15.5.15

[PRELIMINARY] BU MAWAR – BUNGA MEREKAH DI GURUN REMBULAN

BU MAWAR – BUNGA MEREKAH DI GURUN REMBULAN
Penulis: Hewan


Prolog Semesta

Kening Hewanurma mengerut. Rambut panjangnya seolah bertambah putih, lebih putih daripada jas laboratoriumnya yang kumal. Jenggotnya pun semakin berantakan dipilin-pilinnya. Tak heran jika pria ini tampak jauh lebih tua daripada usia dia sesungguhnya.

Saat ini Hewanurma sibuk berpikir.

Berkali-kali dia mengamati deretan layar holografis di depannya.

"Siapa yang memasukkan mereka ke Alforea? Tamon Ruu?" gumamnya. "Kurasa tidak. Wanita manja itu lebih senang bermain game RTS daripada melakukan sesuatu yang pintar seperti ini."

Satu layar holografis menampakkan bintik-bintik biru kecil yang tersebar di peta digital Alforea. Itulah yang menyita perhatian Hewanurma sejak tadi. Gerbang Nurma diretas, lalu masuklah sekumpulan makhluk lemah yang tidak seharusnya berada di Alforea.

"Mereka bisa mati, tapi—"


Hewanurma menekan-nekan papan ketiknya dengan cepat, lantas dia masukkan rangkaian kode Nurmatik yang canggih. Segera ditambalnya "lubang bocor" di Gerbang Nurma, lalu diperkuatnya dengan sistem keamanan baru yang berlapis-lapis sehingga tak memungkinkan lagi untuk diretas.

"—yah … biarkan saja mereka mati kalau memang sudah takdirnya begitu. Aku tak ada waktu untuk mengurusi keselamatan pendatang tak diundang."

Hewanurma bangkit dari duduknya. Dia harus mengurus pembukaan turnamen. Seratus satu peserta terdaftar, jumlah itu terlalu banyak. Hewanurma harus membicarakan hal ini dengan rekannya, Tamon Ruu.

Sosok-sosok mungil yang menjadi pendatang gelap hanya bisa menunggu waktu sampai monster-monster Alforea memangsa mereka. Hewanurma merasa tak perlu melakukan apapun untuk mengurusi hal itu.

Pria tua itu tidak pernah menduga kalau penyusupan kecil inilah yang nantinya akan membawa masalah besar bagi Alforea di kemudian hari.

(***)

Inilah Alforea.

Padang sabana hijau dan asri, hutan rimbun, deretan gunung kokoh, bukit-bukit permai, sungai berliku-liku yang mengalir deras dan jernih, serta berlapis-lapis tebing yang tersusun begitu megah … segala keindahan alam ada di Alforea.

Namun keindahan itu juga diimbangi dengan buasnya makhluk-makhluk yang menghuni Alforea. Beraneka rupa monster dalam wujud yang terkira maupun yang tak terperi, semua ada di sini. Entah apa makna dari keberadaan mereka, kita belum tahu sekarang.

Kemudian di tengah-tengah Alforea, berdirilah suatu kota yang megah. Despera namanya. Gaya arsitekturnya seperti paduan dari sekian banyak gaya. Rumah-rumah kayu elegan dengan atap runcing menjulang berdiri berdampingan dengan bangunan-bangunan batu yang kokoh dan antik. Jalanan berlapis pualam indah dihiasi dengan lampu-lampu jalan bertiang artistik. Despera adalah tempat semuanya bermula.

Kota Despera ini aman dari serbuan monster-monster ganas karena dilindungi oleh kekuatan administratif Hewanurma dan sihir penunduk dari Tamon Ruu. Duet mereka berdua menguasai segala apa yang ada di Alforea. Mereka berdua juga mengomando entah berapa ratus ribu pasukan wanita pelayan berseragam manis.

Seperti yang sedang berlangsung sekarang.

Setidaknya ada dua ratus wanita pelayan yang mengelilingi alun-alun di depan kastel, bertindak sebagai barikade cantik. Seratus satu petarung lintas dimensi pun mau tak mau merasa terintimidasi juga.

Kemudian sosok Tamon Ruu muncul di balkon lantai dua kastel. Penampilannya masih elegan dan seksi. Gaun merah ketat yang dipakainya memancarkan daya pikat luar biasa. Gaun itu menjulur panjang ke bawah namun seringkali tersingkap, memamerkan pahanya yang begitu mulus. Kemolekan Tamon Ruu ini tampak kontras dengan sosok yang berdiri di belakangnya, Hewanurma. Entah sudah berapa minggu pria tua itu tidak mengganti baju labnya.

Tamon Ruu lantas menatap ke arah kerumunan, efek pesona dewi miliknya bekerja. Wanita, pria, atau makhluk seaneh apapun, semua dibuatnya terkesima. Mereka mengelu-elukan namanya.

"Selamat datang di Aflorea, wahai para petualang tampan dan cantik~," sapa Tamon Ruu. "Kalian sudah makan belum? Mau minum susu? Teehee~"

Hewanurma menepuk dahi sambil menggerutu dalam hati. Alforea, bukan Aflorea! Mengapa kau terus menyebutkan nama yang salah? Tak sabar lagi dengan kebodohan rekannya, Hewanurma maju mengambil alih. Ketika pria tua ini melotot ke arah kerumunan, sorak-sorai menghilang seketika. Berganti dengan hening yang mencekam.

"Intinya, hanya akan tersisa 48 peserta!" seru Hewanurma. "Merekalah yang layak untuk mengikuti turnamen yang sesungguhnya!"

Penonton pun riuh menyambut tantangan itu. Kini turnamen legendaris itu benar-benar dimulai.

Battle of Realms!



BAB 1 Kumbang-Kumbang Kecil yang Menghilang


Bunga mawar … itulah hadiah darinya untuk suatu pusara di pemakaman umum Desa Sukatarung. Berjongkoklah dia seraya matanya menatap batu nisan lekat-lekat. Belum berlumut batu itu. Masih baru, masih menyisakan kenangan yang begitu hangat.

Ingatan tentang seseorang yang telah tiada.

"Kalau dirimu berbaring kaku dan membisu di sana, Mas … maka dengan siapa aku harus menjalani mimpi-mimpi itu? Dengan siapa aku harus menghabiskan wakt—"

Kata-katanya tak diteruskan. Air mata menetes sedikit saja dari sudut matanya. Segera diseka oleh punggung tangan kirinya.

"Bunga kesukaanmu," senyuman sedihnya terkembang, "kuletakkan di sini, ya? Semoga bunga-bunga ini bisa jadi pengganti diriku. Pengganti 'mawar'mu."

Dengung kecil terdengar. Ternyata seekor kumbang terbang mendekat. Binatang mungil itu mendarat di permukaan tanah, di tengah kuntum-kuntum mawar. Senyum yang lebih lebar pun terkembang.

"Istirahat yang tenang, 'kumbang'ku. Kelak aku pasti menyusulmu ke alam sana. Sampai berjumpa lagi."

Dia beranjak, berdiri, lalu berpaling.

Debu dan tanah yang menempel di rok panjangnya dikibasnya. Jaket oranye lebar yang tadinya tersampir di bahu, lantas dia kenakan lagi. Tampak serasi jaket itu menutupi jilbab putihnya yang sederhana.

Kemudian tanpa menoleh ke belakang, melangkahlah dia keluar dari pemakaman itu.



Baru beberapa langkah melewati gerbang, sapaan ramah terdengar. Datangnya dari kakek petani yang tengah sibuk memikul tumpukan padi hasil panen.

"Bu Mawar, pagi. Mau berangkat sekolah?"

"Ah, tidak. Saya lagi ada keperluan lain. Semacam … err, tugas dinas. Selamat pagi juga, Kakek Samidi."

Ada ekspresi tak wajar sewaktu Bu Mawar mengutarakan itu. Namun kakek petani toh tidak terlalu memperhatikan. Kakek itu segera pamit, tak ingin mengganggu lebih jauh.

"Kalau gitu aku pergi duluan ya, Bu? Hati-hati. Jangan kelamaan dinasnya, nanti cucu saya ngambek kalau gurunya enggak hadir-hadir di kelas. Hahahaha." Kakek petani menganggukkan kepala. "Mari, Bu."

"Mari." Bu Mawar turut membungkuk.

Seiring kakek petani berlalu pergi, Bu Mawar menghela nafas panjang. Tugas dinas, katanya? Jelas dia mengerti kalau yang akan dia lakukan sama sekali tak ada kaitannya dengan kedinasan. Bahkan, ini bukan hal yang wajar dilakukan oleh dirinya yang seorang guru: bermain-main menjadi polisi.

Dering nada ponsel berbunyi, melantunkan langgam lawas 'Mawar Berduri'. Buru-buru Bu Mawar meraih ponsel dari saku jaketnya. Ada pesan singkat masuk, lantas dibacanya.

Bu Kusumawardani, kopian dokumen yg Anda inginkan sdh bisa Anda ambil di kantor. Terima kasih.
-AKP Suryadi Muldadi

Kembali guru itu menghela nafas.

"Baiklah. Toh, ini demi mereka …"

Bergegas dirinya menuju tempat parkir di timur lokasi pemakaman.

Entah mengapa penjaga makam dan petugas parkir di sana tak pernah meminta bayaran pada Bu Mawar untuk apapun—biaya parkir, biaya pembelian kembang untuk keperluan ziarah, biaya perawatan makam, pokoknya apapun. Selalu mereka katakan "Untuk Bu Guru, gratis saja."

Motor skuter distarter, merah jambu warnanya. Setelah bu guru berpamitan pada penjaga makam dan petugas parkir yang baik hati tersebut, maka melesatlah skuter itu. Bagaimanapun, raut muka Bu Mawar semakin menampakkan kegelisahan.

(***)

Jalan raya tak pernah tampak terlalu ramai di Desa Sukatarung. Segelintir saja mobil melintas, kebanyakan dari jenis angkutan umum dan mobil bak terbuka pengangkut hasil pertanian maupun peternakan. Motor skuter merah jambu melaju tak begitu kencang.

Teringatlah dia pada kejadian beberapa hari lalu.

Kepala Desa Sukatarung memanggil Bu Mawar ke balai desa untuk menghadap. Bukan main-main, guru muda ini malah diminta oleh Kepala Desa untuk meneruskan penyelidikan tentang kasus hilangnya anak-anak usia sekolah di Desa Sukatarung. Hilangnya pun secara misterius. Hampir tak ada petunjuk apa-apa. Dan kasus ini semakin bertambah aneh ketika polisi penyelidik yang bertugas menginvestigasi kasus ini justru ikut menghilang.

"Aku tahu ini aneh, menyuruh Bu Guru melakukan ini. Tetapi aku kok merasa … Bu Kusumawardani ini bisa kami percayai." Kepala Desa bangkit dari kursinya, kemudian melanjutkan, "Bu Kusumawardani kan berasal dari kota, lebih banyak tahu, lebih banyak kenal dengan orang. Kami mah tidak punya siapapun yang bisa diandalkan untuk menghadapi sesuatu yang … begitu luar biasa, seperti penculikan—atau apapun itu—yang membuat anak-anak desa kita hilang."

Buyarlah lamunan.

Anak-anak desa telah menghilang. Seperti yang dikatakan Kepala Desa, ini adalah petaka yang luar biasa. Sampai sekarang, Bu Mawar tetap tak mengerti mengapa harus dia yang diberi tugas seperti ini. Benarkah tak ada orang lain yang bisa dimintai tolong selain dirinya? Kadang Bu Mawar menyesal akan popularitasnya. Bahkan dia sampai harus mengambil cuti dari sekolah selama sekian minggu demi memenuhi tugas dari Kepala Desa.

Ketika sampai di kantor polisi, seorang petugas segera mengantarkan Bu Mawar ke ruang arsip. Letaknya agak jauh di belakang.

"Ini, Bu Kusumawardani," petugas itu menyodorkan setumpuk map yang diambilnya dari laci kabinet. "Ini kopian dokumen yang dikumpulkan oleh penyelidik kami, sebelum mereka berdua … ikut menghilang."

Bu Mawar menerima berkas itu dengan kedua tangan, berat, tangannya tak kuat. Petugas polisi langsung panik, dia segera mengambil kembali tumpukan itu dan menaruhnya lagi di meja.

"Kami pun kekurangan tenaga, Bu, untuk melanjutkan penyelidikan kasus ini," ungkap si petugas. "Atau tepatnya, kami kekurangan orang yang berani menyelidiki kasus aneh ini. Awalnya kami kira ini terkait sindikat perdagangan manusia, tetapi kami tak menemukan jejak apa-apa."

Setelah bercakap-cakap beberapa menit, Bu Mawar pun pamit. Petugas itu membantu membawakan kopian dokumen sampai tempat parkir.

Maka 'tugas dinas' Bu Mawar pun dimulai.

(***)

Dua malam begadang membaca-baca dokumen, Bu Mawar tak menemukan informasi berarti. Arsip yang ditelitinya sekarang lebih banyak diisi oleh laporan kehilangan. Segala berkas terkait runutan investigasi oleh polisi kebanyakan berakhir buntu, tak ada petunjuk.

Pagi berikutnya, Bu Mawar menjalankan penyelidikan sendiri.

Dia mendatangi rumah dari setiap anak yang hilang. Berulang kali dia mendapati ekspresi sedih dan putus asa dari para orangtua. Berulang kali dia mendengarkan jeritan hati seperti:

"Temukan Mardika, Bu! Tolong!"
"Dilham anak kami satu-satunya …"
"Mengapa Winda harus diculik? Siapa penculiknya? Apapun akan kami berikan agar Winda kembali!"

"Saya tidak bisa menjanjikan apa-apa, tetapi saya akan berusaha," hanya itu yang bisa Bu Mawar katakan untuk menjawab semua tangisan itu.

Selanjutnya dia bertanya kepada para orangtua hal-hal detail mengenai anak mereka, termasuk hobi, bahkan trauma, pokoknya apapun yang belum pernah ditanyakan oleh polisi. Anak-anak tetangga pun tak luput ditanyai, terutama teman-teman dari anak yang hilang.

Setelah terkumpul sejumlah informasi baru, malamnya Bu Mawar begadang lagi. Rumah kecilnya yang sepi tampak hidup di malam hari, lampu kamar menyala. Dibolak-balik halaman buku catatannya, sekadar mencari benang merah yang menghubungkan tiap anak.

Sekian jam membolak-balik halaman, setidaknya ditemukan satu kesamaan dari anak-anak itu.

"Game online?" gumam Bu Mawar. "Itu hobi yang lumrah untuk anak zaman sekarang, tapi …."

Berkat program pemerintah "Internet Masuk Desa", kini anak-anak desa kecil seperti Desa Sukatarung pun jadi kegandrungan game online. Dampak buruk dari sesuatu yang baik. Bagaimanapun, itu satu-satunya petunjuk yang bisa ditelusuri untuk saat ini.

Dibuka-buka lagi halaman buku catatan itu.

Ternyata banyak anak yang sudah memiliki akun facebook. Saat itu juga, Bu Mawar langsung menyalakan komputer tuanya. Barang usang, tapi setidaknya masih bisa dipakai untuk mengakses internet. Ditelusurilah akun-akun yang dimaksud.

Satu dua akun, tak ada informasi bagus. Hanya kumpulan foto selfie penuh gaya. Tiga empat lima, masih belum dapat apa-apa kecuali status curhat cinta dari anak-anak yang terlalu cepat dewasa. Sampai pada akun ketiga belas, ada anak yang rupanya hobi menulis. Dari notes facebook si anak inilah akhirnya Bu Mawar menemukan—

"Battle of Realms? Nama game-kah?"

Dibacanya notes itu.

… game legendaris ini bro ktnya cmn bisa di donlot kalo kt ngirim email. coba liat deh gmabar-gambarny keren pysan,, beneran bikin pngen maen khan? \(o_o)/ cekidot bro ...

"Sudah disebarkan sebanyak 120 kali … rupanya populer sekali notes ini."

Bu Mawar mencoba mengirimkan surel kepada alamat tersebut pada notes. Gagal. Dicoba beberapa kali, surel yang dikirimkannya tetap gagal terkirim.

"Apa ini? Jaringannya sedang bermasalah?"

Dicoba lagi tapi masih juga gagal. Hingga kali kesekian, malah muncul suatu notifikasi aneh.

