16.5.15

[PRELIMINARY] VERONICA TISELINA - DA' AKU MAH APA

VERONICA TISELINA - DA' AKU MAH APA
Penulis: Ca




Mungkin Veronica sedang bermimpi. Iya, ini pasti mimpi karena tiba-tiba saja dirinya berubah menjadi umbrella girl lengkap dengan baju spandex yang membuatnya tak lekang menutupi bagian tubuh yang terekspos dengan berjongkok. Tapi tunggu… tunggu. Setelah beberapa saat, Veronica berdiri dan merasa nyaman dengan pakaiannya. Terlebih, spandex tersebut longgar. Ah, apa deh, penting sekali di saat seperti ini Veronica memikirkan spandex-nya. Lebih baik ia mencoba bernapas karena…
“Heeeeeeh!”

Dirinya berada di tempat yang aneh.

“Heeeeeeeeeeeeeh!!”

Dengan orang-orang yang tidak dikenal.

“Heeeeeeeeeeeeeeeeeh!!!”

Dengan penjelasan yang…

“Ma-maaf,” satu tangan teracung sementara tubuh sedikit membungkuk. “Bi-bisa diulang tadi penjelasannya apa?”

Tapi tidak ada pengulangan. Seorang maid yang memberikan penjelasan mengenai apa, siapa, dan mengapa mereka—Veronica dan beberapa orang lainnya—ada di sini kemudian menghilang. Kata-kata terakhir semacam ‘Kalian sudah mengerti, kan? Bye!’ menjadi bekal Veronica bersama dengan tiga orang. Ya, itulah. Selain dirinya, ada tiga orang di sini yang sesungguhnya asing. 


Bisa Veronica jelaskan satu persatu dari ketiga orang lainnya, mereka adalah rekan satu kelompok yang pembentukan kelompoknya sendiri berlangsung dengan sangat cepat. Di kala semua orang sibuk memperkenalkan diri bahkan sampai melampirkan CV, kelompok sederhana ini hanya menangkat tangan, lalu saling ber, ‘Yo!’, ‘Kalian sini sekelompok!’ ‘Aku ikut!’ dan… begitulah. Tidak ada hal berlebihan. Pertemuan pertama memang selalu sederhana. Entah bagaimana nantinya.

Jadi untuk lebih mendalami anggota kelompok lainnya, biar Veronica perkenalkan satu persatu. Pertama adalah seorang lelaki bertopeng yang terbilang—maaf—pendek. Walau begitu lelaki ini cukup baik dan ramah karena menawarkan diri untuk memberi penjelasan ulang pada Veronica. “Tidak apa Nona, nanti biar aku yang membantumu mengerti,” lelaki itu tersenyum, dan kelopak mawar bagai bertebaran di belakangnya. Na’ah, itu hanya khayalan Veronica saja. “Dhany Islaviore. Panggil Dhany juga boleh.”

“Baiklah Tuan Dani… terima kasih.” Veronica membungkuk-bungkuk, merasa bahwa ia akan mendapatkan teman yang baik selama perjalanan mimpinya kali ini.

Namun hal tersebut tidak terjadi pada orang kedua. Seorang perempuan jangkung yang… boleh dibilang seksi. Iya, seksi banget. Sampai-sampai Veronica berpikir bahwa perempuan ini mungkin salah satu sales promotion girl yang dipakai oleh perusahaan ponsel Samsong untuk menjajakan produk terbaru mereka; Galausih S6 bulan depan. Maklum, Veronica bekerja di konter ponsel. Perempuan itu tidak memperkenalkan diri seperti yang lain walau dari senyumannya terlihat bahwa ia orang yang cukup ramah. Entahlah, Veronica sendiri tidak berani menatap terlalu lama karena… gitu deh, kalau lihat perempuan cantik, dirinya jadi mudah insecure. 

“Hoho! Jangan takut, Nona!”

Dan orang ketiga adalah… seorang pria bertubuh besar. Saking besarnya, Veronica sampai harus mendongak untuk melihat rambut merah pria tersebut sambil bertepuk tangan ringan. Beruang. Beruang—YA TENTU SAJA BUKAN! Maaf, benaknya sedang dalam masa krisis akibat kepanikan. “Ah iya, Tuan. Saya tidak takut. Saya hanya merasa canggung saja.”

Pria bertubuh besar nan kekar itu lalu menyunggingkan senyum penuh percaya diri, lalu menepuk dadanya dengan satu tangan—tangan kanan karena tangan kirinya tidak berbentuk tangan. “Rager Bangins! Kalau kau tahu Big Bang Theory, itulah aku!”

“Hmp…” sayang, ucapan penuh percaya diri dari Tuan Rager malah terasa seperti olokan di mata perempuan jangkung satunya. “Kau terlalu percaya diri, Bangins. Dengar apa yang dikatakan oleh si pelayan? Dalam menjalankan misi ini, kita akan mati. Kita dalam bahaya.”

“Eeeeh?!” Veronica terkejut. “Ma-ma-ma-ma-ma-mati…” lalu kakinya terasa meleleh di tempat. “Memangnya kenapa kita mati? Kenapa kita—“

Sungguh bukan penyimak yang baik. Bahkan ketika si pemandu yang berdiri di atas bangunan serupa podium telah memberikan instruksi bahwa misi telah dimulai, Veronica masih belum mengerti. Maklum, ia tadi melamun. Hingga…

WHUUUUUUSH!

Pertanyaannya tertahan sejenak karena embusan angin kemudian mengantarkan mereka ke tempat yang berbeda. Oh, oh… sepertinya Veronica memang telah melewati kisah pengantar dari perjalanan panjang ini. Ia sama sekali tidak ingat dengan apa yang dikatakan Maid yang menjelaskan ini dan itu. Veronica hanya ingat tiba-tiba saja ia memakai spandex dan ada headphone aneh di kepalanya. Satu lagi, Veronica hanya memiliki N3BIO di tangannya. Tapi, tapi apa yang bisa ia lakukan dengan perangkat tua satu itu?

Keringat menetes dari pelipisnya. Dan pada kerjapan mata yang kedua, tempat ini berubah menjadi…

“Heeeeeeeeeeeeeeeh!!”

Sekali lagi Veronica terkejut.

“Ke-ke-ke-ke-kenapa kita bi-bi-bisa ada di pa-padang… pa… sir….”

