11.5.15

[PRELIMINARY] MANG UJANG - WALK IN IKEMEN WAY


MANG UJANG – WALK IN IKEMEN WAY
Penulis: Uji Tuan Muda


-Kota Despera, Alforea-

"Menurutmu, istana ini terlalu mewah atau biasa aja?" bisik Mang Ujang kepada Dyna, orang yang baru ia kenal beberapa menit yang lalu.

Dyna menggeleng Muram, Wajahnya –yang tadi tersenyum ramah kepada Mang Ujang- ia tekukan hampir setiap kali ia melihat ke sekelilingnya. Bulan Alkima yang terlihat dari ufuk timur terlalu dekat menyinari seluruh kota yang mereka sebut Despera, membuat bangunan-bangunan mewah di samping istana dan tanaman Euphorbia yang sengaja disejajarkan rapih di sisi-sisi teras istana dapat terlihat dengan sangat jelas. Seolah gelapnya malam tak membendung cahaya bulan tersebut masuk ke sela-sela halaman istana yang saat itu dipenuhi oleh ribuan pendatang baru. 

"Hmmm.... Gimana ya, aku kurang begitu tahu arsitek sih, lagipula, Say, kamu kok tiba-tiba ngomong aneh gitu?"

"Sa-say? Bukan Say... Namaku Ujang, Mang Ujang," tegas pria bertampang aduhai itu.

Mang Ujang memutar kepalanya ke arah kanan, menghadap ke seorang wanita berambut pendek sebahu yang duduk di sampingnya. "Aku penasaran aja, Nna. Kamu kan tahu kalo aku tinggal lama di gunung, melihat bangunan mewah seperti ini tentu saja buat aku kaget," lanjut Mang Ujang.


"Benar juga sih, aku yang tinggal di perkotaan pun kaget saat tiba di sini, tapi aku senang kok, tempat ini lumayan bersih dan tertata rapi. Ditambah aku bisa bertemu dengan keindahan yang tiada tara," ujar Dyna dengan nada menggoda sambil tersenyum mesum kepada Mang Ujang.

"Dasar."

Mang Ujang kembali memperhatikan dua orang yang kini berdiri di atas balkon dengan seksama, dua orang tersebut adalah Hewanurma, pria paruh baya berjanggut putih yang saat ini tengah berbicara. Sementara satunya lagi adalah Tamon Ruu, seorang wanita cantik berpakian ketat yang saat itu... hanya diam saja sambil tersenyum kepada para peserta, namun senyumnya jelas sekali terlihat dipaksakan, sempat Mang Ujang mengira jika wanita tersebut hanya digunakan sebagai pemanis saja.

"Jadi, dengan ini kunyatakan babak penyisihan Battle of Realms telah dimulai!" teriak pria berjanggut panjang tersebut mengacungkan tangannya setinggi mungkin ke atas yang jelas-jelas tidak ada apa-apa di sana selain lampu neon yang sesekali berkedip.

"Wah mulai rame nih."

Pandangan Mang Ujang ia alihkan kepada para peserta yang kini mulai sibuk mencari pasangan mereka masing masing, ada beberapa yang cepat sekali menemukan pasangannya, namun ada juga yang masih pilih-pilih atau bahkan mirisnya, masih ada yang ditolak secara mentah-mentah, entah itu karena fisik, kekuatan, atau hal minor lainnya seperti pakaian dan sejenisnya.

"Kita sudah siap!"

Beberapa peserta sudah mulai memasuki Battle Zone, sebutan untuk area bertarung. Dipandu oleh maid yang -beberapa saat lalu terdiam di bawah balkon istana- kini mulai menghampiri tiap regu yang sudah berkelompok. Salah satu maid terlihat mengayunkan dan memutar-mutar  tangan kanannya seperti sebuah kincir angin, terhitung sebanyak tujuh kali putaran, sebuah sarung tangan tipis yang maid itu kenakan memancarkan cahaya ungu yang secara ajaib membuat sebuah portal yang berukuran cukup untuk memasukan dua buah gajah dumbo sekaligus. Sekejap, 5 orang yang berada dekat portal itu menghilang.

"Yuk, kita mulai cari dua orang lagi, Nna." Mang Ujang mengambil tas selempengannya yang ia gantungankan di ujung bangku taman lalu berdiri dan menggantung tas tersebut di pundaknya.

"Eh, tunggu dulu, Say. Aku pikir kita akan pergi berduaan saja?" Dyna menarik tangan Mang Ujang, tarikan tangan Dyna terlihat sangat kuat untuk seukuran wanita bertubuh kurus.

"Mustahil bin mustahal, Dyna," bantah Mang Ujang, "Kita belum tahu loh, di sana ada siapa aja, atau ada apa aja. Siapa tahu di sana ada monster dedemit pembunuh, atau genderuwo, atau malah lebih parah, ada 10 dedemit pembunuh dan 10 genderuwo!" seru Mang Ujang yang hanya menyebutkan dua-duanya monster yang ia ketahui.

"kamu pastinya takut, kan? Makanya, lebih baik cari dua orang lagi," lanjut Mang Ujang.

Dyna hanya mengerutkan dahi mendengar alasan dari Mang Ujang, ini orang gitu amat, ya? Untung ganteng, bisa dimaafkan.

"Ya udah, terserah kamu aja, Say. Yang penting aku masih sama kamu," Kata Dyna, merelakan.

"Kita cari ke mana ya, hmm... yang itu.... jelek, yang itu masih anak-anak, yang itu... manusia pohon? Ah, aneh-aneh wae..." Mang Ujang menggerutu sendiri. "Nah, itu..."

"Kita ke sana, Nna," ajak Mang Ujang kepada Dyna sambil menarik lengan Dyna. Dyna hanya bisa pasrah, tak ambil pusing apa yang akan dilakukan Mang Ujang kepadanya, yang penting baginya adalah terus bisa bersama pria tampan nan rupawan yang beberapa menit lalu telah ia... ah sudahlah.

"INI KAMU GIMANA SIH, HAH!."

Sesosok pria bertubuh kekar dan tinggi dengan rambut putih ubannya meneriaki seorang perempuan berpakaian seperti seorang pelayan.

"Maaf tuan, Tugas shift aku sudah selesai saat ini. aku tidak bisa membantu Tuan."

"Arrggh, TERSERAH, SAGALA HESE!"

Setelah meminta maaf sambil membungkukan badannya, pelayan berambut merah itu buru-buru pergi menjauh sebelum mendapat lebih banyak teriakan dan makian.

"Mudah marah dan sering berkata kasar. waw, aku kaget bisa memilih rekan seperti ini."

"Cih, kita tunggu saja, nanti kamu juga akan bertekuk lutut di hadapanku."

"Waw, sungguh? Aku tidak sabar sampai saat itu tiba."

Kedua orang yang beberapa detik yang lalu ribut dengan seorang pelayan kini berdiri saling membelakangi, tidak memperdulikan hal lain hingga tidak menyadari jika dua orang asing telah menghampirinya.

"Permisi, apa yang terjadi di sini sebenarnya?" tanya Mang Ujang.

"Coba tanyakan pada pria bercodet di sana,"

"Permisi, apa yang terjadi disi-- "

"TIDAK ADA APA-APA! KENAPA EMANG?" Potong Pria bercodet itu.

"Begini," Mang Ujang menarik napas dalam-dalam. gelo, baru dateng udah dibentak aja.

"Apa kalian menerima tambahan anggota? Kalo iya, boleh kami bergabung?" pinta Mang Ujang. "Oh iya, namaku Ujang, biasa dipanggil Mang Ujang, petani Ikkemen dari Gunung Gede, dan ini Dyna."

"U-Ujang? Gunung Gede? orang sunda, lin?"
("U-Ujang? Gunung Gede? Orang Sunda, ya?)

"Muhun, Kang, Eh... Akang oge ti Sunda ning, sukur atuh tiasa pepedak sareng sadulur di dieu."
("Iya, kang, Eh... Akang dari sunda juga ternyata, syukur bisa bertemu dengan orang satu daerah di sini.")

"Nama Aing Asep, Sok we atuh ari arek milu gabung mah, daripada ngke di ditu ngan ukur duaan jeung budak kos kieu,"
("Nama saya Asep, Ya udah kalo mau gabung, daripada nanti di sana saya cuma berdua sama bocah ini,")

Wanita berponi rata yang sedari tadi tidak merespon kedatangan mereka kini menatap tajam Asep. "Bocah? Kamu bilang aku bocah? Umur aku dua puluh tiga tahun, bodoh!"

