21.6.15

[ROUND 1 - TEAM E] MIMA SHIKI REID - MIND GAME

MIMA SHIKI REID - MIND GAME
Penulis:  Rakai Asaju
::
Ithacca, Apartment Downtown 506, kediaman keluarga Reid.
Sehari sebelum prelim BoR 5.


"Sayang," Mima berbisik lirih, "kau yakin..?"
Weasel menjawab pertanyaan Mima dengan belaian lembut di rambut istrinya. Kamar itu hanya diterangi lampu temaram, dan di atas ranjang yang berantakan, Weasel dan Mima berbalut selimut, saling bersandar satu sama lain. Jam digital berkedip lirih, menunjukkan pukul satu pagi.
"Ya, aku yakin. Aku percaya padamu."
Mima menelusupkan kepalanya di dada suaminya. Weasel menyambut dengan mendekapnya di dada, cukup erat untuk membuatnya merasa terlindung, tak terlalu kencang agar mampu bernapas.


"Artinya… kita akan terpisah sementara waktu." Mima menyahut pelan, dan mulai mengutarakan isi hati, "…memang selama ini kita banyak hidup berjauhan, tapi situasinya akan berbeda kali ini. Aku yang bertarung, Weasel. Artinya, ada kemungkinan aku akan berkenalan dengan orang-orang baru, berdekatan dengan mereka, menjalin kekaraban dengan mereka. Bukan tidak mungkin, bila dalam pertempuran ada yang terluka, atau aku yang terluka, kami akan saling menolong… " Suara Mima terhenti sejenak. Kedekatan dengan pria lain… itu bisa terjadi. Dan mungkin tak terhindarkan.
"… aku takut kau cemburu."
Weasel tahu, kekhawatiran itu cukup lama dipendam. Pikiran yang jujur, dan sangat manusiawi, karena ia hanya manusia biasa. Sesungguhnya, Weasel juga menyimpan kegalauan serupa, rasa was-was berada berjauhan, rasa takut akan penghianatan.
Mereka paham benar, dalam medan pertempuran, benar dan salah saling berbenturan. Kenyataan dan persepsi bisa bertentangan, apa yang terlihat belum tentu bisa dipercaya, sehingga yang bisa diandalkan hanya kepekaan hati dan kewaspadaan pikiran. Kalau hal yang tak diinginkan terjadi, kadang tak ada siapapun yang patut disalahkan. Pertempuran adalah situasi yang selalu sulit diprediksi.
"Ya, pasti aku akan cemburu." Weasel berbisik pelan. Bagaimanapun, aku lelaki.
"Tapi, aku akan berada di posisimu untuk sementara. Kupikir, untuk kelanjutan kehidupan kita… aku memerlukan itu."
Mima menatap suaminya. Jawaban Weasel bukan jawaban yang ia perkirakan; matanya mulai berkaca-kaca, dadanya sesak oleh letupan perasaan yang tiba-tiba membuncah.
Selama ini, Weasel banyak bertugas di luar negeri, kadang berhari-hari, kadang berminggu-minggu baru kembali. Apa yang dilakukannya adalah urusan yang tak boleh diketahui sembarang orang, sering berkaitan dengan politik dan konspirasi. Dan diantara hari-hari itu, ada hari-hari dimana hampir setiap jam ia menelepon, atau tanpa memberi kabar sama sekali. Kadang ia tak bisa dihubungi di medan tempur, kadang juga Mima hanya mendengar berita dari tangan kedua atau ketiga. Perlu waktu untuk Mima menyesuaikan keadaan itu, berjuang untuk tidak gelisah, bersikap semuanya baik-baik saja di depan anak-anak, hingga akhirnya Mima menemukan titik toleransi: apapun yang terjadi, terjadilah. Percaya pada suamimu. Semua akan baik-baik saja.
Kini, sebentar lagi, hal yang serupa akan terjadi. Tapi terbalik.
Mima yang akan pergi. Mengikuti Battle of Realms kelima yang diadakan Tamon Ruu.
Weasel, yang menunggu di rumah. Bersama Jade.
"Aku benci jawabanmu," Dipeluknya suaminya, ia menangis terisak. Hanya Weasel yang bisa berkata seperti itu. Dingin, telak, tak ekspresif, namun ketulusannya tak bisa diingkari.
Weasel membiarkan Mima menangis di dadanya. Setidaknya ini malam terakhir mereka bersama, sebelum keberangkatan besok ke Alforea.
Selama itu juga Weasel memejamkan mata, membiarkan pikirannya menerawang.
Bukankah, memang begitulah cinta harus diperlakukan? Bila terlalu longgar ia akan lari, bila terlalu kencang ia akan mati.
"Jangan khawatir, Mima." Weasel tersenyum lembut.
"Kalau kau dalam bahaya, atau lepas kendali…" ia berbisik di telinga istrinya, memastikan Mima benar-benar mendengar.
".. aku pasti mengetahuinya…"
::
Section 1.
Red Cat Kindergarten Alley
::
Despera Back Alley, North Gate.
Hari dimulainya Ronde Pertama BoR 5.


