8.5.15

[PRELIMINARY] ZARID AL FARABI - BENANG BENANG KUSUT

ZARID AL FARABI - BENANG BENANG KUSUT
Penulis: Mohamad Yusran



Zarid dan Para Pencari Kebenaran Ilahiah ~Benang-benang Kusut~


♠♠♠

~Satu: Benang-benang Kusut~

Gurun Sahara di dataran New Pangaea terasa begitu dingin pada tengah malam.

Hanya ada gundukan pasir dan bongkahan kerikil sejauh mata memandang.
Langit malam yang kelam dan pekat tidak membuat kesan suram itu
hilang.

Sosok berjubah itu berdiri di tengah padang, memegang batangan hitam
usang sepuluh kali empat sentimeter yang layarnya menyala-nyala,
menatapnya lekat-lekat.

"…Surga?"



"Sebuah pulau pribadi dengan rumah mewah dan uang yang banyak.
Pengirim pesan ini konyol sekali… saya tidak butuh itu…"

Sosok berjubah itu pun melanjutkan langkahnya, menapakkan tapak
besinya di gurun itu

♠♠♠


"Kalian semua yang ada di sini, adalah calon peserta turnamen antar
dimensi yang akan diadakan tidak lama lagi. Turnamen ini disebut
Battle of Realms, dan hanya para petarung terbaik yang bisa mengikuti
pertarungan bergengsi ini!"

Suara yang cukup lantang dan berwibawa, untuk ukuran seorang lelaki
tua yang sudah jenggotan dan penuh keriput. Tapi melihat posisinya,
dia bukan orang sembarangan.

Setidaknya, itu yang dilihat oleh sekitar seratus satu makhluk-makhluk
yang sedang berdiri di depan sebuah halaman kastil megah yang
keindahannya melampaui arsitektur-arsitektur yang ada di dunia ini.

Dari sekitar seratus satu makhluk itu, ada sebuah sosok yang
memperhatikan sekitarnya dengan baik-baik.

Sebuah sosok menyerupai manusia setinggi seratus delapan puluh
sentimeter dengan jubah coklat yang sudah usang dan compang-camping di
bagian bawahnya dan helm kelabu dengan motif radikal yang menyerupai
naga bermata empat sedang berdiri di antara kerumunan yang masih
bingung dengan peristiwa yang mendadak ini.

Zarid Al-Farabi. Sesosok robot pengelana yang sudah hidup selama
seratus delapan puluh tahun di muka bumi mulai bertanya-tanya pada
pikirannya sendiri. Akalnya masih tidak bisa mencerna yang dia alami
lima puluh detik yang lalu. Sebuah cahaya meledak di depannya kala ia
melanjutkan perjalanannya melewati Gurun Sahara dan menghisap dirinya
ke dalam suatu dimensi putih yang ringan dan terang. Langkahnya secara
ajaib membawa dia ke suatu tanah yang disebut Alforea.

Menarik.

"Permainan…? Hmmm… Ya… ya… ya…"

Sosok logam itu bergumam sambil mulai mengangguk-angguk sendiri,
sepertinya dia ditakdirkan untuk mengikuti sebuah permainan.

Permainan mengadu nasib.

Sebuah kompetisi.

Sebuah pertarungan.

Sebuah turnamen yang dapat mengabulkan apapun yang diinginkan sang pemenang.

Semua hal ini menjadi sebuah premis yang cukup mengundang pertanyaan
untuk si robot berjubah, namun dia lebih memilih untuk diam dan
membiarkan takdir menentukan apa yang akan dia hadapi dalam kompetisi
ini. Dan sepertinya sebelum turnamen yang sesungguhnya dimulai…

Para peserta harus diseleksi terlebih dahulu.

Uji kelayakan sebelum melangkah ke tahap yang lebih berat? Atau dua
sosok yang berdiri di balkon ini hanya sekedar bermain-main saja? Sang
Ular Besi tidak ambil pusing dalam situasi ini, namun dia tetap
memperhatikan sekitarnya dengan baik-baik, menyapu setiap sosok yang
bisa dia lihat lewat matanya.

Satu hal yang pasti,

Sebuah petualangan baru menunggunya.

Apakah ini sebuah pertanda untuk Zarid? Apakah pencariannya selama ini
ada di dalam sebuah turnamen yang melibatkan berbagai jagad semesta?
Apakah kebenaran itu ada di Alforea?

Dia tidak tahu.

Sosok itu tertawa sendiri dalam benaknya yang tertanam di balik helm
logam itu. Mata kuningnya menyala terang dan meredup dalam sebuah
ritme tak beraturan. Dia seakan puas berkutat dalam pikirannya sendiri
yang penuh dengan banyak pertanyaan dan kemungkinan jawaban yang
mungkin jadi sebuah kebenaran dari peristiwa dadakan ini.

Selagi mendengar semua penjelasan dengan seksama, sebuah kursi kayu
mendadak jatuh dari balik jubah Zarid, berdiri dengan sempurna di
tanah yang ada di balik kakinya.
Dia pun mulai duduk dan menarik sebuah gitar kayu warna cokelat tua
dari balik jubahnya.

Sebuah petikan dalam kunci E major dilantunkan oleh jari-jari besi
Zarid Al-Farabi. Sepertinya dia sudah memikirkan sesuatu dengan
matang-matang.

Tinggal menunggu saatnya tiba.

"Dengan ini, kunyatakan babak penyisihan Battle of Realms telah dimulai!!"

Seruan lelaki tua itu membuat semuanya mencari kelompok masing-masing.

Lelaki tua itu mengatakan bahwa babak penyisihan dimulai dengan misi
berkelompok yang akan mereka jalankan dengan panduan seorang pelayan
dengan seragam hitam dan putih khas pelayan barat pada zaman dahulu
kala.

Para makhluk-makhluk dari berbagai jagat mulai mencari teman yang bisa
diajak untuk berkelompok dalam misi yang akan mereka emban. Satu
persatu dari mereka mulai mendapatkan kelompok yang pas, walau ada
yang berebutan atau beradu argumen sebagai bumbu dari sebuah pencarian
yang singkat.

Dan yang Zarid lakukan adalah mengamati mereka, tangannya tidak lepas
dari gitar tuanya dan terus melantunkan senandung E major dengan penuh
jiwa.

Meski senandungnya menarik beberapa makhluk untuk mengajaknya dalam
kelompok mereka, Zarid hanya memberikan satu jawaban pada setiap
mereka yang lewat.

"Biar takdir yang menentukan."

Jawaban aneh dan terkesan angkuh bagi beberapa makhluk yang
berinteraksi dengannya. Hal itu tentu saja membuat mereka semua
menjauh dalam sebuah keheranan dan kejengkelan. Entah apa yang ada di
benak Zarid yang sesungguhnya benci kesombongan berlaku seperti itu.

Menggantungkan hidup pada takdir yang tidak pasti terdengar konyol
dalam benak beberapa makhluk menyerupai manusia dengan berbagai
setelan yang berpapasan dengannya.

Tak lama, salah satu sosok pelayan dari sekian pelayan yang awalnya
berjaga di sekitar halaman kastil menghampiri sosok Zarid yang masih
bercengkrama hangat dengan gitarnya.

Rambutnya hitam panjang bergelombang seperti benang-benang satin yang
berkibar, mata abunya tajam, ekspresi wajah wanita itu begitu datar
dan kosong. Seragam pelayan hitam-putih yang terlihat sederhana namun
elegan itu secara mistis menyatu dengan wajahnya yang begitu beku. Di
tangan kirinya ada sebuah tongkat kayu dengan sebuah papan putih
bersih.

"G cri party mz?"

Dengan suara yang sangat halus namun datar, pelayan itu menyapa sang
robot bergitar sambil mengangkat papan putih yang kini sudah
terpampang beberapa huruf yang sepertinya menggambarkan ekspresi
wajahnya.

o.o

Itu lah yang terpampang di papan putih tersebut. Dengan sebuah tawa
kecil yang dibuat-buat, robot itu berkata seraya dengan genjrengan
gitarnya yang terhenti dengan indah.

"Biar takdir yang menentukan, nona."

Waktu terus berjalan, selagi sang pelayan berinteraksi dengan robot
yang duduk di depannya, makhluk-makhluk yang lain sudah berkelompok
dan mulai dikirim ke dimensi lain untuk menyelesaikan misi yang akan
mereka embank.

"Nnti jdi sendiri lho mz klo g cri skrng."

"-_-" kini terpampang di papan putih itu.

"Tak apa, nona. Pada dasarnya setiap insan lahir dari rahim ibunya
seorang diri, dan mereka juga masuk ke dalam liang kubur seorang
diri."

"emng mz bs klo sndiri aj?"

Si rambut hitam bertanya sembari memegang papan yang kini bertuliskan "?_?"

"Semampu saya."

Waktu berlalu begitu cepat.

Tak terasa di halaman kastil Alforea hanya tersisa Zarid yang masih
duduk di atas kursi kayu reyot menghadap si pelayan berambut hitam.




Bersama dengan tiga orang lainnya.

Orang yang pertama adalah sesosok manusia setinggi 140 sentimeter
dengan rambut biru panjang seleher yang bersinar terang. Pakaiannya
serba biru. Kausnya, celana panjangnya, sepatu botnya pun senada
dengan mata dan rambutnya. Hanya dua gelang ungu dan sebuah kain merah
dengan lambang permata kuning di bahu kanannya yang kontras.

Izu Yavuhezid, 25 tahun, seorang ilmuwan jenius dari planet Adgarth
yang sedang mencari dunia baru sedang kebingungan karena tidak bisa
menemukan anggota yang pas untuk dirinya.

Setidaknya, sampai ia melihat sosok Zarid yang sedang duduk di depan
pelayan rambut hitam itu.

"Ah! Masih ada yang disini rupanya!"

Ujar gadis itu sambil berlari mendekati Zarid yang duduk sepuluh meter
di depannya.

"Ah! Permisi!"

"Salam sejahtera, nona muda."

Zarid kini berdiri, dan secara ajaib gitar tua dan kursi kayu kecil
itu sudah masuk ke dalam jubahnya.

"Sepertinya takdir mempertemukan kita."

Kata tambahan dari Zarid membuat wajah wanita kecil itu agak
mengkerut, namun dia tidak begitu mempedulikan hal itu. Yang ada di
pikiran gadis itu adalah melaksanakan misinya.

"Tuan Robot, maukah kau menjadi anggota kelompokku?"

"Saya tidak melihat alasan untuk berkata tidak, jadi kenapa tidak?"

Wanita itu tersenyum lebar dan segera menghaturkan rasa terima
kasihnya yang disisipkan perkenalan singkat dan undangan untuk masuk
ke dalam kelompoknya.

"Terima kasih tuan Robot! Namaku Izu Yavuhezid. Apakah kau punya nama?"

"Anda bisa memanggil saya Zarid, nona Izu."

"Izu saja cukup, Zarid."

"Oh, maafkan saya nona Izu. Saya hanya tidak ingin terdengar kasar."

Izu tertawa kecil, tapi dia sudah lega karena sudah mempunyai kelompok
untuk menjalankan misinya.

Orang yang kedua masih asyik mempraktekkan berbagai gerakan bela diri,
bahkan sampai melakukan salto beberapa kali. Sepertinya dia sedang
memastikan pergerakannya atau memang sedang membuang-buang waktu saja.

Ronnie Staccato, 31 tahun, seorang pemuda berambut coklat pendek
dengan setelan hijau zaitun yang berkelas. Dia adalah seorang
camorrista, sebutan keren dari anggota kelompok kejahatan
terorganisir. Dari balik badannya terpancar sesuatu yang enigmatis.
Kesan menekan yang begitu dalam terpancar dari gerakan-gerakan
beladirinya yang terlihat cukup berbahaya.

Ya, orang yang penuh dengan sejuta misteri dibalik perawakan dan
perwatakan yang terlihat tenang itu.

"Eh…?"

"Lho? Semuanya pada hilang? Aduh! Keasyikan ngetes gerakan jadi begini deh."

Ucapnya sambil tertawa kecil. Kemudian dia melihat sekitarnya, dan
melihat sekelompok orang dua puluh meter di depannya. Dengan langkah
santai namun cepat dia menghampiri mereka.

"Waah, kukira sudah pergi semua, ternyata masih ada yang diam di sini."

Zarid memang tidak punya indera penciuman, perasa, dan pengecap, tapi
dia bisa melihat dan menjamah gelombang misterius yang konon hanya
orang-orang dengan tingkat pemahaman spiritual tinggi yang bisa
mencapainya.

Orang ini mempunyai aura yang tidak baik. Seperti seorang setan dengan
setelan yang rapi dan menarik.

Tapi Zarid yakin, sosok setan yang enigmatis di depannya ini bukanlah
sebuah ancaman. Zarid sudah bertemu dengan "sosok sosok setan" di
dunianya, menyapa satu sama lain seperti teman.

