17.5.15

[PRELIMINARY] KII - KEMATIAN KII


[PRELIMINARY] KII -"KEMATIAN KII"
Penulis: [.Re]

PROLOGUE


Kii duduk bersimpuh menatap surat yang tergeletak di hadapannya. Nyala api lilin bergoyang menyinari sepucuk surat beramplop putih bertuliskan "Undangan Battle of Realms". Goyang lilin itu sama seperti kondisi Kii saat ini. Gundah. Ia tahu, permasalahan sebenarnya bukanlah berada pada surat undangan turnamen. Ia mendapat banyak sekali surat tantangan dan surat undangan. Tapi kali ini lain ceritanya.


Kii menatap dirinya melalui cermin di hadapannya. Rambutnya yang separuh beruban sesekali berkilau tertimpa cahaya lilin. Ia sadar umur telah mengubah penampilannya.


Kii menengok dinding di sisi kanannya. Ribu goresan pada dinding batu itu menjadi pertanda waktu yang telah dihabiskannya. Dan saat ini goresannya mencapai 10951 (setelah dihitung ulang olehnya). 30 tahun. Umur 30 bisa jadi umur prima bagi manusia tapi tidak untuk Kii. Ia berada di perbatasan, antara mundur atau maju. Hanya tinggal 10 tahun sebelum kiamat kecil pasti membawanya keluar dunia.



Andai manusia tidak memiliki batas waktu maka ia pasti akan mudah memilih. Tiada beban dan pantangan. Tapi saat segalanya dibatasi oleh nominal maka beban bertambah. Begitupun bila beban emosi datang menggelayut.



Kii menengok ke sisi kirinya. Di samping kakinya tertidur seorang gadis berambut hitam panjang. ia memeluk sebuah pedang panjang yang telah patah. Sesekali gadis itu melenguh dan beringsut tanpa terbangun. Kilah gelisahnya terputus begitu kepalanya menyentuh paha Kii. Pun gadis itu menjadi tersenyum senang begitu tangan kekar Kii membelai rambutnya.


Lirmeia. Biasa dipanggil Meia oleh Kii. Tunangan Kii sedari kecil.


Kii mengangkat tangannya dari rambut Meia. Setelah tangan itu terangkat, mendadak Meia mengigau  
"Kii..."


Kii melihat tetes air mata turun dari mata tertutup gadis itu. Dan ia pun sudah pernah melihatnya dalam keadaan terbuka. Keduanya sama saja: menyakitkan.


Kii menyentuh jemari gadis itu, mengangkatnya perlahan dan memandanginya sebentar. Ia tak berharap gadis itu terbangun. Perlahan ia menghitung dengan lembut. Bila Meia tidak tebangun dalam tujuh hitungan maka gadis itu dipastikan tidur terlelap.  


Setelah tujuh hitungan, Kii mengangkat menghirup aroma punggung tangan gadis itu dengan tenang. Ia menutup matanya dengan khidmat, menikmati resapnya kepedihan, kegembiraan dan kegetiran secara bersamaan. Berada di antara dua pilihan memang sulit.


Kii sadar ia hanya butuh satu ha:  Resolusi Siap Mati.



***


Paginya. Matahari yang cerah di pagi hari seolah membuat napas siapapun lepas lega. Meia pergi mengantar Kii ke halaman depan Balai Restorasi Pedang. Gadis itu berwajah muram. Ekspresinya seakan membuat kulit putihnya kusam, kontras dengan suasana yang seharusnya cerah.


Gadis itu mengamit tangan Kii dan tidak melepaskannya selama berjalan. Sebelum sampai di gerbang depan, Meia mendadak berdiri merintangi jalan. Mata hitamnya menatap lurus pada Kii.


"Apa kami tidak bisa menghentikanmu?" tanya Meia.


Kii menggeleng pendek.


"Apa aku... apa aku tidak bisa menghentikanmu?" ulang Meia. Getar suaranya nyaris terdengar parau. Belum lagi bibir gadis itu tergetar.  


Kii balas menatap Meia. Gadis itu dibuatnya memalingkan wajah dengan roman sendu. "Tak perlu lagi kamu mengatakannya..." balas Meia. "Bila bagimu pedang adalah jalan yang kamu yakini, maka jalanilah," lanjut Meia dengan suara bergetar. Mengucap hal yang sama setiap berpisah tidaklah mengurangi makna kehilangan yang terjerat.


Kii balas mengusap rambut Meia. Gadis itu terdiam sejenak sebelum tangannya menepis lembut jemari yang dirindukannya. "Jangan bujuk aku dengan kelembutan. Aku... aku tidak ingin..." Meia terdiam sejenak sebelum akhirnya kembali melanjutkan "Aku hanya ingin kamu kembali dengan selamat walau hanya tersisa satu hari sebelum ajal."


Kii mengangguk pendek. Ia memberikan senyum tipis sebelum berbalik badan. Ia tahu, setelah tiga langkah pasti Meia terduduk. Ia juga tahu, lima langkah setelahnya gadis itu akan mulai menitikkan air mata. Dan setelah sepuluh langkah, setelah punggungnya hilang tertelan tangga turun, Meia pasti akan menangis keras. Yang bisa Kii lakukan hanyalah tetap berjalan walau tiga puluh langkah setelahnya Meia akan mengejar dan meraung karena tak bisa keluar dari gerbang penuh segel.


Itulah nasib Meia sebagai "Perawan Pedang". Hanya dapat menunggu kedatangan kembali pedang yang telah patah dan menggantinya dengan harapan yang patah akan kembali, setidaknya dalam kondisi bernyawa.



***


"Sudah melakukan salam perpisahan?"


Kii mengangguk pada seorang kakek tua yang berdiri di pintu gerbang "Manunggal Pedang". Di tangan kakek tua tersebut tergenggam dua buah pedang. Satu panjang dan pendek.


"Lima puluh tebasan. Bukan jumlah yang bagus untuk seorang pemilik aliran Pemecah Pedang berumur tiga puluh tahun. Apa memang mencapai sepuluh tebasan sesusah itu?"


Kii hanya tersenyum tipis. Senyum tipis itu membuat si kakek menaikkan alis dan nada suaranya.


"Kau sudah membuang hidupmu. Padahal di umur dua puluh kau sudah bisa mendapat empat puluh lima tebasan. Apa kau berniat membuat Meia menunggu, heh?"


Kii mengerenyitkan alisnya.


"Tidak heh? Kalau begitu ini adalah perjalanan terakhir untukmu. Bila kau tidak bisa kembali minimal telah mematahkan sepuluh pedang setelah turnamen itu, maka nikahilah Meia. Sudah saatnya aliran kita mendapat pewaris," dengus sang kakek seraya melempar kedua pedang di tangannya. Kii menangkap kedua pedang tersebut dengan satu tangan.


"Tidak ada lagi masamu bermain-main. Hidupmu hanya seumur jagung di dunia ini. Sadarilah itu," dengus sang kakek saat melihat wajah Kii tidak berubah sama sekali setelah diceramahi.



Kii menghaturkan hormat dan beranjak pergi. Ia tahu kalimat pedas itu tak lebih dari petuah yang selalu diutarakan setiap kepergian seorang pewaris aliran.


Kii memasuki Balai Seribu Pedang. Sebuah batu besar bertuliskan namanya tegak di tengah ruangan. Pada batu tersebut tertanam empat puluh sembilan pedang. Di sekeliling batu miliknya terbentuk lingkaran batu-batu besar lainnya.


Kii berjalan menuju  salah satu batu yang tertanam tujuh puluh pedang. Untaian puji tertuang di tengah batu tersebut.


"Dia yang mencapai langit ke tujuh puluh
Bersamanya pedang menyatu membunuh
Setiap tebasan tegas merasuk pembuluh
Dialah Nuh, sang maha  Pembunuh."


Kii mengusap nama Nuh yang tertera di akhir puisi. "Ayah..." ujarnya berat. "Jalanmu dan jalanku berbeda. Kau mendapat apa yang kau cari dari jumlah. Aku... aku tahu apa yang kucari bukan berada di jalanmu. Pedangmu dan pedangku berbeda," lanjut Kii seraya mengambil surat undangan. Ia tidak menunda untuk melempar surat itu ke udara.


"Muncul!" teriaknya lantang. Perintah tersebut membuat surat tersebut terobek oleh angin keras dan memunculkan sesosok gadis mungil seukuran jempol bersayap kupu-kupu.


"Aha, anda telah menjalankan perintah surat ini dengan baik. Anda memunculkanku sendirian. Saya rasa kita tidak perlu berkenalan karena kita tidak akan bertemu lagi apapun keputusan anda," cerocosnya.  


Kii mengangkat pedangnya. Mata gadis mungil tersebut berbinar. "Aha, anda telah memilih. Kalau begitu, lakukan seperti yang diperintahkan," tutup gadis itu seraya menutup matanya.


Kii menggerakkan pedangnya. Ia telah memilih. Jalan menuju kesempurnaan pedang akan berada dekat dengan kematian.


***


Teleportasi. Bukan hal yang mengejutkan bagi Kii. Ia sudah sering mendapati bagaimana para Mentalist di dunianya berpindah tempat dengan sekedipan mata. Tapi ia tahu mereka harus mengucap Mantra dan bukan dengan membelah sosok makhluk kecil. Dan ia tahu tidak pernah ada Fathia untuk ritual semacam itu –kecuali bila mereka ingin dihukum oleh Sanctia. Berarti pengundangnya berada di antara dua kubu: Kaum Kafir atau dari dunia lain.