Kepalanya menoleh ke kanan dan kiri. Matanya mengerjap lagi, mendapati bahwa orang-orang yang semula berada bersamanya berdiri dengan tegak menatap lurus ke depan. Tuan Dani, Tuan Rager, dan Nona Anonim—Veronica belum tahu namanya sampai di situ. Wajah mereka sangat serius, berbeda dengan Veronica yang masih panik mengetahui dirinya berada di tempat asing. Ya, tempat yang terlalu asing untuk didatangi, walau semua ini mungkin hanya mimpi. Atau… ternyata semua ini bukan mimpi?

Perlahan Veronica menolehkan kepalanya ke arah depan. Benaknya terkesiap, melihat apa yang terjadi dalam jarak yang tak terlalu jauh. Pertarungan. Begitulah pemandangan yang ada di dalam penglihatannya saat ini. Ada ratusan, atau bahkan ribuan makhluk yang menjadi satu dalam kumparan kabut tipis. Mata-mata mereka terlihat kelaparan dengan liur yang menetes dan senjata di tangan. Para monster dan manusia yang saling beradu. Sampai di situ Veronica berusaha tetap berdiri tegak walau sesungguhnya ia takut. Sungguh, Veronica sangat takut. Mimpi ini terlalu nyata untuk bisa merasakan panas menyengat dari suhu di padang pasir, bahkan walau malam hari.

Oke benar, saat itu malam hari. Penglihatan sangat terbatas.

“Ja-jadi apakah kita akan…”

… menghabisi mereka semua?

Veronica menoleh pada kawan-kawannya—ya, boleh kan kalau sekarang ia menganggap tiga orang yang datang bersamanya di tempat ini adalah kawan? Mereka kan satu kelompok—untuk memastikan tindakan selanjutnya. Menyerang? Diserang? Bukankah hukum peperangan selalu seperti itu? Dan mereka kini tengah berada di tengah peperangan. Huff, Veronica rasanya mau kembali ke toko milik Ko Qwan saja daripada harus bergulat di sini. Apa yang bisa ia lakukan, coba?

“Tentu saja, habisi mereka semua!” Suara itu datang dari Tuan Dani yang sorot matanya berbeda. Sangat berbeda. “Habisi mereka sampai ke akar-akarnya!” Tuan Dani berseru kembali sambil mengangkat pedang. Oh, Tuan Dani memiliki pedang sebagai senjata, tentu saja.

Tapi, tunggu. “Tu-Tuan…” Veronica mengangkat tangan seakan memberi interupsi singkat, “saya rasa monster tidak berakar.”

Lalu Tuan Dani terdiam sesaat sebelum berseru, “SIAPA PEDULI?!”

“Whoaaa…” Tuan Dani tiba-tiba marah. Veronica bergerak menjauh sambil menutup telinga. Namun ia lupa kalau telinganya sudah tertutupi oleh headphone berbentuk aneh di kepalanya. “Ke-kenapa jadi menyeramkan begitu?” Ada setitik air mata yang mengambang di pelupuknya. Veronica jadi merasa tidak enak. Mungkin Tuan Dani tersinggung? Tidak tahu. Karena saat ia mau meminta maaf, Tuan Dani sudah maju menghadang para monster itu.

“Non,” kali ini Tuan Rager yang berbicara sambil menepuk pundak Veronica. “Tidak perlu takut. Kita memiliki kekuatan. Kita di sini bekerja sama untuk menghancurkan mereka, oke? Kita pasti bisa menyelesaikan misi ini!”

Sejenak kedua mata Veronica berbinar ketika melihat semangat yang dimiliki oleh Tuan Rager. Namun tak lama karena setelahnya terdengar suara Nona Anonim yang mendengus.

“Ha, kalau kalian mau mati, mati saja. Jangan merepotkan orang lain. Aku masih punya urusan yang lebih penting.” Setelah itu, Nona Anon mengikuti Tuan Dani masuk ke dalam area pertempuran.

Sedangkan Veronica masih belum yakin. Sebenarnya ia ada di mana dan mengapa bisa berurusan dengan ribuan monster dan manusia yang mungkin dalam beberapa detik lagi akan menyerangnya. Keringat dingin kembali bercucuran. “A-a-a-apa yang harus kulakukan…” walau pertanyaan sebenarnya adalah, ‘Apa yang bisa kulakukan?’

“Hah, perempuan sombong.” Terdengar komentar dari Tuan Rager yang membuat Veronica melirik pria besar itu dengan enggan. Tidak, tidak, Veronica tidak bisa menggantungkan dirinya pada Tuan Rager. “Non,” lalu setelah itu Tuan Rager melirik ke arahnya, “apapun yang terjadi, bertahanlah.” Setelahnya, Tuan Rager bergerak menghadang para monster dengan senjata di tangan kirinya.

Kalimat yang Tuan Rager ucapkan sebelumnya memang terdengar sederhana, tapi entah bagaimana segera merasuk ke dalam benak Veronica dengan cepat. Bertahan. Bertahanlah Veronica. Lalu suara ibunya tiba-tiba datang. Suara sang ibu yang meminta Veronica untuk bertahan saat gadis satu ini pertama kali menginjakkan kakinya di Bio Electronic City. Benar, Veronica harus bertahan karena ia masih memiliki tujuan yang harus dicapainya.

“Ayah…” Veronica berbisik. “Beri aku kekuatan.”

Matanya terpejam erat.

“Non! Di belakangmu!”

Terdengar suara Tuan Rager dari kejauhan kembali memberi peringatan. Gerakan Veronica memang tidak cepat, tapi tubuhnya terasa ringan sesaat sambil ia mengacungkan tangan yang menggenggam erat N3BIO. Benda peninggalan sang ayah. Benda yang akan melindunginya saat ini.

DHAAAAAK!

Sebuah tubrukkan kuat terjadi. Veronica terpelanting, namun ia seperti seekor keong yang berhasil mendarat sempurna di atas gumpalan pasir dengan sebuah papan sebagai cangkangnya. Ya, cangkang itu tidak lain dan tidak bukan adalah N3BIO yang berubah menjadi bentuk lain. Sebuah tameng. Tameng berbentuk, er… ponsel?

“Hwaaaaah!!” Baru beberapa detik kemudian Veronica berseru karena tersadar bahwa ada seekor monster berbentuk kadal dengan gigi bak buaya yang menggeliat di atas tanah. Ada benjolan cukup besar di kepala monster tersebut, dan Veronica yakin benjolan itu muncul karena tubrukan yang terjadi barusan. “Ma-maaf, Tuan Monster! Saya hanya mencoba bertahan.” Glup. Sekarang Veronica bingung harus bagaimana. Mungkin lari? “Ma-maaf, sebaiknya saya pe-pe-peeeeee!” Suaranya tertahan sejenak karena Veronica kesulitan mengangkat tameng yang berasal dari N3BIO. Sungguh, rupanya tameng tersebut berat sekali. “Astaga, kenapa berat begini…!” Veronica masih berusaha membawa tameng N3BIO yang tidak hanya memiliki bentuk seperti ponsel kecilnya, tapi juga layar dan keypad. Bedanya hanya… lebih berat. Ya, itu masalah utama. Mungkin setelah ini Veronica harus banyak-banyak latihan angkat beban.

