25.6.15

[ROUND 1 – TEAM B] BU MAWAR – PUSPITA RIMBA HAYATI

[Round 1 - Team B] Bu Mawar - Puspita Rimba Hayati
Penulis : Hewan
  


​ 

Prolog Peretas Alforea


Portal terbuka, sosok Tamon Ruu turun di Lembah Shohr'n yang menjadi lokasi babak penyisihan. Tamon Ruu, si Penyihir dari Dataran Barat, berjalan dengan langkah arogan mendekati sosok wanita petarung yang tampak berlutut terpuruk. Kepulan debu bekas peperangan masih mengepul dan berterbangan ke segala arah.

"Hei, Sis Rah~," sapa Tamon Ruu. "Seru yak, duelnya? Petarung-petarung yang kukirim ternyata lumayan, 'kan?"

Wanita yang dipanggil sebagai Rah itu mendongak. Kemudian ekspresinya berubah drastis tatkala melihat wajah dari sosok yang menghampirinya.

"Ruu! Kau bukan saudariku lagi!!" bentak Rah.

"Ya emang bukan~," balas Ruu. "Siapa juga yang mau sisteran sama pecundang seperti situ?"

Rah mulai bangkit akibat tersulut emosi. Berseru dia, "Mau apa kau kesini, Ruu?!"

"Bukan Ruu, tapi Yang Mulia Tamon Ruu!" bentak Ruu, kemudian dia menatap Rah tajam, yang ajaibnya mampu membuat Rah terdiam kaku. "Begini, Rah," lanjut Ruu, "aku cuman heran aja. Kok bisa-bisanya situ kembali ke wujud bahenol kayak gitu? Bukannya udah kukutuk jadi Kuda Api, yak?"

"…." Tak ada balasan dari Rah.

"Oke deh kalo gitu, Sis~"

Ruu kemudian menepuk tangan dua kali. Maka muncul sejumlah pelayan wanita berseragam cantik dari balik portal. Ketika Ruu memberi kedipan mata pada mereka, maka bergeraklah pelayan-pelayan tersebut.

"Sekarang, mending situ balik tidur aja yak? Teehee," ledek Ruu.

"TIDAK SUDI!!"

Rah mencoba melawan. Dia memungut kembali tombak apinya, hendak menusukkan senjata itu ke arah saudari-nya. Namun—

—tikaman itu hanya mengenai angin.

Ruu sudah mengelak dengan liukan elok, bahkan kaki rampingnya balik berayun dan menendang.

"AAAAIIIEEEEE!!!"

Sepatu hak tinggi Ruu menyapa muka Rah dengan telak, membuat wanita malang itu terpental ke udara dengan darah mengucur dari hidung dan mulut.

Kemudian giliran para pelayan bertindak.

Segera mereka melantunkan mantra penyegelan agar Rah kembali tertidur di bulan. Rah meraung, tapi dia tak punya daya lagi untuk menolak sihir pengurungan tersebut. Pasrahlah dia menerima nasib. Di momen terakhirnya, hanya mata sinis yang dia lontarkan ke arah Tamon Ruu—yang justru membuat Ruu tertawa terbahak.

"Peliharaan nggak punya hak buat protes, Sis Rah~," ejek Ruu.

Ketika Rah sudah tersegel kembali, maka bereslah urusan Ruu di Lembah Shohr'n ini. Ruu masih belum mendapatkan jawaban apa-apa tentang keanehan yang terjadi di Alforea namun ekspresi wajahnya tampak tak begitu peduli.

"Gimana? Udah dapat mods DOTA terbaru~?" tanya Ruu pada salah satu pelayan.

"Sudah, Yang Mulia Tamon Ruu!" jawab pelayan itu khidmat.

"Bagus, saatnya nyantai~," tawa Ruu. "Urusan nyari hacker atau apalah itu, biar si Tua Nurma aja yang ngurus. Teehee~"

Maka pulanglah Tamon Ruu dan para pelayannya ke Kota Despera.

Mereka tidak menyadari kalau di wilayah Lembah Shohr'n, hadirlah seorang pria berkacamata gelap dengan setelan jas yang lengannya digulung. Dia tengah menggali-gali reruntuhan kastel. Setelah berjam-jam bersembunyi menanti keheningan, kini kesempatan itu pun datang.

Dia mencari sesuatu.

Entah sekian jam berlalu, akhirnya pria berkacamata gelap itu menemukan apa yang dia cari. Diangkatnya benda itu dengan hati-hati, lalu diamatinya.

"Jewel of Phantasm pertama akhirnya kudapatkan, hurahahaha!" gelaknya begitu senang. "Sungguh engkau telah salah memilih Alforea sebagai arena, hai Kakak Tertua dari Klan Nurma."

Dibungkusnya permata itu dengan kain, lalu dia masukkan ke dalam kantong jasnya. Setelah itu, dia melenggang pergi menuju lokasi permata selanjutnya … dengan tawa yang seolah tak pernah berhenti.


(* * *)

Lelaki itu masih betah berdiam di Kedai Gang Hitam Kota Despera, hanya ditemani oleh laptop dan kaleng-kaleng minuman jahe. Jemarinya tetap bergerak lincah mengetikkan sesuatu di laptopnya, sementara mulutnya bergumam-gumam sendiri.

"Kurang, masih kurang. Perlu lebih banyak tragedi lagi, kalau enggak ya percuma aja aku masukin anak-anak itu ke Alforea. Hmm … tapi ini, ternyata si guru bisa jadi peserta terpopuler kedua? Sungguh di luar dugaan."

Diteguknya kaleng minuman jahe itu sampai habis. Lalu dipesannya lagi minuman kaleng serupa kepada bartender berkepala botak.

Layar laptop lelaki itu tiba-tiba memunculkan tiga notifikasi sekaligus, dengan gambar tanda seru berwarna merah.

"Ha? Lokasi ini udah ketahuan secepat itu? Gila si Hewanurma! Mesti segera kabur ini mah. Dan apa ini …? Rupanya bukan cuman aku yang ada perlu dengan Alforea. Si Peti Mati ternyata ada di sini juga! Dan satu penyusup lagi yang tidak kuketahui identitasnya. Wahahaha! Ini bakalan sangat seru!"

Maka lelaki itu segera beranjak.

Semenit kemudian, pintu kedai hancur ditendang sosok dari luar.

Tampaklah seorang pria tua berambut putih panjang yang mengenakan jas lab nan lusuh. Sedikit terengah dia. Pandangan matanya segera menelusuri seisi kedai, hanya mendapatkan sesosok bartender tanpa ada pengunjung lain.

"hhh … sialan!" makinya. "Sudah tak ada orang di sini! Hei, kemana perginya orang yang tadi ada di sini?"

Sang bartender hanya bisa mengangkat bahu, "Maaf, Tuan Hewanurma. Saya tak tahu apa-apa."

Maka Hewanurma pun kesal.

Mengapa ini semua harus terjadi sekarang? Baru saja Battle of Realms V ini berlangsung di Alforea, sudah terjadi sejumlah keanehan yang berada di luar kendalinya sebagai administrator.

Sekarang apa yang bisa dia lakukan?

Hewanurma menghela nafas. Dia mengambil tempat duduk di depan bartender seraya memesan, "Air Kaporit, segelas. Pakai es. Dikocok, jangan diaduk."

Maka bersantailah sejenak sang administrator, sekadar membiarkan peluhnya mengering.

Semua ini baru dimulai. Tak ada alasan baginya untuk panik.



Prolog Rimba Hayati


Ini adalah Belantara Dodonge.

Hanya ada nuansa hijau sejauh mata memandang. Tampak deretan pepohonan tua, gigantik, kokoh, tinggi menjulang, dan dihiasi oleh akar-akar maupun sulur yang menjuntai begitu liarnya. Seberkas cahaya dari langit menerobos celah-celah rimbun dedaunan, menerangi sebagian rimba dan meninggalkan kegelapan di sebagian lain. Semak belukar teramat lebat menutupi permukaan tanah, menyisakan sedikit saja jalan setapak yang mungkin bisa dilewati jika dengan penuh perjuangan.

Namun yang paling memukau dari kesemua itu adalah kenyataan bahwa rimba belantara ini hidup.

"Nuooh! Dibilangin jangan coba-coba sentuh adek kelasku!"

Satu lagi anak panah magis dilepaskan oleh gadis kecil itu.

Terciptalah ledakan energi kecil tatkala anak panah itu mengenai tubuh dari monster batu berlumut. Tumbanglah monster itu dengan suara berdebam kencang.

Sekumpulan anak (yang usianya lebih muda dari si gadis kecil) menjerit histeris.

"Kak Winda …! Tolongin kami!"
"Ini di manaaaa?? K-kami ingin pulang ke desa …."
"Huwaaaaaaaaah … aku takuuuuut …! Kak Winda!"

"Hoi, kalian jangan cengeng-cengeng gitulah!" bentak Winda. Masih mungil dia, tapi kedewasaannya tampak ketika dia berperan sebagai kakak. Dia melanjutkan perkataannya, "Sekarang, semuanya ke sini! Berlindung sini di belakang Kakak! Cepetan!"

Adik-adik Winda pun menurut. Melangkahlah kaki-kaki kecil mereka, masih panik, lantas segera mereka berkumpul di belakang Winda. Beberapa sambil memegangi baju ataupun lengan si kakak, membuat sang gadis kerepotan.

Sementara itu, bangkitlah monster batu yang tadi terjatuh. Bukan hanya itu, sejumlah monster sejenis juga tampak muncul di kejauhan, dari balik semak belukar. Dan bahkan, semak belukar itu pun bergerak-gerak liar, menjelma menjadi monster baru!

Kemudian rimba belantara itu pun meraung. Suaranya menggema, dan terus menggema hingga ke seluruh penjuru.

Anak-anak kecil itu langsung pucat pasi menyaksikan hal tersebut. Namun Winda, sebagai sosok kakak, merasa ini adalah tanggung jawabnya untuk menyelamatkan adik-adik kelasnya. Terlebih, sejak datang ke dunia aneh ini, dia seperti diberi anugerah istimewa. Dia sekarang bukan hanya siswi SD biasa. Winda kini memiliki kekuatan sebagai pemanah magis!

"Dengerin," bisik Winda. "Aku bakalan bikin pengalihan dulu, ntar kita semua kabur serempak. Oke?"

Anak-anak lain hanya bisa menjawab dengan anggukan kepala.

Kemudian Winda bergerak cepat. Terbentuklah busur ajaib di tangan kirinya, sementara di tangan kanannya telah terwujud 10 anak panah sekaligus. Segera dia tembakkan semua anak panah itu ke arah depan.

Ledakan dahsyat pun tercipta, membumbungkan asap tebal yang menutupi pandangan.

"Sekarang! LARI!!"

Maka berlarilah anak-anak itu, dipimpin Winda.

Para monster langsung mengejar segera setelah kepulan debu menipis. Sementara itu, setiap tumbuhan—semak, pepohonan, sulur rambat—ataupun bebatuan yang mereka lewati turut hidup dan mewujud sebagai monster lainnya.

Kembali rasa ngeri menghampiri Winda dan anak-anak lainnya.

Di saat seperti ini, entah mengapa Winda malah teringat kepada sosok seorang guru di sekolahnya. Yakni sosok guru yang bisa selalu dia andalkan ketika dibutuhkan.

Bu Mawar … tolong kami …



BAB 1 Ranting Patah Kusuma


Telah banyak yang dialami oleh Bu Mawar semasa penyisihan.

Dia berkawan dengan tiga rekan yang membantunya melewati pertempuran itu. Ada Ahran si pertapa, Ragga Bang si pegulat yang penuh semangat, dan Caitlin Alsace si tentara wanita berzirah besi. Bu Mawar juga bertemu dengan Dilham, salah satu anak Desa Sukatarung sekaligus muridnya, yang terdampar di Alforea. Namun …

Dilham akhirnya tewas terbunuh.

Kuda Raksasa bernama Tamon-Rah yang semestinya tersegel segera setelah menara kembar hancur, ternyata malah menjelma ke wujud aslinya dengan sosok wanita petarung. Rah inilah yang menghabisi nyawa Dilham, juga menghajar tiga rekan Bu Mawar tanpa ampun.

Hingga satu ketika, aura kegelapan menguasai hati Bu Mawar, memberinya kekuatan untuk menundukkan musuh. Sempat tebasan tombak Rah memutuskan lengan kanan Bu Mawar, namun bu guru itu masih bisa membalas. Kekuatan hardikan Bu Mawar menghunjam sukma Rah, menusuk mental secara bertubi-tubi. Rah terdesak, hampir saja menerima penghukuman terakhir dari sang pendidik.

