggangnya tersayat sedikit, refleksnya menyelamatkannya dari luka yang lebih parah. Jumlah tebasan yang telah ia gunakan hingga saat ini adalah sekitar empat puluh tebasan, dan luka di bahu kanannya sudah benar-benar membuatnya kewalahan. Apapun yang terjadi, Kii tahu ia harus menunggu aba-aba dari F dan bertahan hingga saat itu tiba.



Lalu, sebuah teriakan nyaring terdengar membahana di udara, teriakan yang hampir terdengar seperti raungan.


"SEKARANG!!!" seru F, mengerahkan seluruh energinya yang tersisa untuk memaksimalkan kerasnya suara yang dihasilkan mulutnya yang telah dirubahnya menjadi mulut naga penjerit. Suaranya yang memekakkan telinga terdengar hingga ratusan meter, mengalihkan perhatian setiap orang di dataran itu.



Lalu, dengan aba-aba F, Garrand dan Kii berseru keras, mengayunkan serangan terakhir mereka pada saat yang bersamaan dan menghancurkan pilar-pilar penyangga menara segel Tamon Rah. Diiringi dengan gemuruh keras, langit-langit menyangga menara pun runtuh, meretakkan dan merobohkan menara kristal itu. Dengan sebuah kilasan cahaya, kedua puncak menara meledak dan menembakkan segaris petir keunguan ke arah Tamon Rah, menahan gerakannya sama sekali.


Lalu pada permukaan Alkima yang berwarna merah di atas Tamon Rah muncul sebuah celah—lebih tepatnya kekosongan yang amat besar, mengeluarkan ribuan tentakel hitam sepanjang ratusan mil yang meraih tubuh kuda raksasa yang melayang tanpa daya tersebut. Tangan-tangan bayangan dari bulan itu pun membelit Tamon Rah dan perlahan menariknya kembali masuk ke permukaan bulan itu. Perjuangan dahsyat Tamon Rah yang tak terkalahkan terlihat benar-benar tidak ada bandingannya dengan kekuatan tangan-tangan yang menariknya. Tidak lama kemudian, seiring dengan terbitnya cahaya pertama di horizon timur Alforea, Tamon Rah kembali tertelan ke dalam Alkima dan sebuah ledakan cahaya menandai berakhirnya amukan Tamon Rah.


Ledakan itu terus berlanjut ke permukaan Alforea, dan ketika gelombangnya mengenai para monster di dataran Shohr'n, tidak terkecuali para penjaga menara yang hampir membunuh ketiga peserta turnamen itu, mereka seketika itu pun juga lenyap bagai ditelan bumi, hanya menyisakan setumpuk pasir di tempat mereka tadinya berada.


Perang telah usai, dan para prajurit Alforea—yang sempat terdiam karena tidak memahami apa yang telah terjadi—berseru gembira melihat lawan mereka telah musnah tanpa sisa. Sorakan demi sorakan terdengar di dataran itu, sorakan para prajurit yang tidak pernah menyadari semuanya telah terjadi akibat perjuangan keempat orang tadi.



***



Matahari telah terbit dan cahaya oranyenya menerangi seluruh padang pasir dan mengembalikan kehangatan yang sempat hilang di malam hari. Di antara reruntuhan menara dan kastil yang kini benar-benar tidak berbentuk itu, seorang gadis berbaju hijau berseru-seru memanggil nama kawan-kawannya.


"Aragon! Kii!"
"Hei, Garrand! Kau masih hidup!?" F berseru tanpa henti, berharap akan adanya jawaban dari mereka.



Tidak ada suara lain yang terdengar selain suara angin dan langkah kakinya di atas tumpukan puing-puing bangunan. F lalu jatuh terduduk, pipinya kotor karena air mata yang mengering.



"Hei, F. Jangan jadi cengeng sekarang, dasar …" Sebuah suara terdengar berbicara di belakangnya.


