20.6.15

[ROUND 1 - TEAM C] CAITLIN ALSACE - HELVEGEN

[Round 1 - Team C] Caitlin Alsace - Helvegen
Penulis: Zoelkarnaen Herry

Tidak akan ada kejayaan dalam peperangan, hanya duka dan kematian yang akan tersisa.

Sejak Dietrich Alsace berhasil mengukir namanya dalam sejarah Midgard, terutama pada perang besar Ragnarok yang melibatkan Asgard dalam melawan armada Jötunheimr dan Loki, kami yang terlahir dalam keluarga Alsace seolah terus hidup dalam bayang-bayang Dietrich. Kami semua berusaha mengukir nama kami masing-masing dalam sejarah. Tujuan keluarga Alsace dalam peperangan di Septimus pun bukan lagi demi menghentikan Vincent, tapi agar kami dapat kembali bangga dalam mengibarkan panji-panji keluarga Alsace.

Namun sejak awal peperangan ini dimulai, tak sekalipun ada kejayaan dapat terlihat. Hanya duka dan kematian yang terus mendatangi keluarga ini. Dietrich, Sven, dan ayahku tewas, sementara itu Lana, Dale, dan Yngvie tak lagi diketahui rimbanya.

Kalau saja aku tak pernah terlahir di keluarga ini, mungkin saat ini aku hanyalah satu dari sekian banyak wanita biasa di Midgard. Tapi bukan berarti aku mengutuk takdirku yang terlahir sebagai Alsace, karena pilihan untuk meninggalkan peperangan dan segala omong kosong ini selalu ada.


Aku berada di tengah medan peperangan atas keinginanku sendiri. Aku berada di sini bukan demi kejayaan atau kebanggaan sebagai seorang Alsace, aku di berada di sini demi diriku sendiri. Peperangan ini tak akan pernah usai sebelum aku berhasil menumpahkan darah Vincent yang telah menghancurkan keluargaku.

Begitu juga dengan alasanku berada dalam permainan maut ini, keberadaanku di sini bukanlah sebagai seorang Alsace, tetapi sebagai diriku sendiri. Meskipun pada akhirnya nanti aku mungkin akan memanfaatkan seluruh sumber daya milik keluargaku, alasanku saat membunuh Vincent nanti tetaplah alasan pribadi.

"Apa kau sudah mengerti mengenai aturan ronde ini?" tanya seorang pelayan yang sebelumnya memperkenalkan diri sebagai Brenna.

"Intinya kami harus saling bunuh sampai hanya ada satu yang tersisa, bukan?"

"Kurang lebih begitu," Brenna mengangguk. "Sekarang bersiaplah, sebentar lagi kalian akan tiba di drop zone masing-masing."

Brenna mengetuk pintu kokpit helikopter yang mengangkut kami. "Estimasi waktu tiba?"

"Sekitar sepuluh menit lagi!" teriak sang pilot dari kokpitnya.

"Kenakan masker milik kalian masing-masing, masker tersebut akan memungkinkan kalian untuk bernafas di dalam air. Oh, dan jangan khawatir mengenai persediaan oksigen, masker tersebut mampu mengekstrak oksigen dari air."

Kecuali diriku, seluruh anggota grup ini mulai memakai masker masing-masing.

Anggota grupku yang pertama, Alshain Kairos, pria misterius yang berpakaian tebal serba hitam. Dia kusebut misterius karena gaya bicara dan pesona yang dimilikinya, walau sekilas kulihat wajahnya terkesan masih muda, tapi instingku mengatakan kalau ia cukup tua melampaui apa yang terlihat dari dirinya. Mungkin ia sama seperti Vincent atau para Asgardian yang tak akan pernah menua.

Lalu yang kedua, Garrand Entrenchord, pemuda yang bertubuh cukup besar dan berambut cepak. Walau ia sepertinya akan cocok untuk tinggal di Midgard sebagai seorang petarung, namun wajahnya terlalu bersih dan mulus. Ia terlihat kurang wibawa untuk seorang petarung.

Untuk yang ketiga, Khanza Mahesa Swartika, bocah lelaki yang tidak layak disebut lelaki sama sekali. Wajahnya seperti perempuan, pakaiannya seperti perempuan, bahkan tingkah lakunya seperti perempuan! Mau jadi apa alam semesta ini, kalau bocah semuda itu sudah menjadi banci?

Keempat adalah Relima Krukru, seorang gadis mungil aneh yang berwajah pucat. Kurasa sejak tadi wajahnya menjadi semakin pucat, terutama saat kami semua naik helikopter dan mengetahui kalau kita semua akan bertarung di bawah air.

Kemudian yang terakhir adalah seorang suster…

Meskipun seragam susternya berpotensi merusak keharmonisan rumah tangga orang lain, untungnya seluruh tubuh suster Vi Talitha ini tertutupi perban dari ujung kaki sampai lehernya. Entah kenapa ia diperban, mungkin di tempatnya bekerja dulu ia mengalami kekerasan seksual, mungkin juga ia korban kekerasan dalam rumah tangga, atau mungkin saja tubuhnya baru disiram air keras oleh para istri yang cemburu akibat perilaku dan cara berpakaian si suster.

"Nona Alsace, kau yang pertama turun," ujar Brenna tepat setelah aku selesai menyesuaikan maskerku agar bisa terpasang di bagian dalam helm.

"Bolehkah aku melakukan satu tes dulu?" tanyaku yang dijawab dengan anggukan kepala Brenna.

"Apa kalian semua dapat mendengarku?"

"Ya, aku bisa mendengarmu," sahut Kai dengan suara yang jelas di telingaku. Begitu juga dengan anggota grup yang lainnya, mereka mendengarku dan aku dapat mendengar mereka dengan jelas.

Masker yang dilengkapi alat komunikasi ini cukup menguntungkan, terutama bagi petarung yang lebih suka membunuh diam-diam dari belakang. Ah, lagipula kami semua akan bertarung di dalam air, aku ragu kalau di antara kami semua ada yang bisa mengandalkan pendengaran di dalam air. Walaupun gelombang suara masih bisa merambat di dalam air, kurasa akan sangat terlambat untuk bereaksi kalau kita mengandalkan hanya pendengaran.

Setelah berjalan menuju tepi pintu kargo yang terbuka dari heli yang mengangkut kami, kusilangkan kedua tanganku di dada sebelum terjun ke air. Selama empat puluh detik kemudian, kuhabiskan waktuku melesat turun ke dasar laut dengan kecepatan tinggi. Ya, bisa dibilang kalau aku sedang tenggelam dengan cepat, bahkan lebih cepat daripada jatuhnya wibawa Thor ketika ia sedang menyamar jadi seorang wanita demi merebut Mjölnir miliknya kembali.