Namun Bu Mawar memaafkan Rah.

Kegelapan yang meliputi guru itu lenyap seketika. Kemurkaan atas kematian Dilham tak membuat Bu Mawar kehilangan cahaya. Rah takluk dengan tertunduk lemas.



Ragga Bang membopong mayat Dilham, "Biar aku yang bawa bocah ini."

Ahran terdiam, memandangi sosok kecil Dilham yang tak lagi bernyawa.

"Kita kembali ke Alforea segera," ujar Caitlin yang memapah Bu Mawar. "Lukamu harus segera ditangani sebelum terlambat."

Mereka bertiga berjalan menuju portal yang terbuka sejak tadi.

Bu Mawar tersenyum pedih.

Dia benar-benar tak menyangka petualangan pertamanya di dunia baru justru membawanya menyaksikan kematian salah satu muridnya. Bahkan sang guru harus kehilangan tangan kanannya—tangan yang selama ini telah menuliskan begitu banyak pelajaran pada murid-muridnya.

Tapi semangat sang guru masih ada.

"Tamon Ruu, Hewanurma, dan seluruh Alforea," geram Bu Mawar, "kalian semua memang harus diberikan pelajaran!"

(* * *)

Setelah melewati portal, Bu Mawar dan rekan-rekannya kembali ke Alforea. Mereka muncul di halaman Kastel Despera seperti semula. Bagaimanapun, sambutan yang mereka terima di sini tidaklah mengenakkan. Sejumlah pelayan wanita membuat barikade mengepung tim Mawar. Sorot mata mereka terfokus pada salah satu rekan Bu Mawar, yakni Ragga Bang.

"Peserta Ragga Bang," kata salah satu pelayan. "Berdasarkan penilaian Tuan Hewanurma dan Yang Mulia Tamon Ruu, Anda tidak layak untuk mengikuti turnamen yang sesungguhnya."

"A-APAA?!" bentak Ragga, emosinya sudah langsung tersulut. "Coba kau bilang sekali lagi! Bilang kalau RAGGA BANG itu NGGAK LAYAK!!"

"Anda tidak layak," si pelayan mengulangi perkataannya. "Sekarang kami akan menyingkirkan Anda."

Mendengar semua itu, tentu saja harga diri Ragga Bang tak mau menerima. Dia adalah pegulat terkuat. Tak ada yang bisa menyingkirkannya begitu saja. Tidak tanpa PERLAWANAN!

Maka Ragga menyerahkan mayat Dilham yang dibopongnya kepada Ahran. Setelah itu, si pegulat langsung mengamuk.

Sejumlah pukulan peledak dilancarkannya, tapi tak ada yang mengenai sasaran. Gerakan para pelayan begitu gesit.

Ragga mencoba menangkap salah satu pelayan—yang seragamnya agak berebda dengan pelayan lain—untuk dia banting, tetapi itu pun juga gagal. Pelayan itu berkelit, bahkan membalas serangan Ragga.

Cukup satu sentuhan tangan dari si pelayan, maka badan Ragga Bang sudah kejang-kejang seperti tersengat petir. Kemudian sejumlah pelayan lain segera menangkap Ragga Bang yang lumpuh, lalu pegulat itu diseret pergi entah kemana. Hanya mulut Ragga saja yang masih meraung-raung, menolak, tapi sungguh dia tiada berdaya.

Ahran dan Caitlin yang menyaksikan itu terperangah. Namun sorot mata si pelayan seakan mengatakan "Kalau melawan, kalian akan bernasib sama!", maka terdiamlah Ahran dan Caitlin.

"Ragga Bang telah di-exiled," ujar si pelayan. "Tapi kalian bertiga berbeda. Peserta Kusumawardani, peserta Ahran, dan peserta Caitlin Alsace, kalian dinyatakan lolos ke babak sesungguhnya."

Tak ada respon.

"Ah, iya, namaku Anastasia," si pelayan mengenalkan diri. "Aku akan menjelaskan peraturan babak pertama. Mari kalian ikut aku ke penginapa—"

Perkataan Anastasia terhenti ketika salah satu peserta di hadapannya tiba-tiba tumbang. Bu Mawar jatuh tak sadarkan diri dengan kucuran darah yang begitu deras akibat lengan kanannya yang terpotong dalam pertarungan melawan Rah.

"M-Mawar!" seru Caitlin yang sedari tadi memapah rekannya itu.

"Hei kalian penyelenggara! P-panggilkan tabib! Cepat!!" ujar Ahran, panik. Hampir saja tubuh Dilham terjatuh dari gendongan tangannya. "Mawar … Mawar harus cepat diobati!"

"Ha? Kok…?" Anastasia malah terheran. "Mestinya sistem regenerasi bekerja memulihkan setiap peserta yang sudah menyelesaikan misi."

"Sistem regen apa?!" sanggah Caitlin. "Lihat sendiri, dia masih terluka parah begini!"

"Dan itu …," Anastasia melirik mayat anak kecil yang dibopong Ahran, "… siapa? Aku tak ingat ada bocah seperti itu di database."

"MEDIS!" kali ini Caitlin benar-benar membentak.

Anastasia pun menyuruh pelayan-pelayan lainnya untuk segera menandu Bu Mawar ke klinik Kota Despera.

"Mayat bocah itu biar rekan-rekanku yang mengurus," tunjuk Anastasia. "Sedangkan kalian berdua, ikut aku ke penginapan untuk menerima penjelasan tentang babak pertama."

Ahran menyerahkan tubuh Dilham kepada para pelayan. "Kubur dengan baik, sesuai adat yang dipercayai anak ini dan Mawar," tutur Ahran. "Dan tentang Mawar …."

"Tenang saja. Kalau dia memang peserta, segera setelah bisa bertarung dia akan menyusul ke arena. Bersyukurlah kalian semua terpisah dan belum harus saling berhadapan satu sama lain. Hahaha," jelas Anastasia.

Maka Anastasia si pelayan, beserta Ahran dan Caitlin pun beranjak.

Entah pertarungan seperti apa yang sudah menanti mereka.

(* * *)

Bu Mawar membuka mata.

Dia mendapati dirinya terbaring di ruang klinik yang bernuansa serba putih. Kepalanya masih terasa pusing. Dilihatnya segelas air di meja sebelah kanan ranjang, lalu dia coba raih gelas air itu. Namun …

… barulah Bu Mawar menyadari kalau tangan yang hendak dia gunakan untuk merengkuh gelas itu sudah tak menempel lagi pada pundak kanannya. Tak ada yang tersisa di sana.

Kini dia hanya memiliki sebelah lengan kiri sahaja.

Bu Mawar meringis, ngeri.

Bagaimana dia harus melanjutkan tugas dinasnya untuk mencari anak-anak yang hilang kalau kondisinya kini begitu menyedihkan?

"Anda sudah sadarkan diri? Anda ingin menengok kuburan anak lelaki itu?" ujar perawat yang muncul dari pintu masuk.

Mendengar perkataan perawat itu, kembali Bu Mawar harus menerima kenyataan yang pedih. Dilham sudah benar-benar tiada. Bagaimanapun, guru itu tetap berusaha tegar. Disekanya air mata yang menetes di pipi, lalu dia bangkit.

Diambilnya jaket yang tersampir di kapstok, lantas dipakainya.

Kemudian sang perawat mengantarkan Bu Mawar ke tempat Dilham dimakamkan, di pemakaman umum Kota Despera.



Teringatlah Bu Mawar, baru kemarin dia melayat ke makam mendiang suaminya. Kini di hadapannya sudah terhampar kuburan lain, yang merupakan kuburan muridnya sendiri.

Dunia macam apa yang menghendaki seorang murid SD meninggal mendahului gurunya?

"Kamu murid yang baik, Dilham. Kamu selalu menjadi murid yang baik. Agak bandel, iya, sering disalahpahami murid dan guru lain, juga iya. Tapi kamu tetap murid yang … baik." Bu Mawar terisak. "Akulah guru yang tidak baik. Aku tak bisa menjagamu …. Maafkan Bu Gurumu ini, Nak."

Bu Mawar meletakkan sekuntum bunga di pusara Dilham sebagai persembahan terakhir. Selanjutnya dia membacakan sejumlah surat Al-Quran yang ditutup dengan doa untuk melapangkan kubur sang murid.

Kemudian guru itu bangkit.

Pelayan yang bernama Anastasia sudah berdiri di sampingnya, langsung berkata, "Peserta Kusumawardani, Anda sudah siap? Ronde pertama sudah dimulai. Dan Anda satu-satunya peserta yang belum memasuki arena."

Bu Mawar mengangguk, tanda siap.

Anastasia memunculkan layar holografis di depannya, memunculkan segala informasi mengenai arena dan aturan pertempuran yang akan dijalani Bu Mawar. Ketika guru itu mengangguk sekali lagi, maka Anastasia pun membuka portal.

"Kalau begitu, berangkatlah Anda ke Belantara Dodonge."

Dengan demikian, dimulailah ronde pertama bagi Bu Mawar. Tekad sang guru hanyalah satu. Tak ingin dirinya menabur bunga di kuburan murid-muridnya yang lain.

Mereka semua harus diselamatkan.

Dengan langkah pasti, Bu Mawar pun memasuki portal.



BAB 2 Enam Pengelana Rimba


Frost adalah biarawati dari Gereja Haphaestus.

Nama dirinya sudah mencerminkan segala sesuatu tentangnya. Dingin, beku, sikapnya, maupun jurus pedangnya. Bagaimanapun, sosok Frost merupakan kumpulan dari sekian macam kontradiksi.

Frost tak mampu memantra api sebagaimana halnya biarawan dan biarawati umum dari Gereja Haphaestus. Malahan, dia menguasai sihir pembeku, unsur yang sangat bertentangan dengan api.

Dan sebagai biarawati, sungguh kedatangannya ke Alforea ternyata bukanlah sebagai misionaris. Frost hanya ingin berpetualang. Sedangkan kini, dia mendapatkan petualangan yang diinginkannya. Dia akan menjelajahi belantara hijau yang sepertinya belum terjamah.

Atau begitulah pikirnya.

Namun, pemuda bertudung itu sudah berdiri menghadangnya. Terpaut sekitar sepuluh meter sahaja.

"Kau peserta?" tanya Frost.

"Sepertinya lawan pertamaku di hutan ini adalah seorang wanita gereja?" ujar si pemuda. "Namaku Aragon, dan engkau bernasib sial karena sudah bertemu denganku. Hahaha!"

Frost segera mengambil posisi tempur. Pedang panjang di tangan kirinya, sementara tongkat-pedang di tangan kanannya. Sekujur bilah senjata sang biarawati mengeluarkan hawa dingin dan bunga-bunga es.

Melihat itu, Aragon menyeringai lebar.

"Hah! Ternyata sesama pendekar pedang es? Kalau begitu aku tidak akan sungkan." Aragon pun mencabut senjatanya. "Saatnya Arian, pedangku, menyapamu!"

Maka melesatlah Aragon terlebih dahulu. Dia berlari kencang ke arah Frost. Lantas pemuda itu menyabetkan pedangnya.

Frost menyilangkan dua senjatanya untuk menahan tebasan Aragon.

Dentang nyaring menggema kencang, diikuti dengan meledaknya hawa dingin yang tak tertahankan dari peraduan senjata mereka berdua.

Sedetik kemudian permukaan tanah, semak, rumput, serta segala yang berada di radius 50 meter dari dua petarung itu … semuanya membeku, menjadi kepingan es yang kemilau.

Mata Frost dan Aragon berpandangan, sementara senjata mereka terus terpaut, saling mendorong dan saling menahan. Tak ada yang mau mengalah. Frost tersenyum kecil, sedangkan Aragon menyeringai lebar.

Mereka bertemu lawan yang sepadan!

(* * *)

Layaknya keluarga, pizza itu penuh kehangatan.
Layaknya cinta, pizza itu penuh semangat.

Dialah Pitta Junior, pemuda gendut bongsor, yang lebih sering dipanggil sebagai Fapi—agar tidak tertukar dengan nama ayahnya yang juga Pitta.

Jalan hidupnya adalah pizza. Dan dia datang dari Italia untuk mengantarkan pizza kepada penguasa Alforea. Namun alih-alih mendapatkan kesempatan untuk bertemu Tamon Ruu dan Hewanurma, Fapi justru terdampar ke belantara aneh ini.

"Mama mia!" seru Fapi. "Sekarang di mana aku?"

Teruslah Fapi berjalan. Pelan saja, kalau berlari tentu dia akan segera lelah. Terlalu banyak lemak menggumpal di perutnya.

