6.5.15

[PRELIMINARY] CAITLIN ALSACE - A WISH UPON THE FALLING MOON

Caitlin Alsace - A Wish Upon The Falling Moon
Penulis: Zoelkarnaen



Setiap orang menginginkan sesuatu dalam hidupnya, baik itu hal-hal yang berupa materi, maupun hal-hal abstrak seperti kebahagiaan dan cinta. Tapi apakah semua orang akan berhasil dalam meraih apa yang mereka inginkan? Kurasa tidak, hanya sebagian kecil saja yang akan berhasil. Sementara itu untuk sisanya, mereka terpaksa menelan pil pahit yang bernama kekalahan dan kehilangan.

Lalu bagaimana denganku? Apakah aku juga menginginkan sesuatu dalam hidupku?

Tentu saja.

Tentu saja aku menginginkan sesuatu, begitu juga dengan semua orang yang ada di halaman kastel antar berantah ini. Aku menginginkan sesuatu, pria berwajah codet itu menginginkan sesuatu, wanita muda berkerudung itu juga menginginkan sesuatu, wanita kekar bertopeng putih itu menginginkan sesuatu, begitu juga dengan makhluk berjas putih yang tak jelas jenis kelaminnya itu.


Aku juga yakin seratus persen, kalau si kakek ubanan dan wanita aneh yang sedang berpidato di balkon kastel itu pun ingin meraih sesuatu dengan menyelenggarakan acara ini.

Bagaimanapun, hal inilah yang membuat acara menjadi semakin menarik. Karena aku yakin, setiap orang yang hadir di tempat ini memiliki tekad kuat dan rela melakukan apapun demi mewujudkan keinginan mereka.

Namun terlepas dari kuatnya keinginan para peserta untuk menang, masih terlalu banyak kejanggalan yang kurasakan di tempat ini. Siapa para penyelenggara turnamen ini sebenarnya, dan apa tujuan mereka? Apa iya mereka akan mengabulkan keinginan dari peserta yang berhasil menang di sini? Lalu apa yang mereka dapatkan dari menyelenggarakan turnamen ini?

Untuk sementara kukesampingkan dulu pemikiran tak perlu dari kepalaku, karena kulihat sebagian peserta sudah berangkat setelah membentuk grup dua sampai empat orang. Aku juga harus segera mencari grup untuk dapat segera menjalani ronde penyisihan ini.

"Maaf Tuan Robot, apa Anda tahu apa yang selanjutnya kita lakukan di sini?" tanya seorang wanita berkerudung kepadaku.

Tuan?

Ternyata perlengkapan yang kukenakan pun tidak menjamin kejelasan akan identitas diriku.

"Apa kau tidak mendengarkan penjelasan dari si kakek di balkon kastel barusan?" aku balik bertanya kepadanya, tentu saja setelah melepas helm dan memperlihatkan wajahku.

"Oh maaf, ternyata kau manusia dan seorang wanita," tutur si wanita berkerudung yang sepertinya agak terkejut. "Nama saya Kusumawardani, panggil saja saya Mawar. Lalu soal penjelasan dari kakek tadi, saya mendengarkannya, hanya saja saya kurang mempercayainya."

"Soal kau mau percaya atau tidak percaya itu bukan urusanku, silakan lakukan sesukamu."

"Tunggu!" panggil wanita bernama Mawar itu saat aku mulai memunggunginya dan akan menjauh.

Apa ini? Kakiku berhenti melangkah dengan sendirinya!

"Apa Anda tidak pernah diajari sopan santun oleh orang tua Anda? Saya memperkenalkan diri dan bertanya dengan sopan kepada Anda, tapi kenapa Anda malah bersikap kasar dengan pergi begitu saja?"

Apa wanita ini berniat menggunakan kekuatannya untuk melawanku sekarang juga di sini?

"Namaku Caitlin Alsace, Duchess dari Ostrogoth dan Komandan tertinggi dari armada antarbintang Midgard. Maaf atas ketidaksopanan saya yang tidak segera memperkenalkan diri."

Kenapa aku minta maaf dan memperkenalkan diri kepadanya?

Heh, sepertinya dia memang ingin bertarung di sini sekarang juga. Kurasa aku juga mengerti tipe kekuatan yang dimilikinya, dia mengontrol lawannya dengan kata-kata.

"Baiklah, Nona Caitlin, kalau begitu—" ucapan wanita berkerudung itu sontak terhenti saat ia menyadari kalau aku sudah berada di hadapannya dengan tinju terkepal, akan kubungkam mulutnya sebelum ia sempat mengeluarkan kata-kata untuk mengontrol tubuhku lagi.

Sayangnya tidak berhasil, aku terpelanting sebelum tinjuku sempat menyentuh wajahnya. Aku memang menyadari ada sepasang telapak kaki tak beralas yang melayang dari arah kiriku, tapi apa daya kalau aku sedang lengah dan terlambat bereaksi. Tendangan dua kaki sambil melayang barusan telak mengenai kepalaku.

"Jadi sekarang dua lawan satu?" kataku sambil bangkit dan meludah, ada sedikit pasir masuk ke mulutku. Lalu tanpa memedulikan helmku yang jatuh entah ke mana, kupasang kembali kuda-kuda bertarungku.

"Apa kau tidak tahu malu, menyerang wanita yang bukan petarung?" sindir wanita bertopeng putih yang berpakaian ketat dan bertelanjang kaki itu.

"Tapi dia duluan yang menyerangku."

"Dari tempatku berdiri, kau duluan yang terlihat mau menyerang dia," timpal wanita bertopeng putih itu lebih lanjut. "Apa benar kau menyerangnya?" kini ia bertanya kepada si wanita berkerudung.

"Tidak, saya hanya berbicara dengannya, dan saya sama sekali tidak tahu kenapa beliau hendak menyerang saya barusan."

"Tuh kan!"

Apa iya semua hal barusan hanya terjadi di dalam kepalaku saja? Tapi yang barusan terjadi terasa terlalu nyata untuk sebuah ilusi.

"Jadi apa yang sekarang akan kau lakukan, wanita kaleng? Apa kau ingin menyerangku juga?"

"Tidak, tapi aku akan senang hati melayanimu kalau kau ingin bertarung," kataku balik menantang wanita yang terlihat cukup tangguh itu. "Namaku Caitlin Alsace."

"Kau bisa panggil aku Lady Steele," timpalnya seraya mengadu kedua tinju di depan dada, pertanda kalau ia tertarik untuk melawanku.

Tanpa basa-basi lebih jauh lagi, aku dan Lady Steele langsung melesat memperpendek jarak di antara kami. Namun gerakan kami berdua terhenti saat ada seorang gadis muda berpakaian pelayan tiba-tiba berdiri di antara kami, tepat sebelum tinju kami berdua saling menyapa wajah lawan. Tangan kiri gadis itu menempelkan sebilah belati ke leher Lady Steele, sementara tangan kanannya menodongkan laras sebuah revolver tepat ke mata kiriku.