::PERINGATAN::
Anda tidak memenuhi persyaratan untuk menjadi peserta BoR! Turnamen ini hanya bisa diikuti oleh petarung tertangguh dari seluruh multisemesta. Anda sudah diperingatkan! Anda bisa mati di turnamen ini. Masih ingin lanjut?

YA/TIDAK

"Err … apa maksudnya ini?"

Bu Mawar tak begitu mengerti makna peringatan yang muncul di monitor, tetapi dia tetap mengeklik pilihan "ya", merasa bahwa itu satu-satunya petunjuk yang bisa dia kejar.

Maka saat itulah kehidupannya tak akan pernah sama lagi.

Komputer tiba-tiba mati, begitu juga dengan lampu ataupun segala peralatan elektronik yang ada di rumah Bu Mawar. Semua menjadi gelap dan mencekam. Kemudian secara ajaib secarik kertas muncul begitu saja di tengah kegelapan. Kertas yang berpijar, menjadi sumber cahaya baru. Kertas itu jatuh ke pangkuan Bu Mawar.

Tulisannya:

Celamat dataaang di Aflorea, manis~ Have a nice fuhn
-Tamon Ruu

Selanjutnya surat itu meluapkan cahaya begitu terang hingga meliputi seluruh rumah. Kemudian ketika semua pancaran cahaya itu akhirnya sirna, sosok Bu Mawar sudah tak ada lagi di sana.



BAB 2 Datang Merintang Kelopak Tak Diundang



……

Bu Mawar berlari mengejar anak kecil itu di jalanan Kota Despera. Kecil anak itu, tapi lincah, dan langkah kakinya juga cepat. Keduanya menerobos kerumunan kota, sesekali menyerempet para pejalan kaki. Pernah juga hampir menabrak kios pedagang buah.

"Berhenti!"

Mereka sudah melewati tempat ramai seperti pasar. Si anak lantas menikung memasuki salah satu gang sempit di Kota Despera. Bu Mawar menyusul. Namun lari anak kecil itu terlalu cepat, nyaris tak terkejar lagi.

"Tunggu, Dilham!"

"Ng-nggak mau! Jangan gangguin aku, Bu Mawar!" Dilham segera menutup kedua telinganya, tahu betul tentang kekuatan ucapan sang guru. Anak itu semakin mempercepat langkah kakinya, namun …

"Ibu bilang TUNGGU!!" kali ini Bu Mawar benar-benar berteriak.

Maka dampaknya segera terasa.

Seketika, kaki Dilham berhenti bergerak, badannya sedikit gemetar. Jantungnya pun berdegup lebih kencang. Kedua tangannya yang menutupi telinga tak mampu menghalangi saat hardikan sang guru menerobos sanubari anak itu. Kini Dilham diam dan mematung, sekalipun sesungguhnya dia ingin terus melarikan diri dari kejaran Bu Mawar.

Dengan nafas terengah-engah, Bu Mawar berjalan mendekat.

"Kamu ini ya … bikin Ibu lari-larian saja. Mengapa harus kabur waktu tadi Ibu menyapamu, Nak? Ibu bukan mau menagih PR gambarmu …."

Setelah sampai di dekat si anak, bu guru bersimpuh. Detik selanjutnya, Bu Mawar langsung memeluk Dilham dari belakang. Senyuman lega sang guru terpancar sementara muka si bocah lelaki mulai tersipu.

"Tapi syukurlah Ibu bisa bertemu kamu, Nak," ungkap Bu Mawar. "Sejak terdampar ke dunia aneh ini kemarin, Ibu beneran bingung sendiri. Apakah anak-anak yang menghilang itu memang ada di sini atau tidak? Ibu tanya ke orang-orang di kota, semua tak ada yang bisa menjawab. Sampai Ibu tadi melihat kamu."

Dilham mencoba berontak. "Bu Mawar ngapain ikut-ikutan ke sini? J-jangan gangguin aku, Bu! Dilham nggak mau kembali ke rumah. Nggak mau balik ke sekolah!"

"Hah? Maksudnya …?" rangkulan dari Bu Mawar melemah.

"Ibu ke sini mau mulangin aku, 'kan? Pokoknya Dilham nggak mau!" Dilham menepis rangkulan Bu Mawar, lalu anak itu berbalik badan sambil menatap tajam. "Aku lebih seneng di sini, Bu! Kalo di sini, Dilham bisa jadi HERO!"

"Hero? Kamu ngomong apaan sih, Dilham?"

Bu Mawar bermaksud menjulurkan tangan untuk meraih muridnya. Tetapi saat itulah sosok Dilham tiba-tiba dinaungi semacam cahaya aneh. Dan tahu-tahu, pakaian si anak berubah dari yang tadinya kaus oblong dan celana pendek, menjadi semacam jubah tempur abad pertengahan, lengkap dengan sarung tangan kulit dan sepatu boot. Terperangahlah Bu Mawar.

"Liat, sekarang Dilham uda bukan si anak blo'on di kelas! Dilham KUAT! Dilham mau namatin game ini!"

"Game??"

"Dan ini battle pertamaku biar diakuin di Alforea sini …."

Lalu cahaya yang lebih kuat segera menyelubungi Dilham. Sosok Dilham tersedot ke angkasa oleh pancaran cahaya tegak lurus. Ketika semua berakhir, Dilham sudah tak ada di sana.

Tinggal Bu Mawar sendiri di tengah himpitan gang yang sempit.

"Ya Allah … semua ini sungguh-sungguh tak kumengerti. Apa yang harus kulakukan sekarang?"

Dia segera menyandarkan tubuh dan duduk di tong bekas, mencoba melepas lelah, sekaligus merenung.

Apa itu Alforea? Benarkah dunia ini adalah tempat terdamparnya semua anak yang hilang itu? Apakah ini masih di Bumi?

Apa itu Battle of Realms? Game apa ini sebenarnya? Mengapa harus mengikutsertakan anak-anak desa? Dan mengapa setelah bertemu salah satu dari anak hilang itu, yaitu Dilham, justru yang ada adalah penolakan untuk kembali ke dunia nyata?

Bu Mawar pun terkenang pada sosok Dilham.

Dilham murid kelas 6A SD Sukatarung. Terkenal sebagai anak badung, senang mengerjai anak-anak lain, bahkan sering membuat kawan-kawannya menangis. Tak terhitung berapa kali Dilham terlibat perkelahian dengan murid lainnya. Berkali-kali dia mendapat teguran dari wali kelas, dari guru-guru lainnya, bahkan dari kepala sekolah. Sampai-sampai orangtua Dilham hampir tiap minggu dipanggil ke sekolah. Sebagai pelengkap derita, nilai-nilai Dilham di rapor pun selalu buruk.

Bagaimanapun, Bu Mawar masih melihat harapan pada anak itu. Dia yakin kalau kenakalan Dilham hanyalah pelarian dari suatu masalah lain. Dalam beberapa kesempatan, Bu Mawar sudah mencoba pendekatan kepada anak itu, dan pelan-pelan Dilham mau membuka hati. Tinggal sedikit lagi sampai dia mengatakan segalanya, namun …

… Dilham sudah menghilang.

Dia menghilang bersama dengan entah berapa banyak anak lainnya.

Saat Bu Mawar masih terdiam dalam perenungannya, satu lagi cahaya memancar. Kali ini giliran dirinya yang dibawa pergi oleh cahaya tersebut. Dia hanya bisa pasrah.

(***)

Tiba-tiba, Bu Mawar mendapati dirinya sudah berada di alun-alun yang menghadap kastel megah. Ramai. Banyak sekali orang dan bukan-orang yang berkumpul di lapangan tersebut. Seperti dalam mimpi saja bisa berjumpa dengan berbagai makhluk dalam beraneka rupa kostum.

Terdapat sejumlah anak kecil di antara kerumunan itu, membuat perasaan Bu Mawar campur aduk antara senang dan khawatir. Namun setelah diamati baik-baik, ternyata tak tampak satupun anak Desa Sukatarung di antara anak-anak itu.

Suasana berubah menjadi semakin ramai ketika dua sosok yang tampaknya penting muncul dari dalam kastel. Yang satu adalah wanita yang … abnormal.

"Masya Allah!" Bu Mawar sedikit tersipu saat menyerukan itu. "Kok bisa segede itu? Ya ampun, gimana caranya—Astaghfirullah." Dalam satu detik pengamatan saja, sudah beragam ekspresi yang ditunjukkan oleh bu guru itu, antara kaget, kagum, malu, bahkan iri.

"Tak perlu terlalu terkejut sampai sebegitunya, wahai Bidadari. Dari semua wanita yang ada di sini, sungguh kesederhanaanmulah yang tampak paling sempurna di mataku."

Bu Mawar mendelik mendengar ada kalimat gombalan tiba-tiba datang dari arah samping. Tampak sosok pria berpakaian rapih, berambut agak gondrong, dengan ciri-ciri wajah seperti lelaki arab.

"Namaku Ahran," ungkap pria itu seraya menyodorkan tangan untuk berjabat, "dan apakah bidadari di hadapanku ini punya nama? Atau Bidadari saja sudah cukup?"

Bu Mawar menangkupkan kedua tangannya di depan sebagai pengganti jabat tangan. "Assalamu 'alaikum. Nama saya Kusumawardani, Kang Ahran. Tapi panggil saja Mawar. Saya bukan bidadari."

Melihat gestur Bu Mawar, pria bernama Ahran itu langsung merasa kikuk. Dia buru-buru mengubah gerakan tangannya, mengikuti salam yang dilakukan sang wanita berjilbab. "Mawar, ya? Sungguh nama yang indah. Suci dan jernih."

Mereka berdua terus bercakap-cakap, seolah tidak memedulikan pengumuman si wanita penting yang ada di balkon kastel. Yah, pada akhirnya percakapan berujung menjadi sesi wawancara. Bu Mawar menanyakan kepada Ahran tentang anak-anak Desa Sukatarung yang kemungkinan terdampar di Alforea.

Ahran menggeleng, "Sayang sekali, diriku tidak tahu apa-apa tentang itu. Sepertimu, hai Mawar, aku hanyalah peserta di turnamen hina-dina ini."

"Peserta?"

"Lho? Jadi Mawar datang ke sini tanpa tahu apa-apa?" Ahran tersenyum. "Berarti ini memang takdirku untuk menjelaskan semuanya pada Ma—"

Namun obrolan mereka berdua terpotong oleh suara lantang dari arah balkon. "Intinya, hanya akan tersisa 48 peserta! Merekalah yang layak untuk mengikuti turnamen yang sesungguhnya! Kalian selesaikan misi sesuai prosedur, kembali hidup-hidup, lalu kami akan menilai siapa saja yang paling pantas di antara kalian."

Mata Bu Mawar segera berpaling menatap dia, sosok penting kedua. Rambut dan jenggot putih serta jaket lab lusuh yang dikenakannya tak memudarkan sorot tajam pria tua itu.

"Dengan ini, kunyatakan babak penyisihan Battle of Realms dimulai!"

Setelah mengatakan kalimat penutup, sepasang tokoh penting itu berbalik badan dan melenggang pergi. Mereka kembali ke dalam kastel, menyisakan keriuhan di alun-alun.

Gemparlah para peserta yang berkumpul di sana. Mereka mulai mencari rekan-rekan yang bisa direkrut. Ada juga yang dengan mantap mempromosikan diri. Beberapa bahkan berebut anggota tim, saling memaki, seolah sudah siap untuk bertempur sekarang juga.

Ahran tersenyum, seolah menertawai kebodohan para peserta lainnya. Buat apa repot-repot mencari rekan asing kalau dia sudah menemukan bidadari? Ahran pun melancarkan ajakannya, "Jadi, Mawar, kurasa ini sudah takdir bagiku untuk membentuk tim berdua saja dengan—" Namun sosok wanita berjilbab itu sudah tak ada di samping Ahran.

Ahran menoleh kiri-kanan, berusaha menemukan bidadarinya yang tiba-tiba menghilang. Ke mana perginya dia? Ahran mengutuki kebodohannya yang lalai mengawasi. Segera dia berlari untuk mencari.

Beberapa menit berlalu, akhirnya pria itu bisa menarik nafas lega.

Ternyata Bu Mawar ada di taman di samping halaman, tampak sedang beribadah memenuhi panggilan. Ahran berjalan ke arah wanita sholihah itu, lalu duduk tak jauh dari sana seraya menunggu dengan tenang.

Alun-alun kian sepi. Peserta yang sudah membentuk regu segera menghadap sejumlah wanita pelayan untuk dikirimkan ke arena. Tinggal segelintir saja yang tampak masih mencari-cari anggota tim, atau ribut berkelahi.

Ahran masih menunggu.

Entah berapa belas menit berlalu, barulah Bu Mawar selesai dengan ritual ibadahnya. Agak kaget dia sewaktu di sampingnya ternyata Ahran duduk menunggu sambil menulis-nulis di buku—mungkin jurnal pribadinya.

"Akhirnya selesai juga, Mawar?" Ahran menutup bukunya. "Kalau begitu, siap untuk bertempur bersamaku?"

Bu Mawar merapikan perlengkapan ibadahnya, lalu menyerahkan itu pada wanita pelayan yang kebetulan ada di dekat situ. "Makasih pinjaman mukenanya."

"Sama-sama," balas pelayan itu. "Kalau ada keperluan lain, jangan ragu hubungi kami." Pelayan itu pergi.

Kini Bu Mawar menoleh ke arah Ahran. "Saya ke sini untuk mencari anak-anak yang hilang. Bukan buat bertempur, Kang."

"Sama saja," Ahran menaikkan bahu, "jika tidak menyelesaikan misi ini, kau bisa langsung didepak keluar dari Alforea. Saat ini yang terpenting adalah memperpanjang izin tinggal kita di sini."

Bu Mawar menatap tajam, "Maaf, Kang, tapi saya tidak bisa sekelompok berdua saja dengan lelaki—"

"Kalau begitu kita cari anggota tim yang lain!" potong Ahran. Kemudian dia celingak-celinguk sebentar, sebelum menunjuk ke satu arah dan berseru, "Misal, lelaki berzirah yang sedang tiduran di bangku taman itu. Sepertinya dia belum mencari rekan."

Pandangan Bu Mawar pun beralih pada sosok kesatria gagah berzirah mekanis, tampak terlentang santai di bangku panjang menatap langit biru. Dengan semangat, Ahran menghampiri kesatria itu.

Namun sebelum Ahran menegur, sang kesatria sudah menoleh dan duluan menyapa, "Hai, kalian mencari rekan? Hmm … kurasa yang lain sudah pada pergi, ya? Aku tertinggal, kurasa."

Suara kesatria itu memang agak dalam, tapi terdengar seperti perempuan. Bahkan wajahnya juga tampak cantik dan dewasa.

"A-anda … wanita?" tanya Ahran. "Maafkan aku …."

Kesatria wanita itu berdiri, zirahnya membuat bunyi berat saat kakinya menapak tanah. Dan ternyata, dia lebih tinggi daripada Ahran sendiri, pria itu sampai sedikit mendongak untuk menatap.

"Ah, tak perlu minta maaf," balas kesatria wanita itu. "Namaku Caitlin dari keluarga Alsace. Aku bosan tadi mendengarkan omongan si Bohai dan si Tua, jadinya aku tidur saja di taman. Namun sepertinya sekarang semua sudah dimulai, hah?"

Caitlin menjulurkan tangan untuk bersalaman, diterima oleh Ahran.

"Namaku Ahran."

Ahran merasakan kalau tangannya bisa saja remuk dengan mudah andai Caitlin benar-benar meremas itu dengan sarung tangan besinya. Untung saja jabat tangan itu berlangsung tanpa insiden apa-apa.

Caitlin lalu menoleh ke arah Bu Mawar, "Kalau dirimu siapa?"

"Kusumawardani, panggil saja Mawar."

Kedua wanita itu pun berjabat tangan.

"Kalau begitu tunggu apa lagi?" ujar Caitlin. "Ada misi yang harus kita jalani!"



BAB 3 Menari di Tumpukan Belulang


"Apa maksudmu kalau aku tidak bisa pergi sendiri?! Aku ini Rager Bangins, RAGGA THE BIG BANG!! Apa kalian belum pernah dengar tentang legenda ledakan tinjuku ataupun—"

"Tetap Anda tidak boleh sendiri!" potong pelayan yang berjaga di portal.

Rombongan Bu Mawar, Ahran, dan Caitlin datang mendekat. Bagaimanapun, sosok pemuda tinggi besar dan kekar menutupi jalan mereka. Pemuda itu tampak sedang beradu argumen dengan wanita pelayan penjaga portal.