"Wah, ngartieun ning," bisik Asep.
("Wah, dia ngerti bahasa sunda juga ternyata,")

"Ya ngerti lah. duh, di sini... semua bahasa diterjemahkan secara langsung kedalam bahasa yang dimengerti oleh masing-masing individu," jelas gadis berponi rata itu.

"Ya udah kalo gitu, waktu kita sempit. Risa, ayo panggil pemandunya."

"Eh? Tunggu-tunggu, kenapa harus aku yang memanggil pemandunya? Kita baru kenal setengah jam yang lalu lho, A-SEP. jangan seenaknya kasih perintah ke orang lain," tukas Risa lalu menyilangkan kedua tangannya.

"Udah, jangan ribut. Biar aku yang panggil." Mang Ujang kemudain menarik dirinya menjauh dari keributan itu untuk kemudaian mendekati seorang perempuan berpakaian mirip seperti pelayan di cafe-cafe yang pernah ia kunjungi saat jalan jalan ke kota Bogor, hanya saja pelayan di sini terlihat sangat cocok dengan seragam yang ia kenakan karena memang wajah mereka sangat cantik dan memiliki postur tubuh yang tinggi.

"Teteh, Boleh minta waktunya sebentar?" pinta Mang Ujang kepada salah satu maid sambil tersenyum. Maid tersebut adalah seorang wanita dewasa, jika ditebak mungkin berumur sekitar 30 tahun. dia terlihat ramah sama seperti maid lainnya, hanya saja gurat di matanya menandakan jika dia kelehan. Maid tersebut mengangkat kepalanya sedikit ke atas, ke sosok orang yang menyapanya barusan.

"Te-tentu saja," jawabnya sedikit gugup, entah dia pemalu atau ia gugup karena belum pernah bertemu orang setampan Mang Ujang di Alforea, bahkan maid tersebut berani bertaruh jika bulan Alkima kini tertunduk malu melihat wajah tampan pemuda berambut hitam itu.

Ia membenarkan posisi poninya yang berantakan dan menatap kembali pemuda berkemeja merah di hadapannya.  "Kamu peserta Battle, kan? Apa kamu sudah siap dengan kelompokmu? Dimana mereka?"

"Sini, teteh, ikut denganku." Mang Ujang memandu maid tersebut kepada teman-teman satu kelompoknya yang menunggunya di sisi taman bagian timur istana. Sementara maid tersebut hanya terbawa-bawa saja. Ia pasrah bahkan jika pemuda tampan tersebut ingin melakukan hal tak senonoh padanya.

"Halo, nama saya Felicity." wanita beriris mata coklat itu melirik kepada empat orang yang sudah berbaris mengelilingi dirinya. "Mulai sekarang dan nanti di sana, ya... saya yang akan memandu kalian... ya. Harap kalian perhatian baik-baik apa yang saya bicarakan, begitu rupanya. Pertama-tama saya ingin mengetahui nama dari masing-masing kalian. Ketua, tolong sebutkan." Felicity menatap Mang Ujang. Mang Ujang baru menyadari ternyata gaya bicara Felicity terdengar mirip pedagang obat yang sering ia temui.

"Tunggu sebentar, aku curiga dengan tatapanmu, teteh.  Maksud teteh aku ketuanya, gitu?" ucap Mang Ujang keheranan.

"Oh iya, maafkan saya tidak memberi tahu kalian sebelumnya. Begini, saya sebagai pemandu di sini ya... saya diberi hak untuk memilih ketua suatu grup, begitu. Jika ini tidak dilaksanakan, aku tidak tahu apa yang akan Tamon-sama lakukan padaku nanti, begitu rupanya. Lagipula, perintah dari Tamon-sama itu tidak pernah salah," kata Felicity mencoba meyakinkan keempat orang beralis kerung di hadapannya. Dan ternyata berhasil, keempat peserta itu diam tidak berkata sedikitpun. Entah mereka mengerti apa yang dimaksudkan oleh Felicity atau mereka hanya tidak ingin memperpanjang masalah.

"Jadi, mas-mas dan mbak-mbak ini, siapa saja kalian?" ulang Felicity.

"Saya sendiri Mang Ujang, ini Dyna, ini Asep, dan ini mmmm..... Risa, kan?" Jawab mang Ujang sedikit ragu menyebutkan nama Risa hingga sedikit membuat Risa-yang sedari tadi memang sudah kesal- semakin kesal saja.

"Kalian sudah yakin dengan kelompok kalian?"

"Sepertinya begitu, maid cantik!" jawab Dyna.

"Baiklah kalo begitu, tunggu sebentar."

Felicity mengangkat kedua tangannya ke atas searah jarum jam 12. Tak lama dari itu, cahaya berwarna ungu menyinari sekujur tubuhnya, atau lebih tepatnya tubuhnya sendiri yang mengeluarkan aura yang berasal dari telapak kakinya, aura tersebut terus terpancar dari bawah ke atas bagai air mancur dan menggumpal di bagian atas kepala Felicity, membentuk sebuah bola energi berukuran besar.

"Ini sudah siap... begitu rupanya... kalian masuk terlebih dahulu saja," Perintah Felicity setelah menjatuhkan portal itu ke tanah.

Keempat peserta itu terlihat keheranan dan saling bertatapan satu sama lain, tapi tak lama  kemudian mereka berjalan secara bergantian memasuki portal yang telah dibuat oleh Felicity, dimulai dari Mang Ujang, Dyna, Risa dan Asep. Lalu terakhir disusul oleh Felicity sambil menutup portal, menuju dunia antah berantah yang sudah menanti mereka di depan sana.

========

-Dataran Sohr'n-
 
Risa melangkah maju sedikit lebih depan di antara tiga teman satu timnya namun berada beberapa langkah di belakang Maid pemandu pertandingan.

Bulan yang bernama Alkima menjulang tinggi di antara luasnya gurun pasir malam itu. Bentuknya bulat besar dan cahayanya sangat terang sekali, lebih terang daripada bulan yang menyinari kota Despera di Alforea tadi. sinarnya terang namun tidak cukup terang untuk menyinari seluruh gurun pasir, hanya terlihat siluet sebuah kastel dengan dua buah menara yang berada pada masing-masing sisinya. Letak kastel tersebut berada di atas bukit pasir ratusan meter di tempat mereka berpijak saat ini.

Risa menunduk dan mengambil segenggam pasir di hadapannya, merasakan tekstur lembut dan hangat dari pasir tersebut, lebih ke panas tepatnya hanya saja tidak begitu panas untuk bisa membakar kulit halusnya. Mungkin jatuhnya sang mentari dan datangnya malam membuat pasir ini sedikit mendingin, ia tidak bisa membayangkan bisa sepanas apa pasir ini pada saat siang hari.

"Selamat datang di Sohr'n Plain, mas-mas dan mbak-mbak. Ini adalah gurun pasir terluas yang dimiliki oleh Alforea," Felicity memecahkan lamunan keempat orang di hadapannya. "Kalian dengar, kan, Suara-suara itu? Nah, Itu ya... adalah suara dari 500 orang prajurit Alforea melawan ribuan monster dari berbagai dimensi."

Keempat peserta melihat ke arah belakang Felicity dan memang sedang terjadi pertempuran hebat di celah gurun sana. Namun keempatnya tidak berkomentar apapun selain,

"Wow."

"Beneran?"

"tuh, apa kataku tadi, Nna."

Felicity membenarkan seragamnya yang sempat kusut ditiup angin. "Tugas kalian adalah untuk menyegel seluruh monster di gurun ini, ya..." nada-bicara-tukang-obatnya Felicity yang kontras sekali dengan penampilannya itu malah membuat Asep ingin menamparnya seketika disitu juga.

"Begini caranya, ya... di sana coba lihat, ada kastel, kan? Nah, tugas kalian adalah untuk menghancurkan dua buah Menara di sampingnya, tapi ingat, ada trik khusus untuk bisa menghancurkannya. Yait-- "

Belum selesai Felicity berbicara, tiba tiba sebuah pedang yang terbuat dari besi baja berjenis One-Handed terbang meluncur dan menembusnya dari belakang tubuh Felicity tepat di bagian dadanya. Terlihat lumuran darah segar membalut bagian ujung pedang tersebut. matanya terbelalak, sementara mulutnya kini mulai mengeluarkan darah.

"Tuh kan, ngomongnya muter-muter gitu sih, jadi mati, deh," gumam Risa begitu melihat tubuh Felicity terjatuh beberapa jengkal dari kakinya. "Eh.. Mati? DIA MATI!?" Risa berteriak sambil berlari menjauh dari mayat Felicity.


