6.5.15

[PRELIMINARY] SANELIA NUR FIANI - HEROES HAS FALLEN

SANELIA NUR FIANI - HEROES HAS FALLEN 
Penulis: Ichsan Leonhart


Rintik air senantiasa turun membasahi, disusul dengan sekelebat cahaya beserta gemuruh suara petir di angkasa. Sinar terang itu seolah menyibak jelas apa yang ada di kejauhan. Berupa kumpulan puing-puing reruntuhan, sebuah kota yang dahulu kala pernah menjadi simbol kejayaan umat manusia.

      "New York…" ucap seorang gadis. Seorang diri ia berjalan menapaki bebatuan, mengenakan jas hujan transparan, dengan kantong besar di punggung berisi perlengkapan.

     Lima tahun telah berlalu, sejak kekacauan besar yang memusnahkan seisi peradaban. Dimulai dari perang nuklir, hingga wabah epidemic mematikan yang menyapu bersih seluruh daratan. Bertahun-tahun gadis itu jalani dengan berkelana sendirian, berharap menemukan manusia lain selain dirinya, sekedar untuk menemani harinya. Ia begitu kesepian.


     Langit beranjak gelap, sementara ia belum menemukan tempat untuk bermalam. Matanya berubah siaga, sadar akan munculnya segudang bahaya. Para reaper—monster yang semasa hidupnya pernah menjadi seorang manusiaterlihat penuh mengisi di tiap sudut reruntuhan. Mereka membenci air, jadi saat paling aman ketika hendak memasuki kota adalah ketika hujan.

     Sempat mengira situasi begitu aman, rupanya hal itu merupakan kesalahan. Pikirannya dipaksa untuk siaga, sadar akan kemunculan ratusan Reaper di hadapan. Makhluk-makhluk penghuni kota ini berbeda dengan di kota sebelumnya, mereka tak begitu khawatir akan hujan, lebih memilih basah dalam guyuran air asam, demi menikmati santapan langka di hadapan. Gadis itu terkepung dari segala arah.

      "Lari!"

     Batinnya berteriak memberi perintah untuk menyelamatkan diri. Ia menarik pistol kecil yang tersemat di paha kanannya, lalu menggunakan senjata itu untuk menembak beberapa Reaper di sudut paling tipis pertahanannya. Barikade itu terbuka, memberi kesempatan baginya untuk menerobos ke dalam sudut reruntuhan.

     Monster-monster itu tentu saja tidak tinggal diam, mereka melesat dalam gerakan yang jauh lebih gesit. Hanya butuh waktu beberapa detik bagi mereka untuk menyusul, menggigit ransel yang dibawa, lalu menariknya untuk melempar sosok itu jauh ke belakang— di tengah kerumunan.

     Gadis itu ketakutan, lima tahun hidup dalam kondisi seperti ini tak serta merta membuatnya lihai dalam bertahan hidup. Salah perhitungan dalam mengambil keputusan membuatnya harus meghadapi maut. Nyawanya seolah ada di ujung tanduk. Sebisa mungkin ia membongkar ransel besar di punggungnya, mengeluarkan sebuah senjata berupa senapan laras panjang.

     Salah satu Reaper melesat maju, gadis itu sekuat tenaga memutar haluan ujung moncong senjata, untuk kemudian menekan pelatuk dan melepaskan semburan berisi peluru tajam.

     Hantaman logam kecil itu amat bertenaga, terlebih dalam jarak yang begitu dekat. Tubuh Reaper itu terpental jauh ke belakang, dihantam energi kinetik dari peluru rifle yang melebihi kecepatan suara. Mekanisme projektil hollow melakukan tugasnya, begitu masuk dalam jaringan daging, ujung pelurunya sontak mengembang, membuat area kerusakan membesar berlipat ganda. Meningkatkan friksi, yang berujung pada terhentinya laju peluru.

     Alih-alih menembus hingga ke belakang, peluru senapan itu sukses mentransfer tenaga hantaman ke seluruh tubuh sang korban.

     Dua atau tiga monster itu berhasil diatasi, akan tetapi dia tak sanggup berbuat banyak kala sepuluh sosok itu menyergap sekaligus, dari segala arah.

      "Papa!" batinnya menjerit mengharap pertolongan, seraya terkesiap menatap maut di hadapan.

     Namun keajaiban itu tak datang seperti yang ia harapkan. Satu Reaper menghantam dadanya, bunyi gemeltruk tulang rusuk yang patah begitu nyaring terdengar. Sosok lainnya datang dengan mulut menganga, memamerkan taring tajam bersiap melumat tubuhnya.

      "Aaaaah!"

     Tak ada yang bisa dilakukan selain menjerit putus asa. Tersiksa oleh sakit yang mendera, kala menyadari perut kirinya terlihat berlubang lengkap mengeluarkan darah. Ia bergidik ngeri seraya memegangi lipatan usus menyembul keluar. Gigitan berikutnya membuat lengan dan kakinya nyaris putus dilumat rahang yang tajam.

     Gadis itu memohon ampun, sadar bahwa ini akan menjadi akhir hidupnya, ia hanya berharap kematian itu tak terasa begitu menyakitkan.

     Pipi kanannya digigit hingga kulit kenyal itu robek. Ia mulai tak sadarkan diri. Pandangan matanya menangkap kemunculan cahaya terang dari langit. Ia pikir cahaya itu datang dari tuhan yang hendak menjemput dirinya. Namun ia salah, cahaya itu mengantarkan sebuah benda mirip secarik surat. Berwarna biru semi transparan, membentuk layar virtual tepat di hadapan wajahnya yang sedang terbaring sekarat.

     ---------------------------

Kepada Sanelia Nur Fiani, apakah Anda memiliki keinginan tak terwujud? Anda memiliki impian tak tercapai? Atau dosa tak termaafkan?
------------------------

      "Apa ini?" batinnya sukses dibuat kebingungan. Sementara itu halaman berikutnya tampil secara otomatis dengan sendirinya.

     -------------------------
-Kami dari panitia Battle of Realms V : Exiled Realms, mengajak Anda untuk mewujudkan keinginan tersebut. Jika Anda setuju, harap tekan tombol jawaban di bawah ini.
-          Ya
-          Tidak

     --------------------------
     Susah payah gadis itu menggerakan lengannya, jempol yang sudah putus serta otot tendon yang robek tak menghalangi keinginannya. Dengan lengan bergetar ia menekan tombol "YA".

     Detik berikutnya, muncul layar berisi "Terms of License Agreement."

     Ditengah rasa sakit yang mendera, gadis itu kembali berusaha untuk menekan tombol, "Next"

     Muncul halaman lainnya, berisi ; SERVICES, PRICE, PAYMENT, B-CASH, GENERAL TERMS, WARRANTY, LIABILITY, CONFIDENTALITY, dan lain-lain. Masing-masing memiliki opsi yang harus disetujui.

     Berulang kali ia menyentuh tombol Next, Next, dan Next. Menjengkelkan sekali.

     Hingga akhirnya surat itu berubah menjadi berkas cahaya menyilaukan, mengambang di udara lalu menarik tubuhnya tinggi ke angkasa, meninggalkan puluhan Reaper yang sedang asyik menyantap tubuhnya.

      "…"

     --------------------------

     Semilir angin terasa sejuk menyapa, meniup pelan menggeraikan rambut berisi bercak darah. Seorang gadis dengan rambut biru sebahu tergeletak lemas tak berdaya. Kelopak matanya berkedut sejenak, berusaha mengumpulkan kesadaran dalam lindungan sebuah bayangan. Langit cerah kebiruan, berisi sekumpulan awan dan teriknya matahari gagal menerangi tubuhnya, terhalangi oleh rimbunnya dedaunan.

      "Ukh.."

     Tubuhnya belum bisa digerakkan. Luka terbuka di tangan dan kaki, beserta perut sobek bersimbah darah belum sembuh dengan seutuhnya. Gadis itu memang lemah, tapi setidaknya ia memiliki kemampuan regenerasi walau memakan waktu lama. Ia akan baik-baik saja.

      "…"

     Tiap jam berlalu begitu saja, napas lemahnya berubah tenang seiring dengan kondisi luka yang membaik.

      "Ya Allah, nak. Apa yang terjadi padamu?" Seseorang berucap panik, jemarinya disilangkan menutupi mulut mencegah agar tak terpekik. Reaksinya saat ini mungkin persis seperti seorang ibu-ibu yang panik, ketika dihadapkan pada korban tabrak lari.

     Pandangan mata gadis yang terlentang bergerak pelan, berusaha mencari sumber suara, "… Aku tak apa-apa," ucapnya pelan, nyaris tanpa intonasi suara.

      "Kau perlu perawatan nak. Aduuh, kenapa di sini gak ada sinyal sih? Mau nelepon rumah sakit malah jadi susah." Sosok perempuan berkerudung itu panik, ia meracau seraya berjalan mondar-mandir tiada henti.

      "… Aku gak apa-apa… beneran."

      "Tapi kan, itu perut kamu berdarah gitu, kaki kamu juga, pipi kamu juga, terus…"

     Gadis berambut pendek sebahu kemudian berdiri tanpa kesulitan berarti. Pandangan matanya begitu dingin, terlihat seperti… malas untuk berkomentar lebih lanjut.

      "Aku gak apa-apa, luka ini udah sembuh dengan sendirinya, bu…"

     Batin sosok berkerudung itu terhenyak, dipanggil dengan sebutan bunda mendadak telah membangkitkan naluri keibuannya.  Gadis itu begitu manis, wajahnya datar tak bersemangat. Kulitnya juga putih bersih memantulkan cahaya mentari.

     Pandangan wanita berkerudung terlihat berkaca-kaca. Seraya menahan emosi yang meluap, ia sontak memeluk remaja di hadapannya, menggesek-gesek wajahnya pada tiap helai rambut gadis itu, "Aduuuh nak, kamu kok imut banget siiih," pekiknya dipenuhi kegemasan, ia malah menarik-narik pipi perempuan berambut pendek itu walau belum sembuh dengan seutuhnya, "Nama kamu siapa nak?"

      "… Nely…" jawabnya pelan. Ia selalu memberikan sedikit jeda tiap kali hendak mengucap sesuatu. Tubuhnya tak bereaksi sama sekali meski diperlakukan seperti boneka mainan, raut wajahnya juga masih saja datar tanpa ekspresi.

      "Nely ke sini sama siapa?"

      "… Sendirian…"

      "Nely udah makan?"

     Gadis itu menggelengkan kepalanya, agak berlebihan hingga rambutnya berkibas keluar.

     Sang bunda kemudian terdiam sejenak, memutar otak mencari jalan keluar, "Ikut bunda yuk?"

     Nely hanya menganggukkan kepalanya, walau tanpa menjawab pun wanita berkerudung itu pasti sudah menarik lengannya untuk pergi dari sana.

      "Tunggu dulu," ucap Nely seraya melepaskan pegangan tangan.

     Sang Bunda hanya menoleh dipenuhi tanda tanya, memperhatikan gadis berambut biru itu berjalan mundur mendekati sebuah pohon, lalu menarik lengan seseorang dari sana, "Astagfirullah," ucapnya terkejut. Dari tadi ia berada di sana, baru kali ini menyadari keberadaan gadis lainnya. Padahal sedari tadi sosok itu berdiri di sana, tak jauh dari tempat Nely terkapar.

      "Ayo, dari pada diem di situ terus nanti masuk angin," ucap Nely. Gadis yang ia ajak mengenakan pakaian gelap. Rambutnya berwarna abu-abu mengguntai panjang, retina mata miliknya menyala kemerahan, mirip dengan mata Nely yang juga menyala, hanya saja dia memiliki warna hijau terang.

      "Nama kamu siapa, dik?" ucap bunda berkerudung.