Sepanjang perjalanannya di rimba ini, tak tampak di matanya manusia lain. Hanya terlihat pohon, semak, bebatuan, yang anehnya … bergerak-gerak aneh seperti hidup. Fapi menggelengkan kepala, mencoba mengusir sangka buruknya.

Maka kembali si gendut Fapi melangkah.

Satu yang tak dia sadari.

Tersembunyi di balik rimbunnya dedaunan, di suatu dahan pohon nan kokoh, sesosok tentara misterius tengah mengintai Fapi. Tentara itu tampak sedang berbincang-bincang (?) dengan tombak yang dipegangnya.

"Jadi gimana, Rahula? Kita serang saja sekarang? Si Gendut itu tampak lemah dan lengah."

Itu cara yang bagus untuk pengecut, tapi yah … kita semua tahu kalau menjadi pengecut adalah cara terbaik untuk bertahan hidup. Jadi, terserah kau saja, Yin Go! balas Rahula.

Tan Yin Go, nama sang tentara muda, masih diselimuti keraguan. Dia mengamati perimeter, hanya melihat pohon, daun, pohon, semak, dan pohon lagi. Namun keringat dinginnya tiba-tiba mengucur.

Ada sesuatu yang aneh dengan hutan ini, Yin Go bisa merasakannya.

"Entah kenapa kurasa bakal terjadi sesuatu yang luar biasa, seandainya aku menghabisi si gendut itu," gumam Yin Go. "Ah tapi peduli setan. Aku suka sesuatu yang luar biasa!"

Maka tombak Rahula mulai dialiri percikan petir, semakin lama semakin meluap-luap.

Sementara itu, Fapi yang tersesat malah dikepung oleh sekumpulan monster dedaunan mungil selebar pizza ukuran medium. Dan apa yang dilakukan Fapi ketika para monster dedaunan itu mengarahkan sulur tajam mereka pada dirinya?

"Ka-kalian mau pizza? Gratis! Persembahan penuh cinta dariku!"

Fapi mengeluarkan sejumlah pizza dari dalam tas ranselnya. Mencium bau makanan itu, para monster dedaunan pun tergoda. Baru saja mereka hendak mencomot potongan pizza itu, akan tetapi—

Insting Fapi merasakan sesuatu.

Perasaan tak enak itu … seperti ada pelanggan yang murka di suatu tempat akibat tak puas dengan pelayanannya. Dan murkanya pelanggan merupakan hal terakhir yang dia harapkan.

Saat Fapi menoleh sesuai nalurinya, seberkas petir sudah meluncur ke arahnya!

(* * *)

Sosok wanita bertudung itu berlari secepat dia bisa sewaktu telinganya mendengarkan jeritan-jeritan kecil yang meminta pertolongan. Ketika langkahnya semakin cepat, maka kakinya sudah tak lagi memijak tanah. Dia kini berlari di udara!

Namanya adalah Liona Lynn, dan melindungi orang lain adalah panggilan jiwanya.

Dia sudah semakin dekat. Sudah terlihat di kejauhan, sekumpulan anak kecil yang tengah dirundung begitu banyak monster.

Anak gadis yang tampak paling tua di antara mereka terlihat begitu gigih melepaskan anak panah demi mengusir monster-monster itu. Namun jumlah monster itu terlalu banyak.

Pada satu kesempatan sejumlah besar monster menerkam secara bersamaan dari segala penjuru. Gadis kecil itu tak bisa menghindar.

Maka pada saat itulah—

"AVALON!"

—Liona Lynn beraksi.

Terciptalah tabir cahaya berbentuk kubah yang melindungi si gadis kecil. Monster-monster itu terpental akibat menabrak dinding cahaya tersebut.

"AVALON: perluas!"

Kemudian selubung pelindung itu meluas hingga meliputi seluruh anak kecil di sana. Kini mereka aman untuk sementara, di bawah naungan tirai pertahanan yang diciptakan Liona.

"Hei, anak-anak. Kalian tidak apa-apa, 'kan?" tutur Liona sambil tersenyum. "Jangan khawatir, selama ada Kak Liona di sini, kalian aman."

Segerombolan monster menggempur Avalon—medan pelindung—dari Liona. Tetapi untuk saat ini pelindung itu masih kokoh. Bahkan, kini Liona mendapatkan asupan energi cahaya untuk setiap benturan yang menghantam dinding Avalon.

Sementara itu, anak-anak meringkuk ketakutan, berjongkok sambil menutupi telinga ataupun wajah. Hanya si gadis kecil saja yang berani untuk berdiri dan berkata.

"Kak Liona, ya? A-aku Winda! Kakak kelas anak-anak ini. Ketua OSIS SDN Sukatarung 05! J-jadi aku yang bertanggung jawab atas keselamatan mereka," ungkap si gadis kecil. "Dan aku berterima kasih atas pertolongan Kak Liona. Hahaha. T-tapi tadi kukira yang datang itu Bu Mawar … sama-sama pakai kerudung, sih."

"Bu Mawar? Maksud Dik Winda itu Bu Kusumawardani, ya?" timpal Liona. Langsung terbayang nama peserta yang semestinya menjadi salah satu lawannya di babak ini. "Dia guru kalian?"

Winda mengangguk satu kali.

Kemudian, dia kembali memunculkan panah ajaibnya, bersiap untuk melawan balik. Melihat sorot mata dan rasa tanggung jawab yang dimiliki Winda, entah mengapa Liona tersenyum sendiri.

Seperti melihat diriku di masa lalu …

Pelan-pelan selubung Avalon meredup. Sebagai gantinya, di kedua tangan Liona kini terbentuk cambuk cahaya yang begitu terang.

"Dengar, Winda. Strateginya akan seperti ini," ujar Liona. "Setelah tabir Avalon lenyap, kita berdua akan menerobos kumpulan monster ini di satu titik."

"K-kita berdua, Kak?" Winda tampak cemas.

"Siapa lagi yang bisa bertempur, memangnya?" Liona tersenyum. "Lagipula, aku mengandalkanmu, Winda!"

"Oke!" angguk Winda semangat.

Suara raungan monster terus menggaung, tampak kesal mereka karena tak kunjung bisa menembus pertahanan tabir Avalon. Namun pelan-pelan tabir itu memudar dan terus memudar.

Hingga akhirnya lenyap seluruhnya.

"SEKARANG!!" seru Liona.

Mereka berdua segera beraksi.

Liona melecutkan cambuk cahaya miliknya, membuat lubang pertama di barisan monster. Lima-enam monster tumbang ataupun terpental. Sementara itu, Winda menembakkan panah-panah magisnya ke arah monster di sekitar sasaran Liona.

Kini lubang menganga lebar. Kesempatan!

"Ayo, kita lari!!" Winda memimpin adik-adiknya.

Maka sekali lagi mereka mencoba meloloskan diri dari maut. Kini dengan bantuan Liona, sang cahaya. Saat Winda memandu anak-anak yang lain untuk pergi, Liona meng-cover sisi kiri-kanan-depan agar tak ada monster yang mendekat.

Winda dan anak-anak terus berlari semakin cepat, semakin menjauh dari kerumunan monster. Liona menyusul dari belakang.

Untuk saat ini, tampaknya baik itu Liona maupun Winda dan adik-adiknya masih bisa bertahan hidup. Untuk saat ini …

(* * *)

Di sisi terluar Belantara Dodonge muncul satu peserta terakhir.

Jilbabnya tampak semakin kusam setelah pertempuran di penyisihan. Begitu pula dengan jaket oranye yang dikenakannya. Andai saat ini dia bisa memakai busana yang lebih trendi—seperti gaun rancangan desainer ternama Adriani Eka Sari. Tetapi dia tahu kalau di sini bukanlah tempat untuk bergaya.

"Hmm? Firasatku mengatakan ada anak-anak dari Desa Sukatarung di sini," gumamnya. "Okelah kalau begitu … hhh … Bu Guru akan menyelamatkan kalian. Kali ini PASTI!"

Setelah menarik nafas dalam-dalam, maka bergegaslah sang guru. Dia berlari memasuki belantara.

Kusumawardani, alias Bu Mawar, telah hadir di medan laga!

(* * *)

Sementara itu, di ruang pengawas R1, wajah Anastasia tampak begitu pucat. Pelayan itu menemukan kenyataan bahwa semua arena telah diretas oleh seseorang, dan seseorang itu mengubah hampir seluruh peraturan pertandingan. Entah untuk tujuan apa.

"A-apa ini? Seharusnya di Belantara Dodonge itu setiap peserta diberi tiga kristal sebagai pengganti nyawa … tapi kenapa kristalnya tidak muncul??"

Anastasia menggaruk-garuk rambut panjangnya, rautnya berganti kesal. Kemudian kekesalannya pun semakin menjadi ketika terpampang tulisan baru di layar pemantau Arena B:

Dodonge Deep Forest : TEAM B
Players :
>Frost
>Kusumawardani
>Aragon Ferden
>Pitta Jr.
>Tan Yin Go
>Liona Lynn

Crystal System : canceled out
New Rule: DEFEAT ALL OTHER PLAYERS!

Salah satu pelayan mendekat, "Apakah lebih baik jika kita memanggil Tuan Hewanurma untuk memperbaiki kerusakan sistem R1?"

"Ti-tidak! Jangan panggil Tuan Hewanurma, kumohon!" sahut Anastasia. "Yang Mulia Tamon Ruu dan Tuan Hewanurma telah mempercayakan ronde ini padaku. Maka semua harus tetap berjalan!"

Dan itulah yang terjadi di ronde pertama Battle of Realms ini.

Para peserta sudah mulai bertempur tanpa tahu kalau ada yang sudah mengacak-acak sistem pertempuran. Namun seperti kata Anastasia, permainan harus tetap berjalan.



BAB 3 Bertarung di Belantara Hayati


Aragon mengayunkan pedang Arian sekuat tenaga. Bahkan Frost yang mencoba menahan itu hanya bisa terdorong beberapa langkah ke belakang, hampir saja terjatuh.

Tercipta jarak bagi Aragon untuk melancarkan tekniknya.

"Glacia un Bodhiablazta!"

Dengan satu gestur tangan kiri yang diarahkan pada Frost, Aragon melepaskan sihir esnya. Enam lembing es tajam pun meluncur ke arah biarawati itu. Namun—

—tanpa disangka-sangka Aragon, laju lembing-lembing es itu ternyata begitu pelan. Seperti gerakan lambat dalam video.

Mudah bagi Frost untuk menghindari semua itu. Bahkan dia balas menerjang maju dengan kecepatan luar biasa. Setidaknya di mata Aragon gerakan Frost tampak begitu cepat.

Nyatanya, sejak tadi Aragon sudah berada dalam pengaruh 'pembekuan gerakan' akibat teknik Frost. Gerakan pemuda itu menjadi sangat sangat lamban.

Tinggal satu langkah lagi bagi Frost untuk menumbangkan Aragon (bukan membunuh, Frost tidak membunuh!). Akan tetapi, si pemuda bertudung rupanya tak mau secepat itu menyerah.

"P..Protecto!!" teriak Aragon.

Tahu-tahu terciptalah ledakan energi di sekeliling tubuh Aragon, bertindak layaknya tabir. Frost yang berjarak selangkah dari Aragon langsung terlempar ke udara, lalu jatuh dengan keras di permukaan tanah berbatu.

Efek perlambatan pun menghilang.

Aragon kembali pada kecepatan normal.

Frost bangkit, sementara Aragon sudah bersiap untuk menyerang balik. Pertempuran antara dua pendekar pedang es masih jauh dari kata usai.

(* * *)

Sementara itu, tak jauh dari sana, Fapi hampir saja menjemput ajal.

Andai saja sejumlah monster mungil tidak melompat merintang di depan Fapi, pasti sudah mati terpangganglah si gendut itu.

Monster-monster mungil yang merasakan kasih sayang melalui pemberian pizza tulus dari Fapi … kini terkapar tanpa nyawa.

Murkalah Fapi. Dia menatap tajam ke arah datangnya sumber petir, yaitu di suatu dahan pohon yang tertutup rerimbun dedaunan.

"Merda!!" makinya. "Turun kau ke sini kalau berani, dasar pengecut!"

Namun bukan sosok si penyerang yang turun, melainkan datang lagi satu tembakan petir berikutnya. Untungnya Fapi sudah siaga kali ini. Gendut memang dia, tapi refleks masih ada.

Fapi berguling cepat ke kanan, membiarkan sambaran petir menghanguskan tempatnya tadi berdiri.

Selamatlah Fapi.