"Tidak keberatan kalau aku ikut dalam kereta? Yang lain sudah berangkat duluan."

"Kursinya masih kosong, tuan. Tak masalah."

Ucap Zarid dengan santai, disusul oleh komentar Izu yang percaya lebih
banyak orang dalam kelompok akan lebih baik.

"Lagipula lebih banyak orang dalam kelompok akan memperbesar
keberhasilan dalam menyelesaikan misi."

"Yaaa, kata mereka kekuatan juga bergantung pada kuantitas."

Sambil tersenyum, lelaki itu mengulurkan tangannya, menawarkan sebuah
jabat tangan hangat pada Zarid dan Izu.

"Ronnie, Ronnie Staccato."

"Zarid Al-Farabi, tuan Ronnie, tapi panggil Zarid saja."

"Izu Yavuhezid! Senang berkenalan denganmu, Ronnie!"

"Haha, senang berkenalan juga dengan kalian, Zarid dan dik Izu."

Setelah jabat tangan singkat itu, Izu memicingkan matanya, kemudian
dengan bangga dia melipat tangannya sambil menatap agak sebal pada
Ronnie yang memanggilnya dengan sebutan "dik".

"Ehem, maaf Ronnie, aku dua puluh lima tahun. Kuharap aku lebih tinggi
dua puluh senti agar orang percaya aku bukan anak kecil."

Ronnie tertawa kecil mendengar ucapan Izu.

"Hahaha-ah, maaf, nona Izu. Penampilan kadang menipu."

Pelayan itu tiba-tiba melangkah dan berdiri di sebuah celah antara
Zarid, Ronnie, dan Izu, menghentikan interaksi mereka dalam sekejap.
"=_=;" terpampang di papan putihnya.

'Klian mw prgi tw g?"

"Oh iya, benar juga. Ada misi yang harus kita jalankan."

Ucap Ronnie sambil pura-pura lupa dan menempelkan telapak tangannya di dahi.

"3an aj?"

"Bisa jadi?"

"G ajak yg d sana?"

Untung saja pelayan itu mengingatkan bahwa ada satu orang lagi yang
masih belum mendapat anggota kelompok, kalau tidak mungkin orang yang
satu ini sudah didiskualifikasi karena tidak punya kelompok atau
mungkin menjalankan ujian berat sendirian.

Orang ketiga, sesosok berambut merah dengan pakaian tunik khas timur
tengah yang desainnya agak modis. Sebuah headphone menggantung di
lehernya, sedikit tersamarkan rambut merah mengkilap. Dan sebuah tas
selempang dipikul oleh bahu kanannya.

Sosok itu sedang duduk beringsut tiga puluh satu meter di belakang
kawanan dadakan ini.

"HEEEEEEI!! KE SINIIIIIIII!!"

"…Eh?"

Suara nyaring Izu membuat sosok itu segera menoleh ke sumber suara.
Mata hijau itu langsung berbinar-binar, menghapus air mata yang sempat
keluar dari rongganya.

"EEEEEEEEEEH?!"

Sosok bertunik putih itu lekas berlari dengan kecepatan tinggi,
seperti pemangsa mengejar buruannya.

"ALHAMDULILLAAAAAH!! TERNYATA MASIH ADA ORANG!!"

Sorak kegirangannya membuatnya terkesan seperti menang hadiah utama
sebuah lotre.

"Kukirasemuasudahpadapergidanakuditinggalsendiridisinitapiternyata—"

"Wah, wah, santai! Santai! Tenangkan dirimu."

Ronnie menepuk bahu sosok perempuan itu. Sontak dia terkaget dan
segera menarik nafas dalam-dalam untuk menenangkan dirinya.

"Huuuu, haaaaa, huuuu, haaaaaa…"

Suara lembut itu mengisyaratkan dia seorang wanita, namun ketiga
(empat bila kalian menghitung sang pelayan) teman kita di sini masih
agak bingung dengan sosoknya.

"Ehehe, maafkan aku. Aku agak panik ketika tidak ada yang mau menjadi
anggota kelompokku."

"Tapi karena masih ada oraaang… biarkan aku memperkenalkan diri!"

"Namaku Fatha A'lir! 24, Komandan Pasukan Kesultanan Atuktar, Single!
Tapi panggil saja Tata, Oke?!"

Ucapnya dengan penuh percaya diri sambil mencondongkan badannya dan
menyimpan lengannya di balik punggungnya seperti gadis-gadis imut di
iklan televisi atau film romansa murahan. Ronnie langsung menjawab
"Oke!" sambil mengacungkan jempolnya, mengikuti aliran interaksi yang
dibawa oleh sosok yang memanggil dirinya Tata.

Sang pelayan langsung memotong. Waktu tak bisa diulur lebih panjang
lagi. Ada misi yang harus keempat jiwa ini selesaikan.

"Jd 4an yha?"

"Oke." Ucap Ronnie mantap, disusul anggukan Zarid dan Tata, serta
komentar tambahan dari Izu yang ingin segera dibawa menuju misi yang
akan mereka emban.

"Ayo kita mulai misinya, nona maid."

"Klyan bs pnggil aq Sanniya. Skrg aq mulai yha."

Ketika papan itu berganti dengan tulisan "owo", sebuah cahaya terang
yang menyilaukan membuat keempatnya menutup mata mereka dengan
refleks. Setitik demi setitik bagian dari tubuh mereka berpindah
tempat ke dimensi baru yang tidak diketahui.

Petualangan mereka sudah dimulai.

♠♠♠

~Dua: Mencari Simpul~

Beberapa detik setelah guncangan yang menggetarkan badan dan cahaya
yang menyilaukan, kini keempat jiwa itu sudah tiba di sebuah padang
pasir yang luas, dengan langit biru cerah dan mentari terik menyinari
mere… ka?

Tunggu dulu! Seharusnya mereka berada di tengah pertempuran yang
terjadi di malam hari antara lima ratus pasukan Alforea melawan
berbagai jenis monster dan tentara jahat. Kenapa mereka bisa ada di
padang panas yang terik?

Hanya Takdir, Tuhan, dan Sanniya sang pelayan yang tahu jawabannya.

Kini, setelah mereka semua sudah dimaterialisasi di padang ini, Annya
sang pelayan berambut hitam mulai berdiri di depan mereka, sepertinya
mulai memberikan panduan.

"Slmt dtng d Alforea, tmn-tmn. Sblm aq jlsin aturnnya, q absen dl yha? owo"

Sungguh, perkataan dan logat bicara Sanniya kontras dengan nada datar
dan muka tajamnya.

"Terserah kau." Ucap Ronnie sambil memandangi sekitarnya dengan
perasaan agak heran. Tata dan Izu sudah jelas keheranan dengan
pemandangan sekitar mereka. Namun Zarid Al-Farabi sudah biasa di
tempat seperti ini. Dia merasa biasa saja. Beberapa menit yang lalu
dia masih berada di gurun pasir, kok.

"Yg prtama, Ronnie Staccato, Enigmatic Cammorista"

"Hadiiir." Ucapnya santai sambil mengangkat tangan, disusul nama Izu
Yavuhezid yang disebut oleh sang pelayan. Dia disebut "Gadis Jenius"
olehnya. Mungkin anak kecil ini otaknya punya kapasitas sebesar
superkomputer? Entahlah.
Ketika nama Tata yang disebut, nama "Lionette of Green Dome"
sepertinya bukan sebuah gelar yang main-main. Bisa jadi dia adalah
seorang komandan pasukan khusus yang kemampuan tempurnya tidak bisa
diremehkan. Tapi kelakuannya yang seperti gadis centil itu membuat
kredibilitasnya patut dipertanyakan.

"Zarid Al-Farabi, Ular Besi Pemulung Rongsok?"

"Saya, nona Sanniya."

"Ular Besi?" Tata mengernyitkan dahinya.

"Pemulung Rongsok?" Ronnie tersenyum kecut, tapi dia hanya keheranan
saja dengan gelar seperti itu.

"Ah… hahaha."

Robot itu tertawa kecil. Suara sintetik berat dari speaker di rongga
mulutnya terdengar begitu manusiawi. Apakah Zarid benar-benar robot?

"Ceritanya panjang, mungkin akan saya ceritakan kenapa saya dapat
julukan tersebut setelah misi kita selesai. Sekarang langsung saja
pada intinya, nona Annya."

"Ok, jdi…" Annya memulai penjelasannya, dan tiba-tiba logat bicaranya
berubah drastis. Semuanya jadi lancar dan selaras dengan ekspresi
wajah datarnya.


"Setiap tim akan dikirim ke sebuah gurun gersang berbatu pada malam
hari. Di tengah gurun ini sedang terjadi peperangan antara lima ratus
prajurit Alforea melawan ribuan monster dari berbagai jenis, mulai
dari slime yang paling lemah, high orc, bangsa naga, demon, pokoknya
semua monster yang bisa kamu bayangkan semuanya datang menyerbu.

Ketika kalian melihat ke langit, maka kalian akan menemukan bulan
Alforea, yaitu Alkima perlahan mulai turun dan mendekati planet.
Kurang dari 5 menit, bulan tersebut akan hancur dan dari dalamnya
muncul seekor monster raksasa setinggi 50 meter berwujud kuda bersayap
dan bertanduk bernama Tamon Rah.

Misi kalian adalah bertahan hidup dari serbuan monster yang tidak ada
habisnya, dan menyegel kembali Tamon Rah dengan cara menghancurkan dua
menara kristal yang berisi segel Tamon Rah. Kedua menara tersebut
berada jauh di arah utara, di depan sebuah kastil besar yang sudah
hancur dan dijaga oleh ratusan monster yang tidak ada habisnya. Kedua
menara ini berada di sayap kanan dan kiri kastil dan harus dihancurkan
secara bersamaan. Apabila tidak dihancurkan secara bersamaan, maka
menara tersebut akan utuh kembali seperti sedia kala.

Begitu kalian berhasil menghancurkan kedua tower, maka seluruh monster
yang ada akan hancur dan Tamon Rah akan tersegel kembali. Lalu sebuah
portal akan muncul untuk kalian kembali ke Alforea."

Semuanya diam, berusaha meresapi setiap kata-kata yang keluar dari
mulut Annya. Dan semuanya menoleh ke arah satu sama lainnya,
sepertinya mereka menemukan sesuatu yang ganjil dari penjelasannya
dengan kenyataan yang mereka alami saat ini.

"Interupsi. Boleh tanya sebentar?" Ronnie yang menyadari keganjilan
ini memberanikan diri untuk bertanya.

"yha? owo"

Logatnya kembali rusak.

"Katamu tadi kita dikirim ke gurun pasir di malam hari tempat lima
ratus prajurit Alforea perang melawan berbagai macam monster, dan
kemudian lima menit setelahnya akan muncul monster kuda bernama Tamon
Rah, kan?"

"yha. owo"

"Lalu kenapa kita berada di gurun pasir berbatu yang kosong di tengah hari?"

"Mf mz, teleport sy eror. Slh pndh dimensi. uwu"

"Terus? Gak dibenerin?"

"Teleport sy cm bs skli mz. Sy msi nubi maid mz. uwu"

Semuanya diam.

Perlu waktu sepuluh detik untuk membuat keempat anggota kelompok ini
sadar bahwa misi yang akan mereka emban kena bug.

"Wah!!"

"Luar biasa!!"

Yang pertama merespon kekeliruan di misi mereka ini adalah Ronnie.
Dengan nada yang anehnya begitu tenang, mengekspresikan sebuah
sarkasme tajam sambil bertepuk tangan.

"Jadi kita terjebak di gurun pasir siang bolong begini? Tanpa ada
apapun yang berhubungan dengan misi? Luar biasa. Jadi kita semua
terjebak di sini selamanya ya?"

"G si mz, kt 66,6 km dr tmptny, kt br smp mlm hr klo jln smp 66,6 km k utara."

Tata dan Izu mulutnya menganga.

"E-eeeh... jadi kita harus berjalan seharian baru sampai ke tempat
misi? Gak bisa langsung ke sana?" Ucap Tata sambil menyeringai gugup
bagai seekor biri-biri.

"Nda bs."

Tata menghela nafas panjang dan mengelus dadanya.

"Astagfirullah…"

"Nona maid, kamu gak salah kita harus jalan sejauh itu biar bisa
nyelesain misi kita?"

Izu langsung berwajah murung karena sebuah kenyataan yang ternyata
berbeda jauh dari apa yang dia bayangkan.

"mf mb Izu, tp g bs drubh lg uwu"

Takdir memang selalu penuh hal-hal tidak terduga.

Tata hampir beringsut lagi, namun Zarid yang melangkah maju ke depan
dan disusul oleh Ronnie membuat wanita 24 tahun itu bertanya-tanya.

"Hei, kalian mau ke mana?"