"Maafkan atas kekasaran saya, tapi saya mohon kepada kalian para tamu yang saya hormati untuk tidak bertarung di tempat ini. Nama saya, Annie, dan saya yang akan jadi pemandu grup kalian menuju ronde penyisihan," jelas gadis pelayan itu setelah kembali menyarungkan kedua senjatanya ke balik rok.

Pelayan ini berbahaya…

"Hei, tunggu sebentar! Apa maksudmu dengan grup kami?" tanya Lady Steele kepada si pelayan, persis sama seperti yang ingin kutanyakan.

"Karena kalian memang satu grup. Kau, Nona Alsace, Ibu Mawar, dan—"

"Dan Sang Musketeer imut bernama Fatha A'lir," sambar seorang gadis pendek bertopi tinggi dan berpakaian aneh.

"Hei, kau siapa? Jangan seenaknya memutu—"

"Sudahlah-sudahlah, tak perlu mengkhawatirkan detail yang tidak penting," potongnya seraya menepuk bahuku dan Lady Steele. "Kalian berdua terlihat kuat, dan nona berkerudung itu sepertinya memiliki kemampuan yang unik," tambah gadis aneh itu dengan wajah tersenyum.

"Apa kalian berdua keberatan?"

"Tidak juga, lebih cepat ronde ini selesai, lebih baik bagiku."

"Aku juga," jawabku mengikuti Steele.

Si gadis pelayan memberikan helm milikku kembali, entah kapan dan di mana ia memungutnya. Lalu setelah kami menjelaskan situasinya kepada Mawar, yang ternyata adalah seorang guru sekolah, kami berempat dipersilakan oleh Annie untuk melalui sebuah portal menuju tempat pertempuran.

Sesampainya di lokasi, telingaku disambut teriakan perang dan suara pertempuran. Walaupun saat ini malam hari di padang pasir tempat kami berada, namun keadaannya sangat terang. Ada puluhan suar berjatuhan dari langit malam secara perlahan, belum lagi cahaya dari ledakan dan tembakan yang berjarak sekitar dua puluh meter di arah jam dua belas. Di sana terlihat jelas ratusan prajurit bersenjata tengah bertempur dengan para monster yang jumlahnya berkali-kali lipat.

"Baiklah, di sini saya akan mulai menjelaskan misi kalian," Annie pun mengisyaratkan agar kami berdiri agak merapat dengannya. "Di tempat ini—"

"MATIIIII KALIAAAAN!"

Dengan wajah tanpa ekspresi, Annie sedikit melirik ke arah para prajurit dan komandan mereka di belakangnya yang menjadi sumber teriakan barusan. Tak lama kemudian ia kembali berbicara, "Di tempat ini kalian harus sampai ke kastel di utara. Lalu apakah kalian dapat melihat dua—"

"BAJINGAAAAN!"

"—kembar di sana?" lagi-lagi Annie melirik ke pasukan yang masih sibuk bertempur di belakangnya. "Menara kembar, saya barusan mengatakan menara kembar. Karena malam ini sedang terang bulan, saya anggap kalian semua dapat melihatnya seperti saya."

"Lalu, apa yang harus kami lakukan terhadap menara kembar itu?" tanyaku yang berusaha mendapatkan informasi lebih detail untuk misi ini.

"Kalian—"

"TIARAAAAAP!"

"—secara bersamaan." Annie pun berdeham. "Kalian hancurkan keduanya secara bersamaan, lalu perbaharui segel monster paling berbahaya di padang ini, monster yang bernama—"

"SETAN CEBOL SIALAAAAN!"

"TA-MON-RAH!" Annie kembali mengulang kata-katanya yang kalah oleh teriakan sebelumnya. "Lalu setelah itu—"

"KEMBALILAH KE NERAKAAA, KALIAN SEMUAAA!"

Meskipun wajahnya masih terlihat tanpa ekspresi, tapi kini Annie menghela napas panjang. "Sudahlah, hancurkan kedua menara itu bersamaan, misi selesai, semua bahagia, tamat. Baiklah, saya harus undur diri di sini, semoga—"

"KALIAN TAK AKAN PERNAH MENANG, MONSTER-MONSTER JELEK!"

"Sudahlah, saya lelah," gumam Annie sebelum kembali menghilang ke dalam portal sihir.

Sepeninggal Annie, kami berempat segera berjalan menuju kerumunan pasukan bersenjata yang tengah berperang. Dari sini aku bisa mengamati dan menilai langsung ketiga rekan grupku, dari bagaimana cara mereka bersikap setelah berjalan melalui ratusan bangkai monster bercampur manusia.

Aku memang tak dapat membaca ekspresi Steele, karena wanita itu memakai topeng. Namun dari gerak tubuhnya dalam melangkah, ia tidak tampak gentar setelah melalui lautan bangkai. Untuk gadis bernama Fatha, ia langsung menghambur ke arah regu medis yang sedang merawat para prajurit yang terluka. Di sana ia meletakkan sehelai daun pada tubuh para prajurit yang terluka. Entah apa maksudnya, mungkin itu hanya semacam ritual dari tempat asalnya.

Kini aku semakin yakin kalau Steele memang benar, Mawar bukanlah petarung. Wajahnya terlihat seperti hampir menangis saat melihat lautan bangkai yang terhampar, aku bahkan sampai terpaksa mengaitkan lenganku untuk menuntunnya berjalan.

Tubuhnya mungilnya gemetar.

Kueratkan lenganku yang menggandengnya, lalu kuberbisik, "Tenanglah, tidak apa-apa, aku ada di sini dan akan melindungimu."

Walau tubuhnya masih gemetar, namun dapat kurasakan ekspresi Mawar kini lebih tenang dari sebelumnya. Ini salahku, aku seharusnya tidak membawa Mawar ikut dalam regu ini. Kalau terus seperti ini, dia hanya akan menjadi beban yang harus kutanggung.

Setibanya kami di garis depan, Kolonel Ben Dover menyambut kami di tendanya. Menurutnya perspektifnya, kami adalah bala bantuan yang dikirimkan oleh Ratu Alforea untuk memperbaharui segel Tamon Rah. Selain itu, mereka sudah mempertahankan titik tempat kedatangan kami selama 48 jam, terus bertahan dari gempuran ribuan musuh yang tak kunjung menipis.

Walau Batalion 885 dari angkatan bersenjata Alforea ini ditugaskan untuk bertahan di tempat, mereka juga diharuskan untuk bergerak mengawal sampai ke kastel di utara nantinya. Setelah menjelaskan situasi saat ini, Kolonel Ben Dover pun mulai memperkenalkan tiap-tiap kepala kompi di bawah pimpinannya.

