16.5.15

[PRELIMINARY] PUPPET - MANIS PAHIT CERI, RODA KEHIDUPAN

PUPPET - MANIS PAHIT CERI, RODA KEHIDUPAN
Penulis: Venessa Noviando



I : Hari Cerah, Hati Berawan

"Aku pulang! Ayah, Ibu, aku mendapat banyak ce—"

"Ayah?"

Gadis kecil berambut hitam yang menyerbu masuk melalui pintu kayu yang memang tidak biasanya dikunci, kini terdiam. Dia celingak-celinguk, mencari keberadaan kedua orang tua yang biasanya selalu menyambut kedatangannya.

"Ibu …?"

Dia menggengam erat keranjang berisi ceri segar yang baru saja dipetik langsung dari kebun milik Grezia—bibi gadis itu—yang berada tak jauh dari rumah sang gadis kecil. Seluruh tubuhnya mulai gemetar dan bola mata yang memiliki iris semerah ceri, membelalak takut.

Dia merasakan adanya sesuatu yang ganjil.

Perlahan, gadis kecil yang memakai jubah cokelat, berjalan masuk dan menuju ruang tengah. Ruang yang biasanya menjadi tempat berkumpul mereka, sekeluarga.

Dia berjalan dan terus berjalan. Entah mengapa, perasaannya sangat tidak enak. Ia merasakan firasat buruk bahwa sesuatu telah terjadi. Sesuatu yang buruk.


Gadis kecil itu sampai ke ruang tengah.

Keranjang anyaman bambu yang berisi ceri, tergelincir begitu saja dari tangan-tangan kecilnya. Menyebabkan semua ceri yang ada di dalamnya terjatuh, menggelinding begitu saja.

Beberapa dari mereka menggelinding ke sebuah genangan yang warna merahnya lebih pekat dari ceri itu sendiri.

Diikuti teriakan nyaring sang gadis kecil.

***

II : Ketakutan Adalah Kehidupan

Gelap dan sepi. Seperti biasa, keadaan kota London memang cukup mencekam untuk dijadikan kisah horror dan pembunuhan. Terlebih lagi, bumi di bagian ini sudah berputar menjauh dari matahari. Langit memanggil bulan untuk menjadi pembawa acara berikutnya.

Sebuah suara langkah kaki menggema, membungkam hardikan-hardikan kasar dari dua pria di dalam gang.

Mereka menyadari kehadiran seseorang dari luar gang sempit yang pengap dan kurangnya pencahayaan, tempat mereka bertengkar karena seekor gagak dengan kertas yang diikat ke kakinya.

"Siapa di sana?" teriak salah satunya.

Seorang gadis yang memakai topi kecil, baju bergaya Victorian Style, dan sepatu boots bertali, berjalan tenang ke arah dua pemuda itu. Wajahnya agak samar, tapi mereka bisa melihat bola matanya berkilat, berwarna merah diterpa cahaya remang dari bulan. Sangat bulat bagai bulan itu sendiri. Seekor kucing hitam mengiringi jalan gadis tersebut.

"Ceritakan tentang yang kalian bicarakan barusan." Suara datar dari gadis itu memerintah dalam nada memaksa yang tenang.

Ekspresi gadis itu tidak berubah. Sekalipun, dua pria di hadapannya berbadan besar dan kekar.

***

Gadis itu melakukan sihir di sebuah rumah kosong. Untuk dirinya dan untuk Raven—gagak pengirim pesan yang terbunuh oleh manusia biasa.

[Karena kau terlalu lama berada di dunia manusia, aku hanya bisa mengirimkan surat ini lewat Raven. Aku tahu Raven agak buruk soal navigasi, tapi semoga surat ini sampai.

Ada sebuah pertandingan yang diselenggarakan di dimensi lain. Dimensi itu bernama Alforea.

Pada dasarnya, panitia penyelenggara di sanalah yang memilih dirimu.

Datanglah ke sana, kau akan menemukan jawaban dari pertanyaan terbesar dalam hidupmu.

Jika kau membuka surat ini, maka kau otomatis akan memiliki sihir untuk berpindah ke dimensi yang kumaksud.

Berhati-hatilah.
Nokusa

Ps : Jika terjadi sesuatu dengan Raven, tolong kirimkan dirinya kembali ke Soragin menggunakan sihirmu. Aku tahu, kau sudah memiliki sihir pemindah dimensi dari dunia manusia ke Soragin. Tak apa, aku tidak akan menghukummu. Kau adalah orang yang terpilih. Berjuanglah.]

Gadis itu—Puppet—membaca sekali lagi lembaran kertas yang ia pegang. Sekadar meyakinkan kalau tak ada kesalahan pada penglihatannya.

Juga meyakinkan dirinya, bahwa ini adalah jalan yang terbaik.

Dua buah lingkaran sihir bercahaya di tanah. Dia menaruh Raven di salah satu lingkaran sihir dan dirinya sendiri menginjak lingkaran sihir lainnya. Diikuti Eve—kucing hitam miliknya—mereka berdiri di atas pola bintang lima sudut dengan hiasan mantra di sekelilingnya.

Dalam hitungan detik, kedua lingkaran sihir beserta benda di atasnya, lenyap bersamaan. Meninggalkan tanah hampa pada bangunan kosong yang sudah tak memiliki atap dan ditinggalkan begitu saja, bahkan oleh pemerintah di sana.

***

III : Tangisan Tak Membangunkan Kalian Lagi

Teriakannya yang nyaring, membuat seluruh tetangganya datang dan masuk ke rumah gadis kecil bernama Eumenides dan membuat mereka melotot tak percaya.

Di hadapan mereka, saat ini, tergeletak dua tubuh yang tercabik dan berserakan. Bagian-bagiannya tidak utuh, terutama bagian tangan dan perut. Kedua tubuh tersebut adalah milik ayah dan ibu Eumenides.

Eumenides berjalan. Semakin dekat. Berjalan goyah ke arah jasad itu.

Bulir demi bulir air yang mengilat diterpa cahaya lampu mulai berjatuhan di pipi Eumenides. Gadis kecil itu kini terisak.

Kakinya yang telanjang, menginjak genangan merah pekat di depan kepala ibunya. Ruang tengah yang tadinya menjadi pusat kebahagiaan keluarga, kini ternoda oleh cipratan-cipratan darah dan bau anyir.

Kali ini Eumenides berteriak histeris seraya derai air mata terjun begitu saja dari setiap sudut mata bulatnya.

Gadis itu meneriakkan ayah dan ibunya berkali-kali, sampai beberapa tetangganya berusaha menenangkan dirinya, namun tak berhasil. Dia tetap berteriak dan menangis.

Berteriak. Juga menangis.

Seakan itu akan memutar balikkan waktu dan mengubah seluruh keadaan di hadapannya menjadi sediakala. Keadaan di mana dia akan berlari ke arah ayahnya yang sedang menulis, lalu ayahnya akan berhenti menulis hanya untuk menggendong si pemilik tawa ceria dan rambut hitam.

Lalu dia akan tertawa senang dan minta diturunkan, kemudian berlari ke arah ibunya yang sedang asik meracik obat sihir.

Kemudian sang ibu akan menghentikan kegiatannya hanya untuk mengecup kening yang ditutupi poni hitam lurus.

Tapi teriakan dan tangisannya tidak membuahkan apapun.

Semua yang terjadi adalah nyata.

***

IV : Alforea dan Naga Merah Kecil

Baju wanita itu bagus, pikir Puppet. Hanya saja, dadanya terlalu besar untuk baju seketat itu.

Wanita yang berbaju ketat itu tiba-tiba saja digantikan oleh seorang pria berjanggut putih. Puppet merasa agak bosan dengan penjelasannya. Dia bersandar ke dinding sambil tetap memeluk Eustas, boneka panda miliknya.

Dari jauh, terdengar meongan seekor kucing yang tak lain adalah kucing hitam miliknya.

Puppet mencari ke arah sumber suara. Dilihatnya kucing hitam yang sedang mengeong dan mendongak ke atas.

Mendongak ke arah seekor naga kecil berwarna merah yang terbang berputar-putar.

Dasar Eve, batin Puppet.

Eve—kucing hitam itu—mengeong sambil kepalanya berputar-putar mengikuti gerakan naga kecil merah. Sesekali kaki depannya terangkat, mencoba menggapai tubuh si naga, tapi tentu saja, gagal.

Menyadari pemiliknya datang, kucing itu berhenti dan menghampiri sang pemilik sambil terus mengeong beberapa kali. Seakan berbicara.

Ya, Puppet memang bisa berkomunikasi dengan kucingnya.

"Apa iya?" tanya Puppet kemudian. Dan kucing itu menganguk.

***

V : Boneka Tak Punya Jiwa

Eumenides bekerja siang dan malam, dikarenakan sudah tidak memiliki orang tua. Meskipun bibinya menawarkan hak asuh atas dirinya, tapi Eumenides tidak mau.

Gadis itu meracik obat dari buku-buku peninggalan ibunya. Lalu obat itu dia jual untuk memenuhi kehidupan sehari-hari.

Akibat dari kehidupan masa kecilnya yang dirampas dengan bekerja, Eumenides menjadi pemurung. Bahkan dengan orang-orang yang dekat dengannya, dia tidak mau banyak bicara.

Banyak yang menjadi saksi atas kematian orang tuanya, berusaha menyemangati gadis itu, tapi yang mereka dapatkan hanyalah respon dingin dari sang gadis kecil.

Eumenides semakin hari semakin menjauh dari kehidupan di Soragin. Semakin menutup diri dan berkomunikasi hanya sebatas urusan dagang.

Buah dari perlakuan dirinya terhadap orang di sekitarnya adalah, mereka mulai memanggil dirinya 'Puppet'.

Mereka memanggil Puppet disebabkan oleh ekspresi si gadis yang memang seperti boneka yang tidak memiliki jiwa. Kosong, hampa, dan dingin.

Semenjak itu, Eumenides lebih terkenal dengan nama Puppet. Orang-orang di Soragin dapat mengingat dengan mudah nama Puppet tersebut, juga karena insiden yang terjadi pada keluarganya.

Terutama petinggi dari Soragin, Nokusa sendiri, yang mengklaim bahwa kematian kedua orang tua Puppet, disebabkan oleh binatang buas.

Namun Puppet tidak semudah itu percaya kepada semua putusan Nokusa. Baginya, orang tuanya adalah penyihir hebat. Jika hanya binatang buas, tak mungkin orang tuanya bisa kalah semudah itu. Ayahnya adalah Obeah-Man yang cukup terkenal, dan ibunya sudah menjadi pembuat obat nomor 3 di Soragin. Tidak mungkin mereka kalah, pikir Puppet.

Akibat dari kejadian itu, Puppet menganggap ada yang disembunyikan oleh Nokusa, entah apa. Semenjak itu pula, kepercayaan Puppet terhadap orang dewasa, mulai hilang.

***

VI : Awal Kebahagiaan dan Kenyataan Pahit

Dunia manusia memang hebat. Penuh warna dan benda-benda manis.

Kereta kuda dan wanita berpakaian bagus. Semuanya menakjubkan!

Apakah aku tidak bisa tinggal di sini selamanya?

Apakah tidak ada penyihir dari Soragin yang tertarik untuk tinggal di dunia manusia?

Aku berjalan melewati deretan toko-toko. Selintas aku melihat pantulan diriku di kaca sebuah toko baju.

Ahhh… jubah cokelat ini sangat kuno.

Tunggu.

Mataku tertuju pada sebuah patung yang memakai pakaian penuh renda berwarna hitam-ungu, sebuah topi kecil yang juga berwarna hitam-ungu, dan sebuah sepatu boots bagus yang juga berwarna hitam-ungu.

Pakaian dan perlengkapan yang di tubuh patung di dalam sana bagus sekali! Aku ingin memilikinya! Aku harus memilikinya!

Aku membuka pintu toko yang terbuat dari kayu berukiran antik. Membuat bel di atas pintunya berbunyi dan seorang lelaki paruh baya berambut cokelat yang menjadikan meteran sebagai kalungnya melihat ke arahku dari balik meja kayu.

"Selamat datang," sambutnya. Kami para penyihir dari negeri Soragin memang dibekali kemampuan untuk mempelajari bahasa di beberapa belahan dunia manusia. Dan untungnya aku mengerti bahasa di negara ini.

Tapi sambutannya tak berlangsung lama.

Aku melihat raut menghina di wajahnya. Itu pasti karena penampilanku.

"Ada yang bisa kubantu, Miss?"

Sekarang dia menatapku lekat, sambil sesekali mengerutkan kening.