Kii memandang sekelilingnya. Suasana tempat ini berbeda. Udaranya terlalu tenang untuk ukuran dunianya. Walau ia melihat kumpulan makhluk dan manusia bersenjata tetap saja atmosfer mereka bukan layaknya penghuni dunia penuh peperangan –hanya sebagian lebih tepatnya. Setidaknya Kii menyadari mereka yang ada di sana memiliki ketangguhan yang rata-rata berkisar di antara 20-30 tebasan.


Seorang gadis muda muncul di atas balkon. Ia mengenakan gaun panjang berwarna putih yang padu indah berkibar saat ia bergerak. Mahkota perak di atas kepalanya tampak berkilau walau minim cahaya. Boleh disebut bahwa gadis ini memiliki kharisma tertentu –yang bahkan dibuktikan dengan puji-pujian dari pemujanya saat ia muncul.


 Ia tidak mengenalkan dirinya dan langsung saja  menyebutkan selamat datang di lokasi saat ini: Aflorea.


Setelah mengucapkan perkenalan, gadis itu melanjutkan 'acara' dengan pertanyaan dan pernyataan. Bagian pertanyaan  berintikan pengetahuan hadirin/hadirat/makhluk gaib akan situasi saat ini. Yang berujung pada pernyataan bahwa: Surat undangan hanya berisi satu kalimat tanpa instruksi atau penjelasan apapun.


  
Jelaslah Kii terganggu mendengar pernyataan nona barusan. Tidak ada instruksi? Tapi ia justru mendapatkannya saat pertama kali mendapat undangan tersebut. Yah, dari sepuluh surat undangan (tujuh di antaranya permintaan pembunuhan gelap), hanya surat beramplop putih biasa itulah yang memiliki instruksi paling panjang: 7 halaman lebih tepatnya –layaknya lembar-lembar surat cinta yang sengaja diletakkan di luar amplop. Dan instruksi terakhir justru mengharuskannya untuk menelan habis seluruh lembaran tersebut.


Kii tidak dapat menebak apa yang diinginkan dari surat tersebut. Ia hanya yakin tujuan akhir surat itu mengundang petarung. Bagi Kii, itu lebih dari cukup. Ia dapat mencium aroma pencari kematian, baik yang siap mati di medan perang atau pecinta tegangnya membunuh.


Kii tidak mendengar kelanjutan cerita. Matanya sibuk menilai peserta satu persatu. Sampai akhirnya ia menemukan sesosok yang mengganggu matanya: seorang pemegang perisai. Perisai mengingatkannya akan kelas Paladin di tempat tinggalnya. Kelas militer yang dianggap paling mengesalkan karena pertahanan serba alot. Bagi Kii, mereka adalah tempat menebas terbaik. Pedang melawan perisai, sebuah takdir yang selalu kontras. Bisa bersebrangan atau bersandaran.


 "Apa saudara punya urusan denganku?" tanya sang pemilik perisai dengan suara yang dalam dan tegas.  Pemuda besar dengan rambut cepak itu menurut Kii kurang lebih setara dengan ¾ tombak lebih satu lengan. Tingginya dan postur badannya yang tegak mengundang kharisma tersendiri belum lagi pandangan tajamnya mengisyaratkan pengalaman bertempur  yang mapan. Lawan yang menarik bagi Kii. 



Kii mencabut pedangnya. Otomatis pemilik perisai itu mengerenyitkan alis. "Apa saudara hendak bergabung denganku?"


Bergabung? Kii mengerenyitkan alis. "Memangnya saudara tidak dengar sabda nona di atas? Seluruh makhluk diminta untuk membuat tim antara dua sampai empat orang."


Tim. Kata itu agak asing bagi Kii.


"Aku ingin mengukur ketahanan perisaimu," Tantang Kii. Pria itu sepertinya merasa ia sedang diuji untuk dijadikan teman satu tim.


"Silakan."


Pria itu melepas perisainya dari punggung dan menggenggamnya dengan erat di tangan kanan. Menarik. Bagi Kii menggunakan perisai di tangan dominan mirip dengan Paladin tipe defensif total. Sub Kelas Paladin yang paling digemarinya sebagai lawan.


Kii menebas! Dentang logam beradu keras. Tak dinyana, pedangnya bergetar keras dan membuat tangannya terpental.


"Bagaimana penilaian anda?" tanya pria tersebut pada Kii, dengan senyum yang lebar.


"Kuat. Kemungkinan dua puluh tebasan lagi baru terbelah."


Pria tersebut mengerenyitkan keningnya. Ia "Aku harap saudara tidak menganggap remeh perisai ini."


"Itu pujian," balas Kii seraya menyarungkan kembali pedangnya.



"Yak, waktunya untuk mencari teman hidup telah berakhir. Kalian akan bertamasya bersama untuk ujian pertama~" ujar gadis di atas balkon. Kii melirik sekeliling, tampak sudah bahwa khalayak telah terpisah  menjadi kelompok kecil berisikan 2-4 orang. Dan sekarang dirinya berada paling dekat dengan pria berperisai ini. Ia menduga akan ada sesuatu yang melibatkan dirinya dengan si pria pemilik perisai.



Benarlah dugaan Kii. Tiba-tiba saja dirinya dipindahtempatkan lagi. sekarang mereka dipindahkan ke sebuah gurun berbatu. Di sekeliling mereka tampak ratusan prajurit berwajah tegang. Mereka tampaknya tidak memedulikan kemunculan Kii dan pria tersebut. Bukan, tampaknya mereka bahkan tidak bergerak sama sekali selayaknya waktu berhenti. Kii bahkan menghitung ketiadaan napas dari para prajurit ini.


"Tampaknya nona itu menganggap kita berdua sebagai rekanan. Kenalkan, namaku Garrand, Garrand Entrechord," ujar Garrand seraya mengulurkan tangan. Kii memandang tangan tersebut. panjang kelingkingnya hampir setara dengan jari manis pertanda kekuatan cengkramannya cukup kuat.


"Kii," balas Kii pendek dan menyambut tangan tersebut. Benar dugaannya, pria ini memiliki cengkraman setara dengan rahang buaya. Keras lagi kuat. Kii balas menyengkram.


"Saudaraku,  jangan memaksakan dirimu. Kita masih belum tahu apa yang harus dilakukan di tempat ini," ujar Garrand ringan. Cengkraman Kii sepertinya dianggap seperti angin lalu.



"Aiya~ dua pria saling berjabat tangan, bertatapan di malam hari dan saling mengencangkan urat! Ini pemandangan yang indaaaaah sekali!"


Suara cempreng itu membuat Kii dan Garrand menoleh.  Mereka mendapati seorang gadis sedang memegang sebuah prisma dengan lensa putih. Hidung gadis itu mimisan padahal tidak terlihat bekas pukulan.


Gadis itu menghentikan senyumnya saat melihat kedua pria itu melepas jabat tangan. "Ah, nggak seru! Ayo dong, pelukan sekalian. Malam dingin begini kan enak pelukan~"


Kii yakin sekali gadis ini memiliki beberapa paku lepas dari kepalanya. Dan ia menggunakan paku dari kepalanya sebagai aksesoris pengikat kepang kembarnya. Mungkin saja paku itulah yang menjadi penyebab komentar miring barusan.


Garrand berdehem "Jadi nona, apa yang anda lakukan di sini?"


Gadis itu menurunkan prisma hitamnya. Bibir hitamnya menyunggingkan senyum menggoda. "Aku baru akan memberi tahu kalau kalian berpelukan~ yang lengket, yang hangat begitu~"


"Tidak perlu diberitahu," sambar Kii cepat. Ia menunjuk kejauhan "Aku menghitung ada ribuan pasukan di sana. Sedangkan di sini ada sekitar ratusan. Kedua kubu ini akan saling berperang. Besar kemungkinan kita diminta untuk membantu pasukan yang sedang terdiam di sini."


"Anda benar. Bila tidak, bagaimana mungkin kita dipindahkan ke sini," ujar Garrand seraya melipat tangannya. "Aku yakin kita akan dijadikan prajurit bayaran sebagai bentuk partisipasi awal dari permainan kalian."


Respon dua orang tersebut membuat gadis berkepang kembar tersebut cemberut. "Huh jadi nggak seru. Iya iya iya, kamu benar tuan Kii dan tuan Garrand. Kalian dikirim di sini untuk membantu pasukan Alforea melawan serbuan pasukan monster di sana."


"Jadi tugas kami hanya menahan mereka?" tanya Garrand.


"Jadi tugasku membunuh mereka?" tanya Kii. Keduanya secara bersamaan mengucapkan pertanyaan.


Garrand menaikkan alisnya. "Mengapa anda mengatakan harus membunuh mereka?"


"Mereka sudah siap untuk itu. Hal terbaik yang dapat kita lakukan adalah menghormati niat mereka untuk mati."


"Dengan cara membunuh mereka? Tuan Kii, kita bisa saja melumpuhkan mereka. Dengan melumpuhkan mereka, kita masih bisa memberikan ampunan pada mereka. Tidak semua-" Kii mengangkat tangannya, memotong ucapan Garrand.