"Sudahlah, Bongsor! Kau membuang-buang waktu saja!" gertak Caitlin, kemudian wanita perkasa ini menatap ke arah penjaga portal. "Tinggal si Bongsor ini yang belum punya tim, kan? Masukkan saja ke tim kami kalau begitu. Daripada repot."

"Apa boleh buat?" Ahran menaikkan bahu.

"Abang-Abang yang tinggi," Bu Mawar berkomentar sambil mendongakkan kepala.

"Tunggu, Ragga Bang tak butuh rekan Tag Team—"

"Diterima," sela si pelayan. "Sekarang kalian resmi menjadi tim terakhir."

"Ha? Apa kau tak dengar kata-kata—"

Protes Ragga Bang tak dihiraukan. Portal antardimensi telah dibuka, mereka semua terhisap ke dalamnya. Kini keempat peserta turnamen itu telah bergabung dalam satu tim.

Mereka akan segera menghadapi tantangan pertama.

(***)

Malam hari tampak tak begitu gelap. Debu dan asap membumbung tinggi. Kobaran api menyala di berbagai tempat, mengalahkan penerangan temaram rembulan. Deru riuh angin berpasir tertelan oleh gemuruh peperangan. Teriakan perang bersahut-sahutan, bercampur dengan lolong raungan yang menciutkan nyali. Semua suara seolah menggema memenuhi gurun berbatu.

Ratusan prajurit manusia dari Alforea melawan entah berapa ribu pasukan monster.

Batu-batu terjal berjatuhan tatkala tubuh malang para prajurit dilemparkan monster hingga membentur tebing-tebing. Sementara itu tebing yang lebih pendek juga hancur ketika badan sejumlah monster terjatuh menimpanya. Pedang dan tombak menancap di mayat monster-monster itu.

Gema pertempuran semakin kencang.

Ini adalah perang!



Saat rombongan Bu Mawar tiba di lokasi, peperangan telah dimulai. Portal antardimensi mendaratkan mereka di puncak suatu tebing dengan pemandangan eksklusif—tribun utama untuk menonton semua kegilaan di bawah sana.

"Begini, nanti bulan itu akan pecah," si pelayan menunjuk bulan. "Lalu muncul monster raksasa bernama Tamon-Rah. Sedangkan di sana," kini dia menunjuk jauh ke utara, "ada dua menara. Hancurkan keduanya bersamaan kalau ingin semuanya selesai. Pasukan monster akan musnah seluruhnya, Tamon-Rah tersegel."

"Waw, penjelasan yang singkat padat," puji Caitlin dengan nada datar. "Tapi monster apa itu Tamon-Rah sebenarnya?"

"Dia monster abadi, gila, dan bisa membakar siapa saja tanpa pandang bulu. Kalian akan lihat sendiri nantinya, jangan khawatir."

Setelah mengatakan itu, si pelayan kembali memasuki portal antardimensi. Portal itu menutup dengan cepat, lalu menghilang begitu saja.

"Jangan khawatir, katanya …," Ahran menghela nafas panjang.

Bu Mawar menengok sedikit ke arah bawah. Wajahnya langsung pucat. Ini jauh lebih gila daripada tawuran antar sekolah yang pernah dia saksikan di kota. Sungguh tak terperikan. Kaki Bu Mawar mendadak lemas, dia hampir saja jatuh terjengkang ke belakang kalau saja badan besi Caitlin tidak menahan.

Pelan didorongnya badan Bu Mawar sehingga guru itu berdiri tegak kembali.

"Sepertinya dirimu memang belum pernah bertempur ya, Mawar?" ujar sang kesatria wanita. "Yah … wajar kalau kau takut. Aku pun—"

"UYEEEEEAAAAAAAH!! Menarik! Saatnya Ragga 'the BIG BANG' Bangins membuat BAANG yang begitu BIIIIGGG!!!"

Teriakan nyaring itu memekakkan telinga karena diserukan begitu dekat oleh pemuda bongsor itu, si Ragga Bang. Tahu-tahu dia sudah berlari dan melompat turun dari tebing, lantas menerjang ke medan peperangan dengan semangat yang menggebu-gebu.

Ahran dan Caitlin hanya bisa termangu.

Ragga Bang beraksi. Dia menubruk dua prajurit sekaligus. Kedua prajurit itu terpental, mereka menabrak dan menjatuhkan gerombolan prajurit lainnya. Ragga tertawa lantang.

Belum sempat para prajurit bereaksi terhadap kedatangan penyerang misterius ini, si penyerang sudah melesat lagi.

Sekarang dia mengincar sosok monster gigantes setinggi 3 meter. Direngkuhlah pinggang gigantes itu dari belakang dengan sangat erat. Lalu dengan kekuatan luar biasa, Ragga mulai mengangkat gigantes tersebut sembari menjatuhkan tubuhnya sendiri …

"RAGGATOMIC SUPLEX!!"

Debum kencang menggema. Permukaan tanah meretak ke segala arah ketika kepala dan badan gigantes malang itu menghunjam telak. Getarannya menyambar seperti gempa, diikuti oleh rambatan energi panas yang dipancarkan tubuh sang pegulat. Debu tebal beterbangan.

Ragga melompat bangkit, membiarkan sang gigantes terkapar tak berdaya.

Detik selanjutnya, dia sudah menyiapkan jurus lainnya. Tato matahari di lengan kanannya tiba-tiba bersinar merah terang. Sekumpulan monster serigala bertanduk mencoba menerkam Ragga dari arah depan, tetapi mereka semua bernasib malang. Pukulan peledak telah siap dilepaskan.

"ORAAAGGGA PUUUNCCHHHH!!!"

Satu tinju kanan menyapa muka seekor serigala bertanduk, dan seketika itu pula tinju itu meletupkan ledakan yang begitu dahsyat. Badan serigala itu hancur tercerai-berai, sementara rentetan ledakannya menyebar lurus ke depan, semakin jauh semakin melebar. Gerombolan monster serigala bertanduk terkena dampak tinju peledak itu, mereka musnah seketika. Sama halnya dengan beberapa prajurit Alforea yang malang karena tengah berada di jalur ledakan Ragga Punch.

Ragga memasang pose gagah, lantas berseru, "Akulah Ragga Big Bang, dan tempat ini sekarang adalah RING-ku!" Ragga menunjuk tanah yang dipijaknya. "Tak ada yang PERNAH mengalahkanku di RING-ku! Majulah kalian semua, RAGAHAHAHAHAHA!!"

Di atas tebing, Ahran dan Caitlin semakin termangu.

"Tolong ingatkan aku kalau salah," ujar Ahran, "bukankah para prajurit Alforea itu ada di pihak kita?"

"Siapa sih yang tadi mengajak si Bongsor itu jadi anggota tim?" Caitlin menepuk dahi.

"Abang-Abang yang nekat," komentar Bu Mawar, tampak sudah mulai bisa menguasai diri dari rasa takut.

Mereka bertiga hening, sementara Ragga Bang terus mengamuk di bawah sana. Kemudian Ahran menatap bulan yang bersinar di langit gurun.

"Lihat," tunjuk Ahran. "Bulan itu mulai retak, dan terus bertambah dekat."

"Kalau begitu kita fokus saja pada misi. Lewati peperangan di bawah sana, pergi ke menara kembar, hancurkan. Biarkan si Bongsor mengamuk sesukanya," ujar Caitlin. "Bagus kalau dia bisa jadi pengalih perhatian."

"Tidak pakai strategi, hai Madam?" tanya Ahran.

"Well, strateginya adalah kita lewat pinggir dan berharap tak terlalu banyak melawan monster sebelum sampai di menara. Hemat tenaga."

Ahran terkikih sedikit, "Yah, kuharap tipuan api dariku bisa berguna."

"Aku yang paling depan, kalau begitu. Biar kubuka jalan dengan power-ku," Caitlin memasang helm tempurnya. Sekarang dia sudah benar-benar tampak seperti robot petarung. Maka sang robot pun menoleh ke arah Bu Mawar, "Kalau kau, Mawar, punya kemampuan apa?"

Bu Mawar berkeringat dingin, tapi dijawab juga pertanyaan itu, "Err … aku bisa mengajari murid untuk membuat prakarya dari barang bekas. Murid-murid suka itu."

Ahran tertawa mendengar itu sementara Caitlin kembali menepuk dahinya. Nyaring kali ini, karena sudah berhelm.

"Aku juga bisa menceritakan sejarah seni dengan dongeng sederha—"

"Ah, sudahlah! Ayo kita berangkat saja!" potong Caitlin.

"Hahahahaha, kalau begitu perkenankan aku, wahai Mawar." Ahran kini mencabut pedang berbilah hitamnya. "Dengan pedang Ra'ash ini, aku akan melindungimu!"

"Err … terima kasih?" Bu Mawar tak tahu harus merespon apa.

Singkat cerita, tim pun bergegas pergi.



Peperangan masih jauh dari kata usai. Barisan prajurit pemanah Alforea melepaskan tembakan. Langit dipenuhi oleh ratusan anak panah yang melaju dalam lintasan lengkung. Hujan panah itu menancap tanpa ampun di tubuh monster-monster lemah, namun sebaliknya, panah itu tak mampu menembus kulit tebal monster yang lebih kuat. Ketika gempuran panah berakhir, giliran para monster membalas serangan.

Para prajurit mencoba bertahan dengan memasang formasi tameng bertombak. Tampak rapi dan kokoh. Namun sayang sekali, Ragga Bang harus menghancurkan formasi pertahanan sempurna itu dari arah dalam. Formasi pecah, serbuan para monster tak lagi terbendung.

"Dasar bodoh! Kau peserta yang dikirim Yang Mulia Tamon Ruu, 'kan? M-mengapa malah menyerang kami?" teriak kapten prajurit.

"Ragga Bang tidak diperintah siapa-siapa!" balas Ragga. "Ragga Bang akan melawan siapa saja dengan BIG BANG!! RAGAHAHAHA!!"

Merasa Ragga Bang tak bisa diajak bicara lagi, maka kapten prajurit pun terpaksa menjadikan pegulat itu sebagai sasaran. Meskipun itu justru membawa pasukan Alforea pada situasi yang lebih menyulitkan lagi.



Rombongan Caitlin menyusuri jalan kecil di antara tebing-tebing terjal, menghindari medan perang utama. Namun di tempat ini pun ternyata masih ditemui sejumlah monster pengganggu.

"Minggir kalian!"

Caitlin melancarkan serangan kombinasi melawan tiga monster kadal setinggi manusia.

Kadal pertama disikut kepalanya dari samping, ambruk ke tanah. Kadal kedua ditendang kuat-kuat bagian perutnya, lalu ditambah dengan pukulan upper yang melemparkannya ke udara. Kadal ketiga dihadiahi rentetan tinju besi yang tiada terbendung, sebelum akhirnya ditutup dengan satu tembakan senjata kaliber .50 yang muncul dari zirah tangan Caitlin. Kepala kadal itu hancur hingga tak berbentuk lagi.

Kumpulan monster kadal lain mulai ngeri dengan sosok kesatria zirah mekanis di hadapan mereka. Kadal-kadal itu hendak mundur, namun Caitlin tak membiarkan begitu saja.

Zirah mekanis yang dia kenakan bergetar hebat tatkala mode Power Drive Maxima diaktifkan, percikan listrik memancar di persendian zirah itu. Badan Caitlin sekarang terasa lebih berat, namun kekuatannya kini berlipat ganda. Diangkatnya batu karang sebesar rumah, kemudian dilemparnya batu itu ke arah kumpulan kadal yang terlalu terpaku untuk melarikan diri.

Debam nyaring menggema bersamaan dengan tertindihnya sekian banyak kadal malang. Darah membanjir. Segelintir kadal yang masih hidup hanya bisa kalang kabut melarikan diri.

"Jalan depan sudah terbuka. Ayo gerak cepat!" seru Caitlin sambil menoleh ke belakang.

"Haha, jangan terburu-buru, Madam. Aku sedang—" Ahran memutar tubuhnya seraya menebaskan pedang Ra'ash yang telah dialiri sihir api, "—sangat sibuk sekarang!"

Kobaran api mengayun dari sabetan pedang milik Ahran. Yang jadi korban adalah sekelompok mayat hidup. Kepala mereka terpenggal, badan terpotong-potong dan terbakar. Kemudian api pun menyebar dari satu mayat ke mayat lain akibat tabrakan. Hingga tak ada lagi monster mayat tersisa di sana.

Semua terpanggang.

Merasa sudah mengamankan wilayah itu, Ahran menyarungkan kembali pedang Ra'ash miliknya. Dia menoleh ke samping, sekali lagi melancarkan rayuan, "Tenang, Mawar. Selama ada aku, engkau tak akan perlu mengangkat senjata sama sekali …?" Barulah Ahran tersadar kalau yang diajaknya bicara ternyata tak tampak di manapun.

Caitlin pun tampak sangat kesal, "Ha?! Sejak kapan Mawar menghilang?"

"Aku lengah," Ahran lemas, "dia memang jago pergi diam-diam, sepertinya."

"Kupikir kau selalu mengawasinya."

"I-iya, maafkan aku," Ahran tertunduk. "Lalu sekarang gimana, Madam? Apakah kita harus mencari dia dulu, atau …"

Belum sempat Ahran dan Caitlin menyelesaikan percakapan mereka, sudah terdengar bunyi teramat nyaring dari angkasa. Gemuruhnya memenuhi segala ruang. Kemudian lengking ringkikan paling mengerikan pun membahana.

Ahran dan Caitlan serentak mengalihkan pandangan ke arah padang utama. Mendeliklah mereka.

"Kahretsin!!" maki Ahran. "J-jadi ITU yang namanya Tamon-Rah?!"

"Demi Janggut Odin!! Sleipnir pun tak sebesar ITU!" umpat Caitlin.

Harapan seolah sirna seketika.

Tamon-Rah telah turun!



Ketika keempat kaki itu menjejak tanah, terciptalah getaran yang lebih kuat daripada gempa apapun. Seluruh dataran bergoyang kencang, pasukan manusia terlempar dari tanah, pun demikian dengan pasukan monster. Malang untuk siapapun—atau apapun—yang terinjak langsung oleh empat kaki sebesar gedung itu.

Menjulang sosok itu melampaui bukit ataupun tebing tertinggi di gurun ini. Sayapnya direntangkan begitu lebar, menyala dan membara. Tanduknya memercikkan rentetan kilat dan guntur. Kemudian tanpa menanti lebih lama lagi … dia mulai mengamuk!

Tamon-Rah adalah Kuda Sembrani sebesar gunung. Seluruh badannya adalah sumber api yang menghanguskan apapun yang disentuhnya. Ketika Tamon-Rah melompat dan berjingkrak-jingkrak, maka hancur leburlah segala yang ada di bawah kakinya—monster, manusia, apapun.

Medan peperangan segera berganti rupa.

Tamon-Rah tak berada di pihak manapun.

Tamon-Rah membinasakan semuanya!

Dalam waktu sekejap, medan perang berubah menjadi padang belulang. Dan Kuda ini menari-nari di atasnya.

Kemudian ringkikan sang Kuda kembali menggema, meruntuhkan segala keberanian yang ada di tiap petarung, baik itu dari kaum monster ataupun kaum manusia.



BAB 4 Gugur Bunga di Padang Rembulan


Beberapa menit sebelum bulan pecah dan Tamon-Rah turun, Bu Mawar memisahkan diri dari rombongan.

Bu Mawar adalah tipe guru yang bisa tiba-tiba muncul di belakang murid nakal. Dengan demikian, dia pun lihai dalam menyelinap pergi secara diam-diam. Bukan apa-apa. Sang guru melihat dia, itu alasannya.

"Dilham?"

Bu Mawar mendapati sosok muridnya tengah berlari mengejar monster-monster mungil. Lokasinya agak jauh, dan hampir tak terlihat lagi. Oleh sebab itu, bergegaslah sang guru meninggalkan kedua rekannya yang tampak terlalu sibuk membasmi monster di depan-belakang.

Mungkin ceroboh, pergi sendirian tanpa kawalan Caitlin ataupun Ahran. Tetapi tekad sang guru sudah bulat. Dia datang ke Alforea untuk mencari anak-anak yang hilang.

Maka pergilah dirinya menyusul Dilham.

Sempat Bu Mawar berpapasan dengan sepasang monster gigantes yang tinggi besar. Mereka berdiri merintang di celah yang hendak dilewati sang guru.

"Boleh aku lewat?" kata Bu Mawar seraya menengadahkan kepala dan menatap dua monster itu.