Aku merogoh kantung dalam jubahku. Mengambil koin-koin yang sudah kutukar terlebih dahulu di Dinas Penukaran Mata Uang Soragin, lalu kutaruh semua koin itu ke meja di hadapannya.

Lelaki itu melihat ke arah koin-koin milikku, kemudian memandangku, dan seketika tertawa.

"Desain bajuku adalah yang terbaik di kota ini, Miss, koin-koin ini bahkan tak cukup untuk membeli benangnya!"

"Tapi, aku mau baju yang di sana itu," tunjukku ke patung yang menghadap ke arah luar.

Lelaki itu menggeleng. "Pulanglah, Miss, dan bawa koin receh ini. Siapa tahu, kau lapar?"

Aku hanya diam dan menatapnya.

Aku tidak ingin pergi. Aku menginginkan baju itu. Aku harus mendapatkannya.

"Pergi, sebelum kupanggil polisi kalau ada gelandangan yang masuk ke tokoku yang suci ini!" Kali ini, nada bicara lelaki paruh baya itu mulai terdengar ketus dan sedikit membentak.

Aku harus mendapatkannya.

Terpaksa.

Aku mengeluarkan obat dari kantung kiri. Obat 'Patuh'.

Aku harus melakukannya. Sekali saja. Benar, ini tak apa.

Ini semua kesalahan si lelaki paruh baya itu. Ini semua kesalahan dia.

Aku berjalan semakin mendekat ke arahnya. Sambil menggenggam erat obat 'Patuh' di tanganku.

"Mau apa kau?" tanyanya. Dia melotot, merasa terintimidasi, mungkin.

Aku membuka penutup tube obat tersebut. Penutup yang terbuat dari gabus itu kubiarkan terjatuh di lantai.

Dalam sekali gerakan tangan, aku menyiram seluruh isi obat ke lelaki paruh baya tadi.

Sekarang, pandangan matanya kosong.

"Sekarang, berikan aku baju yang ada di patung itu. Dan yang itu, dan yang itu," perintahku sambil menunjuk ke beberapa arah berbeda.

"Cepat!"

"Baik, Miss."

***

VII : Awal dari Penderitaan

"Kau lihat itu? Dia memakai baju yang aneh!"

Dua orang perempuan berceletuk dengan keras sambil menunjuk ke arahku.

Mereka hanya iri.

Iri terhadap baju cantik yang kupakai beserta aksesorinya.

Mereka tidak pernah berani melanggar aturan yang memang seharusnya tidak pernah ada.

Aturan tentang budaya.

"Tunggu."

Suara berat seorang laki-laki membuat langkahku terhenti.

"Kamu Eumenides?"

Pertanyaannya sontak membuatku berbalik. Aku melihat laki-laki berjubah cokelat yang memiliki janggut hitam dan mata berwarna biru safir. Dia melangkah mendekatiku.

Sekarang, dia benar-benar berada di hadapanku.

Mau apa laki-laki ini?

"Tenang saja. Aku hanya disuruh oleh Yang Mulia Nokusa."

Nokusa!

Tangan lelaki itu terulur ke arahku dan mendarat tepat di atas kepalaku.

Aku merasakan sengatan listrik sesaat.

"Arrrgh!"

Aku berteriak dan menjerit. Berusaha melepaskan diri. Tapi semakin aku memberontak, semakin kuat pula cengkeraman lelaki ini.

Akhirnya dia melepaskan tangannya dari kepalaku.

Napasku terengah-engah. Degup jantungku tak beraturan. Keringatku mulai bercucuran.

"Jadi begitu," ucapnya.

Apa yang baru saja dia lakukan?

Apakah barusan dia membaca pikiranku? Atau membaca ingatanku?

"Sayang sekali, Eumenides, anda harus ikut ke pengadilan Soragin sekarang."

Dia menjentikkan jari dan seketika semuanya gelap.

***

VIII : Keputusan Tidak Adil

Ruangan dipenuhi suara bising orang-orang yang mengobrol. Ruangan dengan ornamen lingkaran sihir dan sulur-sulur tanaman.

Ruangan pengadilan di Soragin.

Kali ini, aku yang menjadi terdakwa.

Tidak pernah kusangka akan pernah berurusan dengan pengadilan di Soragin. Tidak pernah.

Bahkan untuk menuntut kasus ayah dan ibuku.

Tapi sekarang, akulah sang terdakwa. Atau pelaku kejahatan?

Ketukan palu di seberang meja tempatku duduk, membuat hening seketika.

Dia Nokusa. Yang Mulia Nokusa. Pemilik kedudukan tertinggi di Soragin.

Nokusa adalah Zuri terbaik yang menguasai lebih dari seribu jenis obat. Sang Ratu Soragin. Dengan rambut pirang bergelombang dan tulang pipi yang tinggi. Tubuhnya semampai dan hampir sempurna.

Tapi tetap, jubah cokelat yang jelek itu seakan menjadi penghalang atas semua kecantikan yang ia miliki.

Dia berdeham sebentar sebelum membacakan tuntutan untukku.

"Aku akan membacakan keterangan, mulai dari awal. Eumenides, atau yang kita kenal dengan panggilan Puppet. Tidak memiliki orang tua dan hidup sendiri. Anda menyetujui itu?"

Dia menatapku. Menunggu jawaban.

"Ya," jawabku singkat.

"Kau bekerja dan mengumpulkan uang dengan tanganmu sendiri. Lalu membayar laki-laki untuk menggunakan sihir pemindah dimensi, dan berpindah ke dunia manusia, benar?"

"Ya."

"Dan kau dipindahkan ke sebuah kota yang bernama London, benar?"

"Ya."

"Di kota itu, kau mencuri sebuah baju yang saat ini melekat pada tubuhmu?"

"Aku tidak mencuri."

Itu benar, aku tidak mencuri. Aku hanya menggunakan obat, agar pemilik toko sialan itu mau memberiku baju yang bagus.

Aku mendengar Nokusa menghela napas.

"Kau tidak mencuri. Tapi kau menggunakan obat untuk tujuan jahat."

"Itu salahnya. Dia yang duluan mengejekku." Aku harus berusaha menjawab setenang mungkin. Aku tidak boleh kehilangan kendali atas diriku sendiri.

Hening sebentar.

"Jadi …," lanjutnya, "kau menggunakan obat, menyuruh dia mengambil semua baju yang kau inginkan dan memberikannya kepadamu. Kau tahu sudah berapa aturan yang kau langgar?"

Aku tidak pernah melanggar aturan. Aku tidak pernah!

"Pertama, kau memakai obat untuk tujuan jahat, dan kedua, kau memakai pakaian yang tidak sesuai dengan yang berlaku di Soragin. Ada keberatan?"

Aku malas berdebat lebih jauh.

"Tidak."

"Baiklah. Kau akan dijatuhi hukuman mati karena melanggar dua aturan sekaligus."

Apa? Apa yang dia bilang barusan?

"Hei! Itu tidak adil! Aku tidak melanggar apapun yang menurutku salah! Semuanya karena faktor lain! Semuanya—"

Napasku tak beraturan. Aku kehabisan kata-kata. Rasanya wajahku memanas. Dan ada sesuatu yang meledak-ledak di dalam hatiku.

Rasa kesal bercampur marah, aku hampir kehilangan kendali diri.

"Kalian tidak akan pernah mengerti!" teriakku.

Aku berdiri dan berlari ke luar. Berlari melewati orang-orang, tapi dua laki-laki penjaga di depan pintu menghadangku.

"Biarkan dia pergi."

Aku mendengar suara Nokusa di belakangku. Apakah dia tadi membiarkan aku pergi?

Kedua laki-laki itu menyingkir dan memberiku jalan. Aku lantas berlari, meninggalkan pengadilan Soragin yang mengerikan.

Aku berlari dan berlari.

Tanpa sadar, terasa air mata menetes di pipiku. Hangat dan basah. Terasa agak lengket karena aku berlari dan menghadang angin.

Aku berlari dan segera masuk ke rumah. Rumah yang harusnya ada Ayah dan Ibu di dalamnya.

Rumah yang harusnya rapi dan terawat, namun berantakan dan tidak teratur karena aku tidak sanggup membagi waktu.

Pintu kututup dengan bunyi berdebum yang cukup keras. Aku rasanya tidak kuat berdiri lagi.

Tubuhku jatuh begitu saja setelah menutup pintu. Air mata sudah tidak tertahankan lagi. Aku menangis sejadinya.

Aku rindu Ayah! Aku rindu Ibu!

Kenapa seakan semua orang tidak menginginkan aku hidup? Kenapa?

***

IX : Tujuan Rahasia

Tak berapa lama, setelah aku berhasil menenangkan diri ….

Suara ketukan di pintu membuatku yang masih terduduk di belakang pintu, terkejut.

"Puppet, apa kau ada di rumah?"

Suara itu milik Bibi Grezia.

Sebentar.

Bahkan sekarang dia juga memanggilku Puppet?

Oh, ini tidak mungkin terjadi.

"Puppet?"

Aku menarik napas panjang. Mencoba mengatur emosiku sendiri.

Aku berdiri dan berbalik, memegang gagang pintu dengan erat. Tapi ada seberkas keraguan di hatiku.

Tapi aku harus menghadapi apapun yang terjadi.

Pintu kubuka sedikit demi sedikit dan terlihat sosok Bibi Grazia yang tetap cantik dengan rambut cokelat kemerahannya, meski mukanya agak gemuk sekarang.

Pintu kubuka semakin lebar, hingga aku mendapat informasi baru.

Bahwa Bibi Grazia tidak datang sendiri ke sini.

Dia bersama Nokusa.

Aku membelalak tak percaya, hampir saja kututup pintu jika saja Bibi Grazia tidak mencegahku terlebih dahulu.

"Kita bicarakan semuanya baik-baik. Kamu tenang saja, Puppet."

Suaranya menenangkan dan raut wajahnya sedikit mirip ibu. Bibi Grazia memang masih sedarah dengan ibu.

Aku terdiam saat Bibi Grazia merangkulku dan mengajakku untuk masuk ke dalam. Diikuti oleh Nokusa. Kami berjalan menuju ruang tengah, tempat ibu dan ayah tewas.

Kami mengambil posisi masing-masing di tempat duduk yang tersedia.

Ruangan ini mengingatkanku pada ayah dan ibu. Rumah ini, tepatnya, selalu meninggalkan kenangan akan ayah dan ibu.

Kenangan tentang kejadian-kejadian merindukan.

Entah itu saat aku yang melakukan tindakan nakal sehingga mereka memarahiku, lalu menghukumku.

Atau saat malam tiba, ketika ibu memarahiku sampai parah, dia akan datang diam-diam ke kamarku, mengira aku sudah tertidur. Kemudian ia akan mengecup keningku dan meminta maaf.

"Puppet?"

Panggilan dari Bibi Grazia membuyarkan lamunan yang hampir membuatku meneteskan air mata lagi.

Aku memandangnya dan Nokusa bergantian.

"Biar aku yang memulainya," ucap Nokusa.

"Kita semua tahu, harus ada hukuman atas aturan yang dilanggar. Dan dengan terpaksa aku ingin memberika penawaran terakhir."

Nokusa menghela napas sebentar, sebelum melanjutkan kalimatnya.

"Aku akan menjatuhimu hukuman … menghapus ingatanmu tentang obat 'Patuh'. Hanya itu penawaran terakhir yang dapat kuberikan."

Aku mengerutkan kening sambil memandang ke arah bawah. Ke arah meja di tengah-tengah kami.

"Itu lebih baik daripada hukuman mati, bukan?" Bibi Grazia menimpali.

Aku berpikir beberapa detik, menghela napas, dan bersiap memberi jawaban.

"Baiklah."

***

X : Bertemu dengan Kenyataan

Sekarang apa?

Mereka semua sudah pergi. Aku sudah tidak ingat lagi racikan obat 'Patuh'.

Bibi Grazia mencoba menghibur ketika aku protes karena dia ikut-ikutan memanggilku Puppet. Dia bilang, Puppet lebih mudah diingat dan diucapkan.

Yang terakhir, Nokusa ….

Dia mengatakan kalau dia mengetahui penyebab sebenarnya di balik kematian kedua orang tuaku.

Dia bilang dia mengetahuinya.

Lalu dia bilang dia belum bisa memberi tahu kebenarannya sebelum aku benar-benar siap.

Sebenarnya, apa maunya?

Memangnya dia pikir, dengan memberi tahu kalau dia mengetahui sesuatu tapi belum bisa menceritakannya, perasaanku akan menjadi lebih baik?