     Perempuan berambut panjang itu mendelik dengan tatapan permusuhan, "Nama saya Alayne, dan jangan panggil saya adik karena usia saya jauh melebihimu.. Nak…"

     Sang bunda berkerudung tentu saja terkejut. Selama ini siapapun yang terlihat lebih muda dari dirinya, pasti selalu ia anggap sebagai seorang murid, "Eeeuh… nama saja Kusumawardani, tapi panggil saja Mawar."

      "Gak ada yang nanya," balas Alayne ketus.

     Urat kesal terlihat menonjol keluar dari paras ayu Bu Mawar, akan tetapi ia masih saja berlaku lembut mengukir senyum dipaksakan,  "Ahahahaha… kita pergi cari makan yuk?"

     Alayne tak menjawab, tapi ia berjalan mengikuti atas ajakan Nely. Sementara Nely sendiri tengah melamun seraya berusaha mengingat nama dua orang yang baru ia kenal, "Alayne… Bu Mawar… Alayne… Bu Mawar… Alay…"

     …

     Keduanya tiba di sebuah pasar, terlihat hiruk pikuk penuh dengan orang-orang tak dikenal.

      "Bang, sepiring nasi goreng harganya berapa?" Bu Mawar terlihat menghampiri seorang penjual makanan.

      "Dua puluh lima rebu Neng," jawab abang nasgor.

      "MAHAL AMAT!" bentak Bu Mawar, sontak saja seisi pasar dibuat hening seketika. Semua orang memandangi dirinya.

     Abang nasi goreng terlihat gelagapan, ia menjawab dengan suara agak bergetar, "Euh.. buat neng geulis mah diskon aja deh sepuluh rebu."

      "Masih mahal," balas Bu Mawar seraya berkacak pinggang, "Lima belas rebu buat tiga porsi ya, GePeEl— gak pake lama."

      "I— iya non…"

     Mendadak seisi pasar menjadi sepi, toko lainnya di sekitar tutup dengan sendirinya. Kini hanya ada Bu Mawar, Nely, dan Alayne di tempat itu. Alayne sendiri hanya berdiri tanpa suara, dia menolak untuk ikut makan karena tak menyukai nasi goreng.

     Nely hanya melongo menanggapi hal tersebut.

      "Yuk berdoa dulu sebelum makan, Bismillahirohmanirahiim…  Allahuma barik llana fii…"

     Mendadak muncul sebuah cahaya di lantai tempat masing-masing berpijak, bersamaan dengan pengumuman bahwa peserta akan dikumpulkan di lapangan.

      "Aaaaaaaaaaah…" Bu Mawar kecewa bukan main, ia keburu di-teleport bahkan sebelum melahap satu sendok pertama. Sementara usaha Nely untuk menggapai jus di hadapannya gagal terlaksana.


     -------------------------------------


      "Test… test… baka no test.."

      "Woi nanti kena lisensi!"

     Aaah—, aku yakin kalian semua sudah tahu adegan apa ini, jadi mari kita lewat saja ke bagian recruitment Party.

     -=Press X to skip cinematic=-

    

     ..

     Hiruk-pikuk terjadi di lapangan. Ada yang bersemangat, ada pula yang kebingungan, pun begitu mereka berkewajiban untuk mengikuti tantangan. Maju mengikuti preliminasi, atau mundur secara sukarela. Dan tentu saja tak ada yang mau mundur begitu saja, terlebih ketika mereka dijanjikan akan sesuatu—, apapun itu.

     Di tengah kerumunan itu, Nely tak bisa berbuat banyak selain celingak-celinguk mencari keberadaan Bu Mawar. Ia dan Alayne terpisah sejak diteleportasi paksa dari warung nasi goreng. Ia juga tak mengacuhkan ajakan untuk membuat Party dari orang lain. Hingga pada akhirnya, tak ada seorang pun di sana. Karena tiap kali sebuah regu tercipta, mereka langsung menghilang saat itu juga, dipindahkan ke room masing-masing untuk memulai tantangan.

     Lapangan itu berubah sepi, hanya ada Alayne di sudut terjauh lapangan, juga seorang pria yang menyibukkan diri mendengarkan lagu lewat headphone miliknya. Keduanya duduk saling berdekatan di sebuah kursi taman.

      "Al…" Ucapan Nely terhenti, ia melamun sebentar berusaha mengingat nama gadis di hadapan.

      "Alayne…" ucap gadis itu, seolah memahami apa yang hendak Nely utarakan.

      "… Lihat Bu Mawar?"

     Alayne hanya menjawab dengan pandangan teralihkan. Nely sontak mengikuti ke arah mana ia menatap. Di pintu masuk lapangan, terlihat perempuan berkerudung dengan jaket kuning tengah menghampiri.

      "Maaf ibu terlambat. Tadi bingung nyari mushola dulu tapi gak ada, akhirnya ikut ibadah di tempat abang nasi goreng yang tadi," ucapnya dengan napas terengah, ia sepertinya berlari di sepanjang jalan menuju ke sini.

     Nely tak berkomentar lebih lanjut, sementara Alayne tak menanggapi sama sekali. Pembicaraan itu pun buntu.

      "Uhm… ada yang tahu orang-orang pada ke mana?" tanya Bu Mawar.

     Nely menggelengkan kepalanya, sedari tadi ia sibuk mencari keberadaan Bu Mawar, tanpa sedikitpun menaruh perhatian pada pengumuman yang ada.

     Alayne terlihat memutar bola matanya, ia ingin menjelaskan situasi yang ada, tapi ketidaksukaannya pada Bu Mawar menghalangi niatnya tersebut.

     Hening…

     Situasi ini sungguh tak mengenakan, Bu Mawar dihadapkan pada dua orang yang jarang bicara, dan satu lagi pemuda anti sosial yang masih sibuk di pojokan dengan headphone miliknya, "Kita harus ngapain?" ucapnya berusaha mencairkan suasana.

     Nely lagi-lagi menggelengkan kepalanya, sementara tak ada jawaban dari Alayne, dan tentu saja tak ada tanggapan dari pemuda di sudut kursi yang ada.

      "Aaaaaaah, kalian ini. Harus belajar lebih banyak tentang interaksi ya, nanti ibu ajari ilmu sosial kalo ada waktu luang," ucap Bu Wawar frustasi. Ia mengalihkan pandangannya pada Nely, "Nely, kamu harus berani memulai percakapan," telunjuknya lalu terarah pada Alayne, "Kamu juga, jangan terlalu sinis kalau jadi orang," tak cukup sampai di sana, Bu Mawar kemudian berjalan menuju pemuda di penghujung kursi panjang, "Kamu lagi, sampai kapan mau tak acuh sama situasi di sekeliling?" Lengan Bu Mawar menggeser sedikit headphone itu, agar ucapannya bisa didengar langsung lewat telinga.

     Pemuda itu tentu saja terkejut, ia sontak menoleh, "Haa?" pandangannya kemudian teralihkan pada lapangan yang kosong. Wajahnya berubah terkejut, "Orang-orang pada kemana?"

     Hening… Semua orang memutar mata masing-masing, seraya menanggapinya dengan raut wajah malas.

     Di tengah kebingungan itu, muncul sesosok perempuan dengan pakaian ala PRT—Pembantu Rumah Tangga— atau babu ala abad pertengahan.

     Alaynye berubah jengah, "Maid abang Narator—, namanya Maid, bukan pembantu, apalagi babu," ucapnya ketus.

     Maid itu mengangguk sebentar, seolah mengamini pernyataan Alayne. Ia kemudian berucap dengan nada yang sama datarnya dengan Nely, "Kalian adalah entrant terakhir yang belum membentuk Party, ingin memulai tantangan saat ini juga?"

     Bu Mawar kebingungan, "Party?"

     Nely sendiri terlihat memiringkan wajahnya, berusaha mencerna maksud ucapan barusan, "Party… Pesta? Pesta di mana?" batinnya sontak terbayang setumpuk makanan.

     Pemuda di ujung kursi mengajukan bentuk protes, "Tak bisa ya kalau menuntaskan tantangan secara Solo Player? Macam si Kiritod gitu…"

     Sang Maid menggeleng, "Tantangan preliminasi ini harus dituntaskan oleh satu Party atau kelompok. Terdiri dari dua, sampai empat orang."

     Nely berpikir sejenak, "Aku ikut sama Bunda saja, Alayne ikut nggak?"

     Perempuan dengan mata merah menyala menjawab dengan anggukan kecil, ia tak diperkenankan menuntaskan tantangan preliminasi sendirian, dan jelas sudah ia juga tak ingin berduaan dengan pemuda berkacamata tak jelas juntrungannya itu.

      "Berarti Party yang ada terdiri dari, Kusumawardani, Sanelia, dan Alayne."

      "Tunggu dulu, aku nggak diajak?" protes pemuda berkacamata.

      "Kamu gak minta ngegabung..." komentar Nely malas.

      "Tentu saja, siapa nama kamu nak?" ucap Bu Mawar ramah.

      "Kazuki Tsukishiro…"

      "Apa nama Party kalian?" tanya sang Maid.

      "Tavernor's Party," jawab Alayne singkat.

      "Kok bawa-bawa nama Tavern?" Kazuki mencibir.

      "Karena pengarangnya pengen begitu," jawab Alayne singkat. Dia memang pengertian.

     …………


     Tantangan dimulai, empat orang itu dikirim ke sebuah bukit dengan latar langit bertabur bintang. Sepanjang mata memandang, hanya ada dataran pasir berisi hiruk pikuk di kejauhan. Malam itu terlihat begitu berwarna, ribuan projektil bercahaya terlihat  memadati arena. Dua kubu pasukan saling melempar tembakan, ada pula yang bertarung dalam jarak yang dekat.

      "Mereka lagi ngapain sih?" Kazuki menggaruk kepala yang tak terasa gatal.

     Maid di belakang Nely berucap memulai penjelasan, "Saat ini sedang terjadi perang antara tentara Alforea melawan para monster. Tugas kalian adalah membantu para tentara untuk meraih kemenangan."

      "Caranya?" tanya Bu Mawar, ia agak ketakutan dihadapkan pada kondisi peperangan seperti ini.

      "Dengan segala cara," jawab sang Maid singkat. Ia hanya tersenyum dengan jawaban ambigu.

     Nely di lain pihak, hanya bisa terpana menatap riuhnya peperangan di kejauhan. Banyak sekali prajurit Alforea yang sanggup menggunakan sihir. Masing-masing menembakkan sihir bercahaya, berfungsi menciptakan kerusakan besar di kejauhan. Sementara dari pihak monster sendiri, terdapat ratusan lainnya berkemampuan jarak jauh menembakkan projektil berbahan peledak.

      "Ini, pakai headset ini untuk sal.." Ucapan sang Maid terhenti, tubuhnya mendadak terpental dihantam sebuah tembakan nyasar. Headset yang hendak diberikan jatuh begitu saja ke tanah.

      "Friendly fire! friendly fire!" seru salah seorang tentara Alforea.

     Semua orang termenung, melongo setelah selesai mencerna kejadian itu. Sejenak mereka berduka akan kepergian Sang Maid. Akan tetapi life must go on. Bu Mawar mengambil inisiatif dengan meraih headset yang terjatuh. Tekadnya panas membara, ia hendak menyusun strategi untuk memenangkan pertempuran ini.

     Tubuhnya sontak berbalik, begitu dramatis dalam gerak lambat disertai kerudung yang tergerai. Dirinya hendak berucap sesuatu, demi meningkatkan moral kelompok kecil yang dipimpinnya, "Anak-anak, kita harus.."

     Ucapannya terhenti, terhenyak menyaksikan Nely, Alayne, serta Kazuki yang tengah duduk bersimpuh seraya menikmati segelas teh. Ketiganya tengah menonton jalannya pertarungan dengan wajah berbinar-binar.

      "Kereeen…" komentar Kazuki.

