17.5.15

[PRELIMINARY] AVIUS SOLITARUS - DUM VITA EST SPES EST

[Preliminary] Avius Solitarus - Dum Vita Est Spes Est
Penulis: Suihei Yugure

"Consilio et animis, constantia et virtute..."


***


Raungan, atau mungkin lebih tepat disebut ringkikan memenuhi dataran gurun malam itu. Melalui mata Hawkes, Avius menatap ngeri. Sesosok kuda raksasa dengan tubuh dan sayap yang diselimuti api tampak di kejauhan terbang menuju kearah mereka, membentuk lintasan api di jalur yang ia lalui dan membakar apapun yang berada di dekatnya.

"Hei Avius kau kenapa?"

Penyihir muda itu menoleh, menatap sosok pemuda dengan perisai keemasan di lengan yang tengah menahan sengat seekor kalajengking raksasa. Dengan kekuatan luar biasa, ia memukul mundur kalajengking tersebut.

Belum sempat pemuda itu beranjak, seekor cacing raksasa muncul dari dalam pasir dan menerjang maju menuju Dyna yang masih berdiri diam memejamkan mata dan bersenandung seraya mengetuk-ngetukkan jari tangannya di udara kosong.

"Sial!" Garrand mengumpat. Ia menghadang cacing raksasa tersebut dan entah bagaimana membuat monster tersebut seakan menabrak dan tertahan oleh lapisan besar tidak terlihat. "Hoi Arc! Bantu kami sedikit!" serunya lagi.

Sesosok pemuda yang tengah menggenggam dua pedang kemerahan di tangannya melompat dan menebas tubuh cacing raksasa tersebut. Ia kemudian berlari menaiki tubuh si cacing dan menusukkan kedua pedangnya di kepala monster itu, membuat tubuh besar cacing itu hancur menjadi pasir.

"Baru begini saja sudah minta bantuan? Kau lebih lemah dari yang kuki-" Kata-kata pemuda itu terhenti oleh sosok kalajengking raksasa yang sebelumnya dipentalkan Garrand kembali berlari maju. Arc berkelit dari terjaman ekor si kalajengking dan membiarkan Garrand yang berada tepat di belakangnya menahan ekor tersebut menggunakan perisainya.

Dengan satu gerakan lihai, Arc memotong ekor kalajengking tersebut dan melompat mundur, berpijak pada perisai Garrand yang telah bebas.

"Kau.." Garrand hendak protes. Namun, seakan mengerti, ia melontarkan tubuh Arc ke arah kalajengking tersebut.

Arc melakukan manuver di udara menghindari capit-capit besar kalajengking yang berusaha menangkap dan meremukkan tubuhnya. Kedua pedang di tangan pemuda itu menyatu menjadi tombak merah panjang yang tanpa ampun langsung ia tusukkan di bagian kepala si kalajengking.

Kalajengking itu meronta beberapa saat sebelum hancur menjadi pasir.

"Bagaimana? Kalian lihat kehebatanku tadi? Hei..." Pemuda itu menepuk pundak Garrand yang diam terpaku tidak merespon perkataannya. "Apa yang kau li-"

Dengan cepat, Arc berbalik kerah Dyna yang masih tetap memejam mata sambil mengetukkan jarinya ke udara.

"D-Dyna... hei kawan... masih belum juga?" Arc berujar panik.

Dyna tetap tidak memberi respon. Arc menelan ludah dan menatap ngeri sosok monster yang semakin lama semakin mendekat pada lokasi mereka.

"Avius, kau yakin monster itu menuju ke sini?" Garrand menghela nafas seraya duduk di atas pasir tanpa  melepaskan pandangannya dari sosok kengerian yang semakin mendekat.

"Kurasa..." Avius mengarahkan tangannya pada Garrand. Seketika itu pula Garrand merasakan perasaan nyaman pada dirinya. Rasa letih dan nyeri sedikit demi sedikit ia rasakan mulai menghilang. "Bukan hanya Rah saja yang perlu kita cemaskan," lanjut Avius lagi.

Belasan kalajengking dan cacing raksasa muncul dari dalam pasir. Arc kembali mengangkat senjatanya dan Garrand melompat bangkit.

Avius menghela nafas, "Tenanglah, dan fokus pada musuh yang ada di hadapan kalian. Lindungi Dyna sampai saatnya tiba. Aku akan menahan monster itu semampuku bila memang harus."

"Eh?"Arc dan Garrand spontan menoleh kearah Avius secara bersamaan.

"Aku tidak dapat melakukan ini terlalu lama tapi," Avius tersenyum dan melepaskan jubah coklat yang ia kenakan, "Aku percaya pada kalian. Kita akan memenangkan ronde ini bersama-sama."


***


"Selamat datang di Alforea, wahai para petualang!"

Sorakan riuh menyambut kedatangan seorang wanita muda yang berdiri di balkon kastil. Anggun dan karismatik, itulah yang Avius pikirkan saat pertama kali melihat sosoknya. Namun, setelah beberapa kali perseteruan yang tidak seharusnya terjadi dengan seorang pria berjanggut putih yang berdiri di sisi wanita itu, Avius menarik kembali pikiran yang ia buat.

"Ah.. well... yah... sepertinya aku memang lupa menuliskan tentang isi turnamen di surat undangan. Teehee pero."

Avius mengangkat sebelah alis. Wanita itu tengah melakukan pose aneh dengan menjitak kepalanya sendiri dan menjulurkan lidah. Pemuda itu melihat ke sekelilingnya, ia menyadari banyak diantara mereka yang menggelengkan kepala dan tertawa, sebagian menatap serius kearah balkon, dan ada juga yang tampak serius membaca lembaran kertas di tangan mereka.

"Ah benar juga, suratku." Avius bergumam seraya merogoh saku di balik jubah yang ia kenakan. Ia mengeluarkan sebuah amplop coklat dengan namanya tertera di atasnya. Perlahan, ia mengeluarkan secarik perkamen dari dalam amplop itu.

Apa kau siap untuk sebuah petualangan baru?

"Memang Cuma satu kata tanpa penjelasan apa-apa," gumam Avius. Ia memasukkan kembali surat itu ke dalam amplop dan menghela nafas. Namun, raut wajah Avius berubah serius secara tiba-tiba. Ia menoleh ke setiap sisi memastikan tidak ada yang memperhatikannya sebelum mengeluarkan perkamen lain dari dalam amplop tersebut.

Apa yang diberikan minuman itu tidak lebih dari imitasi belaka. Bila ingin merasakan perasaan tersebut yang sesungguhnya, terimalah undangan ini.

D. P

Ps: jangan beritahukan surat ini pada siapapun apapun yang terjadi.

Avius dengan cepat melipat perkamen itu dan memasukkannya kembali ke dalam amplop. Ia menyimpan amplop itu dalam saku di balik jubahnya dan menggaruk dagunya. "D... P... DP... DP... Deus? Dei? Dei.. Pax? Perdamaian Tuhan? Ah sial. Begitu aku membulatkan tekad untuk menerima undangan ini, aku langsung dikirim ke tempat aneh ini sebelum bisa bertanya pada orang-orang," gerutu Avius. "Dan lagi..."

Penyihir muda itu memperhatikan sekelilingnya. Puluhan orang berdiri di tempat itu dengan tampilan aneh yang belum pernah pemuda itu lihat sebelumnya. Sebagian bahkan dengan wujud yang tidak ia kenali.

"Pemenangnya akan mendapatkan apapun yang mereka inginkan!"