"Sudah jelas, kan?" Ronnie membalas dengan santai sambil mengeluarkan
sebuah topi yang biasa dipakai loper koran berwarna putih yang penuh
dengan aksen kotak-kotak warna hitam.

"Kalau tidak ada cara lain selain berjalan, apa lagi yang harus kita
lakukan?" Tambah Zarid, gitar tua cokelatnya sudah berada di
pangkuannya lagi.

"Perjalanan ini akan sangat melelahkan…" batin Izu sambil mulai
melangkah, mengikuti Tata yang agak berlari mengejar dua sosok yang
sudah mulai menjauh.

♠♠♠

/Perjalanan ini diiringi lagu "Berita Kepada Kawan" oleh Ebiet G. Ade

"Zarid, apa tidak ada lagu lain yang bisa kau mainkan? Dari tadi lagu
itu terus." Ucap Ronnie sambil menguap.

"Bosan, tuan Ronnie? Kalau begitu saya mainkan "Suara Padang Pasir",
kebetulan kita berada di tempat yang pas."

Irama gitar yang dimainkan seketika berubah. Nada gitar yang awalnya
rendah mulai berpindah harmoni menuju kunci yang agak tinggi, diiringi
petikan-petikan lihai yang mulai membawa suasana khas Timur Tengah dan
padang pasirnya dalam permainan gitar Zarid, memperkuat suasana yang
ada di sekitar mereka.

"Tidak buruk. Mirip sejenis Flamenco dicampur Rhumba…"

"Haha, ternyata pengetahuan dan selera musik anda cukup tinggi, tuan Ronnie."

"Loh, ada Flamenco dan Rhumba juga di tempatmu? Kukira hanya ada di Stallza."

"Di tempat saya berasal, Flamenco dan Rhumba ada di benua Amerika."

Izu yang sedari tadi memperhatikan pembicaraan Ronnie dan Zarid
mengenai musik, mulai membuka topik.

"Amerika? Apa itu?"

"Benua, nona Izu. Bumi tempat saya tinggal, keseluruhan benuanya
disebut "Pangaea", dan Amerika adalah salah satu benua besar tersebut,
sekarang disebut "New Frontier" oleh para penduduk."

Izu mulai mengangguk, dia mengerti maksud Zarid. Tapi ini membawa
sebuah pertanyaan baru di benak Izu.

Dari mana semuanya berasal? Apakah dunia yang ditempati jiwa-jiwa ini
satu kesatuan? Apakah sebuah dimensi terpisah yang bermacam-macam?

Izu yang sudah sangat penasaran pun angkat bicara.

"Hmm… kalian tahu? Aku jadi mulai penasaran… kalian ini berasal dari
mana saja? Dan apa yang kalian lakukan sebelum sampai di Alforea?
Setidaknya kita perlu mengenal satu sama lain agar kerjasama tim
terjalin dengan baik."

Yang pertama membalas pertanyaan Izu adalah Zarid.

"Saya hanya pengelana beralas tanah dan berselimut langit, nona Izu.
Planet Bumi adalah tempat saya tinggal."

"Bumi? Kok sama denganku ya?"

Tata pun ikut angkat bicara, tapi dia agak bingung dengan tempat
tinggal Zarid yang kedengarannya hampir sama dengan tempatnya.

"Hmm?"

"Planet tempatku tinggal namanya juga Bumi. Hanya saja… tidak ada
Amerika, Flamenco, dan… Rumbah."

"Rhumba." Potong Ronnie, berusaha menggoda wanita yang di pandangan
matanya masih tidak jelas gendernya dengan koreksi bernada mengejek.

"Iya maaf, maksudnya Rhumba."

Semuanya jadi terkekeh kecil ketika melihat Tata mengeluarkan ekspresi
sebal ketika mendapatkan godaan sepele dari sang Camorrista, kecuali
sang pelayan.

"Jadi, kesultanan Atuktar itu seperti apa, Tata?"

"Kesultanan yang makmur. Meski perang berkecamuk di tanah kami, kami
tetap bisa bertahan. Semua berkat ajaran Allah dan Rasulnya."

"Allah dan Rasulnya? Anda Islam?"

"Di tempatku ajarannya bernama Salama…"

"Ah, langsung masuk topik berat. Aku sebenarnya tidak terlalu ambil
pusing untuk topik sejenis ini. Tapi sepertinya ada ajaran yang
sejenis di planet Earnut, walau bukan bernama yang seperti kalian
sebutkan. Dan ajaran memuja dewa-dewa seperti itu agaknya konyol di
Stallza." Ujar Ronnie yang berusaha menimpali sambil bersiul.

"Koreksi, tuan Ronnie. Allah itu bukan dewa, namun Tuhan. Setidaknya
di dunia saya begitu. Mungkin di dunia Tata pun begitu."

"Diskusi ketuhanan seperti ini tidak cocok bila harus di tengah padang
pasir gersang begini. Nanti kalau bisa minum kopi dan duduk di sofa,
mungkin kita semua bisa mencari Tuhan?"

"Hahahaha, kiranya benar, tuan Ronnie. "

"Jadi… apa yang kau lakukan sebelum ada di sini?" Tata pun bertanya.

"Hmm… bagaimana ya…"

Ketika Ronnie ditanyakan mengenai dirinya, dia hanya mengelus-ngelus
dagunya, seperti meraba jenggot yang tidak terlihat.

"Banyak yang menyamakan diriku dengan sosok setan neraka di tempat
asalku, tapi kurasa aku hanyalah seorang lelaki dengan banyak waktu
luang. Dan kebetulan waktu luangku terpakai untuk mencoba permainan
ini."

"Permainan?" Mata Zarid berkedip ketika mendengar hal tersebut.

"Yaaa… katanya Alforea ini adalah sebuah permainan online. Jadi kukira
semua yang ada di sini hanya permainan saja." Ucapnya santai.

"Hmm, ternyata sama denganku." Tambah Tata.

"Sementara saya di sini menerima sebuah surat undangan lewat ponsel
genggam saya, menjanjikan sebuah kamar di surga. Sungguh undangan yang
konyol."

"Surga?" Tata bertanya-tanya.

"Katanya ada pulau pribadi, rumah megah dan berbagai macam fasilitas.
Tapi saya tidak percaya, dan bum, saya berada di sini bersama kalian."

"Kau sendiri bagaimana, Izu?"

Izu yang ditanyai pertanyaannya sendiri oleh Ronnie dengan polos
menjelaskan dirinya.

"Aku ilmuwan dari Planet Adgarth dan tinggal di Kota Atir, namun aku
ingin mewujudkan mimpi yang belum bisa dicapai oleh orang tuaku,
menemukan dunia baru. Dan dalam perjalananku mencari dunia baru
tersebut, aku secara ajaib muncul di sini."

"Dunia baru… ya?" Ronnie tersenyum kecil.

"Kau tahu? Mungkin yang ayahmu maksud adalah dimensi lain. Sesuatu
seperti Negative Zone atau dunia di balik lubang hitam. Mungkin
Alforea adalah tempatnya?"

"Atau lebih tepatnya, Alforea adalah penghubung dunia-dunia baru itu."

Semuanya menoleh pada Zarid.

"Kalau Battle of Realms adalah turnamen sejagat raya, apa tujuan dari
turnamen tersebut? Tidakkah kalian mencium sesuatu yang aneh dari
turnamen ini?"

Semuanya saling bertukar pandang, seakan mulai menyetujui Zarid, namun
sepertinya mereka melupakan seseorang yang merupakan anggota panitia
dari turnamen ini.

"Sy dngrin lho mz, nnti q lapor k Kanjeng Ratu Tamon Ruu lho owo"

"Lalu apa yang saya dapatkan bila saya mempertanyakan hal-hal sepele
seperti itu?"

"Sy g bs jwb mz, tp mnding jgn d lnjut, Kanjeng Ratu Tamon Ruu g ska
kptusnx dtanya dan dgugat uwu"

"Oh, begitu ya… kalau begitu sebaiknya kita lanjutkan perjalanan. Misi
kita masih panjang…"

Mereka pun berjalan melewati padang pasir, diiringi oleh Suara Padang
Pasir dalam kunci D oleh Zarid Al-Farabi…

♠♠♠

Hilangnya diskusi filosofis yang membuang-buang waktu itu membuat
panas terik gurun Alforea mulai terasa menusuk. Merasuk ke dalam
setiap pori-pori kulit dan meresap sampai sumsum tulang. Zarid yang
tidak punya kulit pun mulai merasakan terik panasnya. Helmnya mulai
kemerahan dan agak berasap.

"Panaaaassss…" Ucap Izu sambil berjalan agak membungkuk. Yang lain pun
merasakan hal yang sama, terlihat dari wajah Tata yang sudah murung
sedari tadi, Ronnie yang sudut bibirnya agak menurun, dan Zarid yang
makin merah helm dan badannya. Asap berbau gosong keluar dari
kepalanya.

Tapi pelayan itu sama sekali tidak terpengaruh oleh situasi ini.

Oh iya, dia adalah panitia Battle of Realms. Dia punya hak khusus
untuk tidak terpengaruh beberapa kondisi dalam misi.

Atau mungkin hak khusus itu hanya bualan Kanjeng Ratu Tamon Ruu
belaka. Siapa yang tahu Sanniya merasakan kepanasan layaknya mereka
berempat?

"Hei, tidak bisakah kau keluarkan air atau semacamnya untuk kami? Kau
setidaknya punya wewenang merubah sedikit kenyataan yang ada di dunia
ini kan?" Ronnie mulai bertanya pada gadis rambut hitam yang berjalan
paling belakang.

"Cm di lobi Alkima, mz Ronnie." Balasnya sambil mengangkat papan yang
bertuliskan "uwu"

"Bagus sekali."

Izu lalu berhenti sebentar, membuat semuanya menoleh ke arahnya.

"Tunggu sebentar, sepertinya aku membawa beberapa botol air dalam
perjalanan, namun sepertinya tak banyak." Ucap Izu sambil merogoh
sesuatu dari kantung celananya, mengeluarkan sebuah kubus kecil
seukuran permen, menekan-nekan kubus itu sebelum membuat kubus
tersebut melayang-layang dan merogoh kubus biru yang membesar hingga
sebesar dua kali kepalanya.

Abra Kadabra! Muncul empat botol air ukuran tujuh ratus milliliter.
Dibagi-bagikannya semuanya kepada semua yang berbentuk manusia.
Semuanya pun minum air tersebut dan merasa segar kembali. Sementara
untuk Zarid…

"Sepertinya saya juga punya stok air. Tunggu sebentar."

Zarid lalu merogoh jubahnya, mengeluarkan sebuah kotak biru dengan
tanda x di tengahnya.

"Oh maaf, ini bensin."

Dilakukan hal yang sama, lalu keluar wadah yang sama pula, namun kali
ini berwarna putih.

"Sepertinya ini jerigen kosong."

"Umm, bukan jerigen ini."

"Umm… ini Anggur Merah Johnson."

"Uhh… saya tidak ingat pernah memungut cairan ini."

"Ah… jerigen ini."

Mata Zarid menyala terang meski suaranya agak gemerisik. Sepertinya
dia kena panas berlebih.

"Maaf semuanya, saya dinginkan diri saya terlebih dulu."

Bagian topeng yang menutupi setengah wajahnya berpisah ke kiri dan
kanan, mengeluarkan sebuah rahang manusia yang terbuat dari logam.

*PSSSSSSH!*

Ketika air masuk ke dalam mulut itu, seketika asap panas keluar dari
balik kepala si Ular Besi. Tata dan

"Ah… lebih baik."

Semuanya terlihat bingung dengan kejadian barusan.

"…kenapa? Kalian pikir hanya kalian saja yang bisa kepanasan? Lebih
baik kita berjalan lagi, ambil saja jerigen dan airnya."

Zarid kemudian berjalan lagi, memberikan jerigen tersebut pada
kawanannya di belakang.

Ketiganya masih mencoba mencerna apa yang tadi robot itu lakukan,
namun mereka masih haus, jadi mereka fokus untuk menghilangkan kering
di tenggorokan mereka.

"Zarid, apa sebenarnya yang ada di balik jubahmu?" Tanya Izu.

"Ya, sepertinya jubahmu bisa muat banyak barang seperti itu. Kau
tukang sulap?" Tata menambahkan.

"Jubah saya kurang lebih sama seperti kubus kecil anda, nona Izu. Ada
banyak rahasia di dalamnya… dan menjadi tukang sulap kiranya tidak
cocok untuk robot berkarat yang tidak dilengkapi sirkuit sihir seperti
saya." Balas Zarid sambil melanjutkan langkahnya.

Ronnie yang sedari tadi diam hanya tersenyum kecil, melihat semua
kawanan kelompoknya dengan seksama.

"Bahkan robot pun perlu minum. Permainan yang sangat menarik."
Batinnya dalam sebuah siulan kecil.