Kenapa dia sangat bodoh?

Semua orang dewasa jahat.

Semua orang dewasa, sangat senang membuat pikiran orang lain kalut.

Dengan ucapan mereka, dengan semua tindakan mereka, dengan segala kebohongan dan kelicikan mereka.

Jahat.

Aku benci orang dewasa.

Benci!

Aku berjalan limbung ke arah kamar ayah dan ibu. Aku sudah tidak tahu harus berbuat apa. Aku malas membuat obat, aku malas berinteraksi dengan orang lain.

Aku malas hidup.

Aku berjalan masuk dan hampir menjatuhkan diri ke kasur, sesaat sebelum mataku menangkap sesuatu yang mencuri perhatianku.

Sesuatu itu berbentuk tumpukan kertas berwarna putih kecoklatan.

Aku berjalan menghampiri meja kerja ayah, tempat sesuatu itu berada.

Mataku mempelajari tiap tulisan yang berada di sana dengan cepat, dan berhenti di beberapa kertas yang dikumpul jadi satu dan dijepit oleh klip. Dengan judul yang sangat menarik bagiku.

RAHASIA MENJADI OBEAH-MAN

Tulisan ayah sedikit agak kacau, tapi masih bisa kubaca.

[Menjadi Obeah-Man bukanlah sesuatu yang mempedulikan jenis kelamin. Siapa pun bisa menjadi Obeah-Man, baik laki-laki, maupun perempuan.

Sama halnya dengan menjadi Zuri, laki-laki pun bisa melakukannya.

Hanya saja, laki-laki yang memilih untuk menjadi Zuri, akan lebih sering gagal dalam meracik obat, dibanding wanita.

Begitu pula dengan wanita, mereka tidak bisa melakukan sihir Obeah-Man secara langsung. Mereka membutuhkan perantara.

Tapi tidak ada yang tidak mungkin.

Semua bisa dilakukan, jika memang gigih dalam mempelajarinya.

Dan di dunia manusia, sebenarnya ada pula yang dinamakan 'Sihir Pengendali Alam'.

Sihir tersebut, tidak hanya berpengaruh terhadap satu objek, tapi bisa mempengaruhi seluruh jagat raya, tergantung penggunaanya….]

Aku melewatkan beberapa bagian-bagian lainnya, dan meneruskan membaca cara-cara menggunakan sihir Obeah-Man bagi pemula.

Juga tentang sihir pemindah dimensi, semua ditulis di sana.

Ayah, selama ini ternyata melakukan penelitian seperti ini.

Apakah semua ini ada hubungannya dengan kematian ayah dan ibu?

Aku harus bisa menjadi Obeah-Man.

Tidak.

Obeah-Lady.

Ya, itu kedengaran lebih bagus.

Baiklah!

***

XI : Suka dan Tidak Suka

Puppet berjalan menghampiri seorang anak laki-laki berambut hijau berantakan dan bertelinga lancip. Dia duduk di atas kasur putih, memegang bantal dan guling, dan menggunakan selimut sebagai jubahnya.

Semua yang jelas terlihat seperti peralatan tidur itu berwarna putih.

Anak laki-laki berambut hijau itu memiliki wajah khas anak-anak yang seakan selalu cemberut. 

Sangat lucu, pikir Puppet.

"Dia harus jadi bagian dari timku."

Puppet bergumam dan di sekelilingnya sangat ribut, sehingga tidak mungkin ada orang yang mendengar ucapannya.

"Dia pemilik naga merah kecil tadi?" tanya Puppet ke arah Eve. Kucing itu mengangguk.

Anak laki-laki yang sedang duduk termangu di depannya, menoleh ke arah Puppet. Dia sadar bahwa dirinya sedang dibicarakan oleh orang lain.

"Ah, halo," ucap Puppet cepat.

Ini menyenangkan, pikir Puppet. Dia merencanakan untuk merekrut semua anak kecil yang bisa ia temukan di tempat ini.

Anak berambut hijau di depannya hanya diam dan tidak merespon, kemudian mata anak itu menutup dan tubuhnya tumbang ke samping.

Anak itu seperti tertidur tiba-tiba.

Puppet tertawa kecil dan mendekat ke anak itu. Puppet berjongkok dan menyentuh pipi anak kecil berambut hijau tadi dengan jari telunjuknya.

"Kalau tidur di sini, kita tidak bisa mendaftar tim. Apa? Kau mau menjadi timku? Baiklah, akan kulaporkan pada maid yang akan membimbing kita."

Puppet berbicara tanpa henti seakan mengetahui jawaban dari anak itu. Pada dasarnya, dia hanya memaksakan kehendaknya.


Minimal dua, maksimal empat, batin Puppet.

Seorang maid muncul tiba-tiba di depan Puppet. Maid itu memakai baju dengan gaya yang mirip dengan baju milik Puppet, hanya warnanya yang berbeda—putih dan hitam—ditambah dengan bandana renda di kepalanya.

Maid, seperti yang sudah dijelaskan, akan mengantarkan mereka menuju tempat pertarungan.

Saat Puppet memerhatikan sekelilingnya, ia melihat beberapa maid lainnya dengan seragam yang sama.

"Kamu sudah menentukan tim?" tanya maid di hadapannya. Tapi, tunggu. Maid itu bertanya tanpa menggerakkan mulutnya sama sekali.

Tapi Puppet bisa mendengar suaranya.

Puppet mengangguk ragu. Suara maid itu terdengar sedikit seperti suara yang dihasilkan oleh program. Tidak seperti suara manusia biasa.

"Yang mana?"

Puppet menunjuk ke anak berambut hijau yang sedang asik tidur bergulung dengan selimutnya.

"Hanya dia?"

Puppet agak ragu untuk menjawab. Ia merasa berdua masih belum cukup. Maka akhirnya, Puppet menggeleng.

"Mau dibantu atau cari sendiri?"

Puppet menimbang-nimbang. Dia takut jika dipilihkan, komposisi timnya tidak akan sesuai dengan seleranya.

"Cari sendiri, deh."

Puppet memberi isyarat dengan tangan kepada Eve, untuk tetap berada di samping anak kecil berambut hijau itu, berjaga-jaga jika dia akan diambil oleh tim lain.

Diikuti maid yang selalu tersenyum, Puppet berjalan mengitari halaman kastil.

Dia melihat seorang anak laki-laki berkulit cokelat gelap yang bertelanjang dada. Di sekujur tubuh anak laki-laki itu, terdapat tato bermotif tribal.

Anak laki-laki itu melompat ke sana ke mari, tertawa ceria dan adu tinju dengan seorang pemuda yang memakai baju kotak-kotak berwarna merah dan hitam di depannya. Di kepala pemuda yang memiliki rambut hitam agak panjang itu, terdapat sebuah bandana merah. Dan pemuda itu memakai kacamata.

Di samping mereka, ada seorang maid yang hanya berdiri dan tetap tersenyum, seperti maid yang mengantarnya. Kedua maid itu seperti kembar. Baik wajah, tubuh, rambut, semuanya.

Semua maid di sini bagaikan kembar.

Puppet melangkah ke arah mereka, menghampiri sang anak laki-laki yang berkulit cokelat gelap.

"Hei." Puppet menyapa. "Kamu mau ikut timku?"

Anak laki-laki itu menghentikan aktivitasnya. Rambutnya digaya mohawk dan badannya terlihat sedikit berotot. Dia memegang busur

"Tapi aku sama kakak ini," jawabnya sambil menunjuk pemuda di depannya.

Puppet hanya melihat sebentar ke arah pemuda itu lalu perhatiannya kembali ke anak kecil di hadapannya.

"Siapa namamu?" tanya Puppet.

"Aku Aushakii, kalau kakak namanya siapa?" jawabnya seraya melontarkan pertanyaan lain.

"Baiklah, Aushakii, jadi dengan kau, sudah ada tiga. Nah, ayo cari yang lain. Omong-omong, namaku Puppet."

Puppet tersenyum saat mengatakan itu. Lagi-lagi, dia memaksa.

"Kau tidak boleh seenaknya! Kami sudah satu tim!" teriak pemuda berkacamata di depannya.

"Itu benar, Anda tidak boleh seenaknya merebut orang dari tim lain."

Kali ini, maid yang semenjak tadi berdiri di samping mereka, akhirnya berbicara.

"Saya punya ide," kata maid yang berdiri di belakang Puppet. "Bagaimana kalau kalian bergabung menjadi satu tim.

"Itu ide bagus," maid yang berdiri di samping pemuda berkacamata langsung setuju, "saya akan mengurus peserta yang lain kalau begitu. Tim ini, saya serahkan kepada Anda."

Selesai mengucapkan beberapa kalimat secara langsung dan membungkuk hormat ke arah maid di belakang Puppet, maid yang tadinya berada di samping kedua orang itu, menghilang dalam sekejap.

"Hei. Tunggu! Aku belum setuju atas pembentukan tim ini!" cetus Puppet kepada maid di belakangnya.

"Yeah, aku juga!" Pemuda berkacamata menimpali.

"Percayalah atas keajaiban, tim ini sudah terbentuk atas nama alam."

"Meong!"

Keempat orang, termasuk maid, menoleh ke arah suara kucing. Kucing hitam milik Puppet, Eve.

Di belakang Eve, anak laki-laki berambut hijau sedang duduk di atas kasur terbang. Mengucek-ngucek matanya sambil sesekali menguap. Di samping anak laki-laki itu, terbang berputar-putar seekor naga kecil merah.

Anak laki-laki berambut hijau memperhatikan keempat orang yang melihatnya terpana.

"Apa?" katanya. "Kucing ini yang memaksaku ke sini."

"Woah! Kereeen! Kakak bisa terbang?"

Aushakii melompat girang dan mengangkat kedua tangannya ke atas. Dia lari menuju anak berambut hijau dan berusaha meraih kasur yang sedang mengambang di udara. Dia melompat-lompat menggapai kasur tersebut.

"Aku mau ikut! Aku mau ikut!" teriaknya. "Aku mau ikut terbang!"

Celoteh cerianya mencairkan suasana yang sedari tadi terasa tegang.

"Kasur yang bisa terbang. Brilian! Pasti amat mahal dan langka! Seperti dongeng dalam kisah Alladin."

Pemuda berkacamata itu mengeluarkan sebuah pena dan buku jurnal. Kemudian dengan cepat tangannya menari di atas buku itu.

"Baiklah! Sepertinya maid yang tadi benar. Tim ini mungkin akan jadi hebat! Dan sebaiknya kita cepat, sudah semakin sepi di sini," lanjutnya sambil menyodorkan jempol ke arah maid.

Puppet cemberut dan merasa tidak senang, tapi dia juga tidak ingin terlambat. Malah, dia ingin ini semua cepat selesai.

"Terserah kau lah," cetus Puppet.

"Jadi semuanya sudah siap?"

"Yeaaahhh!" teriak Aushakii semangat. Dan yang lainnya hanya mengangguk setuju.

Maid mengambil posisi di tengah mereka.

"Sekarang, semua orang harus berpegangan tangan." Maid itu menginstruksi sambil merentangkan kedua tangannya.

"Biarkan aku berpindah posisi," ucap Puppet yang menyadari posisinya berada di antara pemuda berkacamata dan anak laki-laki berambut hijau.

"Waktu adalah uang," celetuk pemuda berkacamata sambil meraih tangan Puppet dan menggengamnya. Lalu tangan kirinya diulurkan kepada maid.

Puppet ingin melepas tangan itu tapi sudah malas berdebat. Puppet lalu mengulurkan tangannya ke anak laki-laki berambut hijau dan anak itu menyambutnya.

Tangan laki-laki, besar, batin Puppet.

Semua orang dalam tim itu sudah berpegangan tangan, maid menyuruh mereka menutup mata dan mengikuti ucapannya.

"Kami berasal dari alam, dan bersatu pada alam."

Semua orang mengikuti kalimat dari maid.

Sebuah cahaya biru muncul dari tanah tempat mereka berpijak, cahaya tersebut membentuk sebuah lingkaran, dan masing-masing dari tubuh mereka menghilang mulai dari bawah.

Hingga mereka semua lenyap seketika di dalam lingkaran.

Lingkaran mulai mengecil. Semakin kecil dan kecil. Dan ikut menghilang.

***

XII : Gurun Pasir dan Pertempuran

"Kalian boleh membuka mata dan melepaskan pegangan sekarang."

Semua menurut pada instruksi yang diberikan oleh maid.

Mereka melihat ke sekeliling.