Dengan mata basah, F berbalik dan melihat Kii bersama Garrand menggandeng Aragon, keadaan mereka sama parahnya namun senyuman kemenangan menghiasi wajah letih mereka. Pedang Aragon yang berwarna biru berkilau indah memantulkan cahaya matahari terbit, membuat Effeth berpikir itulah yang selalu ingin ia lihat selama ini. Meneteskan air mata, ia menghampiri mereka dan memeluk ketiga lelaki yang terluka itu, tidak menghiraukan erangan dan teriakan kesakitan mereka—ia memegang luka dan beberapa tulang yang remuk. Yang ia pikirkan saat itu hanyalah rasa gembira, mengetahui bahwa mereka berhasil melakukannya sebagai tim dan menyelesaikan turnamen ini.


"Aku tahu kau bisa melakukannya." F berkata pada Aragon.
"Ya, ya, kau tak mati semudah yang kukira," katanya lagi, sedikit bergurau.


"Aku pasti sudah tamat jika Garrand tidak melindungiku pada saat-saat terakhir." Aragon mengakui.


"Ayolah, tanpamu aku mungkin sudah terbelah dua dan tertinggal di bawah reruntuhan ini!" Garrand menepuk pundak Aragon dengan cukup keras, membuatnya mengerang kesakitan.


"Hei! Bagaimana denganku? Tidak ada yang menyelamatkan diriku, jadi akulah penyelamatku sendiri." Kii menepuk dadanya dengan bangga.


Mereka tergelak melihatnya, lalu sebuah portal bercahaya muncul beberapa meter di depan mereka. Aragon, Kii, Garrand, serta Effeth kemudian melangkah maju mendekati gerbang itu dengan rasa letih bercampur puas, pertarungan mereka telah benar-benar usai.


Melihat mereka bertiga, Aragon membiarkan senyum terlihat di bibirnya yang dihiasi darah kering, merasa lega akan dirinya sendiri.


"Setidaknya, kau tidak mengulang semua kesalahanmu lagi, Aragon," gumamnya pelan pada dirinya sendiri seiring dengan langkah tertatihnya melewati gerbang portal menuju halaman kota Despera, menunggu saat beristirahatnya, menyadari pertempurannya kali ini bukanlah terakhir kalinya ia akan bertarung di dunia ini.




Yah, mungkin kali ini aku membutuhkan istirahat yang lebih, pikirnya letih dan menertawai dirinya.




***Preliminary***
End





***



"Bagaimana kalau kali ini kau yang membayariku minum, Aragon?" Kii menepuk pundak Aragon dengan sikap membujuk.

"Boleh saja." Aragon menjawab dengan santai.


Wajah Kii menjadi cerah mendengarnya. "Oh! Bagus sekali! Aku tidak menduga kau akan menyetujuinya, nak! Haha!"


"Tentu saja. Lagipula segelas air di sini diberikan secara gratis." Aragon tersenyum simpul dan melanjutkan langkahnya, membiarkan Kii ternganga dengan wajah kesal.




***The End***



continues...?

13 comments:

  1. Saya kira Aragon ini tipe ansos, tapi ternyata lumayan punya inisiatif ya pas ngerekrut anggota tim. Ga cuma ga ada kesan arogannya, tapi dia juga malah jadi semacem leader yang ngarahin orang"

    Ada satu penulis di BoR terdahulu, namanya Violazzura Winter (nama penanya KAZ Violin di bukunya Eldar), yang dari baca tulisanmu bikin saya inget sama dia. Karakternya pasti tipe teguh pendirian, ceritanya penuh semangat, yah, pokoknya semacem itu. Baca ini serasa nemu reinkarnasi orang yang udah lama menghilang

    Komposisi partynya beneran emang buat battle-frenzy ya. Meski agak sporadis tapi keliatannya semua dapet cukup bagian buat andil dalam pertarungan ini, terutama Aragon yang sampe nantang langsung Tamon Rah