♠♠♠

Belum setengah jalan mereka tempuh, dan panas terik sudah mulai naik
di ubun-ubun. Air tadi hanya memberikan sedikit pertolongan bagi empat
jiwa-jiwa yang berkelana di padang gersang ini. Entah kenapa panasnya
begitu membara pada saat ini. Bahkan empat lainnya bisa berasap
seperti Zarid.

"Astaga…" Ronnie mulai menggelengkan kepala dengan panas yang
menurutnya lebih ke perkara menyebalkan dibanding sebuah siksaan.

"Masih lama, nona Sanniya?"

"Msh 33,3 km lg, mz Zarid."

Semuanya mulai letih karena panas ini. Panas seperti ini bisa membuat
orang yang tidak kuat menjadi gila.

Seperti Tata yang tiba-tiba cekikikan sendiri.

"Hi…hihihihihihihi…hihihihihihi…"

"Tata?" Izu menoleh, melihat gadis yang mulai berlutut ke tanah dan
memukul-mukul pasir sambil cekikikan tidak jelas.

"Tata, kamu kenapa?!" Izu mulai cemas, dia memegangi bahu wanita dua
puluh empat tahun itu dengan tangan yang agak gemetaran. Izu mulai
berpikiran Tata kena serangan panas. Tata tidak berkeringat, badannya
berasap, dan pupil matanya agak membesar, fokusnya seakan kabur.

Hal yang sama kemudian terjadi pada Ronnie.

Dia mulai terkekeh-kekeh kecil, sebelum menjadi sebuah kekehan yang besar.

"Kkk-kek. Kekekekekekek! Khekhekhekhekhekhekhekh!"

"Ronnie?! Kau juga?!"

Ekspresi Izu menjadi bingung. Sepertinya satu persatu anggota
kelompoknya terkena hipertermia, keadaan di mana badan terlalu panas
dan mengganggu fungsi kerja tubuh, terutama di bagian otak. Izu curiga
teman-temannya kena serangan panas di pembuluh darah otak, membuatnya
bengkak dan membuat mereka kehilangan akal sehat.

"Bff!Hu…HUHUHUHU!HUHUHUHUHUHUHUH!!"

Kali ini Zarid juga tertawa aneh. Izu bertanya-tanya. Memang robot
bisa kena serangan panas?

"Zarid juga?!"

"Astaga… bahkan maidnya pun tertawa."

"wkwkwkwkwkwkwkwkwkwk!" Seru Annya sambil memegang papan putih bertuliskan "XD"

"Ya…tu…han… semuanya mulai gila karena kena heatstroke… ini berbahaya…
tinggal diriku yang waras di sini… aku harus bertahan…"

Izu mulai panik.

Semuanya sudah dia guncang dan dia tepuk-tepuk sekuat tenaga. Namun
semuanya masih tertawa keras.

Apa yang mereka tertawakan?

"Ayolah! Tenang kalian semua! Bertahanlaah!!"

"Hihihihhihihihihi!!"

Fatha yang masih tertawa pun memegang bahu wanita kecil itu dengan perlahan.

"Hihihi… I-hi-zu… Izu… aku baik-baik saja, tapi sebaiknya kau… lihat
ke… HIHIHIHIHIHI!!"

Telunjuk wanita berambut merah itu akhirnya membuat Izu mengerti apa
yang semuanya tertawakan.

Sebuah pohon kaktus.

Namun kaktus yang mereka tertawakan bukan kaktus sembarangan. Sebuah
pohon kaktus setinggi tiga meter menjulang dengan batang yang agak
gembung di tengahnya, dengan ujung seperti sebuah kuncup jamur kancing
yang terbelah sedikit di tengah kuncup tersebut. Di bawahnya terdapat
dua buah kaktus oval yang agak besar, lengkap dengan duri-duri yang
menancap di dua kaktus lonjong tersebut.

"LUAR BIASA!! KAKTUS ARMSTRONG!! KEKEKEKEKEKE!!"

"Huhhuhuhuhuhuhu…d-detailnya luar biasa…"

"As-astagfi-rrullah… i-hi-hi-tu… ihihi…HIHIHIHIHI!!"

Izu awalnya menatap sosok kaktus tersebut dengan seksama. Sebelum
akhirnya dia mengerti benda apa yang mereka tertawakan.

"Aku cuma lihat di buku… tapi… h…h…hHAHAHAHAHAHAH!!"

Satu jam mereka habiskan untuk tertawa sampai tidak sadarkan diri.

♠♠♠

Matahari mulai menurun, langit mulai memerah. Para kawanan yang sudah
sadar akhirnya melanjutkan perjalanan mereka berjalan melewati padang
pasir Alforea yang begitu luas.

"Waktu kita sampai tengah malam kan, ya?"

"yha mz owo"

"Berapa lama lagi?"

"20an km lg."

"Bisa santai dulu sih sebenarnya. Mungkin kita butuh istirahat untuk
sementara ini…?" Ronnie berujar.

"Dan aku lupa aku belum melaksanakan Shalat."

"Shalat?" Izu dan Ronnie melihat ke arah perempuan bertunik putih.

"Ibadah dalam ajaranku namanya Shalat. Tapi tak ada sajadah… hmm…"

"Pakai jubah saya saja." Ucap Zarid sambil menghamparkan jubahnya di
gundukan pasir yang landai.

"Ah, terima kasih Zarid. Tapi… kau? Kau ini robot kan ya? Kau diberi
perintah untuk Shalat juga?"

"…pertanyaan yang sulit." Ucap sosok logam itu dengan nada yang agak berat.

"Sungguh sulit untuk saya jelaskan, namun singkat cerita, saya bukan
sepenuhnya robot. Otak saya otak organik, dan terkadang harus selalu
diberi air agar otak di dalam kepala ini tetap segar. Dan sebelum saya
berada dalam tubuh ini, saya juga menganut ajaran yang sama dengan
anda. Namun solusi untuk Shalat dalam tubuh ini masih belum saya
pecahkan. Saya putuskan untuk tidak melakukan ibadah wajib saya, namun
saya selalu baca Qur'an dan maknanya, bersedekah dan berzakat, serta
melakukan hal-hal baik yang bisa saya lakukan. "

"Tapi… kalau begitu… bukankah akan sia-sia bila tidak melakukan yang
wajib? Shalat adalah tiang agama, kan?"

"Saya sangat mengerti itu, nona. Tapi bagaimana caranya melakukannya
dengan tubuh seperti ini? Saya tak bisa berwudhu, bertayyamum pun
tidak ada bagian kulit yang kena. Melakukan gerakan shalat seperti
biasa pun saya ragu apakah saya suci atau tidak."

Wanita berambut merah itu pun melirik Zarid, lalu pada sajadah buatan
Zarid, lalu pada Zarid lagi. Hal itu terus berulang kali terjadi,
seakan sebuah kebimbangan yang instan menohok batin perempuan muda
ini.

Bagaimana caranya manusia hidup yang sudah kehilangan tubuhnya melakukan Shalat?

"Hmm… entahlah Zarid. Aku bukan ahli agama. Tapi selama kau berada di
jalan Allah, aku yakin kau akan baik-baik saja. Semoga Allah selalu
memberikan rahmat dan karunia-Nya padamu."

"Amin. Segera laksanakan ibadah anda."

Tata pun mengeluarkan beberapa lembar kain dari tas selempang kulitnya
untuk menutupi seluruh tubuhnya setelah membasuh dirinya dengan
sedikit pasir yang ada di tanah Alforea. Ronnie dan Izu yang
berdiskusi sendiri pun akhirnya dihampiri oleh sesosok robot kelabu
yang kurus dan kotak-kotak.

"Apa yang kalian bicarakan? Bolehkah saya tahu?"

"Entahlah, berbagai macam hal." Balas Izu.

"Tak kusangka dia sangat paham tentang pizza. Mozarella dan Pepperoni
menjadi sebuah hal yang memusingkan bila dibicarakan dengan nona yang
satu ini."

"Tapi Mozarella dan Pepperoni itu adalah hal yang mendasar dalam
Pizza! Sama seperti filsafat yang menjadi dasar dari segala ilmu
pengetahuan di alam semesta ini! Tidak ada Mozarella dan Pepperoni
dalam pizza sama halnya membuang dasar etis dari sebuah ilmu!
Nonsense!"

"Ya,ya, ya… mungkin kau benar, Izu. Lagipula sebuah pizza memang tidak
terasa seperti pizza bila tidak ada keju elastis dan potongan oval
gurih itu. Tapi ada saja yang tidak mau menerima hal itu, sama seperti
sebuah kebenaran. Ada yang lebih senang makan pizza dengan potongan
zaitun dan bawang."

"Saya bisa menangkap apa yang kalian bicarakan saat ini, tapi
sepertinya kalian sudah menutup diskusi ini. Ada topik baru?"

"Entahlah, diskusi mengenai pizza dan etika ini membuatku sakit
kepala, sebaiknya kalian lihat ke sana, matahari sudah mulai turun."

Mentari terbenam di gurun Alforea ternyata indah juga.

Namun petualangan mereka belum selesai.

Ada misi yang harus diselesaikan, misi itu bahkan belum dimulai.

Pelayan berambut hitam yang misterius itu hanya mengamati keempatnya
dengan seksama, papan putih yang dia pegang mengeluarkan suatu simbol
yang belum pernah terlihat sebelumnya

"^_^"

♠♠♠

~Tiga: Ikatan~

Malam sudah tiba, bulan Alforea yang disebut Alkima kini menyelimuti
gurun pasir yang anehnya masih cukup panas walau matahari sudah tiada.
Perjalanan 6,66 kilometer terasa seperti ratusan kilo panjangnya.
Perjalanan yang ditempuh para jiwa-jiwa tersesat ini terasa sangat
jauh dan lama, namun tanda-tanda peperangan tempat misi yang harus
mereka selesaikan masih belum muncul juga. Masih sembilan koma
sembilan kilometer tersisa sebelum mereka semua berada di lokasi yang
dijanjikan.

Padahal sudah dekat menuju lokasi, tapi langkah mendadak terasa lebih
berat dan waktu terasa lebih lambat 10 detik setiap detiknya.

"Aku ingin misi ini cepat selesai." Izu mulai bergumam pada dirinya
sendiri sambil berjalan cepat, meninggalkan Zarid, Ronnie, Tata, dan
Sanniya di belakangnya.

"Semua pun begitu, nona Izu. Saya mengerti anda sudah mulai lelah
karena perjalanan kita yang begitu panjang dan tidak membuahkan
hasil." Ucap Zarid secara tiba-tiba sambil menepuk bahu si rambut
biru.

"Eh, Zarid?! Kau mendengarku?"

"Tuhan selalu punya rencana dibalik takdir yang Dia berikan pada kita."

"Kau percaya Tuhan dan Takdir?"

"Dia bekerja dengan cara yang misterius, nona. Setiap aspek-Nya ada di
dalam kehidupan kita."

"Kau agak aneh, Zarid. Tapi aku senang pemikiran-pemikiran baru.
Walau… mempercayai keabsahan suatu konsep abstrak itu… agak di luar
nalarku."

"Karena memang banyak hal di luar nalar kan, nona? Yang anda perlu
lakukan hanya percaya, dan konsep abstrak itu akan jadi pasti."

Zarid berjalan lebih cepat, mengikuti Annya yang tiba-tiba menjadi di
depan mereka.

"Contohnya seperti ini."

Entah kenapa, tiba-tiba perjalanan panjang mereka terhenti. Kini
mereka sudah berdiri di atas bukit pasir yang menggunduk, menjadi
saksi antara lima ratus prajurit Alforea yang maju dengan gagah berani
melawan monster-monster berbagai jenis disertai tentara-tentara
berbaju hitam yang berkumpul di sebuah reruntuhan kastil dengan dua
menara kristal yang kerlap-kerlip.

Ternyata mereka sudah sampai di tempat yang dijanjikan.

"Kt sudha smpe mz, mb owo"

Keempat jiwa itu melihat pemandangan di depan mereka dengan seksama.

Ronnie tersenyum kecil, sepertinya merasa senang dengan pemandangan
tersebut. Dia sudah menunggu saat ini. Saat untuk mengetes kekuatannya
di dunia yang bernama Alforea.

Tata yang sudah pernah di medan perang selalu merasa tidak nyaman
dengan situasi seperti ini, namun dia sudah siap bila harus maju dan
menggempur makhluk-makhluk asing yang entah apa saja wujudnya bersama
lima ratus tiga tenaga tempur lainnya. Dia akan membuktikan dirinya
sebagai Lionette of Green Dome di sini.

Izu sedikit bergidik karena belum pernah terjun ke medan perang secara
langsung. Tapi demi mimpinya menemukan dunia baru dan tekad yang
diwariskan keluarganya padanya, dia tak akan gentar begitu saja.

