9.5.15

[PRELIMINARY] MARIA FELLAS - PINTU GERBANG NAGA

MARIA FELLAS - PINTU GERBANG NAGA
Penulis: Ummi Hinata


“Hidup adalah pilihan dan setiap pilihan memiliki konsekuensi.”

-Hinata Ummi-

***


Apakah kau tahu definisi “benar” itu apa? Bagaimana caranya kau mengetahuinya? Bagaimana kau tahu apakah kau akan bahagia dengan pilihanmu. Aksimu. Kelakuanmu. Konsekuensimu. Gerakanmu. Hidupmu. Bagaimana kau menjelaskan semua itu?

Relativisme dalam contoh yang paling sempurna.

Yah… relativitas. Tak ada satu manusia-pun di muka bumi ini yang mengetahui bagaimana relativitas memunculkan dirinya. Kita hanya mampu mengetahui bagaimana caranya bekerja. Berbeda definisi antara satu manusia dengan manusia lainnya. Bahkan yang paling relatif di muka bumi ini adalah relativitas itu sendiri.


Pilihanmu, menurutmu, adalah yang terbaik. Berbeda ketika itu dilihat oleh orang lain. Berbeda pula jika orang tuamu yang melihatnya. Berbeda pula ketika itu dilihat oleh nenekmu, kakekmu, temanmu, musuhmu. Semua orang memiliki interpretasinya sendiri. Tergantung seberapa menguntungkan pilihanmu menurut mereka.

Lalu, dari sinilah semua berawal. Berawal dari sebuah pilihan yang nantinya akan membawamu ke pilihan lainnya. Berawal dari sebuah pilihan yang mengantarkan kepada relativitas kebenaran. Berawal dari sebuah pilihan, lalu memunculkan kerelatifan definisi antara tantangan atau… bunuh diri.

***

(1- Awal Dari Sebuah Pilihan)


“Maria Fellas.” Sebuah suara asing memanggilnya dari balik pintu masuk laboratorium kimia yang kini tengah ia gunakan. Suara itu terdengar dalam dan tegas.

“Ya! Tunggu sebentar!” Maria Fellas menatap ke arah pintu sejenak lalu melepas kaca mata lab yang ia kenakan serta meletakkan semua peralatan yang tengah ia pegang ke atas meja. Sambil setengah berlari Maria bergerak ke arah pintu yang terbuka setengah.

“Ada apa…” Ia terdiam sejenak sebelum melanjutkan kembali pertanyaannya, ” eum… ibu siapa?”

Gadis kecil berambut pirang itu menatap bingung seseorang yang memiliki tinggi hampir dua kali lipat darinya. Ia merasa aneh dengan hidungnya yang tidak dapat mendeteksi bau apapun dari tubuh orang tersebut.

Tanpa mengatakan apapun wanita itu menyerahkan sebuah surat bersegel aneh, ke dalam genggaman tangannya. Secara spontan matanya menatap ke arah surat tersebut. Ia mengerutkan keningnya.

“Ini apa?” Tanyanya pada udara kosong di hadapannya.

Pertanyaanya tak pernah terjawab. Ketika ia mengangkat kepalanya kembali, sosok tersebut telah menghilang. Ia membolak-balik surat tersebut untuk mencari tahu siapa pengirimnya. Tapi nihil. Tak ada informasi.

Di dorong rasa penasarannya yang semakin kuat, Maria membuka segel itu.

“Orang aneh, masa sih jaman udah serba maju gini masih pake surat?! Kuno banget! Surat cinta aja udah bisa dikirim via bisikan.” Gumamnya dengan tangan yang tetap bekerja membuka surat itu.

Dan ketika ia berhasil membuka suratnya...

“Surat apaan ini! Sialan!” Ia meremas surat di dalam genggamannya. Matanya menatap ke depan dengan penuh kekesalan dan semangat yang membara.

“Dunia baru, huh? Cih, kau meremehkanku! Aku ikut!”

…adalah kalimat terakhir yang ia ucapkan. Ia raib begitu saja. Sekejap mata dan hilang. Hanya bunyi gumpalan kertas menyentuh lantai yang terdengar menggema dalam ruangan. Sebelum surat tersebut pun ikut raib bagai tak pernah menampakkan dirinya.

Hening. Tinggallah api biru dari pembakar bunsen yang kini masih menyala. Membakar kehidupan benih toge yang berada di atasnya. Menunggu seseorang datang mematikannya sebelum… terlambat.

***

Itu.. kejadian beberapa saat yang lalu. Sebelum aku tiba-tiba muncul di sini. Sebelum aku diselimuti cahaya terang yang menyilaukan dan… tiba di tempat ini.

“SIAL!! Ada yang bisa menjelaskan ini tempat apa dan kenapa aku bisa ada di sini!?”

Apa-apaan manusia-manusia ini. Lihat mereka cuma melihatku begitu saja. Bahkan tanpa memandang ke arahku. Bahkan setelah mendengarku berteriak. Mereka kira mereka siapa hah? Cih, sombong sekali mereka. Tidak tahu apa dengan siapa mereka melihat? Dasar makhluk-makhluk menjijikkan.

Dan lihatlah… tak satupun dari mereka yang menjawab pertanyaanku. Apa mereka tidak tahu siapa aku? Aku Maria Fellas. Gadis keturunan keluarga Fellas yang terkenal. Bangsawan yang paling di hormati di bumi.

Eh.. tunggu dulu, ada yang aneh dengan tempat ini. Ini.. di mana? Tempat ini berbeda. Ini bukan kotaku. Langitnya terlalu biru. Pepohonannya terlalu hijau. Tanahnya terlalu rapi. Perumahannya.. tidak! Tidak mungkin! Rumah-rumah itu! Itu rumah para bangsawan Earl! Bohong!

Bangsawan Earl dari Inggris telah punah sejak berabad-abad yang lalu. Apa mungkin cahaya putih tadi merupakan portal untuk ke masa lalu? Apa mungkin aku kembali ke masa lalu? Tidak! Belum ada teknologi mesin waktu di bumi. Aku yakin itu. Tapi bagaimana bisa?

Tunggu. Aku harus tahu aku sedang ada di mana.

Kerumunan. Ada kerumunan di sana. Ada banyak manusia… tunggu! Mereka bukan manusia. Orang-orang di tempat ini terlalu beragam. Terlalu banyak macamnya.

Kerumuan itu menghadap ke satu arah. Ke mana?

Ah, gedung besar itu. Mereka menghadap ke gedung besar itu. Melihat dari ukurannya, gedung itu pasti merupakan pusat pemerintahan atau kerajaan. Aku harus ke sana!

Sial, semakin ke sana, semakin berisik saja. Mereka sedang apa sih sebenarnya? Berisik sekali!?

“Kita ada di mana sih sebenarnya, Iza?”

“Kau bertanya padaku!? Mana kutahu!?”

“Tapi kau yang membawaku ke tempat ini!”

“Suruh siapa kau mengikutiku, Shikawa?!”

Jadi mereka juga sama sepertiku? Kami berada di tempat yang tidak kami ketahui? Serius?

“Ini pasti gara-gara undangan itu. Duh, kenapa sih aku harus membalasnya!?”

“Undangan sialan!”

Undangan!?

Sialan! Jadi, undangan itu yang membawaku ke tempat ini? Ternyata benda itu portal menuju ke tempat ini. Jika ia adalah portal. Berarti tempat ini adalah… dimensi lain?

“Selamat datang di Alforea, wahai Para Petualang!”

Suara itu.

O-oh lihat ada yang keluar dari balkon istana.

Eh tunggu.. Demi apapun!? Itu apa!? Cewek macam apa yang punya.. punya.. jih, suntik silikon. Menjijikkan. Dan apa itu? Pria? Sepertinya iya. Walaupun rambutnya panjang, tapi dia punya jenggot, lagipula rahangnya terlihat jelas. Om-om?? Bukan! Rambutnya putih. Kakek? Tidak. Wajahnya terlalu muda.

“Siapa mereka?” Ah sial, kenapa aku harus bergumam seperti itu.

“Mereka? Itu yang bertubuh seksi dan menggoda adalah Tamon Ruu, dia adalah orang yang meng-inisiasi turnamen kali ini dan di belakangnya adalah Tuan Hewanurma, dia adalah observer dari tempat ini. Oh iya, hati-hati dia galak.”

Aku menatap gadis di sampingku ini dengan pandangan bingung. Wajahnya, pakaiannya, semuanya. Kenapa gadis ini mirip dengan gadis yang ada di belakang tante seksi itu!? Mereka kloningan?

Tante seksi penginisiasi turnamen, om-kakek-galak yang mengobservasi dimensi dan puluhan… Oh tidak ratusan gadis kloningan. Apakah ada yang lebih aneh dari ini?

Eh tunggu dulu… “apa kau bilang tadi!? Turnamen!?”

***

 “Apa kau bilang tadi!? Turnamen!?”

Kalimat si Gadis Pirang itu benar-benar menggangguku. Tidak mungkin! Aku ke sini bukan untuk mengikuti turnamen. Aku datang ke sini untuk bertemu dengan tetua Alam. Tetua para hewan dan tumbuhan.

Sudah jelas surat itu tiba di hari kelahiranku. Surat yang akan menentukan tujuan dari lahirnya aku di muka bumi ini. Namun, turnamen? Yang benar saja!?

“Aaa... tes...tes... baka to test,”

Sebenarnya tante itu mau ngomong apa? Dia bahkan tidak sedang menggunakan toak atau sejenisnya dan perlu tes suara. Tante yang aneh.

“Woi, nanti kena lisensi!”

Kakek tua ini juga ngapain, sih? Wajahnya berwibawa namun… tingkahnya seperti anak-anak. Eh.. tapi mukanya terlihat ganas. Sepertinya aku harus berhati-hati dengannya.

Mungkin, aku harus mendengar apa yang akan dikatakannya. Dari tadi, semua orang di sini tidak membantuku untuk mendapatkan informasi.

“Baiklah, mungkin di antara kalian ada yang bingung kenapa kalian secara tiba-tiba muncul di sini, dan mungkin juga ada yang sudah tahu kenapa kalian muncul di sini. Bagi belum belum tahu coba angkat tangannya yang tinggi~”

Yah.. lebih baik aku mengangkat tanganku, toh aku memang belum tahu tujuanku ke sini.

Eh? Kenapa semua orang juga mengangkat tangan? Jangan-jangan…

“Areee... bukannya sudah kutulis alasannya di surat undangan ya?”

Tante ini.. Oi kau bahkan tidak menuliskan apapun di sana!!!!

“Isi suratnya cuma satu kalimat, itu juga tidak jelas maksudnya apa,”

Wah, sepertinya aku lebih beruntung dari kakak yang ada di sana. Setidaknya aku mendapat dua kalimat.

“Sepertinya aku lupa menulis tentang turnamen di dalam suratnya, teehee~”

Tante ini… Oi, kau itu sebenarnya siapa hah!?

“Untuk apa kami dipanggil ke sini?”

Itu memang pertanyaan terpenting yang harus terjawabkan.

Ya…“Untuk apa kami semua dipanggil ke sini?”

***

“Untuk apa kami semua dipanggil ke sini?”

Anak ini, dari tadi ekspresinya menarik sekali. Berubah-ubah seiring dengan setiap penjelasan dari wanita bertubuh indah tersebut. Ah… jangan bandingkan tubuhku dengannya. Aku masih remaja, beliau… entahlah umurnya berapa.

Tapi pertanyaan dari kakak itu benar. Sebenarnya apa yang harus kami lakukan di tempat ini? Undangan itu tidak menjelaskan apapun. Tak ada sedikitpun petunjuk yang bisa di ekstraksi. Soal turnamen, kami baru mengetahuinya setelah tiba di sini. Ketertarikanku pada tempat ini hanya sebatas pada banyaknya manusia yang tinggal di negeri ini.  

Aku, seorang robot dari elemen Halia. Tugasku mengumpulkan segala informasi yang kubutuhkan untuk membantu ilmuwan di Future Earth agar bisa kembali hidup bebas. Hidup di negeri yang menyenangkan.

