4.5.15

[PRELIMINARY] NEESHMA FRAUN - THE BEGINNING OF THE STORM

[Preliminary] Neeshma Fraun - The Beginning of the Storm
Penulis: Jester

Tetes 1


Matahari baru terbit separuh. Cahayanya menyorot dari sela dedaunan
pohon-pohon ek itu bagai pita-pita warna emas, menyepuh
dinding-dinding berlumut kastil itu. Tak jauh dari sana satu sosok
tergeletak di sebuah gang. Tubuhnya basah kuyup, sehingga orang
mungkin akan berpikir hujan semalam begitu lebat hingga sungai-sungai
di kota telah meluap, lantas menghanyutkan mayat seseorang dan
menghempaskannya di gang itu.
Tapi tidak, ia bukan mayat. Ujung jarinya barusan berkedut pelan, dan
beberapa pasang batuk keluar dari mulutnya.
"Demi Bakhara," desis Neeshma seraya memegangi kepalanya. "Apa yang terjadi?"
Wanita itu mencoba duduk dengan susah payah, lalu beberapa kali
menengok ke segala arah. Ia menyadari telah dikepung bangunan-bangunan
berjendela sempit dan jarang-jarang begitu terjaga. Pemandangan yang
asing.
"Apa ini ibukota Madayan?" Neeshma mundur perlahan setelah menyadari
ia tak melihat pasir laut sama sekali sejauh mata memandang. Mengira
ia berada di tempat paling menyeramkan di Bakhara itu, namun nampaknya
bukan.
Ia berada di suatu tempat yang benar-benar berbeda, yang ia sendiri
tak tahu caranya bisa sampai di sana. Yang ia ingat cuma desir angin
laut malam itu, Lumen Margarita yang hilang, dan portal bercahaya
biru. Ah, itu dia. Portal biru.


Dengan masih sedikit limbung, Neeshma keluar dari gang itu setelah
merasa mendengar suara seseorang dari kejauhan. Begitu keluar ia
mendapati ternyata dirinya tak sendiri. Berpuluh orang lain (meski ia
mendapati ada yang tak terlalu mirip orang), pria maupun wanita,
terbangun secara bersamaan seakan ada sebuah jam waker raksasa barusan
berdering di antara mereka. Secara serentak pula mereka mengalihkan
pandang ke kastil di seberang alun-alun kota tak jauh dari mereka,
layaknya ada semacam kuasa yang menyedot perhatian.

"Selamat datang, para petarung antar dimensi," ucap seseorang dari
kastil itu. Neeshma sedikit terkejut, sekaligus heran bagaimana suara
orang bisa selantang itu. "Kalian semua yang ada di sini, adalah calon
peserta turnamen antar dimensi yang akan diadakan tidak lama lagi.
Turnamen ini disebut Battle of Realms, dan hanya para petarung terbaik
yang bisa mengikuti pertarungan bergengsi ini!"
Neeshma memandang sekeliling, menemukan orang-orang di sekelilingnya
berteriak antusias atas dimulainya pertarungan. Seakan-akan mereka
memang telah menunggu pengumuman barusan.

'Ini salah!' batinnya. Ia tak berniat mengikuti pertarungan apapun,
sebenarnya. Ini bukan hal yang ia tuju, lagipula ia tak bisa
bertarung. Lebih dari itu… ia tak ingin menyakiti orang lain demi apa
yang ia tuju. Gadis itu bukan jenis orang yang melakukan apapun demi
tujuannya sendiri. Ia benci pertarungan, apalagi yang jelas-jelas tak
mungkin ia menangkan seperti ini.
Neeshma tak lagi mendengar apapun. Tidak sesuatu seperti Kuda Api,
peperangan, atau bulan yang jatuh. Ia hanya merasa sangat salah berada
di sana,

"Aku harus pergi dari sini."

Neeshma pun berbalik, ia ingin kembali ke rumahnya di Bakhara. Tidak,
ia hanya benar-benar ingin pergi dari semua petarung itu. Maka ia
berlari menjauh dan keluar dari gerbang kota.
Neeshma mendadak terhuyung karena menabrak seseorang.
"Maaf," ucapnya spontan seraya menoleh ke belakang. Namun ia tak
menemukan siapapun di sana. Ia sendiri di luar gerbang.