Dari lima kompi dalam Batalion 885, Mayor Rollo Koster yang mengajukan diri untuk langsung membawa kami ke tujuan. Kami pun berangkat dengan kawalan dari tiga pleton, atau sekitar seratus lima puluh serdadu Alforea. Jangankan untuk menyusun strategi, untuk mencerna rentetan informasi yang dimuntahkan para tentara Alforea pun kami tak sempat.

"Kompi Bravo, bergerak! Lindungi para utusan Ratu!"

Kami berempat ikut berbaris menembus garis pertahanan, berusaha mengikuti derap langkah dari wajah-wajah lelah serdadu bertopi baja. Para prajurit garis depan membuka jalan untuk kami dengan hujan granat dan peluru-peluru tajam ke barisan musuh, menghancurkan apapun yang bersiap menyergap di hadapan kami.

Aku membagikan masing-masing sebuah earpiece kepada rekan-rekan satu reguku, juga memberikan generator pelindung aether milikku kepada Mawar. Piringan itu akan berguna bila suatu saat aku tak sempat melindunginya.

"Steele, Fatha, kalian maju duluan bersama Kompi Bravo, aku akan berusaha mengikuti kalian bersama Mawar!"

"Hei, siapa yang mati dan menjadikanmu manajer di sini?"

"Steele, kalau kau memiliki pengalaman di medan perang dan memiliki cukup gambaran untuk menjaga kami tetap hidup, aku tidak keberatan."

"Terlalu merepotkan, tidak jadi."

"Bagaimana kalau aku saja? Kalian harusnya memberikan kesempatan pada gadis yang lebih muda dan manis sepertiku," saran Fatha yang tiba-tiba saja melesat ke depan kami.

Gadis Musketeer itu langsung menyambut sepasang orc yang lolos dari penjagaan Kompi Bravo di depan. Dengan sebilah pedang lengkung terhunus, Fatha melompat dan berputar. Entah apa yang dilakukannya, tercipta ledakan kecil di dekat gadis itu. Kedua orc malang yang kemungkinan menyangka bahwa mereka akan mendapatkan mangsa mudah kini terpental. Sialnya lagi, kedua orc barusan terkena tinju susulan dari Steele sebelum mereka menghantam tanah.

Walau aku ingin memuji gerakan Fatha barusan, tersirat sedikit keraguan sebelum ia menyerang kedua orc barusan. Entahlah, mungkin hanya perasaanku saja, tapi gadis itu terkesan seperti enggan melukai musuh.

"Lihat kan? Aku mampu bertempur, aku juga mempunyai titel Komandan di tempat asalku, jadi biarkan aku memimpin kalian," Fatha tersenyum sambil berlari kecil mendekati kedua orc yang malang barusan, kemudian ia meletakkan sehelai daun pada tubuh mereka.

"Semoga kalian lekas sembuh," gumamnya kepada kedua orc barusan.

"Berhenti melakukan itu!" Steele menepuk bagian belakang kepala Fatha sambil berlalu.

"Hentikan kebiasaan burukmu itu!" tambahku yang juga menepuk belakang kepalanya.

"Heeeee? Jadi bagaimana, apa sekarang aku boleh memimpin?"

"Aku tak akan pernah mempercayakan nyawaku di tangan orang yang mendoakan musuhnya agar lekas sembuh!"

"Aku setuju dengan Caitlin."

Melihat Mawar yang ingin ikut memberikan suaranya, aku segera menyelanya. "Maaf, ini soal hidup dan mati di medan perang, jangan ikut komentar kecuali kau pernah mengalami situasi seperti ini sebelumnya."

Setelah memastikan kedua orc sebelumnya tak akan pernah bangun lagi, aku segera menggandeng lengan Mawar untuk menyusul Steele dan Fatha yang sudah berada jauh di depan bersama Kompi Bravo. Suara rentetan tembakan dan ledakan menjadi latar perjalanan kami, tapi sialnya aku juga harus mendengarkan protes Mawar soal kata-kataku sebelumnya. Ia tetap berpegang teguh dengan pendiriannya, bahwa berbuat baik itu tak seharusnya memandang kawan atau lawan.

Tapi jangan pernah mengira kalau pendapat Mawar salah total, malah aku juga berpikir kalau dia benar. Di manapun kita dilahirkan, selalu ada ajaran moral untuk berbuat baik tanpa pandang bulu. Begitu pula di tempat asalku, kebaikan itu tak boleh terbatasi oleh apapun. Heh, walaupun begitu, dalam situasi hidup dan mati di tengah peperangan, idealisme tersebut nilainya sudah pasti berubah menjadi tak lebih dari sebuah pepesan kosong.

"Steele, bisa tolong sampaikan ke Mayor Koster agar menungguku dan Mawar? Cahaya suar kalian tidak sampai ke tempatku, jarak pandangku jadi terlalu rendah."

Kompi Bravo bergerak terlalu cepat, aku tak bisa mengimbangi mereka selama ada Mawar di sisiku. Musuh yang lolos dari serangan Kompi Bravo kini mulai mengincarku dan Mawar. Diperparah lagi suar yang terus-menerus diluncurkan Kompi Bravo jadi terlalu jauh, kami berdua sudah hampir ditelan kegelapan malam.

"Maaf, Caitlin, Mayor Koster bilang kalau kita hampir kehabisan waktu. Kalau kalian tidak dapat menyusul, mereka akan mencoba menghancurkan dua menara itu tanpa kalian."

"Kalau begitu kau dan Fatha mundurlah sedikit, ambil posisi di antara Kompi Bravo dan kami, bantu aku untuk menghabisi musuh yang lolos dari penyisiran mereka."

"Merepotkan, tapi akan kuusahakan semampuku."

"Nona Caitlin, sebaiknya kau menggendong Bu Mawar dan segera menyusul kami. Lady Steele mungkin enggan mengakuinya, tapi di sini pun kami mulai kewalahan."

Fatha benar, aku tidak boleh mengorbankan dua anggota reguku hanya demi Mawar. Aku harus berusaha sendiri melindungi Mawar meski jarak pandangku semakin terbatas.

"Maafkan saya karena telah membebani Anda semua," lirih Mawar berucap kepadaku.

"Tak masalah, ini memang tugasku untuk melindungi orang sipil seperti kau," timpalku seraya menyikut satu makhluk berkepala banteng. Suara gemeretak tengkoraknya memastikan kalau makhluk itu tak akan pernah bangun lagi.

Kutarik lengan Mawar hingga ia berpindah ke sisi kananku, lalu kutendang kepala makhluk cebol berkulit hijau yang mendekati kami dari arah kiri. Namun belum juga si cebol terpental jauh, dua beruang besar bertanduk mendekati dari kanan. Segera kurangkul tubuh Mawar, lalu kulepas satu tembakan peluru penembus baja dari lengan kananku saat keduanya sudah ada dalam jarak tembakku.