Oh iya, tadi aku sedang memperhatikan pria tua itu berbicara tentang turnamen. Sudah sampai manakah pengumumannya?

“Lalu jika memenangkan turnamen ini, kami akan dapat apa?”

Pertanyaan bagus. Jika memang ini adalah sebuah turnamen, maka kami seharusnya mendapatkan sesuatu yang layak bukan? Sesuatu yang bisa membuat kami, pemenangnya maksudku, merasa bahwa turnamen ini layak diikuti. Sesuatu seperti…

“Pemenangnya akan mendapatkan apapun yang dia inginkan!!”

Apa? Wanita itu sudah gila? Ini turnamen, aku tahu. Ia penyelenggaranya. Itu aku juga tahu. Tapi menjanjikan sebuah hadiah yang tidak mungkin ia penuhi? Apa yang sebenarnya dia pikirkan!?

“Kalau aku mau cintamu boleh enggak mbak?”

“Ga!”

Tuh kan! Dia tidak mungkin memenuhi janji itu. Itu sebuah hal yang mustahil. Memberikan apapun yang diinginkan oleh peserta katanya?

“Karena itulah, kami akan mengadakan babak penyisihan untuk memilih para peserta terbaik yang akan berlaga dalam turnamen Battle of Realms! Berikut ini adalah penjelasan tentang babak penyisihan, jadi dengarkan baik-baik!”

Babak penyisihan. Ini turnamen. Jelas ada babak penyisihan. Mengapa dia harus…. Ah sudahlah~ aku merasa tak perlu lagi mendengar apapun. Aku sudah lelah~

***

“Kau sudah mencoba minuman ini?” Seseorang memberikan sekaleng minuman padaku. Ada label WJK di kaleng tersebut. Ah… WJK yah? Minuman penangkal kesuraman dan pemberi kehangatan. Omong kosong sekali.

“Tidak, terima kasih. Aku sudah kenyang.” Ah. Sepertinya aku salah jawab. Seharusnya, ‘aku tidak haus’.

“Percayalah, kau pasti membutuhkan minuman ini!”

Aku menerima saja WJK itu dari tangannya, lebih agar dia sadar aku merasa terganggu. Tadi si wanita seksi, Yang-Mulia-Ruu, sudah menurunkan perintah. Perintah? Yah begitulah. Mereka, Yang-Mulia-Ruu dan Hewanurma (setidaknya begitulah tadi para pelayan berwajah-sama-semua itu menyebut mereka), sudah menurunkan tugas pertama. Tugas itu..

“Ngomong-ngomong, kau sudah memiliki tim?”

—pertanyaan tepat waktu. Yah, tugas pertama kami adalah membentuk tim. Sesaat setelah mereka pergi dari balkon istana itu, semua peserta ricuh. Membuatku pusing.

“Belum. Kau mau setim denganku?” Mencoba peruntungan. Mana tahu dia bisa jadi timku.

“Yang benar saja. Aku bukan peserta kawan.”

Aku memandangnya dengan tatapan yang tidak dapat diartikan. Bagaimana mungkin dia bisa berada di—ah ya dia mungkin saja sama seperti para kloningan itu. Penghuni asli dari Alforea.

“Hei.. aku punya ide untukmu. Mungkin kau bisa mempertimbangkan saranku.”

Aku memandang pria di sampingku ini dengan kening mengerut. Apa yang dia inginkan?

“Kau butuh tim bukan?”

Aku mengangguk. Tentu saja aku butuh tim! Hadiah yang akan diberikan oleh si Ruu sangat menarik. Mengabulkan apapun.

“Kau mungkin bisa mencoba mereka. Mereka sepertinya—menarik, bukan?” mimik wajahnya berubah misterius.

Aku mengikuti arah telunjuk pria itu. Ia menunjukkan kepadaku tiga orang bocah yang berdiri berdekatan dan celingukan. Yang satu gadis berambut pirang dan mengenakan tas berbulu domba, tampak tak tertarik dengan lingkungannya. Yang satu, bocah laki-laki berambut mohawk hitam berpenampilan layaknya tarzan. Sementara, satu lagi, bocah perempuan, berambut cokelat dengan pakaian besi yang cukup menarik untuk dijual.

“Tapi mereka semua bocah.” Ucapku mau tak mau. Enggan juga jika harus mengikuti turnamen setim dengan bocah-bocah seperti itu.

“Justru itu. Justru karena mereka bocah. Kau bisa memanfaatkan mereka untuk menang. Lagipula, sepertinya kau meremehkan mereka! Kau harus hati-hati dengan pemikiranmu, teman! Di dalam Battle Of Realms, tak ada satupun petarung yang dapat kau remehkan.”

Pernyataannya ada benarnya. Mana mungkin si Ruu mengundang orang yang tidak berkompeten untuk mengikuti turnamen tarung seperti ini. Lagipula, setim dengan bocah-bocah ini tidak ada ruginya. Tas bulu domba, baju besi dan anak panah itu nanti bisa kujual.

“Aku terima idemu kawan. Terima kasih atas sarannnya.” Ucapku sebelum meninggalkan pria bertudung hitam itu sendirian di warung tempat aku bertemu dengannya.



***

(2- Pembentukan tim)


Penjelasan dari duo-kocak di depan tadi sudah cukup memberi penjelasan, dan tentu saja ketenangan, kepadaku. Tempat ini bernama Alforea. Saat ini sedang diadakan tarung antar semesta bernama Battle Of Realms.

Dalam rangka mengurangi jumlah kami yang terlalu banyak, akan diadakan babak penyisihan hingga jumlah kami mengerucut menjadi empat puluh delapan orang. Babak penyisihan ini adalah babak berkelompok. Begitu menemukan kelompok yang pas, salah satu dari gadis kloningan itu akan mengantarkan kami ke tempat pertarungan.

Tapi masalahnya.. bukan ini yang kuharapkan ketika menerima tantangan itu!

“Hai adik kecil, mau setim denganku?”

Seorang pria mendekatiku. Pria itu tersenyum padaku. Seolah tak ada yang salah dengan mengajak seorang gadis kecil sepertiku ngobrol dengannya. Tentu saja aku memandangnya dengan curiga.

“Kau siapa?” Pelipisnya mengernyit mendengar pertanyaanku. Aku tahu mungkin ia merasa aku tak sopan. Mengingat umurku dan umurnya yang sepertinya terpaut jauh.

“Aku? Kenalkan, aku Adhyasta Dartono Gaspard.”

Dia menjulurkan tangan kanannya kepadaku. Menanti aku menyambut uluran tangan tersebut.

“Apa yang kau mau dariku?” Aku tak kuasa menahan pertanyaan itu untuk tidak keluar dari mulutku. Jika ia memang tidak memiliki tujuan khusus, tentu ia tidak akan berbau seperti ini. Aroma yang tercium begitu kuat dan sangat membuatku tidak nyaman.

“Oh ayolah adik kecil. Aku tahu kau juga menginginkan hadiah itu, dan kulihat, kau belum mendapatkan satu temanpun untuk dijadikan tim.”

Dia benar! Aku memang menginginkan hadiah itu. Dan orang ini sepertinya, walaupun mencurigakan, berkemampuan bagus untuk lolos dari babak penyisihan ini.

“Um… apakah kalian masih kekurangan anggota kelompok?”

Aku mengalihkan perhatianku dari kakak ini, mungkin aku akan memanggilnya kak Tono, kepada seorang gadis yang berdiri tepat di sebelahku dari tadi.

Dia… bukan manusia. Dan juga bukan makhluk yang memiliki darah.

“Oh tepat sekali, kami sedang mencari anggota kelompok. Apakah kau mau bergabung?” Dia mengucapkannya sambil menggaruk kepala tanpa menghiraukanku yang melotot ke arahnya.

Apa katanya tadi? Kita? Apa-apaan kakak ini? Tiba-tiba aku dimasukkan begitu saja ke dalam timnya. Bahkan aku belum memberikan persetujuanku.

“Oh.. syukurlah! Aku sudah berpikir aku tidak akan mendapatkan kelompok. Perkenalkan, namaku Halia Ole. Panggil aku Halia. Mohon bantuannya.”

“Wah sepertinya kita membutuhkan satu pria lagi di sini. Aku tidak mungkin menjaga kalian berdua sendirian.”

“Kalau begitu aku berada di tempat yang tepat.” Seseorang datang mendekati kami dan menatap kami dengan senyumnya yang aneh. “Aushakii. Aku sudah memilih kalian untuk menjadi teman setimku.”

“Hei, aku bahkan belum menyetujui….”

“Oke adik kecil, Halia dan Aushakii, kita setim sekarang.” Sial, aku bahkan belum selesai berbicara.

”Perkenalkan, namaku adalah Adhyasta Dartono Gaspard. Panggil aku Kak A…”

Dan anak laki-laki ini juga memotong pembicaraan kakak itu.

“Kak Tono. Sepertinya itu panggilan yang bagus untukmu.”

Dia menunjukkan jempolnya pada kami semua. Sementara kak Halia menatapku. Mungkin menungguku untuk menyebutkan nama.

“Aku belum setuju untuk…”

Dan sekali lagi, kak Tono menginterupsiku dengan tangannya yang menunjuk ke satu arah.

“Itu, ada gadis bergaun hitam celemek putih yang datang ke sini.” Jawab kak Tono demi melihat wajahku yang, mungkin, seperti bertanya di matanya.

"Apakah kalian sudah membentuk kelompok?" –adalah pertanyaan yang ia ucapkan ketika sampai di tempat kami.

Dan, seperti dugaanku, kak Tono yang menjawab dengan nadanya yang ceria.

“Sudah! Ini kelompok kami!” Ucapnya sambil menunjuk ke arahku, kak Halia dan Aushakii.

“Tunggu, aku belum se…”

Sekali lagi si pria sok keren itu memotongku dengan kalimatnya, “kami sudah siap untuk pindah ke medan pertempuran.” Lalu ia membekap mulutku tepat sesaat ketika aku sudah akan mengatakan ‘tidak’.

“Hmm… hmm...” Hei lolicon sialan. Lepaskan tanganmu!!

Si Gadis kloningan itu melirikku sejenak. Seperti memperhatikan ketidaksenanganku atas kesewenang-wenangan yang dilakukan kak Tono padaku.

“Baiklah kalau begitu, aku akan membuka portal untuk ke tempat di mana babak penyisihan akan dilaksanakan.”

Dengan selesainya gadis Kloning itu berbicara, seberkas cahaya membalut kami semua. Detik itu, Aushakii, kak Halia, kak Tono dan aku, menatap takjub pada pendaran cahaya yang semakin terang menyelimuti kami. Cahaya itu menyilaukan mataku. Silau dan..

--HEI, tunggu dulu!! Aku belum setuju untuk menjadi anggota tim kalian!!!!



***

(3- Di luar Perkiraan)


Aku mengerjapkan mataku. Cahaya tadi menyilaukan mataku. Sakit. Kurasakan tangan yang membekap mulutku tadi mengendur. Di mana kami sekarang?

“Kita sekarang ada di Shohr’n Plain. Sebuah gurun yang diciptakan oleh Yang Mulia Tamon untuk menguji kalian. Sayangnya, tempat ini mengalami sedikit, perubahan dari yang seharusnya. Kalian lihat di ujung sana, ada pertempuran besar antara klan Monster dengan klan Human.”

Gadis itu menatapku tanpa ekspresi. Lihat. Tidak ada pupil di matanya. Pandangan matanya kosong. Gadis ini memang kloningan.

“Tujuan kalian di sini adalah menyegel kembali Tamon Rah. Ia akan muncul sebentar lagi. Untuk dapat menyegelnya, kalian harus bergerak ke arah utara. Di sana kalian akan menemukan sebuah istana yang sudah hancur dengan dua menara kristal yang masih berdiri tegak di kanan kirinya. Kalian harus bekerja sama untuk menghancurkan menara tersebut.”