Kedua gigantes tersebut langsung berkeringat dingin, entah mengapa. Setelah mereka saling melirik satu sama lain, mereka mengangguk. Keduanya menyingkir ke samping dan membuka jalan. Bahkan mereka menundukkan badan, hormat, sambil tangan mereka bergerak mempersilakan.

Bu Mawar sendiri terheran dengan sikap dua monster yang tiba-tiba berubah jinak. Tapi dia tak ambil pusing.

"Terima kasih, Tuan Monster."

Maka berlarilah guru itu menyusuri celah di antara tebing. Dia mengambil jalan pintas untuk mengejar Dilham.



Sementara itu, Dilham berhasil memojokkan dua monster mungil. Tak ada jalan kabur lagi untuk sepasang beruang kecil itu.

"Hhh … hhh … capek juga ngejar kalian," keluh Dilham sambil menghunus pedang kayunya. "Sekarang kagak bisa lari lagi, rasain! Kalian mesti kutebas biar aku lolos ujian, heeeyyaaaaaaat…!!"

Dilham berlari menerjang, bersiap menusuk salah satu beruang dengan ujung runcing pedang kayu miliknya. Namun—

"Berhenti, Dilham!!"

Suara akrab itu sungguh terdengar menyebalkan bagi si anak. Benar saja, sekujur kakinya jadi kaku, tak mau bergerak lagi. Dilham melirik ke samping, tampaklah sosok ibu guru berjilbab dan berjaket oranye pucat.

"Ibu enggak pernah ngajarin kamu buat nyakitin binatang," Bu Mawar mendekat.

Geramlah Dilham, "Urrkh! Kenapa Bu Mawar juga bisa sampe ke sini? Udah Dilham bilangin jangan ganggu!"

Mendengar itu, Bu Mawar melotot. Dilham semakin mati kutu, dia jatuh berlutut tak tahan lagi. Isak tangisnya mulai terdengar.

"Huwaaaah! Kalo gini ceritanya, Dilham nggak bakal bisa jadi HERO, misi pertama udah gagal total kayak gini sih."

Bu Mawar menaikkan alis, "Misi? Maksudmu menghancurkan dua menara itu dan menyegel monster, Dilham? Kebetulan Ibu juga dikasih tugas kayak gitu."

"Haah? Bu Mawar juga jadi peserta?" kini si anak yang terheran. "T-tapi Dilham nggak tau apa-apa soal menara. Pokoknya tugas Dilham itu ngeburu monster beary sebanyak-banyaknya biar bisa jadi Prajurit Khusus Alforea!"

Bu Mawar menoleh ke kiri, tampak dua ekor beruang kecil yang masih tampak ketakutan. Jadi mereka itu yang disebut beary? Guru itu berjalan ke arah dua beary. Tanpa menoleh, dia pun berkata, "Masa' binatang yang imut-imut kayak gini mau kau tebas sih, Dilham? Kamu tega, memangnya?"

Dilham tak menjawab.

Maka berpikirlah Bu Mawar. Dari pernyataan yang disebutkan Dilham, berarti yang mengirim anak itu ke medan perang ini bukan Tamon Ruu dan Hewanurma?

Saat Bu Mawar mencoba mengelus-elus monster beruang imut itu, tangan kanannya malah digigit oleh si beruang kecil. Kemudian Bu Mawar kembali melotot kepada si beruang kecil. "Nakal kamu!" bentak Bu Mawar. Maka beruang kecil itu tunduk seketika.

Sekarang mereka berdua malah bermanja-manja di pangkuan sang guru.

Dilham masih terpuruk. Sekali lagi dia melihat dan merasakan kekuatan aneh dari Bu Mawar. Kekuatan misterius yang mampu menundukkan anak senakal apapun.

"Jadi Bu Mawar ingin menyeretku balik ke dunia sana?" tanya Dilham, pasrah juga akhirnya.

Bu Mawar menoleh, "Rencananya sih begitu. Tetapi bahkan Ibu sendiri belum tahu nih caranya pulang itu gimana. Dan masih banyak teman-temanmu yang—"

Percakapan guru dan murid itu akhirnya terpotong oleh suara menggelegar yang tiba-tiba memenuhi langit. Permukaan tanah turut bergetar begitu kuat. Di kejauhan, Bu Mawar melihat sosok itu menjulang.

"Oh, tidak … itu monster utamanya, ya?"

Dilham yang juga menyaksikan sosok Tamon-Rah langsung ciut nyalinya, "J-jadi Bu Mawar ha-harus ngelawan ITU?!"

Bahkan Dilham bisa melihat bahwa Bu Mawar pun takut. Sesuatu yang tidak pernah anak itu lihat di sekolah.

"I-Ibu harus menyusul rekan-rekan Ibu untuk membantu menghancurkan menara," ujar Bu Mawar. "Kamu mau ikut Ibu, Dilham?"

"Erhh … tapi misiku … arhhhh! Ya sudahlah, aku ikut!" seru Dilham.

Ketika keduanya hendak pergi, suara imut dari belakang menghentikan mereka.

"Bura bura bura buraraa buraaa," ujar salah satu beary.
"Buru bururaa? Bura buraburaaaa!" timpal beary lainnya.

Bu Mawar merespon, "Bura buru bururaa? Bururu bura!"

"T-tunggu! Sejak kapan Bu Mawar BISA bahasa beary?" sahut Dilham. "Ibu mengerti apa yang mereka omongin??"

"Tentu saja tidak, Dilham," Bu Mawar tertawa kecil. "Ibu cuman ngikutin aja burabura gitu, kayaknya lucu sih. Tapi dari roman-romannya sih ya, mungkin mereka mau membantu kita?"

Ternyata dugaan Bu Mawar benar.

Dua beary itu mulai berseru burabura semakin keras. Beberapa saat kemudian, muncullah teman-teman mereka sesama beruang mungil. Mulai dari segelintir, lama-lama jumlahnya semakin banyak. Dan terus bertambah hingga seolah tak terhingga.

Mereka semua berseru buraburabura, ramai dan riuh.

"Astaga! B-banyak banget!" Dilham kaget setengah mati.

Salah satu beary melompat turun. Tampak dia paling gagah sendiri dengan kacamata hitamnya.

"Burahahaha! Buraburabuu, raraburara!!" sahutnya lantang, diikuti oleh seruan beary lainnya serempak. "BURARAA!!"

Bu Mawar tersenyum, "Terima kasih banyak, para beary sekalian. Kalau begitu izinkan kami menggunakan kekuatan kalian."

"BURARARARAAA!!!"

Dilham terbengong sendiri. Batinnya, jangan-jangan Bu Mawar beneran mengerti bahasa 'burabura' itu?

Bu Mawar pun menaiki tumpukan beary itu, dipandu oleh sang pemimpin yang berkacamata hitam. Dilham mengikuti dari belakang. Kemudian tumpukan beary itu mulai berganti wujud.

(***)

Tebing-tebing batu berjatuhan dalam kobaran api ketika tubuh raksasa Tamon-Rah menyambar. Seratus monster lebih jadi korban, berikut puluhan tentara manusia.

Semua berlarian menjauhi Tamon-Rah, terus menjauh darinya. Kecuali satu orang.

"Monster Kuda! Menarik!! Sekarang aku lawanmu, akulah Ragga Bang!"

Tiada mengenal takut, Ragga Bang berdiri di puncak salah satu tebing. Dia tak peduli dengan lautan manusia dan monster yang berhamburan pergi. Matanya hanya terfokus pada sang sasaran—Tamon-Rah.

Ragga Bang mengambil ancang-ancang Ragga Punch, tapi kali ini dengan sentuhan berbeda. Otot pemuda jangkung ini tiba-tiba membesar, dan terus membesar. Bahkan badannya pun menjadi lebih tinggi.

"Steroid level satu, level dua, dan LEVEL TIGA!!" teriak Ragga. "Lalu …"

Ketika Ragga memfokuskan tenaganya di ujung kaki, terciptalah ledakan kuat yang menghempaskannya terbang begitu cepat. Ragga hendak menyongsong Tamon-Rah, langsung dari arah depan!

"Steroid LEVEL EMPAT!!"

Maka raga dari Ragga Bang mencapai bentuk terkuatnya. Otot-otonya mengembang begitu rupa, sedangkan tubuhnya menjadi berlipat lebih tinggi. Kemudian tato matahari di lengan kanannya menyala begitu terangnya, seolah itu adalah matahari sejati.

Tamon-Rah memalingkan wajah melihat Ragga Bang yang meluncur ke arahnya. Kuda itu meringkik sekali lagi, menerima tinju pamungkas dari Ragga Bang.

"RAGGALACTIC BIG BAAAANG PUNCHH!!!"

Mungkin itu adalah pukulan terkuat sedunia.

Dari tinju Ragga Bang, meletuplah ledakan seperti nuklir. Gigantik. Luar biasa riuh, seolah langit runtuh.

Namun itu pun bahkan belum mampu menjatuhkan Tamon-Rah sepenuhnya. Kuda Sembrani setinggi gunung itu masih kokoh, hanya badannya saja yang terdorong sedikit ke belakang. Jurus terbaik Ragga Bang hanya mampu membuat Tamon-Rah marah.

Ragga terheran, "B-bagaimana bisa dia bertahan—?"

Efek penggunaan steroid level 4 pun segera muncul. Ragga merasakan seluruh tubuhnya kejang dan lumpuh, otot-ototnya kembali menciut. Kini dia hanya bisa pasrah, tanpa pertahanan apapun di udara.

Maka datanglah serangan balasan dari Tamon-Rah.

Ayunan tanduk secepat kilat menyambar Ragga Bang. Pegulat itu sudah berusaha menahan dengan sarung tangan besi yang konon mampu menyerap segala benturan. Namun alat itu tak berguna banyak. Menerima serangan dari monster sebesar gunung, hancurlah sarung tangan besi itu seketika.

Namun beruntung, tubuh Ragga Bang tak tertusuk tanduk raksasa itu. Meskipun akhirnya badannya tetap terlontar juga akibat terserempet sisi tanduk.

Ragga Bang terpelanting begitu keras, memantul beberapa kali di permukaan tanah, sebelum akhirnya terkapar tak berdaya.

Dan sialnya, Tamon-Rah melanjutkan serangannya!

Sayap membara sang Kuda mengepak satu kali. Maka meluncurlah sekian banyak bola api yang menukik deras bagaikan meteor, membakar semuanya tanpa pandang bulu.

Sekumpulan monster, pasukan manusia, bahkan bukit pasir … semua dilahap oleh kobaran api tinggi seperti tiang cahaya.

Kemudian satu bola api raksasa meluncur ke arah Ragga yang masih terbaring tak berkutik. Pegulat itu sudah pasrah kalau tubuhnya dilumat api, namun—

—gumpalan api itu tiba-tiba diterjang oleh sekumpulan api lain berbentuk burung walet. Lantas peraduan itu menciptakan ledakan begitu dahsyat dan saling meniadakan.

Ragga Bang selamat untuk sementara.

Dua sosok akrab berdiri di depan pegulat itu.

"…hhh… hhh, Siktir!" maki Ahran. "Untuk menghadang satu bola api dari monster itu saja …hhh… aku harus mengerahkan teknik terbaikku!" Hidung Ahran mimisan, darah pun mengucur dari sudut mulutnya. Itu dampak dari penggunaan sihir apinya.

Sementara itu, Caitlin sudah memapah tubuh Ragga.

"Tak perlu ladeni monster sebesar gunung itu. Kita langsung pergi ke menara, seperti rencana semula!" seru sang kesatria wanita.

Bersamaan dengan itu, sejumlah pasukan manusia bergerombol berlarian melewati Caitlin dan rekan-rekan. Jumlah mereka sudah begitu sedikit jika dibandingkan saat awal mula peperangan. Mereka menjerit.

"H-hilang sudah harapan kami untuk menjadi Pengawal Pribadi Yang Mulia Tamon Ruu!"
"Jangankan jadi pengawal … kita bakalan mati jadi abu di sini juga!!"
"…sial! Jauh-jauh aku datang dari dimensi lain, bukan untuk DIUMPANKAN ke KUDA GILA kayak begini!!"
"Pokoknya lari, selamatkan diri! Biarkan para Entran yang melakukan sisanya. Kita sudah cukup!"

Mendengar ocehan para prajurit, sedikit banyak Caitlin tahu motivasi mereka. Bagaimanapun, dia tak punya waktu untuk memikirkan itu.

"Ayo, Ahran! Kita bergegas!" seru Caitlin.

"Tentu saja, Madam!" balas Ahran.

Sementara itu, Ragga Bang yang dipapah Caitlin hanya bisa terdiam seribu bahasa. Itu adalah kekalahan pertamanya sepanjang sejarah.

Maka berlarilah mereka menyusul para prajurit. Kebetulan arah lari mereka ke utara. Di sana, terpaut jarak sekitar setengah kilometer, berdirilah kastel menara kembar—sasaran misi mereka.

Namun baru sebentar mereka berlari, sosok Tamon-Rah sudah terbang mendekat. Angin panas bertiup bagaikan topan saat makhluk sebesar gunung itu melintas. Tahu-tahu, dia sudah merintang di depan kastel, mendahului siapapun. Lantas, ketika kedua kaki depan Tamon-Rah menjejak bumi, sekali lagi tercipta gempa luar biasa.

Semua kehilangan keseimbangan dan terjungkal seketika. Kemudian sayap membara Tamon-Rah melontarkan bola-bola api lainnya. Namun Ahran tak mau kalah. Dia mengulangi lagi tekniknya tanpa peduli akibatnya.

Ribuan burung walet berapi dari Ahran menyambar tiap-tiap bola membara yang dilontarkan Tamon-Rah. Rentetan ledakan tercipta di angkasa. Bagaimanapun, teknik Ahran ini tidaklah sempurna. Bola api Tamon-Rah terlalu banyak untuk dia atasi. Masih ada segelintir yang lolos dari pengamatannya.

Maka bola-bola api liar itu segera membakar apapun yang diterjangnya. Semakin banyak prajurit yang berguguran dilahap api membara. Bahkan Ahran pun terlempar akibat hempasan ledakan.

Mulutnya kini memuntahkan begitu banyak darah, badannya sudah hampir lumpuh menahan efek samping jurusnya sendiri. Dia ambruk. Sementara itu, bola-bola api lain sudah kembali mengincarnya.

Caitlin memaki kebodohan Ahran, "Sudah kubilang jangan dilawan!"

Kesatria wanita itu buru-buru mengambil cakram khusus dari balik zirahnya. Dia tekan tombol benda itu, aktif, lalu dia lemparkan ke sisi Ahran. Aetherical Shield segera bekerja membentuk medan energi untuk melindungi Ahran.

Tabir itu dihantam begitu keras oleh lima bola api sekaligus, pecahlah seketika. Dan anehnya, Caitlin yang berada agak jauh dari sana tiba-tiba terjatuh sendiri. Zirah yang dikenakannya tampak korslet, seolah zirah itulah yang menyerap segala kerusakan yang diterima tabir pelindung tersebut.

Caitlin—dan Ragga yang dipapahnya—ambruk tak berdaya.

Sekali lagi mereka mengutuki kesialan mereka.

Namun semua itu ternyata masih jauh dari kata usai. Datang lagi gempa lainnya dari arah yang berbeda. Getaran itu berirama seperti langkah kaki. Dan sosok itu pun terlihat dari balik rangkaian tebing.

Sosok raksasa kedua!



BAB 5 Mawar Merekah Kucuran Darah


Tanpa ada yang pernah menduga, telah hadir satu lagi raksasa setinggi gunung. Dan raksasa yang satu ini telah berlari cepat menerjang Tamon-Rah. Tahu-tahu, dia sudah melayangkan tinju yang menghantam muka Tamon-Rah, membuat Kuda Sembrani itu terpelanting dan jatuh menghancurkan rentetan tebing.

Maka tampaklah sosok raksasa itu.

Seekor beruang yang teramat besar, berdiri di dua kaki.

"BURAAAAOOOOOOOOWRRR!!"

Dan raungannya tak kalah memekakkan dari Tamon-Rah.

Kemudian beruang raksasa itu melompat dan menginjak tubuh Tamon-Rah. Tercipta lagi dentum gempa yang membahana. Tamon-Rah meronta, dia segera terbang seraya menepis monster beruang itu ke samping.

Tamon-Rah melayang-layang di langit, terheran atas munculnya monster tandingan.