"Kita sudah tiba, Mrs. Reid."
Mima melompat dari portal antar dimensi, sedangkan Anastasia-six, maid yang bertugas menjadi pemandunya, hanya berdiri di pinggir portal. Pintu portal itu berderak-derak dengan sesekali kilat-kilat warna ungu berkeretakan dari pinggirnya.
"Tangkap." Anastasia-six melemparkan sebuah kantong kulit, Mima menangkapnya dengan sigap. Gemerincing koin emas terdengar dari dalam.
"Jangan lupa peraturannya. Kalian hanya punya waktu sampai matahari terbenam," sahut Anastasia-six. Mima melihat jamnya, waktu menunjukkan pukul delapan pagi.
"… yang berhasil keluar melalui portal Exit di tengah-tengah Despera Back Alley sebelum malam, dengan koin emas terbanyak, akan keluar sebagai pemenang. Kalian berenam diantarkan ke gerbang masuk yang berbeda-beda untuk memastikan setiap peserta berjuang dulu di dalam labirin Alley." Anastasia-six kembali mengulang penjelasan saat briefing peserta beberapa menit yang lalu.
"Oke." Mima mengangguk. Mima mengamati satu koin emas yang dikeluarkannya dari kantong kulit. Koin itu seukuran keping sepuluh sen, berwarna kuning cemerlang dengan tulisan 'BoR5' di satu sisi, dan gambar wajah Tamon Ruu di sisi lainnya.
"Jangan berpikir untuk mencari koin emas dari sumber lain, atau memalsukannya. Karena koin emas kalian telah ditandai secara khusus. Kalian hanya bisa mendapatkan koin emas itu dari sesama peserta." Tambah Anastasia-six.
Mima kembali mengangguk.
"Kau masih ingat siapa kompetitormu dalam ronde ini?"
"Ya," Mima mengingat-ingat, "Dyna Might, Ronnie Stacatto, Fatha Lir, Ananda dan Mang Ujang. Aku sudah mempelajari bio mereka masing-masing." Dan sejujurnya, aku tak begitu paham apa yang harus kulakukan menghadapi mereka, lanjut Mima dalam hati.
"Baiklah, selamat berjuang, Mrs. Reid. Aku mohon diri." Berbarengan dengan Anastasia-six mengucapkan salam, portal dimensi mengecil dan menutup dengan meninggalkan kilatan halilintar ungu kecil, yang langsung menghilang.
Mima berbalik, menarik nafas panjang. Gerbang Despera Back Alley bagian Utara tepat berada di belakangnya.
Gerbang itu tinggi menjulang dengan ornamen bergaya oriental. Sepasang naga bersisik warna-warni membelit dua tiang gerbang berwarna kuning, seperti sedang bertarung memperebutkan sebuah bola kuning di tengah-tengah. Di bawahnya, tergantung sebuah papan dengan tulisan mencolok:
Despera Back Alley
North Gate
Tidak akan mudah. Tapi, aku akan berusaha.
Dengan langkah mantap, Mima melangkah masuk ke dalam Alley.
Sebuah jalan kecil yang penuh pejalan kaki menyambutnya. Toko-toko berjejer rapat di kiri dan kanan, beberapa menggunakan aksara mirip huruf cina, mengingatkan Mima akan gang-gang Chinatown yang penuh perniagaan. Berbagai macam orang, bahkan makhluk, memenuhi jalanan. Hiruk-pikuk aktivitas pagi hari mewarnai jalanan-jalanan yang sibuk itu, menunjukkan rutinitas yang aman dan damai, terlalu damai untuk sebuah lokasi dilaksanakannya Ronde Pertama tim E.
Mima mencari-cari sebuah menara. Dalam jarak pandangnya, ia menemukan sebuah menara besi tinggi menjulang, hanya beberapa puluh meter dari tempatnya berdiri. Mungkin menara operator komunikasi seluler yang beroperasi di Despera.
Mima melangkah bergegas, mencoba memperkirakan jalan menuju arah menara. Di setiap percabangan jalan, ia memberi tanda kecil di pinggiran jalan, di sisi trotoar, permukaan aspal atau paving dengan pisaunya. Cara sederhana ini cukup untuk membuatnya tercegah dari tersesat di gang dan jalan-jalan Despera Back Alley yang rumit. Tapi, tentu navigasi dari tempat tinggi akan memberi keuntungan lebih.
Mima menaiki menara, ternyata tersedia sebuah tangga kecil untuk dinaiki ke atas. Ia terus naik hingga yang tertinggi bisa dicapai tangga, dan lalu memanjat lebih tinggi lagi dengan tangan dan kakinya, hingga seluruh Despera Back Alley mulai terlihat.
Angin kencang menampar-nampar wajahnya, tapi justru pikirannya terasa tenang. Mima mengambil posisi bersandar yang nyaman di salah satu tiang besi menara, lalu mengamati sekeliling. Gang-gang Back Alley mulai terlihat polanya, berupa jalan bersaling-silang yang tertutup atap-atap kanopi warna warni. Di pinggirnya, gedung-gedung berdiri rapat-rapat, memberikan kesan rapat yang ruwet. Beberapa jalan tampak lebih besar dari yang lain, dipenuhi manusia, tetapi ada juga gang-gang kecil yang tampak sepi. Portal dimensi Exit terlihat di kejauhan seperti titik kecil hitam yang melayang di udara, berada di arah jam enam tempat menara berdiri. Itu berarti ke arah selatan Mima harus berjalan.
Mima mengeluarkan ponsel, mengambil beberapa gambar sebagai pengingat arah jalan, lalu merancang rute. GPS dan navigasi digital tak bekerja di tempat ini. Pemetaan secara manual adalah satu-satunya yang bisa diandalkan. Pemetaan sederhana ini justru bukan ia pelajari saat bertugas di SWAT, namun saat ia bergabung dalam komunitas lari di alam bebas.
Mima menghirup napas, udara Despera memenuhi paru-parunya. Menatap langit biru cerah dengan awan kecil-kecil berarak seperti kapas. Cuaca cerah, pagi ini terlalu damai di Despera Back Alley, hingga Mima harus menerka-nerka, tantangan apa yang menunggunya di ronde pertama.
Sayang sekali kalau situasi damai ini terusik oleh pertarungan, pikirnya.
Ngomong-ngomong tentang lawan, Mima masih hapal kelima kompetitornya yang lain dalam ronde ini.
Oke. Lawan-lawanku semuanya memiliki kekuatan.
Ia masih ingat bagaimana dahsyatnya kekuatan Radith, ajaibnya mantera Tore, dan juga monster-monster berbagai macam yang menghadangnya di babak penyisihan. Di babak ini, tentunya ia akan menghadapi orang-orang berkekuatan semacam itu. Ia harus menyiapkan fisik dan mental, mengingat… ia hanya manusia biasa yang tak punya kesaktian.
Bahkan Noah pun mengundurkan diri, pikir Mima.
Noah, rekan setimnya, meskipun ia juga lolos babak penyisihan, Noah menyadari dirinya kurang kompetitif dibanding peserta lain. Ia langsung menyatakan mundur di babak selanjutnya. Sebenarnya Mima curiga juga akan motif Noah, mungkin ia punya misi lain (Menjadi hacker, imigran atau tenaga kerja gelap di Alforea, mungkin…)? Sedangkan Tore, negeri asalnya tiba-tiba terjadi kerusuhan sehingga ia harus kembali pulang ke dunianya.
Radith, berdasarkan hasil undian RNG-sama, ditempatkan untuk berlaga survival di Los Soleil, pegunungan es tak bertuan entah di mana. Mima bersyukur ia tak harus berhadapan dengan Radith, rasanya ia mulai menganggap Radith seperti adiknya sendiri.
Dyna punya kekuatan hebat yang memanfaatkan suara. Ronnie… kemampuan beladirinya mirip Equilibrium, tapi badannya lebih tinggi dan lebih besar dariku, jelas aku kalah kekuatan. Juga Mang Ujang, ia punya sihir gelap dan bersenjatakan golok. Goloknya sih bukan masalah, tapi kemampuan sihirnya itu yang merepotkan. Fatha Lir, dia lengkap. Mulai dari bela diri Kalaripayattu sampai kemampuan meledakkan sesuatu. Bakal berat kalau bertemu dia. Satu-satunya lawan dimana aku unggul di atas kertas hanya Ananda… tapi aku dengar dia jenius.
Ia hanya mantan SWAT dan jago lari… oke, bela diri Equilibrium yang dipelajari sejak kecil itu, satu-satunya kemampuan yang bisa diandalkan. Ia pernah membenci Equilibrium, mencoba lari dari kenyataan kalau ia pernah terlibat mempelajari bela diri itu, tapi lambat laun ia mulai bisa menerimanya. Mempelajari Equilibrium adalah kutukan sekaligus berkah.
Ah, sudahlah… whatever happen, happen. Berpikir sederhana saja.
Mima mengenyahkan pikiran-pikiran negatif, memutuskan untuk menjalani babak ini dengan sekuat tenaga, sebisanya. Toh ini 'kan hanya semacam liburan. Meskipun hadiahnya cukup menggiurkan.
Mima turun dari menara, dan mulai menyusuri jalan-jalan, mengikuti rute sederhana yang telah dirancangnya.
Ia memperlambat langkah ketika masuk ke sebuah gang dengan graffiti beraneka warna di tembok dan pintunya. Dinding-dinding bergambar makhluk-makhluk lucu, mulai dari kurcaci, dinsaurus, slime yang tersenyum, juga bunga-bunga, matahari dan pelangi dan juga kucing lucu berwarna-warni. Suasananya seperti taman kanak-kanak di dunia manusia. Mau tak mau mengingatkan Mima akan suasana playgroup anak bungsunya, Philla.
Gang itu juga berisi sebagian besar anak-anak dan bayi. Riuh dan ramai, gang itu begitu sibuk. Para balita berlarian, bermain-main dan juga ada yang menangis karena jatuh atau bertengkar. Anak-anak batita juga berjalan kesana kemari dalam kelompok-kelompok yang diikuti olah satu orang dewasa. Ada juga para ibu-ibu muda yang mendorong kereta bayi, berkumpul dan bergosip sambil memberikan susu dalam botol berdot.
Sekilas, Mima merasa seperti pulang ke rumah. Ada kehangatan dan kedamaian dalam seruas jalan itu, yang dipenuhi oleh kanak-kanak dan kasih sayang yang melingkupinya.
Oh, ternyata di Despera juga ada tempat seperti ini….
"BERHENTI! COPET!"
Teriakan itu seketika membuyarkan keterpesonaan Mima.
Dari arah berlawanan, seorang lelaki muda berteriak mengejar seorang anak yang berlari gesit.
"TANGKAP, ETA BUDAK!"
Anak itu langsung menggabungkan diri ke dalam kumpulan anak-anak yang sedang bermain, dan seketika itu seperti menghilang, ia melebur bersama anak-anak yang begitu banyak jumlahnya.
Lelaki muda itu menghentikan larinya, kebingungan dengan nafas terengah-engah, ia mencoba menembus kumpulan anak-anak yang sedang bermain. Yang kini menatapnya dengan penuh rasa ingin tahu.
Mima mengenalinya sebagai Mang Ujang, sang petani tampan dari Gunung Gede. Baju merah pudarnya yang agak kusam, juga celana jeans yang ada sobekan di lutut, seperti salah konstum memang, karena mang Ujang terlalu tampan untuk mengenakan pakaian semacam itu.
"Adek-adek… siapa diantara kalian yang mengambil emas saya? Ayo ngaku!" Mang Ujang berteriak pada kumpulan anak-anak itu, nada suaranya tak terdengar galak sama sekali. Ia malah dikelilingi anak-anak kecil yang semakin penasaran akan kehadirannya. Sepertinya Mang ujang bingung juga bagaimana menempatkan diri di situasi itu. Anak-anak itu mulai memberondongnya dengan pertanyaan.
"Eh, kakak datang dari jauh, ya? Pakaiannya kok beda sih."
"Kakak, lambutnya kok item dan cakep cekali?"
"Kakak, itu yang di pinggang apa? Pedang ya?"
"Eh! Jangan pegang-pegang golok saya!" Teriak Mang Ujang ketika dua anak mulai memegang-megang goloknya yang bertengger di pinggang.
"Ayo main dong, kakak!"
Mima hanya berdiri menatap Mang Ujang yang kerepotan dikerubungi anak-anak, sambil tersenyum geli. Ia juga dikerumuni anak-anak. Mereka berkeliling, bertanya berbagai hal, berisik dan ribut, dan sudah ada yang memegang-megang mantel panjangnya.
Mang Ujang menyadari kehadiran Mima, dan langsung berdiri siaga. Tangannya meraba golok di pinggang.
Mima tak bernafsu untuk bertarung di tengah suasana keceriaan anak-anak seperti ini.
Ia hanya menggelengkan kepala pada Mang Ujang, memberikan kode untuk tidak mencabut senjata.
"Simpan niat kalian untuk bertarung. Tidak di tempat ini."
Sebuah suara berwibawa terdengar, nadanya ramah, namun kalimatnya mengandung ancaman. Seorang lelaki bertubuh besar, otot-ototnya bertonjolan, tiba-tiba berdiri di tengah kerumunan anak-anak, diantara Mima dan Mang Ujang berdiri.
"Selama aku masih hidup, tidak boleh ada keributan di Red Cat Playgroup & Kindergarten. Tempat ini adalah satu-satunya area damai khusus anak-anak Despera Back Alley." Lelaki itu bercelana merah, mengenakan t-shirt hitam ketat, kapalanya gundul, dan jenggot putih panjang bagai sinterklas menutupi sebagian wajah. Telinganya bertindik dua, di lengan kanannya bertato tulisan latin 'Good Boy, Bad Boy'.
"Dan… kau adalah?" Mima bertanya.
"Namaku Klaas, sebut saja begitu." Matanya yang hijau melempar pandangan ancaman yang anehnya, terasa lembut di saat bersamaan. Membuat Mima teringat guru-guru TK Philla yang lembut sekaligus disiplin.
"Salah satu anak-anak ini mencopet uang saya, pak!" Mang Ujang memprotes.
"Ya, benar. Tadi dia masuk sambil mengejar seorang anak, Mr Klaas." Mima memperkuat. "Dan anak itu masuk ke dalam kerumunan anak-anak asuh anda."
Mang Ujang tampak sedikit terkejut karena Mima mendukung dirinya.
Bukannya justru keadaan ini menguntungkan dia sebagai peserta?
Klaas memiringkan kepala, seolah berpikir. "Anak nakal yang suka mencopet. Ah ya, aku tahu anak itu." Klaas mengangguk-angguk. "Aku bisa menemukannya dengan mudah, dan membuatnya mengembalikan apa yang diambilnya. Apakah itu yang anda inginkan, anak muda?" Klaas menatap Mang Ujang.
"Ya! Tolong kembalikan koin emas saya!"
"Ada syaratnya." Klaas mengusap-usap janggutnya. Sementara itu, tiga anak kecil sudah bergelantungan bermain-main di lengan lainnya yang besar.
"Untukmu juga, Ms. Ada syaratnya kalau kalian ingin keluar dari tempat ini dengan selamat…" Ganti Klaas menatap Mima, yang langsung membuat Mima mengerutkan kening dengan waspada.
"Kau harus menyerahkan uangmu."
Mima dan Mang Ujang menjawab hampir bersamaan: "Tidak!"
"Anak-anak! Hari ini kita kedatangan dia tamu yang akan bermain-main dengan kalian! Kakak tampan yang di sana, dan Mama cantik yang berdiri di sana!" Suara Klaas berubah ceria, tangannya merentang seperti guru TK, menunjuk ke arah Mima dan Mang Ujang.
"Horeeeee!" Teriakan anak-anak membahana.
"Kakak Tampan dan Mama Cantik akan menggendong kalian satu-satu!"
Tahu-tahu dua anak lelaki sudah melompat ke bahu mang Ujang, dan mantel Mima sudah ditarik-tarik dan beberapa anak menggelantungi tangannya. Mang Ujang terpaksa melayani dengan berlari ala kuda-kudaan, dan ia juga menjerit panik ketika goloknya sudah tak ada di tangan, melainkan sudah diambil seorang anak berkacamata yang kelihatan penasaran, yang langsung didekati oleh Klaas, membentuk kelompok diskusi kanak-kanak, membahas resiko bermain sajam.