      "Eh itu ada naga, kau lihat itu Ne-san?" ucap Nely.

     Alayne yang dipanggil Ne-san mengangguk pelan, ia memegang segelas teh hangat dengan dua tangan, lalu menyeruput isinya pelan-pelan.

     Rasanya Bu Mawar hendak mengamuk saat itu juga, tapi demi  menjaga imej guru teladan, ia harus tetap bersikap tenang dalam menghadapi para muridnya, "Anak-anak…"

      "Aku bukan anakmu," potong Alayne ketus.

     Bu Mawar hanya tersenyum, padahal setan dalam hatinya tengah berteriak kencang detik itu juga, "Eeeuh, kita kan harus memenangkan pertarungan ini… jadi ada baiknya kalau kita mulai menyusun rencana."

      "Rencana yah…" ucap Kazuki, "Kau punya rencana?"

     Nely menggelengkan kepalanya, sementara Alayne diam tak menjawab. Mereka kompak mengangkat bahu.

     :v



     Samar terdengar backsound : Da aku mah apa atuh~

     …


      "Jadi gimana atuh? Kita berangkat bareng-bareng aja ya?" ajak Bu Mawar, dia masih belum menyerah demi menggugah semangat tim ini.

      "Senjata aku cuma buat jarak jauh aja…" ucap Nely seraya mengangkat tangan, persis seperti seorang murid yang bertanya.

      "Hmm… Kaz, kemampuanmu apa nak?" selidik Bu Mawar memulai analisis.

      "Aku pas buat tipe serangan frontal…" jawab Kazuki, pandangannya lalu teralihkan pada Nely, "Nanti kamu bisa melindungi lewat tembakan senapanmu kan?"

     Nely menjawabnya dengan anggukan singkat. Tas berat yang ia bawa dibuka dengan hati-hati, menyibak keberadaan sebuah senapan runduk bernama, Gauss Rifle.

      "Eeeuh, kalau kamu? Apa kemampuanmu… Alayne," sambung Bu Mawar, ia sepertinya agak segan dengan murid satu ini. Terbukti dari panggilannya yang menggunakan nama utuh, alih-alih menggunakan 'Nak' atau 'Dik' seperti yang ia lakukan pada dua rekan yang lain.

      "Gorok leher orang," jawab Alayne singkat.

     Bu Mawar kembali tersenyum kering.

      "Jadi, kapan kita mulai bu?" ucap Kazuki tak sabar.

      "Ya sudah, sekarang saja. Nely, kamu tetap di dataran tinggi ini ya. Kamu cari lokasi paling bagus lalu beri tembakan perlindungan, sementara Kazuki sama Alayne pergi membantai monster di pihak musuh."

      "Lah, ibu sendiri mau ngapain?" ucap Kazuki seraya membetulkan letak kacamata.

      "Ibu di sini aja, masak buat keperluan kalian. Barangkali nanti kalau lapar kan bisa balik lagi ke sini."

      "Memangnya ada peralatan masak?" tanya Kazuki.

      "Lah, kalian sendiri tadi ng'teh dapet peralatan dari mana?" balas Bu Mawar kebingungan.

     Kazuki hanya mengangkat bahu tanda menyerah, "Gak tau."

      "Author-nya gaje sekali, gak jelas ngasih keterangan," komentar Alayne, dingin menusuk hingga sanubari paling dalam.

     Oleh karena itu, sebagai bonus karena telah mengingatkan. Di belakang mereka berempat mendadak muncul empat buah tenda, satu perapian di tengahnya, lengkap dengan sleeping bag dan setumpuk peralatan masak— juga beras, bahan makanan, serta bumbu dapur.

     Alayne memutar matanya seraya melipat kedua tangan.

     Kazuki berucap pelan, "Jadi kapan kita mulai?"

      "Ya dari tadi juga udah mulai, kalian aja yang gaje terus," Alayne yang sedari tadi dingin sepertinya mulai kehilangan kesabaran.

     Maka diayunkanlah langkah ketiga orang itu dalam adegan waktu yang diperlambat. Mereka menyongsong pertempuran sengit di kejauhan, terlihat begitu keren seraya menggenggam erat senjata masing-masing. Pasir kering beterbangan indah ketika sepatu menjejak. Langkah kaki Nely terantuk kecil pada sebuah batu, membuat tubuhnya melayang bebas hingga terjatuh menghalangi jalur Kazuki dan Alayne. Alhasil ketiganya jatuh berguling-guling seraya menuruni bukit berbatu.

     Serangan pertama gagal. Ketiganya mundur teratur, kembali ke markas dengan tubuh penuh luka lecet.

      "Maaf bu, ada Betadine gak?" ucap Kazuki menahan malu. Sementara Nely dan Alayne saling membisu dengan segelas susu di tangan masing-masing.

     …

      "Eh lihat, itu apa?" ucap Nely seraya menunjuk ke arah langit.

     Semua orang mengalihkan pandangan, terbelalak menatap kemunculan sebuah obyek raksasa dari langit. Ukurannya begitu besar, dan semakin membesar. Benda itu turun hendak menubruk daratan.

      "Ya Allah, Kenapa saya malah inget film Armagedon?" ucap Bu Mawar ketakutan.

     Alih-alih menubruk daratan, obyek raksasa itu mendadak pecah berserakan. Berubah menjadi jutaan puing-puing kecil jatuh membentur daratan. Dari dalamnya, muncul sesosok monster raksasa seukuran lima puluh meter.

      "Dari mana kau tahu ukurannya lima puluh meter?" ucap Alayne menyela.

     Tolonglah…

     …

     Anyway, monster tadi begitu besar. Terbang bebas membelah langit malam, meninggalkan jejak warna-warni penuh cahaya. Sebuah pelangi.

      "Itu… kuda?" ucap Kazuki tak percaya.

     Ya, monster raksasa itu berwujud kuda. Unicorn lebih tepatnya, karena memiliki tanduk serta sayap di punggungnya yang senantiasa mengepak bebas. Namanya Tamon Rah. Monster itu tampaknya tak begitu peduli akan pertempuran yang tengah berlangsung, terbukti dari tingkahnya yang begitu serampangan, terbang tanpa beban, membakar siapapun yang kebetulan ada di hadapannya. Baik itu prajurit Alforea, maupun pasukan monster tak berakal.

      "Kita harus membunuh monster itu juga? Gimana caranya?" ucap Kazuki kebingungan.

     Nely tak mampu menyusun strategi, sementara Bu Mawar kehabisan Ide.

      "Kalian tak perlu membunuhnya, cukup hancurkan dua menara kembar di depan kastil sana," ucap seseorang.

     Empat orang yang ada sontak saja kebingungan, mereka mencari sumber suara. Ucapannya terdengar seperti Maid di awal tadi.

      "Aku di sini."

     Bu Mawar menoleh pada sudut terluar salah satu tenda. Di sana terlihat sepasang kaki yang mencuat keluar dari dalam tanah.

      "Tolong…"

      "Masya Allah, kenapa kamu bisa ada di sana nak?" ucap Bu Mawar. Ia dibantu yang lain sontak saja melakukan misi penyelamatan dengan menggali tanah.

      "Programnya nge'Glich— gara-gara keegoisan Author yang seenaknya membangun tenda dan perapian," jelas sang Maid. Rupanya dia selamat dari tembakan di awal tadi dan terkapar tak sadarkan diri. Namun kemunculan tenda dan perapian secara mendadak malah mengubur dirinya di bawah pasir.

      "Tadi kau bilang, Monster kuda sembrani itu tidak bisa dibunuh. Lalu apa hubungannya menghancurkan dua menara dengan memenangkan pertempuran?" selidik Kazuki.

      "Dua menara itu menyimpan segel untuk Tamon Raah. Kalian harus menghancurkan dua menara itu secara bersamaan. Jika hanya satu saja yang hancur, satunya lagi akan kembali utuh seperti sedia kala. Dan menara itu kebal terhadap segala jenis sihir, jadi dia hanya bisa dihancurkan dengan cara serangan fisik."

      "Aku nggak bisa sihir," komentar Nely.

      "Aku pakai api bintang, tapi jenis serangannya tetap saja fisik biasa," sambung Alayne.

      "Apalagi aku yang cuma modal pedang doang," ucap Kazuki menambahkan, "Jadi secara teknis kita bisa menghancurkan menara itu."

      "Aku cuma koki di regu ini." Bu Mawar berucap menambahkan, seraya memegang sendok kuali dengan erat.

      "Gak ada yang nanya," ucap semua orang berbarengan.

     Sementara Bu Mawar bertekuk lutut bermuram durja di pojokan, sosok Maid itu kemudian mengucapkan salam perpisahan. Sempat pula terulang kembali insiden tembakan Friendly Fire yang kedua kalinya. Akan tetapi kali ini Maid itu begitu sigap menghentikan peluru, menangkap cepat lalu melempar balik projektil itu sekuat tenaga, hingga pelakunya (prajurit Alforea) jatuh terkapar.

      "Eh ini apa?" ucap Nely agak terkejut. Ia heran dengan kemunculan peta, status bar, kill count, serta angka EXP, yang selalu muncul di sudut pandangan, kemana pun ia menatap.

     Kazuki paham kegunaan layar itu, "Oh, namanya HUD, ini bisa memudahkan pekerjaan kita."

     Dari informasi yang ada, terungkap bahwa teritori pertarungan saat ini 75% masih dipegang oleh pihak musuh. Di peta juga terdapat keterangan akan jarak menuju kastil, serta dua  menara yang harus dihancurkan.

      "Oke, lets do this," ucap Kazuki bersemangat.


     -=Seccond Assault begin=-

     Serangan diawali dengan melesatnya Alayne jauh paling depan, membelah angin menembus pertahanan. Dengan santai ia mengeluarkan sebuah pisau dapur (yang dipinjam dari Bu Mawar), lalu menggunakannya untuk menebas tiga, sampai empat monster yang ada. Gadis itu melaju seraya melompat memutar tubuhnya di udara, demi menghindari ayunan gada berukuran besar yang diayunkan secara Horizontal. Sosok Orc—monster dengan kulit hijau bertaring—meraung kesal karena tak kunjung berhasil menghajarnya. Ayunan gada itu dilayangkan dari arah atas, menghantam keras tanah bepasir hingga membuat bumi bergetar. Alayne hanya perlu memiringkan badannya sedikit untuk menghindar. Kakinya kemudian menjejak keras untuk menghampiri bagian leher sang Korban. Dalam satu sabetan monster besar itu pun ambruk kehilangan nyawa.

     Serangan lainnya datang bertubi-tubi, akan tetapi hal itu tak menjadi masalah berarti. Alayne begitu gesit, tubuhnya ringan dengan pergerakan begitu luwes seperti bulu yang diterbangkan angin. Ia selalu menghindar, lalu melakukan counter fatal dengan sayatan di leher.

     Kill count meningkat, dan terus meningkat. Tercatat dalam waktu lima menit saja Alayne sudah menghabisi tujuh puluh musuh berbadan besar. Bangkai mereka berserakan dengan darah segar mengalir deras.

     Kazuki tak mau kalah. Ia yang baru saja tiba di lokasi pertarungan langsung menghunus Nodachi, senjata tajam miliknya berupa katana dengan bilah pedang panjang. Bentuknya tipis melengkung, dengan gagang pegangan panjang, mengharuskan pemiliknya untuk menggunakan kedua tangan.

     Sekumpulan Fenrir—serigala jejadian dengan rahang mencuat—datang menghampiri. Kazuki menempatkan pedangnya di samping kiri pinggang, bersiap mengayunkan bilah tajam sekuat tenaga seraya berkonsentrasi. Kelopak mata ia tutup perlahan, merasakan derap langkah makhluk di hadapan yang semakin mendekat.