Kekuatan tendangan dari senjataku memang cukup untuk membuatku dan Mawar terjengkang, tapi untungnya Mawar jatuh dalam pelukanku. Coba kalau ia yang jatuh lebih dulu, mungkin lantai gurun berbatu ini tak akan berbelas kasih terhadap tubuhnya yang rapuh.

Setelah menendang beberapa orc yang hendak menyerang kami, aku pun bangkit dan segera membopong Mawar. Namun belum jauh langkahku membawanya, tiba-tiba saja di radioku ramai oleh suara para serdadu Kompi Bravo.

"Terlambat, kita terlambat!"

"Semuanya bersiap untuk benturan dari serpihan bulan!"

"Kompi Bravo, dengarkan semuanya! Meskipun segelnya telah terlepas, misi kita tetap tak akan berubah! Demi Alforea!"

Tepat di antara menara kembar dan posisiku, sekitar satu kilometer di depan, benda yang sebelumnya kukira bulan kini retak. Lalu tak lama kemudian terdengar suara gemuruh yang diiringi munculnya sepasang sayap api dari kedua sisi bulan.

"Terus maju! Dorong! Hancurkan semua yang bergerak di hadapan kalian!" Suara Mayor Koster terdengar semakin putus asa, sebelum akhirnya hening datang menyelimuti.

Bulan itu pecah…

Bulan itu pecah dan mulai menyebarkan serpihan, lalu wujud sebenarnya dari si pemilik sayap api itu pun terlihat. Seekor kuda yang berukuran keterlaluan besar dan bertanduk kini sedang melayang dan mengepakkan sayap apinya.

Tamon Rah…

Akupun meletakkan Mawar di bawah, kemudian seraya memunggungi Tamon Rah aku berjongkok dan merangkul Ibu Guru muda ini. "Mawar, ikuti perintahku! Tutup mulutmu, tahan napasmu, dan pejamkan matamu!"

Dentuman-dentuman keras datang silih berganti saat serpihan-serpihan bulan itu menghantam padang gurun, badai pasir pun tercipta akibat gelombang kejut yang ditimbulkan. Terdengar pula suara teriakan para serdadu Kompi Bravo yang bercampur raungan para monster, semuanya terkena efek jatuhnya serpihan-serpihan bulan.

Lengkap sudah hingar-bingar parade kehancuran di malam terkutuk ini.

"Kau tak apa?" tanyaku yang langsung dijawab anggukan oleh Mawar, ia tampak menahan sakit saat terbatuk-batuk.

"Steele, Fatha, masuklah! Kompi Bravo, apa ada yang dapat mendengarku?" Hanya suara statis yang terdengar di radioku.

"Steele, Fatha, Mayor Koster! Siapapun jawablah!" Lagi-lagi hanya suara stasis yang terdengar.

Sialan, sepertinya badai pasir barusan mengganggu gelombang radio kami!

"Nona Caitlin!"

"Fatha, apa kau baik-baik saja? Bagaimana dengan Steele?"

"Ya, aku baik-baik saja, tapi saat ini Lady Steele masih belum sadar. Dia melindungiku dari benturan saat kami berdua terhempas badai pasir barusan."

"Lalu bagaimana dengan Mayor Koster, atau para prajurit Kompi Bravo, bagaimana keadaan mereka?"

"Aku tak tahu, kami semua terpencar ke segala arah saat serpihan bulan jatuh dan terhantam gelombang-gelombang badai pasir secara bertubi-tubi."

"Di sini Letnan Dua Mike dari Pleton 55, Mayor telah gugur! Saya ulangi Mayor Koster telah gugur! Seluruh pimpinan peleton Kompi Bravo, laporkan status kalian!"

"Letnan Adam dari Pleton 23 di sini, hanya Sersan Fanne yang tersisa bersamaku. Aku kehilangan seluruh pletonku."

"Di sini Sersan Brown dari Pleton 42, aku di sini bersama Kopral John dan beberapa prajurit. Letnan Dua Alex bersama sisa pleton kami telah gugur."

Sialan! Apa semuanya berakhir hanya sampai di sini? Aku tak cukup kuat untuk mengemban misi ini…

Aku tetap berlutut meskipun Mawar kini bangkit di hadapanku, aku masih mencoba memutar otak untuk memikirkan jalan keluar dari situasi ini. Tapi percuma, tak ada satupun solusi yang terpikirkan olehku, hanya gambaran kematian yang semakin jelas di kepalaku.

"Mawar, maafkan aku, tapi sepertinya hanya sampai di sini perjalanan kita."

Tiba-tiba aku merasakan seseorang menyentuh helmku. "Apa Anda tidak merasa sesak terus terkurung dibalik topeng baja ini?" bisik Mawar seraya melepaskan helm yang kukenakan.

Ibu Guru muda itu kemudian menyentuh daguku dan mengangkatnya hingga tatapan kami bertemu. "Menyerah itu mudah, tapi apakah Anda siap dihantui penyesalan seumur hidup Anda? Penyesalan karena tidak berjuang sampai akhir, penyesalan karena tidak mencoba, dan penyesalan karena telah mengecewakan mereka yang telah gugur dengan sia-sia."

"Mereka tidak seharusnya mati sia-sia!" kataku geram.

"Kalau begitu pastikan mereka tidak gugur dengan sia-sia," imbuh Mawar seraya mengusap pelipisku.

"Letnan Mike, tembakkan suarmu setinggi mungkin!" Aku pun memakai kembali helmku.

"Baik!"

"Seluruh Kompi Bravo yang dapat mendengarku, berkumpul di lokasi Letnan Mike sekarang!" perintahku sembari kembali membopong Mawar dan membawanya berlari menuju lokasi suar Mike diluncurkan. Puluhan suara konfirmasi pun terdengar bersahut-sahutan di radioku.

"Fatha, apa kau bisa membawa Steele ke lokasi?"

"Tidak perlu, Cat, aku sudah tak apa!"

"Yap, dan kami berdua saat ini pun sedang menuju ke sana," tambah Fatha kemudian.

Hanya sekitar empat atau lima puluh anggota Kompi Bravo yang tersisa. Mungkin kesempatan menang kami memang tipis, tapi bukan berarti kami akan duduk manis dan menunggu ajal menjemput. Tidak, kami akan berjuang sampai titik darah penghabisan.

Raut-raut wajah lelah yang sebelumnya terpancar dari para serdadu Kompi Bravo kini semakin parah, dapat kulihat pula rasa frustrasi ikut tercampur di sana. Fatha dan Steele yang baru saja tiba pun sama, pakaian mereka tercabik di sana-sini.

"Menara kristal seratus meter di utara! Kompi Bravo, ikuti aku!" Aku berlari memimpin mereka sambil membawa Mawar.

"Gelombang orc dari timur, jumlahnya ratusan!"

"Goblin dari barat, mereka bergabung dengan beruang bertanduk!"