"LARI... LARI... CEPAT!!!" Perintah Asep. Padahal tanpa perintahnya pun ketiga temannya sudah kabur-kaburan ke sana ke mari.

"LAWAN MONSTER YANG MENGHALANGI, JIKA BUTUH BANTUAN PANGGIL AKU!" teriakan Asep terdengar sangat keras menyelimuti seisi gurun malam itu.

Ini gawat, ini gawat!  Mang Ujang tampak panik, namun ia masih bisa mengontrol dirinya. Ia melihat ke sekeliling untuk mencari tempat bersembunyi. Tapi tampaknya itu mustahil. Di samping kiri, depan, belakang, dan arah manapun yang bisa ia jangkau hanyalah sekumpulan monster betubuh mengerikan saling bermunculan satu-per-satu.

Mang Ujang melangkah maju menerjang kerumunan monster. Di hadapannya kali ini seekor monster datang menghampirinya, wujudnya seperti monster di film-film. Ini seperti kadal hanya saja sepengetahuan Mang Ujang sebagai petani (ikemen) kadal tidak memiliki telinga. telinga monster itu lancip cukup panjang dengan anting berwarna emas menggantung-tidak cantik-di sana.

Mang Ujang sedikit bergidik ngeri, bukan karena perawakannya yang menyeramkan atau sebuah gada yang digenggamnya, melainkan sebuah luka menganga cukup lebar di bagian dada monster tersebut yang seolah baru saja dirobek oleh pedang tajam. Namun toh kelihatannya monster itu seperti tidak merasakan sakit sedikitpun. Malah Mang Ujang seperti melihat gurat senyum mengerikan di bibirnya.

"Graahhh!"

keun urang lawan, lah! Mang Ujang menarik golok berwarna hitam legam dari dalam sarungnya, seketika sebuah aura hitam menyelimuti golok tersebut, bukan, bukan hanya goloknya namun tubuh Mang Ujang pun kini ikut diselimuti oleh aura –yang terlihat seperti asap- berwarna sama.

"Lawan aku, monster laknat!"

Mang Ujang melangkah dengan sigap ke depan, menghadap satu lawan satu dengan monster kadal tersebut. ia ayunkan sebuah golok ke arah tangan kanan monster itu. Goloknya hampir mengenai pundak bagian kanan monster tersebut namun monster itu berhasil menghalau dengan gada yang ia genggam.

"Pinter lah, segitu mah. Tapi kamu belum tau seberapa tajam golokku ini, monster gelo!"

Gada berukuran orang dewasa tersebut mulai tergores, semakin lama goresan tersebut semakin besar dan membentuk retakan cukup fatal.

"Hyaaa!"

Mang ujang menekan goloknya semakin kuat, semakin kencang ia berteriak, semakin kuat pula tekanan yang ia berikan. telinganya bisa mendengar suara gada tersebut mulai pecah.

"Hah! UAARRRRGGHHHH..."

Monster tersebut melirih kesakitan, golok Mang Ujang berhasil menembus gada besar milik monster itu sekaligus memotong tangan kanan monster tersebut hingga terpisah dari tubuhnya. Bau darahnya asam, seperti daging tikus sawah yang terlalu lama membusuk.

Mang Ujang menahan lengan kanannya, sebuah luka memar cukup parah ia terima akibat berbenturan dengan pecahan gada yang hancur berkeping-keping. Ia putarkan kepalanya melihat keadaan ketiga temannya yang sepertinya sama-sama kewalahan menghadapi monster yang tiada habisnya.

Salah satunya Dyna, ia tampak terlihat sangat kewalahan melawan puluhan monster berbentuk seperti agar-agar berwarna merah melompat-lompat bagaikan bola basket. Monster tersebut memancarkan cahaya di dalam tubuhnya,  Membuat tubuh Dyna bermandikan cahaya merah. tampak indah tapi sebaliknya itu malah membuat Dyna lebih mudah terlihat.

Mang Ujang menghampiri Dyna, mencoba untuk membantunya. Walaupun Dyna tidak berteriak memerlukan bantukan, tapi dari ekspresi wajahnya dan kucuran keringat di wajahnya cukup untuk menandakan bahwa dia sudah sangat kerepotan.

Golok Mang Ujang menebas satu-per-satu dari monster agar-agar tersebut ketika Mang Ujang berjalan menghampiri Dyna. Dalam sekali tebasan saja monster tersebut sudah hancur. Tampak mudah namun jika berjumlah puluhan dan ia muncul terus-menerus tanpa henti membuat Mang Ujang dapat mengerti kenapa Dyna sebegitu kerepotannya.

"Aduh, Say. Kenapa itu? Parah gak?" Dyna menyadari luka di lengan Mang Ujang.

"Lumayan, Nna. "

"Beneran, tuh? Dari satu sampai sepuluh, seberapa buruk luka itu?"

"hmm.. delapan," jawab Mang Ujang, "Tapi aku masih bisa mengatasinya, jangan khawatir."

"Ya udah."

Dyna terus menghajar semua Slime itu dengan sebuah gelombang suara yang terlihat samar dari kedua tangannya. Sebuah Slime menghampirinya dari belakang secara tiba-tiba namun ia secara reflek menggerakan tangan kirinya ke belakang dan berhasil mengenai monster dengan tepat di bagian tengah tubuhnya. Monster tersebut hancur, atau lebih tepatnya mencair seperti lelehan lilin lalu menghilang terserap oleh pasir beberapa detik kemudian.

"Say, sepertinya aku belum tentu bisa menghancurkan semua ini, lihat..." Dyna menunjuk ke arah Asep dan Risa "Mereka juga sepertinya tidak jauh berbeda dengan kita, apa kau punya rencana, Kapten?"

Kata 'Kapten' yang diucapkan oleh Dyna membuat Mang Ujang baru sadar jika dia adalah pemimpin dari kelompok ini, sedikit membuatnya terasa terbebani.

Dilihat oleh Mang Ujang sekelilingnya namun lagi-lagi ia tidak bisa menemukan cara, atau apapun yang bisa membantu untuknya bisa ke luar dari situasi seperti ini. ayo atuh mikir, tempat ini pasti punya celah.

dirasakannya cahaya dari dalam Slime itu semakin lama semakin terang, padahal jumlahnya sudah semakin sedikit jika dibandingkan dengan beberapa menit yang lalu.

"Gawat, Say, aku sepertinya mendengar sesuatu yang buruk mulai mendekat," ujar Dyna dengan nada suara yang bergetar, pandangannya ia arahkan ke arah langit.

Mang Ujang melihat ke arah yang sama seperti Dyna. Jelas sekali, matanya menangkap bulan yang tadinya menggantung dengan tenangnya di atas sana, kini mulai mendekat dan menghapiri gurun Sohr'n. Pasir-pasir saling beterbangan membentuk asap kecoklatan.  sementara para monster yang bertubuh besar terpental tidak kuat menahan hembusan angin keras. monster-monster kecil yang tadi menyerang mereka tanpa ampun pun berdiam mematung.

Getaran sangat hebat mengguncang seluruh padang pasir itu. Seolah diberi komando, secara bersamaan Mang Ujang, Dyna, Asep dan Risa menjatuhkan tubuh mereka dengan posisi tiarap.

Kejutan tidak hanya sampai situ saja, beberapa detik kemudian, sebuah monster muncul dari dalam bulan itu, besar, merah menyala, dan terbang ke sana-kemari sambil menyemburkan hujan api.


"Itu pesawat atau burung?" bisik Mang Ujang melihat sebuah mahluk yang ke luar dari bulan yang baru saja pecah tadi.

"Tidak keduanya, say. itu jelas sekali seekor Pegasus! Gawat...cepat pergi dari sini!"

"PE-PEGASUS!?" Teriak Mang Ujang sukses membuat ketiga temamnya tuli seketika. "ngomong-ngomong, pegasus itu mahluk apa sih, Nna.."

"Duuh, kita gak ada waktu buat ini. Udah sekarang cepet cari cara ke luar dari sini! Situ kan kapten, cepet mikir!" Risa mulai panik.

Tamon Rah, kuda pegasus yang berwarna hitam legam dengan bagian sayap yang terbakar menyerang berbagai tempat yang ia lewati secara acak. Baik itu prajurit Alforea atau monster, semuanya hangus tersambar apinya. Seolah ia tidak mempunyai tujuan khusus selain membakar apa yang ada dihadapannya secara membabi-buta.