Walau beban hidupnya sudah banyak.

Ah, ini bukan saatnya memikirkan beban hidup!

Veronica harus bertahan seperti kalimat yang disampaikan oleh Tuan Rager sebelumnya. Maka gadis itu mengerahkan semua tenaga untuk mengangkat tameng N3BIO, tepat setelah si monster kadal bertaring kembali menyerangnya.

“Jangan! Jangan serang dulu!”

Karena Veronica masih belum terbiasa dengan senjatanya. Senjata? Tameng itu bahkan tidak bisa melakukan apapun selain membuat ruang lindung.

Namun bedanya, pada serangan si monster kadal selanjutnya, sebuah bola api meluncur. Veronica sempat bertanya-tanya, apa yang menyerangnya ini adalah naga, bukan kadal? Tapi kebanyakan waktu sekali kalau ia harus bertanya seperti itu, apalagi kalau harus mengacungkan tangan lalu menginterupsi, ‘Maaf, Tuan. Kau ini naga apa kadal?’ Bisa-bisa tubuhnya hangus duluan oleh si bola api yang…

… whuuush!

Menghilang.

Sungguhan. Bola api itu menghilang ditelan oleh layar N3BIO.

“Heeeeeh! Kau bisa melakukan itu?” Veronica berucap tak percaya pada ponselnya. Ya jelas saja, ia bahkan tidak tahu kemampuan apa lagi yang dimiliki oleh ponsel ini. “O-oh, tunggu.” Sepertinya Veronica memang melupakan sesuatu. Seharusnya ia mengikuti instruksi kerja seperti yang selalu diperintahkan oleh Ko Qwan di toko. “Mana, mana, mana,” Veronica merogoh saku dari kostum spandex kebesarannya. “Seharusnya ada di sini.” Ia masih merogoh dan akhirnya dapat. “Buku manual N3BIO keluaran tahun 2002.”

Sudah berapa abad, tuh?

Sambil bersembunyi di balik tamengnya, Veronica berusaha mengerti apa saja yang tertulis dalam buku manual berisi keterangan kemampuan yang dimiliki oleh N3BIO. “Pertama… kemampuan untuk menahan serangan. Whoa, keren juga.” Veronica masih membaca. “Kedua, kemampuan untuk merekam serangan. Em… mailbox?” Kemudian ia mengingat-ingat juga pada bunyi ‘beeep’ agak panjang seperti nada ketika akan memasuki mailbox dalam sebuah panggilan. “Oh! Tadi itu ternyata kemampuan merekam!” Akhirnya Veronica menyadari beberapa hal.

Tapi juga melupakan beberapa hal.

Sementara pandangannya berputar cepat. Matanya menangkap titik-titik berkilauan di langit. Mungkin bintang. Kemudian bulan.

… bulan yang sangat besar.

Veronica belum pernah melihat bulan sebesar itu, sebenarnya.

Bulan yang perlahan mendekati bumi. Bulan yang tertarik gravitasi. Bulan yang kemudian pecah—PECAH! 

“BULANNYA!”

Kedua mata Veronica terbelalak melihat kejadian yang sangat singkat tersebut. Karena memang bulan tersebut benar-benar menjadi pecahan. Seperti telur dengan isian berupa er… bukan, jangan bayangkan anak ayam sebesar bulan. Bukan juga sosok merpati kecil. Sebutlah itu sebagai… entahlah, Veronica sendiri bingung harus mendeskripsikannya bagaimana. Hingga ia bisa terduduk sambil terbengong mendapati ada bulan yang mengeluarkan kuda. Haha, sungguhan kuda. 

“PEGASUS UNICORN!”

Kuda dengan sayap dan tanduk.

Hm. Hm. Hm.

“WAAAAAAAAAH!”

“Berisik, heh!” Tiba-tiba saja Nona Anonim sudah ada di sampingnya. Mengetuk kepala Veronica dengan moncong dari pistol yang ada di tangannya. “Itu musuh utama kita.”

“Mu-musuh?” Veronica mengulang kata itu. “Makhluk imut begitu musuh?” Dibilang imut sebenarnya tidak, tapi ya lumayanlah daripada monster kadal, raksasa berkaki pendek, cacing dengan gigi yang mengelilingi mulutnya, babi bertanduk, dan juga bentuk-bentuk menjijikan lain yang kalau diingat-ingat pasti akan membuatnya ingin memuntahkan isi perut.

“Yaaah, jangan menilai musuh dari penampilannya saja,” kemudian Tuan Rager turut berbicara. “Biar kelihatannya bagus, tapi monster satu ini tidak berotak. Percaya?”

“Ti-tidak berotak?” Sesungguhnya Veronica tidak percaya. “Mu-mungkin otaknya berubah jadi tanduk.” Dan pikirannya mulai melayang-layang entah ke mana.

Ah, sudahlah! Penting sekali, sih, membayangkan otak yang berubah jadi tanduk.

“Tugas kita adalah menghancurkan dua menara itu supaya si kuda besar ini dapat kembali ke cangkangnya.” Setelahnya Tuan Rager kembali berucap sambil menunjuk pada dua menara yang ada di samping sebuah kastel besar di depan sana. Mungkin pria bertubuh besar itu sedang menjalankan tugas sebagai komandan kelompok. Sejak tadi mereka memang tidak memutuskan, tapi di antara Tuan Dani yang selalu sibuk membasmi monster-monster kecil, dan Nona Anonim yang isi pikirannya tidak bisa ditebak, Tuan Rager memang—untuk sementara—yang paling bijak. “Kau Nona, bergeraklah lebih dahulu menuju kastel di sana. Sementara Nona Bertanduk,” ucap Tuan Rager pada Nona Anonim, “kau menjadi penyerang jarak jauh.”

“Kemampuanku bukan menyerang, Tuan.” Sambil mengangkat bahunya, Nona Anonim mengklarifikasi ucapan Tuan Rager. “Dan,” tambahnya, “namaku bukan Nona Bertanduk. Meredy Forgone. Kau harus mengingatnya.”

