1.4.15

[Char Sheet] Avius Solitarus - The Forest Wizard

IDENTITAS DASAR
Penulis:Suihei Yugure
Nama:Avius Solitarus
Julukan:The Forest Wizard
Jenis Kelamin:Laki-laki
Umur:20
Ras:Manusia
Class:Support
Element:Light
Kepribadian:Mudah penasaran, senang membantu, pendiam dan mudah gugup dengan   orang asing, ramah, dan lebih memilih menyendiri walau tidak memiliki masalah dengan bersosialisasi.
Menyukai:Anak-anak (Selama itu masuk akal, Avius tidak dapat menolak permintaan anak-anak), orang tua (Entah mengapa ia merasa tentram ketika mendengar cerita kehidupan dengan para nenek di desa atau sekedar bertukar kisah perjalanan dengan pria tua di bar.), Susu hangat, pai buah, perapian, senyum bahagia, ucapan terima kasih.
Membenci:Kematian          

DESKRIPSI
Tinggi / Berat:179/67
Deskripsi Fisik:Rambut coklat cepak dengan mata dwiwarna –kiri coklat, kanan biru- dan selalu mengenakan jubah coklat tua bertudung peninggalan gurunya.
Senjata:[senjata karakter]

KEMAMPUAN & KELEMAHAN
Kemampuan:Sihir Pemulih
Memulihkan segala luka fisik baik itu sekedar lecet, ataupun patah tulang dan cedera organ dalam. Memberikan rasa nyaman dan tentram kepada target saat prosesnya.

Aura Ventus
Serupa dengan sihir pemulih, tapi bekerja dalam radius lima meter dari Avius alih-alih satu target saja.

Vis Praesidium
Perisai sihir yang memantulkan segala macam serangan fisik dan menghilangkan serangan sihir tanpa terkecuali.

Aeternal Litera
Kemampuan telepati yang membuat Avius mengetahui hasrat terdalam yang dimiliki seseorang.

Visus Finis
Memanggil seekor familiar. Bisa berupa elang, ataupun serigala. Avius dapat melihat dari sudut pandang hewan yang ia panggil. (Hanya dapat memanggil masing-masing satu ekor elang dan serigala)
Kelemahan:Sihir pemulih tidak hanya menggunakan mana si pengguna, tapi juga stamina. Pemulihan juga tidak berlangsung instan, sistem pemulihan bekerja bagai regenerasi yang dipercepat untuk kembali ke kondisi semula. Walau demikian, penggunaan sihir pemulih pada anggota tubuh yang hilang hanya akan menutup luka  dan tidak mengembalikan ke kondisi awal. Semakin fatal luka yang terjadi, semakin lama proses pemulihan dan semakin banyak mana serta stamina yang terkuras. Jarak maksimal dengan target adalah 15 meter. (Tidak dapat digunakan pada diri sendiri)

Saat menggunakan Aura Ventus, Avius tidak dapat bergerak dari tempatnya berdiri dan harus tetap berkonsentrasi selama penggunaan sihir ini. Avius juga tidak dapat memilih targetnya saat menggunakan sihir ini. Apapun dan siapapun yang berada dalam radius lima meter dari tempatnya menggunakan Aura Ventus akan mendapat efek sihir ini. Efek pemulihan yang terjadi lebih lambat dari sihir pemulih biasa. (Channeling skill)

Perisai sihir absolut yang diciptakan Vis Praesidium akan melindungi apapun dan siapapun yang diinginkan Avius. Walau tidak menerima damage sama sekali Avius harus membayar dengan rasa sakit lima kali lipat dari serangan tersebut pada normalnya. (Apabila Avius menerima rasa sakit luar biasa hebat melebihi yang bisa ia tahan, sangat mungkin baginya untuk pingsan.)

Ramuan Avius terbatas jumlahnya. Kalau persediaan yang ia bawa habis, ia harus meracik yang baru. Avius sendiri lebih memilih menggunakannya pada orang lain dibanding dirinya sendiri.

Tipikal karakter utama naif yang lebih mementingkan orang lain dibanding dirinya sendiri

Visus Finis tidak dapat digunakan untuk menyerang.

Walau sering melatih stamina dan kapasitas mana yang ia miliki agar dapat terus menerus memulihkan orang-orang ketika terjadi perang, fisik Avius tidak memiliki kelebihan berarti dibanding manusia normal.

LATAR BELAKANG
Nama Realm:Bumi
Deskripi Realm:Avius tinggal sendirian di tengah hutan di rumah kayu yang dikelilingi pohon pinus. Tidak jauh dari tempatnya tinggal terdapat desa dengan penduduk yang mengenalnya dengan baik.
Bio:Avius lahir dari pasangan penyihir dan sordes, sebutan bagi kelahiran antara manusia dengan elf. Walau ras manusia dan elf pada umumnya saling membenci karena perebutan kekuasaan dan teritori, kedua ras berusaha menjaga hubungan agar tidak tercipta perang besar yang merugikan kedua belah pihak. Karena alasan itulah kaum sordes dibenci dan menjadi buangan akibat ditolak oleh kedua ras.

Pada masa itu keberadaan penyihir dengan kelebihan yang tidak dimiliki manusia normal –sihir- menciptakan rasa takut pada kerajaan utama. Raja yang tengah memimpin saat itu memerintahkan untuk menangkap setiap penyihir yang ada dan mengontrol mereka dibawah kerajaan dengan tujuan agar tidak terjadi pemberontakan. Para penyihir yang jumlahnya sangat sedikit tidak mampu memberikan perlawanan berarti, mereka mau tidak mau patuh dan dipaksa menggunakan sihir terus menerus untuk keuntungan kerajaan. Tidak sedikit dari penyihir yang meninggal akibat kerja paksa itu.