Dasar laut yang seharusnya gelap total, ternyata memiliki pencahayaan yang lumayan walau agak remang. Ada beberapa jenis alga dan tumbuhan dasar laut lainnya yang memancarkan cahaya redup kebiruan, cukup untuk menerangi bekas kota yang tenggelam di dasar laut lempatku berdiri kini.

Meskipun banyak bangunan rumah dan gedung tak lagi memiliki bentuk asli mereka, tetapi bentuk dasar yang permukaannya dipenuhi alga dan terumbu karang yang bercahaya tetap terlihat seperti layaknya bangunan modern. Perkiraanku kota ini sudah lebih dari seratus tahun tenggelam.

"Kai, apa kau sudah turun?"

"Sedang turun, dan aku terpaksa berenang menuju dasar karena aku tenggelam tidak cukup cepat."

"Garr, bagaimana denganmu?"

"Hey, jangan seenaknya memotong nama orang! Dan iya, aku sedang turun juga, perisaiku cukup berat dan membuatku tenggelam dengan mudah."

"Apa lebih baik kalau 'Rand' saja untuk memanggilmu?"

"Sudahlah, 'Garr' juga tak apa. Tapi ini bukan berarti aku menyukaimu atau nama panggilan yang kau pilih!"

"Khan, apa kau juga sudah turun?"

"Tolonglah, nona Cat, plihlah Zaza atau apapun yang terdengar lebih manis. 'Khan' terdengar seperti nama pria tua barbar yang dekil, dan aku tak mau itu."

"Apa kau sudah turun, Za?"

"Iya-iya, aku kan bukan atlit renang, sabar!"

"Reli, apa kau baik-baik saja?"

"Uuuu, aku benci, aku benci, aku benci, aku benci sekali tempat ini! Kenapa sih kita harus bertarung di dalam air? Memangnya 'wanita sapi' itu sudah kehabisan daratan untuk dijadikan arena apa? Aku tidak mau bermain di tempat ini, apalagi kalau harus mati dan tenggelam di sini, hiiii!"

"Reli, fokus!"

"Iya, aku sudah sampai di dasar dan mau bergerak, aku ingin segera keluar dari tempat mengerikan ini!"

"Reli, tenangkan dirimu! Ingat perjanjian kita semua di awal, tidak ada yang bergerak dari posisi masing-masing sampai semuanya tiba di dasar!"

"Vi, kau yang terakhir turun, apa kau masih berenang menuju dasar?"

"Tidak tahu dan tidak akan kuberitahu. Maksudku, perjanjian di awal itu hanya berdasarkan rasa saling percaya saja bukan? Pada kenyataannya posisi kita diturunkan saling berjauhan dan kita hanya bisa saling mendengar suara masing-masing saja. Jadi dari mana kita semua bisa tahu dan percaya, kalau kau belum mengelilingi kota bawah laut ini dan menyiapkan jebakan untuk kita semua yang turun belakangan?"

"Tidak ada jaminan soal itu, hanya ucapanku sebagai seorang Midgardian yang dapat kalian pegang."

"Tuh kan! Ngomong-ngomong aku benci sekali lokasi pertarungan kali ini, aku merasa sangat… basah. Rambutku berantakan dan aku benar-benar basah…"

Setelah beberapa saat menimbang apa yang baru saja dikatakan oleh Vi, aku pun kembali berbicara. "Baiklah, karena pada dasarnya kita tak diberi aturan apapun dalam menjalani ronde kali ini, sekarang kalian mau bagaimana?"

"Bagiku tak masalah kalian mau bergerak lebih dulu atau tidak," jawab Kai datar.

"Aku hanya ingin agar ronde ini segera selesai, aku benci dasar laut! Krukru, ayo maju!"

"Terserah kalian saja," imbuh Garrand kemudian.

"He—hei! Aku masih jauh dari dasar laut! Apa kalian setega itu dengan gadis semanis aku?"

"Kau laki-laki, terima nasib dan mati saja kau dimakan hiu!" sanggah kami semua secara serentak.

"Aku benci kalian semua!"

"Aku sudah mulai bergerak," ujar Vi dengan santainya. "Jangan salahkan aku kalau di antara kalian ada yang bertemu denganku dan mati duluan."

"Silakan kau coba saja dulu, nona Vi," tantang Reli balik kepada Vi. "Dan aku akan—Aaaaaah! Apa itu! Ada makhluk berlendir yang baru saja menyentuh betisku!"

"Yang barusan kau rasakan adalah tentakel milik setan dasar laut, kudengar mereka senang sekali memperkosa gadis muda sepertimu," tutur Vi seraya tertawa kecil, sepertinya ia berbohong demi menakuti Relima.

"Bohong!" sahut Reli dengan cepat. "Dasar suster ngesot!"

"Siapa yang kau bilang suster ngesot, hah?"

"Kau tadi sewaktu di heli ngesot kembali ke tempat duduk setelah terjatuh kan?"

"Hei, itu karena helinya goyang terus, aku gak mau terus-terusan jatuh karena mencoba berdiri di sana!"

Sementara Reli dan Vi terus cekcok secara terbuka melalui alat komunikasi kami, aku tak mendengar sedikitpun suara Kai, Khanza, dan Garrand. Entah apa yang sedang mereka lakukan, sedang bersembunyi atau sedang mengintai mangsa pertama? Bukan berarti aku juga akan terus-terusan aktif dalam bersuara, tapi akan lebih mudah bagiku berkonsentrasi kalau aku diam. Setidaknya sampai aku dapat menemukan salah satu dari mereka.

Namun belum juga jauh aku meninggalkan posisi awalku, kurasakan dorongan arus yang cukup kencang dari belakangku. Kemudian sesosok bayangan hitam yang berukuran besar berkelebat di atas kepalaku. Makhluk apa lagi itu?

Dengan kecepatan lari seperti seorang astronot di medan dengan gravitasi rendah, aku bergegas mencari tempat untuk berlindung. Aku pun menemukan sebuah puing gedung yang pintu masuknya belum tertutup karang, di sanalah aku bersembunyi sambil berusaha mengamati keadaan di luar.

Namun aku masih belum dapat melihat jelas makhluk apa yang sedang berenang memutari lokasiku, yang kutahu hanya satu hal, bentuknya seperti ular besar yang ukurannya ratusan kali tubuhku. Makhluk itu sanggup menelanku hanya dengan sekali caplok. Apa aku baru saja menemukan Jörmungandr? Ah, tapi seharusnya makhluk itu sudah mati di tangan Thor saat Ragnarok dulu, Dietrich pernah cerita kalau tubuh makhluk itu berhasil dilubangi oleh Mjölnir, meriam anti-materi milik Thor.