"Lihat, lihat di sana!" teriak Asep menunjuk ke arah bukit pasir sebelah utara, ia baru menyadarinya setelah ia memusat perhatian kepada tempat-tempat yang ia curigai. "Ada gua di sana, kita pergi ke sana secepatnya. Aku hitung sampai tiga, Setelah hitungan ketiga, kalian lari secepat yang kalian bisa. Oke? Sekarang bersiap..."

"Satu.."

Asep mulai menghitung, matanya tertuju kepada Tamon Rah yang kini mulai menembakan bola-bola api sekenanya, menunggu kesempatan agar ia dan teman-temannya bisa berlari menuju gua.

"Dua..."

"Tiga... LARII!!!"

Serentak mereka semua berlari sesuai arahan dari Asep, berurutan dari Asep, Dyna, Risa, dan Mang Ujang, di sekelilingnya Monster-monster kembali tersadar dan mulai kembali menyerang beberapa orang yang mendekat ke arah mereka. Mang Ujang dan kawan-kawan bersiaga dengan tetap dalam mode bertarungnya masing masing untuk berjaga-jaga jika terdapat monster yang menghalangi jalan mereka.

"Hhyaaattt!"

Seketika Risa melompat dan menerjang seekor monster berwujud, entahlah, tubuhnya mirip kambing, sedangkan kepalanya mirip serigala. Risa merasa jijik melihat wujud monster itu. Ia hantamkan Lututnya tepat mengenai dada monster itu dan seketika monster itu jatuh terrsungkur kebelakang. Knucle (yang entah datang dari mana) tiba-tiba sudah berada dalam genggamannya. ia timpakan sebanyak 10 kali pada masing-masing pipi monster berhidung pesek tersebut.

"Jadi monster itu konsisten, kadal ya kadal, kambing ya kambing!"

Darah segar nampak keluar dengan deras dari mulut, pipi dan hidung monster itu. tidak butuh waktu lama untuk monster itu kehilangan kesadarannya (jika tidak ingin disebut mati mengenaskan). Risa kemudian menghilangkan knuclenya lalu berdiri sambil membersihkan cipratan darah yang menempel pada jaket denim yang ia kenakan saat itu.

"A-apa yang kalian lakukan, sih? Ayo lanjut berlari," ujar Risa begitu menyadari ketiga temannya memperhatiakan aksinya barusan.

Berlari di suhu udara sedingin ini memang bukan ide bagus, Risa kadang harus mengencangkan jaket denimnya padahal ia juga mengenakan kaos berwarna hitam di dalamnya. Sementara Mang Ujang yang hanya memakai kemeja tipis harus rela menahan dinginnya angin yang menembus seenaknya menerpa kulit putih mulusnya.

Luka di lengan Mang Ujang semakin terasa menyakitkan, ia mesti memangku lengan yang kesakitan itu dengan tangan sebelahnya lagi agar tidak terayun-ayun sementara tubuhnya berlari. Monster apa sih itu? Bentuknya mirip kuda tapi itu pegasus kata Dyna.

Pikirannya melayang beberapa saat sebelum ia terjebak di situasi mencekam ini.

sebuah surat berwarna jingga dengan Tulisan Battle of Realm : Exiled Realm tercetak di bagain pojok kanan bawah muka amplop yang digenggamnya. Surat itu pemberian terakhir dari kakeknya sebelum ajal menjemput kakek berusia 88 tahun tersebut.

kakeknya mati mengenaskan oleh penyakit yang tidak diketahui asal usulnya. Mata kakeknya terbelalak, tubuhnya seperti gosong terbakar oleh api, tampak mengerikan. Mang Ujang mencoba menyembuhkannya dengan ramuan air kelapa yang baru saja ia racik. Tapi sayangnya nyawa sudah putus bagi kakeknya. Ia tak tahu harus berbuat apa selain meratapi kesedihan ditinggal kakeknya, satu-satunya orang yang paling dekat dengannya kini telah tiada.

Satu pesan terakhir dari kakeknya hanya sepucuk surat yang digenggamnya saat itu. Kakeknya berkata itu adalah satu-satunya petunjuk untuk menemukan kedua orang tuanya.

Ia membuka amplop tersebut dan sepucuk surat ke luar dengan sendirinya, melayang seolah hukum gravitasi tak berlaku baginya. surat tersebut memunculkan beberapa kalimat yang intinya ajakan untuk bergabung dan berpetualang di dunia yang bernama Alforea. Selanjutnya hanya ada pilihan [YES] dan [NO] yang tertera di bagian kaki surat kusam itu.

Mang Ujang bimbang, baru saja ia dikejutkan dengan kematian kakeknya yang mendadak, kini surat misterius muncul mengajaknya pergi ke suatu tempat yang sama sekali asing baginya, "Alforea? Kota di provinsi mana itu?"

Mang Ujang kemudian menekan [YES], bukan karena ia tak peduli dengan kakeknya lagi, namun ini satu-satunya petunjuk untuk menemukan kedua orang tuanya.

Tiba tiba sebuah portal terbentuk di hadapannya, menarik tubuh Mang Ujang sangat kuat sehingga tidak memberikan Mang Ujang kesempatan untuk melawan. Kesadarannya semakin lama semakin hilang dan begitu ia membuka matanya, ia sudah berada di sebuah tempat, lebih tepatnya taman berukuran luas dengan sebuah istana berdiri kokoh di ujungnya. "Selamat datang, tampan!" Seru seorang wanita bertopi fedora berdiri di hadapannya. Buru-buru Mang Ujang bangun dan merapikan kancing kemejanya yang entah kenapa bisa terlepas.

"Cepat masuk, Jang!" teriakan Asep membuyarkan lamunan Mang Ujang.

Satu-per-satu mereka memasuki pintu gua yang lumayan kecil sehingga membuat mereka harus menundukan kepala mereka lebih rendah sedikit agar tak membentur atapnya yang bercadas. Monster-monster tak nampak satupun di sini karena mereka sibuk bertarung dengan prajurit Alforea di sebrang celah bukit, termasuk Tamon Rah yang berkeliling mencari mangsa secara acak di sana.

 "Aku punya rencana," ucap Mang Ujang sambil sesekali mengernyitkan giginya menahan rasa sakit.

"Gini ya, menurut Felicity tadi, kita ditugaskan untuk menyegel seluruh monster ini dengan cara menghancurkan menara dekat kastel itu, kan?"

Ketiga temannya mengangguk, mencoba mendengarkan ide dari Mang Ujang.

"Rencana pertama adalah sampai ke tengah kastel tersebut dengan selamat, benar? begini, aku punya sebuah kemampuan yang bisa menghentikan gerakan lawan sekitar 3 sampai 6 detik, tergantung jenis kelamin lawan tersebut." Mang Ujang berhenti sejenak, menatap ketiga temannya seolah ia akan melakukan hal buruk pada mereka.

Ketiga temannya tidak berbicara, hanya dari raut mukanya tergambar pertanyaan yang sama, oke, terus gimana caranya?

"Caranya, kita akan membuat sebuah formasi bertarung, aku di tengah, dan kalian semua mengelilingiku agar aku bisa tetap fokus mencari monster. Nah, tugas kalian adalah untuk  menghanjar, kalo bisa membunuh sekalian monster yang sudah tidak bergerak. Hanya itu saja. Gimana?" jelas Mang Ujang sambil mengangkat keningnya.

Asep, Risa, dan Dyna saling bertatapan. penjelasan dari Mang Ujang cukup mudah dipahami, namun mereka berpikir dan mencerna kembali untuk mencari celah dari strategi Mang Ujang, bukan untuk mendebatnya, hanya saja untuk memastikan bahwa strategi tersebut cukup matang sehingga tidak membahayakan nyawa mereka.

"Aku tidak masalah, kalian?" Asep bertanya kepada Dyna dan Risa, yang beberapa detik kemudian dibalas dengan anggukan dari keduanya.


"Baiklah, kita tidak punya banyak waktu, strategi kedua nanti akan kupikirkan setalah kita sampai di sana."

"eh, tapi tunggu sebentar,"

Mang Ujang menarik ke depan tas selempengannya, mengambil sebuah botol lalu ia minumkan isi dari botol tersebut yang berbentuk cairan kental mirip seperti ****. Warna cairan tersebut merah muda karena di dalamnya terdapat campuran kelopak bunga anggrek.

"Apa yang kau lakukan, U-JANG? Menjijikan!" pekik Risa merasa geli melihatnya.