****

"Bahkan air di sini pun juga terasa berbeda." Neeshma memandang sengit
sungai di depannya. Air yang mengalir di sana memang jernih, tapi
entah bagaimana Neeshma tahu air itu tak seperti kelihatannya. Namun
mau bagaimana lagi, ia tak tahu harus kemana. Sungai kecil ini adalah
tempat paling damai yang bisa ia temui, lagipula ia sudah lelah
berjalan.
"Wahai Dewi Samudra Bakhara, kenapa kau membawaku ke sini? Inikah
jalan yang kau ingin aku tempuh?" keluhnya lirih.

"Hoahm."

Neeshma menoleh waspada oleh suara uapan seseorang yang ia dengar
begitu mendadak, begitu dekat pula. Neeshma berdiri karena merasa
mendengar sesuatu dari semak di belakang. Dan begitu ia berbalik dan
memicingkan mata sedikit, ia tahu seseorang tengah menggeliat santai
seraya bersandar di sebuah pohon.
Orang itu perlahan-lahan bangun, membuat Neeshma mundur sedikit. Ia
mengucek mata dan nampaknya langsung menyadari wanita Maan itu sedang
memandanginya.

"Hei," ucapnya. "Ada apa kau memandangiku seperti itu?"

"T-tidak, aku hanya-" Neeshma tercekat, tak tahu harus bicara apa.

"Ah, nampaknya aku tidur terlalu lama," kata si orang asing seraya
berdiri. Ia memutar perlahan lehernya hingga berbunyi 'krek' lirih. Ia
kembali memperhatikan wanita di depannya itu, memandangnya penuh
selidik.

"Bukannya kau petarung juga?" tambahnya. Neeshma hanya menggigit
bibirnya bimbang, makin gundah. Memandang aliran sungai dengan
gemericiknya.

"Aku tak tahu."

Pria itu menatap Neeshma bingung, "Tapi setidaknya kau berniat
bertarung, 'kan? Bukankah itu alasanmu berada di sini?"

"A-aku… aku benci pertarungan. Aku tak ingin menyakiti orang lain."

"KALAU BEGITU KAU PULANG SAJA, PENCUNDANG!!" hardik pria besar itu
mendadak. Matanya melotot pada Neeshma, entah kenapa. Ia lantas
mengambil sebuah botol kecil dari saku dan menenggak habis isinya.
"Benci pertarungan? Tak mau menyakiti orang? OMONG KOSONG!!!"

"Kau—orang sepertimu—hanya akan menghalangi jalanku!"
Pria itu melangkah setelah mencampakkan botol itu ke tanah.
Meninggalkan Neeshma yang seperti lepas separuh nyawanya setelah ia
bentak-bentak.

"Biasanya aku senang melihat orang seperti kalian tenggelam dalam
ketakutan," ujarnya lagi sebelum benar-benar pergi. "Namun melihatmu
yang bahkan tak memiliki ambisi sedikit pun seperti itu membuatku
muak! Seperti sampah!!!"


"Sam… pah, ya?" Suara Neeshma bergetar, baru berani ia bicara ketika
sang pria berrambut menyala tadi pergi. Perlahan ia memungut botol
berbau menyengat itu. Melangkah ke arah sungai dan mulai mengisi botol
itu dengan air.
Jantung Neeshma berdebar-debar, seakan sesuatu yang kental dan panas
tengah menggelegak dalam rongga dadanya. Seperti perasaan yang tak
sabar kau tumpahkan, yang ia sendiri bahkan tak tahu itu perasaan apa.
"Akan kutunjukkan kepada orang itu, apa yang sampah ini bisa lakukan."


Tetes 2


Gontai sang Pendeta Ombak memasuki gerbang yang tadi ia lewati dengan
penuh ketakutan. Namun berbeda sekarang, karena telah tampak tercermin
di matanya apa yang sedang terjadi dalam dadanya. Biru laut cerah
irisnya menggelap, seperti laut dilanda badai besar. Di pinggangnya
kini tersemat sebotol air, entah untuk apa. Beberapa tiang lampu jalan
nampak seperti pohon meranggas seketika Neeshma melewatinya,
permukaannya berkarat tanpa sebab.
Dari kejauhan, nampak di matanya pria besar berrambut menyala tadi. Ia
nampak celingukan, sebab di alun-alun sudah tak nampak satu orang pun.
Neeshma menghampirinya,

"Nampaknya, kau juga kehilangan tujuan sepertiku."