"Eh?" Avius sontak menoleh kearah balkon, menatap sosok wanita yang kini tengah memandang seluruh makhluk yang ada di bawahnya dengan arogan dan penuh intimidasi.

"Kalau aku menginginkan cinta yang tulus dari dalam dirimu, apa kau bersedia memberikannya padaku?"

"Eh apa?" Seorang pria, atau wanita yang mana Avius tidak yakin dengan rambut ungu dan mengenakan setelan jas kancing ganda yang berdiri di sebelah Avius tiba-tiba berseru. Pria itu melepaskan topi coklat yang ia kenakan  dan mengulurkan salah satu tangannya ke arah balkon. Pose yang umum Avius lihat ketika seorang pria mengajak seorang wanita berdansa.

"Ga! Ga sudi!" Wanita itu menjawab spontan dengan berteriak.

Sebagian besar orang yang ada di tempat itu tertawa. Sementara Avius memperhatikan Pria, atau wanita itu yang masih mematung di tempatnya berdiri tanpa merubah pose selama beberapa saat. Sampai akhirnya ia berjongkok dan menunduk seraya memutar-mutar jarinya membuat lingkaran di tanah.

Avius tertawa kecil melihatnya. Dari balik jubahnya, ia mengarahkan tangan pada pria, atau wanita itu dan menggunakan sihir pemulihannya. "Well... keberanianmu hebat. Semoga ini bisa membantu," gumam Avius.

Sihirnya bekerja. Pria, atau wanita itu mengangkat kepalanya dan menoleh ke segala sisi kebingungan. Ia kemudian kembali berdiri dan memejamkan mata. Menikmati sensasi nyaman dan tentram yang merupakan salah satu efek dari sihir pemulih yang diberikan Avius.

"Karena itulah, kami akan melakukan babak penyisihan bagi kalian. Hanya empat puluh delapan peserta terbaik yang dapat mengikuti turnamen untuk memperebutkan hadiah ini. Kalian akan membentuk kelompok yang terdiri dari dua sampai empat orang dan saling bahu-membahu melewati babak penyisihan."

"Penyisihan? kelompok? Eh apa?" Akibat terlalu fokus pada pria, atau wanita aneh tersebut, Avius tidak mendengar sebagian informasi yang baru saja diberikan. Ia hanya melongok diam kearah pria janggut putih yang kini mengambil alih di atas balkon.

"Setelah kalian mendapat anggota kelompok yang kalian anggap pas, akan ada seorang maid yang mendampingi kalian ke tempat dimana babak penyisihan dilaksanakan." Pria itu diam sesaat, menyapu semua orang yang berada di bawah dengan pandangannya. "Dengan ini, kunyatakan babak penyisihan turnamen Battle of Realms dimulai!"

Sorak-sorai riuh memenuhi halaman halaman istana. Sosok wanita dan pria janggut putih telah hilang dari balkon. Sementara, Avius kebingungan.

Pemuda itu memperhatikan sekelilingnya. Seluruh orang yang berada di sekitarnya tampak berbincang-bincang satu sama lain. Sebagian saling merangkul dan ada pula yang tengah berjabat tangan.

"Ah sial," gerutu Avius. Ia menggaruk kepalanya dan menghela nafas. "Aku tidak mengenal seorangpun di sini. Bagaimana caranya aku membentuk kelompok?"

"Hei sobat, kau belum dapat kelompok juga?"

Seseorang merangkul Avius tiba-tiba dari belakang. Pemuda itu menoleh dan mendapati pria, atau wanita yang ditolak pernyataan cintanya oleh wanita di atas balkon tadi tengah merangkulnya.

"Dyna Might di sini." Pria itu melepas topinya dan menunduk. "Kau sudah mendapat kelompok sobat?"

Ayolah... sekelompok denganku. Duh, akan sangat menyenangkan bila bertualangan dengan seseorang yang memiliki senyum seperti itu.

Kemampuan telepati Avius aktif secara spontan. Kapan ia melihatku tersenyum? pikirnya. Butuh beberapa saat baginya untuk menyadari kalau ia cukup sering tersenyum dan sesekali tertawa ketika pengumuman dilakukan tadi.

Dengan sopan, Avius balas menunduk, "Avius Solitarus. Mohon bantuannya tuan err... nona? Might."

"Dyna saja," balasnya. "Dan sekarang... sebaiknya kita mencari anggota kelompok lain. Bagaimana? Atau kau hanya ingin berdua saja? Yah well, tidak masalah sih bagiku."

Avius menimang-nimang. "Mungkin lebih baik kita mencari anggota kelompok lain. lebih banyak lebih baik bukan?"

"Kalau begitu, sudah diputuskan. Ayo!" Dyna menarik tangan Avius dan menyibak kerumunan.


***


"Kalau aku boleh tahu, kemampuan apa yang kau miliki?" tanya Dyna. Sementara Avius tengah memperhatikan orang-orang yang berada di tempat itu dengan seksama. Kebanyakan dari mereka tengah berdiskusi serius satu sama lain. Avius sendiri merasa jumlah orang-orang yang berada di tempat ini jauh berkurang dibanding sebelumnya.

"Mungkin di sisi lain lapangan istana," gumam pemuda itu.

"Hei Avius? Kau melamun?"

Dyna menepuk pundak Avius dan membuat pemuda itu tersentak.

"Ah, maaf... maaf... apa yang kau katakan tadi?"

"Boleh aku tahu kemampuan yang kau miliki?" tanya Dyna lagi.

"Kemampuan? Hmm... aku bisa sihir pemulih, observasi dengan familiar, dan kurang lebih begitu," balas Avius.

"Pemulih? Penyembuh luka begitu?"

Avius mengangguk. "Dari apa yang kupelajari kurang lebih begitu. Selain itu sekaligus memulihkan stamina juga."

"Benarkah?" Dyna dengan cepat mencengkram bahu Avius. "Oh syukurlah aku mendapatkan orang sehebat kau sobat."

"Aku tidak sehebat itu. Pemulihan yang dilakukan sihirku tidak terjadi secara cepat apalagi instan. Jadi ya... mungkin agak tidak berguna nantinya."

"Ah kau merendah!" Dyna menepuk pundak Avius dengan keras. "Sebaiknya kita mencari petarung aktif. Kekuatanku tidak cocok untuk bertarung secara terus menerus."

Semakin keduanya menyusuri lapangan tersebut, semakin Avius sadar jumlah orang yang berada di tempat itu telah menurun dengan sangat drastis. "Sudah berangkat terlebih dahulu? Tapi sepertinya aku tidak melihat seorangpun meninggalkan tempat ini. Apa aku melewatkannya?"

"Hei! Apa maksudmu? Kau yang menabrakku kenapa malah kau yang marah?"

"Menabrakmu? Kau dan perisai bodohmu itu yang tidak lihat-lihat kalau jalan!"

"Apa kau bilang? Ngajak berantem hah?"

Avius menoleh, seorang pemuda dengan jaket eksentrik berbagai warna tengah adu mulut melawan pemuda lain dengan perisai emas besar di tangannya.

"Kau kira aku takut? Perisai macam itu pasti patah sekali tebas!"

"Hoo... mau coba? Ayo maju!"

Orang-orang berada di sekitar mereka mulai tertarik dan mengerumuni kedua pemuda tersebut.