     Lalu dalam satu entakan, ia melesat maju seraya mengayunkan Nodachi dengan ayunan menyamping. Tubuhnya melaju melewati sekumpulan serigala itu, seolah tembus begitu saja bagai sosok tak berbentuk. Detik berikutnya, kumpulan monster itu jatuh menubruk tanah berpasir, dengan kondisi tubuh terbelah dua secara horizontal.

      [Mass Kill!]

     Terdengar notifikasi kecil dari headset kecil miliknya. Gerakan barusan mengkonfirmasi kill melebihi empat kali dalam satu serangan.


     Di kanan kirinya, muncul tiga sosok goblin siap menghantam. Kazuki tak sempat bereaksi untuk mengantisipasi, ia hanya menyilangkan senjatanya untuk memblokir serangan dari salah satu sisi.

     Tanpa diduga, dua monster itu mendadak terlempar keras, dihantam sesuatu dari kejauhan. Bunyi desing peluru terdengar sedetik kemudian, tanda bahwa projektil tadi terbang melebihi kecepatan suara.

      [Double Kill..!]

     Suara notifikasi kecil terdengar di headset kecil yang Nely kenakan. Ia berlari kecil seraya mengarahkan moncong senjata pada keberadaan Kazuki di kejauhan. Tubuhnya secara konstan mengalirkan listrik pada Gauss Rifle miliknya, membuat senjata itu siap untuk melontarkan peluru selanjutnya.

     Pisir dan pijera di teleskop senjata sudah diselaraskan, selanjutnya di kejauhan terdapat dua Goblin lainnya hendak menyerang Alayne dari belakang. Nely lantas menarik kembali pelatuk senjata, menciptakan kejutan elektromagnetik yang dengan kuat menarik butir peluru dari chamber senjata. Projektil yang ada melesat cepat hingga meninggalkan jejak memutar, terbuat dari udara yang memuai.

     Ctas! Jraash! Splaash!

     Suara daging hancur terdengar nyaring di sekeliling Alayne, diikuti dengan cipratan darah memancar deras. Nely menghabisi tiap sosok monster yang berusaha mendekati gadis itu.

      [Triple Kill..!]

      [Chain Killer..!]

     Suara notifikasi tiada henti terdengar di headset. Nely berubah jengah, ia lalu mematikan notifikasi itu. Terasa mengganggu, padahal ini bukan game Point Blank.

     Alayne di lain pihak, kini terlihat mulai kelelahan. Ia tak lagi seluwes di awal pertarungan, napasnya mulai memburu dengan langkah yang mulai sempoyongan. Sementara di hadapannya, muncul sesosok Naga Bahamut siap menerkam. Monster itu melayang dengan sayap mengibas kencang.

     Nely sontak memberikan tembakan perlindungan, akan tetapi peluru Gauss Rifle miliknya tak berarti apapun pada lapisan keras kulitnya. Alayne kini sedang ada dalam bahaya.

     Kazuki tak bisa tinggal diam, dia mempersiapkan diri untuk melakukan penyelamatan. Nodachi di tangan ia genggam erat, lalu dalam satu gerakan cepat ia menjejak kaki dengan kuat, melewati dua Fenrir di hadapan, menginjak kepala mereka masing-masing, menjadikannya sebagai pijakan. Pemuda itu melesat cepat langsung menuju rahang naga Bahamut.

     Sraaash!

     Sang naga jatuh menubruk tanah, dengan kondisi kepala yang terbelah dua. Kazu sukses memotong hewan itu walau pedangnya tak sepanjang yang ia kira. Pemuda itu beberapa kali memutar tubuhnya di udara, sebelum akhirnya menapaki pasir gurun dengan kedua kakinya. Tak lupa ia acungkan jempol pada Alayne yang sudah berhasil ia selamatkan.

     Gadis itu tertegun, terpana menatap pose keren Kazuki. Tingkat ke-Cool-annya kini menembus batas tertinggi.

     Detik berikutnya tubuh Kazuki hilang dilahap oleh rahang raksasa. Tamon Raah, sang kuda sembrani berukuran raksasa tiba di tempat itu setelah mencium sedikit keributan. Kuda itu memakan Kazuki hanya dalam sekali lumat saja.

      [Our Heroes Has Fallen]
     Terdengar notifikasi kecil di headset yang dikenakan.

      "Kazu!" pekik Nely panik. Gadis itu tak terima rekannya mati begitu saja dalam satu gigitan, ia kesal bukan main. Puluhan tembakan ia lepaskan secara serampangan, namun tak satupun peluru yang ada berhasil melukai monster itu. Gadis itu hendak maju menerjang, akan tetapi niatnya dihalangi oleh kemunculan Alayne dengan jemari terbuka lebar, memberi isyarat untuk menghentikan gerakan.

      "Nely, maaf ya, saya ambil dulu bagian dari dirimu," ucap Alayne datar. Tatapan mata merah menyala itu terasa jauh lebih dingin dari biasanya. Gadis itu mungkin kesal karena penyelamatnya telah mati mengenaskan, dibunuh seperti seekor kecoak. Jemarinya ia arahkan pada Nely, seraya menghisap sesuatu dari tubuh penembak runduk itu. Aura kemerahan samar terlihat, membungkus Alayne setelah sebelumnya ditarik dari tubuh Nely,

      "Api Bintang… Fierro Gear."

     Dua buah senjata spiritual tercipta di dua lengannya. Bernama Katar, sekumpulan bilah tajam berbalut api berwarna jingga. Senjata itu mampu memberikan daya perusak tinggi pada objek non material seperti sihir, jiwa, dan emosi. Kebetulan Tamon Raah ini terdiri dari sekumpulan sihir dalam jumlah luar biasa banyak, jadi ada kemungkinan ia bisa mengalahkan makhluk satu ini.

     Alayne melesat cepat membelah angin, meninggalkan Nely yang perlahan jatuh kehilangan kesadaran. Gadis itu meloncat tinggi, menghindari pijakan kaki sang kuda yang begitu bertenaga, hingga menciptakan ledakan debu bercampur pasir. Ia memanfaatkan tirai debu yang menghalangi, seraya menggunakan kecepatannya untuk mengukir sayatan jauh pada leher sang Kuda Sembrani.

      "Uekekekekekek!"

     Kuda itu menggelinjang, merasa sakit yang luar biasa walau tak ada luka fisik yang tercipta. Padahal sekilas gerakannya terlihat seperti sedang menahan geli.

     Alayne berhasil mendarat dengan sukses dengan posisi  membelakangi. Ia pikir ia telah berhasil memisahkan jiwa kuda dari kepalanya.

     Namun ia salah, kuda itu mengayunkan kakinya dengan kencang, menembus debu yang menghalangi. Tak sempat Alayne menghindar, tubuhnya keburu dihantam keras hingga melesat cepat menubruk tanah berpasir.

      "Uuuuh…" gadis itu berusaha bangkit, akan tetapi kaki kirinya luka patah dengan robekan fatal. Ia hanya mampu merayap, berusaha menyelamatkan diri. Tulang berwarna putih terlihat menyembul keluar disertai darah yang mengucur deras,

      "Aaaaaaah…"

     Hal terakhir yang ia lihat, adalah tapal kuda raksasa menghujam tepat menuju dirinya.

     Buuum!

      [Our Heroes Has Fallen]

    

     Napas Nely terhenyak, perlahan ia membuka matanya, berulang kali mengerjapkan mata mengatur matanya yang masih buram. Kesadarannya berulang kali hilang, tenggelam ditelan rasa kantuk yang menyerang. Tanah tempatnya terbaring bergetar keras dientak-entak, Tamon Raah di kejauhan terlihat begitu bernapsu melumat sisa jasad dari sosok bermata merah.

     Aneh sekali, padahal dua rekannya mati dalam waktu berdekatan. Tapi tak ada rasa kesal maupun jengah di dada. Seharusnya ia marah, tapi pikirannya kali ini begitu tenang. Seakan-akan emosinya telah habis terpakai, atau hilang disedot orang.

     Alih-alih marah, hal berikutnya yang menguasai dirinya adalah kemelut rasa takut. Kuda raksasa itu begitu liar membakar siapapun yang kebetulan berada di dekatnya, hantaman dari kakinya pun mampu membunuh seseorang dalam sekejap. Ia tak akan sanggup melawan Tamon Rah sendirian. Satu-satunya cara bertahan adalah dengan melarikan diri.

     Maka hal selanjutnya yang ia lakukan adalah meringkuk seraya mengendap pelan dengan cara merangkak, bergerak senyap di tengah keramaian hiruk pikuk perang. Deru ledakan disertai jeritan mereka yang kalah begitu memenuhi pendengaran. Ia punya satu tujuan, kembali ke tempat awal dimana Bunda Mawar berada. Tempat itu sepertinya aman dari gangguan perang.

     Puluhan mayat prajurit Alforea terbaring kaku tepat di hadapannya, berulang kali ia terinjak orang-orang yang sedang bertarung dalam jarak yang dekat. Gadis itu juga diharuskan sigap untuk menggelindingkan diri andai ada sosok singa, maupun Orc yang kebetulan melintas menuju dirinya. Ia akan mati andai terinjak bobot ratusan kilo monster yang ada.

     Susah payah ia merangkak, bersembunyi di tiap kesempatan, lalu bergerak pelan demi mundur ke garis belakang. Rasa letih begitu menyiksa dirinya, langkahnya juga begitu gontai seraya menyusuri bebatuan menanjak menuju puncak bukit.

      "Bunda pasti kecewa padaku," pikirnya dalam hati. Ia tak sanggup melindungi Kazuki dan Alayne, alih-alih lanjut bertarung ia malah menyelamatkan diri sebagai seorang pengecut.

      "Oh, halo Nely… kau masih hidup rupanya, hebat juga," ucap seseorang. Berucap enteng menyambut kedatangan Nely seraya melahap sesendok nasi goreng buatan Bu Mawar.

      "Kazuki?" ucap Nely terperangah. Pandangannya terbelalak tak percaya, seingatnya pria itu telah tewas dilahap Tamon Raah.

      "Dik Nely hebat, tidak menyerah sampai akhir." Bu Mawar melontarkan pujian seraya menghidangkan segelas minuman. Di sampingnya muncul sesosok perempuan dengan retina mata berwarna merah. Ia tak berkomentar apapun, selain menatap datar dengan retina merahnya.

      "Ne-san? Kalian baik-baik saja?" ucap Nely tak percaya.

     Kazuki menyelesaikan proses mengunyah, "Yah, aku juga kaget sih. Ternyata ada sistem Respawn di sini, walau satu timnya hanya memiliki enam buah respawn item."

     Bahu Nely serasa jatuh, berarti percuma saja tadi dia berjuang mati-matian demi pulang ke sini.

      "Yaaah, walau dikunyah kuda juga rasanya emang sakit sih, ahahahaha…" Kazuki menggaruk kepalanya yang tak terasa gatal.

     Kazuki berusaha mencairkan suasana, akan tetapi lawakannya tak serta merta membuat yang lain tertawa. Masing-masing terlihat gundah, pikiran mereka sedang melanglang buana.

      "Kita harus ada di sini sampai kapan?" ucap Nely tak bersemangat.

     Alayne berjalan menghampiri, "Entahlah, seingatku tak ada peraturan resmi tentang batas waktu tantangan. Proses perang ini bisa berlangsung selama sehari, seminggu, bahkan mungkin berbulan-bulan… Toh para prajurit Alforea yang gugur juga sepertinya kembali respawn seperti kita. Begitu pula dengan pihak musuh, mau ratusan kali kita bunuh pun mereka akan kembali muncul. Pada dasarnya, ini hanyalah perang memperebutkan teritori."

      "Eeeeh? Sebulan? Be—, Berarti masa Iddah-ku akan bisa usai ketika tantangan selesai," ucap Bu Mawar gelagapan, ia memegangi pipinya sendiri dengan raut wajah kemerahan.