Pria itu mendelik, "Kau lagi?! Ada urusan apa?"

Belum sempat Neeshma menjawab, seorang gadis dengan pakaian hitam dan
celemek putih menghampirinya. Seragam orang-orang yang ia sempat lihat
tadi.
"Kalian party?" tanyanya.

"Kami-"

"Ya!" potong Neeshma, "sekarang kami harus apa?"
Gadis itu melirik tajam partner barunya itu seraya mendesis lirih,
"Kau tak punya pilihan lain."


Portal biru yang mirip dengan yang membawa Neeshma ke dimensi ini
muncul di hadapan mereka. Si gadis bercelemek melangkah memimpin
mereka, "Akan kujelaskan begitu sampai di sana. Namun sebelumnya aku
akan pastikan, apa hanya ini anggotanya?"

"Maksudmu?" tanya Neeshma, bukankah memang tinggal mereka saja?

Gadis itu tersenyum misterius, "Aku anggap itu iya."


****


Neeshma teringat kembali tujuan awal ia memasuki portal biru malam
itu. Kilasan-kilasan kenangan tentang rakyatnya di Bakhara seakan
menamparnya keras-keras. Hingga tak mampu ia fokus mendengar
penjelasan gadis petugas yang mengantar mereka itu. Iseng ia menatap
rekannya yang begitu santai seraya terus mengepulkan asap tebal dari
mulutnya. Neeshma penasaran apa orang macam pria besar itu juga ke
tempat ini untuk sebuah perjuangan, membela rakyatnya barangkali?

"Baiklah, kalian tinggal menuju ke sana," tutup sang gadis petugas. Ia
menunjuk ke sebuah bukit batu, "Di balik bukit ada pasukan Alforea
yang tengah berperang. Bantu mereka jika perlu, tapi fokuslah pada
tugas utama kalian saja."

Neeshma mengernyit, "Tugas utama?"

Portal mendadak muncul kembali untuk gadis pengantar mereka,
meninggalkan mereka sendiri. "Hancurkan saja menara kembar itu secara
bersamaan dan jangan mati."


Neeshma meneguk ludah, lalu mengangguk. Memantapkan diri, ditatapnya sang rekan.
"Oke, aku punya rencana, tuan- Tunggu, bagaimana aku memanggilmu?"

Lelaki itu sedang mempersiapkan sesuatu yang membalut lengan kirinya. Logam.
Neeshma mundur sedikit.
"Ragga," jawabnya, masih mengutak-atik lengan logamnya. "Itu namaku."


"Namaku Neeshma Fraun. Jadi begini,"

"OKE SIAP!!! Aku akan menghancurkan semua orang di sini!!!" Ragga
melesat tanpa peduli apa yang Neeshma hendak katakan. Ia melompat ke
arah pertarungan dan sebuah ledakan muncul.

"Tunggu-" panggilnya sia-sia, pria itu takkan mendengar suaranya lagi.
"Dia bahkan tidak tahu sedang menyerang lawan atau kawan," keluh
Neeshma. "Orang bodoh."
Wanita itu menoleh karena suara gemerisik pasir yang tiba-tiba
terdengar dari belakangnya. Namun sia-sia ia memasang kuda-kuda. Tak
ada seorang pun di sana.

'Aneh,' batinnya.