Hahaha, sepertinya aku tak akan bisa ke mana-mana untuk sementara waktu, tidak selama makhluk itu masih berkeliaran di dekatku. Karena—demi janggut Odin—aku pasti sudah gila kalau berani keluar dan mengambil risiko untuk memancing rasa penasaran monster itu.

"Maaf nona Cat, tapi sepertinya kau yang harus pergi duluan!"

Suara Reli? Tapi bukankan sedari tadi dia masih cekcok dengan Vi?

Suara hantaman logam sedikit terdengar di telingaku, yang kemudian disusul dengan rasa sakit yang menusuk di punggungku. Tubuhku terpental dan melayang dari tempat persembunyianku menuju tempat terbuka, namun belum sempat aku mendarat, sulur-sulur berwarna putih mencuat dari pasir dasar laut dan mengikatku.

Ini perban!

Perban-perban tersebut membungkusku seperti mumi dari segala arah, tapi mereka juga tetap menjaga agar posisiku tetap berdiri. Hanya leher dan kepalaku yang tersisa dan tidak terbungkus.

Sialan, terbuat dari apa perban ini? Kenapa aku tak dapat menghancurkan benda setipis ini? Perban-perban ini sekuat Gleipnir yang dibuat demi mengekang Fenrir!

Di hadapanku—dari tempatku bersembunyi sebelumnya—muncul Relima, ia menenteng sebuah senjata yang berukuran seperti meriam tangnan namun memiliki laras kecil. Dari belakang Relima lah muncul dalang dari perban-perban yang mengikatku, Vi, ia tak bersuara dan hanya tersenyum simpul ke arahku.

"Keparat kau, Vi! Lawan aku kalau berani sini!"

"Ck ck," Vi menggerakkan telunjuknya yang terangkat ke kiri dan kanan. "Aku ini bukan cewek barbar yang hanya mengandalkan otot sepertimu, Cat. Pakai otak dong, pakai otak!" ejeknya seraya mengetuk-ngetuk pelipisnya sendiri dengan telunjuk.

"Sekarang giliranmu, Reli sayang," ujar Vi sambil menepuk bahu Gadis mungil di yang berdiri di hadapannya. "Jangan mengincar bagian tubuh yang terbungkus perbanku, nanti dia malah lolos."

Satu tarikan pelatuk dari senjata yang dipegang Relima memuntahkan sebuah proyektil yang lebih besar dari anak panah, harpun. Kepalaku terjengkang tepat saat panah harpun tersebut menancap di dahiku. Memang menancap, tapi benda itu tak cukup kuat untuk menembus helmku.

"Ah, kan… Kenapa kepalanya?"

"Kau bilang bagian yang tidak tertutup perban!"

"Memangnya kau pikir dia pakai helm tukang ojek? Zirah khusus seperti miliknya mana bisa tembus terkena harpun! Incar lehernya dong, tiap tiap baju zirah kan memiliki kelemahan di persendiannya!"

"Mana aku tahu, memangnya aku lulusan desain zirah tempur?"

Sementara mereka kembali cekcok, aku merasakan kalau ikatan perban milik Vi mulai mengendur. Akupun mulai meraih lengan kananku untuk bersiap mengaktifkan persenjataan.

"Pakai logikamu dong, Neng! Kau kan bisa merakit senjata itu dari robot-robotmu barusan, masa sih baru segitu saja kapasitas otakmu sudah kehabisan logika?"

"Yaudah, ini kutembak lagi!"

Sialan, aku masih belum bisa bebas! Aku pun menundukkan kepala agar helm ini dapat melindungi leherku yang terekspos, sayangnya Reli menyadari hal tersebut. Ia kembali menembak harpun miliknya ke keningku, lalu satu lagi tembakan susulan ke leher saat kepalaku kembali terdongak ke belakang.

Sepertinya sudah waktunya bagiku untuk menempuh Helvegen

Tapi kulihat panah harpun tersebut malah meluncur vertikal ke atas.

"Heh, kok belok ke atas?"

"Aku juga gak tahu… panahnya belok sendiri!"

"Teganya kalian semua bersenang-senang tanpaku," ujar sebuah suara yang kukenali milik Kai.

"Kai, sialan kau! Kenapa kau mengganggu mangsa kami? Di mana kau? Keluar sini!" gonggong Vi berkali-kali setelah Kai menggagalkan usahanya untuk membunuhku.

"Mangsamu? Salah, di sini kita semua adalah mangsa sekaligus pemburunya, dan satu hal lagi, lihat ke atas."

Hal yang paling kutakutkan pun terjadi, panah harpun terakhir yang ditembakkan Relima berakhir di tubuh monster yang sebelumnya berenang dengan tenang di atas kota bawah laut ini. Kini sepertinya makhluk itu mulai tertarik dengan kami bertiga di bawahnya.

"Sekarang kalian bertiga akan menjadi mangsa monster itu, selamat tinggal," tutur Kai menambahkan lagi. "Hahaha—adaw!"

Akhirnya ikatan perban yang melilit tubuhku bisa kurobek. Walau tak sekeras sebelumnya dan kini bisa dirobek, tetap saja sulit melepaskan diri dari lilitan perban setebal ini. Namun saat aku hendak pergi dari tempat yang terlalu terbuka ini, sesuatu jatuh menimpaku.

Tubuh Kai…

"Hoi, apa sih masalahmu?"

Rupanya ia baru saja terlempar dari sebuah balkon gedung di belakangku, lalu di sana sedang berdiri Garrand dengan perisai besar miliknya.

"Kai, caramu itu sungguh cara pengecut! Hadapi mereka secara langsung kalau kau jantan!" raung pemuda kekar itu seraya memandang ke bawah, ke tempat kami berada.

"Hei bangsat pengecut, kau juga menyerangku dari belakang!"

"I—itu aku… Eh? Ca—cara pengecut adalah cara yang cocok untuk melawan pengecut sepertimu! Ta—tapi bukan berarti aku juga pengecut sepertimu! Aku berani kok melawanmu sendiri dan secara jantan!"

Tak ingin terlibat cekcok dua pria yang sedang adu kejantanan masing-masing, aku pun segera menyingkir. Reli yang perlahan mulai mundur ke gedung tempat persembunyian sebelumnya kini seperti orang bingung, ia terlihat seperti sedang mencari sesuatu atau seseorang.

Kurasa Vi baru saja menghilang dan meninggalkannya, suster sialan itu memang benar-benar licik! Tapi kini aku memiliki kesempatan untuk menghabisi gadis mungil yang sudah menancapkan dua panah harpun di keningku, aku pun melesat dengan kecepatan seperti siput ke arah Reli. Terkutuklah Ruu yang telah memilih lokasi dasar laut ini!