Hajar! Hajar! Hajar! Hajar!  Kerumunan tersebut mulai menyoraki dan memprovokasi untuk bertarung. Namun, sosok yang tak asing bagi Avius merangkul kedua pemuda itu begitu saja dan berseru. "Oke! Dengan begini kita sudah berempat!"


***


Avius tidak tahu apa yang terjadi. Begitu ia mengedipkan mata, tiba-tiba ia sudah berada di sebuah ruangan serba putih dengan Dyna dan dua pemuda yang sebelumnya tengah beradu mulut.

"Hei! Apa maksudnya ini? kenapa aku sekelompok dengan si bodoh ini?" Pemuda dengan perisai emas di tangannya menatap jengkel ke arah Dyna sambil menunjuk pada pemuda dengan jaket yang terdiri dari beragam warna di sebelahnya.

"Apa kau bilang? Kau kira aku sudi sekelompok denganmu?" Pemuda itu maju dan dengan sengaja menginjak kaki si pemuda dengan perisai di tangannya.

"Oh?" Tampak semakin jengkel, pemuda itu mengangkat paksa kakinya yang diinjak dan balas menginjak kaki pemuda lawannya itu.

Karena sama-sama tidak mau kalah, keduanya balas menginjak satu sama lain tanpa henti.

"Hei Avius, kau yakin mereka berdua bisa berguna nanti?"

"Kan kau yang memilih mereka... kenapa bertanya padaku?" Avius menatap Dyna yang tengah tertawa kecil.

"Kukira akan menarik kalau seperti ini. lagipula..." Dyna memperhatikan sekelilingnya. Tidak ada apa-apa di tempat itu. hanya ruangan putih besar tanpa ujung. "Ini di mana?"

"Selamat datang, para peserta yang terpilih."

Keempat pemuda itu menoleh secara bersamaan ke arah asal suara. Seorang gadis dengan seragam pelayan yang biasa Avius lihat menemani para bangsawan tengah menunduk sopan pada mereka. "Namaku Dia, kepala maid Alforea, dan penguasa ruang dimensi ini," ujarnya pelan.

"Ruang dimensi?" Avius mengangkat sebelah alis.

Gadis itu mengangguk, "Tempat transisi sebelum kalian dikirim ke tempat pertarungan yang sesungguhnya."

 Dia menjentikkan jari, empat gulungan perkamen muncul begitu saja dan melayang di udara. Satu di hadapan setiap orang. "Misi kalian tertulis di sana. Dan kalian juga akan membutuhkan ini." Gadis itu menjentikkan jarinya lagi. Sebuah kotak kaca kecil muncul di tangannya dan ia mengulurkannya pada Avius.

"E-eh? Apa ini?" Baru saja Avius akan bertanya, Dyna sudah terlebih dahulu maju dan merangkul gadis itu.

"Hai cantik, bagaimana kalau kita menghabiskan waktu berdua di dimensi indahmu ini? hanya kau, dan aku. Berdua di tengah ketiadaan."

Tidak mengacuhkan Dyna, Dia berkata pada Avius tanpa mengubah ekspresi dan nada datarnya, "Alat navigasi. Kalian mungkin akan membutuhkannya nanti." Setelah berkata demikian gadis itu menunduk hormat sekali lagi. "Semoga berhasil," ujarnya pelan.

"Jadi... begitu saja?" Pemuda dengan perisai besar di tangannya  menatap bingung ke tempat dimana Dia sebelumnya berdiri.

"Hei... hei... aku mau lihat itu dong!" Pemuda yang sebelumnya berseteru dengan si pemuda perisai berjalan mendekati Avius seraya menunjuk kotak kaca yang ia pegang. "Kosong? Bukankah tadi gadis itu bilang ini alat navigasi?"

Avius mengangkat bahu menyatakan kalau ia tidak tahu.

"Ah yasudahlah. Kita sudah terjebak sebagai kelompok bersama-sama jadi, perkenalkan. Arsya Remelody Corona. Panggil saja Arc." Pemuda itu mengembalikan kotak kaca tersebut pada Avius dan mengulurkan tangannya.

"Avius, Avius Solitarus. Senang berkenalan dengan anda tuan Arc. Semoga kita bisa lolos bersama-sama. Mohon bantuannya." Avius menjabat tangan Arc.

"Arc saja," balas pemuda itu. yang dibalas anggukan Avius.

"Garrand Entrenchord. Panggil saja Garrand, tidak usah pake embel-embel tuan." Pemuda dengan perisai di tangannya berjalan mendekati Avius dan menepuk pundak pemuda itu pelan.

"Ha? Memangnya siapa yang mau memanggilmu dengan 'tuan' bodoh? Kau besar kepala juga ya. Sayang tidak ada isinya."

"Oh, kau mau aku memecahkan kepalamu dan membuktikan siapa yang tidak memiliki isi?"

Dengan senyum tersungging, Avius berkata, "Mohon bantuannya Arc, Garrand."

Kedua pemuda itu serentak menghentikan adu argumen mereka dan menoleh ke arah si penyihir muda.

"Aku juga, mohon bantuannya kawan. Senang berkenalan denganmu," balas Garrand.

"Yeah... mohon bantuannya juga," ujar Arc.

"Oh ya, perkenalkan juga." Avius menunjuk kearah Dyna yang tengah berjongkok dengan kepala tertunduk  dan memutar-mutar jarinya. "Dyna, Dyna Might."

"Dia kenapa?" tanya Garrand.

"Depresi mungkin," balas Arc cepat. "Ditolak dua kali dalam satu hari. Kau lihat ketika dia melamar wanita di atas balkon tadi?"

Garrand mengangguk-angguk setuju. Avius menghampiri Dyna dan menggunakan sihir pemulihan padanya.

"Sensasi ini..." Dyna bangkit dan menatap ke arah Avius. "Jangan-jangan, tadi kau juga?"

"Ketika di halaman kastil? Yup." Avius mengangguk.

Dyna menepuk tangannya, "Sudah kuduga! Entah mengapa aku merasa sangat nyaman dan tentram walau saat itu aku ditolah mentah-mentah. Wah... terima kasih banyak sobat. Aku bersyukur dapat sekelompok dengamu."

Avius hanya tersenyum.


***


Lagi-lagi, isi pandangan Avius berubah dalam sekejap mata. Dari ruang putih kosong, tiba-tiba ia mendapati dirinya berada di tengah gurun pasir. Avius menengadah menatap langit. Bulan purnama merah tampak bersinar cerah menerangi gurun gersang itu.

"He-hei, coba kalian lihat perkamen yang gadis itu berikan tadi," seru Arc tiba-tiba.

Avius membuka gulungan perkamen yang ia terima. Hanya ada dua kata tertera dengan tinta emas di sana.

Bertahan hidup

"Bertahan hidup?" gumam Avius. Pemuda itu melirik kearah Dyna yang masih memandangi kertasnya, "Apa yang tertulis di kertas kalian?" tanyanya.

"Bertahan hidup," balas Dyna.

"Sama," ujar Arc. Sementara Garrand hanya mengangguk menandakan isi kertasnya pun sama dengan mereka.

"Jadi..." Dyna memandang gurun kosong itu. "Kita cuma perlu bertahan hidup di gurun ini? itu saja? berapa lama?"

Keempatnya saling berpandangan satu sama lain. Sebelum Avius menyadari sesuatu dan mengeluarkan kotak kaca yang ia terima sebelumnya dari dalam saku.

"Ah! Alat navigasi! Benar juga." Dengan semangat, Arc menghampiri Avius dan ikut memperhatikan kotak kaca itu.