Mima kerepotan melayani anak-anak perempuan yang minta digendong, mantel anti pelurunya sudah terlepas dan digunakan bermain superman oleh beberapa anak. Beberapa batita juga menghampirinya minta perhatian, mulai dari yang minta dilayani bermain bola sampai yang meringis sambil berkata: "Aku mau pupup!"
Sekitar dua jam, mereka terlibat dalam kekacauan tak terorganisir itu. Mang Ujang mulai kelelahan ketika dijadikan kuda-kudaan oleh anak-anak lelaki yang energinya seperti tak pernah habis. Sihir gelapnya juga, seolah tak bekerja di tempat ini. Mungkin Klaas telah memanterai tempat ini sehingga sihir tak bekerja.
"Baiklah! Saya nyerah, ki!" Teriak Mang Ujang kewalahan. "Tapi… masa uang saya harus diambil semua, sih?"
"Hmmm… " Klaas tak menjawab, justru mengamati Mima yang tampak menikmati momen keisengan anak-anak itu sejenak. Wajahnya memerah karena tertawa, tubuhnya lincah bermain mengikuti keinginan anak-anak, dan suaranya terdengar ceria. Ia juga baru saja membantu menceboki seorang batita yang BAB, memarahi dua anak lelaki yang bertengkar, dan ikut bermain kejar-kejaran.
Tipe ibu rumah tangga tahan banting rupanya? Pikir Klaas.
"Teh, sudah teh… !" teriak Mang Ujang, mendekati Mima yang mulai keasyikan.
Ah, iya. Ini Battle of Realms. Mima menghentikan kegiatannnya, seraya meminta maaf pada beberapa anak yang cemberut karena batal bermain.
"Aku tahu kalian adalah peserta BoR 5. Kalian pasti membawa koin emas ketika datang kesini." Klaas mengacungkan sebuah kantong kulit.
"Itu milik saya!" Teriak Mang Ujang.
"Syarat keluar dari sini gampang…" Tanpa ijin, Klaas membuka kantong kulit itu, lalu mengulurkan tangan seperti meminta sesuatu ke arah Mima. "Serahkan koinmu."
Mima tercekat sejenak. Guru TK ini preman juga ternyata…
Kalau melawan, suasananya tak menguntungkan. Di tengah-anak-anak seperti ini… terlalu beresiko. Mima memaki dalam hati.
"Sebentar," Mima meraba tangannya ke salah satu saku apronnya, kantong kulit berisi koin-koin emas masih aman di sana. "Untuk apa uang itu?"
Wajah Klaas mengerut tak senang. Tapi jawaban Klaas sedetik kemudian malah bikin Mima luruh.
"Untuk mentraktir anak-anakku eskrim." Jawabnya. "Kau tahu, gelato bebas gula yang aman untuk gigi itu harganya mahal sekali. Sesekali mereka berhak untuk kebahagiaan kecil semacam itu, mumpung ada peserta lewat."
"Oh, so sweet of you, sir…" Mima tersenyum dengan mata berkaca-kaca, dan tanpa pikir panjang, dikeluarkannya kantong kulitnya. Tapi buru-buru dicegah oleh Mang Ujang.
"Teh! Kumaha ieu mah, kalahka diparingkeun, sami-sami beak atuh.. (Bagaimana sih, kok malah diberikan, sama-sama hilang dong)!"
Mima tersadar. Sial, apa yang tadi kulakukan?
Ia menarik tangannya lagi. Otaknya yang tiba-tiba waras kembali berpikir.
Ada sesuatu dengan tempat ini. Sihir?
"Sepertinya pakai hipnotis atau sihir pemikat," seolah membaca pikiran Mima, Mang Ujang menimpali dengan suara pelan, sambil melirik Klaas yang masih menatap mereka berdua. "beberapa kemampuan saya nggak bekerja di sini, termasuk golok saya juga seperti hilang auranya."
Mima menggigit bibir.
Terjebak di sebuah lorong penuh anak-anak dengan situasi harus menyerahkan semua koin emas, rasanya aneh sekali. Situasi ini menyenangkan sekaligus mendesak di saat yang sama. Tapi, perasaannya terasa lebih aneh lagi. Sebagian hatinya merasa tak keberatan, tapi sebagian mencegahnya.
"Rupanya… ini permainan pikiran." Mima menyeka kepalanya sendiri, menjambak sebagian rambut, biasa dilakukannya kalau pusing menghadapi masalah rumah tangga.
"Tapi memanfaatkan anak-anak ini juga… kalau di dunia saya sudah dilaporkan ke KPAI." Gerutu Mang Ujang.
"Kita harus mempertahankan koin emas,"
"Bagaimana caranya? Jujur saya bingung harus bagaimana."
Mima berpikir, kali ini menggunakan mode ibu rumah tangga yang perhitungan.
"Mr. Klaas, kira-kira berapa harganya untuk membeli gelato untuk semua anak-anak ini?" Akhirnya ia bertanya pada sang guru.
"Hmmm… sekitar sepuluh keping emas, mungkin." Jawab Klaas.
"Berikan uang Mang Ujang, kami berdua sendiri yang akan membelikan."
"Jangan berpikir untuk melarikan diri. Kedai eskrimnya ada di sebelah sana." Klaas menunjuk sebuah kedai eskrim yang menyempil diantara bangunan-bangunan bergrafiti taman kanak-kanak. Lalu dilemparnya kantong kulit Mang Ujang.
Mang Ujang menerima kembali kantong kulitnya dengan penuh syukur, meski goloknya masih dipegang Klaas. Ia bergegas mengikuti Mima yang menariknya menuju kedai eskrim, sambil berbisik pelan.
"Teteh ada rencana?"
"Punya. Kita menawar dan ambil diskon." Mima tersenyum licik. "Mang, kita harus berkerja sama. Amati penjualnya, kalau perempuan," Mima berhenti sejenak, "… kasih rayuan gombal. Charm."
Mang Ujang mengangguk-angguk setuju. Mereka masuk ke dalam kedai, yang interiornya penuh dengan gambar kucing berwarna merah jambu.
"Selamat datang di kedai Pinky Kitty Ice Cream!" Tiga suara, serempak menyambut mereka dengan ramah bagai sebuah koor.
Mima langsung mengumpat dalam hati. Penjualnya lelaki semua. Waduh.
Keduanya berkeliling, Mima pura-pura bingung sambil melihat-lihat variasi menu, sekaligus menaksir harga dan berapa porsi yang harus dibeli. Ia juga mengamati beberapa pelayan yang sepertinya… tertarik melihat Mang Ujang. Si Petani Ikkemen itu memang terlalu menarik perhatian.
"Mang, yang sebelah sana kelihatannya tertarik pada mang Ujang, mengamati Mang Ujang sejak tadi," Mima berbisik sambil menunjuk pada seorang pelayan pria berusia tigapuluhan, tampan dan jangkung. Wajahnya berkacamata dengan bingkau hijau, dan lansung tersenyum ramah ketika mereka berdua berbisik-bisik sambil melihat ke arahnya. Rambutnya tersisir rapi, warnanya merah kecokelatan dengan gradasi terang dan gelap berganti-ganti.
"Coba basa-basi dulu sambil menawar, atau cari promo. Keluarkan pesonamu. Aku akan membujuk kasirnya,"
Sang kasir, tua dan botak, rambutnya putih mirip Klaas, hanya lebih kurus. Ia menyambut Mima dengan sebersit tampang curiga, namun demikian ia tetap tersenyum ramah.
"Good morning sir. Kedai eskrim yang bagus…" Mima memulainya dengan pujian.
"Kami yang terbaik di Despera. Satu-satunya yang menjual gelato bebas gula."
"Sepertinya bagus untuk diet, sir?"
"Disukai siapa saja, anak-anak dan gadis-gadis, tua dan muda, ramah untuk penderita diabetes."
"Wow! Luar biasa. Bolehkah saya tahu varian rasanya apa saja?"
Berikutnya, ibarat sesi tawar-menawar ini adalah pertandingan tinju, kasir tua botak dan Mima saling bertukar puji-pujian. Maksud sang Kasir agar barangnya dibeli banyak, dan maksud Mima supaya dapat diskon lebih. Keduanya seimbang di babak pertama.
Babak kedua, Mima mulai menelisik ke arah potongan harga. Berapa potongan harga yang ia dapat kalau membeli sekian scoop? Dan ia langsung berekspresi girang yang dilebih-lebihkan ketika potongan harga itu ternyata benar-benar ada. Oh, tapi tentu saja itu hanya akting.
Babak berikutnya, ia mengeluarkan satu keping emasnya, dan bertanya berapa banyak eskrim yang bisa didapat dengan satu keping emas. Sang kasir menyebutkan sekian banyak. Mima langsung menghitung dalam hati. Lalu, menggunakan taktik kedua, Mima bertanya berapa harganya kalau ia membeli satu wadah besar gelato. Kasir botak kembali menjawab, menyebutkan harga. Otak Mima kembali mengkalkulasi. "Lalu berapa harga contong eskrimnya, kalau beli satu lusin?" Disini Kasir tua botak mulai memberikan perlawanan, menyatakan kalau mereka menjual eskrim secara eceran, bukan distributor.
Babak ketiga, Mima menyamakan kedudukan kembali dengan menggemerincingkan kantong kulitnya, menyatakan kalau mereka serius membeli, dengan harga sehemat mungkin.
"Kita mau beli banyak. Serius, sir. Es krim semahal ini tentunya… tidak setiap hari dibeli dengan porsi besar, kan?"
"Negoisasi saja pada pemilik, langsung." Kasir tua itu menyerah. "Bos!"
Tak dinyana, pelayan tampan berkacamata hijau dengan rambut gradasi coklat itu yang menoleh, padahal ia sedang mengobrol akrab dengan Mang Ujang tentang umbi-umbian yang bisa dijadikan eskrim.
Mima tak menyangka kalau si pemilik justru pelayan itu. Tapi ada keuntungannya, dia sudah didekati mang Ujang sejak tadi. Oke, sekarang dua lawan satu. Mang Ujang, dibantu ya… Mima melirik Mang Ujang seolah memberi kode. Mang Ujang mengangguk samar, pertanda paham.
"Ya, panggil saya Reddix, saya owner-nya. Ada yang bisa dibantu?" Pria berkacamata itu menganggukkan kepala dengan santun.
Babak berikutnya adalah Mima menawar tetap dengan mode keramahan ala ibu-ibu rumah tangga, sesekali diselingi Mang Ujang membujuk dengan logat Sunda yang teramat kalem (mungkin juga sengaja dikalem-kalemkan). Reddix sang owner tak sekaku kasirnya yang botak, kemudian sepertinya dia menyimpan ketertarikan tersembunyi pada Mang Ujang. Posisi akhir tawar-menawar: pasangan Running Mama-Petani Ikkemen unggul.
"Totalnya tujuh keping, harga pas." Tuan Reddix mulai melipatkan tangan di depan dada, menunjukkan pose defensif.
Mima dan Mang Ujang berpandangan. PIkiran mereka sama; harus turun satu lagi, supaya jumlahnya genap untuk dibagi dua. Kalau tujuh keping, maka salah satu harus berkorban memberikan tiga keping.
"Enam, sir." Mima menawar lagi.
"Tidak, saya tidak mendapat keuntungan kalau harganya segitu."
Mima berpikir keras. Pertarungan tawar menawar ini sudah mendekati akhir. Sang bos tampan menunggu, menatap keduanya bergantian. Mima dan Mang Ujang juga saling berpandangan. Tahapan terakhir tawar menawar biasanya adalah keheningan yang agak panjang, dimana penjual dan pembeli kukuh mempertahankan harganya masing-masing.
"Oke, enam keping. Satu syarat." Reddix tiba-tiba berkata.
"Oke, apa?!" Keduanya menyambut serempak.
"Bagaimana kalau…" Si Bos tampan mennatap Mang Ujang dengan wajah flamboyan.
".. sebuah ciuman?" rona merah malu-malu bersemu di wajah sang Bos.
WTF…! Mima berteriak dalam hati.
"Halah, kitu wae hese… ngomong dari tadi, atuh." Mang Ujang langsung mencekal kerah leher Reddix. Menarik wajah si kacamata tampan itu ke arahnya. 'Mengekseskusi' permintaannya.
Langsung, bibir ke bibir.
Di depan mata Mima dan para pelayan yang lain.
Beberapa detik…
Semua membeku tak berkedip melihat pemandangan itu.
Mang Ujang menjauhkan Reddix, yang kini berada dalam keadaan antara melongo dan bahagia, karena Mang Ujang menciumnya begitu cepat. Mang Ujang bahkan merapikan kerah baju Reddix yang direnggutnya tadi.
"Nah, sudah. Beres, kan? Enam keping, bos."
Mima dan para penonton kembali sadar. Eskrim buru-buru disiapkan, kedai itu kembali sibuk.
"Huh, repot… orang-orang ini ada aja maunya," Mang Ujang menghela napas, ketika di depan meja kasir mengeluarkan tiga keping emas. Reddix sang pemilik masih saja menempelnya terus, mencoba berakrab-akrab, dan baru semenit lalu mang Ujang bisa melepaskan diri.
"Sampai begitu… hebat." Mima juga mengeluarkan tiga keeping, sambil menatap salut.
Pasti, sebenarnya mungkin bisa gratis, kalau dia mau sampai dibawa ke tempat tidur. Tapiya ampun… pikiran nista darimana itu?! Memangnya aku germo? Mang Ujang pasti tidak mau. Aku juga pasti tak bakal tega, pikir Mima.
"Jangan bilang-bilang peserta lain, ya. Ini rahasia. Pamor saya bisa menurun, saya juga masih suka cewek."
Mending langsung kasih cium gratis aja, sebelum si Bos minta 'lebih'… mungkin juga bakal bisa gratis kalau sampai 'gituan', amit-amit! Henteu lah! Abdi urang baik-baik. Mugi teh Mima tiasa jaga rahasia. Mang Ujang mendongkol dalam hati, susah payah ia berusaha mengenyahkan perasaan ganjil yang sedikit membuatnya mual… saat melakukannya tadi. Apa boleh buat. Kasih cium sedikit saja nggak bakal rugi, lah.
Mengetahui bagaimana pentingnya hal itu, Mima mengangguh sungguh-sungguh. "Aku janji."
Bukannya pertarungan, tapi petualangan di Despera Back Aley justru diawali dengan hilangnya tiga koin emas Mima dan Mang Ujang untuk mentraktir anak-anak, masing-masing satu scoop es krim gelato manis bebas gula. Anak-anak tampak senang, dan dengan segera mulut mereka langsung belepotan eskrim. Bonus diberikan untuk Mang Ujang dan Mima, yang disyukuri keduanya sebagai pengganjal perut menjelang makan siang.
"Keluar dari wilayah ini, kalian bisa bertarung kembali, sesuka kalian." Klaas menjilat eskrim cokelatnya. Salah satu asistennya menyerahkan mantel Mima dan golok Mang Ujang.
"Sebagai rasa terimakasih, kuberi kalian satu pesan; beberapa area di Back Alley cukup menyesatkan. Waspadalah bila bertemu kucing merah."
Mima dan Mang Ujang mengangguk.
"Anak-anak, ucapkan terimakasih pada Kakak Tampan dan Mama Cantik!" Komando Klaas pada anak-anak asuhannya.
"TELIMAKACIIIIIIIH….!" Riuhnya suara anak-anak mengantarkan kepergian mereka.
"Ucapkan juga selamat jalan, semoga sukses!"
"CELAMAT JALAAAAAAN, CEMOGA CUKCEEEEEEES…"
Mima melempar cium jauh berkali-kali, sambil terus berjalan menjauhi ruas jalan yang dipenuhi anak-anak dan Klaas.
Di percabangan jalan, Mima dan Mang Ujang berhenti, lalu saling beradu pandang.
"Aku tidak mood bertarung." Kata Mima.
"Saya juga tiba-tiba enggak pingin." Mang Ujang menyatakan hal yang sama.
"Tapi, kita harus berebut koin ya…" Mima menghela nafas enggan. Kehangatan playgroup itu masih melekat jelas, menghilangkan segala niat mereka untuk saling bertarung. Masing-masing tersisa dua koin, jelas cara untuk menambah adalah dengan merebut milik peserta lain.
"Kita berpisah saja deh. Kalau ada nasib ketemu lagi, baru tanding. Begitu saja deh." Usul Mang Ujang.
Mima mengangguk setuju.
Keduanya akhirnya berpisah mengambil jalan yang berbeda.
"Oh ya, terimakasih karena mendukung saya tadi," Mang Ujang menundukkan kepalanya.
"Nevermind, mang. Terimakasih juga atas… pengorbanannya."
Mima berjalan dengan langkah ringan, sementara Mang Ujang pun menjauh.
Hati-hati kucing merah…
::
::
Section 2:
Red Cats and Human Ego
::
Despera Back Alley, 16 km dari Gerbang Selatan.
Pukul 11.30 waktu Despera.