"Simpan nasihatmu. Pemilik Perisai sepertimu memang tidak akan mengenal etik membunuh," ujar Kii yang melangkah menuju barisan lawan.



"Uh tuan, kalian harus saling berpasangan."


"Tidak perlu," ujar Kii. Ia pun berjalan menuju barisan lawan yang masih tidak bergerak.



"Wah ternyata dia ngambekan ya? Bagaimana caramu mengurus pacar seperti ini?"


Garrand tidak berkomentar. Ia merasa kepalanya pusing mendengar kalimat yang makin janggal dari gadis ini.


"Ah iya! Waktu harus digerakkan karena permainan akan segera dimulai~"


Gadis itu menepuk kedua tangannya. Mendadak seluruh pasukan bergerak. Beberapa dari mereka terkejut akan kehadiran Garrand. Mereka sempat menginterogasi Garrand dan gembira kala tahu pria itu didatangkan sebagai prajurit tambahan.


Kii di lain sisi, telah sampai di baris depan. Matanya tajam mengawasi barisan lawan yang mulai berteriak-teriak dan mengacungkan hinaan dan amarah perang. Kii tersenyum tipis. "Mereka yang siap membunuh, harus siap pula untuk mati."


***



Perang dan duel adalah dua hal yang berbeda. Walau pada dasarnya kekuatan dan strategi menentukan, tetap saja skala jumlah menjadi salah satu faktor penentu.


Kii jelas bukanlah spesialis melawan banyak. Kemampuannya ditujukan untuk duel dan pembunuhan  rahasia. Sekarang di hadapannya datang ujian baru.


Darah Kii berdesir melihat menggunungnya barisan di hadapannya. Jelas-jelas lawannya memberikan tekanan yang tidak main-main.


Kii membuka bajunya, kulitnya yang terekspos aliran udara alami merasakan desir-desir tajam dari nafsu membunuh yang kuat. Bulu kuduk Kii meremang. Desir tajam itu semakin mengental setiap detiknya, membuat Kii menyeringai tipis.


Komandan pasukan menyadari adanya hawa membunuh yang kental dari Kii. Ia sendiri bergidik merasakan dinginnya udara malam bercampur tajamnya hasrat di udara. Jumlah pasukan lawan dan keberadaan seorang pembunuh membuatnya ingin segera menyelesaikan perang. Tak ayal, ia berkomando dengan suara lantang


"MAJU!!"


Dan Kii menjawabnya dengan bergerak menyongsong. Langkahnya jauh lebih cepat dari pasukan infanteri lawan. Dalam hitungan detik, ia telah terpisah dari pasukan infanteri. Teriakan-teriakan keras memanggil Kii untuk bergabung diabaikan oleh pemegang pedang panjang ini. Rambutnya yang beruban berkibar tatkala langkahnya semakin deras menatang angin.


Kii mencabut pedangnya. Kemilau pedang penuh semangat yang lurus sejenak menggentarkan baris depan pasukan lawan.


Ia menghitung dengan cepat berapa langkah yang dibutuhkan untuk mencapai undak tertinggi: sang pemimpin. Sekali pandang saja ia tahu bahwa ksatria berzirah hitam dengan pedang besar di atas kerbau besar itulah komandannya. Aura hitam dan tekanan semangat yang menguar darinya terasa begitu kental. Panji merah hitam yang tersemat di punggungnya menandakan sosok inilah yang akan menyokong moral keseluruhan pasukan. Inilah target pasti untuk Kii.


Dan untuk mencapainya, ia butuh batu pijakan: para Goblin yang lemah.


Para Goblin adalah makhluk hijau katai berhidung panjang yang memiliki kaki paling lincah. Mereka bersenjatakan pisau dan mengenakan rompi kulit. Lawan yang sangat cocok untuk pemanasan –apalagi merekalah yang pertama kali sampai di hadapan Kii.


Tanpa menghentikan kecepatannya, Kii melayangkan tebasan pertama. Leher Goblin yang paling dekat tersayat. Ia terpana sejenak mendapati darah yang terus mengucur dari nadi lehernya. Ia rubuh tanpa sempat menyerang.


Belum bagus. Moral dari lawan tidaklah terguncang melihat satu kematian ringan dan cepat. Maka Kii dengan cepat melesat ke samping dan menebas lagi. kali ini leher Goblin putus. Masih kurang. Mata lawannya masih memancarkan marah dan semangat peperangan.


Tebasan ketiga. Kali ini satu kepala dan tangan menjadi korban. Sedikit banyak ada yang menyadari bahwa kecepatan Kii bertambah layaknya roda bergulir di turunan. Dan tebasan ke empat membuat mereka yang berotak tajam mengonfirmasi hal tersebut. tebasan ke lima membuat moral sebagian dari mereka turun. Berpikir dapat menjadi pedang bermata dua. Dan teriakan ketakutan menggema saat tebasan ke enam terlepas –tiga korban terbelah rata. Para Goblin mulai ciut. Beberapa dari mereka bahkan terlihat jeri dan mundur perlahan.



Kii salah mengalkulasi, ia pikir hanya butuh empat tebasan untuk membuat ciut nyali. Kenyataannya dua tebasan lebih menjadi beban tersendiri baginya. Dan memang ia meyadari bahwa moral bukanlah konsep yang bisa dihitung mutlak. Pengalamanlah yang mengajarkannya untuk lebih peka terhadap unsur simpel namun rumit ini dalam perrtarungan.


Saatnya Kii berpindah ke batu pijakan lain. Kali ini, para Kentaur. Makhluk setengah kuda, setengah manusia ini mengenakan rompi bambu.


Pasukan Kavaleri ini telah didaulat untuk menginjak Goblin yang mencoba melarikan diri. Tindakan gila itu membuat Goblin yang ciut mengobarkan rasa takutnya pada Kii. Insting bertahan hidup terdengar dari teriakan-teriakan panik mereka.


Tapi Kii telah selesai dengan Goblin. Kakinya menginjak bahu Goblin yang kalap dan menjadikannya sebagai pijakan untuk menerjang Kentaur pertama yang dilihatnya. Tebasan ke tujuh. Tombak Kentaur terbelah saat hendak menusuk Kii di udara. Tebasan ke delapan.Torso penyerang Kii terbelah dua, membuat darah tersembur tepat ke wajah Kii. Derasnya darah yang muncrat tidak membuat Kii berhenti.



Tidak. Langkah Kii terhenti saat selusin panah menyasarnya. Kii bisa saja menebas untuk menghalau panah tersebut. Tapi ia lebih memilih untuk merendahkan tubuhnya dan menyasar kaki para Kentaur. Tebasan ke sepuluh membuat lebih dari tiga Kentaur terjungkal.


Sebuah pisau mendadak datang dari sudut mati Kii. Ia berhasil mengelak tipis. Kulit tangan kirinya robek. Sadarlah ia bahwa  dirinya sudah masuk terlalu jauh dalam formasi lawan. Mereka yang mengepung Kii menyeringai senang. Jelas sekali mereka menganggap sudah berhasil menyudutkan lawan.


Kii hanya melirik ke arah belakang. Andai kata 'Tim' memang eksis maka inilah saat yang tepat bagi kemunculan bala bantuan.



Dan ia benar. Dari belakang sana terlihat barisan Goblin yang terlontar layaknya anai-anai beterbangan. Jerit ngeri mereka terdengar lebih keras dibanding saat Kii merangsek maju. Satu Goblin terpelanting ke arah Kii. Kesempatan!


Kii menggeser tubuhnya, memutar sisi tajam pedangnya dan menghujam Goblin yang terpelanting tersebut dengan tebasan ke sebelasnya. Tubuh pendek tersebut tak ayal terbanting keras di tanah, membuat tabir asap dan pasir.


Tebasan ke dua belas. Tangan dan kepala Kentaur pemanah lepas dari badan. Siapa yang menyangka Kii akan merangsek masuk ke divisi pemanah. Jarak dari lokasi terkepungnya Kii setara dengan dua puluh langkah lebih.


"Jangan terlalu jauh! Kami tidak bisa melindungimu!" teriak Garrand lantang dari belakang. Sekali lagi diabaikan Kii. Pria itu sudah terlanjur menebas sampai tebasan ke lima belas. Divisi pemanah Kentaur kocar kacir melihat bergelimpangannya teman mereka. Satu tebasan Kii dapat membelah paling banyak dua Kentaur langsung.



Memberangus pasukan pemanah atau jarak jauh hampir dipastikan membuat moral lawan ciut. Seharusnya. Tapi Kii mendapati nuansa yang makin tak enak. Ia menyadari napasnya mulai sesak oleh unsur mistis. Racun? Bukan, hawa kematian.


Mendadak Kaki Kii dicengkram. Kii menoleh dan mendapati Kentaur yang terbelah torsonya dapat menyengkram kakinya dan merangkak mendekat. Kentaur tersebut menengadahkan kepalanya. Sklera mata Kentaur telah menghitam dan bola matanya berubah memerah. Makhluk itu tidak lagi berbicara tapi menggeram. Sadarlah Kii bahwa mereka dibangkitkan kembali. Dan tidak hanya satu, semua korbannya hidup kembali dan mengepungnya dengan panah dan lembing.