Walau sebelumnya kosong, kotak kaca itu kini menampakkan lingkaran berwarna hijau dengan sebagian sisi yang mulai berubah menjadi hitam.

"Timer ya?" ujar Dyna yang tiba-tiba sudah berada di sisi Avius dan turut memperhatikan kotak kaca tersebut.

"Timer?"

"Semacam penghitung waktu mundur," balas Dyna. Ia menunjuk sisi hitam pada lingkaran hijau tersebut. "Lihat, sisi hitam ini berjalan sedikit demi sedikit memutari lingkaran dan mengikis semua warna hijau. Ketika sudah sampai ke sudut awal, kurasa misi ini sudah selesai. Dan dari apa yang kulihat mengenai pergerakan timer yang cepat ini, kurasa tidak akan lama."

"Apa? Begitu saja? mudah sekali. Kukira kita harus melawan ribuan monster raksasa begitu," ujar Arc. Pemuda itu duduk di atas pasir dan menghela nafas lega. "Syukurlah, kita tinggal duduk di sini dan-"

Suara teriakan menghentikan kata-kata pemuda itu. Tak lama, suara terompet berat dan keras menggantikan kesunyian gurun. Suara terompet yang sangat tidak asing di telinga Avius dan Garrand.

"Terompet perang kah?" gumam Avius.

Garrand menoleh menatap penyihir muda itu, "Kau mengenalinya juga?"

Avius mengangguk. Ia menciptakan bola cahaya di telapak tangan kanannya. Bola cahaya itu membesar dan berubah wujud menjadi seekor elang putih. "Pergilah Hawkes," serunya. Seakan mengerti, elang itu langsung terbang ke arah sumber suara.

"Apa yang kau lakukan? Apa itu tadi?" tanya Arc heran.

"Hewan sihir. Aku dapat melihat apa yang ia lihat. Kita bisa memantau apa yang sebenarnya terjadi dalam jarak aman," balas Avius.

"He... praktis juga. Omong-omong... kalian merasa tidak kalau bulannya semakin besar?"

Dyna dan Garrand menengadah ke arah langit sementara Avius memejamkan mata berkonsentrasi pada penglihatan Hawkes.

"Sepertinya tidak... eh tapi mungkin juga. Hanya perasaanmu saja sepertinya," balas Dyna. Namun, ia tidak mengalihkan perhatiannya dari bulan tersebut. "Indah sekali ya."

"Sepertinya masih sama seperti tadi. Aku tidak begitu memperhatikan sih," ujar Garrand.

"Perasaanku saja kah? Tapi rasanya tadi tidak sebesar ini."

"Pe-perang. Ti-tidak... ini pembantaian..." Kata-kata Avius mengalihkan perhatian ketiga orang yang masih terpaku menatap bulan tersebut.

Garrand berlari mendekati Avius dan mengguncang tubuh pemuda yang masih menutup mata tersebut. "Hei, apa yang kau lihat?" serunya.

"Prajurit... para prajurit itu dibantai oleh monster. Monster-monster itu terlalu banyak. Me-mereka kalah jumlah dan kekuatan."

Sontak Garrand dan Dyna menoleh ke arah Arc yang langsung kebingungan. "Apa? Bukan salahku!" serunya.

"A-aku harus menolong mereka. Kalau begini terus, mereka akan dibantai habis!" Avius membuka mata dan langsung berlari menuju ke lokasi peperangan tanpa menghiraukan teriakan Arc dan Garrand yang memanggil namanya.

"Sial!" umpat Garrand. Ia hendak berlari menyusul Avius namun Arc menahannya.

"Mau kemana kau?" hardik Arc.

Dengan tidak sabar, Garrand menarik lepas tangannya yang dicengkram Arc. "Menolong Avius tentu saja," balasnya.

"Hei, bukankah misi kita akan berakhir sebentar lagi? apa perlu melakukan itu?"

Garrand memandang Arc dengan tatapan jijik. "Tidak kusangka selain idiot kau juga pengecut. Tentu saja perlu bodoh! Avius akan kesulitan kalau menghadapi semua monster itu sendiri. Dyna, kau ikut?"

Garrand menoleh ke arah Dyna yang langsung dibalas anggukan olehnya. "Tentu saja, sebagai ketua kelompok ini, mana mungkin aku meninggalkan anggota kelompokku."


***


Avius menatap ngeri. Puluhan mayat bergelimpangan dengan kondisi mengenaskan di hadapan pemuda itu.

"WA-WAAAA...." Seorang prajurit tak jauh dari tempat Avius berdiri berteriak ketika seekor lipan raksasa menggigit putus salah satu kakinya.

"BERTAHANLAH!" Tanpa pikir panjang, Avius melesat ke arah prajurit tersebut, Sial! Tidak akan sempat... pikirnya.

Lipan itu merayap ke atas tubuh prajurit tersebut. Beruntung sebelum sempat menghabisi nyawanya, seorang prajurit berkuda menusukkan pedangnya ke kepala lipan tersebut yang langsung membuat lipan itu hancur menjadi pasir.

"AWAS!" Avius berteriak ngeri, prajurit berkuda itu tidak menyadari seekor kalajengking raksasa yang tiba-tiba muncul dari dalam pasir dan menusukkan sengat di ekornya pada tubuh kuda yang ia tunggangi. Prajurit itu terpental dari kudanya dan jatuh berguling di tanah.

Penyihir muda itu dengan segera menggunakan sihir pemulih pada si prajurit. "Bangunlah!" serunya.

Prajurit itu melompat bangkit dan mengambil pedang yang tergeletak di dekatnya. Ia mengindari serangan capit-capir besar si kalajengking yang hendak meremukkan tubuhnya tanpa memiliki kesempatan menyerang balik sama sekali. Sampai, ketika ia mengelak dari sengat di ekor si kalajengking, ia terlambat menyadari ayunan capit besar yang langsung menghempaskan tubuhnya.

Avius memfokuskan sihir pemulihnya kembali pada prajurit itu. Namun, kalajengking tersebut menyadari kehadiran pemuda itu dan mengubah target serangannya.

"HEI, AWAS! MENYINGKIRLAH!" Dengan panik prajurit itu berteriak kearah Avius.

Avius yang tahu tidak mungkin baginya mengimbangi kecepatan lari monster itu hanya bisa mematung di tempatnya berdiri.  Beruntung, begitu kalajengking itu menyerang dengan sengatnya, seorang pemuda dengan perisai emas di tangannya menarik Avius mundur. Ia menahan serangan itu dengan tembok tak terlihat yang sekaligus membuat kalajengking itu tertahan tidak dapat maju lebih dari itu.

"DYNA! SEKARANG!"

Dinding tak terlihat itu menghilang dan kalajengking raksasa tersebut menerjang maju.

"Melodi di tengah gurun, teredam oleh pasir, hilang oleh angin, shoobee doo BAM!"

Ledakan terjadi dan mementalkan kalajengking itu. Garrand menahan efek ledakan menggunakan perisainya dan Avius dengan sigap menggunakan sihir pemulih pada pemuda itu.

"Haaaa....."

Avius menoleh, seorang pemuda  dengan tombak merah melompat tinggi ke udara dan langsung melemparkan tombaknya ke arah kalajengking tersebut. Tombak merah itu menembus tubuh kalajengking raksasa itu yang kemudian langsung berubah menjadi pasir.

"Yo, Arc. Kukira kau tidak akan datang dan lebih memilih diam di tempat aman," ejek Garrand. Sementara Arc berjalan dan mengambil kembali tombaknya.