Nah, kan… Gadis itu jadi melihat kedatanganku…

"Kau terlalu meremehkanku, Nona Cat!" dengusnya seraya meraih roda gigi besar yang sedari tadi melayang di atas kepalanya, kemudian ia menyabetkannya di saat aku sudah berada dalam jangkauan serang.

Lagi-lagi tubuhku melayang terpental terkena hantaman benda milik Relima, ini hantaman yang sama seperti yang pertama kurasakan sebelumnya. Bagaimana mungkin gadis sekecil itu memiliki tenaga seperti Troll?

Tubuhku pun menabrak Kai yang masih cekcok dengan Garrand, lalu membuat kami sedikit berguling-guling di pasir dasar laut.

"Cat, berhentilah menabrakku, ini bukan cerita roman, dan aku tak akan pernah mau jatuh cinta kepadamu meski kau berkali-kali menabrakku!"

"Yang pertama kau duluan, bukan aku! Lagi pula kalau kau memang mau melawak, silakan lakukan di dalam perut makhluk itu," kataku sambil menunjuk moncong monster ular besar yang kini terbuka dan hanya berjarak sekitar sepuluh meter sebelum mencaplok kami berdua.

Namun tak sampai sedetik kemudian Kai menghilang, ternyata ia memiliki kemampuan teleport. Dasar sialan! Sepertinya hanya aku sendiri yang akan ditelan monster keparat ini…

Aku melompat sekuat tenagaku saat moncong ular besar itu mulai menyapu dasar laut untuk menelanku, berharap aku bisa meraih satu dari dua taringnya agar bisa berpegangan dan tidak tertelan. Tapi moncongnya terlalu besar dan taringnya terlalu tinggi untuk dapat kuraih, lagipula aku ragu bisa berpegangan pada taring sebesar itu.

Lompatanku rupanya memang tidak terlalu tinggi, lalu kini tubuhku malah menghantam rahang bawah makhluk itu. Setelah kerasnya benturan menghancurkan zirah di lengan kiriku dan menancapkan beberapa serpihan di sana, tubuhku memantul ke atas menuju langit-langit mulut monster itu. Tentu saja aku tak akan menyia-nyiakan kesempatan ini, kutempelkan laras senjata yang mecuat dari zirah lengan kananku, lalu kutembakkan satu peluru anti-tank dari titik nol.

Berhasil, peluru tersebut menembus gusi sang monster. Walau lukanya bisa dibilang sangat kecil, tapi aku percaya kalau luka tersebut rasanya akan luar biasa sakit dengan semua saraf yang terdapat di mulut. Dugaanku pun benar, dapat kurasakan kalau monster ini sedang menggelepar kesakitan.

Ya, aku dapat merasakannya karena saat ini tubuhku sudah berkali-kali dipantul-pantulkan di dalam mulut monster ini, sebelum akhirnya aku terpental keluar dan menjebol dinding sebuah bangunan yang tertutup batu karang. Entah sudah sehancur apa zirahku saat ini, dan entah sudah sudah berapa tulang di tubuh ini yang retak atau patah. Satu hal yang pasti, tubuhku rasanya seperti baru saja dihantam oleh ikan paus berkecepatan jet.

Kontras dengan keadaan di luar sana, di dalam ruang gedung tak ada pencahayaan sedikit pun. Mungkin karena alga dan batu karang yang bercahaya hanya ada di bagian luar bangunan, atau bagian dasar laut yang benar-benat terbuka saja.

"Kai, caramu meninggalkan seorang wanita yang terancam maut sungguh jantan sekali," sindirku seraya tertawa menahan rasa sakit.

"Terima kasih, walau aku tak akan pernah menganggap badak sepertimu layaknya seorang wanita. Kau tidak berjalan seperti wanita, kau tidak berbicara layaknya seorang wanita, dan kau sama sekali tidak berkelahi seperti wanita. Nah kan… Tindak tandukmu tak ada yang mencerminkan seorang wanita sedikitpun."

"Jadi kau mau kalau aku melawanmu dengan adu jambak saja nanti?"

"Boleh, kenapa tidak?"

"Meskipun begitu aku tetap tidak setuju dengan Kai, karena Cat tetaplah seorang wanita selama ia tak memiliki belalai."

"Terima kasih atas penjelasannya yang tak perlu, kawanku Garrand," sambung Kai cepat.

"Ahahahahaha! Belalai!"

"Hoo, rupanya suster kita masih sehat," desisku yang masih agak kesal dengan perangkapnya. "Kalau ketemu lagi akau kuberi tambahan lubang di tubuhmu!"

"Tuh benar kan, omongannya saja vulgar, benar-benar seperti lelaki. Aku berani taruhan kalau Khanza yang banci itu bahkan lebih 'perempuan' daripada Cat," ejeknya lagi.

"Anu… kurasa bagian 'banci'-nya tidak perlu deh," Khanza yang sebelumnya tidak bersuara pun jadi ikut bicara karena kata-kata Vi barusan.

"Vivi, kau jahat jahat jahat jahat! Kenapa kau meninggalkan aku sendiri barusan?" Kini suara Relima yang terdengar, sepertinya suster sialan itu berhasil membuatnya kesal juga.

"Maaf, tadi aku kebelet pipis. Lagipula bukankan kita di sini harus saling bunuh, lalu kenapa kau mau terus-terusan nempel denganku?"

Setelah berhasil bangkit, aku pun berjalan tertatih menuju luar gedung. Ular besar itu masih meraung keras dan menggelepar kesakitan di sana, tubuhnya dengan liar menghantam beberapa gedung di dekatnya, menciptakan gemuruh dentuman keras bertubi-tubi.

"Bagaimana dengan ularnya, apa dia sudah mati?" tanya Kai kepada semuanya, aku menduga kalau dari lokasinya ia tak dapat melihat makhluk ini. Aku menduga ia barusan teleport ke dalam salah satu ruangan dari reruntuhan bekas kota ini.

"Belum," jawabku langsung. "Ia masih menggelinjang setelah mencicipi tubuhku barusan."

"Tolonglah, Cat, gunakan kata 'menggelepar' yang kurasa lebih cocok," ralat Kai atas pemilihan kata-kataku, tapi tentu saja aku tak akan peduli dengan sarannya.

Sialan! Sepertinya aku memiliki luka terbuka, mungkin akibat teriris sepihan zirahku sendiri di lengan kiri barusan. Lukanya juga terus mengeluarkan darah, karena aku melihat ada kabut merah yang terus terbentuk di lengan kiriku. Lalu kalau begini terus, aku tak akan punya waktu yang lama sebelum kehabisan darah. Tambah lagi kini setelah adrenalinku mulai mereda, aku mulai merasakan rasa sakit yang menusuk dari lukaku yang terekspos langsung dengan air laut.