Meredy Forgone. Dhany Islaviore. Rager Banginns.

Veronica janji bahwa ia akan menginat ketiga nama itu baik-baik. 

“Baiklah, kau bisa membantu Nona ini bertahan kalau begitu, Nona Forgone.”

“Um… Veronica!” Saat itu si pemilik nama berseru. “Veronica Tiselina.” Menyadari bahwa ia belum mengumumkan siapa namanya pada ketiga orang ini. “Saya… saya… akan membantu sebisa mungkin.”

“Kalau begitu bertahanlah selagi kita melaju.” Satu tepukan besar tangan Tuan Rager mendarat di puncak kepala Veronica, di sela kedua tonjolan dari headphone-nya. 

“Berjuang! Saya kana berjuang!” seru Veronica penuh semangat. “Benar kan, Nona Meredy! Kita akan berjuang!”

Nona Meredy sayangnya hanya mendengus singkat kemudian menilap kembali kedua tangan di depan dada. “Aku tidak peduli kalian mau berjuang atau apa. Aku hanya ingin hasil yang sempurna.” Lalu Nona Meredy melangkah ke belakang Veronica. “Kami akan bertahan, kalian kalahkanlah si kuda bertanduk itu.”

“Dan bersayap,” tambah Veronica sambil terkekeh pelan.
Namun lagi-lagi Nona Meredy hanya menatapnya enggan.

“Baiklah kalau begitu,” ucap Tuan Rager yang kembali optimis. “Hei bocah pedang!” sahutnya kemudian pada Tuan Dany. “Hadang si kuda!”

Sebelum ini, Veronica amat jarang bekerja dalam satu kelompok. Di toko milik Ko Qwan, hanya Veronica satu-satunya pegawai tetap, sedangkan sisanya adalah pegawai yang datang-pergi sesuai kebutuhan finansial mereka. Dalam kehidupan nyatanya, Veronica juga bukan orang yang memiliki banyak kawan. Teman-teman di sekolah banyak menjauhinya karena pekerjaan sang ibu. Sedangkan pergaulannya begitu sempit hingga ia lebih sering menikmati banyak hal sendirian.

Namun di sini, berulang kali saat Veronica mengerjapkan mata, ada tiga orang yang melangkah bersamanya. Mereka yang menghunuskan pedang, melontarkan peluru dari senjata, membuat ledakan keras, dan dirinya yang membuat benteng pertahanan. Dalam satu pikiran, Veronica pikir mesin pengacak nama tidak mungkin membiarkan dirinya saat itu mengekor dalam barisan kelompok tanpa alasan. Pasti ada alasan mengapa mereka berada dalam satu lingkup kini.

Mungkin untuk saling mendukung. Mungkin untuk saling melengkapi. Mungkin untuk saling melindungi.

Walau peluh kembali membuat kakinya gemetaran. Baru saja Veronica menancapkan tameng N3BIO ke atas permukaan pasir yang kemudian menciptakan gelombang besar saat dirinya bergerak mendekati kastel putih untuk menghancurkan kedua menara tersebut. Gelombang yang ditimbulkan cukup untuk membuat beberapa monster yang melompat untuk mengepungnya kembali terpental. Walau yah… Veronica agak tertinggal di belakang selagi Tuan Rager dan Dani terus menghalau lidah api dari si kuda besar. 

“Ayo cepat pergi, Non!”

Suara Tuan Rager kembali menyemangatinya. Namun Veronica tak sekuat N3BIO. Tubuhnya ringkih. “Sa-saya… tidak kuat lari…” inginnya Veronica mengeluh, tapi ia tidak mau merepotkan kawan-kawannya yang lain.

Apalagi kalau mereka sampai harus bergerak mundur.

“Ck,” seperti Nona Meredy yang berdecak sambil menaruh kedua tangannya di pinggang. “Jangan merepotkan! Kalau kau tidak bisa berlari, meluncur sana!”

“Ho.”

Kedua mata Veronica membulat lagi.

“Benar juga!” serunya cepat. “Tapi, bagaimana mau meluncur kalau…”

Ucapan Veronica terhenti karena Nona Meredy yang bergerak kembali mendekat, tiba-tiba saja mendorongnya hingga jatuh ke atas tameng N3BIO. “Kau berutang satu peluru padaku, ingat itu.” Kemudian Nona Meredy menyiapkan pistolnya yang spontan membuat kucuran keringat di dahi Veronica menjadi lebih deras. “Berterima kasihlah padaku, huh.”

“Tidak! Tidak! Janga—aaaaaaaaaaaan!!”

WHUUUUUUUUS!

Sebuah ledakkan, dan Veronica meluncur kembali dengan cepat. Angin menabraknya. Monster-monster yang hendak menyerang bahkan kembali terlontar ke udara karena menubruk bagian atas dari tameng N3BIO. Ya, coba bayangkan saja kalau tameng tersebut menubrukmu bagaimana rasanya, pasti sakit, kan?

“WHOAAAAAAAAA!!”

Tidak ada alasan juga bagi Veronica untuk tidak berteriak. Teriakannya sangat kencang. Mungkin sama kencangnya dengan ringingtone yang merupakan salah satu kemampuan dari N3BIO. Hanya saja, ada satu yang kembali terlupakan.

“Bagaimana cara berhentinyaaaaaaaaaa?!”

Mungkin ini salah satu kemampuan rahasia yang tidak ada di buku manual—MEMANG ASLINYA TIDAK ADA—N3BIO; menjadi papan seluncur.

“Awas! Awas!”

Kecepatan Veronica yang meluncur di atas tameng N3BIO semakin kencang. Sampai-sampai ia tidak bisa membedakan mana yang ditubruk; kawan atau lawan. “TUAN DANI AWAAASSS!!”

Terlihat sosok Tuan Dani dan topeng serta pedangnya yang panjang di depan sana. Sepertinya Tuan Dani tidak tahu jika yang sedang meluncur tak terkendali adalah Veronica—tentu saja. Hingga kawannya yang bertopeng itu mengangkat satu tangan lain yang memegang pistol dan mengarahkannya pada Veronica.

“Tidaaaaak! Jangan! Ini aku! Ini aku! Whoaaaa…!”

Pasrahlah sudah. Veronica mungkin akan berakhir di tangan kawannya sendiri. Mana ia belum menulis pesan-pesan terakhir. Terutama pada Tuan Rager yang telah mengingatkannya, dan juga memberi motivasi agar Veronica mau bertahan di saat genting seperti ini. Tambah lagi, Veronica juga belum mengetahui nama Nona Anonim yang mungkin lebih cocok mengenakan kostum spandex daripada dirinya. Ah, kasihan sekali diriku. Sambil menunduk, Veronica hanya mencoba untuk mengingat betapa indahnya hidup yang ia miliki walau hanya sebentar.