    Poin plus karena bisa bikin anggota party di sini kayak kawan lama yang udah ditempa pengalaman bersama, dan ngasih saya kesan nostalgia sama tulisan seseorang di masa lalu

    Dari saya 8

    [OC : Dyna Might]

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ahaha... begitukah? Terima kasih banyak, mungkin sepertinya memang agak berlebihan soal Aragon yang menantang Tamon Rah sendirian itu... tapi yah, kurasa itu akan seru? ^_^

      Delete
  2. Weks, cepet banget bondingnya? Tulisanmu nikmat dibaca meski saya sempet ngulang baca beberapa kali di beberapa paragraf. Saya ga terlalu suka karakter Aragon, honestly. Tapi itu preferensi saya doang dan karena kamu nulis dengan keren, saya jadi ga terlalu mempermasalahkan itu.

    Anyway
    Nilai : 7
    Karakter : Alayne Fiero

    ReplyDelete
    Replies
    1. Thank you. Mungkin memang terlalu cepat, karena 10000 kata adalah batasan yang sangat merepotkan bagi saya. Yah kalau soal karakter Aragon, mungkin memang banyak yang tidak menyukainya... Tapi kurasa itu yang membuat saya senang menulis karakternya. Trims atas nilainya! ^_^

      Delete
  3. Awh yes, puas baca pembantaian ini. Dan bagian awalnya di bar entah kenapa membangkitkan pemikiran chuunibyou-ku. Hahahaha!

    Narasi, sip!
    Dialog, cukup lah.
    Karakterisasi, agak kaget waktu Garrand jadi semacem orang songong di depan =))

    I raise you my 8!
    Haru Ambrosia

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ahaha... thanks. Yah, saya lebih ke menebak-nebak karakter Garrand soalnya agak bingung juga bagaimana mengulasnya. Hahaha..

      Delete
  4. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  5. Cool, awalnya terlihat begitu penyendiri tapi sebenarnya punya jiwa pemimpin. Ini juga alasan kenapa saya tertarik dengan Aragon. Saya salut bagaimana 10000 kata terlihat masih kurang di mata anda orz.

    Kii di sini jadi seperti furuichi di beelzebub entah kenapa, ah tapi kesampingkan masalah sifat. Sikap kii memberikan komedi tersendiri di cerita ini <3

    Nilai plus karena Aragon tersenyum. Ah tidak! apakah saya jatuh cinta?!

    Nilai : 8/10 (Maida York)

    ReplyDelete
  6. > Saya kira Aragon orangnya lebih pendiam
    > Saya kurang suka interaksi mereka di awal karena terlalu panjang, tapi mungkin karena ini mereka nampak lebih dekat, terutama di bagian akhir cerita
    > Lihat typo 1-2

    8/10
    Lexia Gradlouis

    ReplyDelete
  7. Keren!
    Interaksi antar pemain juga ditonjolkan jadi tak hanya sebuah cerita yang hanya tentang perang doang.

    Cuman masih ada typo
    Tulisannya masih ada yang agak susah dipahami
    Dan yang saya bingung, ketika Aragon kehilangan banyak tenaga saat selesai melawan Tamon Rah, ia pun tertidur. Tapi mengapa dia tiba-tiba menyelamatkan Garrand dari ksatria abadi di kastil yang jauh dari tempatnya tertidur?

    Nilai 8

    - James Allard Jauhari

    ReplyDelete
    Replies
    1. aragon tidak tertidur. ia hanya beristirahat, namun ia mendapat firasat buruk dan memutuskan untuk mengecek teman-temannya, merapalkan mantra yang meningkatkan kemampuan tubuhnya---sekaligus kecepatan dan staminanya untuk lima menit. dan begitulah caranya untuk mencapai garrand tepat waktu. ^_^

      Delete
    2. maaf, disana saya kehabisan kata untuk menjelaskan semuanya... saya hanya berharap bisa dimaklumi.

      Delete