Semoga saja tidak ada hiu di kedalaman seperti ini, atau masalahku akan bertambah lagi dengan menjadi umpan berjalan.

"Apa tidak ada yang ingin melawanku secara langsung?" tantangku kepada siapapun yang mendengarnya.

"Wah sayang sekali, Cat, saat ini aku sedang sibuk melayani buntelan otot. Padahal aku ingin sekali adu jambak denganmu," jawab Kai dengan napas yang memburu, sepertinya ia memang benar sedang melawan Garrand.

"Jangan banyak bicara, diamlah dan balas seranganku!"

"Bagaimana mungkin aku bisa menyerangmu kalau kau tak memberiku kesempatan?" sahut Kai sewot.

Sisa Khanza, Vi, dan Relima yang posisinya tidak kuketahui. Sedangkan untuk Kai dan Garrand, posisi mereka mudah sekali diketahui, terutama karena serangan keras dari Garrand selalu menimbulkan suara dentuman. Aku sedikit merasa kasihan dengan Kai, pasti cukup merepotkan untuk menghindari semua serangan mematikan itu.

Ah, karena hanya lokasi pertarungan Kai dan Garrand yang diketahui dengan mudah, ada kemungkinan kalau yang lainnya juga menuju ke sana. Lebih mudah membunuh target yang sudah jelas lokasinya daripada harus mencari tanpa ada petunjuk apapun, lagipula aku sudah terlalu lelah kalau harus bermain petak umpet lagi. Aku rasa yang lainnya pun akan sependapat denganku.

Dengan keadaan tubuhku yang terluka dan musuh yang lebih dari satu, sepertinya aku memang tidak bisa mengandalkan kekuatanku semata. Situasi seperti ini jadi mengingatkanku kepada kata-kata kakekku dulu.

"Caitlin, apa yang akan kamu lakukan ketika musuhmu masih banyak, tetapi tubuhmu tak lagi memungkinkan untuk terus bertarung secara langsung?"

"Aku akan terus bertarung meskipun tubuh ini pada akhirnya akan hancur, karena aku ingin mati dengan terhormat sebagai seorang Alsace."

"Jawabanmu memang ada benarnya, tapi bukankah akan lebih baik kalau kau berhasil selamat agar bisa terus bertarung di lain hari?"

"Maksud Kakek agar aku bisa bertarung dengan cara pengecut seperti nenek Yngvie, bertarung diam-diam dan menikam musuhku dari belakang?"

"Memang cara ini merupakan cara yang paling dibenci para Valkyrie, dan kau tak akan pernah melihat Valhalla nantinya, hanya Helvegen yang harus kau tempuh dan hanya Niflheim tempat jiwamu akan berakhir. Tapi ketahuilah satu hal, tak akan ada satu hal pun yang berarti saat kau mati nanti. Impianmu, harapanmu, keinginanmu, juga kehormatanmu, semuanya tak akan berarti bila kau mati."

Ah, betapa aku membenci situasi seperti ini, tapi aku tak bisa membantah kata-kata kakekku sekarang. Tak mungkin aku bisa mati dengan tenang, apalagi kalau masih terlalu banyak penyesalan saat ini. Aku masih ingin hidup, meskipun pada akhirnya aku harus menempuh Helvegen dan harus berakhir di Niflheim, aku harus bisa mencapai tujuanku.

Dengan tubuh yang mulai terasa semakin berat, aku terus berjalan memutari lokasi tempat si monster ular yang masih menggelepar untuk menuju lokasi Kai dan Garrand bertarung. Terus mencoba melangkah dan sesekali melompat demi mempersingkat jarak tempuh, sampai akhirnya pandanganku menangkap sosok mungil yang kukenal.

Khanza…

Ia sedang bertarung melawan Relima di sebuah puing bekas gedung yang sudah runtuh sebagian, Kahnza berenang zigzag di antara pilar-pilar reruntuhan gedung tersebut. Gadis itu sepertinya sedang susah payah menghindari serangan roda gigi besar milik Relima, ia juga berenang kesana-kemari tak tentu arah mengelak tembakan panah harpun. Gadis itu memegang sebuah besi tajam berukuran kecil dalam genggaman tangannya, sepertinya ia berniat menikam Relima dengan benda itu.

Sekarang yang harus kutunggu adalah kehadiran Vi, aku pun bersembunyi di jarak yang aman.

Selama beberapa menit aku terus menyaksikan adegan kucing-kucingan antara Khanza dan Relima, sampai akhirnya Khanza mulai terbiasa dengan pola serangan Reli dan dapat menghindarinya tanpa susah payah. Walaupun begitu, Khanza sepertinya masih belum dapat menemukan celah dari serangan Reli untuk melancarkan serangan baliknya. Gadis itu masih saja…

Heh, tunggu dulu, kenapa dari tadi aku menganggap kalau Khanza itu gadis? Demi Odin, dia itu bocah lelaki!

Lalu di saat aku mulai bosan menyaksikan adegan pertarungan keduanya, aku mulai melihat ada sedikit pergerakan di pasir tepat di bawah kaki mereka. Inilah saat yang kutunggu, Vi sudah ada di sekitar sini! Perban milik suster keparat itu sudah siap menerkam mangsanya!

Menilai dari arah pergerakan perban-perban tersebut di bawah permukaan berpasir, aku menduga kalau semuanya bersumber dari suatu titik di belakang Relima. Apa dia berniat untuk bekerja sama dengan Reli lagi? Sudahlah, toh pertanyaanku akan terjawab dengan sendirinya nanti. Saat ini aku harus segera bergerak memutar dan memposisikan diriku di belakang Vi, tapi sebisa mungkin tanpa diketahui mereka bertiga.

Tak sampai lima menit dugaanku terbukti, sulur-sulur perban milik Vi mencuat keluar dari dalam pasir dan membungkus satu dari dua orang yang sedang bertarung. Sayangnya dugaanku mengenai siapa yang akan terkena perangkapnya kali ini salah, Relima lah yang kali ini terbungkus seperti mumi. Tentu saja Khanza tak menyia-nyiakan kesempatan itu, si bocah langsung saja berenang mendekat lalu menanamkan besi dalam genggamannya ke leher Relima.

Kabut berwarna merah pun mulai menyebar dari leher Relima.

Dari tatapan matanya Relima pasti ingin sekali teriak dan mengutuk Vi atas perbuatannya barusan, tapi sayang lehernya robek akibat tikaman Khanza, jadi gadis mungil itu tak dapat bersuara sedikitpun. Kemudian di saat yang sama Vi menunjukkan dirinya, Khanza pun memungut senjata harpun milik Reli.