Sementara robot logam kita, Zarid Al-Farabi, mendongak sejenak ke atas
langit, melihat bulan bulat yang indah bercahaya. Sepertinya dia sudah
melihat jauh ke depan dan memprediksi semuanya. Bila dia punya mulut,
dia akan tersenyum seperti Ronnie yang kelihatannya juga sudah
mengetahui takdir yang sudah digariskan pada mereka.


"Jadi… kita terjun ke bawah sana dan ikut berperang melawan
monster-monster ganas itu…?" Izu mencoba mengkonfirmasikan situasi
yang akan dia hadapi bersama dengan ketiga kawan dadakannya ini.

"Lebih tepatnya, menghancurkan menara kristal kembar yang dijaga oleh
mereka. Sebelum atau setelah keluarnya makhluk bernama Tamon Rah itu."
Tata memperjelas poin yang harus diselesaikan.

"Yha owo"

"Ada rencana? Aku rasa kita bisa mengatur strategi terlebih du—"

"Rencana? Maju saja dan habisi musuh sebanyak mungkin sampai kita bisa
menghancurkan menara tersebut."

Ronnie sudah berjalan dengan tinju yang terkepal dan kerah kemeja yang
sudah longgar. Suara gemerutuk keras terdengar dari leher yang berayun
ke kiri dan ke kanan.

"Ide bagus, tuan Ronnie. Tapi saya kira anda bisa lebih cerdik dalam
masalah ini."

Zarid yang sepertinya sudah setuju dengan rencana itu pun ikut melangkah.

"Yaaa, kita lihat nanti."

"…dan setelah itu, selanjutnya kau akan berkata: "Biar takdir yang
menentukan.", kan?"

Zarid kemudian tertawa, disusul oleh kekehan lelaki bertopi loper.
Mereka berdua berjalan dengan santai mendekati kerumunan itu seperti
menjemput maut itu sendiri.

"Kita tidak tahu apakah pertemuan kita bisa lebih lama lagi. Sebelum
takdir memisahkan kita, saya mohon pamit. Senang bisa menghabiskan
waktu dengan kalian dalam permainan ini."

Zarid sudah siap meluncur bersama Ronnie, bila tidak mendengar Izu
yang berteriak meminta mereka untuk berhenti terlebih dulu.

"Tunggu! Kalian nekat mau menerobos?! Apakah tidak ada cara yang lebih
baik selain bertaruh nyawa?!"

Mata Izu yang mulai berkaca-kaca, membuat Tata yang berdiri di samping
wanita pendek itu juga agak terenyuh perasaannya. Nampaknya gadis
serba biru ini benci dengan sebuah perpisahan.

"Kau ingin misi ini selesai, kan? Ya kita harus maju." Ronnie menatap
Izu dengan datar. Sepertinya dia sudah membulatkan keputusannya untuk
maju.

"Perkara hidup atau mati kembali lagi pada usaha kita dan suratan
takdir, Nona Izu. Sekejam apapun takdir yang digariskan pada kita,
yang penting kita memberikan perlawanan terbaik dengan usaha dan doa."

"Kau tidak takut mati?!"

Air mata Izu menetes. Sepertinya dia sangat tidak suka ketika harus
melihat orang-orang pergi meninggalkannya untuk sebuah rencana yang
mungkin meminta nyawa mereka sebagai harganya.

"Orang yang sudah pernah mati tidak akan takut untuk mati kedua kalinya, nona."

"Tidak ada waktu lagi Zarid, ayo maju."

"Maaf nona Izu, Tata. Kalau mau maju bersama saya persilahkan, tapi
saya tidak tega melibatkan perempuan di medan tempur. Biar saya dan
tuan Ronnie yang maju dan merubah takdir kita di sini."

"ZARIIIIID!! RONNIIIEE!"

Zarid dan Ronnie pun mulai berlari kencang, melompati bukit pasir itu
dengan adrenalin penuh dan terpacu keras.

"Akhirnya! Ini yang kutunggu-tunggu! Aksi baku hantam sungguhan!"
Teriak Ronnie penuh antusias pada langit yang terbuka. Sepertinya dia
mengutarakan sebuah ekspresi frustrasinya pada sesuatu yang tidak
kasat mata.

Yang jelas bukan pada anda-anda yang sedang menikmati cerita ini.

Zarid yang tidak banyak bicara segera mengeluarkan salah satu senjata
andalannya. Pistol laras panjang tiga puluh sentimeter berwarna abu
kehitaman dengan tempat peluru yang lebih panjang dibanding
pistol-pistol sejenisnya.

"Jadi, anda mau mulai buka taruhan, tuan Ronnie?"


Sementara itu, Izu yang masih terusik batinnya karena Ronnie dan Zarid
yang nekat maju menerobos kerumunan itu untuk bisa menghancurkan
menara kristal kembar yang nun jauh di sana dan menyelesaikan misi
mereka. Dia masih terisak dalam emosi yang meluap-luap.

"Aku tidak mengerti… kenapa mereka yang rela mempertaruhkan nyawa begitu saja?!"

Sebuah tangan menepuk bahu wanita pendek yang sedang rapuh itu,
disusul sepasang lengan yang kini merangkulnya hangat.

"Aku juga tidak mengerti. Tapi bagi yang sudah biasa berhadapan dengan
maut setiap harinya, kematian itu adalah teman bagi mereka. Satu inci
lebih dekat pada kematian kadang malah menjadi sebuah motivasi bagi
seseorang untuk bertahan hidup. Itulah medan perang, Izu."

Ucap Tata sambil mendekatkan wajahnya pada Izu. Sungguh agak lucu
ketika yang usianya lebih muda bisa memberikan ceramah singkat pada
orang yang lebih tua.

"Yang sudah mendapatkan hidayah kadang terlihat nyentrik, tapi mereka
tahu betul seberapa besar nilai sebuah jiwa."

"Hida…yah?"

"Sebutan untuk pencerahan dalam ajaran Salama."

Senyum Tata kini benar-benar terlihat tulus, memancarkan kecantikan
alaminya sebagai seorang perempuan. Tata dan Izu terlihat seperti
sepasang kakak adik yang berbeda warna dalam situasi seperti ini.

"Kita tidak bisa diam saja di sini… Aku tidak mau berpisah dengan
kalian semua. Kita ak— "

"…Kita pasti menyelesaikan misi ini."

"Kalau begitu mari kita bantu mereka semampu kita, agar misi ini
selesai dengan cepat ."

Tata melepaskan pelukannya, membiarkan Izu mengambil keputusan.

"Kau benar."

Gelang ungu yang ada di lengan Izu kini bercahaya terang, mengeluarkan
sebuah sepasang tongkat kecil sebesar genggaman Izu lebih beberapa
sentimeter. Dua tongkat kecil itu lalu mengeluarkan sinar biru terang
yang tajam sepanjang satu meter.

"Oh, kau bisa bertarung, Izu?"

"Belum pernah kucoba dalam pertarungan sungguhan. Tapi aku rasa aku
bisa melakukannya."

"Tidak, aku percaya aku bisa melakukannya."

Izu menyeka air matanya dengan lengannya karena tangannya sudah sibuk
menggenggam pedang cahaya kembar itu.

"Oh, itu bagus! Aku jadi bersemangat mendengarnya!"

Tata pun mengeluarkan sebuah pedang melengkung yang sedari tadi
terselip di balik sarung yang tersembunyi dalam tunik putihnya.

Kedua wanita itu saling mengangguk satu sama lain dan segera maju ke
medan perang. Kalau laki-laki punya kebanggaan, wanita juga punya
martabat yang tidak bisa diremehkan begitu saja. Kemauan dan tekad
para perempuan sama kerasnya dengan lawan jenis mereka.

Pelayan dengan wajah ala pemain poker itu kini mendapati sudut
bibirnya naik sedikit ke atas.

"nvn"

♠♠♠

*DUAR!!*

*JELEGERR!!*

*CENTRANG CENTRING!!*

*GROAAAAAAAAAARRR!!!*

"DEMI ALFOREA!!"

"DEMI KANJENG RATU!!"

"HEAAAAAAAAAAAAAA!!"

Para prajurit Alforea dengan bertempur dengan semangat membara.

Meski mereka tahu takdir yang akan menimpa mereka, mereka tidak patah
arang. Mereka terus maju tanpa gentar, melawan para monster-monster
jahat dan tentara-tentara kegelapan.

Pertempuran sudah berlangsung cukup lama. Para prajurit yang dibekali
berbagai macam senjata dan kemampuan berusaha menahan gempuran monster
yang datang silih berganti.

Si Ular Besi dan Camorrista sudah berada di panggung pertempuran,
merangsek masuk di antara ratusan prajurit Alforea yang memakai
pakaian dan zirah serba putih yang melawan berbagai macam makhluk
mistis dan tentara misterius berseragam hitam. Si jas hijau
mengayunkan kaki dan tangannya sambil memegang topi putih
kotak-kotaknya, menghantam kawanan goblin dan ogre dengan keji.
Sementara Zarid tanpa ampun memberondong setiap kepala monster dan
tentara hitam yang dia lihat dengan pistol hitamnya. Tiga peluru untuk
setiap kepala.

Bila diibaratkan papan catur, bayangkan arena sebesar sembilan kotak
papan catur utuh dengan satu set pasukan putih melawan satu set
pasukan hitam dan dikepung oleh berbagai bidak catur dalam aneka
warna..

Kurang lebih situasi saat ini bisa digambarkan seperti itu.

"HA!!"

*CLING!! DUESHH!*

Sesosok wanita pirang bertelinga lancip yang memakai campuran gaun dan
zirah mengayunkan tongkat yang setinggi badannya dan memunculkan
kilatan cahaya putih, meledakkan beberapa kawanan serigala besar yang
mengepungnya, sementara kembarannya yang berzirah lebih tebal sedang
asyik membelah-belah tentara hitam tidak jauh dari tempat si penyihir.

"Tara! Kau terlalu jauh dari jangkauanku! Kau akan mengacaukan formasi!"

"Banyak yang berdatangan dari arahku, kak Esta! Tak bisa kubiarkan begitu saja!"

"Jangan banyak alasan! Kembali ke sini dan bergabung dalam garis pertahanan!"

Sambil mendengus kesal, gadis yang lebih muda bernama Tara segera
mundur dan kembali bersama Esta, kakaknya. Mereka lanjut bertempur
melawan anjing-anjing liar sebesar mobil dan tentara-tentara hitam
yang makin banyak.

Sementara itu beberapa belas meter dari tempat Tara dan Esta, sesosok
manusia naga besar yang memegang palu bertarung sengit dengan sesosok
manusia kerbau, membelakangi seorang pemuda rambut merah yang juga
sedang melawan sosok manusia kerbau lainnya.

"DUNGGA TIDAK AKAN KALAH!! KEBATILAN HARUS MUSNAH!! DUNGGAAAAA!!"

*JEDUM!!*

"Jangan asal ayun palumu, Dungga! Kepalaku hampir kena tadi!"

*CELENTRANG!!*

"Oh, maaf Julius, Dungga tidak sengaja."

"Kau berhutang satu mangkuk semur kentang padaku."

"Nanti kita makan satu bakul semur kentang."

Di atas kawanan itu ada seorang anak kecil yang menunggangi naga besar
berwarna hijau. Menghujani musuh-musuh di sekitar mereka dengan bola
api yang dikeluarkan oleh sang naga.

Tiga prajurit yang pakaiannya sudah compang-camping karena dikeroyok
tentara hitam dan kawanan orc merasa sangat terbantu.

"Ada yang minta serangan udaraaaaaaAAAAAA?!"

"Josh!" ucap prajurit satu yang wajahnya berewokan.

"Telat lu, jek!" tambah prajurit dua yang cungkring bergigi tonggos.

"Oi! Fokus berantem kuntul!" Prajurit tiga yang gemuk berseru sambil
menabrakkan perisai besarnya ke tentara hitam yang akan menyabet si
gigi tonggos.

Mereka semua bertempur dengan gigih, namun garis pertahanan
dipenetrasi semakin dalam dengan membludaknya jumlah monster dan
tentara hitam yang terus datang entah dari mana.

Beberapa menit yang singkat terasa begitu lama. Pertempuran sengit itu
menjadi semakin panas. Pasukan Alforea mulai kewalahan karena jumlah
monster yang tidak terkendali.

Esta dan Tara yang merupakan bangsa Elf tidak memiliki stamina besar.
Mereka sudah mulai kewalahan dan kelelahan melayani anjing-anjing
besar dan pejuang-pejuang kasar.

"Terkutuk! Mereka ini berapa banyak sih?!" Tara mulai geram karena
tentara hitam terus berdatangan ke arahnya, Esta yang masih mencoba
tenang menghalau para anjing dengan sihir cahayanya.