"Ada empat troll setinggi lima meter berjaga di dekat menara! Steele, Fatha, lumpuhkan mereka! Kompi Bravo, lindungi sayap kiri dan kanan dari gelombang musuh yang datang!"

Kami berhenti sekitar tiga puluh meter dari pintu utama kastel, tepat di antara menara kembar yang berjarak dua puluh meter di kiri dan kanan kami. "Steele, Fatha, tangani dua troll yang di kanan dulu! Kompi Bravo, jangan hamburkan amunisi kalian untuk menyerang musuh yang besar, dan gunakan kepada mereka yang lebih kecil saja!"

Diiringi tembakan perlindungan dari sisa Kompi Bravo, Steele dan Fatha mulai melesat menuju dua troll di kanan. Kompi Bravo membentuk formasi lingkaran dengan Mawar berada di pusatnya, sementara itu aku sebisanya ikut menghalau musuh yang mendekati kami.

Baru saja aku menyarangkan beberapa tinjuku ke musuh yang mendekat, aku melihat tubuh Steele melayang sebelum menghantam beberapa prajurit di dekatku.

"Nona Cat, tolong ya!" seru Fatha yang berlari melewatiku, ia juga menepuk ringan bahuku.

"Hah?"

Walaupun dengan tubuh penuh luka dan topeng yang sudah retak, namun Steele masih bangkit untuk menghadapi salah satu troll target. Di sisi lain, Fatha malah menggiring troll satunya kepadaku. Gadis keparat itu menambah masalahku saja!

"Fatha, kau lindungi Mawar bersama Kompi Bravo!" tegasku seraya menghantamkan lengan kananku kepada orc naas yang mendekat. Tapi belum juga aku menyerang troll incaranku, Steele kembali terpental, dan kali ini ke arahku.

"Cat, luncurkan aku!" pinta Steele setelah aku menangkap tubuhnya barusan.

Aku pun segera memasang kuda-kuda, lalu kukaitkan jemariku untuk membentuk pijakan dari kedua telapak tanganku. Setelah mundur beberapa langkah, Steeele berlari dan menginjak kedua telapak tanganku yang kusatukan dan kujadikan pijakan. Kemudian seraya melantingkan tubuhku ke belakang, kuluncurkan Steele sekuat tenagaku.

Steele bersalto di udara sebelum membenamkan kedua telapak kakinya di wajah troll yang diincarnya, monster setinggi lima meter itu pun tumbang. Tapi tak sampai di situ saja, Steele masih menghantamkan tinju dan sikunya bertubi-tubi ke wajah troll tersebut. Ia sepertinya ingin memastikan kalau monster itu tak akan bangkit lagi.

Tidak melupakan troll kedua yang dibawa oleh Fatha, aku segera berlari menuju monster itu.  Seperti yang kuduga, troll tersebut mengayunkan lengan besarnya untuk menghantamku saat aku mendekat. Tapi reaksiku jauh lebih cepat dari monster lamban itu, aku berlutut dan melengkungkan tubuhku ke belakang demi menghindari serangan barusan. Aku segera bangkit lagi, untuk kemudian melompat dan menjatuhkan tubuhku di bawah monster itu.

Kulepaskan satu tembakan peluru penembus baja dari bawahnya hingga menembus ubun-ubun makhluk itu.

Tapi belum juga troll itu roboh, Kompi Bravo sudah memberikan teriakan peringatan yang diikuti suara dentuman bertubi-tubi dari arah selatan.

"Tamon menyerang! Semuanya berlindung!"

Bola-bola api menghujani halaman kastil, membakar siapapun tanpa ampun, baik kawan atau lawan. Beberapa bahkan sampai menghancurkan dinding kastel. Kawasan sekitar kastel yang sebelumnya gelap kini terang-benderang, kastel besar itu terbakar bagai api unggun raksasa.

"Semuanya, gunakan menara Kristal di kanan untuk berlindung!" Kali ini Mawar yang berteriak. "Lihat, menara kristal menyerap serangan bola api dari Tamon!"

Benar, meskipun kastel dipenuhi lubang dan puluhan kawah tercipta di halaman kastel, kedua menara kristal tak tergores sedikit pun. Kompi Bravo bersama Mawar pun segera berlari menuju menara kanan. Suara rentetan tembakan tak ada putusnya terdengar, para serdadu itu masih memiliki semangat juang.

Tapi untuk berapa lama?

"Fatha, Steele, bergabunglah dengan Kompi Bravo!"

"Sudah sedari tadi."

"Bagaimana denganmu, Cat?"

"Aku akan coba menghabisi dua troll di menara kiri."

"Kau gila, mana mungkin kau melakukannya sendirian! Aku akan ikut denganmu!"

"Steele, kau bantu Kompi Bravo untuk menyerang menara kanan, tapi jangan dihancurkan dulu tanpa aba-aba dariku!"

"Tamon mulai mendekat dari selatan, ia akan menyerang lagi!"

Sial, kalau mereka terus berusaha mengimbangi lambatnya lari ibu guru muda itu, mereka semua tak akan sempat berlindung di balik menara!

"Terus lari! Tinggalkan saja Mawar, selamatkan diri kalian dulu!"

Benar saja, dua di antara sekian banyak bola api yang dikeluarkan Tamon menuju arah ibu guru muda itu, namun tak satupun serdadu yang mau meninggalkannya. Walau sia-sia, mereka semua terus berusaha menghamburkan peluru ke arah bola api tersebut. Padahal aku sendirian bisa menyelamatkan Mawar, tapi kalau begini bisa-bisa Kompi Bravo musnah seluruhnya.

Tepat sebelum dua bola api tersebut melaluiku, secepat mungkin aku mengaktifkan perangkat manipulator gravitasi di zirah lengan kananku. Awan pasir pun tercipta di sekelilingku, puluhan monster didekatku juga ikut tertarik. Memang gerakan dua bola api itu jadi terhenti, tapi kini ada masalah baru, karena keduanya tertarik langsung ke arahku.

Tak ada pilihan lain, saat ini aku harus meningkatkan daya zirah milikku ini sampai melampaui maksimum.

Bersamaan dengan terciptanya ledakan yang memusnahkan puluhan monster yang tertarik gravitasi milikku, Steele dan Mawar bersamaan memanggil namaku. Mungkin mereka berdua mengira kalau aku masih berada di antara ledakan barusan. Tapi kenyataannya aku sudah berada cukup jauh dari tempat barusan, bahkan kini aku sudah hampir tiba di menara kristal sebelah kiri.

"Kompi Bravo, Steele, Fatha, kalian punya waktu lima belas detik untuk menghancurkan menara kanan!"

"Mustahil, Cat, kami bahkan masih kesulitan mendekati menaranya! Terlalu banyak musuh di sini! Ditambah lagi menara ini menembakkan sesuatu jika kami terlalu dekat!"