****


Langit membara seperti baja cair. Malam yang tak seperti malam, namun
juga bukan siang. Raungan prajurit dijawab oleh geram makhluk-makhluk
neraka—lawan mereka. Denting baja beradu di sela-sela dentum meriam.
Padang pasir itu seperti diaduk. Aroma kematian menguar dari tiap
butir-butir pasir yang tersiram darah. Neeshma menengadahkan wajah,
menahan rasa gentarnya. Tekadnya mau tak mau harus bulat, karena dalam
peperangan yang lemah hatinya akan mati pertama kali. Dan kalaupun ia
memang harus mati, ia tak mau itu terjadi malam ini.
Seorang prajurit Alforea terhempas ke belakang karena serudukan seekor
makhluk berkepala banteng. Hampir saja itu mengenai Neeshma juga. Ia
segera sigap melempar botol yang ia bawa dan cairan di dalamnya
melesak keluar.
Tangan gadis itu menari, dan air mengikutinya. Seperti hidup, masuk ke
tenggorokan sang monster. Melaju terus ke paru-paru, dan
menghancurkannya dari dalam. Neeshma menarik airnya keluar, bercampur
darah.

"Tolong lindungi aku sebentar," pintanya pada seseorang, yang langsung
mengangguk tanpa berpikir dua kali. Neeshma menghampiri prajurit yang
terluka tadi,

"Bertahanlah," bisiknya. "Lumen Blessing." Tangan Neeshma bercahaya,
dan ajaib. Luka robek di perut prajurit itu lenyap seperti sebuah
resleting yang ditarik menutup.

Gadis ras Maan itu memandang ke depan dengan miris, sebuah ledakan
terjadi dan melontarkan beberapa orc bermeter-meter jauhnya.
'Padahal kita akan jauh lebih lebih kuat jika orang itu mau bekerja sama.'


Suara gemuruh mendadak terdengar dari langit. Spontan semua orang
mendongak ke atas, termasuk Neeshma. Dan apa yang ia lihat membuatnya
ternganga. Jantungnya seakan berhenti beberapa detik. Ia seperti
melihat masa lalu kala manusia memulai perang dengan kaumnya untuk
kali pertama.

Bulan runtuh.


****


"HAHAHAHA!! Apa itu? Keren sekali!!!" teriak Ragga seraya menunjuk
pecahan bulan yang berjatuhan seperti meteor. Pria itu alih-alih
kabur, malah menonton.
Neeshma menyerbu tanpa pikir panjang ketika sebuah batu sebesar rumah
mengarah ke tempat pria itu berdiri. Ia menubruknya hingga mereka
jatuh berguling-guling. Bagusnya, cukup jauh hingga benda itu tak
menewaskan mereka.

Neeshma menampar Ragga seketika.
"Maumu ini apa?!! Kau bisa mati!!!" semburnya. "Apa yang coba kau
tunjukkan, hah?! Aku tak bisa membiarkanmu seenaknya sementara di
sana—di belakang sana—orang-orang sedang mencoba untuk bertahan
hidup!"

Ragga baru saja hendak marah ketika suara ledakan luar biasa keras
terdengar. Spontan mereka menoleh ke arah jatuhnya bulan. Ringkikan
yang mengerikan terdengar bagai mengisi udara.
Neeshma segera duduk dengan sigap, tangannya teracung ke arah perut
Ragga yang tertusuk sebatang anak panah. "Simpan amarahmu nanti, kau
harus disembuhkan dulu."

"Lumen Bles-"

Bola api menghantam tanah beberapa meter di depan Neeshma, membuat
mereka terlempar jauh ke belakang. Derap benda keras menghantam bumi
menggema, dan dari balik kepulan asap sosoknya terlihat. Kuda raksasa
berselimut api menatap nyalang sang Pendeta Ombak. Sayapnya mengembang
dengan lelehan api yang berjatuhan. Neeshma masih merasakan panasnya,
padahal ia berada cukup jauh dari kuda itu.

Ragga tahu-tahu berdiri, "Gadis kecil, aku tak butuh bantuanmu!"
Neeshma menggeram, namun Ragga memotong dulu. "Simpan amarahmu nanti,
ada kuda liar yang harus kujinakkan."

Lelaki itu terkekeh. "Pergilah ke menara, pengecut! Ke mana semangatmu tadi?!"

"Kau ini belum kusembuhkan, orang bodoh!!"

Gemerisik pasir mendadak terdengar lagi. Neeshma menoleh, dan ia
akhirnya mendapati siapa pemilik sumber suara itu.
Seorang pria bertampang kucing menyeringai ke arahnya, rambutnya sama
merah dengan Ragga. "Nona, Pria Peledak itu benar. Kita harus pergi."
Tanpa permisi ia menyeret tubuh ringan Neeshma dan membawanya
meninggalkan sang partner.