Tebasan ke enam belas terpaksa melayang.Kii membelah tangan yang mencengkram kakinya secara diagonal, membelah tangan sekaligus kepala pemiliknya sampai rusuk melayang. Tapi cengkraman tangan itu tidaklah lepas. Saat itulah sebuah lembing datang mengancam.   Kii berhasil menghindar, tapi pijakannya goyah karena kakinya terus dicengkram. Lembing kedua datang. Kii mau tak mau harus menebas lembing tersebut agar dapat terhindar maut.


Tapi kembali ia lengah, tangan kanannya dicengkram oleh Kentaur yang barusan dibelahnya. Walau terbelah, bagian tubuh mereka tetap bisa bergerak bebas. Kii mengangkat tangannya, ia siap mengorbankan tangan kirinya untuk meredam serangan.


Sebuah benda tiba-tiba menyambar dan menghantam lembing sampai patah berderak. Benda tersebut mengguncang gurun layaknya meteor. Beberapa Kentaur mayat hidup terhempas akibat daya ledaknya.


Kii yang terselamatkan kembali beruntung. Patahan lembing tersebut menancap di tangan Kentaur mayat hidup.  Cengkraman di tangan kanan Kii melemah, tanpa menunggu lebih lama Kii menarik tangannya, memuntir pergelangan dan menebas putus pangkal telapak tangan dengan tebasan ke tujuh belas.


Setelah terbebas, Kii melirik ke arah benda yang menyelamatkannya. Perisai emas. benda yang menghantam dan mengguncang tanah tersebut dipungut pemiliknya dengan ringan.


"Jangan gegabah, kawan. Anda masih membutuhkan perlindungan," erang Garrand. Ia terlihat serius dan kesal. 


Kii lagi-lagi mengabaikan celoteh Garrand. Ia hendak beranjak. Sampai tiba-tiba ia terhuyung dan harus menancapkan pedangnya agar seimbang. Ia lupa kakinya masih dicengkram oleh tangan mayat hidup.


Garrand dengan enteng meremas hancur tangan tersebut.


Kii hanya mendengus ringan. "Terima kasih," putusnya pendek.


"Kita harus keluar dari kepungan ini dan kembali bergabung dengan pasukan utama," putus Garrand sembari mengawasi sekelilingnya dengan tenang. Garrand menempelkan punggungnya ke Kii. "Awasi punggungku, kita akan keluar dari kepungan ini sesuai komandoku. Anda akan kulindungi walau harus mengorbankan tubuh ini."


"Tidak. Aku tidak akan melakukan hal itu."


"Jangan bercanda, kawan. Kita harus bergabung dengan yang lain untuk meredam perang ini."


"Bunuh komandan untuk mempercepat kemenangan. Dengan begitu tidak ada yang akan mati sia-sia. Seharusnya pola pikir inilah yang kalian, para pemegang perisai pegang. Tidak ada gunanya menundukkan lawan yang hanya digunakan sebagai batu pijakan," balas Kii.


"Tapi..."



"AIYAAA!!! Mesranya, mesranya, mesra-NYAAA!!" jeritan cempreng memotong kalimat Garrand. Ia menengok ke atas dan mendapati gadis berkepang kembar sedang menaiki paku terbang di atas kepala mereka.


Kii turut menoleh ke atas. Ia menghitung kurang lebih ada empat tombak jarak antara dirinya dengan si gadis berkepang kembar. Satu hal yang sempat mengganggu hitungannya adalah keberadaan bulan besar yang sepertinya terlihat makin mendekat. Firasat tak enak menggelayuti Kii. 


Sejenak ia terdiam dan mengawasi sekelilingnya. Setelah menghitung jarak dengan pengepungnya, Kii memasukkan pedang ke dalam sarungnya. Tanpa berkata apa-apa ia menerjang ke kerumunan pengepungnya.


"HEY!"


Ketenangan Garrand mulai hilang. Ia terlihat tidak suka dengan kelakuan Kii yang seenaknya dan tidak menggunakan otak. Tapi pandangan itu sepertinya dianulir saat melihat Kii memijak kepala salah satu Kentaur dan bertolak ke udara.  Ia rupanya hendak menjangkau gadis berkepang kembar.


Tentu saja gadis itu terkejut dan reflek menghindar. Kii yang salah mengalkulasi tak dapat menggapai ujung paku terbang.


"Pakai ini!"


Teriakan Garrand di bawah membuat Kii menoleh. Perisai pria itu meluncur ringan ke arahnya. Jelas ini bukan serangan dan Kii memanfaatkannya sebagai pijakan untuk menggapai Paku terbang. Kii bergantung di ujung paku terbang.


"KYAA! Apa yang mau kau lakukan?" jerit nona itu panik saat paku terbangnya limbung.


Kii mengabaikan jeritan itu. Matanya sigap mencari targetnya. Dan ia menemukannya dengan segera. Sekitar dua puluh langkah dari kepungan Kentaur mayat hidup terdapat sekelompok makhluk berkerudung hitam berjumlah tiga belas orang yang tampak merapal. Mencurigakan. Dan memang merekalah yang membangkitkan para mayat hidup. Kii jelas-jelas melihat sekelompok kecil pasukan dari kubu manusia bangkit kembali.


Misi Kii berubah. Ia harus mengganti batu pijakan targetnya dan berpelesir sementara. Tapi sebelum itu, hal pertama yang dilakukannya adalah terjun bebas ke lokasi Garrand. Kentaur mayat hidup hendak merangsek pria besar tanpa perisai itu. Kii sudah siap untuk menghunus pedangnya dan menebas apapun yang hendak mencelakakan Garrand. Sayang hal itu tidak perlu.



Garrand meloncat ke udara, menangkap perisainya dan melempar perisai itu ke tanah. Lagi-lagi dentum keras terdengar, ledakan pasir dan tanah menghempas mayat hidup jauh ke belakang. Kii yang mendarat langsung disambut oleh kutipan dari Garrand.


"Fungsi perisai adalah melindungi, tidak seperti pedang yang menebas dan membuka jalan. Kalau memang keinginanmu mempercepat kemenangan dan mengurangi lawan, maka aku akan melindungimu,"


"Bila memang itu maumu," ujar Kii seraya menghunuskan pedangnya.



Kii membalikkan pedangnya.Tebasan ke delapan belas tidak membelah mayat hidup tapi mementalkan mereka ke sisi kanan. Tebasan ke sembilan belas mementalkan barisan ke sisi kiri. Yah, ujung-ujungnya ia juga membelah jalan layaknya manusia berkharisma. Garrand yang melihat ini menyunggingkan senyum kagum. Ia lantas mengikuti langkah Kii.


Kii mempercepat langkahnya sembari memutar kembali pedangnya ke sisi tajam. Ia yang terlalu fokus berlari tidak menyadari adanya jebakan. Seekor Minotaur besar, manusia berkepala kerbau, seukuran satu setengah tombak tiba-tiba muncul tepat dua langkah di hadapan Kii. Makhluk tersebut siap mengayunkan gada raksasa seukuran setengah kali tubuhnya.


Bukan masalah bagi Kii. Seharusnya begitu. Sayang sebuah panah mengacaukan konsentrasinya. Ia dipaksa menggunakan tebasan kedua puluhnya untuk menghalau panah dan bukan untuk beradu senjata.


Gada dari Minotaur terayun deras ke arah Kii. Posisi Kii saat ini sudah tidak memungkinkan lagi untuk menghindar. Kii mengangkat tangan kirinya. Siap untuk mengorbankan satu tangan sebelum tangan kanan yang kadung menebas siap kembali lagi. Ia hanya butuh waktu kurang dari sedetik.



"Menunduk!"


Kii spontan menunduk. Ia melihat Garrand melintas di atas kepalanya dan menghantam gada tersebut dengan perisainya. Dan kali ini siapa yang menyangka tubuh besar Garrand terdorong dan terlempar tiga langkah.


"Yang satu ini cukup kuat," puji Garrand. Tangannya yang memegang perisai bergetar keras. "Kita harus waspada," tambahnya.


Benar. Memang itu yang seharusnya mereka lakukan. Tapi Kii lagi-lagi sepertinya mengabaikan nasihat indah itu. Ia kembali merangsek maju tanpa sempat dicegah Garrand. Bukan, langkah Garrand terhenti saat mendengar Kii menyebut "Dua puluh satu. Saatnya serius."



Minotaur mengayunkan gada besarnya. Peristiwa yang sama akan terjadi. Tapi kali ini, Kii menyambut ayunan gada dengan tebasan pedang ke dua puluh duanya. 



Darah mengucur dan lenguhan keras terdengar. Gada besar berikut perut Minotour besar itu terbelah.  Semua terjadi begitu cepat dan membuat Garrand terpana. Begitupun juga dengan makhuk berjubah. Mereka tidak menyangka pelindung mereka bisa secepat itu dilukai. Kii memperhatikan bekas luka dan pedangnya. Bekas luka terlihat tidak dalam dan masih bergerigi, pertanda tidak terpotong dengan ketajaman sempurna.


"Rupanya sekitar dua puluh tiga."



Selagi Kii berkomentar seperti itu, makhluk berjubah hitam itu meracau. Lenguhan Minotaur berubah menjadi geraman. Rupanya makhluk itu sekarang dikendalikan oleh  sekumpulan makhluk berkerudung hitam. Kii tidak menunggu lama. Ia menggunakan sisi tumpul pedangnya dan menebas. Minotour besar itu mencelat dua tombak dan menghantam barisan kerudung hitam oleh tebasan ke dua puluh tiga. 