Ayah Avius menyembunyikan fakta bahwa ia seorang penyihir dan tinggal di pinggir hutan bersama keluarganya. Sampai suatu saat dimana seorang pria yang ia tolong dari serangan bandit mengkhianatinya dan memberitahukan keberadaannya sebagai penyihir kepada prajurit kerajaan. Ayah Avius menolak untuk menyerahkan Avius dan melawan prajurit kerajaan yang berakhir dengan pembakaran dirinya hidup-hidup sementara Avius yang saat itu masih berusia sepuluh tahun melarikan diri bersama ibunya.

Bertahun-tahun keduanya menjadi gelandangan, hidup sebagai pengemis dan sesekali mencuri makanan karena tidak memiliki uang sama sekali. Sampai suatu hari ibu Avius diperkosa belasan pria mabuk dan dipukuli hingga meninggal. Avius yang berusaha melindungi ibunya dipukul sampai pingsan. Ketika ia sadar, ia tengah berada dalam keadaan terikat dalam sebuah kerangkeng di atas kereta kuda bersama beberapa pria dan wanita yang tidak ia kenal. Ia akhirnya mengetahui bahwa dirinya tengah dalam perjalanan menuju ibukota kerajaan untuk dijual sebagai budak.

Malam ketiga perjalanan, seekor chimaera menyerang iring-iringan mereka. Menghancurkan kereta kuda beserta kerangkeng yang mengurung para budak dan membunuh semua orang yang ada disana. Avius sudah pasrah dan memejamkan mata ketika chimaera itu mendekati dirinya. Berharap segalanya berakhir dengan cepat dan tanpa rasa sakit. Tapi, makhluk itu hanya menggosokkan kepalanya dengan manja ke tubuh Avius sebelum akhirnya berlari  pergi. Salju turun malam itu.

Avius berhasil melepaskan diri dari ikatannya dan berjalan tanpa arah di hutan selama beberapa hari. Kedinginan dan kelaparan, ia jatuh pingsan di atas salju. Avius berharap segalanya benar-benar berakhir untuknya, ia sudah merasa cukup dengan kehidupannya selama ini. Ia ingin beristirahat untuk selama-lamanya. Hanya saja, nasib berkata lain. Ia terbangun diatas ranjang putih dengan selimut tebal menyelimuti dirinya. Seorang wanita tua tersenyum dan meletakkan secangkir teh di atas meja di sebelah ranjang tempatnya terbaring. Itulah awal pertemuannya dengan Solitarus, penyihir tua yang menjadi guru sihir Avius.

Penyihir tua itu mengenalkan Avius sebagai muridnya ke penduduk desa. Avius langsung tahu reputasi baik gurunya cukup dengan melihat bagaimana warga desa amat menghormatinya. Selama beberapa tahun, ia mempelajari sihir penyembuh dari si penyihir sampai pada akhirnya Solitarus meninggal dunia di usia tua.

Avius mewarisi seluruh peninggalan Solitarus dan tetap tinggal di rumah kayu di tengah hutan sendirian. Sesekali ia pergi ke desa untuk mengantarkan obat atau membantu penduduk desa yang membutuhkan bantuannya.

Ia selalu teringat kata-kata yang tanpa bosan selalu disampaikan gurunya, "Menanam bibit kebencian akan menghasilkan buah kebencian. Sementara menanam bibit kebaikan akan menghasilkan buah kebaikan. Walau kau menyimpan dendam dalam lubuk hatimu, lampiaskan dengan kebaikan yang tak pernah habis."

Tiga tahun berlalu, Avius tengah menikmati susu hangat di bar selepas mengantarkan obat pada salah seorang penduduk. Seorang pria berjubah hitam dengan tudung yang menutupi kepalanya duduk di sebelah si penyihir muda kemudian mengeluarkan sebuah botol aneh dari balik jubahnya dan menarik semacam tuas di atas botol tersebut menimbulkan suara krek pelan.

Pria itu menuangkan cairan kuning keemasan dari botol yang ia bawa ke gelas ksong dan mengulurkannya pada Avius. Penyihir muda itu sempat membaca sekilas tulisan "Wedang Jahe Kalengan" yang tertera pada botol tersebut walau ia tidak mengerti artinya.

"Minumlah." Pria itu berujar dengan suara pelan yang hanya dapat Avius dan dirinya dengar sebelum menenggak habis sisa minuman yang masih ada dalam botol aneh yang ia bawa.

Avius menatap cairan kuning keemasan dalam gelas di depannya. Dengan ragu, ia menyisip minuman itu dan seketika Avius merasakan kehangatan menjalar di seluruh tubuhnya. Mata pemuda itu terbelalak, ia menghabiskan minuman di gelasnya dan menghela nafas. "Sungguh nikmat tuan, terima kasih banyak. Kalau boleh tahu, eh-"

Pria berjubah hitam itu sudah tidak ada. Avius bertanya pada beberapa warga yang berada di bar mengenai pria itu, namun tidak ada satupun yang mengetahui bahkan melihat pria seperti itu memasuki bar. Beberapa warga berkata dengan cemas bahwa si penyihir mungkin terlalu lelah dan membutuhkan istirahat.

Avius kembali ke tempatnya duduk semula. Ia kemudian menyadari sepucuk surat tergeletak di sebelah gelasnya yang kosong dengan namanya tertera di atasnya. Avius mengantungi surat itu dan langsung berlari pulang.

No comments:

Post a Comment