"Ini ramuan penyembuh, Ri-Sa!" Mang Ujang meledek gaya bicara Risa. "Ini buatanku sendiri, bisa menyembuhkan apa saja. Lihat.." Mang Ujang menunjukan luka memarnya yang tadi sudah mengeluarkan nanah, kini perlahan sembuh. Darah, nanah, dan lebam biru yang sebelumnya sangat jelas terlihat, kini secara ajaib menghilang seketika. Bukan hanya itu saja, tubuh Mang Ujang yang tadi dekil terkena asap pasir kini sudah bersih kembali, kulitnya halus dan tak ada noda sedikitpun di sana, seolah tubuhnya sudah dicucui bersih. Termasuk rambut hitamnya yang kusut, kini sudah hitam mengkilap lagi.

"Hebat oge kamu, Jang!" puji Asep.

"hehe, ayo berangkat!" ajak Mang Ujang.

Mereka berempat pergi ke luar dari gua tersebut dan langsung membentuk formasi sesuai apa yang diperintahkan oleh Mang Ujang.

Hembusan angin malam kian menerpa kencang, kali ini tidak terasa dingin, udara di gurun berubah menjadi panas hanya dalam beberapa menit saja. Kobaran api terdapat dimana-mana, sementara bau hangus bangkai monster dan manusia yang dibawa oleh angin masuk begitu saja kedalam hidung mereka.

Dyna merasa jijik melihat bangkai bangkai para prajurit Alforea yang tergeletak dengan kondisi yang sangat mengenaskan, tubuhnya terbakar gosong layaknya daging ayam yang dibakar terlalu lama diatas api yang besar. Asap-asap masih mengepul di sekujur tubuhnya. Jika di sana ada burung bangkai mungkin dengan cepat burung bangkai tersebut menemukan mayat prajurit itu.

"Satu monster muncul dari arahku!" teriak Dyna. Posisi Dyna yang berada di arah samping kanan seharusnya membuatnya bisa sedikit lebih santai daripada Asep yang berada di depan, namun ternyata keberuntungan kali ini tidak berpihak kepadanya.

"Wink!" ucap Mang Ujang.

Seketika, monster yang hendak menyerang Dyna diam membatu seolah gerakannya terhenti dan koordinasi otaknya terganggu. Dyna tidak menyia-nyiakan kesempatannya. Kali ini dengan mudah ia membidikan serangannya, karena monster itu diam tak melompat-lompat seperti monster slime yang ia serang sebelumnya. Ia mengeluarkan sebuah gelombang suara tak kasatmata di sekitar tangannya dan mengarahkannya tepat ke arah jantung monster tersebut.

Satu monster serigala sukses terkapar dengan luka bolong di bagian dada kirinya.

"Bagus!"

Satu ekor, dua ekor, tiga ekor monster dari berbagai bentuk berdatangan dari arah mereka dan berhasil mereka lawan dengan cepat berkat kemampuan aneh dari Mang Ujang.

Namun tak memakan waktu lama, sebuah bola api menyerang mereka secara bertubi tubi. Tepat di atas mereka kini dengan gagahnya berdiri Tamon Rah yang selama ini mereka takuti. Guratan-guratan sayapnya yang terbakar api mulai terlihat sangat jelas dan mengerikan tatkala matanya yang berwarna merah darah menatap keempat pendatang yang tak diundang itu dengan tajam. energi api kini mulai terkumpul dari mulutnya, menunggu waktu yang pas untuk dikeuarkan, dan waktu tersebut adalah sekarang!

"BERPENCAR!"

Seketika, formasi yang tadi sudah tersusun rapi mulai buyar. Dyna dan Mang Ujang berlari ke arah sebelah kiri sementara Asep dan Risa berlari ke arah sebaliknya. Tepat setelah mereka berlari, semburan api telah sukses meluncur ke arah pasir yang beberapa milidetik lalu dipijak oleh mereka berempat.

"Tunggu kami di kastel!" teriak Mang Ujang kepada Risa dan Asep sambil berlari ke arah berlawanan karena entah mengapa Tamon Rah malah mengejar dirinya dan Dyna.

Tamon Rah yang sedari tadi menyerang dengan membabi buta, entah kenapa kini sudah bisa menyerang target secara khusus. Seolah ia sudah mendapatkan penglihatannya kembali.

Dyna mulai curiga dengan tingkah Tamon Rah, ia tatap mata merah Tamon Rah, penuh kengerian, kemarahan, dan terlihat rasa dendam di sorot matanya yang samar itu.

"Aku tau cara mengatasimu," gumam Dyna tersenyum lebar.

"Say, sepertinya Pegasus itu mengincar dirimu."

"Lho? Darimana kamu tau, Nna?"

"Penjelasannya panjang, nanti saja. Intinya, monster itu mengincar kekuatan hitam kamu itu."

Mang Ujang menatap goloknya yang masih memancarkan energi hitam.

"Dengarkan, aku punya rencana.." Dyna melompat ke samping menghindari semburan api dari Tamon Rah.

"Gila, Hampir saja... begini, Say. Coba kamu lihat prajurit Alforea itu?"

"Yang sedang melawan monster Katak itu?"

"Yap, Prajurit itu menggunakann sihir hitam yang sepertinya mirip dengan yang kamu punya," ucap Dyna. "Rencanaku adalah, kita berlari ke sana. Begitu kita sampai di sana, kamu matikan secepat mungkin ilmu hitam itu."

"Gitu doang, Nna? Gampang itu mah."

Keduanya berlari ke arah prajurit Alforea yang tadi mereka bicarakan. Tak butuh waktu lama untuk mereka sampai di sana, keduanya kini sudah berada dekat dengan prajurit tersebut, masih dengan Tamon Rah yang terus menyemburkan api kepada mereka. Beruntung mereka masih bisa menghindarinya.

"SEKARANG!"

Mang Ujang mendengar teriakan Dyna mengiang di telinganya. Memang baru ia sadari sekarang jika wanita berkemeja hitam itu sering bicara seolah lawan bicara mereka tuli. Sesegera mungkin Mang Ujang mematikan kemampuan Aura Golok miliknya. Cahaya hitam yang mengelilingi goloknya dan sekujur tubuhnya kini sudah menghilang.

Dyna dan Mang Ujang membalikan badan seketika, dan benar rencana milik Dyna. Tamon Rah terlihat seperti kehilangan arah, ia memang masih mengeluarkan bola-bola api dan masih juga menembakannya, hanya saja sekarang ia tidak menargetkan serangannya kepada mereka lagi.

"Yuhu!" Sorak mereka berbarengan, kedua tangan mereka saling beradu di udara, namun tentu saja tidak sampai menumbulkan suara, hanya sebatas ekspresi kegembiraan semata karena sudah berhasil mengelabui seekor monster paling menyeramkan di tempat itu.

"Kamu pintar, Nna!" Seru Mang Ujang. "Kok kamu bisa tau?"

"begini, tampan.." Dyna mendekatkan tubuhnya ke arah pria berambut hitam di hadapannya.  "Setelah kuperhatikan dari awal pegasus itu muncul hingga sekarang, ia menargetkan serangannya hanya kepada monster dan prajurit Alforea yang menggunakan sihir. Itulah mengapa dia tidak menyerang kita saat kita berlari menuju gua, karena saat itu memang kamu, satu-satunya pengguna sihir di antara kita berempat tidak mengaktifkan sihir hitammu itu."

"Aku masih belum mengerti," ucap Mang Ujang sambil dengan wajah kebingungan.

"Gini deh," kata Dyna sambil menghela nafas, mencari penjelasan yang Mudah dipahami oleh Mang Ujang.

"Coba bayangkan 5 ekor sapi berada di depanmu, dan salah satunya bertubuh gemuk dan sehat."

"Ya, lalu?"

"Diibaratkan sapi tersebut dibandrol dengan harga yang sama, dan kamu sudah punya uang untuk membelinya, sapi yang mana yang akan kamu pilih?"

"ya sapi gemuk itu atuh."

"Nah, seperti itu juga cara pegasus itu bekerja, ia memilih pengguna sihir yang paling kuat untuk dia serang. Dia bergerak berdasarkan detektor sihir miliknya. Semakin kuat sihir itu, maka itulah yang dia incar."

"Aku mengerti sekarang, jadi Aura Golok milikku ini ia anggap sebagai salah satu sihir yang kuat, gitu ya, Nna?"

"Nah, itu aku heran juga. Jika dilihat sekilas dari mata awam, sihir hitam kamu itu terlihat biasa saja, malah lebih superior sihir hitam milik prajurit Alforea yang kita lewati, tapi entah kenapa malah dia terus mengincar kita. Entahlah, perkiraanku ini benar atau salah, yang penting rencanaku berhasil, kan?" Dyna tersenyum penuh kemenangan.