     Tak ada yang peduli dengan masalah Bu Mawar. Alayne melanjutkan kembali penjelasan, "Segala sesuatu yang tak tertulis di peraturan berarti boleh dilakukan."

      "Dengan kata lain, kita bisa tinggal di sini selama yang kita mau," sambung Kazuki, "… Sambil mencari cara untuk memusnahkan dua menara di kejauhan."

     Nely benar-benar tak bersemangat mengikuti perbincangan itu. Kelopak matanya mulai turun tanda hendak tak sadarkan diri. Detik berikutnya, ia jatuh tergeletak menyambut mimpi.

     …


     Hari kedua…


     Malam berganti pagi, udara dingin berubah panas seiring dengan naiknya mentari.

     Kazuki terlihat sedang menikmati udara pagi, seraya meregangkan kedua lengannya tinggi. Ia kemudian menyeruput segelas kopi sembari duduk memandangi hiruk pikuk perang di kejauhan.

     Di sampingnya, terlihat Alayne tengah diam membisu. Gadis sepertinya sedang melamun sambil memeluk kedua lututnya.

     Mereka berdua terlihat akrab, entah apa yang sedang diperbincangkan. Sementara itu Nely terlihat bangkit dari tidurnya, hanya untuk berjalan malas menuju tungku perapian. Di sana ada Bu Mawar dengan nasi goreng andalannya.

     Waktu menunjukan pukul delapan pagi. Berkat kemurahan hati sang penulis, mereka diberikan fasilitas untuk mandi. Keempatnya kembali terlihat segar untuk mengawali hari.

      "Jadi, apa rencana kita untuk hari ini?" ucap Bu Mawar.

     Nely berpikir sejenak, "Aku gak mau lagi menerobos masuk kayak kemarin."

     Kazuki juga menambahkan, "Para monster kelas teri memang mudah dikalahkan, tapi masalahnya ada pada jumlah mereka yang tak habis-habis.

      "Uhmm…" Bu Mawar terlihat canggung, ia ingin mengutarakan sebuah ide, "Itu, kuda raksasa di sana gak bisa diajak berteman ya?"

     Semua orang diam sejenak, lalu melanjutkan diskusi tanpa mengacuhkan Bu Mawar. Kazuki menyarankan untuk membantu prajurit Alforea, membantai monster-monster kelas teri seraya sedikit demi sedikit merebut tiap teritori. Sementara itu Alayne lebih condong pada strategi untuk menghancurkan menara secara langsung.

      "Kudanya, begitu tersiksa…" ucap Bu Mawar lirih. Ia termenung memandangi sang kuda sembrani yang mengamuk tiada henti.

      "Ibu punya ide?" komentar Kazuki.

     Bu Mawar menoleh, "Aku ingin bertatap langsung pada sang kuda."

      "Haaa?" ucap semua orang menoleh.

      "Kuda itu pasti bisa diajak bicara."

     Kazuki masih terheran-heran, ia berulang kali mengerjapkan mata, "Ibu bisa bahasa kuda?"

      "Ya nggak atuh, kamu mah aya-aya wae," (kamu ada-ada aja)

     …
    
     Semua anggota tim akhirnya sepakat untuk melaksanakan misi 'membujuk kuda'. Nely seperti biasa akan memberikan tembakan perlindungan dari kejauhan— walau pelurunya tak berpengaruh banyak pada kulit keras sang Tamon Raah.

     Sementara itu Alayne dan Kazuki bertindak sebagai bodyguard seraya mengantar Bu Mawar ke medan pertempuran.

     -=Third Assault Begin=-

     Ketiganya berlari menghampiri sekumpulan prajurit Alforea. Mereka tampaknya kesulitan dalam menghadapi sesosok monster yang sedang membabi buta. Hantaman keras tercipta membahana, hingga menerbangkan pasir menutupi pandangan.

     Para prajurit itu gugur tak bersisa, dilumat dalam satu ayunan bertenaga. Bu Mawar, Kazu, dan Alayne mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan. Mereka begitu fokus pada bayangan besar di hadapan.

     Sebuah tentakel licin melesat cepat hendak menangkap. Sontak saja Alayne menghindar, sementara Kazuki mendorong tubuh Bu Mawar agar aman dari serangan.

      "Monster ini.." ucap Kazuki terpana. Ia terkesiap menatap seekor Gurita raksasa (di tengah gurun panas) dengan puluhan sulur melambai. Pikirannya sontak saja terbang liar melanglang buana, teringat puluhan film Hentai bertema tentacle rape, dengan perempuan sebagai korbannya.

      "Gyaaaaa!"

     Salah satu sulur tentakel itu berhasil menarik kaki Bu Mawar, menyeretnya keras dalam napsu liar untuk melilit.

     Kazuki berubah gundah, jantungnya berdengup kencang. Haruskah ia menolong Bu Mawar? Tapi jauh di lubuk hati paling dalam, ia begitu berharap untuk menyaksikan adegan yang tersirat di kepala.

     Akan tetapi, niat sang gurita untuk menistakan Bu Mawar gagal terlaksana. Alayne tak sudi melihat rekan sesama perempuan dilecehkan di hadapan mata. Gadis itu melesat melewati Kazuki yang terpana. Dengan sebilah pisau dapur ia menyabet sulur yang tengah menarik kaki Bu Mawar. Guru itu akhirnya lepas dari jeratan.

      "Gyaaaaa!" Kazu menjerit panik, sontak saja mengagetkan Alayne.

     Pemuda itu lengah, Nodachi di tangannya jatuh, sementara itu lengan dan kakinya dicengkeram erat hingga tertarik membuka. Detik berikutnya, beberapa sulur lainnya mulai melaksanakan tugas yang ada. Tiap lubang kecil di bawah tentakel menyedot kuat menciptakan vacuum, seraya menggerayangi tiap sudut pemuda itu dari berbagai sudut.

      "Gyaaaaaa! Ahahahahaha! …….. Geliiii..! Wakakakakakakak! ….. Toloooong! ………. Nyahahahahaha~" Pemuda itu terlihat merana, di satu sisi ia tertawa, di detik berikutnya ia meratap.

     Alayne tak melakukan apapun untuk menolong, ia hanya menatap dingin dengan wajah yang malas. Sementara itu Bu Mawar terlihat gelagapan seraya melindungi pandangan lewat jemari yang terbuka, bingung tak tahu bagaimana caranya menolong. Baju yang menutupi pemuda itu terlihat larut dicerna semacam cairan asam.

      [Our Hero Has Fallen]

     Terdengar notifikasi di headset masing-masing. Tubuh Kazuki pun berubah menjadi serpihan debu.

     Di detik itu barulah Alayne beraksi. Ia datang menghampiri, seraya menghindar luwes dari tiap ayunan tentakel. Tiap sulur datang berusaha mencengkeram, tapi pasti putus sedetik kemudian. Gadis itu terus melakukan hal yang sama; menghindar, menebas, menghindar, menebas. Hingga akhirnya gurita itu terpojok dengan mata berkaca-kaca. Semua sulur di tubuhnya sudah musnah, ia terpojok tak bisa lari.

      "Silakan mati dengan tenang wahai gurita cabul." Alayne mencabut pistol yang tersemat di paha, lalu tanpa ragu menembak berulangkali demi mengakhiri hidup sang gurita.

     Bu Mawar terduduk lesu, "Alayne, kenapa nggak nolong Kazu?"

     Alayne tak menoleh sedikitpun, "Dia tak melakukan apapun untuk menolongmu, jadi atas dasar apa saya harus menolong dia?" ucapnya setengah berbisik.

     Sebuah cahaya terang tercipta di atas bukit basecamp, tanda bahwa Kazuki telah kembali di-respawn.

      "Bangkeeee! Awas si Alay,  nanti gak bakal kutolong juga tuh anak," umpat pemuda itu kesal. Sambil mengerutu ia mengambil segelas teh sisa tadi pagi, lalu duduk santai seraya menyandar pada bebatuan.

      "Setan merah sialan… kenapa ada di sini?" ucap seseorang.

     Kazuki penasaran mendengar umpatan kecil itu. Ia kemudian bangkit dari tempatnya, lalu datang menghampiri sumber suara. Tak jauh darinya, terdapat Nely yang sedang menelungkup memeluk Gauss Rifle miliknya. Mata hijau gadis itu tengah mengintip kejauhan lewat scope rifle-nya.

      "Bangsat, tak akan kumaafkan.." bisik gadis itu pelan. Dia sepertinya tak sadar akan keberadaan kasuki di belakangnya.

      "Kamu kenapa Nel?" ucap Kazu, seraya menepuk pundak gadis itu untuk menenangkannya.

     Mendadak kemampuan pasif miliknya aktif tanpa diminta. Otaknya berputar liar memerima impuls syaraf dari apa yang sedang dipikirkan Sanelia. Membaca ingatan gadis itu yang sedang memikirkan ayahnya.

     Hyvit si setan merah, sosok mistis yang merenggut nyawa mendiang ayahnya. Sosok itu terlihat terbang di depan salah satu menara. Kazu mendapati sekelumit ingatan tentang Leon— ayahnya Nely yang dikutuk menjadi wujud boneka beruang. Boneka malang itu mati seketika, dilumat dalam satu sabetan.

     Kazuki kembali tersadar seketika itu juga, terhenyak menyaksikan luapan energi yang menyeruak keluar dari tubuh gadis itu. Samar terlihat gemerlap ratusan butir Kristal kecil melayang di sekelilingnya. Sementara di tanah tempat berpijak, terbentuk ukiran lingkaran sihir berpendar terang. Loncatan listrik terbentuk secara acak, tanda bahwa energi yang ada tengah diubah menjadi daya kejut elektromagnetik di senjatanya.

      [Maximum Power] Terdengar notifikasi kecil dari rifle di lengan Nely.

     Gadis itu melepaskan napas yang tenang, lalu menekan pelatuk seketika itu juga.

     Gedebum ledakan menyusul kemudian, datangnya dari daya entak yang luar biasa. Projektil Gauss Rifle terlihat melesat cepat membelah udara, melewati kecepatan suara, hingga menciptakan rentetan Sonic Boom di sepanjang lajurnya.

     Peluru itu menghantam telak sang Hyvit, memecah tubuhnya hingga menciptakan hujan darah. Namun tak sampai di sana, lontaran energi yang tersisa masih teramat kuat hingga sanggup menembus menara Kristal.

     Tanpa disangka, menara itu pecah sebagian, lalu ambruk ke sebelah kanan. Strukturnya terbuat dari Kristal murni. Jika satu hantaman kurang cukup bertenaga, energi yang ada akan gagal untuk menghancurkannya. Sebaliknya, apabila energi kinetik yang ditransfer begitu besar, maka Kristal itu akan hancur dan mengalami keruntuhan struktur dalam berskala besar.

     Layaknya jarum pada sebuah botol minuman, jika kurang keras, jarumnya terpental. Tapi jika jarumnya secepat cahaya, tentu saja botol itu akan langsung pecah.

      "Nely, kau hebat…" Kazuki seolah mendapat ide untuk memenangkan pertempuran ini, "Ayo tembak menara satunya lagi, sebelum menara yang barusan kembali utuh," ucap Kazuki menyemangati, ia memang tak memiliki teropong untuk melihat di kejauhan, tapi ia tahu bahwa menara yang ditembak Nely kini sedang beregenerasi dengan sendirinya.

     Nely menjawab permintaan itu dengan sebuah gelengan, "…Ada jeda sekitar tiga menit sebelum aku bisa menembak lagi," ucapnya  datar. Ia kemudian bangkit dari posisi telungkup, sejenak meregangkan tubuh lalu meremas-remas payudaranya sendiri.

     Kazuki tentu saja berubah salting melihat kelakuan Nely, "A-apa yang kau lakukan?"