Dia segera mengambil dua gumpal adonan dari dalam tasnya, masing-masing terkepal di tangan kanan dan kiri. Kemudian tangan itu kini membara, memungkinkan pria gendut ini untuk memasak pizza dengan kecepatan di atas normal.

Namun sang lawan tak membiarkan itu.

Saat Fapi sibuk menyiapkan adonannya, ternyata musuhnya bergerak lebih dulu. Kini dia sudah berada tepat di samping Fapi dengan tombak-pedang yang siap memenggal kepala si gendut.

Mata Fapi terbelalak menyaksikan sosok yang tahu-tahu sudah ada di kirinya.

"Selamat tinggal, Gendut!"

Maka tombak-pedang itu pun berayun.

Terpaksalah Fapi mengorbankan adonan setengah matangnya demi pertahanan spontan. Dengan menggunakan adonan itu sebagai perisai, maka tebasan tombak-pedang sang musuh terserap dan tertahan. Namun percikan petir di bilah senjata itu ternyata lebih kuat daripada panasnya adonan.

Adonan Fapi hancur seketika, gosong.

Sementara si gendut pun terjungkal ke belakang. Masih hidup.

"Wah, tangguh juga kau," ledek si penyerang.

Fapi mencoba bangkit. "S-siapa, kau?" hardiknya.

"Tan Yin Go," jawab sang musuh. "Andai engkau mengamati saat si pelayan menerangkan pembagian peserta, tentu engkau tak perlu bertanya hal seperti itu. Gendut."

"A-aku tidak gendut!!" geram Fapi. "Hanya saja, tabungan lemak di perutku agak berlebih …."

Tidak mau meladeni obrolan tak berguna itu, Yin Go segera melancarkan serangan lagi. Bagaimanapun, kali ini ayunan tangannya dihentikan oleh sekumpulan monster daun kecil.

Tampaknya kau tidak terlalu mujur dengan alam kali ini, Yin Go, hahahaha! ledek Rahula si senjata.

Dan benar saja.

Tiba-tiba permukaan tanah bergolak hebat. Gempa.

Hutan ini mulai marah padamu, sepertinya … lanjut Rahula.

Maka muncullah monster-monster yang lebih besar. Yakni monster bebatuan, pepohonan, dan semak belukar. Raut mereka tampak murka. Dan yang mereka incar adalah Tan Yin Go.

"Demi Dewata! Aku tidak sengaja tadi, sungguh!" kilah Yin Go. "Mestinya si gendut itu yang terpangga—"

Sewaktu Yin Go mau menjelaskan, ternyata si gendut sudah lari terbirit-birit menjauhinya. Rupanya Fapi tahu, dia harus menyiapkan strategi dulu sekiranya ingin selamat.

Yin Go kesal. Sakit kepalanya kambuh lagi.

"Pergi kalian!"

Sekali ayun, maka terlepaslah monster-monster daun yang tadinya menggelayuti lengan Yin Go. Kemudian tentara muda ini melesat maju untuk menyusul Fapi. Di hadapannya sudah ada belasan monster merintang, namun Yin Go tidak gentar.

Kekuatannya sebagai Dharmapala pun bangkit.

Yin Go melompat tinggi … lantas tidak turun lagi ke permukaan tanah. Dia terbang!

"Sorry, para penghuni hutan," ujar Yin Go. "Sungguhan, yang tadi itu tidak sengaja. Aku tidak bermaksud membunuh kawan kalian. Gini-gini, aku ini pecinta alam~"

Maka melesatlah Yin Go mengejar Fapi yang terengah-engah melangkahkan kaki gemuknya untuk berlari.

Tanpa mereka berdua sadari, kemurkaan hutan sudah tak bisa dihentikan. Pohon-pohon raksasa setinggi puluhan meter kini mulai bangkit. Mereka hidup!

Yang menjadi sasaran pertama kali tentu saja Yin Go.

Posisinya yang kini melayang di udara justru menjadi target empuk bagi pohon raksasa. Tanpa diduga tentara itu, tiba-tiba suatu dahan sebesar rumah meluncur dari arah atas. Yin Go tak sempat mengelak.

Dia dihantam dahan tersebut.

Terhunjamlah Yin Go ke permukaan tanah, telak. Andai saja dia manusia biasa, tentu sudah remuk seluruh tubuhnya. Namun sang Dharmapala tangguh.

Ayo bangkit, Yin Go! seru Rahula.

"Berisik!" balas Yin Go. Sakit kepalanya bertambah parah.

Kemudian dahan raksasa itu kembali berayun ke bawah, kali ini berniat untuk melumat Yin Go hingga gepeng.

Terdengar gelegar hantaman yang membahana tatkala dahan itu membentur permukaan tanah dengan sangat keras!

Selamatkah Yin Go?

(* * *)

Pertarungan Frost dengan Aragon terganggu oleh kedatangan Fapi. Tahu-tahu saja si gendut jatuh tersandung lalu bergelinding ke tengah, di antara Frost dan Aragon.

Pusinglah Fapi, matanya berputar-putar. Terkapar dia.

Aragon tak ambil pusing. Ada mangsa di hadapannya, maka bersiaplah Aragon untuk menikam Fapi.

"Hentikan! Aku lawanmu!"

Namun Frost tak membiarkan itu. Sang biarawati menerjang ke arah Aragon. Bagaimanapun, kali ini alam sudah kepalang mengamuk. Kemurkaannya sudah sampai ke tempat mereka kini.

Pijakan di bawah kaki Frost tiba-tiba menonjol, menjelma menjadi sosok monster batu-rumput. Hilanglah keseimbangan Frost. Terpelanting dia ke udara.

"Aha, kesempatan!" seru Aragon, kini kembali beralih sasaran. "Glacia un Bodhiablazta!!"

Kali ini sihir lembing es Aragon dalam kecepatan terbaiknya. Frost tak sempat berbuat apa-apa. Tebasan pedangnya hanya mampu menangkal dua lembing, menyisakan tiga lembing es lain yang langsung menembus tubuhnya.

"Maafkan aku Bapa …."

Maka badan Frost pun terdorong jauh ke belakang, menancap di suatu pohon raksasa. Nafas sang biarawati habis. Tetesan darahnya membasahi hutan.

Darah, kebrutalan, hilangnya nyawa … belantara raya semakin tersulut.

Kembali terdengar raungan teramat kuat yang memenuhi segala pelosok rimba.

Pohon raksasa tempat mayat Frost menancap pun hidup. Tanpa ampun, dia melahap tubuh biarawati itu melalui celah batangnya yang seperti mulut. Ketika celah mulut itu tertutup, memuncratlah darah segar sang biarawati … bersama dengan serpihan daging yang tercincang.

Frost kini sudah menjadi nutrisi bagi pohon itu.

Kemudian pohon-pohon raksasa yang lainnya turut hidup.

Menyaksikan pepohonan setinggi gunung murka, nyali Aragon menciut. Fapi pun hanya bisa melongo. Mereka berdua sadar … kini lawan mereka adalah sang belantara itu sendiri!

"D-Dio ci salvi! Dio ci salvi!!" Fapi komat-kamit berdoa.

Kemudian pohon-pohon raksasa itu menyerang mereka!

(* * *)

Baru saja Bu Mawar menjelajah sebentar, tahu-tahu belantara sudah mengamuk. Raungan kemurkaan hutan menggema sampai ke tempatnya.

"Astaghfirullah! Suara a-apa ini?"

Bu Mawar mencoba menutup telinga. Namun dirinya yang hanya memiliki sebelah tangan tak mampu menyumbat dua telinga sekaligus. Walhasil, nyaring suara raungan itu tak terbendung lagi.

Terjatuhlah dia akibat menahan bising.

Bukan hanya itu. Kini pepohonan raksasa di kanan-kirinya mulai hidup. Bahkan monster-monster kerikil dan dedaunan yang ada di sekitar Bu Mawar turut panik ketakutan.

Akar raksasa salah satu pohon tercerabut dari tanah, membentuk kaki. Dan kaki itu siap melumat apapun yang ada di bawahnya, termasuk monster-monster kecil tadi. Sang pohon terlalu megah untuk bisa melihat ke bawah.

"Oh, tidak!"

Melihat itu, Bu Mawar secara spontan langsung melompat dan menunduk, lantas meniarapkan tubuhnya seperti dalam posisi bersujud.

Kaki pohon raksasa sudah hampir menjejak bumi, hampir menggilas Bu Mawar. Akan tetapi …

… kaki itu terhenti di udara. Sekitar satu-dua meter saja sebelum melumat Bu Mawar.

Rupanya si pohon melihat, dan merasakan.

Di bawah tubuh Bu Mawar ternyata ada segerombolan monster kerikil dan dedaunan. Mereka ketakutan dan panik sehingga tak mampu melarikan diri. Entah apa yang ada di pikiran Bu Mawar, mencoba melindungi monster-monster mungil itu.

Namun sikap itulah yang dilihat oleh pohon raksasa.

Bukan …

Bukan engkau yang menumpahkan darah di Belantara ini …

Maka pohon tersebut menjejakkan kakinya di lokasi lain. Selamatlah Bu Mawar, tubuhnya masih utuh tak jadi dilumat. Kemudian pohon-pohon raksasa lainnya juga bergerak, menyusul pohon pertama. Mereka pergi ke suatu tempat yang menjadi wilayah pertempuran, untuk menghakimi para penoda hutan.

Bu Mawar pucat pasi.

Lesu dia terduduk, keringat dinginnya mengalir deras.

Setelah Tamon-Rah, rupanya masih ada segudang monster gigantik lainnya di dunia ini. Sungguh tadi dirinya sudah pasrah sekiranya memang terinjak. Namun nasib baik masih memihak sikap mulianya.

Monster-monster mungil pun pergi setelah mengucapkan terima kasih dalam bahasa rimba.

Bu Mawar terdiam dan terus terdiam.

Untuk apa sebenarnya dia di sini? Untuk bertarung? Atau untuk mencari anak-anak yang hilang? Benarkah di belantara gila ini ada murid-muridnya?

Jawaban itu datang ketika telinga sang guru mendengar jeritan dari suatu arah.

"S-suara anak-anak!"

Maka keberanian Bu Mawar pun kembali muncul. Dia bangkit, lantas dengan tergesa-gesa berlari ke sumber suara.

"Tu-tunggu kedatangan Bu Guru, Nak! Tunggulah!"



BAB 4 Bangkitnya sang Puspita, Bangkitnya Dodonge sang Raja Belantara


Liona tergeletak tak berdaya.

Satu hempasan dahan dari pohon raksasa mampu memecahkan tabir pelindung Avalon, sekaligus menghempaskan Liona dengan sangat keras. Gadis bertudung itu terlempar dan menghantam batu kokoh. Dia tumbang dan pingsan seketika.

Kini tersisa Winda dan anak-anak kecil yang tiada berdaya.

Berkali-kali Winda menembakkan anak panah magisnya, tetapi kali ini semua itu tak ada artinya melawan monster dengan tubuh setinggi bukit.

Satu lagi ayunan dahan datang, hendak menghempaskan semua anak-anak dalam satu kali sapuan. Lalu—

"Hentikan itu, Tuan Pohon!!"

—terdengarlah teriakan dari arah belakang.

Dan monster pohon raksasa itu benar-benar menghentikan serangannya, hanya berjarak beberapa meter saja sebelum mengenai anak-anak. Bagaimanapun, angin akibat ayunan itu sudah cukup kuat untuk membuat beberapa anak terjungkal ke belakang. Tidak parah, untungnya.

Pohon itu melirik ke arah sumber suara. Tampaklah sosok wanita berjilbab di sana.

"Kumohon, mereka murid-muridku! Jangan sakiti mereka!"

Anak-anak pun ikut menoleh, seketika mereka berseru gembira.

"BU MAWAAAAR …!!"

Maka Winda dan anak-anak lainnya pun berlarian menghampiri sang guru. Mereka begitu riangnya seolah sudah melupakan derita yang mereka alami sampai saat ini. Begitu sampai di depan sang guru, mereka berebut memeluknya.

"Hei, hei … jangan terlalu lincah," kata Bu Mawar. "Nanti kalian terpeleset dan jatuh." Lalu Bu Mawar balas merangkul anak-anak itu dengan tangan kirinya.

Melihat itu, Winda langsung menyadari, "Ta..tangan kanan Ibu … kemana?" Lalu mata gadis kecil itu berkaca-kaca.

Pertanyaan Winda hanya dijawab dengan senyuman oleh Bu Mawar.

Selanjutnya, setelah melepaskan diri dari dekapan anak-anak muridnya, Bu Mawar berdiri tegap sambil mendongak dan menatap monster pohon raksasa. Sang guru tidak berkata apa-apa lagi. Pandangan matanya sudah mengatakan segalanya.