"Kalau tuan memiliki kekuatan seperti itu, mengapa tidak digunakan dari tadi?" tanya Garrand seraya mendekat. 



Kii tidak menjawab. Ia justru menerjang barisan makhluk bertudung hitam. Tanganya bertindak lebih cepat dari teriakan takut. Hanya dalam lima tebasan. Sepuluh dari mereka tumbang tak bernyawa. Hanya tersisa tiga lagi dan Kii baru menggunakan dua puluh delapan tebasan.



Garrand menyaksikan beberapa Kentaur yang dibangkitkan luruh begitu saja menjadi debu. Hanya tersisa enam saja. Tebakan Kii benar. Maka dari itu Kii tidak membuang waktunya. Ia hendak mengejar makhluk bertudung hitam. Tapi belum ia mengayunkan pedangnya, para makhluk tersebut tiba-tiba saja menusukkan pisau ke perut mereka sendiri.



Tindakan aneh ini membuat Kii terhenyak. Mendadak tengkuknya menggigil. Ia tahu penyebabnya bukanlah udara malam yang dingin di gurun. Ia melihat komandan pasukan lawan menunjuk ke atas. Kii menengadah, instingnya mengatakan akan ada sesuatu yang besar terjadi.


Garrand juga ikut menenangadah. Keringat dinginnya mengalir saat melihat bulan yang merekah terbelah. Dari dalamnya muncul sosok Kuda bersayap dengan tanduk yang panjang. Garrand mencengkram erat perisainya. "Saatnya serius ya..." ujarnya tipis.   



***


Dua puluh lima tombak. Kii tergetar saat menyaksikan wujud kuda tersebut mendatangi sisi kubu lawan. Tapi matanya kembali menyiratkan kobaran semangat. "Ini mungkin butuh lebih dari lima puluh," putus Kii seraya mengurut pundak kanannya. Bekas luka yang melintang di sana seolah berdenyut siap untuk mengorbankan diri.


Komandan pasukan lawan tergelak. Gerak-geriknya mengisyaratkan kemenangan sudah berada di depan mata. Sayang itu hanya ilusi.



Kuda besar itu mengepakkan sayap dan mengeluarkan bola api besar yang membakar barisan lawan. Dalam sekejap raungan kengerian menyambar malam. Kii dan Garrand hanya bisa tercenung menyaksikan kuda itu mengamuk di tengah-tengah kubu pasukan lawan. Mereka disadarkan saat menyadari Kuda besar itu menerjang mereka.


Kii dan Garrand dilewati begitu saja. Tapi hempasan derap kaki kuda tersebut membuat angin keras yang menggoyahkan pijakan kaki Kii dan Garrand.


Garrand terpekik keras. Kuda besar itu langsung mengarah ke barisan pasukan manusia. Insting bertahan hidup membuat pasukan manusia melontarkan panah-panah pada ancaman baru. Kuda itu meringkik dan mengangkat dua kaki depannya. Garrand menyadari bahaya tersebut.  Dengan  menderitkan gigi, ia menerjang dan meneriakkan sebuah ajian.


"Constant Fortress!"


Kalimat yang terdengar asing di telinga Kii itu membuat sebuah medan pelindung emas berukuran lima kali ukuran perisainya. Beberapa prajurit masuk dalam medan pelindung. Dentang keras terdengar, suara tapal kuda beradu dengan medan pelindung. Tanah berderak amblas. Hembusan angin keras mementalkan mereka yang tidak beruntung berada di luar medan pelindung. Yang berada di dalam bisa bernapas lega. Sekali.


Kuda itu kembali meringkik keras dan mengangkat kedua kaki depannya. Hantaman kedua akan datang.


"LARI!"  ujar Garrand. Perintah tersebut dipatuhi pasukan, suara sangkakala pertanda mundur mengisi gurun.  Garrand melompat ke udara, ia sepertinya berniat menahan salah satu kaki Kuda tersebut di udara dengan perisainya.


Niat bagus tersebut mendatangkan petaka. Berat kuda tersebut membuat tekanan daya rusak yang luar biasa pada tubuh Garrand. Ia tidak bisa menahan derasnya hantaman dan siap terbanting dan terinjak. Nyawanya kadung di ujung tanduk.  



Disaat genting seperti itulah, sebuah tebasan memukul kaki kanan kuda dan mementalkannya ke arah yang kiri. Kuda besar itu dibuat oleng. Ia terpaksa terbang ke atas untuk menyeimbangkan kembali badannya.


"Kuat..." desis Kii. Keringat dinginnya mengucur. Ia tadi menggunakan sisi tajam pedangnya tapi kuda besar itu tidak terbelah. Kii memicingkan matanya dan mendapati bekas sabetannya hanya menyobek sekitar tiga jengkal padahal itu tebasan ke tiga puluhnya. Tidak hanya itu, luka itu perlahan kembali merapat.



Beruntunglah kuda itu mendadak mengalihkan perhatiannya ke kubu lawan yang mencoba melemparkan bola-bola api. Tapi itupun tak lama. Pasukan lawan langsung kocar kacir begitu kaki kuda itu menghentak tanah. Satu dua makhluk yang bertubuh besar pula ada yang menjadi korban tandukan.



"Terima kasih kawan," ujar Garrand di sela-sela mengumpulkan kesadarannya.


Darah Kii berdesir. Ia menarik napas panjang dan mulai menebas angin.  Tebasan ke tiga puluh satu.


"Apa kau bisa menahan makhluk itu?"


Garrand terdiam sebentar "Seberapa lama?"


"Kurang lebih sampai tebasan ke empat puluh sembilanku."


"Berapa lama itu?" tanya Garrand sembari matanya terus mengawasi gerak-gerik Kuda tersebut. Kii hanya membalas dengan menebas angin. Sudah tiga puluh dua tebasan. Tebasan tersebut membuat angin menderu kencang. Kuda besar itu menoleh ke arah kedua pria tersebut. Ia menghentikan kepakan sayapnya dan meluncur turun. "Tampaknya tugas berat untukku..." balas Garrand seraya menarik napas panjang. Ia tampak siap dengan ajian lain.  



Kali ini Kii dan Garrand maju berbarengan. Tujuan mereka berbeda. Kii memutar ke samping sementara Garrand melompat dan menyambut kedatangan Kuda besar. Tapi kali ini ia datang untuk menyerang dan bukan bertahan. Tangan kanan Garrand terayun. Kaki Kuda yang mengarah padanya dihantam dan dipentalkan dengan keras. Hantaman tersebut bukan main adanya. Tubuh Kuda sebesar dua puluh lima tombak dibuatnya terpuntir karenanya.


Dan selagi itulah, Kii melompat dan melayangkan tebasan lurus vertikal. Perut Kuda tersayat, cukup dalam. Tapi tebasan ke tiga puluh tiga tersebut terhenti di tengah-tengah. Dan akibatnya fatal, satu kaki belakang kuda sempat menyentil Kii yang tersangkut di udara.



Kii berhasil mendarat dengan selamat. Tapi tepukan ringan itu membuat tulang bahu kirinya patah.  Kii menyarungkan pedangnya dan menekan sumbu tulang bahunya. Ia mengerang mendapati nyeri tak tertahan.



Baru saja ia selesai mengerang, Garrand terjatuh di tanah tak jauh darinya. Pria itu juga mengerang keras karena ia mendarat dengan punggung. "Sulit juga..." komentar Garrand pendek.


Mereka berdua memerhatikan kuda besar tersebut yang kembali mengudara. Bekas luka di tubuh kuda tersebut kembali pulih dengan cepat. "Immortal... " desis Kii pendek. "Berarti pertarungannya antara siapa yang menyerah lebih dahulu..." tambahnya.


"Jangan naif."


"Hai hai kalian. Bagaimana kalau kuberitahu cara mengalahkannya?" Kii dan Garrand kompak menengok ke atas. Ya, mereka melihat gadis berkepang kembar itu. Tapi kali ini ujung rambutnya terbakar dan wajahnya kotor oleh arang dan pasir. Paku terbangnya pun penyok. Entah kapan ia mendapat serangan seperti ini.


"Si Tamon Rah itu membakar kameraku padahal di situ ada foto mesra kalian berdua. Aku tidak suka, tidak suka, TIDAK SUKA itu!"


Lalu gadis berkepang kembar itu menunjuk arah utara. "Di kastel sana, kalian akan menemukan biang masalah. Begundal tengik dan bau itu menggunakan menara Lower dan Upper untuk memecah segel Tamon Rah, kuda besar itu."



Tanpa menunggu lama, Kii langsung berlari menuju arah yang ditunjuk. "Hey! Instruksiku belum selesai!" jerit gadis itu mendapati Kii yang sudah menjauh.


"Ceritakan padaku lebih detil," pinta Garrand. Gadis kembar itu sempat memberi ekspresi nakal tapi mendadak berubah serius.


"Baik. Seharusnya sih aku minta sesuatu tapi kali ini pengecualian,"




***



Kii tidak butuh waktu lama untuk mencari kastel yang dimaksud. Ia menyangka kastel tersebut besar tapi ternyata tidak. Tingginya hanya sepuluh tombak, enam tombak gerbangnya dan empat tombak untuk menaranya. Panjangnya juga tidak seberapa, hanya delapan tombak. Entah mengapa gadis itu menyebutnya sebagai kastel, padahal bagi Kii, yang seperti ini terlihat seperti rumah peristirahatan (dengan menara di sisi kembar di kiri dan kanan).