Sempat terdengar di telinga Neeshma suara lantang Pria Peledak itu
sebelum ia menghilang dari pandangan,
"Ragga Punch!!!"


Tetes 3


Neeshma bahkan belum sadar apa yang terjadi ketika ia berdiri
menghadap sebuah menara yang berjajar megah. Ia benar-benar tak tahu
harus bagaimana.

"Kita baru saja meninggalkan seseorang, saat dia benar-benar
membutuhkan bantuan."

"Apa yang Ragga lakukan sudah benar, sekarang kita lakukan bagian kita."

Neeshma menggeleng frustasi. "Hei!! Kau mau bilang meninggalkan teman
seperjuangan untuk mati itu benar?! Dan lagi, kau ini siapa?!"

Lelaki itu menatap menara-menara di depannya dan bergumam sendiri,
"Menara anti-sihir yang menghancurkan siapapun yang mendekati jarak
serangnya. Wow."

"Kau ini mendengarku tidak?!"

"Kita harus pikirkan sesuatu."

"HEI!"

Pria itu akhirnya menoleh, "Ernesto Boreas, peserta turnamen. Kau?"

"N-neeshma Fraun." Gadis itu menatap tajam orang yang entah siapa itu,
yang bahkan ia tak tahu ia lawan atau kawan. Sedikit lebih tenang,
Neeshma mengulang kembali pertanyaannya. Ia baru sadar, sepanjang
peperangan ini ia telah kehilangan ketenangannya, "Bagaimana dengan
tuan Ragga, tuan Boreas?"

"Satu hal," jawab Ernesto, matanya memandang Neeshma menusuk. Jenis
mata yang takkan bisa kau percaya apapun yang terjadi. "Jangan
meremehkan kemampuan orang lain, jadi berhentilah khawatir."


Ia lantas melangkah maju, sebuah kapak ada di tangannya begitu saja.
Dengan sekali lesatan, ia menghampiri menara itu. Bola api sihir
meluncur kuat dari puncak menara, namun ia sangat gesit dan
menghindarinya dengan mudah. Ernesto bahkan nampak tak menganggap
serangan-serangan menara itu cukup mengancam, jadi dengan santai ia
tebaskan kapaknya beberapa kali.

Tetapi ia melesat mundur pada akhirnya, kapak di tangannya juga sudah
lenyap. "Ini… akan jadi cukup sulit."


Di tengah keputusasaan mereka, Neeshma mendengar ringkikan kuda itu
lagi. Dan sepertinya tak terlalu jauh. Tengkuknya mendadak terasa
tebal sekali, merinding. Ia menggigit bibirnya.

Apa ini berarti tuan Ragga sudah….

"Itu Tamon Rah. Sialan! Kupikir kita telah cukup membuat jarak," umpat
Ernesto. Ia mengalihkan perhatiannya pada menara sejenak dan menoleh
ke arah yang sama dengan Neeshma.
Kuda Api itu mulai terlihat dari kejauhan. Namun, ia tak nampak
terbang dengan baik. Seperti terhuyung-huyung, menabrak-nabrakkan diri
ke dinding-dinding batu. Bola-bola api terlempar liar ke segala arah,
salah satunya menghantam menara dan membuat retakan cukup besar.
Tamon Rah mendarat dengan kasar, ia berjingkrak seperti kesetanan.
Lantas sesuatu nampak terlempar dari tubuhnya ke pasir, sebuah benda
yang nampak terbakar hebat.

Neeshma masih belum mengerti apa yang terjadi hingga benda yang
membuat Tamon Rah seperti digigiti ribuan semut itu mendadak bangkit
dan berteriak,

"RAGGA STEP!!! UPPERCUT!!!"


****


"YEAH!" pekik Neeshma dan Ernesto tanpa sadar dan berbarengan. Seperti
dikomando mereka berlari ke arah Ragga yang baru saja membuat monster
neraka itu terpelanting.
Neeshma segera sadar apa yang harus dilakukan, ia menyiramkan air
untuk memadamkan kobaran di tubuh Pria Peledak itu. Dan terlihatlah
luka bakar parah di sekujur tubuhnya.