Tapi kan… tapi kan ini hanya mimpi, ya? Ha-ha-ha—BANG! BANG!

Suara tawa dalam hatinya bergantian menjadi suara tembakan. Jantungnya melompat cepat. Veronica merunduk serendah mungkin. Menjadikan wajahnya menempel pada layar N3BIO. Mungkin saat ini darah sudah berceceran dari kepalanya. Namun rupanya tidak. Veronica masih mengerjapkan pandangan. Beberapa kali sampai ketika ia tersadar, angin kencang masih berembus menerpa wajahnya, dan langit gelap masih berada di atas kepala.

“O-oh, aku masih hidup…” suaranya berbisik pelan. Walau di depan sana Tuan Dani masih menghunuskan pistol, dan ketika Veronica melintas, lelaki itu mengibaskan pedangnya. Tepat di atas Veronica, ketika seekor monster lainnya menyerang.

Kedua mata Veronica membulat. Kepalanya menoleh ke belakang, mendapatkan bangkai-bangkai monster yang ternyata dihabisi oleh Tuan Dani sebelum ini. “Hwaaaa… Tuan Dani rupanya bukan orang jahat.” Syukurlah. Syukurlah. Syukurlah. Veronica mengucapkan rasa syukur berulang-ulang, walau ia lupa bahwa dirinya saat ini masih meluncur.

“Hap!”

Dan tidak lagi meluncur.

“Eh?”

Lalu dirinya merosot.

Bruk—pelan menyentuh pasir.

“Tidak apa-apa, Non?” Dengan tubuhnya yang besar, tentu saja bukan hal yang sulit bagi Tuan Rager menghentikan peluncuran misil Veronica dan tamengnya.

“E-ehehe…” merasa malu dengan kecerobohan sendiri, Veronica sempat-sempatnya menggaruk kepala yang tidak gatal. “Jadi, kalian semua tidak apa-apa?” Buru-buru ia berdiri sambil menepis serpihan pasir yang menyelubungi wajahnya. “Apa ada yang terluka?”

“Kau yang terluka, anak kecil,” kini suara Nona Meredy yang kembali berjalan angkuh pada Veronica sambil mengangkat pistolnya.

Whoa, orang-orang ini punya senjata yang tidak main-main. Veronica sempat berucap dalam hati, tapi pada akhirnya ia hanya nyengir saja. “Ti-tidak. Saya tidak terluka. Terima kasih.” Lebih dari itu, dirinya juga bukan anak kecil.

“Tch, cuma segini saja monsternya, ha?!” Lalu tak lama Tuan Dani kembali dalam lingkaran kecil kelompok mereka. Sepertinya Tuan Dani banyak beraksi dalam membabat para monster yang tidak ada habisnya.

Veronica sendiri heran, mengapa ada banyak sekali monster di sini. Mereka bisa dikalahkan, tapi tidak bisa lenyap. Seperti membunuh ibu ular yang sedang mengandung, tahu? Muncul lagi. Muncul lagi. Muncul terus sampai tenaga mereka habis. “Pasti ada cara untuk mengalahkan semua monster ini, kan?”

“Kalau kita bisa menghancurkan menara itu dan menyegel kembali si kuda ke dalam cangkang, maka monster-monster ini akan lenyap dengan sendirinya,” jelas Nona Meredy yang tetap mengangkat kedua tangan untuk bersiaga karena memang mereka masih berada di area pertempuran.

Para monster masih menyerang. Tuan Rager berulang kali mengangkat tangan kirinya yang berlapiskan gauntlet super keras hingga membuat para monster kecil babak belur. Namun sayangnya, mereka masih harus bergerak ke sana-ke mari untuk menghindari hujan bola api yang dikeluarkan oleh si kuda besar. Kuda itu memang membuat Veronica bergidik agak ngeri. Memang, lebih baik tidak menilai sesuatu dari penampilannya karena biar penampilannya terkesan imut dan keren, kuda bertanduk dan bersayap itu tidak perhitungan dalam urusan bakar-membakar.

Tuan Dani mengibaskan pedangnya, mengangkat satu pistol di tangannya untuk membunuh beberapa monster kecil. Beberapa monster berbentuk babi hutan mini yang berlari lurus ditebasnya menjadi tumpukan daging. Pria dengan sebelah wajah ditutupi topeng itu memang tidak berbicara banyak, tapi pandangannya berulang kali mengarah pada kastel putih yang jaraknya tak lagi jauh. Sedangkan Tuan Rager tampaknya tidak membutuhkan kemampuan khusus ketika bergulat dengan monster berbentuk banteng yang berdiri dengan dua kaki, dan menyerang dengan kedua tanduknya yang besar. Walau ternyata, banteng dua kaki itu memiliki kepalan tangan lebih keras yang membuat Tuan Rager akhirnya memberi pukulan keras setelah tato di tangan kanannya menyala merah.

Melihat perjuangan kawan-kawannya—sementara ia yang hanya berlindung di bawah tameng N3BIO—membuat Veronica berusaha memutar otak. Benar, ia harus memutar otak karena mereka semakin dikerubungi oleh beragam monster. Mulai dari monster babi sampai monster jelly. Dari yang bertanduk sampai yang bersayap. Dari yang berkaki dua sampai berkaki seribu. Belum lagi si kuda bertanduk dan bersayap yang tak henti mengejar sambil menembakkan bola api.

Kalau di sini terus… mereka akan terjebak…

“Oh!” Lalu Veronica teringat pada salah satu kemampuan N3BIO yang ada di dalam buku manualnya. “Semua, tutup telinga kalian rapat-rapat!”

“Apa?!” Suara protesan pertama dilayangkan oleh Nona Meredy yang masih sibuk menembakkan peluru yang menciptakan ledakan-ledakan besar di udara untuk menahan serangan bola-bola api dari si kuda. “Kau tidak tahu kami sedang sibuk?”

“Makanya...” Veronica yang tidak bisa berdebat hanya bisa meyakinkan kawan satu kelompoknya. “Makanya tutup telinga kalian! Setelah itu kita lari dari kepungan monster-monster ini!”

Barangkali sebagai yang paling lemah dan tidak berpengalaman dalam pertempuran membuat ketiga kawannya ini tak percaya pada apa yang Veronica katakan. Hingga mereka membutuhkan waktu beberapa detik untuk terdiam dan berpikir. Walau di detik selanjutnya, Tuan Rager menghantamkan tinjuan keras pada si monster banteng lalu mendekati Veronica. “Lakukan! Lakukan apa yang kau bisa, Non!”