Untuk Dyna yang punya skill yang memanfaatkan suara, dia langsung bisa menentukan kemana harus melangkah. Kemampuan itu memungkinkan ia memetakan jalan hanya menggunakan pantulan gelombang suara, sejenis radar ultrasonik seperti yang digunakan oleh kelelawar. Pantulan gelombang itu memberikan gambaran di otaknya mengenai topografi Despera Back Alley, sehingga ia bisa menentukan rute jalan dengan mudah. Jadi, kerumitan jalanan Despera Back Alley tak menjadi hambatan. Ia cukup berkonsentrasi pada hambatan lokal seperti preman, pemalak jalan, dan juga kehadiran peserta lain. Mereka pun, entah kenapa, seperti enggan mendekati Dyna. Jadi sejauh ini, perjalanan Dyna mulus tanpa halangan.
Tiba-tiba angin berhembus pelan, entah darimana, ketika Dyna memasuki satu gang yang suasananya sedikit berbeda dari jalan yang ia lalui sebelumnya. Kanopi, atap berwarna hitam dan pepohonan rindang menaungi jalan itu, membuat gang itu nyaris gelap. Sinar matahari terhalang masuk, dan justru lampu yang menyala remang-remang yang menerangi sisi-sisi jalan. Bangunan-bangunan batu gaya Eropa lama dengan pilar dan gipsum berukir berjajar saling berhadapan, memberikan kesan eksotis misterius, seperti kota-kota klasik Eropa zaman dahulu.
Dyna menyukai keindahan, dengan segera ia merasa kagum dengan kemisteriusan tempat ini. Teringat tempat kerjanya di Kasino State of Smile, seandainya bisa dibuat arsitekturnya lebih classy, tampilannya akan sama menawannya dengan tempat ini.
Dyna melambatkan langkah ketika melihat siluet sebuah pohon, yang anehnya justru berdiri di tengah jalan. Ah, tentu saja itu bukan pohon. Itu Ananda, si nona pohon. Ia hanya mematung di tengah jalanan ini. Oh ya, kalau tidak salah, ia akan mematung bila tak terkena sinar matahari. Dyna sudah menghapalkan kelemahan lawan-lawannya.
"Hai, Miss Ananda." Sapa Dyna ramah, merasa tak ada ancaman.
Superposisi satu menyatakan kalau kucing pertama mati.
Superposisi dua menyatakan kalau kucing kedua tetap hidup.
Satu-satunya yang berbeda hanyalah pengamatan kalau kotak tersebut dibuka, maka hanya ada satu kenyataan, apakah kucing itu mati, atau hidup.
Tapi, bagaimana kalau kotaknya terbuat dari kaca?!
Beberapa baris subtitle muncul dalam bentuk keriutan kambium Ananda. Dyna membaca dan tak paham. Ananda seperti ngomong sendiri.
"Apa maksudmu, Miss?" Dyna balik bertanya.
Maaf, aku masih sibuk.
Teka-teki ini belum berhasil kupecahkan.
"Oh," Dyna mengangkat alis. Teka-teki di waktu seperti ini? Situasinya pas sekali. Ia melihat sekeliling, tak ada seberkas cahaya matahari yang masuk. Artinya Ananda akan terus terpaku di tempat.
Situasinya pas sekali buatku, haha. Dyna tertawa dalam hati.
"Apa memang gang ini selalu gelap begini?"
Huh?
Saat aku masuk kesini, keadaannya tidak gelap kok...
"Bagaimana dengan koinmu?" Dyna mendekat, mencoba mencari kantong kulit kecil yang dibawa peserta. Miliknya masih aman di dalam saku.
Koin?
Masih aman.
"Sori, tapi aku tak melihatnya dimanapun," Dyna memiringkan badan, mencoba mencari kantong koin kulit di bagian manapun di tubuh Ananda.
Ah, itu tidak penting.
Teka-teki tentang kucing Schroedinger ini lho, lebih mengasyikkan…
HEI…!!!!
Entah darimana, dua lelaki berpakaian hitam turun dari udara, menutupi dahan dan sebagian tubuh Ananda dengan kain berwarna hitam. Dyna langsung berdiri waspada, tetapi dua lelaki itu tak memperdulikannya dan langsung menghilang setelah mencegah Ananda berkomunikasi lebih jauh dengan Dyna.
"Selamat datang, tuan." Sesosok wanita muncul dari balik tubuh Ananda. Mengenakan gaun malam berwarna merah, tubuh sintal menggoda dengan dada membusung, kemunculannya seperti mengeluarkan cahaya remang.
Dyna tersenyum. Tersenyum antara waspada akan hadirnya lawan, sekaligus terpesona akan keindahan makhluk itu.
"Siapa kau?"
"Semua memanggilku Maroon Cat." Wanita itu memiringkan kepalanya.
Klinting. Antingnya panjang berbentuk kucing dengan ujung ekor berlonceng kecil. Tampak indah menggantung di kedua telinganya, berlatar lehernya yang mulus jenjang. Rambutnya digelung, berwarna merah marun, bergradasi gelap dan terang.
Mempesona. Tapi, aku masih ada urusan lain.
"Aku hanya numpang lewat saja, kok. Permisi, nona Cat." Dyna buru-buru mohon diri.
"Jangan terburu-buru," dari suaranya, Dyna merasakan satu hawa sensual-magis yang sulit ditolak. Namun, tetap berpegang pada tujuannya di BoR, Dyna tetap melangkah berlalu.
Puluhan orang-orang berpakaian hitam menghadangnya di depan.
Dyna berhenti.
Langkah mereka begitu sunyi, tanpa suara. Dan lorong gelap ini juga terlalu sunyi. Tidak ada suara apapun. Kecuali suara wanita bergaun merah itu, dan anting loncengnya yang berkelintingan merdu.
Memahami sesuatu, kalau mungkin para penghuni gang ini telah mengetahui sumber kekuatannya, Dyna memutuskan berhenti.
"… Apa maumu?" Dyna berbalik sembari bertanya.
"Kita bermain sebentar." Wanita itu mengeluarkan sebuah kantong kulit dari lipatan dadanya, dalam cara yang membuat Dyna, mau-tidak-mau, melebarkan mata. Nona Cat menggoyangkan kantong emas itu, dengan gestur memancing ala stripper kelas atas.
Gemerincing koin emas terdengar jelas, berpadu dengan kelintingan anting lonceng kucingnya yang bergoyang, diantara leher jenjang sang Lady. Paduan suara yang menyenangkan.
Dyna mengulum senyum, membayangkan menggigit leher yang putih itu, bermain-main dengan anting loncengnya.
"Kau suka berjudi, Tuan Dyna?"
Dyna tersenyum lebar.
"Perlu kau ketahui, Nona Cat. Luck factor-ku cukup tinggi."
"Bisa kau buktikan?" Maroon Cat tersenyum menggoda.
Siapa yang takut, pada wanita yang seperti kucing jinak sepertimu…
-o0o-
Despera Back Alley, 8 km dari Gerbang Timur.
Pukul 11.30 waktu Despera.