Sementara itu, si beruang agak oleng sedikit, namun tetap bisa berdiri tegak. Dan tampaklah dua sosok mungil di pucuk kepala beruang itu.

"Waaaaah, Dilham, hati-hati, Nak!" Sosok wanita berjilbab menjulurkan tangan dan menangkap anak kecil yang hampir terjatuh dari kepala monster beruang.

Si anak segera pucat, "A-aku kelewat bersemangat, Bu …"

"Jangan serampangan mengendalikan Beary-Rah ini, Dilham," ujar Bu Mawar. "Bisa-bisa teman Ibu yang ada di bawah sana keinjek."

Beary-Rah, nama monster itu.

Dia merupakan satu beruang raksasa yang terbentuk dari kumpulan monster beruang mungil yang disebut beary. Ketika Bu Mawar menyelamatkan sepasang beary dari incaran Dilham tadi, sang guru sudah merebut hati kedua beary itu. Mereka pun menawarkan bantuan.

Dan bantuan itu kini berbentuk raksasa beruang setinggi 60 meter!

Tamon-Rah meraung, Beary-Rah ikut meraung.

Keduanya meluncur, siap bertumbukan lagi. Padang gurun bergetar seluruhnya, semakin banyak tebing yang berhancuran.

Kuda melawan beruang. Tamon-Rah menusuk perut Beary-Rah dengan tanduknya, dibalas dengan cabikan ke arah leher dan muka si Kuda. Kemudian Beary-Rah menabrakkan tubuhnya ke badan Tamon-Rah, sekali lagi monster kuda itu terjengkang.

Sementara itu, bekas tusukan di dada Beary-Rah memuncratkan percikan seperti darah. 'Darah-darah' itu menjelma menjadi mayat beary-beary mungil yang terbakar akibat panas tanduk Tamon-Rah.

Bu Mawar terisak, "Oh tidak! Beary-beary malang itu. Dilham, kamu bertarungnya mesti lebih hati-hati, dong!"

"Urghh … m-maaf, Bu," balas Dilham.

Dilham pun bersiap. Dia yang bertindak sebagai pilot Beary-Rah, mengandalkan pengalaman sebagai gamer. Segala pemikiran Dilham dimengerti oleh naluri-persepsi Beary-Rah, kemudian terciptalah jurus apapun yang dibayangkan anak itu.

Tamon-Rah bangkit. Kuda itu segera mengepakkan sayap untuk terbang, menjauh dari jangkauan Beary-Rah.

Namun Dilham tak membiarkan itu. "Sekarang, Beary-Rah!" serunya. "Lakukan teknik Pemotong Garuda!!"

Maka Beary-Rah melompat menerjang lawan. Disabetkannya kedua cakar beruang dari atas ke bawah, sementara Tamon-Rah juga mengibaskan sayapnya untuk menghalau si Beruang. Kedua serangan itu beradu kuat!

Lengan Beary-Rah terbakar oleh sayap membara, kemudian badan Beruang itu ikut terhempas ke belakang dan terjatuh begitu dahsyat. Semakin banyak beary mungil yang meluruh dari tubuh Beruang Raksasa itu.

Sedangkan Tamon-Rah, sayapnya terbelah oleh cakaran lawan. Kuda itu oleng di udara, mencoba meregenerasi kembali sayap patahnya.



Caitlin, Ahran, dan Ragga hanya bisa terpana menyaksikan pertarungan monster dalam skala luar biasa di hadapan mereka. Begitu terpana sampai-sampai mereka tak menyadari kalau Bu Mawar dan Dilham datang menghampiri.

"Kalian semua nggak apa-apa? Nggak terluka terlalu parah, 'kan?" ujar Bu Mawar.

"Oi! Ayo cepetan, naik ke atas Beary-Rah!" seru Dilham. "Kalian temen-temennya Bu Mawar, 'kan?"

Ketiga petarung itu masih terbengong, tak mampu merespon apa-apa. Karena Dilham tak sabar lagi, dia pun segera menyuruh ratusan beary untuk menyeret Caitlin dan dua rekannya ke atas Beary-Rah. Mereka bertiga pasrah tak bisa melawan.

Ketika semua sudah kembali berada di atas Beary-Rah, maka Beruang Kolosal itu kembali bangkit berdiri.

"Kalau punya tunggangan sekuat ini, kenapa kita tidak langsung hancurkan saja menara kembar itu?" saran Caitlin, matanya menatap jauh ke utara di mana kastel berada.

"Sepertinya hhh … monster kuda itu tak akan membiarkan kita begitu saja," ujar Ahran yang masih mencoba menarik nafas.

Dan memang benar, di hadapan mereka Tamon-Rah seperti sudah siap untuk kembali menyerang. Malahan, sekujur tubuh Kuda itu kini memancarkan api.

"Jadi, gimana cara mengendalikan Beruang ini?! Ragga Bang akan menghabisi Kuda Sial itu!" seru Ragga yang sudah tak lumpuh lagi.

"Aku akan tunjukin caranya, liat saja!" sahut si kecil Dilham. "Sekarang, Beary-Rah, Tapak Garuda Iluminati!!"

Tamon-Rah berlari menerjang, namun Beary-Rah sudah bersiap dengan jurus tusukan telapak tangan. Sayangnya, Tamon-Rah lebih gesit. Kuda itu berkelit sebelum tapak Beary-Rah menusuk. Malahan, si Beruang yang tersambar tubuh api Tamon-Rah.

Dilham memerintahkan Beary-Rah untuk mengulangi jurusnya, lagi dan lagi. Namun hasilnya nihil. Tamon-Rah terus menghindar, sedangkan Beary-Rah terus jadi bulan-bulanan. Kulit Monster Beruang itu terbakar, semakin gosong, beary-beary mungil berjatuhan dan mati.

Hingga pada satu momen, Tamon-Rah bersiap melancarkan serudukan sekuat tenaga dengan tubuh berkobar hebat.

Dilham masih bersemangat berseru, "Beary-Rah, jangan mau kalah! Ulangi lagi, Tapak Garu—"

"Ambil langkah menghindar ke kanan!!" potong Caitlin.

Beary-Rah mengikuti komando itu. Serudukan Tamon-Rah meleset. Kemudian Caitlin memberikan instruksi lainnya.

Seolah berubah kepribadian, Beary-Rah kini melancarkan rangkaian teknik beladiri bergaya militer. Momentum melesatnya Tamon-Rah dimanfaatkan untuk menyarangkan satu serangan balik.

Diawali dengan tendangan ke perut Kuda, ditambah dengan sodokan siku ke tengkuk, terjangan siku lain ke dagu. Kepala Tamon-Rah terdorong ke atas, lalu kepala itu ditangkap dengan dua tangan. Lantas ditarik lagi ke bawah untuk menerima hantaman lutut. Panas tubuh Tamon-Rah yang membakar tangan-kaki Beary-Rah seolah tak berarti apa-apa.

Kuda itu ambruk.

Caitlin tersenyum puas, bersiap untuk menyerukan instruksi selanjutnya. Namun—

"BEARDROP RAGGAMOON ASSAULT EXTRAVAGANZA!!"

—kini gantian Ragga Bang yang mengambil alih.

Tahu-tahu, Beary-Rah melakukan lompatan berputar sebelum akhirnya menindih Tamon-Rah dengan teknik gulat-pro. Karena putaran salto itu, Bu Mawar, Dilham, Caitlin, dan Ahran hampir saja terlempar jatuh dari tubuh Beary-Rah, kalau saja mereka tidak berpegangan erat.

Tanah seolah dihantam meteor.

Kekuatan hentakan Beary-Rah yang dikomando Ragga Bang menciptakan kawah raksasa. Batu-batu berhamburan, pecah, butiran pasir membumbung tinggi.

"Selanjutnya, BEAR-APPOCALYPSE BIG RAGGA BUSTE—"

Namun Caitlin sudah membekap mulut Ragga Bang. Dilham si kecil juga memegangi kaki si pegulat, mencegah apapun jurus yang hendak pegulat itu lakukan.

Ahran kini turun tangan.

"Selanjutnya aku," katanya. "Dan inilah … Alkimia Kirmizi!"

Dengan perintah dari Ahran, sebagian tubuh Beary-Rah tersebar menjadi beary-beary kecil yang langsung membentuk formasi sihir segi lima yang mengelilingi Tamon-Rah.

Selanjutnya Ahran merapal mantra yang telah dia rajah di pergelangan tangan kanannya.

Maka Alkimia Kirmizi pun aktif!

Api lembayung tercipta dari setiap sudut formasi sihir, bentuknya seperti sulur berduri. Sulur api padat itu segera menjerat tubuh Tamon-Rah di leher, keempat kaki, badan, dan muka. Kuda Raksasa itu meronta-ronta, namun ikatan api lembayung masih kokoh.

"hhh… Ini hanya akan bertahan sementara," ujar Ahran. "Lebih baik kita segera melakukan penyegelan yang sesungguhnya."

"Ya, menara kembar itu!" seru Caitlin, menunjuk ke utara.

Akan tetapi …

Tubuh Beary-Rah tiba-tiba bercahaya terang.

"Burabura burururu rah buraraah!" ujar salah satu beary mungil yang menyusun tubuh Beary-Rah.

"Katanya, 'Perubahan Beary-Rah sudah usai'," jelas Bu Mawar.

Dan benar saja, tubuh Beruang Raksasa itu segera memencar menjadi jutaan beary mungil, tersebar ke segala penjuru. Para petarung yang tadinya menumpang Beary-Rah pun terjatuh ke bawah.

(***)

Tamon-Rah meraung-raung, mencoba lepas dari jeratan sulur api lembayung. Sulur-sulur itu mulai retak, namun masih cukup kuat untuk menahan Kuda Raksasa itu hingga beberapa menit ke depan.

Bu Mawar dan rombongan sudah berada di depan kastel. Ratusan monster yang menjaga kastel pun terdiam. Menghadapi kawanan yang mampu meladeni kebuasan Tamon-Rah, monster-monster itu takjub juga.

Mereka menyingkir dengan sendirinya.

Ragga Bang mengambil posisi di menara kiri, bersiap untuk melancarkan tinju peledaknya. Caitlin di depan menara kanan, mini-railgun pada lengan besinya sudah terisi. Keduanya menjaga jarak cukup jauh agar tidak mengaktifkan jebakan proyektil menara.

Ahran menoleh ke belakang, menatap jutaan beary mungil yang tampak menunduk pasrah. Di samping Ahran, Bu Mawar jelas menampakkan raut sedih, air matanya menetes. Demikian juga dengan Dilham.

Mereka tahu kalau penghancuran menara bukan hanya akan menyegel Tamon-Rah, melainkan juga melenyapkan seluruh monster yang hidup di gurun ini. Termasuk kawanan beary yang telah menolong mereka tadi.

"Buraburabura," pemimpin beary yang berkacamata hitam mengatakan agar Bu Mawar dan teman-temannya tak perlu khawatir. "Buraaburaaa," bahwa semua pertarungan tadi menyenangkan. "Buburruraaah!" dan sudah takdir para beary untuk mati di tempat ini. "Bura," semua ditutup dengan ucapan terima kasih.

Seluruh beary tersenyum lebar, namun Bu Mawar tetap tertunduk, tak berani menatap.

Bunyi ledakan ganda menggema keras, pertanda Ragga Bang dan Caitlin sudah menyelesaikan tugas mereka. Kedua menara hancur berkeping-keping.

Serentak, seluruh monster yang menghuni gurun pun ambruk.

Tubuh mereka tiba-tiba terbakar oleh api, lalu lenyap menjadi serpihan pasir.

Adapun Tamon-Rah, kini tubuhnya ditarik oleh semacam cahaya raksasa dari angkasa. Sulur api lembayung hancur, namun Tamon-Rah malah dijerat oleh segel yang jauh lebih kuat.

Pecahan bulan kembali menyatu. Tamon-Rah terkurung lagi hingga jangka waktu tak tertentu.

Atau begitulah seharusnya.

Namun detail kecil itu lepas dari pengamatan. Sebelum Tamon-Rah tersegel di bulan, secercah cahaya merah kecil turun kembali ke tanah. Dia mewujud menjadi sesosok wanita petarung, bersayap merah, dan bersenjatakan tombak.

Kemudian sosok itu melesat begitu cepat!



Portal menuju Alforea terbuka di antara reruntuhan dua menara. Caitlin mempersilakan para prajurit Alforea masuk lebih dulu. Kemudian dirinya, Ahran, dan Ragga bersiap untuk menyusul.

Bu Mawar yang masih terguncang dituntun oleh Dilham, keduanya berjalan pelan menuju portal.

"Dilham belom pernah liat Ibu loyo kayak gini, yang semangat dong—"

Perkataan Dilham terhenti ketika dia menyadari ada sesuatu yang mendekat dari arah belakang. Mata anak kecil itu mendelik hebat, namun tubuhnya langsung bereaksi.

"AWAS, BU MAWAR!!!"

Dilham mendorong sang guru sampai jatuh ke samping.

Begitu Bu Mawar menoleh, dia mendapati tubuh muridnya telah tertembus tombak dari sesosok wanita. Darah mengucur deras. Sontak kejadian ini mengejutkan Caitlin, Ahran, dan Ragga, yang sebenarnya tinggal beberapa langkah lagi memasuki portal antardimensi.

"Cih, meleset. Harusnya kau yang kumatikan pertama kali," wanita itu menatap tajam ke arah Bu Mawar. "Tapi ya sudahlah."

Seolah membuang sampah, wanita itu melemparkan tubuh Dilham ke samping.

"DILHAAAM!!" Bu Mawar berlari menyongsong muridnya.

Melihat itu, Caitlin, Ahran, dan Ragga Bang ikut tersulut. "Siapa kau?!" kompak mereka menyeru.

Wanita itu tertawa, "Kudahaha, siapa aku? Tentu aja aku Tamon-Rah! Terima kasih sudah menyegel tubuh kuda itu. Kini aku terbebas."

Tamon-Rah mengepakkan sayap merahnya, lantas mengambil kuda-kuda siap tempur sambil memutar-mutar tombaknya. Terlihat aura kemerahan yang pekat di sekujur tubuh wanita ini.

"Majulah, kalian bertiga!"

Maka Caitlin, Ahran, dan Ragga pun kompak menyerbu maju!



Sementara itu, Bu Mawar sedang memangku tubuh Dilham, darahnya tak berhenti mengalir. Dielusnya pipi si murid.

"Dilham … bertahanlah, Nak. Ibu akan membawamu ke kota, mencari dokter …"

"B-Bu Mawar … Dilham minta maaf udah ngerepotin Bu Ma…………"

Dan nafas Dilham berhenti sampai di sana.

Tak lagi bisa menahan emosinya, Bu Mawar menjerit sekeras-kerasnya.



Bab 6 Hitam Mawar


Kekuatan Tamon-Rah ternyata bukan main, sekalipun ukuran tubuhnya seperti manusia biasa.

Caitlin dan Ragga berulang kali melancarkan tinju dan tendangan, tetapi semuanya dielakkan dengan gesit. Tebasan pedang Ahran pun dengan mudah ditepis tombak.

Biarpun dikepung dari tiga penjuru, justru ketiga lawan Tamon-Rah yang terdesak.

Kemudian badan Tamon-Rah memancarkan aura kemerahan yang semakin kuat. Caitlin yang kelelahan menjadi sasaran tusukan tombak. Sang kesatria masih mencoba bertahan dengan mamaksimalkan fungsi zirahnya, namun terjangan Tamon-Rah terlampau kuat.

Zirah Caitlin hancur pada bagian torso, sementara tubuhnya terlontar jauh ke belakang akibat ledakan energi kemerahan dari tombak Tamon-Rah. Caitlin pun terkapar.

Ragga Bang mencoba menangkap Tamon-Rah dari belakang, namun wanita itu ternyata tidak lengah. Dengan sedikit mengibaskan sayap, kedua tangan Ragga sudah tertepis ke samping.

Kemudian Ragga menjadi sasaran tombak selanjutnya. Tusukan Tamon-Rah segera mengincar leher pegulat itu.

"Tak secepat itu!!"

Rupanya Ragga masih mampu menangkap tusukan tombak itu dengan kedua tangan. Namun bukannya terkejut, Tamon-Rah malah menyeringai. Sekali lagi trik tombak itu muncul.

Tombak Tamon-Rah menyala lantas menciptakan gelombang ledakan merah yang menghanguskan kedua tangan, wajah, dan sebagian torso Ragga Bang. Pegulat itu ambruk.

Tersisa Ahran, namun Tamon-Rah sudah bosan.