"Kalau begini terus caranya kita akan kalah… harus ada yang pergi dan
menghancurkan menara kristal itu… tapi siapa? Kami semua masih
kewalahan menghalau monster-monster ini."

"Oh Mahadewa Tamon Ruu, berilah kekuatan pada kami dalam menghadapi
kebatilan ini…"

*JEDHUAK!!*

"KHIEEeEEEeeeeeeeEE!!"

Sebuah kaki bersepatu kulit menggeser rahang anjing besar di depan
Esta dengan kejam, mementalkan rahang tersebut jauh-jauh. Setelah itu
yang terjadi adalah sebuah hantaman keras yang memecahkan kepala
anjing tersebut.

"Selamat malam, nona-nona!"

Suara pemuda berjas hijau itu penuh dengan antusias. Tidak dia sangka
ada bunga-bunga indah di tengah medan tempur.

Mata biru Esta terbelalak melihat pemuda berjas hijau itu
menghancurkan anjing besar di depannya seperti memecahkan balon. Tara
pun ikut terkejut ketika mendengar salam yang dihaturkan sang pria
bertopi loper.

"…siapa kau?!"

"Kalian bisa memanggil saya Berkah dari Surga…"

"…atau anda bisa juga memanggil saya Hadiah dari Neraka."

Ucap si robot logam berjubah sambil melempar empat kartu angka
sembilan ke arah manusia kerbau yang berdiri di depan si rambut merah
yang pedangnya sudah patah. Julius dan Dungga terheran-heran melihat
manusia kerbau yang roboh begitu saja.

"Kau… utusan Kanjeng Ratu Tamon Ruu?"

"Mungkin saja, tuan."

Kali ini tentara-tentara hitam yang banyak jumlahnya mengelilingi
Zarid, Julius, dan Dungga.

"Brengsek, muncul lagi."

Julius melihat ke arah genggamannya yang diisi gagang pedang.

"Saya lihat anda butuh senjata, tuan. Anda mau satu? Khusus anda saya
berikan cuma-cuma."

"Berikan aku sesuatu yang tajam."

Zarid yang merogoh jubahnya melempar sesuatu pada Julius sambil
menembak beberapa tentara hitam di sekitar Julius dan Dungga.

Ketika benda itu sudah sampai di tangan si pemuda berambut merah, dia
segera melemparkan benda itu lagi pada Zarid.

"Kau bercanda?! Orang bodoh mana yang bertempur dengan PISAU DAPUR di
medan perang?!"

"Oh, maafkan saya tuan."

Zarid segera menangkap pisaunya dan melompat ke depan Julius dan
Dungga, memasang badan di depan dua puluh tentara hitam yang datang
kea rah mereka.

"Akan saya tunjukkan caranya, tuan. Tapi sebelumnya biarkan saya
mengganti kerugian yang anda derita dengan sebuah pedang."

Zarid melemparkan sebuah pedang panjang pada Julius dari balik
jubahnya sebelum masuk ke kerumunan tentara hitam.

"Nah! Begitu dong!"

Ucap Julius yang kini bangkit dan ikut bertempur di samping Dungga
yang sudah memipihkan tentara-tentara hitam di sekitarnya dengan palu
godamnya.

Namun baru saja menebas beberapa tentara hitam di sekitarnya…

*CERANG!!*

Julius langsung menohok tentara hitam di belakangnya dengan gagang
pedangnya dalam frustrasi setelah bilah pedangnya patah jadi dua.

"HEI BAJINGAN BERJUBAH!! KAU MAU MAIN-MAIN DI MEDAN PERANG YA?!
SENJATA MURAHAN MACAM APA INI!!?"

Zarid yang masih sibuk merobek leher dan menusuk jantung tentara hitam
yang mengepungnya segera mempercepat serangan vitalnya untuk
memberikan senjata yang lebih baik pada si lelaki pemarah itu.

"Maafkan saya tuan, tapi tenang saja, senjata saya punya garansi satu
kali bila rusak di tengah pertempuran."

Zarid melemparkan satu pedang yang agak berkarat ke arah Julius dan
sebuah pisau dapur. Julius yang menangkap pedang tersebut segera
menebas sosok hitam di depannya, dan pisau dapur yang dilempar Zarid
menancap di kepala tentara yang berada di titik buta si prajurit.

"…usang. Tapi setidaknya lebih baik dibanding pedang murahan tadi."

*DUAK!!*

*BAK BUK BAK BUK!! JDUESSH!!*

"Hei, antri dulu bung!"

Sebuah deburan pasir kecil melayang menuju muka tentara hitam sebelum
kepalanya melayang tinggi kena sebuah kaki bersepatu kulit yang kini
berwana merah.

Jari telunjuk itu mengeluarkan deburan pasir lagi yang melayang ke
arah anjing raksasa di belakangnya.

Ronnie Staccato merasa sangat puas hari ini.

Tara dan Esta hanya bisa saling tukar pandang dan tertegun melihat si
laki-laki berjas hijau yang menghabisi musuh yang mereka hadapi
sendirian. Anjing-anjing yang mereka hadapi itu sudah menggunduk
bersama tentara-tentara hitam.

"Kak Esta…"

"Ya…?"

"Sepertinya Mahadewa Tamon Ruu sedang marah hari ini."

"Kenapa…?"

"Dia mengirimkan tukang pukulnya langsung dari neraka untuk membantu kita."

"Ya, benar-benar hadiah dari neraka…"

Anjing raksasa di hadapan Ronnie kini meraung keras karena matanya
dibutakan oleh pasir yang dia "tembakkan".

"Hei, manis, aku tahu yang selanjutnya kau lakukan."

*DUAK!!*
Dia mulai melompati cakar-cakar yang membabi buta mengincar badannya.

"Selanjutnya kau akan…"

"Bergerak ke kanan dan berteriak…"

*WHUUUK*

Ayunan cakar yang datang ke sisi kiri Ronnie dilompatinya dengan mulus.

Dan sebagai balasannya, anjing itu mendapat sebuah pukulan telak di kepalanya.

"KAING!!"

*JEPROOOT!!*

Darah membuncah.

Muka Ronnie basah oleh cairan merah yang menyembur bak air bah dari
tubuh besar yang pecah.

"Aku tak tahu aku harus merasa lega atau takut melihat hal ini, kak Esta."

Selagi Zarid dan Ronnie asyik bertarung, Tata dan Izu masuk juga di
antara kerumunan, mencari dua makhluk buas yang keluar dari kelompok
mereka tadi. Tentunya dengan perjuangan keras karena harus menebas
monster-monster buas yang ganas.

"Pergi dari hadapanku!!" Izu berteriak panik sambil menutup matanya
dan menebas manusia kadal yang melompat tiba-tiba ke arahnya.
Untungnya bilah kembar bercahaya itu mengenai si manusia kadal dan
membelahnya jadi tiga bagian.

"Hiat!!" Izu kemudian memberanikan diri untuk melancarkan serangan
pada manusia-manusia kadal yang memegang berbagai macam senjata tajam.
Tapi wanita kecil yang belum pernah bertempur pastilah lengah. Dia
tidak melihat bahwa belakang dirinya adalah sasaran empuk.

"Keeeeeeeeeeeek!"

Bersamaan dengan desisan keras dan Izu yang baru menyadari serangan
tiba-tiba tersebut, sebuah suara gemerisik datang bersamaan dengan
debu-debu hitam yang meledak oleh sebuah sabetan pedang, mementalkan
si manusia kadal.

"Tata!!"

"Lain kali kau harus lebih hati-hati. Kita tidak boleh terpisah
terlalu jauh selagi mencari Zarid dan Ronnie."
Tata dan Izu yang terus berusaha mencari Zarid dan Ronnie kini
dikepung sekawanan orc dan lizardman yang datang lebih banyak. Jalan
mereka tertutup sempurna.

"Sial! Jalan kita tertutup lagi!"

Izu dan Tata mulai kesal. Rahang mereka mengeras. Adrenalin memenuhi
badan mereka yang sudah sangat waspada.

"Tidak ada habisnya. Bagaimana kita bisa bertemu Zarid dan Ronnie kalau begini?"

"AIIIEEEEEEEEEEEEE!!"

Dari arah kawanan orc, satu persatu dari mereka terpental oleh sesuatu.

Persegi panjang besar menubruk mereka dan menerobos barisan itu,
seperti sebuah kereta kecepatan tinggi yang melaju kencang di relnya.

"IZU, AWAS!!"

Tata yang sadar dia dan Izu berada di rel tersebut segera melempar
bubuk ajaibnya dari tas selempang dan menyabetkan pedangnya lagi,
membuat ledakan untuk mengulur waktu sebelum dia dan si rambut biru
bisa melompat menghindari perisai besar itu.

Perisai itu terpental, membuat tiga prajurit di belakangnya terpental.

"Apa itu tadi?!" ucap prajurit gigi tonggos.

"Uh… sepertinya kita menabrak sesuatu." Balas si gemuk pembawa perisai.

"Ah, lihat! Ada orang lain di medan tempur!" Si berewok
menunjuk-nunjuk wanita berambut merah dan biru di depan mereka.

"Musuh?"

"Sepertinya bukan. Mereka tidak terlihat seperti musuh."

Ketiga prajurit itu lalu menghampiri Izu dan Tata dengan cepat.

"Hei! Kalian tidak apa-apa?"

Pertanyaan si berewok dijawab dengan sebuah "ya" dari Tata dan Izu.

"Kalian prajurit Alforea?"

"Ya."

"Kalian melihat sosok berjubah dan lelaki berjas hijau di sekitar sini?"

"Tidak."

"Kalian ini siapa?"

Sebelum pertanyaan si gigi tonggos terjawab…

*CRIK*

*CRIK CRIK*

Lingkaran putih di langit malam itu retak. Bunyi retakan yang cukup
keras itu membuat ketiga prajurit compang-camping itu menengok ke atas
langir, bersama dengan Izu dan Tata.

"Hubert…? Kau tahu pertanda itu kan?"

*CRIK CRIK CRIK*

*PRAAANG!!*

Pecah.

Bulan itu pecah, mengeluarkan sinar merah terang.

Dari balik bulan itu, muncullah sesosok api yang tersingkap menjadi
seekor kuda besar bersayap membara. Rambut apinya berkibar ganas,
tanduk di kepalanya mengeras bersama dengan badan hitamnya yang
dipenuhi urat-urat panas.

Ringkikan menggelegarnya mengguncang medan tempur.

"C-c-c-c-Celaka!!"

"TAMON RAH SUDAH BANGKIT!!"

"HUBERT! SUARNYA!! NYALAKAN SUARNYA!!"

"SEBENTAR, JEK!!"

Si tonggos yang bernama Hubert segera mengeluarkan sebuah pipa yang
agak besar dengan sumbu dari kantung yang dia pikul di belakangnya.
Dengan penuh gemetar, ia mengacungkan suar tersebut dan menarik
sumbunya.

Sebuah bola sinar warna emas meluncur ke atas langit, lalu meledak
dengan indah, meninggalkan asap keemasan di atas langit.
"Kak Esta! Itu tanda darurat! Ayo kita ke sana!"

"Kita ajak pria itu dulu."

Ronnie yang masih asyik mementalkan monster-monster yang datang dengan
tinjunya dibuyarkan konsentrasinya oleh teriakan Tara.

"Hei! Hadiah dari Neraka! Ikut kami! Kita harus berkumpul dengan
prajurit lainnya!!"

"Oh!"

Ronnie yang sedang mencekik tentara itu tidak sengaja memisahkan lehernya

"Di mana?"

"Kita ikuti awan emas di langit itu!!"

"Oke, nona."

Mereka segera berlari ke arah asap itu, dengan Ronnie yang terus
melihat ke arah kuda sembrani membara yang meliuk-liuk di langit
sambil membukakan jalan bagi Tara dan Esta.

"Kuda poni yang keren."

Setelah suar itu ditembakkan, Josh si penunggang naga segera mendekat
pada awan emas itu, rambut putihnya berkibar-kibar kencang.

"Jadi… apa tidak ada cara untuk melewati monster-monster di sana?"

"Mungkin bisa dengan cara yang kami lakukan tadi, tapi perisaiku jadi
retak kena ledakan tadi. Aku tidak yakin kalau kita bisa menembus
lautan monster itu sampai di ujung jalan."

"Aduh… maafkan aku ya, aku malah merusak perisaimu di saat seperti ini."

"Tak apa nona. Kita dalam situasi tak terduga."

"Kita tunggu sampai tentara yang tersisa berkumpul di sini. Mungkin
kita bisa membuat rencana lain dengan tambahan orang."

Ucapan Izu membuat semuanya mengangguk. Sambil menghalau musuh yang
datang, mereka berlima berharap tentara yang tersisa datang. Dua dari
lima itu berharap akan ada sosok berjubah yang disertai pria berjas
hijau datang di antaranya.


Satu menit berlalu, dan kawanan Ronnie pun datang.