Sekaranglah saatnya! Aku harus bergerak di saat perhatian Vi masih teralihkan oleh si bocah yang kini ingin menyerangnya!

Aku pun keluar dari balik pilar tempatku bersembunyi, kemudian bergerak perlahan dengan tangan kanan dan laras senjata .50 cal milikku terarah ke punggung Vi. Aku akan menembaknya dari titik nol!

Satu panah harpun dilepaskan oleh Khanza, namun suster sialan itu berhasil menangkisnya. Ia berhasil membentuk sebuah perisai tangan tepat waktu untuk menangkal serangan tersebut. Sialnya lagi, terkejutnya Khanza atas kemunculanku di belakang Vi membuat si suster ikut menyadari keberadaanku.

Jarak tanganku dengan punggung Vi kira-kira sudah kurang dari tiga puluh centimeter lagi, sedikit lagi maka tembakanku pasti akan dapat melukainya. Satu langkah kemudian tembakan kulepaskan. Satu dentuman terdengar, kabut darah dari si target pun mengaburkan penglihatanku akan keadaan sekitar. Namun alih-alih suster sialan itu yang mati, malah Khanza yang tertembus peluruku.

Vi berhasil menarik Khanza dengan perbannya tepat sebelum menembaknya, ia menjadikan tubuh bocah malang itu sebagai perisai. Tak hanya sampai di situ, Vi kemudian menendang tubuh Khanza yang sudah melayang-layang tak bernyawa ke arahku, hingga membuatku kesulitan untuk mendekatinya.

"Selamat, Cat, akhirnya kau berhasil membunuh satu bocah di pertarungan ini," ejeknya sambil berenang semakin tinggi dan menjauh dariku.

"Bangsat kau, Vi, turun sini!"

"Yha, aku ini cewek tolol yang akan turun dan akan menghadapimu satu lawan satu kok… tapi bohong," cibirnya sembari tertawa dan terus berenang menjauh. "Ayolah, Cat, kita balapan sampai ke lokasi Kai dan Garrand, aku ingin lihat siapa yang menang di antara mereka berdua."

"Meyla krafla mikli thur syr! Beiskaldi!"

Mau tak mau aku pun mengejar Vi, kuikuti ia dengan cara berjalan seperti biasanya. Terkutuklah zirah ini yang tak dilengkapi kemampuan untuk melayang di dalam air! Untungnya kali ini beratku agak bertambah dan membuatku bisa melangkah lebih cepat di dasar laut, semua ini berkat senjata harpun milik Relima yang kupungut. Tapi aku masih tak mengerti bagaimana caranya gadis itu dapat mengoperasikan benda-benda berat seperti ini, padahal tubuhnya setipis jerami.

Meski langkahku terbilang sudah lebih cepat dari sebelumnya, tetap saja aku tertinggal jauh dari Vi yang berenang lebih dulu. Butuh waktu dua puluh menit sampai akhirnya aku bisa melihat Kai dan Garrand yang masih bertarung.

Padahal dengan kemampuan Kai untuk teleport seperti sebelumnya, kukira ia yang akan lebih unggul disbanding Garrand. Namun pada kenyataannya di sini hanya Garrand yang terlihat masih segar. Kai di sisi lain, terlihat pucat dan kelelahan.

Mereka berdua sedang bertarung di sebuah tanah lapang yang diapit oleh empat gedung tinggi tanpa ada akses masuk, satu-satunya jalan masuk hanyalah lorong sempit tempatku datang barusan. Namun kalau memiliki stamina yang kuat, bisa saja kabur dengan cara berenang ke atas sejauh lima ratus meter.

Heh, dengan ini aku jadi menyadari beberapa hal, yang mungkin juga telah disadari oleh Garrand. Kai memiliki stamina yang rendah, dan ia tak dapat melakukan teleport melebihi lima ratus meter. Kai tak dapat kabur dari perangkap ini, terutama karena Garrand berada di dekat satu-satunya lorong menuju keluar yang dapat dicapai oleh Kai. Sialnya aku juga tak dapat masuk ke arena pertarungan mereka berdua, tidak tanpa memancing Garrand menyerangku juga dan berisiko meloloskan Kai dari tempat ini.

Hanya ada satu hal yang menggangguku di sini, seharusnya Vi sudah sampai lebih dulu, tapi aku tak melihat Vi ikut dengan pertarungan di dalam sana. Entah apa lagi yang suster sialan itu rencanakan kali ini, namun yang pasti ia tak akan menggunakan strategi seperti sebelumnya, karena baik Kai maupun Garrand sudah pernah melihatnya.

"Hai, cowok-cowok, apa kalian kesepian tanpaku?"

Dia datang!

Kai dan Garrand pun mulai menyapukan pandangan mereka ke sekeliling, mencoba mengantisipasi kedatangan Vi. Tiap detik yang berlalu terasa lebih lama dari seharusnya, namun Vi tak juga menunjukan dirinya.

"Kai, Garrand, coba lihat ke atas kalian!" aku berseru setelah menyadari kemungkinan kalau suster sialan itu bisa saja masuk dari atas kepungan gedung tinggi.

Melihat reaksi mereka saat melihat ke atas, sepertinya dugaanku benar.

"Cat, sialan kau!" maki Vi kepadaku, yang tentu saja malah membuatku tersenyum.

Tapi kesempatan ini juga tak akan kusia-siakan begitu saja, aku juga mulai merangsek maju keluar dari lorong tempatku datang. Aku harus bisa menghabisi Garrand di saat perhatiannya masih terpusat pada Vi.

Dari posisiku saat ini yang sudah masuk ke arena tertutup, aku dapat dengan jelas melihat Vi yang sedang meluncur turun dengan cepat. Suster itu menggunakan sayap yang terbuat dari perban, lalu menggerakannya seolah kedua sayap tersebut seperti sepasang sirip ikan. Vi mengincar Kai sementara aku mengincar Garrand.

Setelah cukup dekat dengan targetnya, Vi mulai mengganti bentuk sayapnya kembali menjadi puluhan sulur-sulur perban. Suster itu ingin mengunci pergerakan Kai, lalu mungkin seperti sebelumnya, ia akan mengandalkan orang lain untuk menghabisi Kai. Sayangnya Kai sepertinya sudah mengantisipasi serangan Vi, karena ia langsung menghilang sesaat setelah Vi mengubah bentuk perban miliknya. Lalu yang berikutnya terjadi, Kai muncul di belakang Vi dan mengunci pergerakan suster sialan itu dengan cara memeluknya.