“Tunggu! Aku belum setuju untuk menjadi anggota tim mereka!” Akhirnya aku berhasil menyuarakan pendapatku.

“Sayangnya nona, detik ketika kakimu mendarat di tempat ini, sudah tidak ada jalan kembali selain memenangkan pertarungan.”

Aku membelalakkan mataku. “kau sedang mengatakan bahwa sekarang aku… terjebak?”

“Hei.. hei… tidak seburuk itu. Kita adalah tim!” Kak Tono menatapku tanpa merasa bersalah sedikitpun.

“Ya. Tak ada pilihan lain untukmu. Kau harus tetap hidup dan menghancurkan kedua menara itu, atau selamanya terjebak dan mati bersama perang.”

Si gadis kloningan itu menjawab pertanyaanku, yang sempat terpotong oleh kak Tono, dengan nada yang terdengar sangat didramatisir. Menciptakan suasana, yang sudah mencekam, semakin mencekam untuk kami. Aku, kak Tono, Kak Halia dan Aushakii membeku di tempat.

Aku terdiam. Mana kutahu resiko dari meng-iya-kan undangan itu sebesar ini. Aku memang sering terjebak. Tapi yang kali ini benar-benar di luar perkiraanku. 

“Hei!! Merunduk! Ada anak panah menuju ke arah sini!” Teriak Aushakii pada kami yang membuat kami langsung berjongkok. Berlindung.

Sebusur anak panah melesat ke arah kami dan menancap di batu kecil. Di tengah busur itu, tergantung sebuah kain yang diikat dengan seutas kain.

“Ini… pesan.” Aku menatap Aushakii yang bergerak mendekati busur panah yang tertancap itu. Dengan sangat hati-hati ia melepaskan kain itu dan membuka gulungannya. Tulisan yang tertera di dalam kain itu membuat kami semua melotot.

You better get ready for the WAR, Dear!
-Tamon Ruu-

 “Sial! Tante itu…” Aushakii meremas kain yang ada di dalam genggamannya.

“Yah, gimana lagi? Kalian ingat kan dengan hadiahnya? Apa yang kalian harapkan?”

Pernyataan kak Tono masuk akal. Untuk hadiah sebesar itu, apa yang kuharapkan. Mana mungkin mudah untuk mendapatkannya.

“Baiklah. Tugas saya hanya sampai di sini. Mulai dari sini kalian bergerak sebagai tim.”

Bersamaan dengan itu, si Gadis Kloningan menghilang dari hadapan kami semua. Menyisakan serbuk-serbuk cahaya yang berterbangan di udara. Menandakan bahwa perang… sudah dimulai.

***

“Jadi… apa yang harus kita lakukan sekarang!?” Ucap Aushakii menatap ngeri dengan sepasukan tengkorak yang kini mendekati mereka.

Aku, kak Halia dan Kak Tono juga menatap ke arah yang sama. Bukan apa-apa, bau tengkorak-tengkorak itu benar-benar menarik perhatian kami. Sesaat setelah si Gadis Kloningan itu menghilang, bau yang sangat busuk menguar di udara. Aku yakin ini bukan bau darah.

“Oke, adik kecil, Halia dan Aushakii, lindungi aku. Aku harus berkonsentrasi untuk menghubungi Tsaqif. Hanya dia yang dapat menyusun rencana dengan baik.”

Aushakii mengangguk dan mengambil posisi siaga. Ia mengeluarkan busur panahnya dan mulai bergaya seperti manusia dari klan setengah Elang. Membidik sasaran.

Bersamaan dengan kak Tono yang memulai proses bertapanya, Aushakii melepaskan anak panahnya yang pertama.

Kak Halia juga mengeluarkan sesuatu dari dalam botol yang tergantung di pinggangnya. Cairan berwarna abu-abu mengkilat. Tidak berapa lama cairan itu membentuk sesuatu yang sangat tajam. Pedang panjang.

Aku harus mengeluarkan senjata. Tapi apa!? Pisau spesimen. Ah ya!! Pisau spesimenku.

Akupun membongkar tasku untuk menemukan pisau itu. Walaupun pisau itu kecil, ia sangat berguna di saat-saat seperti ini.

“Hei kau, Gadis Pirang! Keluarkan senjatamu! Sekarang! sebentar lagi mereka mendekat! Kita tidak bisa menahan mereka dengan serangan jarak jauh selamanya!” Teriak Aushakii padaku.

“Aku sudah mengeluarkan senjataku, bodoh!” Aku menunjukkan pisauku padanya.

Pisau itu kecil. Tapi sangat tajam. Dia menatap senjataku dengan pandangan geli. Sialan! Dia meremehkan pisau ini.

“Teman-teman, bukan saatnya kalian saling meledek senjata sekarang.” Ada jeda dalam suara kak Halia, sepertinya ada sesuatu yang…”Mereka Datang!”

Tiga tengkorak bergerak ke arahku, tiga ke arah Aushakii dan sisanya ke kak Halia yang berada di paling depan. Mudah. Tubuh dan stamina para tengkorak ini lemah. Kami tak butuh waktu lama untuk menjatuhkan pasukan pertama itu.

“Eum… Ini perasaanku saja atau, bulan itu memang mengembang ya?” ucap kak Halia yang langsung membuatku dan Aushakii menatap ke langit.

“SIAL!!!” Aushakii mengerang. Ya. Akupun merasa ngeri dengan bulan merah yang ukurannya semakin mengembang itu.

Ketika pasukan kedua tengkorak tiba, kami sudah tidak terlalu fokus lagi dengan tengkora-tengkorak itu. Perhatian kami terbagi menjadi dua, sesekali menatap bulan, sesekali menatp tengkorak. Sementara kak Tono, masih belum ada tanda selesai.

“Aduh!” Satu tengkorak berhasil melukai lengan kananku. Sial! Kugerakkan tangan kiriku menebas tangannya. Ketika kulirikkan mataku ke arah Aushakii, “Aushakii AWAS!!”

Aushakii melompat menghindari serangan kuku-kuku tajam tengkorak-tengkorak itu.

"SIAL!! Oi kak Tono, cepatlah! Aku tak biasa jadi pelindung!" Omel Aushakii. Ia mulai kewalahan menghadapi musuh yang datang silih berganti. Di sebelahnya Halia juga tampak kepayahan. Aku sendiri, sudah terluka di lengan kanan dan kiriku. Bajuku sudah banyak terciprat darah.

"Kau ini! Berisik sekali! Kerjakan saja dulu tugasmu!" Balas Tono pada Aushakii sambil kembali berkonsentrasi.

"Masalahnya, itu makhkluk udah keluar dari bulan!" Teriaknya kembali dengan suara yang semakin panik. Aku mengikuti pandangan kak Halia yang kini sudah tidak lagi fokus pada pasukan tengkorak ketiga yang sudah akan mendekati kami.

"Apa kau bil..." Kak Tono membuka mata dan seketika matanya membelalak. Aku dan kak Halia sudah membeku di tempat. Makhluk itu besar sekali. Berkepala kuda dengan tanduk di ujungnya. Ia juga memiliki sayap yang sangat lebar di punggungnya.

Untuk membuat segalanya semakin runyam, makhluk itu… terbang ke arah kami!

"Oh sial! Ayo, kita harus pergi dari sini! SEKARANG!!" Teriakan Aushakii membahana di langit Gurun. Aku tak juga bergerak dari tempatku berdiri. Makhluk itu terlalu besar. Ia berwarna hitam pekat.

“KITA HARUS LARI!!!” Aushakii menarik tanganku. Menarikku untuk menjauh secepat mungkin dari tempat itu. Kami berlari menjauh.

Ya Tuhan!! Makhluk apa itu!?



***

(4- Monster Raksasa)


"Di mana kak Tono!?"

Setelah berlari cukup jauh dari tempat awal, akhirnya kami, aku dan Aushakii, menemukan tempat bersembunyi yang bagus. Kami bersembunyi di dalam sebuah goa, yang entah bagaimana ada di tengah padang pasir ini. Dari sini, kami masih dapat melihat dengan jelas pergerakan makhluk itu di atas sana.

Ia tak lagi mengejar kami.

"Tadi kau dan kak Tono berlari ke arah yang berbeda." Aku mengelus-elus pergelangan tanganku yang baru saja dilepas oleh Aushakii. Sakit juga. Mungkin dia tadi sangat ketakutan.

"Apa yang kau kata..." Aushakii menatap tak percaya padaku. Memelototkan matanya dan, "…oh sial! kita terpisah!"

Aushakii kini ngos-ngosan. Ia berdiri dengan tangan bertumpu pada lututnya. Tampaknya ia sangat lelah.

"Sepertinya begitu.." Aku menatap kembali ke arah mereka berlari. Di sana, di atas sana, makhluk itu masih berterbangan dengan liar. Melemparkan amunisinya ke segala penjuru. Seperti tidak memiliki mata untuk melihat dan membidik sasaran.

Aneh, tadi makhluk itu jelas-jelas mengejar kami. Kenapa sekarang ia menyerang membabi-buta begitu?

"Eh... tunggu!!" Seperti baru menyadari sesuatu Aushakii kembali menghadap ke arahku. "Di mana kakak robot itu?"

"Kakak robot?" Aku menatapnya dengan bingung. Robot apa?

"Iya kakak perempuan yang tadi juga bersama kita."

"Oh. Kak Halia?" Jadi dia robot? Pantas saja tidak tercium bau darah darinya.

"Oh jadi namanya Halia?"

"Tadi dia ditarik oleh kak Tono." Aku malas menjawab pertanyaannya mengenai nama kak Halia. Mencoba kembali memperhatikan makhluk besar yang masih terbang di kejauhan sana.

Makhluk itu benar-benar aneh. Tadi ia seolah tahu di mana keberadaan kami. Namun, sontak setelah kami mulai berlari, ia kehilangan arah.

"Dan namamu?" Aushakii kini tengah duduk selonjoran menyender pada goa di belakangnya.

"Siapa?" Aku menatap Aushakii dengan tatapan khas milikku. Tatapan dari sudut mata dengan bibir di miringkan ke sebelah kanan.

"Yang nanya?" Ia menjawab sambil mentertawakanku.

"HEI HARUSNYA ITU AKU YANG BILANG!?!?" Sial! Dia tahu Joke itu! Dan sekarang dia menertawakan kebodohanku.

“Hahahaha… lagian, kau itu bodoh atau apa sih? Siapa coba yang tidak tahu joke konyol itu? Hahahah.”

Sialan! Dia benar. Kukira, perbedaan tempat tinggal membuat perbedaan joke pula. Oh… bisakah dia berhenti mentertawakanku?

Tunggu, dia mau kemana? Kenapa dia bergerak ke arah gurun kembali!? Dia mau menantang makhluk besar itu?

"Aku mau mencari kak Tono. Kau ikut?" tanyanya padaku. Sepertinya ide bagus! Bagaimanapun aku tidak berani tinggal sendirian di sini.

"Ikut. Tapi bukan karena aku takut sendirian di sini ya!"

"Iya!"Aushakii malah kembali tertawa mendengar jawabanku. Sialan! Sepertinya dia tahu aku takut ditinggal.

"Cepetan! Entar ku tinggal loh!"

Aku bergerak menyusulnya. Setengah berlari. Ia memang orang yang menyebalkan. Namun, setidaknya aku tidak sendiri sekarang. Sebentar lagi, monster tengkorak itu pasti akan menyerang kami kembali.

"Nama kamu siapa? Aku Aushakii." Ia bertanya ketika akhirnya aku berjalan tepat di sampingnya. Berhasil menyusulnya.

"Maria Fellas. Panggil aku Felly."

Setidaknya aku tidak mau dia memanggilku dengan sebutan Gadis Kecil atau si Rambut Pirang. Walaupun aku sangat menyukai rambutku ini, tapi bukan berarti panggilan itu menyenangkan untukku.

"Fell. Oke!"

***

 “Aushakii, kau punya jam?”

Aku memandang Aushakii dengan ragu. Mungkin seharusnya aku tidak menanyakan keberadaan jam padanya. Anak ini mungkin saja tidak pernah melihat jam sebelumnya.