Pohon itu pun mengangguk.

Bukan …

Bukan engkau yang menumpahkan darah di Belantara ini …

Tapi jagalah anak-anakmu … sebelum Raja Belantara bangkit

Sebelum Dodonge bangkit …

Kemudian pohon raksasa itu pergi, diikuti oleh pohon-pohon lainnya. Mereka semua adalah jiwa dari Belantara Dodonge. Saat semua jiwa itu terkumpul …

Sang Raja Belantara akan bangkit.

Bangkit membawa kiamat!

(* * *)

Bu Mawar menepuk-nepuk pipi Liona secara lembut. Pelan-pelan, gadis itu pun sadarkan diri. Yang pertama kali dilihatnya adalah seorang wanita dengan senyuman yang begitu lembut.

"Hai, Dik Liona."

"Haai?"

Kemudian Liona melompat bangkit secara refleks, teringat kejadian terakhir sebelum dia pingsan. Namun begitu dia mengamati sekeliling, pemandangannya sudah jauh berbeda. Tanpa pohon-pohon raksasa, tempat ini jadi seperti padang rumput yang agak tandus.

Masih tampak sejumlah monster yang berkeliaran, tapi entah kenapa monster-monster tidak berani mendekat. Mereka hanya sesekali melihat dari kejauhan.

"Tenang, Kak Liona. Bu Mawar sudah mengusir semua monster mengerikan tadi," ujar Winda.

"Bu Mawar? Mengusir? Monster pohon segede gaban itu??"

Jelas Liona terheran. Kemudian dia menatap ke arah wanita berjilbab di hadapannya. Sederet pertanyaan segera muncul di benak Liona.

Jadi sosok seperti inikah yang mampu mengenyahkan para monster yang luar biasa besarnya itu? Punya sihir apa wanita ini? Dan diakah guru dari anak-anak ini? Penampilannya biasa saja … kecuali mungkin lengan kanannya. Dia cacat?

Melihat Liona terbengong sendiri, Bu Mawar menggerak-gerakkan telapak kirinya di depan muka si gadis.

"Helo, helo, Dik Liona?"

"Ah, iya! Ada apa?"

"Udah sadar?"

"S-sadar? A-aku selalu sadar sejak tadi. Ahaha … haha …."

Liona tertawa jengah. Dia sungguh canggung menghadapi lawan bicaranya kali ini. Berada di dekat Bu Mawar, entah kenapa Liona jadi teringat Kakek Egil, sosok yang sudah seperti gurunya. Mungkin karena mereka berdua sama-sama guru? Yang jelas, Liona merasa segan dengan sosok Bu Mawar—sekalipun seharusnya dia adalah salah satu lawannya di ronde ini.

Kemudian mereka berdua terdiam. Murid-murid pun terdiam. Mereka tidak tahu apa yang harus mereka lakukan sekarang.

Semua terasa kacau di belantara ini. Haruskah mereka meneruskan pertempuran sesama peserta?

Selagi semua terdiam, mendekatlah sosok-sosok monster kerikil dan dedaunan yang mungil. Mereka menyapa Bu Mawar.

"Dududadu duuda jan du jan daaduda."
"Dudajanda!"
"Janduda jan daaduda …!"

Bu Mawar menaikkan alis, "Hah? Kalian ingin mengajak kami ketemuan sama seseorang?"

Liona terbelalak mendengar perkataan Bu Mawar. Guru ini mengerti bahasa monster!?

Monster-monster itu terus berkata dalam bahasa aneh mereka, sedangkan Bu Mawar sesekali mengangguk dan menimpali. Hingga akhirnya Bu Mawar pun bangkit.

"Ibu hendak pergi?" tanya Liona, masih terheran.

"Iya," Bu Mawar mengangguk. "Sepertinya mereka ingin mengajak kita untuk bertemu Ratu Puspita."

"He? Ratu Puspita??" timpal Liona.

"Kita bakalan tahu setelah tiba di sana," jawab Bu Mawar. Kemudian dia menatap ke arah murid-muridnya. "Ibu ingin membawa kalian keluar dari hutan mengerikan ini. Namun Ibu belum tahu caranya gimana. Jadinya mungkin Ibu harus bertanya pada si Ratu Puspita ini. Kalau dia Ratu, mestinya tahu banyak 'kan?"

Kemudian Winda berdiri, diikuti anak-anak lainnya.

"Kami ikut Bu Mawar!"

Selanjutnya Liona turut berkata, "Ah, kelihatannya aku juga akan mengekor."

Maka berjalanlah mereka, dituntun oleh para monster mungil.



Cukup lama mereka menyusuri sisi lain Belantara Dodonge. Mereka melewati hamparan padang ilalang, menyeberangi sungai deras namun dangkal dan berbatu-batu, ataupun menapaki jalan-jalan sesempit bersisikan tebing dan jurang.

Hingga akhirnya mereka sampai pada suatu sisi hutan yang memiliki hawa udara berbeda—agak mencekam tetapi tetap syahdu.

Bu Mawar, Liona, Winda, dan murid-murid lain pun merasakannya. Tahu-tahu saja tubuh mereka merinding, bulu kuduk berdiri. Seolah ada keberadaan yang menekan di sekitar mereka.

Atau bukan seolah, melain memang ada!

Tiba-tiba segumpal cahaya—roh?—muncul di tengah-tengah mereka. Roh itu berputar-putar mengelilingi rombongan Bu Mawar. Lalu para monster mungil pun berseru.

"Dudajanda! Daaduda!"
"Daaduda!"
"Dudajandaaaa!"

"J-jadi diakah Ratu Puspita itu?" ujar Bu Mawar.

Sementara itu Liona dan Winda menoleh ke kiri ataupun ke kanan, mengikuti gerakan roh yang melayang-layang tak beraturan. Anak-anak yang lain hanya bisa ketakutan dan berlindung di belakang Bu Mawar ataupun Winda ataupun Liona.

Kemudian terjadilah hal yang tidak disangka-sangka.

Aku Ratu Puspita …

Sebentar lagi Dodonge akan bangkit, maka tugasku untuk melawannya.

Pinjami aku raga …

… wahai jiwa yang bersih dan kuat!

Maka roh sang Ratu segera mencari tubuh yang diinginkannya. Roh itu melewati Bu Mawar dan Liona, tidak memilih mereka. Hingga akhirnya yang terpilih adalah—

"K-kak Windaa!"
"Tidaak!"

Anak-anak menjerit.

"Hei, ja-jangan rasuki tubuh muridku!" hardik Bu Mawar.

"Terlambat rupanya, Bu Mawar," ungkap Liona.

Begitu dirasuki oleh roh Ratu Puspita, maka tubuh Winda diselimuti cahaya kehijauan yang memancar begitu kuat. Ketika cahaya kehijauan itu memudar, sudah tidak tampak lagi wujud Winda yang lama.

Kini dia telah menjadi Ratu Puspita.

(* * *)

Yin Go mengamuk.

Diinjak oleh monster pohon, itu sudah jadi alasan kuat baginya untuk marah. Andai saja tak ada cekungan tanah di tempatnya tadi terjatuh, sudah gepenglah Yin Go.

Sekarang, tak adalagi dharma baik kepada tumbuhan.

Mereka bukan tumbuhan, monster-monster pohon itu lebih mirip Kunarpa—monster mayat hidup bawahan Mara. Hanya beda ukuran saja. Tapi Yin Go tidak takut. Peduli amat dengan sakit kepalanya yang semakin menggila.

Kini kekuatan Yin Go sebagai Dharmapala berjuluk Vajira Muni bangkit sepenuhnya. Satu tembakan petir bertenaga penuh diluncurkan Yin Go melalui Rahula. Petir itu melesat bagaikan laser jumbo, menerobos tubuh dua monster pohon raksasa sekaligus.

Gelegar guntur menggema dahsyat, diikuti oleh getaran hebat dengan bunyi yang lebih menggelegar saat dua monster gigantik itu tumbang ke permukaan tanah.

Pohon-pohon lain yang ada di sana pun tersulut melihat matinya dua saudara mereka. Maka meraunglah mereka keras-keras, dan kini semua perhatian mereka tertuju pada sang Dharmapala.

"Apa?! Ayo ke sini kalau berani!" tantang Yin Go.

Sekali lagi dia melesatkan tembakan petir yang teramat kuat. Kali ini monster pohon terpanggang kepalanya, lalu tumbang menimpa satu-dua pohon lainnya.

Limiter Yin Go telah lepas.

Seharusnya kondisi Alforea memaksa dirinya tak bisa menggunakan kekuatan penuh dari listriknya. Tetapi karena tindakan seseorang yang merusak sistem R1 di arena ini, limiter yang dipasang oleh panitia pun tak lagi bekerja. Kini Yin Go bisa mengamuk sepuas-puasnya.

Berkali-kali petir dia lepaskan, tidak juga dirinya kunjung lelah.

Malahan, monster-monster pohon yang lain mulai mundur dan menjauh darinya. Lalu berbondong-bondong mereka pergi ke arah tertentu.

"Hah! Kenapa pergi? Kalian takut?!"

Aku ragu kalau mereka takut. Sepertinya ada sesuatu yang lain … ujar Rahula.

"… kalau begitu, akan kukejar mereka!"

(* * *)

Di sisi lain, Fapi dan Aragon juga tengah berjuang meladeni sejumlah monster pohon raksasa.

Atau tepatnya, Aragon yang meladeni mereka. Sedangkan Fapi bertugas sebagai penyuplai makanan saja. Bukan makanan biasa, tentu. Pizza Partito Felico—Happy Party—yang dia berikan pada Aragon memberikan dampak peningkatan kekuatan dan kecepatan yang luar biasa.

Kondisi memaksa mereka berdua untuk bekerja sama. Dan hasilnya mengagumkan.

Aragon dengan mudah menghindari segala serangan monster pohon. Ayunan dahan raksasa mereka, injakan kaki, caplokan batang, semua berhasil dielakkan dengan sempurna.

Bahkan Aragon mampu membalas dengan tebasan pembeku ataupun sihir lembing es. Sudah ada tiga-empat monster pohon yang berhasil dia tumbangkan. Terlewat semangat, Aragon pun merapal sihir pembeku level tinggi yang lebih kuat daripada mantra yang biasanya dia gunakan.

"Isa Froza de Circla: ULTIMA!!"

Aragon menikamkan pedang Arian ke permukaan tanah, dan seketika hawa dingin menyebar ke segala arah, membekukan segala apa yang ada di dalam radius 100 meter.

Pohon-pohon raksasa itu kini menjadi kumpulan monumen es yang menjulang. Jurus Aragon ini telah membekukan segalanya.

Termasuk Fapi.

Si gendut malang malah terkena jurus dari rekannya sendiri.

"Waduh, dia ikutan beku!" Aragon menggaruk-garuk kepala. "Ah tapi biarin deh. Kan nantinya si gembrot itu juga bakal jadi musuh lagi."

Aragon menikamkan lagi pedang Arian ke tanah. Kali ini semua yang dia bekukan langsung pecah menjadi kepingan es. Pohon-pohon itu mati. Fapi juga mati.

Kemudian Aragon menyaksikan kalau sejumlah monster pohon yang ada di kejauhan (yang tak terkena dampak jurus pembekunya) kini mulai menyingkir menjauhi medan pertempuran.

"Heh?! Pada mau kabur secepat ini? Memangnya bakal kubiarkan?!"

Aragon pun mengejar.

(* * *)

Di pusat Belantara Dodonge, di Gunung Hijau, seluruh monster pohon raksasa berkumpul.

Beratus-ratus pohon raksasa saling mendekat, menempel, meraungkan suara tertentu yang terdengar seperti mantra. Kemudian selubung kegelapan memancar kuat meliputi segenap tubuh mereka.

Pohon-pohon itu mulai menyatu menjadi satu entitas.

Semuanya akan terjadi lagi.

Belantara Dodonge adalah surga yang tenang. Namun ketika tercemar oleh tetesan darah pertempuran … maka dia akan kembali bangkit. Dialah Dodonge, sang Raja Belantara, yang dulunya telah memusnahkan seluruh penduduk asli Planet Sol Shefra, sang pembawa kiamat.

Ketika proses penyatuan selesai, tampaklah sosok yang teramat luar biasa. Dodonge adalah Behemoth sebesar gunung, yang wujudnya seperti kadal kayu raksasa. Saat Dodonge meraung, maka seluruh jagat belantara pun bergetar hebat.

Yin Go yang melayang di selatan Gunung Hijau menyaksikannya.