"tapi, Nna. Jangan senang dulu," ucap mang Ujang. "Kita masih harus menghancurkan kedua menara kastel di sana."

"Ayo, Say. Aku juga ingin buru-buru!" ujar Dyna sambil menarik lengan Mang Ujang.

Mang Ujang arahkan langkah kakinya beriringan dengan langkah kaki lembutnya dina, berlari menuju arah kastel yang berjarak dua ratus meter di depannya, tentu saja ia tidak mengaktifkan Aura Golok miliknya, ia dan Dyna hanya berlari biasa, sedikit sembunyi-sembunyi agar Tamon Rah tidak menyadari keberadaan mereka.

"Kamu, Nggak apa-apa, Nna?" Mang Ujang menyadari stamina Dyna tidak begitu bagus jika terlalu lama bergerak ke sana-kemari. Nafasnya tersenggal-senggal seolah ada yang menghimpit di saluran pernafasannya.

"Entahlah, sepertinya aku mulai kehabisan tenaga. Kita harus cepat-cepat."

====

Dari berbagai sudut yang bisa dipandang Mang Ujang, tak ada tempat yang lebih mencolok dari kastel yang kini sudah berada di hadapannya. Megah dan menawan. Hanya saja sudah hancur sebagian, cat putihnya memang sudah menguning dan dinding-dindingnya pun sudah bolong di sana sini. Yang tersisa dan masih berdiri kokoh hanya dua menara yang menjulang saling berdampingan.

Di bagian pintu kastilnya, terlihat monster-monster saling berjaga. Mengenggam sebuah tombak dan tameng pada masing-masing lengan mereka. Salah satu yang membuat bulu kuduk merinding adalah monster bertubuh serigala yang besar dan berbulu lebat.

"sstt.."

Sebuah suara seperti bisikan terdengar di kedua pasang telinga orang yang baru saja melawan dua ekor Centaurus itu.

"Sstt... Jang, Kadieu!"  dari samping kanan mereka, sesosok bayangan terlihat di pojok dinding pagar kastel tersebut. butuh waktu untuk Mang Ujang mengenali sosok bayangan tersebut karena gelap sekali, namun dari suaranya ia bisa pastikan jika itu adalah Asep dan Risa.

"Kang Asep, lagi ngapain di sini? Aku pikir kamu sama Risa sudah menghancurkan dua kastel tersebut," tanya Mang Ujang setelah menghampirinya.

"Itu mustahil, bodoh!" ketus Risa. "Aku memang bisa saja menghancurkan kedua menara itu dengan mudah, tapi lihat, di sana monster yang ratusan kali lebih menyeramkan berada di sekitar kastel itu. ini benar-benar sudah gila."

"Sudahlah, kita tak punya banyak waktu. Begini, saya punya kabar buruk dan kabar baik," ujar Asep.

"Kabar Buruknya adalah apa yang baru saja Risa katakan tadi," lanjut Asep tanpa meminta persetujuan kabar apa yang ingin mereka dengar terlebih dahulu. "Dan kabar baiknya adalah aku tahu cara menghentikan semua kegilaan ini!"

Mang Ujang dan Dyna saling beradu pandang. Lalu memusatkan kembali perhatian mereka kepada Asep.

"Jadi, gimana caranya?" tanya Dyna, tidak sabar.

"Gini, Jang. Tadi si Risa dan saya sudah menanyakan kepada salah satu tentara Alforea cara menghancurkan kedua kastel di sana itu," Asep mengarahkan telunjuknya kepada menara yang menjulang tinggi di atasnya. "menara tersebut, dan semua monster di sini hanya bisa hilang jika kita menghancurkan keduanya... secara bersamaan. Dan sayangnya menara tersebut kebal terhadap serangan sihir, itu artinya, Kamu, jang... kemampuan kamu tidak akan bisa menghancurkan menara itu."

Mang Ujang menangguk setuju, memang ia sudah tahu mustahil baginya untuk bisa menghancurkan menara itu dengan kemampuan minimnya.

"Tadi juga, saya dan si Risa sudah berunding, kami berdua yang akan menghancurkan menara tersebut. kami yakin akan bisa mengahancurkannya."

"Terus tugas aku dan Ujang apa?" tanya Dyna.

"Tugas kalian adalah untuk mengalihkan perhatian monster selama saya dan risa berfokus menghancurkan menara. Tapi jika kalian sanggup," jelas Asep.

"Hmm... aku tidak masalah, Kang Asep, kalo kamu Gimana, Nna?" setuju Mang Ujang yang kemudian dibalas oleh anggukan dari Dyna.

"Bagus kalo begitu, masalahnya adalah cara menerobos masuk ke dalam. Di depan pintu ada dua orang Gorila besar berkostum seperti gladiator, kita tidak mungkin melawannya karena akan memancing keributan besar dan bisa menggagalkan rencana kita."

"Tenang, Kang. aku punya ide," ucap Mang Ujang sambil tersenyum. "Aku punya kemampuan yang belum kutunjukan pada kalian semua."

Mang Ujang melangkahkan kakinya selangkah kedepan, dan menundukan kepalanya seperti orang yang sedang berbisik.

"Namanya adalah Dematerialisasi, kemampuan yang bisa membuat tubuh kita tembus pandang tidak terlihat, termasuk bayangan kita pun akan ikut menghilang. Tanpa jejak, pokoknya, benar-benar menghilang." Jelas mang Ujang terlihat menggebu-gebu "Hanya saja, kemampuan ini berdurasi hanya 30 detik saja dan hanya bisa dilakukan sekali saja."

"tiga puluh detik?" potong Risa.

"Benar."

"Itu cukup," sahut Asep. "Yang penting, sesampainya di sana, kita langsung melakukan tugas kita masing-masing."

Semuanya saling menatap satu sama lain, memastikan semuanya mengerti rencana yang telah disusun barusan.

"Siap?"

"Dematerialisasi!" bisik Mang Ujang menyebutkan jurusnya, sebagai tanda jika rencana penerobosan sudah dimulai.

Meraka berlari sekencang mungkin ke arah pintu masuk istana. Melewati begitu saja penjaga dan beberapa monster yang benar-benar menyeramkan, dipenuhi oleh aura mistis yang seribu kali lebih kuat dibanding monster-monster keroco di luar sana.

Asep berlari memisahkan diri ke arah kanan, begitu juga dengan Risa yang berlari ke arah sebaliknya. Mang Ujang masih berlari lurus menuju sebuah meja lebar yang berada di tengah istana. Dan menaiki meja yang terbuat dari batu tersebut.

"kamu harus ikut denganku, Dyna!" Kata mang Ujang sambil menarik tubuh Dyna ke atas meja.

5 Detik lagi hingga durasi Dematerialisasi habis. Ia lirikan matanya ke arah dasar menara dan terlihat Asep dan Risa sudah siap di posisinya masing masing.

Mang Ujang mengangkat tangan kanannya dan mulai menghitung.

3.... 2.....1

"HANCURKAN!"

Asep mulai melaksanakan tugasnya, begitupun dengan Risa. Asep memukul menara tersebut secara brutal dengan hanya menggunakan tangan kosong, bergaya seperti seorang petinju. kedua lengannya yang berotot tentu memberi pengaruh sangat besar kepada setiap tinjunya. Sangat keras dan memang ganas. Jika itu manusia, mungkin akan terpental ribuan mil jauhnya.

Tapi menara tersebut retak sedikitpun.

"ANYING, HESE!" Jerit Asep, sudah puluhan tinjunya ia hantamkan kepada menara itu tapi tidak memberikan pengaruh apapun, bahkan tergorespun tidak.

Maneh main-main sama AING!

Asep sudah mencapai klimaks. Ia sudah tidak sanggup ingin segera mengeluarkan kemampuan pamungkasnya.

Asep mulai berdiri tegak. Ia hirup udara dalam-dalam masuk kedalam paru-paru dan terkumpul di lubang diafragma untuk membantunya mengeluarkan suara merdunya.

Ia akan bernyanyi.

"Ehmmm.... ~Dari sabang sampai merauke.... berjajar pulau-pulau.... sambung-menyambung menjadi satu... itulah indonesia~"

Risa yang sedari tadi fokus menghancurkan menara sebelah, tidak kuat untuk tidak bertanya apa yang tengah dilakukan oleh rekannya itu. "A-apa? apa kau sudah miring, A-SEP?"

"Hey, Asep. Kamu tidak sadar kita sedang dimana? HEY!"

Asep tidak menghiraukan apa yang risa katakan, malah semakin lama, nyanyiannya semakin kencang.