Langit tempat mereka berada sekarang berwarna biru gelap. Mereka berdiri di atas bukit besar dan datar, yang di sekelilingnya pasir dan bebatuan dengan ratusan prajurit yang sedang bertempur melawan ribuan monster berbagai jenis. Cahaya dari lentera yang dibawa para prajurit, bergerak-gerak bagai kunang-kunang di tengah malam.

Mereka berdiri di tempat yang agak jauh dari peperangan yang sedang berlangsung.

Gurun pasir yang sangat besar dan terasa tak ada batas.

Dan hawa dingin menusuk kulit yang membuat pemuda berkacamata memeluk tubuhnya sendiri, Puppet mendekap Eustas lebih erat, dan anak laki-laki berambut hijau menggulung tubuhnya dalam selimut.

Sedangkan Aushakii, tidak terlihat terganggu.

"Pada saat kalian melewati dimensi pemindah tadi, sebuah pengetahuan sudah ditambahkan dalam ingatan kalian. Pengetahuan itu seputar keadaan di sini, apa yang harus dilakukan, dan apa yang terjadi sebenarnya. Selain dari itu, kalian harus mencari tahu sendiri. Dan terkadang, jika kalian tidak berhasil mengingat pengetahuan yang telah diberikan, itu berarti, emosi kalian sedang tidak stabil untuk berpikir. Saya hanya sampai di sini, selamat berjuang."

Maid tersebut membungkuk hormat dan menghilang dalam sekejap setelah menjelaskan panjang lebar, tanpa menunggu jawaban dari peserta yang dibimbingnya.

"Sekarang apa?" tanya anak laki-laki berambut hijau. "Aku tidak mengerti apapun."

"Aku mengerti! Aku mengerti!" teriak Aushakii. "Jadi, setelah ini, akan ada perang. Lalu… lalu… lalu apa ya …?" Sekarang, dia bingung sendiri.

"Aku sudah mencatat semuanya." Pemuda berkacamata dengan bandana merah itu menghela napas sambil mengacungkan buku jurnal. Nadanya terdengar agak sedikit pongah.

"Dia siapa?" tanya anak laki-laki berambut hijau sambil menunjuk pemuda itu.

"Iya, dia siapa?" tanya Puppet sambil menatap Aushakii.

"Aku Adhyasta Dartono Gaspard. Bisa dipanggil Adhy, dan sebaiknya jika mau bertanya nama seseorang, tanyakanlah pada orangnya langsung."

Adhy menatap Puppet yang sedang menatapnya juga, tapi tatapan Puppet agak seram bagi Adhy.

"Kalau begitu, kalian bisa memanggilku Eophi," ujar anak laki-laki berambut hijau.

Puppet tersenyum ke arah Eophi. "Halo, Eophi, aku Puppet."

"Gadis itu hanya mau tersenyum pada orang yang dia suka saja, sepertinya," gumam Adhy.

"Aku bisa mendengar apa yang kau katakan, tapi aku tidak peduli."

Arah tubuh Puppet masih menghadap Eophi, hanya saja, matanya melirik ke arah Adhy.

"Lalu, kita—"

Ucapan Adhy terpotong oleh bunyi berdebum yang tiba-tiba membahana di tengah riuh ramai teriakan orang-orang dan suara monster.

Terasa sedikit getaran pada tanah tempat mereka berpijak.

"Kita terlalu banyak berbicara, sial!" gerutu Adhy kesal.

Di kejauhan, sesuatu yang besar, di udara, muncul. Bentuknya seperti kuda yang memiliki tanduk dan sayap.

Di sekelilingnya terdapat serpihan putih bersinar yang berjatuhan menimpa apa yang ada di bawahnya. Manusia, monster, semuanya, tertimpa serpihan yang lebih tepat disebut hujan batu.

"Itu pecahan bulan," ucap Puppet.

"Kita harus menolong mereka!"

Aushakii bersiap untuk maju, tapi bahunya ditahan oleh Adhy. "Tunggu," kata Adhy. "Monster di depan itu berbahaya. Hanya ada satu cara menghancurkannya."

"Maksudmu menara kristal?" timpal Puppet.

Aushakii mengepal tangannya.

"Aku tahu tentang menara itu," lirihnya. "Tapi orang-orang di sana, kita harus menyelamatkan mereka!"

"Kita harus mengatur strategi," balas Adhy cepat.

Adhy berjalan turun—setengah merosot—menuruni bukit tempat mereka berdiri.

Diikuti anggota lainnya di belakangnya.

Puppet hampir tergelincir, sebelum Eophi—di belakangnya, turun dari kasurnya sambil tetap menggunakan jubah selimut dan membawa bantal—memeluk Puppet dan memegang perut Puppet, menahan agar tidak jatuh.

"Hati-hati," bisiknya di telinga Puppet.

Mereka semua berhasil turun ke bawah. Puppet memandangi Eophi yang ekspresinya tidak berubah sama sekali—tetap terlihat malas dan mengantuk—selama beberapa saat.

"Kau tinggi juga," ujar Puppet. "Kau bukan anak kecil? Tapi wajahmu terlihat seperti anak kecil."

Puppet merasa tertipu karena selama ini, Eophi selalu duduk meringkuk di atas kasurnya, membuat tubuhnya terlihat seperti anak kecil.

"Di tempatku berasal, aku termasuk anak kecil," ujar Eophi.

Puppet berusaha mempercayai itu. Dan tidak mempersalahkan lagi hal lainnya.

Sebuah benda terjatuh dan menggelinding ke arah mereka. Adhy berteriak kaget. Dari cahaya yang ditimbulkan oleh peperangan itu, mereka masih bisa melihat dalam bayang-bayang.

Melihat sesuatu yang meninggalkan bekas merah kehitaman.

Sebuah kepala seorang laki-laki yang memakai helm zirah. Terlihat urat leher yang menyembur dan ceceran darah segar menetes dari sana. Mata di kepala itu membelalak, lidahnya terjulur ke luar.

Puppet terdiam. Aushakii menutup mata dan gemeretak giginya seakan berirama dengan tangannya yang dikepal.

Eophi membelalak tidak percaya.

Adhy menggeleng lemah. "Kita harus menang. Kita harus menang. Kita harus menang," lirihnya berulang kali.

"Baik, sekarang begini. Karena tidak ada informasi apapun tentang kemampuan masing-masing dari tim kita, sebaiknya kita memberi tahu satu sama lain agar aku bisa cepat-cepat berbagi peran."

Adhy menepuk bahu Aushakii. "Dimulai dari kau."

Aushakii masih belum bisa melepaskan pandangan dari kepala yang terputus di dekat kakinya. 

"Aku … aku sangat kuat. Aku terlahir kuat. Aku memiliki ketahanan tubuh, insting, dan refleks di atas manusia rata-rata. Aku bisa berbicara dengan hewan dan membuat hewan-hewan liar jinak. Aku juga bisa mengumpulkan awan untuk memanggil hujan. Selebihnya, semua bergantung busur dan anak panah ini. Juga getah Palapa yang bisa membuat halusinasi singkat."

Selesai memberi info tentang kemampuannya, Aushakii kembali memandang ke arah tengah, ke arah peperangan sedang berlangsung.

"Baiklah, sekarang, Nona Puppet?"

Puppet memandangi Adhy dengan tatapan tajam.

"Wow wow. Tidak salah kan, aku memanggil Nona?" Adhy mengelak sambil mengangkat bahu.

Eve mengeong di kaki Puppet.

"Ya, ya … aku bisa sihir."

"Sihir seperti apa?"

"Mengendalikan tubuh orang lain, membaca aliran darah mereka, mengetahui apa yang tidak kasat mata di dalam aliran darah. Yang lainnya, menghentikan waktu dan membuat lupa akan sesuatu."

Adhy mengangguk.

"Selanjutnya kau, Eophi."

Semua memandang ke arah Eophi.

Eophi memeluk bantal miliknya, pandangannya tertuju ke arah tanah.

"Eophi?"

"Sadar, bodoh!" Sebuah suara terdengar dari bantal yang dipegangnya.

"Phi, sadar!" Sekarang suara berbeda yang berasal dari selimutnya.

"Seseorang, tolong singkirkan kepala itu jauh-jauh!" teriak bantal Eophi.

Aushakii mengambil kepala berhelm itu dan membawanya agak ke pinggir.

"Kamu kenapa?"

Ekspresi Puppet melembut ketika berbicara dengan Eophi.

Eophi tiba-tiba seakan tersadar dari lamunan. Dia memandang ke arah yang lainnya.

"Apa tadi? Ehm … kemampuan, ya?"

"Dia bisa menciptakan pertahanan." Kali ini sepertinya suara yang berbeda datang dari atas kasur yang melayang di belakangnya. Entah berasal dari kasur, atau guling di atasnya.

"Sepertinya kalau aku memintamu menjelaskan semua kemampuan itu, akan memakan waktu sangat lama. Dan—"

Ucapan Adhy terpotong oleh geraman sesuatu. Dari arah seekor serigala berwarna cokelat yang sangat besar, mengamati mereka. Tingginya setara dengan orang dewasa. Serigala itu memamerkan gigi-giginya yang runcing dan meneteskan air yang berkilau.

Serigala itu bergerak cepat ke arah mereka. Kecepatannya membuat mereka tidak bisa menghindar.

"Eve!" teriak Puppet.

Kucing hitam itu bergerak dan melompat ke arah serigala besar. Sebuah lingkaran sihir muncul di tanah yang dipijak oleh serigala. Lingkaran sihir bercahaya ungu dengan bintang lima sudut dan ornament-ornamen lambing sihir.

Seketika, serigala itu menghilang dan muncul kembali di tempat pertama kali dia terlihat oleh mereka. Sementara Eve jatuh dengan posisi sedang melompat. Tubuhnya kaku total.

Puppet berlari untuk mengambil Eve dan menggendongnya sementara serigala di hadapannya masih kebingungan.

"Tunggu," ucap Aushakii. Anak itu berjalan tenang ke arah serigala.

Dia mengulurkan tangannya ke arah wajah si serigala. Seketika, geraman serigala itu menghilang.

Serigala itu duduk. Aushakii membisikkan sesuatu di telinga serigala.

Ketiga orang lainnya dalam tim itu, hanya bisa terpana.

"Kucing itu kenapa?" tanya Eophi.

"Jika dia memindahkan suatu objek, dia tidak bisa bergerak selama semenit lebih enam detik. Benar-benar tidak bisa bergerak, menjadi batu."

"Dia bilang, kita boleh menungganginya." Aushakii berteriak riang kepada mereka.

"Tidak mungkin," ucap Puppet. "Kasurnya bisa terbang kan? Aku sama kamu aja, ya?" Puppet memelas ke Eophi. Eophi mengangguk.

"Serigala ini pasti lebih cepat dari kasur itu," kata Adhy. "Jadi, kenapa tidak kita bertiga, kau di tengah, di punggung serigala, guncangannya pasti hebat."

Puppet tidak menggubris ucapan Adhy dan sudah duduk di atas kasur. Eophi juga.

"Ayooo!"

Aushakii sudah sangat bersemagat di atas punggung serigala. Adhy terpaksa buru-buru naik.

Mereka bergerak ke tengah, sementara Puppet menjelaskan tentang apa yang dilihatnya dalam pengetahuan yang didapatnya di dimensi pemindah kepada Eophi dan kasurnya, agar kasurnya bisa bergerak ke arah yang benar. Setelah mendengar penjelasan itu, Eophi mengatakan bahwa ia merasa mengantuk dan ingin tidur.

Akhirnya Eophi tertidur tanpa persetujuan siapapun.

Semakin mendekat ke tengah, semakin mereka melihat detil kuda raksasa yang tengah mengudara.

Di sekujur tubuhnya tertutup oleh api. Matanya berwarna merah menyala, dan kulitnya terlihat bagaikan terbuat dari arang. Hitam legam.

Hawa gurun yang sejatinya dingin ketika malam, terasa sangat panas di area sekitar makhluk itu. Dan lagi, saat ini, dari sayapnya keluar bola-bola api yang menyerang secara acak.

Seorang tentara yang terjatuh dari kudanya dan terhantam bola api, menjerit mengerikan. Tapi jeritannya tak berlangsung lama, karena setelahnya, seekor kuda melintas dan menghancurkan kepalanya dengan bunyi 'krak' yang memilukan.

Kejadian itu berlangsung di depan mata Aushakii dan Adhy, sementara Puppet bersama Eophi, masih agak jauh dari sana.