Jalanan yang membingungkan, Tata mendengus sebal. Ia menoleh kiri kanan, mencoba mencari penanda yang bisa membuatnya mengingat percabangan ini.
Keruwetan, keramaian, dan hiruk pikuk jalan ini membuatnya pusing. Beberapa kali ia menyadari kalau ia hanya berputar-putar. Bertanya pada orang yang lewat atau petugas berseragam ternyata tidak membantu, hanya tambah membuatnya bingung. Matahari mulai merambat ke atas kepala, membuatnya berkeringat. Ingin rasanya ia membeli sesuatu yang menyegarkan, es krim Gelato misalnya… tapi ia harus menghemat koin emas. Lagipula, ia belum bertemu peserta lain sejak tiba di gerbang barat.
Seekor kucing berwarna cokelat kemerahan mengeong di dekat kotak telepon merah. Tata melangkah mendekat, lalu berjongkok, kucing itu langsung lari menghilang. Tata meneruskan pekerjaannya, meninggalkan sedikit serbuk miliknya di dekat kotak telepon. Ia menggunakan cara meninggalkan jejak dengan sederhana, untuk berjaga-jaga kalau tersesat.
"Aww!" Tata berteriak ketika seorang lelaki muda membuka pintu kotak telepon dari dalam, membuat pintu itu mendepak tubuhnya, mendorong tubuhnya tubuhnya hingga terjengkang memalukan.
"Oh, maaf!" lelaki muda itu dengan sigap mengambil topi Tata yang terlepas, lalu menolongnya berdiri.
Tata Terkejut, Tata bahkan tak tahu kalau dalam boks telepon ada orang. Tapi bukan itu yang membuatnya surprise. Lelaki itulah yang membuatnya terperangah.
Lelaki paling tampan yang pernah dilihatnya selama hidup. Dagu oval yang indah, hidung mancung dan mata warna kelabu teduh, dinaungi alis lengkung tebal. Rambutnya licin dan tersisir rapi ke samping, warnanya merah kecokelatan, bergradasi dengan warna cokelat gelap dan pirang terang. Ia mengenakan jaket kulit warna cokelat, yang selaras dengan kulitnya yang putih bersih. Rupawan, tapi macho. Tipe favorit Tata.
Matanya sungguh teduh, campuran kelabu dan hijau, dan rambut merah terang-gelap itu… sungguh unik! Tata langsung terpesona.
"Maaf, aku tidak sengaja. Sungguh…" lelaki itu terdiam sejenak. Matanya seperti pria yang sedang terpesona.
Keduanya saling bertemu mata dan saling mengagumi keindahan masing-masing.
Seharusnya ada gelembung-gelembung samar ala shoujo manga yang berpendar diantara mereka berdua (Tapi sayangnya, ini bukan komik!). Karena, tentulah agak jarang menjumpai gadis semenawan Fatha' Lir, dan pria semenarik entah-siapa-namanya-itu di gang-gang Despera Back Alley yang ruwet, di tengah cuaca siang yang panas.
"Ehm, oke, aku baik-baik saja." Tata mencoba tak terhanyut lebih jauh.
"Oke, kalau begitu…" Lelaki itu mohon diri.
Tata melirik sejenak lelaki itu, yang rupanya sedang janjian dengan seseorang. Ada orang lain yang bertemu dengannya, mereka berbicara berdua sejenak, lalu pria itu menyerahkan sebuah kantong kulit kecil, menunjukkan kepingan emas di dalamnya. Lelaki yang menerima barang itu memberikan sejumlah uang, lalu langsung pergi menghilang.
Kantong kulit kecil itu jelas-jelas mirip dengan kantong kulit koin emas milik peserta BoR5. Itu menarik perhatian Tata. Tapi lelaki yang menemuinya tadi, tidak bertampang seperti peserta.
"Maaf, aku ada perlu denganmu sebentar." Tata langsung berdiri mencegat, ketika lelaki itu hendak pergi.
"Ya?"
"Kantong kulit yang kau serahkan tadi… aku ingin tahu tentang itu." Tata langsung to the point.
"Itu barang pesanan." Jawab lelaki itu. "Memang kenapa?"
"Apa isinya uang emas berukir BoR5?"
Lelaki itu langsung mengerutkan kening curiga, menata Tata lurus.
Astaga, kalau dia curiga begitu justru wajahnya semakin tampan… batin Tata, tetap dengan wajah serius.
"Begini, nona." Lelaki itu menjelaskan. "Ya, isinya memang uang emas BoR, buatan pengrajin ukir terbaik di Despera. Itu jelas barang berharga, karena itu mereka menyewaku untuk mengantarkannya. Aku kurir terbaik di Despera."
Kurir? Kau harusnya jadi supermodel pria di Milan. Pikir Tata. Eh, bukan itu seharusnya yang kupikir! Dengan begini aku tahu ada peserta yang curang, memalsukan koin emas.
"Kau kurir?" Tata tetap mempertahankan pandangan menyelidik.
"Ya dan tidak," jawabnya. "Aku bisa menjadi kurir, pengantar, sekaligus penjaga. Transporter, begitu orang-orang menyebut pekerjaanku."
Tata menggigit bibir, matanya menelusuri pria itu dari ujung kepala hingga kaki. Di Atuktar, semua pekerjaan kurir semacam Transporter hanya dikerjakan orang-orang berotot berkepala gundul yang tak menarik. Ternyata Transporter di Despera, ada yang seganteng ini --matanya sempat terhenti di bawah pinggang si Transporter-- … sialan! Tata buru-buru menghentikan pikirannya yang sempat meliar.
"Jadi… kau juga bisa menjadi bodyguard?"
Kali ini lelaki itu tersenyum lebar, memahami satu pesan implisit dari kalimat Tata.
"Tentu saja bisa. Dan aku hapal daerah ini." Seolah ia tahu apa yang dibutuhkan Tata.
"Apa kau sedang melayani seseorang?"
"Tidak. Aku bebas untuk disewa."
'Disewa' katanya—astaga. Tata mencelos dalam hati.
"Berapa tarifmu?"
"Tiga keping emas. Tapi… " Pria itu menatap Tata dengan mata kelabunya.
"…untukmu, bisa dinegoisasikan."
Untuk gadis secantik aku, seharusnya ya. Tata membalas tatapan itu.
Sebelum kalimat-kalimat bertambah semakin implisit, Tata buru-buru memperkenalkan diri, untuk menegaskan siapa yang majikan di sini.
"Aku Fatha Lir. Dan aku ingin menyewamu untuk keluar dari Despera Back Alley yang memusingkan ini. Juga untuk membantuku, kalau-kalau aku bertempur di tengah jalan."
"Namaku Crimson Cat. Panggil aku Crimson." Lelaki itu tersenyum, memamerkan gigi-giginya yang putih bersih, ada gingsul bertumpuk yang membuatnya tampak semakin manis.
"Panggil aku Tata." Jawab Tata, sambil mengagumi senyum bergingsul itu.
"Baiklah, Nona Tata… kuharap kau tak keberatan kalau aku menggunakan ini selama bekerja." Crimson memperlihatkan sesuatu di balik jaketnya, sebuah pistol.
"Oh, jangan khawatir. Aku seorang prajurit wanita. Aku hanya butuh penunjuk jalan, juga sedikit support kalau-kalau lawan-lawanku menyerang."
"Wah, kau seorang prajurit wanita?"
"Ya! Jangan remehkan aku."
"Hahaha, menarik. Ini pertama kalinya aku mengawal wanita yang kuat." Crimson tertawa renyah, dan sekali lagi Tata terpesona.
Tata berpikir untuk bernegoisasi masalah harga, sebisa mungkin ditekan sampai satu keping emas, tapi negoisasi itu langsung dipatahkan oleh Crimson, yang langsung menyatakan:
"Bisa dinegoisasikan, Nona Tata. Jangan khawatir. Aku tahu apa yang kau inginkan."
Sekali lagi, Crimson tersenyum memamerkan gigi gingsulnya yang cemerlang.
Sulit bagi Tata untuk tak mengakui, kalau Crimson sangat mempesona.
Juga, entah mengapa, Crimson membuatnya merasa nyaman.
Crimson berkata sekali lagi, kali ini dengan bisikan.
"Aku tahu apa yang kau inginkan…"
-o0o-
Despera Back Alley, 12 km dari Gerbang Barat Laut
Pukul 12.40 waktu Despera.