"INDONESIA TANAH AIRKU, AKU BERJANJI PADAMU! MENJUNJUNG TANAH AIRKU.... TANAH AIRKU INDONESIA!!!"

Berkumpulah, ilmu tenaga dalam sialan.

Selesai asep bernyanyi, Sebuah Energi berwarna biru seketika terkumpul di gumpalan tangannya. Berputar-putar di sana seperti sebuah sarung tangan yang terbuat dari air.

"HAKAN KU SIA..... KO-PI-LU-WAAAK!!!" Teriak Asep sambil menghantamkan tinjunya kepada menara berwarna putih kusam itu. dan jurus dari Asep berhasil. Retakan mulai muncul di tempat di mana Asep melancarkan serangannya.

Lama-kelamaan menara tersebut mulai rapuh dan menimbulkan suara gaduh yang kencang, gemuruh dari retakannya menggema ke seisi halaman kastel. tentu ini membuat sekumpulan monster dan penjaga kastel mulai mendekat ke arah Asep dan Risa.

Sekarang giliranku.

"HEI MOONSTERRS ANYING, KADIEU!" teriak Mang Ujang menghentikan langkah mereka.

"BERANINYA KALIAN MANGACUHKAN SOSOK TAMPAN DI HADAPAN KALIAN INI!" lanjutnya.

"Eh? Apa yang kamu lakukan," protes Dyna yang baru saja mendengar kalimat yang bisa membuatnya muntah seketika.

"Aduh, si Dyna. Cicing dulu... Sstt," bisik Mang Ujang.

"KALIAN JELEK."

"BAU KALIAN BUSUK."

"GORENG PATUT!"

Teriakan (ejekan, lebih tepatnya) dari Mang Ujang berhasil memancing mereka. Para monster yang mau tidak mau mengalihkan pandangan mereka ke arah sosok yang berdiri di atas meja, lalu berkerumun di tengah kastel sementara tangan mereka sudah siap dengan gada, tombak, kapak dan senjata lainnya yang mereka genggam. Tidak sabar mereka ingin menghantam kepala orang sombong itu seketika.

"ATAS NAMA DEWI KECANTIKAN MUSTIKA AYU DARI GUNUNG GEDE, DAN ANUGRAH SANG PENCIPTA ATAS WAJAH TAMPAN ILAHIAH YANG IA BERIKAN PADAKU.  AKAN KUBUAT KALIAN SEMUA MONSTER BURUK RUPA TERTUDUK MALU TELAH BERTEMU DENGAN KETAMPANANKU. TERIMALAH KEKUATAN PAMUNGKASKU INI. WIIINK!!!"

Seketika, seluruh monster, penjaga dan semua mata yang menatap kedipan mata dari Mang Ujang mematung tak berkutik sedikitpun. tak ada yang bisa mereka lakukan selain hanya mentatap sosok purnama di depannya, mereka sudah tidak peduli dengan sekitarnya. bahkan saat Dyna mulai mempersiapkan jurus andalannya, pikiran mereka masih terkontaminasi oleh ketampanan Mang Ujang.

Kau adalah kecantikan dari segala kecantikan!
Wajahmu bisa membuat bulan Alkima malu untuk bersinar!
Tatapan matamu, wahai orang asing,  lebih menyejukan dibandingkan oasis di seluruh gurun ini!
Kau tak ada tanding, sungguh keelokan paras yang sempurna!

Para monster masih termenung lama dalam pengaruh Mang Ujang. sementara Dyna sudah siap dengan jurusnya.

"Sekarang, Dyna!"

"AUGMENTATION!"

Bola imajiner tak kasatmata Dyna hempaskan tepat ke arah dua puluh lebih monster yang berdiri terpaku itu, terhampas begitu saja. Tulang, daging dan kulit monster tersebut berserakan ke sana kemari. Darah memuncrat membuat dinding istana berwarna putih itu seketika berubah warna menjadi merah.

Bersamaan dengan ledakan dahsyat itu, kedua menara yang sebelumnya telah rapuh kini jatuh terhempas ke tengah. Warna biru dan kilauan kristal dari menara itu sudah memudar dan hanya menyisakan tumpukan batu-batu pasir di tengah kastil.

"Kita Berhasil!" Sorak gembira terpancar di wajah keempat peserta Battle of Realm itu. wajah mereka memang terlihat lelah, penuh dengan luka fisik yang tak terhitung jumlahnya, dan keringat saling bercucuran. Tapi meraka tidak merasakan itu semua. Yang mereka rasakan adalah rasa bangga dan rasa senang. Kerja sama tim yang solid. Dan mereka benar-benar melakukannya dengan sempurna.

"Kamu hebat, Dyn"

"Kamu juga, say."



===



Beberapa menit kemudian, bulan alkima menyedot ribuan monster dan ratusan prajurit Alforea kedalamnya. Termasuk Tamon Rah yang saat itu tak berdaya. Api-api yang tadi membakar seluruh tubuhnya kini sudah padam. mata merahnya yang mengerikan itupun kini sudah nampak berubah menjadi warna hitam. Namun, Sebelum benar-benar terhisap seluruh tubuhnya, Tamon Rah sempat berteriak. Bukan sebuah ringkikan, ini lebih kepada sebuah kalimat utuh yang tersusun.

"HER DURN TOKRN, DORUMKN HITRAAN!"


Mang Ujang menatap dalam sosok Tamon Rah. "Siapa yang dia maksud?" tanyanya sementara matanya masih memperhatikan tubuh Tamon Rah yang semakin lama semakin tak terlihat.

"Siapa apanya?"

"Itu, yang barusan Pegasus itu ucapkan?" Mang Ujang sekali lagi mempertanyakan sesuatu yang ia dengar. Tapi Dyna, Risa, dan Asep serempak mengangkat kedua bahu mereka.

Mang Ujang heran, apa ia berhalusinasi, atau ia sudah tidak waras, tapi ia sangat yakin Tamon Rah berkata :

"AKU TUNGGU KAU DI NERAKA, ANAK IBLIS!"


18 comments:

  1. Ini udah yang keberapa kalinya ya pemandu dibunuh sebelum selesai ngomong...

    Saya jadi geli sendiri ngeliat Dyna di sini. Apa ya...kesannya mba" banget, mungkin menyesuaikan sama Ujang yang mang" #eh. Aplikasi kemampuannya juga somehow lebih brutal dari saya, meski ga masalah juga sih. Ngomong", kenapa sepanjang cerita dipanggil Nna, tau" di akhir jadi Dyn?

    Soal teknis cerita saya lancar aja bacanya, jadi ga ada yang perlu dikomentarin selain paling beberapa typo ga penting

    Cuma agak kurang sreg mungkin di flashback yang rasanya sedikit salah tempat, jadi ga pas motong adegannya (kerasa kurang impact gitu)

    Finishing agak nanggung, tapi saya juga ga ngerti kenapa ngerasa gitu

    Dari saya 7, +1 karena bisa munculin sisi Dyna yang beda dengan versi saya (dan modal stok oc ganteng yang bisa diincer #salah), jadi nilai akhirnya 8

    [OC : Dyna Might]

    ReplyDelete
    Replies
    1. Punya saya malah nggak diliatin si maid yang jelasin cara menyegel Tamon Rah.
      Cuma muncul pas perekrutan dan diakhir doang.

      Delete
    2. Mang Ujang & Dyna lagi asyik berduaan, biarin Asep yang siapin Kopi Luwaknya.
      Oya, kecuali flashback yang "aneh" pas2 di tengah battle, saya suka sekali orkestrasi battle yang ada. Karena saya sangat perhatikan detil2 di action, mulai dari timing kemunculan Tamon Rah, kekuatan menara kristal dsb, dan saya puas.

      Titip nilai 9/10 yah dari Vajra (Raditya Damian), Author: Andry Chang
      Kayaknya boleh nih saya share-in lagi Beauty Tips ala Ikemen-nya wkwkwk.

      Delete
    3. @Om Sam,

      itu Dyna emang awalnya aku sebut Dyn... tapi malah kek cowok, makanya aku ganti jadi Nna.. tapi yang bawah itu aku lupa edit :p
      makasih udah baca+kasih nilai :)

      @Om Andry

      flashback aku taro di tengah aku pikir biar gak mainstream, tapi malah keliatan aneh ya.. hehe

      makasih udah baca+kasih nilai juga ya om Andry, nanti aku share tips kecantikan ala Mang Ujang lagi :p

      Delete
  2. Yuhuu mang ujang...