"Dan membiarkanmu keren sendirian? Enak saja. Lagipula kalian akan mati tanpa aku di sini."

Avius tersenyum dan menerima uluran tangan Dyna yang membantunya berdiri. Namun, Garrand kali ini memandang penyihir muda itu dengan raut wajah serius. "Apa yang sebenarnya kau pikirkan? Melesat maju begitu saja ke medan pertempuran. Dyna memberitahuku kemampuan pemulihanmu. Kau tidak memiliki kemampuan menyerang atau bertahan kan? Kenapa bertindak bodoh begitu?"

Avius menunduk, "Maaf membuat kalian cemas," ujarnya pelan. Ia mengangkat kembali kepalanya dan berkata mantap, "Walau aku tidak memiliki kemampuan untuk menyerang atau bertahan, aku tetap ingin menolong mereka. Sudah seharusnya sebagai seorang dengan sihir semacam ini membantu orang lain bukan?"

Garrand mendengus, namun ia tersenyum, "Kau berbeda dari penyihir kebanyakan yang lebih memilih garis belakang yang aman sobat," ujarnya. Ia menepuk pundak Avius dan melanjutkan, "Aku, Garrand Entrenchord mengakui keberanianmu."

"Terima kasih..." balas Avius pelan dengan senyum yang juga tersungging di wajahnya.

Suara kaki kuda mengalihkan perhatian mereka. Seorang prajurit turun dari kuda hitam yang ia tunggangi dan mendekati Avius. Prajurit yang Avius kenali sebagai orang yang diserang oleh kalajengking raksasa itu sebelumnya.

"Kau penyihir yang menggunakan sihir penyembuh tadi? Terima kasih banyak. Aku berhutang nyawa padamu." Prajurit itu mengulurkan tangan yang kemudian disambut oleh Avius.

"Tidak, memang sudah menjadi tugasku," balas Avius.

"Ah ya, aku belum memperkenalkan diri. Jenderal Douglas Cassius. Pemimpin pasukan divisi satu dari kerajaan Alforea."

"Avius, Avius Solitarus. Dan mereka rekanku. Dyna Might, Garrand Entrenchord, dan err... Arc."

"Hei! Kau tidak ingat nama lengkapku?" protes Arc.

Tidak mengindahkan Arc, Avius bertanya pada Douglas, "Apa yang sebenarnya terjadi di sini?"

"Kami harus menahan monster-monster ini agar tidak melewati batas pertahanan selagi menunggu pasukan bantuan tiba. Harusnya tidak lama lagi. Dengan cannon, catapult, dan pasukan pemanah, semua monster ini akan dihabisi dengan mudah," terangnya.

"Yah... monster keroco macam ini sih mudah. Untung saja tidak ada monster abnormal seperti kuda api setinggi lima puluh meter misalnya," ujar Arc.

"Hei Avius, bisa kau cek alat navigasinya? Berapa lama lagi waktu kita di sini?" bisik Garrand.

Avius mengeluarkan kota kaca kecil dari dalam sakunya, "Ah sedikit lagi. Sudah hampir hitam semua," ujar pemuda itu.

Namun, tidak perlu waktu lama bagi mereka untuk menyadari kalau timer itu bukanlah untuk pertanda waktu keberhasilan mereka. Gempa hebat terjadi, disusul oleh ringkikan yang lebih menyerupai raungan yang memenuhi seluruh dataran gurun. Bulan merah di padang pasir bersinar semakin terang dan akhirnya suasana kembali seperti semua.

"Kukira apa, syukurlah tidak terjadi apa-apa... hei Avius, kau kenapa?"

Mata penyihir muda itu terpejam, namun raut wajahnya menunjukkan ketakutan. "I-itu.. monter... monter baru..."

"Monster baru? Tinggal kita kalahkan bersama-sama saja bukan?"

"Tidak... ini berbeda." Avius menggelengkan kepalanya. "Dia terlalu besar. Kalajengking yang sebelumnya kita lawan bahkan tidak lebih besar dari telapak kakinya."

"Bisa kau beritahukan seperti apa dia Avius?" tanya Garrand. Ada nada cemas dalam suaranya.
"Pegasus, kuda bersayap. Hanya saja api menyelimuti seluruh tubuhnya. Sial... aku bahkan bisa melihat lintasan api di bekas jalur yang ia lewati."

Spontan Dyna, Garrand, dan Douglas menoleh ke arah Arc.

"Apa? Bukan salahku! Aku tidak tahu apa-apa sumpah!"

"Tenang, untuk saat ini kita dapat tenang. Pergerakannya tidak begitu cepat. Hawkes dapat terbang jauh lebih cepat daripada dia. Dan jarak monster itu cukup jauh," ujar Avius. Ia membuka matanya dan menghela nafas. "Hawkes akan terus mengikuti monster itu sehingga aku dapat memantau pergerakannya. Sekarang tinggal memikirkan apa yang harus kita lakukan."

"Tidakkah kalian curiga dengan hal itu?" Dyna menunjuk kearah yang berlawanan dengan lokasi monster itu berada. Di mana terdapat dua pilar cahaya yang tegak menjulang menembus langit. "Kalau kalian baca perkamen kalian, kalian akan sadar ada tambahan baru di sana."

Dengan segera Avius mengeluarkan dan membuka gulungan perkamennya. Kata-kata bertahan hidup yang sebelumnya tertulis dengan tinta emas terlah berubah menjadi hitam. Di bawahnya, terdapat kata-kata baru yang masih tampak mengkilat dengan tinta emas.

Pergi ke reruntuhan kastil

Hancurkan menara kristal

Segel Tamon Rah

Avius merogoh sakunya dan mengeluarkan kotak kaca yang sekarang berisi sebuah jarum berbentuk anak panah berwarna merah. Jarum itu menunjuk ke arah dua pilar cahaya yang menjulang tinggi tersebut.

"Sepertinya kita sudah mendapatkan tujuan kita untuk saat ini." Senyum terkembang di wajah Avius. Ia menunjuk ke arah dua pilar cahaya itu dan berseru, "Ayo kita segel monster itu!"

"Jika kalian ingin menuju tempat itu, gunakanlah kuda kami agar lebih cepat." Douglas tiba-tiba angkat bicara. Ia tersenyum kepada Avius sebelum melanjutkan, "Kami akan menahan monster-monster ini di sini agar tidak ada yang mengikuti kalian. Ketika bala bantuan tiba, kami akan segera menyusul dan membantu kalian."

Avius mengangguk, "Terima kasih banyak. Kami sangat menghargainya."

"Aku mendoakan keberhasilan dan keselamatan kalian. Berjuanglah."

Avius menunduk hormat pada Douglas sebelum pergi disusul ketiga rekannya. Tak lama, pemuda itu berbalik dan berseru, "Kalau anda melihat seekor elang putih terbang berputar di sekitar sini, segera tarik mundur pasukan anda. Itu berarti monster itu sedang menuju kemari."

"Aku mengerti, terima kasih banyak."


***


"AWAS!" Garrand mencengkram Avius dan melompat bersama pemuda itu dari kuda yang mereka berdua tunggangi. Secara reflek, ia memeluk Avius dengan erat dan jatuh dengan posisi tubuhnya di bawah agar Avius tidak terluka. Lusinan monster kalajengking dan cacing telah menunggu di depan reruntuhan kastil di mana dua menara kristal kembar yang memancarkan pilar cahaya ke langit berada menyerang mereka secara tiba-tiba.