“Tidak, tapi aku bisa membuat jam matahari.”

“Aushakii, kau ini bodoh atau pelupa? Ini malam, bagaimana mungkin kita bisa membuat jam matahari!!”

“Becanda Fell, kau ini serius sekali sih?”

Aku menarik nafas dalam. Anak ini kadang terlihat sangat pintar, namun terkadang juga sebaliknya. Menyebalkan. Membuatku sulit menebak arah pikirannya itu ke mana.

Tapi, ada sesuatu yang benar-benar menggangguku. Puluhan bola api raksasa yang diberikan oleh makhluk di angkasa itu seperti sangat konsisten mengikuti waktu tertentu. Selain itu, daya ledaknya juga sangat besar. Walaupun tidak ada target spesifik, namun, aku yakin sekali bola-bola itu hanya menyerang ke satu garis lurus. Tapi apa?

“Kau sedang memperhatikan apa sih, Fell?”

“Jangan panggil aku, Fell! Dalam bahasa inggris, fell artinya jatuh!” Sial! Kenapa sih aku harus mengingat arti kata itu di saat seperti ini sih?

Ia mengerutkan keningnya.

“Aushakii, coba kau perhatikan ke makhluk besar itu. Apakah kau tahu kemanakah serangan bola-bola api itu menuju?”

“hmmm.. Aku tidak tahu, mungkin ke menara yang disebut sama wanita tadi?”

Wanita? Aku memandangnya, lagi, dengan kening berkerut. Maksudnya si Perempuan Kloningan tadi?

“Kenapa kau berpikir bahwa bola-bola api itu menuju ke menara?”

“Sederhana. Menara itu adalah kunci segelnya bukan? Kata wanita tadi, kita bisa mengembalikannya kembali tersegel di bulan jika kita menghancurkan kedua menara itu. Benar?”

Aku menganggukkan kepalaku mengiyakan pertanyaannya. Menunggu kelanjutan penjelasannya yang jelas masih menggantung.

“Sekarang, mana ada satupun makhluk yang ingin disegel kembali. Jadi…”

“Dia sedang berusaha melindungi.. menara?” Aku menatap tidak percaya pada Makhluk yang sekarang sedang menembakkan bola-bola api kembali.

“Tepat sekali Felly.”

Aku menatap Aushakii, lagi, dengan pandangan tidak percaya. Sudah kubilang bukan? Anak ini, terkadang pintar tapi terkadang sebaliknya. Manusia sejenis dia ini sulit untukku terka.

Kami masih berjalan. Masih mencari keberadaan kak Tono dan kak Halia yang entah berada di mana sekarang. Sampai saat ini, keberadaan kami sangat jauh dari tengah gurun. Jauh dari tempat pertarungan.

Belum ada tanda serangan lagi dari tengkorak-tengkorak hidup itu. Di bumi, makhluk-makhluk aneh ini akan menjadi objek penelitian yang menarik. Tubuh mereka menguarkan bau mayat. Mungkin, di sini, sudah ada penelitian mengenai menghidupkan kembali yang telah mati.

“Aku kira di gurun seperti ini tidak ada tanaman, ternyata ada. Yah.. walaupun cuma semak sih.”

Kata-kata yang diucapkan oleh Aushakii tadi mengalihkan perhatianku dari monster-monster yang sedang bertarung di ujung sana. Semak? Mungkinkah semak itu?

“Kau mau ngapain Fell?” Tanyanya ketika melihatku mendekati semak yang tadi ditunjukkan olehnya. Aku heran. Sepertinya aku sudah mengatakan padanya untuk tidak memanggilku dengan sebutan “Fell”.

“Membuat sesuatu yang tidak perlu kau ketahui.”

Iya. Ini memang benar semak itu. Semak yang jika dilumatkan dan dicampurkan dengan cairan antikoagulan, dapat membantu melancarkan peredaran darah. Baiklah, mungkin ini akan kuperlukan.

Mungkin segenggam saja cukup. Lalu harus dilumatkan. Ayo Felly, konsentrasi. Konsentrasi. Anggota timmu akan membutuhkan ini nanti. Ayo Felly, konsentrasi. Ramuan ini akan meningkatkan stamina. Ayo Felly konsentrasi. Keluarkan lima tetes zat antikoagulan itu. Sudah cukup.

“Euh.. Fell, kau ngences?”

Sialan!

“Ini bukan ngences!!”

“Lalu? Itu air liurmu menetes begitu.”

Sebentar, aku butuh sesuatu untuk menyimpannya. Aku tahu, tulang-tulang itu punya rongga. Tapi bagaimana caranya supaya steril? Tulang-tulang itu juga mempunyai lendir dan cairan lainnya. Tidak. Aku harus menemukan… botol.

Bagus. Aku menemukan botol untuk menyimpan ramuan ini. Sesendok saja ramuan ini, sudah lebih dari cukup untuk meningkatkan stamina peminumnya. Nah sekarang, sisa antikoagulan ini aku oleskan saja pada pisauku. Mungkin nanti ini akan membantu.

“Itu apa Fell?”

Aushakii menatap jijik pada botol kecil yang sedang kugenggam. Matanya sejajar dengan posisi botol.

“Ini ramuan penambah stamina. Dengan meminum ini…”

“Tunggu! Felly, kau akan meminum air liurmu?”

“Sebenarnya, ini untuk tim…”

“Tim? Kau juga akan meminta kami untuk meminumnya?”

“Itu tidak semenjijikkan yang kau pikirkan, Aushakii!!”

“Tapi tetap saja, itu air liur.”

“Tapi ramuan ini bisa membantumu untuk menambah…”

“Aku tidak percaya kau akan memintaku untuk…”

“RAAAHHHHH….”

Perhatianku dan Aushakii teralihkan pada sosok besar yang sudah berada di atas kami, siap untuk menumpahkan hujan api kepada kami! Bagaimana bisa? Dia tadi di ujung sana. Dia tadi tidak mendeteksi keberadaan kami. Dia tadi seperti makhluk yang tidak dapat melihat! Bagaimana bisa dia terbang ke sini. Tepat mengarah ke kami!

Pasti ada sesuatu! Pasti ada kemampuannya yang terlewatkan oleh kami. Tapi apa?

“Pokoknya aku tidak mau meminum ramuan BODOHMU itu!!”

Aushakii menarikku kembali menjauh. Melarikan diri dari monster terbang itu.

“Kenapa kita lari!?”

Teriakku sambil ketakutan melihat ke belakang kembali. Makhluk itu menyemburkan apinya tepat ke tempat tadi aku berdiri. Ya!! Ke tempat tadi aku berdiri dan mengeluarkan cairan antikoagulanku.

“Kau tidak berubah menjadi gila kan Fell? Kita bisa mati!?”

“Tunggu dulu! Aushakii!!” Aku menarik lengannya untuk menghentikannya berlari. ”Dia tidak mengejar kita! Lihat!!”

Aushakii menatap kembali makhluk terbang itu. Makhluk itu menyemburkan api, lagi, ke arah tempatku berdiri sebelumnya. Semak yang kuambil daun-daunnya kini sudah gosong terbakar api dari mulutnya.

“Bagaimana bisa? Dia mengincarmu?”

Sepertinya Aushakii juga memperhatikan posisi serangan makhluk itu yang hanya menuju ke satu arah.

“Bukan! Dia mendeteksi keberadaan kita!” Aku menekankan kata ‘kita’ pada Aushakii untuk memperjelas.

“Apa maksudmu?”

“Tadi, saat pertama kali dia muncul, dia langsung terbang mengarah ke kita. Namun, ketika kita lari, alih-alih mengejar, makhluk itu terbang ke sembarang arah, dan menyerang siapa saja.”

“Jadi maksudmu, ada sesuatu di dalam diri kita berempat, yang mampu membuat dia mengetahui di mana kita berada?”

Aku mengangguk mengiyakan. Ada sesuatu di dalam diri kami yang mampu menarik perhatiannya. Seolah kami memancarkan sinyal GPS ke arahnya.

Sinyal GPS… jangan-jangan…

“Kemampuan!”

Ucapku dan Aushakii bersamaan. Tak kusangka dia memiliki pemikiran yang sama denganku.

“Euh… tak kusangka kemampuan itu.. ngences!”

“Itu bukan ngences! Itu antikoagulan! Cairan yang mampu mengencerkan darah dan melancarkan peredaran darah!”

“Apapunlah katamu, itu tetap air liur!”

“IYA!! Itu air liur yang mengandung obat! Kenapa kau tidak mengerti sih? Dasar anak kampung!”

“RAAAAHHHH~~”

Kembali perhatianku dan Aushakii teralihkan. Bola-bola api dari makhluk terbang itu melesat ke segala arah. Aku dan Aushakii melompat untuk menghindari bola-bola api itu.

“Auuhh!” Sial, bahu kananku kena. Aku meringis untuk meredakan nyeri yang merebak dari bahuku.

Makhluk terbang itu kini terbang liar di angkasa. Menyembur apa saja. Aku dan Aushakii mulai kewalahan menghindar. Kami tak bisa menyerangnya karena dia di atas.

“Sial! Kenapa makhluk itu harus terbang sih?”

Lalu, keadaan bertambah buruk. Sekarang, bukan hanya makhluk-terbang-dengan-bola-api yang harus kami khawatirkan. Sekelompok manusia berbadan kekar berwarna hijau, bergigi taring dan berhelm cokelat dengan tanduk dikepalanya, sedang menuju ke tempat kami berada. Mereka membawa palu yang berukuran sangat besar di tangan kanan mereka.

Aushakii sudah dalam posisi siaga. Sepertinya ia sudah siap untuk diserang. Aku… apa yang harus aku lakukan?

“Felly, masalah kita belum selesai!”

Lalu, serangan palu dari Orang-hijau pertama menghantam tepat beberapa senti gundukan tanah di sampingku. Aku menatap ngeri dengan mata merah Orang-hijau yang menyerangku. Aku bergerak ke kanan dan maju satu langkah. Dengan cepat kugerakkan tanganku ke depan, tepat ke ulu hati Orang-hijau tersebut.

Ia ambruk. Darah berwarna hijau membanjir mengalir dari lukanya.

“Kau… air liurmu itu…”

Sepertinya Aushakii sempat melihat aku mengoleskan cairan antikoagulan ke pisau.

“Sudah kubilang! Itu bukan air liur!”

--ucapku  sambil menghindar dari hantaman palu di sisi kananku. Bahu kananku masih luka dan sepertinya Orang-hijau ini tahu itu akan menjadi titik lemahku. Serangan selanjutnya ia lancarkan, dengan sigap aku menangkap tangannya dan menggigitnya. Cairan antikoagulan mengalir dari tubuhku ke tubuhnya.

Oh sial! Aku membelalakkan mataku begitu melihat semburan api bergerak cepat ke arahku.

Aku akan mati!!!



***

(5- Bertemu Kembali)



"Di mana Aushakii!?"

Setelah berlari cukup jauh dari tempat awal, akhirnya kami, aku dan Halia, berhasil menemukan tempat bersembunyi yang bagus. Kami bersembunyi di balik sebuah batu yang terbentuk dari tumpukan karang. Sepertinya tempat ini dulunya adalah laut. Atau pantai? Entahlah.

Dari sini, kami masih dapat melihat dengan jelas pergerakan makhluk itu di atas sana. Ia tak lagi mengejar kami. Aneh sekali.

"Tadi kita berlari ke arah yang berbeda."

"Apa yang kau kata..." Aku terdiam dan menatapnya, " jadi… kita terpisah?"

Halia terduduk di sampingku. Sama ngos-ngosannya. Kami berlari cukup jauh dari titik awal. Halia tampak mengelus-elus pergelangan tangannya yang baru saja kulepas. Sepertinya aku terlalu keras tadi menariknya.

Bagaimana lagi? Tadi aku panik. Makhluk itu sangat besar! Mungkin Tsaqif akan tertawa-tawa jika melihatku sepucat tadi.