Dengan sebilah belati di tangan kanan, Kai bersiap untuk menghujamkannya ke tubuh Vi.

Tak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini juga, aku berganti target kepada Vi. Kutembakan satu panah harpun ke arah Vi, sekedar berjaga-jaga kalau Kai gagal. Sialnya di saat itu juga Vi berhasil meronta dan lolos dari kuncian Kai.

Sambil menahan tangan Kai yang memegang belati, Vi berenang memutar tubuhnya, lalu dengan menggunakan sulur-sulur perbannya ia melilit dan menarik Kai agar melepas pelukan pria itu terhadap Vi. Suster itu berhasil, pelukan lawannya terlepas, dan kini Kai melayang ke dasar laut setelah Vi menambahkan satu tendangan telak di perut.

Tak ayal lagi Kai lah yang terkena panah harpun yang kulepaskan sebelumnya, panah tersebut menembus dan bersarang tepat di kepala Kai.

Belum juga aku mencerna siapa yang berikutnya harus kulawan, tiba-tiba saja Garrand sudah berada di sisiku. Dengan satu tarikan napas, ia menghantamkan perisainya kepadaku sekeras-kerasnya. Perisai itu memang tidak menyentuh tubuhku secara langsung, tapi gelombang kejut yang dihasilkan cukup keras untuk membuatku terpental.

Serangan Garrand barusan membuatku berputar-putar dan melayang cukup jauh, sampai akhirnya tubuhku berhenti setelah menghantam dinding salah satu gedung yang mengepung tempat ini. Kemudian mulai terdengar dengung aneh dari zirah milikku, yang langsung kusimpulkan kalau zirah ini tak akan sanggup menahan lagi benturan seperti barusan.

Separuh bagian depan helmku hancur, menampakkan sebagian wajah dan rambutku yang terurai. Untungnya kerusakan ini tidak sampai ke alat pernapasan dari panitia, atau sudah tamat riwayatku saat ini. Tapi bukan berarti keadaanku baik-baik saja, aku juga tak lagi dapat merasakan kedua kakiku.

Belum juga habis rentetan kesialan yang kualami, malapetaka yang lebih besar pun ikut datang. Monster ular yang sebelumnya kulukai rupanya sudah kembali bangkit. Dan kini ia benar-benar terlihat kesal.

Dentuman keras terdengar saat gedung di belakang Vi jebol dan runtuh, lalu di saat yang bersamaan kepala monster ular muncul dari balik kepulan debu reruntuhan. Vi dengan sepasang sayap yang sudah terkembang lagi meluncur turun, ia berenang memutari Garrand lalu menuju posisiku yang masih terduduk bersandar. Secara tak langsung suster sialan itu memancing si ular besar menuju Garrand.

Dari sini kulihat tubuh Garrand mulai bercahaya, dengan perisai di depan ia bersiap menyambut terjangan sang ular. Sementara itu, Vi, ia masih melesat ke arahku dengan belati milik Kai di genggamannya. Sepertinya ia berniat menghabisiku di sini.

Belum sampai Vi menyerangku, terdengar lagi suara dentuman keras, kali ini akibat benturan antara Garrand dan si ular besar. Saking kerasnya benturan tersebut, gelombang kejut yang dihasilkan sampai membuat laju renang Vi oleng. Suster itu pun menabrak dinding beberapa meter tepat di atasku.

Aku pun segera bereaksi dengan mengaktifkan perangkat gravitasi di lengan kananku, dan hasilnya Vi jadi tertarik turun menimpa tubuhku.

Kutembakkan panah harpun terakhir dari senjata milik Relima.

"Sudah kubilang, bukan? Kalau akan kuberi lubang baru pada tubuhmu," kataku sambil menarik panah tersebut dari dada Vi, lalu kudorong tubuhnya menjauh.

Vi tertawa di sela-sela batuknya, sebelum akhirnya ia tak terdengar bernapas lagi.

"Sepertinya hanya tinggal kau dan aku ya?" ujar Garrand yang masih tegak berdiri, sementara itu di hadapannya tergeletak kepala sang ular yang kini tak lagi bergerak.

"Tidak juga," jawabku. "Setelah ini sepertinya hanya kau yang akan tersisa, karena aku sudah tak memiliki tenaga lagi untuk bertarung."

Garrand pun berenang ke arahku, kemudian berhenti tepat di hadapanku. "Kalau kau mau, aku bisa menunggumu beristirahat dulu. Jadi kita bisa bertarung secara adil."

"Kalau begitu bantu aku berdiri dulu,"kataku sambil mengulurkan tangan kananku.

Pria kekar itu pun berlutut hendak menyambut tanganku, sayangnya ia tak menduga apa yang sedang menanti di balik uluran tanganku. Dengungan dari zirahku terdengar semakin keras, aku telah mengaktifkan daya pertahanan zirah sampai maksimum. Semoga saja ini cukup untuk menahan ledakan yang akan terjadi setelah ini.

"Maafkan aku," bisikku setelah membelokkan tanganku dan malah menyentuh dadanya yang bidang.

Kupalingkan wajahku saat kutembakkan satu peluru railgun di dada Garrand, untuk melindungi bagian kepalaku yang tidak tertutup helm lagi. Lengan kananku meledak dan hancur, bersamaan dengan hancurnya sebagian tubuh Garrand. Sementara itu, sisa tubuhku berhasil terlindungi oleh mode pertahanan dari zirahku barusan.

Kabut merah bercampur debu reruntuhan gedung menjadi semakin pekat, sepertinya waktuku tak lama lagi sebelum aku mulai kehilangan kesadaran dan mati kehabisan darah. Dengan tangan kiriku, kuraba potongan daging yang menggantung di tempat lengan kananku sebelumnya berada. 

Ah, sudah tak terasa sakit lagi, tubuhku sudah mulai mati rasa.

"Kven skal synge meg
i daudsvevna slynge meg
når eg helvegen går
og dei spora eg trår
er kalde så kalde."

Sepertinya kali ini aku benar-benar akan pergi ke Niflheim dan menapaki Helvegen (jalan menuju Hel)…

"Suaramu bagus juga, Cat, apa lagu barusan ada lanjutannya?"

Suara siapa itu, sepertinya aku mengenalnya?

Aku pun mendongak dan mulai mencari sumber suara barusan, lalu kulihat sosoknya yang berambut panjang sedang berenang turun ke arahku.

"Apa kau masih ingat denganku?" tanya pria itu setelah ia memposisikan dirinya berjongkok di sisiku. "Aku pernah membantu Dietrich dalam mengembangnya baju zirah tempur ini. Saat itu kau masih sangat kecil, bahkan belum genap lima tahun kalau tak salah," tambahnya lagi sambil mengetuk-ngetukan jarinya di bahuku.