Aragon yang berlari di barat Gunung Hijau juga melihatnya.

Mereka berdua menjadi saksi lahir kembalinya sang Raja Belantara.

"Astaga! Monster apalagi ini?? Setelah Kuda Api sekarang ini, hah?" maki Aragon.


"Demi Dewata!" sumpah Yin Go. "Hei, Rahula, kau tahu makhluk apa itu?"

Rahula tidak menjawab.

Dan yang mereka takutkan pun terjadi. Dodonge sudah menyadari kehadiran Yin Go maupun Aragon. Sang Behemoth pun menyerang!

(* * *)

Ratu Puspita menatap jauh ke arah utara.

"Dodonge…! Rupanya dia sudah bangkit. Dengan demikian, pertempuran kami akan dimulai lagi."



BAB 5 Amukan Dua Penguasa


Sosok Winda setelah dirasuki oleh Ratu Puspita benar-benar tampak berbeda. Posturnya masih mungil, namun penampilannya kini lebih elegan. Tubuhnya kemilau cerah, dibalut dengan gaun ajaib dari rangkaian bunga. Dilengkapi dengan mahkota berbentuk kelopak nan indah. Di masing-masing tangannya terjulur cambuk dari sulur berduri.

Winda telah menjadi Ratu Puspita. Dan dia siap bertempur melawan Raja Belantara.

"Pasukanku! Bersiap!" seru sang Ratu.

Maka bersoraklah para monster-monster kerikil, dedaunan, semak, dan bebatuan. Kemudian Ratu Puspita, dengan sihirnya, langsung terbang melesat ke udara dengan begitu cepat. Pasukannya berlarian menyusul, tampak sangat bersemangat.

Bu Mawar dan Liona tak mau ketinggalan.

Mereka segera berlari menyusul.

"Kalian tinggal di sini saja, adik-adik!" seru Liona sebelum pergi.

"Tenang, anak-anak," timpal Bu Mawar seraya tersenyum. "Nanti Bu Guru akan kembali. Bersama dengan Kakak Winda kalian. Sekarang carilah tempat berlindung dulu. Kalau bisa pergilah ke ujuuuung hutan yang jauh dari segala pertempuran. Oke?"

Walaupun dengan wajah sedih, anak-anak pun menuruti permintaan Bu Mawar. Sekarang mereka hanya bisa menatap kepergian sang guru, sambil berharap semoga semuanya akan baik-baik saja.

Liona mengenggam kuat pergelangan tangan kiri Bu Mawar.

"Pegangan, Bu! Kita akan pergi!"

"O-oke…?"

Lalu Liona membawa Bu Mawar melesat cepat untuk menyusul Ratu Puspita. Mereka akan menyaksikan dari dekat, menyaksikan badai yang akan mengguncang jagat belantara ini.

(* * *)

Saat Dodonge melompat, bagaikan ada gunung yang terangkat ke langit. Dan itu hanya permulaannya, sebab gunung itu akan kembali menghunjam bumi dengan berat berlipat ganda akibat gaya jatuh.

Maka bergetarlah seluruh jagat belantara. Permukaan tanah meretak ke segala arah hingga berkilo-kilometer. Badai debu mengepul menutupi segala pandangan. Sedangkan getarannya akan terus terasa hingga belasan menit ke depan.

Monster-monster yang lebih kecil hanya bisa pasrah menerima ajal akibat gempa barusan.

Aragon dan Yin Go pun harus berusaha mati-matian hanya agar bisa selamat dari hentakan sang Raja Belantara Dodonge. Mereka berhasil menghindar dari benturan langsung, namun angin hempasannya tetap mampu menerbangkan tubuh mereka ke udara.

Sebagai petarung tangguh, tentu mereka berdua tak mau menyerah begitu saja.

Aragon bersiap mengerahkan segenap kekuatan sihirnya. Begitu pula dengan Yin Go. Dari dua arah yang berbeda mereka berdua melepaskan jurus.

Yin Go mengerahkan petir terkuatnya dari arah kanan, sementara Aragon melancarkan badai gelombang es dari arah depan. Kedua arus elemental itu mengenai tubuh Dodonge. Gelegar guntur dan gemerincing es bersahut-sahutan dan menggema. Namun Raja Belantara itu masih kokoh di tempatnya.

Hingga akhirnya teknik Aragon dan Yin Go selesai, tak tercipta kerusakan yang berarti di badan Dodonge sang Behemoth.

Kini kadal kayu raksasa itu menggembungkan mulutnya, menghirup segala udara yang dia bisa. Detik berikutnya, beriringan dengan ledakan bunyi yang memekakkan telinga, dia menyemburkan kembali udara itu. Terciptalah rentetan gelombang yang menghempaskan segalanya.

Aragon dan Yin Go tak bisa melawan, skalanya terlalu gigantik untuk bisa ditahan ataupun dihindari.

Mereka berdua terhempas jauh.

Yin Go terpantul di permukaan tanah beberapa kali sebelum akhirnya membentur karang dan pingsan. Ketahanan tubuh Dharmapala miliknya sudah diambang batas. Bahkan Rahula, senjata Bajira andalannya entah terhempas ke mana—hilang akibat serangan Dodonge. Pingsanlah Yin Go sang Vajira Muni.

Namun Yin Go masih bisa dikatakan beruntung. Aragon tidak. Pemuda bertudung ini terhempas dengan posisi yang sangat buruk. Menghantam karang dengan begitu kencang, kepala Aragon pun pecah. Dia mati mengenaskan.

Raja Belantara meraung, seolah menertawakan lawannya yang seperti kutu.

"Sedang bersenang-senang, wahai Dodonge?"

Di udara, terlihatlah sosok Ratu Puspita, memandang ke arah sang Behemoth tanpa ada rasa takut sedikit pun. Bahkan, raut wajah monster itulah yang berubah begitu menyaksikan kedatangan sang Ratu.

"K A U ?  J A D I   S E M U A   I N I   A K A N   B E R U L A N G   K E M B A L I ?"

Ratu Puspita tak mau membuang waktu. Dia melecutkan cambuk sulur di kedua tangannya. Kemudian secara ajaib, sulur itu memanjang dan bertambah besar dengan perubahan yang teramat cepat.

Tahu-tahu seluruh badan Dodonge yang sebesar gunung sudah terikat oleh sulur sang Ratu. Lalu dengan kekuatan di luar akal sehat, sang Ratu mengangkat Dodonge lantas membantingnya ke sisi lain hutan.

Jelas saja, gempa dan getaran dahsyat kembali tercipta.



Sementara itu, dua peserta yang masih hidup dan sadarkan diri, yakni Bu Mawar dan Liona … mereka hanya bisa terpana dari gunung seberang.

"Astaga! Mengapa semuanya jadi kacau-balau seperti ini? Bukankah ronde ini seharusnya adalah pertarungan antara sesama peserta? Ini kenapa malah jadi duel antar monster begini?!" keluh Liona.

"Winda …," lirih Bu Mawar. "Sang Ratu meminjam tubuh Winda. B-bagaimana caraku agar bisa menyelamatkan anak itu?"

Bu Mawar menyesali ketidakberdayaan dirinya. Di babak yang lalu, dia terlalu mengandalkan bantuan dari yang lain. Sedangkan sekarang, tak ada Caitlin yang kuat, Ahran yang baik hati, ataupun Ragga Bang yang penuh semangat dan pemberani. Tak ada pula pasukan Beary yang mampu berkumpul dan mewujud menjadi Beary-Rah sehingga mampu menandingi monster gigantik seperti Tamon-Rah.

Haruskah Bu Mawar membuat pasukan baru dari monster-monster yang ada di hutan ini? Ah, itu tidak mungkin. Semua monster di sini sudah punya Ratu dan Raja mereka.

Monster-monster yang lebih kecil—dedaunan, kerikil, semak—tunduk pada sang Ratu, sementara monster-monster yang lebih besar—pepohonan, batu karang—tunduk pada sang Raja. Tampak bahwa di bawah sana, para monster pun ikut berperang satu dengan lainnya, mengikuti pertikaian Raja maupun Ratu masing-masing.

Tak ada siapa-siapa lagi. Selain satu orang.

Bu Mawar menoleh ke arah Liona.

Kini gadis itulah satu-satunya rekan yang bisa dimintainya bantuan.

"Err … kenapa tiba-tiba Ibu menatapku be-begitu? A-ada yang salah dengan wajahku?" kecanggungan Liona muncul lagi.

"Nggak, Dik Liona," balas Bu Mawar. "Aku cuman bertanya-tanya … apakah Dik Liona bisa membawaku ke sana?"

Lokasi yang ditunjuk Bu Mawar adalah di medan pertempuran dua penguasa, tepat di antara Ratu Puspita dengan Raja Belantara. Liona menghela nafas panjang sembari mengelap keringat dingin di dahinya.

"I..itu bukan permintaan yang m-mustahil. H-hahaha … haaaaaah."



Kembali pada duel dua penguasa.

Dodonge mengamuk setelah dibanting oleh Ratu Puspita. Dia memutar-mutar tubuhnya, membuat jerat sulur yang melilit tubuhnya terputus secara serempak. Kemudian dengan gerak buas, Dodonge melesat seraya mengayunkan cakar raksasanya ke arah tubuh kecil sang Ratu yang tengah melayang di udara.

Sang Ratu memantra tabir pelindung di depannya. Namun tenaga Dodonge sang Behemoth terlalu kuat. Tabir itu hancur seketika, tubuh sang Ratu pun terpental jauh.

Untungnya sebelum membentur karang kokoh, sang Ratu masih sempat membuat manuver ke atas. Tabrakan terhindarkan. Kini Ratu Puspita mengumpulkan segenap sihirnya.

Di seberang sana, Raja Belantara pun melakukan hal serupa. Sinar kegelapan mulai meluap-luap di sela taring mulutnya, siap untuk disemburkan.

Akan tetapi …

Di antara kedua penguasa itu merintanglah dua sosok manusia.

Liona berpijak di udara dengan kecanggihan sepatunya, seraya dia memapah Bu Mawar di sampingnya agar bisa ikut melayang. Sang guru inilah yang semestinya berperan sebagai negosiator, sesuai rencana.

"Hentikan semua ini, Ratu Puspita! Dan Raja Belantara!!" teriak Bu Mawar. "Pertarungan kalian hanya membawa kehancuran!!"

Namun Ratu Puspita tetap memusatkan kekuatan sihirnya, begitu pula dengan Raja Belantara Dodonge yang semakin pekat mengumpulkan sinar kegelapan di mulutnya.

"Lihat ke bawah!" lanjut Bu Mawar. "Semua pasukan kalian ikut binasa akibat pertarungan kalian! Ini yang kalian mau? HENTIKAN pertempuran kalian!!!"

Teriakan Bu Mawar terdengar ke telinga sang Ratu dan sang Raja. Tetapi sayangnya—

"D I A M   K A U ,   M A N U S I A ! ! !"

"Kamu tak mengerti, wahai manusia. Ini adalah pertempuran takdir yang tak bisa dicegah lagi …."

—kali ini kekuatan kata-kata dari Bu Mawar tidak ada artinya. Dua entitas di hadapannya terlalu tinggi untuk bisa dipengaruhi oleh perkataan manusia biasa.

Maka Ratu Puspita pun menembakkan sihir cahaya ke arah sang lawan. Bersamaan dengan itu, Dodonge sang Raja Belantara juga memuntahkan sinar kegelapan untuk menyambut itu. Ukuran masing-masing sihir mereka sungguh tak terkira.

Bu Mawar dan Liona terjebak di antara pertemuan dua sihir tersebut, tak ada jalan lari.

"Hhh … engkau guru yang terlalu baik, Bu Mawar," senyum Liona. "Ibu harus tetap hidup."

Liona membekap Bu Mawar di dalam pelukannya untuk melindungi sang guru. Kemudian gadis itu melepaskan sihir perlindungan terkuat miliknya.

"AVALON: MAXIMA!!"

Terbentuklah sepuluh lapis kubah pelindung di sekeliling Liona dan Bu Mawar. Namun itu pun tidak cukup kuat untuk menahan gempuran sihir dua arah dari Ratu Puspita dan Raja Belantara.

Kubah pelindung ciptaan Liona hancur seketika.

Kemudian semua suara menghilang, lalu segalanya tampak begitu menyilaukan dan membara …

Seolah neraka telah muncul dari perut bumi.

(* * *)

Sekian jam berlalu.

Ratu Puspita dan Dodonge masih saja bertempur. Padahal hutan yang mereka jadikan arena kini sudah seperti tanah mati nan gersang akibat pertarungan tersebut. Monster-monster yang jadi bawahan keduanya kini sudah bergelimpangan, tewas, hampir tak ada yang bersisa.