Sekarang apa yang harus dilakukan?


Kii menepuk kepalanya sendiri. Ia merasa darah yang terlanjur lari ke ototnya membuatnya lamban berpikir. Tapi memang, Kii punya pola pikir tersendiri. Bila tidak mengerti, hancurkan saja. Toh dengan kematian maka semua akan selesai. Bukankah kehancuran dan kematian adalah setali tiga uang.  


Maka Kii mengarahkan fokusnya pada menara pertama, menara kiri. Jaraknya dengan kastel tersebut hanya sekitar lima belas tombak. Jarak yang pendek untuk ukuran gerak cepat Kii.



Jangan harap semua hal akan dimudahkan. Kedatangan Kii langsung disambut oleh barisan Kentaur pemanah yang bersembunyi di balik dinding kastel. Tambah lagi, Kuda besar itu terlihat mendekat juga.


Menghindari panah adalah hal yang mudah karena mereka membuat satu target. Kii hanya tinggal bergerak luwes dan menghindar. Dengan cepat ia memendekkan jarak. Lima tombak dari gerbang, muncul jebakan-jebakan pasak dari tanah.


Kii beruntung beberapa panah meleset justru membuat jebakan terungkap. Kecuali, Ledakan. Ya, satu dua ledakan mengguncang tanah, sedikit banyak membuat kuping Kii nyeri akibat denging yang tak terkira. Panas yang mendera membuat matanya sedikit berair.


Satu panah menancap di bahu kiri. Kii bersyukur bukan bahu kanannya yang terluka. Tapi satu panah ini membuat gerakannya terhenti sejenak. Jelas, panah yang tadinya sulit mengikuti jadi menemukan target. Kii terpaksa menebaskan pedang untuk menghalau derasnya hujan panah. Satu tebasan ke tiga puluh empat membuat angin keras yang membuat beberapa panah keluar jalur, tapi tidak semua. Kii masih harus menebas lebih agar ia tidak terluka lebih lanjut.



"Constant Fortress."


Sebuah medan pelindung emas muncul menghalangi hujan panah untuk merangsek lebih lanjut. Ia mendapati Garrand berdiri dengan kokoh dengan perisai terentang. Di belakangnya, si gadis berkepang kembar itu duduk di atas paku terbangnya.



"Kawan, anda harus belajar untuk mendengarkan nasihat."


Kii  hanya bisa diam saja. "Aku salah. Maafkan aku. Aku hanya ingin buru-buru menyelesaikan ini. Sudah terlalu banyak korban jatuh," ujar Kii menundukkan kepalanya, membiarkan helai rambutnya yang kasar jatuh menutupi wajah.


Si gadis berkepang kembar mesem-mesem. "Tidak memberinya usapan di kepala?" tanyanya. Komentar ini membuat Garrand malas melanjutkan.


"Nona ceritakanlah bagaimana menyelesaikan masalah ini. Biar aku menahan serbuan panah ini dengan perisaiku," janji tersebut ditepati. Tidak ada panah yang bisa menyentuh Garrand, maupun Kii dan gadis berkepang kembar.  



"Jadi menara itu harus dihancurkan bersamaan?" tanya Kii. Kii mengukur jarak. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana harus menghancurkan kedua menara tersebut bersamaan.


"Sendiri mungkin mustahil tapi bila bersama kita pasti bisa," motivasi normal dari gadis kembar tersebut membuat Kii terdiam. Benar. Ia hanya berpikir tentang dirinya sendiri. Dalam dirinya tidak pernah tercetus kata tim. Mungkin itu pulalah yang membuatnya merasa mudah meninggalkan Meia, walau ia tahu hatinya sakit. Mematikan kesepakatan yang dibuat terasa lebih menyakitkan dibanding kematian.



Selagi Kii melamun, Kuda besar itu datang lagi. kali ini para pemanah kastel panik. Mereka membidik kuda besar itu. tanpa dinyana Kuda besar itu membalas dengan kepakan sayapnya. Puluhan bola api besar menghujani kastel. Garrand sigap mengeluarkan lagi ajiannya.


"Constant Fortress!" medan pelindung emas kembali membentengi mereka. Tapi daya panas dari bola api tersebut tetap merasuk. Si gadis kepang kembar  menjerit kesakitan dan pingsan di tempat. Hanya Garrand dan Kii saja yang masih bertahan di tengah panasnya dentuman bola-bola api.



"Menaranya tidak hancur..."


"Mungkin benda itu hanya bisa dihancurkan dengan serangan fisik."


Kesimpulan sementara ini akhirnya diamini mereka berdua. Rencananya, mereka akan berpisah dan masing-masing menghantam menara yang berbeda secara bersamaan.



Sekali lagi, rencana tetap rencana. Kuda besar itu seolah tahu apa yang hendak dilakukan oleh mereka berdua.


"Aku akan menahan dia di sini, kawan! Hancurkanlah menara di kanan!"


Kii tahu Garrand hanya menyemangati. Mereka berdua sudah sama-sama tahu bagaimana dahsyatnya kekuatan besar dari kuda itu. Tapi Kii menjalankan perintah. Ia tahu, Garrand siap mati.



"UWAAAAH!" teriakan keras penuh semangat dari Garrand terdengar. Ia bersiap layaknya lilin pada titik nyala terakhir.



Gurun berguncang sekali lagi. guruhnya begitu dahsyat begitu juga hempasan anginnya. Kii yang  baru saja melesat merasakan dorongan yang luar biasa. Ia memanfaatkan daya hempas tersebut untuk memanjat dinding.



Mayat. Mayat dan darah mengisi pandangan Kii. Hal yang biasa baginya. Bau menusuk dari daging yang terpanggang sempat membuatnya terkenang masa lalu. Meia. Ah, nama tersebut melintas di kepalanya. Nama tersebut mengisi kalbunya di saat seperti ini. Mungkinkah ini adalah kesempatan terakhir mengingatnya.



Lamunan Kii terhapus begitu ia berjarak dua setengah tombak dari menara kanan. Siapa sangka ternyata menara tersebut melontarkan bola-bola listrik. Serangannya tidak cepat dan bisa dihindari. Kii memutuskan untuk segera menghancurkan menara tersebut. Ia menduga tebasan ke tiga puluh lima lebih dari cukup untuk membelah menara tersebut.


Terbelah.



Tapi layaknya kuda besar. Menara tersebut dalam waktu singkat pulih. Sadarlah ia bahwa menara tersebut memang harus dihancurkan berbarengan. Kii mulai kehabisan akal. Ia hanya bisa menghindari serangan dan mencoba menebas sampai tebasan ke empat puluh. Ototnya mulai menjerit kesakitan. Beban dari beratnya tebasan mulai menggerogotinya tapi ia harus terus menebas.



Kuda besar itu tiba-tiba muncul dari balik dinding benteng. "Ah, rupanya Paladin itu tidak bisa menahanmu yah, pembohong." Keluh Kii, untuk pertama kalinya. Ia merasa siap kalah, walau tahu dirinya tidak boleh menyerah.


Karena itulah, Kii melompat menyongsong sang kuda besar. Kuda besar menyambutnya dengan tanduk panjangnya. Kii tahu, ia bisa membelah tanduk itu. Tapi ia juga tahu daya dorong dari sang kuda akan membuatnya terpelanting dan bisa saja tewas.


Maka Kii melakukan gerak memutar di udara, tangan kirinya yang terluka dijadikan umpan untuk menahan tanduk itu. Begitu telapak tangannya bersinggungan dengan tanduk, ia memanfaatkan daya dorongnya untuk memuntir tubuhnya menjauh dari tusukan. Berhasil! Walau telapak tangan kirinya sudah nyaris tidak berbentuk lagi karena gesekan panas dan tajamnya tanduk yang mengoyak.


Kii mengeraskan cengkraman tangan kanannya. Ia akan melayangkan tebasan ke empat puluhnya. Sayang, ia lupa kalau wajah dari kuda juga ikut merangsek maju. Selamat dari tanduk belum tentu selamat dari tubrukan wajah.


Di saat genting itulah sebuah benda menancap di mata sang kuda. Kuda tersebut melenguh kaget dan menghentikan gerakannya, menyelamatkan Kii yang berada di ujung tanduk. Ternyata gadis berkepang kembar itu melempar paku terbangnya.



Kii tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. Tebasan ke empat puluhnya dilayangkan. Astaga! Kii tidak menyadari bahwa ia menggunakan sisi tumpul pedangnya. Tebasan pedangnya menjadi tamparan keras yang membuat kepala sang kuda terpuntir. Sang kuda terhuyung mengarah ke manara kanan. Berat tubuh sang kuda bisa saja menghancurkan menara tersebut apalagi sekarang bola-bola listrik itu mengarah ke sang kuda.


Kii menengok ke menara kiri. Bagaimana cara menggapai dan menghancurkan menara tersebut.



"PAKAI INI!"


Sebuah perisai berwarna emas melenting seolah tak bertenaga menuju Kii. Kii menyeringai senang. Perisai itu dengan segera ditolaknya. Ia mengerahkan seluruh asa dan kekuatannya untuk melompat ke menara kiri.