Aku pun menggeleng, karena aku benar-benar tak mengingat pria ini.

"Diamlah dulu sebentar, jangan bergerak," perintahnya seraya mengangkat daguku, kemudian aku merasakan kalau ia baru saja menyuntikkan sesuatu ke leherku. "Tenanglah, para panitia bilang obat ini dapat memulihkan tubuhmu lagi seratus persen. Yah, itu kata mereka, aku juga sangat penasaran bagaimana caranya cairan barusan menumbuhkan bagian tubuh yang telah hancur."

"Kau siapa?" tanyaku akhirnya. "Dan bagaimana bisa kau berada di sini?"

"Grey, namaku Grey Constantine, dan aku di sini karena Ruu memanggilku. Aku berada di sini untuk memburu Vincent, sepertinya dia melompat ke sini setelah berhasil lolos dari kepungan armadamu dan Freyja di Septimus."

"Vincent… di sini?"

"Akan kujelaskan sisanya di perjalanan," tutur Grey setelah memasang kawat Derek di zirahku. "Brenna, kawatnya sudah terpasang, sekarang tarik kami berdua!"

Grey tak henti-hentinya bicara selama tubuh kami berdua ditarik ke atas, ia terus menceritakan masa-masa ketika Dietrich, Vincent, dan dirinya masih bersama-sama.

"Oh, apa kau tahu? Ketika masih di Kastel Ruu sebelum aku ke sini menjemputmu, aku bertemu dengan Dovahkiin, ia dipanggil dengan nama Dyna, kalau tidak salah."

"Dov-apa?"

"Err… itu karakter video game dari tempat asalku."

"Maksudmu ada karakter dari video game yang ikut bertarung di sini?"

"Eh? Bukan, bukan, maksudku dia memiliki kemampuan untuk menjadikan suaranya sebagai senjata, hampir mirip dengan karakter game itu. Hahaha, mungkin kalau bertemu lagi dengannya, aku akan mengajarkan dia untuk melakukan Fus-Ro-Dah."

Setelah obrolan yang sama sekali tak ada hubungannya dengan Vincent atau seluruh kejadian di sini, Grey memaksaku untuk mendengarkan nyanyiannya mengenai si Dov-apapun itu namanya. Tidak buruk juga sih, hanya saja aku tak mengerti bahasa yang ia gunakan dalam nyanyiannya.

"Dovahkiin, Dovahkiin, naal ok zin los vahriin,
Wah dein vokul mahfaeraak ahst vaal!
Ahrk fin norok paal graan fod nust hon zindro zaan,
Dovahkiin, fah hin kogaan mu draal!"

Link ke Facebook Thread

6 comments:

  1. Demi bulu ketek Loki, ini epic!
    Coba kalau medan tarungnya lebih luas, ya taruhlah setara danau di dekat Hogwarts (Harry Potter) atau Danau Toba, mungkin kejadiannya nggak royal rumble kyk gini. jadinya karakter siapa dgn siapa lebih gampang diikuti dan pembaca jadi lbh fokus.

    Saya pikir lumayan masuk akal kalau Medan tarung di air menghambat OC2 sehingga gak bisa / nggak sempat mengerahkan kemampuan2nya, khususnya kai-krukru-khanza. Tp gpplah.

    Pesen 1 sushi Jormagund satu ya, Mbak Cait!
    Skor: 8 OC: Vajra

    ReplyDelete
  2. Ya ampun, ini mau bunuh"an tapi kok nuansanya akrab banget kayak sekumpulan temen lama yang sering jalan mau main paintball. Saya kira bang Zoel bakal nyorot aspek psikologis peserta dan mainan struggle ala Yvika, tapi ternyata pembawaan entri Cat lebih ringan ya

    Saya selalu suka dialog dan interaksi karakter yang jelas, dan jadi poin plus selama baca ini karena asik ngikutinnya. Khanza yang banci, Relima yang bocah, Garrand yang lugu, Kai yang pengecut, Vi yang licik, semua kegambar lumayan bagus di sini. Mungkin karena sekalipun ini pov1 tapi comm devicenya udah kayak open chat channel ya

    Tapi biggest surprisenya justru di akhir, yang saya ga sangka kenapa nama Dyna dibawa", dan duo veteran N2 muncul lagi di canon entri ini. Ada apa gerangan?

    Dari saya 9

    [OC : Dyna Might]

    ReplyDelete
    Replies
    1. Yea, berhubung dari BoR sebelumnya banyak yang masukin side villain sebagai sub-plot, saya pun ikut berpikir, "Kenapa tidak?"

      Lalu karena hanya Grey yang mampu mengimbangi Vinnie dalam battle 1v1, mau gak mau saya ikut sertakan juga dia.

      Thanks udah mampir, Sam

      Delete
  3. Saya suka penggambaran adegan pertarungan di sini dari awal sampai akhir! Satu yang mungkin saya kurang suka adalah pemanggilan nama-nama yang kurang saya mengerti seperti Gleipnir, Fenrir, Odin, Jormagund, dkk. Mungkin ada baiknya menjelaskan singkat nama-nama itu merujuk kemana.

    "Demi janggut Odin" :v

    Nilai : 9
    OC : Renggo Sina

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ah, maaf-maaf, saya tidak memasukkan penjelasan mengenai nama-nama yang numpang lewat karena ingin menghindari massive infodump dan menghindari risiko dibaca skim oleh yang tidak tertarik dengan mitologi Nordik.

      Gleipnir adalah rantai terkuat yang diciptakan bangsa Dwarves untuk mengikat Fenrir.

      Fenrir adalah Serigala raksasa yang juga merupakan putra dari Loki, dia adalah salah satu dari tiga anak Loki (Jörmungandr, Fenrir, Hel).

      Jörmungandr adalah satu dari tiga anak Loki yang berwujud ular laut raksasa, musuh dari Thor. Kalau di mitologi Yunani mungkin dia ini seperti Ouroboros.

      Singkatnya, walau saya menggunakan mitologi Nordik, saya mengubah sembilan dunia di mitologi ini menjadi sembilan planet di universe Cat. Asgard, Vanaheim, Alfheim, Midgard, Jötunheimr, Svartalfheim, Nidavellir, Niflheim, dan Muspelheim.

      Oh, dan Midgard bukanlah bumi, bumi merupakan hunting ground para Valkyrie. Tempat mereka mencari para pejuang untuk dijadikan Einherjar, diculik dengan kapal perang antar bintang Valhalla, lalu direlokasi ke Midgard.

      Dengan kata lain, leluhur bangsa Midgard adalah manusia bumi.

      Boring infodump isn't it?

      Anyway, terima kasih banyak sudah mampir.

      Delete