"Sepertinya begitu.." Ucapnya disela-sela nafas yang masih memburu. Sepertinya dia sama kehabisan nafasnya denganku.

Aku menatap kembali ke arah tempat awal kami berlari. Di sana, di atas sana, makhluk itu masih berterbangan dengan liar. Melemparkan amunisinya ke segala penjuru. Seperti tidak memiliki mata untuk melihat dan membidik sasaran.

Aneh, tadi makhluk itu jelas-jelas mengejar kami. Kenapa sekarang ia menyerang membabi-buta begitu?

"Eh... tunggu!!" Ada yang kulupakan.. "Di mana gadis kecil itu?"

"Gadis kecil?" Ia menatapku dengan bingung.

"Iya gadis kecil yang berambut pirang. Yang tadi bersama kita?"

"Oh, tadi dia ditarik Aushakii ke arah yang berbeda. "

Aku menghela nafas mendengar jawabannya. Jadi, sekarang tim kami terpisah. Dua-dua, huh? Sepertinya kami sedang double-date. Double-date di medan perang. Hehehe.

Sial! Apa yang kupikirkan sih? Di saat-saat sepert ini. Lebih baik aku memperhatikan makhluk besar itu kembali.

Makhluk itu benar-benar aneh. Tadi ia seolah tahu di mana keberadaan kami. Namun, sontak setelah kami mulai berlari, ia kehilangan arah.

“Halia… apakah kau tahu penyebab…” Aku terdiam menatap ke arah tempat duduk Halia, ”…Halia?“

 --dia menghilang. Demi apapun. Ke mana gadis satu itu? Kenapa aku harus ditinggal sendirian di tengah peperangan seperti ini?

Suara apa itu? Seperti suara derap langkah pasukan berbaju besi. Suaranya merdu sekali. Terdengar rapi dan halus. Sepertinya mereka sudah terlatih.

Eh? Tidak mungkin!? Pasukan berbaju besi beneran! Aku sepertinya harus kabur. Aku.. tidak! Aku tidak akan kabur! Pasti ada sesuatu yang dapat kugunakan sebagai senjata. Pasti….

“Tidak ada… Mending aku kabur!”

Sekarang, selain mencari Aushakii dan Gadis kecil berambut pirang itu, aku juga harus mencari Halia. Ah! Sial! Kemana sih gadis itu! Di saat seperti ini.. dia…

"Kak Tono, kak Tono... aku kemba…” dia terdiam sejenak dan, ”waaaa…. Kenapa kakak menarikku?”

"KAU!! Dari mana saja!?"

Suaraku keras sekali. Sejak kapan aku membentak perempuan!

“Kak, tunggu dulu!” Halia menarik tanganku dengan kencang. Aku tidak peduli, aku tetap menariknya.

Namun satu sentakan kuat ia menarikku hingga terjerembab, “Kubilang, tunggu!!”

“Kau gila? Itu pasukan berbaju besi sedang mengarah ke kita!”

“Aku tahu! Biarkan aku melawan mereka!” Dia mengambil sesuatu dari kantong di pinggangnya. ”Kakak bersembunyi saja di balik batu itu dan dengarkan ini!”

“Tapi.. kau..” Aku menggenggam sebuah radio kecil dan sekumpulan kaset berukuran segenggaman bayi yang diberikan olehnya.

“Jangan meremehkanku. Bertarung adalah keahlianku.”

“Baiklah kalau begitu! Mereka kuserahkan padamu, Halia!”

Entah apa yang dilakukan Halia selanjutnya, aku tak tahu. Yang jelas aku berlari menuju bongkahan batu terbesar. Berlindung di sana.

Ini… suara..

“He? Ini suara apa?” Aku bengong menatap radio kecil itu. Yang benar saja? Ini hanya suara burung yang berterbangan. Hmm… mungkin aku memasukkan kaset yang salah. Coba yang lain.

Suara kodok. Bukan. Mungkin yang lain.

Suara kucing. Bukan. Mungkin yang lain.

Suara kambing. Bukan. Mungkin yang lain.

Suara serigala. Bukan. Mungkin yang lain.

Suara tikus. Bukan. Mungkin yang lain.

Ini…. Ular? Oh sial! Sebenarnya apa yang ingin diperdengarkan gadis itu padaku?

“Hei, Halia!! Semuanya kumpulan suara…”

Aku membelalakkan mataku demi melihat dia yang kewalaha menghadapi manusia berbaju besi itu. Yang seperti itu yang kau sebut sebagai keahlian? Dasar bodoh!

Aku segera berlari ke arahnya dan menariknya dari kerumunan manusia berbaju besi yang mengeroyoknya.

“Kita harus lari, Halia!”

“Tapi, kak Tono…”

“Jangan bodoh! Kita masih harus menghancurkan menara itu!”

Kami kembali berlari menghindar. Sesekali Halia menyabetkan cairan berwarna metal ke arah para Baju-besi yang mengejar kami. Satu persatu dari mereka tumbang dan meninggalkan baju besi yang kosong. Tanpa mayat.

Baju-baju besi itu bisa berguna.

“Halia.. kita membutuhkan baju-baju besi itu!”

Halia mengangguk padaku. Dengan gerakan harmonis, aku dan Halia bergerak menyerang para pasukan berbaju besi itu. Halia yang menyerang, aku mengambil baju besi yang sudah kosong. Sepertinya kali ini serangan Halia lebih terkoordinir.

Tidak sampai sepuluh menit… kami berhasil—

“RAAAHHHHH~~~~”

--menarik musuh lainnya!

Sial! Makhluk raksasa itu kini mengejar kami!

"Halia! Baju besinya sudah cukup! Kita harus pergi dari sini… ” aku melotot melihat semburan api yang besar sekali mendekati kami. ”Aku belum mau jadi manusia panggang!!”

Dengan segera ku tarik Halia menjauh dari makhluk besar itu.

“Halia, aku yakin ada yang aneh dengan makhluk terbang itu. Tadi dia tidak mengejar kita.”

Aku berteriak menceritakan kecurigaanku pada Halia. Aku menariknya ke balik sebuah batu besar. Menunggunya bercerita. Tiba-tiba di atas kami, makhluk terbang itu melintas. Melewati kami begitu saja.

“Iya. Semua sudah ada di dalam rekaman itu, kak!”

Apa? Di dalam rekaman? Rekaman suara hewan-hewan itu?

“Rekaman apa? Kau memberikanku rekaman suara hewan, Halia. Kau kira aku mau relaksasi?”

“Oh iya… aku lupa! Rekaman itu, tidak bisa divisualisasikan. Maafkan aku.”

Halia menatapku dengan muka memelas. Sepertinya ia benar-benar lupa tentang rekaman itu dan cara kerjanya.

“Baiklah… ceritakan padaku apa isi rekaman itu!”

Aku menatap Halia dengan serius. Menunggu Halia untuk menceritakan dengan lengkap padaku apa yang dia ketahui tentang dunia ini.

“Dengan visualisasi atau tidak?”

“Visualisasi.”

Dengan mempertimbangkan file audio yang tadi kudengar, akan lebih baik dengan visualisasi.

“Tapi kak, kalau dengan visualisasi, aku harus menggunakan kemampuanku. Sedangkan menurut penelitian yang sudah kulakukan dari memperhatikan setiap memori para hewan yang sudah kurekam. Menggunakan kemampuan kita akan sangat berbahaya untuk kita.”

“Kenapa?”

“Karena, di salah satu rekaman memori, ada rekaman beberapa tahun lalu ketika makhluk yang ternyata bernama Tamon Rah itu pecah dari bulan seperti saat ini, dan dia menyerang siapa saja yang menggunakan kemampuannya.”

“Tunggu dulu, jadi kau mau mengatakan bahwa, serangan makhluk, Ah Tamon Rah itu disebabkan oleh kita yang menggunakan kemampuan kita?”

Halia menganggukkan kepalanya.

“Iya… dia memiliki kekuatan yang disebut Cast Detector

Kalau begitu… mahkluk tadi terbang ke arah…

--ketika aku menyipitkan mata dan menatap ke arah terbangnya makhluk bernama Tamon Rah itu, aku sudah tidak lagi dapat mendengar apa yang dikatakan oleh Halia selanjutnya. Dugaanku benar!

“Halia… penjelasannya nanti saja! Selamatkan gadis pirang itu!”



***

(6- Menyusun Rencana)



“Fell!! Bangun!”

I-itu…  suara Aushakii. A-aku belum mati?

Perlahan aku membuka mataku. Wajah kak Halia dan Kak Tono mendominasi pemandangan. Kak Tono menggunakan pakaian aneh. Seperti pakaian kesatria. Jadi, aku sudah mati?

Mataku menatap langit hitam kelam yang entah untuk ke berapa kalinya kulihat hari ini. Tak berubah. Suara bedebam keras menggema bersama suara pedang yang saling beradu di medan laga.

Tunggu… medan laga? Aku masih di Gurun? Aku masih di tempat pertarungan? Aku masih hidup?

Sekejap aku langsung duduk. Kini aku bisa melihat dengan jelas apa yang terjadi. Aku belum mati. Aku bahkan tidak pingsan. Aku masih di sini.  Aku masih hidup!

“HEH! Mau sampai kapan kamu mendramatisir keadaan begitu?”

“Aku tidak sedang mendramatisir keadaan!” Aku menatap Aushakii kesal. Bisa-bisanya dia mengatakan aku mendramatisir keadaan. “Tadi aku kesembur api!? Kenapa aku masih hidup?”

“Karena kamu diselamatkan Halia adik kecil.”

Kak Tono tersenyum ke arahku. Menepuk kepalaku sebentar. Di sampingnya terdapat tumpukan besi rongsok yang tidak kuketahui apa namanya. Seperti yang dipakai kak Halia.

“Nah! Sekarang, adik kecil kalian harus mengenakan ini!”

Kak Tono menunjukkan tumpukan besi di sampingnya. Itu baju besi. Kutatap Aushakii yang juga sudah menggunakan benda serupa. Dari mana kak Tono mendapatkannya?

“Tak penting dari mana, yang penting benda ini, bisa melindungimu dari terluka lebih parah.”

Kak Tono menyerahkan baju besi, yang entah kenapa terlihat berukuran sama dengan tubuhku. Jangan-jangan dia tadi…

“Aku tidak menyentuhmu adik kecil, berhentilah berprasangka buruk padaku!”

Aku menghela nafas lega. Perlahan kukenakan baju besi itu. Baju ini berat. Ini akan memperlambat pergerakanku. Tapi ini lebih baik dari pada terluka karena pedang atau benda tajam. Walaupun aku tidak akan bisa menahan serangan makhluk terbang itu dengan baju ini.

“Nah, teman-teman, aku yakin, selama terpisah tadi kita banyak menemukan informasi-informasi menarik yang dapat membantu kita menuju ke menara secepatnya. Jadi, sekarang, apa saja yang sudah kalian ketahui?”

Lalu, kami mulai menceritakan apa saja informasi yang telah kami ketahui. Kak Tono memberi tahu bahwa Halia mengetahui banyak hal mengenai dunia ini. Dari informasi yang terkumpul, kami mengetahui beberapa hal penting. Tentang makhluk terbang yang ternyata bernama Tamon Rah. Tentang posisi menara yang mengikuti jalur peperangan.

"Baiklah, untuk bisa keluar dari gurun ini, kita harus bekerja sama. Maka dari itu, pertama, kumpulkan semua senjata kalian di tengah sini!"

"Kau tidak bisa dipercaya." Aku menatap kak Tono tajam tanpa berkedip. "Kau tidak mengumpulkannya untuk menyelamatkan kita semua dari sini. Kau melakukannya untuk dirimu sendiri."

“Baiklah jika kau masih saja mencurigaiku, Felly. Aku hanya ingin membantu.”

Aku menatap kak Tono dengan bingung. Dia mengatakannya seolah tidak ada yang salah dengan itu semua. Cih, menyebalkan sekali orang ini!

“Aku punya kemampuan memanah. Aku bisa memanggil Bharanj, si Ruh Angin, untuk membantu. Aku memiliki getah semak palapa yang beracun. Kurasa, kemampuan itu bisa digunakan selama perang ini.”