Kepercayaan. Memang itu yang Veronica butuhkan sekarang.

“Baik.” Veronica lalu menyiapkan N3BIO untuk bekerja. “Tutup telinga kalian! RINGING TONE!” Seperti pendekar cantik dalam animasi Minggu pagi yang selalu ditontonnya, Veronica menekan satu tombol di permukaan N3BIO lalu tak lupa merekatkan headphone-nya. Katanya kemampuan ringtone itu dapat membuat musuh tewas. 

Sayangnya, kenyataan tidak sesuai dengan apa yang tertulis di buku panduan manual karena toh para monster ini ternyata tidak tewas. Sejenak Veronica merasa khawatir, tapi kemudian ia melihat ada yang aneh dari monster-monster itu. Mereka yang tadinya bergerak menyerang, kini malah memegangi kepala dengan kaki-kaki yang tidak berhenti melangkah. Pinggul mereka juga malah bergoyang-goyang seakan menikmati sebuah lagu riang, walau dengan tampang horor penuh kesakitan.

Seram? Tentu saja. Makanya jangan dilihat terus. Lebih baik sekarang...
“KABUUUUR!!”

Sambil membopong tameng N3BIO yang sangat berat, Veronica berusaha berlari. Namun ia tersandung, dan syukurlah padang pasir membuat rasa sakitnya berkurang. Setidaknya terpelanting di pasir tidak jauh berbeda dengan menubruk gumpalan busa kasur. Bedanya, setelah terguling, Veronica malah meluncur di atas N3BIO, “WHOAAAAA!!” Lagi.

Untung saja, belajar dari pengalaman sebelumnya, Veronica sudah lebih mahir mengendalikan tameng tersebut. Walau tentu saja, ia masih menubruk beberapa monster yang akan menyerang, walau kini dengan backing dari Nona Meredy yang malah berdiri dengan pose super keren di bagian belakang tameng. Ha. 

“AWAS!”

Sekali lagi seruan dari Tuan Rager menghentikan laju langkah mereka. Termasuk Veronica yang harus mengerem cepat-cepat tameng N3BIOnya sebelum menabrak...

... si kuda.

“GYAAAAAAAA!!”

Iya, iya. Kuda bertanduk dan bersayap yang Veronica lupa namanya ini tiba-tiba sudah berada di depan mereka. Kuda yang muncul dari retakan bulan. Kuda yang bisa mengeluarkan api. Kuda yang bahkan tidak bisa membedakan mana kawan mana lawan. Pasti kuda ini sedang lapar? Atau kudanya sedang tidur?

Ah, ngapain Veronica mikir begituan?

Glup.

Jujur saja, Veronica tegang.

Perang yang sesungguhnya dimulai. Veronica berbisik pada benaknya sendiri sambil menahan tameng N3BIO agar berdiri di tempatnya. Ia menarik napas panjang melihat Tuan Dany dan Tuan Rager yang mempercepat langkah menuju si kuda pembakar masal. Mungkin bisa dibilang begitu—dan sesuai ucapan dari Tuan Rager sebelumnya, si kuda tak memiliki otak. Tidak melihat kawan atau lawan, semua yang mendekat dihabisinya dengan lidah api. Sementara dirinya dan Nona Meredy tidak habis-habis melawan para monster berbentuk kelabang dan kalajengking yang seperti tengah melindungi kastel di belakang mereka. Ya, kastel dan menara hanya berjarak sedikit lagi. Namun lagi-lagi mereka dihadang.

Pertempuran melawan si kuda lebih mengerikan dibandingkan sebelumnya. Memang kuda itu siapa, sih? Pertanyaan itu terus muncul di dalam pikiran Veronica sembari mengamati Tuan Dhany dengan pedangnya dan Tuan Rager dengan senjata di tangan kirinya. Namun nihil. Keduanya tak lama kembali pada dinding pertahanan Veronica.

“Kuda sialan,” gerutu Tuan Rager. Walau sorot matanya penuh semangat menyala-nyala, namun Veronica tahu jika Tuan Rager pun pasti lelah. “Kita tidak bisa terus menyerang untuk mengalahkannya.”

 “Kita harus segera menghancurkan menaranya.” Tiba-tiba saja Tuan Dani yang sepertinya tidak peduli dengan sekitar selain menebas, memberikan masukan yang membuat Veronica mengangguk-angguk setuju. “Itu menara kristal yang lumayan.”

“Kristal?” Nona Meredy mengulang kata itu sambil menyeringai.

“Hm, kalau begitu, biar mereka saja yang menghancurkannya.” Nona Meredy sepertinya tidak terlalu tertarik untuk berpikir karena kedua tangannya sibuk melontarkan peluru dari pistolnya untuk menghadang monster yang lain.

 “Yosh! Kalau begitu mudah!” seru Tuan Rager. “Dengan sekali hantaman aku bisa melakukannya dengan cepat. Bocah pedang, back up!”
Tuan Rager dan Tuan Dani melesat dengan cepat ke arah menara di sebelah kiri dan kanan mereka. 

KABOOOM!!

Sayangnya, baik ucapan penuh rasa percaya diri dari Tuan Rager dan ucapan selanjutnya dari Nona Meredy tidak terkabul. Menara itu sekuat yang dikatakan. Pun rupanya ada pelindung lain yang membuat siapapun yang datang untuk meruntuhkannya malah berbalik mendapat serangan.
Terlihat Tuan Rager dan Tuan Dani yang berjalan terengah-engah kembali pada dinding pertahanan. Mereka memang tidak terlalu aman di sini, tapi setidaknya Veronica bisa menghalau serangan yang ada, dan Nona Meredy bisa melontarkan serangan beberapa kali.

“Menara itu terlalu kuat untuk dihancurkan,” ucap Tuan Rager dengan napas yang tersengal-sengal. Mereka tidak hanya berurusan dengan si kuda api yang terus mengekor, tapi juga ratusan monster lainnya, dan kini serangan balasan dari si menara. “Mungkin kita harus mencari cara lain.”

“Tu-tuan, kau tidak apa-apa?” Veronica sempat bertanya. 

“Tangannya hanya terluka,” lapor Tuan Dani sambil merentangkan pedangnya untuk menghalau serangan yang datang. Situasi belum aman. Berdiskusi menjadi tantangan yang sulit untuk mereka lakukan. “Tapi dia jadi terlihat seperti orang cacat.”