"Oh, hei, Tata dan Izu."

"Ronnie!"

Tata dan Izu berlari menghampiri sosok itu. Mereka mencoba memastikan
apakah sosok yang sedang membetulkan letak topinya adalah Ronnie
Staccato atau bukan.

"Zarid di mana?"

"Entahlah, kami berpisah di tengah jalan. Kami pikir kami bisa
berpencar dan menghancurkan satu menara itu sendiri-sendiri. Tapi
lautan makhluk di sini menghalangi jalanku."

Beberapa detik setelahnya, datanglah tiga orang lainnya. Itu adalah
Julius, Dungga dan Zarid.

"Wah, cukup banyak orang juga di sini." Ujar si pemuda berambut merah
dengan santainya.

"Julius! Dungga! Ternyata kalian masih hidup!"

"Ya Esta, tanpa bantuan sosok berjubah ini kami akan kewalahan dalam
lautan monster itu."

"Zariid!"

"Oh, Tata."

Serelah itu semuanya bereuni singkat. Yang terakhir datang adalah si
pengendara naga yang berusaha kabur dari makhluk-makhluk terbang dari
pihak musuh.

"Fiuh."

"Wah, ternyata ada Tara dan Esta di sini."

"Oh! Ada Joshua dan Norbert juga!"

"Aku nyaris mati tadi, tapi syukurlah aku bisa bertemu dengan kalian."

"Tuan-tuan dan nona-nona, maaf mengganggu reuni kalian. Tapi apa yang
selanjutnya kita lakukan di sini?"

"Oh iya, kau benar juga, jubah."

"Bukannya sudah jelas, Zarid? Kita maju ke kastil itu dan menghancurkan…"

Sebelum Ronnie bisa menyelesaikan kata-katanya, Tamon Rah yang sama
enigmatisnya dengan si Camorrista mengirimkan bola-bola api dari sayap
dan mulutnya.

"…menaranya."

"AWAS!!"

Teriakan Dungga sontak membuat semuanya bersiap menghadapi bola-bola
api yang berbahaya itu. Monster-monster dan tentara hitam tersapu
bersih oleh bara itu, dam naasnya para prajurit Alforea pun kena.

Julius dan Tata menghindar dengan sempurna.

Dungga memukulkan palunya pada meteor itu dan menghancurkannya jadi
kepingan kecil, melindungi Tara dan Esta yang kurang sigap.

Tiga prajurit compang-camping berlari-lari menghindari meteor tersebut.

Ronnie dengan nekat meninju meteor itu dengan tangan yang sudah
dibungkus oleh perban putih.

Sementara Zarid dengan cekatan menghancurkan meteor yang akan
mengenainya dengan sebuah tongkat berujung kail yang meliuk-liuk
seperti ular.

Cambukan tongkat elastis itu berhasil melindungi Izu yang sebelumnya
terkena ledakan meteor yang pertama kali mengenai tanah dekat kawanan
tersebut.

"Uhhhh…" Izu mengerang kesakitan, kakinya terbakar.

"Biar kusembuhkan!" yang tertua dari Elf bersaudara tersebut segera
menghampiri Izu dan Zarid.

"HEAL!!"

*Srriiing*

Bersamaan dengan cahaya putih yang menyelimuti kaki Izu, Tamon Rah
segera berlari dari atas langit, mengejar si pemakai sihir yang masih
merapal mantra.

"Nona!!"

Zarid tidak mau melakukan ini, tapi dia terpaksa menendang Esta agar
dia tidak terkena terjangan si kuda api.

"AWAS!!"

Dungga berteriak melihat Tamon Rah yang sudah hampir menyentuh mereka,
namun mendadak Tamon Rah naik lagi ke atas setelah sihir Esta
terhenti.

"NGHIIIIIIEEEEEEEEEEEEEEEEKK!!"

Situasi semakin genting. Meski monster-monster sudah tersapu bersih,
masih banyak yang muncul berdatangan. Kedatangan Tamon Rah membuat
mereka lebih beringas. Mata merah menyala itu sama terangnya dengan
api yang ada di sekujur tubuh si kuda.

"Bagaimana kita bisa selamat dari perang ini kalau Tamon Rah sudah keluar?!!"

Hubert mulai panik, tapi tamparan Tara menyadarkannya.

"Jangan panik, bodoh! Kita ke kastil itu dan menghancurkan menaranya!!
Semuanya selesai dengan tersegelnya Tamon Rah setelah itu!"

"Tapi bagaimana caranya kita ke sana kalau masih ada monster-monster
itu di sana?!"

Di sisi lain, Zarid segera menghampiri Esta sambil memikirkan berbagai
macam hal.

"Maafkan saya, nona."

"Tak apa, terima kasih sudah menyelamatkanku."

"Saya terpikir sesuatu, nona. Dan saya butuh bantuan anda."

"Eh?"

"Saya punya rencana."

♠♠♠

"Bung… kalau bukan karena bisa membonceng Esta, aku tidak akan ikut
rencana konyolmu. Lagipula kau yakin Tamon Rah akan mengejar pemakai
sihir?"

"Saya tak tahu, tapi tak ada salahnya mencoba."

"Tapi ini hanya satu kali kesempatan, kalau aku mati aku akan
menghantuimu setiap kau tidur."

"Boleh saja, tuan."

"Hmph."

Pemuda berambut putih itu segera menunggangi Norbert bersama dengan
Esta dan Izu yang memegangi kakinya.

"Oke Esta, mulai sihirmu. Kalau Tamon Rah datang kita akan mulai terbang."

"Baik."

Esta kembali mengeluarkan sinar penyembuh dari tangannya dan mulai
mengobati kaki Izu yang terbakar.

Zarid berharap apa yang direncanakannya kali ini berhasil. Tapi apakah
takdir akan berpihak padanya?

Kuda api yang sedang terbang liar di langit segera menoleh ke
belakang, sepertinya dia mencium sesuatu yang memancing nafsu
binatangnya.

Sihir.

Dengan kecepatan tinggi kuda raksasa itu segera meluncur ke arah kawanan Zarid.

Tata dan Ronnie yang sedang bertarung berdampingan dengan Dungga dan
Julius tiba-tiba menoleh ke arah Hubert dan dua kawannya yang
bertarung di sisi lain.

"A-Ah! Tamon Rah datang lagi!!"

"Tuan Josh, sekarang waktunya."

"Baiklah."

Norbert pun meraung keras sebelum terbang ke atas langit.

"Tuan Ronnie! Tata! Ayo kemari!"

"Eh?"

Tata dan Ronnie yang keheranan segera menghampiri Zarid yang sedang
berdiri menghadap Tamon Rah yang sedang dalam perjalanan menuju
dirinya.

"Kau mau apa? Mengatakan halo pada kuda itu?"

"Pegangan pada saya."

"Hah?" Kening Tata berkerut mendengar apa yang dikatakan Zarid.

"Saya bilang, pegangan pada saya."

"Kenapa?"

"Karena…"

Ketika kuda besar itu makin mendekat, Zarid mengeluarkan tongkat
berkailnya lagi, bersiap untuk melakukan sesuatu.

"Kita akan mendapat tumpangan gratis ke kastil di ujung sana."

*SSSSSSSSSSSSSSSSHHH!!*

Desisan keras keluar dari tongkat itu bersamaan dengan memanjangnya
tongkat tersebut. Ujung kailnya menancap di paha sang kuda yang sudah
terbang melewati mereka.

"Ayo!! Sekarang!!"

"EEEEH?!"

Tata yang terkaget segera mencoba memegang Zarid yang sudah terangkat,
terbawa oleh Tamon Rah. Tapi yang bisa wanita itu pegang adalah jubah
compang-camping milik si robot.

*WHUUUUUUUSSSH!*

"Astagfirullah Gustiiiiiiiii!!!"

"Benar-benar tumpangan gratis, Zarid. Tapi berapa lama kita akan
tergantung di sini?!"

Ronnie yang berpegangan pada kaki Zarid berteriak sambil memegangi
topi kesayangannya.

"Sampai kita berada di kastil!!"

*WHUUUUUUUUUUUSSSH!!*

"AAAAAAAAAHHH!! GUSTIIIII!! AKU BELUM KAWIIIIIINNN!!" Tata berteriak
sekencang-kencangnya. Berusaha memegangi jubah Zarid sekuat tenaga.

Mereka bertiga yang sudah terbang bersama Tamon Rah dipelototi oleh
Julius, Dungga, Hubert, dan kedua kawannya.

"Si jubah itu sudah gila…"

♠♠♠

"Sial! Dia cepat sekali!!"
Josh bersungut sambil memegang kekangan yang ada di mulut Norbert.

"Dia mulai mendekat, Josh! Kita harus lebih cepat lagi!!"

"Aku tahu itu, Esta!"

Berpacu dengan kematian, Josh berusaha keras untuk terbang secepat
mungkin agar dia bisa sampai di puing-puing kastil yang diapit menara
kembar di ujung sana.

"Zarid!! Kau yakin berhasil?!"

"Semuanya bergantung pada timing jatuhnya dan arah Tamon Rah ketika
berhenti mengejar mereka!"

"GUSTIIIII!!

Usaha Norbert yang susah payah itu membuahkan hasil. Kini Tamon Rah
sudah hampir sampai di ujung kastil.

Ketika sudah melewati kastil, peran Esta dan Joshua sudah selesai.

Sekarang semua bergantung pada Ronnie, Zarid, dan Tata.

Tamon Rah yang sudah tidak mencium energi sihir lagi mulai naik ke
langit yang lebih tinggi.

"Oke, Sekarang!!"

Zarid segera menarik kail panjangnya, memisahkan dirinya, Ronnie, dan
Tata dari kuda api yang mulai melesat ke atas.

"Tata! Luncurkan kami!!"

"AAAA—Oke!!"

Tata masih agak panik, namun dia segera melakukan hal yang dikatakan
oleh Zarid tadi. Bubuk ajaib itu segera ditaburkannya, dan sabetan
pedang itu membuat sebuah ledakan yang cukup besar, memisahkan
dirinya bersama dengan dua sosok itu.

"Aku harap kita berhasil…" Ucap tata sambil melihat Zarid dan Ronnie
yang meluncur ke arah menara kembar tersebut, sambil menikmati
jatuhnya.

Tata yang sudah menerima takdirnya segera menutup matanya,
mendengarkan menara kristal itu hancur dan disilaukan oleh seberkas
cahaya putih.

♠♠♠

"Tata?"

"Hei, Tata!"

"E-eh?"

Wanita itu membuka matanya. Dilihatnya ketiga temannya kini sedang
duduk mengelilingi api unggun di padang pasir. Dengan Sanniya berdiri
di dekat mereka.

"Jadi kau ini laki-laki atau perempuan?"

"…"

"RONNIE! SEGINI CANTIKNYA KOK DIBILANG LAKI-LAKI SIH?!"

"Oh, maaf. Soalnya di halaman kastil tadi ada sosok cantik berambut
biru, tapi dia laki-laki."

"NYEBELIN IH!!"

Semuanya tertawa diiringi lantunan Bayyati dari gitar tua Zarid.

♠♠♠

23 comments:

  1. Untuk Zarid:
    Ini satu lagi entri dengan adegan battlenya didominasi dialog, bukan narasi.
    Walaupun di awal Zarid tampak menarik dengan gitar tuanya, saat battle semuanya jadi terkesan berlalu sekejap mata oleh banyaknya dialog itu.
    Oi, jangan lupa kembalikan Norbert ke Hagrid atau Charlie Weasley yah!

    Skor: 6/10 (Anggaplah ini bonus karena pada dasarnya si Zarid itu menarik)
    Author: Andry Chang
    OC: Vajra

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih atas komentarnya, mas Dalang m (_ _) m

      Saya pun pada akhirnya kurang puas ketika sadar saya terlalu terburu-buru menyelesaikan karya ini, sehingga porsi dialog sama aksinya gak diatur baik-baik. Jadinya malah timpang dan antiklimaks orz

      tapi saya akan mengambil ini sebagai pelajaran, lain kali harus bisa ngasih takaran pas buat battle sama dialognya, biar gak terlalu lebai :x

      Salam hangat dari Enryuumaru/Zarid Al-Farabi

      Delete
    2. Dan tentu saja Norbert akan saya kembalikan pada Hagrid, dia pasti rindu.

      Delete
    3. "Medium atau well done?" tanya Chef Tamon Rah.

      Delete
    4. tentu saja diusahakan agar Well Done!