Aushakii sepertinya memilih untuk bekerja sama dengan kak Tono. Sesuatu yang sudah dapat kuduga.

“Kemampuanku adalah bending. Jika kalian tadi melihat cairan metal yang kugunakan untuk menyerang, itu adalah bending. Aku dapat mengendalikan zat-zat yang setengah solid, seperti lumpur, tanah liat dan cairan metal. Rekaman yang tadi disebutkan oleh kak Tono juga adalah kemampuanku. Aku dapat merekam dan memutar ulang rekaman dari memori makhluk hidup.”

Kini, kak Halia, Aushakii dan kak Tono menatapku. Sepertinya menungguku untuk ikut membeberkan kemampuanku.

“Baiklah.”Aku menghela nafasku sekali sebelum melanjutkan.

”Aku bisa mengeluarkan cairan antikoagulan melalui air liurku. Gigi taringku ini, ” aku menunjukkan gigi taringku pada mereka, “… sangat tajam. Saat aku menggigit sesuatu yang hidup, cairan antikoagulan itu masuk ke dalam daging korban dan membuat darahnya tidak dapat membeku.”

“Kau… seperti lintah.” Kak Halia menatapku dengan datar.

“Sayangnya, aku memang lintah. Setengah lintah lebih tepatnya.”

Sepertinya hanya itu saja yang mungkin berguna untuk peperangan ini.

“Aku, cuma pemulung biasa. Kemampuanku hanya mencatat dan mengumpulkan informasi dengan ini.” Kak Tono mengangkat pena dan buku catatannya. “Selain itu, yah… aku bbisa berkomunikasi dengan Tsaqif di bumi. Sisanya, aku tidak punya kemampuan mengerikan seperti kalian.”

Sejenak kami terdiam. Aku, Aushakii, dan kak Halia saling menatap dalam diam.

“Oke. Kalian tidak perlu merasa bersalah padaku. Sekarang, apakah kalian punya ide bagaimana caranya kita bisa memenangkan pertarungan ini? Aku tidak punya ide. Mengingat aku tidak mungkin menghubungi Tsaqif.”

Entah kenapa, dan entah apa alasannya. Serentak kepala kami menatap ke arah Aushakii.

“Sebenarnya, “ ia menatap kami dengan tersenyum, senyum penuh percaya diri, ”…aku sudah punya rencana.”

***

Aushakii menjelaskan rencananya.

Rencananya sederhana. Sebuah pembagian tugas untuk kami masing-masing. Selama perjalanan kami yang tinggal sedikit lagi, kak Tono akan mengumpulkan semua alat, barang atau apapun sisa-sisa dari korban perang. Benda-benda ini adalah benda yang akan kami perlukan untuk menghancurkan menara.

Kak halia dan Aushakii akan bertugas untuk melindungiku dan kak Tono. Kak Halia akan menunjukkan arah berdasarkan apa yang ia lihat di dalam memorinya. Sementara Aushakii akan menjadi tameng serta pelindung dari makhluk-makhluk yang menyerang kami.

Kami akan berjalan menuju garis utama perang. Aushakii berkata dengan yakin jalan utama, yang diisi oleh prajurit yang bertempur itu, pasti menuju ke menara kembar. Selain itu, ia juga meminta kami untuk berusaha tidak menggunakan kekuatan mereka selama perjalanan.

Sementara, tugasku… hanya menjaga tasku dengan baik. SIALAN!



***

(7- Seribu Mata Peperangan)



Dan begitulah…

Kami akhirnya berjalan menuju garis utama jalur peperangan. Berusaha semaksimal mungkin tidak menggunakan kemampuan kami. Aku sedikit takjub dengan jumlha musuh yang tak habis-habis. Padahal jenazah mereka bergelimpangan di medan pertempuran. Seolah ada pabrik yang mencetak mereka dengan kecepatan tertentu untuk mengikuti peperangan ini.

Seperrti rencana, Aushakii dan kak Halia dengan lincah mengayunkan pedang yang ada di tangan mereka untuk melindungiku dan kak Tono. Baju besi yang sungguh berat untukku, tidak membuat mereka terganggu sama sekali. Justru mereka dengan lincah menggerakkan tubuh mereka ke kanan dan ke kiri.

Tapi…

--tidak pernah ada rencana yang berjalan baik di dalam sebuah peperangan.

“Kak Halia, jangan keluarkan cairan metal itu, kau akan memancing Tamon Rah!”

Selesai Aushakii meneriakkan kalimat itu, yang terjadi selanjutnya benar-benar di luar rencana yang telah kami siapkan.

“RAHHH~~”

Kami menatap ngeri dengan makhluk yang sudah siap menyemburkan api kepada kami. Kak Tono segera menarik Halia dari tempatnya berdiri. Tak peduli seberapa banyak musuh yang kini mengepungnya. Aku dan Aushakii juga segera berlari menjauh di detik ketika api itu disemburkan.

“Sudah kubilang kan jangan menggunakan kemampuan apapun!”

Teriak Aushakii setelah kami akhirnya mendapatkan tempat besembunyi. Terdengar suara bedebum keras. Sepertinya Tamon mengeluarkan kembali bola-bola api itu. Di tempat tadi kami berdiri sekarang bergelimangan tubuh-tubuh, jika bisa disebut begitu, yang terbakar gosong.

“Maafkan aku. Aku tidak tahan untuk tidak menggunakannya.”

Kak Halia menatap kami semua dengan pandangan merasa bersalah. Sekarang, Makhluk itu pasti akan semakin ketat menjaga menara itu. Mengetahui posisi kami yang sudah semakin dekat dengan menara kembar itu.

Semakin dekat kami dengan menara, semakin banyak pula serangan dari mahkluk-makhluk yang tak bisa kukenali. Ada yang berlendir, ada yang membawa palu besar, ada yang membawa pistol, ada yang berwajah merah dan bertanduk, ada yang membawa samurai.

Aku sudah semakin lelah. Gurun bukanlah tempat yang baik untuk setengah lintah sepertiku. Aku butuh air. Tempat ini dingin sekali. Tapi udara yang ada di sekitarku adalah udara dingin yang kering. Seperti gurun pada umumnya yang sangat dingin kala malam hari menjelang.

Dan sialnya…

“Teman-teman, monster-monster itu mengejar kesini. Kita harus menyerang mereka dan segera ke menara!”

Kami melompat begitu mendapatkan serangan pertama dari pasukan monster yang datang. Aku sendiri sudah melepaskan baju besi itu. Pergerakanku terhambat dengan mengenakannya.

“Felly, kenapa kau lepas?”

Kak Tono sepertinya melihatku yang melepaskan baju besi besar itu.

“Berat! Kita tidak bisa selamanya dilindungi oleh orang lain kak!”

Lalu, aku mulai membantu Aushakii dan Kak Halia menyerang monster-monster yang menyerang kami. Pergerakanku memang tidak selincah Aushakii ataupun kak Halia. Namun paling tidak aku berhasil menumbangkan beberapa monster dengan pisau kecilku ini.

“RAHHH~~~”

Kini, kami diserang tidak hanya oleh monster-monster itu, namun juga oleh Tamon Rah. Makhluk terbang itu, walaupun tidak dapat mendeteksi keberadaan kami, ia berkeliaran terbang di angkasa. Tetap secara konsisten melemparkan bola-bola api ke medan pertempuran kami.

Sudahlah kami harus menghindari serangan para monster, juga kini kami harus menghidari bola-bola api dari Tamon Rah. Apa sih sebenarnya yang kupikirkan ketika menerima undangan itu?

Kini bahkan kak Tono memilih untuk ikut bertarung menyerang monster-monster itu setelah lengan kirinya hampir saja teriris pedang samurai. 

Jarak kami dengan menara sudah semakin dekat. Aku mungkin masih bisa bertahan beberapa menit lagi. Tubuhku sudah semakin melemah. Tadi aku cukup banyak mengeluarkan cairan Antikoagulan. Ditambah dengan tidak adanya air yang dapat diminum dan udara yang kering ini, sudah dapat dipastikan, tingkat kekentalan darahku sekarang meningkat. Kesadaranku sudah semakin berkurang.

Tepat ketika akhirnya kami menjejak kaki di lantai istana yang hancur itu. Tamon Rah berbalik. Entah apa yang terjadi. Ia seperti enggan berada dekat dengan istana ini. Ketika akhirnya ia menghilang dari pandanganku, di saat itu pula, aku tahu alasan mengapa ia melarikan diri.



***

(8- Penutup Dari Awal Permainan)



Sejajaran bentuk tembus pandang berwarna biru muda membentuk di sekitar kami. Rapi dan berbaris. Pertama satu baris. Kedua  satu baris lagi muncul di belakangnya. Begitu seterusnya beberapa baris lagi terbentuk di belakang. Masing-masing bentuk perlahan memiliki warna yang semakin jelas. Itu monster.

Aku dan Aushakii langsung bersikap siaga. Segera mengambil kembali palu ukuran besar yang tadi sempat kami pungut dari pasukan monster terakhir yang menyerang. Sementara kak Tono dan Kak Halia sudah dari tadi bersikap waspada.

Belum hilang kekagetan kami, dari puncak menara tiba-tiba muncul suara mendesis aneh. Seiring dengan itu, muncul kabut putih yang berputar-putar di puncaknya. Awalnya berwarna pudar, lama kelamaan semakin terang dan…

“Menghindar! Menara itu akan melontarkan sesuatu!”

Kak Halia berteriak yang langsung membuat kami langsung melompat. Bersamaan dengan itu, serangan pertama dari barisan monster yang sudah terbentuk sempurna menyerang kami.

“Kyaaaa… ” Aku berjongkok untuk menghindari palu yang bergerak melintang dari arah kanan kepadaku. Tidak sampai sedetik, aku melompat ke kanan untuk menghindari serangan dari menara.

Menara-menara itu mengeluarkan satu lemparan berwarna putih secara acak terhadap kami setiap detiknya. Satu menara memang hanya melontarkan satu tembakan. Namun, melihat warna itu, aku tahu itu listrik. Terlalu berbahaya.

“Teman-teman, menara itu mengeluarkan listrik. Yang dia tembakkan adalah bola listrik!”

Aku berteriak pada mereka sambil melayangkan palu ke manusia hijau mirip Hulk di depanku. Ia terjatuh, namun dari belakangnya muncul Hulk lain yang kembali menyerangku. Aku pukul Hulk itu, muncul satu lagi di belakangnya. Mereka tidak habis-habis!

“Teman-teman, sepertinya monster ini tidak akan habis jika menara itu tidak dihancurkan.”

Sepertinya kami semua menyadari hal yang sama. Seperti punya kesepakatan bersama, kami bergerak ke arah tower di sebelah kiri. Aku dan kak Tono berdiri di dekat menara. Sementara Aushakii dan kak Halia berkitar melindungi kami dari serangan para monster.

Kak Tono menganggukkan kepalanya padaku. Memberikan tanda. Lalu dengan satu hentakan kuat, kami secara serentak memukulkan palu kami ke menara itu. Retakan terbentuk.

“Aak… ” Kak Tono tak sempat menghindar dari lemparan bola listrik menara sebelah.

Kedua menara menyerang kami sekarang. Sepertinya mereka mulai merasa terancam. Di sekitar kami, Aushakii dan kak Halia sibuk menghalangi para monster.

“Cepatlah hancurkan menara itu!”

Aushakii melompat ke kanan untuk menghindari serangan samurai. Aku menatap ngeri pemandangan itu.

Kami mengambil ancang-ancang kembali. Kak Tono menganggukkan kepalanya sekali lagi kepadaku. Retakan lebar terbentuk lagi di menara itu. Aku melompat menghindari bola listrik dari menara sebelah.

“Felly, sekali lagi. Ayo!”

Aku mengangguk, “satu… dua… tiga!”

--hitungan ketiga, sekali lagi kami menghempaskan palu kami ke menara dan suara gemuruh terdengar. Tidak sampai sepuluh detik, menara itu hancur meluruh ke bumi.