Ratu Puspita tampak sangat kelelahan, dia tak bisa melayang lagi di udara. Kini telapak kakinya menapak bumi.

Sedangkan Dodonge, tubuh kadal kayunya mulai hancur menjadi serpihan. Behemoth itu tak bisa lagi mempertahankan wujudnya. Maka detik berikutnya, runtuhlah seluruh tubuh Raja Belantara menjadi onggok-onggok kayu mati.

Namun jiwanya masih tetap hidup dan kini mencari raga baru. Satu-satunya yang bisa ditemukan Dodonge adalah tubuh Tan Yin Go yang terkapar tak sadarkan diri, namun masih hidup. Maka dirasukilah tubuh Yin Go olehnya.

Tubuh Yin Go bangkit dengan kesadaran baru.

Kemudian dia berlari untuk menyongsong seteru abadinya, Ratu Puspita, yang masih meminjam raga mungil Winda.



Bab 6 Puspa Nirmala


Saat Bu Mawar membuka mata, dia melihat mayat Liona tergeletak persis di samping dirinya. Andai saja Liona tadi tidak sekuat tenaga memberikan perlindungan tadi … mungkin Bu Mawar pun sudah turut meregang nyawa.

Terlukis senyuman puas di wajah Liona. Apakah dia bahagia dengan kematian seperti itu? pikir Bu Mawar. Mengapa harus melindungiku? Me-mengapa orang harus mati melindugiku??

Disekalah air mata yang hendak menetes di sudut matanya. Tidak, jangan menangis dulu. Simpan air mata ini untuk nanti. Begitulah tekad sang guru.

Dia bangkit.

Dengan tubuh lemah, dia berdiri lagi.

Dilihatnya jauh di depan, dua sosok masih saja sibuk berkelahi satu dengan lainnya. Yang satu adalah Ratu Puspita yang meminjam raga Winda, murid Bu Mawar. Yang satu lagi adalah sosok seorang pria yang tidak Bu Mawar kenal. Mungkin dia salah satu peserta? Namun langsung bisa ditebak kalau raga peserta ini rupanya telah dikuasai oleh Raja Belantara, Dodonge.

Bu Mawar kesal. Murka.

"Sampai kapan kalian mau terus berkelahi, hah?!" Aura kegelapan sang guru mulai muncul, seperti yang pernah terjadi di babak penyisihan. "Sampai kapan..!!?"

Kegelapan Bu Mawar semakin pekat seiring dengan memuncaknya emosi kemarahannya. Namun saat itulah selembut suara asing menegurnya.

Tahan kemarahanmu, wahai manusia.

"Ha? S-siapa?"

Kemarahanmu hanya akan membawa lebih banyak kehancuran. Kalau engkau memang ingin menghentikan mereka berdua, maka gunakanlah kelembutanmu …

"Anda …? Jangan-jangan …."

Ya, Kusumawardani. Aku adalah pelindung ketiga dari Belantara ini, setelah Puspita dan Dodonge. Aku adalah Nirmala, perlambang keseimbangan.

Mendengar sapaan lembut dari Nirmala, aura kegelapan Bu Mawar sirna seketika. Berganti dengan aura terang yang melembutkan dan memancar indah.

Aku tak bisa meminjamkanmu kekuatan apa-apa, sebab aku pun memang keberadaan yang tak dianugerahi hal tersebut. Hanya kata-kataku tadi yang bisa membantumu … Kusumawardani

Kemudian suara Nirmala tak lagi terdengar.

"Terima kasih, Nirmala."

Tangan kiri Bu Mawar lantas memungut sepotong dahan untuk dia jadikan tongkat pemukul. Ditariknya nafas dalam-dalam, dibuangnya. Selanjutnya, dengan langkah mantap dia berjalan ke depan, menjemput pertempuran.

(* * *)

Tubuh Winda yang digunakan oleh Ratu Puspita sudah di ambang batas, semakin lemah. Tak bisa lagi dia menandingi Dodonge yang merasuki raga Yin Go.

Satu cambukan sulur dari Ratu Puspita ditahan dengan mudah oleh Dodonge Yin Go dengan lengan kiri, sulur itu melilit di lengan tersebut. Kemudian dengan sedikit hentakan, Dodonge menarik tangan kirinya, yang dengan demikian, turut menarik tubuh kecil Ratu Puspita.

Satu tendangan Dodonge pun mendarat di perut Ratu Puspita, kembali menjungkalkan sosok gadis itu ke belakang. Dan kali ini, dia terkapar dan tak mampu bangkit lagi.

Dodonge Yin Go tertawa kencang, merasa sudah menang. Kemudian dia berjalan mendekat untuk memberikan serangan penutup.

Tapi …

Ternyata sudah ada sesosok wanita berjilbab yang merintangi langkah Dodonge. Dialah Bu Mawar.

"Kau?! Masih hidup, rupanya?" geram Dodonge.

"Ya, dan aku juga ingin gadis mungil di belakangku ini tetap hidup," ujar Bu Mawar. "Dia salah satu murid kesayanganku, namanya Winda. Cita-citanya ingin menjadi perancang busana yang ternama, seperti Mbak Adriani Eka Sari. Jadi … tolong jangan sentuh muridku!"

"Dia Ratu Puspita, bukan murid—"

"Tubuhnya tubuh muridku!" potong Bu Mawar.

Dodonge tersentak akibat bentakan itu. Sekarang hardikan Bu Mawar jadi lebih terasa dampaknya. Mungkin karena tubuh Dodonge bukan lagi Behemoth?

Kemudian, dari badan Winda mencuat keluarlah roh Ratu Puspita. Dia hendak mencari raga baru … dan mendapatkan itu di sosok Bu Mawar. Namun Bu Mawar melirik ke belakang dan melotot.

"Tidak," tegas Bu Mawar. "Kamu tidak akan merasuki raga siapa-siapa lagi!"

Maka roh Ratu Puspita pun terdiam.

"Tenang saja di situ, biarkan aku yang mengatasi Dodongek—atau siapalah nama dia tadi," ujar Bu Mawar.

Dodonge berang, "Kau! Manusia biasa! Hendak melawanku?! Yang benar saja!"

"Ha? Aku memang manusia biasa," balas Bu Mawar. "Tapi kau sendiri apa? Dewa Rimba? Dewa kok masih minjem raga manusia biasa juga? Jadi siapa yang lemah?"

Perkataan Bu Mawar semakin menusuk. Akhirnya habis juga kesabaran Dodonge. Dia berlari maju menerjang Bu Mawar layaknya babi gila. Kepalan tangan Dodonge sudah tersimpan di samping, siap meninju muka si wanita berjilbab.

Namun, lagi-lagi Bu Mawar memainkan kata-kata.

"Berhenti sebentar!"

Maka langkah kaki Dodonge pun terhenti untuk sebentar, tepat terpaut selangkah sebelum mencapai posisi Bu Mawar. Tiba-tiba sekujur tubuh Dodonge Yin Go terasa sangat kaku dan tidak bisa digerakkan.

Dengan demikian, mudah saja bagi Bu Mawar untuk menyarangkan satu pukulan tongkat ke pelipis Dodonge Yin Go.

Sentuhan tongkat itu sebenarnya pelan, namun karena yang memukul adalah Bu Mawar … maka dampaknya luar biasa. Seketika, Dodonge merasakan derita batin yang tak tertahankan.

Jatuhlah dia berlutut.

Benaknya berkecamuk, langsung terbayang penderitaannya sewaktu terkurung selama sekian ribu tahun. Betapa lama dia harus menunggu agar bisa bangkit lagi. Tinggal sedikit lagi dia bisa menaklukkan Ratu Puspita, kemudian dia akan menjadi penguasa sempurna belantara ini. Tetapi … tetapi mengapa wanita berjilbab ini menghalangi langkahnya?

"Anak nakal layak dihukum!" bentak Bu Mawar.

Satu lagi sabetan tongkat, kali ini mengenai pundak Dodonge Yin Go.

Dan dampaknya adalah, sekujur badan Dodonge terasa nyeri. Bukan nyeri fisik, melainkan tekanan batin. Dia merinding bagaikan terserang demam hebat. Lalu jantungnya jadi berdetak sangat cepat, seperti panik.

Ngeri, Dodonge Yin Go merasakan ngeri untuk pertama kalinya. Ditatapnya lagi sosok Bu Mawar yang memancarkan aura cahaya yang redup namun memancarkan hawa kehadiran yang begitu menekan.

Siapa sebenarnya wanita ini? Darimana dia dapat kekuatan 'penakluk' seperti ini??

Bu Mawar hendak melayangkan lagi pukulan selanjutnya, tetapi kali ini Dodonge tak ingin membiarkan itu. Dodonge kalap.

Dia berteriak kesetanan untuk membuyarkan efek tekanan dari Bu Mawar. Dan dia kini berhasil bergerak. Kesempatan ini tak mau dibuang begitu saja. Dodonge berkelit dari sabetan tongkat Bu Mawar.

Satu tinju dihantamkan ke muka Bu Mawar, kena. Tapi belum cukup. Tangan kanan Dodonge Yin Go lantas menangkap atas jilbab Bu Mawar lalu menarik kepala guru itu untuk dihajarnya dengan dengkul. Dan lagi-lagi kena! Darah memercik, baik itu dari dahi guru muda itu, maupun dari mulutnya.

Selanjutnya, Dodonge mendorong Bu Mawar lantas diberinya satu tendangan kencang ke arah perut.

Terjungkallah sang guru dengan begitu telak.

"Hahaha, rasakan!"

Kembali Dodonge tertawa … namun hanya sesaat.

Sebab, Bu Mawar sudah mulai bangkit dan berdiri kembali, sekalipun dengan tubuh yang lemas dan gemetaran. Tetesan darah membasahi wajahnya, namun justru itu membuat raut muka sang guru menjadi tampak lebih mengintimidasi.

"Jadi begitu ya?" tutur Bu Mawar. "Begitu cara kamu memperlakukan seorang guru?! Apa kamu mau Ibu kasih hukuman?!"

Sekali lagi, perkataan Bu Mawar menghancurkan sanubari Dodonge sang Raja Belantara. Begitu kuatnya perkataan itu sehingga Dodonge merasa tak sanggup lagi untuk melawan.

Apalagi jika melihat tatapan mata sang guru.

Kemudian satu lagi pukulan tongkat dari Bu Mawar mendarat di jidat Dodonge Yin Go, menyudahi segala perlawanan darinya. Jiwa Dodonge terlepas dari raga Tan Yin Go.

Selanjutnya roh Ratu Puspita mengambil tindakan. Roh itu segera menerjang jiwa Dodonge. Kemudian roh dan jiwa itu saling bertumbukkan. Keduanya bercahaya sesaat, sebelum akhirnya mereka luruh dan pelan-pelan menghilang.

Mereka berdua kembali bersemayam di belantara, menunggu entah berapa ribu tahun lagi agar bisa bangkit seperti tadi.

Sementara itu, Yin Go terduduk bersimpuh setelah jiwa Dodonge meninggalkan raga milik pemuda tersebut. Dengan nafas terengah-engah, Yin Go mencoba menalar semuanya. Ditatapnya sosok wanita berjilbab bertangan satu yang ada di hadapannya.

"J-jadi Anda adalah Bu Guru Kusumawardani? Dalam dataku tertulis demikian," sapa Yin Go. "Dan Anda adalah peserta turnamen ini, satu arena denganku, dengan demikian … lawanku."

"Kamu masih ingin bertempur, Tuan?" tanya Bu Mawar, setengah melotot.

Yin Go keringat dingin karena dipelototi. "T-tidak. Aku sudah menyaksikan sendiri semuanya … sewaktu monster itu mengontrol tubuhku. Aku juga sudah lelah … dan aku butuh obat migrain."

"Jadi kesimpulannya?" desak Bu Mawar.

Yin Go tertunduk dan tersenyum kecil, "Aku mengaku kalah. Andalah yang memenangkan ronde ini, Bu Guru Kusumawardani."

Setelah mengatakan semua itu, Yin Go pun menjatuhkan tubuhnya ke belakang. Pemuda itu tertidur, letih dan lemas.

Bu Mawar menghela nafas panjang.

Sepertinya ronde ini sudah berakhir. Dan dia yang jadi pemenangnya? Ah, siapa peduli? Sekarang dirinya harus kembali ke tempat anak-anak.

Diangkatnya tubuh Winda yang terbaring di sana. Anak ini juga tertidur pulas. Masih hidup, syukurlah.