Dia mengepakkan sayapnya beberapa kali, menciptakan rangkaian bola api. Ketika sayap itu dikibaskan, bola-bola api itu meluncur mengincar ketiga petarung.

Ahran mencoba melompat ke samping untuk menghindari satu bola api. Berhasil. Namun bola api lainnya kini menyambarnya dari arah lain. Ahran terbakar.

Caitlin dan Ragga Bang yang sudah terkapar tak berdaya hanya bisa pasrah saat sekumpulan bola api melahap mereka.

Kini ketiga petarung itu berkobar dalam api membara, tinggal menunggu tubuh mereka luruh menjadi abu. Namun—

—tiba-tiba angin aneh bertiup kencang, memadamkan segala api. Ketiga petarung itu selamat untuk sementara.

Lalu terasa hawa kehadiran yang begitu menusuk.

Tamon-Rah berkeringat dingin. Dia segera menoleh ke belakang, dan sosok itu tampak.

Wanita berjilbab berdiri tegak sembari tangan kanannya menggenggam pedang kayu. Namun dari seluruh tubuhnya, memancarlah aura kegelapan yang begitu mencekam.

"Kau?!"

Saat pandangan mereka saling bertemu, Tamon-Rah langsung merasakan sekujur tubuhnya menjadi kaku, tak bisa digerakkan.

"Si-sihir apa yang kau pakai?!"

Dengan kekuatan mentalnya, Tamon-Rah langsung melepaskan diri dari tekanan sang lawan. Dia bisa bergerak lagi. Kemudian dirinya melepaskan kembali sejumlah bola api mengincar wanita berjilbab.

Bagaimanapun, semuanya meleset. Bola-bola api itu terdorong oleh angin misterius, malah meledak jauh dari sasaran.

Ahran, Caitlin, dan Ragga Bang mulai sadarkan diri. Dan mereka bertiga pun merasakan tekanan yang sama. Mereka melirik dan menyadari sosok itu.

"Mawar??"



Tamon-Rah melepaskan entah berapa banyak lagi bola api. Namun seperti tadi, kesemua serangan itu meleset begitu saja, tanpa perlu si sasaran menghindar sedikit pun.

Ini benar-benar membuat Tamon-Rah kesal.

Dan bertambahlah kekesalan dia ketika menyaksikan sosok wanita berjilbab itu, Bu Mawar, berjalan mendekat ke arahnya dengan perlahan. Tatapan mata keduanya bertemu lagi, mengakibatkan Tamon-Rah kembali tertekan. Setiap langkah kaki Bu Mawar seolah melipatgandakan tekanan mental yang didera Tamon-Rah.

Sekali lagi Tamon-Rah terpaksa meningkatkan kekuatan mentalnya agar tak tertekan. Dia pun terbebas, lantas langsung maju menyerang.

Kali ini kedua wanita itu berhadapan dari jarak dekat. Tombak merah berayun melawan pedang kayu.

Sayangnya, teknik bertarung Tamon-Rah jelas jauh lebih unggul daripada Bu Mawar yang memang belum pernah bertempur sama sekali. Tamon-Rah lebih cepat.

Satu sabetan tombak memutuskan lengan kanan Bu Mawar dari bahunya!

Darah merah menciprat, pedang kayu terlempar ke udara.

Aura kegelapan Bu Mawar meredup drastis.

Namun …

Tangan kiri sang guru masih mampu menangkap pedang kayunya yang terlepas. Lantas sambil menahan perih, dia segera menyentuhkan pedang itu ke pundak Tamon-Rah.

Akibatnya sungguh tak disangka.

Sekalipun tanpa tenaga, ternyata sentuhan itu mampu menjatuhkan Tamon-Rah. Dia terkapar dan gemetar kuat, kembali merasakan tekanan mental yang tak tertahankan.

Dan Bu Mawar belum berhenti sampai di sana. Sambil ditatapnya mata Tamon-Rah, sejumlah perkataan menusuk pun dilontarkan.

"Engkau hanyalah pengecut, Tamon-Rah! Hanya berani menyerang dari belakang!"

Ti..tidak! Aku bukan pengecut!

"Pembunuh! Kau sudah membunuh Dilham!"

Tapi itu memang … bagian dari pertempuran …

"Ketika kau sebesar gunung, kau dengan sombongnya menginjak mereka yang lebih kecil!"

S-siapa yang kau bilang sombong?!

"Pengecut, pembunuh, sombong!"

TIDAK!

"Pantaslah kalau dirimu dikurung di tempat antah-berantah begini!"

Bu-bukan, itu semua karena Tamon Ruu yang … karena dia yang …

Tamon-Rah sudah tidak bisa membalas lagi, sekalipun dalam hati. Dia terbujur kaku, seluruh perkataan Bu Mawar menggoncangkan sanubari. Malahan, untuk pertama kalinya dalam sekian abad, air mata Tamon-Rah pun mengalir.

"Aku tidak memaafkanmu soal Dilham, tapi …"

Tamon-Rah terpaku dan semakin tertekan.

"… sebagai seorang guru, aku tidak boleh termakan oleh dendam." Bu Mawar menarik nafas dalam-dalam. "Engkau kubebaskan. Bertobatlah, sana."

Aura kegelapan yang tadinya menyelubungi Bu Mawar kini sirna seketika. Berganti kembali dengan pancaran hangat yang menenangkan, membuat tentram.

Bu Mawar berpaling pergi meninggalkan Tamon-Rah. Langkahnya gontai, terlalu banyak darah mengucur dari lengan kanannya yang putus.

Tamon-Rah bangkit.

"Tunggu, TUNGGU! Jangan pergi begitu saja! P-pertarungan kita belum usai! Dan … jangan pernah mengasihaniku seperti itu!!"

Tamon-Rah bersiap dengan tombaknya lagi untuk menerjang Bu Mawar. Akan tetapi …

Caitlin, Ahran, dan Ragga Bang telah berdiri merintang di antara Tamon-Rah dan Bu Mawar. Ketiga petarung itu sudah begitu babak belur, namun semangat juang mereka—entah mengapa—kembali membara.

"Kau sudah kalah, Tamon-Rah," ujar Caitlin. "Akui saja!"
"Tampak jelas dari raut wajahmu itu," tambah Ahran.
"Sini kalau berani! Akan kubalas dengan BIG BANG!" tantang Ragga.

Kali ini, Tamon-Rah gentar. Padahal ketiga petarung di hadapannya itu bisa dia kalahkan dengan mudah tadi. Namun sekarang? Nalurinya mengatakan hasilnya akan jauh berbeda.

Tamon-Rah jatuh berlutut.

Dia menyeringai kecil, tanda takluk.

(***)

Ragga Bang membopong mayat Dilham, "Biar aku yang bawa bocah ini."

Ahran terdiam, memandangi sosok kecil Dilham yang tak lagi bernyawa.

"Kita kembali ke Alforea segera," ujar Caitlin yang memapah Bu Mawar. "Lukamu harus segera ditangani sebelum terlambat."

Mereka bertiga berjalan menuju portal yang terbuka sejak tadi.

Bu Mawar tersenyum pedih.

Dia benar-benar tak menyangka petualangan pertamanya di dunia baru justru membawanya menyaksikan kematian salah satu muridnya. Bahkan sang guru harus kehilangan tangan kanannya—tangan yang selama ini telah menuliskan begitu banyak pelajaran pada murid-muridnya.

Tapi semangat sang guru masih ada.

"Tamon Ruu, Hewanurma, dan seluruh Alforea," geram Bu Mawar, "kalian semua memang butuh pelajaran!"



Penutup Prolog Semesta


Seorang lelaki tak dikenal sedang sibuk menatap layar laptopnya, tak peduli kalau kedai minum yang dia singgahi sudah sepi dan hampir tutup. Kedai Gang Hitam di sudut kota Despera memang menjadi tempat favoritnya.

Ditenggaknya kaleng minuman rasa jahe, lalu dia bergumam sendiri.

"Sial, Hewanurma langsung menutup akses masuknya! Dan semua kejadian prelim ini … banyak kejutan di luar perkiraanku. Namun, ini baru saja dimulai. Hehehehe."



[PRELIMINARY]
Bu Mawar, Bunga Merekah di Gurun Rembulan—SELESAI

50 comments:

  1. Assalamu 'alaikum, Penguasa Hatiku ...

    Begitu aku membaca salah satu dari kisah hidupmu ini, yang pertama kali kurasakan adalah hati yang begitu berdebar-debar. Oh! Berkat dirimu, hatiku yang senantiasa hampa, menghitam, dan dipenuhi kebencian, bagaikan terang benderang. Bahkan itu baru kesan pertamanya.

    Untuk tulisannya sendiri, aku hanya bisa berlutut dalam-dalam. Aku bukanlah apa-apa bila dibandingkan dengan dirimu. Meski terkadang tetap ada yang membuatku mengernyit seperti suara teriakan dan sebagainya. Yah, itu memang selera pribadi. Karena aku biasanya membaca jurnal-jurnal ilmiah, atau kesusastraan tentang Pengembara Spiritual yang, tidak menyertakan teriakan dengan banyak huruf ganda.

    Lalu dimulai dari pembukaannya, aku turut merasakan kedukaanmu. Hatiku ikut tersayat mengetahui apa yang telah terjadi pada dirimu. Izinkan aku menghapus lukamu, wahai Penguasa Hatiku ....

    Untuk interaksinya sendiri, sewaktu aku pertama kali berjumpa denganmu. Ternyata, aku digambarkan menjadi sosok yang lebih baik dan lembut, lebih terbuka pula. Padahal biasanya, aku orang yang arogan dan suram. Tapi, tidak masalah. Senang rasanya di sini aku melihat gambaran lain yang lebih menyenangkan. Aku memang jengah terhadap diriku yang menyebalkan, kaku, dan pesimis. Juga selalu terpaut pada pembalasan dendam dan mengutuki diri sendiri.

    Salah satu yang menarik perhatianku di sini adalah Ragga--yang entah mengapa mengingatkanku pada Bucur, si Pengisap Darah dari Wallachia. Dia orang yang keras kepala, bersemangat, dan--entah apa sebutan yang tepat--gila. Siapa pun dilawannya, tanpa pandang bulu. Betul-betul mengerikan. Aku selalu ingin seperti itu, tapi belum mampu. Mengingat orang-orang seringkali memandangku sebelah mata, sehingga aku mengurungkan niatku.

    Oh, waktu Tamon Rah muncul dan membinasakan makhluk-makhluk di daratan ... itu bahasa yang sungguh dramatis. Namun seharusnya bisa lebih panjang lagi, kupikir.

    Kemudian, sesekarat apa pun aku, takkan pernah kugunakan Layhavar Rassach. Aku akan mati, atau minimal lumpuh permanen. Itu artinya, Rustem bin Kutbeddin bersama kroni-kroninya tidak akan berhenti tertawa sampai empat puluh hari di Istanbul. Mereka pun akan merayakan kematianku dengan pesta wanita. Untuk menggunakan sihir itu, perlu ratusan kali pertimbangan. Itu hanya akan kulakukan andaikan aku bertemu dengan lawan setangguh Sultan Murad, atau Rabi Shimon dari Yerussalem.

    Penulismu pun, sepertinya belum bisa berpaling dari Ursario. Sehingga memunculkan banyak beruang. Aku juga agaknya merasa, akhir cerita ini masih ada yang kurang. Seakan dikerjakan dengan terburu-buru. Namun tidak masalah, sebab semua tertutup oleh pemaparan yang baik.

    Terakhir, aku begitu kagum padamu. Semula, kukira 'Mawar Hatun versi Gelap' adalah sosok wanita yang kejam. Tapi ternyata aku salah. Jadi, aku salut.

    Oh ya, masih ada satu hal. Mantra-mantraku berbahasa Ibrani, bukan Turki. Hahaha. Ini bukan salahmu, sebab aku pun tidak pernah menyebutkannya secara terang-terangan.

    Karena Engkau menyertakanku dalam salah satu lembaran hidupmu, juga karena pemaparan yang baik ini, aku dengan senang hati memberimu nilai sempurna. Yaitu 10.

    -Dari Ahran. Salah seorang pengagum dirimu. Allah seni korusun, Mawar Hatun~

    ReplyDelete
    Replies
    1. This comment has been removed by the author.

      Delete
    2. Maafin saya, Bu Mawar. Udah biarin Ahran komen panjang banget. Dia emang lebay. Jadi nyepam deh. Sekali lagi maafin saya huwaaaa >_<

      Delete
    3. Wa'alaikum salam, Kang Ahran.

      Sungguh hati saya berbunga-bunga tatkala mengetahui bahwa saya yang janda ini ternyata masih mampu mengetuk pintu cinta lelaki istimewa seperti Kang Ahran. Walaupun kiranya saya masih belum mampu untuk membalas apa-apa, nama almarhum, 'kumbang' saya, masih terngiang-ngiang di benak. Butuh waktu untuk merelakan itu.

      Teriakan itu sungguhlah, menurut penulis saya, merupakan ekspresi. Terutama Abang Ragga, yang sesungguhnya kekuatan teriakan dia tak akan mampu tergambarkan dengan satu tanda seru ataupun kata-kata tanpa ditambah ma'd. Abang Ragga memang seperti itu orangnya.

      Kang Ahran yang mampir di cerita ini mungkin memang Kang Ahran yang sedang dalam nuansa baik hati, agak perayu, tetapi sepertinya sudah mampu untuk tidak terlalu terpaku pada dendam. Persoalan teknik pun, sepertinya Kang Ahran yang di sini sudah bukan Kang Ahran yang dulu, yang terlalu penuh perhitungan. Pun nama "kirmizi", walaupun berasal dari Turki, namun telah masuk juga menjadi kata resmi di KBBI. Saya telah menanyakannya pada guru bahasa, rekan sekerja saya. Dan penulis saya sungguh tak tahu bahwa bahasa Ibrani-lah yang digunakan, dan dia memang belum lihai soal itu.

      Perihal kurang memukaunya adegan Kuda Kolosal dan klimaks cerita, barangkali memang sudah nasib penulis saya. Dia terlalu terkendala oleh batasan huruf. Rumornya, tulisan ini telah dipotong dari 12K menjadi 2K. Mungkin di 2K itulah bumbu-bumbu seru banyak yang terbuang. Perihal Ursario dan beary, penulis saya telah mengatakan kalau ini hanyalah persembahan terakhir untuk mereka. Perpisahan, istilahnya, sebelum memasuki cerita baru yang nantinya akan saya jalani.
      --
      Sekali lagi, saya hanya bisa berucap banyak terima kasih. Sungguh dukungan dari Kang Ahran sangat saya butuhkan. Saya tidak ingin murid-murid lainnya bernasib semalang Dilham. Sungguh saya tak ingin itu. Saya tak mau merasakan kehilangan yang begitu menusuk hati, saya tak ingin dimakan kegelapan.

      Terima kasih.

      Allah seni korosun, Kang Ahran~

      Delete
  2. Yang paling ngebaedain entri ini dengan yang lainnya sejauh yang udah saya baca adalah rasa kepemilikan salah satu oc panitia yang bikin penulis ga punya masalah ngolah dari sudut pandang non-peserta di awal. Sementara yang lain terfokus di sorotan tulisan mereka sebagai peserta dan enggan menyentuh panitia lebih dalam, penulis di sini justru ngambil sudut pandang luas seolah udah ngasimilasi canon panitia dari awal

    Mardika, Dilham, Winda... Ugh nama"nya

    Aduh, ini bu Mawar kenapa dikasih complex pula pas liat Tamon Ruu? Tapi untunglah subtle. Btw Ahran malah kayak tukang goda di sini, rasanya beda sama imej Ahran di entrinya

    Bu Mawar ini punya skill stealth yang ga tertulis ya?

    Weleh, masih belum move on ya bawa" beary segala di entri ini. Mungkin buat fans Ursa ini semacem fanservice dari penulis, tapi kalo saya pribadi malah kurang sreg cameo sesuatu kayak gini (kecuali model Caitlin yang satu universe sama Yvika atau Nely yang emang hubungan darah sama Leon)

    Btw, entah kenapa saya masih ngerasa 3 OC selain bu Mawar itu sifatnya aksesoris. Kayaknya lebih pas kalo ini cerita bu Mawar aja berdua sama Dilham, tapi sayangnya Dilham bukan OC peserta

    Hmm, dari tadi komen saya ga ada nada positifnya ya? Kalo dari segi plotting dan gaya nulis udah ga ada yang perlu dikomentarin lagi sih, semuanya udah rapi dan kokoh, as expected from a veteran. Tapi ya, model bu Mawar gini ternyata not my cup of tea. Maaf kalo kurang berkenan.