“Siapa yang kau bilang cacat?!” Dengan cepat Tuan Rager membalas.

“Kau, Pak Tua. Kau cacat. Tubuhmu saja yang besar.”

“Aku tidak tua! Tidak cacat!”

“Su-sudaaaaah…” tadinya Veronica ingin menghentikan perdebatan ini 
namun…

… BANG! 

Sebuah tembakan.

Nona Meredy melontarkan tembakan pada Tuan Rager.

“GYAAAA! Apa yang kau lakukan, Nona Meredy!” Spontan Veronica berteriak melihat pembunuhan di depan matanya. Apa Nona Meredy sudah putus asa sampai-sampai harus membunuh anggota kelompoknya sendiri?

“Kalian berisik!” bentak Nona Meredy lalu menurunkan kembali pistolnya. 

“Kau berutang satu peluru juga padaku, Pak Tua!”

“E-eh?” Veronica tidak mengerti. Namun ia melirik Tuan Rager dengan tampang terkejutnya perlahan meraba bagian tubuh yang tadinya terluka. 

“Lukamu sudah hilang, Tuan Rager!”

“Be-benar. Sudah… hilang.”

Siapa sangka. Rupanya Nona Meredy memiliki peluru seperti itu. Veronica jadi teringat bahwa sebelum ini pun Nona Meredy membantunya untuk membuat ledakan. Hm. Ledakan. “Se-semuanya,” dengan keberanian yang ada, Veronica akhirnya berusaha mengemukakan pendapat. “Kita semua harus menghancurkan menara itu bersamaan. Kita tidak bisa membuang waktu sementara si kuda api masih berkeliaran.”

Sampai di situ, Veronica juga tidak menyangka bahwa pendapatnya akan mendapat perhatian sejenak.

“Saya akan melindungi Nona Meredy untuk menghancurkan menara di sana. Tuan Rager dan Dani bisa menghancurkan yang di sana. Tapi… tapi kita harus melakukannya dari jarak jauh.” Tarik napas dulu. “Tuan Rager bisa melakukannya, kan? Nona Meredy juga bisa melakukannya dengan peluru yang bisa melontarkan tadi, kan?”

“Peluru ini kekuatannya tidak besar,” ucap Nona Remedy sambil mengangkat pistolnya lagi. “Tidak cukup menimbulkan ledakan.”

“Kalau begitu nanti saya bantu.”

“Apa?”

“Saya bantu supaya bisa meledak.”

Satu persatu kawannya saling memandang. Entah, mungkin mereka mengira bahwa taktik yang Veronica jabarkan tadi sedikit tidak masuk akal. Namun mengapa tidak, benar kan? Sampai akhirnya, bersamaan keempatnya menganggukkan kepala.

“Baiklah!” Sekali lagi Tuan Rager mengambil alih komando. “Veronica, kau alihkan si kuda dengan musik berisik dari ponselmu!”

“Baik!”

Veronica menganggukkan kepala cepat. Ia lalu memasang headphone-nya dengan erat, dan tak lupa menyuruh yang lain untuk menyumpal telinga mereka juga. Hal itu tertulis dalam buku manual. Siapapun yang mendengar akan dengan cepat terkena pengaruh. Jadi, biar si kuda dan monster lain yang terpengaruh.

“Ringing… tone!”

N3BIO berdering sekali lagi seperti panggilan bangun di pagi-pagi buta yang memekakan telinga. Di saat seperti itulah, anggota kelompok yang lain bergerak menuju masing-masing menara dalam jarak aman yang sudah ditentukan. Sementara Veronica mengekor di belakang sambil membopong tamengnya yang berat. Entah bagaimana, kali ini rasanya lebih ringan. 

Sedikit.

Dari kejauhan, ia melihat Tuan Rager bersiap melontarkan tinjunya sedangkan Tuan Dani berjaga di belakang agar gerak Tuan Rager tidak mendapat gangguan. Begitu juga di sini, Veronica dan Nona Meredy bersiap dengan senjata mereka. Nona Meredy akan melontarkan peluru shockwave-nya, sedangkan Veronica mengangkat tameng untuk mencegah serangan dari monster lain.

Kini, mereka hanya tinggal menunggu instruksi dari Tuan Rager.

“Satu!”

Hitungan dimulai.

“Dua!”

Veronica masih berjaga.

“Tiga!”

Serangan dilancarkan. Dentuman terdengar begitu keras. Veronica dapat merasakan guncangan dari arah belakangnya. Menara itu pasti hancur sekarang. Pasti. Entah keyakinan tersebut datang dari mana. Sayangnya, keyakinan Veronica tidak sepadan dengan hasil yang terjadi.

“Eeeh, kenapa menaranya tidak hancur?”

Kedua mata Veronica terbelalak melihat kedua menara kembar itu masih berdiri sementara si kuda berapi mulai mendekati mereka karena pengaruh ringingtone sudah selesai. Kuda itu mengamuk, membakar setiap monster kelabang dan kalajengking yang berada di dekat kastel. Sebenarnya bisa dibilang bantuan, tapi jika tidak bergerak cepat, mereka bisa saja hangus terbakar duluan.

“Sudah kubilang, kan?” Nona Meredy berucap dengan suara rendah. 

“Ledakannya kurang kuat.”

“Ledakan.”

Veronica menoleh pada Tuan Rager. Tentu saja, ledakan.

“TUAN RAGER! ULANGI! ULANGI!”

Jarak mereka memang jauh, tapi suara teriakan pasti akan terdengar.

“ULANGI APA MAKSUDMU, HAH!”

“HITUNG LAGI!”

“Kau gila!” Nona Meredy menampik seruan Veronica. “Sudah kubilang tidak akan bisa. Ledakan peluruku tidak kuat!”

“Saya yang akan melakukannya,” ucap Veronica penuh optimisme. “Batere N3BIO tersisa beberapa persen lagi, tapi pasti cukup untuk membuat menara ini meledak. Nona Meredy MENJAUHLAH!”

“BAIKLAH AKAN KUULANG!” Dari kejauhan, Tuan Rager berseru lagi. “SIAP?”

Veronica mengangguk mantap. “SIAP!”

Si kuda mulai mendekat. Dalam kehitungan ketiga, mereka harus bisa meruntuhkan menara ini.

“SATU!”

Genggaman tangan Veronica menguat.

“DUA!”

Walau kini rasanya berkeringat.

“TIGA!”

“Vibration!”