Yang melewati perjalanan darat, tidak begitu mudah. Mereka harus menghindari sekumpulan monster dan melihat puluhan manusia dicabik-cabik oleh monster-monster berwujud mengerikan. Ada yang berbentuk hewan, ada yang terbuat dari batu, ada juga yang berbentuk patung Sphinx besar dan menginjak apapun di sekitarnya, dan lain-lain. Namun yang paling mengerikan adalah kuda raksasa yang berlarian tanpa arah di udara, membumi hanguskan apapun yang dilewatinya.

Belum lagi dengan senjata-senjata yang bergerak liar di udara, tak peduli kawan atau lawan.

"Kita harus membantu mereka juga!" teriak Aushakii.

"Awas!"

Sebuah anak panah menumbangkan seekor kadal besar yang hampir menggigit prajurit yang melihat ke arah lain.

"Jangan bodoh! Ini peperangan antara prajurit Alforea dan monster. Mereka yang menghadang monsternya, kita yang menyelesaikan semuanya. Kau bisa melihat kan, di pengetahuan dalam ingatan kita, cara satu-satunya untuk menghentikan ini semua hanyalah dengan menghancurkan kristal di kastil yang terletak jauh di utara sana!"

Adhy menjelaskan dengan susah payah sambil berpegang erat pada kulit serigala yang bulunya terasa kasar agar tidak jatuh.

"Aku mengerti, tapi …."

"Sudahlah, fokus!"

Serangan bola-bola api berhenti, tapi sesuatu yang lebih mengerikan terjadi.

Kini monster kuda yang membara itu berbalik arah. Berlari di udara. Berlari lurus, mengarah ke Adhy dan Aushakii.

Mereka bahkan bisa mendengar ringkikan dan kepakan sayapnya yang menggema, membelah udara.

"Mundur! Jangan sampai berada di dekatnya!" teriak Aushakii. Serigala yang ditumpangi mereka mendengus dan berjalan berputar. Menabrak apapun yang menghadang mereka.

"Kenapa dia bisa mengejar kita?" tanya Aushakii sambil berteriak panik.

Adhy berpikir sambil menjaga keseimbangannya.

"Kau tadi menggunakan kemampuan," katanya pada akhirnya. "Jika menggunakan kemampuan dari jarak kurang dari 100 meter, dia akan mengincar si pengguna kemampuan. Dialah Tamon Rah. Sebentar lagi, dia akan menembakkan bola-bola api, lagi, dari sayapnya."

Mereka masih sibuk menghindari monster, prajurit, dan kejaran Tamon Rah, sambil tetap berusaha berjalan ke utara.

Sementara Puppet, bersama Eophi yang tertidur, baru sempat melihat Tamon Rah terbang menjauh. Dan Puppet melihat kedua temannya yang sedang menghindar dari bola-bola api Tamon Rah.

"Hei, apa kasur ini tidak bisa terbang lebih cepat?" teriak Puppet, panik.

"Diusahakan!" teriak kasur yang ternyata bisa berbicara juga.

Mereka menambah kecepatan, angin membuat Puppet hampir kehilangan keseimbangan. Dia heran kenapa Eophi bisa tidur nyenyak di saat-saat seperti ini.

Sedetik setelah berpikir begitu, Eophi tiba-tiba terbangun dan duduk tegak. Masih dengan muka mengantuk dan malas.

Meskipun sudah menambah kecepatan, mereka tetap tidak bisa mengejar kedua rekannya. Beruntung, Aushakii sangat handal dalam mengendalikan laju serigala besar itu. Sekalipun di tengah pasir-pasir berbatu, tapi gerakan serigala ini sangat lincah.

Namun naas, mereka tidak sadar kalau jalan di depannya menurun tiba-tiba.

Kaki serigala itu tergelincir, dan mengakibatkan kedua orang di atas punggungnya kehilangan keseimbangan. Aushakii berhasil mendapatkan keseimbangannya kembali, tapi tidak dengan Adhy. Adhy terjatuh dari punggung serigala dan mendarat di pasir keras.

"Argh!" teriaknya. Lengan kirinya menyentuh darat terlebih dahulu, dan nyeri yang menyengat dirasakannya seketika. Kacamatanya terjatuh.

Adhy meraba-raba di sekitarnya, mencari kacamata. Untunglah dia menemukannya dengan cepat. Tapi saat dia memasang kacamatanya, Tamon Rah sudah semakin dekat.

Gawat, pikir Adhy. Jika dia melewatiku, aku akan hangus terbakar!

Tiba-tiba, entah kekuatan dari mana, Adhy melompat berdiri dan berlari menjauh dari tempatnya jatuh. Berlari sambil melompat.

"Hei! Tubuhku bergerak sendiri!" teriak Adhy sambil melompat menjauh.

Adhy berhasil menjauh dari jangkauan area api Tamon Rah. Dan seketika tubuhnya terjatuh lemas.

Puppet dan Eophi menghampirinya.

"Kalian tahu, tadi? Tu-tubuhku … tubuhku bergerak sendiri!" ucap Adhy terbata-bata.

"Aku yang melakukannya. Kau ingat? Aku bisa mengendalikan tubuh seseorang. Sekarang, lebih baik kau cepat naik ke atas kasur. Aushakii, semoga dia selamat."

Terbesit raut khawatir di wajah Puppet sambil melihat ke arah utara.

Arah perginya Aushakii bersama serigala dan Tamon Rah.

Juga arah di mana kastil tempat dua menara kristal berada.

Kastil yang dalam gambaran ingatan mereka, sudah rusak dan hancur, tapi dijaga oleh ratusan monster di depannya.

"Kristal yang cantik, ya?" ucap Puppet tiba-tiba. Kristal yang ada di ingatan Puppet, berwarna merah delima. Warnanya mirip ceri, pikir Puppet.

"Omong-omong, jelaskan bagaimana kau bisa mengendalikan tubuhku?" Adhy tidak merespon ucapan Puppet tentang kristal, dan dia masih sangat penasaran bagaimana caranya tubuhnya bisa dikendalikan seperti itu.

Kemudian Puppet menjelaskan, jika sebenarnya, ketika Adhy memaksa memegang tangannya, Puppet sedang memegang Oratza—jarum transparan yang hanya bisa dilihat oleh Puppet dan Eve—dan secara tidak sengaja, sample darah milik Adhy, tertinggal di sana.

"Tapi, seharusnya tidak ada sihir yang di luar nalar manusia, yang mempan terhadapku." Adhy kebingungan. "Lagipula, memang jarumnya sebesar apa? Kok aku tidak merasa tertusuk sesuatu?"

"Ini." Puppet merapatkan jempol dan telunjuknya, seakan mencapit sesuatu. Tapi Adhy tidak bisa melihat apapun di antara kedua jari Puppet.

"Yeah, aku tahu kau tidak bisa melihatnya. Tapi jangan menyangka kalau aku menolongmu karena berubah pikiran. Aku tetap tidak memercayaimu."

"Dan soal pemakaian sihir, asal kau tahu, sihirku juga memakai logika." Puppet menambahkan.

Adhy semakin bingung. Tapi dia tak peduli. Dia lebih peduli terhadap lengan kirinya yang terluka.

Ternyata hanya luka gores, pikir Adhy. Rasa sakitnya pasti menjadi berkali-kali lipat dikarenakan pasir yang masuk ke dalam luka.

Mereka menambah kecepatan untuk terbang ke arah kastil.

Dari kejauhan terlihat, Tamon Rah sedang bergerak ke arah mereka. Berlari membabi buta di udara. Sepertinya Tamon Rah tidak mengetahui kehadiran mereka.

"Tidak mungkin! Ke mana Aushakii?" teriak Puppet. "Apakah dia mati? Apakah monster itu membunuhnya? Apakah—"

Puppet kehilangan kendali atas dirinya.

"Hei! Kau tenang dulu!" teriak Adhy. Kepanikan Puppet membuat kasur yang mereka tunggangi sedikit goyah.

"Tidak! Kita tidak bisa melakukannya! Tidak! Jangan kematian! Jangan!"

Puppet terus meracau, sementara Tamon Rah sudah mulai menembakkan bola-bola api.

Akibat dari Puppet yang bergerak tak beraturan terus menerus, keseimbangan kasur terbang mulai goyah.

Eophi memeluk Puppet seketika. Napas Puppet tidak beraturan.

Empuk, batin Eophi.

Puppet tenang kembali. Dia mulai bisa mengendalikan dirinya.

"Quack!"

Suara yang seperti bebek itu berasal dari Hel, naga merah kecil milik Eophi. Rupanya, sebuah bola api sedang melesat ke arah mereka.

"Em! Pillow Fight!" perintah Eophi.

Sedetik kemudian, bantal milik Eophi melayang dan bersinar. Sinarnya melebar dan mengelilingi Eophi, tepat sebelum bola api menghantamnya dan bola api itu terpantul kembali ke tanah.

Puppet dan Adhy yang terkejut, refleks mundur karena mengira sinar itu juga akan ikut menelan diri mereka.

Ruangan di atas kasur jadi semakin menyempit karena Eophi membuat dinding tabung berwarna putih.

"Kalian berusaha sebisa mungkin berada di belakang Eophi, aku akan membuat posisinya bisa menangkis bola-bola api itu!" teriak kasur Eophi.

Bola-bola api itu berhenti, tapi ….

Tamon Rah melesat ke arah mereka!

"Bodoh! Aku lupa akan hal itu!" celetuk Adhy.

"Kenapa mereka mengejar kita?" Eophi berusaha mencari cara agar dirinya bisa menangkis serangan Tamon Rah. Tapi sepertinya percuma, Tamon Rah besarnya berkali-kali lipat dari mereka bertiga. Sehingga, meskipun berhasil menangkis, pasti mereka akan terpental ke suatu tempat. Dan itu akan lebih berbahaya.

"Kita harus lari!" teriak Puppet.

"Dia akan mengejar orang yang menggunakan kekuatan dalam radius 100 meter di dekatnya," jelas Adhy. "Kita harus kabur ke dalam kastil agar dapat menghentikan serangannya. Hanya itu satu-satunya cara."

"Kasur, ayo cepat!" perintah Puppet.

"Dia punya nama," kata guling. "Namanya Ep. Dan aku, Eg."

"Kalian punya nama yang sama," celetuk Adhy sambil berpegang erat pada kecepatan terbang si kasur yang bertambah.

"Ep. Dan Eg. Beda," balas Eg, si guling.

Setelah beberapa angin berapi dari Tamon Rah yang hampir saja membuat Puppet atau Adhy terjatuh, mereka tiba di ujung jembatan batu menuju kastil. Di sana, terlihat Aushakii yang sedang mengelus seekor iguana besar. Iguana itu tingginya 3 kali lipat dibanding Aushakii sendiri.

Mereka yang masih dikejar Tamon Rah, bahagia sekaligus khawatir melihat Aushakii yang sedang santai-santai bersama iguana.

"Kakak-kakak!" teriak Aushakii saat melihat kedatangan mereka.

"Kakak-kakak selamat?"

"Aku tidak tahu bagaimana caranya kau menyingkirkan kuda gosong ini, tapi, bisakah kau bantu kami?" Adhy berteriak dari atas. Mereka berputar-putar menghindari serangan demi serangan dari Tamon Rah.

"Biarkan aku yang membereskan!" Aushakii membusungkan dada dan memukulnya.

Aushakii mulai menutup mata dan menari. Tubuhnya meliuk-liuk tak beraturan. Tangannya terangkat ke atas, kanan dan kiri ditepuk beberapa kali sambil kakinya terus melompat dan menari.

"Kenapa anak itu malah menari, sih?" lirih Adhy.

Puppet hanya tersenyum melihatnya.

Tak lama, di atas mereka, berkumpul awan-awan hitam yang bergemuruh. Awan-awan hitam itu semakin pekat dan gelap. Langit yang tadinya masih menyisakan sedikit warna biru, menjadi hitam dan sangat gelap.

Lalu, terjadi hujan.

Anehnya, hujan hanya terjadi di sekitar Tamon Rah. Ke manapun Tamon Rah pergi, awan hujan mengikutinya.

Ep membawa mereka menghindari cipratan hujan. Pasti akan tambah berat jika kasurnya terkena hujan.

Tubuh Tamon Rah yang dikelilingi api, tiba-tiba berasap dan apinya menghilang. Tamon Rah tersiram hujan.

Benar juga, api mati oleh air, batin Adhy.

Sekarang Tamon Rah belingsatan, dirinya kehilangan kendali akibat hujan ini. Dia mencakar-cakar langit dengan liar, dan pergi menjauh.

Bersamaan dengan itu, cahaya yang sedari tadi melindungi Eophi, berangsur-angsur menghilang.

Mereka perlahan-lahan turun ke tanah. Puppet segera berjalan ke arah Aushakii.