Sialan! Waktu terus berjalan, dan aku akan terbunuh kalau sampai zirah milikku mati setelah mode overdrive ini selesai. Sambil terus bergerak dan menghantamkan tinju juga tendanganku dengan liar, aku terus berganti sasaran antara menara Kristal dan para monster di sekitarnya. Aku bahkan memilih untuk terus menghindari tembakan dari menara dan kedua troll penjaga demi menghemat waktu.

Sedikit demi sedikit, akhirnya dasar menara kristal targetku pun retak dan nyaris hancur.

"Bagaimana menara kanan? Waktu kalian lima detik lagi!"

"Cat, Kompi Bravo baru selesai menanamkan peledak, bersiaplah!"

"Kalian semua mundurlah sampai jarak yang aman, lalu siap-siap untuk menekan pemicunya saat hitunganku mencapai satu!"

Tetapi aku lengah. Seharusnya aku lebih berhati-hati lagi. Belum sempat aku menghitung mundur, punggungku telak terkena hantaman dari lengan salah satu troll hingga terpelanting. Waktuku pun habis.

Bagai boneka kayu yang rusak, tubuhku tergeletak begitu saja di dekat dasar menara. Mode overdrive zirahku telah selesai, dan kini seluruh persendian zirah ini terkunci sampai proses pendinginan selesai selama satu menit. Dengan kata lain, aku tak akan dapat bergerak selama satu menit. Tapi itu masih belum semuanya, brengseknya lagi sistem persenjataanku pun masih akan terkunci selama tiga menit setelah proses pendinginan selesai.

Total empat menit, empat menit aku harus berdoa agar tidak terbunuh.

Heh, tapi sepertinya doaku tak akan terkabul, karena saat ini ratusan monster sudah mengepung tubuhku bagaikan lalat-lalat yang mengerumuni bangkai. Di seberang halaman kastel ini pun keadaannya tak jauh berbeda, mereka juga sedang berjuang mati-matian untuk dapat terus bertahan hidup.

Aku masih bisa mendengar suara mereka melalui radioku.

"Hancurkan saja menaranya sekarang!"

"Jangan dulu, tunggu aba-aba dari Caitlin!"

"Tapi Letnan, amunisi kita sudah semakin menipis, dan para monster terkutuk ini tak ada habis-habisnya juga! Lihatlah waita bertopeng dan gadis musketeer itu, mereka juga sudah hampir mati kelelahan!"

"Aku masih bisa bertarung, apa kau mau mencobanya?"

"Siapa yang kau bilang hampir mati? Beraninya kau bilang gadis semanis aku hampir mati!"

Berikutnya aku kehilangan sinyal radio akibat tendangan keras dari salah satu troll, tubuhku yang masih tak dapat bergerak kini terpental dan terguling di lantai batu halaman kastel sebelum menghantam puluhan monster di sana. Rasanya tubuhku seperti baru saja terlindas traktor, aku juga tak tahu lagi sudah berapa tulang di tubuhku yang patah.

Tak puas dengan serangan barusan, troll satu lagi mengangkat tubuhku lalu membantingnya. Kali ini rasa sakitnya berkali lipat dari sebelumnya, aku bahkan sampai tak dapat mengeluarkan suara sedikitpun. Tendangan demi tendangan, pukulan demi pukulan, aku hanya bisa pasrah menerimanya. Sampai akhirnya aku mendarat tepat di dasar menara kristal, setelah dijadikan mainan lempar oleh dua troll penjaga.

Zirahku sudah aktif kembali, dan tinggal sebentar lagi sampai senjataku juga kembali bisa digunakan. Masalahnya sekarang tubuhku yang sulit digerakan. Aku yakin beberapa rusukku patah atau retak, lengan kiriku juga patah, kaki kananku remuk, belum lagi bahu kananku yang juga mengalami dislokasi.

Selesailah sudah…

Sementara itu kulihat Tamon Rah melayang semakin dekat dengan kastel, serangannya pun semakin liar. Aku yakin Kompi Bravo dan rekan-rekanku masih main kucing-kucingan di sana, karena sejauh ini mereka masih terus menjadikan menara tersebut sebagai perisai dari serangan Tamon.

"Nona Caitlin, saya harap Anda dapat mendengar suara saya."

Suara ibu guru muda itu terdengar jelas di telingaku, namun aku tak dapat menjawabnya saat ini. Sepertinya rahang bawahku retak, rasanya seperti ditikam ketika aku mencoba untuk bicara. Hanya erangan kecil yang berhasil lolos dari mulutku.

"Kami tidak akan membiarkan Anda berjuang sendirian! Saat ini saya, Lady Steele, Fatha, dan para anggota Kompi Bravo sedang menuju ke sana. Tunggulah!"

Bodoh! Kalian jangan menyeberang ke menara ini, kalian tidak akan bisa apa-apa di tempat terbuka! Tetap di sana dan terus gunakan menara itu sebagai perisai dari serangan Tamon!

Dua troll penjaga yang sebelumnya kembali mendekatiku.

"Semuanya tolong dengarkanlah saya! Manusia memang rapuh, kita tidak berarti bila dibandingkan dengan makhluk seperti Tamon Rah. Keberadaan kita bagaikan sebutir pasir di alam semesta ini, kecil dan tak akan dapat membawa pengaruh yang berarti di manapun. Tetapi itu hanya bila kita melakukan segala sesuatunya seorang diri, sebutir pasir pun dapat berubah menjadi badai bila ia tidak sendirian. Janganlah mencoba untuk berjuang sendirian, dan janganlah berjuang hanya demi diri sendiri. Berjuanglah juga demi tanah air kalian, demi rumah kalian, demi keluarga kalian. Lindungi semua yang berarti bagi kalian."

Satu dari dua troll yang mendekat kini mulai menggenggam tubuhku, ia mengangkatku tinggi di atas kepalanya. Suara gemeretak mulai terdengar dari tubuhku saat troll ini menguatkan genggamannya, entah itu suara baju zirahku atau tulang-tulangku yang semakin remuk.

Satu hal yang pasti, aku masih belum mau menyerah di sini! Kata-kata Mawar barusan sepertinya telah membangkitkan sedikit keinginanku untuk bertahan hidup.

Kuarahkan lengan kananku ke bawah, tepat ke kepala troll keparat yang ingin membunuhku. Dentuman keras yang diikuti gelombang kejut dari railgun milikku menghancurkan tubuh troll yang mengangkatku, menyisakan hanya kepalan tangannya yang masih melingkar di tubuhku saat aku terlempar sepuluh meter vertikal ke udara.

Dari ketinggian sekitar delapan belas meter di atas tanah, aku dapat melihat jelas kalau Kompi Bravo dan rekan-rekanku masih terus bertempur di dekat menara kanan. Kurasa kini mereka juga dapat melihatku, dan sialnya begitu juga dengan Tamon. Kuda bongsor itu sepertinya baru saja menoleh ke arahku.