Sementara itu, Dyna dan Arc berhasil melompat tepat waktu dan mendarat dengan aman.

"Ah maaf!" Avius segera bangkit dan dengan cepat menggunakan sihir pemulih pada Garrand.

"Aku selalu menyukai sihir pemulihmu ini Avius! Sungguh yang terbaik! Perasaan nyaman dan ketentraman walau di tengah pertarungan ini benar-benar membantu."

"Benar kan? Apa kubilang? Benar-benar membantu dalam banyak hal," sambung Dyna.

Avius tersipu, "Ti-tidak begitu hebat... tapi terima kasih," jawabnya malu.

"Dan sekarang, masalah utama kita." Garrand menunjuk puluhan monster yang menghadang di depan reruntuhan kastil. "Kita semua petarung jarak dekat, untuk menghancurkan menara kita butuh menyapu bersih seluruh monster itu terlebih dahulu. Ada ide?"

"Well... setidaknya menyapu bersih semua monster di sini lebih baik daripada-" Garrand dan Dyna bergerak bersamaan menutup mulut Arc.

"Tolong... aku mohon... jangan buat keadaan menjadi lebih buruk lagi bung. Ini sudah sangat buruk."

"Aku punya cara..." ujar Dyna tiba-tiba. Ia memandang serius pada tiga rekannya. "Aku akan menghancurkan kedua menara tersebut beserta seluruh monster yang ada. Tapi, untuk melakukannya pada radius sebesar itu, butuh waktu cukup lama. Aku ingin kalian melindungiku selama itu."


***


"Heaaaaa..."

Hantaman Garrand mementalkan seekor cacing raksasa ke arah Arc yang langsung membelah monster itu menjadi dua dengan pedang merah besar di tangannya. Tubuh cacing itu hancur menjadi pasir seketika setelahnya.

Seekor minotaur maju menyerang Dyna yang masih berdiri diam dengan mata terpejam dan jari yang mengetuk-ngetuk di udara. Beruntung Garrand berhasil menahan ayunan kampak monster itu menggunakan tamengnya tepat waktu.

Garrand mengayunkan tamengnya memukul kepala monster yang ukurannya hanya sedikit lebih besar darinya itu. Minotaur itu meraung dan kembali melayangkan senjatanya yang lagi-lagi dapat diblokir Garrand dengan mudah. Pemuda itu melakukan tendangan putar yang telak mengenai leher. Menyebabkan monster itu jatuh dan hancur menjadi pasir tak lama kemudian.

Hawa panas secara tiba-tiba menyapu wajah Garrand. Gemetar, pemuda itu menoleh dan dengan ngeri menatap sosok monster api raksasa berwujud kuda yang sudah hampir mencapai tempat mereka. Sementara Arc menjatuhkan senjatanya dan keputusasaan terpancar jelas dari wajahnya.

Garrand menyadari sesuatu. Avius masih berdiri tidak bergerak memandangi monster yang semakin mendekat padanya. "MENYINGKIRLAH AVIUS! KAU AKAN TERBUNUH!" teriaknya.

Namun, apa yang pemuda lihat berikutnya membuatnya terdiam. Avius berbalik dan menyunggingkan senyum padanya. "Nil desperandum, jangan menyerah pada keputusasaan. Selama kita hidup, harapan akan selalu ada. Aku tidak bisa melakukan ini terlalu lama tapi, aku percaya pada kalian. Lindungi Dyna, bawa kita pada kemenangan."

Monster itu berhenti dan melayang begitu hampir mencapai reruntuhan kastil. Ia meringkik kencang dan nyala api pada sayapnya tiba-tiba membesar.

Sementara itu, Avius memejamkan matanya dan bergumam.

"Consilio et animis..."

Kepakan sayap monster itu semakin cepat. Walau demikian, ia tidak maju setitikpun dari tempatnya melayang.

"Constantia et virtute..."

Monster itu terbang semakin tinggi dari tempatnya semua. Nyala api pada sayapnya semakin membesar dan kepakannya semakin cepat.

"Vis..."

Ringkikan yang menyerupai raungan kembali memenuhi gurun malam itu.

Dengan segenap kekuatannya, Avius mengangkat kedua tangannya ke arah monster itu dan berseru.

"PRAESIDIUM!"

Api di sayap monster itu pecah menjadi ratusan bola api besar yang melayang ke segala arah, membakar dan menghanguskan apapun yang dikenainya.


***


"AAAAAAARRRRGGGHHHHH" Avius berteriak. Dinding sihir tak terlihat yang ia ciptakan menghilangkan setiap bola api yang mengarah pada reruntuhan kastil. Melindungi dirinya dan ketiga rekannya.

Tepat pada saat itu, Dyna membuka mata dan berteriak mantap. "AKU SIAP! MUNDURLAH!"

Ledakan besar menyelimuti seluruh reruntuhan kastil beserta menara kembar. Sementara itu, serangan bola api Rah sudah berhenti dan Avius langsung roboh di atas pasir. Dengan susah payah, pemuda itu menoleh ke arah reruntuhan dan terbelalak. Seluruh monster yang ada di tempat itu sudah hancur dan menjadi pasir walau demikian, "Me-menaranya... u-utuh?"

"ARC!"

"YA!"

Arc dan Garrand berlari maju ke arah kedua menara yang sudah tidak dikerumuni monster sama sekali. Tanpa diduga, begitu keduanya mendekat, cahaya kemerahan muncul dari puncak menara dan mengarah kepada mereka.

"Proyektil sihir?" Garrand menahan serangan itu dengan perisainya sementara Arc melompat ke samping.

Kedua menara itu menembakkan proyektil sihir tanpa henti. Walau demikian, dua pemuda itu terus maju dan begitu berada dalam jarak dekat, Garrand menghantam menara itu menggunakan perisainya dan menghancurkannya seketika. Sementara Arc mengubah pedang di tangannya menjadi palu besar dan mengayunkannya ke arah menara tersebut yang menghancurkan palu Arc kembali menjadi cairan kemerahan begitu keduanya bertemu.

Arc terbelalak, "Tidak mungkin...." serunya.

"ARC!" Garrand langsung melesat menuju menara kedua. Belum sempat ia mencapai menara tersebut, puing-puing menara yang ia hancurkan kembali menyatu dan membentuk pilar cahaya yang menjulang ke langit.

Serangan yang bertubi-tubi dilancarkan kedua menara ditambah monster yang kembali bermunculan dari dalam pasir memaksa kedua pemuda itu mundur.

Arc dan Garrand menghampiri Avius yang terbaring tidak berdaya ditemani Dyna.

"Hei sobat... maaf mengecewakanmu. Maafkan kami, kami gagal melaksanakan bagian kami," ujar Garrand. Ia  duduk di samping Avius memperhatikan puluhan monster yang kembali muncul dari dalam pasir dan memenuhi reruntuhan kastil.

"Tidak, ini salahku. Aku tidak tahu kalau kekuatanku tidak bekerja pada menara tersebut. Aku tidak memperhitungkannya terlebih dahulu. Aku membuang waktu dan kesempatan kalian. Maafkan aku."

Arc menggeleng, "Kau tidak salah apa-apa Dyna. Kau berhasil menyapu bersih semua monster yang ada di sana. Ini salahku karena gagal menghancurkan menara bagianku."

"Ahahaha," Avius memaksakan untuk tertawa. Ketiga rekannya sontak menoleh pada pemuda itu. "Ke-kenapa kalian tampak seperti sudah kalah begitu?"