"Ayo kita pergi, Nak Winda. Adik-adikmu sudah menunggu …."



Epilog Rimba Hayati


Di pinggiran Belantara Dodonge, tampak seorang pria berjubah hitam dengan logo peti mati di belakang jubahnya. Dia tampak sangat kesal.

"Ini? Siapa yang seenaknya mengubah sistem pertandingan di arena ini? Membuat tugasku jadi semakin sulit saja!"

Dia berjalan dengan langkah marah. Sementara tangannya sudah memegang senapan mesin yang garang.

Setelah langkah kesekian, dia sampai di celah tebing. Dan sungguh terkejut pria itu begitu mendapati apa yang dilihatnya sekarang.

"Bu Mawar—ah, bukan! Ternyata bukan …"
"Om ini siapa, ya?"
"Apa Om penjaga hutan di sini?"

Ada belasan anak-anak yang seharusnya tidak ada di tempat ini, mereka bahkan seharusnya tidak pernah memasuki Alforea kalau bukan karena tindakan seseorang. Ya, seseorang itu pastilah saingan dari tuannya, seseorang yang akan mengganggu agenda sang Tuan Peti Mati.

Pria berjubah hitam itu pun menyeringai bengis. Dia mengarahkan senapan mesinnya ke depan.

"Lumayan, untuk melampiaskan kekesalan. Selamat tinggal, anak-anak malang!"



 [ROUND 1 – TEAM B]
Bu Mawar, Puspita Rimba Hayati—SELESAI



link ke Facebook Thread

12 comments:

  1. Saya komentar dari akun ini sahaja lah, ya. Sepertinya Ahran kehabisan kata-kata, hehe.

    Seperti biasa. Narasi Bang Heru sang Garam-Nasi tidak perlu diragukan lagi. Deskripsinya juga singkat-singkat. Mengundang orang baca sampe abis. Mantep dah.

    Wogh, entry-nya full battle rupanya. Padahal karena ini entry Bu Mawar, saya agak ngarep-ngarep sedikit jeda buat semacam drama. Misal menyingkap sedikit masa lalu Bu Mawar di tengah-tengah--suaminya barangkali #plak

    Intronya Mba Ruu sama Rah ternyata sodaraan. Tapi saya gak nangkep hubungannya sama isi cerita ini. Terus ada sosok pria misterius, yang mungkin akan punya andil di entry berikutnya.

    Kekuatan dan kelemahan OC disingkap dgn baik, tp saya rasa agak kurang di kepribadiannya gitu. OC selain Bu Mawar yang berkesan paling Fapi, Yin Go sama Liona. Itu pun saya blm bisa meraba sifatnya--toh saya gak baca prelim mereka.

    Bu Mawar juga kurang berasa karakternya dibanding prelim. Tp geregetnya ada juga karena dia gak di-heal.

    Oh, ada Ahran lagi~

    Bahasa tanemannya minta ditampol. Harusnya Bu Mawar marah, tuh XD

    Overall, sebenernya cerita ini bagus. Cuma masih ada kurang yang saya bingung jelasinnya gimana. Istilahnya kalo masakan ... enak sih enak tapi saya tau ada yang kurang citarasanya.

    Jadi poinnya: 9, tapi karena ada Ahran yang baik hati di sini, jadi 10 deh, hehe.

    OC: Ahran.

    PS: Dia titip salam buat Bu Mawar ^_^

    ReplyDelete
  2. anjir.. perkiraan yang gak terduga. Saya pikir bakal terjadi pertempuran antar semua peserta doang. tapi ujung-ujungnya hutan juga ikut ikut turun tangan. Keren dah. gak ada karakter yang miss sejauh ini.

    ditunggu di entri saya

    10 dr Nobuhisa

    ReplyDelete
  3. Bang Hewanurma masokis dih, minumnya air kaporit~

    terus Bu Mawar, lengan kanannya ilang permanen...
    ._.

    Frost matinya mengenaskan, dimakan pohon.
    ._.

    Winda, winda, winda, winda~ Windaaaaaa~ ♫


    Weew, Bu Mawar ngerti bahasa pohon O.o
    dan yay ada Nirmala...

    wait, siapa itu Nirmala? saya jadi inget majalah Bobo... ah sudahlah. Toh dia cuma nongol di satu paragraf aja.




    ----------
    intrik khas bang Hewan kembali muncul ya, alih-alih head on lawan peserta lain, mereka dikasih diversion untuk melawan third party. Jadi inget Ursa vs Ursula dulu.

    Dan endingnya.. damn, malah bikin penasaran. Anak-anak Bunda lagi-lagi terancam ya.

    Point : 10

    - karena bisa bikin saya baca sampai tuntas tanpa fast read
    - karena intrik cerita di luar 'bak bik buk' yang menyenangkan untuk diikuti
    - karena feels suram di awal bisa bikin saya hanyut
    - karena saya lagi belajar buat copy style nulis bang Hewan yang terkesan dongeng, tapi kagak full telling serta enak buat dibaca.

    OC : Sanelia Nur Fiani

    ReplyDelete
    Replies
    1. Si Hewanurma juga hobi ngemil balsem. Jadi wajar aja kalau dia minum air kaporit ._.

      Iya tuh, tangan hilang permanen. Rencananya emang gitu, tetapi jadinya mesti mengakali sistem regenerasi yang disediakan panitia. Di sini saya buat jadi error. Kalau tangannya nongol lagi kan nggak seru ._.

      Nirmala itu artinya murni ... ntar dia juga bakal nongol lagi kalau ada kesempatan ._.
      ----
      Sebenarnya saya agak males bikin group battle lagi. Ini juga bikinnya buru-buru, jadinya mungkin nggak se-epik pas Ursario dan Pasukan Beary melawan Ursula.

      Endingnya itu ... sial, saya mestinya nggak bikin jadi ambigu. Itu nasib si anak-anak adalah ...

      Delete
    2. Lupa bilang terima kasih banyaaak >.<

      Delete
  4. Wut? Anak SD punya OSIS?

    Tangannya bu Mawar kenapa ga tumbuh lagi kalo ini setting jelas" digital? Buat ukuran orang yang baru keamputasi juga bu Mawar rasanya tetep bersikap relatif normal pas sampe di hutan

    Saya ga keberatan nyinggung canon panitia secepet ini, tapi ngubah aturan sih beda soal

    Waktu awal bab 3 Frost vs Aragon kerasa tapi ga kentara, cuma pas masuk Fapi vs Ying Go baru beneran jelas : bang Heru ini kalo udah masuk battle kok rasanya ngebut banget ya. Pokoknya kayak segera aksi gitu

    Saya ga inget persis, tapi apa bang Heru tulisannya punya tendensi ngegiring pembaca kayak gini ya? Alih" take time buat nikmatin makanan, saya kok malah ngerasa kayak 'ayo cepetan suapnya jangan diemut!' gitu selama baca entri ini. Atau mungkin saya aja

    melain >> ini maksudnya melainkan? Dikau tidak luput typo juga ternyata

    Paling notable pointnya kayak modifikasi Tamon Rah, di sini lagi" bang Heru mainan modifikasi setting jadi karakter sendiri

    Sampe akhir rasanya tetep kurang berkesan ngebekas di saya. Tapi saya masih pengen tau bu Mawar ini bakal dibawa ke arah mana karakternya

    Dari saya 8

    [OC : Dyna Might]

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ini nggak sempet saya baca ulang dan diedit, jadi maklum kalau ada plot yang rada ngawur dan ada typo bergentayangan. Saya lupa menghapus detail OSIS itu, wahaha.
      -
      Nah itu, saya nggak bikin setting ini jadi digital kok. Alforea tetap dunia real di cerita saya. Dan di situ dibilangin kalau sistem regennya mestinya bisa menyembuhkan, tapi lagi error. Dan errornya itu juga yang bikin aturan berubah. Lagian, sejak awal kalau nggak ada error-error dikit, ya nggak bakal ada murid-murid Bu Mawar masuk ke Alforea.
      -
      Soal ngebut entahlah. Mungkin karena udah jelas deadline juga nulis adegan battlenya. Lagian seperti yang saya singgung, udah agak males bikin group battle. Soal tendensi juga saya nggak ngerti. Nulis ya nulis aja, soal pembaca bisa baca enak atau enggak itu mah saya pasrah.
      -
      Gyahaha, dan yang paling notable di entri ini itu Tamon-Rah? Berarti tulisan saya beneran gagal di mata Sam :D

      Tapi lumayanlah masih dapat 8

      Makasih banyak sudah direview. Saya sendiri nggak tahu apa yang diharapkan Sam dari OC Kusumawardani, tapi saya merasa karakter ini ke depannya pun kayaknya nggak akan memuaskan Sam :D

      Sekali lagi terima kasih~

      Delete
  5. bu mawar, oh bu mawar... kenapa nasib bu mawar begitu tragis di tangan authornya...
    tangan yang harusnya bisa tersambung tapi gak di sambungin lagi gara2 sistemnya eror. xD

    nice buat mas heru, yg bisa bikin saya pilu, sdikit kagum dan bingung kepada bu mawar.
    bingungnya pas bu mawar di hajar yin go, dia gak bereaksi kesakitan atau yg seperti itu. malah makin masuk mode guru "anak nakal harus dihukum".
    baca entri bu mawar berasa baca kisah petualangan manusia biasa yg dpet sedikit karomah berupa kemampuan 'penaklukan: didunia fantasi.

    pertarungan epic yg gak disangka2, manfaatin makhluk2 ajaib hutan dodonge sehingga membuat bu mawar jdi the last stand (alone)



    eem 9 deh buat bu mawar, saya kurang sreg sama endingnya.. hehe

    Khanza

    ReplyDelete
  6. wah, ini keren pertarungannya bang. Narasinya juga bagus, nggak perlu ada kritikan lagi buat deskrip dan narasinya.
    btw, dilham.... saya kok jadi inget seseorang ya
    ahahaha.

    nilai 9
    reviss

    ReplyDelete
  7. Jadi entry mawar udah Plot Heavy gini baru Section 1 udah Admin Plot gini.

    -2
    saya sebenarnya bilang hacking System sudah keren tapi ngeganti syarat ronde is a big no, bagi saya...
    seandainya hacking hanya ke "Forest Agressive level Max" mungkin ini jadi +1

    -1
    sekali sih keren, kalau Tamon Rah dihajar Ursario...
    tapi Dodonge vs Puspita ini bagi saya dimasukkin karena "harus epik"
    sori kalau saya berasa meta.

    Frost's Final Verdict: 8 karena sesama Tim B

    ReplyDelete
  8. Umi di sini xD
    wkwkwkw

    Felly? Dia lagi fitting, Umi abis beliin dia baju baru kemaren, jadinya begono deh.

    Ini ciri khas kak Heru narasi kak Heru banget xD Umi jadi penasaran, Kak Heru beranikah ganti narasi? #dor

    Mah btw. cerita ini. ga seseru prelim xD tapi tetep banyak bagian yang bikin ngikiknya, misal "dududajanda" itu apa? Bu Mawar ga kesinggung apah? :v

    btw, si Adriani Wk Sari kok nongol di sini? tidak sehat tahu itu, dia belum punya produk jadi, jadinya belum boleh promo :v

    Baca ini, emang keliatan ngebutnya (ga separah Felly sih :v ) , dibanding dengan prelimnya bu Mawar yag bacanya santai. dan jadi banyak bala bantuan dari lokasi perangnya bu Mawar. Apalah itu Puspita dan Dodonge :v

    dan... apa yang terjadi dengan murid-muridnya bu Mawar? yang dateng itu siapa? :O

    Cara bu Mawar ngalahin Ying Go juga :v Bu, bu kenapa maksa orang, Bu? :v

    Overall dari Umi :

    The Fun : 5.0

    Karakterisasi : 2.0

    Alur : 2.0,

    Total : 9.0

    OC : Maria Fellas

    ReplyDelete
    Replies
    1. Makasih banyak, Um. Iya nih saya ngerjainnya emang ngebut pisan :D

      Iya tuh, mungkin telinga Bu Mawar lagi budek, atau hatinya sedang kosong, sehingga celoteh "Dudajandaduda" dari monster mungil nggak sampai ke hati si ibu.

      Narasi bisa diganti, tapi nanti jadinya repot sendiri kalau mau ngebundel semua entri. Jadinya kayak Ursario, yang mana ada dua anomali di R2 dan R3, yang sampai sekarang saya masih bingung mau diapain biar bisa padu sama entri lainnya ._.

      ---

      Yang terjadi pada murid-muridnya Bu Mawar ... well, saksikan aja di R2 Bu Mawar~

      Delete