Despera Back Alley, tempat seperti ini, apa serunya?
Ronnie berjalan dengan kedua tangan dimasukkan ke saku, perasaannya sedikit kesal, meskipun wajahnya tak terlalu menujukkan hal itu, kecuali mulutnya yang mengunyah permen karet hasil palakan, membuatya tampak seperti anak sekolah nakal di film-film anime.
Siapa yang suka menunggu? Apalagi kalau menunggu sesuatu yang tak jelas.
Aksi yang tak kunjung datang, bahaya yang tak segera menerjang, tantangan yang tak segera menghadang, itu yang membuatnya meradang. Rasanya sudah beberapa jam ia menembus labirin-labirin Despera untuk mencari lorong Exit, tapi tak satupun kompetitornya menunjukkan batang hidungnya. Sementara itu, dengan mudah ia mendapatkan petunjuk jalan hanya dengan mengancam atau sedikit menggunakan tinju. Itupun melawan beberapa preman pasar yang tak berpengalaman.
Semuanya lemah dan sampah, tak ada yang seru. Babak penyisihan di gurun itu jauh lebih seru ketika bahaya langsung menggigit di detik-detik awal.
Despera Back Alley terlalu tenteram. Mereka pasti salah pilih tempat.
Terlalu mudah untuk seorang Ronnie Stacatto. Mungkin yang lain tersesat sehingga tak bertemu dirinya. Karena sudah lewat tengah hari, ia masih belum bertemu peserta lain, atau mendengar kabar tentang mereka.
Atau malah aku yang harus mencari mereka untuk mendapatkan tambahan koin emas?
Huh, merepotkan. Ronnie menggaruk kepalanya yang tak gatal.
Tanpa sadar, ia sampai di sebuah pertigaan. Jalan di depannya bercabang dua.
Satu jalan di sebelah kiri nampak gelap dan kumuh, sebuah tiang lampu dengan hiasan kucing bercat merah, digantungi lentera merah yang sudah lapuk. Ditiup angin yang entah datang darimana, lentera itu bergoyang-goyang pelan. Mungkin bekas hiasan perayaan sejak tahun lalu yang belum dicopot.
Jalan yang kanan, berupa ruas jalan dengan kanopi-kanopi berwana gelap, bangunan bercat putih ala Eropa lama, dan jejeran remang-remang lentera merah menyala menerangi jalanannya. Seperti pertokoan mewah yang ditata bergaya romantis.
"Hei, tuan ganteng yang ada di sana," seoang wanita berambut merah marun, bergaun warna senada, menyandarkan diri di tiang listrik di pinggir jalan yang mengarah ke kiri. Santai merokok, wanita itu berdiri dengan satu kaki menekuk, membiarkan Ronnie melihat paha mulus diantara belahan tinggi gaun panjangnya.
Pose khas ala pelacur kelas atas yang bertebaran di dunia asal Ronnie. Tapi bukan itu yang membuat Ronnie tertarik (Tapi, okelah, wanita itu boleh juga… ).Di ikat pinggang rantai perak yang melingkar di pinggang wanita itu, ada seikat kantong kulit kecil yang mirip dengan kantong kulit yang ia miliki.
Kantong kulit yang mungkin… berisi koin emas peserta BoR5.
"Mana yang kaupilih, lounge atau losmen?"
Ronnie menyunggingkan senyum sinis. "Maksudmu?"
"Lembut atau kasar?"
Pertanyaan disambut pertanyaan berikutnya. Tanpa jeda.
Terdengar sedikit memaksa.
Ronnie baru menyadari kalau yang ditanyakan wanita itu sesuatu yang berada di dua ekstrim berlawanan.
Oke, apa ini? Tawaran? Tantangan?
Yang jelas, ini cukup mengundang...
"Anggur atau vodka?" Wanita itu memiringkan wajah. Leher jenjangnya terlihat menggiurkan, bahkan untuk lelaki sekelas Ronnie yang kenyang menjelajahi dunia pelacuran dan gangster.
"Tak semua pelacur mengajukan pertanyaan macam ini," Sahut Ronnie, bermaksud memuji sekaligus mengancam. "Jangan main-main denganku."
"Pria terhormat atau bajingan?" suara wanita itu merendah, bibir merahnya tersenyum menggoda. Tangannya menggoyangkan kantong kulit yang menggantung di pingganya. Cring-cring. Seperti koin-koin emas berdentingan.
"Siapa kau? Bagaimana kau mendapatkan kantong kulit itu?"
"Kau belum menjawab pertanyaanku." Wanita itu mendekat dengan dagu dimiringkan, membuat Ronnie mau tak mau melihat celah indah di bawah lehernya, diantara dadanya.
"Kau pemenang atau … pecundang?"
Ronnie tersenyum.
"Aku pengacara." Jawab Ronnie. Wanita itu seperti menantang egonya.
"Dan aku juga seorang hitman."
Aku berdiri di dua dunia, kau pilih yang mana, wanita?
Wanita itu tersenyum sekali lagi.
"Kau pemberani atau pengecut?" Cring, sekali lagi. Kali ini wanita itu menggemerincingkan kantong kulitnya dengan goyangan pinggul yang tipis, namun tajam mengiris.
Ronnie membalas tatapan wanita itu, berusaha tak memperdulikan gestur seksi yang hanya sekilas itu.
"Sekali lagi, nona. Jangan bermain-main denganku." Ancamnya. "Darimana kau dapat kantong itu?"
"Seseorang." Wanita itu menoleh ke samping. "Seseorang yang juga mencarimu."
"Halo, Ronnie." Seorang lelaki bertopi fedora menyapanya. Rambutnya ungu dan setelannya putih bersih. Tangannya memain-mainkan kantong kulit yang sama, koin emas bergemerincing nyaring dari dalamnya.
"Oh," Ronnie mendecih. "Dyna Might."
"Mari kita bermain,"
"Siapa yang akan menang… tokoh utama atau figuran?" Maroon, atau wanita misterius yang menggoda Ronnie itu, perlahan mundur ke belakang. Membiarkan dua pria kuat mengambil panggung untuk bertarung.
Ini hanya sebuah permainan untuk menentukan siapa yang terkuat.
Masing-masing punya pikiran yang mirip:
Aku tokoh utamanya.
Aku yang menang.
Bukan kau...
-o0o-
Despera Back Alley, 10 km menuju Portal Exit dari Timur Laut.
Pukul 14.30 waktu Despera.


Mang Ujang berhenti sejenak, melihat seorang kakek berkacamata yang berteriak-teriak mengusir dua berandalan yang baru saja mencuri sebutir apel dagangannya. Anak-anak itu melarikan diri sambil tertawa-tawa, satu temannya yang sepertinya bersekongkol, sempat menendang keranjang dagangan penuh berisi apel sehingga isinya tumpah ruah memenuhi jalan.
Ternyata di Alforea juga banyak anak nakal. Mang Ujang merasa prihatin. Sopan santun ternyata bukan hanya meluntur di dunianya, di Alforea juga.
Kakek itu mengomel sambil berjongkok mengambil apel-apelnya yang berserakan di jalan.
Mang Ujang baru akan bergerak untuk membantu kekek itu, ketika dilihatnya merk apel-apel yang dijual sang kakek. Meskipun kecil, ia bisa melihatnya cukup jelas.
Red Cat Apples. Logonya dua buah kucing merah saling berhadapan.
Dan kakek berkacamata itu seperti mirip dengan seseorang. Seseorang yang berjualan es krim… auranya tak asing. Ia pernah bertemu dengannya sebelumnya.
Mang Ujang langsung mundur selangkah. Ciuman terpaksa yang dilakukannya dengan Reddix 'Pinky Kitty' masih terasa jelas.
Sihir macam apa yang berlaku di sini?! Langsung ia merutuk dalam hati.
Teringat ciuman dan serbuan anak-anak itu… Mang Ujang memutuskan lebih baik menghindar. Ia langsung berbalik, melangkah secepat-cepatnya menjauh dari tempat itu.
-o0o-
Despera Back Alley, 14 km dari Gerbang Selatan.
Pukul 14.50 waktu Despera.


Mima masih melanjutkan perjalanan, mengikuti rute yang sebelumnya telah direncanakan. Ia berhenti ketika di seuah gang yang sepi, beberapa anak-anak jalanan mengepungnya.
Dua anak kecil berdiri paling depan, usianya mungkin baru sebelas tahun. Mungkin mereka berdua pemimpin gerombolan berandalam cilik itu. Yang satu laki-laki, yang lainnya perempuan. Pakaiannya lusuh dan wajahnya penuh debu. Rambutnya sama-sama coklat kemerahan, ditutup topi kumal yang sepertinya diambil dari tempat sampah.
"Serahkan uangmu, Ma'am." Si anak lelaki maju, menodong dengan pisau, gerak-geriknya liar sembarangan.
Mima menghela nafas. Astaga, apalagi ini? Mereka masih anak-anak pula..
"Dimana orang tua kalian? Kalian tidak sekolah?" Mima membentak tanpa takut.
"Bukan urusanmu. Uang, mana uang?!" Yang anak perempuan ikut menyeruak maju, matanya liar, ia menengadahkan tangannya ke arah Mima. Teman-temannya ikut mengepung.
Mima terdiam sejenak.
Aku tidak bisa melawan anak-anak… hatinya langsung ragu.
Sekilas, di permukaan tanah yang ia pijak, Mima baru menyadari sesuatu.
Ada sebuah lukisan di atas lantai paving berupa kucing merah, sudah pudar warnanya.
Kucing merah… sial. Mima baru menyadari sesuatu.
Ia terlalu memperhatikan tanda-tanda kucing merah di dinding dan tiang-tiang, dan melupakan fakta kalau kucing merah juga bisa terpatri di permukaan jalan. Mima langsung mundur. Ia tak bisa melawan anak-anak. Despera Back Alley ini seperti tahu kelemahanku.
Anak-anak itu semakin mendekat, menatapnya antara penuh harap dan meminta dengan paksa. Suasananya mengancam.
Mana tega mengayunkan pisau stainless baja sekelas ACE kepada anak ingusan. Begini-begini aku juga masih punya hati… Mima menengadah ke atas, melihat sebuah tangga darurat beberapa meter di atas sana. Ada sebuah pijakan berupa tong sampah dari besi di bawahnya.
Tanpa pikir panjang, Mima langsung melompat ke arah tangga, menggunakan pijakan tong sampah. Di tempat yang lebih tinggi itu, ia menaiki tangga sampai ke atas, lalu memutuskan untuk berlari lewat jalur atas melompati atas gedung-gedung yang rapat berdekatan.
"Tunggu!" Masih terdengar suara anak-anak itu yang marah karena ia melarikan diri.
Sialan… apapun itu, mereka tahu kalau aku lemah pada anak-anak…
Mima memilih tak ingin berurusan dengan apapun yang berhubungan dengan kucing merah.
-o0o-
Despera, Ruang Pusat Kontrol BoR 5, kantor Hewanurma.
Pukul 16.45 waktu Despera.


Hewanurma mengerutkan kening di depan layar-layar monitor. Rasanya kerutannya semakin bertambah karena Tamon Ruu yang egois, sama sekali tak mau membantunya mengawasi para peserta. Untung saja ada para maid handal yang bisa ditugaskan apa saja--meskipun tak semuanya bisa diandalkan—dan juga beberapa orang hebat di Despera, yang bisa diajak kerjasama.
Termasuk Klaas dan timnya.
Selama bertahun-tahun mereka telah lama menjaga Despera Back Alley tenteram dan damai, sehingga tempat yang ruwet itu, yang berpotensi menjadi sarang kriminalitas, tetap terjaga keseimbangannya. Klaas dan teman-temannya menjaga keamanan daerah itu, dan Hewanurma memberikan otoritas penuh kepada mereka untuk melakukannya dengan cara apapun.
Tapi Klaas baru saja memberi petunjuk pada dua peserta BoR5. Hewanurma menghela napas. Padahal ia sudah bilang pada Klaas agar membiarkan mereka tersesat saja, atau bertarung satu sama lain. Kalaupun tak ada yang lolos dari tim E, itu juga tak apa. Pengurangan jumlah peserta bisa membuat tugasnya lebih ringan.
Ia menekan tombol komunikasi. Di layar yang menunjukkan situasi Despera Back Alley, tampilannya langsung berubah memperlihatkan seorang lelaki botak berjenggot putih.
"Ya, Bos."
"Klaas. Aku sudah bilang, jangan membantu peserta." Hewanurma berkata dengan nada marah yang ditahan. "Apa-apaan kau, memberi petunjuk pada Mima dan Ujang, untuk waspada pada 'Kucing Merah'?"
"Mereka layak untuk mendapatkannya, bos." Klaas berargumen. "Running Mama dan Petani Ikkemen bersedia membantuku mengurusi anak-anak meski hanya sebentar. Lalu mereka juga lolos ujian Pengorbanan Es Krim. Bahkan Petani Ikkemen itu berani berkorban mencium Red." Kalimat terakhirnya diiringi seringai geli, diikuti latar belakang kikikan halus Reddix, yang berperan menjadi pemilik Kedai.
"Hanya cium saja? Tidak lebih?" Hewanurma curiga. "Dua tahun lalu ada yang kau ajak tidur, Reddix."
"Tidak. Petani itu kuat iman, bos." Reddix menyeruak di depan Klaas.
"Lalu bagaimana peserta yang lain?"
"Nona Pohon masih mengerjakan teka-teki dari Maroon, ia sudah lupa tujuannya di Despera. The Doorman dan Enigmatic Cammorrista masih bertarung untuk membuktikan siapa yang terkuat di depan Maroon. Pertarungannya seimbang, aku yakin mereka akan tetap bertarung sampai malam…." Sembari mendengarkan Klaas melapor, Hewanurma mengecek kebenaran laporan itu dengan layar holografis yang memperlihatkan peserta-peserta lain.
Layar monitor satu menunjukkan Ananda yang masih mematung di tengah jalan berarsitektur Eropa di dalam Despera Back Alley. Layar monitor dua menunjukkan pertarungan dahsyat antara Dyna Might dan Ronnie.
"Oh ya, peserta terakhir, Fatha Lir…" Klaas melihat tabletnya sejenak, memeriksa sesuatu
"… dia masih mengelilingi Despera Back Alley dengan Crimson. Status keduanya sudah mulai berubah, dari 'Majikan-Bodyguard' menjadi 'Berpacaran'. Mereka baru saja mampir kedai es krim Pinky Kitty sepuluh menit lalu."
Monitor ketiga, justru malah memperlihatkan sepasang sejoli cantik dan tampan yang berjalan kaki di sepanjang pertokoan mewah, sambil menyantap eksrim.
Romantisme salah tempat, geram Hewanurma dalam hati. "Alforea sudah terlalu penuh, bilang Crimson jangan menikah lagi!" Semburnya. "Tahun lalu, istri ketiganya sudah melahirkan anak kelima!"
"Jangan khawatir, Bos. Semua masih terkendali." Klaas hanya tersenyum tenang. "Kalaupun Running Mama dan Petani Ikkemen lolos, keduanya harus berhadapan di akhir. Saat itu," Klaas berhenti sejenak.
"… hanya akan ada satu pemenang."
Hewanurma mengetukkan jarinya. "Tidak akan seimbang. Running Mama tak punya kekuatan sihir."
Klaas tersenyum.
"Kita lihat saja nanti."
Klaas menutup salam dengan membungkuk hormat. Hewanurma melengos, mematikan komunikasi. Matanya menatap dua layar monitor terakhir.
Monitor pertama memperlihatkan Mima yang akhirnya memutuskan untuk menggunakan jalan pintas melompati gedung-gedung diantara gang-gang Despera yang berdekatan, menunjukkan kemampuan parkour yang cuma sekadarnya. Screen kecil di bagian bawah layar menunjukkan Mima semakin mendekati portal Exit di tengah-tengah Despera Back Alley.
Monitor kedua, Mang Ujang yang justru lari menghindari setiap tanda yang berkaitan dengan kucing atau warna merah, membuat ia berjalan berputar-putar, namun sedikit demi sedikit mendekati jalan keluar. Screen kecil milik Mang Ujang menujukkan demikian.
Perjuangan keduanya tak terlalu penuh aksi. Hewanurma mengevaluasi. Mima dan Ujang hanya menawar harga eskrim di gang taman kanak-kanak milik Klaas.
Tak seheroik Ronnie atau Dyna, kalau saja dua orang itu tak terjebak pertarungan yang tak perlu.
Tapi, Maroon Cat memang jago memancing para lelaki, sama seperti Crimson, pikir Hewanurma sebal. Dalam catatannya, Dyna memang menyukai pria tampan dan wanita cantik, sementara Ronnie tak suka bila dianggap kelas bawah.
Hewanurma mengamati kembali gerak-gerik Mima dan Mang Ujang.
Jadilah dua orang tak dijagokan ini, yang justru berhasil mencapai Exit.
Golok versus pisau dapur…
Siapa yang akan menang?
-o0o-
Despera Back Alley, Basketball Court Alley /Portal Exit.
Pukul 17.00 waktu Despera.
Mima sudah bisa melihat portal antar dimensi Exit itu hanya berjarak beberapa puluh meter lagi, tepat berada di ujung jalan. Kilatan-kilatan ungu berkerjapan di udara, lubang portal dimensi seukuran bola basket telah membuka. Di bawahnya, ada sebuah lapangan basket, dikelilingi pagar berjaring-jaring kawat. Beberapa orang berdiri di sekeliling lapangan, juga ada yang duduk di pinggir. Mima memperlambat langkahnya.
Tak jauh, dari sebuah jalan kecil yang berlawanan arah, peserta lain datang. Ia melangkat perlahan, bayangannya memanjang karena cahaya matahari senja. Tubuhnya kurus tinggi, baju merah pudar, celana jeans dan golok bertengger di pinggang. Membuatnya mudah dikenali.
Mang Ujang.
Kalaupun ada yang berbeda, adalah siluet wajah tampannya yang tampak berbeda. Pancaran cahaya matahari senja, juga aura gelap dari goloknya yang memancar samar.
"Selamat datang."
Seseorang muncul menyambut kedatangan mereka berdua.
Klaas.