Avius memejamkan mata dan bergumam pelan, "Aura... Ventus."

Daerah sekeliling tempatnya berbaring yang awalnya pasir kering berganti menjadi rumput hijau.

Seketika itu pula, Garrand, Dyna dan Arc yang berada di sisi Avius merasakan perasaan nyaman dan tentram. Segala ketakutan dan keputusasaan yang ada dalam pikiran mereka mulai menghilang.

"Hei bodoh, apa yang kau lakukan? Kau sudah menerima semua serangan bola api itu sendiri dan masih menggunakan sihirmu?" seru Garrand.

"Hanya rasa sakitnya saja. Tidak sampai kerusakannya," balas Avius. Ia menatap ketiga rekannya dan berkata dengan suara lirih, "Terdengar bodoh sih tapi... selama kalian masih hidup, selama jantung kalian masih berdetak, harapan akan selalu ada. Aku berulang kali bergantung pada harapan, dan berulang kali diselamatkan olehnya."

Garrand menghela nafas, senyum tersungging di bibirnya. "Kalau begitu, tunggu apalagi? Kuda brengsek itu sudah berani melukai teman kita. Apa kita akan membiarkannya saja?"

"Tidak akan kubiarkan kau beraksi sendirian bodoh." Arc mengangkat pedang besar di tangannya dan memasang kuda-kuda.

"Ah terima kasih karena melindungiku sebelumnya Avius, biarkan aku melindungimu sekarang," ujar Dyna dengan riang.

Tamon Rah melayang semakin dekat dengan reruntuhan kastil. Garrand membulatkan tekadnya. "Kita akan pulang bersama-sama sebagai juara dan makan bersama setelah ini bagaimana?"

Arc mengangguk, disusul Dyna dan Avius yang tersenyum.

"DALAM HITUNGAN KETIGA!" teriak Garrand.

"SATU!" Garrand menghela nafas dan menatap lurus monster kuda raksasa yang semakin dekat dengan mereka.

"DUA!" Ia menggenggam perisanya dengan semakin erat.

"TI-" Belum sempat Garrand menyelesaikan hitungannya, peluru-peluru meriam dan anak panah disusul batu-batu besar menghujani tubuh monster di hadapannya.

Garrand tidak sanggup menahan air mata. Bunyi terompet perang mengalahkan ringkikan kuda raksasa itu dan menyebar di seluruh gurun.

Puluhan prajurit berkuda berjalan beriringan menuju reruntuhan kastil. Salah seorang dari mereka menghampiri  Garrand dan yang lainnya mulai membantai monster-monster di kastil tersebut.

"Kalian tidak apa-apa?" tanya suara familiar yang dikenali Garrand.

"Kami baik-baik saja. Tapi Avius terluka. Bisa kau membantunya?"

Garrand membantu menaikkan Avius ke kuda yang ditunggangi Douglas. "Aku akan membawanya ke tempat peristirahatan untuk mendapat perawatan. Bagaimana dengan kalian?" tanya jenderal itu.

"Kami masih punya urusan pribadi yang belum selesai. Kami akan segera menyusul," balas Garrand.

Douglas tersenyum, "Semoga berhasil," ujarnya sebelum memacu kudanya pergi.

Garrand memandang Arc dan Dyna yang berdiri di sisinya. Menyaksikan monster kuda raksasa yang tanpa henti dihujani panah, peluru meriam dan batu-batu besar. "Jadi... bukankah sebaiknya kita membalaskan dendam rekan kita?"

Arc dan Dyna mengangguk seraya berseru mantap, "Tentu saja!"

Garrand berjalan mundur dan berjongkok dengan perisai di atas kepalanya. "Sekarang! Arc!"

Arc mengangguk. Pedang di tangannya berubah menjadi tombak kemerahan. Ia melompat tinggi dan mendarat di atas perisai Garrand.

"TERBANGLAH! IDIOT!" Garrand berteriak dan membantu melontarkan Arc yang membuatnya melayang tinggi di udara.

Dengan seluruh kekuatan, Arc melemparkan tombaknya.

"Tangis kesedihan, sonata kematian. Tawa kebahagiaan, senandung kehidupan. Akan kunyanyikan lullaby yang akan mengantarmu pada tidur terakhirmu."

Dyna mengeluarkan suara frekuensi tinggi. Gelombang suara menyelimuti tombak yang dilemparkan Arc dan menambah kecepatannya. Tombak itu melesat dan tepat menembus kepala monster itu.


***


Dari kejauhan, Avius menatap sosok raksasa Tamon Rah yang jatuh menghantam reruntuhan kastil. Menghancurkan kedua menara kembar dengan tubuhnya. Pemuda itu kemudian beralih dab melihat tiga sosok rekannya melambai padanya dari kuda prajurit Alforea yang tengah berlari menuju tempatnya berada.

"Syukurlah..." gumam Avius lirih sebelum kesadarannya menghilang.

10 comments:

  1. Pertama, saya baca ini karena tertarik judul. Iya, latin! Saya bosan dengan entri bahasa gaul, daerah, atau inggris. Tapi ini latin! jempol! (saya sendiri ada satu kalimat pake bahasa basque, buat mantra) jadi... XD

    semua dibuka dengan battlenya langsung dan Avius penyihir. Ini melanggar aturan memberi komentar yang subjektif, tapi apa mau dikata, penyihir emang daya tarik utama bagi saya.

    dan kau pakai Arc, OC yang dari awal saya tertarik karena skillnya mirip OC saya.

    Deus! saya jadi ingat mirai nikki XD

    oke, flashbacknya lancar dan bagus.

    tapi entah kenapa, di beberapa narasi, saya merasa agak terbata-bata. ada dua masalah di sini :
    ada narasi yang deskripsinya malah masukin hal yang ga perlu
    ada juga narasi yang deskripsinya kurang, sehingga membuat saya harus scroll ke atas dikit buat nyari ini siapa ini siapa, gitu.

    Avius support ya. hebat hebat ^^

    Ada beberapa typo dan penggunaan tanda baca yang kurang tepat. Tapi saya juga, sih, ketika koreksi punya sendiri, meski udah berkali-kali, tetap aja enggak bisa lepas, sekalipun typo itu dikarenakan auto-completenya si ms.word *curhat

    interaksi antar karakter di awal-awal agak terburu-buru, setelahnya cukup oke. karakternya keluar aslinya, kok. nice.

    ini entri ke... berapa ya, yang saya baca, dengan cerita 'nyoba mecahin towernya satu-satu'

    last but not least, saya SUKA BANGET pembacaan mantra menggunakan bahasa latin. iya, lagi-lagi subyektif ya, gapapa deh.

    btw, bahasa latin itu, emang ngerti atau pake google translate? (kepo)

    oke, akhir kata, saya punya nilai buat kamu, tebak berapa?

    Nongenti!

    Iya, saya kasih : 9 !

    Dari Puppet - Eumenides

    ReplyDelete
  2. Hello

    Pertama liat judulnya.. WOW Bahasa latin.
    oke, mutusin baca

    Ternyata ceritanya ngalir, pembukaannya pake alur mundur-maju (?)
    Dan saya ngikutinnya asik.

    Bahkan endingnya ga kayak entri lain ya.
    Dimana yang lain pake power/senjata mereka buat ngehancurin tower, disini justru menggunakan Tamon Rah

    Meski ngalir dan asik, saya ngerasa ada yang ga sreg. Mungkin tulisan latinnya dikasih italic kali ya

    So titip 8
    Ini kalau lolos potensinya bagus

    Kazuki Tsukishiro

    ReplyDelete
  3. Oke, saya suka ini.