     Nely hanya menoleh dengan wajah malas, kelopak matanya terlihat setengah terkatup, "Dadaku terasa kaku kalau terlalu lama dalam posisi telungkup," lanjutnya seraya lanjut memijat.

      "Bo— boleh aku melakukannya itu untukmu?" ucap Kazuki memberanikan diri, "Mu—, mungkin pijatanku lebih terasa."

     Nely sontak terdiam, raut wajah dinginnya perlahan berubah kemerahan, pandangan matanya matanya mulai terbelalak kaget, "E… eeeeh? Kamu jangan coba-coba grepe-grepe aku ya!" ucapnya panik, mengesot mundur seraya menyilangkan lengan melindungi dada.

     Kazuki juga ikutan panik, "Lah situ tadi ngapain atuh di depan aku kayak gitu?" tukasnya membela diri, "Aku kan laki-laki normal, kamunya aja mancing-mancing terus."

     Keduanya seolah mengeluarkan sifat aslinya.

     Sementara itu di medan pertempuran tempat Bu Mawar dan Alayne berada.

      "Kuharap rencanamu ini berhasil," ucap Alayne seraya melesat ke sana ke mari. Ia sibuk melindungi Bu Mawar. Misinya adalah membunuh musuh sebanyak mungkin, berharap agar Tamon Raah di kejauhan me-notice dirinya.

     Buaagh!

     Satu hantaman telak mengenai punggung Alayne, tingkat kewaspadaannya mulai menurun seiring dengan tubuhnya yang kelelahan. Lengah dalam sebuah pertempuran berarti sebuah kematian. Terbukti dengan banyaknya goblin yang mengerumuni dirinya, memukuli gadis itu penuh napsu seolah sedang menghakimi copet di pasar.

      "HENTIKAAAAN!!!!" teriak Bu Mawar Lantang.

     Entah kenapa, para monster itu mendadak diam mematung. Mereka menoleh, lalu berjalan menghampiri dalam gerak yang lamban.

     Bu Mawar tentu saja berubah gentar, kakinya bergerak mundur dengan keringat dingin mengucur. Jemarinya mengepal seraya menguatkan hati dan pikiran, "Ka— kalian ini jangan saling membunuh ya, berkelahi itu tidak baik, you understand?!"

     Tanpa diduga, ratusan monster itu mengangguk mengiayakan. Mereka kemudian berubah tenang seraya duduk mengelilingi sang pendidik. Padahal wanita itu tak menggunakan kekuatan fisik apapun, namun tiap ucapan yang keluar dari mulutnya seolah memiliki semacam kehendak absolut. Tak ada yang mampu menentangnya, termasuk ratusan prajurit Alforea di belakangnya. Mereka juga turut duduk bersimpuh.

     Nely dan Kazuki yang hendak menolong sontak melambatkan langkah, wajah mereka terperangah

      "Hey anjing, Bisa duduk gak?" ucap Bu Mawar agak menyentak.

      "Bu Mawar kok bahasanya kasar sih," komentar Kazuki.

     Bu Mawar menoleh, "Kasar?" ia membalikan tubuhnya seraya bergerak sedikit, membuka celah pada sosok yang barusan dibentak.

      "Oh Cerberus.." komentar Nely. Sadar bahwa di depan bu mawar memang seekor anjing jejadian.

     Sadar bahwa kini sedang memegang kontrol, Bu Mawar kemudian berubah menjadi mode guru. Ia memulai sesi ceramahnya, "Kalian tahu apa itu dosa?"

     Seisi 'umat' menggelengkan kepala, memberikan kesempatan bagi Bu Mawar untuk memulai sebuah topik.

      "Ini akan makan waktu lama.." ucap Kazuki jengah. Lengannya kemudian memasang Headphone di telinga untuk menyalakan lagi favorit. Ia duduk saling menyandar dengan Nely, sementara gadis itu sibuk membersihkan Gauss Rifle miliknya.

     Di lain pihak, tak ada yang sadar bahwa Alayne sedang kesusahan menarik napas. Ia yang tadinya terkapar, kini diduduki oleh salah satu Orc yang sedang khidmat mendengarkan ceramah. Lengannya terjulur keluar hendak meminta pertolongan.

      [Our Hero Has Fallen]
     Notifikasi kecil terdengar di headset semua orang, tapi tak ada yang begitu peduli akan hal itu.

     …

     Dua jam kemudian…

     Seiring dengan membludaknya jamaah, tempat itu berubah menjadi penuh sesak. Jalannya perang juga terhentikan secara total. Dan tentu saja, hal itu menarik perhatian sang Tamon Raah yang baru saja tiba di area perang, setelah sebelumnya ia menyibukkan diri untuk buang air besar.

     Para jemaah memang mendengarkan ajaran Mamah Mawar, tapi mereka tak bisa begitu saja mengabaikan keberadaan sang Kuda Sembrani, terlebih tingginya lima puluh meter di belakang sana. Sontak saja para jamaah kompak menggeser tempat duduk, memberikan jalan bagi sang Kuda untuk ikut mendengarkan.

     Nely, Kazuki, serta Alayne (yang baru saja Respawn) terperangah menahan napas, terlebih ketika kuda itu mendekatkan kepalanya pada Bu Mawar.

     Di lain pihak, Bu Mawar sendiri begitu tenang, ia sepertinya tahu apa yang hendak ia lakukan. Lengannya menjulur hendak menggapai sang Kuda, seraya tersenyum lembut, berniat mengusap-usap kulitnya. Semoga saja kontak pertama ini bisa menjadi awal dari kedamaian.

     Lengan Bu Mawar sukses menempel. Akan tetapi, detik berikutnya mulut itu terbuka lebar, melahap utuh tubuh Bu Mawar dalam sekali telan. Sosok berkerudung itu dikunyah begitu saja. Kejadiannya begitu cepat, semua orang bahkan masih terkesiap.

      [Our Hero Has Fallen]

     Tak ayal, para jemaah dibuat mengamuk oleh tingkah sang Kuda. Baik itu kumpulan monster, maupun prajurit Alforea, semuanya bersatu padu mengeluarkan amarah tak tertahankan. Tanpa komando, semuanya berubah anarkis, kekacauan pun terjadi dengan Tamon Raah sebagai target utama. Kuda itu harus bersiap menghadapi amuk  massa.

      "Hey, kesempatan!" ucap Kazuki.

     Anggota party pun mengerti, mereka kemudian bergegas menuju kastil di kejauhan. Tak ada halangan apapun menuju sana. Mereka yang semula musuh, kini telah berubah tak acuh. Efek dari Bu Mawar begitu terasa, para monster yang mati di medan perang, terlihat hidup kembali (Respawn) di depan kastil. Semula Alayne bersiap dengan pistolnya, namun makhluk-makhluk itu malah mengabaikan kemunculan Nely dan kawan-kawan. Rasa sayang terhadap Bu Mawar telah membutakan hati mereka.

     Gerbang kastil itu terbuka dengan sendirinya, menyambut kedatangan para hero. Nely yang berjalan paling depan, terlihat kesulitan mendorong pintu utama setinggi gedung empat lantai.

     Tiba di bagian dalam kastil, aula berukuran raksasa menyambut kedatangan mereka. Kastil itu sepi, tak terlihat seorang pun berada di sana. Yang ada hanyalah sebuah meja seukuran manusia, yang di bagian tengahnya terdapat tombol berwarna merah.

     Ketiganya berkumpul, berunding seraya bertopang dagu. Mencoba menganalisa tombol merah itu.

      "Pasti jebakan," ucap Kazuki.

     Alayne tak berkomentar, sementara itu Nely tanpa ragu memencet tombol itu. Rasa penasaran pada dirinya telah mengalahkan insting untuk bertahan hidup.

     Lantai tempat mereka berpijak terbuka secara tiba-tiba, tiga orang itu sontak saja jatuh ke lubang gelap nun jauh di bawah.

     "Gue bilang juga jebakaan!" umpat Kazuki kesal.

     Ketiganya jatuh dengan indah, Kazuki terjerembab lebih dahulu dengan posisi terlentang. Di atasnya, muncul Alayne yang tak bisa mengontrol gerak jatuh. Pemuda itu sontak saja menjerit seraya memejamkan mata.

     Kazuki mendadak tak bisa bernapas, dibekap celana dalam celana dalam gadis bermata merah. Wajahnya terbenam seutuhnya, diapit oleh kedua paha gadis itu.

     Alayne jatuh tepat menimpa kepala Kazu. Gadis itu terbelalak dengan mata terbuka lebar, buru-buru ia berusaha untuk bangkit, namun dihalau oleh gerak tangan Kazuki yang gelagapan. Dikuasai panik, lengan pemuda itu bergerak liar berusaha menjauhkan. Hingga akhirnya, gerakannya terhenti setelah merasakan sensasi lembut memenuhi telapak tangan. Waktu seakan melambat dengan sendirinya. Dalam jeda yang singkat itu, ia tersadar bahwa ia malah menggenggam dua buah dada milik gadis bermata merah.

      "Anj***…" umpat Kazuki pasrah, sadar bahwa ia telah melakukan kesalahan fatal.

     Detik berikutnya, muncul Nely yang juga hendak menimpa dirinya. Gadis itu sanggup mengontrol posisi jatuh, kakinya ia posisikan di bawah hendak menjejak tanah.

     Namun nahas, bukan tanah yang ia injak, melainkan selangkangan Kazuki tepat di bagian tengah.

      "!@(#$&*!@()*..!!!!!"

     …


     Beberapa jam kemudian…

      "Ini di mana?" ucap Nely kebingungan.

     Alayne menatap apapun yang ada di sekitar, hanya ada bebatuan disertai bunyi gemercik air yang entah dari mana.

      "Dungeon.." ucap Kazuki lirih. Ia terlihat babak belur penuh luka, untuk berjalan pun ia agak kesusahan.

     Tempat itu gelap, tak ada sumber penerangan apapun di sana. Nely bisa melihat lebih baik karena kontur matanya mirip seperti kucing, cahaya yang masuk dibalikkan kembali dua kali ke bagian sensor mata. Aliran Manna dalam tubuhnya juga bersirkulasi melewati retina-nya. Alhasil, mata hijaunya malah terlihat bercahaya dalam kegelapan malam.

     Begitu pula dengan Alayne, retina merahnya juga berpendar lembut dalam kegelapan. Meski tak memiliki fungsi spesial seperti Nely, namun gabungan dua gadis itu telah sukses menciptakan semacam lampu penerangan. Setidaknya mereka bisa menghindar andai ada kerikil di hadapan.

     Jauh di penghujung lorong gelap, terdapat sebuah pintu bercahaya. Setelah beberapa waktu berjalan, mereka tiba di sana.

      "Lift?" ucap Nely kebingungan.

     Alayne terdiam sejenak, lalu berucap menjelaskan, "Ini Authornya pengen nulis lebih soal battle di dalam dungeon kastil. Tapi karena dibatasi sepuluh ribu kata, jadinya bagian ini di-skip. Sebagai gantinya, kita diberi jalan pintas untuk menuju ke atas."

     Kazuki dan Nely bingung untuk menanggapinya, "Yah, yang penting kita baik-baik saja."

     Suasana tenang itu dipaksa harus berakhir, lorong gelap tempat mereka berada lambat laun bergetar dengan sendirinya. Derap langkah kaki terdengar datang menghampiri dari ujung sana. Jumlahnya ada banyak, terbukti dari riuhnya suasana.

      "Oke, kita harus pergi saat ini juga…" ucap Kazuki panik. Ia masuk terlebih dahulu, diikuti oleh Nely dan Alayne.

      [pip pip pip pip]

     Alarm merah berbunyi nyaring. Di bagian atas pintu masuk lift terdapat tulisan "Overweight" menyala warna merah.