Kii ingat bahwa menara tersebut akan menyerang apapun  yang berada dalam radius serangnya: dua setengah tombak. Dengan alasan itulah, Kii melempar pedangnya, menjadikan senjata itu sebagai umpan. Dan sebagai gantinya, ia menarik pisaunya.


Umpannya berhasil, pedang miliknya tersengat dan dibuat mengapung di udara. Kii masuk dan melayang menuju menara. Ia selamat karena menara masih menyiapkan tembakan selanjutnya.


Satu tombak.


  
Kii meraung keras.


Ia menebaskan pisaunya saat jaraknya mencapai satu lengan dengan menara. Tebasan ke empat puluh satu.


Patah.


Kii terkejut setengah mati. Harapannya dikabulkan di saat yang tidak tepat, seharusnya patahnya pisau tersebut menjadi pertanda dirinya naik tingkat. Pisau itu patah setengah jalan. Menara tersebut hanya terbelah sedikit saja.


Tapi Kii tidak patah arang. Ia menderitkan giginya. Ia melanggar aturan dari aliran pedangnya. Ia menusuk! Pisau tersebut tertanam dan membuat retak besar di menara.  


Daya hantam balik dari empat puluh dua tebasan mendera tubuhnya seketika. Tapi bersamaan dengan itu menara tersebut juga hancur. Di tengah nanarnya pandangan akibat rasa sakit, Kii sempat melirik menara kanan. Ternyata dugaannya benar, menara tersebut rubuh tertimpa berat sang kuda. Dan sekarang menara kiri tersebut juga rubuh.



Ah, Kii hanya bisa bernapas lega. Tugasnya selesai. Ia bisa mati dengan tenang.


Kali ini harapannya dikabulkan. Patahan dari menara tersebut condong dan jatuh ke arahnya, siap meniban begitu Kii menyentuh tanah. Kii hanya bisa tersenyum pasrah. Ia tidak lagi dapat menggerakkan ujung jarinya akibat melanggar pantangan alirannya.


"KII!" sebelum mati itulah kata-kata yang didengar Kii dari Garrand. Ah, andaikan kata yang terakhir didengarnya datang dari Meia...



***


Di lain tempat, Balai Seribu Pedang. Sang kakek hanya menggelengkan kepala mendapati pemandangan di hadapannya. Meia, di lain sisi terisak, tersedu sedan. Mereka berdua menemukan tubuh Kii tergolek. Tidak bernapas. Hanya panas tubuhnya yang tersisa.













23 comments:

  1. This... this is different. Walaupun saya kurang mengerti peran gadis berpaku itu, tapi pendeskripsian masa lalu Kii dan karakternya benar-benar terasa. Pertarungannya seru hingga akhir, dan saya berharap perjuangan Kii tidak berakhir di sini saja.
    Kalimat bagus, narasi juga oke.


    Nilai: 9

    OC: Aragon Ferden

    ReplyDelete
    Replies
    1. ty Aragon :)

      ya kalo OC ini lolos kita liat aja lah.

      Delete
  2. Astaga. Ini... epic. Adegan battle paling memikat yang telah saya baca dari sekian banyak entri.

    Ada banyak typo, tapi seolah lenyap karena alur tegang yang tersampaikan di sini. God, saya speechless. Adegan battle semacam ini yang saya cari-cari, seperti sebuah mix antara drama dan action.

    Fix, saya kasih 10.

    Neeshma Fraun.

    ReplyDelete
    Replies
    1. ty Seruling Rumput :D

      hehe ini itungannya eksperimental juga kok. ga tahu ntar selanjutnya bakal kek gini atau ga ^^

      Delete
  3. gadis itu maid? dan dia fujo? OMG ._.

    banyak kosakata yang dipakai disini, harus saya cari dalam KBBI. meskipun ada, tapi... sulit dicerna. menghentikan baca sejenak ._.

    lalu, saya gatau kalau Kentaur itu bahasa indonesia atau apa (di KBBI enggak ada, tapi di search di google, laman pertama yang keluar ini nama perusahaan sadel kuda), tapi kalau saya, bakal tetap pakai Centaur yang saya italic, ini terserah penulis juga sih <(")

    overall.. battlenya emang beda dari yang lain, kolosal abis! berasa tegangnya! berasa juga denting-denting besinya.

    cuma, ya... satu hall...

    Kii mati, sedangkan rule paling awal ditulis : "Silahkan bertarung mati-matian, yang jelas hasil akhirnya adalah kemenangan OC kamu, dan OC kamu harus bertahan hidup sampai akhir."

    jadi, maaf, semua kehebatan di atas, hilang karena aturan yang dilanggar. sayang banget, lain kali patuhi aturan, ya?

    meski saya gatau, apakah nantinya Kii mau dibuat hidup lagi, atau nge twist kayak gimana, itu menarik, tapi tetap... melanggar aturan.

    sedangkan banyak entri lain yang, dengan mengorbankan imajinasinya, mereka menaati peraturan. termasuk saya.

    dari saya, maaf, saya cuma bisa kasih : 6

    -Eumenides / Puppet-

    ReplyDelete
    Replies
    1. ty ya dah komen di sini :D

      whwhwh iya untuk bagian yang itu emang gw sengaja ngarahin plotnya ke sana. well, tapi emang secara eksekusi gw akui masih kurang. seharusnya ada bagian yang gw perjelas lagi tapi well, nasi sudah jadi bubur hwhwhw

      makasih buat nilainya ya. gw usahain baca cerita lu abis baca yang lain :D

      Delete
    2. setelah melihat lagi, rasanya saya terlalu sadis ._.
      maaf banget ya, abis itu terjadi begitu aja, ketika saya melihat sesuatu yang 'tidak boleh' itu....

      maaf pokoknya

      dan makasih kalau mau mampir ._.

      *saya jadi ga tenang kasih nilai segini

      Delete
    3. gpp~ justru itu yang emang harus dilakuin kalo nilai sesuatu. relax, gw dah siap kok sama konsekuensi kek gini. justru kalo selamet dari penilaian ini, berarti karya gw masih dianggep ada harapan heuheu :))

      Delete
    4. Ah iya, miss nya di sana. di bagian dia hampir ketimpa menara.

      terus tiba-tiba di dimensi lain, doi tubuhnya udah ada aja gitu, kapan telenya?

      apakah cuma tubuhnya aja yang balik atau enggak, itu yang bikin bingung. soalnya kayaknya saya inget ada yang punya karakter hantu.

      maklum, saya orang baru di BoR ini, belum begitu tau apa itu BoR, apakah 'jiwa' juga bisa bertarung, begitu.

      :v

      Delete
    5. Kentaur sy kira cukup umum utk terjemahan fantasi... Macem Kerberos (Cerberus)

      Delete
    6. @Venessa

      hwhwh untuk bagian tubuhnya balik dll itu ntar aja ya. kalo emang char ini lolos juga bakal diceritain kok.

      well, di BOR sebenarnya kita bisa bikin macem2 spekulasi soal dunianya. justru IMO ini bagian yang seru dari ikutan event kek gini. kita dituntut juga untuk coba ngevisi ke depan dunianya kek apa (asal ati2 aja kalo ga ntar tabrakan sama konsep panitia)

      Delete
  4. Vajra sez: Bro, sebagai sesama badass dan sbg penganut aliran epic-action fantasy, saya bener2 salut abis sama adegan battle yg soo badass, spt Kenshin Himura khususnya di film yg No.2 dan 3.

    Tapi, cuma aku mikir aja, kalau kii+garrand mau repot2 giring sebanyak mungkin prajurit ke menara, kii mungkin nggak perlu sampai melanggar pantangan alirannya dan mati - which is melanggar salah satu rambu aturan yg mengharuskan OC sendiri terus hidup setelah lolos babak ini. Atau interpretasimu sama spt Zoel+Caitlin? Kecuali memang s*it happens, prajurit habis jadi mau nggak mau Kii berkorban.

    So, for this epic flaw, nilai dariku 7/10.
    OC: Vajra

    ReplyDelete
    Replies
    1. well, Kii dah bilang kan kalo dia pengen cepet nyelesein perangnya dengan cara bunuh komandan biar ga banyak jatuh korban. cara ini emang paling cocok buat dia sebagai Assassin. trs Garrand pas lagi ngelawan Rah juga dah ngomando supaya pasukan pada mundur. dengan ini, mereka berdua sebenarnya sudah sadar kalo ga ada jalan balik lagi kecuali maju. yah, mungkin aja yang ini miss sih.

      dan satu lagi soal ini. OC cuma dibilang harus hidup di realm Alforea kan? ga dibilang di alam aslinya. jadi interpretasi kondisi OC di alam aslinya juga dipersilakan apalagi konsep BoR V dunia digital.

      silakan aja kalo anggep Kii mati di Alforea, karena emang narasi gw cuma ngehinting kondisi gelap yang bisa dianggap mati. tapi kalo cuma dianggap pingsan juga bisa. yah again, interpretasi ada di masing-masing benak pembaca dan gw suka kalo ada yang ampe bilang "Kii mati" berarti my plan's working padahal konteks "mati" ga cuma mati fisik. heuheu

      ty ya koh Andri buat penilaiannya :D

      Delete
    2. Oic. Jadi hampir seperti di BoR 4L yah, OC di dunia nyata mati, di dunia BoR masih hidup. Mindset saya cenderung ke The Matrix dan kemungkinan2 variasinya.