    Eem sejauh ini cerita yang akang buat lancar-lancar aja tanpa banyak typo dan sejenisnya selain itu adegan pertarungannya cukup kerasa meskipun masih ada miss di beberapa hal seperti ritual yang harusnya di lakukan sama kang asep sebelum ngeluarin jurus kopi luwaknya yaitu membasuh kedua ketiaknya pake kopi. Di sini gak ada ritual itu.
    Terus karakter dynanya ga bnget di sini. Jatuh sudah karakter dengan sifat keren yg berwajah cantik di bayanganku setelah membaca dyna versi cerita ini. Hihi

    So! Nilaiku 7
    Jangan lupa mampir ke lapak khanza. Komen juga :3

    -Khanza M. Swartika-

    ReplyDelete
    Replies
    1. Oh iya ketinggalan, setuju sama om sam n om andry, flashback di tengah cerita bikin meeh n agak ganggu juga. Lagi serius-seriusnya eh malah muncul flashback. XD

      Delete
    2. Ahhh... iya.. aku gak perhatiin. Aku baru sadar kalo jurus kopi luwak itu jurus turunan dari barista armpit...

      Makasih Om Ady komen+nilainya, nanti aku komen ke khanza., ok? :p

      Delete
  3. Alur ceritanya ngalir, saya seneng ma dialog sundanya mang ujang sayang cuma sedikit. >__< Secara teknis penulisan juga uda bagus. Ah, kayaknya kita sepemikiran, pas saat-saat terakhir make ketampanan ilahiah sebagai jurus famungkas. #plak

    Nilai : 8

    OC aye : Zhaahir

    ReplyDelete
    Replies
    1. Weh, padahal bahasa sunda authornya gak begitu bagus :p

      Makasih cadel udah baca + kasih nilai :)

      Delete
  4. Akhirnya bisa ripiu prelimnya Mang Ujang. Udh baca dr kemarenan sih :)

    Hmm ... karena saya mentingin gaya bahasa, jd saya mau bahas ini dulu. Alurnya mengalir lah, tp masih ada (banyak) typo. Itu agak menganggu kalo buat saya.

    Then, IMHO dialognya masih agak kaku. Kadang bahasanya baku sekali ... kadang nge-slang. Campuran baku-daerahnya jga agak aneh kalo disuarakan dlm hati. Terus karakternya, lumayan lah. Saya tau bedanya sikap keempat personel ini.

    Pertarungannya sendiri, saya gak terlalu mempermasalahkan teknisnya.Dan karena alur dan gaya bahasanya udah bagus, saya titip poin 8 dulu, ya ^^

    BTW, itu skill Mang Ujang serem bgt ya. Monster-monster ampe bisa bertekuk lutut. Bisa-bisa OC-ku lupa tujuan dia ke Alforea lg kalo ketemu Mang Ujang.

    -Dari N. Alfian, pengarangnya Ahran-

    ReplyDelete
    Replies
    1. Makasih Ahran udah komen + Kasih nilai... ^>^

      Syukur kalo sikap antar personelnya kebaca, soalnya aku kerja keras banget di bagian karakterisasinya. >.<

      banyak yg komen soal Typo ya.. aku padahal udah cek ulang berkali-kali, ternyata masih ada juga haha

      terus soal skill Mang Ujang, skill Wink itu cuma bikin ngefreeze doang, dan gak bikin lupa ingatan. durasinyanya pun cuma 3 Detik (6 detik kalo cewek/betina). tapi itu emang jurus pamungkas, apalagi kalo dikombinasiin sama Aura Golok.

      Delete
  5. seperti biasa, Blackz kalau nilai menganggap semua karya sempurna dan semua nilai dimulai dari 10.

    -1 (9)
    Coba please belajar mengenai kalimat utama dan kalimat penjelas, 1 pharagraph hanya boleh memiliki 1 kalimat utama dan mang ujang terkadang memiliki banyak phragraph dengan 2 kalimat utama.

    -1 (8)
    terdapat beberapa bagian dimana banyak barisan dialog tanpa ketahuan siapa yang bicara, untuk memperbaiki ini ada 2 cara, perbanyak variasi Dialog Tag, ataupun latihan meng-khaskan dialog karakter.

    -1 (7)
    REalllllyyyy bad timing for flashback

    +1 (8)
    Dat ending is good
    memberikan landasan baik untuk canon si Ujang.
    walau entah apapun itu


    Frost' final verdict; 8

    ReplyDelete
  6. Saya kok liatnya Dyna di sini jadi kayak... ahem, pesolek Taman Lawang ya? <(")

    Terlepas dari itu, aliran cerita yang mulus dan eksekusi karakter yang bagus memberikan sebuah plus dalam entri ini, serius.

    Yang agak nge-ganjel hati saya cuma di dialog sih, saya kira bakal... lebih terasa logat sunda-nya, entah itu dari Kang Asep atau dari Mang Ujang...

    8/10 dari saya.

    Salam hangat dari Enryuumaru/Zarid Al-Farabi

    ReplyDelete
  7. Mang Ujaaang!!

    Aku mampir ya..

    Ehem.. kok tadi liat si cowok ganteng rambut violet itu ya? Eh, dia cewe? Nggak ahh dia cowok ^//o//^

    Ceritanya Mang Ujang menarik deh. Lancar gitu.. Tapi kadang saya bingung yang ngomong siapa.. Walau diberi penjelas tapi masih ada beberapa poin yang mbingungin..

    ..dan Mang Ujang ini ngapain sih kok tadi Tata liat ngelamun sendiri di tengah-tengah.. gak pas waktunya tauk! > o <

    Endingnya bagus Mang, Tata jadi penasaran itu kuda ngomong apa? Muehehe...

    Tata beri nilai 8 karena Mang Ujang tampan.. Ya?

    Fath'a Lir

    ReplyDelete
  8. Wah wah, si Asep kalahka ngajak gelut nu geulis deuih, tapi yang bikin ngakak itu si Dyna jadi cewek tulen di sini ya XD

    Oh iya, emang pelayan kafe di Bogor gak cocok ya pake pakaian maid? XD

    Uh, Teh Felicity kenapa kenapa dimatiin? Gimana nanti Oliver? /salah channel oi

    Gaya narasinya sebenarnya baik-baik aja, tapi mungkin karakterisasi para tokoh -selain Mang Ujang, menurut saya kurang. Jadinya mereka seperti orang lemah tanpa pendirian. (naon deuih?)

    Ah, augmentation milik Dyna kalo gak salah bukan bom yanug kayak dinamit, tapi lebih ke bom suara. Jadi harusnya gak bikin tubuh monster-monter itu hancur. Tapi gak tau juga sih, belum pernah ngerasain juga (lho?)

    Nilai 8

    dLanjung (Asep Codet)

    ReplyDelete
  9. Wah wah, si Asep kalahka ngajak gelut nu geulis deuih, tapi yang bikin ngakak itu si Dyna jadi cewek tulen di sini ya XD

    Oh iya, emang pelayan kafe di Bogor gak cocok ya pake pakaian maid? XD

    Uh, Teh Felicity kenapa kenapa dimatiin? Gimana nanti Oliver? /salah channel oi

    Gaya narasinya sebenarnya baik-baik aja, tapi mungkin karakterisasi para tokoh -selain Mang Ujang, menurut saya kurang. Jadinya mereka seperti orang lemah tanpa pendirian. (naon deuih?)

    Ah, augmentation milik Dyna kalo gak salah bukan bom yanug kayak dinamit, tapi lebih ke bom suara. Jadi harusnya gak bikin tubuh monster-monter itu hancur. Tapi gak tau juga sih, belum pernah ngerasain juga (lho?)

    Nilai 8

    dLanjung (Asep Codet)

    ReplyDelete
  10. ini sedikit BL ya? ato ada keanehan gender diantara Dyna dan mang ujang :3 btw alirnya ngalur egh alurnya ngalir jadi seru dibacanya :3 tapi ya tadi agak gimna gitu ama bahasa say say nya :'v

    jadi ane kasih 7/10 dah :'

    Dallas

    ReplyDelete
  11. Hai Mang :D
    Narasi dan pace nya oke, tapi seperti komen-komen sebelumnya, flashback (=bengong) di tengah pertempuran begitu bisa bikin Mang Ujang yang tampan cedera wajah lho :'( /apasihkamu/

    Either way, suka sama endingnya yang berpotensi jadi pembuka plot baru, mudah-mudahan bakal ada conlang juga buat selanjutnya ya
    Dyna dan Ujang mesra(?) sekali, bakal ada kelanjutannya tidak? (heh heh)

    8

    OC. Apis

    ReplyDelete