      "Oh ayolah," gerutu Kazuki, "Siapa sih di sini yang kebanyakan makan? Liftnya kepenuhan nih."

     Nely dan Alayne menatap sinis satu-satunya pria di sana. Sementara itu rombongan zombie dengan tubuh berdarah-darah terlihat mulai mendekat. Jumlah mereka ada banyak, bahkan memenuhi seisi lorong yang ada. Tak ada kesempatan untuk menerobos balik ke sana.

     Kazuki kehabisan kata-kata, dua perempuan di hadapannya terlihat menyilangkan tangan dengan pandangan mata penuh nista.

      "Tolonglah.." ucap Kazu memelas. Sadar bahwa dirinya hendak diumpankan.

     Tak ada jawaban. Jika dia tetap di dalam lift, maka ketiganya akan mati dimangsa oleh para Zombie.

     Pundaknya berubah lesu, dengan langkah gontai ia berjalan mundur dari dalam lift, "Oke deh, pai pai…" ucapnya tak bertenaga, seraya melambaikan tangan.

     Pintu lift itu tertutup. Hanya berbentuk rangkaian besi yang menyilang. Kazu masih bisa melihat raut wajah dua gadis itu yang berubah senang, "Terima kasih Kazu, kamu memang pengertian," ucap Nely senang. Sementara itu di belakangnya terlihat Alayne tengah berusaha untuk mengukir senyum. Bibirnya hanya tertarik sebelah, hingga membuatnya terlihat seperti sedang tersenyum jahat penuh kepuasan.

     Liftnya perlahan naik, meninggalkan Kazuki yang tengah tersenyum penuh haru. Di belakangnya muncul para Zombie yang baru saja tiba. Pria itu didorong dengan keras oleh kerumunan, lalu ditarik masuk seraya mendapat gigitan di sana sini.

      "Gyaaaaa~!!!"

      [Our Hero Has Fallen]

     Suara notifikasi lagi-lagi terdengar di headset kecil.

     …
    
     ..

     Cahaya terang datang menyambut, seiring dengan naiknya lift menuju permukaan paling tinggi dari kastil.

     Pintu itu terbuka. Nely dan Alayne berjalan pelan seraya memeriksa sekeliling. Mereka tiba di bagian balkon paling tinggi. Dari sana mereka bisa melihat seisi medan pertempuran.

      "Selamat datang…" ucap seseorang, sontak saja membuat keduanya bersiaga.

     Nely menurunkan kembali moncong senjatanya, ia hanya mengangguk pelan setelah mendapati senyum kecil mengembang di lawan bicaranya.

      "Kau…" ucap Alayne penuh curiga. Berbeda dengan Nely, Alayne paham betul siapa orang yang ada di hadapannya. Seorang wanita berambut panjang, sifatnya agak centil dengan wajah selalu tersenyum nakal. Ruu sang panitia.

      "Sebentar dulu ya," ucapnya menyela. Ia membalikan badanya menatap jauh ke depan, dua lengannya tengah sibuk mengendalikan sebuah remote control, "Yak, wah Bu Mawar hebat juga ya.."

     Nely penasaran, ia mengintip apa yang sedang diperbuat. Sosok centil itu tengah asyik mengendalikan kuda raksasa lewat sebuah remote control. Sementara di kejauhan, ada Bu Mawar yang terlihat gagah memimpin jalannya peperangan. Guru berkerudung itu sukses menyatukan dua kubu yang bertikai. Ia tengah duduk menunggangi naga raksasa bernama Behemoth, terbang bebas melakukan pertarungan dogfight melawan Tamon Raah sang kuda terbang.

     Bu Mawar dengan bahamut-nya, terbang meliuk-liuk lincah berkelit dari kejaran sang kuda sembrani. Berbagai semburan api dari mulut kuda itu berhasil ia hindari. Sementara itu pasukannya di bawah sana, sibuk menembakkan berbagai projektil berusaha melukai.

     Ruu terlihat begitu berkonsentrasi, keringat dingin menetes jatuh dari keningnya.

     …

     Di tempat Bu Mawar…

      "Kazuu!" teriak Bu Mawar, ia terbang cepat seraya menurunkan ketinggian. Guru itu berhasil menemukan keberadaan Kazuki yang baru saja Respawn di atas bukit dekat tenda. Lengannya terjulur berusaha menggapai, yang tentu saja ditangkap oleh pemuda berkacamata.

     Mereka bedua duduk di atas naga Bahamut. Bu Mawar memegang erat kekang, sementara Kazuki tengah dibonceng—duduk menyamping—sebagai penumpang.

      "Ini judulnya Battle of Realms, atau How To Train Your Dragons sih…" komentar Kazuki dalam hati. Pemuda itu berulang kali nyaris terjatuh tiap kali Bu Mawar memiringkan Naga, berkelit, lalu melakukan gerakan Loop di udara.

      "Kazu, kamu pernah bilang punya kemampuan Auto Focus untuk mengalihkan pikiran musuh?" ucap Bu Mawar seraya mengeraskan suara. Di tengah kecepatan yang ada, suara yang terdengar di telinga hanyalah berisiknya angin saja.

     Kazuki menggeleng, "Aku gak pernah bilang. Tapi karena Ibu sudah tahu, mungkin pengarangnya lupa ngasih keterangan."

      "Yasudah, kamu bisa mengalihkan perhatian Tamon Rah kan ya?"

     Kazuki mengangguk.

      "Kalau begitu pegangan, kita akan meluncur tepat menuju menara. Nanti pas ibu membelok, kamu buat si kuda itu tetap terfokus pada menara."

      "Siap bu."

     Di kastil kejauhan..

     Alayne paham apa yang hendak Bu Mawar lakukan, ia berbisik pelan memerintahkan Nely untuk bersiap menembak menara satunya lagi. Gadis itu tak banyak bertanya, ia menempatkan badan Rifle-nya pada pagar balkon. Bersiap melakukan charging maksimum demi meningkatkan daya rusak tembakannya.

     Kembali ke Bu Mawar sang penunggang Naga…

      "Sekarang!" seru Bu Mawar. Wanita itu menarik kekang tali ke sebelah kanan, membuat naga tunggangannya berbelok tajam nyaris mengenai menara.

     Kazuki memusatkan pikirannya, menciptakan semacam cahaya kecil di salah satu permukaan menara. Tamon Rah di belakangnya teralihkan pada cahaya itu, hingga akhirnya terlambat untuk berbelok. Tubuhnya yang berukuran besar, tentu memiliki bobot yang luar biasa berat. Dia tak bisa berbelok selihai naga Bu Mawar. Alhasil tubuh gempalnya itu sukses menabrak menara hingga hancur berkeping-keping.

      "Sekarang!" seru Alayne.

     Nely sontak menekan pelatuk, melepaskan tembakan terkuat. Daya tolak balik senapannya begitu kuat hingga gadis itu terdorong mundur terjerembab.

     Hantaman peluru Gauss Rifle begitu kuat, hingga struktur Kristal bagian bawah menara pecah berkeping-keping. Dua menara sukses dihancurkan pada saat bersamaan.

     Ruu dibuat terkejut, ia terkesiap dengan wajah kosong. Gadis itu menjatuhkan diri pada kursi empuk di belakangnya, "Yaah, kalah.."

Di kejauhan, muncul pusaran raksasa berwarna hitam di angkasa. Menyedot kuat sang Tamon Rah, beserta ratusan prajurit dan monster di bawahnya. Tak lupa naga bahamut dengan Bu Mawar dan Kazuki sebagai penunggangnya. Mereka berdua ikut tersedot seraya menjerit panik.

      [Our Hero Has Fallen]

      [Our Hero Has Fallen]

     Dual notifikasi menandakan Kazu dan Bu Mawar telah gugur ditelan lubang hitam.

     Ruu yang semula jengah kini kembali berubah ceria, "Oke, selamat karena telah selesai menuntaskan tantangan," ucapnya riang. Ia mengangkat lengan seraya menjentrikan jari. Di samping Nely dan Alayne perlahan terbentuk sebuah berkas cahaya. Dari dalamnya muncul Kazuki dan Bu Mawar dengan wajah bertanya-tanya.

      "Bu Mawar, murid-muridmu mungkin saja ada di sini."

     Bu Mawar sontak saja terkejut, "A- apa yang.."

      "Kazu, kamu bisa mendapat kehidupan yang lebih layak di tempat ini."

     Pemuda itu mengangguk pelan.

      "Alayne, kau mungkin saja bisa mendapatkan kesempatan kedua."

     Tak ada respon dari gadis itu.

      "Lalu Nely…" ucap Ruu seraya menatap dalam, "Aku kenal dengan Leon ayahmu…"

     Raut wajah Sanelia berubah total, matanya terbelalak dengan mulut terbuka lebar. Belum sempat ia bertanya lebih lanjut, cahaya terang datang menyergap. Melumat segala sesuatu, menarik kesadaran dirinya hingga jatuh terlelap.




     Preliminary Round— end.

24 comments:

  1. Yup, kelihatan memang seperti semacam game, di mana bila ada hero yang mati bisa di-"respawn" baru maju lagi. Atau bisa juga semacam pengulangan realita virtual tapi belum sampai semacam film "The Edge of Tomorrow" (Tom Cruise). Coba kalau settingnya lebih "realistis", nggak bisa respawn sepanjang misi kecuali misi selesai, atau lebih keren lagi mereka blm tahu kalau bisa respawn, mungkin bakal lebih menantang.

    Dan saya salut pada intrepretasi struktur towernya yang memang nggak terlalu mudah dihancurkan dan harus ditabraki naga-naga dulu. Opening Sanelia membuat saya jadi simpati sekaligus ngeri (sebagai author).

    Jadi setelah mempertimbangkan plus-minusnya, nilai akhir dari saya itu: 8/10.
    OC: Raditya Damian (Vajra)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Baca2 komentar yang ada, ternyata lebih memorable sama openingnya dari pada isi cerita keseluruhannya.
      T_T

      Iya, tadinya mau bikin kayak Edge of Tomorrow, dimana party selalu mengalami reset days tiap kali waktu menunjukan pukul 12 malam. Tapi akhirnya dirubah karena idenya kurang ori~ :p

      Makasih udah mampir~ ♫

      Delete
  2. epidemic >> epidemik
    gemeltruk >> gemerutuk
    glich >> glitch

    Ini brutal amat awalannya. Tega ya sama anak sendiri.

    Entah kenapa bu Mawar rasanya terlalu ibu" di sini. Ya, dia guru dan janda, tapi entah kenapa berasa kayak umurnya udah 30an akhir alih" baru 27 tahun

    Ini kok Alayne breaking 4th wallnya rada kurang pas ya. Berasa cuma sekedar lalu. Terus yah, karena ini tulisan cerita, rasanya agak misplaced naro emoticon di tengah" narasi

    Dan perasaan saya aja, atau emang Kazuki tipe malu" mesum gini? Kirain saya dia tipe jaim yang ansos.. Keliatan lebih ekspresif di sini

    Kayak yang sempet saya bilang, ada dua poin yang bikin saya ga nyangka bakal muncul di entri ini. Yang pertama adalah ketiadaan time limit yang bikin misi prelim ini keilangan urgensi bukan cuma karena fitur respawn, tapi juga ngerjainnya sampe berhari". Sementara yang kedua lumayan ngingetin saya sama seteru abadi saya zaman dulu (penuliswarawiri), yang kayanya seneng banget nyambung"in canon lintas turnamen, dan sekarang ternyata Nely pun dibikin ada hubungannya sama turnamen terdahulu ya

    Sebenernya saya ga mau ngeluhin hal teknis, tapi entah kenapa guyonannya masih kurang luwes dan masuk buat saya. Akhirnya dari saya 7

    [OC : Dyna Might]

    ReplyDelete
    Replies
    1. Nely di literatur saya anggap entitas berbeda dengan Nely IRL, begitupula dengan Fia di BoR HxH... meski saya ambil deksripsi dia full copy dari IRL, saya tetap menganggap mereka dua entitas yang berbeda.
      (sampe di-shipping sama Limbo Segala)

      Ouch, mecahin tembok ke empatnya gagal, kurang mulus ya..
      T_T

      Kazu saya buat OOC abis bang, tapi atas seijin pemiliknya sih
      :)))

      Seharusnya dibikin ada time limit ya, biar ada semacam pressure dari segi tim sendiri.