      Delete
    3. iya ini sebenarnya spekulasi dunia aja sih. selama titah Ruu belum keluar, gw rasa penulis masih punya ruang eksperimen nebak2 :))

      mudah2an aja ga salah. ya kalau ga, siap2 masuk kubu kafir dunia wkkwwkkw

      Delete
  5. Well aku sempet berharap entry Kii bakal seindah Mba Irwin, tapi ternyata nggak (yaiyalah, OCnya sangar gitu wkwkwk)

    Oke review dimulai.

    Plot : Entah kenapa, aku rindu dengan kasih tak sampai antara dua sejoli ditengah medan perang. Buatku, fantasy-romance lebih cocok buatmu ketimbang full battle gini. Nggak ada sesuatu yg bikin doki-doki lagi kayak dulu :(
    Menurutku, plotnya hambar, dan interaksi antar karakter benar2 minim, mungkin karena timnya cuma berdua, sehingga nggak ada karakter comic relief utk membuat cerita lebih menarik. Nggak perlu sampe komedi, cuma sekedar memberi dinamika pada cerita. Jadi nggak cuma tinggi terus tensinya, tapi juga main slow breeze sebelum naik lagi sampe ke puncak.

    Dinamika dalam cerita penting buatku. Nggak cuma battle, tapi juga ada interaksi antar karakter, konflik internal/eksternal, dan juga permainan emosi.

    ===

    Karakter : Aku kangen rendi yg berhasil masuk ke "sepatu" karakter dengan memukau. Buatku, Garrand disini nggak lebih dari sekedar pajangan. Meski ada hint rivalry antara Kii dan Garrand, tapi Garrand terlalu pasif dan Kii terlalu cuek, sehingga kedua karakter minim interaksi.

    Mungkin si maid ini ditujukan sebagai comic relief, tapi alih2 jadi comic relief, karakterisasinya jatuhnya malah annoying. Satunya cuek, satunya pasif, satunya ganggu. Menurutku bukan kombinasi yg tepat :(


    ===

    Battle : Hmm..aku nggak mau banyak berkomentar soal battle, karena sebagian besar cerita battlenya aku skimming. Porsi battlenya menelan terlalu banyak adegan. Well balik lagi ke preferensi masing2, tapi entah kenapa battle yg ini aku kurang dapet feelnya. Sehingga adegan matinya Kii kurang dramatis.

    Mungkin kurang narasi tentang inner thought si Kii ini sendiri, itu yg bikin tebasan pedangnya yg seharusnya makin berat malah nggak terasa makin berat bagi pembaca.

    Lalu endingnya..Kii mati sungguhan? Well, panas tubuhnya masih tersisa sih. Mungkin nafasnya bakal nyusul. Aku harap nafasnya nyusul. Terlepas dari soal ini melanggar peraturan apa nggak, aku nggak komen soal itu deh.

    Dariku 7/10

    OC : Meredy Forgone

    ReplyDelete
    Replies
    1. whhwhw ty ya buat komennya Bay, this review is something that i need :D

      yeah, gw akuin masih ada bayang-bayang Mba yang blum bisa lepas dari gw. jujur sih openingnya itu sbenarnya ucapan say good bye gw sama romance fantasy makanya jalur diksinya berubah.

      Tapi ya pas mulai baru, gw ngerasa emang banyak gerages apalagi Kii ini emang gw coba bikin fokusnya sebagai karakter yang lebih teknikal. tapi ya gitu, perubahan dari style yang dah kebiasa ke yang satu ini masih banyak tantangan whhwhw

      ah ya, untuk Garrand... gw ngerasa susah banget masuk ke karakter ini. akibatnya yaaa... gitu deh. gw dah coba untuk shift perkembangannya dari sisi gestur aja tapi keknya masih ga gitu dapet. well, i admit my mistake here :)

      untuk adegan mati, let just say i kept something there~ :D

      Delete
  6. ......

    Poin: 7

    1. Saya gak suka karakter sok keren, sok cool yg beraksi sendirian (maaf >.<) uwoo badass sekali musuh2nya hanya bisa ber-"aaaa aaa" sambil melambaikan tangan. Mana akhirnya tewas sok heroik gitu #desh
    2. Cewek kepang kembar itu annoying.
    3. Garrand, lu mau aja jadi kacungnya Kii
    4. Typo dan pemilihan diksinya ada yg krg asik... Macem sebuah pedang...
    Dan bilangan berurut setau saya nulisnya: pertama, kedua, ketiga, ..., ketujuh, kedelapan, ....., kelima belas... Kalo ditambah awalan dan akhiran jd digabung: tebasan keduapuluhduanya. Maaf kalo sotoy #didepak

    Tp ada bbrp hal yg bkin sy gk ngasi 6 #plak:
    1. Filosofi2nya saya suka
    2. Deskripsi battle yg cukup detil
    3. Kayaknya ada teka-teki di balik bergabungnya Kii di turnamen, eh? Beliau datang bkn karena menjawab "ya" atau "bersedia mengikuti"

    Spertinya itu aja kak... Maaf kalo kasar n nyotoy, hajar ajah saya... Orzz

    ReplyDelete
    Replies
    1. hhwhw ty ya Ann. gw ga mau alibi deadline jadi gw bakal bilang ini emang auto writing no edit (masih alibi)

      untuk teka teki dll tunggu aja deh gimana ntarnya hwhwhw

      Delete
  7. Kalo udah punya tunangan dari kecil, kenapa Kii udah 30 tahun belum nikah juga? Emang sengaja mau jadi wizard ya? #plak

    "Kii yakin sekali gadis ini memiliki beberapa paku lepas dari kepalanya"
    ^bukan sekrup?

    Keempat, kelima, keenam ini kayanya mendingan disambung deh. Kalau yang panjang mungkin bisa pake strip, kayak ke-empat puluh sembilan-ku

    Masuk battle, saya agak kurang sreg karena jadi full deskripsi. Mungkin buat ngejelasin koreo battle ini bagus, tapi buat saya pribadi jadi berkesan minim emosi atau sesuatu yang menarik selain adegan aksi. Untung jadi agak lepas habis Garrand muncul lagi, mulai ada dialog. Btw, ini maid rasanya ribut amat ya, malah nyebelin dan out of place jadinya, ga sinkron sama suasana yang pengen dimunculin

    Dan kayak entri Caitlin, di akhir Kii malah mati ya.. Saya ga tau ini allowed atau ngga, apalagi paragraf terakhir kayak ngindikasiin perjalanan Kii udah dicukupin sampai di sini aja. Atau emang penulis ga niat maju? Dan kenapa tubuh Kii ada di Balai Seribu Pedang? Jadi secara fisik Kii emang ga dateng ke Alforea?

    Dari saya 7. Deadliner buffer -1, jadi nilai akhir dari saya 6

    ReplyDelete
    Replies
    1. whwhwh nanti dijelasin kok soal 30 tahun blum nikahnya. pelan2 aja :D

      itu bener paku kok whwhwh disesuaikan sama world building dunianya juga yang punya idiom kek gitu. untuk yang kek gini sebenarnya perlu dikasi penanda ga sih? kayak 'x' atau cetak miring?

      emang maid itu sengaja dibikin out of place biar ada dialog nyempil. tadinya ini hampir gw bikin non dialog sama sekali pas battle, tapi keknya jadi super suram gitu :))

      gw serahkan ntar pada keputusan panitia aja. unless well, seperti biasa, selalu ada spekulasi soal dunia-nya BOR~

      Delete
  8. Baru kelar baca. Eh, aku suka deskripsi battlenya yang seru.

    Banyak yang bilang Kii mati, tapi aslinya belom bener-bener mati kan? Aku nangkep kesan ngambang, soalnya reruntuhan menaranya belom sampe nibanin tubuh Kii. Ada jalan keluar, plus bisa masukin adegan "Kii bentar lagi mati" yang lumayan bagus.

    Lumayan.

    Soalnya build up ke kematian Kii agak kurang kalo buatku. Banyak detil cerita yang masih disimpan buat babak selanjutnya. Dunno if it's a good idea or not. Yang pasti aku ngerasa buat tulisan ini aja, rada kurang wah, rada kurang bisa ngena di hati, "kematian" Kii rada hambar rasanya.

    Ini Kii suka banget ngitung ya. Dia selalu ngitung apa aja, jarak, waktu, jumlah pasukan, ekspektasi tebakan. Dan seolah seluruh cerita dibikin dengan hitungan-hitungan ini sebagai drivenya.

    Pedang bermata dua, sih.

    Soalnya hal ini ngebikin cerita jadi kerasa rada dramatis tapi celetukan maidnya malah out of place banget, ngerusak flow dramatisasi dan dinamiknya narasi.

    Nilai : 7
    OCku : Alshain Kairos

    ReplyDelete
    Replies
    1. ty dah dateng ya Fu :D

      iya, konsepnya emang ngitung gitu sih. perhaps ke depannya bakal dibikin kek gini juga. ini sekalian latian supaya gw bisa terus awas sama alur cerita sih. eksperimen terus lah istilahnya.

      hwhwhw banyak yang kurang suka sama maidnya ya. mungkin emang ini crude joke yang salah tempat sih.

      Delete