“Tinggal satu lagi!”

Kami segera beranjak pindah ke menara satunya. Namun, ketika sampai kaki kami di tower sampingnya, kembali terdengar suara gemuruh. Ketika kami menatap ke belakang, menara yang runtuh itu, sudah utuh kembali seperti sedia kala.

Aku bisa merasakan hawa ngeri bercampur takut yang muncul dari dalam diri kami masing-masing. Kami segera fokus ke menara yang satunya. Tepat seperti tadi, pada pukulan ketiga, menara itu hancur. Lalu, kejadian seperti itu terulang kembali. Menaranya kembali utuh saat kami akan menghancurkan menara di sampingnya.

Setelah tepat tiga kali kami bolak-balik antara menara satu dengan yang lainnya. Menghancurkan, ke menara satunya, menara ini runtuh, menara yang runtuh utuh kembali. Tubuh yang sudah mulai lelah dan serangan yang bertubi-tubi, membuat kami butuh lebih dari tiga kali untuk menghancurkan menara-menara itu.

“Teman-teman, mungkin ini hanya teori, yah teori. Tapi aku rasa, kita harus menghancurkan menara itu secara bersamaan.”

Ucapan kak Tono membuat kami berpikir. Sepertinya kami memikirkan hal yang sama.

Itu hanya sepertinya…

Aku sudah akan bergerak ke arah kak Halia, ketika kak Tono tiba-tiba meneriakkan rencana yang membuatku kesal.

“Halia dan aku akan menghancurkan menara di kiri, kalian berdua, hancurkan menara sebelah kanan! Felly, jangan lupa untuk memberikan ramuan itu ke Aushakii, ia sudah membutuhkan ramuan itu!”

Kenapa harus bersama Aushakii lagi!

Baru saja aku akan mengatakan sesuatu, sebuah pedang melesat cepat tepat beberapa senti dari hadapan wajahku. Di hadapanku terdapat Hulk yang memakai pita merah di matanya serta menggunakan samurai. Jantungku berdegup kencang.

Sakit sekali rasanya. Ini buruk! Aku sudah kelelahan. Tubuhku kekurangan cairan antikoagulan. Dengan berkurangnya cairan antikoagulan, darahku akan mengental. Tidak sedikit lagi. Aku harus bisa. Sedikit lagi.

“Fell… kau… pucat!!”

Aushakii melirikku dari ujung matanya. Ia masih bertahan dari serangan Hulk yang tadinya menyerangku. Aku hanya bisa meringis. Berjongkok menahan rasa sakit di dadaku. Terakhir kali ini terjadi, papa harus membawaku ke Rumah Pengobatan untuk suntik antikoagulan.

“Kau masih kuat?”

Aku mengangguk. Aushakii menusuk pedangnya pada perut bawah Hulk yang menyerangku. Lalu, berputar menebas Hulk lain yang berada di belakangnya. Lalu berbalik menyerang Hulk yang ada di belakangku. Tak mungkin ia melihat anggukanku barusan.

Aku sudah menatap bagan bau darahku beberapa saat ini. Mengingat Tamon Rah sepertinya takut berada di dekat menara. Di antara kami bertiga, hanya stamina kak Halia yang masih konsisten. Penuh. Sedangkan yang paling rendah adalah kak Tono.

“Aushakii, Felly, ayo segera hancurkan menaranya!”

Kak Tono berteriak dari menara kiri. Kami memang harus melakukannya secara bersamaan. Jika tidak…

“Aku tidak tahu apa yang terjadi padamu Fell, tapi kita harus menghancurkan menara itu. Hanya itu satu-satunya cara agar kita bisa keluar dari tempat ini sesegera mungkin.”

Aku mengangguk. Memaksakan tubuhku untuk berdiri. Aku dan Aushakii berlari menuju menara kanan. Jumlah monster yang menyerang kami entah kenapa semakin banyak. Sedangkan monster-monter baru yang masih berwujud selaput tembus pandang semakin lama semakin membesar.

Aku mulai ngeri membayangkan jika selaput-selaput itu sempurna menjadi monster. Akan seperti apa kami selanjutnya.

Ketika aku sudah berhadapan dengan menara, Kak Tono langsung memberikan hitungan padaku.

“Ayo Felly kau pasti bisa!”

Entah apa tujuan Aushakii mengatakan hal itu. Namun, mendengarnya mengatakan itu memberikan sedikit kekuatan tambahan buatku. Aku menganggukkan kepala pada kak Tono.

Dengan serentak, kami memukul menara itu. Retakan kecil terwujud di menaraku. Aku bergeser ke samping untuk menghindari serangan dari menaraku. Kulihat di seberang sana, Kak Halia sedang menahan tekanan pedang dari salah satu Hulk samurai. Sementara di sini, Aushakii sedang menendang tubuh Hulk berpalu.

Kak Tono kembali memberikan aba-aba padaku. Ketika ia mengangguk, sekali lagi, secara serentak kami memukul menara. Retakan kecil tadi membesar. Belum cukup untuk meruntuhkannya. Aku mundur sekali lagi untuk menghindari bola listrik.

Dua kali lagi. Aku menatap ke arah sosok-sosok monster yang semakin solid itu. Mereka memiliki tinggi 2 kali dari tinggiku.

“Argrh… ”

Aushakii terkena lemparan bola listrik dari menara kami.

“Kau tak apa-apa, Aushakii?”

“Kau tidak sedang meremehkanku kan?”

Aku menatapnya melalui sudut mataku. Bau darahnya semakin pekat. Pertanda, dia sedang berbohong padaku. Di tengah menara, sosok-sosok monster itu kini sudah berwarna. Aku tidak dapat membayangkan bagaimana jadinya jika makhluk-makhluk itu menyerang Aushakii.

Oke, berarti kami harus bergerak lebih cepat lagi. Aku mengangguk memberi tanda pada kak Tono. Ketika kak Tono mengangguk, sekali lagi kami menghempaskan palu itu ke menara. Retakan itu tambah besar.

“Aurgh… ” Kini aku yang terkena serangan bola listrik dari menara itu. Makhluk-makhluk itu sudah tidak lagi berbentuk sosok. Mereka sempurna menjadi raksasa besar yang hidup. Kini mereka bergerak menyerang kami.

Tiba-tiba sebercak cahaya muncul dari retakan yang tambah besar. Silau.

“Ayo! Felly! Sekali lagi!”

Teriakan kak Tono menggema, bersama suara auman dari para monster raksasa.

Aku menarik paluku sekuat tenaga. Tepat saat ketika monster itu akan menyerang kami, kak Tono berteriak, “sekarang!!!” 

Kuhempaskan palu itu dengan kencang ke arah menara. Detik berikutnya, aku melihat segalanya membeku. Kecuali kami berempat, semuanya membeku. Monster-monster itu tegantung di udara.

Lalu, dalam sekejap, suara gemuruh memenuhi angkasa Shohr’n Plain. Kulihat cahaya berpendar ke segala arah dari menara. Lalu dua utas cahaya kecil, yang satu berwarna hitam, yang satu berwarna putih, melesat dari kedua menara bergerak kencang menuju Tamon Rah.

Keduanya bersatu lalu menabrak Raksasa terbang itu. Dalam sedetik menggelembung besar sekali dan tiba-tiba meledak menjadi serpihan-serpihan cahaya kecil yang melesat menuju monster-monster di seluruh medan peperangan.

Lalu, diiringi suara desing aneh, semua monster-monster itu menghilang. Seperti tidak terjadi apa-apa. Tinggal kami berempat,  berdiri di kanan kiri istana. Berdiri tepat di tempat tadinya menara berada.

“Ki…kita.. berhasil?”

Aku terduduk lemas di lantai. Jantungku sudah semakin sakit. Aku tidak yakin masih sanggup menghadapi musuh dengan kondisi begini.

“A-apa itu?”

Ucapan Aushakii membuatku kembali siaga. Sebuah batu di tengah istana tiba-tiba bergerak sendiri membentuk sebuah pintu. Apapun itu aku harus bersiap-siap untuk kemungkinan terburuk.

Aku menatap siaga pada pintu yang terbentuk tersebut. Ia perlahan berkamuflase menjadi sebuah pintu besi dengan ukiran bunga mawar di pinggirannya. Setelah pintu itu sempurna, ia terbuka.

Lalu, suara lembut terdengar dari dalam, “masuklah.. wahai petarung tangguh!” suara yang Mulia-Tamon.

Tanpa bisa mengatakan apa-apa, kami tersedot ke dalam pintu itu.

***

Detik ketika mereka menghilang, gurun itu… binasa.

***

18 comments:


  1. Whoa, belum apa" rasanya kayak lagi diceramahin di bagian awalnya.. Mungkin karena langsung ditembak 'kamu, kamu', tapi ngingetin saya karena entri CC kemaren juga sering dibuka dengan sesuatu yang non sequtur. Btw, relativisme (paham) sama relativitas (konsep) itu beda lho, jadi maksudnya lagi ngomongin yang mana?

    Masuk ke pengantar si Felly...saya lupa, dia ini bocah umur berapa ya? Keciri banget dari omongannya ribut sendiri. Oya, di+kata kerja kayak 'didorong' itu disambung

    Dan ternyata makin ke sini si Felly ini makin berisik ya. Saya maklum kalo itu emang karakternya, tapi juga jadi ada kesan plin-plan karena sering banget lagi bicara apa, tau" 'eh tunggu!' atau sesuatu yang dijeda elipsis terus bantahan 'tidak!'. Btw kok jadi banyak elipsis nanggung?

    Problem saya sama narasi POV1 Felly mungkin karena dia ini kayak peluru gattling gun pikirannya. Ini contoh yang lumayan prominent

    "Eh tunggu.. Demi apapun!? Itu apa!? Cewek macam apa yang punya.. punya.. jih, suntik silikon. Menjijikkan. Dan apa itu? Pria? Sepertinya iya. Walaupun rambutnya panjang, tapi dia punya jenggot, lagipula rahangnya terlihat jelas. Om-om?? Bukan! Rambutnya putih. Kakek? Tidak. Wajahnya terlalu muda."

    Ah, udahlah. Ngomongin teknis itu kadang malah jadi kayak lagi ngedikte. Saya bicarain soal ceritanya deh sekarang.

    Kesan yang saya tangkep dari sini kayaknya beda 180 derajat sama Sil, mostly karena yang udah saya bilang, Felly ini terlalu bocah dan ribut.

    Battlenya kebanyakan ngobrol dan sahut"an, kadang saya jadi miss adegan apa yang lagi berlangsung sebenernya. Meski keliatannya mau nekenin suasana rusuh ya, apalagi sejak Tamon Rah dateng. Untungnya subtitle tiap part sedikit ngebantu ancer" apa yang diceritain di bagian itu

    Nilai plus karena ngebawa karakter yang ga gitu saya lirik (dan emang belum ada entrinya) + udah bikin karakter Felly at least memorable kayak apa

    Dari saya 7

    [OC : Dyna Might]

    ReplyDelete
    Replies
    1. WUAHAHAHAHAH Umi pengennya yang konsep *orz

      dia... umur 12 tahun kak makanya berisik banget. Umi aja bosen kadang dibikin ribut mulu. Orang ngerjain skripsi malah diunyel-unyel. Kan bete.

      itu.. sepertinya Umi banyak 'di'+kata kerja dan 'di'+ kata tempat yang kelewat. Next time (kalo lolos) akan lebih diperhatikan lagi.

      Kapankah Umi bisa menggunakan '...' dengan '--' ? umi masih bingung. Kepengennya elipsis itu kayak ngasih jeda. Karena si Fell ini, dia ga plin-plan tapi kurang cepat sadar sama detail. Makanya, sekali liat dia udah 'oh ini x' tapi pas cek lagi... 'wah bukan ini bukan x tapi y' gitu.