Lalu aku pun kembali ditarik oleh gravitasi…

"Sekarang… hancurkan… menaranya… sekarang!" Aku menahan rasa sakit di rahangku yang serasa mau copot, nyaris saja aku kehilangan kesadaranku gara-gara itu.

Semoga mereka mendengarnya…

Sebelum tubuhku kembali menyentuh tanah, kutembakkan peluru railgun terakhirku ke arah timur, arah menara kristal di bagian kanan halaman kastil. Percikan darah bercampur serpihan zirahku bertebaran, lengan kananku hancur berhamburan bersamaan dengan tembakan railgun terakhir barusan. Walaupun aku sadar betul kalau tembakanku tak akan mengenai menara itu, tetap saja ada sedikit rasa kecewa dalam diriku. Tapi memang bukan itu tujuanku, sasaranku yang sebenarnya adalah menara yang saat ini sedang kupunggungi.

Dentuman keras terdengar dari dasar menara bagian timur, bersamaan dengan tubuhku yang terlempar menembus dan menghancurkan menara kristal di belakangku. Mereka mendengarku, mereka berhasil menghancurkan menara yang satunya. Aku sempat menyaksikan runtuhnya kedua menara kristal itu dari udara, sebelum akhirnya tubuhku kembali terhempas ke tanah.

Dari tempatku terbaring, aku juga menyaksikan saat-saat terakhir kuda bongsor itu sebelum ia menghilang ditelan semacam diagram sihir berukuran besar. Semuanya telah berakhir, misiku selesai.

Kalau begini, apakah aku sudah berada selangkah lebih dekat dengan apa yang kuinginkan?

Ah… kenapa kakiku bisa tergeletak di sebelah kepalaku?

***

"Jangan khawatir, Cat, Annie bilang kau akan kembali utuh setelah kita kembali ke Alforea."

"Lady Steele, sepertinya saya tidak dapat menemukan tangan kanan milik nona Caitlin."

"Lupakan saja, sepertinya lengan kanannya hancur. Hei, Fatha, coba kau pungut kaki kirinya!"

"Eh? Kenapa harus aku?"

"Karena aku sudah membawa tubuhnya, dan aku tidak tega meminta tolong ke Ibu Mawar. Sejak kita menemukan Cat, atau apa yang tersisa darinya, Ibu Mawar sudah dua kali muntah."

"Maafkan saya…"

***

Written by Zoelkarnaen

21 comments:

  1. Ini itungannya pass atau ngga ya, kalau karakter sendiri di akhir ga survive?

    Mengabaikan endingnya yang beneran habis"an, seperti biasa bang Zoel beneran piawai kalo soal mainan urgensi dari situasi. DI sini perangnya kerasa banget, ribut" di mana", dan hebatnya sering pula ada dialog yang jelas siapa yang ngomong tanpa perlu refer nama

    Sekalipun seperti biasa bu Mawar sulit dikasih porsi battle, tapi penggambarannya buat moral anchor di sini lumayan bagus buat saya. Kalau ada rivalry antara Caitlin sama Steele yang lebih dieksplor mungkin lebih bagus lagi

    P.S.: Waaai ada cameo Dyna #plak

    Dari saya 8

    [OC : Dyna Might]

    ReplyDelete
  2. Adegan marching prajuritnya bener-bener menegangkan. Sayang para prajurit habis setelah kedatangan Tamon Rah. Karena sejujurnya setelah melihat pembukaan itu saya mengharap detail yang terjadi adalah skala perang antara party + prajurit lawan Tamon Rah + monster-monster.

    Sejauh ini... bukannya karakterisasi Caitlin tak bisa dimengerti si, hanya saja saya sulit mengkomprehensinya, dia peduli banget sama Bu Mawar. Dan Bu Mawar nya terasa jadi beban gitu. Yah walau memang ada part di mana kehadiran bu guru memberi arti dengan meningkatkan moril orang-orang.

    Nilai : 7

    OC aye : Zhaahir

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wow, all-women team :p Kecuali si Fatha, kayaknya emang udah tematik aja tim Caitlin ini :p you-know-what, lah. Coba bawanya Relima Krukru, mungkin gak perlu terlalu sampai overdrive - mungkin, karena amunisi disuplai terus :p

      Kalau si Vajra tadinya juga mau pakai sistem pagar betis utk formasi pasukan. Tapi begitu Tamon Rah muncul, pasukan jadi disebar untuk menangkal monster di sayap kiri & kanan. Vajra bantu di sayap kiri, Wildan di sayap kanan, heheh :p

      Konsistensi pada spesifikasi menara kristal yang gak terlalu mudah dihancurkan dan ancaman nyata Tamon Rah dan gelombang monster terus-menerus itu saya paling suka. Oke, pada akhirnya OC utama "mati" - walau itu kelihatan wajar dan alami, tapi apa boleh di aturannya? Bukankah aturan mainnya OC sendiri harus survive? Entahlah, di lapakku si Vajra kan berkorban dan hampir mati, tapi akhirnya survive juga di detik terakhir. :p

      Salam dari saya, yang bikin fansketchnya Caitlin :3
      Nilai: 9
      Author: Andry Chang
      OC: Vajra (Raditya Damian)

      Delete
  3. Terima kasih banyak untuk semua yang sudah datang. Tapi maaf, dari kutipan aturan di bawah ini, tidak tertulis dengan jelas kalau saya diharuskan untuk tetap selamat setelah misi selesai.

    4. Misi kalian adalah bertahan hidup dari serbuan monster yang tidak ada habisnya, dan menyegel kembali Tamon Rah dengan cara menghancurkan dua menara kristal yang berisi segel Tamon Rah. Kedua menara tersebut berada jauh di arah utara, di depan sebuah kastil besar yang sudah hancur dan dijaga oleh ratusan monster yang tidak ada habisnya. Kedua menara ini berada di sayap kanan dan kiri kastil dan harus dihancurkan secara bersamaan. Apabila tidak dihancurkan secara bersamaan, maka menara tersebut akan utuh kembali seperti sedia kala.

    Dan saya berhasil bertahan hidup dari serbuan monster yang tidak ada habisnya, dan menyegel kembali Tamon Rah dengan cara menghancurkan dua menara kristal yang berisi segel Tamon Rah. Misi saya selesai. Tidak tertulis harus dalam keadaan apa saya saat kembali ke Alforea.

    Sincerely,

    Supreme Commander of Midgardian Starfleet, Duchess of Ostrogoth, Caitlin Alsace

    ReplyDelete
    Replies
    1. Haha, makanya urusan "bertahan-hidup" atau nggak itu nggak ngurangin atau menambah skor dari saya toh. Creative, I must say :p - Vajra sez hi :3

      Delete
  4. Sepertinya ngga ada komplain dari saya, keadaan perang sangat jelas tergambarkan. Enough said. Kalaupun panitia disini menganulir nilai yang saya berikan karena tidak mereview cerita ini, maka mungkin Ibu Mawar kurang mendapatkan porsi yang lebih banyak.