::
Section 3.
The Truth Behind Alley
::
"Huh," Mang Ujang menggerutu, lelah melihat Klaas. "Bukannya ketemu peserta lain, saya malah ketemu Aki lagi. Teh Mima lagi. Padahal sudah sore,"
Klaas menyambut keluhan Mang Ujang dengan senyum tipis, "Peserta lain tidak akan kesini."
Reddix, berdiri tak jauh dari Klaas ikut menimpali, "Mereka sudah gagal dalam labirin Despera Back Alley."
"Apa karena… ulah kalian?" Mima berdiri waspada, menyadari kalau Klaas rupanya tidak sendirian.
Bukan hanya ada Klaas yang berada di lapangan basket itu. Reddix juga berada di sini, dengan pakaian yang sama saat menjadi pelayan di Pinky Kitty. Selain mereka, ada dua orang lain, seorang wanita cantik dan lelaki tampan yang sama-sama berambut merah bergradasi. Yang perempuan berambut merah marun, yang lelaki cokelat kemerahan. Mima merasa pernah melihat dua orang itu di suatu tempat.
"Ya, itu karena ulah kami. Aku berhasil menangani tiga peserta. Klaas harus membayarku lebih." Si wanita cantik itu berkata sambil mengacungkan tiga jari. "Dua peserta masih bertarung satu sama lain saat ini sampai lupa waktu. Satu peserta—lucu sekali—dia lebih tertarik pada ilmu pasti daripada Battle of Realms. Ananda sang Nona Pohon masih menyelesaikan teka-teki Schroedinger yang kubuat." Wanita itu mengikik.
Mima merasa ngeri mendengar tawanya, ada kecerdasan sekaligus kelihaian menggoda pria dalam setiap gerak-geriknya. Namun, sekali lagi, ia pernah melihatnya di suatu tempat.
"Peserta yang paling muda, Nona Tata masih berkencan denganku. Dia sudah lupa dengan turnamen ini." Lelaki tampan berjaket cokelat ganti menjelaskan. "Sayangnya kau sudah menikah, ya Ms. Reid."
"Tapi Klaas, kau tidak bilang kalau ada satu lagi pria tampan." Si rambut marun melirik Mang Ujang, melemparkan kerlingan genit.
"Dia sudah menciumku, Maroon, apa kau masih mau?" Reddix, si bos kedai eskrim melirik Maroon dengan ekspresi kemenangan.
"DIAM!" Teriak Mang Ujang.
"Kalian… " Mima teringat wajah dua anak berandalan yang menantangnya di koridor jalan bergambar kucing merah. Wajah dua orang itu mirip sekali dengan dua anak itu.
"Kalian semua sebenarnya… orang yang sama, bukan?"
Sang lelaki tampan tertawa pelan dengan gaya keren, menyeka rambutnya. Si wanita cantik menatap Mima dengan senyum licik.
"Tentu saja. Namaku Maroon Cat, dan dia Crimson Cat. Klaas sudah membocorkan rahasia untuk berhati-hati dengan kucing merah, bukan?" Maroon tersenyum.
Tiba-tiba Mima merasa pikirannya ruwet. Tapi, bagaimana bisa? Mustahil satu orang bisa berada di dua tempat dalam waktu yang sama, dalam penampilan yang jauh berbeda, pula…
"Oh! Kamu juga mirip kakek tua penjual apel itu!" Mang Ujang ikut berteriak. Ia baru sadar, kalau si kakek penjual apel itu adalah Reddix versi kakek-kakek. Ugh, untung aing langsung lari! Dan sekali lagi benak Mang Ujang memutar kenangan menjijikkan dengan Reddix, membuat perutnya mual.
"Kalian menyadarinya, rupanya." Reddix terseyum.
"Bagaimana bisa… kekuatan macam apa yang kalian pakai?" tanya Mang Ujang.
Klaas tersenyum, "Kami bisa berada dimana-mana, tidak ada dimana-mana, dan," Klaas merendahkan suara, "… kami bisa menjadi apa saja. Menggunakan wujud masa depan, masa lalu, atau wujud apapun yang kami mau."
Mima dan Mang Ujang terpaku di tempat.
"Kami adalah Red Cat Schroedingers. Tim khusus yang bertugas menjaga Despera Back Alley."
Kalimat Klaas lebih terdengar seperti ancaman daripada perkenalan diri. Juga menyiratkan bahaya akan kemampuan musuh yang belum pernah mereka hadapi sebelumnya.
"Ini licik… bukankah aturannya tidak boleh ada yang mencampuri pertarungan dalam Battle of Realms?" Mima memprotes.
"Hei Ma'am, kami tidak bertarung melawan peserta. Kami tidak melakukan apapun pada mereka." Crimson membantah.
"Kami hanya bermain-main dengan pikiran mereka." Tambah Klaas.
"Juga dengan harga diri dan ego. Sungguh kelemahan fatal manusia." Maroon geleng-geleng kepala.
"Dan sedikit bermain perasaan. Kadang-kadang." Reddix tersenyum nakal, sambil mengerling sekali lagi pada Mang Ujang.
"Kurang ajar…" Mang Ujang menggeram marah.
Mima menarik nafas panjang, menahan kemarahannya yang mulai naik ke ubun-ubun.
Orang-orang yang memanfaatkan anak-anak untuk menyesatkan seseorang… sialan!
"Jangan terlalu memikirkannya, Mrs. Reid. Jiwa manusia memang penuh kelemahan." Klaas kembali bersuara, kali ini nada suaranya terdengar bijak.
"Mereka memiliki kesukaan dan ketidaksukaan, menjunjung tinggi harga diri dan martabat yang sesungguhnya hanya ilusi. Despera back Alley bukanlah labirin biasa; di tempat ini, orang-orang yang lemah takkan bisa bertahan. Kekuatan seseorang diukur bukan dari kekuatan fisik atau keteguhan mereka ketika menghadapi kesulitan. Nafsu, harga diri, keinginan yang tak terkendali, manja dan tak tahan godaan, semua itu kelemahan manusia. Cara kami menyerang adalah dengan memanfaatkan kelemahan-kelemahan semacam itu." Terang Klaas.
"Ketika kalian berdua berada di Playgroup Alley, sebenarnya bisa saja kalian tetap bertarung; tapi kalian tidak melakukannya. Saat Klaas meminta kalian untuk mentraktir eskrim, sebenarnya kalian bisa saja melawan, merebut koin, dan kabur; tapi kalian mengambil jalan tengah dengan tetap membeli es krim dan menawar harga termurah. Lalu, aku meminta salah satu dari kalian mengorbankan harga diri," Reddix menatap mang Ujang, kali ini sinar matanya serius. "kau bersedia melakukannya."
"Sialan." Mang Ujang langsung mengumpat.
"Sebenarnya, dia juga bisa memberikan gratis kalau kau melihat kesempatan itu. Tapi, kau bisa menempatkan harga dirimu dengan benar. Congrats, Mang Ujang." Klaas ikut menjelaskan. Kali ini, Mima curiga jangan-jangan sang kasir botak itu juga adalah Klaas versi muda.
"Ms. Reid bisa saja melihat kesempatan itu untuk menjerumuskan Mang Ujang ke dalam hubungan sesama jenis agar es krim gratis bisa didapatkan, tapi kau juga tidak melakukannya, Mrs. Reid." Reddix ganti menatap Mima dengan penuh hormat.
"Kalian fokus dengan tujuan kalian; dan menempatkan posisi dengan benar. Itu yang membuat kalian berada di sini." Maroon menambahkan.
"Tidak demikian dengan peserta lain. Dyna meyakini ia punya keberuntungan dan bersedia mempertaruhkannya dalam pertarungan; Ronnie tak mau dianggap warga kelas dua, ia harus membuktikan diri bisa mengalahkan Dyna; Ananda tergoda rasa penasarannya sendiri untuk memecahkan teka-teki rumit; dan Fatha' Lir, egonya sebagai wanita cantik terpuaskan dengan hadirnya seorang pemuja, yang juga rupawan." Maroon menoleh kepada Crimson, yang tergelak sombong.
"Sekedar melegakanmu, Mrs. Reid. Aku benar-benar seorang Kepala Sekolah Playgroup. Tidak setiap hari kami bisa menikmati eskrim sehat." Klaas menatap keduanya bergantian.
"Dan aku memang berjualan eskrim," Reddix membungkuk. "Juga buah-buahan dan makanan bergizi di berbagai penjuru Despera."
"Dan kami berdua; menjaga labirin ini dengan menghadang orang-orang yang bisa menimbulkan masalah. Dyna, Fatha Lir, Ronnie dan Ananda; kekuatan mereka terlalu besar, kami tidak ingin Despera Back Alley mengalami kerusakan masif, baik moril dan materiil." Crimson menambahkan.
Mima dan Mang Ujang terdiam.
Kebisuan yang aneh melingkupi lapangan basket itu, yang membuat Mima dan Mang Ujang tenggelam dalam pikiran masing-masing.
Despera Back Alley. Bukan labirinnya yang rumit.
Tapi pikiran manusia yang membuatnya rumit.
Es krim itu… mahal atau murah?
Itu juga relatif.
"Lalu, apa yang kalian inginkan sekarang?" tanya Mima, memecah keheningan.
"Kami harus bertarung dengan kalian?" lanjut Mang Ujang.
Maroon dan Crimson tertawa. Reddix terkikik pelan.
"Tidak." Klaas menjawab.
"Victory condition dalam ronde pertama ini adalah yang memperoleh koin emas terbanyak yang dinyatakan menang, dengan merebutnya dari sesama peserta." Klaas mengeluarkan dua kantong kulit berisi uang emas.
"Anggaplah dua peserta lain lengah dengan koinnya. Mereka tersesat dalam gang-gang Despera Back Alley yang penuh jebakan, dan kami menemukannya. Dan kami akan memberikannya pada salah satu dari kalian."
Mima dan Mang Ujang saling berpandangan.
"Kalian sendiri yang tentukan siapa yang layak menerima sepuluh keping emas ini."
Mima tersenyum sinis. Permainan kata-kata sialan.
"Bilang saja kami harus bertarung."
"Anjir." Mang Ujang mengumpat lagi.
"Tidak ada permainan pikiran lagi." Sahut Klaas.
"Hanya pertarungan yang adil. Kalian siap?"
::
Section 4
R.U.N
::
Permainan pikiran. Pertarungan juga permainan pikiran.
Sungguh salah, kalau menganggap pertarungan hanya melibatkan kekuatan saja. Ada strategi yang pasti disiapkan sebelumnya, dan juga taktik yang juga harus fleksibel berubah-ubah mengikuti situasi kondisi. Pertarungan tak pernah terlalu naif atau polos, bahkan dalam kondisi ada peraturan.
Tahap pertama adalah penjajajakan. Dimana senjata saling berkenalan, kepalan dan tendangan saling membentur, untuk menaksir kekuatan masing-masing.
Mima dan Mang Ujang sama-sama menyerang. Pisau dapur ACE dan golok hitam beradu, menyemburkan sedikit bunga api.
Bukan gerakan saling menahan yang berikutnya terjadi. Mima sudah tahu, bahwa bagaimanapun, sebagai perempuan ia kalah kuat. Petani rupawan itu, meski masih muda, tentulah ia menghabiskan sebagian besar waktunya di ladang, mencangkul dan membajak sawah, membuat seluruh ototnya terlatih. Selain itu, ia lebih tinggi, menang postur.
Keduanya saling beradu kemampuan, Mima mengeluarkan seluruh kemampuan, menyabet, memukul, meliuk dan menghindar dengan lentur. Pukulan dan gerakannya lebih variatif, dari Mang Ujang hanya hanya sekedar menangkis dan menyerang dengan pola gerakan yang sama. Mima paham bela diri; tapi kalah kekuatan. Dalam pertarungan jarak dekat, Mima unggul di atas kertas.
Mima menunduk, memutar badan, menyerang dari arah bawah ke arah urat Achilles di tumit mang Ujang.
Mang Ujang menghindar dengan berguling ke depan, menciptakan jarak diantara mereka berdua.
Mima menoleh, keduanya saling bertemu mata sejenak.
Mata hitam Mang Ujang menatap lurus dirinya.
Pertarungan pertama dengan mata. Kedua baru dengan pedang.*)
Mata hitam Mang Ujang seperti menusuk, masuk ke dalam dirinya. Mima terperangkap ke dalam lipatan memori masa lalu, untuk sejenak… pandangan mata itu masuk ke dalam, melihat seluruh jiwanya yang carut-marut, yang pernah haus akan keinginan dicintai dan dikasihi.
Tubuh Mima mematung, tak bergerak. Matanya seperti terpana melihat sesuatu. Bukan terpesona, tapi terpana.
Mang Ujang menghela nafas, lalu berdri. Melangkah mendekat dengan perlahan
"Tidak ada seorang pun yang bisa lolos dari tatapan saya, teh. Bahkan untuk wanita yang sudah bersuami." Ia baru saja melancarkan jurus tatapan pemikat untuk memepesona wanita.
Meskipun pada Mima sudah bersuami, tatapan itu tidak mempengaruh perasaan, hanya saja efeknya terhadap tubuh sama. Tidak mampu bergerak.
"Oh, curang." Crimson menggelengkan kepala.
"Tidak seru."
-o0o-
Prang.
Weasel menjatuhkan cangkir kopinya.
Jade, sedang bersantai dengan Philla di depan TV, menoleh.
"Kenapa, Weasel?"
"…"
Weasel tak menjawab. Tak memperdulikan Jade, ia melangkah menuju kamar, mengambil ponselnya.
Menelepon Mima.
-o0o-
BUK.
Mang Ujang menonjok, tepat masuk ke ulu hati, naik sedikit tepat di bawah dada, cukup untuk melumpuhkan Mima.
Mima terbatuk.
Sekuat apapun seseorang melatih otot perut, dalam kondisi tak siap, takkan ada kontraksi otot yang bisa melindungi dari serangan. Otot adalam perisai yang mengendur dan mengencang. Dalam keadaan santai, atau tak berdaya, ia hanya gumpalan daging lunak yang mudah ditembus.
Satu lagi. Ngapunten, teh. Mang Ujang sedikit memejamkan mata.
Mang Ujang membenturkan pegangan goloknya di tengkuk Mima, dan satu serangan lutut di rusuk lawannya. Cukup dalam dan bertenaga, cukup untuk mematahkan tulang.
Ada suara retak lirih, mungkin rusuk yang patah. Mang Ujang berusaha mengacuhkan suara itu, juga suara Running Mama yang mengerang tertahan di depannya. Batuk darah, mungkin… Mang Ujang tak ingin melihat.
Tak usah dibuat lama. Cukup sampai dia tak bisa berdiri lagi. Cukup hanya menyisakan napas saja.
Tubuh Mima melunglai, Mang Ujang menangkapnya, sekaligus tangan kirinya menekan ke arah pergelangan tangan kanan Mima, membuat pisau ACE-nya terlepas. Pisau dapur itu tergeletak di tanah, langsung ditendang Mang Ujang hingga bergeser jauh.
"Tak berniat membunuh lawan." Klaas menggeleng-geleng.
Mangu Ujang berlutut, menggeletakkan tubuh lawannya di tanah dengan hati-hati. Mengambil sesuatu dari saku apron, melemparkan satu lagi tabung kecil yang merupakan senjata Mima.
"Seharusnya ada darah, dia membawa golok," Reddix tersenyum. "orang yang penuh kasih, ya…"
"Apa peserta BoR tahun ini tak ada villain-nya?" Maroon menguap bosan.
-o0o-
"Firasat buruk?" Jade masuk ke kamar, mengikuti Weasel sambil menggendong Philla.
Weasel mondar-mandir gelisah dengan ponsel di tangan, menunggu sejenak nada panggil.
Terdengar nada panggil.
Tak segera diangkat.
-o0o-
"Maaf ya, teh. Memang susah kalau tidak punya kekuatan sihir." Mang Ujang berbisik lembut, tangan kirinya meraba-raba kembali saku-saku apron Mima. Ia bisa merasakan betapa rampingnya wanita itu, juga otot-otot tubuh yang terlatih baik… tapi tak cukup, kalau hanya dengan itu mau memenangkan Battle of Realms.
Pulang saja ke rumah, di sana tempatmu.
Tangannya menemukan sesuatu di salah satu saku apron Mima, tapi bukan kantong berisi uang emas.
Benda itu bergetar.
"Trinininininininn…"
-o0o-
"Tidak bisa dihubungi?" Tanya Jade.
"Belum diangkat." Jawab Weasel, menatap Jade dengan wajah khawatir.
"Mungkin masih bertarung."
"Mungkin…" Weasel menunggu.
-o0o-
Ponsel?
Mang Ujang menarik tangannya, sebuah ponsel digenggamnya. Ia melihat layar ponsel itu menyala dan bergetar halus di telapak tangannya. Ada satu nama di layar.
Weasel Reid.
Mima mencekal tangannya, lemah.
-o0o-
Weasel menarik nafas pelan, menghembuskannya, seperti berusaha menguasai diri.
"Jangan khawatir. Percaya saja padanya." Jade menghibur. "Ini baru ronde satu, 'kan?"
Weasel mendecih.
"Aku berpikir untuk memberitahunya," Kata Weasel. "Perasaan ini muncul tiba-tiba. Dia dalam bahaya, atau mungkin sedang terdesak. Kalau dalam kondisi itu, dia tak perlu minta ijin padaku."
Jade terdiam sejenak.
"Kau akan membiarkan dia menjadi 'pelari' lagi?"
Weasel menatap Jade.
"Dia memang seorang 'Runner', bukan?"
Nada panggil berhenti. Telepon diangkat.
Weasel menghela nafas. Seolah mempersiapkan diri.
-o0o-
"Silahkan."
Mang Ujang meletakkan ponsel di sebelah Mima, sekaligus membaringkannya telungkup di tanah. Tahu diri, Mang Ujang berdiri, melangkah menjauh, menuju Klaas untuk menuntut kemenangannya.
"Mima?"
Suara Weasel.
Mima menggigit bibir. Memalukan rasaya berada dalam kondisi seperti ini.
Setiap nafasnya terasa sakit, rusuknya memang patah. Kepalanya pening, benturan pegangan golok seharusnya membuat ia pingsan, tapi entah mengapa kesadarannya masih tersisa. Tak mudah membuat seorang Equilbrium survivor jatuh pingsan.
"Mima?"
Mima ingin menjawab, tapi tak tahu apa yang harus dikatakan. Pandangannya mulai mengabur.
"Mima, kalau kau dalam bahaya," suara Weasel meninggi.
"Lari."
Mima mengerutkan kening, di tengah rasa sakit dan kesadaran yang mulai mengambang.
Apa…? Apa yang kau bilang, sayang?
"LARI. KAU DENGAR?!" Weasel berteriak.
LARI.
RUN.
R.U.N.
Re-setting Unattempt Neurolink.
Mima melonjak bangun, pikirannya seperti melompat siaga.
Ia mengangkat tubuh dengan gerakan mendadak. Nafasnya tersengal.
Kesadarannya kembali.
RUN…!
-o0o-
Weasel langsung mematikan telepon.
"Oh Tuhan. Aku melakukannya." Suaranya meremang."Kuharap ia baik-baik saja."
Jade duduk di tempat tidur. Menepuk bahu Weasel. Memahami apa yang dilakukannya.
Semua Equilibrium Survivor punya kemampuan itu. Mem-blocking rasa sakit untuk sementara, yang dipicu menggunakan suatu jangkar, anchor. Jangkar itu bisa berupa kata-kata, gestur, atau sesuatu. Jangkar itu berperan sebagai semacam password, untuk mencapai kondisi bertahan terhadap rasa sakit. Untuk Mima, password itu adalah RUN.
Re-setting Unattempt Neurolink.
Mengatur ulang kondisi tubuh dan pikiran, untuk menyeleksi sel-sel saraf yang berhubungan dengan rasa sakit. Sel syaraf yang berhubungan dengan rasa sakit akan diblokir.
"Apakah Mima masih ingat?" Jade menerawang.
Ketika Jade dan Mima berlatih Equilibrium sebelum berangkat ke BoR, mereka tak pernah membahas kemampuan itu. Tapi, Weasel ingat kalau Mima pernah punya kemampuan itu, dan masih ingat password-nya. Ia tak menginggung kemampuan itu, karena membangkitan kemampuan itu cukup berbahaya. Mengenyahkan rasa sakit berarti menghambat alarm tubuh yang memberikan sinyal terhadap sesuatu yang tidak beres, dan aktivitas tubuh selanjutnya bisa membuat cedera semakin bertambah.
"Aku tak tahu." Weasel berkata.
"Kita lihat nanti."
-o0o-
Mang Ujang menoleh.
Tapi Mima tak memberikannya jeda waktu. Ia melangkah dengan satu lompatan panjang, satu tangannya menonjok ke depan, menghantam telak dagu Mang Ujang yang membuat tubuhnya terpental mundur.
"Cepat betul!" Reddix bersiul.
Mang Ujang terperangah tertahan, menyeka bibirnya yang berdarah.
Keras kepala…
Mima sudah melemparkan satu garpu, yang secepat kilat ditangkis mang Ujang. Mima mendekat lagi dengan satu langkah panjang, mengarahkan kepalannya ke wajah lawan.
Mang Ujang berkelit ke samping. Tangan kanannya sekali lagi mencabut golok, memutarnya, menyabet dari arah samping.
Mima menghindar dengan menjatuhkan diri ke bawah.
"Oh-oh, kesalahan." Crimson berkomentar. Posisi lebih rendah tak pernah lebih menguntungkan.
Mang Ujang tak menyia-nyiakan ksempatan itu. Ia memutar pegangan goloknya dan menyabet dengan gerakan mengiris ke arah leher Mima yang merebah di bawah.
Tapi gerakannya terhenti tiba-tiba.
Mang Ujang mengerang tertahan.
"Apa yang terjadi?" Reddix, Crimson dan Maroon berseru.
"Jebakan." Klaas mendesis. Sebagai wasit, ia bisa melihat lebih jelas.
Tumit Mima tepat menedang di ulu hati Mang Ujang. Cukup sedikit kekuatan, karena kerasnya benturan bukan diakibatkan tenaga dari tungkai Mima, tapi dari kecepatan tubuh Mang Ujang sendiri ketika menyerang Mima yang rebah.
Aksi-reaksi.
Semakin cepat, semakin besar tenaga, semakin tinggi kerusakan yang terjadi.
Inilah Equilbrium, Mang Ujang. Sebuah bela diri yang memanfaatkan ilmu pasti.
Kedua tangan Mima, menyilang melindungi diri di depan badan. Sepertinya begitu.
Tapi ternyata bukan cuma itu. Posisi tangan menyilang di depan tubuh bukan cuma untuk melindungi diri. Mang Ujang mundur, mengerang tertahan.
Darah menetes-netes dari pangkal tangannya. Sebuah garpu menancap di sana, di pergelangan tangan.
Klaas tersenyum takjub. "Mang Ujang menang dari segi kekuatan. Mima memancingnya untuk masuk menyerang saat ia berada di posisi rebah. Saat menusuk itulah, tangan kanan Mima menusukkan garpu, dan tangan kirinya…"
Masih bebas.
Mima mengunci pergelangan tangan kanan Mang Ujang, berberengan dengan itu, tangan kirinya menjulur, meraih tengkuk, mencengkram leher, tulang belakang, sekaligus menaikkan lututnya ke wajah Mang Ujang. Terdengar suara benturan, telak menghantam wajah mang Ujang. Dengkul melawan tulang lunak hidung. Darah langsung tumpah ke tanah, muncrat dari hidung yang patah.
"Ugggh!" Mang Ujang bahkan tak sempat berkata ketika ketampanannya hilang seketika.
Mima memutar tubuh, menarik tangan, mencekal baju, menurunkan tubuh dalam kuda-kuda, memfokuskan seluruh tenaganya ke pinggang dan pinggul, dan menarik ke bawah, sambil merunduk.
"AAAAAAARRRGGGH!" Mima mengerang keras, sekaligus mengerahkan kekuatan, dalam satu kali ledakan tenaga.
Bagaimanapun, rusuk itu patah. Setiap gerakan akan menyakitkan, meski bisa ditahan.
Tubuh Mang Ujang terangkat, sepersekian detik cepatnya, kedua kakinya melayang di udara. Gerakan memutar ke bawah sempurna, dengan punggungnya yang terlebih dahulu menghantam tanah..
"Seoi-nage. Ippon*)" Reddix sedikit paham ilmu bela diri dunia manusia, spontan berkomentar.
BRUK! Tubuh Mang Ujang terbanting keras ke tanah.
Mima merebut golok Mang Ujang. Ia berdiri mengangkang di atas tubuh Mang Ujang, menatapnya.
Mang Ujang menatapnya dengan wajah berlumuran darah. Seluruh tubuhnya lumpuh sementara akibat bantingan keras tadi.
Mima langsung menempelkan sisi tajam golok ke leher Mang Ujang.
Matanya menyala, tak seperti Mima yang biasanya.
Menyala, lurus, datar, semacam orang yang tak punya perasaan.
"Menyerah?" Mima mendesis. Bertanya.
Tidak. Mang Ujang menggelengkan kepala. Berusaha bangkit.
Mima langsung menusukkan golok yang direbutnya.
Maroon dan Crimson sedikit mengernyitkan mata. Detik berikutnya akan banjir darah.
"ARRGGH!" Mang Ujang melolong keras, pangkal tangan kirinya ditembus goloknya sendiri, menancap ke tanah. Diatara dua tulang lengan pula, presisi pasti itu membuatnya yangannya terpaku kuat di tanah.
Mima menatapnya dengan mata datar, pipinya sedikit terciprat darah.
Ia menarik nafas, mengangkat tubuh sejenak.
Lalu menghujamkan satu serangan lagi ke ulu hati Mang Ujang, dengan telapak tangan terbuka. Tenaga terpusat di ujung kepalan, masuk ke titik yang tepat… satu senti di bawah diafragma, sedikit ke kiri…
BUAK! Suara benturannya terdengar sampai tempat Reddix, Maroon dan Crimson duduk menonton. Telak dan keras.
Tubuh Mang Ujang seperti terlonjak ke atas. Serangan sederhana itu akan membuat jantung berhenti sejenak. Mengakibatkan hilang kesadaran. Dan melewati satu titik tertentu, jantung itu bisa tak berdetak lagi. Suplai oksigen ke otak bisa turun drastis, mengakibatkan kematian.
Mima tersengal.
Ia masih menduduki lawannya, yang diam tak bergerak. Mata Mang Ujang setengah terpejam, mulutnya setengah menganga, wajahnya berlumuran darah. Semua orang akan melihatnya sebagai korban sebuah pertarungan yang brutal. Tak ada nafas.
Mima berdiri pelan-pelan. Melangkah mundur perlahan, sambil memegang rusuk kanannya yang retak. Rasa sakit itu kembali menjalar.
Sebenarnya aku bisa menendang langsung ke arah kemaluan. Sebenarnya aku bisa menusuk tanganmu dengan garpu dan melakukan gerakan sedikit menarik, mencongkel satu pembuluh darah hingga luka parah. Dan aku juga bisa menebas lehermu, memenggal kepalamu. Aku juga bisa menapak jantung dan parumu beberapa kali, menimbulkan kematian seketika.
Tapi, tidak.
Mang Ujang, kau orang baik….
"Ahhhkk…" Mang Ujang mengeluarkan suara berdeguk, jantungnya berdetak kembali. Nafasnya juga kembali, tersengal dan batuk-batuk. Namun, tubuhnya masih lumpuh sebagian.
Klaas berjalan mendekat. "Sudah cukup. Pemenangnya kau."
Klaas melemparkan dua kantong kulit emas.
Rasa sakit di rusuk itu telah kembali, membuat Mima kembali jatuh berlutut. Bahkan Mima tak mampu mengangkat tangan untuk menerima koin emas yang dilempar Klaas. Kantong kulit itu hanya terjatuh di depannya.
Di belakangnya, Reddix berlari mendekati mang Ujang, sedangkan Maroon dan Crimson berdiri. Mereka menoleh ke atas, portal antar dimensi telah membuka.
Anastasia-six melompat dengan gesit ke bawah, diikuti beberapa maid lain yang sepertinya petugas medis. Anastasia-six langsung mengambil koin emas dan memapah Mima. Satu maid lain yang berpakaian mirip dengannya, memungut senjata Mima yang sempat terlempar.
"Running Mama," Klaas mendekat. "Sulit dipercaya. Kau yang barusan, dan kau yang tadi pagi membelikan eskrim anak-anakku, adalah orang yang sama."
Ekspresi datarmu ketika menusuk lengan Mang Ujang itu, diantara cipratan darah, tampak mengerikan. Seperti pembunuh berdarah dingin.
Mima tersenyum.
"Ibu rumah tangga itu pandai berpura-pura, Mr. Klaas. Dan ini bukan permainan pikiran… "
Klaas tersenyum.
Bukan permainan pikiran. Tapi karena kalian memang harus berperan demikian.
Menahan diri, bersabar, pura-pura senang di saat sedih, pura-pura semuanya baik-baik saja padahal ada apa-apa…. Ibu rumah tangga itu orang-orang yang berbahaya.
Dan penuh misteri. Apa yang sebenarnya kau kejar, Running Mama?
Apa yang kau kejar dari turnamen ini?
Klaas menatap Mima yang dibantu naik ke dalam portal dimensi.
Mima menatap Mang Ujang sekali lagi, yang dikelilingi Reddix dan maid medis. Mang Ujang, masih berbaring, menoleh ke samping, satu tangannya yang telah dibalut, menutupi wajahnya yang berlumuran darah.
"Maaf!" Teriak Mima, sambil meringis sakit.
Mang Ujang seperti tersenyum sebal. Tangannya kirinya yang masih tertancap golok, mengacungkan jari tengah ke arahnya.
Mima tersenyum kecut.
Mang Ujang pun akan belajar dari pertarungan ini. Mima yakin.
No constant balance in fight.
-end of 1st round-
Glossary.
Schroedinger: Teka-teki Schroedinger mengenai kucing yang berada dalam keadaan setengah mati dan setengah hidup dalam sebuah kotak. Kotak tersebut diberi sebuah tabung racun yang akan pecah bila ada atom yang terdeteksi radioaktifnya. Ini adalah teka-teki yang pernah dibahas oleh fisikawan Schroedinger dan rekannya, Born, tentang dualisme gelombang yang dikeluarkan atom, dan dunia mekanika kuantum. Teka-teki ini mengemukakan ide adanya semesta paralel, yaitu ada satu semesta dimana kucingnya hidup, sementara semesta yang lain kucingnya mati.
Anchor, atau Anchoring: satu teknik dalam Neurolinguistik Programming, untuk membangkitkan perasaan positif atau suatu keadaan psikologis tertentu yang diinginkan penggunanya. Dalam cerita ini, Anchor yang digunakan Mima menggunakan istilah password "RUN", dan yang dibangkitkan adalah kemampuan menahan rasa sakit.
Pertarungan pertama dengan mata. Kedua baru dengan pedang: dikutip dari Go Rin No Sho (the Book of Five Rings/ Kitab Lima Lingkaran), oleh Miyamoto Musashi.
Seoi-nage Ippon: Satu teknik bantinga dalam judo, dimana pelempar membelakangi tubuh lawan lalu membantingnya menggunakan kekuatan bahu, pinggang dan pinggul.
R.U.N. (Re-setting Unattempt Neurolink): keadaan dimana otak sebagai pengendali sistem saraf pusat menyeleksi impuls-impuls syaraf, me-blok impuls rasa sakit, membangkitkan adrenalin, sambil tetap menyuruh tubuh begerak. RUN adalah upgrade kemampuan Mima yang baru. Kelemahannya, kemampuan ini memiliki batas waktu paling lama lima menit, hanya bisa digunakan sekali dalam satu pertarungan, dan cedera di tempat yang sama bisa mengarah ke cedera yang lebih parah lagi. Kemampuan ini bukan kemampuan regenerasi, hanya kemampuan menahan rasa sakit.