"Astaga!" Neeshma gemetar, tangannya menutup mulut saking merasa ngeri.

"Aku tak apa-apa, aku adalah Ragga!!! Aku takkan mati semudah itu!"

"Diamlah, bodoh!!!" jerit Neeshma histeris. Ia lantas mengacungkan
telapak tangannya tanpa berkata apa-apa lagi.
Melihat itu, Ernesto juga memilih tak berkomentar. Ia hanya berpikir
bagaimana meruntuhkan menara di sana yang sudah retak. Seharusnya
lebih mudah sekarang, pikirnya. Namun, ia seperti diingatkan kembali
alasan mereka harus menumbangkan menara-menara itu.

'Tamon Rah hanya bisa disegel dengan menghancurkan kedua menara bersamaan.'

Ucapan gadis berpakaian hitam-putih tadi terngiang. Sontak ia menoleh
ke belakang.
Ernesto terlempar terhantam bola api. Dan monster pemilik api itu kini
bangkit, dengan dua kali lipat kemarahan.

"Tuan Boreas!!!" panggil Neeshma kaget melihat pemuda itu mendadak
terhempas. Pandangannya diselimuti kengerian melihat Kuda Api—yang ia
kira telah mereka kalahkan—meringkik dengan api berkobar-kobar.

"Aku sudah sembuh, gadis kecil! Tolong si kepala kucing saja!" ucap
Ragga, matanya menatap Neeshma berapi-api.

Neeshma menatap menara-menara itu, lalu berganti menatap Tamon Rah,
lalu Ernesto yang terbaring, lalu Ragga. Ini semua benar-benar
membuatnya marah. Frustasi. Ia muak melihat orang lain terluka. Ia
bosan hanya harus terus mengobati luka mereka, sementara ia tahu luka
itu akhirnya akan terbuka lagi.

"Cukup. Api kuda itu akan kupadamkan."


****


Neeshma melangkah ke arah kuda rakasasa itu dengan gontai, namun
pasti. Ia seperti kesurupan. Dari kejauhan beberapa monster kecil
mendekat, Tamon Rah juga menyerang dengan brutal. Sepasang bola api
raksasa mengejarnya. Satu darinya bisa ia hindari namun yang lain
menghantamnya telak.

Aneh, Neeshma melesat dari kobaran api itu hanya dengan bekas terbakar
di ujung bajunya. Ia tak terluka. Melejit ringan, ia mendekati kawanan
orc itu dan melakukan beberapa gerakan. Dan apa yang terjadi
selanjutnya bahkan membuat Ernesto dan Ragga terperangah ngeri.
Cairan tubuh monster-monster itu seperti disedot keluar dengan paksa,
meninggalkan rongga yang mengering. Cairan merah kehitaman itu kini di
bawah kendali Neeshma, dan tepat saat Tamon Rah hendak mengambil
ancang-ancang terbang, sang Pendeta Ombak menyerang,

"Plasma Beam!"

Selarik sinar panjang mengenai leher sang makhluk api, membuat ia
terhempas untuk kedua kali di dinding batu. Tertancap di sana.


Suara ledakan dan bebatuan berjatuhan mengagetkan Neeshma. Ketika ia
berbalik, kedua menara telah runtuh. Ernesto Boreas berdiri dengan
sebuah palu besar tertenteng di bahunya, berdiri kaku di sampingnya
Ragga dengan tubuh yang nampak kemerahan.

Ernesto menyeringai, "Kau pikir kami akan diam saja menontonmu bertarung?"


Sayang, lengkingan mengerikan itu memecah perasaan lega Neeshma, ia
seperti mati lemas saja ketika Tamon Rah berdiri kembali. Namun
berbeda, makhluk itu tak kunjung menyerang. Malahan di sekeliling
tubuhnya muncul empat tiang besar berwarna merah. Dan dari
masing-masing, rantai besar yang terbakar keluar dan melilit sang Kuda
Api seperti ular piton. Tamon Rah menendang, mengepak-kepakkan
sayapnya. Sia-sia, karena tiang-tiang itu akhirnya meluncur dan
menjepitnya. Mengakhiri prahara sang Kuda Api.