    Nilai 9

    - James Allard Jauhari

    ReplyDelete
  5. Po - Fatanir

    Minusnya, Bu Mawar pas awal2 mah udah keren tapi pas sepanjang perang jadi kedodoran. Steelenya jg kurang ganas kerasa. Dan Caitlin sendiri...kyknya Mas Zoel masih sedikit ragu ini kepribadiannya mau dijadiin kyk gmn.

    Tapi plusnya ya suasana gentingnya, pergerakan dan komunikasi antar pasukan, sama fluiditas pertempuran fisik kerasa bgt. Konflik prinsip juga bisa digambarkan dengan ringkas tapi ngena.

    Nilai 8

    ReplyDelete
  6. Ragu soal kepribadian ya? Mungkin bisa dibilang kalau saya ini tipe orang yang akan menyelesaikan misi sesulit apapun. Lalu meskipun dalam hati mengeluh, saya tipe yang akan melindungi warga sipil atau VIP (sebrengsek apapun mereka).

    Tapi kalau memang saya terlihat seperti sedang mengalami krisis identitas, mungkin itu bawaan dari penulisnya.

    Terima kasih sudah mampir.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hoi, siapa yang kau bilang sedang mengalami krisis identitas?

      Delete
  7. Apakah boleh karakternya mati disaat yang sama dengan hancurnya menara?

    Eniwei, keadaan perangnya benar benar ditunjukkan. Saya suka awalnya dan juga agak kecewa Bu Mawar cuman jadi semacam pemandu sorak di belakang, meski tidak dipungkiri dia kurang lebih jadi sumber motivasi di cerita ini.

    9 dari saya

    OC: Lexia Gradlouis

    ReplyDelete
  8. Oh dang.

    Pengorbanan karakter yang luar biasa.

    Ini menutupi eksplorasi karakter yang kurang. Bumbu actionnya sangat terasa kuat di sini.

    Can't say much because... ya, aksinya sudah bam bam bam dan twist ceritanya sangat menggigit

    9/10 for pure action.

    Salam hangat dari Enryuumaru/Zarid Al-Farabi

    ReplyDelete
  9. sepertinya bang zoel sudah terbiasa dengan cerita-cerita yang mengangkat tema perang, soalnya teratur dan terkendali sekali saat membuat suasana perang, dialog-dialog terucap saat perperangan pun terlihat jelas.

    dan bu mawar di sini nyaris tak dapat porsi banyak selain menjadi moral builder, tapi sebagai posisi itulah bu mawar jadi salah peran penting dalam cerita ini. meskipun akhirnya tubuh caitlin tercerai berai :`(

    nilai: 9

    err kalau berkenan mampir ke enteri saya yah, di tunggu kritiknya di enteri 40.

    KHANZA MAHESA SWARTIKA

    ReplyDelete
  10. Kyaahn, ada aku muncul di sini, dan tampak keren~~ #happy

    Urusan komen kuserahkan ke Om Hewan aja, deh

    ReplyDelete
    Replies
    1. -_-

      Oke, seperti yang saya katakan kemarin. Entri Caitlin ini kurangnya adalah di kesinambungan aksi dan greget dari si Caitlin-nya sendiri. Karena mesti mempimpin regu, juga sejumlah pasukan besar, maka Caitlin jadi kurang bisa tampil sememukau Yvika di BoR4 dalam duel melawan banyak orang. Intensitasnya kurang karena fokusnya terpecah.

      Namun bagian penghancuran menaranya sangat oke. Benar-benar terasa perjuangannya di situ, sampai tubuh mesti hancur lebur segala.

      POIN 8

      OC: Kusumawardani, S.Pd.

      Delete
  11. Hello bang Zoel.
    Hello cat

    Saya suka gaya bahasa bang Zoel yang buat saya nikmatin ceritanya. terutama buat menara kristal sama suasana perang di gurun.
    Dan kedudukan Cat yang di dunia aslinya komandan perang digambarkan dengan bagus disini. Strategi penghancuran kristalnya juga bagus

    Titip 8 dulu ya bang
    Karena Bu Mawar kurang porsi battle u_u


    Kazuki Tsukishiro

    ReplyDelete
    Replies
    1. Eh, baca komen2nya

      ga masalah kok kalau Cat badannya hancur setelah ngehancurin menara. Yang penting ga mati sebelum menaranya hancur

      kemaren sempet nanya sama si Alma soalnya kazuki juga kehabisan tenaga pas habis ngehancurin menara

      Delete
  12. Hai Nona Cat.. Udah dibilang panggil aku Tata bukan Fatha huh.. Ngomong-ngomong, katanya di semesta ini kamu hancur lebur ya? Uhh.. Untungnya Tamon YME ngebolehin kamu hidup lagi kedepannya..

    Soal entry ini. Uh.. Tata suka banget sama aksi intensif dan detil marching yang ditawarkan. Kayaknya Tata bakal ngabaikan hal-hal macam ini. Padahal ini sesuatu yang membangun banget..

    Ehh.. Ada Tata juga di semesta ini. Hai Tata..

    Tata [2] : Hai juga mbac.. :3

    Ahh.. saya gak punya poin yang saya benci dari sini.. soal minus Bu Mawar.. mungkin dia cuma jaga [kemuliaan]nya. jadi saya biarin..

    Buat Nona Cat.. Tata beri 10..

    Tata pulang dulu ya. by Tata yang dari sini..

    Tata [2]: baii... nanti main lagi..


    Fath'a Lir

    ReplyDelete
  13. Saya kasihan sama si gadis pelayan yang dicueki. Tapi humornya dapat. Adegan pertarungannya, seperti biasa, intens. Saya merasakan kehadiran karakter buatan Om Zoel di BoR 4 lalu di sini. Mungkin itu memang gaya menulisnya Om Zoel, ya?

    Dari teknik kepenulisan dan lain sebagainya sudah oke.

    Nilai akhir 8

    [ OC: Geiger S.]

    ReplyDelete
  14. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  15. WOOOOHHH srsly i got a chill when read. goddamn great >.<
    sayang di bagian awal pas baru datang berasa hambar banget, skim jadinya...
    tapi semakin ke belakang semakin intens dan bikin saya scroll ke atas dan baca ulang lagi.
    narasinya juga luar biasa apik. enak dibaca dan flow gitu aja.

    ah saya gabisa banyak komentar, langsung saja~

    final verdict!
    ===
    Am i enjoy it? (5/5)

    Is this excite me? (5/5)

    Am i skim some part? (-1/-3)

    Extra point (1/1)

    total score: 9/10

    salam~

    Avius Solitarus

    ReplyDelete