    Penulisannya rapih, plotnya juga, dan jalannya pertempuran cukup jelas. Meski awalnya dua dari mereka sering cekcok, pada akhirnya mereka bisa bekerja sama juga. Saya juga suka bagian akhirnya yang epic saat bala bantuan datang, dan karena ini sudah ada foreshadow di awal, ini tidak termasuk Deus Ex Machina.

    Nilai 9

    Zoelkarnaen
    (OC: Caitlin Alsace)

    ReplyDelete
  4. > Rapi dan ringan
    > Ada beberapa bagian yang bikin saya sempat garuk garuk kepala
    > Endingnya. Untuk melemparkan satu tombak 3 karakter berkerja sama

    8/10
    -Lexia Gradlouis

    ReplyDelete
  5. Ternyata avius ni tipe penyembuh yang memberi kehangatan untuk sekitarnya. Aku senang ngikuti adegan-adegan pertarungannya. Plot ceritanya tersusun rapi dengan karakterisasi yang pas.

    Aku cuman rada kurang sreg ma paragraf terakhir di mana kedua menara hancur ketiban tamon rah. Rasanya antiklimaks gitu, kesannya menara hancur karena kayak ga sengaja.

    Nilai : 8

    OC aye : Zhaahir

    ReplyDelete
  6. Yeeey, sesama pengguna title latin~

    Dan sama" in medias res pula awalannya, langsung dibawa ke tengah pertarungan. Kayanya bagus ini kalo dikasih pemenggalan part" dalem cerita, tapi terserah penulis sih

    Wwwww udah keluar aja inisial DP di awal gini

    Saya sempet khawatir kalo Dyna (lagi") ngambil jatah spotlight dari karakter utama cerita ini, tapi ternyata ngga ya. Meski cuma support, Avius juga keliatan banget jad moral anchor buat rekan"nya, dan duo Arc-Garrand jadi semacem rival ala karakter shounen manga yang bikin mereka berdua juga punya porsi memorable (Arc jadi buttmonkey di kelompok ini ya, sementara Avius kayaknya tipe yang paling punya common sense)

    Style nulisnya menyenangkan buat dibaca, mungkin karena dasarnya kita sealiran. Ringan dan nyaman, tau" udah mau abis aja. Secara teknis ga perlu dikomentarin karena saya enjoy" aja, cuma paling kayak yang udah dibilang, plot 'Tamon Rah ngancurin menaranya sendiri' itu udah berulang kali dipake, jadi buat saya berkesan agak redundan (tapi yah, kesamaan ide emang ga bisa dihindari sih). Plus akhirannya cuma separagraf ngejelasin apa yang terjadi itu ngurangin impactnya, padahal scene terakhir kerjasama 3 rekan Avius udah lumayan bagus.

    Dari saya 8, +1 karena ngebawain Dyna in an acceptable way. Deadliner buffer -1, jadi nilai akhir dari saya 8

    [OC : Dyna Might]

    ReplyDelete
    Replies
    1. 8+1-1 = 8 entah kenapa saya nyengir bacanya :v

      Delete
  7. Kyaah, kayaknya aku butuh kemampuan Dik Avius, deh. Di desaku soalnya banyak pria yang patah hati gegara kutolak cinta mereka~ #pamer

    Battenya seru, saling membahu antara rekan, antara peserta dan prajurit Alforea. Skillnya Avius beneran membangkitkan moral tempur kawan-kawannya, dia tampak keren. Biarpun kemunculan kuda nggak beneran di tempat perang, cenderung agak jauh, tetapi suasana sengitnya masih kerasa.

    Ada sejumlah salah ketik, sih, tapi yasudlah.

    Semoga Dik Avius bisa lolos ke prelim dan menghibur lebih banyak orang yang patah hati~ #teehee

    PONTEN 8
    -Bu Mawar-

    ReplyDelete
  8. WOAKAKKA APA ITU DP WOY APA ITU DP, FORESHADOWNYA WOY WKKWKWKW!
    humm, well done! ternyata tiap malem doto ga mempengaruhi kualitas tulisanmu.
    Narasi enak dibaca, dialog lumayan bagus, plot dan alurnya rapi, runtut, sebenarnya ga ada yang berantakan di sini.
    Cuma secara deskripsi, masih agak minim, untuk karakter, situasi, latar, dll, lumayan cukup sih, tp masih kurang. Eksplorisasi feeling karakternya jg kurang, well, mungkin karena kamu belum cukup menguasai POVnya ya? Ini bisa ditingkatkan dan sebenarnya tidak sulit, jadi berjuang~!

    Skor: 9 (8+1 karena ada foreshadownya DP ( ͡° ͜ʖ ͡°) )

    OC: Vi Talitha

    ReplyDelete
  9. Mumpung si Arly –other personaku- masih tidur, aku mau nulis review untuk Avius. Maaf harus nyolong-nyolong waktu. Soalnya Avius itu OC favorit dia, Takutnya kalau dia yang nulis review jadi gak objektif, hahaha ..

    Menurutku ceritanya menarik. Cutscene pada bagian awal agak membuat bingung. Tapi itu hanya karena awalnya aku tidak tahu kalau ini ternyata plot maju-mundur. Setelah tahu, justru jadi nilai plus.

    Bahasa latin ? Wow, keren. Berasa banget Avius ini memang penyihir tulen. ^_^ Aku memang selalu membayangkan dia itu hidup di Abad Pertengahan. Abad Pertengahan ya, bukan Abad Kejaya*n yang drama tv itu.

    Dari segi karakter, semua punya andil merata. Kerjasama tim memberi ruang masing-masing OC untuk show up dan gak menghilangkan ciri mereka. Hebatnya, Avius bisa tampil sebagai tokoh utama yang cukup dominan.

    Ada beberapa typo, dan juga beberapa kalimat langsung yang nadanya ternyata berbeda dengan maksud pengungkapannya. "Haaa!!!" sama "Haaa...". Yang pertama untuk nada semangat. Yang kedua untuk nada malas / mengeluh. Pas baca paragraf selanjutnya baru tahu kalau itu tanda bacanya tidak tepat.

    Lalu ada beberapa kalimat langsung yang aku tidak tahu siapa yang bicara sampai berkalimat-kalimat selanjutnya baru ketahuan. Tapi dimengerti karena mungkin dilakukan penulis untuk penghematan jatah words counts.

    Untuk segi deskripsi, padat berisi, tidak bertele-tele. Memudahkan sekali yang bacanya mau cepat. Tapi ada beberapa detil yang kurang mengena dijelaskannya, jadi bingung maksudnya apa. Aku pernah baca charsheet si Arc, tapi sambil lalu saja dan tidak begitu paham mengenai Arc yang kalau ngomong hal buruk suka tiba-tiba kejadian. Aku tadinya gak paham kenapa kalau ada kejadian jelek semua OC di entry ini ngeliatin Arc kayak menyalahkan dia. Sampai pas imaginasi Arc mengenai si Tamon Rah, itu aku baru ngeh. Itu berpotensi jadi jokes sebenarnya. Tapi karena kurang deskripsi entah dari celetukan tokoh lain ataupun dari narasi, jadinya kurang dapet. Sayang banget.

    Untuk nilainya, Kukasih 8.

    Dari Penulis Ditto Stormrage.

    ReplyDelete