    Dari saya 8

    [OC : Dyna Might]

    ReplyDelete
    Replies
    1. Well, nggak apa-apa sih. Ini saya juga lagi belajar nulis gaya battle baru. Ke depannya semoga bisa lebih bagus lagi.

      Soal beary, itu saya memang sengaja memunculkan mereka. Juga battle kolosal melawan Tamon Rah. Anggap saja itu sebagai tribute saya kepada karakter yang telah membawa saya melalui BoR sebelumnya dengan gemilang. Jadinya saya merasa perlu membuatkan semacam "laga perpisahan" untuk mereka. Agar bisa move on.

      Soal tiga OC lain, saya pengen menggarap mereka lebih jauh, tetapi stok kata sudah terpakai banyak untuk sekadar menarasikan latar belakang. Bahkan untuk klimaks pun sudah saya kurangi begitu banyak adegan, banyak yang disederhanakan. Mungkin kutukan saya memang masih itu ... terperangkap di entri berjumlah kata relatif banyak.

      Tapi skenario awalnya memang dengan Dilham sih.
      --
      Akhir kata, terima kasih banyak sudah membaca dan mereview. Bukan "cup of tea" tapi masih dapat poin 8 itu udah lumayan buat saya~

      Delete
  3. Saya udah menduga dari awal kalau plotnya Hewanurma sama bu Mawar bakal terkait. for once, ini postingan yang ga ada komedinya sama sekali dan saya suka ini. Perpaudan misteri dan plot utama juga asik. Semoga saya bisa baca ini sampe kaitannya dengan plot utama terungkap

    Nilai : 10
    OC : Alayne Fiero

    ReplyDelete
    Replies
    1. Padahal ada komedinya, biarpun sedikit ._. Oh well, biarlah.

      Plot Hewanurma dan Bu Mawar nanti masih tergantung settingan cerita dari panitia juga. Saya hanya bisa memodifikasi dari apa yang sudah ada.
      --
      Terima kasih banyak sudah mampir dan membaca entri saya. Makasih untuk review dan nilainya :D

      Delete
  4. saya paling suka cara Bang Heru memunculkan inner konflik dan "hint-hint" tertentu dalam cerita.. Tamon Rah jadi Wonder Woman? ane aja gak kepikiran sampai ke situ. Dan baru pertama kali saya liat cerita yang juga menyorot ke para panitia dan "calon antagonis" meskipun baru satu scene.. intinya efek "Shocking Truth"nya berasa banget

    10 by Nobuhisa

    ReplyDelete
    Replies
    1. Panitia sudah menyuguhkan sekian banyak karakter sebagai bahan. Maka saya pikir, kenapa mereka tidak digarap saja? Daripada nganggur~

      Ke depannya, plot ini juga masih tergantung panitia mau memunculkan skenario apa. Saya hanya mengikuti dan modif dikit-dikit biar sesuai dengan kanon Bu Mawar
      --
      Terima kasih banyak karena sudah membaca entri ini, terima kasih untuk review dan sumbangan nilainya :D

      Delete
  5. Sebelum komen dimulai, izinkan saya untuk mengatakan.... BBBBBUUUUURRRRAAAAA!!!! Kenapa ada Ursario di sana!!! Baik. Terimakasih, mari kembali ke komentar.

    Bu Mawar... sesungguhnya apa kekuatan guru di usia dua puluh tahunannya itu? Kalau di Charsheet hanya dikatakan “Kemuliaan Guru”, tapi entah mengapa di akhir cerita ketika (Mini)Tamon Rah membunuh Dilham, Bu Mawar mendapat kekuatan untuk "mengalahkan" (Mini)Tamon Rah... aneh... jangan-jangan kekuatan Bu Mawar adalah penyerapan Jiwa seperti Ursario dimana ia menjadi lebih kuat untuk setiap muridnya yang telah terbunuh... *Ditendang Bu Mawar*

    Saya suka perubahan style penulisan ke arah genre mystery di awal certia Karena tujuan Bu Mawar yang menyelidiki fenomena hilangnya para murid. Mungkin mas Heru bisa coba lebih sering?

    Dan di akhir cerita... siapa pria misterius di Kedai itu? Apakah dia salah satu anggota sindikat gang hitam? Saya tunggu kelanjutannya~~~

    Nilai : 9/10.

    OC : Renggo Sina

    ReplyDelete
    Replies
    1. Itu bukan Ursario dan pasukan beary seperti di BoR4, tetapi inspirasinya memang dari sana. Anggap saja penghargaan saya kepada mereka, sebelum saya memulai karir dengan OC baru.

      Di CS Bu Mawar ada hint untuk mengubah [Kemuliaan Guru] menjadi [Kehinaan Guru], dengan mengeksploitasi emosi Bu Mawar, atau menghancurkan limiter kebaikan hatinya. Di sini, saya baru menggambarkan sedikit efek dari [Kemuliaan Guru] yang dicemarkan oleh kemarahan.

      Nanti seluruh kanon Bu Mawar memang saya niatkan sebagai quest untuk mencari murid-murid yang hilang. Nantikan saja~

      S-sindikat Gang Hitam?? Sindikat s-seperti itu tak pernah ada >.<
      --
      Well, terima kasih banyak sudah menyempatkan diri untuk mampir dan membaca. Makasih juga untuk komentar dan reviewnya.

      Delete
  6. seperti biasa, Blackz kalau nilai menganggap semua karya sempurna dan semua nilai dimulai dari 10.

    -1 (9)
    WOW, that is too much
    terlalu banyak kisah latar belakang
    terlalu banyak canon heavy
    terlalu banyak call back

    -0 (9)
    it's just a special mention
    saya gak bisa kasih minus atau plus ke moéfikasi tamon Rah, karena setelah 2 menara kesegel yah ronde selesai, dan saya bisa bilang itu cuman embel-embel cerita

    -1 (8)
    Karena situ ngerasa masukkin ursario hanya karena just because.
    entah kenapa saya pengen merasa ngurangin 1 hanya karena just because.

    ^becanda, sebenarnya sih karena kalau dilihat bagi orang yang gak ngikutin 4L (terutama finalnya(baca: saya)) penambahan big beary di sini berasa dipaksakan dan gak sejalan...

    atau cuman saya?

    Frost' final Verdict: 8

    ReplyDelete
    Replies
    1. Yap, terlalu banyaknya itu memang sengaja saya niatkan begitu. Karena Bu Mawar ini beda dengan Ursario yang bisa langsung "hajar bleh", lalu di ronde kesekian baru ditempelin latar belakang. Untuk membuat Bu Mawar utuh menjadi karakter, saya butuh bertele-tele.

      Tamon Rah versi mini sebenarnya memang tujuan saya sejak awal. Karena kalau dia dalam versi mini dan agak manusiawi, saya jadi bisa menunjukkan kekuatan Bu Mawar (daripada melawan Kuda setinggi 50 meter)

      Itu bukan Ursario, kok. Hanya monster biasa yang menyerupai dia. Beary-beary di sini juga monster biasa. Penambahan Big Beary mah memang buat seru-seruan aja, biar bisa mainan tinju sama Tamon Rah secara seimbang (dari ukuran). Soal dipaksakan atau tidak, well ... yang penting bereslah. Tidak terlalu saya pikirkan hal itu.
      --
      Terima kasih sudah mampir, membaca, serta memberikan review

      Delete
  7. Ternyata bu mawar yang asli kerasa beda ya sama bu mawar yang ada selama ini, bahkan beda juga dari bu mawar yang waktu itu ada di RP alkima. Secara teknis penulisan, overall oke, as expected from typo nasi :>. Secara alur cerita aku rada ga sreg ma kemunculan bery-bery nya mas. Tapi di luar itu ceritanya ena. Dan ada Dilham segala... juga tamon rah dalam wujud wanita... emang khas mas her ya masukin banyak karakter dari luar.

    Nilai : 8

    OC aye : Zhaahir

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kalau soal tidak sreg dengan kemunculan beary ... well, itu sudah saya perkirakan bakal banyak yang tidak suka. Tapi tetap saya pakai, karena toh di peraturannya tertulis "monster apapun yang bisa kamu bayangkan".

      Dan karakterisasi Bu Mawar ... semua selain yang ada di tulisan ini hanyalah delusi kalian semata :D

      Dilham sudah beres, selanjutnya Mardika.
      --
      Terima kasih sudah membaca dan memberikan review~

      Delete
  8. Ten of out ten.

    - James Allard Jauhari

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih banyak, Mas, tetapi tidak bisakah menambahkan kalimat review seperti komentator yang lain? Saya nggak tega kalau Mas-nya udah baca tulisan panjang ini tetapi komentar dan nilainya dianulir karena tidak sesuai prosedur. Dan itu mengurangi kuota 10 komentar dari Mas-nya juga :)

      Delete
    2. Iya benar juga, tapi mau gimana lagi? Mental saya untuk memberikan review menciut ketika selesai membaca cerita Bu Mawar ini, hehehe..

      Namun ada satu yang mengganggu saya. Menurut Saya kemunculan beary-beary yang jumlahnya jutaan itu agak dipaksakan, apalagi sebenarnya Bu Mawar tak benar-benar 'menyelamatkan' dua beary yang ketakutan itu. Bu Mawar hanya mengelus dan memanjakannya namun akibatnya sangat luar biasa. Istilahnya ngga 'worth it' atau apalah itu.

      Delete
  9. waaw, bravo, spektakuler...
    bahkan kata-kata itu gak sanggup buat deksripsiin tulisan mas heru ini. penceritaan tentang bu mawar, mulai dari permasalahan pribadinya sampai masalah yang harus membawanya ke dunia BoR.
    Dari segi battlenya, mengalir dengan baik. saya dapat membayangkan meskipun tanpa efek-efek seperti sfx dll.
    jadi alforea dalam cerita ini adalah semacam dunia virtual kah? yang dimana tiba-tiba dilham yang seorang bocah bisa berubah menggunakan avatarnya. meskipun di situ gak tertulis detil-detil seperti yang ada di dunia virtual.

    plot twistnya juga greget banget,ada tamonrah lady, beary dan dilham yang tewas *rip for dilham
    nilai : 9

    kalo sempet mampir-mampir ke lapak khanza yah mas heru, bu mawar :3
    KHANZA

    ReplyDelete
    Replies
    1. Duh, sebenernya aku malu banget nih kehidupan pribadiku diumbar-umbar gini >.< Tapi demi berjalannya cerita, aku rela aja diapa-apain sama Om Hewan.

      Iya, itu pengarangku, si Om Hewan, sepertinya nggak gitu hobi mainan SFX. Kalau soal dunia virtuil, kami sama-sama nggak tahu banyak soal itu. Alforea ini, dalam pandanganku, sudah benar-benar seperti dunia nyata yang lain. Dengan banyak keajaiban yang belum bisa kumengerti gitu deh.

      Nanti bakalan kusuruh Om Hewan buat mampir ke lapak Nak Khanza.

      Makasih banyak ya sudah mampir dan komen-komen. Love you, dear <3

      -Bu Mawar-

      Delete
  10. Baiklah, ini penulisannya udah gak perlu dikomentari, alurnya juga mulus dan rapih. Pertarungannya sangat jelas dan mudah dibayangkan, seolah saya sedang menonton film alih-alih sedang membaca tulisan.

    Sebenarnya ini layak dapat nilai penuh dari saya, hanya saja saya kurang suka dengan Deus Ex Machina. Mulai dari kehadiran para Beary, sampai pada kemunculan Mawar Hitam yang terkesan terlalu tiba-tiba dan menguntungkan para OC di sana.

    -1 untuk Dio yang muncul tiba-tiba dari mesin...

    Nilai 9

    Zoelkarnaen
    (OC: Caitlin Alsace)

    ReplyDelete
    Replies
    1. A toast to Mawar, our new Battlemaiden! Now sing along with me!

      Sá hon valkyrjur
      vítt um komnar
      görvar at ríða
      til Goðþjóðar:
      Skuld hélt skildi,
      en Skögul önnur,
      Gunnr, Hildr, Göndul
      ok Geirskögul;
      nú eru talðar
      nönnur Herjans,
      görvar at ríða
      grund valkyrjur.

      Delete
    2. Daripada Dio, aku lebih pantas disebut Diosa, karena aku kan cakep kayak dewi~ #kedip kedip

      Makasih Om komentarnya. Mungkin diriku emang bakat jadi bintang pilem~ Kalau soal teknik penulisan Diosa ex Machina, itu protesnya ke Om Hewan aja.

      -Bu Mawar-

      Delete
  11. Wakakakakak, sebab musabab Bu Mawar masuk ke Alforea lebih jelas dan logis banget di entry Bang Hewan ini. Jadi intinya Bu Mawar itu "not qualified" tapi karena kekeuh ngirim terus, jadinya dapet warning, dan masuk deh~


    Boing-boing Tamon Ruu juga punya efek ke Bu Mawar :v

    Efek ucapan Bu Mawar lebih powerfull ya, cuma punten aja monster-monster langsung jadi jinak :v

    "Ngeburu monster Beary"
    :v

    Dan berkacamata hitam pula :v

    URSAAA!

    Wakakakakak :D


    Jadi para prajurit alforea itu bukan sekedar NPC aja ya? ada yang entitas asli juga cuma buat jadi pengawal si boing-boing? Wogh, ini twist banget O.o


    Bu Mawar benar-benar berubah kelam ya di sini... itu tangannya sampe putus segala...
    ._.


    Point : 10

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya nih, tanganku putus sebelah gini, bisa-bisa aku nggak laku lagi deh :'( #hiks

      Delete
    2. Bersyukurlah karena etidaknya kamu bukan boneka setan -_-
      --
      Ah, sudahlah.

      Menjawab komentar dari Bang Icshan, saya memang merencanakan Bu Mawar jadi lebih banyak mainan kata-kata, sih. Tapi kalau begitu doang kurang seru, jadi saya tambahkan sejumlah aksi juga.

      Soal plot dan semacamnya, itu nanti bakal menyesuaikan settingan dari panitia :D
      -
      Terima kasih sudah membaca dan berkomentar, terima kasih juga sumbangan poinnya~

      Delete
  12. "Mmi, Om ini, namanya memang... Hewan? Ia dari hewan apa?"
    "heee... Felly, itu singkatan dari nama asli beliau."
    "Tumben Mmi, dirimu sopan manggilnya pake 'beliau'?" Ucapnya menatapku tak berkedip. Apakah semencurigakan itu memanggil seseorang dengan panggilan 'beliau'?
    "Biasa aja sih, tahun lalu bang Hewan sama Ursa yang menang. Kau hati-hatilah, ketemu Ursa jadi Beary entar."
    "Beary? itu apa?" Tanyanya padaku dengan tampang polos.
    "Itu tuh arwah dari karakter yang udah pernah dilawan olehnya dan Ursa."
    "EH SEPERTINYA DIA MUNCUL DI CERITA INI MMI!!"
    "HAH???????"

    ***
    Buset ada Barikade cantiknya xD
    Sejak kapan emot ini --> \(o_o)/ <-- bikin pengen maen om?
    Dialognya beda ya om sama yang di prelimnya Tamon.

    "Gugur bungaku..."
    buruburaburaburbaubauaubabfbfudbudbaud *WEH Umi pusing bacanyyaaaaaa
    buruburaburauubruabuabbur
    mabrurraaaraeauhuau

    Umi baru tahu mainan bu Mawar ini psikologis alih-alih fisik? EH tapi normal juga sih, kan bu Mawar itu guru SD. Jadi sebenarnya kemampuan bu Mawar itu lebih ke suara ya. hmmm

    Umi penasaran sih, kalau dibawa ke batle one on one bakalan gimana ceritanya bu Mawar ini berakhir. karena sampe sekarang belum kebayang bentuk 'bar bar' dari bu Mawar gimana XD

    ***
    "Well, itu bukan bura kok, Fell. Bura itu ga baik."
    "Mmi, kau terkontaminasi."
    "Terkontaminasi apa? Bura?"
    "Mmi, namanya Ursa. Bukan Bura."
    "Ah sial. Bura ini bura. Oi... berenti!"
    Felly menatapku dengan pandangan aneh. "Move on, Mmi. Aniway, aku penasaran kalo ketemu lawan kayak bu Mawar, kamu bakal nulis aku kayak apa, Mmi?"
    "he? Mungkin? senasib sama Dilham?"
    "Kau akan membuatku mati? Dasar Author tak berguna!!"
    "Kau yang OC tidak berguna! Ngelawan si..."
    "Heh! Yang nulis bentukku seperti itu siapa?"
    sialan! Sudahlah... awas saja karakter satu ini.
    "Aniway, bang Hewan, titip salam buat bu Mawar. Kapan-kapan aku mau minta beliau buat ngajarin bikin lukisan dari dedaunan."
    Felly malah menggunakan kazehaya(read : laptop) untuk mengetik pesannya pada bu Mawar.