Di tengah kebingungannya, muncul portal biru yang nampak familiar di
samping Neeshma. Plus dengan gadis penjaganya.

"Selamat," ucapnya. "Kalian telah menyelesaikan tahap turnamen yang
pertama, aku akan segera mengantar kalian kembali ke Alforea."

"Ah, ya. Satu lagi, khusus untuk tuan Ernesto Boreas dari Aetheria,"
lanjut si gadis bercelemek, "kuharap lain kali anda menunjukkan diri
ketika event hendak dimulai."
Neeshma menatap ke orang yang dimaksud, melihatnya mengangguk. Tetapi
tetap saja, seringai licik itu terulas di bibirnya.


****


Ia tak tahu di mana Ernesto sekarang, yang jelas ia tadi menghilang
begitu saja sejak menginjakkan kaki di alun-alun Alforea. Ragga juga
berniat seperti itu, namun Neeshma mengikutinya.

"Apa maumu?" tanya Ragga kasar.

"Kau—aku belum selesai menyembuhkanmu," jawabnya polos.

"Dengar, hanya karena aku tadi adalah rekanmu tidak lantas kau harus
terus membantuku."

"Tapi-"

"Neeshma Fraun, ini adalah pertarungan—seperti gulat. Tidak ada
pertemanan di sini, kau, aku, Ernesto, semuanya sendiri. Itu fakta
yang harus kau terima." Neeshma terperanjat, tak mengira mendengar itu
dari seorang Ragga.

"Baiklah, setidaknya aku berterimakasih karena botol minuman ini-"

"Ambil saja, benda itu 'kan sudah kubuang. Aku tak memerlukannya
lagi," ucap lelaki itu, lantas melangkah pergi.

Neeshma tak mampu mengatakan apapun lagi, hanya melangkah ke sebuah
bangku dan dengan lemah terduduk. Padahal ia berpikir telah menemukan
manusia yang mulai ia bisa percaya. Yang bisa berjuang bersama di
medan perang. Tapi kenyataannya manusia tetaplah manusia. Yang takkan
senaif dan sepolos kaumnya.
Gadis itu mencengkeram erat botolnya dan membisik sayu,

"Begitu."

Langit yang sudah menggelap pun kini menurunkan hujan. Dan Neeshma menangis.

11 comments:

  1. Vajra sez:
    Wow! Walau nggak serealistis perkiraan saya (terutama di bagian towernya), battle si Neeshma ini seru juga. Dan benar juga perkiraan saya dulu, si cewek basah ini lawan yang harus dilawan dengan amat cepat dan extra hati-hati kalau sampai saya harus bentrok dengan dia.

    Interaksi dengan Ernesto dan Ragga juga jelas natural, mungkin di babak selanjutnya mau ikutan Team Vajra ajakah? Heheheh :p Better have u as a friend than enemy.

    Jadi, skor keseluruhan: 8/10
    Author: Andry Chang
    OC: Vajra (Raditya Damian)

    ReplyDelete
  2. Hikaru Yuuto here :3

    Banyak yg aku ga ngerti jalan ceritanya (mungkin karena aku ga pernah masuk / ikut BoR ini)
    Tapi overall aku dapet feel ceritanya :D

    ReplyDelete
  3. Review sama vote-nya Ar, kek om Vajra itu :3

    Neeshma Fraun

    ReplyDelete
  4. Review sama vote-nya Ar, kek om Vajra itu :3

    ReplyDelete
  5. Hmm saya merasa penggambaran emosi Neeshma bagus sekali di sini. Sebagai pendeta dan sosok agamawan yang dekat dengan dewa-dewa, ia memiliki kecenderungan utama untuk tidak mau melihat orang lain menderita.

    Meski tidak bertarung sehabis-habisan rekan-rekannya namun gelora emosinya terasa sekali.

    Saya beri skor 8.

    Terima kasih juga telah berkunjung ke entri saya pagi tadi >.<


    OC : Tan Ying Go

    ReplyDelete
  6. Satu poin plus yang saya suka banget di sini adalah konsistensi karakter Neeshma dari awal sampe akhir. Dia, yang keliatannya emang nolak turnamen ini, juga ga bisa akur sama first matenya yang jelas polar opposite dari dia, dan itu kegambar dengan baik.