      Delete
  2. Pas pertama denger kalo entri ini awalnya sampe lebih dari 10k dan susah ngebuang scene karena semuanya dianggap penting sama penulis, saya kira ini entri bakal jadi kayak gimana.. Saya udah sempet ngintip gimana gaya narasi Zarid dari lounge, dan entah kenapa justru dapet sesuatu yang keliatannya berbeda di sini

    Pertama, buat saya entri ini agaknya terlalu ngalor-ngidul. Gak to the point. Emang mungkin dialog atau introduksi segala macem perlu buat pendalaman karakter, tapi ada kesan boros dan ga ringkas di sini, dan malah jadi berasa diulur-ulur. Soal topik agama sebenernya ga masalah karena hampir tiap taun ada entran muslim iirc, tapi ya itu, kayanya kebanyakan unnecessary rambling for my taste

    Kedua, shoutout dan SFX. Jangan salah, saya sendiri juga make SFX. Tapi entah kenapa di sini penggunaannya rada misplaced. Kayak, sebenernya masih lebih mending SFX yang digunain diganti jadi narasi biar ga berkesan jarring. Terus teriakan"nya dalam setiap dialog yang pake tanda seru... Ini juga bukannya mau ngelarng, tapi kalo terlalu sering kok ya jengah juga rasanya

    Ketiga, battlenya sama sekali ga jadi hidangan utama. Anggeplah cerita itu masakan yang diramu, penulis kayanya terlalu banyak nyuguhin appetizer yang bikin main dish-nya justru kehilangan rasa. Agak kebanting aja, bukan cuma karena porsi yang pendek, tapi juga karena ga berasa gitu penting jadinya sebagai overall dari cerita ini

    Dari saya 6

    [OC : Dyna Might]

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih atas komentarnya, paman Sam <(")

      Saya akui sih, saya selalu bertele-tele dalam menjabarkan suatu cerita/kejadian. Kalau misalnya tidak ada batas kata, semuanya bisa dijelaskan sih, tapi deskripsinya kayaknya bakal penuh wall of text dengan deskripsi detail yang begitu telanjang <(")

      tapi masukan dari paman sam membuat saya tertantang untuk membuat entri yang lebih straight to the point kalau misalnya Zarid bisa lolos <(")

      soal SFX, sebenernya mau dibikin ada kesan hebohnya, tapi kayaknya penggunaan tanda baca berlebih mungkin bikin gak enak dibaca juga kali ya...?

      Dan saya sadar betul porsi ceritanya salah takar di entri ini ><


      Ini benar-benar masukan yang sangat membangun. Terima kasih paman Sam m (_ _) m

      Salam hangat dari Enryuumaru/Zarid Al-Farabi

      Delete
  3. Duh, pas baca bagian2 awal kok suara hati saya jd kaya pembawa acara infotainment #seriusan

    Bahasanya itu loh ... udh gitu panjang. Tp gak terlalu jd masalah sih.

    Dan mungkin yg jadi masalah serius, ya senada sama komeng2 yg di atas. Pertarungannya kebanyakan cakap-cakap. Padahal kan BoR yg diutamain laganya.

    Sebenrnya mau ngomongin teknis, tp ya udahlah. Gaya bahasanya gak terlalu masalah, cma agak naik turun. Kadang berasa puitis, kadang konvensional. Jd gak konsisten.

    Poinnya ... hm ... 7 deh.

    -Ahran-

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih atas komentarnya, pak pertapa~

      masukan soal konsistensi bahasa ada benarnya juga. Zarid yang begitu puitis tapi hidup di dunia penuh aksi membuat saya kesulitan untuk menakar komposisi penggunaan kata yang tepat.

      Mungkin saya akan lebih mencoba kalimat tepat guna namun masih bermakna bila Zarid bisa lolos prelim.

      Salam hangat dari Enryuumaru/Zarid Al-Farabi

      Delete
  4. Po - Fatanir

    bingung mau komen soalnya scara umum pdapatku sama kyk yg lain:

    - pembukaan terlalu banyak detil kejadian

    - perjalanan juga terlalu banyak detil kejadian

    - pas mulai pertarungan malah jadinya jauh lebih ringkas dari yg lain

    sbnrnya masalah mau bahas kehidupan, kematian, religi, pengenalan sifat karakter, bisa dilakukan sepanjang battle berjalan, supaya dinamika emosi sama plotnya justru terfokus dan lebih rinci sepanjang battle yg mestinya jadi inti tulisan.

    masalah battlenya nggak masalah mau banyak tarung fisik atau nggak. pernah ada ko tulisan BoR yg berantemnya pake debat kusir trus menang. tapi ya itu, debat kusir itu tetep aja sebuah battle, meski non-fisik.

    nilai dariku 7

    ReplyDelete
  5. Oke, semua yang saya mau komentari sudah lebih dulu diborong yang lainnya.

    Sebenarnya cerita ini punya potensi, karena saya lihat kau juga punya diksi yang lumayan. Cobalah berlatih lagi untuk buat narasi, jadi antara dialog dan narasi tidak terlalu timpang.

    Sedikit saran lagi, coba kau juga pelajari soal penulisan "dialog" dan "dialog tag", soalnya kau sepertinya agak kurang di sini.

    Btw, barusan itu asumsi saya setelah melihat susunan kalimat seperti ini:

    "…dan setelah itu, selanjutnya kau akan berkata: "Biar takdir yang
    menentukan.", kan?"

    Menurutku seharusnya: "…dan setelah itu, selanjutnya kau akan berkata, 'Biar takdir yang
    menentukan,' bukan?"

    Untuk bagian ini saya sendiri kurang ahli, makanya saya selalu menghindari tanda kutip dalam dialog. Silakan koreksi kalau saya salah di sini.

    Kalau kau sudah tahu soal seluk-beluk dialog tag, skip saja penjelasan di bawah ini.

    Contoh:

    "Terserah kau." Ucap Ronnie sambil...

    Ini bukan cara yang benar. Karena dialog tag itu masih menjadi bagian dari kalimat dialog sebelumnya, seharusnya ditulis seperti:

    "Terserah kau," ucap Ronnie sambil...

    atau

    Ronnie berucap, "Terserah kau saja."

    Dialog tag itu kalimat yang menyusul atau mendahului sebuah dialog, namun masih menjadi bagian dari kalimat dialog.

    Untuk kalimat dialog yang diakhiri tanda seru/tanya, sama saja.

    "Apa kau lelah?" tanya Zarid kepada...

    Tapi kalau kau ragu, bagian ini ada triknya. Gunakan nama karakter lebih dulu, karena di mana pun, nama Karakter selalu diawali kapital.

    "Apa kau lelah?" Zarid bertanya kepada...

    Terakhir, saya benci banget sama cara komunikasi si maid di sini, karena emotikon selalu bikin kecepatan baca saya tersendat.

    Sering-seringlah membaca lalu menulis, kau punya potensi untuk berkembang lebih dari ini.

    Nilai 7

    Zoelkarnaen
    (OC: Caitlin Alsace)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ah, saran yang sangat bagus.

      Terima kasih om zoel. Saran soal dialognya bener-bener baru buat saya, akan lebih saya perhatikan lagi.

      Soal emoticon, itu hanya sebagian kecil dari sekian usaha untuk membumbui cerita :x

      Salam hangat dari Enryuumaru/Zarid Al-Farabi

      Delete
  6. Aduh Bro, Izu kok jadi cengeng gitu, tapi ya sudahlah. Sepanjang cerita sebenernya saya sedikit terganggu dengan perkataan Maid yang kayak tulisan SMS.

    Untuk keseluruhan cerita sudah bagus,

    Nilai 8/10

    OC : Izu Yavuhezid

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ahuhuhu, maaf ya Izu-nya malah jadi kayak anak kecil :x

      Saya liat di entrinya Izu yang asli, dia lebih berpengalaman dan lebih taktis dibanding yang di sini.

      Maaf ya kalau ternyata tidak sesuai ekspektasi, bila lolos prelim dan masih jadi party akan saya pertimbangkan untuk memperbaiki Izu :x

      Salam hangat dari Zarid Al-Farabi/Enryuumaru

      Delete
  7. Hmm mas yus, saya punya sebuah pandangan mengenai awalannya yang jalan di gurun dan ngobrol macem-macem. Karena saya baca ini setelah cukup banyak membaca awalan prelim yang plotnya kurang lebih sama, bisa dikatakan saya malah terhibur dengan obrolan mereka. Tapi mungkin jika saya baca ini di awal-awal, saya akan jengah ma obrolan panjangnya karena ga masuk-masuk ke battle.

    Narasinya sendiri sudah lumayan apik, cuma kadang di beberapa bagian dialog ada yang sulit dimengerti siapa yang bicara karena kurang penjelasan. Dialog maidnya lucu sekali.

    Battlenya rame, masukin karakter khusus dari pasukan alforea. Kalau dari preferensiku saat ini sih porsinya terbilang lumayan sih.

    Nilai : 7

    OC aye : Zhaahir

    ReplyDelete
    Replies
    1. makasih mb candel 8)

      Salam hangat dari Zarid Al-Farabi/Enryuumaru

      Delete
  8. Pas di awal, deskripsinya panjang dan bikin saya mikir bahwa battlenya juga bakalan lebih panjang dari pembuka. Tapi saya salah, justru battlenya lebih ringkas.

    Well, saya sih ngga paham peraturan "show dont tell" cuma ya menurut saya ini masih banyak Tell-nya.

    Oke, moving on.

    terlepas dari format nulisnya, saya bisa liat potensi Zarid sih.
    Banyak-banyak belajar aja.
    semoga lolos x3

    Titip 7 dulu ya...

    P.S : Ini subjektif, tapi saya tipe yang ga suka ada sound effect di cerita.
    kecuali ceritanya bisa bikin saya lupa sama SFX itu


    Salam,
    Kazuki Tsukishiro

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih atas komentarnya m(_ _)m

      Delete
  9. Hai Tata yang disini..

    Tata [3]: Hai, sudah shalat?

    Hah?


    Tata baru pertama kali ini denger istilah macem gitu..

    {Ehmm biar aku.. pedang hitam yang simpel dan supel ini yang menjelaskan.. Ajaran Salama kurang lebih sama seperti Islam. Salama mewajibkan Rilah, bukan Shalat.. Kurang lebih sama dengan shalat di bumi sih. Dan tempat tinggal kami bukan di Bumi. Tempat tinggal kami namanya Firscillia. 3 realm yang melebur menjadi satu kesatuan. Bila dibandingkan dengan bumi. Firscillia itu geosentris. Seperti persegi panjang yang satuan tingginya tak terhitung lagi.

    Ok, balik ke penilaian.. soal entry ini.. Aduh.. tell nya panjang sekali.. Awalannya udah menarik sih. Apalagi si maid yang ngomong kayak seseorang gitu. Aku suka itu. Tapi semakin scroll kebawah. Semakin berat. Sampai bahas topik #SODEEP yang saya perlu beberapa kali baca untuk mencerna..

    Soal karakter.. aku suka dengan Zarid disini. Mungkin karena Zarid lumayan jentry ya..}

    Dah Furaz.. biar Tata yang ngasih nilai.. btw Tata disini kamu cuci otak ya? D:

    Buat Zarid.. Tata beri nilai 8. Nanti bikin Tata yang lebih pas lagi ya..

    -Fath'a Lir dan Pedang

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wah, dikunjungi sama mb Tata dan Furaz Ajaib.

      Karena saya tidak begitu mengerti konsep dunia-nya Tata dan Furaz, ya saya hanya bisa meraba-raba sedikit saja. Maaf ya kalau tidak sesuai D:

      Dan Tata-nya saya berikan "siraman rohani", maaf yha <(")

      Salam hangat dari Zarid Al-Farabi/Enryuumaru

      Delete
  10. Aku kira ini bakal jadi cerita yang berat tapi ternyata ringan.

    8/10

    Awal zarid sampe masuk alforea agak jenuh. Tapi berubah setelah semua karakter masuk ke sana, tata, izu dan ronnie bikin asik. Tentu juga si maid dengan ngomong sms nya.

    Terdampar di gurun 66,6 km itu unik banget dan aku gak kepikiran. Ini cara yg beda buat OC untuk saling kenal. Tapi obrolan pas perjalanannya terlalu panjang dan yg dibahas itu2 aja. Aku gak masalah soh. Tapi kalo dipersingkat mungkin lebih bagus.

    Untuk battle terlalu banyak ngobrol ya. Dan keliatan biasa aja.

    Mang Ujang - Petani Ikemen

    ReplyDelete
  11. Is that iron man? a gundam? alphonse elric? NAH ITS ZARID AL FARABI! /wat

    Oke, penulisan nya ga jelek jelek amat... di awal awal bikin males baca , eehhh kesana nya jadi seru abis xD lucu.

    pembawaan ke karakter lain nya juga bagus, semuanya kedapetan peran. tapi di liat dari awal sampe akhir battle kebanyakan ngobrol ya dari battle nya? jangan salah, aku malah suka yang beginian... tapi lebih bagus lagi kalau dua duanya seimbang, tambahin juga celetuk celetukan nya :3

    8/10 Mancing mania mantap (y)

    Ragga Bang! The Big Bang Theory

    ReplyDelete