Aushakii tertawa. "Syukurlah kakak se—"

Puppet memeluk Aushakii. Pelukan yang sangat erat.

"Apakah yang tadi itu juga termasuk sihir? Aku tidak terlalu percaya sihir, tapi …." Adhy masih bingung atas apa yang terjadi.

Puppet melepaskan Aushakii yang sekarang mukanya sedikit memerah.

"Percayalah pada keajaiban," kata Puppet tanpa memandang Adhy. "Sihir sendiri, terbentuk dari alam."

"Aku iri," gumam Eophi saat memandang Aushakii yang masih kaget tiba-tiba dipeluk Puppet. "Pasti empuk."

Mereka berempat memandang kastil yang sudah hilang beberapa bagiannya. Kastil itu sebenarnya tak lebih dari reruntuhan yang bertumpuk menjadi sesuatu. Namun di sisi kanan dan kirinya, berdiri megah dua buah kristal berwarna merah delima.

Kristal itu pula yang memiliki cahaya terang dan membuat kastilnya terlihat dari kejauhan.

"Sebentar. Sebelum kita melanjutkan ke sana, aku ingin mendengar tentang kemampuanmu." Adhy menatap Eophi, menunggu jawaban.

Eophi diam sesaat.

"Jika tujuannya untuk menghancurkan menara kristal, aku bisa menjadi batu, tapi hanya satu dan setelahnya aku tidak bisa bergerak selama beberapa menit."

Baru kali ini Eophi melontarkan sebuah jawaban yang mengejutkan dan sangat menjawab. Ketiga temannya terpana.

"Biarkan aku melakukan sesuatu sebentar, beri aku waktu 2 menit," kata Adhy pada akhirnya.

Adhy duduk bersila di pasir kemudian memejamkan matanya. Lalu terdiam beberapa saat.

Beberapa menit, mungkin lebih dari dua, dia membuka matanya dan tersenyum senang.

"Aku mengetahui cara terbaik. Puppet, berapa tubuh yang bisa kau kendalikan dalam sekali jalan?"

"Hanya satu. Bertahan sepuluh detik," jawab Puppet singkat.

Sekarang, Adhy mulai cemberut. Dia melihat ke arah kastil. Banyak monster yang hilir-mudik di sana. Dengan berbagai jenis. Dan yang menarik perhatiannya adalah seekor naga berwarna hijau yang mempunyai dua kepala. Tinggi dari naga tersebut hampir sebesar Tamon Rah, hanya saja, sepertinya jika berada di dekatnya, tidak akan terbakar.

"Dan apakah ada batasan tentang penggunaan sihir itu?" tanya Adhy lagi.

"Dia harus punya darah."

Adhy mengangguk.

"Aku boleh tidur?" tanya Eophi tiba-tiba.

Tidak ada yang menjawab pertanyaannya.

Adhy melangkah menuju jembatan. Dia melangkah pelan-pelan. Lalu dirinya menoleh ke arah belakang.

"Kenapa tidak ada yang mengikutiku?" tanyanya kesal.

"Hahaha! Ikut!"

Aushakii satu-satunya yang dengan gembira berlari ke arah Adhy.

"Kau tidak menyuruh apapun dan asik sendiri dari tadi," ketus Puppet.

Adhy memutar bola matanya dan berbalik badan.

Pada akhirnya, Puppet dan Eophi mengikuti Adhy dan Aushakii yang sudah berjalan jauh di depan.

***

XIII : Percayalah Pada Sihir!

Mereka berjalan dengan tenang di jembatan menuju kastil. Hawa dingin terasa lebih menusuk. Puppet semakin erat memeluk Eustas.

"Aku rela berbagi selimut. Dingin-dingin begini, enaknya tidur."

Puppet melihat ke arah Eophi. Benar juga, anak ini dari tadi bergelung di dalam selimut. Pasti hangat.

Belum sempat Puppet menjawab, Adhy dihadang oleh seekor kalajengking raksasa yang dengan cepat menusuk bahu sebelah kanan Adhy dengan ekornya.

Adhy kemudian jatuh begitu saja.

Aushakii mengambil belatinya.

"Beraninya kamu lukai kakak!"

Aushakii berlari cepat, sorot matanya marah. 

Tapi gerakan kalajengking itu sangat cepat. Dia bisa menghindari semua amukan Aushakii.

Dia menghindar tiap kali Aushakii hendak melukainya, entah dengan mengunakan panah ataupun belati.

Begitu pula dengan Aushakii, tiap kali kalajengking berusaha menusuk tubuh Aushakii dengan ekor, Aushakii selalu berhasil menghindar.

Kalajengking yang bergerak tak beraturan, ekornya menggores lengan Puppet.

"Kakak!"

"Hieyaaah!"

Aushaki menarik busur. Sekali. Dua kali. Tiga kali.

Gerakan tangannya sangat cepat sehingga kalajengking itu tidak bisa menghindar dan tumbang seketika.

Aushakii memegang erat belatinya. Dia potong bagian kepala si kalajengking, memastikan kalau kalajengking itu tidak akan bangun lagi. Kemudian Aushakii langsung berlari ke arah Puppet yang sedang menekan lengannya dengan tangan.

Puppet terduduk lemas. Tapi dia melihat ke arah Adhy yang tak bergerak namun masih bernapas.

Racun kalajengking ini sangat kuat, pikir Puppet.

"Aku harus mengeluarkan yang di tubuh Adhy terlebih dahulu."

Tapi kemudian Puppet tiba-tiba teringat akan kata-kata Adhy tentang dirinya tidak mempan oleh efek sihir.

"Sial!"

Tapi puppet tetap mengambil sampel darah milik Adhy, lalu berkutat dengan bonekanya.

Puppet memejamkan mata dan mulai menunjuk-nunjuk bagian bahu Eustas. Jari jempol dan telunjuknya seakan membentuk capit. Dia membuka mata. Tak terjadi apa-apa.

"Percayalah terhadap sihir, percayalah!" bentak Puppet sambil menekan bagian bahu Eustas dengan telunjuknya berkali-kali.

"Percayalah! Orang dewasa bodoh!"

Aushakii hanya bisa memandangi Puppet, begitu juga Eophi.

Napas Puppet mulai terengah-engah, pandangannya mulai kabur.

Beberapa kali Puppet terlihat berkutat di sekitar bahu Eustas. Sampai akhirnya, darah segar menyembur dari luka yang dimiliki Adhy.

Adhy terbangun dan terbatuk. Eophi mundur selangkah.

"Argh! Aku bermimpi aneh tadi!" serunya sambil memegangi bagian bahu.

Sementara Puppet terduduk lemas dan mulai berhalusinasi. Di dalam pikirannya, dia berada di hadapan jasad orang tuanya.

Tapi dia merasa bahwa dirinya sudah tumbuh besar. Dan tetap tidak bisa menyelamatkan orang tuanya.

"Meong!"

Suara kucing, Puppet tersadar. Dia sadar bahwa dirinya sedang di bawah pengaruh ilusi.

"Meong!" Kali ini suara kucingnya mulai terdengar lebih keras.

Hingga Puppet mengerjap. Sekali. Dua kali. Dia kembali ke situasi nyata.

Tubuhnya masih gemetaran, kepalanya pusing.

"Kau kenapa?" tanya Adhy. "Ada yang luka?"

Puppet merasa tak sanggup berdiri.

"Tadi dia menggunakan kemampuannya untuk mengeluarkan racun di tubuh kakak, sementara dirinya sendiri juga terkena racun," jelas Aushakii.

Adhy memperhatikan Puppet dan bergumam, "maaf."

Ditariknya lengan baju Puppet hingga sobek dan memperlihatkan luka yang disebabkan oleh kalajengking. Lukanya berupa garis yang menyebabkan permukaan kulit di sekitarnya berwarna biru dan ungu.

Lalu Adhy menyedot luka di lengan Puppet dengan mulutnya. Kemudian meludah. Menyedot lagi. Dan meludah lagi. Beberapa kali.

Puppet tak sanggup bergerak untuk melawan, dia hanya bisa memandang dengan ekspresi jijik.

"Kau masih belum bisa berjalan?"

Puppet tidak menjawab dan malah memikirkan tentang baju kesayangannya yang robek.

"Kasurnya ke sini, kita tetap butuh dia," perintah Adhy.

Ep terbang ke arah Adhy dan Puppet, lalu mendarat di samping Puppet. Melihat Puppet yang tak bergerak sedikit juga, Adhy segera menggendong Puppet dan menaruhnya di atas kasur.

"Ayo, sedikit lagi."

Mereka maju perlahan-lahan.

***

XIV : Berjuang Selagi Bernapas

Di ujung jembatan, mereka bertemu dengan sekelompok monster. Aushakii yang maju duluan karena beberapa dari monster tersebut berbentuk hewan. Dan mereka tidak seagresif kalajengking tadi.

Dalam hitungan menit, Aushakii sudah berhasil merekrut beberapa anak buah.

Dari dalam kastil yang rusak, monster berdatangan tak ada habisnya, tapi kini, Aushakii bersama hewan-hewan lebih kuat.

Masalah utama adalah monster golem yang terbuat dari batu, dan naga berwarna hijau di dekat kristal.

"Puppet, kalau kamu sudah bisa bergerak, tolong turun dari kasur itu, dan Eophi naik ke atas kasur!" perintah Adhy.

Puppet kali ini berusaha menurut. Kasurnya merendah dan Puppet menyeret dirinya ke lantai. Dia tetap duduk.

Sementara keributan semakin menjadi-jadi di posisi Aushakii.

Eophi naik ke atas kasur, menunggu instruksi selanjutnya.

"Aushakii, apa kau bisa melukai naga itu dan berusaha mendapatkan darahnya dengan belatimu?" teriak Adhy, berusaha agar Aushakii mendengar suaranya.

"Siap, Kapten!" Aushakii segera naik ke punggung burung unta dan dengan gesit melewati serangan-serangan monster lainnya. Sementara monster hewan bertarung dengan sesama monster. Pertarungan antara monster dari pihak kastil dan pihak Aushakii.

Aushakii berada di hadapan sang naga hijau.

Beberapa butir peluru bercahaya merah, memburu Aushakii.

"Hati-hati!" teriak Adhy, "peluru sihir itu cukup berbahaya."

Naga hijau di depan Aushakii menggeram. Aushakii kesulitan menghindar dan memburu.

Gerakan Aushakii bertambah gesit tiba-tiba. Bahkan mata manusia kesulitan mengikutinya.

Aushakii berlari menuju kaki naga, tak peduli dengan kepakkan sayap naga yang membuat angin di sekitarnya sangat kencang.

Dengan satu sayatan, Aushakii menoreh luka pada kaki naga.

Darah hijau mengalir dan menempel di belatinya.

Saat Aushakii berjalan menjauh, butir-butir peluru sihir menghantam punggungnya sekaligus. Dia terjatuh, begitu juga belatinya.

"Sial," lirih Adhy.

Adhy lari menuju Aushakii. Entah kekuatan dari mana, dia bisa menahan badan melawan monster-monster yang sedang rusuh.

Dia berusaha meraih belati itu saat golem batu menghantam punggungnya dan mengeluarkan bunyi 'krak'.

Adhy berteriak, mengaduh kesakitan, tapi dia masih sadar.

"O natura zenbait, eman … Denbora!"

Seluruh aktifitas yang ada di sekitar kastil berhenti. Hanya Puppet satu-satunya yang bisa bergerak bebas.

Karena sudah menyimpan tenaganya sedari tadi, Puppet dapat berjalan, meskipun tertatih-tatih.

Dia mengambil belati itu dengan santai dan mengelap jarum transparan itu di roknya. Kemudian mengambil cairan hijau kental di atas belati.

Tiba-tiba semuanya kembali bergerak.

Puppet cepat-cepat mundur dan duduk di sisi batu besar.

"Aku sudah mendapatkan sampel darahnya, lalu apa?"

Adhy berusaha menoleh ke arah Puppet.

"Gerakkan naga itu untuk menghancurkan menara kristal yang kanan. Dan Eophi! Ubah dirimu menjadi batu seperti yang kau bilang tepat di atas kristal yang kiri. Hati-hati dengan peluru sihirnya!"

Eophi mengangguk. Kasurnya terbang sementara Puppet mulai melakukan kutukan.

"Kau siap, Eophi?" tanya Puppet.

Eophi berada di atas menara kristal sambil menghindari tembakan peluru sihir. Dia mengangguk.

Naga hijau mulai berjalan. Badan bagian bawahnya sangat besar, sehingga gerakannya lambat. Tapi Puppet tidak menyerah. Dia membuat sang naga mengambil ancang-ancang.