      Saya coba-coba meng'Nely-sentris'kan itu karena kebabawa sama Geiger
      XD

      ng... boleh minta ditunjukin gak bagian2 guyonan yang garingnya? buat pembelajaran kedepannya buat gak nginjek kesalahan yang sama dua kali.

      Last but not least... makasih udah mampir. :D

      Delete
  3. Hello...
    beneran ya bang Ichi..Kazuki dibully habis disini...

    re-spawn berulang-ulang hahahahha
    malah dia kayak mantan bintang JAV gitu. meski dia emang tertarik sama apa yang dibalik rok mininya Nely.. #plak

    Btw.. saya ga nyangka kalau misinya ga selesai satu malam.. Hahaha.
    Tapi di saya, saya buat semalam aja sih
    Ga mau lama2 kelaparan di tengah gurun sama Ying Go dan Nely hwhwhwhw

    Timing di saya terbilang cepet, dan brutal dan naganya ga ngebantu sama sekali //malahcurhat //diusir


    Oke, buat lawakan kesannya agak maksa, gimana ya? Lawakannya kaku... IMO

    Titip 7 ya bang..

    Regards,
    saya

    (Ini Kazuki)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iyah, kan saya udah minta ijin dulu.
      XD

      Kazu lulus casting jadi bintang JAV semenjak kena tentakel Rape :v

      Karena seperti yang Alayne bilang, "Apapun yang gak tertulis di peraturan berarti boleh dilakukan."
      :p

      Kalo tim di sini gak perlu takut kelaparan, karena ada Bu Mawar :)))

      He'euh, saya harus banyak belajar lagi soal bikin guyonan
      orz

      Makasih Dee, maksud saya.. Kazu~~

      Delete
    2. "Aku belum pernah di rape"

      Delete
  4. Ada beberapa bagian yang bikin aye ngakak sampe keluar air mata kaya di bagian ngeteh bersama pas maid ketembak xD. Dan ada jg yg bkin saya "meh" mskipun itu joke..

    Battlenya jg kurang greget, selain pas ending. Terus itu tamon ruu yg ngendaliin mereka semua, wogh. Plot twist greget xD.

    Satu lagi, kasihan kazuki (terlepas dari betapa mengerikannya prolog cerita ini).

    Nilai : 7

    ReplyDelete
    Replies
    1. Dari awal saya emang gak berniat buat bikin action bak bik buk...

      pengen nulis entry full guyonan, tapi kayaknya malah banyak yang gaje yak, alias gayus bin garing, wkwkwkwkwk

      Kazu emang udah diijinin sama author aslinya buat saya bully :v

      Ruu penuh kejutan :p

      Delete
  5. Lupa..
    -Khanza M. Swartika-

    ReplyDelete
  6. Astaga, apa-apaan entry ini. :^)

    Banyak banget joke yang ditembakkan di sepanjang entry. Banyak yang kena (untuk saya di bagian yang ngait-ngaitin dengan referensi game) tapi banyak juga yang miss (terutama di bagian Alayne yang ngeledekin penulis mulu. Tapi overall joke-jokenya menghibur banget.

    Alur ceritanya kerasa banget diputer for the sake of jokes. :^)
    Bisa-bisanya pertarungan makan waktu berhari-hari, tapi klo ga gitu mana keluar joke respawn dan Our Hero Has Fallennya, lol. Dan yang masuk dungeon apalah itu, masuk dungeon hanya untuk keluar lagi. :'^)

    Padahal di bagian openingnya serius banget loh, aku ama sekali ga nyangka kalo kelanjutannya jadi somplak begini. :^)
    Dan semua karakter dinodai tanpa pandang bulu, benar-benar author yang sangat kejam. :')) Seandainya Tamon Ruu juga kena penistaan dah komplit banget dah.

    Hehe, jadi ngomongin tentang jokenya terus... :^)
    Kalau dari segi pertarungan dan narasi mah uda oke si, memang intinya jokenya yang harus lebih diamplas, hahaha.

    Nilai : 8

    OC aye : Zhaahir

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iyah, saya coba "empty the clip" buat bagian guyonan, tapi kebanyakan miss fire sih.. :'D

      Mecahin dinding ke empatnya masih belum luwes :'(

      kan udah dijelasin sama Alayne, ini Author sebenarnya pengen nulis battle lagi, tapi apa daya udah nyampe ke 9.5k words sih, jadinya di-skip saja :^)

      Saya gak pede sama tulisan model serius, takutnya malah jadi ngebosenin :p
      Mbak Mawar nggak saya nodai kok, cuma kena bully aja :'V

      iyah, saya masih harus belajar banyak soal cara nembakin guyonan yang bagus :'>

      makasih dah mampir mz CLD~ :'D

      Delete
  7. Stylemu dalam memaparkan tuh lovely bgt. Aye demen bgt openingnya... Laluuuuu... Ini feelnya game syeukaliiiiii...

    Terus ini Entry sukses bikin aye ngakak2... Jokenya disebar dengan indah :v

    Nilai dari Aye
    9/10

    OC: Bun the Bubble

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hanya dota player yang ngeh' sama guyonan "Our Hero Has Fallen"
      :v

      Senang rasanya ada yang bisa ngakak sama guyonan yang garing-garing :'>

      makasih buat nilainya Akii~
      XD

      Delete
  8. Stylemu dalam memaparkan tuh lovely bgt. Aye demen bgt openingnya... Laluuuuu... Ini feelnya game syeukaliiiiii...

    Terus ini Entry sukses bikin aye ngakak2... Jokenya disebar dengan indah :v

    Nilai dari Aye
    9/10

    OC: Bun the Bubble

    ReplyDelete
  9. "Cukup menghibur untuk dibaca, meski ada juga penjelasan detil macam menara yang tidak bisa didekati begitu saja tanpa dihujani proyektil yang dihilangkan. Di awal saya merasa proporsi Nely malah kurang. Di tengah dia berusaha dimasukkan. Di akhir saya merasakan 4th wall breaker-nya sedikit kebanyakan. Tapi dengan cara begini mungkin akan lebih baik, karena biasanya yang konyol bakal laku keras dan disukai banyak orang.

    Nilai akhir 7."

    From Geiger

    ReplyDelete
    Replies
    1. Saya mencoba buat keluar dari stereotype yang dikeluhkan pembaca (Pengenalan-cari tim-berantem bak bik buk-ending)
      Tapi kayaknya malah jadi misleading yah... :^)

      Ng... ngancurin dinding ke empat juga kalo kebanyakan jadi bikin jengah ya?

      Semoga aja laku keras :'>

      makasih buat nilainya om Geiger~

      Delete
  10. Entry guyonan ya? Lumayan sih, walau banyak yang missed. Entah itu karena memang situasinya yang tidak pas, atau memang joke yang keluar tidak kurang sesuai dengan dengan karakternya.

    Saya cukup menikmati bacanya, walau fanservice yang melibatkan tentakel dan Alayne-Kazu bikin saya menghela napas...

    Nilai 7

    Zoelkarnaen
    (OC: Caitlin Alsace).

    ReplyDelete
    Replies
    1. menghela napas kenapa bang?
      O.o

      wkwkwkwk iya nih pada garing, saya akan coba lebih berhati-hati di entry selanjutnya (kalo lulus) :v

      Delete
  11. "Fire all the jokes" itu jatuhnya kayak gambling, ada kemungkinan masuk, ada kemungkinan nggak.

    Untungnya ada yang masuk ke saya :x

    jk jk, walau sebenarnya menghibur, tapi kadang eksekusinya gak pas, entah itu di timing, line yang dibuat, atau siapa yang bilang hal tersebut.

    Tapi terlepas dari hal tersebut, battlenya cukup apik dan porsi karakternya lumayan pas. Dan bu mawar di sini keibuan sekali hhe

    7/10 dari saya

    Salam hangat dari Enryuumaru/Zarid Al-Farabi

    ReplyDelete
    Replies
    1. makasih udah mampir,

      iya nih saya terlalu napsu pengen bikin komedi, jadi jatohnya malah garing dan terasa dipaksakan Q_Q

      Delete
  12. Ini lawakannya garing banget, ya ampuuuuuun >.<
    Dan kenapa aku jadi ngawur abis di sini, ya Allah! Berasa jadi guru yang blo'on~

    Yasudlah, untuk komen lengkapnya, kukasih ke Om Hewan aja. Silakan~

    ReplyDelete
    Replies
    1. Seperti yang sudah dirimu sadari, permainan pemecahan tembok keempatnya beneran kurang mulus. Terlalu frontal hingga malah bikin "meh". Mungkin saran saya coba permainannya secara bertahap, jangan ujug-ujug ada karakter yang sadar kamera dan sadar pengarang. Coba mulai dengan mereka merasa aneh sedikit demi sedikit.

      Secara plot, sesungguhnya ini sudah bagus. Banyak yang tak tertebak. Bahkan sesungguhnya tanpa perlu komedi breaking 4th wall yang dipaksakan pun cerita ini sudah cukup menghibur dengan kejutan-kejutannya itu.

      Bagaimanapun, nuansa serius di battle dan komedinya tampak jomplang, seperti di satu sisi ekstrem serius, di sisi lain kebanting dengan lelucon. Kalau saran saya sih, justru kalau memang ingin komedi ya buatlah yang tidak tanggung-tanggung komedinya. Semestinya di adegan serius pun ada lucu/menghiburnya! (dan saya belajar tentang hal ini dari Bang Ichsan sendiri, lho~ KOMEDI JANGAN NANGGUNG!)

      Satu hal lain yang saya temukan. Kalau memang Bang Icshan ingin menggarap cerita komedi, tampaknya karakter Nely terlalu pasif sebagai tokoh utama. Bukan hanya dari banyolan yang jarang dia lontarkan, tetapi dari peran di battle kali ini juga sepertinya tampak tak begitu memukau. Kalau disimpulkan, Nely ini tidak semenarik Leon! Harus dipermak lagi karakterisasinya agar bisa bersinar! Mana di tengah cerita dia dihilangkan emosinya sama Alayne, dari yang tadinya blank, jadi makin blank.

      Ayolah, dirimu bisa membuat (komedi) yang lebih cool daripada ini (y)

      Selain komedinya, entri ini sudah menghibur dan bagus.

      Nilai 7 +1 (karena sudah membuat potensi Bu Mawar setidaknya muncul di cerita ini)

      TOTAL 8

      Delete
    2. oh, halo Bu Mawar. Makasih udah menyempatkan diri mampir di sini, minum teh bareng yuk?
      ;)


      @bang Hewan : uhuhuhu~ iya nih.
      Saya salah milih Nely dengan karakterisasi dia yang kayak gitu, mungkin ke depannya coba nulis tema-tema gelap aja. Abisnya emang sulit banget exploit guyonan dari sifatnya yang diem gitu. Entri ini aja terlalu banyak mengandalkan Kazu buat ngebikin lawakan.

      Skill nulis saya karatan yaaa... seingat saya terakhir nulis aja TWH bulan februari..
      ._.


      Makasih buat motivasinya bang Hewan, kalo lolos saya akan coba berkarya lebih baik lagi. Mungkin bakalan ninggalin style penuh guyonan kayak 4L. Nely gak sekonyol Leon soalnya.


      makasih udah mampir :D

      Delete