      Peluru gattling gun :v well, ga bisa disalahin sih. Umi jadiin diri Umi sendiri jadi dia itu masih rempong. karena udah lepas pake POV3, (ceritanya Umi udah merasa lulus dengan POV3 terbatas) Umi belajar pake POV1.

      yap, syukurlah kalau dia beda sama Sil. Sil itu bahkan gerakannya aja kalem. Lah ini bocah satu, jalan aja berisik banget =.= bikin malu.

      *Umi note, mungkin(kalau ada next time) Umi bakal coba detailin lagi batle-nya xD

      Makasih kak sudah membaca xD

      Delete
  2. Dari narasi dan interaksi antar karakternya menyenangkan. Bagian paling kusuka itu adegan Felly ma Aushaki, dari ngejoke sampe ngomongin iler lah, aya-aya wae. Secara overall alur ceritanya ngalir sekali, pas ending ngancurin menaranya juga berasa ketegangannya.

    Yang ku rada sayangin ini tiap adegan battle selalu ditunjukkan dengan tell, tapi kurang show adegan pertarungannya. Cuma dibilang 'mereka bertarung', 'ia kewalahan', dsb.

    Ada beberapa typo, tapi dikit jadi ga kumasukin ke aspek penilaian karena kubukan typo nasi. :>

    Terakhir, aku kurang ngerti hubungan antara monolog tentang relativisme ma keseluruhan cerita.

    Nilai : 8

    OC aye : Zhaahir

    ReplyDelete
    Replies
    1. Halo mba candel XD

      Felly-Aushakii itu bagian yang emang paling nikmat banget ditulisa XD itu bagian pemuas tulisan romcom-nya Umi. masa tiga tahun ikut BOR, Umi yang emang spesialisasinya di tulisan Romance, ndak nulis romance sama sekali *alasan

      Iya, kayaknya dari jaman Rieke dulu Umi masih belum bisa bikin batle yang beneran 'show'-nya dapet. Ini masih eksplorasi gaya nulis batle xD semoga segera ketemu xD

      jadi intens-nya dappet kah?

      bagian monolog, sebenarnya Umi mau nekenin ke "ini nih, pilihan sih Felly itu awalnya salah, dia berharapnya kan bisa senang-senang dan ketemu dunia yang baru. eh malah nyampe Alforea disuruh bertarung.

      di situ, definisi pilihannya dipertanyakan."

      Cuma Umi kayaknya kurang kasih tanda sama hint xD jadinya pada ga ngeuh *orz

      anyway Mba Candle, makasih sudah membaca :)

      Delete
  3. Tahun ini mbak Umi pakai OC dengan sifat yang... ehm... menyebalkan, tapi Cerita tidak kalah menarik dari tahun sebelumnya. Felly ini sangat... well... satu-satunya kata untuk yang terpikirkan di benak saya ketika membaca cerita ini adalah “menyebalkan”, tapi karena sifatnya inilah dia berbeda dari OC lain. Dari keseluruhan cerita, saya suka interaksi antar Felly dan Aushakii mulai dari bagian terjebak di goa sampai takhir.

    Nilai : 8/10

    OC : Renggo Sina.

    ReplyDelete
    Replies
    1. wkkwkwkw, Felly-Aushakii itu emang yang paling niat ditulis xD

      emang udah niat nge-ship mereka, *semoga Aushakii dan Felly lolos, biar bisa lanjut cerita mereka*

      Wah kalau kak Mocha nge-feel Felly menyebalkan, berarti karakterisasinya benar dong XD *uyey yey yey xD

      anyway, kak Mocha, terima kasih sudah membaca :)

      Delete
  4. Kesannya lihat Maria ini rada lucu. Mungkin karena terlalu sering ngucap kata "menyebalkan" kali yha :x

    monolognya seperti tidak selaras dengan keseluruhan cerita, tapi biarkan itu menjadi sebuah misteri.

    7/10 dari saya.

    Salam hangat dari Enryuumaru/Zarid Al-Farabi

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hai, terima kasih sudah membaca authornya Zarid xD

      iya dia emang lucu xD dan imut, authornya juga #eh

      Delete
  5. Ummi, Felly ini Tsundere ya? pengen unyel terus siram garam
    :|

    Kalau di saya si Felly ini lebih kayak observer meski dia ikut bertarung. Dia orangnya super hati-hati..

    Tapi saya suka backstory sama gaya bahasanya Ummi
    Everything is ngalir
    Tadi kirain ummi bakal bikin pendek (kayak punya saya) karena ummi juga ngerjain skripsi kan?
    Tapi ga seberapa pendek ini sih, jadi nikmatin

    Double Date di gurun, dapat apa, Fel?
    Makan batu sama minum pasir? #hush

    Titip 8 ya


    Kazuki Tsukishiro

    ReplyDelete
    Replies
    1. GARAM? TIdaaaaakkkkk!!! Kak dee, kejam :'( Nanti dia jadi menggeliat kesakitan :'(

      weh xD dia jadi terkesan keren kalau jadi Observer xD xD

      backstory-nya dia lumayan banyak loh kak awalnya, Umi aja sampe mau nangis ngebuangnya :'(

      Tadinya target cuma 5k, pas selesai, all hail 11k *orz. Ini udah dipotong pake banyak banget kak .-.

      Dia.... double date sama Aushakii di Goa?? #lempar

      Delete
  6. Felly ini minta dipites, ya? Narasinya bawel, sendirinya sombong tapi nganggep orang lain sombong.

    Soal Fellas dan Aushakii, mereka ini putri dan singa, sering ribut, saling mencela, tapi care satu sama lain ... mau tak mau saya membayangkan hubungan antara ... ah, sudahlah. Saya jadi iri sendiri =3=

    Ingat koreksian yang dikatakan Sam. Lebih teliti lagi soal di-
    Lalu untuk dialog tag, jangan diawali dengan huruf kapital dong, Um. Contoh:
    >>
    “Tapi mereka semua bocah.” Ucapku mau tak mau.
    >>
    Karena dialog tag masih merupakan bagian dari kalimat langsung, maka penulisannya seharusnya adalah:
    >>
    “Tapi mereka semua bocah,” ucapku mau tak mau. (di sini, titik juga berubah menjadi koma)
    >>
    Kalau memang ingin menggunakan titik, sebaiknya jadikan kalimat baru tanpa dialog tag (ucapnya, katanya, dsb).

    Masih banyak typo. Tapi saya tak mau membuat listnya di sini. Saya bukan Om-Kakek Hewanurma :P

    --
    Akhirul kalam.

    Secara keseluruhan, narasinya sudah enak. Mudah dicerna alurnya. Walaupun terkadang kurang detail pada adegan pertarungan, seperti kata CLD. Adegan penghancuran menara kembarnya juga terasa intens. Itu bagus.

    Sayang Tamon Rah-nya cuma bisa berkata "RAAAH" sepanjang cerita :D

    POIN 8 dari saya ;)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Jangan pelit-pelit ngasih ponten kalau mau merebut hati wanita, Pak Her~

      +1 dari guru yang baik hati

      TOTAL PONTEN 9

      -Bu Mawar-

      Delete
    2. -__-

      Seenaknya nambahin poin begitu, Bu ...

      Ah, sudahlah

      Delete
    3. Hai Om ._. /

      'Singa' yang itu tak sebaik 'singa' yang ini, Om. =.=

      dan jangan membayangkan yang tidak-tidak, interaksi antara singa dan putri yang asli lebih mengerikan daripada yang bisa kau bayangkan :3

      Felly-nya dipites aja yah, Om. Dia nakal, sering jitakin authornya sendiri. Bikin bete. Mana tiap hari minum susu lebih dari sekali. Bangkrut Umi dibuatnya. Kakaknya aja, si Sil jarang dikasih minum susu.

      Umi baru tahu, dialog tag itu *orz. biasanya kalo di dalam dialognya udah titi, Umi langsung huruf besarin. Oke I will take that as my note :)

      Typo-Typo-Typo-Typo-Typo, Tahukah Om ada 2 pangkat 4 cara untuk membentuk kata yang terdiri dari huruf T, Y, P, O? :v

      Mungkin ini alasan, tapi, ini jalan menuju Umi yang bisa menulis adegan batle dengan benar xD next (kalau ada next-nya Felly) Umi akan belajar bikin koreo xD

      Makasih Om sudah mampir XD

      Dan Bu Mawar... jadi itu modusannya Om Heru?

      Delete
  7. Saya lumayan penasaran sama tulisan Kakak, jadi saya mampir~

    Kesan pertama ... terlalu banyak omongan, bahkan waktu battle dan sebagian besar narasinya juga ikutan jadi cerewet. Felly-nya menyebalkan, Ahran pun menyerah kalo berhadapan sama dia. Ya iya, saya baru bayangin suaranya aja udah pusing duluan. Karena inget tetangga yang kalo ngomong detail sekali XD

    Ada apa dengan opening relativitas/isme itu? Dan kenapa baka to test diulang lagi? Mmm ... saya agak sebal karena saya sampe sekarang ga ngerti apa itu baka to test dan apa hubungannya sama lisensi dan Mba Tamon XD

    Penggunaan partikel 'di' ada yang salah. Ah, tapi siapa saya berani komen soal teknis~

    Gaya penceritaannya mengalir lancar, itu kesan yang paling spesial bagi saya. Dan kecerewetan Felly ini lumayan berkesan buat saya, walau belum dalam arti yang terlalu bagus.

    So ... 8/10 buat Felly.

    -Dari Ahran yang super ababil, persis pengarangnya-

    ReplyDelete
  8. Arrrgh, POV1-nya bikin bingung, bukan cuma satu karakter soalnya, tapi multiple POV1 O_O
    Tapi untungnya cuma di awal-awal aja, selebihnya POV dari Felly aja, walau kalo boleh dibilang Felly ini berisik pikirannya XD

    Manusia setengah lintah, kayaknya Felly ma Asep satu dunia ya, hehe, , sepertinya kekuatan Felly itu rada ilmiah, memunculkan istilah zat antikoagulan, terus soal pengentalan darah. Saya terus terang awam, tapi jadi lebih mengerti soal ginian.

    Felly ini anak kecil kan sebenernya? (digetok Felly) tapi ajaib juga bisa ngalahin Hulk KW dua.

    Waktu bulak-balik sampe tiga buat ngehancurin menaranya saya jadi greget sendiri, gak kepikiran apa mereka harus hancurin menaranya bersama-sama? Kan cape bulak-balik tiga kali ._.

    Nilai 9

    dLanjung (Asep Codet)

    ReplyDelete
  9. Arrrgh, POV1-nya bikin bingung, bukan cuma satu karakter soalnya, tapi multiple POV1 O_O
    Tapi untungnya cuma di awal-awal aja, selebihnya POV dari Felly aja, walau kalo boleh dibilang Felly ini berisik pikirannya XD

    Manusia setengah lintah, kayaknya Felly ma Asep satu dunia ya, hehe, , sepertinya kekuatan Felly itu rada ilmiah, memunculkan istilah zat antikoagulan, terus soal pengentalan darah. Saya terus terang awam, tapi jadi lebih mengerti soal ginian.

    Felly ini anak kecil kan sebenernya? (digetok Felly) tapi ajaib juga bisa ngalahin Hulk KW dua.

    Waktu bulak-balik sampe tiga buat ngehancurin menaranya saya jadi greget sendiri, gak kepikiran apa mereka harus hancurin menaranya bersama-sama? Kan cape bulak-balik tiga kali ._.

    Nilai 9

    dLanjung (Asep Codet)

    ReplyDelete
  10. satu lagi nih cerite nyang bikin aye banyak belajar,,, itu sudut pandang nye kayak nyang dipake ame penulisnye Vi,,cuman rada beda di sini,,,gonta- ganti karakter gitu,,, tapi ini keren,,ngebuka mata aye buat nyari banyak variasi ..,,biarpun aye juga kagak berani langsung niru,,tekniknye si abang ini ude tergolong canggih banget

    ceritanye enak diikutin,,,karakter si Fely ini asik banget,,cerewet kayak keponakan aye,,,trus udah main cinta-cintaan segale padahal masi SD die

    Nilai 10
    Karakter aye Kumirun

    ReplyDelete