Lalu naga tersebut dibuat lari dan setengah melompat.

Bersamaan dengan Eophi yang sudah mulai diselimuti kasurnya sendiri, berubah menjadi patung kura-kura raksasa perlahan.

Patung kura-kura terbentuk sempurna. Dan jatuh begitu saja menimpa menara kristal, bertepatan dengan naga yang menabrakkan dirinya ke kristal di sebelah kanan.

Kedua kristal hancur bersamaan.

Puppet menghela napas lega.

Semua monster yang tadi sedang bertarung, menghilang tiba-tiba, secara bersamaan.

Puppet melihat ke arah Adhy dan Aushakii yang sudah tidak bergerak, serta Eophi yang masih dalam patung kura-kura dan tersangkut di reruntuhan kristal dan batu.

Di tengah-tengah mereka, muncul seorang maid.

"Kalian berhasil, kalian akan di teleport langsung ke tempat pengumpulan peserta yang lolos." 

Maid tersebut masih sama seperti sebelumnya, tersenyum dan berbicara tanpa menggerakan bibir.

"Apa mereka masih hidup?" tanya Puppet memandang kosong ke arah bawah.

Maid hanya menoleh ke arah Adhy dan Aushakii, lalu mengamati sebentar.

"Ya. Mereka hanya pingsan. Tapi mungkin salah satu dari mereka mengalami patah tulang yang agak kritis."

"Kita pindah," kata maid.

Sinar biru mengelilingi mereka semua dan dengan seketika memindahkan mereka ke sebuah aula yang besar dan megah dengan tiang-tiang tinggi menyangga di sekitarnya.

"Jika kalian membutuhkan sesuatu, kalian bisa mengatakannya langsung."

"Tentu saja," jawab Puppet. "Kami membutuhkan paramedis…."

"Dan berikan aku semangkuk ceri segar."


*Manis Pahit Ceri, Roda Kehidupan—Selesai*

38 comments:

  1. Replies
    1. semoga max itu bukan pertanda buruk <(")

      Delete
  2. Pertama, adegan ini saya suka: Eve angkat sebelah tangan, coba tangkep Hel :3 cute, eh?

    Terus... meski nggak kasih kerusakan berarti, perpindahan pov agak kurang rapi. (di bagian flash back pertama, feel-nya dapet. Saya bayangin Nico Robin kecil di dunia paralel, di mana dia punya orangtua kemudian mereka mati. Kemudian hal ini berlanjut ke potongan berikutnya, pengadilan. Nice, siegy!)

    “Ini menyenangkan, pikir Puppet. Dia merencanakan untuk merekrut semua anak kecil yang bisa ia temukan di tempat ini.” <<< kampret :v witch!

    Terus baca ke bawah, Puppet ini (IMO) loveable, bangable #plak, manis XD

    Karakter di sini pas porsinya. Eophi juga nggak ooc. Tapi... “Quack?” dafaq itu suara naga lol

    Adegan battle... kurang gereget, tapi ngalir dan ditambah adegan Adhy sekarat, semua jadi bagus-bagus aja

    Ending kita mirip ya somehow ( ‘ ‘)/

    Akhirnya, semua minus tadi kalah karena saya enjoy sama cerita ini. Bahkan ngakak di beberapa adegan. Jadi ... titip 10, dan semoga lebih baik lagi ke depannya ya ^^/

    Oc : Eophi

    ReplyDelete
    Replies
    1. Makasih kakak, nilainya, saya lagi belajar cara bikin battle yang ngalir, enggak game banget, dan... ketika menulis kepala copot itu, saya... ada perasaan rindu di sana.

      saya rindu perasaan bahagia ketika nulis gore ;_;

      jadi kedepannya, siap liat (baca) banyak darah.

      nah, buat ending, saya duluan, saya duluan T^T

      tapi kamu post duluan T^T

      *derita seorang deadliner

      sekali lagi, makasih, Eve kasih salam btw, katanya Eg jangan songong-songong <(")

      Delete
  3. Adegan flashbacknya panjang ya.. Feelnya lumayan dapet, cuman si Puppet ini berasa ga lovable juga, dia uda salah malah ga ngaku. Gimana ya, aku jadi ga bisa ikut berempati untuk dia. Ah, perpindahan pov pas awal-awalnya kurang mulus, bikin agak bingung ngikutinnya.

    Interaksi antar karakternya, kurasa agak berlebihan, bahkan pas lagi battle masih bisa ngobrol panjang. Kalau saranku interaksinya dibuat lebih to the point dan lebih dieksplorasi bagian-bagian menariknya. Battlenya jadi terpengaruh kurang greged.

    Nilai ; 7

    OC aye : Zhaahir

    ReplyDelete
    Replies
    1. saya memang agak lamban ._.
      makasih scornya btw :v /

      Puppet emang agak keras kepala <(")

      Delete
  4. karna gw ga bisa bikin jadi gw kasi 10 :3

    ReplyDelete
    Replies
    1. Mas, tolong beri review seperti komentar2 di atas, karena komentar ini tidak sah karena tidak ada poin2 penjelas kenapa anda memberi nilai 10.

      Apa ceritanya bagus? Bagusnya dimana aja? Apa karakterisasinya oke?

      "Nggak bisa bikin," bukan alasan untuk ngasi nilai 10 begitu aja.

      Delete
    2. Mas, tolong beri review seperti komentar2 di atas, karena komentar ini tidak sah karena tidak ada poin2 penjelas kenapa anda memberi nilai 10.

      Apa ceritanya bagus? Bagusnya dimana aja? Apa karakterisasinya oke?

      "Nggak bisa bikin," bukan alasan untuk ngasi nilai 10 begitu aja.

      Delete
    3. aduh, si Angga, :v

      well, saya bakal kontak yang bersangkutan, mohon maaf atas kejadian ini, mas Bayee ._.

      Delete
    4. ooohh maap mas, gatau.
      alasannya, pas baca ini, gw bisa ngerasain kesedihan si anak cwe, dri awal sampe ending semuanya bagus, msing2 nymbung critanya.
      terus itu kucingnya lucu banget. mpus mpus... :3

      bagian emosi pas yg suruh percaya sihir jg pling keren menurut gw. brsa gtudia putus asa.
      gw emg g bisa bikin cerita spnjang ini, gw baca ini smpe hmpir ktiduran n kbwa di mmpi, mknya gw blg keren.

      sorry ven :v lw ga jlasin td...
      niilai tetep 10

      Delete
    5. Itu bisa, nyebelin luh <(")

      Delete
  5. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  6. Haha, solusinya Puppet mirip Eophi baik di medannya maupun di menara, kayak kompakan aja :p Yah, saya nggak tahu gimana, maunya saya sih sah-sah aja, dan maunya entri Vajra, Bun sama Wildan kayak seragam begitu. Tapi kan saya kebetulan punya pemikiran sendiri :p

    Ya sudahlah, daripada berprasangka, karena mekanismenya termasuk "masuk akal" dalam ukuran saya, dan ceritanya juga segar nan fun, skornya 8/10 yah. - OC: Vajra

    ReplyDelete
    Replies
    1. muehehehe. sebenarnya, tidak ada persetujuan, soalnya memang kebetulan, Puppet punya skill itu, dan... dan....

      kerangkanya udah dibikin dari lama, sebelum eophi publish, mau diubah juga mesti rombak dari awal berarti :'

      btw makasih nilai dan komentarnya bang Andry. *sungkem

      Delete
  7. I'm not too fond with lots and lots of background story that dreailed the main story far far away

    Style nulisnya kembaran sama penulis Eophi ya, minus di sini ga pake gambar aja. Sementara Eophi bener" maju-mundur, di sini porsi bg story Euminedes agaknya terlalu makan bagian awal dan not really of my taste

    Begitu masuk gurun pun tampaknya masih bisa leha", ngobrol santai baik di awal sebelum mereka bergerak, dan bahkan habis bergerak juga ga keliatan ada suasana dikejar sesuatu atau di tengah perangnya

    Saya masih lost ngikutin battlenya. Di awal mereka jalan, sempet kepisah dari Aushakii, sempet dihadang Tamon Rah, dan sampe akhirnya ngancurin kristal...tapi pembawaannya masih agak datar. Juga, sekalipun udah makan porsi cerita dengan berapa bab khusus flashback dirinya, sepanjang cerita asli saya belum ngeliat Euminedes sebagai 'karakter utama' cerita ini

    Nilai awal 6. Deadliner buffer -1, jadi nilai akhir dari saya 5

    [OC : Dyna Might]

    ReplyDelete
    Replies
    1. tuh kan deadliner kena minus T_T

      makasih bang :v

      Delete
    2. masalah karakter Puppet, btw, saya sadar banget enggak ahli bikin cerita party an gini. Saya gamau OC lainnya sekedar lalu, tapi gamau juga OC saya ga jadi sorot pandang, karena kebimbangan itu, akhirnya jadilah cerita absurd yang malah enggak jelas pengkarakterisasinya. Dan akhirnya ada yang nyadar :'
      Semoga Puppet bisa lolos, supaya bisa terlihat nyebelinnya (loh)

      :v /

      Delete
  8. Sabar ya Van, dulu aku juga pernah 2x jadi deadliner, tapi malah 2x jadi juara 1. Kalau the power of kepepet bisa bikin sesuatu jadi lebih bagus, ya bolehlah. Tapi kalau nggak kuat, jangan ngedeadline lagi ya :p

    ReplyDelete
    Replies
    1. huehuehue. Saya mungkin enggak memiliki skill itu. Saya terlalu egois buat mikirin gimana caranya bikin karakter yang lovable dan kenotice orang. Saya terlalu egois sehingga mikirnya maunya saya aja yang suka. Dan terbukti, banyak entri-entri yang berisi komentar saya yang entah kenapa malah bertolak belakang sama komentar orang. Ini membuktikan saya memang aneh dan jika saya menyukai satu karakter, kemungkinan besar orang malah ga suka /pundung

      masalah deadliner, memang ini tinju yang keras sekali dari Tuan Sam, supaya saya ga nyantai dan malah main-main :|

      btw makasih banget Bang Andry, atas saran dan semangatnya :D

      Delete
  9. seperti biasa, Blackz kalau nilai menganggap semua karya sempurna dan semua nilai dimulai dari 10.

    -1 (9)

    penempatan chapternya serasa aneh, dan terlalu banyak untuk bulak-balik flashback/forward yang terlalu cepat.

    -1 (8)
    (salahmu sendiri mengenalkan dunia, kini saya harus mengomentari logic dunianya)
    Ini Hukum di dunianya lol banget, kesalahan berbusana hukuman mati, terdakwa bisa lari dari ruang sidang, dan negosiasi gak resminya cuman modifikasi ingatan.

    -1 (7)
    udah bab 11 dan masih flashback, OMG

    -1 (6)
    dan sepertinya Vanessa harus belajar menulis adegan pertempuran. sepanjang pertempuran tadi, saya gak merasakan adrenalin, atau setidaknya kebrilianan jalannya pertarungan.

    -1 (5)
    Satu lagi pengurangan nilai, karena ada 2 komen di atas yang saya rasa makai ilmu kudu berjudul "panggil temen"
    kalaupun saya salah, well ini cuman satu poin.

    Frost's Final Verdict: 5

    ReplyDelete
    Replies
    1. 1 poin berharga kaka >.<

      yeah well... masalah panggil temen itu, sebenernya saya cuma share random ke beberapa grup internal saya, minta kritik saran juga ke mereka, terus beberapa ada yang udah janji "iya ntar gue komen."

      dan yang nurutin janjinya keqnya cuma satu dan itupun absurd :'

      makasih btw kak. saya janji bakal belajar (kalau lolos)

      <(")

      Delete
    2. Tidak menyangka sebelumnya bahwa bacaannya akan sepanjang ini. Akhirnya tuntas juga menyelesaikan bacaannya setelah putus-nyambung selama 4x.

      Ijinkan saya menyampaikan pendapat saya pribadi: Dari bacaan fantasi yang pernah saya baca sebelumnya, saya pikir tulisan ini sudah bisa diposisikan sejajar dengan penulis novel fantasi lainnya yang terbit di toko buku (*sebut saja: Vandaria).
      Chapter2 awal terasa bingung karena adanya isitilah2 yang tidak familiar oleh saya seperti: Obeahman, Zuri.