Tanah di sekitarnya kembali bergetar ketika Veronica menancapkan N3BIO ke dalam gumpalan pasir. Gelombang besar menyebar dengan cepat. Matanya terpejam erat untuk beberapa saat ketika suara dentuman demi dentuman terdengar keras. Walau ketika membuka mata, Veronica melihat si kuda membentangkan sayapnya, siap melontarkan bola-bola api yang mungkin akan melahap mereka. 
Tolonglah… berhasil….

Rasanya Veronica ingin menahan napas karena waktu di sekitarnya seakan berhenti sejenak. Entah itu hanya perasaan atau benar-benar terjadi. Karena tiba-tiba saja, si kuda tak lagi bergerak. Bola-bola api yang siap dilontarkan hanya melayang di udara seakan terhenti bersamaan dengan waktu.

Krak…

Krak…

“Menaranya!” Veronica berseru sambil mengangkat tubuh kembali berdiri. Dengan kedua mata biru cerahnya, ia melihat kedua menara kembar tersebut ambruk bersamaan. “Han… cur…”

Kemudian embusan angin besar kembali mengintari mereka. Monster-monster yang mengganas satu-persatu melebur menjadi butiran pasir. Sedangkan si kuda kembali masuk ke dalam cangkang bersama dengan bola-bola apinya yang membeku di udara. Tak lama, angin tersebut berkumpul menjadi sebuah kumparan. Bercahaya.

“Itu portalnya!” Tuan Rager berseru. “Untuk kembali ke Alforea.”

“Alfore—“

Veronica tak sempat melanjutkan ucapannya karena setelah itu, ia merasa dirinya melayang. Matanya terkatup. Semua kemudian menjadi ringan.

Tunggu. Apa itu berarti mimpinya telah selesai? Lalu bagaimana dengan Tuan Rager, Tuan Dany dan Nona Meredy? Veronica belum sempat mengucapkan apapun. Walau ia hanya ingin berucap satu kata.

“Terima kasih.”

Sungguh petualangan yang sangat menyenangkan.

--
Ghyna Amanda Putri
@amndbrnz // createdbyca.tumblr.com

7 comments:

  1. Aduh, narasinya cheerful banget! :D jadi berasa nggak bisa ngasih kritik gara2 kebawa senengnya narasi ini. Tapi sayangnya, kritik harus tetep ada. Huhu...

    Penarasian, idem dari yg di atas, cheerful banget, tapi sayangnya nggak memberi cukup penjelasan tentang pertarungannya, jadinya malah kerasa kabur.
    Karakterisasi, kalau kataku masih kurang jelas.
    Dialog, banyak, --idem lagi, cheerful, tapi masih kurang menjelaskan.

    Maaf ya kak, tapi jujur aja, tp kalau misalnya aku nggak ngerti main plotnya, cerita ini bakal jadi ngebingungin.

    I raise you 6.
    Haru Ambrosia

    ReplyDelete
  2. Tasya mengernyitkan dahi saat membaca judulnya. Sepertinya tidak menggambarkan isi ceritanya, juga tidak ada penjelasan dalam cerita yang menunjukkan kalau Veronica itu orang Sunda. Tasya menyukai cerita yang disampaikan secara ringan dan mengalir lancar. Adegan pertarungannya juga bagus walaupun Veronica terlihat masih canggung melawan para monster jelek itu.
    Tos dulu yuk, sepakat kalau Tamon Rah terlalu cantik untuk dimusuhi. Andai api bisa dijinakkan, asyik tuh dijadikan tunggangan. :D
    Ceritanya logis dan penggambaran karakternya bagus. Selamat berpetualang Veronica Tiselina. ^_^

    Nilai: 8
    (OC: Tasya Freyona)

    ReplyDelete
  3. Bener juga sih narasinya cheerful, tapi penyusunan kalimat demi kalimatnya perlu dibuat lebih smooth, supaya lebih ringan dibaca. Jujur aja aku agak mengernyitkan dahi untuk bisa mengikuti cerita ini. Dan saya agak terganggu ma dialog veronica yang sering make (....), atau itu emang uda style dialog dia?

    Sebenernya konsep jurus bertarungnya veronica ini menarik loh, cuman kayak belum keeksplor optimum keunikannya pada prelim ini.

    Nilai : 6

    OC aye : Zhaahir

    ReplyDelete
  4. Veronica ini kasian bener ya. Apa" kikuk, serba terbata" pula. Kayak ga ngerti dia mau apa di sini. Dan kenapa dia sendiri ga tau kemampuan ponselnya? Pas liat charsheet saya kira dia emang udah split-body sama ponselnya gitu

    Entah kenapa, narasinya berasa si penulis lagi cerita langsung aja ke pembaca, alih" bikin narasi buat cerita. Bukan masalah sih, tapi kadang ada beberapa bagian yang bikin ngernyit aja bacanya

    Flow battle sama koneksi antar karakternya masih kurang kuat menurut saya. Belum ada kesan 'hidup', baik dari karakternya ataupun suasana dalem cerita

    Nilai awal 6. Deadliner buffer -1, jadi nilai akhir dari saya 5

    ReplyDelete
  5. Saya suka joke yang diselipkan di sana sini, narasinya fun dan ringan juga :D. Dialognya ada banyak, tapi karakterisasi kurang begitu dapat #imo

    SFX

    8/10 dari saya
    OC Lexia Gradlouis

    ReplyDelete
  6. Nice work, vibe yang sama dengan Fapi hahahahah.
    Ternyata Veronica sangat kikuk sekali ya...



    By the way.

    > Meredy Forgone. Dhany Islaviore. Rager Banginns.
    Veronica janji bahwa ia akan menginat ketiga nama itu baik-baik.


    >Tambah lagi, Veronica juga belum mengetahui nama Nona Anonim yang mungkin lebih cocok mengenakan kostum spandex daripada dirinya. Ah, kasihan sekali diriku.


    jadi, di kalimat awal, veronica sudah berjanji untuk mengingat namanya. tapi di beberapa paragraf ke depannya, dia tetap memanggil meredy dengan nona anonim.
    ini sengajakah? atau lupa?


    saya kurang suka SFX buat menggambarkan ledakan. Ke depannya semoga bisa diganti dengan kalimat yang lebih asyik ya.

    Lalu...
    soal plot, karakter, tak ada masalah berarti, tapi entah kenapa rasanya alurnya sedikit...datar.

    selebihnya, Pengen banget ini lolos dan ketemu sama FAPI di Ronde-ronde berikutnya hahahah

    nilai, 7/10!

    PITTA N. JUNIOR bertanya, apakah Nona Veronica suka makan pizza?

    ReplyDelete