    ***
    The Fun : 5.0
    Karakterisasi : 3.0
    Alur : 2.0
    Total : 10.0

    ***

    Maria Fellas - bocah Lintah yang nakal *cetak*-sial dijitak

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aish ... saya dipanggil "Om" sama Umi TT_TT
      -
      Barikade cantik itu karena maid-maid Tamon (dalam bayangan saya) pastilah cantik-cantik :>

      Ini emot semangat \(o_o)/ kalau buat saya~

      Dan sepertinya saya dan Umi memang mengambil pendekatan berbeda soal settingan panitia. Umi mungkin mengutip langsung dialog-dialog yang ada di cerita panitia, sedangkan saya hanya mengambil intisarinya lalu saya menggunakan dialog versi saya sendiri.

      "Gugur Bura di Taman Bakti" :v

      Iya, "suara/kata-kata" itu senjata Bu Mawar yang paling ampuh untuk saat ini. Saya juga ingin segera menempatkan Bu Mawar dalam pertarungan 1 vs 1. Oh Well, nantikan saja pertarungan Bu Mawar yang lebih barbar ;)
      --
      Terima kasih banyak sudah mampir dan membaca. Saya terima sumbangan nilainya dengan penuh cinta ;)

      Delete
    2. Wahwah, ngeri ada Om-Om ngegombal~

      ~
      Ayo kita bikin lukisan dari dedaunan, Nak Felly. Ibu siap untuk membantu kapan pun Ibu punya waktu~ #teehee

      Delete
  13. ".... jangan pernah mengasihaniku seperti itu!!"

    Well, memang mengasihani sama saja dgn merendahkan martabat penjahat orz ....

    Deskripsinya mantap btw saya suka (y)
    Dan narasinya itu nostalgik sekalii XD beda sama Ursa taun lalu yg cenderung annoying #bletakk

    Saya suka semuanya... Mungkin sehabis tamon rah tersegel, saya agak loss bacanya: mengira ini semua udh selesei...

    Tapi pertarungannya... Emosinya... Hubungan antr karakternya... Mantaaaappp...
    Dan apa2an itu Bu Mawar bisa menang terhormat sama monster2 yg langsung tunduk! XD

    Poin: 9
    1. Ini udh kece banget sebenernya, sayangnya bkan masuk wilayah saya (?) utk kasi sepuluh XD
    2. Alfoera (bukan alfoero / al-chan for erotic kan ya #plak) super duper menjijikkaannn!! >__<
    Apa itu seakan cewek2nya cuma jadi mainan bawah perut x_x

    ReplyDelete
    Replies
    1. Nanti di babak-babak selanjutnya, sepertinya Bu Mawar akan lebih banyak "mengasihani" lawannya. Mwahahaha!

      Wah iya, narasi saya mungkin tergantung sama OCnya juga. Karena Ursario itu annoying, jadi narasinya ikutan kebawa annoying :D

      Terima kasih untuk komentar dan reviewnya, serta terima kasih sudah meluangkan waktu untuk membaca entri prelim Bu Mawar ini.

      Delete
  14. Wooooohhh....
    Aku jadi ngerti sekarang maksud dari "buat cerita yang berbeda"

    Alurnya keren. Dari awal, tengah sampe endingya saling keterkaitan dan membuat plot yang epik.

    Narasinya gak tau kenapa ngingetin aku sama novel novel dulu punya emak saya. :3
    Ada Ursarioooo buraaaaaaa!

    Sang anak garuda aku pikir cuma jadi cameo disini, ternyata dimainin juga. Untung disini dia gak nyebelin. #ups
    Tapi ikut miris sama endingnya dia.
    Apa dia mati? Atau bakal dicelupin ke lazarus pit? *abaikan*

    Overall

    Nilai 10 sangat pas untuk cerita yg hebat ini.

    "Ajip.."

    OC : Mang Ujang

    ReplyDelete
  15. Bagus deh kalau akhirnya dimengerti #teehee

    Waduh, soal narasi jadul, mungkin karena pengarangku emang orang jadul juga~
    Bururarara~

    Aku sedih banget lho, beneran, soal Dilham :'(
    Gimana aku mesti melapor ke orangtuanya? Ke teman-temannya?
    Aku merasa gagal jadi guru #terpuruk
    --
    Makasih banyak ya Dik Fuji dan Mang Ujang, untuk komentar dan reviewnya~

    ReplyDelete
    Replies
    1. Waduh, salah tempat komen. Mestinya di bagian reply komen #plak

      Delete
  16. wah ini nih nyang aye tungguin sedari kapan tau,,,aye ude ngepans ama bang Zianurme sejak cerita siti di Tree Words Hall,,sampe ane jadi kepikiran buat nyoba ngebikin Kumirun juge di sono,,,

    ini aseli enak banget ngebacanye,,ane pengen belajar nih buat gimane bisa ngebuat tulisan narasi nyang kayak gini,,,sedap dibacanye,,kagak bikin orang sensi,,,

    ceritanye juga seru ini,,aye kagak kepikiran tuh buat nongolin tokoh dari abang panitia,,,kok bisa-bisa nye ye kepikirain intrik kayak begitu, bang?? duelnye seru banget,,,tonjok- tonjokannye kerasa kayak beneran,,aye langsung kebayang tuh gimane berantemnya si caltin, ahran, ame dilham,,,

    seru juga di bagian akhirnya tuh bang,,,aye jadi ikutan gregetan pas dilham ternyata dibegituin,,,kebayang anak tetangge celaka gitu

    pokoknye paten deh

    nilai 10
    Karakter aye Kumirun

    ReplyDelete
    Replies
    1. Makasih banyak, Bang, sudah mampir ke lapak saya :D
      -
      Soal narasi dan lainnya sih saya belajar sambil lalu saja, banyak membaca karya penulis lain, lalu ambil yang baik-baik dari mereka, kemudian banyak bereksperimen, sambil tetep mencoba konsisten di tata bahasa.

      Kalau soal karakter dari panitia, lambat laun ya memang harus digunakan juga di dalam cerita. Karena saya awalnya nggak yakin lulus prelim, ya sudah saya munculkan sekarang aja.

      Sekali lagi terima kasih~

      Delete
  17. Badass bener Bu Mawar :O

    Banyak twist yang nggak terpikir. Seperti prajuritnya juga 'peserta' dan Tamon Rah yang juga punya Ultimate Form.

    Cerita Bu Mawar berhubungan dengan salah satu panitia? Jadi penasaran

    9/10 dari saya
    Lexia Gradlouis

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih sudah membaca dan berkomen, lalu maafkan author saya yang nggak komen balik ke lapak Dik Angelina~ (padahal dia udah baca)

      Aku sendiri nggak tahu ceritaku bakalan dibawa kemana inih. Kayaknya masih ada sosok selain Hewanurma dan Tamon Ruu yang juga perlu diperhatikan. Dan aku belum tahu itu~ #teehee

      Makasih

      Delete
  18. Yahuy~ ternyata bu mawar ini cara masuknya diluar ekspektasi hewanurma ya. pasti ini ulah dimdim... openingnya solid, bahkan ada note dari siswa tentang battle of realms dengan bahasa yang khas anak-anak.

    Caitlin sempet disangka cowok, hahaha. Kebayang waktu Ahran salaman sama dia. Tapi kemampuannya nggak terlalu menonjol ya, entah saya yang miss.
    '
    Karakterisasi Ahran mantep, adegan hilangnya bu mawar kalo dia lagi ngomong bikin saya senyum2 sendiri ;] Apinya berguna sekali, bahkan sampe ada pengorbanan diri juga, huhu.

    Sedangkan Ragga Bang, LIAR ABIS di sini! Nggak ada yang memerintah Ragga! BANG BANG BANG! Walau sempet kalah dari wujud Rah kuda dan Rah manusia tapi tetep semangat.

    Nah, salah satu yang saya suka di entri ini adalah penceritaan eksploratif waktu adegan Bu Mawar ngejar Dilham yang menuntun pada para beary. Ini bagian yang nuansa fantasinya cukup kental. Pembaca diajak menjelajah, ngikutin Dilham, konflik, terus resolusinya para beary jadi teman. Bahasa burabura juga dijadiin bahan lelucon ringan.

    Satu lagi, BURRAAAAAA pertarungan raksasa! perebuatan kendali beary itu asik buat ngocok perut. Terutama karena si Ragga mengacau :D

    Semua fun and game, sampai si Rah bebas dan ngebunuh Dilham, ngelukain tangan Bu Mawar, dan ngehajar anggota party lainnya. Momen keputusasaannya kerasa di sini. Sudah kuduga, rute kegelapan! Rah pun OTL dengan senyuman akhirnya.

    Entah bagaimana, di akhir si Tamon Rah bisa bebas dari wujud kudanya. Jadi menara bukannya nyegel malah ngebebasin dia secara menyeluruh? Sayangnya ini nggak dijelasin lebih jauh. Ah mungkin menaranya udah disabotase Dimdim juga. Hmm...

    9/10

    OC: Wildan Hariz

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aish, iya tuh. Bagian akhirnya kayak kecepetan gitu deh. Katanya sih Om Hewan udah kehabisan jatah kata buat mengelaborasi lebih jauh. Jadinya maklumi aja ya, Dik Wildan #teehee

      Makasih udah mampir dan komen. Maafkan pengarangku yang nggak komen di lapak Dik Wildan~ (dia emang lagi males kayaknya)

      Delete
  19. Pemilihan OCnya menarik, Kang Heru dengan Bu Mawar, Neng Noni dengan Ahran, terus ada Kang Zoel dengan Caitlin

    Wkwkw, ada pasukan beary yang dipimpin beary berkacamata, membentuk formasi BEARY-RAH! Kang Heru belum move on XD
    OK, resmi, saya juga harus ngasih nama Si Raja Tengkorak Kribo Emas dengan nama SALVATO-RAH! (Kenapa saya gak kepikiran ya, wkwk)

    Tapak Garuda Iluminati! dari mana anak SD tau yang kayak gitu? XD

    Ternyata setelah Tamon Rah versi kuda tersegel, masih ada Tamon Rah versi b*tch, damn, endingnya di luar dugaan.

    Pace-nya santai di awal, saya sempat berpikir (dan berharap) mungkin gayanya bakal berbeda dengan si Ursario, ya lebih kurang mirip Siti Fantasi, itu super keren deh. Tapi pas memasuki medan perang, jadi kembali lagi seperti BoR 4 dulu. Seperti Ursa, bu guru ini menyimpan energi kegelapan di tubuhnya, tapi untungnya kematian muridnya gak membuat hati Bu Mawar menjadi gelap juga.

    Nilai 10

    Oh iya, ini lebih dari 10K loh XD

    dLanjung (Asep Codet)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ada Bang Ragga Bang juga, tapi dia nggak lolos, sayang banget #sedih

      Dilham anaknya emang gitu. Dia banyak tau hal-hal yang semestinya nggak diketahui oleh anak SD seusianya. Tapi Dilham pun akhirnya .... #hikss #tambah sedih

      Iya, makasih banyak Bang Codet. Semoga ceritaku selanjutnya dibikin lebih seru sama Om Hewan~

      Delete
  20. Pemilihan OCnya menarik, Kang Heru dengan Bu Mawar, Neng Noni dengan Ahran, terus ada Kang Zoel dengan Caitlin

    Wkwkw, ada pasukan beary yang dipimpin beary berkacamata, membentuk formasi BEARY-RAH! Kang Heru belum move on XD
    OK, resmi, saya juga harus ngasih nama Si Raja Tengkorak Kribo Emas dengan nama SALVATO-RAH! (Kenapa saya gak kepikiran ya, wkwk)

    Tapak Garuda Iluminati! dari mana anak SD tau yang kayak gitu? XD

    Ternyata setelah Tamon Rah versi kuda tersegel, masih ada Tamon Rah versi b*tch, damn, endingnya di luar dugaan.

    Pace-nya santai di awal, saya sempat berpikir (dan berharap) mungkin gayanya bakal berbeda dengan si Ursario, ya lebih kurang mirip Siti Fantasi, itu super keren deh. Tapi pas memasuki medan perang, jadi kembali lagi seperti BoR 4 dulu. Seperti Ursa, bu guru ini menyimpan energi kegelapan di tubuhnya, tapi untungnya kematian muridnya gak membuat hati Bu Mawar menjadi gelap juga.

    Nilai 10

    Oh iya, ini lebih dari 10K loh XD

    dLanjung (Asep Codet)

    ReplyDelete
  21. Selamat pagi bu, salam kenal. Saya Avius. Berhubung saya suka belajar dan ilmu pengetahuan, semoga ibu bisa mengajari saya banyak hal. Mohon bimbingannya selama di Alforea...

    oke bang, saya ngakak baca "Alforea, bukan Aflorea! Mengapa kau terus menyebutkan nama yang salah? " karena ya... ofc itu bukan kesalahan yang disengaja sepertinya >.<

    jadi... Winda, Mardika, Dilham anak hilang ya? pppffffftttt... ampun kakak-kakak sekalian >.<

    Narasinya asik euy. Mulus walau saya tetep ada skim di beberapa tempat. Awalnya hampir kecewa karena battle fokus sama tiga karakter pendamping, padahal saya mau tau cara ibu berantem #plak
    Tapi syukurlah saya bisa melihat kharisma seorang guru yang luar biasa pada akhirnya.
    apa ibu nantinya akan bertemu semua murid yang hilang di setiap ronde? ah saya doakan tidak ada kejadian buruk lagi.
    jadi bu, biarkan calon muridmu ini memberikan penilaian untuk gurunya.
    ===
    Am i enjoy it? (5/5)

    Is this excite me? (4/5)

    Am i skim some part? (-1/-3)

    Extra point (1/1)

    total score: 9/10

    salam hangat untuk bu guru~

    Avius Solitarus

    ReplyDelete
    Replies
    1. Selamat pagi, Nak Avius. Duh, bahasa Inggris kamu perlu dibenahi grammarnya tuh~ ntar guru Bahasa Inggrismu bisa sewot loh kalau nggak segera dibenerin.

      Iya nih, aku juga kan kepengen banget beraksi. Tapi sayangnya kemaren timku lebih banyak berantemnya dibandingin aku sendiri. Jadi ya gitu deh~ #kuciwa

      Aku juga berharap nggak ada kejadian buruk lagi. Makasih ya Nak Avius udah berkunjung dan menyemangati Ibu >.<

      Delete
  22. Selamat pagi, cik gu
    *sungkem sama Bu Mawar

    Bu, ibu kelewat baik. Hiks
    dan ini kenapa jadi spelling nazi? hahaha

    Tapi pengolahan karakter bu Mawar disini apik banget (as expected from last season champion). Saya kira bu mawar itu kalem taunya badass eheheh

    Titip 8 ya bang
    (ada si beruang soalnya hiks, ngapain dia ngurusin disana)

    Salam, Kazuki Tsukishiro

    ReplyDelete
    Replies
    1. Pengennya kalem tapi jadinya malah kelam >.<

      Ih, apaan sih itu badass? Pantatku masih kece kok, nggak bad-bad amat #ngomongapaaku

      Makasih ya udah baca dan komen di cerita Ibu. Iya tuh, ada muncul banyak beruang. Tapi kayaknya itu beruang yang berbeda dengan beruang yang muncul di BoR sebelumnya deh~ kayaknya sih ya~

      Yuk

      Delete
  23. bu mawar!! apakah anda jelmaan kartini dengan skill superb korosensei :'v
    tp btw bu mawar greget banget dah menunjukan wanita berhijab yang deng hebat mencari murid - muridnya :3 entah ngapa seru aja baca entry bang heru ini
    jadi saya kasih 9/10 dah :D

    Dallas

    ReplyDelete
    Replies
    1. Duh, jadi ge-er. Aku ini Kusumawardani, bukan Kartini >.<
      Iya dong aku greget. Janda kembang gitu loh~ masa iya nggak greget?

      Makasih

      Delete