      Ada bagian yang paling menarik yang saya bisa kutipkan kembali disini:
      - Eve yang tidak dapat bergerak selama semenit lebih enam detik; bingung jelasinnya, tapi berasa oke banget dengan penjelasan ini.
      - Untuk karakter unik si bantal dan guling Ep dan Eg. Karakter dan Nama yang bagus.
      - Lalu sifat Eophi yang suka tidur, dan di tengah2 cerita dia menanyakan "Aku boleh tidur?" merupakan momen oke yang membuat saya tersenyum dan kaget saat membacanya.

      Dari keseluruhan, saya pikir kamu berhak untuk mendapatkan 9/10 dari cerita ini. 9 untuk alur battle yang menarik, saya dapat mengikuti aliran dan deskripsi tiap momen2 yang terjadi dalam pertempurannya. -1 poin hanya karena saya belum terasa bisa mengikuti dengan baik cerita di chapter2 awal.

      Sukses selalu Venessa, kamu sangat berbakat dalam penulisan cerita :)

      Delete
    3. *nyengir lebar*

      Huwaaaaaaaa ko AG ikut comment, thanks banget commentnya ko...

      Iya, masalah panjang memang, sebenarnya ini memakan waktu pengerjaan 6 jam tanpa bergerak dari laptop di waktu semua orang sudah tidur, ketik-ketik-ketik, eh tiba-tiba udah 50 lembar aja di Ms. Word.

      Diintip total wordsnya, oh, masih 8k, aman. (Batas 10k words)

      Nah soal si Eophi beserta bantal dan gulingnya, ini sebenarmya bentuknya party ko, jadi baik Eophi, Aushakii, maupun Adhy, itu termasuk dalam character milik orang lain yang juga diikutkan dalam turnamen ini.

      Lalu masalah vandaria.... saya belum sewaw itu rasanya, masih jauh XD

      Buat obeah-Man atau Zuri, memang lupa saya jelaskan secara detil. Tapi kalau mau lihat-lihat, di atas, di judul, tulisan Puppet-nya bisa di klik. Nah itu akan di direct ke link charsheet Puppet, di mana ada keterangan lebih jelas tentang Zuri dan Obeah-Man.

      Last, makasih banyak uda mau mampir dan beri nilai, meskipun kasihnya di komentar orang wkwk :v / tapi semoga ga apa.

      Delete
  10. Sungguh cerita yang menyedihkan.

    Ceritanya sudah bagus hanya saja penempatan flashbacknya terasa kurang pas dan flashbacknya terlalu panjang.

    Lalu untuk aksinya lumayan bisa dibayangkan, tapi menurutku ada yang kurang gimana gitu aksinya.

    Itu saja barangkali

    Nilai : 8/10

    OC : Yu Ching

    ReplyDelete
    Replies
    1. ihiii~ iya.

      sebenernya sih, niat mau ngabisin BG storynya Puppet di prelim, biar entaran (kalo lolos) bisa fokus ke battle dan segala environmentnya.

      eh, ternyata jadi senjata makan tanaman <(")

      dan semoga saya masih punya kesempatan buat belajar lebih banyak.

      makasiiiih banget uda mampir >w<

      Delete
  11. Owh, Puppet. Masa lalu kelam sekali, nak *hiks

    secara plot dan karakter udah bagus nih, tapi sayang banget, penggarapannya masih kurang.
    flashback-nya radak mengganggu, disaat udah fokus ke bagian alforea, jadi buyar deh fokusnya gara-gara keserempet flashback.
    pertarungannya udah lumayan, tapi kurang berasa greget. adrenalinnya kayak ga ada gitu
    terus, masalah deskripsi nih. menurutku masih kurang detail, walaupun ini tergantung style penulis masing-masing sih, tapi karena 'kurang'nya itu, saya jadi agak nge-blur buat ngebayangin tiap adegannya.

    dan ini pendapat pribadiku aja sih. ceritanya hampir ga ada "paragaraf"nya. baru satu dua kalimat udah enter, terus begitu sampai ending. kesannya "longgar" banget ya, hahaha

    oke, nilaimu 7

    dari si Meong, Mike Mi991 :3

    ReplyDelete
    Replies
    1. miaw ^o^

      untuk deskripsi masih kurang ya... padahal saya sudah berjuang sedemikian rupa supaya bisa deskripsi yang baik T_T

      nah, buat kalimat enter....

      orang mah pada wall of text yak, saya mah malah ga seneng dempet-dempet gitu. tapi mungkin juga memang saya harus belajar madetin paragrafnya heuheu.

      makasih banyak uda mampir miyung :3

      Delete
  12. Saya...agak sensitif soal penggunaan PoV yang belibet, jadi maaf kalau saya bakal ngeracau banyak soal itu, ok?

    So, perubahan PoV. Sejujurnya perubahan PoV dan timeline dari satu sudut pandang ke sudut pandang lain dan dari masa lalu ke masa depan ke masa lalu itu bisa jadi senjata poten buat dimanfaatin...kalau eksekusinya mulus. Sayang di sini jatuhnya jadi ngebuat pacingnya sedikit berantakan. Mungkin maju-mundurnya (yang terutama cukup kentara di depan-depan, yang...cukup panjang, jadi kentara banget) sebenernya nggak terlalu parah banget, tapi...

    PoVnya.

    Sudut pandang orang ketiga, berubah ke sudut pandang orang pertama, berubah lagi ke ketiga, kesannya jadi ngebuat ada disconnection antara paruh depan cerita dan paruh belakang cerita. Saya nggak ngerti apa Vene-san punya maksud tersendiri dengan ngasih sudut pandang ganti-ganti begitu, tapi kalaupun ada sejujurnya saya nggak nangkep apa tujuannya.

    Kalau memang tujuannya untuk meningkatkan emosi pembaca, begitu masuk di paruh belakang jadinya kayak ban kempes gitu, rasanya — antara transisi ke sudut pandang ketiganya perlu dipermulus, atau sekalian semuanya difirst-personin atau dithird-in sekalian biar merata feelnya. Fighting, Vene-san!

    Kalo mau rekomendasi sedikit, Vene-san bisa baca serinya Heroes of Olympus (yang PoVnya ganti-ganti dari chapter ke chapter, walaupun semuanya rata 1st person) atau kalo dari saya sendiri Chain of Hearts-nya Maureen McCarthy kalo bisa nemu — terutama Chain of Hearts, sih, kalo Vene-san memang suka gaya maju-mundur timeline :'>

    Sekian soal PoV /huft/ Protes kedua, saya lost di battlenya. Salut sih soal strategi menghancurkan kristalnya (kayaknya yang kepikiran "nabrakin" momon ke kristal cuma kamu, saya....em, sapa lagi ya #...), tapi sepertinya emang terasa datar. Kayak, nggak ada bobot emosi di situ, walaupun kalo liat paruh atas ceritanya, seharusnya banyak 'bait' emosi ditebarin dimana-mana...

    Begitu deh .n. 6/10 ya, Ve-san. Overall sebenernya writingnya udah lumayan enak kok (walopun mungkin ada beberapa bagian yang kesannya kayak nyebutin "ini begini." "ini begini." "ini begitu." juga, sebenernya, tapi yaaaaaa), cuma ya itu aja sih. Kesannya agak timpang aja antara Ve-san mau nge-bait emosi atau mau ngebawain scene aja.

    ~Stellene

    ReplyDelete
    Replies
    1. huwe :'3

      sebenernya, saya niat masukin POV 1 itu ya memang karena jika menggunakan POV 3, Puppet akan terlalu banyak berpikir, dan saya agak kesulitan ngarang narasinya di sana. sehingga saya buat saja POV 1 biar lebih gampang nyebutin isi hati tanpa embel-embel, 'batin Puppet'

      masalah nabrakin momon, lagi-lagi, karena memang skill Puppet itu kendaliin sesuatu yang punya darah. dan saya enggak melihat darah di Tamon-Rah, juga ukurannya supergede, rasanya mustahil ambil sample darah diya buat digiring ke tower.

      sebenernya ide awalnya mau pakai si Aushakii buat giring hewan-hewan ke tower, tapi kok, dia yang jadi hero XD gajadi ah, Puppet harus berjaya, gitu pikirku. terciptalah ending Puppet yang maksain 'nolong' :v

      soal battle memang inilah titik krusial saya. susaaah XD

      last, makasih udah mau mampir dan kasih review berharga ini, saya akan baca cerita rekomendasi kamu kalau sempat, hoho ^.^

      Delete
    2. Saya juga nubitol di battle scene kok, jadi i can feel you #...

      Kalau terlalu banyak berpikir di PoV 3, battle scenenya aja yang dibikin jadi PoV1, coba, Ve-san. Karakter kan juga punya mata, jadi mereka pun bisa deskripsiin battle walaupun mungkin nggak akan bisa sedetail PoV 3 (dan pasti ada detail yang hilang walaupun seberapa banyak itu bisa dimanipulasi).

      Otherwise...

      "The point of view strategy is the element that applies to the whole of the work and you generally want to stay consistent on this. If you choose to use first person point of view, for example, you don't want to switch into third person limited half way through."
      https://www.writingclasses.com/toolbox/ask-writer/i-always-hear-that-writers-shouldnt-change-point-of-view-but-i-see-it-done-in-bo < baca-baca aja di situ coba soal point of view dan perspektif, mungkin bisa membantu kalau Ve-san kesulitannya di ngepasin perspektif karakternya :>

      Terus, karena penasaran soal transisi first-to-third, saya jadi cari-cari info sedikit, dan konon katanya Outlander seriesnya Diana Gabaldon pake jurus ganti PoV ini (kalau dari perspektif dia first person, kalo dari perspektif orang lain berubah jadi third person), mungkin bisa jadi bacaan juga walaupun saya pribadi juga belom baca bukunya ' ')b

      Fighting~

      Delete
    3. huwoooooo sangat bermanfaat ya sarannya. humm, semoga saya ingat untuk mencari, hari ini mau ke pameran dulu soalnya :v

      oiya, satu yang saya masih penasaran. perpindahan POV gaya RL Stine di novel" jadulnya itu, yang pakai nama karakter di tiap babnya, kalau digerek ke BoR kira-kira gimana yah? ._.
      dia pakai POV 1 untuk pikiran tiap karakter. POV 3 di akhir menuju klimaks dan di awal pas prolog. tapi diakhiri dengan POV 1. (itu di fearstreet saga contohnya)

      sebenernya pindah-pindah POV 1-3 itu ya saya conteknya dari sana. enggak punya referensi lain soalnya ( T^T)

      makasih banyak sekali lagi ._.

      Delete
    4. Mungkin justru itu yang ketinggalan, semacem 'tag' pergantian PoV. Jadi misalnya di awal chapternya ada [ Puppet's View ] (misalnya), terus di chapter yang third person...entahlah, kalo nggak liat aplikasinya sendiri saya nggak bisa bilang kalo nggak ada tagnya bakal efektif atau nggak, sih. :-?

      Tapi di kebanyakan novel pergantian PoV (kecuali Chain of Hearts, tapi di Chain of Hearts PoVnya memang lumayan jelas karena presentasinya bagus) memang tag nama karakter itu selalu ada, misalnya kayak di Heroes of Olympus series...apa Kane Chronicles. Aduh bukunya ketinggalan di indo pula jadi ga bisa cek lagi bener ga yang gue bilang ini #KAMU

      Caranya Stine pindah PoV ketiga itu, dia ada semacem 'tag' buat menandakan itu PoV ketiga nggak? Atau pergantian PoVnya bener-bener langsung aja tanpa ada embel-embel "Away Point of View" atau semacemnya gitu?

      Delete
  13. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  14. Intronya berasa suram, tapi entah kenapa saya merasa yang begitu udah terlalu sering digunakan di filem-filem atau novel remaja yang saya baca. Tapi okelah. Yang penting nuansanya ngena.

    Gaya bahasanya udah oke, mirip-mirip light novel. Atau kalo versi yg pernah saya baca, udah sekelas seri Fantasteen. Tapi sayangnya bukan jenis narasi yang saya suka.

    Alur dan battlenya lumayan, tp ngerasa ada yang kurang aja gitu. Kayanya karena pengaruh narasi. Dan, penokohan Puppet IMHO berasa animetis. Atau saya aja yang merasa begini?

    Ya udah, si Ahar titip 8~

    -Ahran-

    ReplyDelete
  15. obeeah itu ada kaitan sama obat OBH ya? entah ngapa kerasa familiar di kuping :3
    tapi btw cukup seru :3 dari sudut pandang nubi kayak ane. ngikut kata bang ahran tentang mirip LN, mungkin karena ane abis baca baccano kalin :3 #abaikan

    hehe, jadi dari saya anda mendapat 7/10 beserta tempe goreng

    dari Dallas :v

    ReplyDelete