    Cuma saya sedikit menyayangkan karena dari segi settingan perangnya sendiri masih kerasa kurang keeksplor, jadi karakternya konstan begitu aja dari awal sampe akhir (meski bukan berarti saya nuntut char development dalem satu entri sih). Terus entah saya skip atau apa, kemunculan Ernest agak terlalu tiba" buat saya, bikin 'eh? kok?' pas dia pertama muncul di tengah battle

    Finishingnya, meski saya nangkep skala hebatnya kemampuan Neeshma ini, tapi kok agak kurang impactful ya> Mungkin seharusnya bisa diolah lebih asik lagi

    Dari saya 7

    Terima kasih sudah mampir, dan tetap semangat! Masih banyak ruang untuk jadi lebih baik!

    [OC : Dyna Might]

    ReplyDelete
  7. Po - Fatanir

    deskripsinya udah asik ini, tapi...asiknya pas di awal2 as Neeshma baru dtg. pas battle justru kyk minim background bgt.

    penggambaran emosi juga gitu, di awal2 keren. tapi pas battle itu seolah2 marahnya nyaris nggak berproses gitu

    karakternya udah bagus secara konsep, mgkn kemampuannya bisa dijelasin dikit lagi dalam adegan battle, dan ditambahin adegan dramatis misal Neeshma kewalahannya kyk gmn pas ngehadapin pasukan monster dsb

    nilai dariku 7

    ReplyDelete
  8. Wooohh ragga diajak jalan jalan lagi :3

    Okee. Pembawaan nya bagus banget, interaksi nha juga sempurna...

    Pembawaan ragga nya cukup oke juga sesuai ekspektasi meski disini ragga keliatannya gampang banget pindah pindah mood :3 1 poin plus udah ajak ragga jalan jalan :3

    Nilai nya 9 / 10

    Ragga Bang!

    ReplyDelete
  9. Saya bisa merasakan emosi yang dirasakan Neeshma di sini.

    Tapi sebagai penikmat cerita aksi juga, saya kurang merasakan aksi yang "JEDERR!!" dalam cerita ini.

    Karakterisasi kuat, terutama di Neeshma sendiri. Tapi lagi, kalau aksi pertarungannya lebih dieksplor, saya bakalan enjoy baca cerita ini

    8/10 dari saya

    Salam hangat dari Enryuumaru/Zarid Al-Farabi

    ReplyDelete
  10. Narasi dan dialog mengalir lancar. Plot dan karakterisasi juga bagus, tapi sayangnya battlenya masih kurang.

    Lawan-lawan mereka terlalu mudah dikalahkan, tidak ada rintangan yang "Wow".

    Pertarungan melawan Tamon Rah sekaligus menghancurkan kedua menara terkesan cepat, mudah dan "hanya begitu saja".

    Point : 7 / 10
    OC : Relima Krukru

    ReplyDelete
  11. Ehem, melunasi satu janji review ....

    Kesan pertama begitu merampungkan baca: saya berasa deg-degan, karena saya tahu Neeshma ternyata dalam sekali emosinya. Udah saya duga, sih. Karena secara, dia klerik. Saya emang punya ekspetasi tersendiri kalo nemu karakter klerik, dan untunglah terpenuhi XD

    Gaya bahasanya oke, tapi kok tipografi-nya agak kurang nyaman diliat. Enakan pake rata kiri-kanan, Kaka XD

    Battle-nya sendiri saya pikir kurang berasa gregetnya, terlalu gampang kalo menurut saya. -Jadi teringat entry sendiri-

    Dan saya kira ... Neeshma gak nyebutin nama jurusnya kalo lagi ngeluarin skill. Kan namanya aja asing, nama tempat asalnya juga asing, kok skill-nya disebut pake bahasa Inggris (ex: Lumen Blessing)? Saya pribadi ngerasa aneh.

    Tapi overall, karena berhasil meninggalkan kesan di dalam hati, Ahran ikhlaskan 8 untuk Neeshma, cuman katanya dia takut kalo ketemu Neeshma lagi, apalagi berhadapan XD

    -Dari Ahran-

    ReplyDelete