Epilog for 1st round
Despera, Medical Rehab center.
Pukul 19.30 waktu Despera.


Mima dibaringkan miring di atas meja operasi yang dingin. Kaosnya dibuka, memar biru terlihat di bawah tulang rusuk, sedang diobati oleh para maid medis. Rusuknya patah satu, tapi mereka bilang ia akan pulih dalam waktu cepat.
Tak peduli dikelilingi maid medis, ia menekan tombol ponselnya, menelepon seseorang.
"Sayang."
Di Ithacca, di antara koridor apartemen, Weasel langsung mengangkat.
"Bagaimana?"
"Berhasil."
Weasel menarik nafas lega.
"R.U.N.?"
"Berhasil juga."
Weasel menghela napas, bulu kuduknya sedikit berdiri.
"Berhati-hatilah. Jangan memaksakan diri. Bagaimanapun, kau tak semuda dulu."
Mima tersenyum.
"Aku bisa membangkitkan RUN, namun keadaannya tak sama seperti dulu."
"Tak sama?"
"Lebih terkendali. Kesadaranku bertahan dalam banjir adrenalin. Tidak berserk. Dan lawanku… dia hidup."
Lutut Weasel terasa melemas mendengarnya. Jade harus mendengar ini.
Hening sejenak.
"Aku menyayangimu, Weasel."
Weasel tersenyum.
R.U.N, atau apalah itu… nanti saja.
"Aku juga."
Aku mencintaimu, Mima.
Apa adanya.
selesai















8 comments:

  1. Wah, ada juga yang modelnya kayak saya - hampir ga ada pertarungan beneran kecuali 1v1 di akhir

    Kontras sama entri saya, di sini Despera justru dijaga biar sedamai mungkin ya. Intrik"nya lumayan bagus sebenernya, tapi saya masih agak menyayangkan 4 entran lainnya kayak singled out aja. Selain itu ternyata kenistaan yang saya tunggu" masih cukup jinak #plak

    Pun demikian gaya bahasanya beneran enak, nuntun pembaca dengan nyaman, dan walau di awal saya sempet ragu ini kok NPCnya banyak bener, tapi ternyata masih lumayan beralasan ya. Trump card Mima bagus, tapi mungkin karena udah keseringan liat motif supersoldier buat saya itu masih sesuatu yang as expected

    Dari saya 8

    [OC : Dyna Might]

    ReplyDelete
    Replies
    1. sekalian testing akun gmail

      terimakasih karena sudah membaca entry saya, sebenarnya banyak ide tidak tereksekusi di sini, tadinya saya berniat antara Ronnie-Dyna-Maroon ada judi russian roulette, tapi mengingat jadwal ke depat, sepertinya nggak mungkin bisa menulis sebanyak itu, jadi saya skip semua. menyesal juga sih...

      tapi, semoga lain kali bisa lebih detail, sekalian balas dendam ke dyna *plak

      Delete
  2. Radith sez, "Halo, Mbak Mima! Wah di Back Alley versi mbak ini justru yang paling berbahaya 'jebakan psikologis'-nya itu ya, yang kebetulan pas banget ngena dengan karakter dan mentalitas tiap-tiap OC, termasuk kelemahan mereka juga. Misalnya Mima ketemu sihir "baby blues" yang bisa dia atasi tapi Mang Ujang tidak. Yah, nggak apa-apa sih. Daripada kekuatan, ini lebih condong ke 'uji mental'. Yah baguslah untuk ronde satu.

    Senangnya Mbak masih ingat aku, Tore dan Noah :p Yah, menurut saya sih tantangan di sini juga sudah cukup oke, tapi kalau bisa ya berikan juga kesempatan lebih pada Dyna, Ananda, Ronnie dan Tata untuk mengatasi 'hambatan pada karakter' mereka masing-masing. Wah, kalau ntar sempat, saya cerita pengalaman saya di Los Soleil yg langit-dan-bumi banget deh sama pengalaman mbak ini. Andai saya yang masuk di sini, saya mungkin lepas armor dan jalan2 sbg Radith dan ketiga wayangnya daripada sbg Vajra.

    Good luck ya Mbak Mima! Salam hangat dari Radith."
    Skor: 8/10 - OC: Vajra

    ReplyDelete
    Replies
    1. terimakasih karena sudah membaca entry si Mbak *hugs Radith

      sebenarnya banyak yang pingin ditulis, tapi waktu ke depan agak sulit untuk meluangkan waktu, jadinya inilah yang saya publish, I really have not enough time... (nulis ini saja nyolong2 di waktu istirahat siang)

      tapi terimakasih, ini memotivasi saya untuk nulis lebih baik.
      suwun dedek radith...

      best regards from mima

      Delete
  3. Sudah saya baca!!!

    Saya terharu, sungguh, sementara entry lain selain mang Ujang mengenalkan sisi gelap Despera dalam segi absurd. Despera disini dideskripsikan sebagai suatu tempat yang sarat akan keanehan psikologis yang menarik tapi normatif. Sifat masing masing oc lumayan menonjol sih. Walau sebenernya ada nilai plus lagi jikalau masing-masing punya porsi battle lah, masa koin peserta lain tetap utuh, yah punya Tata habis buat ngrdate mungkin, tapi apa itu cowok gak mau nraktir dasar gigolo berkedok guide.

    Transporter di Atuktar tampangnya fotogenik semua hhe, paling nggak muka Jasob Statham itu yang paling standar.

    Oh iya disini cuman Mang Ujang yang ternista. Kurang greget sih uwu

    Dan sepertinya pengaplikasian equilibrium agak sulit ya? Di entri saya cuma saya kasih tendangan yang ngedominasi. Yah saya jadi bisa lebih ngedalemin karakter Mima lebih dalam sih berkat baca entri ini.

    Ada beberapa typo, tapi gak cukup buat bingungin saya. Saya juga seneng sama gaya tutur kayak punya sampeyan, nanti bakal saya pelajari hhe.

    Buat skornya. 8/10 ya?

    -Walinya Fatha a` Lir

    Namanya salah gak apa2 kok soalnya di r0 saya juga salah hahaha........


    orz

    ReplyDelete
  4. Satu yang pertama dan terlintas dipikirkan aku ada.
    Entri ibu Mima ini ibu ibu sekali ya.. >.<
    Playgroup, anak anak, keluarga, es krim. Kyaaa.. Ahaha

    Terus ternyata bukan cuma aku aja yang pake banyak NPC. Tapi NPC disini digambarin rupawan semua ya. :3
    Sayang keknya peserta lain selain Mang Ujang terlihat cuma "numpang lewat" doang disini.

    Narasinya asik dan mudah banget untuk diikutin, typo masih ada tapi keknya gak separah entriku. uwu

    Dan untuk battle akhirnya yg aku suka, disini Bu Mima keliatan baca betul2 skill2 dari Mang Ujang. Digambarin dengan sangat baik, padahal aku sendiri nulis skill di charsheet gak begitu jelas.

    Nilai 8 + 1 karena pilih Mang Ujang sebagai lawan battle di akhir,

    Total 9/10.

    OC : Mang Ujang

    ReplyDelete
  5. diem-diem Mama Mima pinter judo..waduh Nobu sebenernya juga pinter judo sayang lebih sering pake pedang..
    saya paling suka pas 1 on 1 lawan Ujang.. visualisasi pertarungan di otak saya mudah dilakukan..pas nih buat referensi battle martial art

    9/10

    Nobuhisa

    ReplyDelete
  6. oke, sesuai janji, komenan aye kasih.

    seperti yang aye bilang sebelumnya, anchoringya mantep, apalagi penggambaran tim kucing merahnya. penafsiran untuk schroedinger cat di sini asik. aye kasi nilai +1 karena ini. aye penggemar schroedinger cat soalnya.
    dari 3 entri tim black alley, cuma ini yang ga ada permainan kartunya. daaaaan. terasa banget kesan mamak-mamaknya ya. hahahah

    7+1 = 8

    _ Pitta N. Junior _

    ReplyDelete